Nstemi laporan kasus
-
Upload
aznamry-tao-ogy -
Category
Documents
-
view
116 -
download
14
description
Transcript of Nstemi laporan kasus
BAGIAN KARDIOLOGI LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2015
UNIVERSITAS HASANUDDIN
NON ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
DISUSUN OLEH :
Monica Fajrin Sumarwoto
C111 10 150
SUPERVISOR :
dr. Pendrik Tandean, Sp.PD-KKV, FINASIM
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KARDIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Monica Fajrin Sumarwoto
NIM : C111 10 150
Judul Laporan Kasus : Non ST Elevation Myocardial Infraction. Telah menyelesaikan
tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiovaskular Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2015
Mengetahui :
Supervisor,
dr. Pendrik Tandean, Sp.PD-KKV, FINASIM
2
LAPORAN KASUS
NON ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Sultan Hasanuddin 26 Malili
Masuk : 12 Februari 2015
Bangsal/Ruang : CVCU RSWS
No.Rekam Medik: 699300
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Nyeri dada kiri
Anamnesis Terpimpin : Nyeri dada disertai keringat dingin dialami kurang
lebih sehari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan tembus ke
belakang dan menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada dirasakan hilang timbul. Nyeri
dada disertai sesak. Riwayat sesak saat beraktivitas tidak ada, tidak ada sesak
saat berbaring, tidak pernah terbangun karena sesak. Demam tidak ada. Mual
tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada. Riwayat merokok 1
bungkus per hari.
BAB : Biasa, kesan cukup
BAK : Kesan lancar, warna kekuningan, nyeri tidak ada.
Riwayat Penyakit Sebelumnya : Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat
menderita penyakit DM disangkal. Riwayat keluarga menderita penyakit jantung
tidak ada.
3
I. Faktor Risiko
Dapat dimodifikasi :
Riwayat merokok 1 bungkus per hari
Tidak dapat dimodifikasi :
Laki-laki
Umur 66 tahun
OBJEKTIF
a) Keadaan Umum : Sakit sedang/Gizi cukup/Compos mentis
b) Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Pernafasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,7oC
c) Pemeriksaan Fisis
1. Kepala
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Limfadenopati (-), DVS R+2 cmH2O
2. Dada
Inspeksi : Simetris kiri=kanan, normochest
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus kiri=kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : BP: Vesikuler; BT: Ronkhi-/-, Wheezing -/-
3. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
4
Perkusi : Pekak, ukuran jantung membesar.
Batas kanan : Linea parasternalis kanan
Batas kiri : Linea medioklavikularis kiri
Batas atas : ICS II parasternalis
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni, reguler, bising (-)
4. Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)
5. Ekstremitas : Edema: pretibial -/-, dorsum pedis -/-
d) Pemeriksaan Elektrokardiografi (30/01/2015)
Interpretasi EKG :
- Irama dasar : Rythm
5
- P wave : Sinus
- Heart Rate : 70 x/ menit
- PR Interval : 0,08 s
- Axis : Normoaxis
- QRS Kompleks : QRS duration 0,08 s
- ST Segmen : ST depresi pada I, aVL, V3, V4, V5
- T Wave : T inverted I, aVL, V3, V4, V5, V6
- Kesimpulan : Iskemik Miokard dinding Anterolateral
e) Pemeriksaan Laboratorium (30/01/2015)
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL
WBC 9,0x 103/mm3 4.0-10.0 x 103
RBC 4,71 x 106/mm3 4.0-6.0 x 106
HGB 14,5 gr/dL 12-16
HCT 40,9% 37-48
PLT 339 x 103/mm3 150-400 x 103
Ureum 15 10-50 mg/dl
Creatinin 0,9 0.5-1.2 mg/dl
SGOT 22 <35 U/L
SGPT 36 <45 U/L
Na 141 136-145 mmol/l
K 4,1 3.5-5.1 mmol/l
Cl 107 97-111 mmol/l
CK 54 L(<190U/L) P(<167U/L)
CK-MB 27,3 <25U/L
Troponin T 1,6 <0,02
6
Kolesterol total 237 200 mg/dl
Asam urat 6,8 L 3,4-7,0 ; P 2,4-5,7
HDL 31 L>55; P>65
LDL 172 <130 mg/dl
Trigliserida 194 200 mg/dl
f) Diagnosis Kerja
- Non ST Elevation Myocardial Infraction
g) Penatalaksanaan O2 2-4 lpm via nasal kanul
IVFD NaCl 0.9% 500 ml/24 hr
Anti Platelet Aggregation:
- Aspilet (loading dose 160 mg) maintenance 1x80 mg
- Clopidogrel (loading 300 mg) maintenance 1x75 mg
Anti Angina:
- ISDN 5 mg/sub lingual
Anti Coagulant:
- Arixtra 2.5 mg/24 hr/SC
Simvastatin 1x40 mg
Alprazolam 0.5 mg 0-0-1
Laxadin syrup 0-0-2Cth
7
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL
1. Definisi
Angina pectoris tak stabil terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid.2
Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner
akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya.
Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark
Angina pektoris tak stabil, kadang-kadang disebut angina kresendo ditandai
dengan nyeri angina yang frekuensinya meningkat dan merupakan tanda awal
iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin irreversibel sehingga kadang-
kadang disebut angina prainfark (robbin)
2. Faktor Risiko
Faktor risiko biologis angina pektoris tak stabil yang tidak dapat diubah yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih
dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara
lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet
yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.3
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur
jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).2
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
8
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi
setelah mengalami konversi fungsinya.1,2
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas
agregat trombosit dan fibrin.1,2
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri
koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi,
arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.5
3. Patologi
Ruptur plak
Kejadian angina pektoris tak stabil diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri.Lama-
kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen
menyempit.Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat
penyumbatan terjadi.5
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury
bagi sel endotel.Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
9
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator,
anti-trombotikdan anti-proliferasi.Sebaliknya, disfungsi endotel justru
meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang
berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.5
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian
leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini
makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL.
Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa
(foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos
dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.Ulserasi atau
ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma
menyebabkan oklusi arteri.5
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak.
Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan
keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri
koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.5
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard
menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan
elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan
iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan
oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot
jantung berkontraksi dan berelaksasi.5
10
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi
dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa
menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam
lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel
menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi
membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit).Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard.5
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
meyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil.
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag,
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus
yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada
dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor
VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan
trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet
dan pletelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
11
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan
dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan meenyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina
printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali
terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan
trombus.
Erosi Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel;
adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.
12
Gambar 1. Patofisiologi berbagai sindrom klinis angina pectoris tidak stabil
4. Gejala Klinis
Keluhan pasien umumnya berupa nyeri dada untuk pertama kali atau keluhan
nyeri dada yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih
berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena
aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin.
13
5. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG dengan tanda-tanda iskemik
yaitu ST depresi atau inversi T.2
5.1. Anamnesis
1. Nyeri dada :
Sifat nyeri dada (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA:
- Lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit ditekan, terbakar, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dipelintir.
- Penjalaran: lengan kiri, leher, punggung, interskapula, perut, lengan kanan
bawah.
- Nyeri membaik/menghilang dengan istirahat/nitrat.
- Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
- Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
cemas, lemas.
2. Sesak napas (Dispneu):
Dispneu adalah pernapasan yang disadari dan abnormal dengan ciri napas
tidak menyenangkan, sukar bernapas. Sesak napas ini merupakan keluhan
dari:
- Penyakit jantung: koroner, valvular, dan miokardial
- Penyakit paru: limitasi aliran udara masuk ke paru (gangguan ventilasi) dan
keadaan hipoksia pada keadaan restriktif, terjadi stimulasi napas karna
hipoksia.
- Penyakit deformitas dinding toraks
- Sakit otot pernapasan
- Obesitas
14
- Anemia, dll.
Riwayat sesak napas sangat penting untuk memperkirakan
penyebab yang mendasari.Kemungkinan penyebabnya adalah emboli paru,
pneumotoraks, udema pulmonal akut, pneumonia, atau obstruksi jalan
napas.Sesak napas yang hilang dengan pemakaian bronkodilator dan
kortikosteroid diperkirakan akibat asma.Namun sesak napas yang hilang
dengan istirahat, obat diuretik, dan digitalis diperkirakan akibat gagal
jantung kiri. Gradasi sesak napas akibat gagal jantung kiri dimana
ventrikel kiri dan atau atrium kiri tinggi adalah:
- Dyspnea on Effort (DOE)
- Orthopnea
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
- Dyspnea at rest
5.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) akibat nyeri dada dengan durasi sekitar >20 menit dengan
ekstremitas pucat kadang disertai keringat dingin dan mual muntah.
5. 3. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai sindroma koroner akut.Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.Pemeriksaan ini
merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
15
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST.2
5.4. Biomarker kerusakan jantung 6
Alat diagnostik selanjutnya adalah pelepasan dan dan peningkatan
penanda biokimiawi serum pada cedera sel jantung. Penanda tersebut adalah
kreatinin kinase (CK) dan isoenzimnya Creatinin Kinase-MB, dan troponin :
cardiac specific troponin T (cTnT) dan cardiac specific troponin I (cTnI).
Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan penanda cedera otot
yang paling spesifik seperti pada infark miokardium. Setelah infark miokardium
akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar
puncak dalam 18 hingga 24 jam, dan kembali menurun hingga normal setelah 2
hingga 3 hari. CK-MB juga terdapat dalam otot skelet sehingga penegakan
diagnosis cedera miokardium didasarkan pada pola peningkatan dan penurunan.
Troponin jantung spesifik (yaitu cTnT dan cTnI) merupakan protein
regulator yang mengendalikan hubungan aktin dan myosin yang bersifat spesifik
untuk pelepasan dari miokardium. Troponin akan meningkat 4 hingga 6 jam
setelah cedera miokardium dan akan menetap hingga 10 hari setelah peristiwa
tersebut dan dianggap sangat spesifik pada peningkatan CK yang hanya sedikit.
Sebaliknya, tidak adanya peningkatan CK cenderung menyingkirkan adanya
infark miokardium.
16
Penanda biokimia cedera sel jantung (peningkatan kadar serum)
Penanda Meningkat Memuncak DurasiCreatinin Kinase
(CK)4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari
Creatinin Kinase-MB (CK-MB)
4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari
Cardiac specific troponin T (cTnT)
4-6 jam 18-24 jam 10 hari
Cardiac specific Troponin I
4-6 jam 18-24 jam 10 hari
6. Terapi2,7
Penatalaksanaan pada angina pectoris tidak stabil difokuskan pada tiga hal berikut:
a. Stabilisasi plak. Mencegah perluasan atau perkembangan trombus
intrakoroner untuk mencegah serangan jantung
b. Mengatasi gejala dalam hal ini adalah nyeri dada atau angina iskemik.
c. Mengoreksi penyebab dasar penyakit arteri coroner dan mengoreksi
gangguan hemodinamik yang menyertai.
d. Pengobatan Umum
Pengobatan umum termasuk: pemberian oksgen, tirah baring sampai anina
terkontrol, puasa 8 jam kemudian makanan cair atau lunak selama 24 jam
pertama, pembreian transquilizer untuk menenangkan pasien dan laksans agar
penderita tidak mengedan.
e. Pengobatan Khusus
Atasi nyeri dada dan iskemia
Nitrat sublingual kemudian dilanjutkan dengan pemberian intravena biasanya
dapat mengatas nyeri dada. Pemberian intravena harus dilakukan dengan
infusion pump, sebagai gantinya dapat digunakan nitrat transdermal yang
dikombinasi dengan preparat oral. Dosis awal nitrogliserin (IV) biasanya 5
ug/menit dan ditingkatkan (5-10 ug/menit) setiap 5 menit sampai nyeri dada
17
menghilang. Dosis maksimal adalah 200 ug/menit. Pemberian dosis besar
(lebih dari 7 ug/kgBB/menit) selama beberapa hari dapat menimbulkan
methemoglobinemia. Dosis IsoSorbid Dinitrat (ISDN) IV biasanya 1 mg.jam
kemudian ditingkatkan sampai nyeri dada mereda.
Agar perfusi miokard tetap adekuat, makan selama pemberian nitrat IV
tekanan darah sistolik tidak boleh lebih rendah dari 100 mmHg, dan tekanan
darah diastolik tidak boleh lebih rendah dari 60 mmHg. Apabila terjadi
hipotensi, maka dosis nitrat harus diturunkan. Apabila nitrat IV masih belum
berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat diberi morfin (2,5-5mg)secara IV.
Apabila tidak ada kontraindikasi segera diberikan β-blocker. β-blocker short
acting lebih diproritaskan sebab jika terjadi efek samping lebih cepat akan
teratasi. Propranolol 10 mg dua kali sehari cukup efektif. Pada pasien yang
memiliki penyakit obstruksi paru kronis, DM atau dyslipidemia dapat diganti
atenolol (50 mg/tablet) atau dganti CCB seperti verapamil atau diltiazem.
Apabila angina amasih takstabil dapat diveri triple theraphy yaitu Nitrat,β-
blocker, dan CCB. β-blocker long acting seperti bisoprolol sebaiknya
diberikan sesudah kondisi stabil.
Mencegah perluasan atau perkembangan thrombus intrakoroner
Dosis aspirin menurut berbagai penelitian adalah 160-300 mg.hari (dosis
tunggal). Clopidogrel loading dose 300 mg (4 tablet) juga dianjurkan pada
pasien AP tak stabil diikuti 75 mg/ hari. LMWH lebih disukai daripada
heparin karena cara pembriannya mudah dan dosis tidak perlu disesuaikan
dengan pemeriksaan aPTT 6 jam. LMWH diberikan satu atau dua kali sehari
tergantung preparat selama 5 hari.
Koreksi gangguan hemodinamik dan control factor presipitasi
18
Koreksi semua factor penyebab disfungsi jantung, misalnya aritmia dengan
obat anti aritmia, gagal jantung dengan kardiogenik atau diuretic, anemia
diberi trasfusi darah, dan seterusnya.
Tindak Lanjut
Berhubung karena angina tak stabil memiliki resiko tinggi terjadi infark miokard
akut (IMA), setelah angina terkontrol, semua penderita dianjurkan untuk
dilakukan angiografi coroner selektif. Mobilisasi bertahap diikuti treadmill tes
untuk menentukan perlunya angiografi kororner merupakan pilihan lain. Bagi
penderita yang keadaannya tidak dapat distabilkan dengan obat, maka dianjurkan
intervensi yang lebih agresif seperti pemasangan intraaortic balloon
counterpulsation (IABC) dan angiografi coroner, kemudian cABG atau PTCA
tergantung lesi pada arteri koronaria.
7. Prognosis 7
TIMI (Trombolysis In Myocardial Infarction) adalah alat prognostik yang paling
valid. Masing-masing variable TIMI Risk Score dibawah ini bernilai 1 poin,
dengan total poin 0-7 :
- Umur ≥ 65 tahun
- penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
- telah diketahui menderita stenosis coroner ≥ 50%
- peningkatan enzim-enzim jantung
- minimal 3 faktor risiko Penyakit Arteri Koroner (diabetes mellitus, perokok
aktif, riwayat keluarga dengan penyakit arteri koroner, hipertensi,
hiperkolesterolemia)
- gejala angina yang berat ( dua atau lebih serangan angina dalam 24 jam
terakhir)
- Deviasi segmen ST pada EKG
19
Prognosis mengarah ke infark miokard maupun kematian mulai pada total skor
TIMI 3. Jadi, pasien dengan total TIMI skor 3-7 sebaiknya mempertimbangkan
penggunaan glikoprotein IIb/IIIa IV, heparin (LMWH) dan kateter jantung dini.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 20072. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.3. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.
2005; 147: 6-94. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC.
2007.5. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 20086. Price, A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit edisi ke-6. Jakrta: EGC. 20107. American Heart Association. Management of Patients with Unstable Angina/ Non
ST Elevation Myocardial Infarction. For a copy of the executive summary (J Am Coll Cardiol 2007;50:652–726; Circulation 2007;116:803–877)
21