NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam...
Click here to load reader
Transcript of NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN · PDF fileNamun, nikahnya masih dilangsungkan dalam...
NIKAH SIRRI, NIKAH DI BAWAH TANGAN, DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN
(Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)
Oleh: Drs. H.Abdul Mujib AY*
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Tanah Grogot Kaltim)
PENDAHULUAN
Adanya kontroversi tentang “Pernikahan Sirri” di kalangan umat baik „umara maupun
zu‟ama serta di dunia pesantren dan selebritis akhir-akhir ini tentang kriminalisasi bagi pelaku
dan bagi yang terlibat dalam pernikahan tersebut berkenaan akan diundangkannya (RUU)
Peradilan Agama (baca: masuk program leglisasi tahun 2010) adalah karena belum adanya
kesamaan persepsi dalam mengidentifikasikan dan mengklirkan apa yang dimaksud dengan
“nikah sirri” dan “nikah di bawah tangan”. Untuk menyamakan persepsi dari kedua istlah
perkawinan tersebut dan sekaligus untuk menghindari kerancuan istilah agar tidak terjadi
kesalahfahaman, mengingat di kalangan masyarakat ada yang menganggap kedua istilah tersebut
sama artinya. Dan sesuai dengan judul tulisan ini pembahasan difokuskan pada status nikah sirri
dan nikah di baah tangan dan implikasinya terhadap anak yang dilahirkannya. Karena itu ,
sistimatika pembahasan tulisan ini adalah mencakup : pendahuluan, pengertian dan status nikah
sirri dan nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan Hukum positif , implikasi terhadap
anak yang dilahirkan, kesimpulan serta saran.
PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya,
“rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah:
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau
jama‟ahnya, sekalipun keluarga setempat”
Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua
pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual
antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga
Madzhab Syafi‟I dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut madzhab Hambali, nikah
yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari‟at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan
oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu
riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman
had.
Menurut hemat penulis, nikah sirri menurut terminologi fiqh tersebut adalah tidak sah.
Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah dan buruk sangka, juga
bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, antara lain :
1. Artinya:
“Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR.Bukahri
Muslim dll dari Anas).
2. Artinya:
“Umumkanlah nikah ini, dan laksanakanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan
menabuh terbang.” (HR. al-Tirmidzi dari “Aisyah).
Menurut hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab
tersebut di atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syari‟at Islam sebagaimana
diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang perkawinan.
Menurut pengertian penulis, ada perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri di
kalangan masyarakat Islam Indonesia. Ada 3 (tiga) tife:
Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan
syari‟at Islam (telah memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi masih bersifat intern keluarga,
belum dilakukan pencatatan oleh PPN, dan belum diadakan upacara menurut Islam dan adat
(walimatul‟urusy/resepsi perkawinan dengan segala bunga rampainya. Pada tife pertama ini,
suami isteri belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena si isteri belum tinggal
dan hidup dewasa. Biasanya si suami sementara menunggu kedewasaan si isteri, ia belajar di
pondok pesantren atau tinggal bersama mertua untuk membantu pekerjaan mertua. Motif
nikahnya adalah untuk ketenangan, persiapan, dan kehalalan bahkan mungkin juga sebagai
“kebanggaan” orang tua si gadis kecil”.
Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam,
dan juga sudah dilangsungkan di hadapan PPN dan telah pula diberikan salinan akta nikah
kepada kedua mempelai karena calon suami isteri sudah memenuhi syarat-syarat sahnya nikah
menurut hukum positif, termasuk telah mencapai minimal usia kawin (vide Pasal 7 UU 1/1974).
Namun, nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang
sangat terbatas, belum diadakan resepsi pekawinan. Pada tife kedua ini kedua insan yang
berlainan jenis kelaminnya itu belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena
mungkin salah satu atau keduanya masih sedang menyelesaikan studinya atau training
kepegawaian atau perusahaan, atau belum mendapatkan pekerjaan tetap sekalipun sudah
sarjana.Motif nikahnya itu terutama untuk mendapatkan ketenangan, persiapan dan kehalalan.
Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan
syariat Islam, karena terbentur pada PP Nomor 10/1983 jo PP 45/1990 tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi PNS. Pada tipe ketiga ini calon suami mengawini calon isteri secara diam-
diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin
berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS (vide: PP
No.10/1983 pasal 4 ayat (1) dan (13). Motif nikhanya itu terutama untuk pemenuhan kebutuhan
biologis yang halal (terhindar dari perbuatan zina menurut hukum Islam). Sayang, nikahnya
tanpa persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta tanpa izin
Pengadilan Agama.
Menurut hemat penulis, nikah tipe pertama sebenarnya bukan nikah sirri, karena tidak
ada unsur “sirri”. Yang terjadi adalah kawin anak-anak, yang menurut fiqh sunni tidak dilarang
(sah), berdasarkan sunnah Nabi SAW yang menikahi „Aisyah ra yang belum baligh; sedangkan
menurut Ibnu Syubrumah al-Dzahiri, nikah anak-anak tidak boleh dan tidak sah5), karena
banyak mudlaratnya. Dan berhubung keadaan masyarakat kini telah jauh berubah ketimbang
masyarakat di zaman Rasulullah SAW sebagai akibat kemajuan IPTEK, data statistik
menunjukkan kawin anak-anak banyak membawa broken home, maka negara-negara Islam
termasuk Indonesia melarang kawin anak-anak, dan menetapkan batas minimal usia perkawian
(karena alasan maslahah murslah).Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No..1/1974 tentang
perkawinan menetapkan minimal usia kawin untuk pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun.
Tetapi Pengadilan bisa diminta memberi dispensasi , jika ada alasan yang cukup.
Nikah tipe kedua, tampaknya juga tidak tepat disebut nikah sirri, karena tidak ada unsur
“sirri” dan motif/niat nikahnya baik. Maka sahlah nikahnya menurut hukum Islam dan juga
menurut hukum positif, karena nikahnya telah dilangsungkan menurut syariat Islam da juga
sudah dicatat oleh PPN, sekalipun belum /tidak diramaikan dengan walimatul „urusy dan tabuhan
terbang/gamelan dan sebagainya karena bukan rukun dan bukan syaat nikah, melainkan perintah
sunnah (recomanded).
Adapun nikah tipe ketiga itulah yang benar-benar bisa disebut “nikah sirri”, yang
dilarang oleh Islam, karena niat nikahnya dan prakteknya jelek, sebab bisa merusak rumah
tangga orang dan bisa merusak moral suami, serta dapat mendorong suami berbuat kolusi dan
korupsi, karena punya isteri simpanan alias WIL yang bermasalah itu. Demikian pula , hukum
positif melarang nikah tipe ketiga, karena melanggar PP Nomor 10/1983 jo.PP 45/1990 tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
PENGERTIAN DAN STATUS NIKAH DI BAWAH TANGAN
Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya adalah
kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah menurut hukum adalah yang
diatur dalam UU perkawinan. Dengan demikian,dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah
tangan, ialah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak
menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa
pengakuan dan perlindungan hukum.
UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan
pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa dalam bidang perkawinan, hukum agama,
termasuk hukum Islam telah mendapat kekuatan yuridis dan materiil. Hal tersebut sesuai dengan
maksud pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dimana digariskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu. Dan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam undang-undang ini. Kemudian pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal 2
ayat (1) menerangkan, “pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan nenurut agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah ,Talak dan Rujuk”.
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini
kalangan teoritisi dan praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis
sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini:
Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi pasal 2
ayat (1) UU perkawinan tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan
syari‟at Islam secara sempurna (memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yan mumnya
dianggap standar oleh dunia Islam. Mengenai pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan
syarat sahnya nikah, tetapi hanyan kewajiban adminstratif saja.
Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan UU Perkawinan
pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh PPN
secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat
kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syari‟at
Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah. Dan
perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tanggal 1
Oktober 1975 terkenal dengan sebutan “nikah di bawah tangan”.
Menurut hemat penulis, pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam masalah ini ,
baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad
nikah itu apabila, telah dilangsungkan menurut ketentuan syari‟at Islam, di hadapan PPN dan
dicatat oleh PPN.
Adapun dalil syarinya yang dapat memperkuat pendapat penulis tersebut,ialah :
1. Mentaati perintah agama dan mentatati perintah negara /pemerintah, adalah wajib
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat 58:
Perintah Al-Quran ini sangat positif , karena mendidik manusia untuk menciptakan
masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
2. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, adalah sangat
bermanfaat dan masalahah bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk
menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya
dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak
kewarisannya), dan juga untuk melindunginya dari firtnah, tuhmah/qadzaf zina
(tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah itu
sangat penting untuk saddud dari‟ah (preventive action) dan juga maslahah mursalah
(good interest)”.
Adapun alasan yuridis dari segi hukum positif yang memperkuat pendapat penulis
ialah:
1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu telah dirumuskan secara organik oleh
pasal 2 ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Dan
tatacara pencatatan perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 3 sampai
dengan pasal 9 PP tersebut. Kemudian disusul dengan tatacara perkawinannya
sampai mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10 sampai dengan pasal 13 PP
tersebut.
2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 /1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan bahwa unsur pencatatan
nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya suatu akad nikah.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18
Desember 1991, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “Perkawinan” menurut Undang-undang No.1/1974, PP
No.9/1975, adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh
petugas KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut didaftarkan menurut
tatacara perundang-undangan yang berlaku; karena itu perkawinan yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak
dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana (kurungan
penjara 5 tahun).
4. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang petunjuk Pelaksanaan PP
Nomor 45/1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10/1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan ,
bahwa isteri pertama/kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil yang
dinikahi sah, yaitu yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
UU Perkawinan Nomor 1/1974 diberikan Kartu Isteri.
Dengan demikain, jelaslah bahwa menurut hukum positif, perkawinan adalah
sah , jika dilaksankan menurt hukum syari‟at Islam di hadapan PPN dan dicatata
oleh PPN.
IMPLIKASI TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN
Akad nikah dan implikasinya (akibat hukumnya). Menurut Jumhur ulama , akad nikah
ada 2 (dua) macam, masing-masing adalah:
1. Akad yang sah sempurna
Ialah akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad
nikah sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib
memberi mahar, nafkah lahir (makan, pakaian dan tempat tinggal) dan nafkah batin ,
isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami
isteri dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya.
2. Akad yang rusak atau batal/fasid
Ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak terpenuhi, misalnya
antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram, atau wanitanya masih
terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa wali atau saksi.
Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas putusan hakim segera
setelah diketahui cacat rukun atau syarat sah nikahnya. Dan nikahnya tidak
membawa akibat hukum apa pun, jika belum terjadi hubungan seksual anatara
keduanya. Dengan demikian , tidak ada mahar , nafkah dan iddah dan tidak ada pula
hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi hubungan seksual antara
keduanya, maka wajib difasakh nikahnya, sekalipun telah cukup lama hidup sebagai
suami isteri . Dan dalam hal ini , “isteri berhak mendapat mahar dan ada iddahnya,
serta si anak punya hubungan nasab dengan bapaknya.
Mengenai status anak yang lahir dari nikah sirri, maka apabila nikah sirri itu diartikan
menurut terminologi fiqh (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka menurut
hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, anak yang lahir dari
hubungan syibhah saja ditetapkan nasabnya kepada bapak, apalagi nikah sirri yang termasuk
nikah yang diperselisihkan”boleh dan sahnya”oleh para ulama. Karena itu, nikah sirri itu
dianggap cacat /fasad yang ringan. Sedangkan menurut pandangan hukum posiistif, anaknya
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Adapun status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi
pasal 2 ayat (1) saja dari UU Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya sah dan
mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum posiitf, anaknya
tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perkawinan. Karena itu, si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (vide UU Perkawinan Pasal 43 dan Kompialsi Hukum Islam pasal 100).
KESIMPULAN
1. Ada perbedaan antara nikah sirri dan nikah di bawah tangan dari segi terminologi,
historis dan yuridis,
2. Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut
hukum Islam, kaena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan
ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat mendatangkan
madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Naikah sirri juga tidak sah menurut
hukum positif , karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku dan
benar, dan tidak pula diadakan pencatatan nikahnya oleh PPN.
3. Istilah nikah di bawah tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif
tahun 1975. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak motifv “sirri”, karena
telah memenuhi ketentuan syari‟ah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak sah
menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam bidang hukum perkawinan
4. Status anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum Islam, adalah anaknya mempunyai
hubungan nasab dengan bapaknya, karena cacat hukumnya ringan. Sedangkan menurut
hukum positif, anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memnuhi pasal
2 ayat (1) ayat (2) UU Perkawinan.
5. Status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan menurut hukum Islam, adalah sah dan
dengan sendirinya mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut
hukum positif,anaknya tidak sah karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.
6. Pelanggaran terhadap perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan secara kumuilatif
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak mempunyai alasan menurut hukum sebagai delict
aduan untuk dapat dikriminalisasikan/dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279
KUHPidana.
SARAN-SARAN
1. Sesuai dengan kaidah hukum Islam : “Al-Khuruj minal khilaf mustahabbun”, yakni
“Menghindari perbedaan pendapat itu dianjurkan”, maka ummat Islam Indonesia
hendaknya dalam melakukan perkawinan, mematuhi ketentuan hukum munakahat yang
baku dan benar serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
bidang hukum perkawinan.
2. Agar terealisasinya tujuan hukum, yakni adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di
dalam masyarakat, hendaknya lembaga legislatif tidak ragu lagi untuk mensahkan
Rancaangan Undang-Undang yang Mengkriminalisaikan/Mempidanakan bagi pelaku dan
siapa saja yang terlibat di dalam perkawinan Sirri tersebut, karena perkawinan yang tidak
memenuhi persyaratan secara kumuilatif Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan
tidak dianggap ada perkawinan menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan delict
aduan untuk dipidanakan sebagaimana dimaksudkan pasal 279 KUHPidana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. Bakri A. Rahman, Drs. Ahmad Sukardja, S.H., Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Penerbit PT.Hidakarya Agung,
1981.
2. Drs. Damsyi Hanan, Pengertian Yuridis Sahnya Suatu Perkawinan (catatan terhadap
Dua Putusan Kasasi Yang Bertentangan), Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
3. Hartono Marjono, S.H., Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perkawinan, Mimbar
Hukum No.23 Thn. VI 1995.
4. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di bawah tangan, dan status anaknya
menurut hukum Islam dan Hukum Positif,”Mimbar Hukum No.28 Thn VII 1996.
5. Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat,Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Juli 2004.
6. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu, vol. VII, Dar al-Fikr, halaman 688.