PAD in Diabetes Akhtar
Transcript of PAD in Diabetes Akhtar
![Page 1: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/1.jpg)
1
PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS
PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES
Akhtar Fajar M
Ari Sutjahjo
PENDAHULUAN
Penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu
kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat
menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas. Pasien yang menderita PAD
dapat asimtomatik namun jika penyakit ini bertambah parah, penderita umumnya
mengalami morbiditas yang bermakna serta penurunan kualitas hidup sebagai akibat dari
oklusi arteri perifer seperti klaudikasio intermiten serta gejala critical limb ischemia
(CLI) yang ditandai dengan nyeri pada ekstremitas pada saat istirahat, ulserasi iskemik
ataupun gangren.
Pasien diabetes yang menderita PAD memiliki resiko tinggi terhadap peningkatan
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Oleh karena jumlah penderita
diabetes mellitus (DM) sangat banyak (120-140 juta orang) di seluruh dunia dan adanya
kenyataan bahwa pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk menderita PAD maka
implikasi dari masalah ini menjadi sangat besar (ADA, 2003).
Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan kali ini akan menitikberatkan
pada pemahaman mengenai patofisiologi penyakit ini serta menentukan modalitas
pemeriksaan yang tepat dan cepat dalam upaya penegakan diagnosis sehingga diharapkan
manajemen PAD pada pasien diabetes menjadi lebih baik.
FAKTOR RESIKO PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES
Terdapat beberapa faktor resiko yang telah dikenali dapat meningkatkan
predisposisi kejadian PAD pada diabetes. Banyak penelitian telah berusaha untuk
menemukan jawaban dari permasalahan ini dengan cara membandingkan PAD pada
pasien diabetes dan non-diabetes serta membandingkan pasien diabetes dengan dan tanpa
PAD. Pertambahan usia berhubungan erat dengan PAD pada pasien DM tipe 1 maupun
tipe 2. Walaupun pada penelitian Framingham menjelaskan bahwa resiko tinggi pasien
DM menderita PAD terjadi pada usia kurang dari 75 tahun, penelitian Framingham-
offspring juga menemukan bahwa setiap usia 10 tahun, odds ratio PAD sebesar
![Page 2: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/2.jpg)
2
2,6(Murabito, 2002).
Pada penelitian Framingham dan Rochester, insidens PAD lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Wanita dengan diabetes lebih cenderung menderita PAD jika
dibandingkan dengan wanita yang non-diabetes pada usia yang sama. Sementara itu,
wanita yang belum menopause pada populasi umum memiliki perlindungan yang relatif
baik terhadap aterosklerosis oleh karena status hormonal yang masih aktif (Abbott, 1990).
Pada suatu penelitian oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS),
durasi dan derajat hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan resiko insidens PAD
secara independen dari faktor resiko lainnya. Peningkatan HbA1C setiap 1%
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun
menderita diabetes sebesar 28% (Adler, 2002).
UKPDS juga menemukan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik merupakan
faktor resiko independen untuk PAD dan setiap peningkatan tekanan darah sistolik
sebesar 10 mmHg maka resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun menderita
diabetes meningkat sebesar 25%(Adler, 2002).
Tabel 1 : Faktor resiko PAD pada diabetes mellitus (Adler, 2002)
Faktor Resiko Tipe Diabetes Mellitus
Peningkatan usia
Jenis Kelamin Laki-Laki
Durasi diabetes mellitus
Derajat hiperglikemia
Merokok
Hipertensi
Dislipidemia
Peningkatan kadar lipoprotein (a)
Peningkatan kadar apolipoprotein (a)
Obesitas, obesitas sentral
Resistensi insulin
Peningkatan kadar fibrinogen
Hiperhomosisteinemia
Mikroalbuminuria
Peningkatan kadar faktor von Willebrand
Peningkatan kadar kompleks trombin-antitrombin
Peningkatan kadar molekul adhesi intraseluler
1, 2 2
1, 2
2
2
1, 2
1, 2
1, 2
2
2
1, 2
2
Non-diabetes
1, 2
2
2
2
![Page 3: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/3.jpg)
3
I. PATOFISIOLOGI PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES
I.1. Diabetes dan Inflamasi Vaskuler
Inflamasi telah menjadi petanda resiko bahkan faktor resiko penyakit
aterotrombosis termasuk PAD. Diabetes mellitus meningkatkan proses pembentukan
ateroma. Terdapat peningkatan kadar histamin pada plasma dan sel pada pasien diabetes
dengan PAD sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel. Akibatnya,
migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi dan aktivasi sitokin meningkat.
Monosit/makrofag menelan molekullow-density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi yang
kemudian berubah menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan membentuk fatty
streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma akan menjadi tidak stabil
oleh karena sel endotel pada pasien diabetes ini mengeluarkan sitokin yang menghambat
produksi kolagen oleh sel otot polos pembuluh darah. Selain itu metalloproteinase juga
dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi ini dimana zat ini dapat menghancurkan kolagenfibrous
cap plak ateroma sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya ruptur plak
dan pembentukan trombus (Rader, 2000; Beckmann, 2002; Hansson, 2005).
Peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP) berhubungan erat dengan kejadian
PAD. Selain itu, kadar CRP juga meningkat pada pasien dengan kelainan regulasi
glukosa darah termasuk pasien dengan toleransi glukosa darah terganggu dan diabetes.
Selain sebagai petanda adanya penyakit, kadar CRP yang tinggi juga dapat menjadi
penyebab terjadinya eksaserbasi PAD. CRP ternyata dapat berikatan dengan reseptor sel
endotel yang dapat merangsang apoptosis dan berada bersama dengan LDL teroksidasi
pada plak aterosklerosis. CRP juga dapat menstimulasi produksi faktor prokoagulasi oleh
endotel, molekul adhesi leukosit dan menghambat endothelial cell nitric oxide synthase
(eNOS) sehingga menyebabkan kelainan pada pengaturan tonus pembuluh darah. Selain
itu, CRP juga dapat meningkatkan produksi bahan yang menggangu proses fibrinolisis
seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Ridker, 1998).
I.2. Diabetes dan Disfungsi Endotel
Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta adanya
kecenderungan terjadinya trombosis memberikan dampak terhadap kejadian
aterosklerosis dan komplikasinya. Oleh karena posisi anatomis yang strategis antara
dinding pembuluh darah dengan aliran darah, sel endotel dapat mengatur fungsi dan
![Page 4: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/4.jpg)
4
struktur pembuluh darah. Pada keadaan normal, banyak zat aktif disintesis dan dilepaskan
oleh sel endotel untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah sehingga dapat
mempertahankan aliran darah serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah terjadinya
trombosis dan diapedesis leukosit (Kinlay, 2001).
Dari semua molekul yang disintesis oleh sel endotel, nitric oxide (NO) yang
diproduksi oleh endothelial NO synthase (eNOS) melalui oksidasi guanidine-nitrogen
terminal dari L-arginine. Bioavailabilitas NO merupakan petanda utama kesehatan
pembuluh darah. NO menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi guanylyl cyclase pada
sel otot polos pembuluh darah. Selain itu, NO melindungi pembuluh darah terhadap
cedera dari dalam seperti aterosklerosis dengan cara memperantarai sinyal-sinyal
molekuler yang mencegah interaksi leukosit dan platelet dengan dinding pembuluh darah
dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos pembuluh darah (Moncada,
1993).Sebaliknya, penurunan produksi NO oleh sel endotel dapat meningkatkan aktivitas
faktor transkripsi proinflamasi nuclear factor kappa B (NF-κB) yang menyebabkan
ekspresi molekul adhesi leukosit serta produksi sitokin dan kemokin meningkat. Aktivitas
ini merangsang migrasi monosit dan sel otot polos pembuluh darah ke dalam tunika
intima dan menstimulasi pembentukan sel busa makrofag sebagai tanda awal perubahan
morfologi aterosklerosis (Mohamed, 1999).
Terdapat banyak kelainan metabolik yang terjadi pada diabetes termasuk
hiperglikemia, peningkatan pelepasan asam lemak bebas dan resistensi insulin dimana
hal-hal tersebut dapat mempengaruhi sintesis dan degradasi NO yang pada akhirnya
dapat menyebabkan disfungsi sel endotel.
I.2.1. Hiperglikemia, Stres Oksidatif dan NO
Bioavailabilitas NO mencerminkan suatu keseimbangan antara produksinya melalui
NOS dan degradasinya khususnya oleh radikal bebas oksigen. Data penelitian
eksperimental menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia menurunkan kadar NO yang
dihasilkan sel endotel. Hiperglikemia merangsang serangkaian aktivitas pada tingkat
seluler yang meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) seperti anion
superoksida dimana bahan ini dapat menginaktivasi NO untuk menghasilkanperoksinitrit
(ONOO-). Hiperglikemia dapat merangsang proses ini dengan cara meningkatkan
produksi anion superoksida melalui rantai transport elektron mitokondria. Anion
![Page 5: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/5.jpg)
5
superoksida kemudian merangsang kaskade aktivasi endotel yang menyebabkan
peningkatan beberapa elemen seluler untuk menghasilkan radikal bebas oksigen. Hal ini
dapat dilihat pada anion superoksida yang mengaktivasi protein kinase C (PKC), atau
sebaliknya, aktivasi PKC dapat berkontribusi dalam pembentukan superoksida (Hink,
2001). Aktivasi PKC oleh glukosa berhubungan dengan regulasi dan aktivasi membrane-
associated NADPH-dependent oxidases serta produksi anion superoksida (Beckman,
2001; Cosentino, 2003).
Produksi anion superoksida oleh mitokondria juga meningkatkan produksi advance
glycation end products (AGEs) intrasel. Protein yang terglikasi mengubah fungsi sel
dengan cara mempengaruhi fungsi protein dan aktivasi reseptor AGEs (RAGEs). AGEs
sendiri dapat meningkatkan produksi radikal bebas oksigen dan aktivasi RAGE
meningkatkan produksi anion superoksida enzimatik intraseluler. Selain itu, peningkatan
produksi anion superoksida mengaktivasi jalur heksosamine yang menurunkan aktivasi
NOS melalui protein Akt kinase. Proses ini cenderung merekrut xanthine oxidase
sehingga memperbesar stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi oleh hiperglikemia
juga dapat meningkatkan kadar asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu antagonis
kompetitif NOS. Konsep mengenai stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia dapat
menyebabkan disfungsi endotel pada pasien dengan diabetes didukung oleh observasi
pada percobaan dengan pemberian infus intra-arterial asam askorbat, suatu antioksidan
yang larut dalam air yang dapat menghancurkan anion superoksida (Schmidt, 2000;
Desco, 2002).
Hiperglikemia juga dapat meningkatkan produksi lipid second messenger
diacylglycerol dimana hal ini dapat menyebabkan translokasi membran dan aktivasi PKC.
Aktivasi PKC menghambat aktivitas jalur phosphatidylinositol-3(PI-3)kinase, sehingga
hal tersebut dapat menghambat aktivasi Akt kinase dan juga fosforilasi NOS yang pada
akhirnya dapat menurunkan produksi NO(Du, 2001; Beckman 2002).
I.2.2. Pelepasan Asam Lemak Bebas dan Disfungsi Endotel
Kadar asam lemak bebas dalam sirkulasi meningkat pada diabetes oleh karena
pelepasannya yang berlebihan dari jaringan lemak dan penurunan uptake oleh otot rangka.
Asam lemak bebas dapat mengganggu fungsi endotel melalui beberapa mekanisme
meliputi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, aktivasi PKC dan eksaserbasi
![Page 6: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/6.jpg)
6
dislipidemia. Peningkatan kadar asam lemak bebas mengaktivasi PKC dan menurunkan
aktivitas insulin receptor substrate-1 yang berhubungan dengan PI-3 kinase. Efek ini
terhadap transduksi sinyal dapat menurunkan aktivitas NOS (Beckman,2002).
Organ hati memberikan respon terhadap kadar asam lemak bebas dengan cara
meningkatkan produksi VLDL dan sintesis kolesterol ester. Hal ini meningkatkan
produksi protein yang kaya trigliserida dan penurunan klirens oleh lipoprotein lipase
menyebabkan keadaan hipertrigliseridemia yang sering didapatkan pada pasien diabetes.
Kadar trigliserida yang tinggi menurunkan kadar HDL dengan cara meningkatkan
transport kolesterol dari HDL ke VLDL. Kelainan ini mengubah morfologi LDL dimana
hal ini meningkatkan jumlah small dense LDL yang lebih aterogenik. Keadaan
hipertrigliseridemia dan rendahnya kadar HDL ini dikatakan berhubungan dengan
terjadinya disfungsi endotel (Boden, 1999).
I.2.3. Resistensi Insulin dan NO
Diabetes mellitus tipe 2 ditandai oleh adanya resistensi insulin. Insulin merangsang
produksi NO oleh sel endotel dengan cara meningkatkan aktivitas NOS melalui aktivasi
PI-3 kinase dan Akt kinase. Jadi, pada orang sehat, insulin meningkatkan vasodilatasi
yang dipengaruhi oleh endotel (NO). Pada penderita dengan resistensi insulin,
vasodilatasi oleh endotel menurun (Zeng et al, 1996).Selain itu, pembuangan glukosa
oleh insulin berbanding terbalik dengan derajat abnormalitas vasodilatasi oleh endotel.
Pengobatan yang meningkatkan sensitivitas insulin seperti metformin dan
thiazolidinediones meningkatkan vasodilatasi. Kelainan vasodilatasi oleh endotel pada
keadaan resistensi insulin mungkin dapat dijelaskan oleh perubahan sinyal intraseluler
yang menurunkan produksi NO. Secara spesifik, transduksi sinyal insulin melalui jalur
PI-3 kinase mengalami kelainan sehingga insulin kurang dapat mengaktivasi NOS dan
menghasilkan NO (Montagnani et al, 2002).
I.2.4. Produksi Vasokonstriktor oleh Endotel
Pada diabetes, disfungsi sel endotel ditandai tidak hanya oleh penurunan NO
namun juga peningkatan sintesis vasokonstriktor seperti prostanoid dan endotelin.
Hiperglikemia meningkatkan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) mRNA dan kadar
protein namun tidak mengekspresikan COX-1 mRNA pada percobaan sel endotel aorta
![Page 7: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/7.jpg)
7
manusia (Consentino et al, 2003). Pada arteri kelinci percobaan in vitro yang terpapar
oleh keadaan yang hiperglikemik, produksi vasokonstriktor prostanoid meningkat dan
pemberian inhibitor COX dan antagonis prostaglandin H2/reseptor tromboksan A2
mengembalikan fungsi relaksasi oleh endotel (De Vriese et al, 2000).
I.3 Diabetes dan Sel Otot Polos Pembuluh Darah
Pengaruh diabetes mellitus terhadap fungsi pembuluh darah tidak terbatas hanya
pada lapisan endotel. Pada pasien dengan DM tipe 2, respon vasodilatasi terhadap
pemberian NO menjadi berkurang. Selain itu respon vasokonstriksi terhadap
vasokonstriktor seperti endotelin-1 berkurang. Disregulasi fungsi otot polos pembuluh
darah diperberat oleh gangguan fungsi sistem saraf simpatis. Diabetes dapat
meningkatkan aktivitas PKC, produksi NF-B dan pembentukan radikal bebas oksigen
pada otot polos pembuluh darah dimana hal ini juga terjadi pada sel endotel (Hattori et al,
2000). Selain itu diabetes meningkatkan migrasi sel otot polos pembuluh darah pada lesi
aterosklerotik dimana sel-sel tersebut melakukan replikasi dan menghasilkan matriks
ekstraseluler yang merupakan fase penting dalam pembentukan lesi aterosklerotik yang
matur. Apoptosis sel otot polos pembuluh darah pada lesi aterosklerotik juga meningkat
dimana pasien yang mengalami hal ini cenderung memiliki sel otot polos pada lesi
aterosklerotik yang lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan kecenderungan untuk
terjadinya ruptur plak. Pada orang yang mengidap diabetes, pengaruh sitokin
proinflamasi (IL-1, IFN gamma, TNF alfa) menurunkan sintesis kolagen dan
meningkatkan produksi matrix metalloproteinases (MMP) sehingga meningkatkan
kecenderungan destabilisasi dan ruptur plak (Suzuki et al, 2001).
I.4 Diabetes, Trombosis dan Koagulasi
Fungsi platelet pada diabetes juga mengalami kelainan. Ekspresi glikoprotein Ib
dan IIb/IIIa meningkat sehingga meningkatkan faktor von Willebrand—platelet dan
interaksi platelet—fibrin. Kadar glukosa platelet intraseluler mirip dengan lingkungan
ekstraseluler dan hal tersebut berhubungan dengan peningkatan pembentukan anion
superoksida dan aktivitas PKC serta penurunan produksi NO oleh platelet. Hiperglikemia
lebih lanjut dapat mengubah fungsi platelet dengan cara menggangu homeostasis kalsium
![Page 8: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/8.jpg)
8
sehingga mengubah aspek aktivasi dan agregasi platelet termasuk struktur platelet itu
sendiri dan pelepasan mediator (Vinik et al, 2001).
Pada diabetes, faktor koagulasi plasma (misalnya faktor VII dan trombin) dan
lesion-based coagulants (misalnya tissue factor) meningkat dan antikoagulan endogen
(misalnya thrombomodulin dan protein C) menurun. Selain itu produksi PAI-1, suatu
penghambat fibrinolisis juga meningkat (Ren et al, 2002). Jadi, kecenderungan aktivasi
dan agregasi platelet serta kecenderungan koagulasi berhubungan dengan resiko
trombosis pada pasien diabetes.
II. DIAGNOSIS PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES
II.1. Evaluasi Klinis : Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan riwayat penyakit yang lengkap khususnya riwayat mengenai berjalan
kaki sebaiknya ditanyakan secara spesifik kepada pasien dan dilakukan secara rinci oleh
karena hal ini sering dilupakan. Riwayat penyakit ini akan mengungkap adanya gejala
klasik klaudikasio beserta variasinya. Terdapat dua komponen penting pada pemeriksaan
fisik yaitu inspeksi visual pada kaki dan palpasi nadi perifer.Tidak adanya pertumbuhan
rambut kaki, distrofi kuku jari kaki serta kulit kaki yang dingin dan kering merupakan
tanda-tanda insufisiensi vaskuler dan sebaiknya diperhatikan dengan baik. Celah jari kaki
sebaiknya diperiksa dengan baik untuk melihat adanya ulserasi dan infeksi.
Palpasi nadi perifer sebaiknya menjadi hal yang rutin pada pemeriksaan fisik dan
sebaiknya meliputi penilaian arteri femoralis, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri
dorsalis pedis. Hal yang perlu diperhatikan adalah penilaian pulsasi arteri ini bergantung
pada kemampuan pemeriksa sehingga penilaiannya memiliki variabilitas yang tinggi
dengan rasio positif palsu dan negatif palsu yang tinggi. Arteri dorsalis pedis dilaporkan
tidak dapat diraba pada 8,1% orang sehat sedangkan arteri tibialis posterior juga sulit
diraba pada 2,0% orang sehat. Namun demikian, jika kedua arteri dorsalis pedis yang
tidak dapat diraba oleh pemeriksa yang berpengalaman menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan yang sangat besar akan adanya penyakit vaskuler (Beckman, 2002).
II.2. Ankle-Brachial Index (ABI)
Pemeriksaan ABI merupakan pengukuran non-invasif yang cukup akurat untuk
mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI didefinisikan
![Page 9: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/9.jpg)
9
sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitolik
padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai berikut
(Ankle Brachial Index Collaboration, 2008) :
Normal : 0,91 – 1,30
Obstruksi ringan : 0,70 – 0,90
Obstruksi sedang : 0,40 – 0,69
Obstruksi berat : < 0,40
Kurang kompresi : > 1,3
Gambar 1 : Protokol diagnosis PAD pada pasien diabetes (Hiatt, 2001)
![Page 10: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/10.jpg)
10
Nilai ABI yang >1,30 menunjukkan arteri yang kurang terkompresi dikarenakan
oleh adanya kalsifikasi arteri bagian medial (Mönckeberg’s sclerosis) dimana kelainan ini
didapatkan pada sekitar 47% pasien dengan DM tipe 1 pada suatu penelitian serta sering
juga didapatkan pada pasien dengan gagal ginjal dan perokok berat.Hal tersebut
mengaburkan diagnosis PAD sehingga pada kondisi seperti ini, pemeriksaan ABI saja
kurang dapat dipercaya dalam menegakkan diagnosis penyakit ini(Hirsch et al, 2006).
Oleh karena angka kejadian PAD pada pasien dengan diabetes sangat tinggi,
pemeriksaan ABI sebaiknya dilakukan untuk skrining pasien diabetesyang berusia lebih
dari 50 tahun. Jika hasilnya normal, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan lagi setiap lima
tahun. Pemeriksaan ABI juga sebaiknya dipertimbangkan untuk skrining pasien diabetes
yang berusia kurang dari 50 tahun yang memiliki faktor resiko PAD seperti merokok,
hipertensi, dislipidemia atau durasi diabetes yang lebih dari 10 tahun (Allison, 2008).
II.3. Toe-Brachial Index (TBI)
TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien
diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh
darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan
menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini
lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang 0,75
dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri (Brooks et al, 2001).
II.4. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)
Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan
suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi yang
mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelombang.
PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada
arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua, pasien yang
menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita penyakit ginjal kronik. Pada
pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki yang terkena PAD
ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika akan dilakukan
amputasi pada kaki tersebut (Allison, 2008).
![Page 11: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/11.jpg)
11
Interpretasi dari tes ini dapat menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi
PAD secara spesifik. Pada arteri yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi
dengan puncak yang tajam yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar.
Namun jika arteri tersebut mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat
gelombang yang pendek dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan
pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-95% (Hirsch et al,
2006).
II.5. Ultrasonografi Dupleks
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri
perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang
nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga
dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada
sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi
dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al,
2007)
Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri
sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal
bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah
suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada
bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovaskular (Schwarcz,
2009).
II.6. Computed Tomographic Angiography (CTA)
Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang
seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan
spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 95-
99% (Shareghi et al, 2010).
Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding
arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika
![Page 12: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/12.jpg)
12
intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal
penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani
dialisis (Brockmann et al, 2009).
II.7. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap
kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I
Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama
dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006).
Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan
(gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang
digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini
untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar
80-90% (Leiner et al, 2005).
II.8. Contrast Angiography
Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan
merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih
merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi
kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan
direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD
khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi (Hirsch et al, 2006; Eslami,
2009).
Seperti halnya pemeriksaan yang menggunakan media kontras, prosedur
angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko terjadinya
nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan hidrasi yang
cukup sebelum tindakan. Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada
pasien dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat dilakukan
sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien diabetes yang
menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah
angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari setelah
tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral
![Page 13: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/13.jpg)
13
sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi klinis
termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk
dilakukan dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek
samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah akses
kateter pembuluh darah (Kashyap et al, 2008).
KESIMPULAN
Penyakit pembuluh darah khususnya PAD merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes mellitus secara langsung
dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah dalam hal ini PAD. Patofisiologi
PAD pada diabetes melibatkan kelainan pada lapisan endotel, sel otot polos pembuluh
darah dan fungsi platelet. Kelainan metabolik yang khas pada diabetes seperti
hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin dapat mencetuskan
beberapa mekanisme molekuler yang menyebabkan disfungsi vaskuler.
Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai modalitas
pemeriksaan mulai dari tessederhana seperti ABI sampai pemeriksaan dengan teknologi
tinggi seperti MRA dan angiografi kontras. Kemampuan seorang klinisi dalam
menegakkan diagnosis dan memilih modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat penting
dalam menetukan langkah selanjutnya. Dengan memahami patofisiologi dan proses
penegakan diagnosis penyakit ini maka diharapkan manajemen PAD pada
diabetesmenjadi lebih baik sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott RD, Brand FN, Kannel WB. Epidemiology of some peripheral arterial findings in
diabetic men and women: experiences from the Framingham Study. Am J Med.
1990; 88: 376–381.
Adler AI, Stevens RJ, Neil A, Stratton IM, Boulton AJ, Holman RR. UKPDS 59:
hyperglycemia and other potentially modifiable risk factors for peripheral vascular
disease in type 2 diabetes. Diabetes Care. 2002; 25: 894–899.
Allison MA, Hiatt WR, Hirsch AT, Coll JR, Criqui MH. A high ankle-brachial index is
associated with increased cardiovascular disease morbidity and lower quality of life.
J Am Coll Cardiol. 2008;51(13):1292-1298.
American Diabetes Association. Peripheral arterial disease in people with diabetes.
Diabetes Care. 2003; 26: 3333–3341.
![Page 14: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/14.jpg)
14
Ankle Brachial Index Collaboration. Ankle Brachial Index Combined With Framingham
Risk Score to Predict Cardiovascular Events and Mortality: A Meta-analysis.
JAMA. 2008;300(2):197-208.
Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Ascorbate restores endothelium-dependent
vasodilation impaired by acute hyperglycemia in humans. Circulation.
2001;103:1618–1623.
Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Inhibition of protein kinase C beta
prevents impaired endothelium-dependent vasodilation caused by hyperglycemia in
humans. Circ Res. 2002;90:107–111.
Boden G. Free fatty acids, insulin resistance, and type 2 diabetes mellitus. Proc Assoc
Am Physicians. 1999;111:241–248.
Brockmann C, Jochum S, Sadick M et al. Dual-energy CT angiography in peripheral
arterial occlusive disease. Cardiovasc. Intervent. Radiol. 2009;32(4), 630–637.
Brooks, B., et al.TBI or Not TBI: That Is the Question. Is It Better to Measure Toe
Pressure than Ankle Pressure in Diabetic Patients?. Diabetic Medicine. 18(7):528-
532, July 2001.
Cosentino F, Eto M, De Paolis P, et al. High glucose causes upregulation of
cyclooxygenase-2 and alters prostanoid profile in human endothelial cells: role of
protein kinase C and reactive oxygen species. Circulation. 2003;107:1017–1023.
De Vriese AS, Verbeuren TJ, Van de Voorde J, et al. Endothelial dysfunction in diabetes.
Br J Pharmacol. 2000;130:963–974.
Desco MC, Asensi M, Marquez R, et al. Xanthine oxidase is involved in free radical
production in type 1 diabetes: protection by allopurinol. Diabetes. 2002;51:1118–
11124.
Du XL, Edelstein D, Dimmeler S, et al. Hyperglycemia inhibits endothelial nitric oxide
synthase activity by posttranslational modification at the Akt site. J Clin Invest.
2001;108:1341–1348.
Elgzyri T, Ekberg G, Peterson K, Lundell A, Apelqvist J. Can duplex arterial
ultrasonography reduce unnecessary angiography? J. Wound Care. 2008;17(11),
497–500.
Eslami MH, Csikesz N, Schanzer A, Messina LM. Peripheral arterial interventions:
trends in market share and outcomes by specialty, 1998–2005. J. Vasc. Surg. 2009;
50(5), 1071–1078.
Favaretto E, Pili C, Amato A et al. Analysis of agreement between duplex ultrasound
scanning and arteriography in patients with lower limb artery disease. J Cardiovasc
Med. 2007; 8(5), 337–341
Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis and coronary artery disease. N Engl J Med.
2005; 352:1685-95
Hattori Y, Hattori S, Sato N, et al. High-glucose-induced nuclear factor kappaB
activation in vascular smooth muscle cells. Cardiovasc Res. 2000;46:188–197.
Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and claudication. N Engl J
Med. 2001;344:1608-1621.
Hink U, Li H, Mollnau H, et al. Mechanisms underlying endothelial dysfunction in
diabetes mellitus. Circ Res. 2001;88:E14–E22.
Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the
management of patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal,
mesenteric, and abdominal aortic): a collaborative report from the American
![Page 15: PAD in Diabetes Akhtar](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022073102/55cf995e550346d0339d0671/html5/thumbnails/15.jpg)
15
Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery, Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and
Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on
Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the
Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): endorsed by the
American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National
Heart, Lung, and Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic
Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.
2006;113(11): 463-654.
Kashyap VS, Pavkov ML, Bishop PD et al. Angiography underestimates peripheral
atherosclerosis: lumenography revisited. J Endovasc Ther. 2008;15(1), 117–125.
Kinlay S, Libby P, Ganz P. Endothelial function and coronary artery disease. Curr Opin
Lipidol. 2001;12:383–389.
Leiner T. Magnetic resonance angiography of abdominal and lower extremity vasculature.
Top. Magn. Reson. Imaging. 2005;16(1), 21–66.
Leiner T, Kessels AG, Nelemans PJ et al. Peripheral arterial disease: comparison of color
duplex US and contrast-enhanced MR angiography for diagnosis. Radiology.
2005;235(2), 699–708.
Mohamed AK, Bierhaus A, Schiekofer S, et al. The role of oxidative stress and NF-
kappaB activation in late diabetic complications. Biofactors.1999;10:157–167.
Moncada S, Higgs A. The L-arginine–nitric oxide pathway. N Engl J Med.
1993;329:2002–2012.
Montagnani M, Golovchenko I, Kim I, et al. Inhibition of phosphatidylinositol 3-kinase
enhances mitogenic actions of insulin in endothelial cells. J Biol Chem.
2002;277:1794–1799.
Murabito JM, Evans JC, Nieto K, Larson MG, Levy D, Wilson PW. Prevalence and
clinical correlates of peripheral arterial disease in theFramingham Offspring Study.
Am Heart J. 2002; 143: 961–965.
Rader D. Inflammatory markers of coronary risk. N Engl J Med. 2000;343:1179-1182
Ren S, Lee H, Hu L, et al. Impact of diabetes-associated lipoproteins on generation of
fibrinolytic regulators from vascular endothelial cells. J Clin Endocrinol Metab.
2002;87:286–291.
Schmidt AM, Stern D. Atherosclerosis and diabetes: the RAGE connection. Curr
Atheroscler Rep. 2000;2:430–436.
Schwarcz TH, Gatz VL, Little S, Geddings CF. Arterial duplex ultrasound is the most
cost-effective, noninvasive diagnostic imaging modality before treatment of lower-
extremity arterial occlusive disease. J Vasc Ultrasound. 2009;33(2), 75–79.
Shareghi S, Gopal A, Gul K et al. Diagnostic accuracy of 64 multidetector computed
tomographic angiography in peripheral vascular disease. Catheter Cardiovasc Interv.
2010;75(1), 23–31.
Suzuki LA, Poot M, Gerrity RG, et al. Diabetes accelerates smooth muscle accumulation
in lesions of atherosclerosis: lack of direct growth promoting effects of high
glucose levels. Diabetes. 2001;50:851–860.
Vinik AI, Erbas T, Park TS, et al. Platelet dysfunction in type 2 diabetes. Diabetes Care.
2001;24:1476–1485.
Zeng G, Nystrom FH, Ravichandran LV, et al. Roles for insulin receptor, PI3-kinase, and
Akt in insulin-signaling pathways related to production of nitric oxide in human
vascular endothelial cells. Circulation. 2000;101:1539–1545.