Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.pdf
Transcript of Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.pdf
PajakPajakPajakPajak DaerahDaerahDaerahDaerah dandandandanRetribusiRetribusiRetribusiRetribusi DaerahDaerahDaerahDaerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah untuk
memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Peran pajak
dalam pembangunan terlihat dalam setiap proyek yang dilaksanakan pemerintah
selalu di dengungkan bahwa proyek yang dibangun dibiayai dari dana pajak yang
telah dikumpulkan dari masyarakat.
Pertengahan Agustus lalu DPR RI mengesahkan Undang-Undang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah yang baru untuk menentukan jenis pajak dan retribusi dengan
sistem closed list serta tarif pajak maksimum. Undang-undang baru memberikan
kontribusi yang penting untuk dunia bisnis, karena sekarang ada kepastian hukum
terkait pungutan daerah. Ketentuan Undang-Undang No. 34/2000 sebelumnya tidak
mengandung closed list pajak dan retribusi. Pasal 2 ayat 4 undang-undang tersebut
memungkinkan kabupaten/kota dapat memungut pajak lain lagi, bila memenuhi
kriteria tertentu misalnya tidak berpengaruh negatif terhadap kegiatan ekonomi.
Ketentuan yang relatif terbuka ini digunakan daerah untuk menaikkan
pendapatan aslinya. Secara finansial daerah masih sangat tergantung pemerintah
pusat. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Departemen Keuangan, Budi
Sitepu, mengatakan bahwa banyak daerah masih memiliki anggarannya hingga 90%
yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dana
dekonsentrasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu dan karena open list di atas
tersebut, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang pajak yang
sering bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan terciptanya iklim
ekonomi yang kondusif. Undang-undang yang baru tidak memberikan ruang lagi
kepada daerah untuk menciptakan pajaknya sendiri. Hal ini justru menciptakan
kepastian hukum.
Berikut merupakan beberapa definisi terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah :
1.1.1.1. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAH→ Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
Daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan NKRI.
→ Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah Daerah dan
pembangunan Daerah.
→ Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan lainnya.
→ Subjek pajak daerah adalah orang pribadi / badan yang dapat dikenakan
Pajak Daerah.
→ Wajib pajak daerah adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah diwajibkan untuk
melakukan pembayaran pajak terutang, termasuk pemungut pajak dan
pemotong pajak tertentu.
2.2.2.2. RETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSI DAERAHDAERAHDAERAHDAERAH→ Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
→ Jasa (daerah) adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya
yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
→ Jasa Umum adalah jasa yang diberikan/disediakan oleh Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan.
→ Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sektor swasta.
→ Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan,
pemanfaatan ruang, pengguanaan SDA, barang, prasarana, sarana atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
UNDANG-UNDANGUNDANG-UNDANGUNDANG-UNDANGUNDANG-UNDANGREPUBLIKREPUBLIKREPUBLIKREPUBLIK INDONESIAINDONESIAINDONESIAINDONESIA NOMORNOMORNOMORNOMOR28282828 TAHUNTAHUNTAHUNTAHUN 2009200920092009 TENTANGTENTANGTENTANGTENTANG
PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAHDANDANDANDANRETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSI DAERAHDAERAHDAERAHDAERAH
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000.
Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini
sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat
perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam
perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung
jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi
daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan
daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang
dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak
daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam
Undang-undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang
tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan
secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang
mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah
sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut
dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan hari ini adalah sebagai
berikut:
1.1.1.1. PenambahanPenambahanPenambahanPenambahan jenisjenisjenisjenis pajakpajakpajakpajak daerahdaerahdaerahdaerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3
jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan
terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3
jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan,
BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota
ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya
merupakan pajak provinsi.
a.a.a.a. PajakPajakPajakPajak RokokRokokRokokRokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini
merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok
tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang
kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu
dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada
industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan
strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya
pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari
industri tersebut.
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk
mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum
yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan
tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya
merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal
dan penegakan aturan mengenai larangan merokok).
b.b.b.b. PBBPBBPBBPBB PerdesaanPerdesaanPerdesaanPerdesaan dandandandan PerkotaanPerkotaanPerkotaanPerkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan
dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan
dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka
penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli
daerah (PAD).
c.c.c.c. BeaBeaBeaBea PerolehanPerolehanPerolehanPerolehanHakHakHakHak atasatasatasatas TanahTanahTanahTanah dandandandan BangunanBangunanBangunanBangunan (BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya
diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB
sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d.d.d.d. PajakPajakPajakPajak SarangSarangSarangSarang BurungBurungBurungBurungWaletWaletWaletWalet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat
dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan
dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang
memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan
PAD.
2.2.2.2. PenambahanPenambahanPenambahanPenambahan JenisJenisJenisJenis RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi DaerahDaerahDaerahDaerah
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/ Tera Ulang,
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan,
dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan
terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan
ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha,
dan retribusi perizinan tertentu.
a.a.a.a. RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi Tera/TeraTera/TeraTera/TeraTera/Tera UlangUlangUlangUlang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi
pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan
perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, alat ukur,
takar, dan timbang akan berfungsi dengan baik, sehingga penggunaannya
tidak merugikan masyarakat.
b.b.b.b. RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi PengendalianPengendalianPengendalianPengendalianMenaraMenaraMenaraMenara TelekomunikasiTelekomunikasiTelekomunikasiTelekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk
meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan
dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini,
keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang,
keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian
bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga
tidak melampaui 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c.c.c.c. RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi PelayananPelayananPelayananPelayanan PendidikanPendidikanPendidikanPendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan
pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan
pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai
kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan
dimaksud.
d.d.d.d. RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi IzinIzinIzinIzin UsahaUsahaUsahaUsaha PerikananPerikananPerikananPerikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban
tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah
dipungut oleh sejumlah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana
halnya dengan jenis retribusi lainnya, pemungutan Retribusi Izin Usaha
Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian kegiatan di bidang
perikanan dapat terlaksana secara terus menerus dengan kualitas yang lebih
baik.
3.3.3.3. PerluasanPerluasanPerluasanPerluasan BasisBasisBasisBasis PajakPajakPajakPajakDaerahDaerahDaerahDaerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah:
a. PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah
b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan
c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
4.4.4.4. PerluasanPerluasanPerluasanPerluasan BasisBasisBasisBasis RetribusiRetribusiRetribusiRetribusi DaerahDaerahDaerahDaerah
Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan
Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan
dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin
Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5.5.5.5. KenaikanKenaikanKenaikanKenaikanTarifTarifTarifTarif MaksimumMaksimumMaksimumMaksimumPajakPajakPajakPajak DaerahDaerahDaerahDaerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam
rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan,
penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum
beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain:
a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi
10%. Khusus untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.
b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10%
menjadi 20%.
c. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari
5% menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat
ditetapkan lebih rendah.
d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%.
e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi
25%.
6.6.6.6. BagiBagiBagiBagi HasilHasilHasilHasil PajakPajakPajakPajak ProvinsiProvinsiProvinsiProvinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan
keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada
masyarakat, pajak provinsi dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan
proporsi sebagai berikut:
No. Jenis Pajak Provinsi Kab/Kota
1 Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30%
2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70% 30%
3 Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor 30% 70%
4 Pajak Air Permukaan 50% 50%
5 Pajak Rokok 30% 70%
7.7.7.7. EarmarkingEarmarkingEarmarkingEarmarking
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan
sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan
beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai
pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh
pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut
adalah:
a. 10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan
untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana
transportasi umum.
b. 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk mendanai
pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
c. Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih baik,
iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan
daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari, serta
memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Pada akhirnya pembangunan ekonomi akan bergantung pada perbaikan
infrastruktur dan aspek mendasar lainnya seperti misalnya reformasi birokrasi,
kemudahan proses perijinan dan kerjasama konstruktif dengan semua elemen
masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah perusahaan dengan investasi dan
kemajuannya akan mampu mensejahterakan suatu daerah melalui efek
multiplikator.
JENIS-JENISJENIS-JENISJENIS-JENISJENIS-JENIS PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAH
I.I.I.I. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAHKABUPATENKABUPATENKABUPATENKABUPATEN //// KOTAKOTAKOTAKOTA
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Perdesaan & Perkotaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
II.II.II.II. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAH PROVINSIPROVINSIPROVINSIPROVINSI
1.1.1.1. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKKENDARAANKENDARAANKENDARAANKENDARAAN BERMOTORBERMOTORBERMOTORBERMOTOR
� Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan
Kendaraan Bermotor.
� Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor adalah kendaraan
bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis
jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran
isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross
Tonnage).
� Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. Kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan,
konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan
lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan
pajak dari Pemerintah; dan
d. Objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
� Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadI atau Badan yang
memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
� Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
memiliki Kendaraan Bermotor.
� Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar
1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif
dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen)
dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
� Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar
0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
� Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alatalat besar
ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling
tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
� Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
� Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan
penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
2.2.2.2. BEABEABEABEABALIKBALIKBALIKBALIKNAMANAMANAMANAMAKENDARAANKENDARAANKENDARAANKENDARAAN BERMOTORBERMOTORBERMOTORBERMOTOR (((( BBNKBBBNKBBBNKBBBNKB ))))
� Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
kepemilikan Kendaraan Bermotor.
� Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor adalah kendaraan bermotor
beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan
kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5
(lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). Dikecualikan
dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. Kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat,
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga
internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
dan
d. Objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
� Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
� Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau
Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
� Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
masing-masing sebagai berikut:
a. Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen); dan
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
� Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
a. Penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen);
dan
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh
puluh lima persen).
� Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
� Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat
pendaftaran.
� Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan
penyerahan Kendaraan Bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
� Orang pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan Bermotor melaporkan
secara tertulis penyerahan tersebut kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
� Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berisi:
a. Nama dan alamat orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan;
b. Tanggal, bulan, dan tahun penyerahan;
c. Nomor polisi kendaraan bermotor;
d. Lampiran fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; dan
e. Khusus untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan nomor pas kapal.
3.3.3.3. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKBAHANBAHANBAHANBAHAN BAKARBAKARBAKARBAKARKENDARAANKENDARAANKENDARAANKENDARAANBERMOTORBERMOTORBERMOTORBERMOTOR
� Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor,
termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.
� Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
� Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan
yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
� Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
� Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud adalah
produsen dan/atau importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk
dijual maupun untuk digunakan sendiri.
� Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
� Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).
� Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar
kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih
rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan
pribadi.
� Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden.
� Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor dilakukan dalam hal:
� Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% (seratus tiga puluh persen)
dari asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan; atau
� Diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.
4.4.4.4. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKAIRAIRAIRAIR PERMUKAANPERMUKAANPERMUKAANPERMUKAAN
� Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Permukaan. Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah:
a. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar
rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
dan
b. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang
ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
� Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
� Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
� Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
� Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian
atau seluruh faktorfaktor berikut:
a. Jenis sumber air;
b. Lokasi sumber air;
c. Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. Volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. Kualitas air;
f. Luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air; dan
g. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
� Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud diatas disesuaikan dengan
kondisi masing-masing Daerah.
� Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
� Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
� Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
5.5.5.5. PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKROKOKROKOKROKOKROKOK
���� Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Rokok sebagaimana dimaksud
meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
� Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang cukai.
� Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
� Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir
rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
� Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut
cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
� Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional
berdasarkan jumlah penduduk.
� Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak
Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
� Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap rokok.
� Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
SUBYEK,SUBYEK,SUBYEK,SUBYEK, OBYEKOBYEKOBYEKOBYEKDANDANDANDAN PERHITUNGANPERHITUNGANPERHITUNGANPERHITUNGAN PBBPBBPBBPBB
PAJAKPAJAKPAJAKPAJAK BUMIBUMIBUMIBUMI DANDANDANDAN BANGUNANBANGUNANBANGUNANBANGUNAN (PBB)(PBB)(PBB)(PBB)
DasarDasarDasarDasar HukumHukumHukumHukum
1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12
Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai
Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan
Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan
Pajak Bumi dan Bangunan.
6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang
Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan
Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk
Kawasan Industri dan Real Estate.
PengertianPengertianPengertianPengertian
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun
1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak
IstilahIstilahIstilahIstilah PentingPentingPentingPenting dalamdalamdalamdalam UUUUUUUU PBBPBBPBBPBB
( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)
1. BumiBumiBumiBumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. BangunanBangunanBangunanBangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan;
3. NilaiNilaiNilaiNilai JualJualJualJual ObyekObyekObyekObyek PajakPajakPajakPajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli,
Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain
yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
4. SuratSuratSuratSurat PemberitahuanPemberitahuanPemberitahuanPemberitahuan ObyekObyekObyekObyek PajakPajakPajakPajak adalah surat yang digunakan oleh wajib
pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5. SuratSuratSuratSurat PemberitahuanPemberitahuanPemberitahuanPemberitahuan PajakPajakPajakPajak TerhutangTerhutangTerhutangTerhutang adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada
wajib pajak;
ObyekObyekObyekObyek PajakPajakPajakPajak
( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
• Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan
Pengertian Bumi
BumiBumiBumiBumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang, dll
Pengertian Bangunan
BangunanBangunanBangunanBangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan.
Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat
perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain
yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai,
dll.
Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b. jalan TOL;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olah raga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat;
ObjekObjekObjekObjek pajakpajakpajakpajak yangyangyangyang tidaktidaktidaktidak dikenakandikenakandikenakandikenakan PBBPBBPBBPBB
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah,
sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan
KlasifikasiKlasifikasiKlasifikasiKlasifikasi BumiBumiBumiBumi dandandandan BangunanBangunanBangunanBangunan
( Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
KlasifikasiKlasifikasiKlasifikasiKlasifikasi bumibumibumibumi dandandandan bangunanbangunanbangunanbangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut
nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan
pajak yang terhutang.
SubyekSubyekSubyekSubyek PBBPBBPBBPBB
( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a. mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b. memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c. memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d. memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut
UU PBB.
Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung
pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat
Jenderal Pajak.
Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti :
•Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur ?
•Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya ?
•Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan
tersebut?
TarifTarifTarifTarif PajakPajakPajakPajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh
persen).
DasarDasarDasarDasar PengenaanPengenaanPengenaanPengenaan PBBPBBPBBPBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3)
KMK-523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk
daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali,
namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan
nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur
serta memperhatikan asas self assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A
dan kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai
Jual Objek Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi di lapangan tersebut digunakan
sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
NilaiNilaiNilaiNilai JualJualJualJual ObjekObjekObjekObjek PajakPajakPajakPajak TidakTidakTidakTidak KenaKenaKenaKena PajakPajakPajakPajak (NJOPTKP)(NJOPTKP)(NJOPTKP)(NJOPTKP)
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak.
Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp
12.000.000,- (berdasarkan UU PBB pasal 3 ayat 3) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam
satu Tahun Pajak.
b. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan
pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak
bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
DasarDasarDasarDasar PenghitunganPenghitunganPenghitunganPenghitungan PajakPajakPajakPajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value)
atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan
serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus
persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :
• Objek pajak perkebunan adalah 40%
• Objek pajak kehutanan adalah 40%
• Objek pajak pertambangan adalah 40%
• Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya ≥ Rp1.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak
misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 =
Rp200.000,00
DasarDasarDasarDasar PenghitunganPenghitunganPenghitunganPenghitungan PajakPajakPajakPajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada
rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak
(NJOPKP)
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
BesarnyaBesarnyaBesarnyaBesarnya PBBPBBPBBPBB terutangterutangterutangterutang = 0,5 % X NJKP
XXXXX
XXXXX (-)
XXXXX
XXXXX
XXXXX
Atau
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
ContohContohContohContoh PerhitunganPerhitunganPerhitunganPerhitungan PBBPBBPBBPBB
PBBPBBPBBPBB atasatasatasatas RumahRumahRumahRumahMewahMewahMewahMewah
Pak bondan punya Rumah mewah berikut fasilitasnya sebagai berikut:
1. Luas tanah = 850 m2, kelas 045
2. Bangunan rumah = 250 m2, kelas 010
3. Taman = 150 m2, kelas 030
4. Kolam renang = 250 m2, kelas 020
5. Pagar mewah = 180 m2, kelas 020
Bagaimana Perhitungan PBBnya? Perda Jakarta NJOPTKP Rp 12.000.000,00.
JawabJawabJawabJawab ::::
PerhitunganPerhitunganPerhitunganPerhitungan PBBPBBPBBPBB
1) Luas tanah = 850 x Rp 5.625.000,00 = Rp 4.781.250.000,00
2) Bangunan rumah = 250 x Rp 6.950.000,00 = Rp 1.737.500.000,00
3) Taman = 150 x Rp 264.000,00 = Rp 39.600.000,00
4) Kolam renang = 250 x Rp 1.516.000,00 = Rp 379.000.000,00
5) Pagar mewah = 180 x Rp 1.516.000,00 =Rp 72.880.000 ,00 +
NJOP = Rp
7.210.230.000,00
NJOPTKP =
Rp 12.000.000,00 –
NJOPKP = Rp
7.198.230.000,00
PBB terutang = 0,5% x 40% x Rp 7.198.230.000,00 =
Rp 14.396.460,00
TempatTempatTempatTempat PembayaranPembayaranPembayaranPembayaran PBBPBBPBBPBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat
Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari KPP Pratama, KP PBB atau
disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat
pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro
SaatSaatSaatSaat YangYangYangYangMenentukanMenentukanMenentukanMenentukan PajakPajakPajakPajak Terutang.Terutang.Terutang.Terutang.
Saat yang menentukan pajak terutang adalah adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1
Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi
setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh:
A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 2012. Kewajiban PBB Tahun 2012
masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 2013 kewajiban PBB menjadi
tanggung jawab B.
Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
BEABEABEABEAPEROLEHANPEROLEHANPEROLEHANPEROLEHANHAKHAKHAKHAKATASATASATASATAS TANAHTANAHTANAHTANAH DANDANDANDAN BANGUNANBANGUNANBANGUNANBANGUNAN (BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)
PengertianPengertianPengertianPengertian
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
• Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
• Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan
diatasnya sebagaimana dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
ObyekObyekObyekObyek PajakPajakPajakPajak
Yang menjadi Obyek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. hibah wasiat;
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
g. penunjukan pembeli dalam lelang;
h. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. hadiah.
2. Pemberian hak baru karena:
a. kelanjutan dari pelepasan hak;
b. di luar pelepasan hak;
c. hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
ObyekObyekObyekObyek PajakPajakPajakPajak yangyangyangyang TidakTidakTidakTidak DikenakanDikenakanDikenakanDikenakan BeaBeaBeaBea PerolehanPerolehanPerolehanPerolehan atasatasatasatas TanahTanahTanahTanah dandandandan BangunanBangunanBangunanBangunan
(BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)(BPHTB) adalahadalahadalahadalah ::::
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasai internasional yang ditetapkan oleh Menteri;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama;
5. Karena wakaf;
6. Karena warisan;
7. Digunakan untuk kepentingan ibadah.
SubyekSubyekSubyekSubyek PajakPajakPajakPajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang menjadi subyek pajak :
1. Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Maksudnya adalah pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak dari
suatu peralihan hak atas tanah dan bangunan, sehingga orang atau pribadi atau
badan hukum yang memperoleh hak atas tanah yang menjadi wajib pajak BPHTB.
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara
atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi,
Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Sosial Politik,
atau Organisasi yang sejenis, Lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.
DasarDasarDasarDasar PengenaanPengenaanPengenaanPengenaan PajakPajakPajakPajak
Dasar pengenaan pajak adalah NPOP (Nilai Perolehan Obyek Pajak)
NPOP untuk berbagai jenis perolehan objek pajak ditentukan sebagai berikut :
a. Jual Beli adalah Harga Transaksi
b. Tukar Menukar adalah Nilai pasar
c. Hibah adalah Nilai Pasar
d. Hibah wasiat adalah Nilai Pasar.
e. Waris adalah Nilai Pasar.
f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar.
Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB
TarifTarifTarifTarif PajakPajakPajakPajak
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal sebesar 5 %.
NPOPNPOPNPOPNPOPTidakTidakTidakTidak KenaKenaKenaKena PajakPajakPajakPajak (NPOPTKP)(NPOPTKP)(NPOPTKP)(NPOPTKP)
Ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak
perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP
ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,-.
CaraCaraCaraCara PerhitunganPerhitunganPerhitunganPerhitungan PajakPajakPajakPajak
Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 5% dengan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPKP adalah NPOP –
NPOPTKP apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinnya transaksi, atau
bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pajaknya adalah NJOP PBB.
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x TarifBPHTB = NPOPKP x Tarif
Atau
Bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan :
BPHTB = (NJOP – NPOPTKP) x TarifBPHTB = NPOPKP x Tarif
PeraturanPeraturanPeraturanPeraturan PelaksanaanPelaksanaanPelaksanaanPelaksanaan tentangtentangtentangtentang tatatatatatatata caracaracaracara PengenaanPengenaanPengenaanPengenaan BPHTBBPHTBBPHTBBPHTB ::::
1. PP RI No. 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah wasiat,
bahwa :
a. BPHTB yang terhutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat
adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang.
b. Saat terhutangnya pajak sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor pertanian Kabupaten/Kota.
2. Peraturan pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena
pemberian Hak pengelolaan, bahwa :
a. Penerima Hak pengelolaan oleh departemen, lembaga departemen, lembaga
Pemerinta, Non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga
pemerintah lainnya, Perum perumnas ditetapkan sebesar 0%.
b. Penerima Hak pengelolaan selain yang disebutkan diatas ditetapkan sebesar
50%.
3. PP RI No. 113 tahun 2000 tentang penentuan besarnya NPOP TKP BPHTB, bahwa :
NPOP TKP ditetapkan secara regonal paling banyak Rp. 60.000.000,- kecuali
dalam hal perolehan hak karena waris atau hibab wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam keturunan garis
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibab
wasiat, termasuk suami, istri, ditetapkan secara regional paling banyak
Rp.300.000.000,-
Besarnya NPOP TKP ditetapkan oleh mentri keuangan untuk setiap kabupaten/kota
dengan mempehatikan usulan pemerintah Daerah. NPOP TKP tersebut dapat diubah
dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
ContohContohContohContoh PerhitunganPerhitunganPerhitunganPerhitungan BiayaBiayaBiayaBiaya PerolehanPerolehanPerolehanPerolehan atasatasatasatas TanahTanahTanahTanah DanDanDanDan BangunanBangunanBangunanBangunan (BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)(BPHTB)
1. Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP
PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang
atas transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas
perolehan hak Tersebut !
Jawab :NPOP = Rp. 100.000.000,-NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-NPOPKP = Rp. 40.000.000,-
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x TarifBPHTB = NPOPKP x Tarif
BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%
= Rp. 40.000.000 x 5%
= Rp. 2.000.000,-
2. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,-
NJOP yang tercantum dalam SPPT Rp. 800.000.000,-. NPOP TKP Rp. 300.000.000,-
Berapa Besarnya BPHTBnya ?
Jawab :
NPOP = Rp. 800.000.000,-NPOP TKP = Rp. 300.000.000,-NPOP KP = Rp. 500.000.000,-BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 500.000.000 = Rp. 25.000.000,-
BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 12.500.000,-
3. Budi menerima hibah wasiat dari ayak kandungnya sebidang tanah dan bangunan
dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,-, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000 Apabila
NPOPTKP ditetapkan Rp. 300.000.000, maka BPHTBnya adalah :
Jawab :NPOP = Rp. 500.000.000,-NPOPTKP = RP. 300.000.000,-NPOPKP = Rp. 200.000.000,-BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 200.000.000 = Rp. 10.000.000,-
BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000,-
4. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah wasiat sebidang Tanah
dan Bangunan dengan nilai pasar Rp. 1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP Rp.
900.000.000. Apabila NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah :
Jawab :NPOP = Rp. 1.000.000.000,-NPOPTKP = Rp. 300.000.000,-NPOPKP = Rp. 700.000.000,-BPHTB seharusnya terhutang = 5% x Rp. 700.000.000,- = Rp. 35.000.000,-
BPHTB yang terhutang = 50% x Rp. 35.000.000,- = Rp. 17.500.000,-
5. PERUM perumnas memperoleh hak pengelolaan atas tanah seluas 10 ha dengan
NPOP sebesar Rp. 1.000.000,-. BPHTB adalah :
Jawab :NPOP = Rp. 1.000.000.000,-NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-NPOPKP = Rp. 940.000.000,-BPHTB Terhutang = 5% x Rp. 940.000.000,- = Rp. 47.000.000,-
BEABEABEABEAMATERAIMATERAIMATERAIMATERAI
PengertianPengertianPengertianPengertian BeaBeaBeaBea MeteraiMeteraiMeteraiMeterai
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang
Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai
harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain
sebelum dokumen itu digunakan.
DasarDasarDasarDasar HukumHukumHukumHukum1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain
Meterai Tempel Tahun 20054. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Menggunakan Cara Lain.5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Cara Pemeteraian Kemudian.9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.
ObjekObjekObjekObjek BeaBeaBeaBea MeteraiMeteraiMeteraiMeterai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di
muka pengadilan, antara lain :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
- yang menyebutkan penerimaan uang;
- yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;
- yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
- yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan
maksud semula.
TidakTidakTidakTidak DikenakanDikenakanDikenakanDikenakan BeaBeaBeaBea MeteraiMeteraiMeteraiMeterai
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan
dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1. Dokumen yang berupa:
- surat penyimpanan barang;
- konosemen;
- surat angkutan penumpang dan barang;
- keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
- bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2. Segala bentuk ijazah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.
SubjekSubjekSubjekSubjek BeaBeaBeaBea MateraiMateraiMateraiMaterai
SaatSaatSaatSaat terutangterutangterutangterutang beabeabeabea meteraimeteraimeteraimeterai adalahadalahadalahadalah sebagaisebagaisebagaisebagai berikutberikutberikutberikut ::::
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak. Saat terutangnya bea meterai atas dokumen
yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen diserahkan kepada pihak
untuk siapa dokumen itu dibuat, misalnya cek.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak. Saat terutangnya bea meterai
adalah pada saat dokumen tersebut selesai dibuat, yang ditutup dengan tandatangan
dari pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri. Saat terutangnya bea meterai adalah pada saat
dokumen tersebut digunakan di Indonesia.
PihakPihakPihakPihak yangyangyangyang terutangterutangterutangterutang beabeabeabea meterai.meterai.meterai.meterai.
Bea meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
TarifTarifTarifTarif BeaBeaBeaBea MeteraiMeteraiMeteraiMeterai
1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
pendata
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
- surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
- surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula
2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
- nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
- nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-
- nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai
dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan
Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.
MAKALAHMAKALAHMAKALAHMAKALAH
PPPP EEEE RRRR PPPP AAAA JJJJ AAAAKKKKAAAANNNN““““PAJAKPAJAKPAJAKPAJAKDAERAHDAERAHDAERAHDAERAHDANDANDANDANPAJAKPAJAKPAJAKPAJAK LAINNYALAINNYALAINNYALAINNYA (MATERAI,(MATERAI,(MATERAI,(MATERAI, PBBPBBPBBPBBDANDANDANDANBPHTB)BPHTB)BPHTB)BPHTB)””””
DisusunDisusunDisusunDisusunOleh:Oleh:Oleh:Oleh:
1.1.1.1. EdoardusEdoardusEdoardusEdoardus SatyaSatyaSatyaSatya2.2.2.2. AnnaAnnaAnnaAnnaKaniaKaniaKaniaKaniaWidiatamiWidiatamiWidiatamiWidiatami3.3.3.3. IkaIkaIkaIka FanindyaFanindyaFanindyaFanindya
PROGRAMPROGRAMPROGRAMPROGRAMPROFESIPROFESIPROFESIPROFESI AKUNTANSIAKUNTANSIAKUNTANSIAKUNTANSIFAKULTASFAKULTASFAKULTASFAKULTAS EKONOMIEKONOMIEKONOMIEKONOMI
UNIVERSITASUNIVERSITASUNIVERSITASUNIVERSITASDIPONEGORODIPONEGORODIPONEGORODIPONEGOROSEMARANGSEMARANGSEMARANGSEMARANG
2012012012013333