PAD in Diabetes Akhtar

15
1 PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES Akhtar Fajar M Ari Sutjahjo PENDAHULUAN Penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas. Pasien yang menderita PAD dapat asimtomatik namun jika penyakit ini bertambah parah, penderita umumnya mengalami morbiditas yang bermakna serta penurunan kualitas hidup sebagai akibat dari oklusi arteri perifer seperti klaudikasio intermiten serta gejala critical limb ischemia (CLI) yang ditandai dengan nyeri pada ekstremitas pada saat istirahat, ulserasi iskemik ataupun gangren. Pasien diabetes yang menderita PAD memiliki resiko tinggi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Oleh karena jumlah penderita diabetes mellitus (DM) sangat banyak (120-140 juta orang) di seluruh dunia dan adanya kenyataan bahwa pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk menderita PAD maka implikasi dari masalah ini menjadi sangat besar (ADA, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan kali ini akan menitikberatkan pada pemahaman mengenai patofisiologi penyakit ini serta menentukan modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat dalam upaya penegakan diagnosis sehingga diharapkan manajemen PAD pada pasien diabetes menjadi lebih baik. FAKTOR RESIKO PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES Terdapat beberapa faktor resiko yang telah dikenali dapat meningkatkan predisposisi kejadian PAD pada diabetes. Banyak penelitian telah berusaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan ini dengan cara membandingkan PAD pada pasien diabetes dan non-diabetes serta membandingkan pasien diabetes dengan dan tanpa PAD. Pertambahan usia berhubungan erat dengan PAD pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2. Walaupun pada penelitian Framingham menjelaskan bahwa resiko tinggi pasien DM menderita PAD terjadi pada usia kurang dari 75 tahun, penelitian Framingham- offspring juga menemukan bahwa setiap usia 10 tahun, odds ratio PAD sebesar

Transcript of PAD in Diabetes Akhtar

Page 1: PAD in Diabetes Akhtar

1

PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS

PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES

Akhtar Fajar M

Ari Sutjahjo

PENDAHULUAN

Penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu

kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat

menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas. Pasien yang menderita PAD

dapat asimtomatik namun jika penyakit ini bertambah parah, penderita umumnya

mengalami morbiditas yang bermakna serta penurunan kualitas hidup sebagai akibat dari

oklusi arteri perifer seperti klaudikasio intermiten serta gejala critical limb ischemia

(CLI) yang ditandai dengan nyeri pada ekstremitas pada saat istirahat, ulserasi iskemik

ataupun gangren.

Pasien diabetes yang menderita PAD memiliki resiko tinggi terhadap peningkatan

morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Oleh karena jumlah penderita

diabetes mellitus (DM) sangat banyak (120-140 juta orang) di seluruh dunia dan adanya

kenyataan bahwa pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk menderita PAD maka

implikasi dari masalah ini menjadi sangat besar (ADA, 2003).

Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan kali ini akan menitikberatkan

pada pemahaman mengenai patofisiologi penyakit ini serta menentukan modalitas

pemeriksaan yang tepat dan cepat dalam upaya penegakan diagnosis sehingga diharapkan

manajemen PAD pada pasien diabetes menjadi lebih baik.

FAKTOR RESIKO PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES

Terdapat beberapa faktor resiko yang telah dikenali dapat meningkatkan

predisposisi kejadian PAD pada diabetes. Banyak penelitian telah berusaha untuk

menemukan jawaban dari permasalahan ini dengan cara membandingkan PAD pada

pasien diabetes dan non-diabetes serta membandingkan pasien diabetes dengan dan tanpa

PAD. Pertambahan usia berhubungan erat dengan PAD pada pasien DM tipe 1 maupun

tipe 2. Walaupun pada penelitian Framingham menjelaskan bahwa resiko tinggi pasien

DM menderita PAD terjadi pada usia kurang dari 75 tahun, penelitian Framingham-

offspring juga menemukan bahwa setiap usia 10 tahun, odds ratio PAD sebesar

Page 2: PAD in Diabetes Akhtar

2

2,6(Murabito, 2002).

Pada penelitian Framingham dan Rochester, insidens PAD lebih tinggi pada pria

dibandingkan wanita. Wanita dengan diabetes lebih cenderung menderita PAD jika

dibandingkan dengan wanita yang non-diabetes pada usia yang sama. Sementara itu,

wanita yang belum menopause pada populasi umum memiliki perlindungan yang relatif

baik terhadap aterosklerosis oleh karena status hormonal yang masih aktif (Abbott, 1990).

Pada suatu penelitian oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS),

durasi dan derajat hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan resiko insidens PAD

secara independen dari faktor resiko lainnya. Peningkatan HbA1C setiap 1%

berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun

menderita diabetes sebesar 28% (Adler, 2002).

UKPDS juga menemukan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik merupakan

faktor resiko independen untuk PAD dan setiap peningkatan tekanan darah sistolik

sebesar 10 mmHg maka resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun menderita

diabetes meningkat sebesar 25%(Adler, 2002).

Tabel 1 : Faktor resiko PAD pada diabetes mellitus (Adler, 2002)

Faktor Resiko Tipe Diabetes Mellitus

Peningkatan usia

Jenis Kelamin Laki-Laki

Durasi diabetes mellitus

Derajat hiperglikemia

Merokok

Hipertensi

Dislipidemia

Peningkatan kadar lipoprotein (a)

Peningkatan kadar apolipoprotein (a)

Obesitas, obesitas sentral

Resistensi insulin

Peningkatan kadar fibrinogen

Hiperhomosisteinemia

Mikroalbuminuria

Peningkatan kadar faktor von Willebrand

Peningkatan kadar kompleks trombin-antitrombin

Peningkatan kadar molekul adhesi intraseluler

1, 2 2

1, 2

2

2

1, 2

1, 2

1, 2

2

2

1, 2

2

Non-diabetes

1, 2

2

2

2

Page 3: PAD in Diabetes Akhtar

3

I. PATOFISIOLOGI PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES

I.1. Diabetes dan Inflamasi Vaskuler

Inflamasi telah menjadi petanda resiko bahkan faktor resiko penyakit

aterotrombosis termasuk PAD. Diabetes mellitus meningkatkan proses pembentukan

ateroma. Terdapat peningkatan kadar histamin pada plasma dan sel pada pasien diabetes

dengan PAD sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel. Akibatnya,

migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi dan aktivasi sitokin meningkat.

Monosit/makrofag menelan molekullow-density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi yang

kemudian berubah menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan membentuk fatty

streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma akan menjadi tidak stabil

oleh karena sel endotel pada pasien diabetes ini mengeluarkan sitokin yang menghambat

produksi kolagen oleh sel otot polos pembuluh darah. Selain itu metalloproteinase juga

dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi ini dimana zat ini dapat menghancurkan kolagenfibrous

cap plak ateroma sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya ruptur plak

dan pembentukan trombus (Rader, 2000; Beckmann, 2002; Hansson, 2005).

Peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP) berhubungan erat dengan kejadian

PAD. Selain itu, kadar CRP juga meningkat pada pasien dengan kelainan regulasi

glukosa darah termasuk pasien dengan toleransi glukosa darah terganggu dan diabetes.

Selain sebagai petanda adanya penyakit, kadar CRP yang tinggi juga dapat menjadi

penyebab terjadinya eksaserbasi PAD. CRP ternyata dapat berikatan dengan reseptor sel

endotel yang dapat merangsang apoptosis dan berada bersama dengan LDL teroksidasi

pada plak aterosklerosis. CRP juga dapat menstimulasi produksi faktor prokoagulasi oleh

endotel, molekul adhesi leukosit dan menghambat endothelial cell nitric oxide synthase

(eNOS) sehingga menyebabkan kelainan pada pengaturan tonus pembuluh darah. Selain

itu, CRP juga dapat meningkatkan produksi bahan yang menggangu proses fibrinolisis

seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Ridker, 1998).

I.2. Diabetes dan Disfungsi Endotel

Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta adanya

kecenderungan terjadinya trombosis memberikan dampak terhadap kejadian

aterosklerosis dan komplikasinya. Oleh karena posisi anatomis yang strategis antara

dinding pembuluh darah dengan aliran darah, sel endotel dapat mengatur fungsi dan

Page 4: PAD in Diabetes Akhtar

4

struktur pembuluh darah. Pada keadaan normal, banyak zat aktif disintesis dan dilepaskan

oleh sel endotel untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah sehingga dapat

mempertahankan aliran darah serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah terjadinya

trombosis dan diapedesis leukosit (Kinlay, 2001).

Dari semua molekul yang disintesis oleh sel endotel, nitric oxide (NO) yang

diproduksi oleh endothelial NO synthase (eNOS) melalui oksidasi guanidine-nitrogen

terminal dari L-arginine. Bioavailabilitas NO merupakan petanda utama kesehatan

pembuluh darah. NO menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi guanylyl cyclase pada

sel otot polos pembuluh darah. Selain itu, NO melindungi pembuluh darah terhadap

cedera dari dalam seperti aterosklerosis dengan cara memperantarai sinyal-sinyal

molekuler yang mencegah interaksi leukosit dan platelet dengan dinding pembuluh darah

dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos pembuluh darah (Moncada,

1993).Sebaliknya, penurunan produksi NO oleh sel endotel dapat meningkatkan aktivitas

faktor transkripsi proinflamasi nuclear factor kappa B (NF-κB) yang menyebabkan

ekspresi molekul adhesi leukosit serta produksi sitokin dan kemokin meningkat. Aktivitas

ini merangsang migrasi monosit dan sel otot polos pembuluh darah ke dalam tunika

intima dan menstimulasi pembentukan sel busa makrofag sebagai tanda awal perubahan

morfologi aterosklerosis (Mohamed, 1999).

Terdapat banyak kelainan metabolik yang terjadi pada diabetes termasuk

hiperglikemia, peningkatan pelepasan asam lemak bebas dan resistensi insulin dimana

hal-hal tersebut dapat mempengaruhi sintesis dan degradasi NO yang pada akhirnya

dapat menyebabkan disfungsi sel endotel.

I.2.1. Hiperglikemia, Stres Oksidatif dan NO

Bioavailabilitas NO mencerminkan suatu keseimbangan antara produksinya melalui

NOS dan degradasinya khususnya oleh radikal bebas oksigen. Data penelitian

eksperimental menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia menurunkan kadar NO yang

dihasilkan sel endotel. Hiperglikemia merangsang serangkaian aktivitas pada tingkat

seluler yang meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) seperti anion

superoksida dimana bahan ini dapat menginaktivasi NO untuk menghasilkanperoksinitrit

(ONOO-). Hiperglikemia dapat merangsang proses ini dengan cara meningkatkan

produksi anion superoksida melalui rantai transport elektron mitokondria. Anion

Page 5: PAD in Diabetes Akhtar

5

superoksida kemudian merangsang kaskade aktivasi endotel yang menyebabkan

peningkatan beberapa elemen seluler untuk menghasilkan radikal bebas oksigen. Hal ini

dapat dilihat pada anion superoksida yang mengaktivasi protein kinase C (PKC), atau

sebaliknya, aktivasi PKC dapat berkontribusi dalam pembentukan superoksida (Hink,

2001). Aktivasi PKC oleh glukosa berhubungan dengan regulasi dan aktivasi membrane-

associated NADPH-dependent oxidases serta produksi anion superoksida (Beckman,

2001; Cosentino, 2003).

Produksi anion superoksida oleh mitokondria juga meningkatkan produksi advance

glycation end products (AGEs) intrasel. Protein yang terglikasi mengubah fungsi sel

dengan cara mempengaruhi fungsi protein dan aktivasi reseptor AGEs (RAGEs). AGEs

sendiri dapat meningkatkan produksi radikal bebas oksigen dan aktivasi RAGE

meningkatkan produksi anion superoksida enzimatik intraseluler. Selain itu, peningkatan

produksi anion superoksida mengaktivasi jalur heksosamine yang menurunkan aktivasi

NOS melalui protein Akt kinase. Proses ini cenderung merekrut xanthine oxidase

sehingga memperbesar stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi oleh hiperglikemia

juga dapat meningkatkan kadar asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu antagonis

kompetitif NOS. Konsep mengenai stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia dapat

menyebabkan disfungsi endotel pada pasien dengan diabetes didukung oleh observasi

pada percobaan dengan pemberian infus intra-arterial asam askorbat, suatu antioksidan

yang larut dalam air yang dapat menghancurkan anion superoksida (Schmidt, 2000;

Desco, 2002).

Hiperglikemia juga dapat meningkatkan produksi lipid second messenger

diacylglycerol dimana hal ini dapat menyebabkan translokasi membran dan aktivasi PKC.

Aktivasi PKC menghambat aktivitas jalur phosphatidylinositol-3(PI-3)kinase, sehingga

hal tersebut dapat menghambat aktivasi Akt kinase dan juga fosforilasi NOS yang pada

akhirnya dapat menurunkan produksi NO(Du, 2001; Beckman 2002).

I.2.2. Pelepasan Asam Lemak Bebas dan Disfungsi Endotel

Kadar asam lemak bebas dalam sirkulasi meningkat pada diabetes oleh karena

pelepasannya yang berlebihan dari jaringan lemak dan penurunan uptake oleh otot rangka.

Asam lemak bebas dapat mengganggu fungsi endotel melalui beberapa mekanisme

meliputi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, aktivasi PKC dan eksaserbasi

Page 6: PAD in Diabetes Akhtar

6

dislipidemia. Peningkatan kadar asam lemak bebas mengaktivasi PKC dan menurunkan

aktivitas insulin receptor substrate-1 yang berhubungan dengan PI-3 kinase. Efek ini

terhadap transduksi sinyal dapat menurunkan aktivitas NOS (Beckman,2002).

Organ hati memberikan respon terhadap kadar asam lemak bebas dengan cara

meningkatkan produksi VLDL dan sintesis kolesterol ester. Hal ini meningkatkan

produksi protein yang kaya trigliserida dan penurunan klirens oleh lipoprotein lipase

menyebabkan keadaan hipertrigliseridemia yang sering didapatkan pada pasien diabetes.

Kadar trigliserida yang tinggi menurunkan kadar HDL dengan cara meningkatkan

transport kolesterol dari HDL ke VLDL. Kelainan ini mengubah morfologi LDL dimana

hal ini meningkatkan jumlah small dense LDL yang lebih aterogenik. Keadaan

hipertrigliseridemia dan rendahnya kadar HDL ini dikatakan berhubungan dengan

terjadinya disfungsi endotel (Boden, 1999).

I.2.3. Resistensi Insulin dan NO

Diabetes mellitus tipe 2 ditandai oleh adanya resistensi insulin. Insulin merangsang

produksi NO oleh sel endotel dengan cara meningkatkan aktivitas NOS melalui aktivasi

PI-3 kinase dan Akt kinase. Jadi, pada orang sehat, insulin meningkatkan vasodilatasi

yang dipengaruhi oleh endotel (NO). Pada penderita dengan resistensi insulin,

vasodilatasi oleh endotel menurun (Zeng et al, 1996).Selain itu, pembuangan glukosa

oleh insulin berbanding terbalik dengan derajat abnormalitas vasodilatasi oleh endotel.

Pengobatan yang meningkatkan sensitivitas insulin seperti metformin dan

thiazolidinediones meningkatkan vasodilatasi. Kelainan vasodilatasi oleh endotel pada

keadaan resistensi insulin mungkin dapat dijelaskan oleh perubahan sinyal intraseluler

yang menurunkan produksi NO. Secara spesifik, transduksi sinyal insulin melalui jalur

PI-3 kinase mengalami kelainan sehingga insulin kurang dapat mengaktivasi NOS dan

menghasilkan NO (Montagnani et al, 2002).

I.2.4. Produksi Vasokonstriktor oleh Endotel

Pada diabetes, disfungsi sel endotel ditandai tidak hanya oleh penurunan NO

namun juga peningkatan sintesis vasokonstriktor seperti prostanoid dan endotelin.

Hiperglikemia meningkatkan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) mRNA dan kadar

protein namun tidak mengekspresikan COX-1 mRNA pada percobaan sel endotel aorta

Page 7: PAD in Diabetes Akhtar

7

manusia (Consentino et al, 2003). Pada arteri kelinci percobaan in vitro yang terpapar

oleh keadaan yang hiperglikemik, produksi vasokonstriktor prostanoid meningkat dan

pemberian inhibitor COX dan antagonis prostaglandin H2/reseptor tromboksan A2

mengembalikan fungsi relaksasi oleh endotel (De Vriese et al, 2000).

I.3 Diabetes dan Sel Otot Polos Pembuluh Darah

Pengaruh diabetes mellitus terhadap fungsi pembuluh darah tidak terbatas hanya

pada lapisan endotel. Pada pasien dengan DM tipe 2, respon vasodilatasi terhadap

pemberian NO menjadi berkurang. Selain itu respon vasokonstriksi terhadap

vasokonstriktor seperti endotelin-1 berkurang. Disregulasi fungsi otot polos pembuluh

darah diperberat oleh gangguan fungsi sistem saraf simpatis. Diabetes dapat

meningkatkan aktivitas PKC, produksi NF-B dan pembentukan radikal bebas oksigen

pada otot polos pembuluh darah dimana hal ini juga terjadi pada sel endotel (Hattori et al,

2000). Selain itu diabetes meningkatkan migrasi sel otot polos pembuluh darah pada lesi

aterosklerotik dimana sel-sel tersebut melakukan replikasi dan menghasilkan matriks

ekstraseluler yang merupakan fase penting dalam pembentukan lesi aterosklerotik yang

matur. Apoptosis sel otot polos pembuluh darah pada lesi aterosklerotik juga meningkat

dimana pasien yang mengalami hal ini cenderung memiliki sel otot polos pada lesi

aterosklerotik yang lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan kecenderungan untuk

terjadinya ruptur plak. Pada orang yang mengidap diabetes, pengaruh sitokin

proinflamasi (IL-1, IFN gamma, TNF alfa) menurunkan sintesis kolagen dan

meningkatkan produksi matrix metalloproteinases (MMP) sehingga meningkatkan

kecenderungan destabilisasi dan ruptur plak (Suzuki et al, 2001).

I.4 Diabetes, Trombosis dan Koagulasi

Fungsi platelet pada diabetes juga mengalami kelainan. Ekspresi glikoprotein Ib

dan IIb/IIIa meningkat sehingga meningkatkan faktor von Willebrand—platelet dan

interaksi platelet—fibrin. Kadar glukosa platelet intraseluler mirip dengan lingkungan

ekstraseluler dan hal tersebut berhubungan dengan peningkatan pembentukan anion

superoksida dan aktivitas PKC serta penurunan produksi NO oleh platelet. Hiperglikemia

lebih lanjut dapat mengubah fungsi platelet dengan cara menggangu homeostasis kalsium

Page 8: PAD in Diabetes Akhtar

8

sehingga mengubah aspek aktivasi dan agregasi platelet termasuk struktur platelet itu

sendiri dan pelepasan mediator (Vinik et al, 2001).

Pada diabetes, faktor koagulasi plasma (misalnya faktor VII dan trombin) dan

lesion-based coagulants (misalnya tissue factor) meningkat dan antikoagulan endogen

(misalnya thrombomodulin dan protein C) menurun. Selain itu produksi PAI-1, suatu

penghambat fibrinolisis juga meningkat (Ren et al, 2002). Jadi, kecenderungan aktivasi

dan agregasi platelet serta kecenderungan koagulasi berhubungan dengan resiko

trombosis pada pasien diabetes.

II. DIAGNOSIS PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES

II.1. Evaluasi Klinis : Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan riwayat penyakit yang lengkap khususnya riwayat mengenai berjalan

kaki sebaiknya ditanyakan secara spesifik kepada pasien dan dilakukan secara rinci oleh

karena hal ini sering dilupakan. Riwayat penyakit ini akan mengungkap adanya gejala

klasik klaudikasio beserta variasinya. Terdapat dua komponen penting pada pemeriksaan

fisik yaitu inspeksi visual pada kaki dan palpasi nadi perifer.Tidak adanya pertumbuhan

rambut kaki, distrofi kuku jari kaki serta kulit kaki yang dingin dan kering merupakan

tanda-tanda insufisiensi vaskuler dan sebaiknya diperhatikan dengan baik. Celah jari kaki

sebaiknya diperiksa dengan baik untuk melihat adanya ulserasi dan infeksi.

Palpasi nadi perifer sebaiknya menjadi hal yang rutin pada pemeriksaan fisik dan

sebaiknya meliputi penilaian arteri femoralis, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri

dorsalis pedis. Hal yang perlu diperhatikan adalah penilaian pulsasi arteri ini bergantung

pada kemampuan pemeriksa sehingga penilaiannya memiliki variabilitas yang tinggi

dengan rasio positif palsu dan negatif palsu yang tinggi. Arteri dorsalis pedis dilaporkan

tidak dapat diraba pada 8,1% orang sehat sedangkan arteri tibialis posterior juga sulit

diraba pada 2,0% orang sehat. Namun demikian, jika kedua arteri dorsalis pedis yang

tidak dapat diraba oleh pemeriksa yang berpengalaman menunjukkan bahwa terdapat

kecenderungan yang sangat besar akan adanya penyakit vaskuler (Beckman, 2002).

II.2. Ankle-Brachial Index (ABI)

Pemeriksaan ABI merupakan pengukuran non-invasif yang cukup akurat untuk

mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI didefinisikan

Page 9: PAD in Diabetes Akhtar

9

sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitolik

padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai berikut

(Ankle Brachial Index Collaboration, 2008) :

Normal : 0,91 – 1,30

Obstruksi ringan : 0,70 – 0,90

Obstruksi sedang : 0,40 – 0,69

Obstruksi berat : < 0,40

Kurang kompresi : > 1,3

Gambar 1 : Protokol diagnosis PAD pada pasien diabetes (Hiatt, 2001)

Page 10: PAD in Diabetes Akhtar

10

Nilai ABI yang >1,30 menunjukkan arteri yang kurang terkompresi dikarenakan

oleh adanya kalsifikasi arteri bagian medial (Mönckeberg’s sclerosis) dimana kelainan ini

didapatkan pada sekitar 47% pasien dengan DM tipe 1 pada suatu penelitian serta sering

juga didapatkan pada pasien dengan gagal ginjal dan perokok berat.Hal tersebut

mengaburkan diagnosis PAD sehingga pada kondisi seperti ini, pemeriksaan ABI saja

kurang dapat dipercaya dalam menegakkan diagnosis penyakit ini(Hirsch et al, 2006).

Oleh karena angka kejadian PAD pada pasien dengan diabetes sangat tinggi,

pemeriksaan ABI sebaiknya dilakukan untuk skrining pasien diabetesyang berusia lebih

dari 50 tahun. Jika hasilnya normal, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan lagi setiap lima

tahun. Pemeriksaan ABI juga sebaiknya dipertimbangkan untuk skrining pasien diabetes

yang berusia kurang dari 50 tahun yang memiliki faktor resiko PAD seperti merokok,

hipertensi, dislipidemia atau durasi diabetes yang lebih dari 10 tahun (Allison, 2008).

II.3. Toe-Brachial Index (TBI)

TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien

diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh

darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan

menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini

lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang 0,75

dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri (Brooks et al, 2001).

II.4. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)

Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan

suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi yang

mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelombang.

PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada

arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua, pasien yang

menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita penyakit ginjal kronik. Pada

pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki yang terkena PAD

ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika akan dilakukan

amputasi pada kaki tersebut (Allison, 2008).

Page 11: PAD in Diabetes Akhtar

11

Interpretasi dari tes ini dapat menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi

PAD secara spesifik. Pada arteri yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi

dengan puncak yang tajam yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar.

Namun jika arteri tersebut mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat

gelombang yang pendek dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan

pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-95% (Hirsch et al,

2006).

II.5. Ultrasonografi Dupleks

Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri

perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang

nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan

penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga

dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada

sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi

dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al,

2007)

Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri

sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal

bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah

suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada

bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovaskular (Schwarcz,

2009).

II.6. Computed Tomographic Angiography (CTA)

Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang

seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan

spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 95-

99% (Shareghi et al, 2010).

Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding

arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,

karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika

Page 12: PAD in Diabetes Akhtar

12

intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal

penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani

dialisis (Brockmann et al, 2009).

II.7. Magnetic Resonance Angiography (MRA)

MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap

kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I

Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama

dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006).

Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan

(gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang

digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini

untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar

80-90% (Leiner et al, 2005).

II.8. Contrast Angiography

Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan

merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih

merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi

kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan

direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD

khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi (Hirsch et al, 2006; Eslami,

2009).

Seperti halnya pemeriksaan yang menggunakan media kontras, prosedur

angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko terjadinya

nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan hidrasi yang

cukup sebelum tindakan. Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada

pasien dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat dilakukan

sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien diabetes yang

menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah

angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari setelah

tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral

Page 13: PAD in Diabetes Akhtar

13

sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi klinis

termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk

dilakukan dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek

samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah akses

kateter pembuluh darah (Kashyap et al, 2008).

KESIMPULAN

Penyakit pembuluh darah khususnya PAD merupakan penyebab utama morbiditas

dan mortalitas pada pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes mellitus secara langsung

dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah dalam hal ini PAD. Patofisiologi

PAD pada diabetes melibatkan kelainan pada lapisan endotel, sel otot polos pembuluh

darah dan fungsi platelet. Kelainan metabolik yang khas pada diabetes seperti

hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin dapat mencetuskan

beberapa mekanisme molekuler yang menyebabkan disfungsi vaskuler.

Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai modalitas

pemeriksaan mulai dari tessederhana seperti ABI sampai pemeriksaan dengan teknologi

tinggi seperti MRA dan angiografi kontras. Kemampuan seorang klinisi dalam

menegakkan diagnosis dan memilih modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat penting

dalam menetukan langkah selanjutnya. Dengan memahami patofisiologi dan proses

penegakan diagnosis penyakit ini maka diharapkan manajemen PAD pada

diabetesmenjadi lebih baik sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas

penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott RD, Brand FN, Kannel WB. Epidemiology of some peripheral arterial findings in

diabetic men and women: experiences from the Framingham Study. Am J Med.

1990; 88: 376–381.

Adler AI, Stevens RJ, Neil A, Stratton IM, Boulton AJ, Holman RR. UKPDS 59:

hyperglycemia and other potentially modifiable risk factors for peripheral vascular

disease in type 2 diabetes. Diabetes Care. 2002; 25: 894–899.

Allison MA, Hiatt WR, Hirsch AT, Coll JR, Criqui MH. A high ankle-brachial index is

associated with increased cardiovascular disease morbidity and lower quality of life.

J Am Coll Cardiol. 2008;51(13):1292-1298.

American Diabetes Association. Peripheral arterial disease in people with diabetes.

Diabetes Care. 2003; 26: 3333–3341.

Page 14: PAD in Diabetes Akhtar

14

Ankle Brachial Index Collaboration. Ankle Brachial Index Combined With Framingham

Risk Score to Predict Cardiovascular Events and Mortality: A Meta-analysis.

JAMA. 2008;300(2):197-208.

Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Ascorbate restores endothelium-dependent

vasodilation impaired by acute hyperglycemia in humans. Circulation.

2001;103:1618–1623.

Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Inhibition of protein kinase C beta

prevents impaired endothelium-dependent vasodilation caused by hyperglycemia in

humans. Circ Res. 2002;90:107–111.

Boden G. Free fatty acids, insulin resistance, and type 2 diabetes mellitus. Proc Assoc

Am Physicians. 1999;111:241–248.

Brockmann C, Jochum S, Sadick M et al. Dual-energy CT angiography in peripheral

arterial occlusive disease. Cardiovasc. Intervent. Radiol. 2009;32(4), 630–637.

Brooks, B., et al.TBI or Not TBI: That Is the Question. Is It Better to Measure Toe

Pressure than Ankle Pressure in Diabetic Patients?. Diabetic Medicine. 18(7):528-

532, July 2001.

Cosentino F, Eto M, De Paolis P, et al. High glucose causes upregulation of

cyclooxygenase-2 and alters prostanoid profile in human endothelial cells: role of

protein kinase C and reactive oxygen species. Circulation. 2003;107:1017–1023.

De Vriese AS, Verbeuren TJ, Van de Voorde J, et al. Endothelial dysfunction in diabetes.

Br J Pharmacol. 2000;130:963–974.

Desco MC, Asensi M, Marquez R, et al. Xanthine oxidase is involved in free radical

production in type 1 diabetes: protection by allopurinol. Diabetes. 2002;51:1118–

11124.

Du XL, Edelstein D, Dimmeler S, et al. Hyperglycemia inhibits endothelial nitric oxide

synthase activity by posttranslational modification at the Akt site. J Clin Invest.

2001;108:1341–1348.

Elgzyri T, Ekberg G, Peterson K, Lundell A, Apelqvist J. Can duplex arterial

ultrasonography reduce unnecessary angiography? J. Wound Care. 2008;17(11),

497–500.

Eslami MH, Csikesz N, Schanzer A, Messina LM. Peripheral arterial interventions:

trends in market share and outcomes by specialty, 1998–2005. J. Vasc. Surg. 2009;

50(5), 1071–1078.

Favaretto E, Pili C, Amato A et al. Analysis of agreement between duplex ultrasound

scanning and arteriography in patients with lower limb artery disease. J Cardiovasc

Med. 2007; 8(5), 337–341

Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis and coronary artery disease. N Engl J Med.

2005; 352:1685-95

Hattori Y, Hattori S, Sato N, et al. High-glucose-induced nuclear factor kappaB

activation in vascular smooth muscle cells. Cardiovasc Res. 2000;46:188–197.

Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and claudication. N Engl J

Med. 2001;344:1608-1621.

Hink U, Li H, Mollnau H, et al. Mechanisms underlying endothelial dysfunction in

diabetes mellitus. Circ Res. 2001;88:E14–E22.

Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the

management of patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal,

mesenteric, and abdominal aortic): a collaborative report from the American

Page 15: PAD in Diabetes Akhtar

15

Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery, Society for

Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and

Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on

Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the

Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): endorsed by the

American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National

Heart, Lung, and Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic

Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.

2006;113(11): 463-654.

Kashyap VS, Pavkov ML, Bishop PD et al. Angiography underestimates peripheral

atherosclerosis: lumenography revisited. J Endovasc Ther. 2008;15(1), 117–125.

Kinlay S, Libby P, Ganz P. Endothelial function and coronary artery disease. Curr Opin

Lipidol. 2001;12:383–389.

Leiner T. Magnetic resonance angiography of abdominal and lower extremity vasculature.

Top. Magn. Reson. Imaging. 2005;16(1), 21–66.

Leiner T, Kessels AG, Nelemans PJ et al. Peripheral arterial disease: comparison of color

duplex US and contrast-enhanced MR angiography for diagnosis. Radiology.

2005;235(2), 699–708.

Mohamed AK, Bierhaus A, Schiekofer S, et al. The role of oxidative stress and NF-

kappaB activation in late diabetic complications. Biofactors.1999;10:157–167.

Moncada S, Higgs A. The L-arginine–nitric oxide pathway. N Engl J Med.

1993;329:2002–2012.

Montagnani M, Golovchenko I, Kim I, et al. Inhibition of phosphatidylinositol 3-kinase

enhances mitogenic actions of insulin in endothelial cells. J Biol Chem.

2002;277:1794–1799.

Murabito JM, Evans JC, Nieto K, Larson MG, Levy D, Wilson PW. Prevalence and

clinical correlates of peripheral arterial disease in theFramingham Offspring Study.

Am Heart J. 2002; 143: 961–965.

Rader D. Inflammatory markers of coronary risk. N Engl J Med. 2000;343:1179-1182

Ren S, Lee H, Hu L, et al. Impact of diabetes-associated lipoproteins on generation of

fibrinolytic regulators from vascular endothelial cells. J Clin Endocrinol Metab.

2002;87:286–291.

Schmidt AM, Stern D. Atherosclerosis and diabetes: the RAGE connection. Curr

Atheroscler Rep. 2000;2:430–436.

Schwarcz TH, Gatz VL, Little S, Geddings CF. Arterial duplex ultrasound is the most

cost-effective, noninvasive diagnostic imaging modality before treatment of lower-

extremity arterial occlusive disease. J Vasc Ultrasound. 2009;33(2), 75–79.

Shareghi S, Gopal A, Gul K et al. Diagnostic accuracy of 64 multidetector computed

tomographic angiography in peripheral vascular disease. Catheter Cardiovasc Interv.

2010;75(1), 23–31.

Suzuki LA, Poot M, Gerrity RG, et al. Diabetes accelerates smooth muscle accumulation

in lesions of atherosclerosis: lack of direct growth promoting effects of high

glucose levels. Diabetes. 2001;50:851–860.

Vinik AI, Erbas T, Park TS, et al. Platelet dysfunction in type 2 diabetes. Diabetes Care.

2001;24:1476–1485.

Zeng G, Nystrom FH, Ravichandran LV, et al. Roles for insulin receptor, PI3-kinase, and

Akt in insulin-signaling pathways related to production of nitric oxide in human

vascular endothelial cells. Circulation. 2000;101:1539–1545.