1 A³Vy~apatheykan.in/sites/default/files/19_1Oct2019.pdf · 1 A³Vy~a 2019 ^m
Palatoplasty Dengan Teknik VY
-
Upload
nurul-ramadhanty -
Category
Documents
-
view
147 -
download
14
description
Transcript of Palatoplasty Dengan Teknik VY
TEHNIK V-Y PALATOPLASTY
I. PENDAHULUAN
Celah langit-langit (palatoschisis) merupakan suatu kelainan cacat bawaan yang
banyak ditemukan. Celah langit-langit merupakan suatu keadaan dimana pada langit-
langit rongga mulut terdapat celah yang dapat mengenai langit-langit keras, langit-langit
lunak ataupun keduanya (Mc. Carthy, 1990 ; Peterson 1998)
Adanya celah pada langit-langit dapat menimbulkan gangguan pada fungsi bicara,
penelanan, pendengaran, keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis (Peterson, 1998)
Untuk mengatasi keadaan diatas, maka dilakukan suatu tindakan penutupan celah
langit-langit tersebut. Banyak metoda yang telah dikembangkan untuk menutup celah
langit-langit tersebut, antara lain metode V-Y retroposition yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Veau, Wardil dan Kilner yang akan dibahas pada makalah ini
II. ANATOMI LANGIT-LANGIT
1. ANATOMI (Gambar 1)
Langit-langit merupakan struktur tulang yang memisahkan rongga mulut dengan
rongga hidung serta memisahkan sinus maksilaris dengan rongga mulut. Pada
garis tengahnya terdapat sutura yang memisahkan tulang palatina, maksila dan
premaksila kiri dan kanan. Bagian ini disebut palatum durum dan pada bagian
posterior terdiri dari jaringan lunak yang disebut sebagai palatum molle.
Langit-langit keras dibentuk oleh maksila, premaksila dan tulang palatum
dimana terdapat bagian-bagian penting yaitu foramen palatinus mayus dan minus
serta foramen insisivum. Langit-langit lunak dibentuk oleh otot-otot yaitu m.
tensor veli palatini, m.levator veli palatini, m. palatoglossus, m. palatopharingeus
dan m. uvulae
Langit-langit dilapisi oleh lapisan mukoperiosteum pada bagian rongga
mulut yang merupakan lapisan epitel berlapis gepeng dengan ketebalan bervariasi,
sedangkan bagian nasal dilapisi oleh lapisan epitel kubus pseudostratified.
1
Gambar 1. Anatomi Palatum
Palatum dibatasi oleh papila atau foramen insisivum dibagian anterior dan
meluas kedaerah posterior meliputi struktur langit-langit keras, langit-langit lunak
dan uvula. Struktur yang terletak dibagian anterior foramen insisivum terdiri dari
alveolus, bibir atas dan ujung hidung yang disebut sebagai struktur prepalatal atau
palatum primer, sedangkan daerah posterior foramen insisivum disebut palatum
atau palatum sekunder. Sedangkan foramen insisivum merupakan batas pemisah
antara keduanya.
Maksila bertemu satu dengan yang lain pada garis tengan pada palatum
normal. Pertemuan maksila dibagian anterior pada foramen insisivum dan meluas
kearah posterior dengan dua tulang palatum. Arah superior, maksila membentuk
parit tulang yang memegang septum karilago nasal dianterior dan vomer
diposterior. Premaksila terletak ditengah dan anterior dari foramen insisivum.
Premaksila meliputi spina nasalis dan empat gigi insisif. Tulang palatum meliputi
tepi posterior palatum keras, termasuk foramen palatinus mayus dan minus pada
kedua sisi yang mengandung arteri untuk vaskularisasi utama palatum maupun
syaraf untuk inervasi sensoris yang berasal dari N.trigeminus. Pada foramen
insisifum juga dilewati pembuluh darah dan sayaraf.
2
Tulang palatum bertemu dengan lempeng medial dari tulang
sphenopterigoideus yang membentuk hamulus pterigoideus. Hamulus ini berperan
sebagai katrol untuk otot tensor velipalatini.
2. OTOT-OTOT
Langit–langit lunak terdiri dari serabut-serabut otot yang berfungsi
menggerakan bagian langit-langit lunak untuk menjalankan aktivitas dan fungsi
palatum terutama fungsi bicara dan penelanan. Otot-otot tersebut terdiri dari
(gambar 2.):
A. M. Tensor Veli Palatini
Otot ini berorigo pada fossa scaphoidea os sphenoidale pada lamina
lateralis cartilago tubae auditivae, lamina membranacea tuba auditivae dan
spina angularis os sphenoidale. Semua serabut-serabut otot ini berinsersi pada
palatum molle, kearah ventral, medial dan caudal, lalu membelok ke medial.
Belokkan ini disebabkan karena harus melewati hamulus processus
ptrigoideus dari lateral dan kaudal, sehingga tepat pada belokan ini jaringan
otot sementara diganti oleh jaringan ikat. Dengan demikian tempat ini
merupakan salah satu katrol.
B. M. Levator Veli Palatini
Otot ini berorigo tepat disebelah ventral foramen karotikus eksternus pada
facies kaudalis pyramid os temporalis, lalu pada lamina cartilaginea medialis
tuba auditivae. Jurusan serabut otot ini kearah ventromediocaudal dan
berakhir pada palatum molle. Otot ini menyebabkan penonjolan pada dinding
nasopharing disebelah caudaventral torus tubarius. Kontraksi otot ini
mempengaruhi ukuran lebar tuba auditivae.
C. M. Palatopharyngeus
Otot ini berorigo pada linggir dorsal lamina thyroidea disebelah ventral
dari m. constrictor pharyngeus inferior dan tempat insersinya pada palatum
molle
3
D. M. Glossopalatinus
Mulai dari pinggir lateral bagian dorsal lidah dan sekaligus berhubungan
dengan m. tranversus linguae. Insersinya berada pada palatum molle
E. M. Uvulae
Terletak didalam uvula serta berhubungan erat dengan insersi m.tensor veli
palatini.
Gambar 2. Anatomi otot-otot palatum
3. PERSYARAFAN
Dinding lateral dan posterior pharing dipersyarafi oleh syaraf sensoris
glossofaringeus (N.IX). Otot-otot pada palatum molle dipersyarafi oleh syaraf
motorik cabang dari nervus vagus (N.X.) kecuali m.tensor veli palatini oleh
cabang nervus mandibularis. Sedangkan pada palatum durum dipersyarafi oleh
(gambar 3.):
A. N. Palatinus Mayus
Nervus palatinus mayus merupakan cabang ganglion sphenopalatinus
yang terbesar, turun melalui kanalis palatinus mayus bersama-sama arteri
palatinus mayus cabang dari arteri maksilaris. Saraf dan arteri keluar ke
palatum melalui foramen palatinus mayus berjalan kearah insisivus dan
berhubungan dengan cabang terminal saraf sphenopalatinus.
4
B. N. Nasopaltinus
Nervus nasopalatinus berasal dari ganglion sphenopalatinus, memasuki
rongga hidung melalui foramen sphenopalatinos. Nervus ini memasuki kanalis
insisivus dan keluar melalui foramen insisivus dan memasuki rongga mulut
sebagai nervus nasopalatinus yang mempersyarafi mukoperiosteum palatum
durum
C. N. Palatinus Minus
Cabang ganglion sphenopalatinus yang berjalan ke inferior, membawa
serabut N. fasialis (N.VII), kemudian keluar melalui foramen palatinus minus
untuk menginervasi langit-langit lunak bagian postero-lateral
Gambar 3. Persyarafan pada palatum
4. VASKULARISASI (gambar 4)
A. Arteri Palatinus Mayus
Arteri Palatinus mayus merupakan cabang dari arteri maksilaris interna
yang berjalan ke inferior sebagai arteri palatina descendens, melalui fisura
pterigopalatinus sampai ke fossa pterigopalatinus, berjalan bersama-sama nervus
palatinus mayus , mensuplai darah ke mukoperiosteum palatum durum
5
B. Arteri palatinus Minus
Merupakan cabang posterior arteri palatina descendens yang keluar
melalui foramen palatinus minus dan mensuplai darah ke palatum molle
C. Arteri Nasopalatinus
Merupakan cabang dari arteri sphenopalatinus yang keluar melalui
foramen insisivum dan beranastomose dengan arteri palatinus mayus
D. Arteri Faringeus Ascendens
Arteri ini merupakan cabang dari arteri fasialis yang berjalan ke kranial
kemudian membelok ke kaudal bersama otot levator veli palatini memasuki
palatum molle.
Gambar 4. Vaskularisasi pada paltum
III. KASIFIKASI
Beberapa ahli telah mengemukaan klasifikasi celah langit-langit sebagai berikut :
1. klasifikasi menurut Veau (Smith, 1983) (gambar 5):
A. Celah langit-langit lunak saja
B. Celah langit-langit lunak dan keras, yang tidak melewati foramen insisivum
C. Celah langit-langit unilateral komplit yang melibatkan tulang alveolar
D. Celah langit-langit dan alveolar bilateral komplit
6
Gambar 5. Klasifikasi celah langit-langit menurut Veau
2. klasifikasi menurut Kernahan dan Stark (Smith, 1983) (gambar 6)
A. Celah palatum primer unilateral inkomplit kiri
B. Celah palatum primer unilateral komplit kiri dan berakhir pada foramen insisivum
C. Celah palatum primer bilateral komplit
D. Celah palatum sekunder inkomplit
E. Celah palatum sekunder komplit
F. Celah palatum primer kiri dan sekunder komplit
G. Celah palatum primer dan sekunder komplit bilateral
H. Celah palatum primer inkomplit kiri dan celah palatum sekunder inkomplit
IV. WAKTU PEMBEDAHAN CELAH LANGIT-LANGIT
Waktu untuk dilakukannya tindakan operasi penutupan celah langit-langit masih
merupakan masalah kontroversial. Apabila dilakukan tindakan operasi yang tidak tepat
dapat menimbulkan gangguan fungsi bicara ataupun hambatan dalam perkembangan
wajah. Umumnya disepakati bahwa perbaikan celah langit-langit dilakukan pada saat usia
7
18 bulan dengan harapan fungsi bicara dan perkembangan serta pertumbuhan rahang
dapat berjalan secara maksimal (Soegondo, 1981 ; Peterson, 1998)
Menurut Witt dan Marsh (1998), terdapat 3 pilihan waktu untuk dilakukan
penutupan celah langit-langit, sebagai berikut :
1. Penutupan celah langit-langit secara lengkap pada waktu dini (early) saat penderita
berusia kurang dari 12 bulan, dengan harapan akan mendapatkan hasil fungsi bicara
yang memuaskan
2. Penutupan celah langit-langit secara lengkap pada waktu yang lambat (delayed) saat
penderita berusia 12 sampai 24 bulan. Hal ini merupakan kompromi antara hasil
bicara dan pertumbuhan wajah yang diharapkan
3. Penutupan palatum lunak yang dilakukan saat penderita berusia 6 bulan kemudian
diikuti penutupan paltum keras saat penderita berusia 6 tahun. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil bicara yang baik dengan menutup palatum lunak secara dini dan
mencegah gangguan pertumbuhan wajah dengan menutup palatum keras pada umur 6
tahun
Gambar 6. Klasifikasi celah langit-langit menurut Kernahan dan Stark
V. TEHNIK V-Y PALATOPLASTY (Smith, 1983 ; Bardach, 1990)
Teknik ini menekankan “pushing back” langit-langit lunak sebagai langkah
penting untuk menghasilkan fungsi bicara yang maksimal. Teknik ini ditemukan dan
8
dikembangkan oleh Veau, Wardil dan Kilner dan biasanya dilakukan untuk penutupan
celah langit-langit inkomplit (Bardach, 1990 ; Sando, 1990)
Satu keuntungan dengan flap oral mukoperiosteal V-Y yaitu flap V dapat
dirapatkan sebagai Y untuk memperoleh pemanjangan. Untuk memperoleh pemanjangan
ini, lapisan mukosa nasal harus juga diperpanjang dengan teknik Z-plasty (Smith, 1983).
Teknik V-Y Wardil-Kilner adalah sebagai berikut :
1. Disain garis insisi dimulai dekat pilar tonsila anterior terus ke tuberositas maksilaris
dan raphae pterygomandibular dekat dengan cekungan alveolar, kemudian diperluas
kearah anterior diantara alveolus dan foramen palatum mayus. Disain dilanjutkan
mengikuti lengkung alveolar dan berakhir pada daerah kaninus maksila. Disain ini
dibuat pada kedua sisi. Disain kedua merupakan perluasan yang dimulai dari bagian
paling anterior kearah apeks celah. Ini juga dilakukan pada kedua sisi, dan insisi ini
membentuk huruf V dibagian anterior yang menghadap kearah celah (gambar 7).
2. Disain pada tepi celah dilakukan sepanjang pertemuan mukosa oral dan nasal
(gambar 8)
3. Dilakukan pemberian anastesi lokal yang berisi lidokain dan adrenalin dengan
perbandingan 1:100.000 atau 1:200.000, yang berfungsi sebagai hemostatik dan
menambah ketebalan jaringan. Anastesi ini dilakukan sepanjang garis insisi dan
biarkan cairan anastesi masuk dan menyebar sepanjang permukaan jaringan hingga
keujung uvula (gambar 9).
Gambar 7 Gambar 8.
9
4. Insisi lateral pada bagian posterior dilakukan dengan pisau no.15 sampai ke otot-otot
dibawahnya, berjalan ke anterior diantara tuberositas maksilaris dan foramen
palatinus mayus. Mata pisau harus berkontak dengan tulang agar lebih mudah
melakukan insisi dan menjamin insisi hingga pe periosteum (gambar 10)
Gambar 9 Gambar 10.
5. Daerah pterygomandibular raphe diperdalam dengan ujung gunting kecil
(metzenbaum) hingga hamulus terbuka (gambar 11)
6. Tendon dan otot tensor v. palatini didorong ke posterior dari hamulus dengan kuret.
Hamulus diangkat dengan hemostat tonsil. Hal ini dilakukan pada kedua sisi (gambar
12).
Gambar 11 Gambar 12.
10
7. Tepi celah diinsisi sepanjang garis insisi dengan pisau no.11 atau 15 dari arah anterior
kearah uvula sehingga terlihat lapisan otot paltum lunak. Tidak ada jaringan yang
dibuang (gambar 13).
8. Mukoperiosteum kemudian dibuka dengan elevator atau kuret dengan gerakan
mengangkat (gambar 14)
Gambar 13 Gambar 14.
9. Berkas pembuluh darah (bundle) diangkat keluar dari foramen dengan menarik flap
dan dipisahkan dari flap (gambar 15)
10. Mukoperiosteum nasal diangkat sepanjang tepi celah dan pada sudut medial tepi
posterior paltum keras. Pemisahan diperluas hingga kedalam apponeurosis palatum
lunak dan otot-ototnya. Hal ini dilakukan pada kedua sisi hingga lapisan mukosa oral
dan nasal serta otot-otot dapat dirapatkan secara terpisah (gambar 16)
Gambar 15 Gambar 16
11
11. Penutupan dimulai dari lapisan nasal didaerah apeks celah hingga keujung uvula
dengan menggunakan chromic catgut atau vicryl 4-0 (gambar 17)
12. Puncak atau ujung uvula disatukan dengan silk 6-0. Jahitan pertama digunakan untuk
traksi ketika melakukan penjahitan permukaan nasal uvula (gambar 18)
Gambar 17 Gambar 18
13. Setelah penjahitan permukaan nasal di uvula, dilakukan penjahitan permukaan oral
dari uvula (gambar 19)
14. Penjahitan matras horizontal dilakukan untuk merapatkan lapisan otot palatum lunak
(gambar 20)
Gambar 19 Gambar 20
12
15. Flap mukoperiosteal oral dirapatkan dengan penjahitan yang dimulai dari uvula
hingga ke anterior dengan memakai vicryl 4-0 (gambar 21)
16. Setelah selesai penutupan mukosa oral, flap mukosa oral dirapatkan ke palatum keras
dengan menjahitkan secara rapat ke mukosa nasal (gambar 22)
Gambar 21 Gambar 22
17. Bentuk insisi V dan Y dirapatkan dan dijahit dengan 2 atau lebih jahitan dari flap
tertinggi hingga dasarnya (gambar 23)
18. Celah pada daerah processus hamular dapat dirapatkan dengan jahitan atu dibiarkan
terbuka dengan memasukkan bahan surgicel didalamnya (gambar 24)
Gambar 23 Gambar 24
13
VI. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada rekonstruksi celah langit-langit antara
lain timbulnya perdarahan, hambatan jalan nafas, luka terbuka atau dehisensi dan
terbentuknya fistula (Soegondo, 1981)
1. Perdarahan
Salah satu komplikasi yang paling banyal ditemuka pada tindakan palatoplasti adal;ah
perdarahan. Hal ini dapat ditanggulangi dengan kauter atau penyuntikan
vasokonstriktor (adrenalin 1:100.000 sampai 1;200.000) sebelum dilakukan insisi
untuk pembuatn flap
2. Hambatan jalan nafas
Komplikasi ini lebih banyak terjadi pada saat pasca operasi akibat adanya perdarahan
dan sekret yang yang menyumbat jalan nafas serta kemungkinan adanya oedem
laring. Untuk mengatasi keadaan ini dapat dilakukan tindakan secara lokal atau
sistemik. Tindakan lokal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan penyedotan
sekret, sedangkan secara sistemik pemberian kortikosteroid untuk oedem laring.
3. Dehisensi
Penjahitan flap mukoperiosteal palatum molle dalam keadaan tegang dapat
menimbulkan dehisensi pada saat penderita menangis, berbicara ataupun saat makan.
Untuk mengatasi hal ini, pembuatan flap haruslah dalam keadaan rileks tanpa
tegangan ketika dilakukan penjahitan
4. Fistula
Terbentuknya fistula pasca bedah dapat disebabkan karena insisi yang tidak sempurna
pada saat pembuatan flap, adanya infeksi pada luka operasi ataupun terbukanya
jahitan sebelum terjadi penyembuhan luka.
14
VII. KESIMPULAN
Dalam melakukan tindakan penutupan celah langit-langit diperlukan suatu
mobilisasi jaringan palatal yang adekuat tanpa adanya tegangan ketika dilakukan
penjahitan jaringan mukosa palatal.
Teknik operasi Wardill V-Y Flap merupakan salah satu teknik untuk
menutup celah langit-langit inkomplit, dan mempunyai keuntungan dapat
memperpanjang palatum lunak arah anteroposterior.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bardach J. 1990. Multidisciplinary Management of Cleft and Palate. WB. Saunders
Com. Philadelphia.
2. Peterson L. et al. 1998. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 3th. Edition.
Mosby Company. St. Louis.
3. Soegondo D. 1981. Sumbing Bibir dan Langitan. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
4. Smith H.W. 1983. The Atlas of Cleft Lip and Palate Surgery. Grune and Stratton.
New York
5. Sando, WC and Jurkiewicz MJ. 1990. Cleft Palate. In : Juerkiewicz MJ. Et al. Plastic
Surgery, Principle and Practice. Mosby Year Book. St. Louis.
6. Witt PD and Marsh JL. 1998. Cleft Palate Deformitas. In : Benzt ML. Pediatric
Plastic Surgery. Appleton and Lange. Stamford
15