NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM AL-QUR’AN SURAT AL...
Transcript of NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM AL-QUR’AN SURAT AL...
i
NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN
DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 9-
13 (KAJIAN PEMIKIRAN TAFSIR AL-MISBAH
KARYA QURAISH SHIHAB)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
NUR FAIZIN
NIM: 111-12-013
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
¨βÎ) #x‹≈yδ tβ#u ö� à)ø9 $# “ ωöκu‰ ÉL ‾=Ï9 š†Ïφ ãΠ uθø%r& ç�Åe³u;ムuρ tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# tÏ% ©!$# tβθ è=yϑ÷ètƒ
ÏM≈ys Î=≈ ¢Á9 $# ¨βr& öΝçλ m; # \�ô_ r& # Z�� Î6x. ∩∪
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S Al-Israa’ 9)
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil’alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT
skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua Simpai Keramatku Tercinta Ayahanda Nasikhun & Ibunda
Ismiyani yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, memberikan nasihat,
mendidik dari kecil sampai sekarang dan do’anya yang tidak pernah putus.
2. Adik perempuanku Arum Wulan Sari, terimaksih atas dukungan dan
do’anya.
3. Para Guru, Asatidz, Sahabat dan teman-teman;PPHM & MHM
Kalibening, KBQT, Smart Evo, Laa Tansa (PAI A 2012), PPL SMA N 3
Salatiga, KKN angkatan 2012 posko 33 dan JQH AL-FURQAN.
4. Almamaterku; Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan dan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. (kehadiranmu
dihatiku sejak 2012 telah banyak mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan
pengalaman yang kau berikan bermanfaat dan barokah. Amiin..)
viii
KATA PENGANTAR
م ي ح الر ن م ح الر هللا م س ب
ة ,الص و . م , س ا* ن ي د ن م لنا ت ل م ك ا ا ى م ل ا ع ر ك ش ا و د ي ج م ت ا و د م ح ن ي م ال ع ال ب ر � د م ح ل ا
.ن ي ع م ج أ ه اب ح ص أ و ه ل ى أ ل ع و د م ح ا م ن ي ب ى ن ل ع م ,الس و
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, tiada kata yang pantas diucapkan selain
puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan
inyah-Nya kepada diri yang lemah ini sehingga skripsi ini dapat terselesaiakan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya. Beliaulah sebaik-baik
makhluk yang pernah diciptakan, suri teladan bagi umatnya, yang sangat lembut
hatinya, kasih sayangnya kepada kita tidak bisa diungkapkan lagi dengan kata-
kata.
Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tersusunnya
skripsi ini tidak lain karena berkat bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan arahan
dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI.
4. Bapak Dr. M.Gufron, M. Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan sabar dan ikhlas mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan
waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan
sumbangan pemikiran sejak awal penyusunan hingga selesainya sekripsi
ini.
5. Bapak Drs. Bahrudin, M. Ag. Selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak / Ibu Dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik dan memberikan
ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.
ix
7. Abah KH. Abda’ Abdul Malik (Pengasuh Pon-Pes Hidayatul Mubtadi-ien
Kalibening) atas kesabaran dan bimbingan yang diberikan untuk menempa
diriku di pesantren yang akan selalu kurindu. Dan semua dewan asatidz
yang telah mendidikku di pesantren dan madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
8. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Nasikhun dan Ibunda Ismiyani,
kuhaturkan terimakasih yang tak terhingga atas semua kasih sayang, do’a,
nasihat dan didikannya selama ini.
9. Keluarga Besar Laa Tansa (PAI A 2012), Taufiq, Taufiqurrohmah, Kurnia,
Puji, Ismi, Andri, Syamsudin, Bagus, Sariful, Olif, Ela, Riris, Hida, Tyas,
Ngizul, Haroh, Chusna, Emy, Putri, Halimin, Dhofir, Farid, Munif, Nanda,
Mafa, Fitri, Nisa, Ikhwan, Wafa, Awaf, Ali. Terimakasih atas
kebersamaan dan jalinan ukhuwah yang indah selama ini semoga tidak
lekang oleh ruang dan waktu.
10. Teman-teman seperjuangan UKM JQH Al-Furqan IAIN Salatiga, Kanda /
Yunda (Andri, Lutfi, Ali, Hikmawan, Tri, Dedi, Hadi, Abidin, Sholikin,
Zidni, Imam, Fajar, Ana, Nurul, Iklima, Umi, Novi, Zizah, Nikmah, Titik,
Fiqoh, Fika, dan kanda-yunda lainnya yang tidak bisa kusebut satu-
persatu). Kebersamaan, perjuangan, suka dan duka dengan kalian
memberikan pengalaman yang sangat berharga bagiku. Jazakumullahu
khairan..
11. Keluarga Besar PPHM Kalibening, rekan-rekan santri seperjuangan: Kang
Sholikin, Kang Muhlisin, Kang Imam, Kang Amir, Kang Mustaqim, Kang
Shobar, dll yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Terimakasih atas
jalinan ukhuwah, motivasi, bantuan, dan kepeduliannya selama penulis
menimba ilmu di Salatiga. Semoga ukhuwah kita senantiasa terjaga
sebagai akhun fillah, dan sedikit banyak ilmu yang kita peroleh semoga
berkah dan bermanfaat. Amiin..
12. Teman-teman Mahasiswa PAI, PPL dan KKN angkatan 2012 yang saling
memotivasi dan mendukung agar cepat menyelesaikan perkuliahan,
terimaksih atas kebersamaannya selama ini.
x
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi S-1 di Institut Agama
Islam Negeri Salatiga.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tulisan ini masih jauh
dari sempurna, meskipun penulis telah mencurahkan seluruh kemampuan penulis.
Apa-apa yang benar dari tulisan ini adalah datangnya dari Allah SWT, sedangkan
apa yang salah berasal dari diri yang lemah ini. Untuk itu saran dan masukan dari
semua pihak senantiasa penulis harapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangsih
bagi dunia intelektual khususnya studi keislaman dan memberikan manfaat bagi
kita semua.Amin.
Salatiga, 2 September 2016
Penulis
NUR FAIZIN
xi
ABSTRAK
Faizin, Nur. 2016. Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an Surat Al- Hujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab). Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing. Dr. M. Gufron, M. Ag
Kata Kunci : Nilai-Nilai Kemasyarakatan, Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai kitab suci universal -berlaku untuk setiap ruang waktu- yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya mengandung banyak nilai dan pesan universal yang berbicara tentang kemasyarakatan dengan fungsi utama untuk mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat. Problem-problem yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat tentu tidak pernah ada habisnya. Untuk itu al-Qur’an hadir menjadi solusi dengan memberikan petunjuk dan pedoman hidup mengenai nilai-nilai kemasyarakatan. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 yang penulis angkat menjadi tema penelitian ini, “Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-Hujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab)”. Fokus penelitian yang dikaji adalah: 1. Nilai-nilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 2. Bagaimanakah penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini.
Dalam penelitian ini, kitab tafsir yang menjadi kajian utama adalah Tafsir al-Misbah Karya Quraish Shihab. Sebagaimana yang dikenal memiliki corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i. Selain itu, Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir kontemporer Indonesia, sehingga akan lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis isi atau (content analysis). yakni suatu upaya menganalisis penafsiran al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat di dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 kemudian dicari bagaimana relevansinya pada era sekarang ini.
Dari hasil penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa nilai dan pesan moral yang ada dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, yang penulis klasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, dalam bentuk perintah, yaitu; Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Kedua, dalam bentuk larangan, yaitu; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Aturan moral dalam hubungan interaksi antar manusia inilah yang disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, bahwa Allah SWT ingin mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman dengan akhlak yang baik, jika berpegang teguh dengan nilai-nilai itu maka akan langgenglah rasa cinta, persatuan dan kesatuan serta menambah kuatnya ukhuwah dalam kehidupan bermasyarakat.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
HALAMAN BERLOGO...................................................................................
HALAMAN NOTA PEMBIMBING................................................................
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TUISAN...........................................................
MOTTO.............................................................................................................
PERSEMBAHAN.............................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
ABSTRAK........................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
xi
xii
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................
C. Tujuan Penelitian..............................................................
D. Kegunaan Penelitian.........................................................
E. Metode Penelitian.............................................................
1. Jenis Penelitian.....................................................
2. Sumber Data.........................................................
3. Metode Analisis Data...........................................
F. Penegasan Istilah..............................................................
G. Sistematika Pembahasan..................................................
1
8
9
9
10
10
11
13
13
15
xiii
BAB II BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN
TAFSIR AL-MISBAH
A. Biografi M. Quraish Shihab..............................................
B. Karya-karya M. Quraish Shihab.......................................
C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah....................................
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir...........................
2. Metode dan Sistematika Penulisan.......................
3. Corak Penafsiran...................................................
17
20
21
21
22
25
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. Nilai..................................................................................
1. Pengertian Nilai....................................................
2. Tata Nilai..............................................................
3. Macam-macam Nilai............................................
B. Masyarakat........................................................................
1. Pengertian Masyarakat.........................................
2. Masyarakat dan Macamnya..................................
3. Asal Masyarakat...................................................
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum........
D. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an...
E. Surat Al-Hujurat Ayat 9-13..............................................
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan..............................
2. Gambaran Umum dan Pokok Kandungan Surat
Al-Hujurat Ayat 9-13.........................................
3. Asbabun Nuzul.....................................................
4. Munasabah............................................................
27
27
29
30
32
32
35
36
38
43
48
48
50
52
57
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM
AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 9-13
MENURUT
TAFSIR AL-MISBAH
A. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Perintah.................
64
xiv
1. Al-Islah (Perdamaian)...........................................
2. Adil.......................................................................
3. Ukhuwah (persaudaraan)......................................
4. Ta’aruf (saling mengenal)....................................
5. Al-Musawah (persamaan derajat).........................
B. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Larangan...............
1. Mengolok-olok.....................................................
2. Mengejek..............................................................
3. Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar
Buruk....................................................................
4. Berprasangka Buruk (Su’u Zann).........................
5. Mencari-cari Kesalahan........................................
6. Menggunjing (Ghibah).........................................
C. Relevansi Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-
Hujurat ayat 9-13 dengan Kehidupan Masa Kini...........
64
67
71
77
79
82
82
86
88
91
94
96
100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................
B. Saran-Saran.......................................................................
C. Penutup.............................................................................
104
110
111
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK
2. Lembar Konsultasi
3. Daftar Riwayat Hidup
iv
iv
iv
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang tiada tandingannya
(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi
dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan
surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nash, dan ditulis dalam
mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara Mutawatir (oleh orang
banyak), serta mempelajarinya merupakan Ibadah. ( Ash-Shaabuuniy, 1999:
15). Al-Qur’an juga sembagai sumber utama ajaran agama Islam. Di
dalamnya mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika),
sejarah, serta amaliyah (tindakan praktis). (Naim, 2009:56)
Al-Qur’an merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of
lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu kewajiban umat Islam
adalah memberikan perhatian yang besar terhadap al-Qur’an baik dengan cara
membacanya, menghafal, atau mempelajarinya. Dalam al-Qur’an tidak
terdapat sedikitpun kebatilan serta kebenaranya terpelihara dan dijamin
keaslianya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (Raghib, 2010:16).
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hijr ayat 9
2
$ ‾ΡÎ) ß øtwΥ $ uΖø9 ¨“tΡ t� ø.Ïe%!$# $ ‾ΡÎ)uρ …çµ s9 tβθ ÝàÏ�≈ ptm: ∩∪
“sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (Departemen Agama RI, 1982:263)
Al-Qur’an merupakan kitab suci universal-berlaku untuk setiap ruang
waktu-yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Keuniversalan al-Qur’an terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau
keseluruh lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana saja. (Kemenag RI,
2012:xiii)
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat menjalani
kehidupannya dengan baik dan benar tanpa ada bimbingan dari al-Qur’an,
dengan alasan yang sama dapat dipahamai mengapa kitab suci umat Islam ini
memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan
bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-
hukum kemasyarakatan. (Nurdin, 2007:219)
Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak akan terlepas dari
adanya hubungan (relationship) interaksi (interaction) dan kerjasama
(cooperation) kepada antar sesamanya (Shihab, 2006:276). Pada dasarnya,
kehidupan bermasyarakat adalah kerjasama yang didorong oleh kesadaran
bahwa manusia tidak mampu hidup tanpa adanya kerjasama dengan lainnya.
Kecenderungan untuk bekerjasama merupakan suatu esensi dari eksistensi
3
keberadaan manusia di hadapan Tuhannya. Karena pada dasarnya manusia
secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan suatu
keniscayaan bagi mereka (Shihab, 1999:320). Mereka harus bekerjasama dan
topang menopang antara satu dengan yang lainnya demi mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraannya. (Shihab, 2006:276)
Problem-problem kemasyarakatan di dunia ini tidak akan pernah ada
habisnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sikap persaudaraan,
saling menghormati antar sesama, tidak memandang perbedaan dan
kekurangan, saling menghargai baik sesama muslim maupun non-muslim
merupakan landasan untuk menciptakan masyarakat yang ideal, hidup dengan
damai, rukun, dan penuh rasa aman.
Dalam konteks yang lebih sempit, sebagai contoh Indonesia adalah
salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran pernyataan ini
dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 besar dan kecil. Populasi
penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran
kepercayaan. (Chanifah, 2012:1)
4
Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang tindak dan
wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial,
budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal yang lainnya, tak dapat
dipungkiri, mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya,
masyarakat kita-dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda seperti,
pendidikan, etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi-mempunyai tindakan dan
pandangan yang berbeda-beda pula tentang berbagai macam fenomena sosial
seperti, kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan terhadap hal-hal
yang lainnya.
Ada anggota masyarakat yang kurang mendukung adanya proses
demokrasi di negara ini, namun disisi lain tidak sedikit masyarakat yang
menginginkan adanya demokrasi. Ada anggota masyarakat yang sangat
peduli dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun disisi lain,
tidak sedikit masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tersebut. Bahkan
mereka dengan sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota
masyarakat yang merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan
gender, namun tidak sedikit masyarakat yang menentangnya. (Yaqin, 2005:3-
4)
Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai
persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, terorisme, perseteruan politik, kemiskinan,
kekerasan, perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk
selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian
5
dari multikulturalisme itu. Contohnya yang lebih kongkrit dan sekaligus
menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan
besar-besaran terhadap masa pengikut partai komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1965, kekerasan terhadap etnis cina di Jakarta pada Mei 1998 dan
perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003.
Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat
besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk,
400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang
terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih
2000 nyawa manusia melayang sia-sia (Chanifah, 2012:3), dan yang baru-
baru ini terjadi di tahun 2016 aksi ricuh unjuk rasa pengemudi taxi yang
diwarnai tawuran dan aksi lempar batu dengan pengemudi ojek online terkait
konflik adanya wajah baru transportasi online yang dianggap merugikan
transportasi model lama (konvensional) pada selasa 22 Maret 2016, tawuran
antar warga johar Baru Jakarta Pusat pada 18 Mei 2016 malam, terjadi di 3
lokasi sekaligus yang hanya berselang satu jam lamanya, yaitu RT 06/03
Kelurahan Rawa, Jalan Taman Solo, dan Kampung Rawa (Liputan6.com
19/05/2016). Dan masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan kasus yang belum
kita ketahui karena tidak diinformasikan oleh media masa. Hal tersebut
memberikan bukti bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang ada di dalam al-
Qur’an belum diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia yang notabene
penduduk muslimnya terbanyak di dunia.
6
Menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya
pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab
dalam hal ini bukan hanya pemerintah pada umumnya, tapi juga para
kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam
menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal,
pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada
masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan.
(Mahfud, 2004:2)
Oleh karena itu, agama Islam tidak hanya agama yang mengajarkan
ibadah saja, namun juga mengajarkan akhlak dan pergaulan diantara sesama
muslim (Shalabi, tt: 267-268). Tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal
(Habl min Allah) saja namun juga mengajarkan hubungan horizontal (Habl
min al-Nas). Kedua hubungan tersebut harus sejalan dan seimbang
sebagaimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai peran yang
seimbang baik di ranah ilahiah maupun di ranah manusiawi. (Eickelman, dkk,
2010:140)
Islam mengajarkan nilai-nilai universal dengan tujuan untuk
memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin) maka kitab Al-
Qur’an yang merupakan kitab suci yang universal di dalamnya terdapat ayat-
ayat yang mengajarkan tentang perdamaian, persaudaraan, kasih sayang,
menghormati perbedaan dan lain sebagainya.
7
Islam sebagai agama yang lengkap nan sempurna mempunyai
konsepsi dan prinsip yang dapat memberikan solusi kongkrit dalam
memecahkan problem hidup dalam bermasyarakat. Konsepsi dan prinsip
tersebut telah tertuang dalam ajarannya –Al-Qur’an– (Muhsin, 2004:viii). Al-
Qur’an hadir menjadi solusi akan hal tersebut dengan memberikan petunjuk
dan pedoman hidup mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang
terangkum di dalam 114 surat al-Qur’an. (Mustaqim, 2011:4)
Telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Hujurat yang menjelaskan
hakikat manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku tak lain agar supaya mengenal dan saling menghargai antar
sesama. Surat al-Hujurat merupakan salah satu dari beberapa surat yang
intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan
hidup manusia (Departemen Agama RI, 2009:844). Allah mewahyukan surat
tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan
tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim
maupun kemanusiaan global. Nilai-nilai dan pesan moral yang ada dalam
surat al-Hujurat ayat 9-13 antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah
(perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan
musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti;
mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk,
berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Yang semua
nilai-nilai itu merupakan pondasi penting bagi pembentukan gerakan muslim
untuk perubahan masyarakat sosial.
8
Peneliti melihat bahwa dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 terkandung
nilai-nilai kemasyarakatan yang juga layak untuk dikaji seiring dengan
perkembangan zaman. Memahami suatu makna al-Qur’an tentunya tidak
dapat lepas dari tafsir. Kitab tafsir yang menjadi kajian utama dalam
penelitian ini, ialah Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Peneliti tertarik
menggunakan tafsir ini, ialah karena Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir
kontemporer Indonesia yakni Quraish Shihab, beliau memang bukan satu-
satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan
dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks kekinian dan masa
post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-
Qur'an lainnya. sehingga buah karyanya yakni Tafsir al-Misbah peneliti
anggap lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia
saat ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 9-13 (Kajian Pemiki ran Tafsir Al-
Misbah Karya Quraish Shihab)
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah
adalah :
1. Nilai-nilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS. al-
Hujurat ayat 9-13 ?
9
2. Bagaimanakah penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 ?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat
9-13 dengan kehidupan masa kini ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung pada QS.
al-Hujurat ayat 9-13.
2. Untuk mengetahui penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13
3. Untuk megetahui relevansi dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-
Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini.
D. Kegunaan Penelitian
Sedangkan kegunaan atau manfaat yang dapat kita ambil dari
penelitian telaah QS. al-Hujurat ayat 9-13 ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman
nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat ayat 9-
13 dan relevansinya terhadap kehidupan masyarakat modern.
2. Hasil dari pengetahuan ini diharapkan mampu membantu dalam usaha
penghayatan dan pengamalan terhadap isi kandungan dan nilai-nilai
10
kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an baik yang tersurat maupun
yang tersirat dan lebih khusus lagi pada QS. al-Hujurat ayat 9-13
3. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat sambutan hangat dari para
peminat studi keislaman dan melengkapi khazanah intelektual Islam,
terlebih menjadi sumbangsih literatur bagi IAIN salatiga dalam visinya
sebagai pusat kajian Islam Indonesia.
E. Metode Penelitian
Istilah metode berasal dari kata methodos (yunani) berarti cara atau
jalan. Menyangkut dengan upaya ilmiah, metode dihubungkan dengan cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapat data dan informasi mengenai beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti (Darmawan, 2013:127). Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Studi pustaka adalah teknik penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data dan informasi, didasarkan atas bantuan berbagai
macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Baik berupa buku,
majalah, jurnal, dan beberapa tulisan lain yang memiliki keterkaitan
dengan pembahasan dalam penelitian (Subagyo, 1991:100). Studi
11
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
(Nazir, 1998:111)
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dari kitab suci al-Qur’an yang
merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of lifenya yang kekal
hingga akhir masa. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari
buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah
dalam penelitian skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan
menjadi dua kelompok, yakni sumber data primer dan sumber data
sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan pokok yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian dengan alat pengambilan data langsung
pada subjek sebagai informasi yang dicari atau sebagai sumber utama
dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini sumber primernya adalah Tafsir
al-Misbah karya Quraish Shihab, akan tetapi peneliti juga memasukkan
pendapat mufassir lainnya yang sepaham dengan mufassir tersebut guna
mendapatkan gambaran yang utuh, yang selanjutnya dideskripsikan dan
dianalisis sehingga memudahkan menjawab persoalan yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah.
12
b. Sumber data sekunder
Data skunder merupakan data penunjang yang diperoleh dari
pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitianya,
atau dijadikan alat untuk dapat menganalisis pembahasan skripsi ini,
baik interpretasi mufasir, tokoh intelektual, dan para ilmuan mengenai
pokok permasalahan di atas. Sumber sekunder yang digunakan adalah
mencakup semua buku, kitab, artikel yang bertema kemasyarakatan dan
tulisan-tulisan yang membahas mengenai surat al-Hujurat.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, proses pengambilan dan
pengumpulan data diperoleh dari sumber data berupa buku-buku, kitab-
kitab, jurnal ilmiah, makalah, ensiklopedi, dokumen, web site dan
tulisan-tulisan yang lain sesuai tema yang diangkat. Langkah-langkah
yang ditempuh ialah penelusuran data, klasifikasi dan pengorganisasian
data kemudian penyajian data.
3. Metode Analisis Data
Analisis data adalah alat bantu statistik atau yang lainnya yang
digunakan untuk menganalisis data atau menguji hipotesis yang diperoleh
(Pratiwi, 2009:52). Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau
data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan
karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)
(Suryabrata, 2005:85). Dari data yang diperoleh penulis, untuk
13
menganalisisnya digunakan metode analisis isi atau content analysis.
Menurut Wimmer dan dominick, dalam buku Metodologi Penelitian
Kualitatif karya Burhan Bungin (2011: 135) menjelaskan bahwa analisis
isi yaitu teknik penelitian untuk mengajari dan menganalisis komunikasi
secara sistematis, objektif, dan komunikatif terhadap pesan yang tampak.
Analisis isi juga bisa didefinisikan sebagai teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru shahih data dengan
memperhatikan konteksnya (Anton Bekker,dkk, 1990: 65). Disini peneliti
menggunakan metode content analysis dalam menguraikan makna yang
terkandung dalam redaksi al-Qur’an, setelah itu dari hasil interpretasi
tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan seksama guna menjawab
rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran terhadap judul skripsi
ini, yaitu nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat
ayat 9-13, maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu:
Nilai Kemasyarakatan
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai isi dari surat al-
Hujurat ayat 9-13, maka penulis kemukakan lebih dahulu apa arti nilai dan
kemasyarakatan.
14
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Nilai berarti sifat-sifat (hal-
hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Purwadarminta, 1999:
677) menurut Chabib Toha (1996:60) nilai adalah suatu tipe kepercayaan
yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang
bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas
atau tidak pantas dikerjakan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin
berasal dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak
dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin,
1993:110). Dalam hal ini nilai yang dimaksudkan adalah mengenai surat al-
Hujurat ayat 9-13.
Sedangkan Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat
atau hal masyarakat. (Purwadarminta, 1999: 751) Masyarakat, dalam arti
yang luas, berarti sekelompok manusia yang memiliki kebiasaan, ide dan
sikap yang sama, hidup di daerah tertentu, menganggap kelompoknya sebagai
kelompok sosial dan berinteraksi. (Arifin,2008:45)
Dengan begitu, dapat peneliti simpulkan bahwa Nilai Kemasyarakatan
adalah suatu etik nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh; nilai yang
berhubungan dengan akhlak; nilai atau aturan yang berkaitan dengan benar
dan salah yang dianut oleh masyarakat.
Sehubung dengan luasnya cakupan pembahasan mengenai nilai-nilai
kemasyarakatan, peneliti membatasi pembahasan hanya pada ayat 9-13 surat
al-Hujurat yang dalam surat tersebut menurut hasil analisa peneliti terdapat
15
nilai-nilai dan pesan moral antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah
(perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan
musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti;
mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk,
berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam
membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika skripsi ini secara garis
besar sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dikemukakan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan
sistematika pembahasan.
Bab II Biografi Quraish Shihab, dalam bab ini akan dipaparkan biografi
Quraish Shihab yang meliputi, riwayat hidup, aktivitas
keilmuan, dan karya- karyanya. Selain itu, menjelaskan pula kitab
tafsirnya yaitu seputar latar belakang penulisan tafsir, metode
penafsiran, sumber, corak penafsiran dan sistematika penafsiran.
Bab III Kajian pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai tinjauan umum
mengenai masyarakat dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, serta
tinjauan umum mengenai surat al-Hujurat ayat 9-13. Pembahasan
16
pertama mengenai nilai-nilai kemasyarakatan dalam cakupan luas
yang menggambarkan secara umum nilai-nilai kemasyarakatan di
kehidupan manusaia. Pembahasan kedua fokus pada konsep
kemasyarakatan dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an
beserta nilai-nilai idealnya. Dan pembahasan terakhir yakni
deskripsi surat al-Hujurat ayat 9-13 dengan menyajikan gambaran
umum surat tersebut beserta asbabun nuzul, munasabah ayat dan
pokok-pokok yang terkandung di dalamnya.
Bab IV Deskripsi dan analisis penafsiran Quraish Shihab dalam kitab
tafsirnya al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam
surat al-Hujurat ayat 9-13, pembahasan selanjutnya ialah relevansi
dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13
dengan kehidupan masa kini.
Bab V Penutup, simpulan dan saran, bab penutup memuat kesimpulan
penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat
penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
17
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN TAFSIR
AL-MISBAH
A.Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944
di Rappang, kabupaten Sidrap (sidenereng, Rappang), Sulawesi Selatan.
Anak ke empat dari Prof. KH. Abdurrahman Sihab seorang ulama dan guru
besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas Mulimin Indonesia
(UMI) dan IAIN Alauddin Makasar.(Shihab, 1994:14)
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk
mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali
mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau
menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian
oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal
dari Al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar Al-Qur’an yang sampai saat ini
menjadi sesuatu yang membimbingnya.
Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir
di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia
untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan
18
studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di
fakultas lain terbuka untuknya. (Shihab, 1994:14)
Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan
diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia
belajar di negeri pyramid itu. Ia belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus
Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua tahun kemudian lulus S2 bergelar
MA dengan tesis berjudul Al-I’jaz at-Tasyri li al-Qur’an al-
Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum).
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini,
oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar,
kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa
mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia
Timur.
Pada tahun 1980, ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor
di almamaternya, Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus
doktor untuk bidang ilmu tafsir al-Qur’an dengan disertasinya yang
berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian
Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara) Karya al-Biqa’i), serta
predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula (Summa Cum
Laude prestasi istimewa).
19
Selanjutnya berbagai amanah diembannya sekembalinya ke Indonesia
sejak 1984 diantaranya:
a. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993).
b. Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII pada masa pemerintahan
Presiden Suharto (1998).
c. Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Saudi pada masa
pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid.
d. Ketua MUI Pusat (1984)
e. Lajnah Pentashih Departemen Agama (1989)
f. Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989)
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam
beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu
Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim
Indoneisa (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibah dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Di samping kegiatan
tersebut, M. Qurais Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang
handal, termasuk di media televisi. Beliau diterima oleh semua lapisan
masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan
bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta,moderat.
20
B.Karya-karya M Qurasih Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun kumpulan
artikel yang dihimpun menjadi buku. Berikut karya-karya yang pernah ditulis
oleh Qurais Shihab :
a. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN
Alauddin, 1984)
b. Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
c. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
d. Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
e. Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
f. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
g. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (15 jilid,
Jakarta: Lentera Hati, 2003)
h. Al Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz ‘Amma
(Jakarta: Lentera Hati)
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya
penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara
menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah
yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan
sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
21
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-
pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat
dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan
kemajuan peradaban masyarakat.
(id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses kamis 19
November 2015 pukul 13.03)
C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah
1.Latar Belakang Penulisan Tafsir
Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh
Quraish Shihab ditujukan agar tafsir tersebut berfungsi serupa dengan
makna Misbah yang berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang
berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.
Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan
penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi
mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an
secara langsung karena kendala bahasa.
Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish
Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan
selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab
memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420
H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5
September 2003.(Shihab, 2003:Vol.15 h.penutup)
22
Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan
tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih
dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya
hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang
membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam
penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu
surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami
menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”.(Shihab,
2003:Vol.15 h.penutup)
Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz
lengkap. Keindonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas
serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan
penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah SWT.
2. Metode dan Sistematika Penulisan
Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan
bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir al Mishbah bukan sepenuhnya
ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn
Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk
manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas al-
Azhar, Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir
Pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Tanthawi,
23
Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb,
Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I
serta beberapa pakar tafsir lain. (Shihab, 2003:Vol.1 h.V)
Quraish Shihab tidak hanya mengutip atau mengumpulkan buah
pikir ulama-ulama yang disebutkan diatas, melainkan ia lebih
mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas kekagumannya
terhadap pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya
tafsirnya ini. Bentuk apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia
berikan setelah mengutip karya para ulama. Namun, tidak hanya
memberikan apresiasi, ia juga memberikan pendapat yang kontradiktif
dari para ulama, jika dalam prespektifnya pendapat tersebut tidak sesuai
atau salah.
Sistematika penulisanTafsir al-Misbah ini dimulai dari penulisan
ayat-ayat al-Qur’an, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Setelah itu menguraikan makna-makna penting dalam tiap kosa kata,
makna kalimat, maksud ungkapan.
Setidaknya, menurut pakar tafsir al-Azhar University, Abdul Hay
al-Farmawi, dalam penafsiran al-Qur’an dikenal empat macam metode
tafsir, yakni metode tahlili , metode ijmali, metode muqaran, dan metode
maudhu’i. (al-Farmawi, 2002:23).Jika melihat sistematika penulisan dari
Tafsir al-Misbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode
yang dipakainya dalam menafsirkan adalah metode tahlily.
24
Metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di
dalam tafsir tahlili, mufassir mengikuti urutan ayat dan surat
sebagaimana yang telah disusun di dalam mushaf ‘Utsmani. Muffasir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata yang diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Mufassir juga
mengemukakan munasabah (korelasi), ayat-ayat, dan menjelaskan
hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, membahas sabab al-
nuzul (latar belakang turunnya ayat) jika ada, dan menyampaikan dalil-
dalil dari hadits, atau dari sahabat, dan atau dari para tabi’in. (Budihardjo,
2012:132)
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu
Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna
tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat
difungsikan dalam kehidupan nyata.
Menurut Quraish Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya
dalam karya Tafsir al-Mishbah, baik tahlilymaupun maudhu’i, bahwa al-
Qur’an merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput
pembahasan ilmual-munasabat dalam karyanya ini. (Shihab, 2003:Vol.1
h.xxiii)
25
3.Corak Penafsiran
Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah,
bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini
terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an,
menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki
tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya.
Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish
Shihab menafsirkan kata ھونا dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish
Shihab menjelaskan:
“Kata ( ھونا) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata
yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna
“kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan
kelemaha lembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan ( يمشون
yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atas ( على ا>رض ھونا
bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara
jalan mereka tidak angkuh atau kasar.
Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita
dapat memasukkan dalam pengertian kata ( ھونا) haunan, disiplin lalu
lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang
26
melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang
angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan
kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan
atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad SAW, dilukiskan
sebagai seseorang yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan
turun dari dataran tinggi.Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk
memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah
disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin
sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini
digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.
(http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-di-
indonesia-tafsir.html.diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03)
27
BAB III
KAJIAN PUSTAKA
A. Nilai
1. Pengertian Nilai
Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga
merupakan alat atau media untuk menyelaraskan antara kehidupan pribadi
dengan kehidupan bermasyarakat. Menanamkan nilai yang baik juga
merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang
mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milon Rokeach dan Jams Bank
yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan
Islam adalah sebaga suatu sistem kepercayaan yang berada dalam ruang
lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak
pantas dikerjakan. ( Thoha, 1996:60)
Dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R
Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a
concept about what some one thinks important in life ( Thoha, 1996:60).
Dari pengertian yang dikemukakan oleh J.R Fraenkel, ini menunjukkan
bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai pada masyarakat satu belum
tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal tersebut dikarenakan
nilai diambil dari suatu hal yang penting bagi masyarakat tertentu.
28
Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari J.R Fraenkel
adalah sebagai berikut :
a. Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah
pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan
segengam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan.
Sedangkan segenggam emas hanya sebagai pehiasan.
b. Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi masyarakat
perkotaan.
Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari
suatu hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu
dengan yang lain. Pengertian ketiga yang dikutip Chabib Thoha dalam buku
yang sama mengenai pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba.
Menurut Sidi Gazalba pengertian nilai adalah sebagai berikut:
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi. (Thoha, 1996:61).
Pengertian di atas menunjukkan adanya hubungan antara subjek
penelitian dengan objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada
subjek yang menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang
membutuhkan, maka garam dapat dikatakan tidak memiliki nilai. Dari
beberapa pengertian di atas dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi
nilai yaitu hasil dari pendapat seseorang mengenai suatu hal.
29
2. Tata Nilai
Nilai secara umum adalah suatu faham yang sangat varian, dan lebih
bertendensi abstrak. Nilai timbul dari olahan sosial yang mempengaruhi
individu terus-menerus, sehingga nilai itu menyatu dengan diri. Tanpa
adanya interaksi tidak ada nilai. Orang yang sendirian dalam kamar yang
terkunci, baginya tidak berlaku nilai apapun. Dalam kesendirian, orang bisa
berbuat semaunya, tanpa mengaitkan nilai. Secara prediktif (perkiraan), nilai
bisa berupa pandangan, pertimbangan, keyakinan hidup, atau juga bisa
timbul dari ramuan agama, atau suatu anggapan yang implisit terikat pada
individu atau kelompok individu yang patut dan wajar. Maka, kadang suatu
nilai tidak mudah bisa dilepaskan begitu saja, karena telah menjadi bagian
atau aspek yang integral dari seluruh kepribadian seseorang. Dalam interaksi
sosial, konsep seperti kebenaran, keadilan, kepahlawanan, kesucian kasih-
sayang, dan sebagainya adalah dambaan nilai, yang membuat pergaulan
menjadi sejuk dan abstrak. Merusak nilai pada akhirnya juga merusak
norma dan merusak pergaulan. (Sukanto, 1994:45)
Nilai dan norma hanya bisa timbul, jika ada keharusan tanggung
jawab dan larangan, pada saat manusia hidup berkelompok, karena orang
yang menyendiri itu tidak terikat oleh suatu nilai, maka norma pun menjadi
tidak berguna baginya. Ini artinya, orang yang suka hidup menyendiri,
menjauhi alam dan pergaulan adalah orang yang hidup tanpa nilai dan
norma, dan juga tidak memerlukan kualitas kepribadian. Dalam konstelasi
alam semesta sebagai keseluruhan, alam dan kehidupan merupakan dua
30
komponen lingkungan hidup manusia dalam sistem alam semesta. Dengan
sistem nilai dengan nilai tertentu, manusia bisa mengubah kadar alam
menjadi sumber keidupan yang posistif (bermanfaat), atau juga bisa
menimbulkan nilai yang negatif (madharat). Dampak manfaat akan
membawa manusia kepada kebahagiaan dunia-akhirat. Sedangkan dampak
negatif bisa menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan kehidupan manusia
sendiri, juga dunia-akhirat. Oleh karena itu, mendalami tata nilai berarti
bahwa dalam menyelnggarakan kehidupan di bumi ini, orang harus
mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri sendiri,
kepada masyarakat, dan kepada alam semesta. (Sukanto, 1994:45 Op. cit)
3. Macam-macam Nilai
Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu
nilai Ilahiyah dan Insaniyah (Thoha, 1996:64). Nilai Ilahiyah merupakan
nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah
adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan
oleh manusia pula.
Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah
yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah
terhadap Tuhannya. Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum
minallah”. Kedua, nilai muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan
bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan
lingkungan sosialnya. Nilai Insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial,
31
nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik.
Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”. (Thoha,
1996:64). Menurut analisa peneliti, termasuk dalam nilai insaniyah juga
meliputi nilai disiplin lalu lintas, nilai budaya dan juga nilai tradisi.
Allah SWT berfirman:
É‹è{ uθ ø�yè ø9$# ó÷ß∆ ù&uρ Å∃ó�ãè ø9 $$ Î/ óÚÌ� ôãr&uρ Ç tã š Î=Îγ≈pg ø: $# ∩⊇∪
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-
A’raf:199). (Departemen Agama RI , 1982:177)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW
agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam
ayat di atas adalah tradisi yang baik. Kalimat al-‘urf adalah bentukan dari
kata al-ma’ruf yang berarti segala bentuk kebaikan yang telah diketahui
secara umum oleh masyarakat. Kata Al-Ma’ruf sendiri banyak disebutkan
dalam ayat al-Qur’an yang bermakna kebaikan yang selaras dengan
kebaikan yang diterima oleh manusia secara umum. Dalam hal ini al-ma’ruf
juga bermakna adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga ayat
ini memiliki banyak hubungan (munasabah) dengan ayat-ayat yang
membicarakan tentang adat/’urf yang ada di masyarakat.
(http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/12/tafsir-al-quran-al-araf-
199.html. diakses senin 8 Agustus 2016 pukul 11.38)
32
Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai
yang tidak lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektif pada kalangan
agama tertentu. Hal ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada
firman Tuhan yang terdapat pada kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada
masyarakat berbeda namun beragama sama, tentu saja aplikasi beragama
pada masyarakat tersebut tetaplah sama. Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah
dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam masyarakat yang
memiliki budaya berbeda.
Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini
diharapkan dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupaun Insaniyah yang
ada dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13.
B. Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal
dari kata latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari
kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh
suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat
33
yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2).
Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat
semua warga (Koentjaraningrat, 2009:115-118).
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama,
hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan
pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan
hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006:22),
memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata
cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok,
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan
manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk
jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.
Menurut Ralph Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006:22)
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka
dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-
batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo
Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai
kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan
perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
34
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11)
bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara
mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya ada beberapa unsur
yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29
31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada
prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial.
Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial di dalam
bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi
kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat
sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya
manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan
kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu
dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22).
Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa,
masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut society. Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah
35
sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial.
Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
2. Masyarakat dan macamnya
Masyarkat adalah satu kesatuan yang selalu berubah, yang hidup
karena proses masyarakat yang menyebabkan perubahan itu (Shadily,
1980:33). Dalam zaman biasa masyarakat mengenal kehidupan yang teratur
dan aman, disebabkan oleh karena pengorbanan sebagian kemerdekaan dari
anggota-anggotanya, baik daengan paksa maupun suka-rela. Pengorbanan di
sini dimaksudkan menahan nafsu atau kehendak sewenang-wenang, untuk
mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti
tunduk dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, dan sebagaiya)
; dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan keinsyafan akan
persaudaraan dalam kehidupan bersama itu (desa berdasarkan adat dan
sebagainya).
Masih dalam buku yang sama menurut Hassan Shadily (1980:33),
cara terbentuknya masyarakat mendatangkan pembagian dalam :
a. Masyarakat paksaan, umpamanya negara, masyarakat tawanan ditempat
tawanan dan sebagainya.
b. Masyarakat merdeka yang terbagi pula dalam :
36
1) Masyarakat alam (nature) yaitu yang terjadi dengan sendirinya : suku-
golongan (horde) atau suku (stam), yang bertalian karena darah atau
keturunan, umumnya yang masih sederhana sekali kebudayaanya.
2) Masyarakat kultur, terdiri karena kepentingan keduniaan atau
kepercayaan (keagamaan), yaitu antara lain kongsi perekonomian,
koperasi, gereja dan sebagaianya. (Shadily, 1980:33)
3. Asal Masyarakat
Bemacam-macam penyelidikan dijalankan, untuk mendapatkan jawaban
tentang asal masyarakat, tetapi menurut Hassan Shadily dalam bukunya
Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, tiada suatupun yang dapat ditegaskan
benar, semua pendapat hanya merupakan kira-kira dan pandangan saja. Antara
lain orang berkesimpulan, bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri, hidup
dalam gua atau dipulau sunyi umpamanya. Selalu ia akan tertarik kepada hidup
bersama dalam masyarakat, karena:
a. Hasrat yang berdasar naluri (kehendak yang di luar pengawasan akal)
untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, kehendak mana
akan memaksa ia mencari isteri sehingga masyarakat keluarga terbentuk.
b. Kelemahan manusia selalu terdesak ia untuk mencari kekuatan bersama,
yang terdapat dalam berserikat dengan orang lain, sehingga berlindung
bersama-sama dan dapat pula mengejar kebutuhan kehidupan sehari-hari
dengan tenaga bersama.
37
Sejak lahirnya sebagai bayi manusia telah tampak dalam kelemahannya,
kebutuhan untuk perlindungan dari ibu-bapak selalu diharapkannya,
demikian pula perlindungan keluarga itu sendiri terhadap bahaya yang
mengancam dari luar. Demikian keluarga terjadi, dan selanjutnya suku
bangsa, bangsa dan sebagainya.
c. Pendapat Aristoteles yang dikutip Hassan Shadily (1980:34): bahwa
manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai
hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama,
lebih suka daripada hidup sendiri.
Masih berhubungan dengan pendapat Aristoteles, mengingatkan akan
pikiran-pikiran Darwin yang seolah-olah diperkuat olehnya. Manusia
yang dikatakan satu keturunan dengan kera tentu saja terdapat hidup
bergolongan, karena nyata sekali bahwa kera dan sebangsanya selalu
terdapat hidup dalam bergolongan. Juga hewan-hewan yang lebih rendah
cara hidupnya seperti burung, ikan, dan lainnya telah terdapat dalam
golongan. Selanjutnya adalah kerjasama, pertolongan, penjagaan dan
pembalasan bersama terdapat dalam gerombolan semut, kera, gajah dan
sebagainya (Tiersosiologi- Dr. F Alves) dimana bukan akal tetapi naluri
yang menjadikan mereka bersatu. Sedikit sekali kiranya kekeliruan, jika
manusia yang masih sederhana cara hidup dan pikirannya dipersamakan
aturan hidupnya dengan hewan-hewan tersebut. Artinya mereka
mengadakan hidup bersama dengan tak memikir untung-rugi lebih dahulu
38
menurut prinsip ekonomi umpamanya. Yang selalu terdapat pada manusia
modern.
d. Lain dari pada Aristoteles, Hassan Shadily juga mengutip pendapat
Bergson (lahir 1859): bahwa manusia hidup bersama bukan oleh
persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat,
kedudukan dan sebagainya, demikian oleh karena pendapat ini berdasar
kepada pelajaran dialektika, yang mencoba melihat kebenaran dalam
kenyataanya dengan mengadakan perbedaan dan perbandingan. Pendapat
Aristotels yang telah kuno itu tidak berentangan dengan pendapat Bergson
yang bersifat modern ; kedua-duanya dapat diakui kebenaran dasar
pemikirannya. (Shadily, 1980:34)
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum
1. Pembawaan Sosial
Manusia sebagai makhluk masyarakat. salah satu kehilafan yang
sangat umum ialah anggapan, bahwa manusia “menurut kodratnya” adalah
egois dan bahwa ia mempunyai kebebasan yang sangat luas. Tiap orang
mengenal kekuatan “akunya” sendiri, tetapi hanya sedikit orang yang
menginsyafi, betapa erat “aku” ini dengan “kita”. Manusia baru menjadi
manusia, karena hidup bersama dengan manusia yang lain. (Bouman,
1976:16)
Bouman (1976:16) dalam bukunya Ilmu Masyarakat Umum,
mendefinisikan pembawaan manusia dalam masyarakat sebagai jumlah dari
39
segenap sifat yang berkembang dalam pergaulan dengan orang lain. Sifat-
sifat tersebut kerap kali terdapat dalam pertentangan satu dengan lainnya :
perasaan harga diri di samping kecenderungan untuk patuh atau menyerah,
simpati dan sifat-sifat penolong di samping nafsu berjuang, hasrat
menyampaikan perasaan atau pikiran di samping kecenderungan menyendiri
dan menyimpan rahasia. Justru dalam pertentangan-pertentangan inilah
tersembunyi kekayaan alam tabiat manusia yang tak ubahnya dengan semua
bentuk-bentuk hidup.
Pembawaan sosial memang meperlihatkan beberapa sifat-sifat yang
tetap, tetapi hasrat naluri adalah tetap lebih penting, karena ia bersama-sama
dengan sifat-sifat yang diperoleh kemudian, menjadi sebab dapat berubah-
ubahnya alam tabiat manusia dalam batas-batas tertentu. Bilamana
pembawaan sosial manusia tidak dapat berubah dan tidak dapat diolah lagi,
maka tidak akan mungkin ada pendidikan dan perkembangan kebudayaan.
Maka manusia akan tetap terkurung dalam kehidupan kehewanan yang tidak
bersejarah, yang terus berulang-ulang seperti suatu lingkaran yang tak
berujung berpangkal. Ini menggambarkan bagaimana alam tabiat manusia
baru dapat berkembang setelah ia bergaul dengan sesama manusia.
(Bouman, 1976:16-17)
2. Kecenderungan Meniru dan Saling Bergaul (berinteraksi)
Kecenderungan meniru termasuk kecenderungan naluriah, yang
berubah-ubah dalam pergaulan masyarakat dan yang banyak mempunyai
40
peranan yang pentin-penting. Apa yang ada dalam permainan anak-anak
masih berupa “peniruan”, jika dilihat dari sudut kemasyarakatan mempunyai
dua arti:
a. Mempertahankan bentuk-bentuk kebudayaan dan adat istiadat yang
diambil secara diam-diam oleh keturunan yang satu dari keturunan yang
lain. Hal ini terutama berlaku untuk segenap adat sopan-santun.
b. Penghematan tenaga. Tidak semua tindakan dapat didasarkan atas
keputusan kehendak yang bebas. Sebagai ganti pertimbangan yang teliti,
dapat diadakan peniruan, untuk memudahkan hidup. (Bouman, 1976:22)
Dalam abad kesembilanbelas, karena pengaruh cara berpikir ilmu
pengetahuan alam, orang telah mengemukakan pentingnya naluri bergaul
sebagai suatu keharusan hayati, yang rupanya juga dalam zaman
purbakala telah menjadi syarat untuk mencari makanan dan untuk
keamanan. Barulah kemudian orang mulai memahami golongan sebagai
kesatuan kemasyarakatan, di mana antara lain karena kecenderungan
manusia untuk bergaul, dalam hal ini pergaulan itu mempuyai peranan
sebagai tadi-sekarang dalam arti yang lebih luas- seluruh pembawaan
kemasyarakatan tiap orang dapat berkembang, menjadi penolong
terbentuknya pribadi seseorang. (Bouman, 1976:24)
3. Tolong-menolong dan Simpati
Simpati ialah kesanggupan untuk dengan langsung turut merasakan
apa yang orang lain rasakan. Batas antara ‘aku’ dan ‘kita’ jadi kabur dan
41
jadilah perasaan suka “mengerti”. Mengerti adalah semacam mengetahui, di
samping ‘langsung merasakan’ atau ‘ikut merasakan’. Pada bentuk simpati
yang murni, perasaan-perasaan yang tak sadarlah berkuasa. Perasaan-
perasaan serupa itu kebanyakan ditimbulkan dalam hubungan antara
manusia yang satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak melihat sesuatu
kejadian atau bilamana gambarnya kabur, maka tampaklah bahwa kekuatan
perasaan simpati itu berkurang. Hal ini berlaku pula bagi kecenderungan
tolong-menolong, yang demikian erat hubungannya dengan simpati.
Kecenderungan naluriah untuk menolong orang lain sebenarnya
berdasarkan perasaan simpati daripada perasaan kasihan yang bersifat
sepihak saja. Orang yang terjun ke dalam air untuk menolong seseorang
yang hendak tenggelam, biasanya bukanlah didorong oleh perasaan kasihan.
kebanyakan tolong-menolong terbatas pada pemberian pertolongan kecil-
kecil antara seseorang dengan orang lain. Bantu-membantu ini mempererat
hubungan antara sesama manusia (jugs hubungsn batin) dan oleh karena itu
menjadikan faktor dalam pembentukan perasaan bersatu padu. (Bouman,
1976:24)
4. Hasrat Berjuang
Arti hasrat berjuang ini untuk masyarakat, terutama terletak dalam
kenyataan, bahwa oleh karenannya individu menjadi manusia yang
sebenarnya. Dalam dirimya tumbuh sifat-sifat yang memungkinkannya
untuk mempertahankan diri dalam hubungan golongan. Kedua: hasrat
42
berjuang ini memperkuat perasaan persatuan, bilamana ia dapat melahirkan
pembelaan masyarakat dengan cara tersusun, baik dengan bertindak
bersama-sama terhadap ancaman dari luar, maupun dengan mengambil
tindakan-tindakan terhadap orang yang membahayakan persatuan dan
ketertiban dalam sebuah golongan.
5. Hasrat Memberitahukan dan Mudah Menerima Kesan
Hasrat untuk memberitahukan sebagai kebutuhan untuk
menyampaikan perasaan-perasaan atau pengetahuan sendiri kepada orang
lain. Hasrat memberitahukan yang sebenarnya berdasarkan kecenderungan
kemasyarakatan untuk mencari hubungan dengan orang lain. Percakapan
yang dilakukan dalam kereta api atau dalam toko tentang udara, jarang
dimaksudkan untuk betul-betul mempercakapkan keadaan iklim.
Keinginan untuk menyatakan perasaan hati dengan berbagai suara
dan isyarat, diperkuat karena adanya sifat mudah menerima kesan dari yang
diajak bercakap. Tiap hasrat menyampaikan sesuatu, menghendaki semacam
balasan atau resonansi pada orang lain. Di siniah letak arti kecenderungan
tersebut untuk kehidupan dalam masyarakat: orang mencari hubungan dan
mempererat tali hubungan itu. Kehidupan bergolongan menjadi teguh
karenanya. Sifat saling memperhatikan memajukan penyebaran pengetahuan
dalam lingkungan masyarakat; rasa ‘asing’ terhadap orang lain dalam
masyarakat itu hilang. (Bouman, 1976:29-30)
43
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dalam kehidupan
bermasyarakat terdapat aspek-aspek nilai kemasyarakatan secara umum
yang di dalamnya mencakup pembawaan sosial, saling bergaul, saling
berinteraksi, mudah menerima kesan, simpati, kerjasama, gotong-royong,
memiliki tujuan bersama, saling membutuhkan satu sama lain, serta
memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang diikat oleh kesamaan budaya,
wilayah, identitas, tradisi, sikap dan juga adat istiadat.
D. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an
Islam memandang manusia berasal dari satu diri (QS. 4:1) yang
kemudian berkembang menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa (QS. 49:13).
Baik dilihat dari asal manusia yang satu diri maupun setelah ia berkembang
biak memenuhi bumi, manusia seyogyanya tidak membeda-bedakan
sesamanya dengan dalil apapun, seperti karena perbedaan keturunan, ras, suku,
bangsa, agama, dan sebagainya. Justru perbedaan itu mendorong manusia
untuk saling mengenal, saling berhubungan, dan saling berlomba-lomba dalam
kebaikan (QS. 49:13). Perbedaan derajat manusia hanyalah di sisi Tuhan saja
sedang manusia sama sekali tidak berwenang untuk menarik garis kesenjangan
dengan cara-cara yang tidak menurut aturan Tuhan, lebih-lebih jika dengan
cara yang tidak manusiawi. Allah memandang manusia bertingkat rendah dan
tinggi, hina dan mulia sesuai dengan tinggi rendahnya persentasi dimensi
ketakwaan kepada-Nya.
44
Menurut Islam atribut inti manusia adalah kepribadian, yang mencakup
pemilikan kesadaran diri, pengarahan diri, kehendak dan intelek kreatif. Dari
pribadi-pribadi itu tersusun kelompok-kelompok manusia mulai dari unit
terkecil (keluarga), himpunan dari keluarga-keluarga (seperti RT) dan
selanjutnya dibangun suatu masyarakat besar baik terikat dalam kesamaan
bangsa, bahasa, negara, maupun persaudaraan seagama. Secara pribadi-pribadi
manusia bertanggung jawab kepada Tuhan dalam hal-hal yang berkaitan
dengan soal pengabdian (ibadah) secara vertikal kepada-Nya. Akan tetapi
dalam rangka itu sebagai makhluk, ia hidup dalam keberadaan makhluk lain,
dan hidup berdampingan dengan sesamanya. Ia selama hidup di dunia, sejak
lahir sampai mati, memeng tidak bisa terlepas dari manusia lainnya. Karena itu
manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial (yang
bermasyarakat) (QS. 2:213;49:13). Perbedaan-perbedaan yang tampak di sisi
manusia karena status sosial, ekonomi, ras, dan derajat keturunan umpamannya
tidaklah boleh terlalu ditonjolkan sehingga akibatnya akan menampilkan
berbagai kekeruhan dan perpecahan dalam masyarakat yang bersangkutan (QS.
49:11-12)
Meskipun manusia diciptakan dalam beribu-ribu tabiat dan selera dalam
keindividuan dan pribadi, namun ia difitrahkan untuk hidup bermasyarakat.
Adalah di luar jangkauan kemampuan manusia untuk hidup sendiri-sendiri.
Para peneliti menemukan, bahwa siksaan yang paling mencekam bagi manusia
adalah terkurungnya ia dalam penjara kesendirian. Demikian itu karena setiap
45
individu pada dasarnya sangat banyak tergantung pada nilai-nilai kemanusiaan
dan keberadaannya dalam kelompok.
Masyarakat dalam pandangn Islam merupakan alat atau sarana untuk
melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama.
Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi
bagi kesatuan dan kerja sama untuk menuju adanya suatu pertumbuhan
manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan. Pembinaan masyarakat
haruslah dimulai dari pribadi-pribadi, masing-masing wajib memelihara diri,
meningkatkan kualitas hidup, agar dalam hidup di tengah masyarakat itu,
disamping dirinya berguna bagi masyarakat, ia juga tidak merugikan orang
lain. Islam mengajarkan bahwa kualitas manusia dari suatu segi bisa dipandang
dari manfaatnya bagi manusia yang lain. Dengan pandangan mengenai status
dan fungsi individu inilah Islam memberikan aturan moral yang lengkap ini
didasarkan pada waktu suatu sistem nilai yang berisi norma-norma yang sama
dengan sinar tuntutan religius seperti: ketakwaan, penyerahan diri, kebenaran,
keadilan, kasih sayang, hikmah, keindahan dan sebagainya. (Kaelany,
2000:156-158)
Peran individu yang berkembang tidaklah berarti harus menganggap
diri sendiri sebagai kelas istimewa, justru sikap dan sifat kreatif yang muncul
dari diri individu itu selain dimanfaatkan untuk diri sendiri, juga hendaknya
dapat mendorong dan membantu yang kurang berkembang untuk melakukan
upaya yang lebih besar lagi. Dengan demikian, tampillah rasa toleransi dan
rasa demokrasi dalam kehidupan sosial yang luas dan saling pengertian. Dalam
46
hal ini peranan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat amatlah penting
dalam membina individu-individu itu. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
dengan jelas menyinggung betapa pentingnya peranan keluarga dalam
pembinaan pribadi manusia, seperti dikemukakan dalam QS. 31:13-19 dan QS.
66:6.
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u (# þθ è% ö/ ä3|¡ à�Ρr& ö/ ä3‹Î=÷δ r& uρ # Y‘$tΡ $yδ ߊθ è%uρ â¨$ ¨Ζ9 $# äοu‘$ yfÏtø: $#uρ $pκö� n=tæ
îπ s3Í×‾≈ n=tΒ Ôâ Ÿξ Ïî ׊# y‰Ï© āω tβθ ÝÁ÷ètƒ ©! $# !$ tΒ öΝèδ t� tΒr& tβθ è=yè ø�tƒ uρ $tΒ tβρâ÷s∆ ÷σム∩∉∪
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Departemen Agama RI, 1982:561)
Al-Qur’an menekankan “Persaudaraan orang-orang yang beriman”
bersama-sama semua implikasinya (QS. 49:10). Dengan demikian, masyarakat
Islam adalah masyarakat persaudaraan. Aturan-aturan al-Qur’an yang
berhubungan dengan hubungan-hubungan internasional di kalangan orang-
orang Islam dan non-Islam serta etika al-Qur’an mengenai perang didasarkan
atas keadilan mutlak serta mengakui kerendahan hati. Demikian pula al-Qur’an
melarang orang-orang Islam untuk memburu orang-orang non-Islam dan
memaksa mereka masuk Islam, dengan demikian memberikan kebebasan
memilih bagi mereka.
47
Iω oν#t� ø.Î) ’ Îû È Ïe$!$# ( ‰s% t ¨ t6? ߉ô© ”�9$# z ÏΒ Äc xöø9 $# 4 yϑsù ö� à�õ3tƒ ÏNθ äó≈©Ü9 $$ Î/ -∅ÏΒ ÷σムuρ «!$$ Î/
ωs)sù y7 |¡ ôϑtGó™$# Íοuρó�ãè ø9 $$Î/ 4’ s+øOâθ ø9 $# Ÿω tΠ$ |ÁÏ�Ρ$# $ oλm; 3 ª!$#uρ ìì‹Ïÿxœ îΛÎ=tæ ∩⊄∈∉∪
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. 2:256) (Departemen Agama RI, 1982:43)
Al-Qur’an telah menjadikan jihad sebagai salah satu kewajiban setiap
umatnya yang tidak bisa dihindari (QS. 22:78), dan telah menekankan bahwa
nilai manusia ini tergantung hasil kerjanya (QS. 53:39). Di samping itu, al-
Qur’an juga mengutuk kesenangan akan kehidupan duniawi (QS. 79:38-39).
Yang dimaksud dengan kutukan disini, adalah bagi orang-orang mencintai
dunia terlalu berlebih-lebihan (QS. 3:138), seperti pengeluaran yang boros dan
sia-sia, hidup mewah sehingga lupa diri, mencari kehidupan tanpa mengenal
halal dan haram, demi kesenangan apa saja dilakukan. Sebaliknya al-Qur’an
berkali-kali mengajak untuk memupuk rasa kasih sayang terhadap Tuhan (QS.
2:165), yang otomatis akan tercermin dalam kecintan terhadap sesama (QS.
2:177). Ini menjadikan kesederhanaan sebagai cita-cita kehidupan Islam,
seperti yang telah dicontohkan dengan berhasil oleh Nabi Muhammad SAW,
dan dipraktekkan oleh semua yang berjalan dalam derap langkah Islam. Hidup
sederhana bukan berarti cepat merasa puas berusaha, atau bermalas-malas,
melainkan giat menghadapi hidup dengan berbagai usaha dan upaya, tetapi
48
hasil usaha itu bukan dipergunakan sendiri untuk bermewah-mewah. (Kaelany,
2000:163-164)
Dengan demikian, tujuan yang harus dicapai melalui nilai-nilai
kemasyarakatan telah dilestarikan oleh al-Qur’an dalam konsep ukhuwah yakni
persaudaraan, konsep Islah yakni perdamaian, konsep ta’aruf yakni saling
mengenal, konsep musawah yakni persamaan derajat, konsep keadilan, dan
juga konsep jalalah yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan yang kesemuanya
telah dengan jelas dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat.
E. Surat Al-Hujurat Ayat 9-13
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
βÎ)uρ Èβ$ tGx�Í←!$ sÛ zÏΒ tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# (#θ è=tGtGø%$# (#θ ßs Î=ô¹r' sù $ yϑåκs]÷�t/ ( .βÎ* sù ôMtót/ $ yϑßγ1 y‰÷n Î)
’ n?tã 3“ t� ÷zW{ $# (#θ è=ÏG≈ s)sù ÉL ©9 $# Èöö7s? 4®L ym u þ’Å∀s? #’n<Î) Ì�øΒ r& «!$# 4 βÎ* sù ôNu !$sù (#θ ßsÎ=ô¹r' sù
$ yϑåκs]÷�t/ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ (# þθ äÜ Å¡ø%r& uρ ( ¨βÎ) ©!$# �= Ïtä† šÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩∪ $ yϑ‾ΡÎ) tβθ ãΖÏΒ ÷σßϑø9 $#
×οuθ ÷zÎ) (#θßs Î=ô¹r' sù t÷ t/ ö/ ä3÷ƒ uθ yzr& 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# ÷/ ä3ª=yès9 tβθ çΗxqö� è? ∩⊇⊃∪ $ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$#
(#θ ãΖtΒ#u Ÿω ö�y‚ ó¡o„ ×Π öθ s% ÏiΒ BΘ öθ s% # |¤ tã βr& (#θçΡθ ä3tƒ # Z�ö� yz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ Ö !$|¡ ÎΣ ÏiΒ > !$ |¡ ÎpΣ
# |¤ tã βr& £ ä3tƒ #Z�ö� yz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (# ÿρâ“ Ïϑù=s? ö/ ä3|¡ à�Ρr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$ uΖs? É=≈s)ø9 F{ $$Î/ ( }§ø♥Î/
ãΛôœeω $# ä−θÝ¡ à�ø9 $# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒ M}$# 4 tΒ uρ öΝ©9 ó=çGtƒ y7 Í×‾≈ s9 'ρé' sù ãΝèδ tβθ çΗÍ>≈ ©à9$# ∩⊇⊇∪ $ pκš‰r' ‾≈ tƒ
tÏ% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u (#θ ç7Ï⊥ tGô_ $# # Z��ÏW x. z ÏiΒ Çd ©à9$# āχ Î) uÙ ÷èt/ Çd©à9 $# ÒΟ øOÎ) ( Ÿωuρ (#θ Ý¡¡¡pg rB Ÿωuρ
= tGøótƒ Νä3àÒ÷è −/ $ ³Ò ÷èt/ 4 �= Ïtä†r& óΟà2߉tn r& βr& Ÿ≅à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr& $ \GøŠtΒ
49
çνθ ßϑçF ÷δÌ� s3sù 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# 4 ¨βÎ) ©!$# Ò>#§θ s? ×Λ Ïm §‘ ∩⊇⊄∪ $ pκš‰r' ‾≈ tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $‾ΡÎ) / ä3≈ oΨø)n=yz ÏiΒ
9� x.sŒ 4s\Ρé& uρ öΝä3≈ oΨù=yèy_ uρ $ \/θ ãè ä© Ÿ≅ Í←!$ t7s%uρ (# þθèùu‘$ yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ ä3tΒ t� ò2r& y‰ΨÏã «! $# öΝä39s)ø?r&
4 ¨βÎ) ©!$# îΛ Î=tã ×��Î7 yz ∩⊇⊂∪
9.“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil..
10.“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”.
11.“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12.“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
13.“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:405-419)
50
2. Gambaran Umum dan Pokok Kandungan Surat Al-Hujurat Ayat 9-13
Surat al-Hujurat terdiri dari 18 ayat, ini termasuk surat Madaniah,
surat al-Hujurat merupakan surat yang agung dan besar, yang mengandung
aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud
dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan
jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang
dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi
berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan
pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. (Qutbh, 2004:407)
Nama “al-Hujurat” termabil dari kata yang disebut pada salah satu
ayatnya (ayat 4). Kata tersebut merupakan kata satu-satunya dalam al-
Qur’an sebagaimana nama surat ini “al-Hujurat” adalah satu-satunya nama
banginya. (Shihab, 2002:567)
Tema utama surat ini adalah tentang tata krama, yakni tata krama
terhadap (1) Allah SWT, (2) Rasul SAW, (3) Sesama muslim yang taat, (4)
Sesama muslim yang durhaka, dan (5) terhadap semua manusia. Karena itu
terdapat lima kali panggilan آمنوا ين الذ أيھا يا yang terulang pada surat ini
untuk kelima macam objek tersebut. (Shihab, 2012:4)
Dalam konteks uraian tentang tema itu, maka ditemukan dalam surat
ini banyak nilai luhur yang dipaparkan, seperti tentang kesatuan
kemanusiaan, substansi Iman, demikian juga tuntunan menghadapi
perbedaan dan perselisihan, serta uraian tentang cara menghindarinya.
51
Dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai itu, akan tercipta
kehidupan bahagia bagi setiap individu sekaligus wujud dan mantap sistem
kemasyarakatan yang sejahtera. (Shihab, 2012:4)
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam telah memberikan perhatian
terhadap perlunya pembinaan masyarakat. Sehubungan dengan itu, pada
pembagian ini akan dikaji ayat-ayat yang berhubungan dengan pembinaan
masyarakat. (Nata, 2012:232)
Surat al-Hujurat merupakan salah satu dari beberapa surat yang
intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan
hidup manusia (Departemen Agama RI, 2009:844). Allah mewahyukan
surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan
aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang
muslim maupun kemanusiaan global.
Pada surat al-Hujurat ayat 9-13, dari hasil analisa peneliti di
dalamnya terkandung nilai-nilai kemasyarakatan antara lain: dalam bentuk
perintah seperti Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf
(saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam
bentuk larangan, seperti; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil
dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari keburukan, dan
menggunjing. Yang kemudian akan peneliti kaji lebih mendalam pengertian
dari masing-masing nilai tersebut menggunakan kitab tafsir kontemporer
52
yang menjadi kajian utama penelitian ini yakni Tafsir al-Misbah karya M.
Quraish Shihab.
3. Asbabun Nuzul
Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya
ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih selama
23 tahun. Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah
dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Sebab
turunnya ayat atau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) disini
dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya
ayat-ayat tertentu.
Berdasarkan rumusan di atas, bahwa sebab turun suatu ayat
adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan.
Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang
berhubungan dengan peristiwa tertentu untuk memberi jawaban terhadap
pertanyaan tertentu.( Syadali dan Rofi’i, 2000: 89-90).
Dalam kehidupan yang penuh dengan tanda tanya merupakan hal
yang tidak mustahil terjadi dikarenakan ada hukum kausal yang sudah
menjadi ketetapan mutlak. Allah SWT menjadikan segala sesuatu melalui
sebab musabab dan menurut sesuatu ukuran. Tidak seorangpun lahir dan
melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab musabab dan berbagai tahap
perkembangan. Tidak satupun yang terjadi dalam wujud ini kecuali setelah
53
melalui pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga pada perubahan pada
cakrawala manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan.
Demikian juga dengan kitab suci al-Qur’an.
Sehingga jelas bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui sebab
musabab (Asbabun nuzul), tetapi tidak semua ayat yang terdapat di Al-
Qur’an memiliki asbabun nuzul. Demikian juga dengan Surat Al-hujurat.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai Asbaun nuzul ayat, berikut ini
akan dipaparkan mengenai sebab turun dari surat Al-Hujurat ayat 9-13:
Pada ayat 9-10, riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun
berkaitan dengan pertengkaran yang mengakibatkan perkelahian dengan
menggunakan alas kaki.
ثنا القيسي ا>على عبد بن محمد ثناحد قال مالك بن أنس عن أبيه عن المعتمر حد
صلى للنبي قيل عبد أتيت لو وسلم عليه هللا حمارا وركب إليه فانطلق قال أبي بن هللاا سبخة أرض وھي المسلمون وانطلق صلى النبي أتاه فلم عني إليك قال وسلم عليه هللا
ا>نصار من رجل فقال قال حمارك نتن آذاني لقد فوهللا رسول لحمار وهللا صلى هللا لعبد فغضب قال منك ريحا أطيب وسلم عليه هللا لكل فغضب قال قومه من رجل هللا
أنھا فبلغنا قال وبالنعال وبا>يدي بالجريد ضرب بينھم فكان قال أصحابه منھما واحد فيھم نزلت
} بينھما فأصلحوا اقتتلوا المؤمنين من طائفتان وإن {
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la Al Qaisi telah menceritakan kepada kami Al Mu'tamir dari ayahnya dari Anas bin Malik dia berkata, "Seseorang mengusulkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Alangkah baiknya seandainya anda datang menjenguk Abdullah bin Ubay." Anas berkata, "Kemudian beliau pergi menjenguknya dengan mengendarai keledainya bersama-sama dengan beberapa orang Muslim, sementara Ubay tinggal di tanah yang gersang. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya, dia berkata, "Menjauhlah kamu dariku, demi Allah bau keledaimu telah menyakitiku." Seorang laki-laki dari Anshar menyahut, "Demi Allah, bau keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi
54
wasallam lebih harum daripada baumu sendiri." Anas berkata, "Lalu seorang laki-laki dari kaumnya (Ubay) angkat bicara hingga masing-masing pihak sama-sama marah dan hampir terjadi perkelahian antara mereka." Anas melanjutkan, "Mereka saling pukul memukul dengan pelepah kurma, dengan tangan dan dengan sepatu atau sandal. Anas berkata, "Berkenaan dengan mereka, maka turunlah ayat: '(Jika dua golongan antara orang-orang Mukmin berkelahi, maka damaikanlah mereka…) ' (Qs. Al Hujurat: 9). (Shohih Muslim, hadist no. 3357)
Dalam riwayat yang lain,
عنه قال ثنا معتمر قال سمعت أبي أن أنسا رضي هللا ثنا مسدد حد حد
عليه وسلم لو أتيت عبد عليه قيل للنبي صلى هللا بن أبي فانطلق إليه النبي صلى هللا هللاا أتاه النبي وسلم وركب حمارا فانطلق المسلمون يمشون معه وھي أرض سبخة فلم
عليه وسلم فقال إليك عن لقد آذاني نتن حمارك فقال رجل من ا>نصار صلى هللا ي وهللا عليه وسلم أطيب ريحا منك فغضب لعبد هللا صلى هللا لحمار رسول هللا منھم وهللا
احد منھما أصحابه فكان بينھما ضرب بالجريد رجل من قومه فشتمه فغضب لكل و وا>يدي والنعال فبلغنا أنھا أنزلت
}وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما {
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Mu'tamir berkata, aku mendengar bapakku bahwa Anas radliallahu 'anhu berkata: "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Sebaiknya Baginda menemui 'Abdullah bin Ubay." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya dengan menunggang keledai sedangkan Kaum Muslimin berangkat bersama Beliau dengan berjalan kaki melintasi tanah yang tandus. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya, ia berkata: "Menjauhlah dariku, demi Allah, bau keledaimu menggangguku". Maka berkatalah seseorang dari kaum Anshar diantara mereka: "Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik daripada kamu". Maka seseorang dari kaumnya marah demi membela 'Abdullah bin Ubay dan ia mencelanya sehingga marahlah setiap orang dari masing-masing kelompok. Saat itu kedua kelompok saling memukul dengan pelepah kurma, tangan, dan sandal. Kemudian sampai kepada kami bahwa telah turun ayat QS. Al Hujurat: 10 yang artinya ("jika dua kelompok dari kaum muslimin berperang maka damaikanlah keduanya"). (Shahih Bukhari, hadist no. 2494)
Menurut Quraish Shihab (2002:587-598), riwayat di atas tidak
berarti bahwa bukan hanya peristiwa itulah yang dikomentari atau
mengakibatkan turunnya ayat di atas. Kasus di atas disebut sebagai Sabab
55
Nuzul, dalam arti kejadian di atas termasuk salah satu contoh yang dicakup
pengertiannya oleh ayat di atas.
Pada ayat 11, dalam riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Bani Salamah. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di
Madinah orang-orang mempunyai dua atau tiga nama.
ثنا ثنا إسماعيل حد عبي عن ھند أبي بن داود حد ثني قال الش اك بن جبيرة أبو حد ح الض سلمة بني في نزلت فينا قال
} با>لقاب تنابزوا و* {
رسول قدم قال صلى هللا ث,ثة أو اسمان وله إ* رجل منا وليس المدينة وسلم عليه هللا رسول يا قالوا ا>سماء تلك من باسم منھم أحد دعي إذا فكان ھذا من يغضب إنه هللا فنزلت قال
} با>لقاب تنابزوا و* {
Telah menceritakan kepada kami Isma'il telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu Hind dari Asy Sya'bi ia berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Jabirah bin Adl Dlahak ia berkata, "Telah turun ayat berkenaan dengan kami, yakni Bani Salamah: '(Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan..) ' (Qs. Al Hujuraat: 11). Abu Jabirah berkata, "Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di kota Madinah, tidak seorang laki-laki dari kami yang mempunyai nama kecuali memiliki nama lebih dari dua atau tiga. Dan jika salah seorang dari mereka dipanggil dengan salah satu nama tersebut mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah karena panggilan itu." Maka turunlah ayat: '(Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan) '. (Musnad Ahmad, hadist no. 17572)
Dalam riwayat yang lain,
ثنا عبد حد ثنا البصري الجوھري إسحق بن هللا شعبة عن الھروي صاحب زيد أبو حدعبي سمعت قال ھند أبي بن داود عن اك بن جبيرة أبي عن يحدث الش ح قال الض
جل كان فنزلت قال يكره أن فعسى ببعضھا فيدعى والث,ثة ا*سمان له يكون منا الر اdية ھذه
} با>لقاب تنابزوا و* {
56
اك بن ثابت أخو ھو جبيرة أبو صحيح حسن حديث ھذا عيسى أبو قال ح خليفة بن الضبيع بن سعيد زيد وأبو أنصاري ثنا ثقة بصري الھروي صاحب الر يحيى سلمة أبو حد
ثنا خلف بن ل بن بشر حد بن جبيرة أبي عن الشعبي عن ھند أبي بن داود عن المفضاك ح صحيح حسن حديث ھذا عيسى أبو قال نحوه الض
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ishaq Al Jauhari Al Bashri telah menceritakan kepada kami Abu Zaid teman Al Harawi, dari Syu'bah dari Dawud bin Abu Hind berkata: Aku mendengar Asy Sya'bi menceritakan dari Abu Jabirah bin Adl Dlahhak berkata: Seseorang dari kami memiliki dua atau tiga nama lalu dipanggil dengan salah satunya dan mungkin ia tidak suka. Abu Jabirah berkata: Lalu ayat ini turun: "Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (keburukan)." (Al Hujuraat: 11) Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. Abu Jabirah adalah saudara Tsabit bin Adl Dlahhak bin Khalifah Al Anshari. Abu Zaid Sa'id bin Ar Rabi', teman Al Harawi, adalah orang Bashrah tsiqah. Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal dari Dawud bin Abu Hind dari Asy Sya'bi dari Abu Jabirah bin Adl Dlahhak sepertinya. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. (Sunan Tirmidzi, hadist no. 3191)
Kemudian ayat 12, dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang apabila selesai makan ia
terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang
mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang
seseorang mengumpat, menceritakan keaiban orang lain. Diriwayatkan oleh
Ibnu Mundzil yang bersumber dari Ibnu Juraij. (Saleh, dkk, 1988:474-475)
Dan ayat 13, Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah
pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah
seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan
alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang
merupakan salah seorang bekas budak mereka. (Shihab, 2002:616)
57
Diriwayatkan oleh Abu Mulaikah bahwa tatkala terjadi Pembebasan
Mekah, yaitu kembalinya negeri Mekah di bawah kepemimpinan Rasulullah
SAW pada tahun 8 Hijriyah, maka Bilal disuruh Rasulullah SAW untuk
mengumandangkan adzan. Ia memanjat Ka’bah dan mengumandangkan
adzan, berseru kepada kaum muslimin untuk shalat berjamaah. ‘Attab bin
Usaid ketika melihat Bilal naik ke atas Ka’bah untuk beradzan, berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak
sempat menyaksikan peristiwa hari ini.” Haris bin Hisyam, ia berkata,
“Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk beradzan kecuali
burung gagak yang hitam ini.” Maksudnya mencemoohkan Bilal karena
warna kulitnya yang hitam. Maka datanglah Malaikat Jibril memberitahukan
kepada Rasulullah SAW, apa yang mereka ucapkan itu. Maka turunlah ayat
ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan,
kepangkatan, kekayaan, keturunan dan mencemoohkan orang-orang miskin.
Diterangkan pula bahwa kemuliaan itu dihubungkan dengan ketakwaan
kepada Allah. (Departemen Agama RI, 2009:419-420)
4. Munasabah
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah) dan
kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). ia juga berarti hubungan atau
persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu al-Qur’an yang
digunakan untuk mengetahui secara keseluruhan dan latar belakang
penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab sebagaimana dikutip
Baidan bahwa munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-
58
hal tertentu dalam al-Qur’an baik surat maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya (Baidan, 2010:184-185).
Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan
antara beberapa ayat atau surat al-Qur’an baik sebelum maupun sesudahnya.
Hubungan tersebut bisa berupa hubungan am (umum) dan khas (khusus),
antara yang abstrak dan yang kongkrit, antara sebab dan akibat, antara yang
rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.
Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan macam-
macam munasabah ini dikembalikan pada derajat kesesuaian (tamatsul
atautasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu
terjadi pada masalah-masalah yang satu sebabnya dan ada kaitan antara yang
awal dan akhirnya, maka munasabah ini dapat dipahami dan diterima akal.
Sebaliknya jika munasabah itu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya
dan masalahnya, tidak ada keserasian antara satu dengan lainnya, maka hal itu
dapat dikatakan berhubungan (tanasub) karena sebagaian ulama mengatakan:
munasabah adalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia
dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya” (Usman, 2009:161).
Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabah termasuk hasil ijtihad mufasir
bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan
(i’jaz) al-Qur’an dan rahasia retorika (makna) yang dikandungnya (Sapina dan
M. Karman, 2002:161-162)
59
a. Surat Al-Hujurat ayat 9
βÎ)uρ Èβ$ tGx�Í←!$ sÛ z ÏΒ tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# (#θ è=tGtGø%$# (#θ ßs Î=ô¹r' sù $ yϑåκs]÷�t/ ( .βÎ* sù ôMtót/ $ yϑßγ1 y‰÷n Î)
’ n?tã 3“t� ÷zW{ $# (#θ è=ÏG≈ s)sù ÉL ©9 $# Èöö7s? 4®L ym u þ’Å∀s? #’n<Î) Ì�øΒ r& «!$# 4 βÎ* sù ôNu !$ sù (#θ ßs Î=ô¹r' sù
$ yϑåκs]÷�t/ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ (# þθ äÜÅ¡ ø%r& uρ ( ¨βÎ) ©!$# �=Ïtä† šÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩∪
“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan ishlah sebanyak dua
kali. Yang pertama ( فاصلحٮابينھما ) faashlihuu bainahumaa tanpa diikuti
dengan kata (بالعدل ) bi al ’adl/ dengan adil. Hal ini tidak berarti bahwa
ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja yang
kedua lebih ditekankan atau lebih keras lagi diperintahkan untuk berlaku
adil. ( فاصلحٮابينھما بالعدل ) faashlihuu bainahumaa bi al ’adli wa aqsithuu,
hal ini dikarenakan yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap
kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama.
Menurut Quraish Shihab (2002:597), kata al muqsithiin terambil dari
kata qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara para ulama
mempersamakan makna dasar qisth dan ‘adl, dan ada juga yang
membedakannya dengan berkata bahwa al qisth adalah keadilalan yang
60
diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka
semua senang. Sedang ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. (Shihab, 2002:597)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Allah memerintahkan untuk melakukan islah diantara dua kelompok
mukmin yang bertikai dan dengan diletakkannya ‘adl sebelum qisth dapat
diartikan bahwa Allah SWT tetap mememerintahkan untuk bertindak adil
meskipun menyakitkan atau membuat tidak senang pada salah satu pihak.
Tetapi Allah lebih senang apabila keadilan dapat dicapai sekaligus dapat
menjadikan semuanya baik-baik saja atau bahkan lebih baik.
b. Surat Al-Hujurat ayat 10
$ yϑ‾ΡÎ) tβθãΖÏΒ ÷σßϑø9 $# ×οuθ ÷zÎ) (#θ ßs Î=ô¹r' sù t÷ t/ ö/ ä3÷ƒ uθ yzr& 4 (#θà)?$#uρ ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tβθ çΗxqö� è? ∩⊇⊃∪
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan
perdamaian antara dua kelompok orang-orang beriman, ayat di atas
menjelaskan mengapa hal itu perlu dilakukan. Hal tersebut perlu dilakukan
dan ishlah perlu ditegakkan bagi orang-orang yang beriman meskipun tidak
seketurunan. Karena hubungan setiap manusia merupakan saudara. (Shihab,
2002:598)
61
c. Surat Al-Hujurat ayat 11
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#θ ãΖtΒ#u Ÿω ö� y‚ ó¡o„ ×Π öθs% ÏiΒ BΘ öθ s% # |¤ tã βr& (#θçΡθ ä3tƒ # Z�ö�yz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ
Ö !$ |¡ÎΣ ÏiΒ > !$ |¡ ÎpΣ # |¤ tã βr& £ä3tƒ # Z�ö�yz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (# ÿρâ“ Ïϑù=s? ö/ ä3|¡ à�Ρr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$ uΖs?
É=≈s)ø9 F{ $$Î/ ( }§ø♥Î/ ãΛôœeω$# ä−θÝ¡ à�ø9 $# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒ M}$# 4 tΒuρ öΝ©9 ó= çGtƒ y7 Í× ‾≈s9 'ρé' sù ãΝèδ
tβθ çΗÍ>≈ ©à9$# ∩⊇⊇∪
“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan ishlah
akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas memberi petunjuk tentang
beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian.
(Shihab, 2002:605)
d. Surat Al-Hujurat ayat 12
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u (#θ ç7Ï⊥ tGô_ $# # Z��ÏW x. z ÏiΒ Çd ©à9$# āχÎ) uÙ ÷èt/ Çd©à9 $# ÒΟøOÎ) ( Ÿωuρ
(#θ Ý¡¡¡pg rB Ÿωuρ =tGøótƒ Νä3àÒ ÷è −/ $ ³Ò÷èt/ 4 �=Ïtä†r& óΟà2߉tn r& βr& Ÿ≅à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr&
$ \GøŠtΒ çνθ ßϑçF ÷δ Ì� s3sù 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# 4 ¨βÎ) ©!$# Ò>#§θ s? ×Λ Ïm§‘ ∩⊇⊄∪
62
“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu.
Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi. Karena itu panggilan
mesra kepada orang-orang beriman diulangi untuk kelima kalinya. Di sisi
lain, memanggil dengan panggilan buruk “yang telah dilarang oleh ayat
yang lalu” boleh jadi panggilan/gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang
tidak berdasar. (Shihab, 2002:608)
e. Surat Al-Hujurat ayat 13
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $ ‾ΡÎ) / ä3≈ oΨø)n=yz ÏiΒ 9� x.sŒ 4 s\Ρé& uρ öΝä3≈ oΨù=yèy_ uρ $\/θ ãè ä© Ÿ≅ Í←!$ t7s%uρ (# þθ èùu‘$ yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ ä3tΒ t� ò2r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39 s)ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛÎ=tã ×�� Î7yz ∩⊇⊂∪
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama
muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang prinsip dasar hubungan
antar manusia. Karena itu, ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan
63
yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia.
(Shihab, 2002:615)
64
BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM SURAT AL-
HUJURAT AYAT 9-13 MENURUT TAFSIR AL-MISBAH
A. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Perintah
1. Al-Islah (Perdamaian)
Salah satu tuntutan Allah SWT yang tertera dalam kitab suci Al-
Qur’an adalah perdamaian. Perdamaian dalam Al-Qur’an umumnya disebut
الصلح ) ) ash-sulh, seakar dengan ( صلحlا ) al-ishlah (perbaikan) dan (
مصلح( ) ash-shalah (kebaikan). Pelaku perdamaian disebut ( الصلح muslih,
dan orang yang berbuat baik disebut ( صالح) shalih. Ayat mengenai
perdamaian disebut sebanyak 180 kali dalam Al-Qur’an pada surat yang
berbeda-beda. Kata yang sepadan dengan ( الصلح ) ash-sulh adalah (
as-salamah ( الس,مة ) as-silm (perdamaian) yang seakar dengan kata (السلم
(aman/tentram) dan ( .l Al-Islam (kepasrahan/kepatuhan)س,ما(
Konsep perdamaian secara umum hanya terbatas dalam hubungan
internasional dan hubungan antar faksi yang terkadang menimbulkan
peperangan atau pertikaian sehingga memerlukan perdamaian. Akan tetapi
al-Qur’an, memperkenalkan konsep perdamaian dalam lingkup yang lebih
luas dan terpadu dengan berbagai unsur yang sering terkait dengan masalah-
65
masalah perdamaian itu sendiri ( Majid, 2000:144). Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Hujurat ayat 9 berikut:
βÎ)uρ Èβ$ tGx�Í←!$ sÛ z ÏΒ tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# (#θ è=tGtGø%$# (#θ ßs Î=ô¹r' sù $ yϑåκs]÷�t/ ( .βÎ* sù ôMtót/ $ yϑßγ1 y‰÷n Î)
’ n?tã 3“t� ÷zW{ $# (#θ è=ÏG≈ s)sù ÉL ©9 $# Èöö7s? 4®L ym u þ’Å∀s? #’n<Î) Ì�øΒ r& «!$# 4 βÎ* sù ôNu !$ sù (#θ ßs Î=ô¹r' sù
$ yϑåκs]÷�t/ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ (# þθ äÜÅ¡ ø%r& uρ ( ¨βÎ) ©!$# �=Ïtä† šÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩∪
“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Dari ayat tersebut dapat diambil kata kunci (ا أصلحو ) aslihu terambil
dari kata ( أصلح ) aslaha yang asalnya adalah ( صلح ) shaluha. Dalam
kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata ( فسد )
fasada, yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian,
shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya
manfaat, sedang ( إص,ح ) islah adalah upaya menghentikan kerusakan atau
meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.
Memang ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau
agar ia dapat berfungsi dengan baik. Kursi, misalnya, harus memiliki kaki
yang sempurna baru dapat berfungsi dengan baik dan dapat bermanfaat. Jika
salah satu kaki kursi tersebut rusak, maka perlu dilakukan islah / perbaikan
66
agar ia dapat berfungsi dengan baik serta bermanfaat sebagai kursi. Dalam
konteks hubungan antar-manusia, nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antara dua pihak retak
atau terganggu, akan terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak
berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut
adanya islah yakni perbaikan agar keharmonisan pulih dan, dengan
demikian, terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut dan sebagai
dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan. (Shihab, 2002:596)
Ali Nurdin (2006, 278-279) dalam bukunya menerangkan bahwa
ayat ini memerintahkan komunitas mukmin agar menciptakan perdamaian di
lingkungan dalam masyarakat mereka. Jika ada dua golongan dari orang-
orang mukmin berperang, orang-orang mukmin diperintahkan agar
menghentikan mereka dari peperangan, dengan nasihat atau dengan
ancaman dan atau dengan sanksi hukum. Dengan kata lain, orang-orang
mukmin yang lain mendamaikan kedua golongan mukmin yang berperang
itu dengan mengajak kepada hukum Allah dan meridai dengan apa yang
terdapat di dalamnya, baik yang berkaitan dengan hak-hak maupun
kewajiban-kewajiban dengan adil.
Tetapi, jika salah satu kelompok enggan menerima perdamaian
menurut hukum Islam dan melanggar dengan apa yang telah ditetapkan
Allah tentang keadilan bagi makhluknya, maka kelompok itu boleh
diperangi sehingga tunduk dan patuh kepada hukum Allah, dan kembali
kepada perintah Allah yaitu perdamaian. Jika kelompok itu kembali kepada
67
hukum dan perintah Allah, maka orang-orang mukmin harus mendamaikan
kedua kelompok itu dengan jujur dan adil, dan menghilangkan trauma
peperangan agar trauma peperangan agar permusuhan diantara keduanya
tidak menimbulkan peperangan lagi diwaktu yang lain. Oleh karena itu,
perlu diberikan catatan khususnya kepada orang-orang mukmin yang
bertindak sebagai juru damai, harus berlaku adil dan jujur terhadap kedua
kelompok yang bertikai tersebut.
Dari keterangan di atas dapat diambil suatu nilai kemasyarakatan
yakni, al-Islah (perdamaian). Islah di sini yakni upaya menghentikan
kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih
banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar-manusia, nilai-nilai itu
tercermin dalam keharmonisan hubungan khususya dalam hubungan
kemasyarakatan.
2. Adil
Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar
menegakkan keadilan. Iman yang hidup mestilah dapat dibuktikan dalam
bentuk tindakan dan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan. Salah satu
pembuktiannya adalah kesediaan menjadi penegak keadilan. Keadilan mesti
ditegakkan bukan karena rasa iba atas kemiskinan, dorongan nafsu karena
kebencian, atau cinta duniawi, tetapi atas dasar faka dan peristiwa yang
terjadi ( Anwar, dkk, 2014:201). Perintah Allah secara tegas untuk berlaku
adil terdapat pada akhir surat Al-Hujurat ayat 9 berikut :
68
βÎ* sù ôNu !$ sù (#θßs Î=ô¹r' sù $yϑåκs]÷�t/ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ (# þθ äÜÅ¡ ø%r& uρ ( ¨βÎ) ©! $# �=Ïtä† šÏÜ Å¡ø)ßϑø9 $#
∩∪
“jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Dari ayat tersebut Allah SWT, memerintahkan untuk berlaku adil
dengan sebutan ‘adl dan qisth. Kata ( عدل )‘adl terambil dari kata ‘adala
yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkain huruf-huruf ini
mengandung dua makna yang bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” dan
“bengkok dan berbeda”. Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda.
Persamaan itulah yang menjadikan seorang yang adil berpihak kepada
seorang yang salah. Sayyid Qutub memberikan penekanan makna )دلالع( al-
‘adl sebagai persamaan yang merupakan asas kemanusiaan yang dimiliki
oleh setiap orang. Keadilan bagi Qutb adalah bersifat terbuka, tidak khusus
untuk golongan tertentu, sekalipun umpamanya yang menetapkan keadilan
itu seorang muslim untuk orang non-muslim (Nurdin, 2006:247-248)
Menurut Quraish Shihab (2002:597), Kata ( المقسطين ) al-muqsithin
terambil dari kata ( قسط ) qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara
ulama mempersamakan makna dasar ( قسط ) qisth dan ( عدل ) ‘adl, dan
ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa القسط ( ) al-qisth
69
adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang
menjadikan mereka semua senang. Sedang, ‘adl adalah menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Dengan
demikian win-win solution dapat merupakan salah satu bentuk dari qisth.
Allah senang ditegakkannya keadilan walau itu mengakibatkan
kerenggangan hubungan anatara dua pihak yang berselisih, tetapi Dia lebih
senang jika kebenaran dapat dicapai sekaligus menciptakan hubungan
harmonis antara pihak-pihak yang tadinya telah berselisih.
Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan islah sebanyak dua
kali. Tetapi, yang kedua dikaitkan dengan kata ( بالعدل ) bi al-‘adl/dengan
adil. Ini bukan berarti bahwa perintah islah yang pertama tidak harus
dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu ditekankan lebih
keras lagi karena yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap
kelompok yang enggan menerima islah yang pertama. Dalam menindak itu
bisa jadi terdapat hal-hal yang menyinggung perasaan atau bahkan
menganggu fisik yang melakukan islah itu sehingga jika ia tidak berhati-hati
dapat saja lahir ketidakadilan dari yang bersangkutan akibat gangguan yang
dialaminya pada upaya islah yang pertama. Dari sini, ayat di atas menyebut
secara tegas perintah berlaku adil itu. (Shihab, 2002:597)
Manusia tidak dapat hidup sendirian, selalu membutuhkan yang lain.
Keniscayaan itu melahirkan perlunya aturan hidup bersama. Hukum adalah
seperangkat peraturan bagaimana kehidupan bersama dapat dilakukan
70
dengan baik dan bermanfaat. Namun tak akan bermakna apabila tidak
diperlakukan secara sama bagi setiap orang. Di sinilah, keadilan bagi
penegak hukum menjadi hal yang wajib dilaksanakan. Dalam menegakkan
keadilan, konsep persamaan hak manusia dibuktikan. Menegakkan keadilan
dalam hukum berarti memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri
ingin diperlakukan. Bahkan, persamaan dan keadilan ini tidak hanya
dihadapan hukum, tetapi juga mencakup persamaan dihadapan Allah. Dan
persamaan itu sama sekali tidak memperhitungkan soal rizki, status sosial,
dan hal-hal lain. Dalam QS. 4:135 ditegaskan bahwa Allah memerintahkan
supaya berlaku adil di antara sesama manusia, tanpa membedakan
keturunan, kekayaan, atau kekuasaan. Kewajiban berlaku adil disebabkan
dua hal utama:
1) Keadilan adalah milik semua orang tanpa pandang bulu. Masyarakat
biasa, bangsawan, miskin, ataupun kaya haruslah mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
2) Rasulullah mengingatkan bahwa ketidakadilan hukum bisa menjadi
penyebab utama kerusakan masyarakat. Ketika hukum hanya
membela kelompok atas dan menindas kelompok bawah, maka
masyarakat berada di pintu kehancuran. Sebab, keadilan adalah salah
satu pilar utama dari bangunan masyarakat. Menegakkan keadilan
dilakukan di berbagai bidang dan dengan berbagai cara, misalnya
menjalankan pemerintahan bagi seorang pemimpin, atau memutuskan
71
perkara bagi seorang hakim. Hal itu berlaku pula di lingkungan keluarga
dan hal-hal lain. (Anwar, dkk, 2014:201)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai
kemasyarakatan yaitu adil yang dimaksud di sini adalah menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya. Adil dalam hukum berarti memperlakukan
orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan.
3. Ukhuwah (persaudaraan)
Suatu masyarakat tidak akan berdiri tegak apabila anggota
warganya tidak menjalin persaudaraan. Persaudaraan tidak akan terwujud
apabila tidak ada rasa saling mencintai dan bekerja sama. Setiap anggota
masyarakat yang tidak diikat oleh ikatan kerjasama dan kasih sayang serta
persatuan yang sebenarnya, tidak mungkin dapat bersatu untuk mencapai
tujuan bersama.
Curahan rahmat kepada suatu masyarakat khususnya masyarakat
muslim akan diberikan oleh Allah sepanjang sesama warganya memelihara
persaudaraan di antara mereka. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 10
secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara:
$ yϑ‾ΡÎ) tβθãΖÏΒ ÷σßϑø9 $# ×οuθ ÷zÎ) (#θ ßs Î=ô¹r' sù t÷ t/ ö/ ä3÷ƒ uθ yzr& 4 (#θà)?$#uρ ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tβθ çΗxqö� è? ∩⊇⊃∪
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
72
Ayat 10 ini Quraih Shihab (2002:601) menyatakan bahwa, Setelah
ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan perdamaian antara dua
kelompok orang beriman, ayat di atas menjelaskan mengapa itu perlu
dilakukan. Itu perlu dilakukan dan islah perlu ditegakkan karena
sesungguhnya orang-orang mukmin yang mantap imannya serta dihimpun
oleh keimanan, kendati tidak seketurunan, adalah bagaikan bersaudara
seketurunan, dengan demikian mereka memiliki keterkaitan bersama dalam
iman dan juga keterikatan bagaikan keturunan; karena itu, wahai orang-
orang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian antar
kelompok-kelompok, damaikanlah walau pertikaian itu hanya terjadi antara
kedua saudara kamu apalagi jika jumlah yang bertikai lebih dari dua orang
dan bertakwalah kepada Allah, yakni jagalah diri kamu agar tidak ditimpa
bencana. Baik akibat pertikaian itu maupun selainnya, supaya kamu
mendapat rahmat antara lain rahmat persatuan dan kesatuan.
Kata ( إنما ) innama digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini,
kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan.
Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar-mereka kecuali persaudaraan
itu. Kata ( إنما ) innama bisa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang
telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah
diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata ( إنما ) innama
dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara
73
pasti bahwa kaum beriman bersaudara sehingga semestinya tidak terjadi dari
pihak mana pun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu.
Kata ( إخوة ) ikhwah adalah bentuk jamak dari kata ( أخ ) akh, yang
dalam kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara atau
sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan dalam garis
keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga persamaan dalam
sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan
menjadikan para pemboros adalah saudara-saudara setan (baca QS. al-Isra’
[17]: 27). Persamaan dalam kesukuan atau kebangsaan pun mengakibatkan
persaudaraan (baca QS. al-A’raf [7]:65). Ada juga persaudaraan karena
persamaan kemakhlukan, seperti ketika Nabi Muhammad SAW.
Menamakan jin adakah saudara-saudara manusia. Beliau melarang
menjadikan tulang sebagai alat beristinja’ karena itu adalah makanan
saudara-saudara kamu dari jenis jin. Demikian sabda beliau.
Kata ( أخ ) akh itu juga biasa dijamak dengan kata (إخوان ) ikhwan.
Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak
sekandung. Berbeda dengan kata ( إخوة ) ikhwah yang hanya terulang tujuh
kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan
seketurunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim
adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan
iman dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang
74
kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi
jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa,
senasib, dan sepenanggungan.
Kata ( أخويكم ) akhawaikum adalah bentuk tasniyah dari kata ( أخ )
akh. Penggunaan bentuk tasniyah di sini untuk mengisyaratkan bahwa
jangankan banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih, harus diupayakan
islah antar mereka sehingga persaudaraan dan hubungan harmonis mereka
terjalin kembali.
Quraish Shihab (1999:489) dalam bukunya wawasan Al-Qur’an
mengemukakan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an paling tidak terdapat
empat macam persaudaraan:
1. Ukhuwah ‘ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan
kepada Allah. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa :
$ tΒ uρ ÏΒ 7π−/!#yŠ ’Îû ÇÚö‘ F{ $# Ÿωuρ 9�È∝‾≈ sÛ ç�� ÏÜ tƒ ϵø‹ ym$ oΨpg¿2 Hω Î) íΝtΒ é& Νä3ä9$ sVøΒ r&
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. (QS. Al-An’am:38)
2. Ukhuwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia
adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah
dan ibu. Rasulullah SAW. Juga menekankan lewat sabda beliau,
75
ثنا عبد حد ناد أبي عن مالك أخبرنا يوسف بن هللا أبي عن ا>عرج عن الز رضي ھريرة عنه هللا
رسول أن صلى هللا و* الحديث أكذب الظن فإن والظن إياكم قال وسلم عليه هللا تدابروا و* تباغضوا و* تحاسدوا و* تناجشوا و* تجسسوا و* تحسسوا عباد وكونوا إخوانا هللا
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk ucapan yang paling dusta, dan janganlah kalian saling mendiamkan, saling mencari kejelekan, saling menipu dalam jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan janganlah saling membelakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara." (Shohih Bukhari, hadis no. 5606)
3. Ukhuwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan. Seperti dalam Firman-Nya :
4’ n<Î)uρ >Š%tæ ôΜèδ% s{r& # YŠθèδ
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara
mereka, Hud. (QS. Al-A’raf:65)
4. Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama muslim.
Rasulullah SAW. Bersabda,
ثنا جميعا حجر بن وعلي سعيد بن وقتيبة يونس بن وسريج أيوب بن يحيى حدثنا أيوب ابن قال جعفر بن إسمعيل عن عن أبيه عن الع,ء أخبرني إسمعيل حد ھريرة أبي
رسول أن صلى هللا قوم دار عليكم الس,م قال ف المقبرة أتى وسلم عليه هللا شاء إن وإنا مؤمنين أولسنا قالوا إخواننا رأينا قد أنا وددت *حقون بكم هللا رسول يا إخوانك كيف فقالوا بعد يأتوا لم الذين وإخواننا أصحابي أنتم قال هللاتك من بعد يأت لم من تعرف رسول يا أم خيل له رج, أن لو أرأيت فقال هللا
لة غر رسول يا بلى قالوا خيله يعرف أ* بھم دھم خيل ظھري بين محج قال هللاا يأتون فإنھم لين غر ليذادن أ* الحوض على فرطھم وأنا الوضوء من محجال البعير يذاد كما حوضي عن رجال لوا قد إنھم فيقال ھلم أ* أناديھم الض بد .سحقا سحقا فأقول بعدك
76
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Suraij bin Yunus dan Qutaibah bin Sa'id dan Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail telah mengabarkan kepadaku al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, " sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita." Para Sahabat bertanya, 'Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud." Sahabat bertanya lagi, 'Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu? ' Para Sahabat menjawab, 'Sudah tentu wahai Rasulullah.' Beliau bersabda lagi: 'Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat'. Aku memanggil mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, 'Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah jauh-jauh dari sini." (Shohih Muslim hadis no. 367)
Makna dari macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah
berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an. Ukhuwah yang
secara jelas dinyatakan oleh al-Qur’an adalah persaudaraan seagama Islam,
dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama.
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa jalinan
hubungan antar sesama muslim seakan-akan hubungan tersebut bukan saja
dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat al-Qur’an disebut oleh kata al-
mu’minun), melainkan juga seakan-akan dijalin oleh persaudaraan
77
seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan
kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin persaudaraan yang
harmonis diantara mereka, dan tidak satupun yang dijadikan dalih untuk
melahirkan keretakan hubungan. Karena, persatuan dan kesatuan serta
hubungan harmonis antar-anggota masyarakat kecil atau besar akan
melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan
dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang
pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara
sebagaimana dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan.
(Shihab, 2002:601)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa Ukhuwah
(persaudaraan) yang dimaksud di sini merupakan persaudaraan yang bukan
saja dijalin oleh keimanan, tetapi juga persaudaraan yang dijalin oleh
persaudaraan sesama makhluk Allah, sesama manusia, seketurunan dan
sebangsa.
4. Ta’aruf (saling mengenal)
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $ ‾ΡÎ) / ä3≈ oΨø)n=yz ÏiΒ 9� x.sŒ 4 s\Ρé&uρ öΝä3≈ oΨù=yèy_ uρ $\/θ ãè ä© Ÿ≅ Í←!$ t7s%uρ (# þθ èùu‘$ yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ ä3tΒ t� ò2r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39 s)ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛÎ=tã ×�� Î7yz ∩⊇⊂∪
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
78
bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Dari ayat di atas dapat diambil kata kunci ( تعارفوا ) ta’arafu
terambil dari kata ( عرف ) ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang
digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia
berarti saling mengenal.
Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin
terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas
menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan iu dibutuhkan untuk
saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian
dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Anda tidak
dapat menarik pelajaran, tidak dapat saling melengkapi dan menarik
manfaat, bahkan tidak dapat saling bekerjasama tanpa saling mengenal.
Saling mengenal yang digarisbawahi oleh ayat di atas adalah “pancing”nya
bukan “ikan”nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya
karena, seperti kata orang, memberi “pancing” jauh lebih baik daripada
memberi “ikan”.
Demikian halnya dengan pengenalan terhadap alam raya. Semakin
banyak pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula rahasia-rahasianya
yang terungkap, dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menciptakan kesejahteraan lahir dan batin,
79
dunia dan akhirat. Dari sini pula sejak dini al-Qur’an menggarisbawahi
bahwa:
Hξ x. ¨βÎ) z≈|¡ΣM}$# # xöôÜuŠs9 ∩∉∪ βr& çν#u §‘ # o_øótGó™$# ∩∠∪
“Sungguh manusia berlaku sewenang-wenang bila ia merasa tidak butuh” (QS. Al-‘Alaq: 6-7). (Departemen Agama RI, 1982:598)
Salah satu dampak ketidakbutuhan itu adalah keengganan menjalin
hubungan, keengganan saling mengenal dan ini pada gilirannya melahirkan
bencana dan perusakan di dunia. (Shihab, 2002:617-618).
Dari beberapa pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
nilai kemasyarakatan yaitu Ta’aruf (saling mengenal). merupakan Ta’aruf
dengan tujuan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain
guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya
tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan
kebahagiaan ukhrawi.
5. Al-Musawah (persamaan derajat)
Prinsip persamaan dalam Islam tidak hanya sekedar retorika. Islam
datang dengan menghadirkan bahwa semua manusia adalah sama. Terutama
bila berhadapan dengan syari’ah. Yang membedakan mereka semua adalah
ketakwaannya saja (Majid, 2000:96). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat al-Hujurat ayat 13:
80
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $ ‾ΡÎ) / ä3≈ oΨø)n=yz ÏiΒ 9� x.sŒ 4 s\Ρé& uρ öΝä3≈ oΨù=yèy_ uρ $\/θ ãè ä© Ÿ≅ Í←!$ t7s%uρ (# þθ èùu‘$ yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ ä3tΒ t� ò2r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39 s)ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛÎ=tã ×�� Î7yz ∩⊇⊂∪
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Berkenaan dengan ayat 13 ini, Quraish Shihab (2002:615-617)
dalam tafsirmya al-Misbah memberi penjelasan bahwa, ayat di atas
menguraikan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu ayat
di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-
orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Allah berfirman: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, Adam dan Hawa, atau dari sperma (benih laki-laki) dan ovum
(indung telur perempuan), serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal yang mengantar kamu
untuk bantu-membantu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, walau detak
detik jantung dan niat seseorang.
81
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk
menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi
Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga
perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena
semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar
tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut pada penggalan terakhir
ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa”. Karena itu, berusahalah untuk
meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang mulia di sisi Allah. (Shihab,
2002:615-617)
Ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan
menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar
seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi daripada yang lain, bukan
saja antara satu bangsa, suku, atau warna kulit dan selainnya, tetapi antara
jenis kelamin mereka. Karena kalaulah seandainya ada yang berkata bahwa
Hawwa’, yang perempuan itu, bersumber dari pada tulang rusuk Adam,
sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu lebih tinggi derajatnya
dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang berkata demikian itu hanya
khusus terhadap Adam dan Hawwa’, tidak terhadap semua manusia karena
manusia selain mereka berdua –kecuali’Isa as. –lahir akibat percampuran
laki-laki dan perempuan.
82
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai
kemasyarakatan yaitu al-Musawah (persamaan derajat) mengandung
pengertian bahwasanya semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi
Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku, satu bangsa, warna kulit dan
yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki
dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Oleh sebab itu, tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri
lebih tinggi daripada yang lain.
B. Nilai Kemasyarakatan Dalam Bentuk Larangan
1. Mengolok-olok
Allah SWT menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh
seorang Mukmin kepada sesama saudara Mukmin. Seorang Mukmin tidak
sepatutnya mengolok-olok saudara seimannya, baik di hadapannya maupun
di belakangnya. Ia juga tidak sepatutnya menjulukinya dengan julukan yang
menyakiti hatinya. Tindakan itu sangatlah buruk. Barangsiapa tidak bertobat
setelah ia melakukannya, ia telah memburukkan jiwanya dan melakukan
kejahatan yang besar. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat
11:
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#θ ãΖtΒ#u Ÿω ö� y‚ ó¡o„ ×Π öθs% ÏiΒ BΘ öθ s% # |¤ tã βr& (#θçΡθ ä3tƒ # Z�ö�yz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ
Ö !$ |¡ÎΣ ÏiΒ > !$ |¡ ÎpΣ # |¤ tã βr& £ä3tƒ # Z�ö�yz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (# ÿρâ“ Ïϑù=s? ö/ ä3|¡ à�Ρr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$ uΖs?
83
É=≈s)ø9 F{ $$Î/ ( }§ø♥Î/ ãΛôœeω$# ä−θÝ¡ à�ø9 $# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒ M}$# 4 tΒuρ öΝ©9 ó= çGtƒ y7 Í× ‾≈s9 'ρé' sù ãΝèδ
tβθ çΗÍ>≈ ©à9$# ∩⊇⊇∪
“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
Pada ayat 11 ini, Quraih Shihab (2002:605-606) memberikan
penafsiran setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan islah
akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas memberi petunjuk tentang
beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian.
Allah berfirman memanggil kaum beriman dengan panggilan mesra: Hai
orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum, yakni kelompok pria,
mengolok-olok kaum kelompok pria yang lain karena hal tersebut dapat
menimbulkan pertikaian –walau yang diolok-olok kaum yang lemah-
apalagi boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang
mengolok-olok sehingga dengan demikian yang berolok-olok melakukan
kesalahan berganda. Pertama mengolok-olok kedua yang diolok-olok lebih
baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita, yakni mengolok-olok,
terhadap wanita-wanita lain karena ini menimbulkan keretakan hubungan
antar-mereka, apalagi boleh jadi mereka, yakni wanita yang mengolok-olok
84
itu, dan janganlah kamu mengejek siapapun –secara sembunyi-sembunyi-
dengan ucapan, perbuatan, atau isyarat karena ejekan itu akan menimpa diri
kamu sendiri dan janganlah kamu panggil-memeanggil dengan gelar-gelar
yang dinilai buruk oleh yang kamu panggil –walau kamu menilainya benar
dan indah- baik kamu yang menciptakan gelarnya maupun orang lain.
Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kefasikan, yakni panggilan buruk
sesudah iman. Siapa yang bertaubat setelah melakkan hal-hal buruk itu,
maka mereka adalah orang-orang yang menelusuri jalan lurus dan barang
siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim
dan mantap kezalimannya dengan menzalimi orang lain serta dirinya
sendiri.
Secara jelas, perintah yang merupakan larangan saling mengolok-
olok termaktub dalam kata ( يسخر ) yaskhar/memperolok-olokan yaitu
menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang
bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, atau tingkah laku.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat, mendengar, bahkan
terlibat dalam sendau-gurau. Bila hal tersebut dilakukan dalam tempat dan
waktu yang tepat serta dilakukan secara wajar, maka ia bisa menimbulkan
kedekatan dan kesenangan. Tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara
berlebihan, pada waktu dan tempat yang tidak tepat, serta dengan cara yang
tidak wajar, hal tersebut jatuh menjadi olok-olok atau menghina seseorang
85
atau kelompok lain. Jika ini terjadi, ia dapat berdampak buruk pada diri
sendiri, kelompok atau lingkungan.
Adalah realitas bahwa terdapat kecenderungan umat Islam Indonesia
untuk memperolok orang dan kelompok lain. Terdapat beberapa motif dari
orang-orang yang memperolok orang atau kelompok lain.
1. Agar menimbulkan kesan sok akrab atau dekat secara
psikologis.
2. Untuk guyonan, agar si pendengar merasa terhibur (tertawa),
sebagaimana dapat disaksikan di acara humor pada berbagai
media. Padahal disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah
bersabda, “Celakalah orang yang berbohong (memperolokkan
orang lain) agar orang lain tertawa. Ceakalah dia, celakalah dia.”
(HR Abu Dawud, Tirmizi, Darimi, Ahmad)
3. Untuk sindiran
4. Untuk menghina dan menjatuhkan mental atau kredibilitas
seseorang atau kelompok lain, baik melalui guyonan (satire atau
ironi) atau secara langsung (sarkasme).
Terkait dengan hal tersebut, setiap mukmin baik secara individual
maupun secara berkelompok, dilarang untuk memperolok orang lain atau
kelompok lain (QS. 49:11). Hal ini disebabkan belum tentu orang atau
kelompok yang diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau
86
kelompoknya. Bahkan mungkin saja, orang atau dan kelompok tersebut
lebih baik dibandingkan dengan dirinya. (Anwar, dkk, 2014:1033)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan
untuk tidak mengolok-olok yakni menyebut kekurangan pihak lain dengan
tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan,
atau tingkah laku. Karena belum tentu orang atau kelompok yang
diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau kelompoknya.
2. Mengejek
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#θ ãΖtΒ#u Ÿω ö� y‚ ó¡o„ ×Π öθs% ÏiΒ BΘ öθ s% # |¤tã βr& (#θçΡθ ä3tƒ # Z�ö�yz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ
Ö !$ |¡ÎΣ ÏiΒ > !$ |¡ ÎpΣ # |¤ tã βr& £ä3tƒ # Z�ö�yz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (# ÿρâ“ Ïϑù=s? ö/ ä3|¡ à�Ρr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$ uΖs?
É=≈s)ø9 F{ $$Î/ ( }§ø♥Î/ ãΛôœeω $# ä−θÝ¡ à�ø9 $# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒ M}$# 4 tΒuρ öΝ©9 ó= çGtƒ y7 Í×‾≈ s9 'ρé' sù ãΝèδ
tβθ çΗÍ>≈ ©à9$# ∩⊇⊇∪
“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
87
Allah SWT menyebut larangan tidak boleh mengejek terdapat pada
kata تلمزوا yang berasala dari akar kata لمزا -يلمز -لمز yang berarti memberi
isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya
langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata,
bibir, kepala, tangan, atau kata-kata yang dipahami seebagai ejekan.
(Departemen Agama RI, 2009:408)
Ayat ke 11 ini, melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri,
sedang maksudnya adalah orang lain. Menurut Quraih Shihab (2002:605-
606), redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat
dan bagaimana seharusmya seseorang merasakan bahwa penderitaan dan
kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri. Di sisi
lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan
itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang
lebih buruk daripada yang diejek itu.
Firman-Nya: ( عسى ان يكون خيرا منھم ) boleh jadi mereka yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok.
Mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar
penilaian Allah yang boleh jadi bersabda dengan tolak ukur manusia secara
umum. Memang banyak nilai yang dianggap baik oleh sementara orang
terhadap diri mereka atau orang lain justru sangat keliru. Kekeliruan itu
mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal, jika
88
mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan Allah, tentulah
mereka tidak akan menghina atau mengejek. Shihab (2002:606-607)
Demikian penulis simpulkan bahwa, nilai kemasyarakatan pada
ayat ke 11 ini, yakni Allah SWT melarang melakukan lamz terhadap diri
sendiri, padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan kalimat
anfusakum dimaksudkan bahwa sesama manusia terutama dalam kehidupan
bermasyarakat adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita
oleh saudara kita, artinya juga diderita oleh diri kita sendiri. Maka dapat
dikatakan siapa yang mengejek orang lain sesungguhnya dia telah mengejek
dirinya sendiri.
3. Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar Buruk
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#θ ãΖtΒ#u Ÿω ö� y‚ ó¡o„ ×Π öθs% ÏiΒ BΘ öθ s% # |¤tã βr& (#θçΡθ ä3tƒ # Z�ö�yz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ
Ö !$ |¡ÎΣ ÏiΒ > !$ |¡ ÎpΣ # |¤ tã βr& £ä3tƒ # Z�ö�yz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (# ÿρâ“ Ïϑù=s? ö/ ä3|¡ à�Ρr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$ uΖs?
É=≈s)ø9 F{ $$Î/ ( }§ø♥Î/ ãΛôœeω $# ä−θÝ¡ à�ø9 $# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒ M}$# 4 tΒuρ öΝ©9 ó= çGtƒ y7 Í×‾≈ s9 'ρé' sù ãΝèδ
tβθ çΗÍ>≈ ©à9$# ∩⊇⊇∪
“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
89
Larangan Allah SWT untuk tidak panggil memanggil dengan gelar-
gelar buruk terdapat pada kata kunci ( تنا بزو ) tanabazu, yang terambil dari
النبذ ) ) an-nabz, yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi
gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung
makna timbal-balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya.
Ini bukan saja karena at-tanabuz lebih banyak terjadi daripada al-lamz,
tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan
dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang
tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang
memanggilnya pula dengan gelar buruk sehingga terjadi tanabuz. Shihab
(2002:607)
Lebih lanjut menurut analisa peneliti, pada Tafsir al-Misbah
larangan tanabuz dalam ayat ini tidak serta-merta ditafsirkan mengacu pada
teks melainkan masih ada penambahan keterangan, bahwa terdapat sekian
gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, tetapi karena ia
sedemikian populer dan penyandangnya pun tidak lagi keberatan dengan
gelar itu maka di sini menyebut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama.
Misalnya, Abu Hurairah, yang nama aslinya adalah Abdurrahman ibn
Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan, al-
A’raj (si Pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Humuz
90
dan al-A’masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran, dan lain-lain. (Shihab,
2002:607)
Kata (سم lا) al-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam
arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian, ayat di atas bagaikan
menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan
sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat
keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga
yang memahami kata al-ism dalam arti tanda dan jika demikian ayat ini
berarti: “seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada
seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan
dosa yang telah dilakukannya.” Misalnya, dengan memperkenalkan
seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri dan lain-lain.
(Shihab, 2002:607)
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak panggil
memanggil dengan gelar-gelar buruk di sini, merupakan bentuk larangan
dengan menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal-balik.
Sebagaimana yang terjadi biasanya gelar buruk disampaikan secara terang-
terangan dengan memanggil yang bersangkutan, sehingga siapa yang
tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang
memanggilnya pula dengan gelar buruk sehingga terjadi tanabuz.
91
4. Berprasangka Buruk (Su’u Zann)
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u (#θ ç7Ï⊥ tGô_ $# # Z��ÏW x. z ÏiΒ Çd ©à9$# āχÎ) uÙ ÷èt/ Çd©à9 $# ÒΟøOÎ) ( Ÿωuρ
(#θ Ý¡¡¡pg rB Ÿωuρ =tGøótƒ Νä3àÒ ÷è −/ $³Ò ÷èt/ 4 �=Ïtä†r& óΟà2߉tn r& βr& Ÿ≅ à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr&
$ \GøŠtΒ çνθ ßϑçF ÷δ Ì� s3sù 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# 4 ¨βÎ) ©!$# Ò>#§θ s? ×Λ Ïm§‘ ∩⊇⊄∪
“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Dari ayat 12 surat Al-Hujurat ini dapat diambil kata kunci ( الظن )
az-zan. kata الظن adalah bentuk masdar dari kata يظن -ظن yang berarti
menduga, menyangka, dan memperkirakan. Bentuk jamaknya adalah ظنون
umunya kata ini digunakan pada sesuatu yang dianggap tercela. Ketika
sangkaan ini kuat, maka ia akan melahirkan sifat ‘ilm. Tetapi tidak bisa
disebut ‘ilm atau yakin hakiki (yakin ‘iyan) karena keyakinan hakiki hanya
bisa didapat melalui ilmu. Antara yakin dan ragu tetapi kecenderungan
terhadap keyakinan lebih kuat. Jadi kata zann diartikan dengan mengetahui
seperti dalam firman Allah Surat al-Qasas/28:39. Tetapi ketika dugaan itu
melemah, maka akan menjadi sebuah keraguan (syak). Untuk menunjukkan
keyakinan biasanya kata ini disertai dengan huruf anna atau an. Oleh karena
itu zanantu saya telah mengetahui. Kata zann memang lebih banyak
digunakan pada sesuatu yang tercela atau buruk. Zann juga berarti menuduh
92
atau berprasangka. Az-Zanin berarti tertuduh. Zann juga ditujukan pada sifat
lemah. Rajul zanun berarti lelaki yang sangat lemah dan sering berburuk
sangka. Bi’r zanun berarti sumur yang belum pasti apakah ada airnya atau
tidak. Dan zanun berarti hutang yang pemiliknya tidak yakin apakah sudah
dibayar atau belum. Dari beberapa pengertian di atas, kata zann untuk
menunjukkan sesuatu yang belum jelas dan pasti serta masih bersifat
praduga. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Dari ayat ini Allah menjelaskan agar menjauhi zann (prasangka)
karena sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa. Prasangka yang
tidak berdasar tentu meresahkan kehidupan bermasyarakat karena satu sama
lainnya saling mencurigai dan akan mengakibatkan perpecahan.
Dalam kehidupan keseharian, setiap orang pernah mempunyai
anggapan yang kurang baik terhadap orang lain atau sesuatu, baik dalam
lingkungan keluarga, tetangga, pendidikan, maupun pekerjaan. Anggapan
kurang baik inilah yang disebut sebagai prasangka buruk. Adakalanya, kita
menilai seseorang sebagai orang jahat hanya karena ia berpenampilan
urakan, atau adakalanya kita menilai seseorang sebagai orang yang tidak
berpendidikan atau kalangan miskin hanya karena ia berpenampilan
sederhana. Penilaian tersebut belum tentu benar, tetapi belum tentu juga
salah. Bila penilaian tersebut masih dalam bentuk pikiran, maka ia dapat
saja menjadi pertimbangan untuk kehati-hatian, tetapi bila ia telah
terucapkan maka ia bisa jadi bermasalah. Bakar Ibn Abdullah al-Muzani
berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar
93
kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah berdosa (fitnah).
Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu.”
(Anwar, dkk, 2014:1035)
Ayat di atas menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa, yakni
dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan
mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti
ayat di atas melarang melakukan dugaan buruk tanpa dasar karena ia dapat
menjerumuskam seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari dugaan dan
prasangka buruk. Anggota masyarakat akan lebih tenang dan tentram serta
produktif karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga
akan tersalurkan energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga
membentengi setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap hal-hal yang
baru bersifat prasangka. Dengan demikian, ayat ini mengukuhkan prinsip
bahwa: Tersangka belum dinyatakan bersalah sebelum terbukti
kesalahannya , bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti
kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadannya. Memang, bisikan-bisikan
yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi asal bisikan
tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. (Shihab,
2002:610)
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak berprasangka buruk (Su’u
Zann), hal ini karena sebagaian dugaan/prasangka itu adalah dosa, yakni
dugaan/prasangka yang tidak berdasar. Ini berarti ayat di atas melarang
94
melakukan dugaan buruk tanpa dasar karena dapat menjerumuskam
seseorang ke dalam dosa. Prasangka yang tidak berdasar tentu meresahkan
kehidupan bermasyarakat karena satu sama lainnya saling mencurigai dan
akan mengakibatkan perpecahan.
5. Mencari-cari Kesalahan
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u (#θ ç7Ï⊥ tGô_ $# # Z��ÏW x. z ÏiΒ Çd ©à9$# āχÎ) uÙ ÷èt/ Çd©à9 $# ÒΟøOÎ) ( Ÿωuρ
(#θ Ý¡¡¡pg rB Ÿωuρ =tGøótƒ Νä3àÒ ÷è −/ $³Ò ÷èt/ 4 �=Ïtä†r& óΟà2߉tn r& βr& Ÿ≅ à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr&
$ \GøŠtΒ çνθ ßϑçF ÷δ Ì� s3sù 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# 4 ¨βÎ) ©!$# Ò>#§θ s? ×Λ Ïm§‘ ∩⊇⊄∪
“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Potongan ayat yang berbunyi “و* تجسسو” berasal dari kata (جس)
jassa yang arti awalnya adalah menyentuh dengan tangan. Mendeteksi
denyut nadi seseorang untuk mengetahui kesehatannya dan memeriksa
dengan cara meraba juga makna dari jassa.( المجسة ) Al-Majassah adalah
daerah yang diraba oleh tangan. Dari kata ini muncul pengertian lain seperti
menyelidiki, meneliti, memeriksa, mengamati, dan memata-matai. (جسس)
Jasus adalah istilah untuk spionase karena tugasnya memata-matai musuh.
Al-Jassasah adalah nama binatang di lautan yang bertugas mencari (الجسسة)
berita untuk Dajjal. Sebagaian ulama menganggap sama antara hass (dengan
95
ha) dengan jass (dengan jim). Jawasul-insan adalah tangan, mata, mulut,
hidung, dan telinga, sama dengan pengertian hawasul-insan. Sebagian
membedakannya dengan kata jass lebih khusus dari hass yang berarti
mengetahui melalui apa yang dirasakan sedangkan al-jass mengetahui
sesuatu dari perasaan itu. Al-Hass hanya memeriksa dari luar sedangkan al-
jass memeriksa bagian dalam dan lebih banyak digunakan pada kejelekan.
Al-Jass mencari berita untuk orang lain dengan cara menyelidiki sedangkan
al-hass mencari untuk dirinya sendiri dengan jalan mendengar. Al-Jasus
adalah pemilik rahasia kejahatan dan an-namus pemilik rahasia kebaikan.
(Departemen Agama RI, 2009:413)
Dalam ayat ini, kalimat tajasus diartikan dengan mencari-cari
kesalahan orang lain. Mencari kesalahan orang lain biasanya berawal dari
sebuah prasangka (az-zann) buruk. Dari situ kemudian timbul ghibah
dengan menggunjingkan hasil dari zann dan tajassus tadi. Oleh karena itu,
Allah secara runtut melarang tiga perkara ini.
Quraish Shihab (2002:610), menukil pendapat dari Imam Ghazali
memberikan pemahaman bahwa larangan ini jangan tidak membiarkan
orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni, setiap orang berhak
menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian,
jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakanya itu. Lebih jelas lagi
beliau menegaskan bahwa mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir
dari dugaan negatif terhadapnya. Karena itu, ia disebutkan setelah larangan
menduga atau berprasangka.
96
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan
untuk tidak mencari-cari kesalahan, mengandung artian dilarang mencari-
cari kesalahan orang lain. Karena mencari kesalahan orang lain biasanya
berawal dari sebuah prasangka buruk. Yang kemudian dari prasangka buruk
itu timbul ghibah dengan menggunjingkan hasil dari zann dan tajassus tadi.
6. Menggunjing (Ghibah)
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u (#θ ç7Ï⊥ tGô_ $# # Z��ÏW x. z ÏiΒ Çd ©à9$# āχÎ) uÙ ÷èt/ Çd©à9 $# ÒΟøOÎ) ( Ÿωuρ
(#θ Ý¡¡¡pg rB Ÿωuρ =tGøótƒ Νä3àÒ ÷è −/ $³Ò ÷èt/ 4 �=Ïtä†r& óΟà2߉tn r& βr& Ÿ≅ à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr&
$ \GøŠtΒ çνθ ßϑçF ÷δ Ì� s3sù 4 (#θ à)?$#uρ ©!$# 4 ¨βÎ) ©!$# Ò>#§θ s? ×Λ Ïm§‘ ∩⊇⊄∪
“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Dari ayat 12 ini, Allah SWT menyebut larangan tidak boleh
menggunjing terdapat pada ( يغتب ) yaqtab. Kata yaqtab merupakan fi’il
mudari’ yang berasal dari kata ( غيبا -يغب -غب ) gaba-yagibu-gaiban yang
berarti hilang tidak terlihat. غبة الشمس (Gabatisy-syams) berarti matahari
terbenam karena tidak bisa dilihat. Kalimat ini digunakan pada sesuatu yang
hilang dari pancaindra ataupun hilang dari pengetahuan manusia. Seseorang
97
yang tidak hadir berarti dia gaib. Gaib juga berarti hal-hal yang tidak bisa
dijangkau oleh nalar manusia, tetapi bisa diketahui melalui berita para Nabi.
Allah bersifat gaib karena sifatnya yang transender. Tetapi bagi Allah tidak
ada yang gaib علم الغيوب علم الغيب وشھادة , (‘alimul-gaibi wasy-syahadah,
‘allamul-guyub). Malaikat, setan, dan jin juga disebut gaib karena tidak bisa
dilihat oleh manusia. Dari pengertian ini, seseorang yang membicarakan
kejelekan atau aib orang lain tanpa kehadiran orang yang dibicarakan itu
disebut dengan gibah. (Departemen Agama RI, 2009:413-414)
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang larangan bergibah atau
menyebut kejelekan orang lain tanpa kehadirannya. Gibah bisa
menimbulkan bahaya yang lebih besar. Para ulama membolehkan gibah
dengan syarat gibah dimaksudkan untuk kemaslahatan baik bagi dirinya
atau orang lain. Misalkan meminta fatwa atau menyebut keburukan orang
lain yang memang tidak segan menampakkan keburukannya di depan orang
lain, menyampaikan keburukan kepada yang berwenang dengan tujuan
mencegah terjadinya kemungkaran, menyampaikan keburukan kepada siapa
yang membutuhkan informasi seperti dalam khitbah (pertunangan).
(Departemen Agama RI, 2009:413-414)
Quraish Shihab (2002:162-163) dalam kitab tafsirnya mengutip
pendapat dari Thabathaba’i dalam komentarnya tentang
ghibah/menggunjing, Thabathaba’i menulis bahwa ghibah merupakan
perusakan bagian dari masyarakat satu demi satu sehingga dampak positif
98
yang diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan
berantakan. Yang diharapkan dari wujudnya masyarakat adalah hubungan
harmonis antar-anggota-anggotanya, dimana setiap orang dapat bergaul
dengan penuh rasa aman dan damai. Masing-masing mengenal anggota
masyarakat lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci
atau dihindari. Adapun bila ia dikenal dengan sifat yang mengundang
kebencian atau memperkenalkan aibnya, akan terputus hubungan dengannya
sebesar kebencian dan aib itu. Dan ini pada gilirannya melemahkan
hubungan kemasyarakatan sehingga gunjingan tersebut bagaikan rayap yang
menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga
berakhir dengan kematian.
Lebih lanjut, Thabathaba’i menulis bahwa tujuan manusia dalam
usahanya membentuk masyarakat adalah agar masing-masing dapat hidup di
dalamnya dengan satu identitas yang baik sehingga dia dapat –dalam
interaksi sosialnya- menarik dan memberi manfaat. Menggunjingnya
mengantar yang bersangkutan kehilangan identitas itu, bahkan merusak
identitasnya serta menjadikan salah seorang dari anggota masyarakat tidak
dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Dan jika pergunjingan ini
meluas, pada akhirnya beralih kebaikan menjadi keburukan dan sirna
ketenangan, keamanan, dan kedamaian bahkan obat pada akhirnya menjadi
penyakit.
Berdasarkan beberapa keteranagn di atas terkait nilai
kemasyarakatan berupa larangan Ghibah, menurut analisa penulis
99
bersumber dari kitab Tafsir al-Misbah karya Quraih Shihab (2002:613),
pendapat Thabathaba’i tersebut di atas dalam konteks larangan bergunjing,
diperolehnya kesan dari adanya kata akhih(i)/saudara. Yang mana larangan
tersebut hanya berlaku jika yang digunjing adalah seorang muslim karena
persaudaraan yang diperkenalkan disini adalah persaudaraan seiman.
Pendapat serupa dikemukakan juga oleh beberapa ulama lainnya. Akan
tetapi disini Quraish Shihab dengan argumennya tidak sependapat dengan
pendapat tersebut. Karena menurutnya kata akh/saudara yang digunakan al-
Qur’an tidak harus selalu berarti saudara seagama. Bahkan al-Qur’an
menegaskan kata seagama jika bermaksud menghilangkan kesan
persaudaraan yang tidak seagama seperti firman-Nya:
βÎ* sù (#θç/$ s? (#θãΒ$ s%r& uρ nο4θ n=¢Á9 $# (# âθ s?#u uρ nο4θ Ÿ2“9 $# öΝä3çΡ≡ uθ ÷zÎ* sù ’Îû ǃÏe$!$#
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itulah) adalah saudara-saudara kamu seagama” (QS. At-Taubah:11) (Departemen Agama RI, 1982:189)
Di sisi lain, Islam mengundang semua anggota masyarakat untuk
bekerjasama menciptakam kesejahteraan bersama. Menggunjing salah
seorang anggota masyarakat dapat melumpuhkan masyarakat itu –seperti
yang dikemukakan juga oleh Thabathaba’i. Di sisi lain, bukankah
menggunjing adalah suatu perbuatan yang tidak baik? Melakukan suatu
perbuatan buruk –terhadap siapapun ditujukan- pastilah tidak direstui
agama. Bukankah pergunjingan merupakan perlakuan tidak adil dan agama
100
memerintahkan untuk menegakkan keadilan kepada siapapun, walau
terhadap orang-orang kafir. ( Shihab, 2002:613 Op. cit)
C. Relevansi Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-Hujurat Ayat
9 -13 dengan Kehidupan Masa Kini
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim terbesar
di dunia memiliki banyak keanekaragaman agama, budaya, ras, suku dan adat
istiadat. Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia hidup di tengah-tengah
berbagai macam perbedaan. Sehingga, dengan adanya perbedaan-perbedaan
tersebut seringkali memudahkan dalam memicu berbagai konflik di tengah-
tengah kehidupan mereka jika tidak disertai dengan beberapa sikap yang
positif, yakni rasa persaudaraan, perdamaian, toleransi, keadilan, saling
menghormati satu sama dengan yang lain dan saling menghargai perbedaan
yang ada.
Sejarah mencatat, konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia
diantaranya ialah, konflik yang terjadi di Aceh, kekerasan terhadap etnis cina
di Jakarta pada Mei 1998, pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut
partai komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, perang Islam Kristen di
Maluku Utara pada tahun 1999-2003, Perang etnis antar warga Dayak dan
Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 (Chanifah, 2012:3).
Yang baru-baru ini terjadi di tahun 2016, aksi ricuh unjuk rasa pengemudi taxi
yang diwarnai tawuran dan aksi lempar batu dengan pengemudi ojek online
terkait konflik adanya wajah baru transportasi online yang dianggap merugikan
101
transportasi model lama (konvensional), tawuran antar warga Johar Baru
Jakarta Pusat, terjadi di 3 lokasi sekaligus yang hanya berselang satu jam
lamanya (Liputan6.com 19/05/2016). Kasus-kasus yang lain seperti, banyaknya
tawuran baik antar warga dalam sebuah komuditi maupun antar pelajar tingkat
SMP dan SMA, bentrok kerusuhan di kalangan mahasiswa dan politisi, serta
tidak ketinggalan aksi bom-bom terorisme yang acapkali mengatasnamakan
agama.
Fenomena seperti di atas menurut peneliti memberikan gambaran
bahwa di dalam diri masyarakat Indonesia masih belum memiliki sikap
persaudaraan, perdamaian, saling menghormati, dan persamaan sesuai dengan
ajaran al-Qur’an. Karena sampai pada hari ini masih saja dijumpai kasus-kasus
pertikaian dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat, baik itu yang
disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, maupun perbedaan ras, golongan,
maupun keyakinan. Seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Tolikara, Tanjung
Balai, dan lain sebagaianya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa kesadaran
maupun perhatian masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan pesan-
pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup masih sangat rendah dan juga nilai-
nilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an khususnya surat al-Hujurat
ayat 9-13 belum sepenuhnya diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia.
Sehingga menurut peneliti, masih sangat penting dan relevan bila nilai-niai
kemasyarakatan yang bersumber dari al-Qur’an ini diaktualisasikan oleh
masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keanekaragaman agama, budaya,
ras, suku dan adat istiadat dengan mayoritas masyarakatnya muslim.
102
Begitu juga dengan dampak yang ditimbulkan dari adanya konflik-
konflik tersebut di atas pasti akan dirasakan oleh masyarakat luas, baik yang
secara langsung terlibat maupun yang tidak. Dampak-dampak yang diakibatkan
oleh konflik dapat berupa kehancuran dari aspek fisik maupun infrastruktur.
Akan tetapi yang paling berbahaya ialah menghancurkan mentalitas
masyarakat dan bangsa yang berpotensi mengganggu keutuhan dan mengikis
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Dampak yang lain dari konflik yang terjadi, seharusnya masyarakat
harus lebih dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan. Semua itu dijadikan
ibroh ataupun refleksi bahwa adanya konflik merupakan keadaan yang tidak
enak dirasakan agar dapat diantisipasi sehingga tidak terjadi konflik lagi
dikemudian hari.
Dalam konteks tersebut, masih pentingnya arti nilai-nilai
kemasyarakatan dari tafsir ayat 9 sampai dengan ayat 13 surat al-Hujurat
dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena ayat-ayat ini
merupakan ayat-ayat yang mengkaji berhubungan dengan pembinaan
masyarakat dan juga surat al-Hujurat sendiri merupakan salah satu dari
beberapa surat yang intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak
dan pergaulan hidup manusia. Allah mewahyukan surat tersebut untuk
memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan tingkah laku umum
serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim maupun kemanusiaan
global.
103
Oleh karena itu dalam konteks seperti saat ini, dapat terealisasikannya
nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 di tengah-tengah
masyarakat merupakan solusi agar dapat terwujudnya kesejahteraan sosial
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, teraktualisasinya nilai-nilai
yaitu, Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling
mengenal), musawah (persamaan derajat), tidak mengolok-olok, tidak
mengejek, tidak panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, tidak
berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan, dan tidak menggunjing
diharapkan dapat mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih aman, tentram,
damai menuju kehidupan masyarakat Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun
Ghafuur .
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan telaah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang
terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 kajian Tafsir al-Misbah maka dapat
ditarik kesimpulan, yaitu:
Pertama, nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat dalam surat al-
Hujurat ayat 9-13, penulis menemukan sebanyak 11 nilai yang ada, terbagi
dalam dua kategori, yakni dalam bentuk perintah dan larangan. Dalam bentuk
perintah, yaitu; Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf
(saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk
larangan, yaitu; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-
gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing.
Menurut penulis, pesan al-Qur’an melalui surat al-Hujurat ayat 9-13
pada intinya adalah menyuruh umat manusia untuk menciptakan persaudaraan,
perdamaian, keadilan, persatuan umat dan sikap saling menghormati serta
melarang semua perbuatan yang dapat menimbulkan pertiakaian maupun
perpecahan yang dapat merusak tatanan hubungan antar sesama manusia dalam
masyarakat.
105
Kedua, menurut penafsiran Quraish Shihab, bahwa nilai-nilai dan pesan
yang Allah SWT sampaikan melalui surat al-Hujurat ayat 9-13 merupakan
suatu isyarat yang sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan serta hubungan
harmonis antar –anggota masyarakat kecil atau besar akan melahirkan
limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan
hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Dengan demikian,
manusia hendaknya memperhatikan apa yang telah dipesankan oleh sang
Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui dan mengenal mereka juga
kemaslahatan mereka.
Kesimpulan dari pesan yang disampaikan dalam surat al-Hujurat,
Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah membagi pesan intinya
menjadi tiga bagian besar. Pertama, menjelaskan perintah untuk melakukan
ishlah terhadap kelompok/golongan yang bertikai atau berselisih. Kedua,
menjelaskan beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya
pertikaian. Ketiga, menjelaskan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia.
Bagian pertama: perintah untuk melakukan ishlah terhadap kaum
mukminin yang bertikai.
1. Mendamaikan dua kelompok/golongan yang bertikai dalam bentuk
sekecil apapun. Dengan ishlah berarti menghentikan kerusakan atau
meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.
2. Dalam melakukan ishlah lakukanlah dengan adil. Adil yakni
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak
106
menyenangkan satu pihak. Adil dalam hukum berarti memperlakukan
orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan.
3. Ishlah perlu dilakukan dan ditegakkan, karena semua manusia pada
hakikatnya adalah bersaudara. Terlebih persaudaraan yang dijalin oleh
keimanan, persaudaraan sesama makhluk Allah, sesama manusia,
seketurunan dan sebangsa.
Bagian kedua: beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah
timbulnya pertikaian.
1. Larangan mengolok-olok, yakni menyebut kekurangan pihak lain
dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan,
perbuatan, atau tingkah laku. Karena belum tentu orang atau kelompok
yang diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau
kelompoknya.
2. Larangan mengejek siapa pun, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun
isyarat. Karena dampak buruk ejekan itu akan menimpa si pengejek,
bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk.
3. Larangan panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk dalam arti
timbal-balik. Sebagaimana yang terjadi biasanya gelar buruk
disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang
bersangkutan, sehingga siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk
itu membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan
gelar buruk.
107
4. Larangan berprasangka buruk (Su’u Zann), yakni prasangka/dugaan
yang tidak berdasar, dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup
dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang
diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
5. Larangan mencari-cari kesalahan orang lain, mencari kesalahan orang
lain berawal dari sebuah prasangka buruk. Yang kemudian dari
prasangka buruk itu timbul ghibah dengan menggunjingkan hasil dari
zann dan tajassus. Melakukan tajassus dapat menimbulkan
kerenggangan hubungan karena itu pada prinsipnya ia dilarang.
6. Larangan menggunjing (Ghibah), yakni menyebut orang lain yang tidak
hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh
yang bersangkutan. Larangan menggunjing ini tidak hanya berlaku jika
yang digunjing adalah seorang muslim, melainkan berlaku juga kepada
manusia secara umum. Menggunjing salah seorang anggota masyarakat
berarti melumpuhkan masyarakat itu sendiri.
Bagian ketiga: prinsip dasar hubungan antar manusia.
1. Al-Musawah (persamaan derajat), Semua manusia derajat
kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu
suku, satu bangsa, warna kulit dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan
pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan seorang perempuan, karena
semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh
sebab itu, tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi
daripada yang lain.
108
2. Ta’aruf (saling mengenal), Allah menciptakan manusia dari seorang
laki-laki dan perempuan, serta menjadikannya berbangsa-bangsa,
bersuku-suku supaya saling mengenal. Dengan saling mengenal
mengantar manusia untuk bantu-membantu dan saling melengkapi.
Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka
peluang untuk saling memberi manfaat, karenannya perkenalan itu
dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain
guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya
tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan
kebahagiaan ukhrawi.
Ketiga, bahwa 11 nilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an surat
al-Hujurat ayat 9-13 tersebut, bila dikontekstualkan dengan kehidupan masa
kini masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keanekaragaman agama,
budaya, ras, suku dan adat istiadat dengan mayoritas masyarakatnya muslim
masih sangat relevan, Karena sampai pada hari ini masih saja dijumpai kasus-
kasus pertikaian dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat kita, baik itu
yang disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, maupun perbedaan ras,
golongan, maupun keyakinan. Seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Tolikara,
Tanjung Balai, dan lain sebagaianya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa
kesadaran maupun perhatian masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan
pesan-pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup masih sangat rendah dan juga
nilai-nilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an khususnya surat al-
109
Hujurat ayat 9-13 belum sepenuhnya diaktualisasikan oleh masyarakat
Indonesia.
Dalam kaitanya kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Sejauh
penelaahan yang penulis lakukan, ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat yang
mengkaji berhubungan dengan pembinaan masyarakat dan juga surat al-
Hujurat sendiri merupakan salah satu dari beberapa surat yang intens dan
fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan hidup manusia.
Allah mewahyukan surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus
meletakkan aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi
orang-orang muslim maupun kemanusiaan global.
Dengan demikian dalam konteks seperti saat ini, dapat
terealisasikannya nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 di
tengah-tengah masyarakat merupakan solusi agar dapat terwujudnya
kesejahteraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain,
teraktualisasinya nilai-nilai yaitu, Islah (perdamaian), adil, ukhuwah
(persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), musawah (persamaan derajat), tidak
mengolok-olok, tidak mengejek, tidak panggil memanggil dengan gelar-gelar
buruk, tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan, dan tidak
menggunjing diharapkan dapat mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih
aman, tentram, damai menuju kehidupan masyarakat Baldatun Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafuur .
110
B. Saran-saran
Al-Qur’an merupakan kitab suci universal-berlaku untuk setiap ruang
waktu-yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Keuniversalan al-Qur’an terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau
keseluruh lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana saja. al-Qur’an al-
Karim bagaikan lautan luas yang tidak akan ada habisnya untuk dijelajahi. Isi
dan kandungannya terdiri dari berbagai pesan yang dapat membimbing dan
mengarahkan manusia untuk mengarungi kehidupannya, dari 114 surat yang
ada, kajian terhadapnya tidak pernah kering, salah satu surat dalam al-Qur’an
yang mempunyai pesan membentuk kepribadian individu dan masyarakat
adalah surat al-Hujurat.
Penelitian penulis ini tentunya tidak dapat berhenti sampai disini saja,
tentunya masih banyak pesan atau nilai yang belum terungkap dan tergali.
Maka selengkapnya ayat demi ayat, surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an
perlu dikaji dan digali lebih dalam lagi sebagai wahana khazanah keilmuan
umat Islam untuk menciptakan kondisi masyarakat yang harmonis Dar
assalam sesuai dengan aturan atau nilai yang terdapat dalam al-Qur’an
khusunya surat al-Hujurat.
Penulis merasa masih banyak yang belum terungkap dari apa yang
ditafsirkan oleh Quraish Shihab mengenai surat al-Hujurat ayat 9-13. Oleh
karena itu, penulis menyarankan penelitian lebih lanjut terhadap penafsiran
Quraish Shihab yang merupakan salah satu mufasssir ataupun cendekiawan
111
muslim Indonesia harus tetap dilakukan, baik pada surat al-Hujurat maupun
pada surat-surat yang lain, baik pada tema-tema kemasyarakatan (al-Ijtima’i)
maupun pada tema-tema yang lain.
C. Penutup
Akhirnya demikian penelitian penulis tentang nilai-nilai
kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 melalui kajian Tafsir al-
Misbah karya Quraish Shihab, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk diri
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Teriring segala puji bagi Allah
SWT atas karunia yang diberikan, sehingga penulis diberikan kekuatan,
kemudahan, dan kelancaran untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa dalam penelitian yang sederhana ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca sangatlah penulis harapkan dalam upaya memperbaiki karya
ini. Jika ada yang benar dari penelitian ini maka itu datangnya dari Allah
SWT, dan jika terdapat banyak kesalahan maka itu datangnya dari penulis.
Wallahu A’lam bii al-Sowwab...
112
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Ash-Shaabuuny. 1999. Study Ilmu Al-Qur’an. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia. Al Farisi, Zaka, dkk. 2009. Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Anwar, Rosihon, dkk. 2014. The Wisdom ; Al-Qur’an Disertai Tafsir Tematis yang Memudahkan Siapa Saja untuk memahami Al-Qur’an. Bandung: Al- Mizan.
Arifin, Tajul. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Gunung Djati Press.
Baidan, Nashruddin, 2005. metodologi penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2010. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakker, Anton, dkk. 1990. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Bouman. 1976. Ilmu Masyarakat Umum. Jakarta: Pembangunan.
Budihardjo. 2012. Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Lokus.
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Chanifah, Abu. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Surah Al-Anbiya’ ayat 107 dan Surah Al-Hujurat ayat 9- 13). Skripsi. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
Darmawan. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: DEPAG.
. 1982. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: DEPAG.
Djuretna, A. Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi menurut Emile Durkheim & Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius.
Erickelman, Dare F, dkk. 2010. Al-Qur’an Sains dan Ilmu Sosial. Terj. Lien iffah Naf’atu Fina dan Ari Hendri. Yogyakarta: Elsaq Press.
al-Farmawi, Abd al-Hayy. 1988. Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapanya.Terj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia.
113
Hamka. 1961. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang
Kaelany HD. 2005. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kementerian Agama RI. 2012. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik, Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Koentjaraningrat. 2009. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
. 1976. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
Mahfud, Chorul. 2004. Menggagas Pendidikan Multikultural. Surabaya: Radar.
Muhsin. 2004. Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam. Jakarta: al-Qalam.
Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: trigenda Karya.
Mustaqim, Abdul. 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS.
Majid, Abd. 2000. Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Teras.
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Nurdin, Ali. 2006. Qur’aic Societ: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an. Jakarta: Erlangga.
Poerwadarminta, W.J.S. 1999. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Qutbh, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qurían. Terj. Asías Yasin. Cet. I. Jilid X Jakarta: Gema Insani Press.
Raghib, As Siraji. 2010.Cara Cerdas Hafal Al-Qur‟an, Solo: Aqwam.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
. 1999. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
114
. 2006. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur’an dan Dninamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati.
. 1996. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
. 2012. Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Saleh, Qamarrudin, dkk. 1988. Asbab Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an). Bandung: Diponegoro.
Shadily, Hassan. 1980. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Surabaya: USANA.
Shalabi, Ahmad. tt. Masyarakat Islam. Surabaya : CV. Ahmad Nabhan.
Subagyo, P. Joko, 1991. Metode Penelitian dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukanto. 1994. Dinamika Islam dan Humaniora. Solo: Judika Press.
Sumadi, Suryabrata. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Soekanto, Soerjono. 2006. Emile Durkheim ; Aturan Aturan Metode Sosiologis. Jakarta: Rajawali.
Supiana dan Karman M. 2002. Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000. Ulumul Quran 1. Bandung: CV
Pustaka Setia. Taneko, Soleman B. 1984. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Jakarta: RaJawali. Toha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras. Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-di-indonesia-tafsir.html. diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03.
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03.
115
(http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/12/tafsir-al-quran-al-araf-199.html. diakses senin 8 Agustus 2016 pukul 11.38).
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist.
http://Liputan6.com/19/05/2016/Tawuran-Antar-warga.html, diakses kamis 28 Juli 2016 pukul 10.30.
116
DAFTAR SATUAN KETERANGAN KEGIATAN(SKK)
NAMA : NUR FAIZIN
NIM : 11112013
FAKULTAS / JURUSAN : TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN / P AI
NO
NAMA KEGIATAN PELAKSANAAN KETERANGAN NILAI
1. OPAK STAIN Salatiga 2012 dengan tema “Progresifitas Kaum Muda, Kunci Perubahan Indonesia”
5-7 September 2012
PESERTA 3
2. OPAK Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga dengan tema “Mewujudkan Gerakan Mahasiswa Tarbiyah Sebagai Tonggak Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
8-9 September 2012
PESERTA 3
3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan tema “Membangun Karakter Keislaman Bertaraf Internasiomal di Era Globalisasi Bahasa”
10 September 2012 PESERTA 2
4. Seminar Entrepreneurship dan
11 September 2012 PESERTA 2
117
Perkoperasian 2012 dengan tema “Explore Your Entrepreneurship Talent”
5. Achievment Motivation Training (AMT) dengan tema “Dengan AMT, Bangun Karakter Raih Prestasi”
12 September 2012 PESERTA 2
6. UPT Perpustakaan STAIN Salatiga “LIBRARY USER EDUCATION”
13 September 2012 PESERTA 2
7. Musabaqoh Lughoh ‘Arobiyah (MLA) dengan tema “Mewujudkan Potensi Berbahasa Dengan Musabaqoh Lughoh ‘Arobiyah”
17 Oktober 2012 PESERTA 2
8. Penerimaan Anggota Baru JQH dengan tema “Membentuk Paradigma Mahasiswa Qur’ani Dengan Panca Indra, Akal dan Hati”
17-18 November 2012
PESERTA 2
9. Tabligh Akbar Bertajuk “Tafsir Tematik Dalam Upaya Menjawab Persoalan Israel dan Palestina Landasan QS. Al-Fath: 26-27”
1 Desember 2012 PESERTA 2
118
10. SK Pengangkatan Pengurus Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz (JQH) STAIN Salatiga 2013
31 Januari 2013
PENGURUS (Kaderisasi
Bidang Khottul ‘Arobi)
4
11. Tafsir Tematik dengan tema “Sihir dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hukum Negara”
4 Mei 2013 PESERTA 2
12. “Sosialisasi Bos Bagi Pondok Pesantren Se Jateng Angkatan 11” oleh Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah
21-24 Mei 2013 PESERTA 4
13. Gorah Massal & Bimbingan Tilawah Nasional
24-25 Mei 2013 PESERTA
8
14. Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) ke V dengan tema “MTQ Sarana Apresiasi untuk Mencetak Insan Qur’ani”
23 Oktober 2013 PANITIA 3
15. Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH dengan tema “Kristalisasi Nilai Qur’ani Menuju Insan yang Penuh Hikmah”
23-24 November 2013
PANITIA 3
16. SK Pengangkatan Pengurus Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz (JQH) Al-Furqan STAIN Salatiga 2014
31 Januari 2014 PENGURUS (Staff Dev.
Tafsir) 4
119
17. SK Panitia dan Pemateri Tafsir Tematik JQH Al-Furqan
10 Mei 2014 PANITIA
(Ketua) 3
18. SK Panitia, Pemateri, dan Peserta Achievemen Motivation Training (AMT) OPAK STAIN Salatiga 2014
8 Agustus 2014 PANITIA (Sie. Perlengkapan)
3
19. SK Penylenggara Gebyar Seni Qur’ani JQH Al-Furqan STAIN Salatiga 2014
5 November 2014 PANITIA 4
20. Gebyar Seni Qur’aniyy Umum ke-VI Se- Jawa Tengah dengan tema “Aktualisasi Makna dan Syi’ar Al-Qur’an Sebagai Sumber Inspirasi”
5 November 2014 PESERTA (Rebana)
4
21. Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH Al-Furqan 2014
13-14 Desember 2104
PANITIA 3
22. MUJAROFADZ (Musyawaroh Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz)
25 Desember 2014 PANITIA 3
120
121
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Nur Faizin
Nama Ayah : Nasikhun
Nama Ibu : Ismiyani
Tempat / Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 14 Maret 1994
Alamat : Ling. Gintungan RT 002 / RW 005, Kel. Bandungan, Kec. Bandungan, Kab. Semarang
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
RIWAYAT PENDIDIKAN
Formal
2000 – 2006 SD N Bandungan 02, Bandungan, Kab. Semarang
2006 – 2009 SMP Qaryah Thayyibah, Tingkir, Kota Salatiga
2009 – 2012 PKBM Qaryah Thayyibah, Tingkir, Kota Salatiga
2012 – 2016 Program Sarjana (S1) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK).
Non Formal
2006 – 2015 Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga
2006 – 2009 Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga
2009– 2012 Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga