Pandangan Dunia WS Rendra dalam Naskah Drama Perjuangan SUku Naga -.pdf
-
Upload
amran-halim -
Category
Documents
-
view
752 -
download
10
description
Transcript of Pandangan Dunia WS Rendra dalam Naskah Drama Perjuangan SUku Naga -.pdf
1
Pandangan Dunia WS Rendra dalam Naskah Drama Perjuangan SUku Naga
Oleh Amran Halim
Latar Belakang
Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-
peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh
cerita. Singkatnya, sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karena
karya sastra adalah bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang
memanfaatkannya atau sebagai cerminan pengalaman hidupnya, maupun dari aspek
penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinya ke dalam karya sastra. Ditinjau dari segi
penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam sastra lisan),
karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam
kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Dikatakan oleh Abrams (dalam Pradopo 1995: 254)
bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan
dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Begitu pula dengan membaca kembali karya dan pemikiran Rendra (1935-2009),
sastrawan dan dramawan penting itu tidak melulu hanya menjadi sebuah nama dalam sejarah
kebudayaan Indonesia. Wafatnya "Si Burung Merak" menyimpan semacam bayangan, betapa
karya dan pemikiran seorang seniman sesungguhnya tak pernah mati. Ia selalu menemukan
relevansinya dengan konteks dan fenomena kekinian. Senada dengan pernyataan Sutardji
ketika Rendra meninggal, ia merasa kehilangan sosok orang yang tingkah polahnya bisa
menjadi teladan. ‖Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya
tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar
di antara kita,‖ kata Sutardji (KOMPAS, Sabtu 8 Agustus 2009).
Pilihan pada lakon "Kisah Perjuangan Suku Naga" tak bisa dipisahkan dari keinginan
memaknai jejak karya dan pemikiran Rendra yang masih tetap aktual hingga hari ini. Lakon
yang ditulis tahun 1975 ini banyak memaktubkan kritik tajam Rendra ihwal tabiat politik
pembangunan yang didukung oleh nafsu kapitalisme, dan hak-hak masyarakat adat yang
teraniaya pada masa rezim Orde Baru. Bengkel Teater Rendra pertama kali mementaskannya
pada 1975 di Yogyakarta sebagai protes terhadap beberapa kebijakan pemerintah Orde
Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia.
Meski ditulis puluhan tahun lalu, lakon ini masih atau bahkan kian menemukan aktualitasnya
2
di tengah realitas nasib hak-hak masyarakat adat di tengah gempuran neoliberalisme seperti
hari ini.
Naskah drama ―Kisah Perjuangan Suku Naga‖ digarap mengambil ruh teater rakyat
(teater tradisional) yaitu mengambil idiom-idiom dari wayang, longser, lenong, ludruk,
ketropak dsb. Dengan konsep demikian tentunya pagelaran tidak lantas akan menjadi seperti
teater tradisi pada umumnya. Pertunjukan tetap menjadi pertunjukan modern. Tokoh- tokoh
yang terdapat dalam lakon ini yakni Dalang, Koor Mesin, Koor duta Besar, Abivasam
(Kepala Suku Naga), Abivara (Putra Abivasam), Carlos (Wartawan dari Tanah Seberang),
Paman, Supaka (Bibi), Ratu Astinam, Perdana Menteri Astinam, Kolonel Srenggi, Menteri
Keamanan Astinam, Ketua Parlemen, Mr. Joe (Duta Besardari tanah seberang), Menteri
Pertambangan Astinam, Setyawati (Pacar Abivara), Insinyur, The Big Bos. (Rendra, 1975:2)
Naskah drama yang berisikan 18 babak ini bercerita tentang perjuangan masyarakat
adat yang mempertahankan tanah dan budaya lokalnya di tengah gempuran ―pembangunan‖
ala pemerintahan Astinam. Dikisahkanlah Abivara, putra kepala suku naga, yang baru pulang
dari Luar Negeri bersama kawannya, Carlos menghadang rencana pembangunan proyek
pertambangan di bukit Saloka. Proyek tersebut otomatis akan menggusur penduduk suku
naga, karena tidak hanya eksplorasi barang tambang melaionkan akan dibangun juga
pemukiman buruh tambang dengan segala fasilitas kesehariannya; sekolah, rumah sakit, pasar
dll. Selain desakan dan teror yang dilakukan oleh pemerintahan Astinam, Abivara pun harus
menghadapi pemahaman ―modern‖ yang didambakan oleh kekasih dan bibinya sendiri.
Pemahaman modern yang digembargemborkan pemerintah dan diserap oleh kekasih dan
bibinya sama sekali bertentangan dengan paham atau keyakinan penduduk suku naga; bahwa
alam dan manusia harus saling bertukar karya serta saling menjaga. ―Petani yang maju, cepat
mengenal tanaman baru dan cara yang baru untuk menjaga alamnya‖ (Rendra, 1975:16).
Sosok WS Rendra bagi kita bukanlah sekadar seorang dramawan, penyair, prosais atau
lebih umumnya seniman. Lebih dari itu, lewat bengkel teaternya ia adalah sosok seorang
guru, dengan karya dan pentas-pentas seninya ia menjadi sosok oposisi bagi Orde Baru,
inspirator, teladan, dan pemicu semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Pantaslah jika ia
banyak mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri, sanjungan, dan perlakuan tidak
menyenangkan dari Rezim Orde Baru. Namun sungguh disayangkan—sampai hari ini, dari
sekian banyak muridnya yang telah menjadi sastrawan besar—belum ada yang mampu
menuliskan buku biografi atau riwayat hidup WS Rendra.
3
Karena belum ditemukannya penelitian tentang Kisah Perjuanagn Suku Naga dari segi
sosiologi khususnya menggunakan teori Strukturalisme Genetik. Naskah drama Kisah
Perjuangan Suku Naga sangat menarik dan perlu dikaji, karena naskah drama Kisah
Perjuangan Suku Naga mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat drama tersebut
diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang bahkan memiliki aktualisasi hingga hari ini.
Oleh karena itu dari pengkajian naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga ini dapat diketahui
pandangan dunia WS Rendra sebagai pengarang.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1 Bagaimana struktur drama Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra?
2 Bagaimana lingkungan sosial WS Rendra?
3 Bagaimana lingkungan sosial drama Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra?
4 Bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam drama Kisah Perjuangan
Suku Naga karya WS Rendra?
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:
1. Struktur naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra.
2. Lingkungan sosial WS Rendra.
3. Lingkungan sosial naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra.
4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam naskah drama Kisah Perjuangan
Suku Naga karya WS Rendra.
1.3 Manfaat Penelitian
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu sastra, khususnya
dalam bidang karya sastra yang berbentuk naskah drama, lebih-lebih dalam penerapan
teori sastra. Selain itu penelitian naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga dengan
menggunakan teori Strukturalisme Genetik belum pernah dilakukan, maka secara praktis
penelitian ini bermanfaat untuk membantu pembaca dalam memahami Kisah Perjuangan
Suku Naga.
4
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Sosiologi Sastra
Secara bahasa, Ratna Nyoman K (2003:1) menguraikan istilah sosiologi sastra sebagai
berikut: ‖Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar
kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos
berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan
makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi,
sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu
pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta)
berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran -tra berarti alat,
sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku
pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk
menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.‖
Sosiologi sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis karya
sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi
sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya
sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat.
Sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir pada
abad ke-18, ditandai dengan tulisan Mademe de Stael yang berjudul De la litterature
cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku
teks pertama baru terbit tahun 1970, dengan judul The Sociology of Art and Literature: a
Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Alberch, dkk. Teori ini berkembang dengan pesat sejak
penelitian-penelitian dengan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi,
bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi
masyarakat yang justru merupakan asal-usul dari pengarang dan karyanya. Maka, pengarang
yang selama hampir setengah abad, sejak dominasi strukturalisme dihilangkan dan dianggap
―telah mati‖, dalam analisis sosiologi dipertimbangkan kembali sebagai subjek, yaitu subjek
kolektif (Ratna, 2007: 331-333).
Menurut Ian Watt, yang dijelaskan oleh Damono (2004:3), telaah suatu karya sastra akan
mencakup tiga hal hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, yakni:
5
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Lebih
jelasnya, bahwa yang dimaksud; 1. Konteks sosial pengarang adalah hubungan antara posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dengan masyarakat pembaca. Termasuk faktor-faktor
sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan selain mempengaruhi karya
sastra. 2) Sastra sebagai cermin masyarakat, dapat dipahami untuk mengetahui sampai sejauh
mana karya sastra dapat mencerminkan keadan masyarakat ketika karya sastra itu ditulis,
sejauh mana gambaran pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat atau fakta
sosial yang ingin disampaikan, dan sejauh mana karya sastra yang digunakan pengarang
dapat dianggap mewakili masyarakat. 3) Fungsi sosial sastra, adalah untuk mengetahui
sampai berapa jauh karya sastra berfungsi sebagai perombak, sejauh mana karya sastra
berhasil sebagai penghibur dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.
Dengan demikian, sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret
fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling
kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena
itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis,
interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
2.2 Analisis Struktural Model A.J. Greimas
Sejalan dengan upaya mengetahui pandangan dunia pengaran dengan menggunakan
teori strukturalisme genetik, terlebih dahulu peneliti akan mengkaji struktur intrinsiknya.
Abrams (Fransiska, 2010) berpendapat bahwa telaah karya sastra akan lebih dipahami secara
tepat, jelas, dan utuh apabila tidak melepaskan struktur intrinsiknya.
Naratologi Algirdas Julien Greimas (Selden, 1986: 59-60; Culler, 1997: 77-87; Ratna:
2007: 137-140) merupakan kombinasi antara model paradigmatis Levi-Strauss dengan model
sintagmatis Propp. Namun objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre dongeng, tetapi
diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas
memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam, dengan tujuan yang
lebih umum, yaitu tata bahasa naratif univesal. Dengan menolak aturan, dikotomi yang kaku,
Greimas pada gilirannya lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada
subjek di balik wacana, yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh
6
tindakan, yang disebut actans dan acteurs. Aktan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi
tiga pasangan oposisi biner, yaitu: subjek dengan objek, pengirim dengan penerima, penolong
dengan penentang.
Skema aktansial yang digunakan akan menurunkan struktur sebuah cerita didasari oleh
adanya oposisi-oposisi biner yaitu; subjek (S) yang menginginkan suatu objek (O). Objek ini
pada gilirannya, merupakan objek yang dikomunikasikan antara pengirim (sender/P1) dan
penerima (receiver/P2). Bersamaan dengan itu, keinginan S didukung oleh penolong
(helper/P3) dan dihambat oleh penghalang (opponent/P4). Secara lebbih ringkas, akan nada
tiga pasang oposisi biner: (1) subjek-objek, (2) pengirim-penerima, dan (3) penolong-
penghalang.
1. Subjek – objek
Menurut Ratna (2007: 139), di antara ketiga pasangan oposisi biner aktan-aktan ini,
yang terpenting adalah pasangan subjek-objek. Hal ini disebabkan karena tidak akan ada
objek jika tidak ada subjek, begitu pula sebaliknya. Subjek ditugasi oleh pengirim untuk
mendapatkan objek. Objek bisa berupa hal yang konkrit, seperti ―manusia‖ atau ―sesuatu‖;
akan tetapi bisa berupa hal yang abstrak, seperti ―pengetahuan‖, ―cinta‖, dan ―kekuasaan‖.
2. Pengirim – penerima
Pengirim adalah pelaku atau seseorang (dapat pula sebuah ide) yang memotivasi suatu
tindakan, atau yang mengakibatkan sesuatu terjadi (Amiruddin, 2002: 34; dalam Fansiska,
2010: 23). Dengan kata lain, pengirim memprovokasi subjek untuk melakukan sesuatu demi
mendapatkan objek, sedangkan penerima merupakan sesuatu atau seseorang yang menerima
objek yang diusahakan oleh subjek.
3. Pendukung – penghalang
Pendukung merupakan sesuatu atau seseorang yang membantu atau mempermudah
usaha subjek untuk mendapatkan objek, sedangkan penghalang merupakan sesuatu atau
seseorang yang menghalangi usaha subjek dalam mencapai objek.
7
Adapun skema aktansialnya adalah sebagai berikut:
SKEMA AKTAN
Selain menunjukkan bagan aktan, (Sumiyadi, 2010: 59) Greimas juga mengemukakan
model cerita yang tetap sebagai alur. Model itu dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut
fungsi. Model yang kemudian disebut model fungsional itu memiliki cara kerja yang tetap
karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir.
Adapun model fungsional yang dimaksud adalah sebagai berikut.
MODEL FUNGSIONAL
SITUASI
AWAL
TRANSFORMASI SITUASI
AKHIR TAHAP UJI
KECAKAPAN
TAHAP
UTAMA
TAHAP
KEBERHASILAN
(1) Dalam situasi awal ditampilkan keadaan sebelum terjadi suatu peristiwa yang
mengganggu keselarasan atau keseimbangan. Biasanya cerita diawali dengan munculnya
pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu sehingga muncul tindakan
pemanggilan perintah, atau persetujuan.
(2) Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu tahap uji kecakapan (adanya usaha
subjek, munculnya penentang dan penolong, dan jika subjek/ pahlawan tidak mampu
mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai pahlawan), tahap utama (adanya pergeseran
ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan
kembali), dan tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya
pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasa
bagi pahlawan sejati).
Pengirim Objek Penerima
Pendukung Subjek Penghalang
8
(3) Dalam situasi akhir subjek berhasil mendapatkan objek, objek telah diterima oleh
penerima, keseimbangan telah terjadi, dan berakhirlah suatu keinginan terhadap sesuatu.
Namun, situasi dapat terjadi sebaliknya, yaitu subjek gagal mendapatkan objek.
Dengan skema aktan dan model fungsional yang diajukan oleh Greimas memiliki
hubungan kausalitas: hubungan antaraktan ditentukan oleh fungsi-fungsi dalam membangun
struktur cerita.
2.3 Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis
strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Ratna (2007: 121-127)
memaparkan bahwa strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf
dan sosiolog Rumania-Prancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The
Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Prenses of Pascal and the Tragedies of Racine,
dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956.
Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan
perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik berarti memerhatikan
analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun sebagai teori yang telah teruji validitasnya,
strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberpa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh
teori sosial lain, yakni: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan
pandangan dunia.
2.3.1 Simetri atau Homologi
Homologi dipinjam dari istilah biologi, dengan asumsi persamaan struktur sebab
diturunkan melalui organisme primitif yang sama. Homologi memiliki implikasi dengan
hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Dalam proses penelitian
identifikasi terhadapnya memerlukan penelitian yang seksama, kualitasnya ditentukan oleh
karya itu sendiri, bukan struktur sosial. Homologi bukan reduksi dan imitasi,
interdependensinya adalah struktural, bukan hubungan isi secara langsung.
Adanya penanda ―suku naga‖ dalam drama karya WS Rendra, tidak bisa dikaitkan
secara langsung dengan ―Kampung Naga‖ di daerah perbatasan Tasik-Garut, Jawa Barat.
Sebagai petanda, secara homolog dan struktural, di satu pihak ―suku naga‖ sejajar dengan
9
masyarakat adat, kearifan lokal, budaya primitif dan sebagainya.
2.3.2 Kelas-kelas sosial
Dalam pengertian strukturalisme genetik, kelas-kelas sosial tidak perlu didefinisikan ke
dalam pertentangan dan eksploitasi, seperti halnya pemahaman kelas dalam Marxisme. Maka
yang dimaksud kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup tertentu
dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas dengan demikian berpengaruh terhadap bentuk,
fungsi, makna, dan gaya suatu karya seni. Pada dasarnya, menurut visi strukturalisme genetik,
kelas yang dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang.
Secara sosiologi, menurut Hauser (1985: 139; dalam Ratna, 2007: 124) seniman pun
pada dasarnya ditentukan oleh kelas sosialnya. Perlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang
lebih bersifat afinitas, sebagai bentuk ketertarikan terhadap suatu masalah dibandingkan
dengan komitmen. Atas dasar akar sosial yang sama maka terjadilah simpati terbagi, imajinasi
terbagi, kesadaran sosial yang dianggap sebagai genesis kreativitas.
Dikaitkan dengan seniman sebagai pencipta, lanjut Ratna (2007: 125), latar belakang
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) latar belakang karena afiliasi, dan b) latar
belakang karena kelahiran.
Pencipta yang berlatar belakang karena afiliasi memiliki sisi menarik karena
kelahirannya yang kedua. Sebagai bentuk dualisme antara aktivitas kreatif di satu pihak dengan
penjelajahan sumber-sumber ilmu pengetahuan di pihak yang lain. Bentuk afiliasi bermacam-
macam, sesuai dengan kompleksitas struktur sosial, seperti: keluarga, profesi, intelektual,
religi, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Sisi menarik lainnya tentang pengarang berlatar
belakang afiliasi adalah kemampuannya melepaskan diri dari kelompok asal, kemudian
meleburkan diri dan terlibat dalam kelompok yang baru.
2.3.3 Transindividual
Sejajar dengan masalah kelas-kelas sosial di atas, Goldmann juga mengintroduksi
konsep transindividual, intersubjektif menurut pemahaman lain. Menurut Goldmann (1976:
89-95; dalam Ratna, 2007: 125) transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi
dengan struktur mental kelompok. Dalam strukturalisme genetik subjek transindividual
merupakan energi untuk membangun pandangan dunia.
2.3.4 Pandangan dunia
Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik. Homologi,
10
kelas-kelas sosial, etruktur bermakna, dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas
pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Karena pandangan dunialah
yang memicu subjek untuk mengarang, identifikasi pandangan dunia juga dianggap sebagai
salah satu ciri keberhasilan suatu karya.
Secara definitif Goldmann (Ratna, 2007: 126) menjelaskan pandangan dunia sebagai
ekspresi psike melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan
fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang. Konsep-konsep yang mendasari
pandangan dunia harus digali melalui dan di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan
dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan
secara keseluruhan. Maka pelacakan fakta-fakta sejarah perlu dilakukan bagi penelitian
primordial dan berbagai kecenderungan masa lampau yang masih dominan di Indonesia.
Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya sekaligus
memperoleh artinya bagi masyarakat.
Secara metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldmann menyarankan untuk
menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Karena dalam karya besarlah
terkandung berbagai aspek kehidupan yang problematis. Sejalan dengan itu Kisah Perjuangan
Suku Naga karya WS Rendra, adalah salah satu karya besar dari seorang sastrawan besar. Di
dalamnya terdapat aspek problematik kehidupan antara manusia dengan alam dan kearifan
lokal dengan modernitas yang mendapati aktualisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat
Indonesia sejak tahun penulisan karya hingga hari ini.
11
BAB III
STRUKTUR DRAMA, LINGKUNGAN SOSIAL PENGARANG, LINGKUNGAN
SOSIAL DRAMA, DAN PANDANGAN DUNIA PENGARANG YANG TEREFLEKSI
DALAM KISAH PERJUANGAN SUKU NAGA KARYA WS RENDRA
4.1 Struktur Drama Kisah Perjuangan Suku Naga
4.1.1 Sinopsis naskah drama “Kisah Perjuangan Suku Naga” karya Rendra.
Alkisah, kebudayaan manusia telah berbeda jauh atara negeri industri dan negeri
pertanian. Negeri industri, kaya akan uang modal dan mesin-mesin yang menghasilkan barang
dagangan. Mesin-mesin telah bergemuruh dan bekerja tanpa henti. Bahan-bahan mentah
dicari terus menerus. Barang-barang hasil produksi kian berjubel tak tertampung di gudang.
Negeri pertanian, kaya akan hasil bumi dan barang tambang. Dan terhadap negeri
pertanianlah, persoalan dari negeri industri akan dilimpahkan. Duta Besar dipekerjakan untuk
negosiasi demi perputaran sirkulasi uang modal. Agar tidak membeku. Agar proses produksi
di negeri industri terus berjalan dan memperkaya Big Boss.
Berbedaan ini sangat nampak dan berdampak pada sebuah negeri pertanian, Astinam.
Dan para Petinggi Pemerintah Astinam sedang meracau-racau kata ‗Pembangunan‘.
Keuntungan pribadi menjadi kepentingan paling pokok dari kata ‗Pembangunan‘ yang mereka
agung-agungkan. Meski dengan mengorbankan rakyatnya sendiri.
Sementara di dalam wilayah negeri Astinam, terdapat Suku Naga yang menempati
lembah bukit Saloka. Mereka memegang teguh keyakinan dan keselarasan hidup dengan
alam. Suku Naga adalah petani. Peraturan adat mereka menyatakan, bahwa tanah tidak bisa
diperjualbelikan. Jika tidak mampu menggarap harus diserahkan kembali pada desa. Karena
tanah adalah ruh bagi petani. Jual beli tanah adalah proses awal penghisapan kota terhadap
desa. Tanpa kepemilikan tanah, petani tak ubahnya seperti kerbau. Bahkan di mata tuan tanah,
kerbau lebih menghasilkan uang dibanding buruh tani.
Suku Naga dikepalai oleh Abisavam, kebijakannya sangat bijak pada alam dan
masyarakat Suku Naga. Senantiasa membimbing dan mendamping. Ia punya seorang anak
laki-laki yang baru menyelesaikan pendidikan di luar negeri. Bernama Abivara. Meski
Abivara sekolah di negeri maju, keteguhannya pada kebudayaan dan adat keyakinan Suku
Naga tidak luntur sedikit pun. Malahan dengan pemahamanya tentang kemajuan, ia makin
bijak pada keselarasan alam.
12
Abivara pulang bersama kawannya Carlos. Ia teman karib Abivara. Seorang wartawan
media ternama di negeri maju tempat Abivara sekolah. Carlos adalah orang yang sangat
tertarik untuk mempelajari budaya dan adat Suku Naga.
Namun keselarasan hidup Suku Naga dengan alam diganggu oleh Mr. Joe, Duta Besar
dari negeri seberang. Ia adalah orang suruhan Big Boss yang mengincar bahan tambang yang
terdapat di dalam bukit Saloka. Mr. Joe dengan sangat mudah membujuk petinggi Astinam
untuk mendukung keinginan Big Boss.
Maka dipekerjakanlah petinggi-petinggi negara oleh Ratu Astinam untuk mulai
menyusun rencana dan pembakuan peraturan untuk kelancaran rencana, mengusir Suku Naga
dari lembah Bukit Saloka untuk dijadikan perumahan berikut segala sarana hiburan bagi para
pekerja tambang bukit Saloka.
Rencana tersebut mendapat perlawanan dari Suku Naga yang dipimpin Abisavam.
Carlos, sahabat karib Abivara menuliskan berita pada medianya di negeri sebrang, bahwa
pemerintah Astinam hendak mengusir Suku Naga yang telah turun temurun menjaga
keselarasan alam hanya karena projeck perusahaan Big Boss untuk pengerjaan penggalian
tambang tembaga di bukit saloka yang jelas-jelas akan memusnahkan sebuah kebudayaan dan
kelestarian alam.
Ratu dan para Petinggi negeri Astinam gerah dengan pemberitaan yang dituliskan
Carlos di media no satu di negeri seberang tersebut yang dibaca dan menjadi bahan
pergunjingan di antara orang-orang di Unesco.
Mereka berpikir keras untuk membujuk Suku Naga agar tak jadi pemberitaan buruk di
media. Karena mereka lebuh takut pada teguran PBB dengan Unesco-nya dari pada rakyatnya
sendiri. Mula-mula Menteri Pertambangan datang menemui Abisavam. Karena ditolak
kemudian datang ketua parlemen bersama tentara bersenjata dengan maksud menggertak
Suku Naga. Upaya mereka kembali kandas karena keteguhan Suku Naga pada keyakinan
leluhurnya yang kini terancam dipunahkan pemerintah dan meski mereka perjuangkan. Dan
Carlos tak hentinya memberitakan semua upaya pemerintah Astinam untuk mengusir Suku
Naga pada dunia.
Karena ketakutan yang sama antara pemerintah Astinam dan Mr. Joe, yakni terhadap
teguran masyarakat dunia lewat Unesco, akhirnya Mr. Joe membujuk Big Boss agar
mengurungkan niatnya untuk sementara dan menjadikan usaha spiritual dan tourismenya
13
sebagai tempat pelatihan mata-mata negara Astinam. Agar mampu menyingkirkan suku-suku
adat di negeri Astinam seperi Suku Naga dengan tuduhan aliran sesat dan lainnya.
Hingga pada akhirnya, atas rencana baru yang sedang dilancarkan, ijin Carlos untuk
tinggal di Astinam dicabut secara sepihak oleh pemerintah. Namun dengan perginya Carlos
dari Suku Naga, tak menjadi ujung perjuangan Suku Naga. Masih ada Abisavam, Abivara dan
seluruh penduduk Suku Naga yang berpegang teguh pada perjuangan mempertahankan adat
dan keyakinan budaya Suku Naga.
4.1.2 Skema Aktan
4.1.2.1 Skema aktansial dan model fungsional 1
SKEMA AKTAN 1
a) Kalimat inti aktansial
Ketika semua pejabat negara Astinam berkumpul dan sedang membicarakan kondisi
kesehatan mereka masing-masing, datanglah Mr Joe (S) merespon permohonan pinjaman
dana luarnegeri yang disampaikan duta besar Astinam, dan tawaran kerjasama pertambangan
yang diajukan oleh Mentri Pertambangan. Setelah berbasa-basi Mr Joe pun mulai
mengungkapkan tujuan utamanya; yakni maksud dari Big Boss (P2) untuk berbisnis
pertambangan (P1) dengan membuka pertambangan di Bukit Seloka Suku Naga, dan meminta
perijinan penambangan (O) dari pemerintahan Astinam. Atas dorongan Mentri Pertambangan
Pengirim Objek Penerima
Pendukung Subjek Penghalang
Bisnis barang tambang
Mr Joe
Ijin
Penambangan
Big Boss
- M Pertambangan
- Ratu
- Per mentri
- Ket Parlemen
- Kol Srenggi
_
14
dalam meyakinkan Ratu, Per Mentri, dan pejabat lainnya (P3), akhirnya tujuan Mr Joe pun
berjalan tampa hambatan.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Mr Joe menawarkan kerjasama pertambangan antara Big Boss
dan negara Astinam dan meminta ijin penambangan di Bukit Seloka Suku Naga. Mr Joe
berupaya meyakinkan Ratu dengan mempresentasikan semua bisnis Big Boss.
Mr Joe : Inilah yang sungguh utama. Ada satu perusahaan dari negara saya
yang ingin bertanam modal yang besar di sini di dalam bidang
pertambangan. Tentu saya akan memakai saluran resmi. Sebab ia selalu
menghargai saluran resmi...
Ratu : Asal orang penuh pengertian kami pasti menghargainya. (Rendra,
1975: 36)
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: Mr Joe langsung memberi kepastian, bahwa Big Boss adalah
orang yang penuh pengertian. Mentri Pertambangan memberi dukungan pada Mr Joe
menyampaikan dan meyakinkan Ratu bahwa Big Bos telah menyiapkan Intan sebagai bentuk
pengertian awal pada Ratu.
Mr Joe : Wah, pengertian beliau sungguh besar.
M Pertambangan : maaf, Sri Ratu, saya memberanikan diri untuk menambah dukungan
terhadap beliau ini. pengertiannya benar-benar besar. Untuk
membuktikan bahwa ia benar-benar ahli dalam bidang pertambangan, ia
telah memilih sebutir dari hasil tambang mulia, untuk dipersembahkan
pada Sri Ratu. Ialah intan ini!
Ratu : Intan? (Rendra, 1975: 36)
II. Tahap Utama: Sri Ratu sangat senang dengan hadiah intan yang diberikan Big
Bos lewat Mentri Pertambangannya. Dan ia berterima kasih.
Ratu : Terima kasih. Aku senang sekali.
Ini sungguh-sungguh art! (Rendra, 1975: 36)
III. Tahap Kegemilangan: melihat pertanda baik, Mentri pertambang langsung
menyampaikan lokasi pertambangan yang dimaksud Big Boss adalah Bukit Saloka di wilayah
15
kaum suku naga. Dan penjelasan M Pertanian pun mendapat sambutan hangat dari pejabat
Astinam lainnya.
M Pertambangan : Sri, The Big Boss, begitu biasa kami panggil teman kami itu, sangat
kagum dan terpikat kepada alam kita. Terdorong oleh kekagumannya
itu ia telah lama membuat survey hasil-hasil tambang kita. Sehingga
tahulah ia bahwa di bukit Saloka di wilayah kaum Suku Naga ada
sebuah tambang tembaga yang cukup kaya...
Per Mentri : Saya kira ini perlu dengan sungguh-sunggu dipertimbangkan.
Koor Parlemen : tambang mentah di dalam bumi
Tak ada harganya
Daripada tidak diolah
Ada baiknay diolah mkereka
Lalu kita semua akan sibuk
Da di dalam kesibukan
Ada tambahan penghasilan (Rendra, 1975: 36-37)
(3) Situasi Akhir: Atas dorongan dari Perdana mentri dan semua fraksi Parlemen,
maka Ratu pun langsung merespon ajuan dan maksud dari kedatangan Mr Joe.
Ratu : Kalau begitu kita harus benar-benar pertimbangkan (Rendra, 1975:37)
4.1.2.2 Skema aktansial dan model fungsional 2
SKEMA AKTAN 2
a) Kalimat inti aktansial
Setelah beberapa hari kepulangan Abivara ke kampung halamannya, ia bertemu
dengan Setyawati, kekasihnya. Abivara (S) memulai percakapannya dengan menanyakan
ihwal lamarannya (P1) yang disampaikan ibunya (P3) terhadap Setyawati (O). Sebagai tanda
bahwa tidak lama lagi mereka akan dinikahkan. Namun ternyata, Setyawati memiliki
Pengirim Objek Penerima
Pendukung Subjek Penghalang
Melamar Setyawati
Abivara
Setyawati Abivara
- Ibu Abivara
- Pemahaman
Abivara tentang
kemajuan jaman
Keinginan
Setyawati
hidup di kota
16
keinginan untuk hidup di kota (P4) setelah pernikahannya. Untunglah Abivara mampu
mengungkap pemahamannya tentang modernitas dan kemajuan jaman dengan teguh pada
Setyawati. Dengan ketegasannya, Abivara meminta Setyawati untuk memikirkan ulang
tentang keinginannya hidup di kota, terkait cita-cita Abivara untuk membangun desanya serta
lamaran dari Abivara.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Abivara bertanya pada Setyawati soal lamaran dari Ibunya.
Setyawati menerimanya dengan bahagia. Mereka sebentar lagi akan menikah
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: namun ternyata, di luar sepengetahuan Abivara, Setyawati
memiliki keinginan untuk hidup di kota. Hidup bersama kemajuan jaman dan modernitas.
―Setyawati: Sesudah menikah apakah kita akan pindah ke kota?‖ (Rendra, 1975: 39)
II. Tahap Utama: dengan pemahaman Abivara tentang kehidupan di kota, Abivara
mampu menyangkal semua pemahaman Setyawati yang salah kaprah tentang kehidupan
perkotaan yang dianggapnya lebih maju, lebih tinggi pergaulan, dan lebih baik dari pada
pedesaan.
Abivara : Film hanya hiburan bukan alat kemajuan
Setyawati : Yah, tetapi di desa kurang pergaulan.
Abivara : Benarkah di kota lebih terdapat pergaulan? Astaga! Nama tetangga sendiri
jarang mereka mengenalnya. ...
Setyawati : ... Aku tidak ingin anak-anak kita nanti ketinggalan mode
Abivara : ... Mode tidak memajukan dan membebaskan orang. Mode malah mengikat
orang. (Rendra, 1975: 39)
III. Tahap Kegemilangan: abivara mampu menyangkal semua sangkaan Setyawwati
terhadap kehidupan di perkotaan. Satyawati tidak bisa mendebatnya dengan sengit. Ia
kemudian kesal karena keinginannya hidup di kota jauh dari kemungkinan diwujudkan oleh
Abivara setelah pernikahan.
Setyawati : Aku kesel! Aku tidak ingi anak-anaku nanti merasa minder.
Abivara : kenapa mesti minder?
Setyawati : kamu tahu bagaimana pandangan orang kota terhadap orang desa?
Abivara : itulah pendapat yang kurang terpelajar.
Seharusnya mereka tahu bahwa orang desa lebih produktip dari pada orang
kota. Orang desa memprodusir hasil bumi. Tetapi orang kota memprodusir
17
apa? Mereka hanya mampu mengimpor. Ekonomi mereka hanya ekonomi
tukang kelontong. Atau mereka hanya mampu menciptakan birokrasi. Dan
birokrasi adalah penghambat kemajuan. (Rendra, 1975: 39)
(3) Situasi Akhir: karena mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, Setyawati
kemudian kebingungan dan menangis. Abivara bersikap tegas dalam mendidik. Membuktikan
rasa sayangnya dengan tidak memanjakan kekasihnya. Menganjurkan Setyawati untuk
mencerna perbicaraan mereka barusan.
Abivara : renungkanlah dulu barang dua tiga hari
Setyawati : Abivara! (Menangis)
Abivara : aku tidak akan menghiburmu. Aku percaya kamu akan bisa mencerna semua
ini. ... (Rendra, 1975: 41)
4.1.2.3 Skema aktansial dan model fungsional 3
SKEMA AKTAN 3
a) Kalimat inti aktansial
Supaka (S) mengutarakan keinginannya untuk menjual sawah (P1) bagian almarhum
suaminya pada Abisavam. Dengan ketegasan dan keteguhan Abisavam dalam memegang
aturan adat Suku Naga (P4), akhirnya keinginan Supaka ditolaknya mentah-mentah.
Meskipun supaka telah menjadi janda dan ia merasa berhak atas sawah bagian suaminya, serta
ketidakmampuannya bertani akan menjadikan uang hasil penjualan sawahnya sebagai modal
untuk berjualan di kota sebagai profesi hariannya (P3), dan meski Supaka adalah janda dari
adiknya namun Abisavam tetap menolaknya. Hingga supaka benar-benar gagal untuk bisa
menjual sawahnya tersebut.
Pengirim Objek Penerima
Pendukung Penghalang
Keinginan menjual sawah
Subjek
Supaka
Sawah bagian
suaminya
Supaka
- Suaminya
meninggal
- Ketidakmampuan
bertani
Ketegasan
Abisavam
pada adat
18
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Supaka mengutarakan keinginannya untuk menjual sawahnya
Supaka : Aku akan menjual sawahku.
Abisavam : tidak bisa. Tidak bisa kamu jual pada orang luar desa karena itu berarti
permulaan bagi tumbuhnya tuan tanah di desa ini. tidak mungkin pula kamu
jual pada orang desa kita sendiri, karena masing-masing petani sudah mendapat
tanah yang sesuai dengan kemampuan kerjanya, dan juga desa harus
mengontrol harga tanah. (Rendra, 1975: 42)
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: Supaka mempertanyakan sahnya kepemilikan sawah suaminya
dan status jandanya sebagai penerima ahli waris suaminya. Dengan beralasan
ketidakmampuannya bertani maka sawah tersebut hendak ia jual.
Supaka : bukankah suamiku almarhum mendapatkan sawah itu dengan syah?
Abisavam : Syah
Supaka : dan sekarang aku janda.
Abisavam : ya. Janda muda.
Supaka : aku kurang paham bertani
Abisavam : kamu kurang pendidikan.
Supaka : aku bukan petani
Abisavam : kalau begitu jangan tinggal di desa. (Rendra, 1975: 42-43)
II. Tahap Utama: Supaka tetap bersikukuh bahwa keahliannya bukan bertani tapi
berdagang.
Abisavam : seharusnya suamimu almarhum tercinta itu mengajar kamu bertani.
Supaka : tetapi aku selalu sibuk berdagang, hilir mudik ke kota. Berdagang adalah
bakatku. (Rendra, 1975: 43)
III. Tahap Kegemilangan: dalam bayangan Supaka, hasil dari penjualan sawah
tersebut akan dijadikannya modal tambahan. Namun Abisavam kian tegas memegang
peraturan adat dan menjelaskan pada Supaka bahwa sawah benar-benar tidak bisa dijual
dengan alasan apa pun karena bisa mengganggu stabilitas kehipuan di pedesaan.
Supaka : Jadi wajarlah kalau aku jual sawah hak suamiku yang syah itu untuk
menambah modal dagang.
Abisavam : O, itu tidak boleh. Begitu menurut tradisi kami, sebab itu artinya kamu akan
memindahkan kekayaan desa ini ke kota. Ini namanya permulaan dari
penghisapan kota atas desa. (Rendra, 1975: 43)
19
(3) Situasi Akhir: karena mendapatkan tentangan yang tidak memuaskan, Supaka
kemudian mengeluarkan senjata utamanya. Menangis. Sementara Abisavam tetap memegang
teguh peraturan adat. Sebagai tetua adat di suku naga, keteguhan inilah yang menjadi teladan
bagi seluruh warga suku naga.
Abisavam : kamu akan memakai senjatamu yang terakhir.
Supaka : (menangis) kamu kejam.
Abisavam : Nah, apa kubilang. (Rendra, 1975: 43)
4.1.2.4 Skema aktansial dan model fungsional 4
SKEMA AKTAN 4
a) Kalimat inti aktansial
Suatau hari, seorang Insinyur (S) asing datang mengukur bukit Saloka (P1). Namun, ia
mendapat halangan dari warga suku naga, terutama kelapa desa; Abisavam beserta Abivara,
Carlos, Supaka dan Paman (P3). Di situ terjadi percekcokan antara Insinyur yang bekerja atas
nama join venture (P3) menjalankan printah Sri Ratu (P2) dengan warga suku naga yang
hendak mempertahankan tanah adatnya.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: ketika insinyur sedang mengukur, datanglah para tetua adat
suku naga. Ia ditegur oleh Paman dan di sanalah mulai percekcokan.
Paman : ... Apa yang kamu kerjakan?
Insinyur : Mengukur, menggambar dan merancang.
Abisavam : untuk apa?
Insinyur : Desa ini akan dijadikan kota pertambangan.
Pengirim Objek Penerima
Mengukur bukit Saloka
Subjek
Insinyur
Bukit Saloka Sri Ratu
Pendukung
Proyek Joint
venture
Penghalang
Abisavam,
Abivara, Carlos,
Supaka, Paman
20
Abisavam : Siapa yang mau bikin?
Insinyur : Join venture
...
Insinyur : ini proyek Sri Ratu
Abisava : ... Lantas orang-orang desa ini bagaimana?
Insinyur : ... dipindah ke suatu tempat.
...
Abivara : O, lihat dulu nanti.
Insinyur : Kamu punya pikiran lain? (Rendra, 1975: 47)
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: Abisavam balik menanyakan pendapat pada insinyur tentang
tempat yang sedang ia ukur. Kemudian Abisavam memberi penjelasan, bahwa bukit Saloka
lebih dari sekadar tempat tinggal yang penduduknya bisa diungsikan begitu saja. Namun
insinyur itu tetap keukeuh dan berpendapat bahwa kebudayaan ―lokal‖ sudah ketinggalan
jaman.
Abisavam : ... Apa pendapatmu tentang desa dan lembah ini?
Insinyur : Resep
Abisavam : Resep! Itu tepat. Leluhur kami, leluhur para suku naga, telah memilih tempat
ini dengan teliti. Berabad-abad sudah kami tinggal di sini. Lihat itu! Itulah
pekuburan leluhur kami. ...dan di sana, dataran batu di bawah pohon itu adalah
tempat upacara kami untuk mengenangkan daya kesuburan. ...Dan telaga itu,
bagi keramat, karena di situlah kamii pergi mandi mensucikan diri sebelum
kami berpuasa 40 hari dalam setahun. ...Kamu lihat, semua ini bukan sekadar
―suatu tempat‖ melainkan suatu bagian dari keutuhan hidup kami. Ini adalah
suatu kebudayaan. Ini tidak bisa begitu saja didatarkan menjadi sebuah kota.
Insinyur : sekarang sudah jaman maju. Hal-hal semacam itu seharusnya tidak mengikat
kita lagi.
Abisavam : Kenapa?
Insinyur : Tidak Effisien
Abisavam : Semua harus effisien ya?
Yang tidak effisien tidak berguna ya? Menakjubkan!
Apakah kamu juga jatuh cinta dengan effisien?
Apakah beragama harus effisien?. (Rendra, 1975: 48)
II. Tahap Utama: melihat percekcokan kian sengit karena pendapat insinyur yang
mengecilkan adat dan budaya suku naga, Carlos, Abivara, dan Supaka pun turut bicara. Dan
Abisavam lebih menekankan tugas dan kewajiabnnya sebagai ketua adat untuk menjaga dan
melestarikan budaya leluhurnya.
Carlos : Kenapa tidak memilih tempat sebelah bukit yang di sana, kenapa mesti yang
sebelah sini?
21
Abisavam : Ya, kenapa tidak?
Carlos : Demi effisien? Supaya tidak usah bikin jalan yang melingkar. Untuk
menghemat beberapa dollar sebuah kebudayaan mau dilenyapkan?
Abivara : Ya, Ayah, seharusnya mereka mendirikan pabrik, perumahan dsb, itu di
seberang sananya bukit Saloka.
Abisavam : kewajiban sayalah untuk melindungi keutuhan budaya kita. Aku suka
perkembangan-perkembangan baru. Tetapi perkembangan baru toh tidak harus
berarti penumpasan bagi yang lain. Sebab itu nanti namanya penindasan, bukan
pergaulan.
Carlos : Saya akan menulis barita mengenai hal ini. saya akan memberikan gambaran
yang sedalam-dalamnya. Di negeri perusahaan orang-orang ini berada suara
rakyat sangat diperhatikan. Parlemen mereka adalah parlemen betul-betulan.
Jadi melewati surat kabar mereka saya akan memberi laporan apa yang
dikerjakan oleh salah satu perusahaan raksasa negeri mereka di Astinam ini. ...
Supaka : Abisavam, desa ini harus dipertahankan. Kuburan suamiku dan kuburan
leluhurnya berada di sini. Jangan sampai kuburan itu mereka ubah menjadi
casino, statsiun atau hotel.
Abisavam : Baik, Supaka. Saya tidak menduga bahwa kamu akan juga bangkit
kesadarannya. (Rendra, 1975: 49)
III. Tahap Kegemilangan: pada tahap ini, Paman, Supaka, Carlos, Abivara dan
Abisavam menyatakan tekad dan mengajak pada seluruh kaum suku naga untuk berjuang
sekuat tenaga mempertahankan tanah adat leluhur suku naga.
Paman : Saya akan bertahan sekuat-kuatnya,
Supaka : Jangan seorang pun diantara kamu mau mereka paksa untuk menjual
tanahmu.
Abivara : di desa suku Kariaman, dengan cara kasar maupun halus, mereka akhirnya
berhasil membeli tanah-tanah subur di situ.
Abisavam : Hal itu terjadi karena mereka berjuang sendiri-sendiri. Kita harus berjuang
bersama-sama, baru bisa berhasil. Aku merasa kuat memimpin kamu semua
Malam ini kita akan melakukan tirakatan
Carlos : Perjuangan saudara-saudara nanti akan tepat sesuai dengan peradaban.
Dunia luar akan membantu perjuangan semacam ini. cara-cara mereka
praktekan di sini di negara mereka sendiri sanagat ditentang oleh rakyat
mereka. Sekarang mereka berpikir, bahwa pemerintah dari negara yang
sedang berkembang bisa diperbodoh begitu saja. (kepada Insinyur) jangan
kamu pura-pura tidak tahu hal ini. (Rendra, 1975: 43)
(3) Situasi Akhir: karena mendapatkan tentangan yang keras dari kaum suku naga
dan pernyataan perlawanan dari para tetua suku naga, akhirnya Insinyur pun pergi dan sedikit
mengancam Carlos dengan menanyakan identitas Carlos.
Insinyur : Who are you?
Carlos : I am Carlos. And I am their friend.
Insinyur : I‘ll remember you.
Carlos : You better do.
22
Insinyur : Good bye
Carlos : Good bye.
Abisavam : Ya, Good bye-lah. (Rendra, 1975: 49-51)
4.1.2.5 Skema aktansial dan model fungsional 5
SKEMA AKTAN 5
a) Kalimat inti aktansial
Suatau hari, seorang mentri Pertambangan (S) datang dalam upaya membujuk suku
naga (P1). Kedatangannya itu semata-mata karena kemarahan Sri Ratu (P2) saat membaca
koran-korang luar negeri yang memuat permasalahan suku naga dengan Astinam. Namun, ia
mendapat halangan dari warga suku naga, terutama kelapa desa; Abisavam beserta Abivara,
dan Carlos (P4). Di situ terjadi percekcokan antara Mentri Pertambangan yang menawarkan
konsep pemaduan budaya suku naga dengan pariwisata (P3) dengan warga suku naga yang
menolak komersialisasi adat dan budaya dan bersikeras mempertahankan tanah adatnya.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Mentri Pertambangan datang ke perkampungan suku naga. Dan
mendapatkan sambutan yang tidak menyenangkan dari Abisavam dan yang lainnya.
M Pertambangan : Bapak kepala Suku Naga, para ibu, para wali suku, dan saudara-
saudaraku semua. Salam Sejahtera!
Saya senang berada di tengah-tengah saudara semua.
Abisavam : Apa yang saudara senangi pada kami?
M Pertambangan : Saya senang tarian-tarian saudara, saya senang bentuk rumah-rumah
saudara, saya senang kebudayaan dan kepribadian Suku Naga.
Abisavam : Itu semua akan lenyap kalau desa ini dijadikan kota pertambangan.
(Rendra, 1975: 49-51)
Pengirim Objek Penerima
Membujuk Suku naga
Suku Naga Sri Ratu
Penghalang
Abisavam,
Abivara, Carlos.
Subjek
Mentri
Pertambangan
Pendukung
Pemahaman
memadukan
budaya dan
pariwisata
23
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dari abisavam, M
Pertambangan pun mencoba menyangkal bahwa kebudayaan Suku Naga tidak hendak
dimusnahkan. Malah akan turut dilestarikan oleh pemerintah dengan menjadikannya daerah
pariwisata budaya sebagai bentuk penghargaannya terhadap budaya.
M Pertambangan : tidak perlu lenyap! Waduh, jangan sampai lenyap. Semua itu bisa
diselamatkan. Bayangkan! Di tengah sebuah kota pertambangan yang
penuh gedung-gedung modern akan terdapat kuburan-kuburan kuno,
rumah adat lengkap dengan peragaan peralatan upacara dan lain
sebagainya. Tempat-tempat ibadah, telaga keramat, pohon keramat,
semua akan di-up-grade, sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang.
Abisavam : Di-up-grade artinya dijadikan objek tourisme, begitu?
M Pertambangan : Tourisme itu menambah penghasilan negara. (Rendra, 1975: 56)
II. Tahap Utama: Abisavam memiliki pengetahuan yang luas tentang praktik
pariwisata budaya, maka tidak tidak mudah dibohongi, dan bersikeras menolak penawaran
konsep pariwisata budaya dari Mentri Pertambangan.
Abisavam : Saya tahu apa itu tourisme. Berdoa sambil ditonton orang, begitu
kan? Kalau perlu upacaranya dipersingkat dan di pop-kan, begitu
bukan? Kebaktian agama diperdagangkan, begitu maksud saudara,
bukan?
M Pertambangan : O, keasliannya bisa tetap dipertahankan.
Abisavam : Omong kosong. Kemurnian upacara semacam itu sudah tidak ada lagi.
Yang menonjol hanya unsur dramanya saja semata-mata. Saudara tidak
benar-benar senang pada kebudayaan kami. Saudara mau memasukkan
kebudayaan kami ke dalam musium.
M Pertambangan : Lho, itu justru karena saya menghargai kebudayaan saudara.
Abisavam : kalau begitu biarkan kebudayaan kami tumbuh. Jangan kami orang-
orang dipindahkan, dan sisa-sisa kebudayaan kami dimasukkan ke
dalam kotak yang bernama musium. (Rendra, 1975: 56-57)
III. Tahap Kegemilangan: pada tahap ini, Abisavam mampu menyudutkan M
Pertambangan, sehingga pembicaraan M Pertambangan kemudian melnceng dan mengarah
pada tekanan bahwa Suku Naga harus patuh pada kepentingan nasional. Mendapat tekanan
dari M Pertambangan, Abisavam malah memberi pandangan tentang bagaimana seharusnya
peran dan fungsi antara rakyat dan pemerintah dalam hidup bernegara.
M Pertambangan : Janganlah kita lalai untuk mengabdi pada kepentingan nasional
24
Abisavam : Membina kebudayaan daerah termasuk juga kepentingan nasional.
Kepentingan nasional tidak semata-mata berarti mencari keuntungan
saja.
M Pertambangan : Kita semua harus berpartisipasi di dalam program pembangunan
pemerintah.
Abisavam : Ikut berpartisipasi artinya ikut berpendapat, ikut menilai dan ikut
mengontrol jalannya pembangunan. Jadi tidak asal setuju saja (Rendra,
1975: 57)
(3) Situasi Akhir: karena mendapatkan tentangan yang tegas dari Abisavam dan
kaum Suku Naga dan pernyataan yang terkesan ―menggurui‖, akhirnya Insinyur pun pergi dan
akan melaporkan hasil dialognya pada atasan.
M Pertambangan : Semuanya ini akan saya laporkan pada atasan.
Abisavam : Bagus sekali. Tetapi jangan lupa : hendaknya saudara laporkan juga
kepada rakyat.
Abivara : Saya akan melaporkan pada kawan-kawan.
Carlos : dan aku akan melaporkannya kepada koran-koran di luar negeri.
(Rendra, 1975: 57-58)
4.1.2.6 Skema aktansial dan model fungsional 6
SKEMA AKTAN 6
a) Kalimat inti aktansial
Suatau hari lainnya, datanglah bertruk-truk tentara lengkap dengan senjatanya, beserta
tank dan jeep. Seluruh warga Suku Naga menjadi gempar dan menegangkan. Ternyata,
pasukan tentara (P3) tersebut mengantar Ketua Parlemen (S) untuk melakukan peninjauan
(P1) pada lokasi sengketa. Semata-mata kedatangannya tiada lain adalah untuk menekan Suku
Naga agar mau menerima rancana pembukaan lokasi tambang di atas tanah kaum Suku Naga.
Pengirim Objek Penerima
Meninjau Suku naga
Suku Naga Sri Ratu
Penghalang
Abisavam, dan
Abivara.
Subjek
Ketua Parlemen
Pendukung
Pasukan tentara
lengkap dengan
senjata
25
Tindakannya ini sebagai bentuk kemarahan Sri Ratu (P2) karena upaya pembredelan koran
masih tidak berhasil membungkam Carlos. Namun, lagi-lagi Abisavam beserta Abivara (P4)
menghadapinya dengan tenang dan penuh ketegasan.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Datanglah ketua parlemen beserta pasukan tentara ke wilayah
kaum Suku Naga. Warga suku naga menjadi gemapar dan tegang. Abisavam telah paham
bahwa kedatangannya dengan congkak dan maksud menggertak.
K Parlemen : Saudara-saudara, saya adalah Ketua Parlemen, barangkali saudara-
saudara sudah tahu, karena sudah melihat potret saya di koran-koran.
Abivara : Mau apa datang kemari?
K Parlemen : Apakah kamu kepala desanya?
....
K Parlemen : ... saya ingin ketemu dengan kepala desa saudara.
Abivara : ... ayah, ada orang ingin bertemu dengan ayah. Ia adalah Ketua
Parlemen
Abisavam : Ketua Parlemen, jadi ia wakil rakyat. Kita ini rakyat. Jadi itu wakil
kita, bukan?
Abivara : Ya, ayah
Abivasam : O Ya? Saya tidak senang kepada saudara
K Parlemen : Saudara jujur sekali.
Abivasam : Terima kasih, saya tidak senang kepada cara saudara datang dan
menegur sapa. Saudara seperti orang mau menggertak. (Rendra, 1975:
62-63)
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: lagi-lagi terjadi percekcokan, Abisavam tak habis-habisnya
mengingatkan Ketua Parlemen bahwa ia adalah wakil rakyat. Harus mewakili suara rakyat
dan patuh pada arahan rakyat. Namun dengan penuh ancaman, Ketua Parlemen pun terus
mengeritik kejujuran Abisavam dan mengingatkan tentang pentingnya pengarahan dari
pemerintah. Ketua Parlemen pun dengan sangat jelas memperingatkan Abisavam untuk
berhati-hati dalam berbicara.
K Parlemen : di samping jujur, orang juga harus berhati-hati di dalam bicaranya.
(Rendra, 1975: 63)
II. Tahap Utama: mendapan jawaban Abisavam yang terkesan ngeyel, tekanan dari
Ketua Parlemen terhadap Abisavam ditambahi ancaman. Bahwa dalam masalah sosial-politik,
orang juga harus berhati-hati agar tidak dianggap anti pemerintah.
26
Abisavam : Betul. Saya selalu berhati-hati agar saya tidak berhianat kepada naluri
saya, tidak pula menyalahi agama saya.
K Parlemen : Di dalam masalah sosial-politik, saudara harus pula berhati-hati.
Abisavam : ya, berhati-hati agar saya tidak pernah menghianati kepentingan rakyat
miskin dan hanya menjilat golongan kecil yang kaya dan berkuasa.
K Parlemen : Sangat sayang kalau orang seperti saudara dianggap anti pemerintah.
(Rendra, 1975: 65)
III. Tahap Kegemilangan: Ketua Parlemen kehabisan cara dan pembicaraan dalam
menghadapi Abisavam yang selalu membenturkan tugas Ketua Parlemen terhadap rakyat
dengan maksud kedatangannya ke wilayah Suku Naga atas perintah Sri Ratu.
Abisavam : Tadi saudara sebut saya orang jujur, tiba-tiba sekarang dikuatirkan
anti pemerintah. Orang jujur seharusnya kan malah dianggap berguna
bagi pemerintah! Saya ingin keadilan. Saya tidak ingin pergantian
pemerintah.
K Parlemen : Sungguh sulit berdebat dengan saudara.
Abisavam : Lho, saudara kan sebagai wakil rakyat harus pandai berdebat. Sayang
kalau hanya bisa bilang setuju saja. (Rendra, 1975: 65)
(3) Situasi Akhir: karena pembicaraannya selalu tersudutkan, K Parlemen
bermaksud pamit, namun abisavam menahannya dan mencairkan suasana dengan meminjam
penyulut rokok. Kemudian K Parlemen pun melunak dan kalah kewibawaannya oleh
Abisavam.
4.1.3 Sekema aktan utama
Dari ke enam aktan di atas, maka bisa dijadikan dalam satu aktan utama yang membalut ke
enam aktan tersebut dan menjadi satu struktur cerita yang utuh.
SKEMA AKTAN UTAMA
Pengirim Objek Penerima
Kekayaan barang tambang tembaga
di bukit Saloka
Barang
Tambang
Tembaga
Big Boss
Subjek
Big Boss
Pendukung
Mr. Joe, Ratu Astinam, dan petinggi
Astinam
Penghalang
Abisavam, Abivara,
Carlos, Kaum Suku
Naga, Koran-koran,
Unicef
27
a) Kalimat inti aktansial
Karena kekayaan barang tambang di bukit Saloka (P1), melaui Mr Joe dan di setujui
oleh seluruh petinggi Astinam (P3) maka Big Boss (S) akan membuka areal pertambangan
lengkap dengan perumahan, hotel, casino dll demi mendapatkan barang tambang (O) yang dia
inginkan. Namun, rencananya tersebut tidak berjalan dengan mulus karena keberadaan kaum
Suku Naga di sekitar bukit Saloka tersebut. Karena keteguhan, ketegasan dan tekad
perjuangan Abisavam, Abivara, Kaum Suku Naga, dalam mempertahankan tanah adat Suku
Naga dan atas bantuan catatan jurnalistik Carlos maka upaya penggusuran oleh perusahaan
Big Boss pun mendapat kecaman dari Unicef (P4). Melihat segala upaya pemerintah Astinam
dalam membujuk secara halus atau pun kasar gagal, dan kecaman-kecaman dari luar negeri
santer terhadapnya, maka Big Boss pun mengurungkan niat eksplorasi tambang di bukit
Saloka dan mengalihkan bisnisnya pada komoditi lainnya.
b). Skema Fungsional:
(1) Situasi Awal: Para petinggi Astinam sedang berkumpul membicarakan
penyakait, dan program pembangunan. Mereka sedang keranjingan dengan kata
pembangunan, kemajuan teknologi dan perkembangan sarana kesehatan moderen untuk
menyelesaikan masalah-masalah kesehatnnya. Bukan masalah rakyat. Mereka bahkan
menyiapkan kata ―Subversif‖ bagi siapa pun yang tidak sepakat terhadap rencana
pembangunan versi mereka.
Ratu : negara kita di dalam program pembangunannya tidak akan melupakan
program kesehatan. Banyak sudak modal asing yang bersimpati kepada
program kita ini. mereka akan menanamkan modal berjuta-juta dolla
untuk mendirikan pabrik-pabrik tonikum dan pil-pil Vitamin. Lain dari
iut: proyek kita Rumah Sakit Wijaya Kusuma! Rumah sakit terbesar
dan ter modern di seluruh Asia Tenggara.
Kol Serenggi : Wah ini akan mengangkat nama bangsa
Ratu : Sayang tidak semua orang berfikir seperti kita.
Per Mentri : Banyak pikiran yang menentang kemajuan
Ratu : Dan mengganggu jalannya kemajuan.
...
Kol Serenggi : Sebagai Mentri Keamanan saya akan segera mengumumkan
pernyataan bahwa mengkritik pembangunan adalah sabotase, oleh
karena itu subversif.
Ratu : Dengan begitu tidak ada lagi oposisi
Kol serenggi : Oposisi adalah musuh
Ratu : Bagus! Lalu kita bisa bebas membangun dengan lancar. (Rendra,
1975: 25-26)
28
(2) Tahap Transformasi:
I. Tahap kecakapan: Ketika di ketahui oleh Big Boss, bahwa bukit Saloka
mengandung barang tambang tembaga di dalamnya, Big Boss berniat menggali barang
tambang tersebut dan mengutus Mr. Joe, Duta Besar, untuk mendapat ijin eksplorasi
pertambangan dari Petinggi Pemerintahan Astinam. Pada situasi awal tidak mendapat
halangan sedikit pun
Mr Joe : Inilah yang sungguh utama. Ada satu perusahaan dari negara saya
yang ingin bertanam modal yang besar di sini di dalam bidang
pertambangan. Tentu saya akan memakai saluran resmi. Sebab ia selalu
menghargai saluran resmi...
Ratu : Asal orang penuh pengertian kami pasti menghargainya. (Rendra,
1975: 36)
II. Tahap Utama: ketika terjadi pengukuran oleh insinyur, Suku Naga kian siaga dan
tetap bersikukuh untuk mempertahankan keyakinan dan keselarasan alam. menolak upaya
pertambangan bukit Saloka. Bersama kepala suku Abisavam, anaknya yang terpelajar
Abivara, serta Carlos mereka menyatakan akan memperjuangkan tanah leluhur Suku naga.
Paman : Saya akan bertahan sekuat-kuatnya,
Supaka : Jangan seorang pun diantara kamu mau mereka paksa untuk menjual
tanahmu.
Abivara : di desa suku Kariaman, dengan cara kasar maupun halus, mereka akhirnya
berhasil membeli tanah-tanah subur di situ.
Abisavam : Hal itu terjadi karena mereka berjuang sendiri-sendiri. Kita harus berjuang
bersama-sama, baru bisa berhasil. Aku merasa kuat memimpin kamu semua
Malam ini kita akan melakukan tirakatan
Carlos : Perjuangan saudara-saudara nanti akan tepat sesuai dengan peradaban.
Dunia luar akan membantu perjuangan semacam ini. cara-cara mereka
praktekan di sini di negara mereka sendiri sanagat ditentang oleh rakyat
mereka. Sekarang mereka berpikir, bahwa pemerintah dari negara yang
sedang berkembang bisa diperbodoh begitu saja. (kepada Insinyur) jangan
kamu pura-pura tidak tahu hal ini. (Rendra, 1975: 43)
III. Tahap Kegemilangan: Segala upaya negosiasi pemerintah ditolak mentah mentah
kepala Suku Naga dan kemudian ditulis sebagai berita untuk media ternama di masyarakat
dunia oleh Carlos, bahwa Big Bos bersama Pemerintahan Astinam berupaya mengusir Suku
Naga dan merusak alam. Pemberitaan ini direspon oleh masyarakat dunia dan UNESCO
29
Ratu : ... ini koran-koran luar negeri yang paling top. Sedang orang-orang
Unesco sudah mulai menyindir-nyindir program pembangunan kita!
(Rendra, 1975: 53)
(3) Situasi Akhir: Karena ketakutan akan teguran dari UNESCO, Big Boss mengagalkan
penambangan di bukit Saloka dan membuat industri musik, sarana yoga dan pelatihan
inteljen. Kemudian mencabut injin tinggal Carlos dari Astinam demi kelancaran rencana
selanjutnya. Berikut pembicaraan antara Big Boss dengan Mr Joe:
Mr Joe : sebenarnya saluran di dalam negeri Astinam sudah cukup licin.
Pemerintahnya sudah bisa saya desak untuk lebih .... ya, istilahnya di
sini menciptakan kerapian demi pembangunan. Boleh dikatakan semua
opsisi sudah berhasil di bungkam. Cuma tinggal Suku Naga saja
(Rendra, 1975: 67)
Boss : desaklah ratu Astinam untuk mengusir wartawan-wartawan seperti
Carlos itu. (Rendra, 1975: 68)
Mr Joe : saya sudah berusaha keras, Boss. ...ini adalah persoalan di negara-
negara mana pun. ... saya suka berusaha. Tetapi batas memang ada.
Suku Naga jangan di sentuh-sentuh. Unesco bisa ribut.
Boss : Mundur terang bukan sifatku. Tetapi tak apa untuk pindah usaha.
Dewasa ini industri yoga dan agama lebih menguntungkan dari pada
pertambangan. Yah, naga-naganya harus aku produsir nabi-nabi baru.
Mr Joe : musik-musik pop bisa kita industrikan sebagai agama, dan para
bintangnya bisa dibikin jadi nabi.
4.2 Lingkungan Sosial WS Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935;
umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia
mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di
Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada
sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah
penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota
kelahirannya itu. Dengan riwayat pendidikan: TK Marsudirini, Yayasan Kanisius. SD s/d SMU
Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955. Kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas
Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat. Kemudian
mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).
30
Sebagai sastrawan, bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku
SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita
pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga
piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai
pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui
majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah
pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut
seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an
dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan ―Orang-
Orang di Tikungan Jalan‖ adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah
pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat
itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya.
Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa
dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu
angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari
karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam
International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New
Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the
Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di
Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika
kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel
Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam
kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis
bagi kegiatan keseniannya.
31
Sebagai bentuk apresiasi, ada beberapa Penelitian tentang karya Rendra diantaranya
oleh Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya
terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian
puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul ―A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920
to 1974‖. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama
Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen
(1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag
von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Selain itu, bentuk apresiasi dalam bentuk penghargaan yang didapatkan oleh WS
Rendra adalah: Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954). Hadiah Sastra Nasional BMKN
(1956). Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970). Hadiah Akademi Jakarta
(1975). Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976).
Penghargaan Adam Malik (1989). The S.E.A. Write Award (1996). Penghargaan Achmad
Bakri (2006).
Berikut ini adalah beberapa karya WS Rendra;
Naskah Drama: Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Bip Bop Rambaterata (Teater
Mini Kata), SEKDA (1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor
(1972), Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama),
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama), Oedipus
Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex"), Lisistrata
(terjemahan), Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles),
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles), Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan
Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de
Troie n'aura pas lieu"), Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga (1975).
Sajak/Puisi: Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-
Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Jangan Takut Ibu, Mencari
Bapak, Nyanyian Angsa, Pamphleten van een Dichter, Perjuangan Suku Naga, Pesan Pencopet
kepada Pacarnya, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Rendra: Ballads and Blues Poem
(terjemahan), Rick dari Corona, Rumpun Alang-alang, Sajak Potret Keluarga, Sajak Rajawali,
Sajak Seonggok Jagung, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, State of Emergency,
Surat Cinta,
32
4.3 Lingkungan Sosial Drama Kisah Perjuangan Suku Naga
Drama Kisah Perjuangan Suku Naga merupakan penggambaran kehidupan
masyarakat saat naskah tersebut diciptakan. Drama Kisah Perjuangan Suku Naga
merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan
rezim Orde Baru, yang saat penulisan terjadi pada tahun 1970-an. Pemerintah pada waktu itu
di bawah kekuasaan Soeharto. Pada tahun 70-an begitu banyak konflik baru yang
memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan
pemerintah Orde Baru, diantaranya: kasus tanah, kemunduran ekonomi, pelanggaran
HAM, penolakan investasi besar-besaran dari jepang, yang puncaknya pada tahun 1974
kita kenal sebagai tragedi Malari.
Namun, seperti yang diutarakan Ratna (2007: 121-127) bahwa dalam proses penelitian
identifikasi, terhadapnya memerlukan penelitian yang seksama, kualitasnya ditentukan oleh
karya itu sendiri, bukan struktur sosial. Serta dalam konsep Strukturalisme Genetik, Homologi
bukan berarti reduksi dan imitasi, interdependensinya adalah struktural, bukan hubungan isi
secara langsung.
Adanya penanda ―Suku Naga‖ dalam drama karya WS Rendra, tidak bisa dikaitkan
secara langsung dengan ―Kampung Naga‖ di daerah Tasik, Jawa Barat. Sebagai petanda,
secara homolog dan struktural, di satu pihak ―suku naga‖ sejajar dengan masyarakat adat,
kearifan lokal, budaya primitif dan sebagainya. Bahkan secara tegas, Rendra (1975: 3)
menjelaskan lewat tokoh Dalang, bahwa ―Ceritaku ini, sekali lagi : tidak terjadi di Indonesia‖.
Maka mari kita bedah lingkungan sosial Kisah Perjuangan Suku Naga secara intrinsiknya saja.
Drama Kisah Perjuangan Suku Naga, secara umum mengisahkan suatu kondisi
masyarakat adat ditengah gempuran pemahaman terhadap kata ―Kemajuan Jaman‖. Secara
otomatis, kesalahan pemahaman terhadap kata ―kemajuan jaman‖ yang diartikan pembangunan
sarana-sarana modern, berbenturan keras dengan pemahaman pelestarian budaya adat kampung
Suku Naga.
Pemerintah Astinam, saat itu sedang menjalankan proyek pembangunan besar-besaran.
Bantuan modal dan hutang luar negeri melimpah ruah, juga terhadap program pengentasan
masalah kesehatan. Pelaksanaan program pembangunan sama sekali tidak mau terganggu, tidak
boleh ada kritik apa lagi penolakan. Siapa pun yang menghalangi akan disebut subversif.
Seperti kutipan dibawah ini.
33
Ratu : negara kita di dalam program pembangunannya tidak akan melupakan
program kesehatan. Banyak sudak modal asing yang bersimpati kepada
program kita ini. mereka akan menanamkan modal berjuta-juta dolla untuk
mendirikan pabrik-pabrik tonikum dan pil-pil Vitamin. Lain dari iut: proyek
kita Rumah Sakit Wijaya Kusuma! Rumah sakit terbesar dan ter modern di
seluruh Asia Tenggara.
Kol Serenggi : Wah ini akan mengangkat nama bangsa
Ratu : Sayang tidak semua orang berfikir seperti kita.
Per Mentri : Banyak pikiran yang menentang kemajuan
Ratu : Dan mengganggu jalannya kemajuan.
...
Kol Serenggi : Sebagai Mentri Keamanan saya akan segera mengumumkan pernyataan
bahwa mengkritik pembangunan adalah sabotase, oleh karena itu subversif.
Ratu : Dengan begitu tidak ada lagi oposisi
Kol serenggi : Oposisi adalah musuh
Ratu : Bagus! Lalu kita bisa bebas membangun dengan lancar. (Rendra, 1975: 25-
26)
Sementara bagi kaum Suku Naga, kehidupan itu harus menjaga keseimbangan antara
manusia dan alamnya. Harus saling bertukar karya, dari segala jenis tumbuhan ada yang
menjadi buah, sayur, kayu, dan keteduhan, maka manusia harus mampu menanam dan
merawatnya. Dan kesuburan adalah hasil keselarasan antara keyakinan dan kerja keras.
Pernyataan di atas bisa dilihat dari kutipan dibawah ini:
Abisavam : Kemarin dan esok adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa. (Rendra, 1975: 19)
Koor : Pohon buah-buahan
Pohon kayu-kayuan
Segala macam pepohonan
Adalah saudara kita.
Yang satu memberi makan,
Yang satu memberi bahan peralatan
Yang lain memberi keteduhan,
Dan kita harus melindungi mereka.
Inilah hubungan alam
Menurut karma. (Rendra, 1975: 19)
Koor : Dan di kali kaum wanita mencuci.
Belut dan siput di selokan
Burung tekukur menyanyi di kuburan.
Sedang di langit bersama surya
Arwah leluhur memukul gamelan.
Ayo! Ayo!
34
Seluruh alam bertukar karya
Saling bekerja sama.
Kaum Suku Naga pun memiliki atauran dalam pembagian lahan garapan yang adil dan
sesuai kemampuan. Suku Naga tidak memperbolehkan praktik jual beli tanah, karena dari
situlah tuan tanah lahir.
Abisavam : ... Kalian sudah tahu dasar pandangan yang kita pegang: setiap petani harus
punya tanah. Jadi di dalam pembagian ini yang diutamakan adalah mereka
yang belum punya tanah: petani-petani remaja yang perlu tanah untuk
bekerja.
Orang yang sudah punya banyak tanah, seperti saya ini akan diperhatikan
belakangan.
Sekali lagi ditekankan, tanah yang didapat harus dikerjakan sendiri. Tanah di
desa ini tidak boleh diperjual belikan dengan orang luar desa.
Orang harus menjadi penduduk desa ini dan tinggal di sini ...
Orang yang tidak membuka ladang tak akan mendapat tanahnya, biar pun ia
punya uang untuk membelinya
Koor : Setuju, Abisavam.
Memang begitulah abad kita
Petani harus melindungi tanahnya
Tanpa tanah petani Cuma alat tuan tanah
Seperti kerbau atau lembu
Bahkan bagi, bagi si tuan tanah: petani dibanding lembu
Si lembu, lebih ada uangnya.
Bahkan ketika, Supaka, adik ipar Abisavam merengek minta ijin menjual tanahnya
untuk menambah modal berdagang. Karena ia telah janda dan tak bisa bertani maka ia berpikir
bisa menjual tanah bagian almarhum suaminya. Namun ternyata Abisavam tetap memegang
teguh adat leluhurnya dan tidak mengijinkan Supaka menjual tanahnya.
Benturan pemahaman antara kemajuan jaman dan kearifan lokal, atau antara Pemerintah
Astinam dengan Kaum Suku Naga, di awali oleh adanya ajuan eksplorasi barang tambang di
bukit Saloka, wilayah kaum Suku Naga. Dari konflik tersebut, keteguhan mereka untuk
mempertahankan tanah adatnya diuji. Mulai dari pemahaman hingga represi mereka dapatkan.
Namun Abisavam memang memiliki pemahaman yang maju. Ia menolak mentah-mentah
konsep pariwisata budaya, ia memahami peran dan fungsi semestinya pemerintah, sehingga
Suku Naga tetap terjaga dan tidak tergoyahkan.
Ditambah putra Abisavam yang bernama Abivara, telah menyelesaikan sekolahnya di
luar negeri. Namun pemahaman dan cita-citanya untuk memajuakan kampung halamannya
tidak terkikis sedikit pun, malah bertambah. Sikap dan pandangan hidupnya tercermin dalam
dialognya bersama Setyawati.
35
Dalam pandangan kaum Suku Naga, kemajuan jaman tidak selalu sejajar dengan
pembangunan sarana dan fasilitas yang serba modern. Pembangunan dipahami sebagai upaya
untuk mempermudah dan memecahkan masalah yang ada seperti pembangunan irigasi dan
jalan. Pebangunan jangan sampai menjadi alasan penggusuran, karena itu melahirkan
penindasan. Bagi Kaum Suku Naga, pemujaan terhadap dewi kesuburan dan sikap
mengkramatkan sungai atau pepohonan adalah bentuk penghargaan, upaya untuk mengingat
kesuburan, dan rasa trima kasih pada alam. Bukan semata-mata animisme dan ketertinggalan
jaman karena serba ketidaktahuan seperti penilaian yang diberikan orang-orang kota terhadap
keberadaan mereka.
4.4 Pandangan Dunia Pengarang dalam Kisah Perjuangan Suku Naga
Tokoh problematik dalam drama Kisah Perjuangan Suku Naga adalah tokoh yang
bernama Abisavam. Abisavam ditentukan sebagai tokoh problematik karena Abisavan
merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan
tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah inilah pengarang memberikan solusi
atas permasalahan yang sedang dihadapinya.
Masalah seolah sering menghadapi Abisavam ia adalah seorang kepaladesa atau
kepala suku dan ia bertekad kuat untuk menjaga budaya leluhurnya dan merasa kuat untuk
memimpin kaum Suku Naga dalam menghadapi segala persoalan. Untuk menghadapi
persoalan yang besar (konflik dengan Astinam), pengarang menghadirkan tokoh Carlos,
teman Abivara dari luar negeri.
Kemunculan Carlos memang sebelum konflik tersebut dimulai, carlos datang bersama
Abivara yang baru pulang dari masa sekolahnya di Luar negeri. Turut sertanya Carlos beserta
Abivara didasari satu alasan, ketetarikannya untuk melakukan liputan Suku Naga yang selalu
diceritakan Abivara selama belajar di luar negeri.
Lewat tokoh Abivara dan Carlos lah, kita bisa melihat pandangan Rendra terhadap
konflik yang terjadi dalam Kisah Perjuangan Suku Naga. WS Rendra, yang berlatar belakang
kelas menegah ke atas, berafiliasi dan lahir kembali dengan pengetahuan dan pandangan kelas
kaum Suku Naga.
Keberadaan tokoh Abivara, memang tidak begitu dominan. Namun, sosok nya adalah
simbol kejauan cara berpiki kaum Suku Naga. Seolah menegaskan bahwa kaum Suku Naga pun
36
berpendidikan tinggi, berwawasan luas, namun tidak gelap mata pada modernitas yang
menjajah masyarakat kota. Di bawah ini kritikan terhadap kehidupan di perkotaan.
Abivara : itulah pendapat yang kurang terpelajar.
Seharusnya mereka tahu bahwa orang desa lebih produktip dari pada orang
kota. Orang desa memprodusir hasil bumi. Tetapi orang kota memprodusir
apa? Mereka hanya mampu mengimpor. Ekonomi mereka hanya ekonomi
tukang kelontong. Atau mereka hanya mampu menciptakan birokrasi. Dan
birokrasi adalah penghambat kemajuan. (Rendra, 1975: 39)
Dari pernyataan Abivara di atas, kita bisa menilai seperti apa pandangan WS Rendra, ia
lebih menghargai kehidupan di pedesaan dari pada kehidupan di perkotaan. Dan lewat tokoh
Abivara, ia seolah menyatakan bahwa sekolah di luar negeri bukan berarti tercerabut dari akar
budaya tempat kelahirannya.
Dalam riwayat pendidikannya, WS Rendra pernah mendapatkan beasiswa kuliah di
American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967). Sepulannya ia dari Amerika, kemudian
ia lebih memilih mendirikan Bengkel Teater dengan konsep ―manjing ingkahanan‖-nya.
Pilihan pada jalan seni yang terlibat itu sebenarnya telah disadari Rendra ketika dilatih dan
diajar ilmu kebatinan oleh pembantu rumah tangganya, Janadi. Menurut bahasa Rendra
sendiri, prinsip ini diterjemahkan sebagai semangat untuk hadir dan mengalir. ‖Hadir itu
berada di tengah masyarakat, mengalir mengikuti perkembangan. Hidup itu adalah universitas
kehidupan bagi Rendra,‖ kata Budayawan dan anggota awal Bengkel Teater Rendra saat
bermarkas di Yogyakarta, Bakdi Soemanto. Satu hal yang sebenarnya dirindukan Rendra
adalah keseimbangan, adil, merdeka, punya banyak pilihan, membela kehidupan dan memiliki
banyak harapan, serta tak ada penindasan. Pekerjaan besar yang ‖diwariskan‖ Rendra kepada
kita adalah penyadaran harga diri bangsa, keberpihakan kepada hidup, keberanian, dan
menolak menjadi koma (KOMPAS, Sabtu 8 Agustus 2009).
Pernyataan bakdi di atas, mendapatkan pencerminannya dalam dialog Abivara saat di
tuding melawan pemerintah oleh Ketua Parlemen. Juga dalam pernyataan Carlos saat
menghadapi Insinyur.
Abisavam : Tadi saudara sebut saya orang jujur, tiba-tiba sekarang dikuatirkan anti
pemerintah. Orang jujur seharusnya kan malah dianggap berguna bagi
pemerintah! Saya ingin keadilan. Saya tidak ingin pergantian pemerintah.
Carlos : Saya akan menulis barita mengenai hal ini. saya akan memberikan gambaran
yang sedalam-dalamnya. Di negeri perusahaan orang-orang ini berada suara
rakyat sangat diperhatikan. Parlemen mereka adalah parlemen betul-betulan.
37
Jadi melewati surat kabar mereka saya akan memberi laporan apa yang
dikerjakan oleh salah satu perusahaan raksasa negeri mereka di Astinam ini. ...
Carlos : Perjuangan saudara-saudara nanti akan tepat sesuai dengan peradaban.
Dunia luar akan membantu perjuangan semacam ini. cara-cara mereka
praktekan di sini di negara mereka sendiri sanagat ditentang oleh rakyat
mereka. Sekarang mereka berpikir, bahwa pemerintah dari negara yang
sedang berkembang bisa diperbodoh begitu saja. (kepada Insinyur) jangan
kamu pura-pura tidak tahu hal ini. (Rendra, 1975: 43)
Maka nyatalah bahwa sikap politik Rendra bukanlah sebagai oposisi sebuah rezim.
Sejalan dengan kesaksian Sapardi bahwa Rendra sesungguhnya bukan sekadar penyair atau
dramawan. Ia memperjuangkan hakikat manusia ‖bebas‖, yang senantiasa berpikir mandiri,
tanpa mau ditekan atau dipengaruhi oleh kekuasaan. Itulah yang bisa menjelaskan mengapa
pada tahun 1975 sepulang dari bersekolah di American Academy of Dramatic Art, New York,
Amerika Serikat, ia menggelar Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta.
Peristiwa itu selalu dikenang Rendra sebagai gerakan penyadaran kebudayaan. Ia selalu
mengatakan, ‖Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak pada apa pun atau siapa
pun, akan tetapi pada kebenaran.‖ Bisa pula dimengerti mengapa ia selalu menuliskan dan
mementaskan drama-dramanya yang sarat akan kritik terhadap kesewenang-wenangan
penguasa (KOMPAS, Jumat 7 Agustus 2009).
Keperdulian dan keberpihakan Rendra yang tercermin dalam Kisah Perjuangan Suku
Naga, tidak semata-mata hadir begitu saja dalam jiwa seorang Rendra. Berikut adalah kutipan
langsung wartawan Kompas, saat liputan pemakaman Wahyu Sulaiman Rendra yang
menggali proses kreatif WS Rendra dari keluarganya,
‖Secara ringkas, disiplin dan cara olah kreatif itu dirumuskan dalam kalimat
Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi, yang dalam bahasa
Indonesia kontemporer berarti 'Masuk ke dalam kontekstualitas, meraih
kehendak Allah'.‖ Masuk ke dalam kontekstualitas itu, menurut Rendra,
bekalnya adalah rewes dan sih katresnan. Rewes adalah kepedulian. Sih
katresnan adalah cinta kasih (karisma).
‖Maka seorang yang kreatif harus selalu berusaha agar ia selalu mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat.
Mulai dari lingkungan yang terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya,
negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit,
38
samudra, alam semesta raya,‖ kata Rendra.
...
‖Latihan kepedulian dan kecermatan kepedulian ini harus menjadi usaha
sehari-hari sehingga bisa menghasilkan banyak pengetahuan akan detail, dan
juga bisa memperdalam dan memperluas wawasan kesadaran jiwa dan
pikiran,‖ kata Rendra.
‖Disiplin kepedulian ini harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul,
artinya merangkul, yaitu keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini
harus mulai dari keterlibatan kepada lingkungan terkecil sampai ke lingkungan
yang jauh melebar,‖
(Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009)
39
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari analisis Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Stuktur Drama Kisah Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra ini terdiri atas tokoh
dan penokohan yakni dengan tokoh utama Abisavam. Abisavam digambarkan sebagai tokoh
yang berwibawa, berpendirian tegus, memiliki pemahaman kearifan budaya yang sangat
dalam, bijak, dan tenang dalam menghadapi masalah. Alur dalam Drama Kisah Perjuangan
Suku Naga karya WS Rendra dibagi menjadi dua yaitu alur utama dan alur bawahan. Alur
utama yaitu alur yang merujuk pada penceritaan tokoh Abisavam, sedangkan alur bawahan
yaitu alur yang merujuk pada penceritaan tokoh Sri Ratu, Abivara, Carlos. Latar cerita pada
Drama Kisah Perjuangan Suku Naga terjadi di Lingkungan Pemerintahan Astinam,
wilayah kaum Suku Naga, dan ruang kerja Mr. Zoe. Adapun tema dalam Drama Kisah
Perjuangan Suku Naga adalah pentingnya mempertahankan tanah adat guna kelestarian
budaya leluhur yang mengedepankan keselarasan hidup bersama alam.
2. Dilihat dari lingkungan sosial pengarangnya, WS Rendra merupakan
budayawan, dramawan, prosais dan penyair besar yang memiliki tingkat pendidikan tinggi
dengan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap adat dan budaya yang bijak terhadap alam.
Rendra bukan aktivis, apalagi politikus (meski di akhir hayatnya pernah merapat pada
pasangan Mega dan Prabowo), ia hanya inginkan keadilan, membenci penindasan, dan
memimpikan perwujuan UUD 1945 dan aplikasi dari Pancasila sepenuhnya.
3. Dilihat dari lingkungan sosialnya, Kisah Perjuangan Suku Naga merupakan
penggambaran kehidupan masyarakat adat di Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde
Baru yang terjadi pada tahun 1970-an. Ketika itu, pemerintah sedang gandrung dengan kata
pembangunan yang menggusur tanah-tanah rakyat dan ulayat, menyedot pinjaman dan
investasi luar negeri, banayk terjadi pelanggaran HAM, dan puncaknya pada 1954 kita kenal
sebagai tragedi Malari.
Kaum Suku Naga hanay menginginkan keselarasan hidup dengan alam. Penolakannya
terhadap pariwisata budaya, pembangunan, dan ―kemajuan‖ versi pemerintah, bukan berarti
melawan pemerintah dan berkeinginan menggulingkan sebuah rezim. Suku Naga hanya ingin
40
keadailan, pembanguanan tanpa penggusuran, dan perlindungan serta pelestarian budaya adat
secara alamiah.
4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam Kisah Perjuangan Suku
Naga terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi
oleh tokoh problematik. Tokoh problematik dalam Kisah Perjuangan Suku Naga yaitu
tokoh yang bernama Abisavam. Berdasarkan Solusi yang diberikan oleh pengarang pada
tokoh problematik ini dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yaitu
pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk adat dan
pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa kemajuan jaman bukan berarti
meninggalkan kearifan budaya leluhur dan merusak kestabilan hidup antara manusia dengan
alamnya. Lebih dari itu, pengarang ingin menyatakan bahwa keberadaan, peran, dan fungsi
pedesaan sangat penting bagi negara agraris yang mandiri. Hal ini terlihat dari pemberian
solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi
tersebut sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
41
Daftar Pustaka
Damono, D.S. 2004. ―Teori dan Aplikasi Sosiologi Sastra‖. Makalah Pelatihan
teori dan Kritik Sastra, 27-30 Mei.
Kompas, Jumat 7 Agustus 2009. "Burung Merak" Itu Pun Terbang Dimakamkan Setelah
Shalat Jumat di Citayam
Kompas, Jumat 7 Agustus 2009. Hidup Bukanlah untuk Mengeluh dan Mengaduh
Kompas, Sabtu 8 Agustus 2009, Rendra Memilih Jalan Seni yang Terlibat...
Kompas, Sabtu 8 Agustus 2009, Rendra: Saya Sangat Bahagia, Ribuan Orang Antar
Kepergian Budayawan WS Rendra
Pradopo, R. D. 1995. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pujiyanti, Fariska, 2010. “Dekonstruksi Dominasi Laki-laki dalam Novel The da Vinci Code
Karya Dan Brown”. Tesis. Semarang: Undip.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rendra WS, 1975. Kisah Perjuangan Suku Naga. Yogya: Bengkel Teater
Sumiyadi. 2010. Model Pengkajian dan Pengajaran Sastra Indonesia Berbasis Sastra
Bandingan. Desertasi Pogram Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pasca Sarjana,
UPI Bandung.
Yuniati LP, 2005. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman Karya Ayu Utami.
Skripsi. Semarang: UNES