Obstructive jaundice ec choledocolithiasis
description
Transcript of Obstructive jaundice ec choledocolithiasis
BAB I
PENDAHULUAN
Batu empedu merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai. Di negara-
negara Barat, kelainan ini merupakan penyebab angka kesakitan yang penting.
Operasi sistem bilier merupakan operasi yang paling sering dilakukan dibandingkan
operasi abdomen lainnya. Empedu yang normal dibentuk oleh hepatosit, terdiri dari
air, elektolit, dan solut organik. Solut organik mengandung sedikit protein dan terdiri
dari tiga unsur utama, yaitu garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid. Ketiganya
terkandung dalam 80% bagian kering dari empedu.Garam empedu diklasifikasikan
menjadi primer dan sekunder. Asam empedu primer, asam kolat dan asam
kenodeoksikolat, disintesis di hepar dari kolesterol dan kemudian berkonjugasi
dengan glisin atau taurin. Siklus enterohepatik memungkinkan reabsorbsi dan
resirkulasi asam empedu primer. Sebagian kecil (kurang dari 5%) memasuki kolon
dan mengalami perubahan menjadi asam empedu sekunder, yaitu asam deoksikolat
dan asam litokolat. Kolesterol empedu sebagian besar disintesis di hepar dengan
sedikit berasal dari makanan. Kolesterol bersifat hidrofobik dan memerlukan zat lain
untuk menjadi larut.
Pemahaman terhadap mekanisme yang menyebabkan larutnya kolesterol
dalam keadaan fisiologis akan sangat membantu dalam menerangkan tejadinya batu
kolesterol. Di lain pihak, pengetahuan tentang konsentrasi kalsium dan bilirubin di
dalam empedu diperlukan untuk memahami bagaimana terjadinya batu pigmen.
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identitas
Nama pasien : Ibu A
Usia pasien : 55 tahun
Alamat pasien : Cianjur
Agama pasien : Islam
Suku bangsa : Sunda
No. Rekam medis : 642xxx
II. Anamnesis
Keluhan Utama
Os datang dengan penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang
Os datang dengan penurunan kesadaran sudah 2 hari. 2 minggu yang
lalu os mengalami demam terus menerus, kadang-kadang menggigil, mual,
muntah setiap hari selama 2 minggu, muntah setiap habis makan dan kadang-
kadang terasa nyeri, ada lendir dan darah. Ada batuk, kadang-kadang
berdahak, tanpa darah dan lendir. Kadang-kadang merasa kembung. Tidak ada
kejang. Tidak ada sakit kepala dan mimisan. Os BAB cair berwarna pucat,
sejak 2 minggu dengan frekuensi normal. BAK nyeri, berwarna seperti teh tua
dan tidak terdapat darah.
Riwayat penyakit dahulu
- OS belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya.
- Os sudah mengalami gastritis bertahun-tahun.
- Os pernah mengalami demam thypoid.
- Os tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus.
- Os tidak memiliki riwayat Hipertensi.
2
Riwayat penyakit keluarga
Di dalam keluarga tidak ada yang pernah mengalami seperti ini.
Riwayat pengobatan
Os sudah berobat untuk keluhan yang lain, kecuali keluhan utama.
Minum 2 macam obat, namun tidak ada perubahan. Untuk sakit maag sudah
minum obat yang di beli di warung.
Riwayat psikososial
Os adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama anaknya
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Tanda vital
- Suhu : 39°C
- TD : 90/50 mmHg
- Nadi : 100x/menit
- RR : 24x/ menit
Kulit : tampak ikterik
Kepala : normocephal
- Mata : pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+, sklera ikterik +/+,
konjungtiva anemis -/-
- Telinga : normotia
- Hidung : normotia
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Toraks
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, spider navy (-)
- Palpasi : vocal fremitus teraba sama
- Perkusi : sonor (+)
- Aukultasi : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-, BJ 1 dan 2
reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : skar (-), distensi abdomen (+)
- Auskultasi : bising usus (+)
3
- Perkusi : pekak pada 4 kuadran abdomen
- Palpasi : nyeri e/r hipokondrium dextra (+), hepatomegali (-),
splenomegali (-), murphy sign (+)
Ekstremitas : RCT memanjang (+), udem (-), akral dingin (+)
Rectal Touche : tonus sfingter ani baik, mukosa rectum licin, tidak
teraba nyeri, feses berwarna pucat, darah dan lendir.
IV. Status Lokalis e/r Abdomen
a. Inspeksi : distensi abdomen
b. Auskultasi : bising usus (+)
c. Perkusi : pekak pada 4 kuadran abdomen
d. Palpasi : nyeri tekan hipokondrium dextra (+),
tidak teraba pembesaran hepar, ginjal dan
spleen.
V. Resume
Os datang dengan penurunan kesadaran sudah 2 hari. 2 minggu yang lalu
os mengalami demam terus menerus, kadang-kadang menggigil, mual, muntah
setiap hari selama 2 minggu, muntah setiap habis makan dan kadang-kadang
terasa nyeri, ada lendir dan darah. Ada batuk, kadang-kadang berdahak. Kadang-
kadang merasa kembung. Os BAB cair berwarna pucat, sejak 2 minggu dengan
frekuensi normal. BAK nyeri, berwarna seperti teh tua.
Pemeriksaan fisik: suhu 39°C, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi
100x/menit, RR 24x/ menit, sklera ikterik +/+, kulit tampak kuning, nyeri tekan
(+) e/r abdomen hipokondrium dextra
VI. Diagnosis Banding
1. Obstruksi jaundice et causa choledocholithiasis dengan tanda-tanda
cholangitis.
2. Choledocholithiasis dengan sepsis.
3. Sirosis Hepatis.
4. Hepatitis Fulminan.
5. Kista duktus koledoku.
6. Pankreatisis.
4
X
.X
.
VII.Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN SATUAN
Hematologi Rutin
Haemoglobin 8,9* 12-16 g/dL
Hematokrit 27* 37-43 %
Leukosit 3000* 4000-10000 10^3/uL
Trombosit 149000* 200.000-400.000 10^3/uL
Kimia Klinis
Gula Darah Sewaktu 200* <150 mg/dL
Fungsi Hati
Bilirubin total 11* 0,2-1 mg%
Bilirubin indirek 2* 0,2-0,8 mg%
AST (SGOT) 60* 0-31 U/L
ALT (SGPT) 80* 0-32 U/L
ALP 100 44-147 IU/L
Fungsi Ginjal
Ureum 67* 15-40 mg%
Kreatinin 2* 0,5-1 mg%
Elektrolit
Kalium 2* 3,5-5,0 mEq/L
Natrium 128* 135-145 mEq/L
Urinalisa
pH 7,8 4,6-8
Berat Jenis 1,030
Warna Pekat*Kuning muda
hingga kuning tua
Epitel + Negatif
Eritrosit 2-3 > 5
Leukosit 1-2 > 5
Imunoserologi
Hepatitis Marker
5
HbsAg Negatif Negatif
USG
Pada hasil pemeriksaan USG didapatkan kesan CBD (common bile duct)
melebar dan gambaran akustik shadow duktus pankreatikus.
VIII.Diagnosis Kerja
Obstruksi jaundice et causa choledocholithiasis dengan tanda-tanda
cholangitis.
IX. Rencana Penatalaksanaan
1. Antibiotik ceftriaxon IV 1x2gram.
2. Cairan Ringer Laktat IV.
3. Dilakukan dekompresi duktus biliaris dan menghilangkan obstruksi dengan
ERCP/PTC.
4. Jika gagal, lakukan dekompresi intraoperatif dengan memasukkan tabung T.
5. Jika stabil, tatalaksana konservatif.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
6
SISTEM HEPATOBILIARIS
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1.500 gr
atau 2% dari total berat badan orang dewasa normal. Letaknya tepat dibawah
diafragma kanan. Hati memiliki 2 lobus, yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang
dibatasi oleh ligamentum falsiformis. Pada bagian posterior hati terdapat porta
hepatica tempat dimana masuknya vena porta dan arteria hepatica dan keluarnya
duktus hepatica. Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas
abdominlais tepat dibawah diafrgama. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus
costalis dextra, dan hemidiafrgma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo,
pericardium dan cor. Hepar terbentang ke seblah kiri untuk mencapai hemidiafragma
sinistra. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di bawah kubah diafragma.
Fascia viseralis membentuk cetakan visera tang letaknya berdekatan sehingga
bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini berhubungan dengan pars
abdominalis oesofagus, gaster, duodenum, fleksura coli dextra, rend extra dan
glandula suprarenalis dextra, serta vesica biliaris. Hepar dibagi menjadi lobus hepatis
dexter yang besar dan lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum
peritoneale, ligamentum falciforme. Lobus hepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus
quadrates, dan lobus caudatus oleh adanya vesica biliaris, fissure ligament teretis,
vena cava inferior, dan fissure ligament venosi. Porta hepatis, atau hilus hepatis,
terdapat pada fascies viseralis, dan teletak diantara lobus caudatus dan lobus
quadrates. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir
porta hepatis. Pada tempat ini terdpat duktus hepaticus sinister dan dexter, ramus
dexter dan sinister arteria hepatica, vena portae hepatis, serta serabut saraf simpatis
dan parasimpatis. Disisni terdapat beberapa kelenjar limf hepar. Kelenjar-kelnjar ini
menapung cairan limf hepar dan vesica biliarus, dan mengirimkan serabut eferannya
ke nodi lymphoidei coeliaci.
Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa, tetapi hanya sebagian ditutupi
oleh peritoneum. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis pada
masing-masing lobules bermuara ke vena hepaticae. Di dalam ruangan diantara
lobules-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica,
vena portae hepatis, dan sebuah cabang duktus choledochus (trias hepatis). Darah
arteria dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan melalui
vena sentralis.
7
Vasa darah yang memberi darah ke hepar adalah a.hepatica dan v.portae hepatis.
a.hepatica membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, sedangkan v.portae hepatis
membawa darah vena yang kaya hasil pencernaan yang telah diserap dari tractus
gastrointestinal. Darah arteri dan vena masuk ke v.centralis dari setiap lobules hepatis
melalui sinusoid hepar.Vena centralis bermuara ke vena hepatica dextra et sinistra,
dan meninggalkan permukaan posterior hepar menuju vena cava inferior.
Hepar menghasilkan banyak limfe, sekitar 1/3-1/2 seluruh limfe tubuh. Vasa limfe
meninggalkan hepar dan masuk ke beberapa lymphonodus di porta hepatis. Vassa
efferent menuju LN.coeliacus. Sejumlah kecil vasa limfe menembus diafragma
menuju LN.mediastinalis posterior.
8
Secara mikroskopis, hepar terbagi menjadi unit fungsional yang disebut lobulus yang
berbentuk heksagonal. Lobulus tersebut mengelilingi vena sentralis dan lobulus
tersebut dikelilingi oleh cabang-cabang arteri hepatica,vena porta, dan saluran
empedu. Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi kurana lebih
60% sel hepar, sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dalam
jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya
endotolium, sel kuffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Hepatosit 64
sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari efferent vena hepatica dan
duktus hepatikus. Saat darah memasuki hati melalui arteri hepatica dan vena porta
serta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara
bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan
jaringan terhadap kerusakan asinus. Membrane hepatosit berhadapan langsung dengan
sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain sel
yang membatasi saluran empedu dan merupakan petunjuk tempat permulaan sekresi
empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung dan
desmosom yang saling bertautan dengn sebelahnya. Sinusoid hati memiliki lapisan
endothelial endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang
9
sinusoida). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding inusoid adalah sel fagositik. Sel
Kuffer yang merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan sel stellata
disebut sel itu, limposit atau perisit. Yang memiliki aktifitas miofibroblastik yang
dapat membantu pengaturan aliran darah. Sinosoidal disamping sebagai faktor penting
dalam perbaikan kerusakan hati. Peningkatan aktifitas sel-sel stellata tampaknya
merupakan faktor kunci dalam pembentukan jaringan fibrotik di dalam hati.
Fisiologi Hepar
Fungsi hepar yaitu (1) membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam
traktus intestinalis; (2) berperan pada banyak metabolisme yang berhubungan dengan
karbohidrat, lemak dan protein; (3) menyaring drah untuk membuang bakteri dan
benda asing lain yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum. Fungsi hepar
yang utama adalah membentuk dan mengekskresi empedu. Hati menyekresi sekitar
sekitar 500 hingga 1.000 ml empedu kuning setiap hari. Hati juga berperan dalam
metabolism makronutrien yaitu karbohidrat, lemak dan protein, serta berperan dalam
fungsi detoksifikasi.
Bilirubin adalah suatu pigmen berwarna kuning berasal dari unsure porfirin dalam
hemoglobin yang terbentuk sebagai akibat penghancuran sel darah merah oleh sel
retikuloendotelial. Wlaupun berasal dri hemoglobin, bilirubin tidak mengandung zat
besi. Bilirubin yang baru terbentuk ini larut dalam lemak. Di dalam plasma akan
berikatan dengan albumin. Oleh karena terbentuk secara normal dari penghancuran
sel darah merah, maka metabolism dan sekresi selanjutnya dapat berlangsung secara
terus-menerus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel eritorsit oleh
makrofag di dalam limpa, hati, dan alat retikuloendotel lain akan mengalami
pemecahan menjadi heme dan globin. Melalui proses oksidasi, komponen globin
mengalami degradasi menjadi asam amino dan digunakan untuk pembentukan protein
lain. Unsur heme selanjutnya oleh heme-oksigenase, teroksidasi menjadi biliverdin
dengan melepas zat besi dan karbonmonoksida. Bilirubin reduktase akan mereduksi
biliverdin menjadi bilirubin tidak terkonjugasi. Walaupun lebih dari 80% bilirubin
terjadi dari eritrosit namun sekitar 15-20% bilirubin dapat pula berasal dari
hemoprotein lain seperti mioglobin, sitokrom. Bilirubin tak terkonjugasi ini adalah
suatu zat lipofilik, larut dalam lemak, hampir tidak larut dalam air sehingga tidak
dapat dikeluarkan lewat urine melalui ginjal (disebut pula bilirubin indirek karena
hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan ke dalam alcohol). Karena sifat
10
lipofilik zat ini dapat melalui membrane sel dengan relative musah. Setelah dilepas ke
dalam plasma sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi ini akan membentuk ikatan
dengan albumin sehingga dapat larut dalam darah. Pigmen ini secara bertahap
berdifusi ke dalam sel hati (hepatosit). Dalam hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi ini
dikonjugasi dengan asam glukoronat membentuk bilirubin glukoronida atau bilirubin
terkonjugasi (bilirubin direk). Reaksi konjugasi dikatalisasi oleh enzim
glukoroniltransferase, yaitu suatu enzim yang terdapat di RE dan merupakan
kelompok enzim yang mampu memodifikasi zat asing yang bersifat toksik. Bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, dapat dikeluarkan melalui ginjal namun dalam keadaan
normal tidak dapat dideteksi dalam urine. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi ini ini
dikeluarkan ke dalam empedu, suatu komponen kolesterol, fosfolipid, bilirubin
diglukoronida dan garam empedu. Sesudah dilepas kedalam saluran cerna bilirubin
glukoronida diaktifasi oleh enzim bakteri dalam usus, sebagian menjadi urobilinogen
yang akan keluar melalui tinja (sterkobilin), atau diserap kembali dari saluran cerna,
dibawa ke hati dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen dapat larut
ke dalam air, oleh karena itu sebagian dikeluarkan melalui ginjal.
Duktus Biliaris Hepatis
Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan, dan dipekatkan di dalam vesica
biliaris, kemudian dikeluarkan ke duodenum. Duktus biliaris hepatis terdiri atas
duktus hepaticus dexter dan sinister, ductus hepaticus communis, ductus choledochus,
vesica biliaris dan ductus cysticus. Cabang-cabang interlobulare ductus choledochus
terkecil terdapat di dalam canalis hepatis; cabang-cabang ini menerima canaliculi
biliaris; cabang-cabang ini saling berhubungan satu sama lain dan secara bertahap
membentuk saluran yang lebih besar, sehingga akhirnya pada porta hepatis
membentuk ductus hepaticus dexter dan sinister. Ductus hepaticus dexter mengalirkan
empedu dari lobus hepatis dexter dan ductus hepaticus sinister mengalirkan empedu
dari lobus hepatis sinister, lobus caudatus, dan lobus quadrates.
DUKTUS SISTIKUS
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada porta
hepatis yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis duktus sistikus
mulai dari kollum vesika fellea, kemudian berjalan ke postero-kaudal di sebelah kiri
kollum vesika fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis membentuk
duktus koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12 lipatan, berbentuk
11
spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai valvula disebut valvula
spiralis (Heisteri).
DUKTUS HEPATIKUS
Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat pada processus
papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm
terletak disebelah ventral arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena portae.
Bersatu dengan duktus sistikus menjadi duktus koledokus.
DUKTUS KOLEDOKUS
Duktus koledokus mempunyai panjang kira – kira 7 cm dibentuk oleh
persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada porta hepatis,
dimana dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian
Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
desenden duodeni membentuk suatu benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni
major.
IKTERUS OBSTRUKTIF
12
Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual.
Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka
panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah
gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini
biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan
dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan
pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya,
jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice
obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya
untuk pengobatan.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris.Serum
bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0
mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice.
Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari
perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. Bilirubin merupakan produk
pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem
retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati
terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid
hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase
mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat
untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan
bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan
kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah
menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini
diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai
35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. Jaundice (berasal dari
bahasa Perancis “jaune‟ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice)
adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit
bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.
KOLEDOKOLITHIASIS
13
Koledokolithiasis adalah keadaan dimana terjadi obstruksi pada duktus biliaris yang
disebabkan oleh batu. Sebanyak 6-15 % ditemukan pada keadaan akut
kolesistolithiasis dan 1-2% pada kolesistisis. Penyebab dari koledokolitiasis bisa
berupa adanya batu dari kandung empedu yang bermigrasi dan menyumbat duktus
koledukus atau dapat juga berasal dari pembentukan batu di duktus koledokus sendiri.
Faktor predisposisi terjadinya batu kandung empedu ialah adanya perubahan
komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada pasien koledokolitiasis kadang tidak spesifik bahkan tidak ada
keluhan. Namun keluhan dari koledokolitiasi sendiri yang akan ditemukan ialah nyeri
pada abdomen region epigastrium dan hipokondrium dekstra, kulit atau sclera yang
tampak kuning dan adanya gejala kolangitis seperti menggigil, tanda tanda sepsis,
hipotensi hingga penurunan kesadaran.
Diagnosis
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan nyeri perut, demam, menggigil, hingga
penurunan kesadaran. Sedangkan pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah
yang rendah, nadi yang cepat >90x/menit, suhu tubuh yang tinggi > 39OC dan sclera
yang ikterik hingga kulit yang tampak kuning. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan peningkatan alkalin fosfat dalam darah dan juga peningkatan bilirubin total
dan direk. Sedangkan dapat juga dilakukan pemeriksaan endoskopok ultrasound,
transabdominal ultrasound hingga ERCP sebagai pemeriksaan penunjangn untuk
memastikan ada tidaknya batu pada duktus koledokus.
Tatalaksana
Pasien dengan simptomatik batu kandung empedu dan suspek batu pada
duktus biliaris, lakukan preoperatif endoskopi cholangiografi atau
intraoperative cholangiogram untuk melihat batu pada duktus biliaris
Jika hasil pemeriksaan terdapat batu melalui endoskopi, dapat dilakukan
sphincterotomi dan laparoskopi kolesistektomi. Jika dilakukan intraoperatif
cholangiogram saat kolesistektomi dapat langsung mengetahui ada atau
tidaknya batu pada duktus biliaris.
14
KOLANGITIS
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu.
Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai
trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal
dengan ’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan bahwa ’’empedu stagnan’’karena
obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis.
Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang
membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering
dikultur pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus,
Enterococcus, Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang
dikultur hanya sekitar 15% kasus.
Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor,
yaitu cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan
intraduktal yang terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan
sistem limfatik perihepatik yang menyebabkan bakterimia.
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat
pada penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan
kesadaran.
ETIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi
struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat
penyebab obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi.
Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif.
Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian
manipulasi saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi
penyakit saluran biliaris telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain
itu pemakaian jangka panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh
cairan biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.
EPIDEMIOLOGI
15
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi
menyebabkan kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%.
Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara
keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60
tahun.
MANIFESTASI KLINIK
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan
nyeri abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua
elemen tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan
kolangitis supuratif tampak bukan saja dengan adanya trias charcot tapi juga
menunjukkan penurunan kesadaran dan hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Cameron, demam di temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus pada 67
persen kasus dan nyeri abdomen hanya pada 42 persen kasus.
Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi
aliran empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus,
demam dan mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia.
Biakan darah yang diambil saat masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah
positif pada 40 sampai 50 persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli
dan Klebsiella pneumoniae adalah organisme tersering yang didapatkan pada biakan
darah. Organisme lain yang dibiakan dari darah adalah spesies Enterobacter,
Bacteroides, dan Pseudomonas.
Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering
ditemukan, demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari
empedu yang terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi
adalah Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial
terakhir dibandingkan saat koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang
tersering.
DIAGNOSIS
Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin
16
dan demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning
pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80% penderita.
B. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,
ikterus, gangguan kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian
besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau
trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah.
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin
yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase
dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
1. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang
dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar hidrops,
kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan
gaya gravitasi.
17
3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu
kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu
yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal.
Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat
18
menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati
penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati
dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan
spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat
duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat
mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai
dengan letak anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi
adalah derivat asam iminodiasetik dengan label 99mTc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier
melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi
yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan
tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan
di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
19
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien
dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk
menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi
definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan
dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama
adalah pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk
menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun
kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau
patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada
sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus
diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.
DIAGNOSIS BANDING
1. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari kolesistikus
akut adalah nyeri perut di kuadran kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke
belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat kolik dimasa lalu, yang pada
mulanya sulit dibedakan dengan nyeri kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri
menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan dan defans
muskuler otot dinding perut. Kadang-kadang empedu yang membesar dapat diraba.
Pada sebagian penderita, nyeri disertai mual dan muntah.
2. Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan
oleh infeksi bakteri atau virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas
yang keluar dari saluran pankreas. Biasanya serangan pankreatitis timbul setelah
makan kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa nyeri perut timbul tiba-tiba atau
mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah pertengahan epigastrium dan
biasanya menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk
membungkuk dan bertambah bila terlentang. Muntah tanpa mual dulu sering
dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung sudah kosong.
Gambaran klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik
20
didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai
demam, takikardia, dan leukositosis.
3. Hepatitis Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri dari
hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis B
merupakan hepatitis yang paling sering terjadi. Keluhan utamanya yaitu nyeri perut
pada kuadran kanan atas sampai di ulu hati. Kadang disertai mual, muntah dan
demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan infeksi akut. Sebagian menjadi
sembuh dan sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang fatal.
PENATALAKSANAAN
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah
konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan
antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat
dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin
memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan
dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan
bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin
telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil
gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan
enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan
antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan
antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan
kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk
terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis
antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja
mencakup organisme yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang
dieksresikan dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.
DEKOMPRESI BILIARIS
21
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan
berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan
tes fungsi hati kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien
tidak menunjukkan perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam
pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar
kasus, dekompresi biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik
dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah
semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu
dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa
nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm,
sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita
ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu.
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada
batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama
satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung
empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi
invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit.
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu
saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi
dengan pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi
endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras.
Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan
pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum.
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai
salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi
ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien
dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar
untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
22
PEMBEDAHAN-PEMBEDAHAN YANG DILAKUKAN :
A. Kolesistektomi Terbuka
Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang
pertama pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan
standar untuk metode terapi pembedahan pada sistem empedu. Kolesistektomi
membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan pada bagian anterior
dinding abdomen dengan panjang irisan 12 – 20 cm.
Tekhnik operasi untuk kolesistektomi terbuka
Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris
tengah, paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan,
tergantung pada pilihan ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat
untuk diseksi serta eksplorasi. Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher)
sebagai salah satu insisi yang paling serba guna dalam diseksi kandung empedu dan
saluran empedu.
Terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pengangkatan kandung empedu
secara antegrad (diseksi dimulai di fundus) atau retrograd (diseksi dimulai di porta).
Jika anatomi porta tidak dikaburkan oleh peradangan yang parah, maka pilihannya
adalah memulai diseksi pada porta. Dengan traksi pada kandung empedu
menggunakan klem yang dipasang di fundus dan kantung Hartman, peritoneum yang
menutupi segitiga Calot diinsisi dan disisihkan dengan diseksi tumpul. Arteri sistikus
diidentifikasi, diligasi ganda atau diklem ganda, dan lalu dipotong, meninggalkan
puntung sekurangnya 1sampai 2 mm.3
Pemotongan arteri mempermudah identifikasi saluran sistikus.
Memperhatikan anomali yang sering terjadi adalah penting pada tahapan ini.
Anomali yang cukup sering adalah masuknya saluran sistikus ke saluran hepatik
kanan, anomali lain adalah masuknya saluran hepatik asesorius kanan yang cukup
besar ke saluran sistikus. Sangat penting bahwa struktur saluran yang dipotong sampai
anatomi sistem saluran yang tepat telah diketahui. Persambungan saluran sistikus
dengan saluran empedu harus ditunjukkan secara jelas. Jika kandung empedu
mengandung batu kecil atau lumpur, saluran sistikus diikat dengan jahitan atau klem
tunggal pada tempat keluarnya dari kandung empedu, untuk mencegah batu atau
lumpur masuk ke dalam saluran empedu selama diseksi. Menegakkan anatomi pada
tahap operasi ini dilakukan dengan kolangiografi operatif.
23
* Kolangiografi operatif
Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama,
untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua
yang sama pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak
dicurigai, dengan insidensi setinggi 5 sampai 10 persen.
Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak
kanula kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll).
Pilihannya adalah kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk
mempermudah insersi dan fiksasi. Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman
setelah persambungan sistikus dan saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm).
Insisi harus cukup besar untuk memasukkan kanula atau kateter, yang dapat
diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari lumen. Kanula lalu dipertahankan di
tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus. Material kontras untuk
kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling disukai untuk
kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra (image
intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu
secara lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi.
* Laparoskopi Kolesistektomi
Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu
empedu dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada
tahun 1988 dan telah berkembang dengan cepat. Indikasi untuk operasi adalah batu
empedu, polip simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis
abdomen, gangguan pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat saluran
empedu. Teknik ini adalah perawatan yang singkat dan dapat kembali beraktifitas
dengan normal. Penyulitnya adalah adanya cedera saluran empedu, perdarahan, dan
kebocoran empedu.
24
Lokasi kanula untuk kolesistektomi laparoskopi.
Lokasi kanula dan susunan awal untuk kolesistektomi laparoskopi
* Eksplorasi koledokus; laparoskopi eksplorasi duktus empedu
Umumnya, batu duktus empedu dideteksi intraoperatif dengan kolangiografi
intraoperatif atau ultrasonografi dan dilakukan dengan cara laparoskopi eksplorasi
koledokus yang merupakan bagian dari tekhnik kolesistetomi laparoskopi. Pasien
dengan batu duktus empedu dideteksi sebelum operasi, biasanya dengan klirens
endoskopik. Namun, kurang berhasil sehingga batu di duktus harus dilakukan dengan
kolesistektomi.
Jika batu pada duktus empedu kecil, mungkin dapat dibilas ke dalam
duodenum dengan mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter
Oddi direlaksasikan dengan glukagon. Jika irigasi (pengaliran) tidak berhasil, dapat
dilakukan pemasangan kateter balon melalui duktus sistikus dan turun ke duktus
empedu.
25
Laparoskopi eksplorasi duktus empedu. Laparoskopi eksplorasi koledokus.
26
Keterangan Gambar :
I. Keranjang transistik dengan menggunakan fluoroskopi
A. Keranjang digunakan sebagai tempat batu dan terbuka
B. Batu ditempatkan dikeranjang kemudian dipindahkan dari duktus sistikus
II. Koledoskopi transistik dan pemindahan batu
C. Keranjang dilewati oleh beberapa saluran pada skopik dan batu dapat
dilihat dibawahnya
D. Batu entrapped
E. Pernyataan dari koledoskopik
III. Koledoktomi dan pemindahan batu
F. Insisi kecil dibuat pada duktus empedu
G. Duktus empedu dibersihkan batunya dengan koledoskopik
H. Pemasangan T. Tube dibagi kiri duktus empedu yang berhubungan
dengan dinding abdomen untuk dekompersi empedu
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua
sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran
empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan
akibat abses multiple.
B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama
penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan
utama sekitar 10-15%.
C. Peritonitis sistem bilier
27
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis.
Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang
mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau
pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang
sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat
mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang
terjadi kadang susah untuk dikontrol.
G. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada
pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus
empedu dan usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat
berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus
yang menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah
abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam
beberapa hari setelah operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang
diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:
* Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
* Sepsis
PROGNOSIS
Tergantung berbagai faktor antara lain :
Pengenalan dan pengobatan diri
Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti
dengan drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.
Respon terhadap terapi
Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan
(misalnya antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik. Namun sebaliknya,
respon yang jelek akan memperberat penyakit tersebut.
28
Kondisi Kesehatan Penderita
Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang
menentukan prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama
kali mengalaminya dan berespon baik terhadap terapi yang diberikan,
prognosisnya akan baik.
29
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran selama 2 hari. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien juga mengalami demam selama 2 minggu dan
nyeri pada abdomen saat makan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien mengalami
demam, nyeri tekan abdomen regio hipokondrium kanan, sklera ikterik, hipotensi,
nadi lebih dari 90x/menit. Sedangkan pada hasil laboratorium ditemukan peningkatan
fungsi hati melalui hasil bilirubin direk dan indirek serta SGOT dan SGPT juga
terdapat leukositosis. Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas pasien mengalami gejala
choledocholithiasi, cholangitis dan juga gejala sepsis. Maka dari itu diagnosis kerja
kami berdasarkan hasil pemeriksaan diatas adalah Obstruksi jaundice et causa
choledocholithiasis dengan tanda-tanda cholangitis.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Henry MM, Thompson JN, 2005, Principles of Surgery, Second Edition, Elsevier
Saunders.
2. Latha G., S. Matthew, Matthwe S., 2003, First Aid for the Surgery Clerkship,
McGrawHill.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.
4. F. Charles B., et al: Schwartz Principles of Surgery Ninth Edition, 2010,
McGrawHill
5. Lloyd M. Nyhus, dkk. Abdominal Pain a Guide to Rapid Diagnosis
31