nyeri 1

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Kanker 1.1. Difenisi Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasif) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh/metastasis (Robbins, 1999). Kanker merupakan suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel. Sedangkan neoplasma adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi (Harnawatiaj, 2008) Dalam perkembangannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya dan bisa menyebar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian. Kanker pada umumnya dapat menimpa semua orang, pada setiap bagian tubuh dan pada semua golongan umur, namun lebih sering menimpa orang yang berusia di atas 40 tahun. Umumnya sebelum kanker meluas atau merusak jaringan di sekitarnnya, penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Tetapi ketika kanker bermestasis dengan cepat, penderita dapat merasakan nyeri yang sangat hebat bahkan kanker dapat mematikan seketika. Universitas Sumatera Utara

description

penelitian

Transcript of nyeri 1

Page 1: nyeri 1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kanker

1.1. Difenisi

Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel

yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan

biologis lainnya baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang

bersebelahan (invasif) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh/metastasis

(Robbins, 1999).

Kanker merupakan suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel.

Sedangkan neoplasma adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami

proliferasi (Harnawatiaj, 2008)

Dalam perkembangannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari

jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya dan bisa menyebar ke

seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian.

Kanker pada umumnya dapat menimpa semua orang, pada setiap bagian

tubuh dan pada semua golongan umur, namun lebih sering menimpa orang yang

berusia di atas 40 tahun. Umumnya sebelum kanker meluas atau merusak jaringan

di sekitarnnya, penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Tetapi

ketika kanker bermestasis dengan cepat, penderita dapat merasakan nyeri yang

sangat hebat bahkan kanker dapat mematikan seketika.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: nyeri 1

1.2. Proses Terjadinya Kanker

Diananda (2009), mengatakan bahwa faktor terjadinya kanker salah

satunya diakibatkan oleh adanya sel epitel yang terus berkembang (berpoliperasi).

Saat berpoliperasi, genetik sel bisa berubah akibat adanya pengaruh agen

karsinogen yang menyebabkan hilangnya penekanan terhadap proses proliferasi

sel. Pembentukan sel menjadi ganas juga melibatkan gen-gen mengatur yang

pembentukan sel, akibatnya sel berkembang tidak terkendali. Selanjutnya

Diananda (2009) memaparkan beberapa tahapan perkembangan kanker sebagai

berikut:

1.2.1 Tahap Insisi

Pada tahap insisi terjadi perubahan genetik yang menetap akibat

rangsangan bahan atau agen inisiator yang menimbulkan proses inisiasi,

perubahan yang terjadi adalah irreversibel.

1.2.2 Tahap Promosi

Dalam tahap promosi perubahan ke arah prakanker terjadi akibat bahan-

bahan promoter. Perubahan yang terjadi mempengaruhi promoter yang berulang-

ulang dalam jangka waktu yang lama. Tahap ini irreversible, artinya resiko

timbulnya kanker akan hilang bila promoter dihilangkan.

1.2.3 Tahap Progresif

Pada tahap progresif terjadinya pertumbuhan kanker telah menembus

membran basal dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya dan menyebar luas

ke jaringan lainnya. Penyebaran ini dapat melalui aliran darah, aliran getah

bening, atau langsung dari tumor.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: nyeri 1

1.3. Jenis, Tanda dan Gejala Klinis Kanker

Adapun jenis, tanda dan gejala klinis pada kanker adalah:

1.3.1 Karsinoma

Karsinoma adalah jenis kanker yang berasal dari sel yang melapisi

permukaan tubuh atau permukaan saluran tubuh, misanya jaringan epitel seperti

sel kulit, testis, ovarium, kelenjar mukus, sel melanin, payudara, leher rahim,

kolon, rektum, lambung, pankreas, dan esopagus.

Salah satu tanda dan gejala klinis pada karsinoma adalah perubahan pada

epitel itu sendiri, karsinoma sel basal dan sel skuamosa mempunyai beberapa

penampilan yang berbeda, bermula sebagai nodul atau benjolan kecil, halus,

mengkilat, pucat, kadan-kadang berdarah/ berkembang menjadi satu krusta yang

rata dan tipis dengan gumpalan merah keras (Charette, 1999).

1.3.2 Limfoma

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan yang membentuk

darah, misalnya jaringan limfe, limfa, lacteal, berbagai kelenjar limfe, timus, dan

sumsum tulang. Limfoma spesifik antara lain adalah penyakit Hodgkin (kanker

kelenjar limfe dan limfa).

Limfoma secara klasik timbul dengan satu/beberapa pembesaran, nodus

limfa tak nyeri, beberapa pasien mungkin mengalami asimtomatik dengan keluhan

malaise, demam, berkeringat pada malam hari, penuruna berat badan. Penurunan

jumlah darah mungkin berkaitan dengan terkenanya sumsum tulang

belakang/anemia hemolitik autoimun yang terjadi lebih umum pada NHL dan ,

gangguan gastrointestinal kemungkinan merupakan induksi NHL yang disertai

dengan gangguan pulmonal dan jantung (Otto, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: nyeri 1

1.3.3 Leukimia

Leukemia adalah jenis kanker yang tidak membentuk massa tumor, tetapi

memenuhi pembuluh darah dan mengganggu fungsi sel darah normal. Tanda dan

gejala dari leukimia meliputi anemia, perdarahan ,demam, malaise, infeksi dan

nyeri tulang. Gejala neurologis meliputi sakit kepala, mual, muntah, dan gangguan

penglihatan.

Dengan adanya peningkatan jumlah sel darah putih mengakibatkan

terjadinya gumpalan dari sel-sel dan resiko timbulnya komplikasi neurologis,

jantung dan pulmonal yang serius. Pada leukimia sering juga dijumpai adanya

limfadenopati dan hepatospenomegali ( Robbins, Cotran & Kumar, 2007).

1.3.4 Sarkoma

Sarkoma adalah jenis kanker dimana jaringan penunjang yang berada di

permukaan tubuh seperti jaringan ikat, termasuk sel-sel yang ditemukan di otot

dan di tulang.

Gejala klinis yang sering dijumpai pada sarkoma adalah adanya

pembengkakan dan nyeri pada daerah yang terkena gejala cenderung menjadi

progresif, ditandai dengan demam ringan, flu, malaise, kelemahan, anemia,

leukositosis dan peningkatan laju endap darah ( Carette, 1999).

1.3.5 Glioma

Glioma adalah kanker susunan saraf, misalnya sel-sel glia (jaringan

penunjang) di susunan saraf pusat.

Gejala yang paling sering pada glioma adalah sakit kepala pada daerah

bifrontal, bioksipital, kejang, edema cerebral, peningkatan tekanan intrakranial,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: nyeri 1

perdarahan jaringan otak, herniasi otak, perubahan struktur, defisit memori, dan

hilangnya fungsi usus dan kandung kemih (Mackay & Hayes, 1997).

1.3.6 Karsinoma In situ

Karsinoma in situ adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sel

epitel abnormal yang masih terbatas di daerah tertentu sehingga masih dianggap

sebagai lesi prainpasif (kelainan/luka yang belum menyebar).

Karsinoma in situ ditandai dengan proliferasi kecil dalam duktus yang

menyebabkan distorsi minimal 50% dari satu lobus, lebih agresif dengan

kekambuhan dan apabila dibiopsi kekambuhan terjadi sekitar 0-10 % kasus

(Mackay & Hayes).

1.4. Penyebab dan Faktor Resiko Kanker

Junaidi (2006), mengatakan bahwa penyebab kanker biasanya tidak

dapat diketahui secara pasti karena penyebab kanker dapat merupakan gabungan

dari sekumpulan faktor, genetik dan lingkungan.

Namun ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko terjadinya kanker,

sebagai berikut:

1.4.1 Faktor keturunan

Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih

tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga

lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah kanker

payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar. Sebagai

contoh, resiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5 s/d 3 kali jika ibunya

atau saudara perempuannya menderita kanker payudara ( Junaidi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: nyeri 1

1.4.2 Faktor Lingkungan

Lingkungan yang buruk merupakan faktor eksternal yang dapat

meningkatan resiko terkena kanker. Merokok sigaret meningkatkan resiko

terjadinya kanker paru-paru, mulut, laring, dan kandung kemih. Selain itu, radiasi

ionisasi (yang merupakan karsinogenik) yang digunakan dalam sinar rontgen

dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan ledakan bom atom yang bisa

menjangkau jarak yang sangat jauh. Misalnya, orang yang selamat dari bom atom

di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, berisiko tinggi menderita

kanker sel darah, seperti Leukemia ( Petter, 2007).

1.4.3 Faktor Makanan yang mengandung bahan kimia

Makanan juga dapat menjadi faktor resiko penting lain penyebab kanker,

terutama kanker pada saluran pencernaan. Contoh jenis makanan yang dapat

menyebabkan kanker adalah makanan yang diasap dan diasamkan (dalam bentuk

acar) meningkatkan resiko terjadinya kanker lambung, minuman yang

mengandung alkohol menyebabkan beresiko lebih tinggi terhadap kanker

kerongkongan, zat pewarna makanan, logam berat seperti merkuri yang sering

terdapat pada makanan laut yang tercemar seperti: kerang, ikan dan berbagai

makanan manis dari tepung yang diproses secara berlebihan (Diananda, 2009).

1.4.4 Virus

Virus yang dapat dan dicurigai menyebabkan kanker antara lain virus

Papilloma menyebabkan kutil genitalis dan merupakan salah satu penyebab

terjadiya kanker leher rahim pada wanita, virus Sitomegalo menyebabkan

Sarkoma Kaposi (kanker sistem pembuluh darah yang ditandai oleh lesi kulit

berwarna merah), virus Hepatitis B dapat menyebabkan kanker hati, virus

Universitas Sumatera Utara

Page 7: nyeri 1

Epstein-Barr (di Afrika) menyebabkan Limfoma Burkitt, sedangkan di China

virus ini menyebabkan kanker hidung dan tenggorokan. Ini terjadi karena faktor

lingkungan, genetik dan virus Retro pada manusia,misalnya virus HIV dapat

menyebabkan limfoma dan kanker darah lainnya (Kricker, 1997).

1.4.5 Infeksi

Infeksi yang dibiarkan tanpa penanganan medis akan menambah resiko

terkena kanker. Organisme penyebab kanker antara lain, parasit Schistosoma

(bilharzia) dapat menyebabkan kanker kandung kemih karena terjadinya iritasi

menahun pada kandung kemih. Infeksi oleh Clonorchis yang menyebabkan

kanker pankreas dan saluran empedu, dan helicobacter Pylori merupakan

penyebab kanker lambung ( Junaidi, 2006).

1.4.6 Perilaku

Perilaku tertentu meningkatkan kemungkinan seseorang menderita

kanker. Perilaku yang dimaksud misalnya adalah merokok dan mengkonsumsi

makanan yang banyak mengandung lemak dan daging yang diawetkan, peminum

alkohol dan perilaku seksual yang melakukan hubungan intim diusia dini dan

sering berganti-ganti pasangan (Syafuddin, 2006).

1.4.7 Gangguan Keseimbangan Hormonal

Hormon estrogen berfungsi merangsang pertumbuhan sel yang

cenderung mendorong terjadinya kanker, sedangkan progesteron melindungi

terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan. Ada kecenderungan bahwa kelebihan

hormon estrogen dan kekurangan progesteron menyebabkan meningkatnya resiko

kanker payudara, kanker leher rahim, kanker rahim, kanker prostat dan buah zakar

pada pria ( Diananda, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: nyeri 1

1.4.8 Faktor Kejiwaan dan Emosional

Stres yang berat dapat menyebabkan ganggguan keseimbangan seluler

tubuh. Keadaan tegang yang terus menerus dapat mempengaruhi sel, dimana sel

jadi hiperaktif dan berubah sifat menjadi ganas sehingga menyebabkan kanker

(Petter, 2007).

1.4.9 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom, atau molekul yang

mempunyai elektron bebas yang tidak berpasangan di lingkaran luarnya.

Masuk ke dalam tubuh dalam bentuk racun-racun kimiawi dari makanan,

minuman, udara yang terpolusi, dan sinar ultraviolet dari matahari dan

diproduksi secara berlebihan pada waktu kita makan berlebihan atau bila kita

dalam keadaan stres berlebihan, baik stres secara fisik, psikologis, maupun

biologis ( Kinzler, 2002).

1.5 Pemeriksaan Diagnostik

Untuk mengetahui tanda dan gejala kanker dapat dilakukan dengan

beberapa pemeriksaan diagnostik.

Tes penyaringan kanker dimaksudkan untuk mengetahui kemungkinan

terjadinya kanker. Tes ini dapat mengurangi jumlah terjadinya kematian akibat

kanker, karena jika kanker ditemukan pada stadium dini, kemungkinan besar

dapat diobati sebelum menyebar lebih jauh ke organ tubuh lainnya. Untuk itu

setiap penderita kanker perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: nyeri 1

Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada setiap penyakit

kanker adalah:

1.5.1 Karsinoma

Pemeriksaan diagnostik pada karsinoma dilakukan dengan biopsi meliputi

eksisi dan insisi, bila dicurigai adanya melanoma maka biopsi eksisi merupakan

metode pilihan sehingga kedalaman biopsi dapat diukur, pemeriksaan karsinoma

ini disebut dengan Level Breslow. Untuk melanoma yang dalam dibutuhkan

pemeriksaan darah, Sinar-X dan CT scan ( Charette, 1999).

1.5.2 Limfoma

Pemeriksaan diagnostik pada limfoma meliputi pemeriksaan radiologis

seperti CT scan, MRI, Sinar-X dada, limfangiogram, Intravena pielogram (IVP),

dan CT scan tulang jika ada nyeri tulang ( Otto, 2003).

1.5.3 Leukimia

Pemeriksaan diagnostik pada leukimia dilakukan dengan menghitung

darah lengkap. Semua jenis leukimia didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan

diagnostik aspirasi dan biopsi sumsum tulang, biopsi ini biasanya didapat dari

tulang iliaka dan tulang sternum dengan pemberian anestesi lokal (Robbins,

Cotran & Kumar, 2007)

1.5.4 Sarkoma

Metode pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada sarkoma adalah

Computed Tomography (CT) dan MRI. Biopsi terbuka diperlukan untuk

menentukan diagnosis pasti meliputi eksisi, insisi/biopsi jarum. Foto rongten

dilakukan untuk menghindari adanya metastase ke paru-paru, dan penyebaran

yang paling umum adalah melalui darah ( Carette, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: nyeri 1

1.5.5 Glioma

Pemeriksaaan diagnostik yang dilakukan pada glioma pada umumnya

adalah Computed Tomography (CT), MRI, Tomography Emisi Positron,

Angiogram otak dan Rongten untuk mengevaluasi aliran pembuluh darah ke otak.

Pemeriksaan glioma pada epilepsi dilakukan dengan Elektroensefalografi,

sedangkan pada diagnosis herniasi diskus antevertebra dan tumor spinalis

dilakukan dengan Mielografi untuk melihat kanalis spinalis dan korda ( Mackay &

Hayes, 1997).

Dalam konteks keperawatan, nyeri yaitu “apapun yang dikatakan orang

mengenai pengalaman nyeri, keberadaanya ada kapan saja saat ia mengatakan

nyeri”(Mander, 2003). Nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari

bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau

2. Nyeri

2. 1. Defenisi Nyeri dan Teori Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Keefe,

1996). Nyeri merupakan sumber penyebab frustasi, baik klien maupun tenaga

kesehatan. International Asosociation for the Study of pain, mendefenisikan nyeri

sebagai “suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial

atau kerusakan yang terjadi dalam kejadian-kejadian dimana terjadi

kerusakan”(IASP, 1979).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: nyeri 1

bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner &

Suddart, 2001).

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal

yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri memiliki beberapa sifat, antara lain

(Mahon, 1994; dalam Potter & Perry, 2005) yaitu subjektif, sangat individual,

stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental,

sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego

seorang individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang

mendominasi, tidak berkesudahan, melelahkan dan menuntut energi seseorang,

dapat menggangu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan, tidak

dapat diukur secara subjektif, dan mengarah pada ketidakmampuan.

Teori nyeri yang diterima saat ini salah satunya adalah teori Gate Control.

Menurut teori ini, sensasi nyeri dihantar sepanjang saraf sensoris menuju ke otak

dan hanya sejumlah sensasi atau pesan tertentu dapat dihantar melalui jalur saraf

ini pada saat bersamaan (Mander, 2003).

Teori gate kontrol menyatakan bahwa sinaps pada akar dorsal yang

dikenal sebagai subtansia gelatinosa berperan sebagai gerbang yang dapat

meningkatkan atau menurunkan rangsang nyeri dari saraf perifer ke otak. Gerbang

ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut saraf besar dan kecil.

Peningkatan aktivitas serabut saraf kecil akan membuka gerbang dan

menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sedangkan peningkatan aktivitas

serabut saraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga sensasi nyeri tidak

sampai ke otak (Guyton, 1990).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: nyeri 1

Serabut saraf A-Beta merupakan serat saraf spinalis bermielin dengan

ambang tinggi dan berkecepatan antara 30-90 meter perdetik dalam

menghantarkan impuls sedangkan serabut serat A-Delta merupakan serat saraf

bermielin dan berdiameter kecil yang menghantarkan impuls pada kecepatan

rendah yaitu antara 6-30 meter perdetik sedangkan serabut saraf C yang tidak

bermieiln memiliki kecepatan konduksi 0,5-20 meter perdetik (Guyton, 1990).

Serabut saraf A-Delta dan serabut saraf C berespon secara maksimal

terhadap nyeri. Pada mekanisme teori ini, serabut saraf A-Beta yang

menyampaikan sensasi sentuhan akan melewati mekanisme gerbang. Ketika

diaktifkan, serabut saraf ini berlomba dengan serabut saraf A-Delta sehingga

memblok impuls nyeri, bila gerbang terbuka beberapa impuls nyeri dapat masuk

sehingga nyeri dapat dirasakan dan bila gerbang tertutup, impuls nyeri akan

terhambat (Kozier, 1987).

2. 2. Klasifikasi Nyeri

Menurut (Tamsuri, 2007), nyeri dapat dibedakan berdasarkan sumber

nyerinya sebagai berikut:

2.2.1 Berdasarkan Sumber Nyeri

Sumber nyeri bisa berasal dari mana saja yaitu kulit, ligament, otot dll.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan atas: dibedakan atas:

a. Cutaneus/suferfisial

Cutaneus/suferfisial adalah nyeri yang mengenai kulit/jaringan subkutan.

Biasanya bersifat burning (seperti terbakar ), contoh; terkena ujung pisau atau

gunting.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: nyeri 1

b. Deep somatik/nyeri dalam

Deep somatik/nyeri dalam adalah nyeri yang muncul dari ligament,

pembuluh darah, tendon dan saraf. Nyeri menyebar dan lebih lama dari pada

cutaneus, contoh; sprain sendi.

c. Visceral (pada organ dalam )

Visceral (pada organ dalam) adalah stimulasi reseptor nyeri dalam rongga

abdomen, kranium dan thorax. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, dan

regangan jaringan.

2.2.2. Berdasarkan Penyebab Nyeri

Nyeri yang dialami pasien dapat disebabakan oleh hal-hal tertentu, oleh

karena itu berdasarkan penyebabanya, nyeri dapat dibedakan atas 2 kategori yaitu:

a. . Penyebab fisik

Merupakan nyeri yang berasal dari bagian tubuh seseorang dan ini terjadi

karena stimulus fisik serta nyeri ini dapat dilihat secara langsung dari morfologi

tubuh yang berubah (contoh: fraktur femur).

b. Psycogenik

Nyeri psykogenik terjadi karena sebab yang kurang jelas atau susah

diidentifikasi bersumber dari emosi atau psikis dan biasanya tidak disadari,

contohnya orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.

Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan dua sebab tersebut (Tamsuri, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: nyeri 1

2.2.3. Berdasarkan Lama/Durasi Nyeri

Lama/durasi nyeri yang dialami oleh pasien sangat beranekaragam, hal

ini tentu sangat menggangu aktivitas dari penderita nyeri tersebut. Untuk itulah

maka perlu diambil tindakan secepat mungkin untuk mengurangi dan

menghilangkan nyeri. Sedangkan berdasarkan nyeri tersebut dapat dibedakan atas:

a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah suatu keadaan dimana individu mengalami dan

melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak

menyenangkan selama enam bulan atau kurang (Carpenito, 1998). Nyeri yang

terjadi segera setelah tubuh terkena cedera atau intervensi bedah dan memilliki

awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi

nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cedera atau penyakit

yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi

medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.

Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif

untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses

penyembuhan pasien, untuk itu harus menjadi proses perawatan (Tamsuri, 2007).

Adapun batasan karakteristik nyeri akut yaitu subjektif dan objektif,

batasan subjektif adalah komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri

dideskripsikan, perubahan tonus otot, perubahan tekanan darah, perubahan nadi,

perubahan respirasi, diaphoresis, perilaku distraksi, perilaku berlebihan, muka

topeng, fokus menyempit, melaporkan adnya nyeri, adanya bukti nyeri, perilaku

melindungi dilatasi pupil, fokus pada diri sendiri, gangguan tidur (Tamsuri, 2007),

Universitas Sumatera Utara

Page 15: nyeri 1

dan batasan objektif adalah perilaku sangat berhati-hati, memusatkan diri, fokus

perhatian rendah (perubahan persepsi waktu, menarik diri dari hubungan sosial,

gangguan proses fikir), perilaku distraksi (mengerang, menangis dll), raut wajah

kesakitan (wajah kuyu, meringis), perubahan tonus otot, respon autonom seperti

diaphoresis ,perubahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, penurunan atau

peningkatan frekuensi pernafasan.

b. Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang periode tertent, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya

berlangsung lebih dari enam bulan.

Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Sifat nyeri kronis

yang tidak dapat diprediksi membuat pasien menjadi depresi dan seringkali

mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami depresi kronis akan

timbul perasaan yang tidak aman, karena dia tidak tahu apa yang dirasakannya

dari hari ke hari (Tamsuri, 2007).

Adapun batasan karakteristik nyeri kronis terbagi dalam dua golongan,

yakni mayor dicirikan dengan individu melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih

dari 6 bulan dan minor dicirikan dengan ketidaknyamanan, marah, frustasi,

depresi karena situasi, raut wajah kesakitan, anoreksia, penurunan berat badan,

insomnia, gerakan yang sangat berhati-hati, spasme otot, kemerahan, bengkak,

panas, perubahan warna pada area terganggu,dan abnormalitas refleks.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: nyeri 1

Adapun perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Tujuan

Awitan

Intensitas

Durasi

Respon otonom

Komponen psikologis

Memperingatkan adanya masalah atau cedera

Mendadak

Ringan sampai berat

Durasi singkat(dari beberapa detik hingga enam bulan

Konsisten dengan respon simpatis

Ansietas

Tidak ada

Terus-menerus atau intermitten

Ringan sampai berat Durasi lama(enam

bulan atau lebih) Tidak ada respon

otonom

Depresi,mudah marah dan menarik diri

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

2.2.4. Berdasarkan lokasi/letak Nyeri

Menurut (Priharjo, 1993), nyeri dapat dibedakan berdasarkan lokasi atau

letak terjadinya, sebagai berikut:

a. Radiating pain, merupakan nyeri yang diakibatkan oleh efek

radioaktif pada bagian tubuh yang terkena paparannya.

b. Cardiac pain, yakni nyeri dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya.

c. Referred pain, yakni nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu

yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.

d. Intractabel pain, yakni nyeri yang sangat susah dihilangkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: nyeri 1

e. Phantom pain, yakni sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh

yang hilang (contoh: bagian tubuh yang diamputasi) atau bagian

tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalis.

a. Resepsi

2.3. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling

baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk menjelaskan tiga

komponen fisiologis berikut, resepsi, persepsi, dan reaksi (Potter & Perry, 2005):

Clancy & McCivar, 1992 dalam Potter & Perry, 2005 mengatakan

bahwa semua kerusakan selular, yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik,

kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang

menghasilkan nyeri.

Impuls saraf yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di

sepanjang serabut saraf perifer aferen yang terdiri dari serabut A-Delta dan

serabut saraf C, serabut A-Delta mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan

jelas yang melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut

tersebut menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera (Jones dan

Cory, 1990). Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang individu mula-

mula akan merasakan suatu nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan

hasil transmisi serabut A-Delta, dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih difus

dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut-C.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: nyeri 1

b. Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus

nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke talamus dan otak tengah. Dari

talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk

korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus frontalis,

dan sistem limbik (Paice, 1991). Sistem limbik berperan aktif dalam memproses

reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak

yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.

Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi

yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-

faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Meinhart dan McCaffery

(1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai sensori-

diskriminatif, motivasi-adektif, dan kognitif-evaluatif.

c. Reaksi

Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang

terjadi setelah mempersepsikan nyeri.Pada saat impuls nyeri naik ke medulla

spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi

terstimulasi sebagai bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas ringan

hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”,

yang merupakan sindrom adaptasi umum.

Nyeri yang berlangsung terus-menerus, berat, atau dalam, dan

melibatkan organ-organ visceral, mengakibatkan sistem saraf parasimpatis

menghasilkan respons fisiologis terhadap nyeri. Kecuali pada kasus-kasus nyeri

traumatik yang berat, menyebabkan individu mengalami syok.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: nyeri 1

Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang

apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat

mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Mahon (1994) mencatat

bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu

kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri.

Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan tiga fase pengalaman nyeri

yaitu antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath).

Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang

individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan

fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang

lain. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan suatu ketidakinginan untuk

menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih

lama, hal ini bergantung pada pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini

seseorang.

Fase sensasi merupakan fase gerakan tubuh yang khas dan ekspresi

wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan gigi, memegang

bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah

yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau

sering memanggil perawat. Namun, kurangnya ekspresi nyeri, seperti yang terjadi

pada klien yang bingung, tidak selalu berarti bahwa klien tidak mengalami nyeri.

Kecuali klien tidak bereaksi secara terbuka terhadap nyeri, akan sulit untuk

menentukan sifat dan tingkat ketidaknyamanan yang klien rasakan.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: nyeri 1

Fase akibat (aftermath

2.4.

) terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti,

bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih

memerlukan perhatian perawat karena nyeri merupakan suatu krisis.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Potter & Perry, (2005) menyatakan bahwa nyeri merupakan sesuatu yang

kompleks, oleh karena itu banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri

individu sebagai berikut:

.

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan

di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana bereaksi terhadap

nyeri.

Gill, (1990) dalam Potter & Perry, (2005) mengatakan bahwa

umumnya, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons

terhadap nyeri,

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak dan pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika

sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi, mereka cenderung memendam

nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang

harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal

jika nyeri diperiksakan ( Potter & Perry, 2005)

b. Jenis Kelamin

mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara

signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya misalnya

Universitas Sumatera Utara

Page 21: nyeri 1

tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri sedangkan wanita pantas untuk

mengeluh nyeri

c. Kebudayaan

Calvillo & Flaskerud (1991) dalam Potter & Perry mengatakan bahwa

keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.

Gill, (1990) dalam Potter & Perry, (2005), mengatakan bahwa tingkat

seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi

persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang

meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons

nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat

Individu belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap

nyeri, misalnya suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat

yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak

mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini dikaitkan

secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan

mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi

kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan maka setiap respon

terhadap nyeri akan berbeda berdasarkan setiap makna nyeri yang diterima

(Kozier, 2004)

e. Perhatian

Universitas Sumatera Utara

Page 22: nyeri 1

terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik

imajinasi terbimbing (guided imagery

f. Ansietas

), mendengarkan musik, dan masase.

Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus

yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.

Biasanya, hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya

terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu distraksi.

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas

seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan

suatu perasaan ansietas.Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping

(Long, 1996).

g. Gaya koping

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun

keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk

mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk

memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri. Sumber-

sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan,

atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya

mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu ( Kozier, 2004)

h. Dukungan keluarga dan sosial

Meinhart & McCaffery, (1983) mengatakan faktor lain yang

bermakna mempengaruhi respons nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat klien

dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya

Universitas Sumatera Utara

Page 23: nyeri 1

yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang orang tempat mereka

menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri.

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau

perlindungan, walaupun nyeri tetap dirasakan klien, kehadiran orang yang dicintai

klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga

atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.

2.5.

Menurut Perry & Potter (1993), nyeri tidak dapat diukur secara objektif

misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat

diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang perawat hanya bisa

mengkaji nyeri dengan berpatokan pada ucapan dan perilaku pasien. Pasien

diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya tersebut sebagai nyeri

ringan, sedang atau berat.

Ada 4 metode yang umumnya digunakan untuk mengukur intensitas

nyeri yaitu Verbal Descriptor Scale (VDS), Visual Analogue Scala (VAS), dan

Numerical Rating Scale (NRS) dan skala Bourbanis.

2.5.1. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Pengukuran Intensitas Nyeri

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak

terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien

Universitas Sumatera Utara

Page 24: nyeri 1

skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia

rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri

(AHCPR, 1992).

Gambar 1. Verbal Descriptor Scale (VDS)

2.5.2. Skala Identitas Nyeri Numerik

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala biasanya digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan

skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,

1992).

Gambar 2. Numerical Rating Scales (NRS)

Universitas Sumatera Utara

Page 25: nyeri 1

2.5.3. Skala Analog Visual

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.

VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus

dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan

penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka (Potter, 2005).

Gambar 3. Visual Analog Scale (VAS)

2.5.4. Skala Nyeri menurut Bourbanis

Kategori dalam skala nyeri Bourbanis sama dengan kategori VDS, yang

memiliki 5 kategori dengan menggunakan skala 0-10. Menurut AHCPR (1992),

kriteria nyeri pada skala ini yaitu:

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: nyeri 1

4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikut i

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

Gambar 4. Skala Bourbanis

Universitas Sumatera Utara

Page 27: nyeri 1

3. TERAPI MUSIK

3.1. Defenisi

Terapi musik terdiri dari 2 kata, yaitu kata “terapi” dan “musik”. Terapi

(therapy

Kekuatan musik memang sudah dikenal sejak zaman Aristoteles tahun

550 sebelum masehi. Akar musik sebagai obat bisa ditelusuri kembali ke zaman

purbakala dan banyak kebudayaan yang berbeda-beda. Pada dukun Indian

Amerika, pada pendeta Hindu, para rahib Tibet, sosok-sosok mistis Yahudi dan

tak terhitung banyaknya orang lain yang menggunakan gendang dan tamborin

untuk menjembatani celah antara dunia spiritual dan dunia nyata,dengan memukul

dan membunyikan instrumen-instrumen ini, mereka akan masuk ke dalam trans

) adalah penanganan penyakit (Kirkland, 1998). Terapi juga diartikan

sebagai pengobatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), musik

memiliki pengertian sebagai berikut:

1.1 ”Ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi,

dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai

kesatuan dan kesinambungan.”

1.2 ”Nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung

irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat

menghasilkan bunyi-bunyi itu).”

Jadi dapat disimpulkan terapi musik adalah keahlian menggunakan musik

atau elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan

dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual seseorang.

3.2. Sejarah Musik Sebagai Alternatif Pengobatan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: nyeri 1

meditatif yang mendalam sementara terapi musik pada pasien akan mengubah

rasa sakit dan takut menjadi ketenangan dan optimisme (Kirkland, 1998)

Pada awal Perang Dunia I, musik digunakan untuk membantu

meringankan rasa sakit di rumah-rumah sakit tetapi penggunaan musik dalam

menurunkan nyeri pada saat itu belum menarik perhatian banyak orang,

kemudian setelah Perang Dunia II berakhir, hikmah musik mulai menarik

perhatian semua orang khususnya para tenaga kesehatan lain dan mereka tertarik

untuk menggunakan musik sebagai metode dalam mengurangi nyeri, dan hasilnya

banyak perubahan-perubahan fisik dan emosional yang positif dalam diri pasien-

pasien mereka (Salampessy, 2004).

3.3. Terapi Musik dalam Penanganan Nyeri

Kecemasan merupakan faktor psikologis afektif yang mempengaruhi

persepsi rasa nyeri. Pada banyak kasus, kecemasan tidak hanya meningkatkan

ambang rasa nyeri pasien tetapi pada kenyataannya mengakibatkan persepsi yang

seharusnya tidak nyeri menjadi nyeri, bahkan di bawah kondisi yang berbeda,

seorang pasien dapat menunjukkan reaksi yang berbeda walaupun rangsangannya

sama (Viadero, 1998).

Kondisi pasien yang diliputi kecemasan akan memperkuat rangsang nyeri

yang diterimanya karena kecemasan menyebabkan zat penghambat rasa nyeri

tidak disekresikan. Dengan adanya musik sebagai fasilitas maka tingkat

kecemasan pasien dapat dikurangi sehingga timbul perasaan tenang dan rileks,

yang mempengaruhi rasa nyeri pada pasien (Varley, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: nyeri 1

Pada umumnya terapi relaksasi dapat menimbulkan ketenangan dan rasa

rileks, sehingga hipotalamus akan memberi perintah pada midbrain untuk

mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin, dan beta

endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang akan

mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi

sensorik somatik pada otak.

Untuk mendapatkan efek terapi, idealnya peneliti dapat melakukan terapi

musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tak

memiliki cukup waktu 10 menitpun jadi, karena selama waktu 10 menit telah

membantu pikiran responden beristirahat (Samuel, 2007).

Dalam pelaksanaan penggunaan musik untuk mengontrol nyeri dan

meningkatkan kenyamanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (Potter &

Perry, 2005) yaitu memilih musik yang sesuai dengan selera klien,

mempertimbangkan usia dan latarbelakang, menggunakan earphone supaya tidak

mengganggu klien atau staf yang lain dan membantu klien berkonsentrasi pada

musik. Tombol-tombol kontrol di radio atau pesawat tape dipastikan mudah

ditekan, dimanipulasi, dan dibedakan, apabila nyeri yang klien rasakan akut,

kuatkan volume musik dan apabila nyeri berkurang, kurangi volume dan untuk

memberikan efek terapi musik harus didengarkan minimal selama 15 menit.

Universitas Sumatera Utara