NKT laporan kasus Q.doc

81
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nasal Limfoma sel T/Natural Killer (NK) merupakan subtipe dari Non-Hodgkin Limfoma (NHL) yang jarang ditemukan, hanya mencakup < 1 % dari seluruh kasus NHL. Gambaran penyakit ini bersifat destruktif progresif pada garis tengah muka, rongga hidung, palatum dan sinus paranasal yang disertai pembentukan granuloma yang ulseratif. Karena lesi

Transcript of NKT laporan kasus Q.doc

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nasal Limfoma sel T/Natural Killer (NK) merupakan subtipe dari Non-

Hodgkin Limfoma (NHL) yang jarang ditemukan, hanya mencakup < 1 %

dari seluruh kasus NHL. Gambaran penyakit ini bersifat destruktif progresif

pada garis tengah muka, rongga hidung, palatum dan sinus paranasal yang

disertai pembentukan granuloma yang ulseratif. Karena lesi ini terdapat pada

garis tengah muka dan dapat menyebabkan kematian maka secara klinik

disebut juga sebagai Lethal Midline Granuloma. Istilah lain untuk neoplastik

ini yaitu Polymorphic Malignant Reticulosis (PMR), atau Angiocentric

Immunoproliferative Lesion (AIL). Lebih sering ditemukan pada populasi asia

dan hispanik dengan perbandingan pria dan wanita 3:1. (Ahn et al., 2012;

Pratiwi, 2010).

Secara histologis, kelainan ini ditandai dengan terdapatnya invasi dan

nekrosis lokal dengan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) pada sel-sel

neoplastik. Sekitar 60-90 % kasus terlokalisir pada regio nasal dan jalan napas

atas, sehingga disebut sebagai nasal limfoma sel T/NK. Dalam klasifikasi

REAL (Revised European-American Lymphoma), kelainan ini

diklasifikasikan sebagai limfoma sel T angiosentrik, yang mencerminkan

2

karakteristik morfologisnya (angiocentricity) dan gambaran

immunohistokimianya (predominan sel T). Pada tahun 2002, WHO

mengajukan terminologi limfoma sel T/NK tipe nasal. Hal ini berarti NHL

ekstranodal pada kavum nasi memperlihatkan penanda sel T atau sel NK. (Al-

Hakeem et al., 2007; Pratiwi, 2010)

Frekuensi limfoma nasal di Hongkong dan Amerika Selatan yang pernah

dilaporkan sebanyak 2,8-8% dari jenis NHL ekstranodal, dengan 45% berasal

dari limfoma sel T/NK. Usia rata-rata dari penyakit ini didapatkan pada

dekade 40 dan 50. (Kim et al., 2005).

Penelitian dari Asia dan Negara Barat memperlihatkan hubungan yang

mungkin antar EBV dan Nasal Limfoma Sel T/Sel NK. Namun, mekanisme

pasti dan potensi untuk pengobatan ke depannya masih belum deketahui.

B. Permasalahan

Bagaimana mendiagnosis serta penatalaksanaan pasien dengan lethal

midline granuloma (LMG) sedini mungkin, sebagai salah satu kasus dengan

prognosis yang buruk di bidang THT-KL.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan penulisan ini adalah mengetahui faktor penyebab, cara menegakkan

diagnosis dan penatalaksanaan.

2. Untuk mengetahui bahwa kasus lethal midline granuloma (LMG)

3

merupakan salah satu penyakit dengan prognosis yang buruk di bidang

THT-KL sehingga perlu sedini mungkin untuk penatalaksanaannya.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui faktor penyebab

terjadinya lethal midline granuloma (LMG). Manfaat klinis untuk mengetahui

penegakan diagnostik dan penatalaksanaan LMG.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Limfoma adalah setiap kelainan neoplastik pada jaringan limfoid.

Limfoma umumnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu : Non Hodgkin

Limfoma (NHL) dan Hodgkin Limfoma. Sekitar 85% dari keganasan tersebut

adalah NHL. NHL merupakan kelompok keganasan primer limfosit yang

dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari

sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen,

baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan,

maupun prognosis. (Ahn et al., 2012; Pratiwi, 2010)

Lethal midline granuloma (LMG) adalah salah satu tipe dari NHL

yang disebut juga nasal limfoma sel T/sel NK, polymorphic reticulosis, atau

limfoma angiosentrik. LMG merupakan keganasan dari sel limfosit T atau sel

natural killer (NK) yang menyebabkan lesi destruktif dengan predileksi di

daerah kavum nasi dan sinus paranasal. Proliferasi limfosit yang angiosentrik

dan angiodestruktif menyebabkan nekrosis jaringan yang luas. LMG ini

bersifat agresif, destruktif lokal, dan menyebabkan lesi nekrosis di daerah

midfasial (Ahn et al., 2012)

5

B. Epidemiologi

Limfoma ini sangat jarang ditemukan pada ras kulit putih.

Prevalensinya lebih tinggi pada penduduk keturunan Asia, Meksiko dan

Amerika Selatan. Pada populasi di negara barat, prevalensi dari limfoma nasal

diperkirakan 0,17-1,5% dari seluruh NHL, dengan 45% di antaranya diduga

berasal dari sel T/NK. Di negara-negara Asia penyakit ini dapat mencapai 2,6-

6,7% dari semua limfoma yang ditemukan. Di Korea didapatkan prevalensi

limfoma sel T/NK sebesar 8,7% dari semua kasus NHL dan 74,1% dari

limfoma yang timbul di kavum nasi dan sinus paranasal. (Harris dan Michael,

2007; Pratiwi, 2010)

C. Etiologi

Sampai saat ini penyebab pasti dari limfoma sel T/NK belum dapat

diketahui. Limfoma ini hampir selalu (> 95% kasus) berkaitan dengan virus

Epstein-Barr (EBV), namun mekanisme transformasi menjadi maligna melalui

infeksi EBV belum diketahui secara jelas. Dari beberapa penelitian diketahui

adanya hubungan antara EBV dengan penyakit ini, dimana infeksi oleh EBV

berperan secara tidak langsung sebagai kofaktor pada transformasi neoplastik

dari sel, yang kemudian melindunginya dari program kematian sel (apoptosis)

yang terjadi pada siklus sel. (Pratiwi, 2010; Teli et al., 2009)

D. Patogenesis

6

Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma. Abnormalitas

sitogenetik telah ditemukan pada beberapa tipe limfoma. Translokasi

kromosom merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses ini diduga

berhubungan dengan antigen receptor gene rearrangement (gen Ig pada sel B

dan gen TCR pada sel T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah

berubahnya letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi

kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi gen sebagai akibat

deregulasi protoonkogen. Rangkaian DNA dari beberapa translokasi

kromosom menunjukkan bahwa gen-gen yang dalam keadaan normal

mengatur sintesis imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi pada

gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel. Diduga, gen-gen yang

mengalami transformasi ini (onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang

dalam keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. (Harris dan

Michael, 2007; Pratiwi, 2010)

Neoplasma sel NK merupakan neoplasma yang jarang ditemukan. Sel

NK berasal dari sel induk pluripoten dan berhubungan dengan sel limfosit T

yang berkembang secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan

dengan dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mempunyai TCR (T cell

receptor) gene rearrangement. Sel NK biasanya mempunyai ekspresi NK-

associated antigen (CD56) (Pratiwi, 2010).

E. Histopatologi

7

Secara histologis, limfoma Sel NK nasal primer (sel NK atau T)

dikarakterisasi dengan infiltrat sel campuran dengan invasi limfoid

angiosentrik dan oklusi dari pembuluh darah, sehingga terjadi nekrosis

iskemik dari jaringan normal dan neoplasma. Dimana terlihat proses inflamasi

yang destruktif pada hidung dan traktus respiratori bagian atas. Ciri lain yang

penting adalah infiltrasi sel atipik di sekitar pembuluh darah dan ke dalam

dinding pembuluh darah. Infiltrasi sel atipik ke dalam dinding pembuluh darah

dapat menyebabkan destruksi dinding pembuluh darah. Nekrosis dapat terjadi

di sekitar, atau dapat mengenai epitel permukaan sehingga menimbulkan

ulserasi mukosa dan dapat juga mengenai jaringan yang lebih dalam sampai

mencapai tulang rawan atau tulang. (Harris dan Michael, 2007; Pratiwi, 2010)

Sel NK merupakan sel sitolitik yang aktif melawan sel tumor dan sel-

sel yang terinfeksi oleh bakteri dan virus tanpa didahului proses sensitisasi

sebelumnya. Dibentuk di sumsum tulang dari progenitor bipotensial yang

mampu berdiferensiasi menjadi sel T dan sel NK. Secara fenotipe, sel NK

biasanya terlihat sebagai limfosit kecil dengan granul azurofilik dan secara

imunofenotipe sel-sel ini mengekspresikan penanda yang khas, yaitu CD56.

(Pratiwi, 2010)

F. Klasifikasi

Klasifikasi limfoma terbaru menurut WHO dipublikasikan tahun 2001

dan diperbarui tahun 2008. Klasifikasi WHO berdasarkan klasifikasi

8

sebelumnya dari "Revised European-American Lymphoma classification"

(REAL). Klasifikasi ini membagi kelompok limfoma bedasarkan jenis sel dan

karakteristik pada fenotipik, molekular, dan sitogenetik. Pembagian klasifikasi

WHO : (Ferry, 2008)

Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pegobatan dan

setiap lokasi jangkitan harus didata dengan cermat, digambar secara skematik dan

didata tidak hanya jumlah juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai

suatu pengobatan.

Tabel 1

9

Tabel 2. Stadium berdasarkan kesepakatan Ann Arbor (Bailey BJ, 2006)

Stadium IPembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya 1 regio.

I E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak

difus/batas tegas

Stadium IIPembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu

sisi diafragma

IIE : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi

diafragma dan organ ekstra limfatik yang terlokalisir,

tidak difus/batas tegas

Stadium III Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma

Stadium IV Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi

secara difus

Penambahan huruf E menandakan keterlibatan organ ekstralimfatik. Bila terdapat gejala

sistemik seperti demam, keringat malam, penurunan berat badan > 10% dicantumkan

huruf B. Sementara bila tanpa gejala sistemik dicantumkan huruf A.

G. Gambaran Klinis

Gejala klinik yang mula-mula timbul dan paling sering dikeluhkan

penderita LMG adalah obstruksi nasi, epistaksis, dan rinorea purulen. Gejala

sistemik (Gejala B) yaitu demam, keringat malam hari, malaise, nyeri sendi

dan penurunan berat badan yang tidak diketahui hingga lebih dari 10% dalam

6 bulan, dapat ditemukan pada beberapa kasus. (Lee et al., 2006)

Selain gejala di kavum nasi, beberapa organ yang lain dapat terkena,

yaitu paru-paru, sistem gastrointestinal, traktus genitourinari, dan kulit.

10

Berbeda dengan Wagener Granulomatosis (WG), lesi pada LMG lebih sering

mengenai hidung secara unilateral dengan perluasan sampai ke jaringan lunak

pada hidung, bibir atas, kavum oris, dan sinus maksilaris, dengan atau tanpa

keterlibatan rongga orbita. Lesinya bersifat “eksplosif”, progresif cepat, dan

didapatkan kerusakan jaringan yang disertai dengan keterlibatan

mikroorganisme gram negatif dan kuman anaerob. (Tami et al., 2006)

Gejala klinik yang dapat timbul di bagian kepala dan leher selain yang

tersebut di atas adalah : (McDonald, 2005)

Nyeri dan pembengkakan di wajah

Diplopia, penurunan ketajaman

penglihatan

Pembengkakan di daerah orbita

Otalgia, penurunan kemampuan

pendengaran

Epistaksis

Ulserasi pada palatum

Odinofagi,

disfagi

Trismus

halitosis

Hoarseness

dispnea

H. Diagnosis

Diagnosis LMG atau limfoma sel T/NK ditegakkan berdasarkan

anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

(Pratiwi, 2010)

1. Anamnesis dan gejala klinik

Gejala klinik penyakit terbagi dalam 3 fase, yaitu :

11

Fase awal atau fase prodromal

Adalah fase dimana terdapat keluhan sumbatan hidung, ingus atau sekret

yang encer. Keluhan ini berlangsung dalam beberapa bulan sampai

beberapa tahun. Pada fase ini belum terdapat gejala klinis yang nyata.

Fase kedua atau fase aktif

Pada fase ini dijumpai sekret purulen yang berbau busuk atau dapat

bercampur darah dan disertai dengan keluhan hidung tersumbat. Adanya

ulserasi dapat menyebabkan perforasi septum dan palatum durum, yang

biasanya terdapat pada garis tengah. Muka menjadi bengkak, terdapat

krusta pada kavum nasi dan sekuester dari tulang rawan dan tulang

hidung. Dapat juga terjadi epistaksis yang masif jika lesi mengenai dasar

hidung dan septum. Terjadi peningkatan suhu tubuh sering dengan

pembentukan abses di daerah pipi. Gambaran khas pada fase ini adalah

terdapatnya lesi destruktif masif pada daerah muka.

Fase ketiga atau f ase terminal

Pasien masih mengalami demam dan sering terjadi epistaksis berulang.

Destruksi dapat meluas menghancurkan hidung, pipi, mata dan dapat pula

meluas kearah intrakranial. Penderita dapat meninggal disebabkan oleh

terjadinya meningitis, sepsis dan perdarahan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan di bagian kepala dan leher dapat ditemukan adanya : (Teli et

12

al., 2009)

Neuropati cranial

Penurunan visus

Massa di rongga orbita

Proptosis

Pembengkakan dan eritem di wajah

(terbanyak di daerah midline wajah)

Otitis media serosa

Ulserasi di daerah palatum,

tonsil, nasofaring, dan laring

Massa di kavum nasi

Massa di leher

3. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis LMG diperlukan pemeriksaan berikut :

a. Pemeriksaan laboratorium darah

Pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar darah rutin (mungkin

ditemukan anemia, limfositopenia), tes fungsi hati termasuk kadar laktat

dehidrogenase (LDH) dimana bila ditemukan peningkatan LDH

berhubungan dengan prognosis yang jelek, tes fungsi ginjal, kadar asam

urat dan kalsium, dan titer EBV (Teli et al., 2009).

b. Endoskopi

Endoskopi digunakan untuk melihat gambaran secara langsung lesi

yang terjadi dan karakteristik lesi. Pada endoskopi hidung dapat

ditemukan ulserasi 2-5 cm di pertengahan palatum anterior disertai sekret

kotor-berbau. (Teli et al., 2009).

c. Patologi anatomi

Biopsi harus dilakukan dengan hati-hati, diusahakan mengambil

sedalam mungkin, untuk menghindari jaringan nekrotik dan lesi

13

peradangan. (Teli et al., 2009).

Biopsi sumsum tulang bilateral biasanya tidak ada bukti infiltrasi dari

limfoma. Biopsi superfisial ulangan pada ulkus akan ditemukan jaringan

nekrotik saja tanpa organisme yang infeksius atau neoplasia. Biopsi

terbuka pada lesi akan ditemukan ulserasi disertai infiltrasi campuran sel-

sel limfoid berbagai ukuran (sel-sel pleomorfik atipikal) dan juga

jaringan nekrosis koagulatif (Teli et al., 2009).

Secara histologik akan nampak lesi campuran antara jaringan

nekrosis, yang disebabkan invasi limfoid angiosentrik dan oklusi

pembuluh darah, dan peradangan kronik disertai dengan infiltrat

polimorfik, elemen limfoplamasitik, neutrofil dan histiosit yang tersebar.

Jika pemeriksaan histologik tidak dapat memastikan, dilakukan

pemeriksaan imunohistokimia untuk mencari petanda sel T/NK. (Kim et

al., 2005).

d. CT-Scan dan MRI

Pemeriksaan CT-Scan ini digunakan untuk mengetahui perluasan

lesi dan menentukan staging dari LMG. Bila LMG dicurigai meluas ke

intrakranial, MRI mungkin berguna untuk mendeteksi perluasan tersebut.

14

Gambar 1. Gambaran CT scan coronal yang menunjukkan jaringan lunak mengisi kavum nasi pada lethal midline granuloma. (Ramakrishnan et al.,

2013)

Gambar 2. Gambaran CT scan coronal yang menggambarkan destruksi dinding medial sinus maksilaris dan perselubungan sinus maxilaris,

ethmoidalis, frontalis, dan kavum nasi. (Ahn et al., 2012).e. Pemeriksaan imunohistokimia dan flow-sitometri

Pemeriksaan imunohistokimia dan flow-sitometri akan didapatkan

petanda/marker yang berhubungan dengan sel T, seperti CD2, CD3, CD7,

CD45RO, dan CD43. Pada tumor ini juga sering didapatkan marker sel

NK yaitu CD56. Pemeriksaan imunohistokimia ini juga menegaskan asal

tumor dari sel T atau sel NK, dan tidak ditemukan marker dari sel B. (Ahn

15

et al., 2012)

Gambar 3. Susunan limfosit atipikal pada pola angiosentrik yang tampak samar (H&E, dengan pembesaran 40X) (Ahn et al., 2012)

Gambar 4. Limfosit atipikial CD56 (+) (dengan pembesaran 40X) (Ahn et al., 2012)

I. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk lesi destruktif di daerah sinonasal (LMG) adalah :

1. Penyakit inflamasi: sarcoidosis, WG, lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa. Diagnosis karsinoma epidermoid juga harus

dipertimbangkan pada kasus LMG, karena karsinoma epidermoid

merupakan neoplasma utama yang sering ditemukan pada kepala dan

16

leher. Namun yang paling mirip dengan LMG adalah WG. (Poetker et al.,

2006).

Perbedaan antara LMG dengan WG antara lain: (1) distribusi

ulserasi pada LMG bersifat fokal, terlokalisasi, dan eksplosif, sedangkan

pada WG ulserasi bersifat difus; (2) keterlibatan sistemik dan infiltrat paru

dapat ditemukan pada keduanya, namun pada LMG jarang terjadi kelainan

di telinga, trakea, dan ginjal; (3) perbedaan utama terlihat pada

pemeriksaan morfologik dimana WG ditemukan gambaran khas vaskulitis,

sedangkan pada LMG ditemukan infiltrat limfoid polimorfik dengan

gambaran angiosentrik dan angioinvasif (Poetker et al., 2006).

2. Penyakit infeksi: oleh karena bakteri, jamur, atau parasit. Infeksi yang

memberikan lesi paling menyerupai LMG adalah karena jamur. (Poetker et

al., 2006).

J. Penatalaksanaan

17

Gambar 5. Diagnosis dan pendekatan tatalaksana terhadap limfoma sel T/sel NK ekstranodal. (Lee KW et al., 2006)

Saat ini, masih lemahnya konsensus pengobatan limfoma sel T/sel NK

dan tidak adanya terapi masih menjadi topik pertimbangan. Penatalaksanaan

yang diberikan dapat disesuaikan dengan stadium dan modalitas, seperti yang

tampak pada algoritma pendekatan penatalaksanaan dalam Gambar 5.

Stadium awal

Radioterapi.

Pendekatan terhadap Limfoma sel T/NK Ekstranodal

Stadium I/II Stadium III/IV

Tidak ada faktor risiko yang buruk

Ada faktor risiko yang buruk

Radioterapi lokal ≥ 50 Gy Radioterapi sekuensial ≥ 50 Gy kemoterapi

Kombinasi terapi modalitas dengan radioterapi ≥ 50 Gy di

antara kemoterapi pre- dan post- radiasi

Penyakit relaps atau progresif

Respon lengkap Respon lengkapPenyakit relaps atau progresif

Kemoterapi diikuti transplantasi sel stem

hematopoietik

Kemoterapi diikuti transplantasi sel stem

hematopoietik

Pertimbangkan terapi gabungan, transplantasi sel

stem hematopoietic autolog

18

Radiasi dianggap signifikan untuk menginduksi remisi lengkap

yang dapat bertahan lama dalam LMG dan masih menjadi pijakan utama

untuk terapi LMG stadium awal. Radioterapi yang diberikan berkisar

antara 34 Gy sampai 60 Gy. (Lee KW et al., 2006)

Manfaat radiasi pada stadium awal tergantung pada dosis dan area

radiasi. Pengaruh dosis radiasi terhadap hasil terapi telah diteliti dengan

manfaat signifikan yang tampak pada pasien dengan radiasi minimal 54

Gy. (Huang et al., 2008)

Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 143 pasien nasal

limfoma sel T/sel NK stadium awal dengan radiasi sebagai terapi tunggal,

104 di antaranya mendapatkan radiasi tersebut dengan median dosis 50.4

Gy (berkisar 20-70 Gy). 69% pasien yang mendapat radioterapi mencapai

remisi lengkap, sementara 8% mencapai remisi lengkap setelah diikuti

kemoterapi. Penelitian lain juga melaporkan hasil serupa dengan nilai

remisi lengkap berada antara 52%-100%. (Huang et al., 2008; You et al.,

2004)

Gangguan fungsi sistemik ditemukan pada 25-30% pasien stadium

awal yang diobati radioterapi, membuat peran kemoterapi tambahan

terhadap radiasi untuk menjaga kondisi klinis pasien stadium awal yang

berisiko tinggi. (Huang et al., 2008; You et al., 2004)

Kemoterapi

19

Beberapa penelitian yang mengamati perkembangan awal penyakit

selama kemoterapi memasukkan pilihan modalitas kemoterapi tanpa

radiasi ke dalam tatalaksana LMG. Reagen kemoterapi yang banyak

digunakan adalah regimen CHOP (cyclofosfamid, doksorubisin, vinkristin,

prednison). (Kim et al., 2005)

Namun, penelitian tentang regimen terapi CHOP tanpa radiasi

memberikan hasil yang mengecewakan karena tingginya angka

kekambuhan atau relaps dini penyakit dengan angka remisi lengkap

kurang dari 33% dan angka bertahan hidup keseluruhan 44%. (Kim et al.,

2008)

Kombinasi terapi modalitas

Penggunaan kombinasi terapi modalitas mampu mengurangi angka

kegagalan dan risiko relaps keseluruhan. Hasil yang menjanjikan ini telah

dilaporkan dalam penelitian terhadap 108 pasien LMG stadium awal yang

mendapatkan radiasi diikuti dengan kombinasi kemoterapi siklosfosfamid,

epirubisin, vinkristin dan prednisone ditambah bleomisin (Huang et al.,

2008; You et al., 2004).

Regimen ini menunjukkan efektifitas bermakna dengan angka

remisi lengkap 92% dan kemampuan bertahan hidup 8 tahun mencapai

86%. Secara keseluruhan, sejumlah penelitian membuktikan bahwa jika

diberikan berurutan, kombinasi terapi modalitas akan efektif pada penyakit

20

stadium awal, kontrol lokal dengan radiasi kemudian dilanjutkan dengan

kemoterapi sistemik. Selanjutnya, penambahan kemoterapi terhadap

radiasi mungkin hanya diperlukan pada penyakit stadium awal dengan

risiko tinggi. (Huang et al., 2008; You et al., 2004)

Stadium lanjut

Pada umumnya, kombinasi terapi modalitas merupakan pendekatan

yang paling sering diterapkan untuk penyakit stadium lanjut; namun, hasil

yang diharapkan dengan regimen seperti penyakit stadium awal belum dapat

dibuktikan pada situasi stadium lanjut. Sebuah penelitian kecil terhadap 24

pasien yang diobati dengan CHOP atau bleomisin, doksorubisin,

siklosfosfamid, vinkristin, deksametason, dan metotreksat (m-BA-COD) yang

diikuti dengan radiasi, hanya 25% pasien dengan penyakit stadium lanjut yang

mencapai remisi lengkap dengan kemampuan bertahan hidup 2 bulan,

dibandingkan dengan 75% pasien stadium awal yang mencapai remisi lengkap

dengan kemampuan bertahan hidup hingga 12 bulan. (Huang et al., 2008; You

et al., 2004)

Tranplantasi sel hematopoietic

Transplantasi sel hematopoietic (HCT) telah dievaluasi untuk

terapi gabungan, pada penyakit relaps atau refrakter. Pada pasien yang

mencapai remisi lengkap, HCT sebagai pendekatan gabungan dapat

memperpanjang lamanya bebas penyakit. Namun, hanya sedikit penelitian

21

yang secara langsung ditujukan pada keunggulan terapi konvensional ini.

Oleh karena tidak adekuatnya jumlah kasus yang melaporkan hasil terapi

HCT, sehingga kemampuan untuk mendefinisikan peran HCT sebagai

terapi terhadap penyakit relaps atau refrakter masih sangat terbatas.

(Huang et al., 2008; You et al., 2004)

K. Prognosis

Prognosis pada limfoma sel T/NK adalah buruk. Hal ini didasarkan

pada beberapa penelitian yang mencatat bahwa angka ketahanan hidup 5 tahun

pertama yaitu 40-50 %, angka kekambuhan lokal dan sistemik mencapai 50 %,

dengan angka kematian total mencapai 50-70 %. Limfoma sel T/NK memiliki

tingkat mortalitas yang lebih tinggi dan tingkat respon yang lebih rendah

terhadap regimen kemoterapi dan radioterapi, dibandingkan dengan subtipe

lain dari limfoma pada regio kepala-leher. Prognosis LMG dipengaruhi oleh

banyak faktor. Berbagai usaha telah dilak ukan untuk menyeleksi marker

prognosis yang baru dan tepat. Beberapa prediktor angka kemampuan hidup

keseluruhan yang independen di antaranya mencakup usia lebih dari 60 tahun,

kadar LDH di atas normal, peningkatan C-reaktif protein (CRP), status eastern

cooperative oncology group (ECOG) lebih besar dari 2, adanya gejala B, atau

bukti histologis akan tingginya hemofagositosis, dan invasi lokal (misalnya

invasi ke kulit atau tulang). Data tersebut dirangkum dalam Tabel 1. (You et

al., 2004; Huang et al., 2008; Kim et al., 2008)

22

Tabel 3. Faktor prognosis dalam limfoma sel NK/sel T. (Huang et al., 2008; You et al., 2004)

Angka kemampuan hidupKarakteristik % CR Median

kemampuan hidup (bulan)

% 5th OS

Usia- ≥ 65 tahun- < 65 tahun

50-6144-64

NRNR

36-3933-73

Stadium Ann Arbor- I- II

50-8646-86

NRNR

42-7819-48

23

- III/IV 23-42 NR 20Gejala B

- Ada- Tidak ada

38-6360-75

NRNR

19-3341-49

Indeks Prognostik Internasional- Rendah (0-1)- Sedang-rendah (2)

hanya nasal- Sedang-tinggi (3)

hanya nasal- Tinggi (>3)

hanya nasal

58-92

20-91

14-92

5-90

>10 tahun12

12

4-6

57.4 (20 th)27.6 (20 th)

82 (8 th)27.6 (20 th)

90 (8 th)27.6 (20 th)

84 (8 th)Indeks Prognostik Limfoma NK

- Rendah (0)- Sedang-rendah (1)- Sedang-tinggi (2)- Tinggi (3-4)

NRNRNRNR

>10 tahun3094

80.964.234.46.6

Kadar virus EBV pada diagnosis < 6.1 x 107 copies/mL ≥ 6.1 x 107 copies/mL

NRNR

>5.42.1

80.964.2

NR: not reported; CR: complete remission; OS: overall survival

BAB III

LAPORAN KASUS

Dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 56 tahun, datang ke Poliklinik

THT RSUD Dr Moewardi Surakarta pada tanggal 20 November 2012, dengan

keluhan utama terdapat benjoan di leher kanan dan kiri sejak 3 minggu yang lalu

yang lalu, benjolan dirasakan tidak nyeri, namun dirasakan makin membesar jika

24

pasien sedang demam. Pasien mengeluhkan sering demam terutama malam hari.

Pasien juga mengeluhkan hidung kiri kadang tersumbat, dan pernah keluar lendir

campur darah.. Keluhan telinga berdenging atau terasa penuh, pandangan dobel

dan nyeri kepala disangkal. Pasien masih dapat makan dan minum seperti biasa.

Pasien mempunyai riwayat sakit hipertensi serta diabete melitus.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit

sedang, kesadaran compos mentis, kesan gizi cukup. Tanda vital dalam batas

normal. Pada pemeriksaan THT didapatkan telinga, hidung dan tenggorok dalam

batas normal. Terdapat limfadenopati colli sinistra dengan ukuran 3x3x1 cm dan

kanan ukuran 2x1x1 cm, terfiksir, konsistensi kenyal, nyeri (-), warna sama

dengan kulit sekitar. Tidak didapatkan pembesaran limfodenopati di tempat lain.

Kemudian didiagnosis dengan Limfadenopati Colli bilateral dd/ KNF, Infeksi.

Direncanakan dilakukan pemeriksaan FNAB serta Nasoendoskopi dan biopsi

setelah ada hasil laboratorium. Didapatkan hasil FNAB proses radang menahun.

Tanggal 30 November 2012 didapatkan hasil laboratorium dalam batas normal Hb

15,0 gr/dl, leukosit 5800/uL, trombosit 227.000/uL, PT 12,8 detik, APTT 27,1

detik, GDS 108, HbsAg non reaktif. lalu dilakukan nasoendoskopi, didapatkan

hasil tampak massa di posterior berbenjol-benjol, mudah berdarah lalu dilakukan

biopsi dari kavum nasi sinistra dengan hasil PA no.RS 1204853, Nasal NK/T cell

lymphoma

Kemudian tanggal 11 Desember 2012 dilakukan penentuan stadium (staging).

25

Pada pemeriksaan rontgen thorak, didapatkan hasil dalam batas normal, pada CT-

Scan Sinus Paranasal lesi densitas jaringan solid yang menempati sinus

maksillaris bilateral, ethmoidalis, sphenoidalis kiri, sedangkan hasil USG

abdomen didapatkan tidak tampak metastasis intraabdomen. Didapatkan diagnosis

Nasal NK/T cell lymphoma stadium II EB, kemudian pasien direncanakan untuk

dilakukan radioterapi dan kemoterapi menggunakan regimen CHOP, yaitu

cyclophosphamid, doxorubicin, vinkristin dan prednison sebanyak 6 kali.

Gambar 6. Hasil CT-Scan SPN pasien

Pada tanggal 14 Desember 2012 pasien datang ke poli THT RS Dr. Moewardi

dengan keluhan sakit kepala didapatkan TD 170/100, kemudian pasien

dikonsulkan bagian interna untuk penatalaksanaan hipertensi serta toleransi

kemoterapi. Diagnosis dari bagian interna hipertensi stage II, mendapatkan

captopril 3x25 mg dan alprazolam 1x1, serta setuju kemoterapi jika tekanan darah

< 140/90 mmHg. Pasien juga dikonsulkan ke bagian jantung untuk toleransi

kemoterapi, dengan diagnosis hipertensi stage II compensated cordis setuju

kemoterapi jika tekanan darah < 140/90 mmHg. Pasien rutin kontrol 1 minggu

26

sekali untuk terapi hipertensinya.

Pada tanggal 2 Januari 2013 pasien kontrol, dilakukan pemeriksaan laboratorium

pro kemoterapi dan konsul ke radioterapi. Karena menunggu jadwal radioterapi

yang lama (27 Maret 2013) makan dilakukan kemoterapi terlebih dahulu dengan

penentuan dosis kemoterapi dengan tinggi badan 168, berat badan 51 dan BSI

1,59 sehingga dosis kemoterapi yaitu cyclophosphamid 1000 mg, doxorubicin 70

mg, vinkristin 1,4 mg dan prednison 50 mg/m2 tapering off. Sesak napas dan

benjolan di leher semakin bertambah besar. Hasil lab di dapatkan peningkatan

glukosa darah dengan hasil GDS 266 mg/dl. Pasien dikonsulkan ke bagian interna

dan mendapat terapi metformin 3x500 mg dan glibenclamid 1x2,5 mg serta

toleransi kemoterapi jika GDS < 200 mg/dl. Pasien tertunda kemoterapi karena

menunggu perbaikan GDS dari interna dan sering demam.

Pasien akhirnya menjalani kemoterapi pertama dengan regimen CHOP

cyclophosphamid 1000 mg, doxorubicin 70 mg, vinkristin 1,4 mg dan prednison

50 mg/m2 tapering off pada tanggal 5 Maret 2013. Pada tanggal 15 Maret 2013

pemeriksaan laboratorium post kemoterapi didapatkan Hb 9.7 g/dl, leukosit 0.4

ribu/ul, trombosit 152 ribu/ul, GDS 213 mg/dl, Albumin 2.4 g/dl, Na 117 mmol/l,

kalium 3.8 mmol/l, clorida 86 mmol/l. Kemudian dilakukan pemeriksaan

laboratorium gamma GT dengan hasil 365 u/l, LDH 350 u/l, alkali fosfatase 326

u/l, gambaran darah tepi dengan hasil anemia hipokromik normositik ec. Proses

kronis disarankan pemeriksaan ferritin dan CRP. Hasil ferritin 1092.0 ug/ml.

27

Pasien dimondokan untuk perbaikan keadaan umum dan dikonsulkan ke bagian

interna dengan diagnosis anemia hipokromik normositik, DM tipe 2,

hiponatremia, mendapat terapi transfusi PRC 2 kolf, injeksi leucogen 2 vial.

Pada tanggal 5 April 2013, pasien menjalani kemoterapi CHOP yang kedua

dengan dosis cyclophosphamid 1000 mg, doxorubicin 70 mg, vinkristin 1,4 mg

dan prednison 50 mg/m2 tapering off. Setelah kemoterapi kedua kondisi pasien

menurun. Pasien sering keluar darah dari hidung, lemas dan demam. Dan pada

palatum durum terdapat lesi ukuran 2x3x1, mudah berdarah.

Pada tanggal 22 Mei 2013 pasien datang ke IGD karena keluar darah dari hidung

sebanyak ½ gelas dan lemas. Tampak lesi di palatum durum daerah midline

bertambah besar, diliputi oleh jaringan nekrotik. Dari hasil laboratorium

didapatkan Hb 9.7 g/dl, leukosit 4.4 ribu/ul, trombosit 151 ribu/ul, GDS 151

mg/dl, Albumin 3.1 g/dl, Na 117 mmol/l, kalium 3.8 mmol/l, clorida 86 mmol/l.

Pasien lalu dimondokan untuk perbaikan keadaan umum dirawat bersama dengan

interna. Selama dirawat kondisi pasien menurun, lesi di palatum durum daerah

midline bertambah besar, diliputi oleh jaringan nekrotik dan lesinya kemudian

menjadi destruksi ke palatum, dan sering berdarah.

Pada tanggal 30 Mei 2013 pasien dipindahkan ke ruang HCU dengan kondisi

lemah, kesadaran somnolen, diagnosis dari interna dengan anemia berat,

hipokalemia, hipo natremia. Tampak destruksi palatum makin membesar dan

sering berdarah. Di rencanakan untuk dilakukan radioterapi dan dijadwalkan

28

tanggal 26 Juni 2013.

Tetapi Pada tanggal 9 Juni 2013 keluarga pasien memaksa untuk membawa

pulang pasien. Dua hari setelah pulang paksa, keluarga pasien mengabarkan

bahwa pasien meninggal dunia.

A B

Gambar 7. (A) Lesi pada palatum (B) Destruksi yang meluas pada palatum

29

BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki usia 56 tahun, datang ke

dengan keluhan hidung kiri kadang tersumbat, keluar lendir campur darah dan

sering demam terutama malam hari. Keganasan ini biasanya lebih banyak diderita

oleh pria daripada wanita, dengan perbandingan 3:1, yang biasanya terjadi pada

dekade ke-enam (Kim GE,et al, 2001) dan didapatkan gejala klinik yang mula-

mula timbul dan paling sering dikeluhkan penderita LMG adalah obstruksi nasi,

epistaksis, dan rinorea purulen dan gejala sistemik yaitu demam, keringat malam

hari. (Lee et al., 2006)

Pada kasus ini, pasien datang ke Poliklinik RSUD Dr. Moewardi masuk

dalam fase awal atau fase prodromal, adalah fase dimana terdapat keluhan

30

sumbatan hidung, ingus atau sekret yang encer. Keluhan ini berlangsung dalam

beberapa bulan kemudian terdapat lesi di palatum durum daerah midline

bertambah besar, diliputi oleh jaringan nekrotik dan lesinya kemudian menjadi

destruksi ke palatum, dan sering berdarah. Sesuai dengan hasil penelitian pada

pemeriksaan fisik didapatkan ulserasi di daerah palatum (Teli et al., 2009).

Pada kasus dilakukan pemeriksaan laboratorium, nasoendoskopi, biopsi

serta pemeriksaan CT scan, hal ini sesuai dengan (Teli et al., 2009) yang

menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium, nasoendoskopi,

biopsi serta pemeriksaan CT scan untuk mengetahui perluasan.

Penatalaksanaan pada pasien ini baru diberikan kemoterapi dengan regimen

CHOP. Kondisi pasien saat post kemoterapi memperlihatkan progresifitas

penyakit yang berlangsung sangat cepat, terlihat dari ukuran destruksi pada

palatum serta kondisi pasien yang menurun. Pilihan modalitas kemoterapi tanpa

radiasi dalam tatalaksana LMG., banyak digunakan adalah regimen CHOP

(cyclofosfamid, doksorubisin, vinkristin, prednison). (Kim et al., 2005)

Namun, penelitian tentang regimen terapi CHOP tanpa radiasi memberikan

hasil yang mengecewakan karena tingginya angka kekambuhan atau relaps dini

penyakit dengan angka remisi lengkap kurang dari 33% dan angka bertahan hidup

keseluruhan 44%. (Kim et al., 2008)

Prognosis pada keganasan ini buruk. Selain dari progresifisitas penyakit,

keadaan lain yang dapat memperburuk prognosis penyakit ini adalah adanya

31

perdarahan atau sepsis yang bahkan dapat mengakibatkan kematian. Skor IPI

untuk pasien ini adalah 2 (status performa ≥ 2, LDH meningkat), dengan demikian

pasien masuk dalam risiko sedang-tinggi dengan angka ketahanan hidup 5 tahun

sebesar 46 %. Beberapa prediktor angka kemampuan hidup keseluruhan yang

independen di antaranya mencakup usia lebih dari 60 tahun, kadar LDH di atas

normal, peningkatan C-reaktif protein (CRP), status eastern cooperative oncology

group (ECOG) lebih besar dari 2, adanya gejala B, atau bukti histologis akan

tingginya hemofagositosis, dan invasi lokal (misalnya invasi ke kulit atau tulang).

Data tersebut dirangkum dalam Tabel 1. (You et al., 2004; Huang et al., 2008;

Kim et al., 2008). Penyebab kematian pada pasien ini adalah syok sepsis.

32

BAB V

KESIMPULAN

Lethal midline granuloma (LMG), atau yang disebut juga nasal limfoma sel

T/sel NK, polymorphic reticulosis, atau limfoma angiosentrik, merupakan

keganasan dari sel limfosit T atau sel natural killer (NK) yang menyebabkan lesi

destruktif dengan predileksi di daerah kavum nasi dan sinus paranasal, dengan

adanya pertumbuhan angiosentrik dan angiodestruktif oleh sel tumor yang

ukurannya bervariasi serta dapat berkaitan dengan EBV (Epstein Barr Virus).

Selain berdasarkan gejala klinisnya, diagnosis LMG dapat ditegakkan dari

hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti pemeriksaan

laboratorium darah, biopsi lesi, pemeriksaan radiologi (CT-scan atau MRI), serta

pemeriksaan imunohistokimia dan flow-sitometri yang menunjukkan adanya

petanda/marker yang berhubungan dengan sel T atau sel NK (CD56).

Penggunaan kombinasi terapi modalitas mampu mengurangi angka

33

kegagalan dan risiko relaps keseluruhan penyakit LMG. Hasil yang menjanjikan

ini telah dilaporkan dalam beberapa penelitian yang memberikan terapi radiasi

diikuti dengan kombinasi kemoterapi.

34

DAFTAR PUSTAKA

Ahn HK., Suh C., Chuang SS., et al. 2012. Extranodal natural killer/T-cell lymphoma from skin or soft tissue: suggestion of treatment from multinational retrospective analysis. Annals of Oncology. 1: 1-5.

Al-Hakeem DA, Fedele S, Carlos R, Porter S. 2007. Extranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type. Oral Oncol. 43:4–14.

Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Lymphomas of the Head and Neck In: Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006; 115:1621-28

Chauchet A., Michallet A., Berger F., et al. 2012. Complete remission after first-line radio-chemotherapy as predictor of survival in extranodal NK/T cell lymphoma. Journal of Hematology & Oncology. 5: 1-10.

Ferry JA. 2008. Extranodal lymphoma. Arch Pathol Lab Med. 132:565–578.

Harris JP dan Michael MH. 2007. Granulomatous Diseases: Wegener’s Granulomatosis, Churg-Strauss Syndrome, and Nasal Natural Killer (NK)/T-Cell Lymphoma in Head and Neck Manifestations of Systemic Disease. p:111-4

Huang M-J, Jiang Y, Liu W-P, et al. 2008. Early or up-front radiotherapy Improved survival of localized extranodal NK/TCell lymphoma, nasal-type in the upper aerodigestive tract. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 70:166–174.

Isobe Y, Sugimoto K, Yang L, et al. 2004. Epstein–Barr virus infection of human natural killer cell lines and peripheral blood natural killer cells. Cancer Res. 64:2167–2174.

Kim K, Chie EK, Kim CW, et al.. 2005. Treatment outcome of angiocentric T-cell and NK/T-cell lymphoma nasal type: radiotherapy versus chemoradiotherapy. Jpn J Clin Oncol. 35: 1–5.

Kim TM, Lee SY, Jeon YK, et al. 2008. Clinical heterogeneity of extranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type: a national survey of the Korean Cancer

35

Study Group. Ann Oncol. 19:1477–1484.

Lee J., Suh C., Park YH., et al. 2006. Extranodal natural killer T-cell lymphoma, nasal-type: a prognostic model from a retrospective multicenter study. J Clin Oncol. 24(4): 612-618.

Lee KW, Yun T, Kim DW, et al. 2006. First-line ifosfamide, methotrexate, etoposide and prednisolone chemotherapy þ/7 radiotherapy is active in stage I/II extranodal NK/T-cell lymphoma. Leuk Lymphoma. 47:1274–1282.

McDonald TJ. 2005. Nasal manifestations of systemic diseases. In: Cumming CW, et al, editors. Cummings: otolaryngology: head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier's.

Poetker DM, Cristobal R, dan Smith TL. 2006. Granulomatous and autoimmune diseases of the nose and sinuses. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Baltimore: Lippincott.

Pratiwi D. 2010. Nasal limfoma sel T/NK pada pasien multigravid hamil preterm G4P3A0 30 minggu. Dalam: Buku Kumpulan Karya Ilmiah. Surakarta: Fakultas Kedokteran UNS.

Ramakrishnan R,. Purushothaman PK,. dan Vikram PSJ. 2013. Midline lethal granuloma extra nodal natural killer cell / T cell lymphoma, nasal type-a rare presentation in young adult South Indian female. IJSRP. 3(6): 1-4.

Tami TA., Shah A., dan Ryzenman JM. 2006. Nasal manifestations of systemic diseases. In: Lalwani AK, editor. Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery. 2nd. ed. New York: Mc Graw Hill.

Teli MA, Baba KM, Gupta M, et al.. 2009. Lethal midline granuloma presenting as facial cellulitis. JK Science. 11: 39-41

You JY, Chi KH, Yang MH, et al. 2004. Radiation therapy versus chemotherapy as initial treatment for localized nasal natural killer (NK)/T-cell lymphoma: a single institute survey in Taiwan. Ann Oncol. 15:618–625.