NODULAR ANTERIOR SCLERITIS PADA SYSTEMIC SCLEROSIS
Transcript of NODULAR ANTERIOR SCLERITIS PADA SYSTEMIC SCLEROSIS
LAPORAN KASUS
NODULAR ANTERIOR SCLERITIS PADA SYSTEMIC SCLEROSIS
`
OLEH
Prof.dr.N.K.Niti Susila, Sp.M(K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP
SANGLAH DENPASAR
2019
1
ABSTRAK
Judul
Penulis
: Nodular Anterior Scleritis pada Systemic Sclerosis
:Tridiyoga, Komang Putra; Juliari, I Gusti Ayu Made; Niti Susila, N.K.
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, RSUP Sanglah Denpasar;
Pendahuluan:Skleritis adalah suatu peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan
adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Angka insiden skleritis
secara umum dengan penyakit sistemik yaitu sekitar 39% sampai 50%. Skleritis dapat dibagi
menjadi dua yaitu skleritis anterior dan posterior. Skleritis anterior dapat dibagi menjadi
empat yaitu diffuse anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing anterior with
inflammation, necrotizing anterior without inflammation. Salah satu penyebab dari nodular
anterior skleritis adalah penyakit systemic sclerosis yang merupakan penyakit autoimun.
Nodular anterior scleritis pada penyakit systemic sclerosis sangat jarang terjadi dengan angka
prevalensi 4,4%.
Deskripsi Kasus:Kasus adalah seorang laki-laki,46 tahun, mengeluh mata kanan merah,
berair, sakit dan tampak selaput putih sejak 2 minggu yang lalu dan dirujuk dari dokter
spesialis mata dengan skleritis pada mata kanan. Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak
lama dan berobat secara teratur. Pemeriksaan fisik menunjukkan mata kanan dengan tajam
penglihatan 6/45 Pin Hole (PH) 6/18, injeksi konjungtiva dan sklera, nodul pada konjungtiva
superior dengan warna putih kekuningan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan gambaran
klinis penyakit autoimun, konsul ke divisi rhematologi dan didiagnosis dengan sklerosis
sistemik. Pengobatan pasien dengan pemberian kortikosteroid dan imunosupresif, kemudian
kondisi mata pasien membaik.
Kesimpulan:Pasien mata merah dan nyeri pada mata dengan riwayat penyakit asma
sebelumnya, yang membaik dengan pengobatan medikamentosa seperti kortikosteroid dan
imunosupresif, sebagai suatu kelainan penyakit yang berhubungan dengan sistem autoimun
seperti systemic sclerosis. Penyakit systemic sclerosis sangat jarang ditemukan kelainannya
pada mata seperti skleritis. Pemeriksaan yang tepat dari dokter mata dapat membantu
menegakkan diagnosis dan pencegahan kekambuhan penyakit.
Kata kunci: nodular anterior scleritis, systemic sclerosis, penyakit autoimun ,kortikosteroid.
2
ABSTRACT
Title
Author
s
: Nodular Anterior Scleritis in Systemic Sclerosis
: Tridiyoga, Komang Putra; Juliari, I Gusti Ayu Made; Niti Susila, N.K.
Ophthalmology Department, Faculty of Medicine Udayana University,
Sanglah Hospital, Denpasar
Introduction and Objective:Scleritis is an inflammation of the sclera layer characterized by
cellular infiltration, collagen damage, and vascular changes. The incidence of scleritis with
systemic diseases is approximately 39% to 50%. Scleritis can be divided in two parts are
anterior scleritis and posterior scleritis. Anterior scleritis can be divided in four parts are
diffuse anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing anterior with inflammation,
necrotizing anterior without inflammation. One of the causes of nodular anterior scleritis is
systemic sclerosis which is an autoimmune disease. The incidence of nodular anterior
scleritis related in sclerosis is very rare with prevalence 4,4%.
Case Description: Man, 46 years old, complained right eye are redness, watery, painful and
seen white membranes since 2 weeks ago and that referred from an ophthalmologist with
right eye scleritis. He had a asthma disease since a long time ago and got regularly treatment.
Physical examination showed his right eye with visual acuity 6/45 Pin Hole (PH) 6/18,
conjunctival and scleral injection, nodule in superior conjunctival with yellowish white
colour. Laboratory examination showed clinical features of autoimmune disease, then consult
to rheumatology with diagnosis systemic sclerosis. The treatment was corticosteroid and
immunosuppressive, and his right eye condition improved.
Conclusion:Patient with red eye and pain in the eye with asthma history will improve with
medical treatment such as corticosteroid and immunosuppressive, as an abnormality of
diseases associated an autoimmune system such as systemic sclerosis. Systemic sclerosis is
rarely found in the eye such as scleritis. Appropriate examination of the ophthalmologist can
help make a diagnosis and prevention of disease recurrence.
Keywords: nodular anterior scleritis, systemic sclerosis, autoimmune disease, corticosteroid.
3
Pendahuluan
Skleritis adalah suatu peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini terjadi karena
adanya abnormalitas dari proses imunologis, atau karena adanya suatu infeksi. Penyakit
skleritis ini disebabkan oleh vaskulitis yang terjadi dari aktivasi proses imunologis
(kebanyakan pada imun kompleks) yang dapat menyebabkan kerusakan pada sclera (Jabs et
al,2000).
Angka insiden skleritis secara umum dengan penyakit sistemik adalah sekitar 39%
sampai 50%. Prevalensi skleritis pada populasi umum adalah sekitar 6 kasus per 100 000
orang. Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka insiden di Amerika Serikat
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Angka kejadian kasus skleritis yang
ditemukan terjadi sekitar 94 % dimana merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah
skleritis posterior (Gaeta and Theodore,2008). Sekitar sepertiga pasien dengan skleritis difus
atau nodular ini sering dikaitkan dengan penyakit yang didasari dari penyakit sistem
imunologis dan sekitar dua pertiga pasien dengan skleritis nekrotik yang memiliki penyakit
autoimun. Penyakit ini sangat jarang terjadi pada anak-anak, dan paling sering terjadi pada
orang dewasa lebih dari umur 40 tahun (AAO,2016-2017).
Gambaran klinis skleritis umumnya dirasakan adanya rasa nyeri berat yang dapat
menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur
akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli
juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat
dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering
dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula
mata merah, berair, fotofobia, dan tanpa penurunan tajam penglihatan (Easty et al,1985).
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi skleritis anterior dan posterior. Skleritis anterior
dapat dibagi menjadi empat yaitu diffuse anterior scleritis, nodular anterior scleritis,
necrotizing anterior with inflammation, necrotizing anterior without inflammation (Gaeta and
Theodore,2008).
Nodular anterior scleritis adalah ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang
yang eritema, tidak dapat digerakkan (immobile), nodul skleral berwarna merah keunguan,
terpisah dari jaringan episkleral diatasnya, yang terangkat oleh nodul dan adanya nyeri pada
sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrotik. Sleritis anterior
dapat terjadi pada semua usia, tapi sebagian besar skleritis biasanya terjadi pada dekade
keempat hingga keenam kehidupan (AAO,2016-2017). Skleritis anterior merupakan suatu
4
penyakit skleritis yang paling sering terjadi dibandingkan dengan skleritis posterior dan
menyerang pada bagian otot-otot rektus ekstraokular. Nodular anterior scleritis memiliki
nodul yang tampak edema pada area sklera. Nodul dapat terlihat tunggal ataupun multipel dan
teraba lunak bila dipalpasi. Skleritis posterior melibatkan segmen posterior dan tidak
berkaitan dengan penyakit sistemik. Salah satu penyebab dari nodular anterior scleritis
adalah penyakit systemic sclerosis yang merupakan penyakit autoimun (Karamursel et
al,2004).
Systemic sclerosis adalah suatu penyakit autoimun multisistem yang
dikarakteristikkan dengan cedera vaskular yang luas, fibrosis kulit dan organ internal
progresif (Bielecka et al, 2013). Manifestasi klinis pada systemic sclerosis yaitu adanya
variasi tingkat penyakit yang progresif, melibatkan beberapa organ internal dan memiliki
prognosis yang cukup baik. Systemic sclerosis atau dikenal dengan istilah skleroderma sering
digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang memiliki manifestasi vaskulopati pembuluh
darah kecil, produksi autoantibodi, dan disfungsi fibroblas sehingga meningkatkan
penyimpanan matriks ekstraselular (Wigley and Shah,2013).
Nodular anterior scleritis pada penyakit systemic sclerosis sangat jarang terjadi
dengan angka prevalensi 4,4%. Pasien nodular anterior scleritis dengan systemic sclerosis
umumnya berhubungan dengan kelainan sistemik lainnya, tetapi dapat merupakan manifestasi
awal sebelum diagnose systemic sclerosis ditegakkan. Kelainan mata akibat systemic
sclerosis dapat mengenai setiap bagian mata, baik adneksa atau sistem visual. Manifestasi
klinis dan prognosisnya bervariasi, dimana kebanyakan pasien mengalami penebalan kulit
dan beberapa melibatkan organ internal (Wollheim,2005). Kondisi dengan inflamasi seperti
uveitis, episkleritis, skleritis dan keratitis ulseratif perifer, akan bermanifestasi dengan
melibatkan jaringan ikat dimana penyakit ini telah dilaporkan pada pasien dengan systemic
sclerosis (Tailor,2008).
Prevalensi systemic sclerosis relatif rendah, dimana anak-anak dan dewasa muda
jarang terkena. Usia 30 sampai 50 tahun merupakan usia terbanyak yang terkena penyakit ini.
Usia kurang dari 16 tahun, angka kejadiannya terjadi sekitar 3% dari seluruh kasus
skleroderma (Gilliland,2005). Systemic sclerosis merupakan penyakit yang jarang, dengan
perkiraan prevalensinya di Amerika Serikat sekitar 276 – 300 kasus per 1 juta orang dan
insidensinya sekitar 20 kasus per 1 juta orang per tahun. Kasus ini jarang terjadi pada anak-
anak dimana usia puncaknya sekitar 45-60 tahun (Wigley and Shah,2013).
5
Laporan kasus
Pasien adalah seorang laki-laki, 46 tahun, bekerja sebagai pegawai swasta datang ke
poliklinik mata divisi External Eye Disease (EED) RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 5
Oktober 2018 membawa rujukan dari dokter spesialis mata dengan mata kanan suspek
skleritis. Terapi yang sudah diberikan adalah metilprednisolon tablet, meloxicam tablet, P-
Pred tetes mata, floxa tetes mata dan eyefresh tetes mata. Pasien datang dengan keluhan mata
kanan merah, berair dan tampak ada selaput putih sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengeluh
keluhan nyeri pada mata kanan terutama saat menggerakkan bola mata dan mengeluh
pandangan sedikit kabur yang tidak disadari sudah sejak lama. Pasien juga mengeluh nyeri
kepala sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat tekanan darah tinggi dan penyakit jantung
disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat asma dan berobat secara rutin. Riwayat
operasi katarak pada mata kanan 2 tahun yang lalu di rumah sakit swasta. Riwayat trauma
tidak ada. Pasien merupakan anak kelima dari empat bersaudara, tidak didapatkan riwayat
keluarga dengan keluhan sama. Pasien menggunakan kacamata baca. Riwayat alergi
disangkal oleh pasien. Pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan
adalah 6/45 Pin Hole (PH) 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva
conjunctival vascular injection (CVI), nodul (+) di superior, warna putih kekuningan dengan
ukuran 2x3 milimeter, kornea jernih, bilik mata depan dalam, iris regular dan reflek pupil
positif, bulat, lensa Intra Ocular Lens (IOL) (+), vitreus jernih, pemeriksaan fundus
didapatkan papil nervus II bulat, batas tegas, Cup Disk Ratio(CDR) 0,4, aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+) . Tekanan bola mata kanan adalah 10 dan mata kiri adalah 12. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior + pseudofakia. Terapi yang diberikan adalah P
Pred tetes mata 6x1 mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, natrium diclofenac tablet
2x50 miligram, kontrol 1 minggu lagi.
6
Gambar 1.Foto mata kanan pasien tanggal 5 Oktober 2018 dimana tampak dilatasi pembuluh
darah konjungtiva dan sklera serta nodul di superior
Gambar 2. Hasil foto fundus pasien tanggal 5 Oktober 2018
Gambar 3. Hasil Optical Coherence Tomography(OCT) Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL)
tanggal 5 Oktober 2018 menunjukkan ketebalan rata-rata RNFL mata kanan 117.49 dan mata
kiri 109.69
Pasien datang kontrol dan membawa hasil laboratorium ke poliklinik mata divisi EED
tanggal 12 Oktober 2018. Hasil laboratorium adalah WBC: 6.81 103/µ, HB: 14.89 g/dL,
7
HCT: 48.91 %, PLT: 274.70 103/µ, LED: 9.6 mm/jam, SGOT: 29.4 U/L, SGPT: 45.00 U/L,
kolesterol total: 248 mg/dL, trigliserida: 106 mg/dL, kolesterol HDL: 60 mg/dL, kolesterol
LDL: 169 mg/dL, BUN: 14.40 mg/dL, kreatinin: 1.09 mg/dL, gula darah puasa: 94 mg/dL,
gula darah 2 jam PP: 123 mg/dL. Pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam
penglihatan adalah 6/45 PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI,
nodul (+) di superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 2x3 milimeter, kornea jernih,
bilik mata depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat, batas tegas, CDR 0,4, aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 10 dan mata kiri adalah 11. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior + pseudofakia. Terapi yang diberikan adalah P
Pred tetes mata 6x1 mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, natrium diclofenac tablet
2x50 miligram, pemeriksaan laboratorium Antinuclear Antibody (ANA) Immunofluorescence
(IF) dan Rheumatoid Factor (RF), konsul ke bagian penyakit dalam untuk evaluasi dan
penatalaksanaan dislipidemia, kontrol kembali apabila sudah ada jawaban konsul dan hasil
laboratorium. Pasien melakukan pemeriksaan di bagian penyakit dalam pada tanggal 16
Oktober 2018 dan didiagnosis dengan dislipidemia. Terapi yang diberikan adalah simvastatin
1x20 miligram.
Pasien kontrol ke poliklinik mata divisi EED pada tanggal 28 Oktober 2018 dan
menunjukkan hasil laboratorium ANA yaitu 1:1000 dan RF adalah negatif. Pemeriksaan
oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45 PH 6/18, segmen anterior
yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI, nodul (+) di superior, warna putih kekuningan
dengan ukuran 2x3 milimeter, kornea jernih, bilik mata depan dalam, iris regular dan reflek
pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih, pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4, aa/vv 2/3, retina: baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada
mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6, segmen anterior yaitu palpebra normal,
konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan dalam, iris regular dan reflek pupil
positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II
tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3,retina:baik dan makula reflek (+). Tekanan bola
mata kanan adalah 10 dan mata kiri adalah 11. Pasien didiagnosa dengan mata kanan nodular
skleritis anterior + pseudofakia. Terapi yang diberikan adalah metil prednisolon tablet 3x16
8
miligram, P Pred tetes mata 6x1 mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, natrium
diclofenac tablet 2x50 miligram, konsul ke bagian penyakit dalam divisi rhematologi.
Pasien melakukan pemeriksaan di penyakit dalam divisi rhematologi pada tanggal 29
Oktober 2018 dan didiagnosa dengan mata kanan nodular skleritis anterior et causa suspek
skleroderma Differential Diagnosis(dd)/ eusinofili granulomatosa poliartritis, Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). Terapi yang diberikan adalah obat imunosupresan yaitu imuran, obat
steroid oral dengan dosis sesuai bagian mata, Computed Tomography Scan (CT) thoraks,
konsul ke bagian pulmonologi untuk spirometri, dan pemeriksaan ANA profile. Pasien
melakukan pemeriksaan di bagian pulmonologi pada tanggal 30 Oktober 2018 dengan
keluhan sesak sejak hari ini dan nafas sedikit berat disertai batuk dan pilek. Pasien
didiagnosis dengan asma bronkial serangan ringan pada asma persisten sedang terkontrol
sebagian. Terapi yang diberikan adalah salbutamol 3x4 miligram, cetirizine tablet 1x1,
seretide 2x1 puff.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 5 November 2018 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat, batas tegas, CDR 0,4, aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 10 dan mata kiri adalah 11. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan
adalah metil prednisolon tablet 3x16 miligram, P Pred tetes mata 6x1 mata kanan, lyteers
tetes mata 6x1 mata kanan, natrium diclofenac tablet 2x50 miligram, kontrol 3 hari untuk
tapering off metil prednisolon, pro refraksi subyektif kontrol berikutnya. Pasien datang
kontrol melakukan pemeriksaan ke poliklinik paru tanggal 5 November 2018 dan didiagnosis
dengan asma persisten terkontrol sebagian. Terapi yang diberikan adalah seretide diskus 250
miligram 2x1 puff.
9
Gambar 4.Foto mata kanan pasien tanggal 5 November 2018 dimana tampak dilatasi
pembuluh darah konjungtiva dan sklera membaik serta nodul berkurang di superior
Pasien kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 8 November 2018 dan dilakukan
pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45 PH 6/18,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di superior,
warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata depan dalam,
iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih, pemeriksaan fundus
didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4, aa/vv 2/3, retina: baik, dan makula
reflek (+), sedangkan pada mata kiri menunjukkan tajam penglihatan adalah 6/6, segmen
anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan dalam,
iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan fundus
didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula reflek
(+). Tekanan bola mata kanan adalah 19 dan mata kiri adalah 12. Pasien dilakukan koreksi
refraksi subyektif dan didapatkan hasil yaitu mata kanan dengan ukuran spheris -3, cilinder -2
dan axis 90 derajat dengan tajam penglihatan 6/7,5 dan pada mata kiri didapatkan hasil plano.
Pasien dilakukan adaptasi untuk menyesuaikan ukuran kacamata tetapi pasien merasa pusing
sehingga tidak diberikan resep kacamata. Pasien didiagnosa dengan mata kanan nodular
skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan adalah metil prednisolon
tablet 3x16 miligram tapering off menjadi 2x16 miligram, P Pred tetes mata 6x1 mata kanan,
lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, natrium diclofenac tablet 2x50 miligram, nevanac tetes
mata 6x1 mata kanan, sirup sucralfat 3x1.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 15 November 2018 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
10
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 19 dan mata kiri adalah 18. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan
adalah metil prednisolon tablet 2x16 miligram, P Pred tetes mata 6x1 mata kanan, lyteers
tetes mata 6x1 mata kanan, natrium diclofenac tablet 2x50 miligram, nevanac tetes mata 6x1
mata kanan, sirup sucralfat 3x1.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 19 November 2018 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 18 dan mata kiri adalah 18. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan
adalah metil prednisolon tablet 2x16 miligram tapering off menjadi 3x8 miligram, P Pred
tetes mata 6x1 mata kanan tapering off menjadi 4x1 mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata
kanan, nevanac tetes mata 6x1 mata kanan, sirup sucralfat 3x1.
Pasien melakukan pemeriksaan di penyakit dalam divisi rhematologi pada tanggal 19
November 2018 dan menunjukkan hasil ANA profile. Hasil ANA profile yaitu Centromere B
(CB) +++ (3). Pasien didiagnosa dengan systemic sclerosis. Terapi yang diberikan adalah
imuran tablet 2x50 miligram, obat steroid oral dengan dosis sesuai bagian mata, simvastatin
1x20 miligram.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 3 Desember 2018 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
11
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 19 dan mata kiri adalah 19. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan
adalah metil prednisolon tablet 3x8 miligram tapering off menjadi, P Pred tetes mata 4x1
mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, nevanac tetes mata 6x1 mata kanan tapering
off menjadi 4x1 mata kanan, sirup sucralfat 3x1.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 17 Desember 2018 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat, batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 19 dan mata kiri adalah 18. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia. Terapi yang diberikan
adalah metil prednisolon tablet 3x4 miligram, P Pred tetes mata 4x1 mata kanan tapering off
menjadi 2x1 mata kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, nevanac tetes mata 4x1 mata
kanan tapering off menjadi 2x1 mata kanan.
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 7 januari 2019 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
12
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 25 dan mata kiri adalah 20. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia + suspek glaukoma
sekunder. Terapi yang diberikan adalah metil prednisolon tablet 3x4 miligram tapering off
menjadi 2x4 miligram, P Pred tetes mata 2x1 mata kanan tapering off menjadi 1x1 mata
kanan, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan, nevanac tetes mata 2x1 mata kanan tapering off
menjadi 1x1 mata kanan, konsul divisi glaukoma.
Pasien dikonsulkan ke poliklinik mata divisi glaukoma tanggal 7 januari 2019 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 25 kemudian dilakukan pemeriksaan aplanasi
goldman adalah 26 dan mata kiri adalah 20 dilakukan pemeriksaan aplanasi adalah 14. Pasien
didiagnosa dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia +
glaukoma sekunder. Terapi yang diberikan adalah tonor 0,5 % tetes mata 2x1 mata kanan,
terapi lain sesuai divisi EED.
Pasien kontrol pemeriksaan di penyakit dalam divisi rhematologi pada tanggal 9
Januari 2019 dan didiagnosa dengan systemic sclerosis. Terapi yang diberikan adalah imuran
tablet 2x50 miligram, obat steroid oral dengan dosis sesuai bagian mata, simvastatin 1x20
miligram, konsul bagian kardiologi untuk melihat apakah ada tanda-tanda pulmonary
hypertension dan konsul divisi pulmonologi untuk evaluasi hasil spirometri. Pasien
melakukan pemeriksaan di bagian pulmonologi pada tanggal 9 Januari 2019 dan
menunjukkan hasil CT scan thoraks dan evaluasi hasil spirometri. Hasil CT scan thoraks
tanggal 6 November 2018 adalah saat ini tidak tampak gambaran fibrosis, tanda-tanda
inflamasi maupun kelainan lainnya pada parenkim paru kanan kiri dan mediastinum. Hasil
spirometri adalah FVC: 41,1% dan FEV/FVC: 88,32 % dengan diagnosa restriksi berat paru.
Pasien didiagnosa dengan asma bronkial terkontrol restriksi berat paru et causa systemic
13
sclerosis. Terapi yang diberikan adalah seretide diskus 2x1 puff, nebulizer combivent apabila
diperlukan dan tidak ada terapi yang khusus untuk restriksi berat.
Gambar 5. Foto CT scan thoraks dengan kontras
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 21 Januari 2019 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva CVI minimal, nodul (+) di
superior, warna putih kekuningan dengan ukuran 1x1 milimeter, kornea jernih, bilik mata
depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat, batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 19 dan mata kiri adalah 19. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia + follow up glaukoma
sekunder. Terapi yang diberikan adalah metil prednisolon tablet 2x4 miligram tapering off
menjadi 1x4 miligram, lyteers tetes mata 6x1 mata kanan.
Pasien datang melakukan pemeriksaan di bagian kardiologi pada tanggal 29 Januari
2019 dan menunjukkan hasil ekokardiografi. Hasil ekokardiografi adalah fungsi sistolik LV
dan RV normal, fungsi diastolik LV normal. Pasien didiagnosa dengan observasi dyspneu et
causa suspek pulmonary hypertension+systemic sclerosis.
14
Gambar 6. Hasil foto Ekokardiografi
Pasien datang kontrol ke poliklinik mata divisi EED tanggal 5 Maret 2019 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik
mata depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4 aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 18 dan mata kiri adalah 19. Pasien didiagnosa
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia + follow up glaukoma
sekunder. Terapi yang diberikan adalah metil prednisolon tablet 1x4 miligram setiap 2 hari,
lyteers tetes mata 6x1 mata kanan.
Pasien kontrol ke poliklinik mata divisi glaukoma tanggal 5 Maret 2019 dan
dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada mata kanan dengan tajam penglihatan adalah 6/45
PH 6/18, segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik
mata depan dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa iol (+), vitreus jernih,
pemeriksaan fundus didapatkan papil nervus II bulat,batas tegas, CDR 0,4 , aa/vv 2/3, retina:
baik, dan makula reflek (+), sedangkan pada mata kiri dengan tajam penglihatan adalah 6/6,
segmen anterior yaitu palpebra normal, konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dalam, iris regular dan reflek pupil positif, bulat, lensa jernih, vitreus jernih, pemeriksaan
fundus didapatkan papil nervus II tampak bulat batas tegas, CDR 0,4, aa/vv 2/3, dan makula
reflek (+). Tekanan bola mata kanan adalah 18 dan mata kiri adalah 19. Pasien didiagnosa
15
dengan mata kanan nodular skleritis anterior (membaik) + pseudofakia +follow up glaukoma
sekunder. Terapi yang diberikan adalah observasi, terapi lain sesuai divisi EED.
Gambar 7.Foto mata kanan pasien tanggal 5 Maret 2019 dimana tidak tampak dilatasi
pembuluh darah konjungtiva dan sklera serta tidak adanya nodul
Diskusi
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler,
kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler yang sering berhubungan dengan suatu infeksi
sistemik pada suatu penyakit autoimun. Kelainan ini disebabkan oleh vaskulitis yang
berhubungan dengan imun kompleks (Jabs et al,2000). Skleritis sering dikaitkan dengan
penyakit yang didasari dari imunologi sistemik dimana sepertiga dari pasien dengan skleritis
difus atau nodular dan dua pertiga pasien dengan skleritis nekrotikans memiliki jaringan ikat
yang berhubungan dengan penyakit autoimun. Skleritis menyebabkan rasa sakit yang
signifikan dan menimbulkan kelainan vaskuler pada mata. Skleritis ini jarang terjadi pada
anak-anak, sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun, dan lebih sering terjadi pada wanita.
(AAO,2016-2017). Pasien laki-laki,usia 46 tahun datang dengan keluhan mata kanan merah,
berair dan tampak ada selaput putih sejak 2 minggu. Pasien mengeluh keluhan nyeri pada
mata kanan terutama saat menggerakkan bola mata dan mengeluh pandangan kabur yang
tidak disadari sudah sejak lama.
Onset munculnya skleritis biasanya bertahap, berlangsung selama beberapa hari.
Pasien dengan skleritis mengalami nyeri mata yang sampai menusuk, memburuk pada malam
hari dan mengganggu saat tidur. Rasa sakit dapat menjalar di kepala atau wajah di sisi yang
terlibat, dan biasanya bola mata teraba lunak. Sklera yang meradang memiliki warna
keunguan yang apabila terlihat dengan cahaya. Skleritis dapat diklasifikasikan secara klinis
berdasarkan anatomi yaitu skleritis anterior dan posterior (AAO,2016-2017). Pasien pada
kasus ini mengalami keluhan mata merah dan nyeri pada mata saat menggerakkan bola mata
16
sejak 2 minggu. Nyeri mata yang dirasakan seperti menusuk dan menetap. Pasien juga
mengeluh nyeri kepala sejak 2 minggu.
Skleritis anterior ditemukan lebih banyak kasus dibandingkan skleritis posterior.
Angka insiden nodular anterior scleritis terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Necrotizing
anterior scleritis terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis
biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis
dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi (Srikant et al,2012). Berbagai jenis
skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih
bahaya dan sulit diobati. Skleritis ini merupakan yang paling umum terjadi (Jacquelin et
al,2011). Pasien pada kasus ini menunjukkan gejala klinis yaitu mata merah, nyeri dan
tampak nodul pada konjungtiva. Pasien didiagnosa dengan nodular anterior scleritis.
Diffuse anterior scleritis adalah skleritis dengan bentuk yang berhubungan dengan
rheumatoid arthritis, herpes zoster oftalmikus dan gout arthritis. Nodular anterior scleritis
adalah skleritis yang ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritema, tidak
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi
skleritis nekrotik. Skleritis nekrotik dapat dibagi menjadi 2 yaitu necrotizing anterior with
inflammation dan necrotizing anterior without inflammation. Necrotizing anterior scleritis with
inflammation adalah skleritis dengan bentuk yang lebih berat dan dihubungkan sebagai
komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% akan menunjukkan
penurunan tajam penglihatan dan 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam
kurun waktu 5 tahun (Scott,1999). Necrotizing anterior without inflammation (scleromalacia
perforans) yaitu terjadi pada pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis.
Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid. Pasien dengan nodular anterior scleritis
dapat berkembang menjadi necrotizing anterior scleritis sehingga perlu observasi lebih ketat
(Sainz et al,2012). Pasien pada kasus ini terdapat mata merah yang menyebabkan melebarnya
pembuluh darah di bawah konjungtiva dan sklera. Tampak ada nodul di konjungtiva bagian
superior dan adanya penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul. Pasien diberikan tetes
fenilefrin 2,5 % topikal dan tampak pembuluh darah sklera tetap melebar dan tidak
menghilang. Tampak inflamasi dari sklera yang dapat berkembang menjadi iskemia dan
nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera.
Kejadian skleritis dapat ditemukan pada laki-laki pada umur 40 tahun keatas (Sainz de
la Maza et al,1994). Skleritis dapat terjadinya kelainan pembuluh darah pada konjungtiva
yang berhubungan dengan penyakit sistem autoimun. Kelainan penyakit sistem autoimun
17
yang bisa menyebabkan skleritis diantara salah satunya adalah systemis sclerosis (West and
Barnett et al,1979). Penyakit systemic sclerosis sangat jarang ditemukan dan bisa
menimbulkan skleritis dengan angka kejadian sebesar 4,4 % (Tailor et al,2009). Penyakit-
penyakit inflamasi seperti uveitis, episkleritis, skleritis dan keratitis ulseratif perifer memiliki
manifestasi klinis yang jelas terhadap penyakit systemic sclerosis (De Andre et al,2008).
Pasien pada kasus ini memliki kelainan dalam sistem autoimun dengan didapatkannya
pemeriksaan penunjang pada hasil laboratorium yaitu ANA IF adalah 1/1000 dan ANA
profile adalah centromere B +++ (3). Diagnosa yang didapatkan yaitu systemic sclerosis.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mendukung diagnosis dan juga menentukan
prognosis.
Systemic sclerosis adalah penyakit autoimun multisistem yang dikarakteristikkan
dengan cedera vaskular yang luas dan fibrosis kulit dan organ internal progresif (Bielecka et
al,2013). Penandanya adalah heterogenisitas klinis dengan bervariasinya tingkat ekspresi
penyakit, keterlibatan organ, dan prognosis yang baik. Istilah systemic sclerosis atau
skleroderma digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang memiliki manifestasi vaskulopati
pembuluh darah kecil, produksi autoantibodi, dan disfungsi fibroblas sehingga meningkatkan
penyimpanan matriks ekstraselular (Wollheim,2005; Wigley and Shah,2013). Manifestasi
klinis dan prognosisnya bervariasi, dengan kebanyakan pasien mengalami penebalan kulit
dan beberapa melibatkan organ dalam (Nadashkevich,2004; Wollheim,2005). Pengobatan
systemic sclerosis pada beberapa kasus sudah cukup efektif untuk beberapa bentuk penyakit
yang ada (Nadashkevich,2004). Pasien pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang oleh
divisi terkait diantaranya pemeriksaan laboratorium diantaranya ANA IF, RF, ANA profile,
CT scan thoraks dengan kontras, spirometri dan ekokardiografi untuk mencari kelainan pada
organ lain.
Gejala yang biasanya ditemukan dalam menegakkan diagnosis yang penting
(essensial diagnosis) pada penderita systemic sclerosis adalah terdapat penebalan kulit yang
meluas, disertai teleangiektasi dan adanya terdapat daerah hiperpigmen dan hipopigmen
(Cush and Kavanaugh,1999). Patogenesis systemic sclerosis sangat kompleks yang memiliki
manifestasi klinis dan patologis yang merupakan hasil dari tiga proses yang berbeda yaitu lesi
vaskular fibroproliferatif yang berat pada arteri kecil dan arteriol, deposit kolagen yang
berlebihan dan progresif dari matriks ekstraceluler macromolecule (ECM) yang terjadi pada
kulit dan berbagai organ internal, serta perubahan kekebalan humoral dan selular. Proses
keseluruhan ini saling memiliki keterkaitan selama perkembangan dan progesifitas penyakit
18
(Jimenez,2014). Pasien pada kasus ini mengeluh adanya penebalan pada kulit tangan dan
wajah sehingga terkadang kulit akan tampak mengelupas pada tangan.
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga
(Wagner et al,2007). Penatalaksanaan pada skleritis dibagi menjadi pengobatan skleritis yang
infeksius, pengobatan skleritis non infeksius, serta pengobatan tambahan oleh divisi tertentu
apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai. Pengobatan Nonsteroidal Anti
Inflammatory Drugs (NSAID) umumnya ditemukan efektif pada sekitar sepertiga pasien
dengan diffuse anterior scleritis dan dua pertiga pasien dengan nodular anterior scleritis.
Pengobatan awal skleritis secara umum adalah dengan obat-obat NSAID sistemik,
kortikosteroid, atau obat imunomodulator. Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresif
merupakan terapi systemic sclerosis yang paling sering digunakan (Maite et al,2012).
Pengobatan pasien pada kasus ini adalah kortikosteroid oral maupun topikal, Anti-Inflamasi
Nonsteroid (NSAID) sistemik, artificial tears. Pemberian terapi kortikosteroid oral dan
topikal pada pasien kasus ini dilakukan bertahap dan penurunannya disesuaikan dengan
tapering off dosis. Pasien menggunakan terapi imunosupresif oral yang dikombinasi dengan
kortikosteroid oral. Prognosis skleritis pada pasien ini mengalami perbaikan dan kondisi mata
terakhir dirasakan lebih membaik.
Simpulan dan Saran
Pasien mata merah dan nyeri pada mata dengan riwayat penyakit asma sebelumnya, yang
membaik dengan pengobatan medikamentosa seperti kortikosteroid dan imunosupresif, harus
dipikirkan kecurigaan sebagai suatu kelainan penyakit yang berhubungan dengan sistem
autoimun seperti systemic sclerosis. Penyakit systemic sclerosis sangat jarang ditemukan
kelainannya pada mata seperti skleritis. Sangat penting untuk dipahami bahwa dilatasi
pembuluh darah sklera tidak selalu disebabkan oleh proses inflamasi melainkan dapat
disebabkan oleh penyakit sistem autoimun. Pemeriksaan yang tepat dari dokter mata dapat
membantu menegakkan diagnosis dan pencegahan kekambuhan penyakit.
19
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2016-2017. Scleritis.In: AAO Staff (eds). External
Disease and Cornea . BCSC Section 8. San Fransisco: AAO. p. 174
Bielecka OK, Bielecki M, Kowal K. 2013. Recent Advances in The Diagnosis and
Treatment of Systemic Sclerosis. Pol Arch Med Wewn; 123 (1-2). p. 51-58 Cush JJ, Kavanaugh AF. 1999. Rheumatic Disease In: Cush JJ, Kavanaugh AF (eds).
Rheumatology Diagnosis and Therapeutica 1st edition. Philadelphia, Lippincot
Williams & Wilkins. p. 343
De Andres J, Garcia DS, Perez VL, Diaz LM, Udaondo P, Sanchez MT. 2008. Bilateral
infusion pump implants as therapy forrefractory corneal ulcers in a patient with
CREST syndrome: an interdisciplinary approach. Arch Ophthalmol; 126. p. 964-7 Easty DL, Smolin G.1985. External Eye Disease. London ; Boston : Butterworths. p. 376
Gaeta, Theodore J. 2008. Scleritis in Emergency Medicine [online]. Available from : URL:
http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. Last update : 29 March 2019
Gilliland BC. 2005. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorder In : Fauci
AS (eds). Harrison’s Prinsiples of Internal Medicine 16th edition. New York, Mc
Graw-Hill. p. 1979– 1990.
Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. 2000. Episcleritis and scleritis:clinical features and
treatment results. Am j Ophthalmol; 130 (4). p. 469-476
Jacquelin M. 2011. Comparative study of ophthalmological and serological manifestations
and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis associated
with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol; 74(6). p. 405-9
Jimenez SA. 2014. Scleroderma. Available at www.emedicine.com. Last update : 29 March
2019
Karamursel. 2004. Evaluation of Patients with Scleritis for Systemic Disease.
Ophthalmology; 111. p. 501-506
Maite SM, Nicolas M, Luis AG, Priyanka P, Joseph T, Stephen F. 2012. Skleritis Theraphy.
Ophthalmology; 119. p. 51–58
Nadashkevich O, Davis P, Fritzler MJ. 2004. A proposal of criteria for the classification of
systemic sclerosis. Med Sci Monit; 10.CR. p. 615–21. Sainz de la Maza M, Jabbur NS, Foster CS. 1994. Severity ofscleritis and episcleritis.
Ophthalmology; 101. P. 389-96.
20
Sainz M, Molina N, Gonzalez LA. 2012. Clinical characteristicsof a large cohort of patients
with scleritis and episcleritis, Ophthalmology; 119. p. 43–50.
Scott. 1999. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol; 83. p. 410–413
Srikant KS, Sujata D, Savitri S, Kalyani S. 2012. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation. p. 1-8
Tailor R, Gupta A, Herrick A, Kwartz J. 2009. Ocular manifestations of scleroderma.Surv
Ophthalmol; 54. p. 292-304.
Wagner KA, Luciene BS, Virgínia FM, Hellen F, Luís EC. 2007. Sclera-Specific and Non-
Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious Anterior
Scleritis.Rev Bras Reumatol; 47(3). p. 174-179
Wigley M, Shah AA. 2013. My Approach To The Treatment of Scleroderma. Mayo
Clin Proc; 88(4). p. 377-393 West RH, Barnett AJ. 1979. Ocular involvement in scleroderma.Br J Ophthalmol;63.p. 845-7
Wollheim FA. 2005. Classification of systemic sclerosis: visions and reality. Rheumatology
of Oxford ; 44. p. 1212–6.