NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …
Transcript of NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …
211
NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO
The Oral Tradition of Rampi Rampo
Fitria
Kantor Bahasa Jambi
Jalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, Jambi
Pos-el: [email protected] masuk:12 November 2018, disetujui: 2 Desember 2018, revisi akhir:10 Desember 2018
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai budaya yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Masalah yang ditemukan nilai budaya apa saja yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Metode yang digunakan metode kualitatif. Dalam pengambilan data digunakan metode penelitian lapangan. Data dianalisis dengan menggunakan kajian pembacaan heuristik dan hermeneutik Semiotika Riffaterre kemudian menemukan nilai budaya kebersamaan dan rendah hati pencerminan sikap masyarakat Rantau Pandan. Nilai kebersamaan terlihat masyarakat Rantau Pandan selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, senasib sepenangungan, dan selalu bersama-sama dalam melaksanakan upacara adat. Sementara itu nilai rendah hati terlihat dari sikap masyarakat Rantau Pandan yang saling menghargai, ikhlas, dan tanpa pamrih dalam menyelesaikan suatu upacara`adat.
Kata-Kata Kunci : nilai, budaya,semiotik, heuristik, hermeneutik
AbstractThis research aims to find out cultural value reflecting the behavior of Rantau Pandan’s community. The problem of the research is what cultural values which reflect the behavior of Rantau Pandan’s community. Field research method is used in collecting the data. The method used in this study is qualitative method. Data is analyzed by using the text reading of heuristic and hermeneutic of Riffaterre semiotic which is then found cultural value in form of togetherness and humility as the reflection of Rantau Pandan’s community behavior. The value of togetherness can be seen through the behavior of the community in prioritizing public importance than individual one. They are always together in conducting traditional ceremonies. Furthermore, the humility mirrored from Rantau Pandan’s community which respect and sincere in conducting traditional ceremonies. Keywords : value, cultural, semiotic, heuristic, hermeneutic
212
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
I. PENDAHULUAN
Saat ini banyak sastra lisan di Indonesia
yang telah hilang dan hampir terlupakan
oleh masyarakat pendukungnya. Suripan
Budi Hutomo mengatakan fenomena itu
disebut sebagai ‘mutiara yang terlupakan’
(Hutomo, (1991). hlm. 3). Di samping ada
sastra lisan yang hilang, masih ada sastra
lisan yang bertahan dan telah mengalami
perubahan sesuai dinamika pemiliknya. Taum
juga mengatakan saat ini banyak kebudayaan
di Indonesia (termasuk di dalam sastra
lisan) masih tetap diciptakan dan dihayati
sebagai sarana komunikasi yang memainkan
peranan penting dalam situasi masa kini, yang
mengekpresikan situasi kekinian (2011, hlm.
13). Untuk itu, perlu diadakan pelestarian
sastra lisan untuk menggali dan mengkaji isi
yang terkandung sebagai sumber informasi
budaya baru sehingga dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan bangsa. Salah satu cara
yang dapat dilakukan dengan menggali nilai-
nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam tulisan
Muhammad Alih Fakih A.R. (Lampung Post ,17 Februari 2008) mengatakan
sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya
masyarakat pemiliknya sastra lisan tidak
hanya mengandung unsur-unsur keindahan
(estetik), tetapi juga mengandung berbagai
informasi tentang nilai-nilai kebudayaan
sastra yang bersangkutan. Oleh karena
itu, sebagai salah satu data budaya, sastra
lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang
memahami salah satu atau keseluruhan unsur
kebudayaan daerah yang bersangkutan.
Di samping itu dengan mempertahankan
nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam
suatu sastra juga akan dapat mengatur
keserasian, keselarasan, serta keseimbangan
dalam masyarakat pemiliknya. Karena
dalam berperilaku sehari-hari individu selalu
berpedoman pada nilai-nilai atau norma-
norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai tersebut
dapat mempengaruhi tindakan prilaku
manusia, baik perorangan, kelompok ataupun
masyarakat secara keseluruhan tentang baik
buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
Sastra lisan Rampi Rampo yang ditemukan
di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo,
Provinsi Jambi mengandung nilai-nilai budaya
masyarakat pemiliknya. Secara etimologis
kata Rampi Rampo berasal dari kata ampi yang berarti tampi, sedangkan Rampo artinya hampa/kosong/tidak berisi. Jadi
dapat diartikan secara etimologisnya Rampi Rampo merupakan satu kegiatan memisahkan
padi yang bernas dari padi yang hampa.
Ditinjau dari segi sastranya Rampi Rampo merupakan bentuk pantun yang bersahut-
sahutan yang diiringi oleh musik seperti
biola seperti biola, gedab, dan gong. Seiring
dengan perkembangan zaman Rampi Rampo mulai diiringi dengan biola dan keyboard.
Sebelum adanya istilah Rampi Rampo ini
dahulunya disebut sebagai lagu sakral yang
hanya bisa disampaikan ditempat-tempat
tertentu (wawancara dengan Subki Abu Bakar
tanggal 5 Mei 2014) . Kemudian berkembang
oleh seorang yang bernama Nuriah dari Desa
Lubuk Mayang, Kecamatan Rantau Pandan,
Kabupaten Bungo. Setelah itu barulah Rampi Rampo ini bisa dijumpai di berbagai acara,
seperti pesta perkawinan dan khitanan.
Dalam perkembangannya Rampi Rampo yang disampaikan tidak banyak yang berubah,
yang berubah hanya isi Rampi Rampo sudah
213
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
diatur sendiri-sendiri sesuai dengan keinginan
pemainnya. Rampi Rampo yang disampaikan
umumnya berima ab–ab terdiri dari empat
baris, baris pertama dan kedua merupakan
sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan
isi. Menurut salah satu tokoh adat Subki dalam
hal penyampaiannya Rampi Rampo berbeda
dengan jenis pantun pada umumnya. Rampi Rampo ini disampaikan dengan irama naik
turun yang menyejukkan hati karena tujuan
Rampi Rampo sendiri untuk menyampaikan
perasaan hati yang sesungguhnya kepada
pendengarnya.
Dalam pertunjukkannya Rampi Rampo ini biasanya berisi pantun muda mudi yang
diucapkan secara spontan sesuai dengan
kondisi atau plot cerita pada saat pertunjukkan.
Dalam wawancara penulis dengan salah satu
tokoh adat Subki Abubakar di Desa Rantau
Pandan pada tanggal 14 Juni 2014 mengatakan
Rampi Rampo berisikan pantun-pantun muda
mudi dengan tidak ada batasan usianya.
Bertanak di tengah halamanAmbil penudung penutup nasiAyam sudah jinak makan di TanganTidak disangka terbang tinggi
Dari kapas menjadi benangBenang menjadi kainKita sama-sama lepas jangan dikenangSama-sama cari yang lain
Saya ke padang membeli minyakMinyak dibeli tiga sukuKerbau jalang liar hendak jinakSangat sayang kandang sudah ditunggu
Ditinjau dari segi pertunjukkan Rampi Rampo berupa musik vokal yang menyajikan
pantun-pantun dalam bentuk bersahutan (call and response) antara laki-laki dan perempuan.
(dikutip dari tulisan Utami dkk, 2012, hlm. 2).
Rampi Rampo ini biasanya dipertunjukkan
pada aktivitas-aktivitas masyarakat seperti,
pesta perkawinan, acara adat,berselang padi1.
Pada acara berselang ini biasanya sambil
menanam padi para bujang gadis berbalas
pantun dan anggota masyarakat lainnya
menyanyikan Rampi Rampo. Seiring dengan
perkembangan zaman Rampi Rampo telah
dilakukan oleh semua kalangan, baik tua
maupun muda, walaupun didominasi oleh
kalangan muda. Pertunjukkan Rampi Rampo
ini biasanya diikuti juga dengan tari tauh.2
Dalam perkembangannya sekarang ini Rampi Rampo tidak banyak yang berubah hanya
pantun yang disampaikan sudah diatur sendiri
disesuaikan dengan keinginan si pelantun.
Selain itu Rampi Rampo juga sebagai sarana
hiburan. Salah satunya terlihat dalam pergaulan
muda mudi yang dapat menyampaikan isi hati
mereka kepada pasangannya. Rampi Rampo tidak membosankan karena antara pemain dan
penonton yang berada disekitar pertunjukkan
1 Upacara sastraonal masyarakat Rantau Pandan yang dilakukan
pada saat menanam padi dwah atau di ladang (umo) yang
dilakukan secara bersama-sama atau bergotong-royong ketika
musim panen tiba. Kegiatan ini telah dilakukan masyarakat
Rantau Pandan semenjak dahulunya. Kegiatan ini dimulai dari
malam hari dengan mengajak masyarakat untuk berkumpul di
rumah yang memiliki sawah. Sementara ibu-ibu mempersiapkan
makanan, para bujang gadis bisa saling ngobrol, supaya mereka
bisa saling mengakrabkan diri. Keesokan paginya barulah
kegiatan menanam padi dilakukan.
2 Tari yang menggambarkan pergaulan muda mudi yang
diwariskan turun temurun dan populer di Kabupaten Bungo.
Tauh biasanya ditarikan ketika menyambut Rajo, Berelek
Gedang, dan Beselang Gedang (gotong royong menuai padi).
Tari ini dimainkan oleh empat pasang, laki-laki dan perempuan
berpakaian Melayu menari diiringi Kelintang Kayu, Gong,
Gendang, dan Biola yang mengalunkan Krinok dan pantun-
pantun anak muda. (http://www.kidnesia.com) di akses tanggal
17 Juli 2014))
214
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
dapat menjalin komunikasi yang komunikatif
(dikutip dari Utami dkk, 2012, hlm. 3). Dengan
adanya kesempatan setiap orang bisa menjadi
pemain, maka plot cerita yang disajikan dalam
bentuk pantun menjadi beraneka ragam.
Dari uraian di atas menggambarkan
bahwa sastra lisan Rampi Rampo masih
bertahan dan memiliki peranan penting sikap
masyarakatnya. Inilah yang menjadi alasan
penulis untuk mengkaji nilai-nilai budaya
yang terkandung di dalamnya.
Bagaimana nilai budaya ini dapat menjadi
peranan penting dalam sikap masyarakat
Rantau Pandan. Selanjutnya penelitian ini
akan membahas nilai budaya apa saja yang
terkandung di dalam Rampi Rampo yang
berkaitan dengan sikap masyarakat Rantau
Pandan dengan melakukan analisis makna
heuristik dan hermeneutik teori semiotika
Riffaterre.
Kerangka Teori
Semiotika Riffatere
Untuk mel iha t kespes i f ikan dan
mengungkapkan makna Rampi Rampo
diperlukan teori yang sesuai. Rampi Rampo
termasuk jenis puisi bebas yang mempunyai
tanda-tanda yang khas, oleh karena itu teori
yang sesuai adalah pembacaan semiotika
Riffatere. Semiotika berasal dari bahasa
Yunani yakni semion yang berarti tanda.
Sementara itu Pradopo (2005, hlm. 119) juga
mengatakan ilmu semiotika ini menganggap
bahwa fenomena sosial/masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Sistem bahasa dan sastra merupakan
aspek yang penting dalam semiotik. Karya
sastra merupakan tanda yang bermakna yang
menggunakan medium bahasa. Preminger
(dalam Pradopo, 2005, hlm. 119) mengatakan
bahwa bahasa merupakan sistem semiotik
tingkat pertama yang sudah mempunyai arti
(meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa
ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem
semiotik tingkat kedua.
Selanjutnya konsep semiotik yang
digunakan dalam penelitian ini didasarkan
pada pemikiran Sausure yang dikembangkan
oleh Riffaterre. Konsep dasar Riffaterre
memperlakukan semua kata menjadi tanda
(1987, hlm. 2). Riffaterre mengatakan bahwa
pembacalah yang bertugas memberikan makna
dari tanda-tanda yang terdapat dalam karya
sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna
setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan
terhadapnya. (Riffaterre, 1987, hlm. 66)
Pemaknaan tanda-tanda dalam karya
sastra itu dapat dilakukan dengan pembacaan
heuristik dan hermeneutik. Pradopo (2005,
hlm. 135) mengatakan pembacaan heuristik
adalah pembacaan karya sastra berdasarkan
struktur bahasanya atau secara semiotik
berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat
pertama. Menurut Riffaterre (1978, hlm. 5)
pembacaan berdasarkan struktur bahasanya
atau merupakan pembacaan tingkat pertama
ini dilakukan untuk memahami makna secara
lingustik yang menangkap arti sesuai dengan
teks yang ada, dan diartikan dengan bahasa yang
sesuai dengan teks. Pembaca harus memiliki
kompetensi linguistik agar dapat menangkap
arti (meaning). Kompetensi linguistik yang
dimiliki pembaca itu sebagai sarana untuk
memahami beberapa hal yang disebut sebagai
ungramatikal (ketidakgramatikalan teks).
Sementara itu, Santosa (2004, hlm. 231)
juga mengungkapkan pembacaan heuristik
215
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
adalah pembacaan yang didasarkan pada
konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan
alam) dan membangun serangkaian arti
yang heterogen atau tak gramatikal. Hal ini
dapat terjadi karena kajian didasarkan pada
pemahaman arti kebahasaan yang bersifat
lugas atau berdasarkan arti denotatif dari
suatu bahasa. Dalam pembacaan heuristik
ini pembacaannya dapat berupa pembuatan
sinopsis cerita. Pembacaan heuristik ini
merupakan penerangan kepada bagian-bagian
cerita secara berurutan.
Metode yang kedua adalah pembacaan
hermeneutik atau retroaktif (pembacaan
ulang) yang merupakan pembacaan karya
sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat
kedua atau berdasarkan konvensi sastranya
untuk menginterpretasikan makna secara
utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca harus
lebih memahami apa yang sudah dia baca
untuk kemudian memidifikasi pemahamannya tentang hal itu (Riffaterre, 1987, hlm. 5).
Pada tataran ini akan terlihat hal-hal yang
semula tidak gramatikal menjadi kata-kata
yang ekuivalen (Riffaterre, 1987, hlm. 5--6).
Pembacaan hermeneutik, menurut Santosa
(2004, hlm. 234), adalah pembacaan yang
bermuara pada ditemukannya satuan makna
puisi secara utuh dan terpadu. Pradopo (2005,
hlm. 137) juga mengartikan pembacaan
hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan
konvensi sistem semiotik tingkat kedua
(makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca
harus meninjau kembali dan membandingkan
hal-hal yang telah dibacanya pada tahap
pembacaan heuristik. Dengan cara demikian,
pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam
pembacaan hermeneutik.
Nilai Budaya
Nilai budaya menurut Koentjaraningrat
(1985, hlm. 10) tingkat pertama kebudayaan
ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan
paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Nilai-
nilai budaya yang terkandung dalam Rampi Rampo merupakan cerminan masyarakat
yang melahirkannya.. Nilai-nilai budaya juga
merupakan konsep-konsep mengenai apa
yang hidup dalam akal pikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan
penting dalam kehidupan, sehingga dapat
berfungsi sebagai pedoman dalam memberi
arah dan orientasi kepada warga masyarakat.
Nilai-nilai budaya disebut juga sebagai tingkat
yang paling absrak dari adat yang berdiri
dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam
pikiran sebagian besar dari warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap
bernilai dalam hidupnya (Koentjaraningrat,
1985, hlm. 9). Oleh karena itu nilai budaya
dianggap sebagai sesuatu yang berpengaruh
dan dapat dijadikan pegangan bagi suatu
masyarakat dalam menentukan seseorang
berprikemanusiaan atau tidaknya.
Sementara itu menurut menurut Clyde
Kluckhohn dalam Supsiolani (2008, hlm. 40)
mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi yang mempengaruhi
prilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dengan alam, hubungan
orang dengan orang dan tentang hal-hal yang
diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin
bertalian dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia. Sumaatmaja
(dalam Supsiolani (2008, hlm. 43) juga
mengatakan bahwa dalam perkembangannya
pengembangan dan penerapan kebudayaan
216
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
dalam kehidupan berkembang pula nilai-nilai
dalam masyarakat yang mengatur keserasian,
keselarasan, serta keseimbangan. Nilai
tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini metode kualitatif. Melalui metode ini
peneliti mengamati, menganalisis, dan
mendeskripsikan nilai budaya yang ditemukan
sebagai pencerminan sikap masyarakat
Rantau Pandan. Kemudian hasil temuan
akan diuraikan dan dideskripsikan secara
lengkap berdasarkan objek dan data empiris
yang ditemukan di lapangan. (Santosa, 2012,
hlm. 70). Meleong mengatakan metode ini
menyajikan secara langsung hakikat hubungan
antara peneliti dan responden (2006, hlm. 5).
Dalam pengumpulan data dilakukan
dengan cara penelitian lapangan (field work) yang dilakukan dengan tiga tahap,
yakni 1) observasi dan pengamatan yang
dilakukan untuk mengamati secara langsung
kehidupan pertunjukkan Rampi Rampo
guna memperoleh gambaran Rampi Rampo dan ciri-ciri kelisanannya ; 2) wawancara
dilakukan dengan para pelaku Rampi Rampo.
Teknik wawancara ini dilakukan untuk
mendengar dan melihat secara langsung
pantun yang dilantunkan oleh pelantun Rampi Rampo. Teknik wawancara dilakukan secara
terbuka, artinya, pihak yang diwawancarai
mengetahui maksud dan tujuan wawancara
(Moleong, 2006, hlm. 189). Dalam melakukan
wawancara, peneliti menggunakan petunjuk
umum wawancara, yaitu membuat kerangka
dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan
dalam proses wawancara. Wawancara juga
dilakukan secara terstruktur karena peneliti
menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan. Dengan demikian,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
tidak secara spontanitas, melainkan telah
dipersiapkan terlebih dahulu. Hasil wawancara
tersebut merupakan dokumen pribadi yang
menjadi salah satu bahan dokumenter dalam
penelitian ini. 3) Rekaman ; pengumpulan
data penelitian ini dilakukan dengan teknik
rekaman. Rampi Rampo yang direkam
kemudian ditulis dan ditransliterasikan.
Kemudian melakukan analisis nilai budaya
yang terdapat di dalamnya. Untuk menemukan
nilai budaya yang terdapat di dalam Rampi Rampo data dianalisis terlebih dahulu dengan
menggunakan teori semiotika Riffaterre, yaitu
pembacaan heuristik dan hermeneutik
Sumber data dalam penelitian ini berasal
dari data primer dan data sekunder. Data primer
adalah pantun Rampi Rampo, sedangkan
data sekunder berupa tulisan-tulisan yang
membicarakan tentang pantun Rampi Rampo. Tulisan yang ditemukan dalam bentuk
makalah, media cetak, internet, dan hasil
wawancara dari beberapa orang informan.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Pembacaan Heuristik dan
Hermeneutik Rampi RampoDalam analisis ini Rampi Rampo ini dibagi
atas enam tema yang berasal dari tiga orang
pemantun. Bapak Abu Bakar (Pemantun 1),
Ibu Jumiati (Pemantun 2), dan Ibu Jariah
(Pemantun 3). Pembacaan heuristik dan
hermeneutik sastra lisan Rampi Rampo akan dibahas berdasarkan tema yang telah
dikelompokkan.
Pembacaan heuristik pantun Rampi Rmpo dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.
217
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
Untuk memperjelas arti dapat diberi sisipan
kata atau sinonim kata yang ditaruh dalam
kurung. Begitu juga struktur kalimatnya
disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan
tata bahasa normatif), bila perlu susunannya
dibalik untuk memperjelas arti. Sementara
itu pembacaan hermeneutik ditafsirkan
berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem
semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang
memberikan makna diantaranya konvensi
ketidaklangsungan ucapan (ekspresi).
Pembacaan heuristik dan hermeneutik
pada pantun Rampi Rampo akan dijabarkan
dijabarkan di bawah ini,
I. Tema 1
Tema satu dilantumkan oleh Bapak Abu
Bakar dan Ibu Jumiati. Perekaman dilakukan
pada tanggal 5 Mei 2014 di Desa Rantau
Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Tebing tinggi menjual minyakOrang Hindu menjual ladoBukit Tinggi jalannyo semakRindu dikau ngan jalang jugo
(Di) Tebing tinggi (banyak) orang
menjual minyak. (Sementara itu) Orang
Hindu (banyak) yang menjual lada. (Di)
Bukittinggi jalannyo (banyak yang) (be)
semak. Rindu (dengan) dikau saya (akan
tetap) kunjungi juga.
Pelantun 2 (Ibu Jumiati)
Nganlah idak mengantang manihNgan mengantang sibuluh mayan Ngan idak cakap semanihNgan becakap nan iyo niayan
Saya tidak(akan) menakari gula.
Saya (akan) menakari buluh
Mayan. `Saya tidak (akan)
berbicara basa-basi. Saya (akan)
berbicara yang sebenarnya)
Tema satu ini berisikan pantun yang
mengungkapkan isi hati seorang pria yang
sedang merindukan kekasihnya yang sudah
lama tidak dikunjunginya. Semua kerinduan
itu akhirnya tak tertahankan kemudian ia
datang mengunjungi sang kekasih (Rindu dikau ngan jalang jugo) walaupun harus
banyak rintangan ia hadapi (Bukit Tinggi jalannyo semak). Setelah bertemu mereka pun
merasakan hal yang sama. Sang wanita pun
mengungkapkan kerinduan itu ketika bertemu.
Dan itu semua bukanlah sesuatu basa-basi
(Ngan idak cakap semanih), tetapi itulah yang
ia rasakan selama ini. (Ngan becakap nan iyo niayan)
II. Tema 2
Tema dua ini juga dilantukan oleh Bapak
Abu Bakar dan Ibu Jumiati pada tanggal 5
Mei 2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten
Bungo, Provinsi Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Ambiek lemari kaco
Ambiek bilahlah penyuluok sirieh Kalu adik kurang picayo Alhamdulillah terimo kasih
(Mari di) ambil lemari kaca. (Setelah
itu) ambil buluh yang sudah dibelah
satang sirih. Kalau adik (masih) kurang
percaya. (Saya ucapkan) Alhamdulilah
terima kasih.
218
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
Pelantun 2 (Ibu Jumiati)
Buah parah jatuh ke lubukTibo di lubuk ayikpun dalamHati ngan marah boleh dibuju Hati ngan ibo jatuh ke dalam
Buah parah jatuh ke (dalam) lubuk. Tiba
di lubuk airpun (menjadi) dalam. Hati saya
(sedang) marah (sehingga) boleh dibujuk.
Hati saya (sangat) sedih jatuh ke dalam)
Tema dua ini berisikan ungkapan isi hati
seorang pria kepada seorang wanita bahwa ia
menyukainya, tetapi sang wanita tidak percaya
tentang apa yang diucapkannya. Kekecewaan
yang dirasakannya itu dianggapnya sebagai
suatu ujian bagi dirinya bahwa tidak mudah
untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
(Kalu adik kurang picayo). Sikap sang wanita
itu dianggap sebagai ujian yang harus ia
jalani dan ia tidak boleh kecewa akan semua
peristiwa yang telah terjadi. (Alhamdulillah
terimo kasih)Sang wanita mengatakan bahwa ia
mempunyai alasan kenapa ia tidak menanggapi
apa yang diungkapkan sang pria kepadanya. Ia
beralasan karena ia sedang sedih dan marah atas
prilaku sang pria yang pernah mengecewakannya (Hati ngan marah boleh dibujuk). Kesedihannya
ini telah lama dipendamnya sehingga ia tidak
bisa memaafkannya lagi. (Hati ngan ibo jatuh ke dalam)
III. Tema 3
Tema tiga ini juga dilantukan oleh Bapak
Abu Bakar dan Ibu Jumiati, dan pada tanggal 6
Mei 2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten
Bungo, Provinsi Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu bakar)
Kobau siapo nan panjang tandoukKabau Ji Delah mudiklah TeboHati siapo yang idak maboukMengimak kau begalieh lain
(Siapa yang memiliki) kerbau yang
panjang tanduk. Kerbau (milik) Haji Delah
(telah) mudik (ke) Tebo. Hati siapa yang
tidak (akan) mabuk. Melihat kamu (telah)
berpaling ke yang lain)
Pelantun 2 (Ibu Jumiati)
Hiduplah api pagang jagungJagung dipanggang nan patah tigaIbo hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai
Hiduplah api (di) panggang jagung.
Jagung (yang) dipanggang (menjadi)
nan patah tiga. Sedih hati(ku sampai)
melingkung gunung. Apa daya tangan
(ini) tidak sampai.
Tema tiga ini berisikan tentang kekecewaan
seorang pria terhadap sikap kekasihnya.
Sang wanita dianggap tidak setia karena
telah memilih orang lain selain dirinya untuk
dijadikan kekasih. (Mengimak kau begalieh lain) Semua itu mengakibatkan sang pria.
Sikap kekasihnya lupa diri dan berbuat sesuatu
di luar kesadarannya (Hati siapo yang idak mabouk)
Keputusan yang diambil Sang wanita juga
membuatnya sedih yang mendalam. (Ibo hati melingkung gunung) Semua itu ia lakukan
219
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
karena sang pria bukanlah pria yang cocok
baginya. Diantara mereka ada perbedaan
yang terlalu jauh dan tidak mungkin untuk
dipersatukan. Apo dayo tangan dak sampai ). Akhirnya ia memutuskan memilih orang lain
yang dianggap cocok dengannya.
IV. Tema 4
Tema tiga ini dilantukan oleh Bapak
Abu Bakar, Ibu Jumiati, dan Ibu Juriah pada
tanggal 5 Mei 2014 di Desa Rantau Pandan,
Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Pegi ke talang menubo limbatLimbat ditubo kangkung mati Payah nian memasang jeratJerat dipasang burung nan lari
Pergi ke Talang (hendak) menuba ikan
lele. Lele(nya) dituba kodok(nya pun)
mati. Susah sekali (hendak) memasang
jerat. (Ketika) Jerat dipasang (banyak)
burung nan lari)
Mulung gemulung anak buayoAnak buayo mudik merampai Maksud hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai
(Ada anak buaya) (ber)guling-guling
. (Seekor) anak buaya mudik (sedang)
bersenang-senang. Maksud hati (hendak)
memeluk gunung. Apa daya tangan (pun)
tak sampai.
Pelantun 2 (Ibu Jumiati)
Induklah abang kelingkinglah lain
Telapak tangan nan abang puloInduk malang,bapak ngan malang Tibo diengan malanglah sudah
Induklah (menjadi) merah (sehingga)
kelingking (menjadi) lain. Telapak tangan
(pun) (menjadi) merah pula. Induk (saya)
malang, bapak saya (pun) melarat,
(akibatnya) tiba di saya susah sekali.
Pelantun 3 (Ibu Juriah)
Layanglah-layang terbanglah melayangTibo di titin mengirai kepak Siapo bilang ngan dak sayingbadan sangsaro ya dek tidak tampak
( A d a ) l a y a n g - l a y a n g t e r b a n g
melayang. (Layang-layang) tiba di titin
mengembang(kan) sayap(nya). Siapa
(yang) bilang saya tidak sayang. Badan
(telah melarat) yo dik tidaklah nampak
Tema empat ini berisikan sikap seorang
pria yang telah melakukan berbagai usaha
untuk mendekati seorang wanita yang
dicintainya (Payah nian memasang jerat). Usaha itu selalu gagal karena Sang wanita
itu tidak berhasil ia dapatkan karena ia lebih
memilih pergi dengan pria lain yang ia sukai
dan meninggalkannya seorang diri (Jerat dipasang burung nan lari).
Sang wanita melakukan itu semua bukan
karena ia tidak menyukai Sang Pria, (Maksud hati melingkung gunung) tetapi karena terlalu
banyak perbedaan diantara mereka yang
membuat mereka tidak bisa bersatu.(Apo
220
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
dayo tangan dak sampai) Sikap Sang Wanita
tersebut membuat Sang Pria memutuskan
untuk pergi dan berusaha melupakan si wanita,
tetapi usaha itu tidak berhasil karena ia selalu
teringat dan tidak bisa melupakannya. Sikap
ini karena ia terlalu menyayangi Sang Wanita
(Siapo bilang ngan dak sayang). Semua itu
hanya bisa ia pendam dalam hati dan tidak
ada orang lain yang tahu. Perasaan yang
terpendam ini membuat ia selalu menderita
kesusahan dalam hidupnya (badan sangsaro ya dek tidak tampak)
V. Tema 5
Tema lima ini juga dilantukan oleh Bapak
Abu Bakar dan Ibu Juriah pada tanggal 5 Mei
2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten
Bungo, Provinsi Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Apolah guno kain panjangBaju idak dibao matiApo guno kasih sayangKalo idak dibao jadi
Apa gunanya (memakai) kain panjang.
(Karena) baju tidak (akan) di bawa mati.
Apa guna(nya kita) (ber)kasih sayang.
Kalau tidak sampai (kita) jadi (pasangan)
Pelantun 3 (Ibu Juriah)
Jangan cemeh minyak tebayak Kini kepayang cupuk bebungo
Jangan cemeh bekasih sayangSayang betukuk dari lamo
Jangan (di)cemas(kan) minyak (itu)
tertumpah. (Karena) Kini Kepayang
kelopak (telah) berbunga. Jangan cemas
(untuk) berkasih sayng. (Karena) Sayang
(akan) bertambah dari lama.
Tema lima ini berisikan isi hati seorang
pria yang ingin menjalani hubungan yang
lebih serius dengan kekasihnya dengan ingin
segera menikahinya. Sikap Sang Pria ini tidak
ditaggapi oleh Sang wanita karena karena
mereka baru saling mengenal. Sang priapun
kecewa terhadap sikap sang wanita karena
menganggap ia tidak menyayanginya selama
ini. (Apo guno kasih sayang --Kalo idak dibao jadi )
Sang wanita menginginkan hubungan itu
hanya sebatas hubungan sepasang kekasih
dahulu supaya bisa lebih mengenal satu sama
lain. Sang Wanita menganggap hubungan
mereka belum terlalu lama dan belum perlu
terlalu cepat menikah. Biarlah hubungan ini
berjalan duhulu seperti sepasang kekasih
supaya rasa sayang ini bisa semakin mendalam.
( Jangan cemeh bekasih sayang--Sayang
betukuk dari lamo)
VI. Tema 6
Tema enam ini juga dilantukan oleh
Bapak Abu Bakar (Pelantun 1) dan Ibu Juriah
(Pelantun 3) pada tanggal 5 Mei 2014 di Desa
Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Sabut kelapo di tengah sawahBatang selasih di tengah sawahKelam kabut di ateh dunKasih ke adik idak berubah
(Ada) Sabut kelapa di tengah sawah.
(Selain itu) Batang Selasih (pun ada) di
221
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
tengah sawah. (Walaupun cuaca) gelap
berkabut di atas dunia. Kasih (sayang) ke
adik tidak (akan) berubah.
Pelantun 3 (Ibu Juriah)
Padi pulut ,padi ketitil Padi gedang itam batangManih mulut segan di bibir Oi hati di dalam letak belakang
(Ada) padi ketan, (Ada) padi burung.
(Ada) padi besar, (Ada padi yang) hitam
batang(nya). Manis (di)mulut (menjadi)
segan di bibir. (Sehingga) hati di dalam
menjadi jauh sekali.
Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)
Lemari bekacoJam tangan bertali arlojiKalau adik kurang pecayo Sumpah tangan berjabat diri
(Ada sebuah) Lemari kaca. (Ada) jam
tangan bermerk arloji. Kalau adik kurang
percaya (pada saya). (Saya berani) (ber)
sumpah tangan bersalam diri.
Tema enam ini berisikan makna tentang
seorang pria berusaha meyakinkan wanita
yang dicintainya bahwa ia akan selalu setia dan
tidak akan pernah meninggalkan sang wanita
yang dicintainya walau apapun peristiwa
yang menimpanya. (Kelam kabut di ateh dun---Kasih ke adik idak berubah). Sang wanita
menganggapnya itu semua hanya rayuan sang
pria untuk merayunya. (Manih mulut segan di bibir) karena wanita menganggap rayuan itu
tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati
Sang Pria (Oi hati di dalam letak belakang) .
Sang pria pun tidak berhenti berusaha
merayunya. Ia terus berusaha meyakinkan sang
wanita bahwa apa yang dikatakannya itu hal
sebenarnya yang tulus dan datang dari relung
hatinya yang paling dalam. Sang pria pun
berani bersaksi kepada Tuhan bahwa ia akan
siap menderita dan pergi meninggalkannya
kalau semua itu tidak benar dan tidak bisa
dibuktikannya. (Kalau adik kurang pecayo -- Sumpah tangan berjabat diri)
2.3. Nilai-Nilai Budaya dalam Rampi Rampo
Dari pembacaan heuristik dan hermeneuti
di atas ditemukan nilai-nilai budaya Rampi Rampo yang dapat memperkokoh jati diri
dan meningkatkan rasa persatuan dalam
masyarakat Desa Rantau Pandan, antara lain :
1. Nilai Kebersamaan
Pantun Rampi Rampo di atas yang
menunjukkan adanya nilai kebersamaan dalam
masyarakat Rantau Pandan.
Jangan cemeh minyak tebayakKini kepayang cupuk bebungo
Jangan cemeh bekasih sayang Sayang betukuk dari lamo
(Jangan cemas minyak
tertumpah
Kini Kepayang kelopak
berbunga
Jangan cemas berkasih sayang
Sayang bertambah dari lama)
Apolah guno kain panjangBaju idak dibao matiApo guno kasih sayangKalo idak dibao jadi
222
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
( apa gunanya kain panjang
baji tidak di bawa mati
apa guna kasih sayang
kalau tidak sampai jadi)
Isi pantun menunjukkan bahwa di antara
kita haruslah tetap saling menjaga kasih sayang
supaya selalu tetap selalu bersama selamanya.
Untuk menjaga kepentingan bersama ini rasa
persatuan harus ada dalam suatu kelompok
masyarakat. Apapun bentuk perbedaan yang
ada di antara mereka harus dicarikan jalan
keluarnya agar persatuan itu tetap terjaga,
salah satunya dengan bermusyawarah.
Dalam bermusyawarah harus mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan diri
sendiri sehingga akan terlihat rasa senasib
sepenanggungan. Apapun yang dirasakan
seseorang dapat juga dirasakan oleh orang
lain. Inilah akan memperlihatkan tidak adanya
perbedaan di antara mereka.
Hal ini terlihat ketika masyarakat
Rantau Pandan akan mempersiapkan suatu
upacara adat. Mereka semua bersatu dan
saling membantu dalam upacara tersebut
sehingga tidak ada perbedaan di antara
mereka. Sebelum melaksanakan upacara itu
mereka awali dengan bermusyawarah. Kapan
dan di mana acara itu akan dilaksanakan.
Dalam pelaksananaan pelaku sastra juga tidak
mengharapkan materi. Mereka membantu
dengan ikhlas karena ingin meramaikan
proses pelaksanaan sebuah perkawinan secara
bersama-sama. Ini menunjukkan masyarakat
Rantau Pandan masih ingin menjaga rasa
persatuan diantara mereka.
Contoh nilai kebersamaan terlihat juga
ketika pelaksanaan sastra rampi rampo yang
dilaksanakan ketika upacara adat berselang nuai. Para masyarakat baik anak-anak, muda-
mudi, dan orang tua terlihat secara bersama-
sama ikut meramaikannnya. Dalam sastra
ini para muda mudi meramaikannya dengan
berbalas pantun sesama mereka. Mereka
datang dengan ikhlas dan tidak mengharapkan
balasan dari yang punya acara.
2. Nilai Rendah Hati
Rasa persatuan juga bisa ditingkatkan
dengan menghargai satu sama lain dalam
suatu kelompok masyarakat. Caranya tidak
memperlihatkan kelebihan diri dengan
memposisikan kita sama dengan orang lain.
Apapun posisi kita dalam suatu masyarakat
tetap mengganggap yang lain sama dengan
kita. Yang tua menghargai yang muda
yang kaya menghargai yang miskin, atau
yang pintar menghargai yang bodoh. Inilah
percerminan nilai rendah hati yang terlihat
dalam masyarakat Rantau Pandan.
Sikap ini terlihat bagaimana mereka
sama-sama menghargai dalam menjalankan
adat istiadat mereka. Semua mereka sama
dalam adat, tidak ada yang dibedakan.
Mereka memagang adat istiadat yang yang
telah diturunkan turun temurun dari nenek
moyang mereka. Sampai sekarang mereka
masih melaksanakan tata upacara perkawinan,
kematian, khitanan, dan upacara memanen
padi bujang gadis (berselang nuai) yang
sesuai dengan aturan adat. Dalam kegiatan
adat ini semua masyarakat, baik yang muda
tua, kaya miskin, dan bodoh dan pintar ikut
terlibat, mulai dari persiapan sampai kegiatan
itu dapat dilaksanakan dengan lancar. Mereka
melakukan itu semua tanpa pamrih dan tidak
mengharapkan sesuatu balasan dari tuan
223
Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria
rumah yang melaksanakan kegiatan.
Nilai rendah hati ini tertuang dalam pantun
rampi rampo tentang menghargai seseorang
orang yang dicintainya. Ia rela melepaskan
orang yang dicintainya itu karena seseorang
itu tidak pantas untuk dirinya walaupun itu
terasa berat, tetapi harus tetap ia jalani. Ini
juga menunjukkan bahwa masyarakat Rantau
Pandan itu memiliki sifat menghargai, ikhlas
dan lapang dada dalam menjalankan dan
menghadapi sesuatu hal. Semua itu tertuang
dalam pantun yang telah diutarakan di atas ;
Hiduplah api pagang jagungJagung dipanggang nan patah tigaIbo hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai(Hiduplah api panggang jagung
Jagung dipanggang nan patah
tiga
Sedih hati melingkung gunung
Apa daya tangan tidak sampai)
Mulung gemulung anak buayoAnak buayo mudik merampai Maksud hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai
( guling-guling anak buaya
anak buaya mudik ber senang- senang)
maksud hati memeluk gunung
apa daya tangan tak sampai )
Lemari bekacoJam tangan bertali arlojiKalau adik kurang pecayoSumpah tangan berjabat diri
(Lemari berkaca
Jam tangan bermerk arloji
kalau adik kurang percayaSumpah tangan bersalam diri)
III. SIMPULAN
Dari analisis makna setelah dilakukan
pembacaan secara heuristik dan hermeneutik
pada pantun Rampi Rampo ditemukan
nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan
nilai kebersamaan dan nilai hati. Nilai
kebersamaan terlihat masyarakat Rantau
Pandan selalu mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi, senasib
sepenanggungan, dan selalu bersama-sama
dalam melaksanakan upacara adat. Hal ini
terlihat mulai dari anak-anak, muda-mudi,
dan orang tua terlihat secara bersama-sama
dan sungguh-sungguh ikut melaksanakan
suatu upacara adat. Mereka datang dengan
ikhlas dan tidak mengharapkan balasan dari
yang punya acara. Dalam sastra ini para
muda mudi meramaikannya dengan berbalas
pantun sesama mereka.
Sementara itu nilai rendah hati terlihat
adanya saling menghargai dalam semua lapisan
masyarakat. Hal ini juga terlihat sikap semua
lapisan masyarakat Rantau Pandan masih
memegang teguh dan menghargai adat istiadat
yang yang telah diturunkan turun temurun oleh
nenek moyang mereka. Sikap rela dan saling
membantu juga terlihat dalam jiwa masyarakat
Rantau Pandan. Dalam pelaksanaan upacara
perkawinan, kematian, khitanan, dan upacara
memanen padi bujang gadis (berselang nuai)
semua masyarakat Rantau Pandan rela ikut
terlibat dalam membantu mulai dari persiapan
sampai kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan
lancar.
224
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018
DAFTAR PUSTAKA
Asman. (2012). Mitologi Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah Pada Masyarakat Melayu Binjai : Kajian Strukturalisme. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Fakih, Ali Muhammad. ”Tradisi Lisan Yang
Terlupakan”. Lampung Post: 17 Februari
2008.
Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan.
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia
Jawa Timur.
Koent jaraningra t . Perseps i Tentang
Kebudayaan Nasional. (1985). Dalam
Alfian (ed) Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Meleong, Lexy. J. (2002).Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Pradopo, Rachmat Djoko.(2005). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rassuh, Ja’far (ed). (2012). Musik Sastraonal. Proyek Pelestarian Nilai-Nilai Budaya
Daerah: Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata
Provinsi Jambi.
-------------. (2002). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffatere, Michael.(1987). Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana
University Press.
Santosa, Puji. (2012). Analisis Kontekstual Ilir-
Ilir Sunan Kalijaga. Loa : Jurnal Ilmiah dan Kebahasaan. Volume.9 Nomor 2
-----------------.(1993). Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Angkasa.
Supsiolani. (2008). Analisa Nilai Budaya
Masyarakat dan Kaitannya dalam
Pembangunan Wilayah di Kecamatan
Raya Kabupaten Simalungun. Tesis.
Medan: Universitas Sumatera Utara.