Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang -...
Transcript of Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang -...
Oleh:
Rifdah Rudi
1906291576
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Kata Pengantar
Di Indonesia, masalah ketenagakerjaan merupakan “Lakon Wajib” dalam setiap rezim
pemerintahan yang berkuasa. Dalam setiap lakon, harus ada tokoh dan perselisihan yang selalu
membuatnya dramatis dan menarik untuk diikuti, tentu tokoh yang dimaksud disini adalah
pengusaha, buruh, dan pemerintah. Baik pengusaha maupun buruh adalah tokoh yang sama
penting dan saling membutuhkan, masing-masing memegang peranan strategis untuk
menggerakkan roda perekonomian di suatu negara. Idealnya dengan peranan yang saling
melengkapi, hubungan pengusaha – buruh seharusnya menjadi simbiosis mutualisme. Namun
pada faktanya ego sektoral masing-masing pihak ditambah regulasi pemerintah dengan
“keberpihakan” yang keliru membuat upaya-upaya penyelesaian masalah tidak pernah
mencapai titik temu.
Sebagai pembuat regulasi dan pihak yang berperan menjadi penengah konflik
pengusaha – buruh, pemerintah RI menciptakan “Omnibus Law” sebagai jalan tengah yang
digadang-gadang mampu menjadi jawaban dari segala persoalan di sektor ketenagakerjaan dan
bermuara pada keberhasilan di bidang perekonomian. Namun terobosan ini justru ditentang
dengan keras oleh para buruh yang menganggap regulasi ini lebih berpihak kepada para
investor atau pengusaha, hingga beberapa waktu terakhir Istana dan Gedung Parlemen tak
pernah sepi dari suara-suara buruh yang terus berjuang menentang pasal-pasal bermasalah
dalam Omnibus Law. Sebagai akademisi tentu harus bijak dalam menentukan sikap terkait
persoalan ini, dan sebelum dapat mengambil sikap, alangkah lebih baik untuk membedah
terlebih dahulu pasal-pasal yang ada di Omnibus Law untuk kluster ketenagakerjaan.
Harapan saya dengan dirilisnya kajian ini dapat memberikan wawasan baru serta
menyajikan cara pandang yang berbeda dalam membedah dan melihat Omnibus Law kluster
ketenagakerjaan bagi para pembaca. Tak lupa saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya
kepada penulis yang telah meluangkan waktu serta menuangkan ide dan pemikirannya untuk
menyelesaikan kajian ini, semoga kajian ini menjadi awal untuk penulis dapat terus belajar dan
mengembangkan pemikirannya di masa depan.
Tangerang, 22 Agustus 2020
Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum
Muhammad Fadhil Pratomo
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………1
Bab I : Pendahuluan
Latar Belakang………………………………………………………………………………3
Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin Perlindungan
Tenaga Kerja………………………………………………………………………………...6
Bab II : Isi
Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Mengakomodasi Kebutuhan
Masyarakat Indonesia?..........................................................................................................20
Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Ketenagakerjaan…..28
Bab III : Penutup
Kesimpulan………………………………………………………………………………….36
Saran………………………………………………………………………………………...36
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….38
2
Bab I : Pendahuluan
I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia
berupaya membentuk undang – undang yang berkualitas disertai dengan sifat yang fleksibel,
sederhana, dan responsif. Produk pembentukan undang – undang yang dimaksud oleh
pemerintah tidak lain yaitu Produk Omnibus Law. Pembahasan produk ini dimulai sejak saat
Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode
2019-2024.1 Beliau menyatakan dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
bahwa salah satu program kerja yang akan dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan
regulasi dan penyiapan Omnibus Law. Upaya penyederhanaan regulasi yang dimaksud antara
lain pemberlakuan teknik Omnibus Law sebagai teknik yang baru dalam pembentukan regulasi
di Indonesia. Maksud dari kehadiran Omnibus Law ini diharapkan dalam pembentukan suatu
produk Undang – Undang yang baru dapat mengamandemen pasal yang termuat dalam
beberapa undang – undang lainnya.
Dalam muatannya, sebuah Undang – Undang Omnibus mencakup substansi materi yang saling
berhubungan. Undang – Undang Omnibus ini mencerminkan sebuah integrasi dan kodifikasi
peraturan yang bertujuan untuk mengefektifkan penerapan peraturan tersebut. Keberadaan
omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019.
Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Badan
Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember 2019, telah
menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. Pembentukan Rancangan Undang - Undang
Omnibus Law tersebut menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga
Hartarto merupakan arahan dari Presiden Jokowi dengan tujuan meningkatkan iklim investasi
dan daya saing dalam berbagai kesempatan.2
Maksud dari penggunaan teknik legislasi omnibus law dalam pembentukan Rancangan Undang
- Undang Cipta Kerja ini tidak lain untuk menata dan menciptakan peraturan perundang –
1 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News.
Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada
15 Juni 2020 2 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”.
Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-
20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020
3
undangan yang bersifat sederhana terkait dengan Penciptaan Lapangan Kerja yang mampu
menghasilkan pelayanan perizinan usaha yang mudah dan cepat, serta memperkuat usaha kecil
dan menengah termasuk koperasi. Secara sederhana, dapat dipahami tujuan utama dari
pembentukan regulasi untuk mewujudkan kehadiran hukum yang adil bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pembentukan Rancangan Undang - Undang ini dilatarbelakangi dengan hadirnya
perubahan global yang perlu direspons secara cepat dan tepat, sehingga diperlukan perbaikan
kebijakan karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.3 Atas dasar hal tersebut,
dibentuklah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang merupakan inisiatif dari
Pemerintah dan dimasukkan ke dalam daftar Program legislasi nasional Rancangan Undang –
Undang Prioritas Tahun 2020.
Muatan dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini mencakupi 1.244 pasal bersumber dari 79 undang-
undang yang dicoba untuk disederhanakan sehingga dapat dijadikan sebagai payung hukum
yang bersifat fleksibel. Perubahan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang meliputi sektor
tenaga kerja dan investasi yang terdiri atas 11 kluster, antara lain Kluster Penyederhanaan
Perizinan mencakupi 522 Undang - undang yang terdiri dari 770 pasal, Kluster Persyaratan
Investasi mencakupi 13 Undang - Undang yang terdiri dari 24 pasal, Kluster Ketenagakerjaan
mencakupi 3 Undang - Undang terdiri dari 55 pasal, kemudian Kluster Kemudahan,
Pemberdayaan, dan Perlindungan Usaha Kecil, Mikro dan Menengah mencakup 3 Undang -
Undang yang terdiri dari 6 pasal, Kluster Kemudahan Berusaha mencakupi 9 Undang – Undang
yang terdiri dari 23 pasal, Kluster Dukungan Riset & Inovasi mencakupi 2 Undang – Undang
terdiri dari 2 pasal, Kluster Administrasi Pemerintahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri
dari 14 pasal, Kluster Pengenaan mencakupi 49 Undang - Sanksi Undang terdiri dari 295 pasal,
Kluster Pengadaan Lahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 11 pasal, Kluster Investasi
dan Proyek Pemerintah mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 2 pasal, dan Kluster
Kawasan Ekonomi mencakupi 5 Undang - Undang terdiri dari 38 pasal.4
Meskipun maksud dari pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja untuk
mencapai tujuan yang baik serta dalam kelanjutan prosesnya pun, draf telah diserahkan kepada
pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, jika mengkaji secara mendalam terkait dengan
3 Shanti Dwi Kartika. “Politik Hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja “, Pusat Penelitian
Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diakses dari
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-4-II-P3DI-Februari-2020-210.pdf pada 15
Juni 2020 4 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi
Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-
akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020.
4
muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, masih didapati berbagai
permasalahan hukum di dalamnya sehingga membuat Rancangan Undang - Undang Cipta
Kerja ini perlu untuk dikaji ulang. Salah satu permasalahan yang ada yaitu banyaknya jumlah
peraturan yang termuat dalam pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terdiri
dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah. Hal ini
menunjukkan pembuat undang-undang tidak memperhatikan kondisi regulasi di Indonesia.
Dengan kata lain, Pemerintah seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia sedang
mengalami hiper regulasi.
Pada mulanya, maksud dari penggunaan teknik omnibus law ini sebagai momentum dalam
membenahi regulasi secara menyeluruh. Namun, pada kenyataannya pemerintah jelas terlihat
menambahi penyusunan regulasi. Sehingga, hal ini berlawanan dengan agenda reformasi
regulasi yang diumumkan oleh presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan
perundang – undangan di level pemerintah pusat. Berdasarkan Hasil penelitian Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2018,
ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang - Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.5
Rumusan Masalah :
1. Apa yang melatarbelakangi pembentukan RUU Ciptakerja?
2. Apa pembahuruan yang dihadirkan dalam RUU Ciptakerja dari regulasi yang sudah ada
sebelumnya?
3. Apakah Karakter Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Telah Menjamin Perlindungan
Tenaga Kerja?
4. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Mengakomodasi
Permasalahan Ketenagakerjaan?
5. Bagaimana Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor
Ketenagakerjaan?
5 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. “Kajian Reformasi Regulasi Indonesia : Pokok Permasalahan dan
Strategi Penanganannya”. Diakses dari https://www.pshk.or.id/penelitian/kajian-reformasi-regulasi-di-indonesia-
pokok-permasalahan-dan-strategi-penanganannya/ pada 20 Juni 2020.
5
II. Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin
Perlindungan Tenaga Kerja
Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan oleh
pemerintah diharapkan dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang mengatur di bidang
ketenagakerjaan dan mempunyai tujuan yang luhur bagi tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut
dapat dilihat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur mengenai
tujuan diselenggarakan Undang - Undang ini untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-
luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan
perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta perkoperasian, peningkatan ekosistem
investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi
Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.6 Tujuan Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja yang merupakan argumen politik para pembentuk undang - undang yang
dimuat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah terpapar sangat jelas dan
mempunyai tujuan yang baik. Pengamatan ini bersumber dari asumsi dasar yang menganggap
bahwa hukum merupakan produk politik dan dengan maksud untuk mengetahui karakter
produk hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja maka difokuskan pada karakter
hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, dan karakter hukum
ortodoks, seperti yang dikemukakan Marryman.7
Dalam mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja berkarakter hukum
responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam kajian ini digunakan indikator untuk
menentukan karakter produk tersebut. Adapun indikator-indikatornya adalah sebagai berikut :
a. Proses pembuatan hukum
Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif,
yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok
sosial dan individu di dalam masyarakat, sedangkan proses pembuatan produk hukum yang
berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara
terutama pemegang kekuasaan eksekutif.8 Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-
6 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 8 7 Ujang Charda S., ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan
Pemerintah”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, Maret
2012, hlm. 9. 8 Moh. Mahfud MD., Politik ... Op. Cit., hlm. 26.
6
undangan akan melalui tahapan yang telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undang.
Tahapan tahapan yang akan dilalui yaitu tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap
pembahasan rancangan undang - undang, tahap pengesahan dan tahap pengundangan.
Perencanaan terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mulai muncul dari adanya
pembahasan terkait pembentukan produk ini sejak saat Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua
kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode 2019-2024.9 Beliau menyatakan dalam
sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat bahwa salah satu program kerja yang akan
dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan regulasi dan penyiapan Omnibus Law.
Keberadaan omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12
Desember 2019. Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember
2019, telah menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. 10 Kemudian, terkait
dengan tahapan pembentukan peraturan perundang undangan secara umumnya dilaksanakan
oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam hal ini lembaga Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki wewenang khusus menangani bidang legislasi, dan Pemerintah (Presiden) yang
dikoordinasikan oleh menteri yang memiliki tugas dan ranah tanggung jawabnya meliputi
bidang peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan tahapan persiapan dan tahapan
pembahasan rancangan undang-undang, masyarakat seharusnya dapat berpartisipasi dan
bahkan berhak untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis.
Peran masyarakat sangat diperlukan dengan memberikan aspirasi yang dimiliki, baik secara
individu maupun kelompok, agar suatu peraturan perundang-undangan yang nantinya telah
disahkan dan diundangkan dapat berkarakter responsif atau sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Hal ini berdasarkan pada pernyataan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan kenyataan yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat. 11 Dalam tahapan
persiapan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Badan Legislasi yang
9 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News.
Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada
15 Juni 2020 10 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”.
Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-
20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020 11 Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 22 No. 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 43
7
beranggotakan 80 orang berupaya membentuk Panitia Kerja yang beranggotakan sebanyak 40
orang. Namun, dalam pelaksanaan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja,
kegiatan ini hanya dilakukan oleh Panitia Kerja. Di samping itu, pada saat pembahasan
berlangsung adanya konstituen yang tidak terwakili karena adanya 40 anggota Badan Legislasi
yang tidak masuk sebagai anggota Panitia Kerja.12 Pelaksanaan pembahasan yang dilakukan
oleh Panitia Kerja bertentangan dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang
Pembentukan Undang-Undang yang disahkan pada 2 April 2020, yang mengatur bahwa
pembahasan seluruh materi Rancangan Undang - Undang seharusnya dilakukan dalam rapat
kerja oleh alat kelengkapan atau Badan Legislasi. Pembahasan dapat dilakukan melalui Panitia
Kerja apabila ada substansi yang disetujui oleh Badan Legislasi.13
Panitia Kerja hanya memiliki satu wewenang yaitu melakukan pembahasan terhadap materi
tertentu dalam daftar inventaris masalah yang belum disepakati pada tingkat Badan Legislasi.
Pembahasan yang hanya dilakukan melalui Panitia Kerja dikhawatirkan dapat menutup ruang
dialog yang lebih luas di antara seluruh anggota Badan Legislasi yang seharusnya mengemban
aspirasi konstituennya. Ruang diskusi dan aspirasi dalam membahas materi Rancangan
Undang - Undang dapat semakin terbatas, jika hanya dilakukan dalam lingkup Panitia Kerja.
Situasi ini dapat berpotensi terhadap munculnya ketertutupan proses dan minimnya informasi
untuk publik. Praktik seperti ini dikhawatirkan dapat membuat pembahasan Rancangan -
Undang Cipta Kerja semakin elitis dan eksklusif. 14 Dengan praktik pembahasan yang
dilakukan seperti berikut, Serikat Buruh merasa tidak dapat menerima muatan yang tercantum
dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam konferensi pers bertajuk MPBI Soal Omnibus Law dan
May Day 2020 menyatakan bahwa Serikat Buruh juga meminta kepada pemerintah
untukmenarik kembali Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja itu dari Dewan Perwakilan
Rakyat dan membahasnya ulang dengan melibatkan serikat buruh untuk masuk ke dalam tim
perumus Omnibus Law.15
12 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015. hlm. 12 13 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-
cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020 14 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-
cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020 15 Soraya Novika. (2020, April 29). “Buruh Minta RUU Cipta Kerja Ditarik dan Dibahas Ulang”, Detik
8
Setelah berbagai upaya kritik dan unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk serikat
buruh, Lembaga Tripartit berupaya membentuk Forum tripartit yang terdiri dari perwakilan
pekerja, pengusaha, dan pemerintah dalam membahas secara spesifik terhadap klaster
ketenagakerjaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Forum tripartit berlangsung selama
sembilan kali pada tanggal 8 - 23 Juli 2020. Pertemuan ini diselenggarakan untuk merumuskan
ulang isi pasal-pasal dalam kluster ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta
Kerja. Sebelum usulan terkait draf kluster ketenagakerjaan diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), keputusan terkait usulan pasal-pasal tersebut diserahkan kepada
pihak pemerintah. Pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja melibatkan enam
serikat pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia, serta 10 kementerian dan lembaga pemerintah.16
Setelah usainya pelaksanaan forum tripartit ini, Pada 31 Juli 2020, Ketua Konfederasi Serikat
Pekerja Nasional (KSPN) Benny Rusli, menyatakan bahwa masih adanya perbedaan
fundamental antara sudut pandang serikat buruh dan pengusaha. Beberapa pasal yang dinilai
buruh mendegradasi hak dan kesejahteraannya justru dipandang pengusaha sebagai nilai
tambah untuk memperbaiki iklim berusaha dan menarik investasi di tengah pandemi. Oleh
karena itu, dalam pembahasan yang berlangsung selama dua pekan terakhir, sejumlah pasal
krusial yang menjadi sorotan pekerja tidak semuanya disepakati oleh perwakilan pengusaha.
Keputusan akhir dari pembahasan forum tripartit ini diserahkan kepada pemerintah untuk
dirumuskan dengan redaksional terkait tiap pasal dari masukan kedua buruh dan pengusaha.
Usulan terkait draf akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada pekan selanjutnya
usai dilakukan pelaksanaan forum tripartit terkait pembahasan Rancangan Undang Undang
Cipta Kerja Sektor Ketenagakerjaan.
Pada awal pembahasan produk hukum ini, Pemerintah memang dianggap menutupi informasi
terkait Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Praktek awal pembahasan
produk hukum ini juga bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan Asas Keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Fincance. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4995816/buruh-minta-ruu-cipta-kerja-
ditarik-dan-dibahas-ulang pada 1 Juli 2020 16 Agnes Theodora. (2020, Agustus 1). “Buruh dan Pengusaha Belum Satu Kata”, Kompas Bebas.
Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/ekonomi/2020/08/01/buruh-dan-pengusaha-belum-satu-kata/ pada 1
Agustus 2020
9
sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019.17 Namun, setelah
dilakukan upaya pelaksanaan Forum Tripartit dalam pembahasan Rancangan Undang –
Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan yang melibatkan perwakilan pekerja, pengusaha,
dan pemerintah, hal ini perlu diberikan apresiasi karena pemerintah telah mulai menyadari
bahwa pembahasan yang dilakukan secara tertutup dapat berdampak buruk pada muatan
peraturan yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi yang ada. Ketua Koordinator
Advokasi BPJS juga mengatakan peran masyarakat dianggap penting untuk memastikan
produk Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, agar tidak bertentangan dengan konstitusi.18
Dari uraian di atas dapat diringkas, bahwa dalam proses pembentukan Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja, pemerintah telah berusaha bersifat partisipatif. Pihak Pemerintah yakni
10 Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai
pihak dan turut serta dalam Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui
kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang
membawa aspirasi kaum buruh secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
b. Sifat fungsi hukum
Dilihat dari fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif juga bersifat aspiratif. Hal
ini mengartikan bahwa hukum tersebut memuat materi-materi yang secara umum sesuai
dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayani. Sehingga produk hukum tersebut
dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat, sedangkan hukum yang
berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Positivis - instrumentalis memuat arti
yaitu bahwa hukum tersebut memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik
pemegang kekuasaan atau memuat materi sebagai alat untuk mewujudkan kehendak dan
kepentingan program pemerintah.19 Dari sudut pandang kaum buruh, beberapa materi yang
termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dianggap tidak bersifat aspiratif,
karena tidak sesuai dengan kehendak buruh yang dilayani. Hal ini dapat terlihat dari berbagai
alasan yang dimiliki kaum buruh dalam menolak undang undang tersebut antara lain, Pertama,
adanya kritikan buruh terhadap Pasal 88 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.
17 Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 18 18 Dewi Rina Cahyani. (2020, Februari 17). “DPR Didesak Libatkan Buruh Bahas Ruu Cipta Kerja”.
Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1308449/dpr-didesak-libatkan-buruh-bahas-ruu-cipta-kerja 27 Juli 2020 19 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015.hlm. 12
10
Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan Ketentuan mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat
didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral).
Namun, berbagai ketentuan mengenai pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak
lagi berlaku dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Dampak yang kelak terjadi
apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah
Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang
pada akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Pada
kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat 2 dan
Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengatur
mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi harus lebih
tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.
Salah satu penerapan terkait pemberian upah yang berlangsung seperti di Jawa Barat dimana
Upah Minimum Provinsi nya sebesar Rp 1,8 juta. Sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota
yang diberikan di Kabupaten-Kota Bekasi saat ini sebesar Rp 4 juta dan untuk Upah Minimum
Kabupaten/Kota di daerah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4,5 juta.20 Berlakunya Rancangan
Undang - Undang ini, dikhawatirkan dapat menurunkan upah yang diberikan pada buruh.
Dalam menjawab alasan pemberian upah berdasarkan Upah Minimum Provinsi, Menteri
Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa maksud dari dilakukannya sistem
pengupahan tersebut yaitu agar tidak terjadinya kesenjangan upah antar kabupaten/kota.21
Kritikan kedua yang diajukan oleh buruh antara lain terhadap ketentuan mengenai hak uang
atau pesangon buruh saat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diatur dalam Pasal 161-172
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 22 Dalam draft awal
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang disusun pemerintah menghapus ketentuan pasal
Ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 Undang -
Undang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua
20 Cantika Adinda Putri. (2020, Februari 16) . “Termasuk Soal Pesangon, Ini 9 Alasan Buruh Tolak RUU
Ciptaker”. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200216192806-4-138248/termasuk-soal-
pesangon-ini-9-alasan-buruh-tolak-ruu-ciptaker pada 28 Juli 2020 21 Vadhia Lidyana. (2020, Februari 24). “Utak Atik Aturan Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja”.
Diakses dari https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-4911651/utak-atik-aturan-ketenagakerjaan-di-ruu-
cipta-kerja/2 pada 28 Juli 2020 22 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 161-172
11
kali lipat. Hal ini berlaku bagi pekerja yang mundur dari pekerjaan (resign), sehingga tidak bisa
meminta uang penggantian hak. Hal ini juga berlaku pada ahli waris pekerja yang meninggal
sehingga tidak bisa mendapat hak pesangon pekerja bersangkutan. Selain itu, hak pesangon
dua kali bagi pekerja yang sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja serta
mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja akibat kondisinya juga dihapus.
Kritikan ketiga yang diajukan oleh buruh yaitu adanya Penghapusan Batas Waktu Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengubah
ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.23 Perubahan yang
dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi oleh Undang - Undang sebagaimana tertera
dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.24 Dapat disimpulkan secara tidak langsung
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu dan menyerahkan kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara
langsung kepada para pihak. Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat
mengurangi peran pemerintah dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. Penghapusan ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT (Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu) menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja
tetap) dikhawatirkan dapat memberi dampak langsung yaitu semakin menjamurnya jenis
pekerja kontrak, sehingga membuat buruh berpotensi dikontrak terus menerus untuk jangka
waktu yang lama tanpa kejelasan status bekerja tetap.
Kritikan keempat yang diajukan oleh buruh yaitu adanya penghapusan ketentuan materiil
dalam pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang telah mengatur secara khusus
dan mendetail mengenai perihal alih daya atau outsourcing. 25 Sebelumnya, Alih Daya
memiliki pengertian yaitu bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada dibawah
tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama namun
diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.26
23 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (4) 24 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 56 ayat (3) 25 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dan 65 26 Vide Pasal 64, 65, dan 66, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
12
Menurut penuturan dari Professor Ari, hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang
dilegalkan untuk menjalankan alih daya, yakni cleaning service, jasa pengamanan, catering,
jasa pertambangan, dan jasa transportasi.27 Ditambah dalam Pasal 66 Ayat 1 Undang - Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait pekerjaan yang
dapat dilakukan yakni tidak boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi. 28 Sementara dalam muatan Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja ini menghadirkan bentuk hubungan kerja alih daya sebagai jenis
pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang terlihat dengan
dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang
telah mengatur secara khusus dan mendetail mengenai perihal alih daya.
Aturan mengenai outsourcing dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja hanya diatur
pada satu pasal yaitu pada Pasal 66.29 Pada pasal a quo diberlakukan aturan yang lebih general
sehingga bersifat lebih fleksibel. Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja juga tidak
menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan
penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis pekerjaan serta waktunya. Dalam menilik
materiil yang ada di dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait pengaturan Alih
Daya atau Outsourcing dapat menimbulkan kekhawatiran karena pembatasan dalam
pengaturan alih daya menjadi tidak jelas dan bisa menyebabkan bentuk hubungan kerja alih
daya menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law yang seperti berikut, hal ini
dapat disimpulkan bahwa pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih
fleksibel dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja terutama melalui mekanisme alih daya
(outsourcing). Hal ini dapat menimbulkan tidak adanya perlindungan terhadap pekerja alih
daya. Tanpa batasan jenis pekerjaan yang dialihdayakan, hal ini dapat memberikan keleluasan
bagi perusahaan dalam merekrut pekerja alih daya dengan upah yang lebih murah dan
perjanjian kerja yang bersifat fleksibel.
Kritikan terakhir yang diajukan oleh buruh terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
tertuju pada muatan menghilangnya konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat
pasal yang memiliki permasalahan terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja.
Permasalahan pertama, termuat dalam Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang
27 Ari Hernawan, Loc. Cit. 28 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 66 Ayat (1) 29 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terkait Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 166
13
Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja”.30 Kemudian, dilakukannya perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”31 Implikasi
dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan pemerintah dalam mengupayakan tidak
terjadinya pemutusan hubungan kerja, sehingga pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang
bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja dan
pengusaha.32
Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja
dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”33 Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak
tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja
melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan mengikuti
ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara perdata. Hal
ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas hukum. Asas
mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah menjadi jargon
yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat (2) tersebut,
Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dianggap tidak
memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama yang seharusnya
memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling utama bagi tenaga
kerja dalam membela dirinya saat berselisih.34
Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa
30 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1) 31 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2002 Tentang
Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1) 32 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker 33 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 152 Ayat (2) 34 Gede Arya Wiryana. (2020, Februari 2017) . “RUU Cipta Kerja dan Problematika Ketenagakerjaan”.
Diakses dari (https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada
10 Juli 2020
14
ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force
majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.
Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 35 Hal ini dapat menimbulkan
Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami
pailit.36
Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat
dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban
perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang
- Undang Ketenagakerjaan. Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai
kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam
Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi
perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat
3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang
penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya
24 tahun atau lebih.37 Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan
Undang – Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat
diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika
ditelaah lebih lanjut, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan
Kerja pada tenaga kerja.
Berbagai kritikan terhadap materi muatan Undang - Undang Ketenagakerjaan yang diajukan
oleh kaum buruh dipandang sebagai peraturan yang merefleksikan visi sosial dan politik
pemegang kekuasaan, sehingga muatan dalam peraturan tersebut merupakan alat untuk
mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah. Pemerintah memang telah
menyatakan bahwa dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terfokus pada
tujuan utama yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut diatur lebih lanjut dalam ketentuan pada Pasal 88
35 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A 36 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker 37 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 Ayat 3
15
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pengaturan baru dalam
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ditujukan untuk menguatkan perlindungan dan
meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi. 38 Hal ini dapat
menyiratkan bahwa investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal paling utama dalam
pembangunan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam muatan Rancangan Undang - Undang
Cipta Kerja khususnya sektor ketenagakerjaan dianggap memang telah banyak mengatur
mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Namun dalam muatan regulasi tersebut dianggap belum membuat peraturan baru yang
berkaitan dengan peningkatan kompetensi pekerja. Hal ini tidak menunjukkan keselarasan
dengan tujuan yang diniatkan pemerintah dalam menekankan penciptaan lapangan kerja.
Seharusnya dalam mencapai tujuan penciptaan lapangan kerja yang baik, pemerintah perlu
melakukan upaya yang selaras dalam meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja di
Indonesia. Dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang bertujuan awal
untuk melindungi hak para pekerja, dianggap membuat pasal spesifik pada sektor
ketenagakerjaan ini sendiri pun terabaikan. Terjadinya hal ini disebabkan terlalu fokusnya
pemerintah terhadap kebutuhan investasi dan ekonomi. Pada kenyataannya, dalam hubungan
industrial yang termuat dalam Pancasila terkait tindakan memberikan perlindungan bagi para
pekerja merupakan bentuk keharusan yang merupakan tanggung jawab pihak pemerintah.39
Dari uraian-uraian di atas, kaum buruh berpandangan, bahwa sifat fungsi Rancangan Undang
- Undang Cipta Kerja tidak bersifat aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum bertentangan
dengan kehendak yang dimiliki masyarakat.
c. Kemungkinan penafsirannya
Dilihat dari segi penafsiran, maka produk hukum yang berkarakter responsif biasanya
memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui
berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal
yang benar - benar bersifat teknis. Sedangkan untuk produk hukum yang berkarakter ortodoks
memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi
dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak
sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat
dan pokok – pokok saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk
38 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 39 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker.
16
mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.40 Dalam Isi Produk Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja terdiri dari 11 Kluster dan 1.244 pasal yang bersumber dari 79 undang-
undang yang disederhanakan. Pembahasan terkait sektor ketenagakerjaan di dalam Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja bersumber dari 3 Undang - Undang yang terdiri dari 55 Pasal.41
Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Kluster Ketenagakerjaan
ditemukan suatu pasal yang bersifat multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang - Undang
Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”. 42 Pasal 93 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah
apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
berhalangan”. Pasal ini mendapatkan kritikan dikarenakan tidak adanya penjelasan lebih lanjut
mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti
yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam
pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata “berhalangan” diinterpretasikan secara
bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin.43
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa jika dilihat dari segi penafsiran, maka suatu produk
hukum yang berkarakter responsif biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk
membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit
dan itupun hanya berlaku terhadap hal yang betul bersifat teknis. Sedangkan, pada produk
hukum yang berkarakter ortodoks memberi peluang yang luas kepada pemerintah untuk
membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi
sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya
cenderung memuat materi singkat dan pokok pokok saja untuk kemudian memberi peluang
yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya. 44
Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberikan peluang yang besar kepada
pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang
40 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015. hlm. 12 41 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi
Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-
akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020. 42 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2) 43 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kertas Kebijakan… 44 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015.
17
berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Hal tersebut dapat
dilihat dengan banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
yang berjumlah 43 aturan turunan dengan rincian 36 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 7
Rancangan Peraturan Presiden.45 Banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta
Kerja memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi
dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak
sekedar masalah teknis.
Dengan menggunakan tiga indikator, yaitu proses pembuatan, sifat fungsi produk hukum, dan
kemungkinan penafsiran, maka dapat diketahui apakah suatu produk hukum berkarakter
responsif ataukah ortodoks. Indikator pertama, yaitu proses pembuatan. Di atas telah
dikemukakan, bahwa proses pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah
bersifat partisipatif yang menunjuk pada Pihak Pemerintah yakni 10 Kementerian dan Lembaga
Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai pihak dan turut serta dalam
Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial
dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang membawa aspirasi kaum buruh
secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia. Indikator kedua yaitu sifat fungsi produk hukum, bahwa sifat fungsi dari Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja adalah tidak aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum
bertentangan dengan dengan kehendak-kehendak atau aspirasi masyarakat.46
Sementara itu, indikator ketiga, yaitu kemungkinan penafsiran, bahwa dalam penjelasan dari
Rancangan Undang - Undang tersebut terdapat suatu muatan pasal yang dapat menimbulkan
multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja
dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.”47 Hal yang menjadi kritikan dalam
pasal pengubah ini yakni tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”.
Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Maka dari
itu dapat disimpulkan dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik
45 Asteria Desi Kartika Sari. (2020, 5 Maret). “Aturan Pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja Sudah
Disiapkan”. Diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20200305/15/1209686/aturan-pelaksanaan-omnibus-
law-cipta-kerja-sudah-disiapkan pada 27 Juli 2020 46 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015. 47 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2)
18
Ketenagakerjaan membuka peluang terjadinya multi tafsir dari berbagai pihak, dan juga dengan
banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja,
membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberi
peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai
peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah
teknis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
dipandang dari segi proses pembentukannya sudah mulai bersifat partisipatif. Jika produk
hukum ini dipandang dari segi muatannya dan segi kemungkinan penafsirannya merupakan
suatu produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.
19
Bab II : Isi
III. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Cukup
Mengakomodasi Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia?
Pembentukan suatu peraturan undang - undangan terkait sektor ketenagakerjaan bertujuan
untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada tenaga kerja.48 Maksud dari kehadiran
produk hukum ini juga menuju pada sasaran utama yaitu untuk menunjang pembangunan
terhadap aspek ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang
berlangsung di Indonesia harus berdasarkan landasan filosofis, yakni Pancasila, kemudian
berlandaskan yuridis konstitusional, yakni Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar
serta berlandaskan yuridis operasional, yakni peraturan perundang undangan yang berkaitan
dengan bidang ketenagakerjaan sebagai dasar hukumnya. Di samping itu tidak kalah penting,
pembangunan ketenagakerjaan juga harus berlandaskan sosiologi yang berarti pembangunan
tersebut harus sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat sehingga dapat
menampung segala kenyataan hidup masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan tidak hanya tersasar pada kebutuhan satu pihak, namun dalam
pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan tersasar pada kebutuhan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spirituil.49
Dengan maksud memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap aspek ketenagakerjaan,
pemerintah pun terlibat secara langsung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk
menunjang pencapaian tujuan tersebut, pemerintah telah banyak membentuk kebijakan khusus
dalam peraturan perundang - undangan dan peraturan pelaksanaannya terkait sektor
ketenagakerjaan seperti Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan
beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan Undang -
Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang - Undang Pengawasan
48 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 49 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015.
20
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. 50
Memperhatikan uraian tersebut, penulis berusaha mengkaji secara mendalam terhadap
kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Penulis juga akan
mengkaji Apakah dengan kehadiran produk hukum ini dapat mengakomodasi permasalahan
ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia serta sudahkah kehadiran produk hukum ini
benar - benar memenuhi hak yang dibutuhkan keseluruhan masyarakat Indonesia secara
merata?
Dalam pemaparan sebelumnya, Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini
ditujukan untuk menjadi jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dalam mendapatkan
hak-hak normatif yang berarti tenaga kerja mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya
beserta keluarga. Hal ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mewujudkan pengaturan
hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam
penjaminan hak - hak normatif pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan
perusahaan yang mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan
tersebut mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan
dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi
perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak normatif pekerja
dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan pemerintah dalam hal
ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu.51
Pemenuhan hak normatif bagi tenaga kerja secara umum memiliki arti yaitu adanya
perlindungan dan penjaminan bagi hak yang dimiliki tenaga kerja disertai adanya kewajiban
yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi dan mentaati hak normatif dalam setiap pemberian
kerja bagi tenaga kerja dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku yaitu Peraturan
Perundang - Undangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama.
Hak normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap adanya
upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan berkembang
dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak normatif tersebut.
Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan
50 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 51 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi
Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,
2015.
21
hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3 kategori yakni adanya pemenuhan hak
normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak normatif pekerja bersifat ekonomis, dan
pemenuhan hak normatif pekerja bersifat politis dan medis.52 Dalam kajian ini, penulis akan
melakukan perincian terhadap berbagai pemenuhan hak normatif tersebut. Pembahasan
pertama dimulai dari pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial.
Sebagai upaya dalam memberikan perlindungan tenaga kerja melalui aspek perlindungan
hukum, perlindungan sosial ekonomi dan perlindungan fisik teknik yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor
109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai Penjabaran Undang – undang Nomor
24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial / BPJS yang diadopsi sebagai
sumber bagi muatan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Dalam
Undang – Undang Nomor 24 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap pekerja baik yang bekerja
pada Penyelenggara Negara (Calon Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pegawai Pemerintah non
Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Peserta Didik Polri dan Prajurit Siswa TNI) dan bukan
penyelenggara negara (Usaha Besar, Menengah, Kecil dan Mikro) wajib diikutkan dalam
Program Jaminan Sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),
Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Di samping itu para pekerja dan pemberi
kerja juga wajib diikutkan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh
BPJS Kesehatan.
Berdasarkan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
memiliki arti sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
sosial.53 Jaminan sosial disini memiliki arti yaitu salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 54
Dengan adanya keberadaan jaminan sosial bagi tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan tenaga
kerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja karena pekerja relatif memiliki kedudukan yang
52 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 53 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, Pasal 1
Nomor (1) 54 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 1,
Nomor (2)
22
lebih lemah dibandingkan pemberi kerja. 55 Perlindungan kebutuhan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil
produksi perusahaan. Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional, BPJS/ Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial bersandarkan pada berbagai prinsip disertai upaya
implementasinya yang positif.
Perincian prinsip tersebut antara lain kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati - hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, serta hasil pengelolaan
dana jaminan nasional.56 Pembahasan pertama dimulai dari prinsip kegotongroyongan yang
memiliki arti prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan
Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan
tingkat gaji, upah atau penghasilannya. Kemudian, adanya Prinsip nirlaba yaitu prinsip
pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Lalu, adanya Prinsip keterbukaan
yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana
untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Selanjutnya, Prinsip kehati-
hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. Lalu, Prinsip
akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, Prinsip portabilitas yaitu prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meski
peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah NKRI. Kemudian, Prinsip
kepesertaan bersifat wajib merupakan prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi
Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Terakhir, Prinsip dana amanat
adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk
digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan Sosial.57 Mengenai Tujuan dari
pembentukan BPJS secara umum yaitu untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau anggota
keluarganya. Mengenai kategori BPJS, berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang - Undang Nomor
24 Tahun 2011 terbagi menjadi 2 Jenis yakni BPJS Kesehatan yang berfungsi untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program
55 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 56 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4 57 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4
23
jaminan pensiun, dan jaminan hari tua. Dalam mendukung program jaminan pensiun, sesuai
dengan muatan dalam Undang Undang Nomor. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, setiap
perusahaan diwajibkan memasukkan para pekerja dalam program dana pensiun.58
Dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap hak normatif sosial secara merata,
pengaturan terkait upah bagi tenaga kerja pun perlu diperhatikan. Sebelum berlakunya
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, dalam Pasal 88 ayat (4) Undang Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemerintah menetapkan upah
minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.59 Upah minimum terdiri atas upah minimum Kabupaten / Kota dan
Provinsi. Upah minimum hanya berlaku untuk pekerja / buruh yang bekerja di perusahaan
dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Adanya kelayakan kebutuhan hidup yang
dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum yaitu standar kebutuhan seorang pekerja /
buruh lajang untuk dapat hidup secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Upah minimum
berlaku untuk semua jenis dan skala usaha. Pengaturan terkait upah juga terdapat dalam muatan
Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, produk hukum ini
menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan
disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang memiliki bunyi yaitu
pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman, kemudian pada
ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum
provinsi.60
Namun, dalam muatan Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan Upah Minimum
Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada
akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Setelah pemaparan
terkait upah, dapat diketahui bahwa upah secara umumnya memang mempunyai fungsi
ekonomis, yaitu sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan, tetapi selain itu upah juga
mempunyai fungsi sosial dan fungsi insentif atau pendorong bagi pekerja untuk bekerja secara
produktif. Di beberapa perusahaan disediakan juga beberapa jenis fasilitas, seperti perumahan,
kendaraan, kupon bensin, antar jemput pegawai, makan siang, rekreasi pekerja, atau dalam
bentuk lain. Fasilitas tersebut pada dasarnya dapat dinilai dalam bentuk uang dan merupakan
tambahan penghasilan bagi pekerja.
58 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun 59 Undang - Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (4) 60 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 C
24
Setelah pembahasan terkait pemenuhan hak normatif sosial, selanjutnya juga dikenal istilah
terkait pemenuhan hak normatif ekonomis. Dalam pemenuhan hak normatif pekerja bersifat
ekonomis menunjuk pada hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 61 Dalam Pasal 50
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi
sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.62 Perjanjian kerja tersebut
dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Hubungan kerja tersebut merupakan sesuatu yang
bersifat abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan
adanya perjanjian kerja ini, akan timbulnya ikatan antara perusahaan dan tenaga kerja. 63
Dengan perkataan lain, ikatan ini timbul karena adanya perjanjian kerja, kemudian ikatan
tersebut dikenal sebagai hubungan kerja. Pasal 1 angka (14) Undang - Undang No. 13 Tahun
2003 menyebutkan “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja
(karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban para pihak”.64 Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak-pihak tidak
memenuhi dua syarat awal sahnya yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak cakap
untuk bertindak maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya apabila perjanjian
kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya, yakni objek tidak jelas dan tidak
memenuhi ketentuan maka perjanjian kerja tersebut bersifat batal demi hukum.
Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengatur konsep hubungan kerja
terkait Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja mengubah ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4)
Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling
lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun”. 65 Perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang
Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi
oleh Undang - Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.
61 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 62 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 63 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 64 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Angka (14) 65 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pasal 59 Ayat (4)
25
Dapat disimpulkan secara tidak langsung Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkan
kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara langsung kepada para pihak.
Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat mengurangi peran pemerintah
dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.66
Pembahasan pemenuhan hak normatif ketiga yaitu pemenuhan hak normatif politis.
Pemenuhan hak normatif politis menunjuk pada konteks pengusaha/perusahaan dengan pekerja
dibenarkan untuk membentuk lembaga kerjasama bipartit, tripartit dan peraturan perusahaan.
Pengaturan terkait konsep ketenagakerjaan bersandarkan pada landasan yang menggunakan
konstitusi tertulis Republik Indonesia yaitu Undang - Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar
dari Undang-Undang di bawahnya. Dalam Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang diadopsi sebagai sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang
menyebutkan lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
Merujuk pada ayat 1 tersebut, memberikan kewajiban bagi setiap perusahaan yang
mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih membentuk lembaga kerjasama
bipartit.67
Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit terdiri dari unsur pengusaha dan unsur
pekerja yang ditunjuk oleh pekerja secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja di
perusahaan yang bersangkutan. 68 Pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit ini memiliki
beberapa tujuan yang ingin dicapai yakni terciptanya kedamaian, ketenangan dan ketentraman
kerja serta peningkatan kesejahteraan pekerja dan perkembangan perusahaan, lalu
berkembangnya motivasi bagi karyawan perusahaan untuk berpartisipasi sebagai partner
pengusaha di perusahaan, terciptanya ketenangan dan kelangsungan hidup usaha/produksi, dan
dapat meningkatkan produksi serta produktivitas kerja. Pengembangan lembaga bipartit sangat
penting untuk menciptakan kesempatan komunikasi secara langsung antara
pengusaha/perusahaan dan tenaga kerja atau wakil pekerja. Dengan cara ini dapat
menghindarkan adanya salah paham antara kedua belah pihak dan dapat ditingkatkan rasa
saling menghormati. Melalui kehadiran lembaga atau forum bipartit, tenaga kerja atau wakil
66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker 67 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106 Ayat (1) 68 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106
26
pekerja dapat diikutsertakan merumuskan kebijaksanaan dan memecahkan masalah yang
dihadapi dalam perusahaan.
Selain pembentukan lembaga kerjasama bipartit, dalam pemenuhan hak normatif politis juga
menunjuk pada pembentukan kerja sama lembaga tripartit antara pengusaha/perusahaan
dengan tenaga kerja. Hal ini dibenarkan dengan adanya pengaturan dalam Pasal 107 Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi sumber
muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Ketenagakerjaan.69 Dalam
muatan pasal tersebut berbunyi Lembaga kerjasama tripartit bertugas untuk memberikan
pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan
kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Keanggotaan lembaga tripartit terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi, pengusaha dan serikat pekerja. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Lembaga Konsultasi, Komunikasi dan
Musyawarah antara wakil-wakil Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah untuk memecahkan
berbagai permasalahan yang timbul secara bersama-sama dalam bidang ketenagakerjaan.70
Terkait dengan Lembaga Kerjasama Tripartit, dalam Pasal 43 Ayat (1) Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja mengatur mengenai Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus yang
merupakan lembaga kerja sama tripartit yang berada dibawah Kawasan Ekonomi Khusus. Di
Kawasan Ekonomi Khusus, Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus sendiri dibentuk oleh
gubernur.71
Pembahasan terakhir dilakukan terkait dengan pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat
medis. Pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis menunjuk pada pelaksanaan
kesehatan kerja antara para pekerja dengan perusahaan yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2)
Undang - Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tiap - tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.72 Pemerintah juga telah menegaskan
dalam Pasal 9 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan - ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa tiap tenaga kerja berhak mendapat
perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta
perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama, dan Undang - Undang
69 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 107 70 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 71 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Terkait Kawasan Ekonomi Khusus, Pasal 43 72 Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2)
27
Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.73 Dalam muatan Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja spesifik Ketenagakerjaan, pemerintah telah mengadopsi sumber muatan
dari Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial /
BPJS terkait pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis.74 Dalam produk hukum
tersebut mengatur bahwa para pekerja dan pemberi kerja wajib diikutkan dalam Program
Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan
lembaga yang bertugas untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan mendasar bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur mengenai ketentuan BPJS
bagi para pekerja. Dalam Pasal 6 Ayat (1) muatan Peraturan Presiden tersebut menyebutkan
Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.75
Kemudian, dalam Pasal 11 ayat 1 Peraturan Presiden tersebut juga menyebutkan bahwa
pemberi kerja wajib mendaftarkan diri nya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan
kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. 76 Bagi tenaga kerja, BPJS Kesehatan
merupakan sebuah fasilitas yang diberikan oleh perusahaan yang mempekerjakan. Manfaat
BPJS Kesehatan bagi pekerja dapat memberikan jaminan terhadap kesehatan karyawan dan
dapat memberikan rasa aman bagi tenaga kerja. Sehingga dengan adanya BPJS Kesehatan
dapat membantu tenaga kerja dalam menghasilkan dan mempertahankan kinerja yang lebih
baik.
IV. Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor
Ketenagakerjaan
Dengan harapan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas - luasnya bagi masyarakat
Indonesia, pemerintah berusaha merealisasikannya dengan membentuk produk Omnibus Law.
Salah satu produk hukum yang menerapkan teknik Omnibus law yakni Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja. Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dilakukan
pemerintah dengan tujuan untuk mencapai peraturan perundang – undangan yang memudahkan
73 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja, Pasal 9 74 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor
12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 75 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 6 Ayat (1) 76 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 11 Ayat (1)
28
masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja. Adanya sasaran
pemerintah terhadap penciptaan lapangan kerja tersebut berdasarkan pada kondisi
ketenagakerjaan yang terjadi saat ini di Indonesia, bahwa terdapat kurang lebih 6,8 juta orang
yang belum mendapatkan pekerjaan atau sedang menganggur. Namun, setiap tahunnya
terdapat 2 juta angkatan kerja baru yang siap memasuki lapangan pekerjaan.77 Dengan melihat
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir yaitu 5% dan 1%,
nyatanya dengan jumlah persentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya mampu menyerap
sebanyak 400 ribu pekerja. Maka dari itu pemerintah berharap dalam upaya pembentukan
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
sebesar 6% per tahun sehingga dapat menyerap 6,8 juta masyarakat Indonesia di kondisi
pengangguran serta menyerap 2 juta angkatan kerja baru.78
Dalam menindaklanjuti proses pembentukan regulasi ini pun, pemerintah telah menyerahkan
surat dari presiden, naskah akademik, dan draf Omnibus Law Rancangan Undang - Undang
Cipta Kerja kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari 2020.79 Sebagai
bentuk konkret dari reformasi regulasi, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang terfokus
pada peningkatan kemudahan investasi demi pertumbuhan ekonomi negara ini memuat 11
klaster, 15 bab, 174 pasal. Dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini termuat
berbagai pembaharuan atas undang - undang yang sebelumnya diubah, dihapus, atau ditetapkan
peraturan baru.80
Perincian atas berbagai pembaharuan pasal yang dihadirkan dalam pembentukan Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja antara lain terkhusus pada Kluster Ketenagakerjaan. Setidaknya
termuat beberapa pasal terkait ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta
Kerja yaitu perubahan pengaturan perlindungan tentang pekerja dengan perjanjian kerja
tertentu, hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan pada alih daya, kebutuhan layak
melalui upah minimum, pengaturan pemutusan hubungan kerja serta perizinan bagi tenaga
77 Giri Hartomo. (2020, Mei 10). “5 Fakta Terbaru soal Pengangguran di Indonesia, Jumlahnya Naik Jadi
6,8 Juta Orang”, OkeFinance. diakses dari https://economy.okezone.com/read/2020/05/08/320/2211090/5-fakta-
terbaru-soal-pengangguran-di-indonesia-jumlahnya-naik-jadi-6-8-juta-orang pada 18 Juli 2020. 78 Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma. (2020). “Selayang Pandang Omnibus Law”.
Diakses dari https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/SELAYANG%20PANDANG%20OMNIBUS%20LAW.pdf
pada 21 Juli 2020. 79 Haris Prabowo. (2020, Februari 12). “Draf dan Surpres Omnibus Law Cilaka Diserahkan ke DPR“.
Diakses dari https://tirto.id/draf-dan-surpres-omnibus-law-cilaka-diserahkan-ke-dpr-rabu-siang-eyuf pada 20 Juli
2020. 80 Ady Thea.(2020, Februari 14). “RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan”. Diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e466978a3c7f/ruu-cipta-kerja-di-mata-konsultan-ketenagakerjaan/
pada 20 Juli 2020
29
kerja asing yang memiliki keahlian tertentu. Sebelumnya termuat dalam Pasal 88 Rancangan
Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur dalam rangka penguatan perlindungan kepada
tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi,
maka dihadirkan pengubahan, penghapusan, serta penetapan peraturan baru atas beberapa
ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.81
Pembaharuan pasal pertama yang dihadirkan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
bersumber dari Pasal 79 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pembaharuan yang dihadirkan di dalamnya antara lain hilangnya pencantuman batas minimal
istirahat panjang bagi pekerja/buruh dalam ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.82 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 79 ayat (2) huruf b
Undang - Undang Ketenagakerjaan yaitu “istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan ke delapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.” Akan tetapi
dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang
- Undang Ketenagakerjaan tidak lagi diatur secara jelas. Pasal 79 ayat (5) Rancangan Undang
- Undang Cipta Kerja hanya mengatur mengenai cuti panjang yang diatur melalui perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sehingga kekuatan mengikatnya
bersifat sangat lemah dibandingkan jika diatur dalam undang-undang. 83 Implikasi akan
pembaharuan ini antara lain jika dilihat dari sudut pandang psikologis, sangat memungkinkan
pekerja/buruh dalam membuat suatu perjanjian kerja mengalami tekanan psikologis sehingga
dalam pengambilan keputusannya tidak sesuai kehendak yang sebenarnya berasal pekerja atau
buruh itu sendiri, terutama dalam hal meminta kebijakan pemberi kerja untuk dicantumkan
batasan waktu istirahat panjang.84
81 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 82 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79 83 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 79 Ayat (5) 84 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker.
30
Selanjutnya, pembaharuan kedua yang dihadirkan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta
Kerja bersumber dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang Ketenagakerjaan. Pembaharuan ini
menimbulkan hilangnya kewenangan Menteri atau pejabat negara yang ditunjuk untuk
memberikan izin bagi pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Kemudian pembaharuan ini memudahkan akses bagi Tenaga Kerja Asing karena setiap
perusahaan sponsor Tenaga Kerja Asing hanya membutuhkan Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (RPTKA).85 Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018
Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing setidaknya diatur 2 kewajiban bagi pemberi kerja
dan Tenaga Kerja Asing yakni memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan Visa
Tinggal Terbatas (Vitas).86 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang
Ketenagakerjaan adalah “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.”. Namun setelah dilakukan
pembaharuan dalam RUU Cipta Kerja, bunyi Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang
Ketenagakerjaan diubah menjadi “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah
Pusat.” Implikasi yang timbul dari adanya pembaharuan ini adalah tidak ada lagi mekanisme
perizinan yang kompleks bagi Tenaga Kerja Asing sebagaimana ketentuan yang termuat dalam
Undang - Undang Ketenagakerjaan sebelumnya. Hal tersebut juga akan berimplikasi terhadap
tidak digunakannya lagi Visa Tinggal Terbatas dalam mekanisme perekrutan Tenaga Kerja
Asing, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 20
Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bahwa “Setiap Tenaga Kerja Asing yang
bekerja di Indonesia wajib mempunyai Vitas untuk bekerja.” Dan “Vitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimohonkan oleh Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing atau Tenaga
Kerja Asing kepada menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia atau pejabat imigrasi yang ditunjuk.”87 Dengan adanya pembaharuan dalam
Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja, ketentuan ini akan memudahkan akses masuknya
Tenaga Kerja Asing di Indonesia, sedangkan masih adanya kompleksitas permasalahan tenaga
kerja lokal yang belum terselesaikan.88
85 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 42 Ayat (1) 86 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing 87 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Pasal 17 ayat (1)
dan (2) 88 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker
31
Pembaharuan ketiga yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yaitu
adanya perubahan mengenai Ketentuan Upah Minimum. Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Ketentuan
mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP)
atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral). 89 Namun, berbagai ketentuan mengenai
pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak lagi berlaku dalam Rancangan Undang -
Undang Cipta Kerja. Dalam muatan Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta
Kerja telah menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang
Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C
yang berbunyi: pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman,
kemudian pada ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah
minimum provinsi. Dampak yang kelak terjadi apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji
kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah
Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada akhirnya berlaku yaitu
pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Disamping itu, timbulnya kritikan terhadap
penghapusan pada berbagai sistem pengupahan tersebut yaitu tidak termuat ada alasan yang
jelas mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral
ini. Pada kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat
2 dan Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang
mengatur mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi
harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.90 Setelah
penghapusan terhadap berbagai sistem pengupahan tersebut, hal ini menimbulkan
kekhawatiran mengenai bagimana penerapan sistem pengupahan di Indonesia ke depannya
yang hanya menggunakan Upah Minimum Provinsi.91
Pembaharuan keempat yang muncul terkait dengan ketenagakerjaan yaitu menghilangnya
konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat pasal yang memuat permasalahan
terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja. Permasalahan pertama, termuat dalam
89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (1) dan (2) 90 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, Pasal 46 Ayat (2) dan Pasal 49 Ayat (3) 91 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker
32
Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.92 Kemudian, dilakukannya
perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh.” Implikasi dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan
pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja , sehingga
pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan
kepada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.
Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja
dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak
tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja
melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 93 Dengan
mengikuti ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara
perdata. Hal ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas
hukum. Asas mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah
menjadi jargon yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat
(2) tersebut, Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
dianggap tidak memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama
yang seharusnya memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling
utama bagi pekerja dalam membela dirinya saat berselisih.94
Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa
ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force
92 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 151 Ayat (1) 93 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 152 Ayat (2) 94 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker
33
majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.
Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 95 Hal ini dapat menimbulkan
Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami
pailit.
Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat
dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban
perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang
- Undang Ketenagakerjaan. 96 Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai
kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam
Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi
perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat
3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang
penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya
24 tahun atau lebih. Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan
Undang - Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat
diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika
dilihat, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang
Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja pada
Karyawan.97
Pembaharuan kelima yang muncul dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik
terkait sektor ketenagakerjaan yaitu adanya pasal yang menimbulkan misinterpretasi
dikarenakan menggunakan istilah yang bersifat ambigu. Hal ini termuat dalam Pasal 93 ayat
(2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang – Undang
Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”. 98 Pasal 93 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah
apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
berhalangan”. Hal yang menjadi kritikan dalam pasal pengubah ini yakni tidak adanya
penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata
95 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A 96 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 156 97 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Terhadap RUU Cipker 98 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2)
34
“berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata
“berhalangan” diinterpretasikan secara bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak
cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Sehingga ketidakjelasan dalam Pasal 93 ayat (2)
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini juga bisa menimbulkan penghapusan hak bagi
para pekerja termasuk pekerja perempuan yang mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti
melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.
35
Bab III : Penutup
V. Saran
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spirituil. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitannya tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah masa kerja, tetapi juga dengan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan
yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja,
pembangunan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial, peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta
peningkatan produktivitas kerja dan daya saing tenaga kerja di dalam dan di luar negeri.
VI. Kesimpulan
1. Hukum merupakan produk politik yang memiliki karakter sebagai produk hukum yang
dapat dilihat apakah berkarakter hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh
Nonet dan Selznick atau berkarakter hukum ortodoks, seperti yang dikemukakan
Marryman. Untuk mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja
berkarakter hukum responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam studi ini
digunakan indikator dalam proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan
kemungkinan penafsiran. Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses
pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi
masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu didalam masyarakat,
sedangkan proses pembuatan produk hukum yang berkarakter ortodoks bersifat
sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang
kekuasaan eksekutif.
2. Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini ditujukan untuk menjadi
jaminan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat secara merata termasuk tenaga
kerja dalam mendapatkan hak-hak normatif. Produk hukum ini merupakan upaya dari
pemerintah dalam mewujudkan pengaturan hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan
adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam penjaminan hak - hak normatif
pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan yang
36
mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan tersebut
mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan
dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya
berlaku bagi perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak
normatif pekerja dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan
pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu. Hak
normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap
adanya upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan
berkembang dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak
normatif tersebut. Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi
masyarakat Indonesia, pemenuhan hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3
kategori yakni adanya pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak
normatif pekerja bersifat ekonomis, dan pemenuhan hak normatif pekerja bersifat
politis dan medis.
37
Daftar Pustaka
Agusmidah. Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum. Sofmedia. Medan
2011.
Cosmos Batubara. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Depnaker RI. Jakarta 1998.
Kartosapoetro. G., dan Kartosapoetro. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila.
Bina Aksara. Jakarta 1986.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. LP3ES. Jakarta 2001.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Ujang Charda. “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum
Bagi Tenaga Kerja”. Jurnal Wawasan Hukum. Volume 32 No. 1. Fakultas Hukum
Universitas Subang. Jawa Barat 2015.
Undang - Undang Dasar Tahun 1945.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
R. Wiyono. Garis Besar Pembahasan dan Komentar UUD 1945. Alumni. Bandung 1976.
Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja.
Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
38