NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG...
i
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004
TENTANG
JALAN
PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG
BADAN KEAHLIAN DPR RI
TAHUN
2017
i
SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004
TENTANG JALAN
Pengarah : K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum.
Kepala Badan Keahilan DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang
BK DPR RI
Ketua : Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M
(Perancang PUU Madya BK DPR RI)
Wakil Ketua : Laksmi Harundani S.H., M.Kn.
(Perancang PUU Pertama BK DPR RI)
Sekretaris : M. Nurfaik, S.H.I.
(Calon Perancang PUU BK DPR RI)
Anggota : 1. Arif Usman, S.H., M.H.
(Perancang PUU Madya BK DPR RI)
2. Denico Doly, S.H., M.Kn.
(Peneliti Muda BK DPR RI)
3. Achmad Wirabrata, S.T., M.M.
(Peneliti Muda BK DPR RI)
4. K. Zulfan Andriansyah, S.H.
(Calon Perancang PUU BK DPR RI)
5. Febri Liany, S.H., M.H.
(Calon Perancang PUU BK DPR RI)
6. Sutriyanti, S.H.,M.H.
(Calon Perancang PUU BK DPR RI)
7. Olsen Peranto, S.H.
(Calon Perancang PUU BK DPR RI)
8. Jeffry San, S.S., M.Si
(Tenaga Ahli Komisi V DPR RI)
9. Dimas Dipoyono, S.T., MM.Tr.
(Tenaga Ahli Komisi V DPR RI)
10. Sherly Wattimena, S.E., M.M.
(Tenaga Ahli Komisi V DPR RI)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Badan Keahlian DPR RI sebagai badan baru yang mempunyai
tugas dan fungsi dukungan keahlian kepada DPR RI sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42
Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2015 Tentang
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR, Peraturan DPR RI Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2015, dan Peraturan Pimpinan DPR RI
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Tugas Dukungan Keahlian
Badan Keahlian DPR.
Dalam hal legislasi, Badan Keahlian DPR RI memberikan
dukungan keahlian kepada Alat Kelengkapan dan Anggota DPR RI di
antaranya adalah membantu penyiapan Program Legislasi Nasional
Prioritas Tahunan, penyiapan dan penyusunan Naskah Akademik dan
Draf Rancangan Undang-Undang sesuai dengan standar penyusunan
Rancangan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan serta dukungan keahlian dalam proses pembahasan Rancangan
Undang-Undang.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini
merupakan usul inisiatif Komisi V DPR RI dalam daftar Program
Legislasi Nasional 2014-2019, yang selanjutnya ditugaskan kepada
Badan Keahlian DPR RI untuk disusun naskah akademik dan draf
Rancangan Undang-Undangnya. Penyusunan Naskah Akademik ini
dilakukan dalam rangka untuk memberikan penyesuaian dan
penyempurnaan atas dinamika penyelenggaraan jalan serta kebutuhan
hukum yang berkembang di masyarakat. Selain dari permasalahan
iii
tersebut terdapat juga disharmonisasi antara Undang-Undang Nomor
38 Tahun 2004 tentang Jalan dengan undang-undang lainnya sehingga
perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku
kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan jalan, di antaranya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Dalam Negeri, Badan Pengelola Jalan Tol, Pusat Jalan dan Jembatan,
Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia, akademisi, dan organisasi
kemasyarakatan pemerhati jalan. Selain itu, Tim Penyusun
juga melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa
provinsi untuk mendapatkan masukan langsung dari pemangku
kepentingan serta masyarakat, yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, dan Provinsi Jawa Timur.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada
penyusunan Naskah Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata,
kami harapkan isi dari Naskah Akademik dan Draf Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2004 tentang Jalan dapat menjadi acuan yang kuat dalam
proses pembahasan antara DPR dengan Pemerintah dalam
melahirkan dasar hukum bagi penyelenggaran jalan di Indonesia.
Jakarta, September 2017
Kepala Badan Keahlian DPR RI,
TTD.
K. JOHNSON RAJAGUKGUK, S.H., M.HUM.
NIP: 195811081983031006
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini
disusun berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh
Badan Keahlian DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari
Perancang Undang-Undang, Peneliti, Tenaga Ahli, dan Kepala Pusat
Perancangan Undang-Undang sebagai penanggung jawab. Penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul
inisiatif Komisi V DPR RI dalam daftar Program Legislasi Nasional 2014-
2019, yang selanjutnya ditugaskan kepada Badan Keahlian DPR RI
untuk disusun naskah akademik dan draf Rancangan Undang-
Undangnya.
Penyusunan Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-
Undang ini dilakukan dalam rangka untuk memberikan penyesuaian
dan penyempurnaan atas dinamika penyelenggaraan jalan serta
kebutuhan hukum yang berkembang di masyarakat. Selain dari
permasalahan tersebut terdapat juga disharmonisasi antara Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dengan undang-undang
lainnya sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku
kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan jalan di antaranya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Dalam Negeri, Badan Pengelola Jalan Tol, Pusat Jalan dan Jembatan,
Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia, akademisi, dan organisasi
kemasyarakatan pemerhati jalan. Selain itu, Tim Penyusun juga
melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi
untuk mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan
v
serta masyarakat, yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi
Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, dan Provinsi Jawa Timur.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang ini. Oleh
karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak agar pada penyusunan Naskah
Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami harapkan isi
dari Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran jalan di Indonesia.
Kami menyampaikan terima kasih kepada Tim yang telah bekerja
keras menyusun Naskah Akademik ini. Kami juga menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dalam proses
penyusunan Naskah Akademik ini.
Jakarta, September 2017
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang
ttd
DR. INOSENTIUS SAMSUL, S.H., M.HUM.
NIP 196507101990031007
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM KERJA .................................................................. i
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................... 8
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik ......................... 8
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis ............................................................... 10
1. Penyelenggaraan Jalan ............................................. 10
a. Perencanaan ........................................................ 14
b. Pembangunan ..................................................... 17
c. Peningkatan Kapasitas Jalan ............................... 19
d. Peningkatan Kualitas Jalan .................................. 19
e. Pemanfaatan Jalan .............................................. 20
f. Pemeliharaan Jalan .............................................. 22
2. Penyelenggaraan Jalan Tol ........................................ 25
a. Prinsip Pengusahaan dan Pembiayaan Jalan Tol . 25
b. Kelembagaan Jalan Tol ........................................ 28
c. Pengelolaan Jalan Tol .......................................... 28
d. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol ......... 29
3. Pembiayaan Jalan .................................................... 30
a. Peran Pemerintah ................................................ 30
b. Peran Swasta .................................................. .... 34
c. Dana Preservasi Jalan (Road Fund) ...................... 38
4. Konsep Pembangunan Jalan Berkelanjutan .............. 41
a. Lingkungan Hidup ............................................... 43
b. Oportunitas Ekonomi ........................................... 44
c. Partisipasi Masyarakat ......................................... 44
5. SPM .......................................................................... 45
vii
a. SPM Jaringan Jalan ............................................. 48
b. SPM Ruas Jalan ................................................... 50
6. Kinerja Jalan ............................................................ 51
7. Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan ......... 54
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait dengan
Penyusunan Norma ....................................................... 56
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan Jalan, Kondisi
yang Ada, dan Permasalahan yang dihadapi Masyarakat,
dan Perbandingan dengan Negara Lain .......................... 58
1. Praktik Penyelenggaraan Jalan Umum ..................... 58
2. Praktik Penyelenggaraan Jalan Tol ............................ 72
3. Praktik Pembiayaan Jalan ....................................... 77
4. Pelaksanaan Konsep Pembangunan Jalan
Berkelanjutan ........................................................... 82
5. Pemenuhan SPM ....................................................... 86
6. Permasalahan Kinerja Jalan ..................................... 88
7. Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan ......... 89
8. Sanksi ...................................................................... 93
9. Perbandingan dengan Negara Lain ............................ 94
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang
akan Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek
Beban Keuangan Negara ................................................ 96
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat ............................................................... 96
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan
Undang-Undang tentang Jalan Terhadap Aspek Beban
Keuangan Negara ...................................................... 101
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 .............................................................................. 103
viii
B. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan . 104
C. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa
Konstruksi .................................................................... 106
D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah .................................................... 107
E. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ..... 110
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum .. 111
G. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman ............................................ 112
H. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ........ 113
I. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah ........................................ 114
J. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik ........................................................... 115
K. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan ............................................ 117
L. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang ........................................................................... 124
M. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal ......................................................... 125
N. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian .............................................................. 126
O. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005 – 2025 .................................................................. 128
P. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
Dan Pemerintah Daerah ............................................... 129
Q. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan .................................................................... 130
R. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
ix
Perlindungan Konsumen ............................................... 131
S. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria ........................................... 134
T. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan ............................................................................. 135
U. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang
Angkutan Jalan ............................................................. 135
V. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2013 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol ...................... 139
W. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas ............................... 143
X. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang ............ 145
Y. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional .......................... 145
Z. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 43 PRT/M/2015
tentang Badan Pengatur Jalan Tol ................................. 146
AA. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
16/PRT/M/2014 tentang SPM Jalan Tol ....................... 151
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis ........................................................ 153
B. Landasan Sosiologis ..................................................... 154
C. Landasan Yuridis ......................................................... 158
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan ................................. 161
B. Ruang Lingkup Materi Muatan ..................................... 162
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................... 178
B. Saran ........................................................................... 179
x
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN:
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur
penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara,
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi
masyarakat untuk mencapai tujuan nasional. Jalan sebagai bagian sistem
transportasi nasional sangat vital dalam mendukung konektivitas dan
mobilitas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dijamin oleh
negara dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar
tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan
pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang
dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Selain itu, peran infrastruktur jalan sangat penting dalam
mendukung pemenuhan hak dasar rakyat seperti pangan, sandang, dan
papan. Pembangunan jalan menciptakan multiplier effect bagi kehidupan
manusia. Dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur juga
ditujukan untuk menciptakan landasan yang kuat untuk tumbuh dan
berkembang atas kekuatan sendiri, menuju suatu masyarakat Indonesia
yang maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian, jalan semakin diperlukan untuk menjembatani
kesenjangan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan antarwilayah,
antarperkotaan, maupun antarperdesaan guna meningkatkan pelayanan
jasa transportasi secara efesien, handal, berkualitas, aman, dengan harga
yang terjangkau serta mewujudkan sistem transportasi nasional yang
terpadu antarmultimoda dan dengan pembangunan wilayah dalam satu
kesatuan sistem jaringan yang menghubungkan dan mengikat seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Harus diakui bahwa upaya yang ditempuh pemerintah dalam
pengelolaan jalan belum mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan
seluruh pihak. Kebijakan investasi pembangunan infrastruktur jalan masih
2
menghadapi hambatan besar keterbatasan dana, baik pada level pusat
maupun daerah. Selain itu ada beberapa permasalahan lain seperti
pelanggaran beban muatan, tidak berfungsinya sistem drainase, rendahnya
kompetensi SDM bidang teknik jalan, serta koordinasi antarpihak terkait
yang tidak berjalan cukup efektif dalam pengentasan akar masalah
kerusakan jalan semakin menambah beban bagi upaya pemerintah untuk
keluar dari masalah kerusakan infrastruktur jalan.
Berdasarkan Kajian Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi yang
dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas pada tahun 2012,
Permasalahan yang dihadapi sub sektor jalan antara lain adalah minimnya
pemeliharaan jalan sehingga menurunnya kualitas dan keberlanjutan
pelayanan infrastruktur darat seperti kemacetan lalu lintas, tingginya
tingkat kecelakaan, lingkungan dan energi. Selain itu kerusakan
infrastruktur dan lambatnya pertumbuhan kapasitas jalan strategis
khususnya arteri dan jalan tol sekitar 70% sistem jaringan jalan nasional,
provinsi dan lokal yang terbatas dan berfungsi optimal dan tidak adanya
penambahan ruas/jalan baru. Semua masalah tersebut harus segera
diatasi guna menciptakan kondisi sub sektor jalan yang lebih baik.1
Selain masalah tersebut, sub sektor jalan juga memiliki tantangan
dalam penyelenggaraan jalan diantaranya adalah: 2
1. menjamin kesinambungan pemeliharaan asset sesuai Standar Pelayanan
Minimum (SPM) minimal dan penyediaan prasarana baru untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan/perekonomian wilayah;
2. dominannya peranan jalan pada transportasi darat sehingga
pertumbuhan ekonomi diikuti oleh pertumbuhan pemilikan kendaraan
bermotor dan peningkatan volume lalu lintas;
3. perubahan kondisi alam dan lingkungan telah menyebabkan
meningkatnya kejadian bencana banjir dan longsor yang mengakibatkan
kerusakan aset jalan;
1Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan, Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Sektoral, Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi di
Indonesia, (Kementerian PPN/Bappenas, 2012), halaman 34-35. 2 Ibid.
3
4. permasalahan ketertiban penggunaan dan pemanfaatan jalan yang
mengakibatkan bertambahnya kemacetan lalu lintas dan meningkatnya
angkutan barang beban lebih;
5. bagian-bagian jalan yang belum terpelihara dengan baik seperti: sistem
drainase dan bahu jalan;
6. pelaksanaan pembebasan tanah yang tidak mudah/terhambat SPM
merupakan ukuran kinerja penyelenggaraan jalan yang harus dicapai
dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia;
7. kelaikan fungsi jalan harus terpenuhi sebagai syarat utama sehingga
jalan dapat melayani masyarakat pengguna jalan dengan aman dan
nyaman;
8. aspek keselamatan merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian
lebih sehingga kuantitas kejadian kecelakaan dan fatalitas dapat
diminimalkan;
9. aspek keserasian dengan lingkungan sekitar jalan dan upaya
penghijauan.
Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sub sektor jalan
adalah masih terbatasnya SDM baik kuantitas maupun kualitas dalam
penyelenggaraan jalan hampir di seluruh jajaran pemangku kepentingan.
Selain itu tuntutan akan transparansi dan kebutuhan serta tuntutan
peningkatan peran masyarakat maupun dunia usaha sebagai mitra sejajar
dalam proses pembangunan menjadikan permasalahan semakin mendesak
untuk diselesaikan ditambah pula dengan belum efektifnya pelaksanaan
desentralisasi penanganan jalan sebagai akibat dari masih terdapatnya
perbedaan persepsi pelaksanaan otonomi daerah.3
Di sisi lain, arah kebijakan dalam tahapan pembangunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah
memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan
menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan
keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta
3 Ibid.
4
kemampuan IPTEK yang terus meningkat.4 Sejalan dengan kepentingan
pembangunan jalan, Sembilan agenda prioritas (nawacita) dan Trisakti
pemerintahan Jokowi-JK, pada angka tiga (3) menyebutkan, membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.
Pemerintah Kabinet Kerja telah menyusun prioritas pembangunan
lima tahun ke depan. Terkait pembangunan jalan, Pemerintah
memprioritaskan pembangunan infrastruktur jalan baru guna
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional,
diantaranya:5
1. peningkatan kapasitas jalan melalui pelebaran jalan dalam kota, dari
pusat kota menuju kota satelit, antar kota dan jalan tol;
2. peningkatan kapasitas jalan melalui penambahan jalan baru dalam kota,
dari pusat kota menuju kota satelit, antar kota (suburbs), dan jalan tol;
dan
3. peningkatan ketebalan jalan guna menahan beban bobot barang yang
lebih besar.
Selanjutnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional telah
membuat prioritas pembangunan infrastruktur tahun 2016 melalui
dukungan infrastruktur pekerjaan umum dalam dimensi pembangunan
dengan:6
1. meningkatkan kondisi mantap jalan nasional mencapai 98%, jalan
provinsi 75% dan jalan kabupaten 65%;
2. mengembangkan jalan nasional sepanjang 45.592 km;
3. membangun jalan baru sepanjang 2.650 km; dan
4 Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. 5 Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan, Op.Cit, hal. 35 6 Adapun target outcome infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 terkait
infrastruktur jalan, yaitu adanya peningkatan kemantapan jalan nasional dari kondisi
2014 yaitu 94% menjadi 98% pada akhir 2019, serta adanya peningkatan waktu tempuh rata-rata (koridor utama) dari sebelumnya 2,6 jam/100/km pada tahun 2014 menjadi 2,2
jam/100 km pada akhir 2019. Lihat, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana-Bappenas.
Prioritas Pembangunan Infrastruktur 2016,
http://www.pu.go.id/konreg2015/BAHAN%20KONREG%202015/Paparan%20Deputi%20S
arpras%20Bappenas%20-%20Konreg%20PU%202015.pdf. Diakses tanggal 29 Januari 2016 pukul 15.30 WIB.
5
4. mengembangkan jalan tol sepanjang 1.000 km.
Beberapa tahun terakhir ini, pembangunan infrastruktur jalan di
Indonesia dalam mendukung konektivitas dan daya saing berada pada tren
yang cukup positif.7 Pada periode tahun 2010-2014 telah dilakukan
pembangunan jalan nasional sepanjang 1.268 km, jalan bebas hambatan
sepanjang 45,59 km, dan jembatan sepanjang 41.640 m. Dengan demikian
total panjang Jalan Nasional yang telah dibangun sampai tahun 2014
adalah sepanjang 39.838 km. Untuk capaian hasil pembangunan
jembatan/fly over/underpass/terowongan sampai tahun 2014 sepanjang
62.599 m. Total hasil pembangunan jalan bebas hambatan sampai akhir
tahun 2014 mencapai 1.030,56 km.8
Pembangunan infrastruktur jalan yang begitu besar dengan didukung
oleh anggaran yang besar pula diperlukan adanya terobosan dalam
pelaksanaan penyelenggaraan jalan untuk menjaga tren positif kualitas
infrastruktur jalan di Indonesia, sehingga mampu mencapai nilai yang lebih
baik di tahun-tahun berikutnya. Meskipun kondisi jalan nasional sudah
mencapai tingkat kemantapan yang relatif tinggi, kondisi jalan daerah
belum mampu mendukung fungsi jalan nasional. Tingkat kemantapan jalan
daerah masih pada kisaran 70%.9 Padahal, sebagai sebuah sistem jaringan,
7 Berdasarkan penilaian dari Global Competitiveness Index, kualitas infrastruktur
jalan menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2016-2017,
infrastruktur jalan mengalami peningkatan dari nilai 3,7 pada tahun 2015-2016 menjadi
nilai 3,9 dari skala 7 dan berada pada urutan ke-75 dari 148 negara. Kementerian
Pekerjaan Umum. Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019. hal. 20 http://pu.go.id/uploads/info-
anggaran/renstra/Renstra-2015-2019.pdf. Diakses tanggal 29 Januari 2016 pukul 16.00
WIB. 8 http://pu.go.id/uploads/info-anggaran/renstra/Renstra-2015-2019.pdf 9 Berdasarkan hasil capaian kondisi jalan pada periode tahun 2010-2014 di
Kementerian PU&PERA, panjang jalan daerah sampai tahun 2014 mencapai panjang
463.399 Km (data RPJMN 2015-2019) dengan tingkat kemantapan mencapai 70% dan
untuk Jalan Kabupaten/Kota mencapai 59%. Lihat Kementerian Pekerjaan Umum.
Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-
2019. hal. 20 http://pu.go.id/uploads/info-anggaran/renstra/Renstra-2015-2019.pdf.
Diakses tanggal 5 Februari 2016. Lihat pula Prioritas Pembangunan Infrastruktur 2016 terkait Dukungan Infrastruktur Ke-PU-an Dalam Dimensi Pembangunan dalam hal
konektivitas. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana-Bappenas. Prioritas Pembangunan
Infrastruktur 2016,
http://www.pu.go.id/konreg2015/BAHAN%20KONREG%202015/Paparan%20Deputi%20S
arpras%20Bappenas%20-%20Konreg%20PU%202015.pdf.
6
jalan daerah memegang peran yang tidak kalah penting dari jalan nasional.
Kondisi ini menjadi salah satu penyebab kurang baiknya kinerja jaringan
jalan di Indonesia, yang mengakibatkan permasalahan seperti waktu
tempuh yang cukup lama serta tingginya biaya logistik.
Di kawasan perkotaan juga terjadi kemacetan yang diakibatkan oleh
pertumbuhan kapasitas jalan yang tidak mampu mengikuti pertumbuhan
kendaraan bermotor. Mengingat pada periode 2015-2020 Indonesia akan
mendapatkan bonus demografi, diperkirakan kegiatan ekonomi akan
meningkat dan akan mendorong pertumbuhan pergerakan kendaraan
bermotor. Tanpa adanya tindakan, hal ini dapat memperburuk kondisi
kemacetan di kawasan perkotaan. Pembangunan jalan tol masih terhambat
masalah pengusahaan, pengadaan lahan, dan kelembagaan. Disamping itu,
mutu dan kemantapan jalan belum seragam dan kerusakan jalan akibat
beban berlebih juga masih terjadi, sementara keselamatan jalan dan
kelaikan fungsi jalan dituntut untuk lebih ditingkatkan.10
Sejalan dengan agenda pembangunan infrastruktur terutama jalan
yang direncanakan DPR dan Pemerintah melihat adanya kebutuhan hukum
guna mendukung pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan jalan yang
sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. DPR terutama Komisi V
mengagendakan adanya penguatan pengaturan di tingkat undang-undang
guna memayungi kegiatan pembangunan dan pengelolaan jalan dengan
dilakukannya evaluasi terhadap undang-undang dan peraturan terkait.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU tentang Jalan)
yang telah berusia lebih dari 13 tahun berpotensi menimbulkan
permasalahan hukum mengingat adanya perkembangan dan dinamika
pembangunan yang terjadi selama lebih dari satu dekade.
Dalam penerapan UU tentang Jalan masih diperlukan perhatian
terhadap berbagai isu antara lain perlunya percepatan pembangunan jalan,
pemeliharaan dan perbaikan jaringan jalan, kinerja jalan, pembiayaan jalan
daerah dan pembangunan jalan di wilayah perbatasan negara termasuk
kerjasama pembangunan jalan lintas negara. Di samping itu yang menjadi
perhatian adalah dinamika pengembangan jalan tol dan pemenuhan
10 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Op. Cit. Hal. 22.
7
standar pelayanan minimum dan perkembangan lingkungan strategis
dalam persaingan global serta tuntutan angkutan multimoda.
Berdasarkan latar belakang tersebut muncul kebutuhan untuk
melakukan perbaikan terhadap UU tentang Jalan. Rencana perubahan atas
undang-undang tersebut telah masuk dalam daftar Program Legislasi
Nasional tahun 2010-2015 dan masuk dalam daftar prioritas tahun 2010.
Dalam perjalanannya RUU perubahan terhadap UU tentang Jalan telah
memasuki pembahasan tingkat I pada periode keanggotaan 2010-2015
namun tidak terjadi titik temu antara DPR dan Pemerintah terkait
penyelesaian RUU tersebut.
Mengingat adanya kebutuhan sebagimana digambarkan pada bagian
sebelumnya dibutuhkan solusi terhadap berbagai persoalan
penyelenggaraan jalan dan rencana perubahan terhadap UU tentang Jalan
kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019
nomor urut 76. Komisi V DPR RI akan melakukan kembali pengkajian dan
penyempurnaan terhadap Draf RUU tentang Perubahan atas UU tentang
Jalan dengan melakukan penyusunan suatu Naskah Akademik sebagai
acuan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang dimaksud.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang
dapat diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana teori-teori dan pemikiran yang berkembang saat ini terkait
dengan penyelenggaraan jalan dan bagaimana praktik empirik yang
menggambarkan permasalahan yang dihadapi dan terjadi dalam
penyelenggaraan jalan yang selama ini dilaksanakan berdasarkan UU
tentang Jalan?
2. Bagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penyelenggaraan jalan yang ada saat ini, baik dalam UU tentang
Jalan itu sendiri maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait?
8
3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis pembentukan RUU tentang Perubahan atas UU tentang Jalan?
4. Apakah sasaran yang ingin diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU tentang Perubahan atas
UU tentang Jalan?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan gambaran mengenai teori-teori dan pemikiran yang
berkembang saat ini terkait dengan penyelenggaraan jalan dan praktik
empiris yang menggambarkan permasalahan yang dihadapi dan terjadi
dalam penyelenggaran jalan yang selama ini dilaksanakan berdasarkan
UU tentang Jalan
2. Mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan Jalan yang ada saat ini, baik dalam UU tentang Jalan
itu sendiri maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
3. Merumuskan dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis pembentukan RUU tentang Perubahan atas UU tentang
Jalan.
4. Merumuskan sasaran yang ingin diwujudkan, rung lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU tentang Perubahan atas
UU tentang Jalan.
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang perubahan atas UU
tentang Jalan dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan
menelaah berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan
terkait baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan
berbagai dokumen hukum terkait. Guna melengkapi studi kepustakaan dan
literatur dilakukan pula diskusi (focus group discussion) dan wawancara
serta kegiatan uji konsep dengan berbagai pihak berkepentingan atau
stakeholders terkait penyelenggaraan jalan dan para pakar atau akademisi.
9
Para pakar dan akademisi yang menjadi narasumber dalam kegiatan
diskusi antara lain dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia,
Universitas Parahyangan, Universitas Tarumanegara, dan Universitas
Trisakti. Sedangkan Univeristas di Daerah antara lain Universitas Nusa
Cendana Kupang, Politeknik Negeri Kupang, Universitas Katolik Widya
Mandira, Universitas Sriwijaya baik dari fakultas teknik maupun fakultas
hukum, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, Universitas Kristen Petra, Universitas Lampung, dan Institut
Teknologi Sumatera.
Selain pakar dan akademisi tim juga berdiskusi dengan beberapa
institusi dan stakeholders yang membidangi tentang jalan baik jalan umum
maupun jalan tol, baik yang berada di Jakarta maupun di beberapa daerah
seperti Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Himpunan
Pengembangan Jalan Indonesia NTT, Balai Besar PJN V Sumatera Selatan,
Lampung, dan Bangka Belitung, Balai Pelakasanaan Jalan Nasional X
(BPJN X), Dinas PU Bina Marga dan Tata Ruang, Dinas Perhubungan, dan
Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Perhubungan,
Informasi, dan Komunikasi, Dinas PU Bina Marga dan Penataan Ruang
Kabupaten Manggarai Barat, dan Dinas PU Bina Marga Provinsi Lampung.
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
1. Penyelenggaraan Jalan
Konsep penyelenggaraan jalan pertama sekali harus dilihat dari satu
kesatuan sistem jaringan jalan. Pelayanan dari sistem jaringan jalan tidak
dapat dipisahkan, hanya dapat diturunkan sesuai dengan hirarki fungsi
jalan. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pelayanan dari
suatu sistem jaringan jalan adalah seberapa besar sistem jaringan jalan
tersebut dapat melayani mobilitas orang dan barang.
Jaringan jalan merupakan suatu sarana yang dapat menghubungkan
atau mempersatukan suatu daerah dan daerah lainnya. Akses dari suatu
daerah ke daerah lain dapat terganggu akibat adanya suatu segmen jalan
yang memiliki pelayanan yang kurang baik. Pelayanan yang kurang baik
pada suatu segmen jalan juga dapat mempengaruhi pelayanan dalam satu
sistem jaringan jalan. Jalan sebagai aset negara yang melahirkan
tanggungjawab negara terhadap pembangunan dan pemeliharaan jalan
untuk menghubungkan jaringan jalan sebagai alat pemersatu antar daerah,
termasuk kewajiban intervensi pusat untuk pekerjaan jalan daerah yang
terkoneksi dengan jaringan arteri primer nasional.11
Konsep penyelenggaraan yang diusung dalam perencanaan
penyelenggaraan jalan sangat mempengaruhi permasalahan yang diangkat
terkait dengan penyelenggaraan jalan dan tujuan yang akan dicapai.
Penyusunan kerangka konsep penyelenggaraan infrastruktur jalan harus
memandang berbagai aspek yang terkait, yaitu mulai dari kondisi sosial
masyarakat, penyediaan infrastruktur hingga dampak yang ditimbulkan
dari penyelenggaraan infrastruktur tersebut. Secara konsep berbagai aspek
yang terkait dengan penyelenggaraan infrastruktur jalan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Struktur dan sistem politik dan sosial masyarakat;
2) Penyediaan infrastruktur;
11
FX. Trisbiantara. Pakar Transportasi dari Universitas Trisakti, disampaikan dalam
Focus Group Discusion (FGD) dalam rangka Penyusunan NA dan RUU Perubahan atas UU
No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Jakarta 2 Februari 2017
11
3) Struktur pemerintahan (pengaturan kelembagaan);
4) Sistem transportasi;
5) dampak sosial, ekonomi dan lingkungan.
Hubungan antar berbagai aspek tersebut dapat dijelaskan melalui sebagai
berikut:
Gambar 1. Kerangka Konsep Penyelenggaraan Infrastruktur12
Infrastructure
innovation ad
utilization
- Efficiency
- Effectivness
- Equity
· Functioning and more inclusive
basic service
· Increasing more equatable access
to markets and businee services
· Using services that respond to
basic need and bring a bette
quality of life
· Creating services that conserve
energy and natural resources and
are safe for users
Nature of social and political structures and system
Governance
(institutional
arragements)
· Rules
· Insentives
· Resource
· Risk
Supply-side
aspect
Delivery
system
Social and economics impacts
Kondisi struktur dan sistem sosial dan politik yang ada akan
mempengaruhi penyediaan infrastruktur jalan dan sistem transportasi yang
diterapkan. Faktor tersebut mempengaruhi dari sisi kebijakan yang
mungkin diterapkan serta tuntutan dari kebutuhan masyarakat setempat.
Dalam kondisi struktur sosial yang berbeda, maka kebijakan penyediaan
prasarana jalannya pun akan berbeda, begitu pula sistem transportasi yang
diterapkan. Penyediaan infrastruktur jalan yang berbeda akan berdampak
pada penerapan sistem transportasi yang lain.
Dalam penyediaan infrastruktur jalan, terdapat inovasi dalam
penyelenggaraan infrastruktur dan pemanfaatan segala sumberdaya yang
diperlukan dalam rangka penyediaan infrastruktur. Inovasi yang dilakukan
dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat dan kebijakan dari pemerintah.
Begitu pula dalam hal pemanfaatan sumberdaya, sangat dipengaruhi oleh
12Usman, S. (2009). “Studi Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat: Image of
The Subject Matter”, Magister Pengelolaan Infrastruktur dan Pemberdayaan Masyarakat
(PIPM), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
struktur dan sistem sosial yang ada yang berimbas pada kebijakan
penggunaan sumberdaya oleh pemerintah.
Inovasi dan pemanfaatan sumberdaya dalam penyediaan
infrastruktur jalan akan mempengaruhi sistem transportasi yang dapat
diterapkan. Penyediaan infrastruktur tidak akan berpengaruh langsung
terhadap sistem transportasi, namun dipengaruhi oleh faktor lain yaitu dari
sisi pemerintah. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah akan
berdampak pada pemanfaatan infrastruktur jalan yang tersedia guna
membentuk suatu sistem transportasi. Kebijakan pemerintah yang
dilakukan meliputi regulasi, pemberian subsidi, sumberdaya dan
penjaminan resiko.
Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat dipisahkan dari
sejumlah kebijakan yang melatarbelakangi konsep penyelenggaraannya.
Alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari ditetapkannya
sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat maupun
daerah yang menjadi dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi
penyelenggaraan jalan di Indonesia yang merupakan penentu bagi proses
perencanaan baik jaringan maupun teknis, studi kelayakan, program dan
anggaran, proses konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang semuanya
sangat berkaitan dengan hasil output, outcome serta dampak dari
penyelenggaraan jalan tersebut.13
Pemerintah selama ini dalam mengukur kinerja pembangunan jalan
mengunakan pendekatan pembangunan jalan baru dan pemeliharaan jalan
nasional (termasuk terowongan dan jembatan), peningkatan kapasitas dan
struktur jalan. Pendekatan ini memiliki kelemahan karena pengukurannya
terpisah antara satu kegiatan dengan kegiatan lain. Selanjutnya dalam
naskah akademis ini digunakan pendekatan konsep penyelenggaraan jalan
meliputi perencanaan, pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas
jalan, peningkatan kualitas jalan, pemanfaatan, dan pemeliharaan jalan.
Rangkaian tersebut merupakan suatu siklus (lihat gambar.2). Pendekatan
ini akan semakin memperjelas kinerja pengelolaan pembangunan jalan
13http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37436/3/Chapter%20II.pdf,
diakses pada 17 Februari 2016.
13
karena tujuan akhir dari suatu jalan akan terukur berdasarkan panjang
dan luas jalan dari permulaan pembangunan suatu jalan. Arahan
pembangunan jalan dapat mengacu pada berbagai dokumen perencanaan
yang ada di pemerintah pusat maupun daerah.14
Gambar 2. Siklus Penyelenggaraan Jalan
PeningkatanKualitas Jalan
Pembangunan Jalan Baru
PemanfaatanJalan
Jalan Lama
PeningkatanKapastitas
Pemeliharaan
Penyediaan jalan setiap kawasan dapat saja berbeda, tergantung arah
kewilayahan dan fokus atau perioritas yang akan dicapai.15 Misalnya dilihat
dari pendekatan kebutuhan (demand approach) termaasuk kebutuhan
untuk memlihara jalan yang sudah dibangun dan penyedaan jalan yang
mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi di suatu wilayah (supply
approach). Dengan penyediaan infrastruktur jalan di daerah tertentu
diharapkan membawa multiplier effect terhadap pertumbuhan disekitarnya.
Agar terdapat jaminan konektivitas antar wilayah maka penyelenggaraan
jalan hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi yang mencakup
penyelenggaraan seluruh status jalan baik nasional, provinsi, kabupaten,
kota, maupun desa.16 Pemerintah daerah dapat menyerahkan sebagian
kewenangannya kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah
setingkat di atasnya jika belum mampu melaksanakannya.
Mekanisme yang ideal dalam pemberian bantuan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah terkait dengan anggaran pembangunan
jalan daerah dapat menggunakan mekanisme dana alokasi khusus (DAK).
14
FX. Trisbiantara. Pakar Transportasi dari Universitas Trisakti, Loc. Cit. 15
FX. Trisbiantara. Pakar Transportasi dari Universitas Trisakti, Loc. Cit. 16
Prof. Leksmono S.P.. Guru Besar Transportasi Universitas Taruma Negara,
disampaikan dalam Focus Group Discusion (FGD) dalam rangka Penyusunan NA dan RUU
Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Jakarta 1 Februari 2017
14
Dana Alokasi Khusus (DAK) bersumber dari APBN dialokasikan pada
Daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Alokasi DAK
dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah.17
Kebijakan yang ditetapkan pembagian Alokasi dana per tahun
anggaran yang bersifat sektoral pada kegiatan tertentu selalu di sesuaikan
dengan kebutuhan dan prioritas pada tahun anggaran berjalan. Tahun
2015, terdapat 14 bidang sektoral kegiatan yang di biayai oleh DAK. Bidang
Transportasi, dengan Subbidang Jalan dan Jembatan merupakan salah
satu bagian yang menerima alokasi dana tersebut. Disamping DAK Reguler
yang ditetapkan, subbidang Jalan dan Jembatan juga menerima DAK
Afirmatif yang ditujukan untuk daerah tertinggal. Dalam beberapa kasus
yang terjadi di daerah, dana yang disediakan untuk kegiatan penanganan
jalan dan jembatan masih sangat tergantung dari Dana Alokasi Khusus.
Tugas kementerian teknis dalam penentuan alokasi DAK adalah
menentukan indikator kriteria teknis pembagian alokasi untuk 34 Provinsi
dan 505 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Kriteria teknis ini
berpengaruh pada proses penetapan kelayakan daerah sebagai penerima
dana dan dalam proses perhitungan penetapan alokasi. Oleh karena itu,
penentuan bobot kriteria perlu di lakukan dengan sebaik-baiknya.
a. Perencanaan
Pada dasarnya pembangunan jalan adalah proses pembukaan
ruangan lalu lintas yang mengatasi berbagai rintangan geografi. Proses ini
melibatkan pengalihan muka bumi, pembangunan jembatan dan terowong,
bahkan juga pengalihan tumbuh-tumbuhan. Karena itu dalam
pembangunan jalan diperlukan perencanaan untuk mengatasi masalah
17
Ibid.
15
dampak lingkungan yang menjadi perhatian agar tidak menggangu
keseimbangan ekosistem.
Perencanaan jalan memerlukan suatu acuan, ketetapan, dan standar
agar jalan yang direncanakan menjadi jalan yang aman, nyaman, dan
ekonomis.18 Pemerintah pusat harus menetapkan SPM yang tepat untuk
jalan nasional, jalan provinsi, serta jalan kabupaten/kota yang sesuai
dengan kebutuhan mobilitas orang dan barang yang direncanakan
melintasinya.19 Perencanaan umum yaitu menyangkut analisis jaringan
jalan secara keseluruhan yang ditujukan untuk memperkirakan kebutuhan
biaya jangka menengah sampai jangka panjang, sesuai dengan target yang
ditetapkan.
Setiap pembangunan membutuhkan perencanaan yang tepat dan
terkendali agar pembangunan dapat berjalan dengan baik dan mencapai
hasil yang sesuai. Jalan dikatakan baik jika direncanakan sedemikian rupa
sehingga unsur keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan dapat
terjamin dengan baik.
Perencanaan dan pembangunan jalan raya termasuk jenis
pembangunan infrastruktur dimana berfungsi sebagai pemenuhan salah
satu kebutuhan masyarakat yang meliputi proses pembukaan ruangan lalu
lintas untuk menghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain.
Proses ini melibatkan pengalihan muka bumi, pembangunan jembatan dan
terowongan, bahkan juga pengalihan tumbuh-tumbuhan (Ini mungkin
melibatkan penebasan hutan).
Setiap daerah memiliki kondisi wilayah dan karakteristik masing-
masing yang dapat membedakan kebutuhan pembangunan jalan antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain. Oleh sebab itu setiap akan
melakukan pembangunan jalan perlu terlebih dahulu dilakukan studi yang
berkaitan dengan rencana pembangunan jalan serta memperhatikan dasar-
dasar pertimbangan yang mempengaruhi perencanaan jalan agar dapat
mengantisipasi dampak yang timbul akibat adanya pembangunan jalan.
18http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37436/3/Chapter%20II.pdf,
diakses pada 18 Februari 2016. 19
Prof. Leksmono S.P.. Guru Besar Transportasi Universitas Taruma Negara, Loc. Cit.
16
Adapun beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan perencanaan
jalan, yaitu:20
1. Klasifikasi jalan
2. Karateristik lalulintas
3. Karakteristik jalan
4. Dampak lingkungan
5. Ekonomi
6. Keselamatan lalulintas
Dalam tahap perencanaan pembangunan jalan harus dilakukan
secara matang dan terencana. Ada berbagai macam jenis perencanaan
pembangunan jalan.
1) Perencanaan Berbasis Ruang
Pembangunan jalan yang berbasis penataan ruang dalam
operasionalisasinya merupakan pembangunan sektor jalan yang
mengacu kepada indikasi program strategis penataan ruang.
2) Perencanaan Berbasis Sistem Transportasi
Penyelenggaraan sistem transportasi perlu memperhatikan 3
aspek, yaitu efisiensi, efektifitas dan keadilan. Penyelenggaraan
transportasi yang merupakan perpaduan antara infrastruktur dan
sistem harus dapat memberikan nilai tambah terhadap mobilitas orang
dan barang serta dapat memberikan penghematan biaya perjalanan
dibandingkan dengan kondisi infrastruktur dan sistem tersebut tidak
ada. Infrastruktur jalan yang ada harus dimanfaatkan seefektif
mungkin, yaitu dengan mengutamakan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi. Kemudahan akses menuju layanan dasar
masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. Karena itu di dalam penyelenggaraan infrastruktur harus
mampu memberikan keadilan untuk mengakses pasar dan layanan
bisnis yang ada.
20http://www.academia.edu/5740385/DASAR_PERENCANAAN_JALAN_SURVAI_an
d_DATA_PENDUKUNG, diakses pada 18 Februari 2016.
17
3) Perencanaan Teknis
Teknologi pembangunan jalan terus berkembang, baik dari sisi
teknologi pelaksanaan maupun material. Termasuk di Indonesia dengan
kondisi geografis teknologi pelaksanaan memerlukan penerapan
diversifikasi bahan dan teknologi. Misalnya di lahan gambut dapat
diterpkan teknologi tradisional maupun modern. Karena itu beberapa
hal teknis yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembangunan
jalan adalah penggunan teknologi konstruksi jalan dan analisis dampak
lingkungan.
Dalam pelaksanaannya terdapat pengawas, pengawasan dilakukan
oleh lembaga yang independen dan profesional. Pengawasan jalan tidak
hanya memperhatikan teknis dan pembiayaan, namun juga harus
memastikan ketiga macam jenis perencanaan berjalan. Termasuk untuk
menentukan bahwa pekerjaan jalan sudah memenuhi standar kualitas
jalan sehingga laik dioperasikan.21
b. Pembangunan
Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan
penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta
pengoperasian dan pemeliharaan jalan.22 Pembangunan jalan hakikatnya
terdiri dari pembangunan ruas jalan baru dan pengembangan ruas jalan
yang sudah ada melalui peningkatan kualitas dan kapasitas jalan.
Program pembangunan jalan baru merupakan pembangunan ruas-
ruas jalan yang ada dalam bentuk alternatif, atau penyediaan prasarana
jalan baru guna pembukaan daerah baru dalam rangka pengembangan
wilayah dan dalam usaha menunjang lokasi sektor-sektor strategis.
Program-program mencakup pembangunan jalan baru baik yang akan
dioperasikan sebagai jalan tol, maupun bukan jalan tol. Pada pembangunan
jalan baru bukan jalan tol, produk pembangunan pada umumnya
dilakukan dengan cara pentahapan untuk mencapai produk standar teknis
terbaik ataupun produk fungsional.
21
FX. Trisbiantara. Pakar Transportasi dari Universitas Trisakti, Loc. Cit. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan.
18
Pembangunan jalan yang biasa di lakukan di Indonesia menurut
Sulaksono (2001) mempunyai tahapan dimulai dari tahap perencanaan
(planning), selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan
perancangan detail (detail design), kemudian tahap konstruksi (construction)
dan diakhiri tahap pemeliharaan (maintenance).23 Jalan sendiri memiliki
manfaat karena dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat.
Dengan demikian pembangunan jalan yang sebagian besar merupakan
parasarana publik memiliki nilai ekonomi, nilai sosial dan nilai strategis.
Pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang sangat vital sebagai
pendukung utama dinamika dan aktivitas ekonomi baik dipusat maupun di
daerah, pengembangan wilayah serta prasarana penunjang yang utama
bagi perekonomian nasional. Pada perkembangannya, pembangunan jalan
semakin diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong
pemerataan hasil-hasil pembangunan antarwilayah, antarperkotaan dan
antarperdesaan serta untuk mempercepat pengembangan wilayah dan
mempererat hubungan antarwilayah. Selain itu, jalan juga memiliki
manfaat strategis antara lain menciptakan pekerjaan berskala besar,
penggunaan sumber daya dalam negeri serta meningkatkan sektor riil
dengan menciptakan multiflier efek perekonomian.
Sementara itu tujuan pembangunan jalan adalah meningkatkan
pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman,
harga terjangkau dan mewujudkan sistem transportasi nasional secara
intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayah dan menjadi bagian
dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan
manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa-kota
yang memadai. Berdasarkan hal di atas maka konsep penyelenggaraan
jalan merupakan satu kesatuan sistem pembangunan.
23http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37301/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 18 Februari 2016.
19
c. Peningkatan Kapasitas Jalan
Peningkatan kapasitas merupakan kegiatan penanganan jalan dengan
pelebaran perkerasan, baik menambah maupun tidak menambah jumlah
lajur.24 Peningkatan kapasitas sangat penting untuk memperlancar
mobilitas barang dan jasa. Peningkatan kapasitas25 biasanya dilakukan
dengan kegiatan menambah lajur jalan dan pelebaran bahu jalan. Kualitas
teknis jalan pada peningkatan kapasitas jalan harus setara atau lebih dari
kualitas teknis jalan yang telah ada.
d. Peningkatan Kualitas Jalan
Peningkatan kualitas jalan adalah kegiatan meningkatkan mutu dan
kelas jalan. Kegiatan ini penting karena memberikan dampak ekonomi.
Studi dari Abdul Wahab memperlihatkan bahwa analisis tentang beberapa
variabel yang dianggap berpengaruh dalam peningkatan kualitas jalan
terhadap pengembangan kawasan pertanian, maka dapat disimpulkan
bahwa, tingkat aksesibilitas dan mobilitas penduduk meningkat dan sangat
berpengaruh setelah investasi infrastruktur jalan ditingkatkan
kualitasnya.26 Di samping meningkatnya akses yang lebih cepat untuk
berinteraksi dengan wilayah lainnya, maka tingkat pemanfaatan lahan dan
nilai lahan dalam kawasan jalan lingkar jadi meningkat, lahan yang tadinya
kurang produktif berubah menjadi lahan yang berpotensi untuk
menghasilkan komoditi yang lebih berkualitas.
Program peningkatan merupakan usaha-usaha meningkatkan
kemampuan pelayanan ruas-ruas jalan (termasuk jembatannya) untuk
memenuhi tingkat pelayanan yang sesuai dengan pertumbuhan lalu lintas
serta berada tetap dalam kemampuan pelayanan mantap sesuai umum
rencana yang ditetapkan (umumnya 5 tahun sampai dengan 10 tahun).
24 Peraturan Menteri PU Nomor 15/PRT/M/2010. 25Menurut King County Public Rules and Regulations, kapasitas diartikan:
"Capacity" means a quantified estimate of the maximum number of vehicles that can be accommodated by a roadway section or intersection in the Committed Network during a peak travel period and under specified operating conditions.
26 Wahab, A. (2009). “Dampak Peningkatan Kualitas Jalan Lingkar Barat Enrekang
Terhadap Pengembangan Kawasan Pertanian.”, Magister Teknik Pengembangan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro, Semarang.
20
Program penggantian jembatan, dimaksud sebagai program untuk
mempercepat berfungsinya jalan, karena adanya sejumlah besar jembatan
yang ada dalam keadaan perlu diganti dan sebagian besar merupakan
penyebab kurangnya ruas jalan.
e. Pemanfaatan Jalan
Pemanfaatan jalan harus didahului dengan persyaratan laik fungsi
jalan baik secara teknis dan administratif. Hal telah diatur dalam Pasal 22
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi
Jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan
sebelum pengoperasian Jalan.
(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada
Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh
penyelenggara Jalan.
(5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri
atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan
ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemanfaatan jalan juga akan terkait dengan pemanfaatan bagian
jalan. Bagian-bagian jalan menurut PP Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
21
meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, ruang pengawasan jalan
dan lajur khusus. Bagian-bagian jalan dapat dijelaskan dalam Gambar 4.
Gambar 3. Bagian-Bagian Jalan
1. Ruang Manfaat Jalan. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang
dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan,
saluran tepi jalan, ruang utilitas jalan, serta ambang pengamannya.
Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah
dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan
terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan
dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan
2. Ruang Milik Jalan. Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah
tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari
ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang
dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan perluasan keamanan
penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat
jalan pada masa yang akan datang. Ruang manfaat jalan meliputi badan
jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Pemerintah perlu
mengupayakan pengendalian dan pembatasan pemanfaatan ruang di
sepanjang jalan, terutama jalan arteri primer, agar tidak mempengaruhi
kelancaran arus lalu lintas.
= Ruang manfaat jalan (Rumaja)
x
b
1,5 m
5 m
d c
a b
c d
= Ruang milik jalan (Rumija) = Bangunan
= Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)
a = jalur lalu lintas d = ambang pengaman
b = bahu jalan x = b+a+b = badan jalan
c = saluran tepi
22
3. Ruang Pengawasan Jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang
tertentu yang terletak di luar ruang milik jalan yang penggunaannya
diawasi oleh penyelenggara jalan agar tidak mengganggu pandangan
pengemudi, konstruksi bangunan jalan apabila ruang milik jalan tidak
cukup luas, dan tidak mengganggu fungsi jalan. Terganggunya fungsi
jalan disebabkan oleh pemanfaatan ruang pengawasan jalan yang tidak
sesuai dengan peruntukannya.
Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan
dimaksudkan untuk menjamin bahwa pemanfaatan ruang manfaat jalan
dan ruang milik jalan selain peruntukannya, penggunaan ruang manfaat
jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan
jembatan, serta penggunaan ruang pengawasan jalan dapat dilaksanakan
secara tertib.27
Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan
bertujuan untuk pengamanan fungsi jalan, menjamin kelancaran dan
keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi. Jalan
pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain
peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media
informasi, bangun–bangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik
jalan, penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan
khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan berupa muatan dan
kendaraan dengan dimensi, muatan sumbu terberat dan/atau beban total
melebihi standar dan Penggunaan ruang pengawasan jalan yang tidak
mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi
jalan.28
f. Pemeliharaan Jalan
Dengan selesainya pembangunan suatu jaringan jalan, maka kegiatan
penyelenggaraan jalan sekarang telah berubah penekanannya, yaitu dari
27http://binamarga.dpu.ntbprov.go.id/rekomendasi-pemanfaatan-ruang-milik-
jalan-untuk-pemasangan-utilitas-pada-ruas-jalan-provinsi/, diakses pada 18 Februari
2016. 28 Ibid.
23
pekerjaan pembangunan jalan baru menuju ke pekerjaan pemeliharaan
jalan. Jalan yang selesai dibangun dan dioperasikan akan mengalami
penurunan kondisi sesuai dengan bertambahnya umur sehingga pada
suatu saat jalan tersebut tidak berfungsi lagi sehingga mengganggu
kelancaran perjalanan.
Pemeliharaan adalah segala hal yang dilakukan untuk menjaga jalan
yang telah dibangun agar tetap berada dalam kondisi yang baik. Ada
beberapa jenis pemeliharaan. Yang paling penting adalah pemeliharaan
rutin. Pemeliharaan rutin adalah pekerjaan yang dilakukan 2 atau 3 kali
dalam setahun untuk memastikan jalan berada pada kondisi yang baik,
dan masalah-masalah kecil tidak diacuhkan namun diatasi sebelum
menjadi masalah yang besar. Kemudian, pemeliharaan berkala adalah
pekerjaan yang dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit (contoh:
sekali dalam 4 atau 5 tahun). Pelaksanaan pemeliharaan berkala
melibatkan lebih banyak pekerjaan dan biaya yang lebih tinggi, dan
termasuk diantaranya adalah pelapisan ulang, perbaikan besar pada
jembatan dan gorong-gorong, atau memperbaiki bagian-bagian yang rusak
di sepanjang jalan tersebut.29
Pada pelaksanaannya pemeliharaan identik dengan pembinaan jalan
disusun mencangkup usaha-usaha memelihara/merawat serta
memperbaiki kerusakan-kerusakan terhadap seluruh ruas jalan yang ada
agar tetap dalam kondisi mantap. Pengertian ini mencakup penanganan
permukaan aspal dan drainase, maka pemeliharaan perlu ditingkatkan
dengan ketajaman yang memadai, pemeliharaan jalan menyangkut
pemeliharaan rutin dan pemeliharaan berkala (routine and periodic
maintenances). Pemeliharaan jalan yang memadai dapat memperpanjang
umum pelayanan jalan yang mantap.
Kerusakan jalan sendiri dapat disebabkan karena kelebihan kapasitas
muatan kendaraan antara lain diperlihatkan dengan adanya permukaan
jalan yang bergelombang (deformasi), sehingga dengan cepat terjadi
permukaan jalan yang retak-retak dan berlubang. Kerusakan yang
29http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_141562.pdf, diakses pada 18 Februari 2016.
24
ditimbulkan oleh kurangnya perawatan jalan antara lain bahu jalan yang
ditumbuhi rumput dan semak serta saluran samping yang tidak berfungsi
sehingga mengakibatkan genangan air yang mempercepat penurunan
kualitas konstruksi jalan. Kondisi permukaan jalan yang retak dan
berlubang tidak segera dilakukan penanganan akan semakin bertambah
kerusakan jalan dalam waktu relatif cepat. Informasi Standar Survey dan
penilaian dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi perkerasan jalan
supaya dapat menentukan waktu pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan
jalan.
Dengan memperhatikan cepat tingkat perubahan kondisi jalan, hal
yang penting dilakukan adalah untuk perbaikan penganggaran
pemeliharaan jalan. Pemeliharaan jalan tidak hanya dilakukan dalam
jangka pendek atau begitu selesai dibangun pemeliharaan jalan terhenti.
Hal yang seharusnya dilakukan adalah dengan menerapkan Multi-years
Performance Based Contracting (MPBC), dan menetapkannya sebagai
standar pembiayaan pemeliharaan jalan. Untuk dapat memberikan hasil
yang terbaik, penerapan MPBC ini memerlukan koordinasi yang efektif
antara Direktorat Jenderal Anggaran (Departemen Keuangan) dan
Departemen Pekerjaan Umum dalam proses penyusunan anggaran bagi
pemeliharaan jalan.
Dalam pembangunan jalan perlu menerapkan perpanjangan kontrak
penyelenggaraan jalan dengan masa pemeliharaan atau Extended Warranty
Period. Apabila dalam masa pemeliharaan sebelumnya, hanya dilakukan
maksimal satu tahun atau kurang, maka kontrak masa pemeliharaan
diperpanjang menjadi dua tahun. Setelah masa pelaksanaan fisik sesuai
kontrak selesai, kontraktor berkewajiban memelihara hasil pekerjaannya
selama dua tahun.
Pembangunan jalan juga yang didasarkan pada Performed Based
Contract (PBC), sehingga pihak swasta dapat diberi tanggung jawab untuk
melakukan pemeliharaan jalan dengan kriteria tingkat pelayanan yang
ditentukan dan pemerintah akan mengganti seluruh biaya yang telah
dikeluarkan.
25
Untuk menjamin berjalannya konsep penyelenggaraan jalan
terlaksana dengan baik, perlu pemisahan yang tegas antara pembangunan
jalan baru, peningkatan kapasitas, peningkatan kualitas, dan pemeliharaan
jalan. Sehingga tujuan penambahan panjang jalan dapat tercapai dengan
pengawasan dan penganggaran yang jelas untuk masing-masing kegiatan.30
2. Penyelenggaraan Jalan Tol
a. Prinsip Pengusahaan dan Pembiayan Jalan Tol
Pengusahaan jalan tol bersifat jangka panjang, dengan payback
period lebih besar dari 20 tahun. Pengembalian utang memiliki masa 15
sampai 20 tahun, dengan konsesi yang diberikan antara 35 hingga 40
tahun. Beban investasi terbesar (tanah, konstruksi dan peralatan) terjadi di
awal masa konsesi, sementara pendapatan baru mulai tumbuh di awal
operasi jalan tol. Beberapa parameter pokok investasi berada di luar
kendali investor, diantaranya waktu dan biaya pembebasan lahan,
penetapan tarif dan Perwujudan Rencana Induk Jaringan Jalan (terkait
dengan prediksi volume lalu lintas). Evaluasi dan penyesuaian tarif
dilakukan berdasarkan kelayakan dan keuntungan minimal sebagaimana
disepakati dalam perjanjian pengusahaan jalan tol, setelah dilakukan audit
oleh akuntan publik.31 Karakteristik pengusahaan tersebut menyebabkan
risiko investasi sangat besar. Sisi pengeluaran dalam pengusahaan
mencakup:
1) Jangka panjang dan investasi besar.
2) Investasi umumnya berupa gabungan ekuiti dan pinjaman.
3) Defisit pada beberapa tahun awal operasi.
4) Biaya pada masa operasi.
Berbagai faktor kunci sukses pengembangan jalan tol menurut
Walker & Smith (1995) adalah sebagai berikut:32
30
FX. Trisbiantara. Pakar Transportasi dari Universitas Trisakti, Loc. Cit. 31
Ibid. 32
Walker, C.. Mulcahy, J.. Smith, A.. Lam, P.T.. and Cochrane, R. (1995). Privatized nfrastructure: the build operate transfer approach. Thomas Telford. London.
26
1) Proyek yang sukses membutuhkan pemahaman oleh pemerintah
mengenai risiko yang dihadapi investor dan kemauan pemerintah
untuk memberikan jaminan dan mekanisme regulasi yang tepat.
2) Proyek yang paling sukses adalah yang menggabungkan risiko dari
pendapatan masyarakat yang rendah (low income risk) dan
terpenuhinya persyaratan minimal dari sisi perencanaan dan
penggunaan biaya yang wajar.
3) Skema BOT masih dapat digunakan apabila pendapatan tol atau fare
box revenue tidak dapat menutupi biaya modal (capital cost).
4) Jika pemerintah yakin terhadap keuntungan dari efisiensi manajemen
oleh sektor swasta, maka franchising operasional atau manajemen
jalan tol setelah terminasi kontrak perlu dipertimbangkan untuk
dilanjutkan.
Beberapa best practices yang mendukung investasi di jalan tol adalah:
1) Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
partisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).
2) Pemerintah harus mengidentifikasi proyek-proyek PSP yang prioritas.
3) Prospek proyek BOT terbaik adalah di negara yang pendapatan
masyarakatnya menengah (middle-income countries).
4) Bentuk kerjasama selain BOT perlu juga diimplementasikan seperti
konsesi, lease, kontrak manajemen, rehabilitasi, pemeliharaan, dan
operasional, kontrak turnkey, manajemen koridor, dan sebagainya.
5) Transparansi dan kompetisi sangat diperlukan dalam proses
pengadaan proyek.
6) Bantuan pemerintah (government support) perlu didefinisikan di awal
sebagai nilai maksimum, sehingga investor dapat menyiapkan
penawaran yang realistis.
Dari sisi pemerintah, strategi regulasi dan kerangka legal mengenai
reformasi pengembangan infrastruktur di Indonesia telah tertuang dalam
dokumen white papers. Sedangkan dari sisi investor, beberapa faktor kunci
27
sukses untuk memperoleh keuntungan yang kompetitif dalam
pembangunan dan pengelolaan jalan tol adalah:
1) Memberikan keseimbangan kepentingan bagi semua stakeholder yaitu
kepuasan pemilik, pelanggan, dan karyawan perusahaan, terutama
didasarkan kepada kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat
pengguna jalan tol.
2) Pengelolaan perusahaan yang baik didasarkan pada konsep good
corporate governance (terbuka, transparan, kompetitif, dan
akuntabilitas).
3) Kemampuan SDM dalam pengembangan usaha dan manajemen
pembangunan/pengelolaan jalan yang andal dan terpercaya serta
kemampuan SDM operasional yang terampil. Hal yang juga perlu
mendapat perhatian adalah penyiapan kontrak (perjanjian kerjasama)
yang dapat mengalokasikan risiko usaha secara tepat.
4) Terciptanya proyek yang layak secara ekonomi, sosial, finansial, dan
lingkungan serta layak secara kredit terutama melalui skema
pembiayaan project financing. Dalam hal ini keterlibatan kreditur yang
dapat memberikan pinjaman jangka panjang sangat diutamakan,
seperti dana pensiun, obligasi, pasar modal, pinjaman lunak
internasional seperti Bank Dunia melalui International Finance
Corporation (IFC), ADB, dan sebagainya.
Pembiayaan jalan tol dibagi menjadi pembiayaan pra konstruksi,
pembiayaan kontruksi, dan pembiayaan pasca konstruksi. Pembiayaan pra
konstruksi meliputi perijinan, studi, disain, pembebasan lahan terutama
dalam hal ganti rugi. Pembiayaan konstruksi terdiri dari pembangunan
yang dititikberatkan pada beberapa hal yaitu kontinuitas sumber dana,
bunga pada masa konstruksi, obligasi/bond sebagai alternatif pembiayaan
investasi, pengembalian pinjaman, dan pengadaan peralatan. Pembiayaan
pasca konstruksi meliputi operasi dan pemeliharaan yang terdiri dari sistem
penyelenggaraan operasi, cacat kondisi konstruksi bangunan, inflasi biaya
operasi dan pemeliharaan serta vandalisme.
28
b. Kelembagaan Jalan Tol
Badan yang telah didirikan dalam penyelenggaraan jalan tol saat ini
adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang berwenang untuk
melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan,
pengusahaan, dan pengawasan Badan Usaha Jalan Tol. Badan Usaha
Jalan tol adalah badan khusus berbentuk perseroan terbatas yang didirikan
khusus untuk membuat, menandatangani, serta melaksanakan perjanjian
pengusahaan jalan tol.
BPJT dalam kewenangan yang berkaitan dengan pengusahaan jalan
tol, berusaha untuk mendorong keterlibatan Badan Usaha dan Pemerintah
Daerah dalam percepatan pembangunan jalan tol. BPJT hanya mempunyai
kewenangan melaksanakan sebagian dari penyelenggaraan jalan tol, oleh
karena itu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 295/Prt/M/2005
Tentang Badan Pengatur Jalan Tol menempatkan BPJT sebagai badan non
struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Penempatan BPJT yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri harus dikaji ulang, dengan wewenang yang sebagian tersebut
apakah cukup di berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri,
namun bagaimana apabila kewenangan BPJT ditambah, maka perlu
dipertimbangkan bahwa BPJT ditempatkan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden, untuk itu terhadap hal ini memerlukan kajian yang
lebih mendalam.
c. Pengelolaan Jalan Tol
Pengelolaan mempunyai fungsi sebagai usaha untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan yang dilakukan melalui perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pemberian perintah (commanding),
pengkoordinasian (coordinating), dan pengawasan (controlling).
Penyelenggaraan jalan tol merupakan bagian dari pengelolaan jalan tol.
Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam
pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan, yang dapat
29
dicapai dengan membina jaringan jalan yang dananya berasal dari
pengguna jalan.
Penyelenggaraan jalan tol bertujuan meningkatkan efisiensi pelayanan
jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi
terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya.
Kewenangan penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan. Sebagian
wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol yang berkaitan
dengan pengaturan, pengusahaan, dan pengawasan badan usaha
dilaksanakan oleh BPJT.
d. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol
Ruas jalan tol merupakan ruas jalan alternatif dari ruas jalan umum
yang sudah ada. Ruas jalan tol harus memiliki spesifikasi dan layanan
yang lebih baik dari ruas jalan umum non tol. Penyelenggaraan jalan tol
bertujuan meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna
menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang
sudah tinggi tingkat perkembangannya.
Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antarkota didesain
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 km per jam, dan untuk
jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling
rendah 60 km per jam. Jalan tol harus mempunyai spesifikasi teknis:
1) tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan
prasarana transportasi lainnya;
2) jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara
efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara
penuh;
3) jarak antarsimpang susun, paling rendah 5 kilometer untuk jalan tol luar
perkotaan dan paling rendah 2 kilometer untuk jalan tol dalam
perkotaan;
4) jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah;
5) menggunakan pemisah tengah atau median; dan
30
6) lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur
lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat.
Penyelenggaraan ruas jalan tol harus memenuhi kelayakan operasi
yang ditentukan berdasarkan pada SPM (SPM) jalan tol. Selain terkait
dengan SPM, pelayanan dari ruas jalan tol harus berada pada level of
service B sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun
2006. Pemenuhan SPM jalan tol merupakan hal yang wajib dilaksanakan
oleh badan usaha penyelenggara jalan tol. Menurut PP Nomor 15 tahun
2005 tentang Jalan Tol, Pasal 8 dinyatakan bahwa:
(1) SPM jalan tol mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata,
aksesi bilitas, mobilitas, dan keselamatan.
(2) SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ukuran
yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol.
(3) Besaran ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi
secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai SPM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri PU No.16/2014 tentang SPM Jalan Tol, Pasal 5
menyatakan bahwa “SPM Jalan Tol ini wajib dipenuhi oleh Badan Usaha
Jalan Tol dalam rangka pelayanan kepada pengguna jalan tol.”
3. Pembiayaan Jalan
a. Peran Pemerintah
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan menegaskan
bahwa pembiayaan jalan umum merupakan tanggungjawab pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah. Selanjutnya, apabila pemerintah
daerah belum mampu membiayai jalan yang menjadi tanggungjawabnya,
maka pemerintah pusat dapat membantu pemerintah daerah, sesuai
dengan ketentuan yang ada. Menurut pasal 85 ayat 3 PP No.34 tahun
2006 tentang Jalan, tatacara dan persyaratan pemberian bantuan
pembiayaan kepada pemerintah daerah diatur dalam peraturan menteri.
31
Hal ini menimbulkan ketidakjelasan siapa sebenarnya penanggung
jawab utama pembiayaan jalan. Tidak jelasnya penanggung jawab utama
pembiayaan jalan diperburuk dengan sistem pembiayaan yang berlaku
saat ini, yang masih mengikuti mekanisme pajak umum dengan dana
pembangunan dan pemeliharaan jalan berasal dari penerimaan pajak
yang dikumpulkan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah
daerah, yang kemudian dialokasikan ke sektor-sektor prioritas, termasuk
sektor jalan.
Penyelenggaraan jalan saat ini lebih fokus/prioritas tertinggi pada
pemeliharaan rutin dan berkala yang penting untuk membantu menjaga
kondisi aset yang ada. Sebagian besar pengelola di kabupaten mengalami
keterbatasan anggaran, dan estimasi kebutuhan anggaran untuk
pemeliharaan adalah sekitar 75 persen dari total anggaran untuk sektor
jalan. Sebagai akibatnya, harus dicari dana tambahan untuk membiayai
pembangunan jaringan baru.
Pada saat ini terdapat tiga macam sistem pembiayaan jalan yang
dipergunakan di banyak negara di dunia. Pertama adalah tipe anggaran
tradisional (melalui anggaran pemerintah). Sistem ini merupakan sistem
yang paling lama diterapkan, tetapi telah terbukti di banyak negara
bahwa sistem ini makin sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan dana
pemeliharaan jalan. Kedua adalah sistem yang melibatkan pihak swasta
melalui konsensi baik tol maupun shadow toll. Walaupun sistem ini tidak
dapat diberlakukan pada seluruh jaringan jalan, tetapi sistem ini
merupakan suatu tahapan ke arah swastanisasi jalan. Sistem yang ketiga
adalah sistem pembiayaan jalan, yang mengarah kepada ”komersialisasi”
jalan, yaitu menghadapkan permasalahan jalan pada kebutuhan pasar,
dengan mengumpulkan dana untuk pemeliharaan jalan (road fund) atas
jasa pelayanan yang diberikannya (fee for service) dan mengelolanya
sebagaimana layaknya aset ekonomi.
Untuk penyelenggaraan jalan pemerintah mengalokasikan
anggarannya melalui dua instrumen. Pertama, instrumen melalui
anggaran sektoral (Kementerian yang menangani jalan, dalam hal ini
Ditjen Bina Marga). Untuk penyelenggaraan jalan pemerintah
32
mengalokasikan anggarannya melalui dua instrumen. Pertama,
instrumen melalui anggaran sektoral (Kementerian yang menangani
jalan, dalam hal ini Ditjen Bina Marga). Dalam Rapat Kerja/ Rapat
Dengar Pendapat (RDP) mengenai penetapan alokasi anggaran dan
program Kementerian/Lembaga Mitra Kerja Komisi V DPR RI dalam
RAPBN-P Tahun Anggaran 2015, Kamis (12/2) dihasilkan beberapa
putusan. Kementerian PUPR mendapat tambahan APBN-P Rp 31,9
triliun menjadi Rp 116,8 Triliun dari DIPA APBN awal Rp 84,9
Triliun.Anggaran Ditjen Bina Marga dari DIPA APBN awal Rp 41,3 triliun
menjadi Rp 56,9 triliun pada APBN-P 2015 dengan perubahan sebesar
Rp 15,6 triliun. Dimanfaatkan untuk Pembangunan jalan di kawasan
perbatasan yaitu pembangunan jalan di wilayah perbatasan
Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Selain itu juga untuk
pengurangan kesenjangan antar wilayah dan konektivitas yaitu
pembangunan infrastruktur jalan untuk mengurangi kesenjangan antar
wilayah yang menyebar di seluruh Indonesia, pembangunan jalan bebas
hambatan (kewajiban pemerintah), pengadaan tanah jalan bebas
hambatan (kewajiban pemerintah) dan pembangunan jalan akses
pelabuhan (Sorong, Kuala Tanjung, dan Maloy).33
Sektor jalan harus bersaing dengan sektor-sektor prioritas lainnya
untuk mendapatkan alokasi anggaran yang memadai. Keluarnya UU No.22
Tahun 2009 tentang LLAJ yang didalamnya mengatur tentang dana
preservasi jalan telah memberikan payung hukum yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk menghimpun dana pembangunan dan
pemeliharaan jalan yang memadai, stabil, dan dapat diprediksi. Tindak
lanjut yang diperlukan adalah bagaimana mendorong timbulnya pemikiran
untuk menciptakan alternatif pengelolaan jalan yang dapat mengatasi
kompleksitas masalah institusi, menciptakan sumber pembiayaan yang
memadai dan dapat diprediksi, serta sekaligus tidak melanggar ketentuan
perundangan yang berlaku.
33http://www.pu.go.id/berita/9975/APBN--P-TA-2015-Kementerian-PUPR-Rp-
116,8-Triliun, diakses tanggal 18 Februari 2016
33
Menindaklanjuti permasalahan tersebut maka dalam perubahan
UU tentang Jalan perlu mengatur mengenai skema pembiayaan jalan.
Pendapatan yang diperoleh dari sektor jalan, sedapat mungkin kembali ke
sektor jalan, guna menjamin konsistensi kinerja jalan. Salah satu caranya
adalah dengan skema earmarking. Penetapan besaran pajak kendaraan
bermotor sesungguhnya tidak dapat hanya dihitung dari nilai kendaraan
tersebut. Semestinya nilai pajak yang dibayarkan dikaitkan dengan
kebutuhan pembiayaan jalan, sehingga ada jaminan dana yang akan
digunakan untuk membiayai infrastruktur jalan mencukupi.
Berlakunya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
menjadikan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah. Pelimpahan
wewenang pengelolaan keuangan daerah seperti yang diatur dalam UU
No.33 tahun 2004 memberikan peluang kepada daerah untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Selain itu dengan pelaksanaan
undang-undang tersebut diharapkan memunculkan implikasi-implikasi
positif yang akan mengarah kepada kemajuan daerah serta negara pada
umumnya. Implikasi positif itu antara lain:
a) meningkatkan keleluasaan daerah dalam memanfaatkan dana alokasi
umum;
b) beralihnya prioritas pembangunan dari sektoral menjadi regional;
c) daerah mendapat prioritas alokasi dana sesuai dengan kebutuhannya;
d) terjadi pengalokasian dana sesuai sekala prioritas daerah dan
akuntabilitas yang lebih besar karena pengaasan lebih kuat ditingkat
lokal (mekanisme ceckand balance);
e) memberikan diskresi kepada daerah untuk lebih rasional dalam
pemanfaatan sumber penerimaan daerah. Daerah akan lebih
bertanggung jawab atas pemanfaatan dana dan mengurangi
ketergantungan terhadap arahan dan petunjuk pusat. Hal ini
merupakan proses untuk meningkatkan kemandirian pemerintah daerah
dalam pembiayaan otonominya;
34
f) perlunya kontrol dan peran yang lebih kuat dari DPRD terhadap
pemanfaatan dana untuk kepentingan daerah yang selama ini lebih
ditentukan oleh pihakeksekutif atas dasar arahan dan petunjuk dari
pusat;
Dengan dimulainya RENSTRA 2015-2019, kemampuan dan kapasitas
BUMN sangat perlu dikembangkan khususnya dalam konstruksi dan
pengoperasian jalan ketika selain diminta untuk membantu dalam tugas
pembiayaan juga diminta untuk membantu percepatan pelaksanaan.
Keterbatasan pembiayaan swasta mungkin menjadi faktor penting
untuk pelaksanaan model pembiayaan ini mengingat: (i) bank swasta akan
membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi untuk meminjamkan dana
bagi suntikan ekuitas negara; dan (ii) pinjaman pribadi dapat dibatasi oleh
batasan pinjaman karena adanya tekanan permintaan dari sektor
infrastruktur lainnya. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, pinjaman
berbasis negara mungkin diperlukan tapi akan perlu disertai tata kelola dan
kontrol komersial yang baik untuk memastikan disiplin pasar.
b. Peran Swasta
Terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan
maju, peran pemerintah sebenarnya dapat lebih difokuskan pada
perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara
peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin
ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial. Kerja
sama dengan swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana diarahkan
untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi untuk pelayanan
distribusi komoditi perdagangan dan industri serta pergerakan penumpang
dan barang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional;
Dalam penyediaan public services oleh pemerintah, tidak tertutup
kemungkinan terjadinya government failure. Dalam hal ini intervensi sektor
swasta dapat dimungkinkan. Beberapa alasan keterlibatan sektor swasta
dalam pelayanan publik adalah:
35
a) Meningkatnya penduduk di perkotaan sementara sumber keuangan
pemerintah terbatas;
b) Pelayanan yang diberikan sektor privat/swasta dianggap lebih efisien;
c) Banyak bidang pelayanan (antara lain penyehatan lingkungan dan
persampahan) tidak ditangani pemerintah sehingga sektor privat/swasta
dapat memenuhi kebutuhan yang belum tertangani tanpa mengambil
alih tanggung jawab pemerintah;
d) Terjadi persaingan dan mendorong pendekatan yangbersifat
kewiraswastaan dalam pembangunan nasional.34
Pengertian kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah
kewenangan kepemilikan asset yang masih dimiliki oleh pemerintah,
sedangkan untuk kerjasama swastanisasi asset menjadi milik swasta. Ada
beberapa bentuk kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan
masyarakat yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a) Private Sector Partisipation (PSP) atau kemitraan sektor swasta. PSP
merupakan jenis kemitraan yang pada umumnya tidak padat modal,
sektor swasta melakukan pengadaan dan operasionalisasi prasarana,
sedangkan pemerintah sebagai penyedia prasarana yang sesuai dengan
kebijakannya. Pemerintah tetap sebagai pemilik asset dan pengendali
pelaksana kerjasama.
b) Public Private Partnership (PPP) atau kerjasama sektor publik dan sektor
swasta. Kemitraan ini melibatkan investasi yang besar/padat modal di
mana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola sarana dan
prasarana, sedangkan sekktor publik menangani peraturan pelayanan,
sebagai pemilik asset, dan pengendali pelaksana kerjasama. Pengertian
PublicPrivate Partnership (PPP) menurut William J. Parente dari USAID
adalah an agreement or contract, between a public entity and a private
party, under which:a) private party undertakes government function for
specified period of time, b) the private party receives compensation for
performing the function, directly or idirectly, c) private party is liable for the
risks arising from performing the function and, d) the public facilities, land
or other resources may be transferred or made available to the private
34Ibid
36
party.35 Dari definisi tersebut, diperoleh bahwa PPP merupakan bentuk
perjanjian atau kontrak antara sektor publik dan sektor swasta yang
terdiri atas beberapa ketentuan, antara lain: sektor sektor swasta
menjalankan fungsi pemerintah untuk periode tertentu; sektor sektor
swasta menerima kompensasi atas penyelenggaraan fungsi, baik secara
langsung maupun tidak langsung; sektor sektor swasta bertanggung
jawab atas resiko yang timbul dari penyelenggaraan fungsi tersebut; dan
fasilitas publik, tanah, dan sumber daya lainnya dapat ditransfer atau
disediakan untuk sektor sektor swasta. Menurut Sava (1986), PPP
merupakan bentuk privatisasi, dan dalam arti luas privatisasi berarti
melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan pemikiran kembali mengenai peranan pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Privatisasi memberikan
kewenangan yang lebih besar pada institusi masyarakat dan mengurangi
kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran
pemerintah atau meningkatkan peran sektor swasta dalam aktivitas atau
kepemilikan aset public.36
c) Public Private Community Partnership (PPCP). Kemitraan ini melibatkan
sektor swasta dan masyarakat untuk membantu pelaksanaan
pembangunan yang dirancang oleh sektor publik. Sektor swasta dan
masyarakat terlibat dalam hal pembiayaan dan pengelolaan.
d) Build Operate Transfer (BOT). BOT adalah pola atau struktur yang
menggunakan investasi swasta untuk mengerjakan pembangunan
infrastruktur atau sektor publik. BOT terkadang diartikan menjadi
buildowntransfer atau membangun-memilik-mengalihkan (UNINDO,
1996). Dalam pola BOT, perusahaan proyek diberi kepercayaan oleh
pemerintah setempat untuk mengembangkan, membiayai, membangun,
dan mengoperasikan suatu fasilitas untuk suatu jangka waktu konsesi
35Praptono Djunedi. “Implementasi Public-Private Partnerships dan Dampaknya Ke
APBN”. (www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5Cartikel_PPP_prap.pdf, diakses 10 Juni 2011).
36 E. E. Savas (1987)l Privatization: The Key to Better Government, Chatham House
Publishers, Inc, New York.
37
tertentu. Pendapatan yang dikumpulkan oleh perusahaan proyek
ditentukan dengan cara tolling, take or pay, atau perjanjian pembelian
sebagaimana standar teknis hasil pelaksanaan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan proyek. Biasanya, fasilitas yang dibangun dengan pola BOT
merupakan fasilitas untuk umum dan infrastruktur, antara lain jalan
tol, pembangkit atau tenaga listrik, penyedia air minum, telekomunikasi,
terowongan, bendungan, pelabuhan dan bandara.
e) Saat ini juga dikembangkan skema BOT dengan dukungan VGF (Viability
Gap Funding), VGF akan mendukung penyediaan jalan bebas hambatan
yang dinilai memiliki kelayakan finansial yang marginal. Hal ini
diperlukan untuk memastikan penyediaan tepat waktu jalan baru
mengingat beberapa bagian akan bersifat supply-driven dan perlu
direalisasikan lebih awal.
f) Performance Based Allocation System (PBAS). Untuk menggambarkan
perlunya kapasitas dan pengalaman pada sektor publik dan swasta,
pelaksanaan PBAS/AP akan dimulai pada tahun 2015-19 dengan proyek
percontohan dan pelaksanaan secara progresif. Proyek PBAS/AP lainnya
berdasarkan kesepakatan dari daftar proyek yang ada.
g) Turnkey D & C. Berdasarkan model penyediaan ini, BPJT dan Bina
Marga (khususnya dalam jangka pendek mengingat kepentingan
pelaksanaan yang segera) akan bertanggung jawab untuk mengelola
pelaksanaan jalan melalui kontrak tradisiomnal dalam desain dan
pelaksanaan. Namun demikian, dalam jangka menengah hingga jangka
panjang, penggunaan model pelaksanaan ini dapat dikurangi mengingat
kebijakan untuk lebih melibatkan dan mengakses pembiayaan badan
usaha dalam penyediaan jalan bebas hambatan baru.
Ada beberapa tujuan sektor swasta di bidang infrastruktur. Tujuan-
tujuan tersebut adalah :
a) Mencari modal swasta untuk menjebatani modal pembiayaan yang besar
dibutuhkan investasi infrastruktur pelayanan umum;
b) Memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan sarana pelayanan;
c) Mengimpor alih teknologi;
d) Memperluas dan mengembangkan layanan bagi pelanggan; dan
38
e) Meningkatkan efisiensi operasi.
c. Dana Preservasi Jalan (Road Fund)
Skema Road Fund menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, ketika
Anggaran Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang disediakan
kurang mencukupi untuk mendanai penyelenggaraan jalan, sedangkan
partisipasi masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan jalan masih
terbatas. Pembiayaan sektor jalan melalui mekanisme anggaran sudah
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan riil jalan. Padahal, pemeliharan aset
yang ada seharusnya menjadi prioritas utama yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah. Bahkan, tingginya economic return dari pemeliharaan jalan,
seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah untuk memprioritaskan
pemeliharan jalan dibandingkan program lain di sektor jalan.
Tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa prioritas pemeliharaan
jalan menempati urutan akhir. Akibatnya, backlog pemeliharaan jalan
semakin lama semakin membesar, sehingga menyebabkan semakin
membu ruknya kondisi jalan. Kondisi jalan yang buruk mempengaruhi
keselamatan pengguna jalan yang menyebabkan tingginya tingkat
kecelakaan, sehingga tingkat keselamatan semakin rendah.
Pemecahan terhadap kesulitan pendanaan jalan, tidak hanya
terbatas pada permasalahan pendanaan saja. Permasalahan pendanaan
menjadi bagian dari masalah manajemen pemeliharaan jalan, sedangkan
manajemen pemeliharan jalan menjadi bagian dari manajemen jalan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pemecahan mengenai permasalahan
pendanaan jalan membutuhkan pendekatan integral untuk meminimalkan
permasalahan yang ditimbulkan dari manajemen jalan secara keseluruhan.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah menggunakan konsep
road fund.37
Investasi di bidang prasarana jalan cenderung kurang memadai,
yang ditandai dengan penurunan tingkat pelayanan jalan dan peningkatan
biaya transportasi akibat kemacetan. Investasi yang kurang memadai
37Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang tentang Jalan, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Gajah Mada, 2010, hal 18.
39
tersebut disebabkan karena berkurangnya dana publik untuk sektor jalan
dan sektor swasta kurang berminat untuk investasi di sektor ini. Kondisi ini
menurunkan efisiensi sistem dan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan
pemeliharaan prasarana yang ada. Konsekuensinya adalah timbulnya
kebutuhan yang mendesak untuk menetapkan arah kebijakan yang
tepat yang dapat menjamin tersedianya sumber pendanaan pemeliharaan
jalan secara kontinu.
Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah yang telah
diimplementasikan di Indonesia, pemerintahan provinsi atau
kabupaten/kota diamanatkan untuk mengembangkan suatu sistem yang
dapat menjamin bahwa investasi tersalurkan kepada proyek-proyek yang
dapat memaksimalkan pengembalian kepada masyarakat dan menetapkan
suatu hubungan yang jelas antara biaya penggunaan jalan (charge),
pendapatan yang diperoleh dari pengguna jalan, dan besar investasi jalan.
Untuk itu perlu dipertimbangkan konsep pendanaan jalan yang
menyediakan perangkat institusional dengan aliran pendapatan tertentu
dapat disalurkan pada unit sektor publik yang dapat dimanfaatkan atau
dialihkan tanpa melalui prosedur dan kajian anggaran yang umum. Dengan
demikian pendanaan untuk sektor jalan dapat mencukupi kebutuhan
penanganannya. Road Fund, atau dapat diterjemahkan sebagai Pendanaan
Jalan, merupakan suatu alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk
mencapai maksud tersebut.
Konsep Road Fund menganut filosofi bahwa pemeliharaan jalan
seharusnya dikelola menurut mekanisme pasar, dengan pengguna jalan
membayar biaya untuk penggunaan jalan. Hasil penerimaan dari
pengguna jalan tersebut dikelola secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara operasional dan keuangan oleh institusi
independen untuk membiayai target-target pengeluaran yang terukur dan
tepat sasaran, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bisnis untuk
memperbaiki kualitas jalan. Konsep ini memerlukan reformasi paralel
paling tidak dalam empat area penting.
a) Adanya pembagian tanggungjawab yang jelas dalam manajemen
pengelolaan jalan. Reformasi pada komponen ini diperlukan untuk
40
menarik garis yang jelas akan tanggungjawab masing-masing pemangku
kepentingan jalan, termasuk kemungkinan dibentuknya insitusi
independen yang mengelola penerimaan dana pengguna jalan.
b) Adanya adanya rasa memiliki terhadap jalan dari masing-masing
pemangku kepentingan jalan. Tanpa adanya rasa memiliki dari
seluruh pemangku kepentinganjalan, proses reformasi pengelolaan
jalan tidak akan berhasil karena kurangnya dukungan.
c) Adanya sumber pendanaan jalan yang memadai, stabil, dan dapat
diprediksi. Keterbatasan dan ketidakstabilan dana bagi jalan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari mengingat jalan
harus bersaing dengan sektor prioritas lain dalam mendapatkan
alokasi dana. Adanya sumber pendanaan tambahan yang diperoleh
dari pengguna jalan merupakan keharusan bagi implementasi konsep
ideal Road Fund.
d) Adanya good governance dan penerapan prinsip bisnis dalam
pengelolaan jalan. Untuk itu diperlukan pendelegasian kegiatan
operasional sehari-hari pengelolaan jalan kepada suatu institusi
independen yang dapat dipertanggungjawabkan secara operasional
dan keuangan melalui proses audit secara berkala.38
Dengan demikian konsep ideal Road Fund merupakan suatu
konsep yang sangat besar. Penerapan konsep ideal ini menuntut adanya
reformasi institusi dan regulasi dalam berbagai tingkat pemangku
kepentingan jalan, proses sosialisasi yang terencana dan efektif, serta
manajemen pengelolaan yang transparan, berorientasi bisnis, dan dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara keuangan maupun secara operasional.
Sejalan dengan uraian tentang konsep ideal Road Fund, jalan
merupakan monopoli politik, yang berarti bahwa kepemilikan (ownership)
jalan masih akan tetap pada Pemerintah. Karena itu, komersialisasi
jalan harus diikuti dengan perubahan-perubahan pada empat hal yang
saling terkait, yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Jika tidak
38Ibid
41
demikian, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan berhasil. Keempat
hal terkait tersebut itu adalah:
a) Menciptakan kepemilikan yang melibatkan pengguna jalan dalam
manajemen jalan untuk mendapatkan dukungan pembiayaan dari
mereka, mengontrol kewenangan monopoli pemerintah, dan
memanfaatkan dana yang dapat dikumpulkan secara efektif dan efisien
untuk melayani pengguna jalan.
b) Menstabilkan pengadaan dan penyaluran dana pemeliharaan jalan yang
mencukupi.
c) Memperjelas tanggungjawab masing-masing pihak dalam pengelolaan
jalan.
d) Memperkuat manajemen jalan dengan sistem yang lebih efektif dan
memperkuat atau melaksanakan pertanggungjawaban manajemen.39
4. Konsep Pembangunan Jalan Berkelanjutan
Dalam tataran global, paradigma pembangunan senantiasa
berkembang dan dilekatkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya
seperti lingkungan, ekonomi, dan sosial. Salah satu paradigma yang cukup
populer adalah paradigma pembangunan berkelanjutan. Makin
meningkatnya kesadaran negara-negara akan pentingnya kesinambungan
antara pembangunan dengan faktor-faktor yang terkait seperti sosial,
ekonomi, dan lingkungan telah tercermin dalam beberapa kesepakatan
internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan KTT Rio 1992 yang
meletakkan dasar pentingnya pembangunan yang berkelanjutan dalam
rangka menjaga ketersediaan sumber daya yang cukup yang mempengaruhi
berjalannya proses pembangunan. Perlindungan sumber daya alam dan
lingkungan hidup tentu menjadi salah satu dimensi persoalan fundamental
yang mendasari pembangunan berkelanjutan.
Menurut Brundtland Report40, pembangunan berkelanjutan adalah
proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang
39Ibid 40Brundtland Report adalah laporan yang dibuat oleh Harlem Brundlant sebagai
Ketua Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED), laporan ini dibuat tahun 1987 yang berisi tentang lingkungan, masyarakat, dan pembangunan.
42
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Artinya
bahwa pembangunan tersebut mempertemukan antara kepentingan
pembangunan saat ini sambil memastikan bahwa pembangunan tersebut
berlanjut dan bahkan tetap bermanfaat untuk masa mendatang. Sepintas
dapat kita simpulkan bahwa pembangunan tidak hanya berarti fisik semata
tetapi harus menaruh perhatian khusus pada pelestarian ekosistem dan
lingkungan hidup. Dari hal tersebut maka faktor dorongan ekonomi yang
melekat dalam proses pembangunan dan faktor masyarakat sebagai aktor
pembangunan yang merasakan manfaat dari pembangunan itu tentu
menjadi kaitan-kaitan yang erat selain isu lingkungan. Dalam KTT Rio
1992, beberapa prinsip penting dalam pembangunan berkelanjutan yang
layak untuk dijadikan acuan diantaranya adalah :
1. Perlindungan lingkungan menjadi bagian yang integral dari proses
pembangunan
2. Kerjasama semua negara dan masyarakat dalam memerangi kemiskinan
yang merupakan hambatan mencapai pembangunan berkelanjutan.
3. Partisipasi seluruh masyarakat terhadap lingkungan dari berbagai
tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing individu harus
mempunyai akses terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk
informasi tentang material dan kegiatan berbahaya dalam lingkungan
masyarakat, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Negara memfasilitasi dan mendorong
masyarakat untuk tanggap dan partisipasi melalui pembuatan informasi
yang dapat diketahui secara luas.
4. Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan pencegahan
harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan
kemampuannya.
5. Penilaian dampak lingkungan sebagai instrumen nasional harus
dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin
mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan
keputusan di tingkat nasional.
6. Peran penting penduduk asli/setempat dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan karena pemahaman dan pengetahuan
43
tradisional mereka. Negara mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan
keinginan mereka serta menguatkan partisipasi mereka secara efektif
dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Prinsip di atas tentu berlaku pula dalam hal pembangunan jalan
mengingat peran vital jalan sebagai salah satu infrastruktur penting yang
dibutuhkan dalam pembangunan nasional. Apabila disimpulkan maka ada
3 kaitan penting yang patut dicermati diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Lingkungan Hidup
Isu lingkungan hidup adalah isu yang cukup penting mengingat
potensi dampak negatif yang ditimbulkan oleh proses pembangunan seperti
polusi udara dan efek limbah pabrik, dan perubahan sumber daya alam,
seperti air dan perikanan, serta perubahan lingkungan. Hal ini disadari dan
menjadi perhatian bahwa pergerakan, ekologi, dan komunitas adalah aspek
penting dalam perancangan jalan yang berkelanjutan. Pergerakan yang
dimaksud adalah pergerakan pengguna jalan dan barang menggunakan
semua moda dan seluruh tujuan maupun tipe perjalanan. Penurunan
polusi yang berasal dari kendaraan merupakan harapan perancangan jalan
yang berkelanjutan yang tentunya dapat dilakukan dengan suatu
perencanaan jalan yang berkualitas. Ekologi yang dimaksud adalah alam di
area ruang manfaat jalan beserta ekologi yang ada di dalamnya, termasuk
pengaliran air, udara yang dipengaruhi emisi kendaraan, dan nilai lansekap
jalan. Rincian prinsip pembangunan jalan berkelanjutan dalam aspek
lingkungan meliputi Perlindungan lingkungan dan ekosistem, Perlindungan
udara, Pengaturan cahaya, Pengaturan keairan, Pengaturan energi,
Pengurangan material, Penghijauan, Pengaturan permukaan kedap air, dan
kriteria bebas lainnya/inovasi.41
41Grace Maria Lawalata, Prinsip-Prinsip Pembangunan Jalan Berkelanjutan, Jurnal
Transportasi Vol.13 No.2 Agustus 2013,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=166004&val=6055&title=PRINSIP-
PRINSIP%20PEMBANGUNAN%20JALAN%20BERKELANJUTAN, diakses tanggal 12 Februari 2016.
44
b. Oportunitas Ekonomi
Dari sisi ekonomi setidaknya ada dua alasan utama mengapa
pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama bahwa generasi kini
menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan
lingkungan sehingga harus memperhatikan ketersediaan sumber daya alam
tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup
tidak mengekstraksi sumber daya alam yang dapat merusak lingkungan,
yang dapat menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk
menikmati layanan yang sama. Kedua, bahwa pembangunan jalan
semestinya merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di dalamnya
investasi dan perluasan lapangan kerja. Tetapi hal ini tidak boleh
meniadakan pertimbangan ekologis dalam membangun jalan. Rincian
prinsip-prinsip pembangunan jalan berkelanjutan dalam segi ekonomi
adalah desain jalan (geometrik), penggunaan teknologi perkerasan, menjaga
kualitas pekerjaan, penghematan transportasi material & pegawai, air pada
saat pelaksanaan, penghematan energi (hemat bahan bakar fosil,
menggunakan solar/energi lainnya), penghematan material (reuse, recycle,
material lokal), analisis biaya banjir, penyedia jasa memiliki sertifikat ISO
manajemen mutu dan manajemen lingkungan, analisis biaya perkerasan
jalan, dan Kriteria bebas lainnya/inovasi.42
c. Partisipasi Masyarakat
Dalam konteks pembangunan masyarakat, tinjauan terhadap
partisipasi publik dibahas dari 3 macam pendekatan yakni pendekatan
konvensional, pendekatan informasi teknologi, dan pendekatan
internasional. Pendekatan Konvensional memberi penekanan pada proses
pemberian informasi, konsultasi, dan kolaborasi dengan kekuatan-
kekauatan publik seperti instansi pemerintahan, lembaga adat, lembaga
swadaya masyarakat, institusi politik, dan bahkan representasi lembaga
internasional yang bekerja untuk kegiatan pembangunan pada masyarakat
tertentu. Pendekatan informasi teknologi (IT) memiliki ciri berupa
pemanfaatan perangkat IT dalam melakukan intervensi terhadap proses
42Ibid.
45
perencanaan dan implementasi pembangunan termasuk pendayagunaan
infrastruktur untuk pembangunan masyarakat, dengan asumsi bahwa IT
mampu mendorong komunikasi antar pihak yang berkepentingan menjadi
lebih cepat dan lebih dekat. Pendekatan internasional menekankan pada
keterlibatan lembaga internasional untuk berpatisipasi dalam kegiatan
pembangunan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat. Tiga macam
pendekatan tersebut bermuara pada satu titik yang menempatkan publik
pada posisi tertentu yang memiliki kesempatan untuk terlibat aktif dalam
kegiatan provisi dan pendayagunaan infrastruktur. Jadi, publik bukan
hanya sekedar pihak yang menerima atau menyetujui saja segala bentuk
ide, perencanaan, provisi atau pendayagunaan infrastruktur pembangunan.
Evaluasi terhadap kebijakan penyelenggaran jalan dan akses masyarakat
terhadap penyelenggaraan tersebut dalam berbagai bentuknya juga menjadi
kunci penting menuju suatu penyelenggaraan pembangunan jalan yang
benar-benar mengundang peran serta masyarakat. Kebijakan dalam
pembangunan jalan tentu harus diarahkan pada suatu keterbukaan yang
lebih luas sehingga penyelenggaraan jalan sungguh-sungguh bisa dinikmati
dan dirasakan oleh publik atau masyarakat yang ditunjang dengan
penyelenggaraan yang mampu dipertanggungjawabkan secara transparan
kepada publik. Rincian prinsip-prinsip pembangunan jalan berkelanjutan
dalam hal sosial yang menyangkut masyarakat antara lain adalah
kesetaraan akses pengguna jalan, kriteria bebas lainnya/inovasi,
perubahan perilaku dan peningkatan kemampuan, melindungi dan
mengembangkan budaya dan sejarah, partisipasi masyarakat, perlindungan
kesehatan (keselamatan, kebisingan) dan Audit keselamatan jalan.43
Pembangunan Jalan Berkelanjutan juga perlu menyediakan rute
transportasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat, termasuk untuk
berjalan kaki dan bersepeda.
5. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
SPM atau minimum service standard merupakan suatu istilah dalam
pelayanan publik (public policy) yang menyangkut kualitas dan kuantitas
43Ibid.
46
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai salah satu
indikator kesejahteraan masyarakat. SPM menyangkut dua konsep utama,
yaitu:
a. Tolok ukur penyediaan layanan bagi penyedia layanan.
b. Acuan mengenai kualitas dan kuantitas layanan bagi pengguna layanan.
Adapun yang dimaksud dengan konsep tolok ukur penyediaan
layanan adalah kondisi optimal yang dapat dicapai oleh penyedia layanan
(pemerintah) yang ditentukan oleh sumber daya yang dimilikinya (sumber
daya manusia, perlengkapan dan pembiayaan serta sumber daya
pendukung lainnya). Sedangkan konsep acuan kualitas dan kuantitas bagi
penggunan layanan (masyarakat) adalah kondisi minimal yang dapat
diperoleh dari penyedia layanan (pemerintah) terkait pelayanan publik yang
diberikan.
Dengan demikian “minimal” dalam pengertian “SPM” merupakan
kondisi “minimal” dari sudut pandang masyarakat tetapi mengandung arti
“optimal” bagi aparat pemerintah. Atau dengan lain perkataan bahwa SPM
merupakan peristilahan dari sudut padang masyarakat sebagai pengguna
layanan terhadap kualitas dan kuantitas yang dapat diterima dari
pemerintah sebagai penyedia layanan publik.
Konsep penerapan SPM ini sangat berkaitan erat dengan konsep
manajemen kinerja dimana hal tersebut terkait dengan sebuah sistem yang
terintegrasi dan mendukung dalam pengambilan keputusan, peningkatan
kualitas pelayanan dan pelaporan. Sejalan dengan hal itu, manajemen
kinerja merupakan sebuah kesatuan perencanaan dan prosedur yang
menyediakan hubungan antara masing-masing individu dan strategi dalam
organisasi tersebut untuk mencpai tujuan yang diinginkan. Terkait dengan
konsep manajemen kinerja tersebut, maka dalam pencapaian SPM untuk
jangka waktu tertentu ditentukan berdasarkan batas awal pelayanan
(baseline) dan target pelayanan yang akan dicapai.
Sehubungan dengan jalan, SPM didefinisikan sebagai ukuran teknis
fisik jalan yang sesuai dengan teknis yang ditetapkan, yang harus dicapai
oleh setiap jaringan jalan dan ruas-ruas jalan yang ada di dalamnya, dalam
kurun waktu yang ditentukan melalui penyediaan prasarana jalan. Tata
47
pemerintahan yang baik dan transparan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan khususnya di bidang jalan, yaitu dengan menetapkan
ukuran-ukuran teknis jalan sesuai SPM jalalan yang ditetapkan, yang
harus dipenuhi oleh jaringan jalan serta setiap ruas jalan yang ada di
dalamnya. Pencapaiannya menjadi kewajiban penyelenggara jalan, yang
kemudian harus diinformasikan secara terbuka kepada publik dengan
mengumumkannya melalui media massa.
Penetapan SPM adalah untuk menentukan indikator atau tolak ukur
pelayanan infrastruktur jalan yang paling minim untuk dapat dinikmati
oleh masyarakat pengguna jalan. Sehingga dalam penyelenggaraan jalan,
pelayanannya tidak boleh lebih rendah dari ketentuan SPM. Untuk
merumuskan bentuk pelayanan jalan, pemerintah sebagai penyelenggara
jalan, harus merumuskan dengan jelas kepada siapa pelayanan itu
diberikan, sehingga dapat didefinisikan bentuk pelayanan dan ukurannya.
Pelayanan jalan dapat ditujukan kepada dua unsur yang berbeda, yaitu:
a. Penyelenggara Jalan (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota atau
swasta).
b. Publik atau pengguna jalan.
Pelayanan jalan oleh penyelenggara jalan dapat berupa prosedur dan
fasilitas dan fasilitas yang harus dimiliki oleh penyelenggara jalan di semua
tingkat manajemen pembinaan jalan, dapat berupa program, pendanaan,
petunjuk atau prosedur teknis yang semuanya termasuk dalam norma,
standar, prosedur, dan manual, serta fasilitas operasional. Pelayanan jalan
kepada publik atau pengguna jalan dapat berupa pelayanan dalam bentuk
dan ukuran di bidang jalan yang dapat diterima serta dirasakan langsung
oleh pengguna jalan, seperti terhubungkannya semua simpul-simpul
kegiatan masyarakat seperti kantor, sekolah, pasar, pertokoan, rumah
sakit, dan lai-lain, oleh jalan jalan sehingga masyarakat dapat mendatangi
simpul-simpul tersebutdengan mudah dan selamat, serta cepat. Jalan tidak
banjir pada waktu musim hujan sehingga dapat dilalui sepanjang tahun.
Jalan tidak berlubang sehingga perjalanan dapat dilakukan dengan
kecepatan yang diharapkan dan nyaman, dan lain-lain. Tetapi pihak
penyelenggara jalan dalam memenuhi tuntutan publik tersebut juga harus
48
mengikuti norma dan kaidah investasi di bidang jalan yang meliputi
efisisensi, efektivitas, ekonomis, dan manfaat yang berkesinambungan.
Kriteria SPM Jalan44 terdiri atas:
a. Kriteria SPM untuk jaringan jalan
b. Kriteria untuk ruas jalan.
a. SPM Jaringan Jalan
1) Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kemudahan bagi pengguna jalan
untuk mencapai suatu Pusat Kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di
dalam wilayah yang dilayani jalan. Dievaluasi dari keterhubungan antar PK
oleh jalan dalam wilayah yang dilayani jalan dan diperhitungkan nilainya
terhadap luas wilayah yang dilayani.
2) Mobilitas
Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh
kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan
untuk mencapai tujuannya. Jalan yang digunakan oleh sejumlah orang,
akan dirasakan berbeda atau berkurang kemudahannya jika digunakan
oleh jumlah orang yang lebih banyak. Ukuran mobilitas adalah panjang
jalan dibagi oleh jumlah orang yang dilayaninya. Dalam konteks jaringan
jalan, mobilitas jaringan jalan dievaluasi dari keterhubungan antar PK
dalam wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya dan
banyaknya penduduk yang harus dilayani oleh jaringan jalan tersebut. Nilai
mobilitas adalah rasio antara jumlah total panjang jalan yang
menghubungkan semua pusat kegiatan terhadap jumlah total penduduk
yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai dengan
statusnya, dinyatakan dengan satuan Km/10.000 jiwa.
3) Keselamatan
44
Hikmat Iskandar, “Kajian Standar Pelayanan Minimal Jalan Untuk Jalan Umum Non-Tol (Minimum
Service Standard Analysis For Non Toll Roads”),
http://www.pu.go.id/uploads/services/service20130717142059.pdf, diakses tanggal 25 Februari 2016.
49
Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna
jalan melakukan perjalanan melalui jalan dengan segala unsur
pembentuknya, yaitu pengguna jalan, kendaraan (sarana), dan jalan
dengan kelengkapannya (bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan),
serta lingkungan jalan. Keselamatan dalam konteks pelayanan jalan
meliputi segala bentuk fisik jalan yang berpadu memberikan pelayanan
kepada pengguna jalan sehingga pengguna jalan dapat melakukan
perjalanan dengan selamat. Memperhatikan kaidah-kaidah yang digunakan
dalam proses perencanaan teknis jalan yang hasilnya didokumentasikan
dalam dokumen rencana teknis jalan, azas yang dianut adalah
keselamatan, efisiensi (optimasi dari perwujudan jalan dengan kecepatan
rencana yang tinggi dengan biaya yang rendah), dan kenyamanan. Azas
keselamatan selalu diutamakan, sebagai contoh, lebar lajur lalu lintas
3,50m ditetapkan agar kendaraan-kendaraan yang berjalan dapat
beriringan dengan teratur dalam kecepatan tertentu dengan selamat (safe),
jalan yang lebih lebar (lebih mahal) cenderung mempengaruhi ketidak
keteraturan keberiringan kendaraan dalam satu alur jalan, sementara jalan
sempit (lebih murah) cenderung menyebabkan kendaraan melambat atau
keluar lajur yang bisa membahayakan kendaraan tersebut. Keberadaan
bahu sebagai fasilitas berhenti sementara, mengamankan kendaraan yang
berhenti tersebut dari kendaraan yang berjalan dibelangkangnya. Dengan
demikian parameter-parameter perencanaan, azas dasarnya adalah
memberikan keselamatan bagi pengguna jalan dan ini dipakai sebagai
parameter kinerja keselamatan jalan. Suatu ruas jalan akan disebut
memenuhi SPM keselamatan jika jalan tersebut dibangun sesuai dengan
rencana teknisnya sehingga layak untuk dioperasikan kepada umum.
Keselamatan untuk jaringan jalan merupakan pemenuhan kondisi
fisik ruas jalan yang menghubungkan pusat kegiatan dalam wilayah yang
dilayani oleh jaringan jalan terhadap dua hal:
1. Parameter perencanaan teknis jalan sebagaimana termuat di dalam
dokumen rencana teknis dari ruas-ruas jalan yang bersangkutan.
2. Persyaratan teknis dan administrasi Laik Fungsi Jalan.
50
Persyaratan pemenuhan Laik Fungsi Jalan meliputi aspek teknis dan
aspek administratif. Aspek teknis meliputi 6 syarat: 1) teknis geometrik
jalan; 2) teknis struktur perkerasan jalan; 3) teknis struktur bangunan
pelengkap jalan; 4) teknis pemanfaatan bagian-bagian jalan 5) teknis
penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu-lintas meliputi pemenuhan
terhadap kebutuhan alat-alat manajemen dan rekayasa lalu-lintas yang
berwujud petunjuk, perintah, dan larangan dalam berlalu-lintas; dan 6)
teknis perlengkapan jalan meliputi pemenuhan terhadap spesifikasi teknis
konstruksi alat-alat manajemen dan rekayasa lalu-lintas. Keenam syarat
teknis tersebut, seluruhnya mengacu kepada ketentuan persyaratan teknis
jalan (PTJ) yang berlaku. PTJ ini merupakan ukuran-ukuran baku tentang
teknis jalan yang menjadi ketentuan dasar bagi pembangunan jalan.
Aspek administratif melingkupi 6 syarat kelengkapan dokumen
teknis: 1) penetapan petunjuk, perintah, dan larangan dalam pengaturan
lalu-lintas bagi semua perlengkapan jalan, 2) penetapan status jalan, 3)
penetapan kelas jalan, 4) penetapan kepemilikan tanah jalan, 5) dokumen
leger jalan, dan 6) dokumen AMDAL.
Secara ringkas, jaringan jalan yang memenuhi SPM keselamatan
adalah jaringan jalan yang ruas-ruasnya dibangun sesuai dengan
rencanannya dan laik dioperasikan kepada umum serta memiliki dokumen
teknis lengkap yang menjamin kejelasan hukum bagi pengoperasian jalan
tersebut.
b. SPM Ruas Jalan
1) Kondisi Jalan
Kondisi jalan merupakan resultante dari seluruh konstruksi jalan
mulai dari subgrade, pondasi jalan, lapis perkerasan jalan, sampai ke lapis
permukaan jalan. Jalan yang lapis bawahnya tidak mantap, cenderung
tidak rata. Jalan yang rata diindikasikan memiliki konstruksi yang baik.
SPM Kondisi jalan diukur dari kondisi kerataan permukaan perkerasan
jalan yang harus dicapai sesuai dengan Persyaratan Teknis yang
ditentukan. Kondisi kerataan permukaan jalan dinyatakan dengan nilai IRI
yang dapat diukur menggunakan alat ukur Roughometer NAASRA. Di
51
samping itu, kondisi jalan dapat dievaluasi secara visual dengan hasil nilai
Road Condition Index (RCI). Pencapaian nilai SPM kondisi jalan untuk suatu
ruas jalan hanya ada 2 pilihan:
1. Memenuhi SPM kondisi jalan dan disebut pencapaian SPM kondisi jalan
100%;
2. Tidak memenuhi SPM kondisi jalan atau disebut pencapaian SPM kondisi
jalan 0%.
2) Kecepatan
Kecepatan sebagai indikator SPM adalah kondisi fisik dan geometrik
jalan yang terbangun sedemikian sehing-ga jalan dapat dilalui kendaraan
dengan selamat dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan rencana
ruas jalan tersebut. Kecepatan rencana ruas jalan tersebut sesuai dengan
kecepatan rencana ruas jalan yang ada dalam dokumen teknis jalan yang
bersangkutan. Kecepatan rencana ruas jalan, jika tidak ditetapkan dalam
dokumen rencana teknis atau tidak ada informasi yang tersedia tentang
kecepatan rencana suatu ruas jalan, maka penetapan kecepatan rencana
bagi ruas jalan yang ada dapat mengacu kepada kecepatan rencana ruas
jalan sesuai PTJ yang berlaku. Suatu ruas jalan dikatagorikan memenuhi
SPM kecepatan, jika ruas jalan terbangun dapat dilalui kendaraan dengan
kecepatan sesuai dengan kecepatan rencana ruas jalan tersebut.
Pencapaian SPM kecepatan untuk suatu ruas jalan hanya ada 2 pilihan:
1. Memenuhi SPM kecepatan yang berarti pencapaian SPM kecepatan 100.
2. Tidak memenuhi SPM kecepatan yang berarti pencapaian SPM kecepatan
0%.
6. Kinerja Jalan
Karakteristik lalu lintas merupakan interaksi antara pengemudi,
kendaraan, dan jalan. Tidak ada arus lalu lintas yang sama bahkan pada
kendaraan yang serupa, sehingga arus pada suatu ruas jalan tertentu
selalu bervariasi. Walaupun demikian diperlukan parameter yang dapat
menunjukkan kinerja ruas jalan atau yang akan dipakai untuk desain.
Parameter tersebut antara lain V/C Ratio, waktu tempuh rata-rata
52
kendaraan, kecepatan rata-rata kendaraan, dan angka kepadatan lalu-
lintas. Hal ini sangat penting untuk dapat merancang dan mengoperasikan
sistem transportasi dengan tingkat efisiensi dan keselamatan yang paling
baik. Dalam mengoptimalkan kinerja jalan juga perlu adanya penilaian
kondisi fisik jalan, diantaranya kerusakan struktur jalan dan kapasitas
jalan untuk menerima beban rencana yang berkaitan dengan keamanan
pengguna jalan, termasuk juga ketersediaan saluran pembuangan jalan dan
rambu-rambu lalu lintas.
1) Volume Lalu Lintas
Volume lalu-lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu
titik per satuan waktu pada lokasi tertentu. Untuk mengukur jumlah arus
lalu-lintas, biasanya dinyatakan dalam kendaraan per hari, satuan mobil
penumpang (smp) per jam, dan kendaraan per menit.
2) Kecepatan
Kecepatan adalah laju perjalanan yang biasanya dinyatakan dalam
km/jam. Kecepatan dan waktu tempuh adalah pengukuran fundamental
kinerja lalu-lintas dari sistem jalan eksisting, dan kecepatan adalah variabel
kunci dalam perancangan ulang atau perancangan baru. Hampir semua
model analisis dan simulasi lalu-lintas memperkirakan kecepatan dan
waktu tempuh sebagai kinerja pengukuran, perancangan, permintaan dan
pengontrol sistem jalan.
Kecepatan dan waktu tempuh bervariasi terhadap waktu, ruang dan
antar moda. Variasi terhadap waktu disebabkan karena perubahan arus
lalu-lintas, bercampurnya jenis kendaraan dan kelompok pengemudi,
penerangan, cuaca dan kejadian lalu-lintas. Variasi menurut ruang
disebabkan perbedaan dalam arus lalu-lintas, perancangan geometrik dan
pengatur lalu-lintas. Variasi menurut jenis kendaraan (antar moda)
disebabkan perbedaan keinginan pengemudi, kemampuan kinerja
kendaraan, dan kinerja ruas jalan.
Kinerja ruas jalan dapat didefinisikan, sejauh mana kemampuan
jalan menjalankan fungsinya. Menurut Muatan Kapasitas Jalan
53
Indonesia (MKJI) yang digunakan sebagai parameter adalah:
a. Derajat Kejenuhan (DS), yakni rasio arus lalu lintas (smp/jam)
terhadap kapasitas (smp/jam) pada bagian jalan tertentu; dan
b. Kecepatan Tempuh (V), yakni kecepatan rata-rata (km/jam) arus lalu
lintas dihitung dari panjang jalan dibagi waktu tempuh rata-rata
yang melalui segmen.
Kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai jumlah maksimum
kendaraan yang dapat melintasi suatu ruas jalan yang uniform per jam,
dalam satu arah untuk jalan dua jalur dua arah dengan median atau total
dua arah untuk jalan dua jalur tanpa median, selama satuan waktu
tertentu pada kondisi jalan dan lalu lintas yang tertentu. Kondisi jalan
adalah kondisi fisik jalan, sedangkan kondisi lalu lintas adalah sifat lalu
lintas (nature of traffic). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas
jalan antara lain :
1) Faktor jalan, seperti lebar jalur, kebebasan lateral, bahu jalan, ada
median atau tidak, kondisi permukaan jalan, alinyemen, kelandaian
jalan ,trotoar dan lain-lain.
2) Faktor lalu lintas, seperti komposisi lalu lintas, volume, distribusi lajur,
dan gangguan lalu lintas, adanya kendaraan tidak bermotor, hambatan
samping dan lain-lain.
3) Faktor lingkungan, seperti misalnya pejalan kaki, pengendara sepeda,
binatang yang menyeberang, dan lain-lain.
Hambatan samping adalah dampak dari kinerja lalulintas dari
aktivitas samping segmen jalan. Faktor hambatan samping yang paling
berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah:
1) Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyebrang sepanjang segmen jalan.
2) Jumlah kendaraan berhenti dan parkir.
3) Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar dari lahan sisi
jalan.
4) Jumlah kendaraan yang bergerak lambat yaitu sepeda, becak, dan
lainnya.
54
Setelah frekuensi hambatan samping diketahui, selanjutnya untuk
mengetahui kelas hambatan samping dilakukan penentuan frekuensi
berbobot kejadian hambatan samping, yaitu dengan mengalikan total
frekuensi hambatan samping dengan bobot relatif dari tipe kejadiannya.
Total frekuensi berbobot kejadian hambatan samping tersebut yang akan
menentukan kelas hambatan samping di ruas jalan tersebut.
Parkir didefinisikan sebagai tempat khusus bagi kendaraan untuk
berhenti sementara demi menjaga keselamatan kendaraan dan
penumpangnya ketika keluar- masuk kendaraan. Jumlah tempat parkir,
termasuk di dalamnya parkir di badan jalan (on street parking) dan luar
jalan atau area parkir (off street parking).
Kriteria terpenting dalam merencanakan fasilitas penyeberangan
adalah tingkat kecelakaan. Dari sudut pandang keselamatan
penyeberangan jalan sebidang sebaiknya dihindari pada jalan arteri primer
berkecepatan tinggi, yaitu apabila kecepatan kendaraan pada daerah
penyeberangan lebih dari 60 km/jam.
Keperluan fasilitas penyeberangan disediakan secara berhirarki
sebagai berikut.
a. Pulau Pelindung (refuge island);
b. Zebra Cross;
c. Penyeberangan dengan lampu pengatur (pelican crossing);
Dan jika hal di atas tidak memadai, dapat dipertimbangkan jembatan dan
penyeberangan bawah tanah.
7. Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan
Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan jalan dan jalan
tol telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU
PTUP). Pasal 4 ayat (1) UU PTUP menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan
Umum. Selanjutnya, Pasal 10 huruf b UU PTUP menyatakan bahwa tanah
untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan jalan umum,
55
jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api.
UU PTUP sebagai payung hukum dapat menjamin percepatan
pengadaan tanah yang selama ini menjadi masalah terbesar dalam
pengadaan infrastruktur jalan. Pengaturan penyelenggaraan pengadaan
tanah ini kemudian diatur lebih lanjut sebagai berikut:
Gambar 6. Peraturan perundang-undangan terkait Pengadaan Tanah45
Dalam pelaksanaan UU PTUP dilakukan melalui 4 (empat) tahapan
yaitu:
Gambar 7. Tahapan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum46
45Bahan Makalah Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, disampaikan dalam peningkatan kemampuan SDM Bidang
Pengadaan Tanah, Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta,10 September
2014. 46Bahan Makalah “Pengadaan Tanah Infrastruktur PU”, disampaikan dalam
peningkatan kemampuan SDM Bidang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur, Denpasar 3 Oktober 2012.
56
Berdasarkan 4 (empat) tahapan tersebut dapat memberikan kejelasan pihak
yang bertanggungjawab dalam setiap tahapan, kegiatan-kegiatan dalam
setiap tahapan outputnya terukur, waktu pelaksanaannya jelas, dengan
demikian kegiatan pengadaan tanah akan lebih terarah, terukur dan
memberikan kepastian yang lebih jelas dalam pelaksanaan pengadaan
tanah.
Prinsip dasar pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan UU PTUP
adalah musyawarah. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan
dijamin keberadaannya dan untuk mendapatkan akses informasi rencana
pembangunan yang dilakukan Pemerintah. Konsep pengadaan lahan adalah
menguntungkan dan memberikan nilai tambah bagi semua pihak yang
terlibat secara berkeadilan.47 Selain itu, adanya kesetaraan hukum bagi
masyarakat pemilik tanah dengan Pemerintah yang memerlukan tanah
untuk pembangunan.
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait dengan Penyusunan
Norma
Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dalam
penyelenggaraan jalan harus berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
1. Asas kemanfaatan yaitu berkenaan dengan semua kegiatan
penyelenggaraan jalan yang dapat memberikan nilai tambah yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
47
Prof. Leksmono S.P.. Guru Besar Transportasi Universitas Taruma Negara, Loc. Cit.
57
2. Asas keselamatan yaitu penyelenggaraan jalan untuk menjamin
keselamatan pengguna jalan dalam berlalu lintas.
Asas ini penting dalam pembangunan jalan karena jalan yang usianya
tidak sesuai dengan desain bisa di akibatkan karena mutu dari
konstruksinya yang kurang, overloading yang melintas di jalan tersebut,
termasuk faktor cuaca akan mengakibatkan daya dukung jalan
mengalami penurunan sehingga akan membahayakan penguna jalan.
Karena itu pembangunan jalan harus memperhatikan faktor
keselamatan.
3. Asas keamanan, yaitu memberikan landasan agar penyelenggaraan
jalan memperhatikan masalah keamanan jalan sesuai dengan
persyaratan teknis yang berkaitan dengan kondisi permukaan dan
kondisi geometrik jalan.
4. Asas persatuan dan kesatuan yaitu jalan merupakan prasarana yang
mempersatukan dan menghubungkan seluruh wilayah Indonesia.
Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2, yang terdiri
atas daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan 127.166.163 km2.
luas wilayah daratan Indonesia jika dibandingkan dengan Negara-
negara Asia Tenggara merupakan yang terluas. Pembangunan
infrastruktur jalan di menjadi penting sebagai konektivitas dengan
wilayah perbatasan sehingga memudahkan untuk menjaga keamanan
dan pertahanan.
5. Asas efisiensi berkeadilan yaitu penyelenggaraan jalan dilakukan
dengan memperhatikan cara yang tepat, hemat energi, hemat waktu,
hemat tenaga, dan rasio dari manfaat dan biaya setinggi-tingginya, serta
penyelenggaraan jalan dapat dinikmati bagi seluruh rakyat dengan
memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap orang secara
proporsional.
6. Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, yaitu memberikan
landasan agar penyelenggaraan jalan dilakukan dengan mewujudkan
keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keterpaduan antar
sektor, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah,
serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan.
58
7. Asas keberdayagunaan dan keberhasilgunaan yaitu berkenaan dengan
penyelenggaraan jalan yang harus dilaksanakan berlandaskan
pemanfaatan sumberdaya dan ruang yang optimal untuk pencapaian
hasil sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
8. Asas keterpaduan, yaitu dalam menyelenggarakan jalan pada suatu
wilayah yang dimulai dari gagasan pembangunan tahap program,
perencanaan, pembangunan, operasi, dan pemeliharaan harus
dilakukan secara terpadu.
9. Asas kebersamaan dan kemitraan, yaitu memberikan landasan agar
penyelenggaraan jalan yang dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah dengan melibatkan peran serta pemangku kepentingan dengan
prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan
menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak
langsung.
10. Asas berkelanjutan yaitu penyelenggaraan jalan dilaksanakan secara
konsisten dan berkesinambungan dengan cara-cara pemanfaatan
sumber daya yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat
untuk masa kini dan masa depan.
11. Asas transparansi dan akuntabilitas yaitu penyelenggaraan jalan yang
setiap proses dan tahapannya bisa diketahui masyarakat dan
pelaksanaannya bisa dipertanggungjawabkan.
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan Jalan, Kondisi yang Ada,
dan Permasalahan yang dihadapi Masyarakat, dan Perbandingan
dengan Negara Lain.
1. Praktik Penyelenggaraan Jalan Umum
Kualitas infrastruktur jalan raya menjadi isu penting dalam
menghubungkan antarkota di Indonesia. Sebagian besar transportasi
logistik di Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa, masih mengandalkan
inland trucking, sehingga kualitas infrastruktur jalan raya menjadi faktor
penting. Rencana yang ada saat ini hampir sepenuhnya fokus pada
perawatan dan peningkatan jalan yang ada. Sementara itu, kebutuhan
59
transportasi jalan terus meningkat cepat. Agar Indonesia dapat
meningkatkan daya saingnya dan mempertahankan pertumbuhan
ekonominya, Indonesia harus meningkatkan transportasi antar-daerah dan
kota-kota besar. Hal ini memerlukan pembangunan infrastruktur jalan
berkapasitas tinggi.
Begitu juga di era otonomi daerah saat ini di mana telah terjadi
pemisahan kewenangan antara pusat dan daerah, sementara banyak
daerah yang tidak memiliki PAD yang cukup untuk membiayai
pembangunan di daerahnya. Hal ini berdampak pada pelaksanaan
penyelenggaraan pembangunan di bidang jalan. Saat ini banyak pemerintah
daerah yang mengalami kesulitan dana untuk membiayai pembangunan
jalan, khususnya mengenai pendanaan untuk pemeliharaan jalan, sehingga
banyak jalan di daerah yang dalam kondisi rusak dan tidak dapat
dilakukan perbaikan. Karena itu jika kondisi ini dibiarkan maka
ketimpangan pembangunan akan semakin tinggi, dan implikasi dari
ketimpangan pembangunan berarti terjadinya ketimpangan kesejahteraan
masyarakat antara daerah yang kaya dan miskin.
Di dalam UU No.38 Tahun 2004, jalan antara lain dikelompokkan
menurut statusnya, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten,
jalan kota, dan jalan desa. Dalam pelaksanaannya, pembagian status jalan
ini banyak menimbulkan masalah, diantaranya adalah tumpang tindih
kewenangan, ketidakjelasan tanggungjawab pemerintah dan pemerintah
daerah, ketidaksinkronan tata ruang antara pusat dan daerah khususnya
yang terkait dengan pemanfaatan jalan, banyaknya pemerintah daerah yang
belum mampu membiayai pembangunan di bidang jalan sementara karena
sistem keuangan tidak memungkinkan Pemerintah Pusat untuk
mengintervensi pembangunan jalan provinsi, kabupaten kota, dan desa,
dan masih banyak permasalahan lain yang terkait dengan otonomi daerah
di bidang jalan. Pembagian kewenangan di sektor jalan yang terdapat dalam
UU No.38 Tahun 2004 saat ini pada dasarnya sudah sejalan dengan UU No.
23 Tahun 2014, akan tetapi dalam pelaksanaannya, politik hukum
pembangunan saat ini mengarah pada sentralistik, sehingga kewenangan
60
daerah semakin mengecil.48 Hal ini yang kemudian menjadikan
pembangunan di daerah semakin tertinggal dengan pusat.
Berdasarkan nomenklatur jalan dan konsideran menimbang huruf b,
alur berfikir yang digunakan dalam UU No.38 Tahun 2004 adalah
pendekatan wilayah. Namun perlu disadari bahwa struktur wilayah antara
pulau Jawa dengan struktur wilayah diluar Jawa adalah berbeda, oleh
karena itu pendekatan yang digunakan bukan hanya pendekatan wilayah
tetapi pendekatan luas wilayah. Hal ini diungkapkan oleh berbagai instansi
di Sumatera Selatan dan NTT yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan
perlakuan antara provinsi yang berada di Pulau Jawa, dengan provinsi yang
berada di luar Pulau Jawa. Dalam skala luas wilayah, provinsi yang berada
di luar Pulau Jawa memiliki luas yang lebih besar dari Pulau Jawa, akan
tetapi pembangunan jalan masih berorientasi kepada Pulau Jawa saja. Hal
ini yang melatarbelakangi adanya ketimpangan pembangunan di seluruh
daerah yang berada di luar Pulau Jawa. Hal ini menjadi penting karena titik
berat kebijakan pembangunan di bidang prasarana transportasi darat
adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi pada perencanaan dan
pengelolaan jaringan jalan, baik antar kota, antar kabupaten maupun jalan
dalam kota. Kondisi jalan yang ada pada tiap lokasi memiliki karakteristik
yang berbeda. Mulai dari lebar jalan, panjang jalan, lebar bahu jalan, serta
keberadaan trotoar jalan itu sendiri.
Ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014, apabila pemerintah daerah
belum mampu melaksanakan sebagian kewenangannya maka dapat
mengembalikan ke pemerintah pusat di atasnya. Ketentuan ini perlu ada
batasan yang jelas karena menimbulkan kesan bahwa Pemerintah Pusat di
atasnya mempunyai kemampuan yang tidak terbatas. Pada kenyataannya,
pemerintah daerah masih sangat tergantung dari transfer dana dari
pemerintah pusat untuk pembangunan daerah. Oleh karena itu, perlu
aturan yang jelas terkait dengan mekanisme penyerahan kembali
kewenangan penyelenggaraan jalan kepada pemerintah dalam hal
48 Dr. Febrian SH. Dekan FH Univ. Sriwijaya, disampaikan dalam Focus Group
Discusion (FGD) dalam rangka Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan
atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017.
61
pemerintah provinsi/kabupaten dan kota belum dapat melaksanakan
sebagian wewenangnya dalam menyelenggarakan jalan.
Adapun menurut Akademisi di Provinsi NTT mengatakan bahwa
penyelenggara jalan hendaknya tetap dipegang oleh Pemerintah, karena
menyangkut kepentingan masyarakat luas. Kewenangan ini mencakup
aspek pembinaan, pengaturan, pembangunan dan pengawasan. Pemerintah
pusat mempunyai kewenangan dalam bidang regulasi dan pendanaan
pembangunan jaringan jalan, sementara pemerintah daerah fokus pada
pendanaan untuk kepentingan pemeliharaan jalan, khusus untuk jalan
satus provinsi dan kabupaten/kota. Adanya DAK merupakan salah satu
solusi, meskipun akan membebani APBN. Pemerintah daerah harus diberi
ruang untuk mendapatkan/mengusahakan secara mandiri dana untuk
pembangunan jalan.49 Sehingga perlu diatur/ditetapkan kewenangan
pemerintah daerah kabupaten/kota serta pemerintah berdasarkan
klasifikasi dan tingkat penanganan jalan yang diharapkan.50
Peningkatan jalan merupakan penanganan jalan guna memperbaiki
pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau
geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan atau
dengan kata lain, peningkatan jalan dilakukan untuk memperbaiki kondisi
jalan dengan kemampuan tidak mantap atau kritis menjadi jalan dengan
kondisi mantap. Penataan ruang berkaitan erat dengan pemanfaatan jalan.
Pemanfaatan area jalan dan jembatan milik provinsi atau pusat, selama ini
terkesan kurang koordinasi. Proyek pelebaran jalan yang menggunakan alat
berat itu sering membuat banyak pipa fiber optik dan air bersih tertanam
terangkat lagi, dan sering mengganggu arus lalulintas serta mengganggu
keselamatan pengguna jalan.
Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sering kali
dilanggar misalnya pengendara yang mengendarai kendaraannya melewati
trotoar, pedagang kaki lima yang menggunakan bahu jalan untuk
berjualan, dan lain sebagainya. Dalam praktiknya pemelihara jalan
49Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit. 50Dolly W Karels, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana dalam rangka
Pengumpulan Data Penyusunan dan Penyempurnaan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Kupang, 8-10 Februari 2017.
62
dilakukan melalui program rehabilitasi jalan, mencakup penanganan
khusus pada jalan terhadap setiap kerusakan spesifik dan bersifat
setempat, pada ruas jalan dengan kemampuan pelayanan yang mantap. Di
samping itu ada juga program penunjangan jalan, merupakan penanganan
jangka pendek terhadap ruas-ruas jalan dan jembatan yang berada dalam
keadaan kondisi pelayanan tidak mantap, sebelum program peningkatan
dapat dilakukan, untuk menjaga agar ruas jalan dan jembatan dimaksud
tetap dapat berfungsi melayani lalu lintas meskipun dengan kemampuan
pelayanan yang tidak mantap.
Sebagai catatan, selama ini, porsi anggaran pembangunan
infrastruktur jalan terserap banyak untuk kegiatan pemeliharaan. Tahun
2009, lebih dari 50% dari total alokasi anggaran Direktorat Jenderal Bina
Marga yaitu sebesar Rp 17 triliun, digunakan untuk pemeliharaan jalan
atau setara biaya pembangunan empat ruas Tol Cikampek-Bandung
(Cipularang). Apabila besarnya investasi tersebut dapat dihemat berkat
kualitas infrastruktur jalan yang mampu dipertahankan dalam kondisi
baik, maka peluang Pemerintah dalam penyediaan akses kepada
masyarakat secara lebih luas dan merata, bukanlah tidak mungkin.
Tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa prioritas pemeliharaan
jalan menempati urutan akhir. Akibatnya, backlog pemeliharaan jalan
semakin lama semakin membesar, sehingga menyebabkan semakin
memburuknya kondisi jalan. Kondisi jalan yang buruk mempengaruhi
keselamatan pengguna jalan yang menyebabkan tingginya tingkat
kecelakaan, sehingga tingkat keselamatan semakin rendah.
Permasalahan pendanaan menjadi bagian dari masalah manajemen
pemeliharaan jalan, sedangkan manajemen pemeliharan jalan menjadi
bagian dari manajemen jalan secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pemecahan mengenai permasalahan pendanaan jalan membutuhkan
pendekatan integral untuk meminimalkan permasalahan yang ditimbulkan
dari manajemen jalan secara keseluruhan.
Menurut laporan yang ditulis Toole dan Batubara (2011) yang
dipublikasikan pada Jurnal Infrastruktur Indonesia Prakarsa edisi 5
Januari 2011, pemeliharaan jalan yang dilakukan saat ini nampaknya
63
hanya berlangsung dalam jangka waktu lebih pendek dan lebih berat dari
yang diharapkan jika dibandingkan dengan jumlah jalan yang harus
dipelihara setiap tahun deengan kondisi jaringan jalan yang relatif tidak
berubah. Sehingga jaringan jalan provinsi dan kabupaten yang ada di
berbagai pelosok Indonesia berada dalam kondisi buruk. Oleh karena itu,
suatu jaringan jalan yang efisien dan handal dapat memberi dampak positif
yang signifikan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Kerusakan jalan
yang terjadi di Indonesia tidak hanya berupa kerusakan yang disebabkan
oleh kelebihan muatan dan fenomena alam, tetapi dapat juga terjadi karena
kesalahan kontruksi jalan dan faktor air. Hal ini senada dengan yang
dilakukan Taufik (2008) yang dimuat pada majalah Info Hubdat yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Republik Indonesia
edisi Maret 2008 menyatakan bahwa penyebab dari kerusakan jalan 44
persen diakibatkan konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar, baik
menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal. Kerusakan lain cukup
besar adalah sistem pengendalian air (drainase) sebesar 44 persen yang
seringkali menyebabkan banjir. Sedangkan kerusakan jalan yang
diakibatkan kelebihan muatan hanya 12 persen.
Sangat sering dijumpai kerusakan jalan pada suatu ruas jalan,
kerusakan ini bermacam macam, umumnya ada kerusakan jalan berupa
retak-retak (cracking), berupa gelombang (corrugation), juga kerusakan
berupa alur/cekungan arah memanjang jalan sekitar jejak roda kendaraan
(rutting) ada juga berupa genangan aspal dipermukaan jalan (bleeding), dan
ada juga berupa lobang-lobang (pothole). Kerusakan tersebut bisa terjadi
pada muka jalan yang menggunakan beton aspal sebagai lapis
permukaannya.
Penyebab kerusakan jalan adalah akibat beban roda kendaraan berat
yang lalulalang (berulang-ulang), kondisi muka air tanah yang tinggi, akibat
dari salah pada waktu pelaksanaan, dan juga bisa akibat kesalahan
perencanaan.51 Pembangunan jalan yang dimulai dengan tahap
perencanaan. Prosedur Perencanaan ini dimaksudkan untuk diterapkan
51http://bachnas.staff.uii.ac.id/2009/02/14/penyebab-kerusakan-jalan/ diunduh
18 Februari 2016.
64
pada seluruh jaringan jalan secara sistematis. Namun sering kali
perencanaan dilakukan tidak matang dan tidak secara sistematik sehingga
mengakibatkan cepatnya terjadi kerusakan pada jalan.
Banyaknya jalan dalam kondisi rusak serta jaringan jalan yang belum
terkoneksi mengakibatkan mobilitas barang dan jasa tidak lancar dan biaya
transportasi yang mahal sehingga harga barang dan jasa tersebut menjadi
tinggi. Belum ada master plan transportasi nasional yang efektif, efisien,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, sehingga saat ini jaringan
jalan belum terkoneksi secara baik (misalnya antara jalan primer ke jalan
sekunder).
Dalam perencanaan, pembangunan jalan dilakukan tidak hanya
menghubungkan suatu daerah dengan daerah yang lain tetapi juga untuk
menghubungkan moda transportasi yang satu dengan yang lain
(intermoda), sehingga seluruh moda transportasi dapat terkoneksi dengan
moda transportasi jalan dengan tetap memperhatikan tata ruang dan
sektor-sektor yang lain yang bertujuan untuk memelihara,
mengembangkan kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat dengan cara
merealisasikan kebutuhan perpindahan orang/barang seeffisien baik secara
teknis, ekonomis, dan sosial, serta seharmonis mungkin (ramah Iingkungan
dan hemat energi). Karena itu dalam UU tentang Jalan perlu diatur
mengenai penyelenggaran jalan yang dikaitkan dengan master plan
transportasi nasional yang efektif, efisien, berkelanjutan, dan berwawasan
Iingkungan.
Di dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 38 Tahun 2004 pengertian
pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran,
perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan
pemeliharaan jalan. Hal ini mengandung tidak adanya ketegasan antara
membuat jalan baru dan pemeliharaan jalan yang sudah ada. Padahal
pelaksanaan antara kedua kegiatan tersebut sangat berbeda dalam hal
mekanisme pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasiannya. Dalam pelaksanaannya,
penyelenggaraan pembangunan jalan belum menunjukan penambahan
panjang jalan yang signifikan dan lebih banyak dilakukan untuk
65
pemeliharaan jalan yang sudah ada, sehingga masih banyak terdapat
daerah-daerah yang belum memiliki akses jalan. Untuk itu diperlukan
pengaturan yang tegas bahwa pembangunan jalan terdiri dari membuat
jalan baru dan pemeliharaan jalan yang sudah ada.
Pembangunan jalan kurang memperhatikan aspek keselamatan dan
keamanan pengguna jalan, misalnya belum adanya standar pengaturan alat
pemisah jalur (concrete barrier), masih sering terlihat adanya perbedaan
spesifikasi, penyediaan pedestrian, jalur sepeda, jalur kendaraan roda dua,
lintasan maupun jembatan penyeberangan orang, dan lain-lain. Sehingga
perlu diatur mengenai standar, spesifikasi, dan audit keselamatan jalan
yang memenuhi aspek keselamatan.
Pembangunan jalan pada umumnya akan diikuti dengan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik (misalnya rumah sakit,
mall, dan perumahan) disekitar jalan. Hal ini membebani kapasitas dan
daya dukung jalan, seperti banyaknya akses ke jalan arteri yang berakibat
terjadi penyumbatan (reduksi kapasitas) jalan arteri. Sehingga perlu
sinkronisasi tata ruang dan analisis dampak lalu lintas dengan pemberian
izin yang kewenangannya ada di pemerintah daerah, termasuk pemberian
izin pendirian bangunan yang bersinggungan dengan jalan nasional harus
mendapat rekomendasi dari pemerintah sebagai penyelenggara jalan
nasional.
Perencanaan pembangunan jalan belum memperhatikan aspek teknis
kendaraan, misalnya jembatan layang (simpang susun) Tomang
menimbulkan kemacetan karena dilalui truk sebagai alat transportasi
distribusi barang dari Tangerang ke Tanjung priok (kawasan industri). Saat
ini sering terjadi perubahan pemanfaatan jalan tanpa ada mekanisme dan
koordinasi dengan pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
jalan yang bersangkutan, sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan tersebut, seperti ruas jalan nasional dijadikan jalur khusus (busway),
pada jalan provinsi dibuat jalur sepeda. Sehingga perlu diatur mekanisme
dan koordinasi perubahan pemanfaatan jalan, agar perubahan tersebut
mendapat izin dari pihak penanggungjawab penyelenggara jalan yang
bersangkutan.
66
Pelaksanaan pemasangan utilitas di jalan (pemasangan kabel telepon,
pipa gas/PAM, galian), tidak ada penanggung jawab lapangan yang
melakukan koordinasi dan pengawasan. Sehingga perlu diatur ketentuan
mengenai pemasangan utilitas di jalan harus terlebih dahulu mendapat
rekomendasi dan dikoordinasikan dengan penanggungjawab penyelenggara
jalan, disamping itu dalam membuat perencanaan pembangunan jalan
disediakan fasilitas khusus untuk pemasangan utilitas. Saat ini kondisi
jalan banyak yang rusak dan tidak mencapai umur yang direncanakan, hal
ini tidak saja dikarenakan kelebihan muatan (overloading), tetapi juga
rendahnya mutu dan kualitas jalan. Sehingga perlu diperhatikan bahwa
mutu dan kualitas jalan sesuai dengan pengelompokkan jalan yang telah
direncanakan dan pengaturan dalam kontrak dengan menerapkan sistem
kontrak yang inovatif. Karena itu dalam RUU ini akan diatur tentang Multi-
years Performance Based Contracting (MPBC), dan menetapkannya sebagai
standar pembiayaan pemeliharaan jalan.
Terkait dengan klasifikasi jalan, klasifikasi jalan yang dikaitkan
dengan fungsi lebih tegas dikaitkan dengan pembinaan, bukan berdasarkan
kewenangan administrasi pemerintahan, yaitu klasifikasi menurut fungsi
jalan terbagi atas Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal. Jalan
Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien. Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan
pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi, Sedangkan jalan lokal:
Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak
dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Pembangunan jalan dengan strategi desain jalan yang harus
memperhatikan keselamatan lalu lintas dengan tujuan untuk menurunkan
korban kecelakaan lalu-lintas di jalan. Jumlah korban kecelakaan lalu
lintas jauh lebih tinggi dari kecelakaan transportasi laut, kereta api dan
udara. Sebagai gambaran, kecelakaan lalu lintas di Indonesia52 data
52http://www.instran.org/index.php/en/news-room/home/25-front-page/1627-
kecelakaan-lalu-lintas-di-indonesia-renggut-31-ribu-jiwa diunduh 18 Februari 2016.
67
Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang tahun lalu
jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia
mencapai 31.234 jiwa. Kerugian ekonomi yang diderita akibat kecelakaan
yang menelan korban jiwa mencapai Rp35,8 triliun.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan identik dengan unsur-
unsur pembentuk lalu lintas yaitu pemakai jalan, kendaraan, jalan, dan
lingkungan. Kecelakaan dapat timbul jika salah satu dari unsur tersebut
tidak berperan sebagaimana mestinya.
Kondisi jalan dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan. Faktor jalan merupakan satu komponen dari sistem
transportasi darat yang merupakan tempat kegiatan transportasi
berlangsung. Tahap pembangunan jalan yang kurang baik menyebabkan
cepatnya kerusakan kerusakan permukaan jalan yang tentu akan
berpengaruh kepada tingkat kecelakaan lalu lintas.
Ke depan, angka kecelakaan ini akan memainkan peranan penting
dalam strategi peningkatan kualitas keselamatan jalan melalui pendekatan
accident reduction. Oleh karena itu penataan sistem data-base kecelakaan
lalu lintas (Sidlantas) Indonesia diharapkan menjadi salah satu prioritas. Di
samping untuk penanganan lokasi-lokasi rawan kecelakaan, angka
kecelakaan ini dibutuhkan terutama untuk menghitung tingkat kecelakaan
(accident rate) atau tingkat fatalitas (fatality rate) pada ruas-ruas jalan.
Selain itu, dengan merencanakan kegiatan-kegiatan diantaranya termasuk
meningkatkan pendanaannya untuk prasarana nasional dan meningkatkan
geometric design yang baik, lebih meningkatkan kualitas pelengkap jalan
seperti marka jalan, memasang rambu jalan yang lebih terlihat dan
meningkatkan keselamatan.
Meningkatnya kemacetan pada jalan perkotaan maupun jalan luar
kota yang diakibatkan bertambahnya kepemilikan kendaraan,
meningkatnya kegiatan ekonomi, terbatasnya sumberdaya untuk
pembangunan jalan raya, dan belum optimalnya pengoperasian fasilitas
lalu lintas yang ada, merupakan persoalan utama di Indonesia seperti
halnya banyak negara lainnya di dunia. Langkah yang didorong salah
satunya adalah dengan penambahan kapasitas, dimana akan diperlukan
68
metode efektif yang sesuai dengan karakteristik lalu lintas di Indonesia
untuk perancangan dan perencanaan agar didapat nilai terbaik bagi suatu
pembiayaan dengan mempertimbangkan biaya langsung maupun
keselamatan dan dampak lingkungan.53
Permasalahan pembangunan jalan dan perbaikan jalan terjadi di
Provinsi Sumatera Selatan (Provinsi Sumsel) dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur (Provinsi NTT) berasal dari saling lempar tanggung jawab antar
instansi terhadap pembangunan dan perbaikan jalan. Hal ini akibat dari
adanya pengelompokan tugas dan tidak diperkenankannya saling ambil alih
kewenangan antara satu sama lain. Dalam melaksanakan kewenangan,
persoalan yang sering muncul adalah kurangnya koordinasi dan
konsistensi dalam mekanisme dan sistem perencanaan. Masing-masing
strata pemerintahan lebih memfokuskan diri untuk menangani ruas jalan
atau jaringan jalan yang menjadi kewenangannya untuk mencapai target
kinerja yang ditentukan pada masing-masing strata pemerintahan dan
ditambah lagi dengan adanya kepentingan politik serta bisnis yang
terkadang mengabaikan prosedur dalam program pembangunan jalan. Oleh
karena itu, diperlukan keseimbangan dalam melaksanakan kewenangan
pada suatu wilayah sehingga mewujudkan suatu sistem jaringan jalan yang
berkinerja sama sesuai dengan fungsi ruas jalan tersebut. untuk mencapai
keseimbangan tersebut, maka diperlukan pemisahan kewenangan yang
jelas antara penyelenggara jalan dan pengawas jalan dan harus berada
dibawah satu koordinasi.54 Setelah terlaksananya keseimbangan
kewenangan antar instansi, maka hal lain yang diperlukan yaitu ketegasan
dalam melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan. Penegakan
hukum terhadap pelanggaran penggunaan jalan, baik kedisiplinan di jalan
dan overload atau over capacity perlu dilakukan dengan menindak tegas
siapapun yang melanggar aturan tersebut. Bahkan piranti hukum
pelanggaran aturan perlu diperkuat.
53 https://id.wikibooks.org/wiki/Rekayasa_Lalu_Lintas/Kapasitas_jalan diunduh
pada 18 Februari 2016 Pukul 01.22 WIB. 54 Prof. Anis Sagaff MSCE. Rektor Univ. Sriwijaya disampaikan dalam Focus Group
Discusion (FGD) dalam rangka Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan
atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017.
69
Pendapat berbeda diungkapkan oleh HPJI Kupang55 yang
menerangkan bahwa kewenangan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan jalan tidak perlu dipisahkan dalam tingkat lembaga yang
berbeda, akan tetapi cukup pemisahan pada unit kerja yang ada pada
lembaga tersebut. Dibutuhkan perangkat regulasi setingkat peraturan
menteri berupa norma standar dan prosedur dalam mengendalikan dan
mengawasi pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Pengawasan dapat terjadi
pada semua tahapan berupa pengawasan internal maupun eksternal dan
pengawasan masyarakat. Pengawasan yang bersifat teknis sebaiknya tidak
dipisahkan, menyatu dalam satu lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi
tersebut. Pengawasan terhadap tugas pengaturan dan pembinaan dapat
dilaksanakan oleh instansi yang berbeda karena pengawasan ini bersifat
pengawasan terhadap kebijakan, kinerja, manfaat, dan dampak.
DPR/DPRD dapat berperan untuk mengawasi kebijakan dan pencapaian
sasaran program.56 Hal ini juga diungkapkan oleh akademisi Politeknik
Negeri Kupang yang mengatakan bahwa penyelenggara jalan dapat
sekaligus sebagai pengawas jalan, namun demikian dalam pelaksanaannya
khusus pengawasan perlu melibatkan stakeholder (perguruan tinggi,
kelompok masyarakat, dunia usaha, dan LSM), dimana mekanismenya
diatur dengan peraturan pemerintah atau keputusan menteri.57
Selain berbagai permasalahan tersebut, terdapat permasalahan lain
yang dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan, seperti:58
a. angkutan barang masih menggunakan jalan umum sehingga kondisi
jalan relatif lebih cepat menurun akibat beban lalu lintas angkutan berat;
b. tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan lebih besar dari peningkatan
kapasitas jalan;
55
Diskusi dengan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Kupang dalam
rangka Pengumpulan Data Penyusunan dan Penyempurnaan NA dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Kupang, 8-10
Februari 2017. 56Ibid. 57Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang dalam rangka
Pengumpulan Data Penyusunan dan Penyempurnaan NA dan RUU tentang Perubahan atas
UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Kupang, 8-10 Februari 2017. 58
Ibid.
70
c. keterbatasan anggaran di Kabupaten/Kota untuk membangun dan
memelihara jalan;
d. jenis tanah di Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar berupa tanah
gambut yang memiliki daya dukung yang rendah, sifat permeabilitas dan
konsolidasi yang tinggi, sehingga memerlukan teknik khusus untuk
menanganinya serta biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi;
e. di beberapa lokasi tebing dan pinggiran sungai, masih banyak terdapat
jalan yang mengalami amblas, longsor atau tergerus aliran air;
f. ketersediaan SDM yang professional di bidangnya masing-masing, seperti
Konsultan Ahli, Tenaga Surveyor, Pendukung dan lain-lainnya;
g. perlu adanya komitmen bersama antara Pemerintah Pusat dengan
pemerintah daerah tentang pembebasan lahan.
Permasalahan kinerja jalan juga disebabkan pengawasan yang
kurang dalam pelaksanaan konstruksi jalan dan aturan beban kendaraan
yang diizinkan untuk melintas sehingga menyebabkan kerusakan struktur
jalan sebelum mencapai umur rencana.
Terkait dengan status jalan, konsep pengelompokkan jalan
berdasarkan status jalan masih relevan. Status jalan berkaitan dengan
fungsi jalan yang sesuai dengan kepentingan setiap tingkatan
pemerintahan. Persoalan ketimpangan kondisi jalan khususnya berkaitan
dengan kwalitas pelayanan jalan yang akan sangat terkait dengan:59
1) Kemampuan pembiayaan.
Solusi: peningkatan pembiayaan ke pemerintah daerah dengan lebih
berorientasi kepada fungsi jalan dan prioritas.
2) Kemampuan menyelenggarakan kegiatan pembangunan jalan pada
setiap tahapan SIDCOM yang berkaitan erat dengan kwalitas penyedia-
penyedia jasa dan pengguna jasa.
Solusi: Peningkatan SDM penyelenggara jalan.
3) Kebijakan pembangunan yang dimulai dari tahap ide, program,
perencanaan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan.
59Diskusi dengan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Kupang, Loc.
Cit.
71
Solusi: tertib penyelenggaraan dengan pelaksanaan pengendalian dan
pengawasan yang lebih baik meliputi pengawasan politik, kebijakan,
teknis, dan pengawasan dari masyarakat.
4) Standar pelayanan yang ditetapkan.
Solusi: penetapan SPM dengan sistem pembangunan bertahap baik
secara horizontal maupun vertikal.
5) Kondisi alam/lingkungan, potensi bencana alam.
6) Sistem politik.
7) Tertib pemanfaatan jalan.
Solusi: penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang mengganggu
pelayanan jalan.
Adanya ketimpangan kondisi ruas jalan nasional dengan provinsi dan
kabupaten/kota disebabkan ketimpangan anggaran. Oleh karena itu,
pengelompokan jalan menurut status jalan masih relevan, namun perlu
dipisah dari aspek pembiayaan, misalnya pembangunan jaringan jalan baru
ditangani pemerintah pusat baik untuk satus jalan nasional, provinsi
maupun kabupaten, sedangkan pemeliharaanya diserahkan ke pemerintah
daerah atau sebaliknya. Jika jalan provinsi/kabupen/kota pembangunan
baru maupun pemeliharaan ditangani semua oleh daerah memang sangat
menyulitkan dan akan terjadi ketimpangan.60
Masalah sebenarnya dalam pengelompokan jalan adalah pada tingkat
jalan kabupaten karena di kabupaten masalah klasifikasi jalan ini
tercampur dengan persoalan sosial politik serta masalah ekonomi
(ketersediaan anggaran) serta belum adanya sinkronisasi antar lembaga
yang berkaitan. Solusi terbaik adalah perlunya penetapan beberapa jenis
dan tipe konstruksi berkelanjutan yang dapat diterapkan berdasarkan
kondisi wilayah serta klasifikasi jalan pada masing-masing wilayah, dengan
dukungan dana pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Berbeda dengan pendapat dari HPJI dan Akademisi, Pemerintah
Kabupaten Manggarai berpendapat bahwa sebaiknya Jalan provinsi
sebaiknya ditiadakan, sehingga dalam pengelompokan hanya ada jalan
60 Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc Cit
72
nasional dan jalan daerah (jalan kabupaten). Namun demikian pada intinya
yang dimaksudkan adalah sebaiknya dilakukan evaluasi secara berkala
terkait penetapan status jalan. Pendapat ini muncul mengingat kondisi
jalan provinsi di Kabupaten Manggarai terhitung buruk dan jumlah panjang
jalan provinsi yang dibangun di kabupaten hanya 1 km per tahun.
Penetapan status jalan harus berdasarkan penilaian faktor kriteria/risiko
(tingkat kesulitan pembangunan jalan), sehingga fleksibel dalam
membangun jalan-jalan di daerah.61
Permasalahan penyelenggaraan jalan umum meliputi kualitas
infrastruktur jalan dan pemisahan kewenangan antara pusat dan daerah,
dalam penyelenggaraan di bidang jalan yang terkait dengan status jalan dan
pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan jalan. Dalam kenyataannya
masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan kualitas
infrastruktur jalan yang dibangun oleh Pemerintah Pusat dengan yang
dibangun oleh Pemerintah Daerah. Kondisi ini selain disebabkan oleh fakor
pembiayaan juga dipengaruhi oleh struktur wilayah, konstruksi jalan yang
tidak memenuhi standar, dan tingkat kerusakan jalan pada suatu ruas
jalan. Porsi anggaran pembangunan infrastruktur jalan saat ini masih
banyak terserap untuk kegiatan pemeliharaan. Selain itu, kelengkapan
bagian jalan belum memenuhi standar dan kurang memperhatikan aspek
keselamatan dan keamanan pengguna jalan.
2. Praktik Penyelenggaraan Jalan Tol
Berdasarkan data BPJT, kondisi pelayanan jalan tol dalam kota
ditinjau dari aspek kondisi lalu lintas rata-rata berada pada level of service
E. Padahal menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun 2006
dinyatakan bahwa level of service dari ruas jalan tol minimal pada level B.
Apabila merujuk pada peraturan lain terkait dengan SPM yaitu Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005, menyatakan bahwa
untuk kecepatan perjalanan minimal rata-rata ruas tol dalam kota adalah
1,6 kali dari ruas jalan umum.
61 Diskusi dengan Pemrintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, Loc. Cit.
73
Untuk ruas jalan tol antar kota, kondisi pelayanan rata-rata pada
level of service A, meskipun pada beberapa segmen yang berada di sekitar
DKI Jakarta berada di bawah level B. Apabila ditinjau dari standar SPM
yang menyatakan bahwa kecepatan perjalanan minimal rata-rata ruas tol
antar kota adalah 1,8 kali dari ruas jalan umum, rata-rata dapat memenuhi
persyaratan tersebut.
Pada sisi lain, masyarakat sebagai pengguna (konsumen) memiliki
hak pelayanan sesuai yang disepakati atau dijanjikan oleh pihak Operator,
termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pelayanan tersebut.
SPM semestinya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum tarif jalan tol
dinaikkan, jika tidak maka masyarakat memiliki hak untuk melakukan
class action sesuai mekanisme yang berlaku.
Penetapan SPM jalan adalah untuk menentukan indikator atau tolok
ukur pelayanan infrastruktur jalan yang paling minim untuk dapat
dinikmati oleh masyarakat pengguna jalan, sehingga dalam
penyelenggaraan suatu infrastruktur jalan maka pelayanannya tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan SPM.
Dalam penyelenggaraan jalan, hanya ruas jalan tol yang ditetapkan
SPM, dengan kriteria SPM mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 16/PRT/M/2014. Untuk ruas jalan non tol, kriteria
pelayanan ditentukan dengan merujuk pada Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 14 tahun 2006 tentang Manajemen Dan Rekayasa
Lalu Lintas di Jalan. Kriteria SPM jalan tol mencakup kondisi jalan tol,
kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit
pertolongan, lingkungan dan tempat peristirahatan. Dari berbagai aspek
tersebut, indikator yang paling mudah dirasakan oleh masyarakat adalah
kecepatan tempuh rata-rata. Dalam U telah dinyatakan bahwa jalan tol
memiliki pelayanan yang lebih baik dari ruas jalan umum biasa, hal ini
tentu dapat menjadi suatu tolok ukur yang mudah ketika mengukur
kriteria kecepatan tempuh rata-rata.
Permasalahan yang timbul adalah ketika pengguna jalan tol telah
membayar tarif tol yang telah ditetapkan namun tidak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kriteria SPM. Penetapan tarif pada dasarnya
74
mengacu pada beberapa aspek kriteria, yaitu kemampuan bayar pengguna
jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.
Pendapatan yang diperoleh dari pemungutan tarif tol tersebut dipergunakan
untuk pengembalian investasi, pemeliharaaan, dan pengembangan jalan tol.
Selama ini pemenuhan terhadap SPM yang merupakan indikator
tingkat pelayanan jalan tol kurang menjadi fokus utama badan usaha
penyelenggaraan jalan tol. Di sisi lain, sesuai denganPasal 48 ayat 3 UU
tentang Jalan tarif jalan tol mengalami kenaikan setiap 2 tahun sesuai
dengan tingkat inflasi. Hal ini tentu merugikan konsumen jalan tol.
Kenaikan tarif jalan tol tidak dapat dikendalikan dengan memperhatikan
pencapaian SPM penyelenggaraan jalan tol karena regulasi yang mengatur
kedua aspek tersebut berbeda tingkatan, kenaikan tarif diatur pada UU
sedangkan ketentuan pemenuhan SPM diatur dalam PP. Sehingga
pelaksanaan kegiatan yang diatur dalam UU didahulukan dari pada yang di
atur dalam PP.
SPM yang umumnya dipermasalahkan tidak dapat dipenuhi oleh
operator jalan tol adalah kecepatan tempuh perjalanan yang tidak sesuai
dengan persyaratan. Salah satu aspek yang mempengaruhi kecepatan
perjalanan di dalam ruas jalan tol adalah volume lalu lintas yang melalui
ruas jalan tol. Ketika terlalu banyak kendaraan yang berada di dalam ruas
jalan tol, maka kecepatan kendaraan di dalam ruas jalan tol akan
menurun.
Terjadinya kemacetan di jalan tol yang terjadi saat ini sulit untuk
dikontrol oleh operator jalan tol, karena operator jalan tol tidak dapat
mengendalikan jumlah kendaraan yang ada. Semakin banyak jumlah
kendaraan maka akan berdampak pula terhadap pembebanan lalu lintas di
ruas jalan tol. Salah satu opsi yang dapat dilakukan untuk menjaga
layanan jalan tol sesuai dengan standar ditinjau dari kecepatan tempuh
perjalanan adalah dengan mengontrol arus kendaraan yang berada di ruas
jalan tol. Namun regulasi yang ada selama ini belum memungkinkan untuk
adanya hak dan kewajiban bagi operator jalan tol untuk mengontrol akses
terhadap jalan tol untuk menjaga standar layanan yang diberikan. Maka
dalam hal terjadinya kemacetan di jalan tol yang berimplikasi terhadap
75
penurunan layanan merupakan dilema yang dialami oleh operator jalan tol,
karena operator jalan tol dituntut untuk memenuhi SPM dan di sisi lain
operator tidak dapat membatasi arus kendaraan yang masuk ke jalan tol.
Pada prinsipnya penerapan tarif dan pemenuhan SPM jalan tol
merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan dan terkait erat
sehingga sudah sewajarnya apabila regulasi yang mengatur pada level yang
sama sehingga dapat dilaksanakan dengan berimbang. Sesuai dengan
konsep dasarnya bahwa komponen tarif jalan tol terdiri atas besar
keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Besar
keuntungan biaya operasai kendaraan merupakan keuntungan yang
diperoleh oleh pengguna yang merupakan selisih antara biaya perjalanan
melalui jalan tol dengan biaya perjalanan melalui jalan non tol. Kelayakan
investasi dapat ditinjau dari margin keuntungan yang diperoleh investor
atau operator dari pengoperasian jalan tol selama waktu konsesi.
Untuk memenuhi kriteria bahwa biaya perjalanan melalui jalan tol
lebih menguntungkan daripada melalui ruas jalan non tol, maka
penyelenggaraan jalan tol harus memenuhi SPM yang telah ditetapkan.
Salah satu komponen biaya perjalanan yang cukup mudah diukur oleh
pengguna adalah waktu tempuh perjalanan. Perjalanan melalui ruas jalan
tol harus lebih cepat daripada melalui ruas jalan non tol yang berada pada
rute yang sama. Ketika lama perjalanan melalui ruas jalan tol tidak ada
perbedaan dengan lama perjalanan melalui ruas jalan non tol maka tidak
ada keuntungan yang diperoleh oleh konsumen.
Kenaikan tarif jalan tol diperlukan dalam rangka pengembalian
investasi dari investor. Kenaikan tarif jalan tol disesuaikan dengan tingkat
inflasi agar dana pengembalian investasi yang diperoleh oleh investor sesuai
dengan nilai dana yang diinvestasikan pada masa mendatang. Namun hal
tersebut merupakan indikator penyesuaian tarif ditinjau dari sisi investor.
Dari sisi konsumen, besaran tarif yang dibayarkan untuk melewati ruas
jaan tol harus sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya daripada
melalui ruas jalan non tol. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan
dalam penetapan tarif dan pemenuhan SPM.
76
Selain terkait dengan SPM dan penyesuaian/kenaikan tarif tol,
pengaturan tentang jalan tol harus mengutamakan pengembangan wilayah
dan peningkatan perekonomian daerah.62 Oleh karena itu, perencanaan
terhadap pembangunan jalan tol harus dipersiapkan secara matang dan
terstruktur. Pembangunan jalan tol tidak boleh mematikan atau
mengurangi perekonomian masyarakat sekitar pembangunan jalan tol
tersebut.
Pembiayaan pembangunan dan pemeiliharaan jalan tol juga
memerlukan aturan yang tidak saling tumpang tindih peraturan atau
kewenangan. Pembangunan jalan tol di Provinsi Sumatera Selatan
pembebasan tanahnya menggunakan anggaran daerah (APBD), akan tetapi
setelah masa konsesi selesai, jalan tol tersebut menjadi jalan nasional.63
Hal ini tentu saja akan merugikan daerah yang telah membebaskan lahan
dengan menggunakan anggaran daerah.
Pengaturan Konsesi sangat erat kaitannya dengan karakteristik dari
suatu jalan tol, yaitu nilai investasi, potensi pendapatan dan keuntungan,
kemampuan bayar pengguna, dan tarif tol yang direncanakan. Oleh karena
itu perlu dilakukan analisis investasi yang diikuti dengan analisa
sensitifitas untuk mancari titik optimum di mana investasi untung dan
masa konsesi yang tidak terlalu lama. Apalagi dengan adanya kebijakan
kenaikan tarif tol dapat memberi keuntungan dari sisi masa konsesi.
Tentunya harus mempertimbangkan kondisi perekonomian. Dengan
membayar, konsumen harus dilayani secara baik, antara lain aman,
nyaman dan ketepatan waktu menempuh perjalanan.64
Dalam pengusahaan jalan tol, dilakukan dengan kontrak BOT,
melalui pendekatan skema investasi, pemerintah membangun badan usaha
mengelola atau sharing pembiayaan antara pemerintah dan badan usaha
serta 100 persen pembiayaan dari pihak swasta/badan usaha. Pemilihan
62 Anis Saggaff, Jawaban Atas Daftar Pertanyaan dan Jawaban Draft RUU Jalan,
disampaikan dalam Focus Group Discusion (FGD) Pengumpulan Data Perubahan Atas UU Jalan, Palembang: Universitas Sriwijaya, 7 Februari 2017.
63 Komisi IV DPRD Provinsi Sumatera Selatan, disampaikan dalam rangka Pengumpulan Data Perubahan Atas UU Jalan, Palembang: DPRD Provinsi Sumatera
Selatan, 6 Februari 2017. 64Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit.
77
ketiga jenis skema investasi diatas harus melalui suatu studi terhadap
peluang untung. Untuk itu, perlu diatur secara tegas bahwa setelah selesai
masa konsesi jalan harus dikembalikan ke Negara atau dapat diperpanjang
dengan waktu investasi pendek dan tarif tol yang terjangkau.65
Sebagaimana tujuannya, maka kepuasan pengguna jalan tol harus
menjadi fokus utama pengoperasian jalan tol, sehingga berdampak pada
pengelolaan dan terkait pengembalian investasi. Belum jelas apakah
konsumen dilindungi dalam kebijakan penyesuaian tarif tol. Akan tetapi
secara mendasar, penyesuaian tarif tol harus memperhatikan kemampuan
beli masyarakat disamping faktor-faktor lainnya.66
Berdasarkan fakta empiris terkait penyelenggaraan Jalan Tol,
permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam Rancangan undang-
undang adalah terkait pengelolaan dan pengembalian investasi jalan tol dan
pengaturan terkait pengembalian konsesi, kepuasan pengguna jalan tol dan
terpenuhinya SPM yang harus menjadi fokus utama pengoperasian jalan
tol, serta kebijakan penyesuaian tarif tol.
3. Praktik Pembiayaan Jalan
Saat ini pembiayaan untuk pembangunan jalan umum (baik
membuat jalan baru atau memelihara jalan yang sudah ada) maupun jalan
tol mengalami kendala, di antaranya adalah mengenai sumber pembiayaan
apakah berasal dan APBN atau APBD, tidak adanya kewajiban
mengalokasikan sebagian dana dari APBN atau APBD untuk keperluan
membuat jalan baru dan/atau pemeliharaan jalan, perlunya sumber
melalui mekanisme keikutsertaan pembiayaan dari pihak swasta (investor
atau luar negeri) untuk pembangunan jalan yang masuk dalam APBN atau
APBD.
Pembiayaan penyelenggaran jalan diatur melalui tingkat
kewenangannya, pemerintah pusat melalui dana APBN yang mengatur
penyelenggaraan jalan nasional, sedangkan pemerintah
(provinsi/kabupaten/kota) melalui dana APBD mengatur penyelenggaraan
65Ibid. 66Ibid.
78
jalan daerah. Namun dengan kondisi dana APBD yang terbatas, pemerintah
pusat mengalokasikan dana penyelenggaraan jalan melalui mekanisme
Dana Alokasi Khusus (DAK).67 Pemberian bantuan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah terkait dana pembangunan jalan dapat melalui
program strategis nasional (APBN), DAU, DAK, maupun transfer daerah.
Namun dalam program penganggaran alokasi antar daerah harus melihat
besaran Pendapatan Asli Daerah, skala prioritas nasional, kebutuhan
penanganan bencana alam, serta kemampuan daerah untuk menyerap
anggaran yang telah dialokasikan.68
Penetapan standar pembiayaan yang sama antara jalan nasional
dengan jalan propinsi, kabupaten/kota, misalnya harga satuan,
penggunaan koefisien dan sebagainya bisa sebagai solusi. Dalam kerangka
politik anggaran maka perlu ada perhatian khusus pemerintah pusat
terhadap jalan dengan status propinsi atau kabupaten/kota. Dalam hal ini
alokasi dana melalui DAK masih sangatlah penting dan sharing dana ini
mestinya perlu ditingkatkan agar kondisi infrastruktur jalan dapat
dipertahankan.69
Perbaikan mekanisme penyaluran DAK menjadi penting dalam proses
penganggaran di tiap daerah secara tepat, yaitu suatu metode tentang
alokasi anggaran yang adil, transparan dan dapat diprediksi agar daerah
penerima dapat secara pasti memasukan DAK dalam proses penganggaran
mereka.70 Usulan pembangunan jalan dari daerah, kemudian dilakukan
cross check ke daerah untuk realisasi anggaran. Untuk pengawasan baik
dari proses pelaksanaan hingga pemeliharaan dilakukan kordinasi bersama
antara pusat dan daerah. Pelaksanaan pengawasan dan pemeliharaan
dapat dilakukan sepenuhnya oleh daerah dengan ditunjang oleh
pembiayaan dari pusat.71
67 Diskusi dengan Balai Pelaksana Jalan Nasional V Palembang dalam rangka
Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004
tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017. 68 Ibid. 69Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc Cit. 70Ibid. 71Margareth Evelyn Bolla, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana, Loc. Cit.
79
Parameter yang dipakai adalah tingkat kerusakan dan besarnya
biaya/anggaran yang dibutuhkan. Dibutuhkan adanya database yang
sistematis dan bisa diakses online, memuat karakteristik jalan, umur
rencana, beban sumbu, volume lalulintas, dan data-data lain yang
dibutuhkan.72 Selain itu, perlu ditetapkan dukungan biaya untuk
pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota dalam meningkatkan mutu dari
konstruksi jalan.73 Politik anggaran harus sama agar mutu yang dihasilkan
sesuai standar mutu nasional. Perlu subsidi terhadap daerah yang APBD
rendah, sehingga pelaksanaan, dan pemeliharaan jalan/jembatan dapat
diterapkan.74 Pemberian bantuan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah terkait dengan anggaran pembangunan jalan daerah dilakukan
melalui instansi teknik, namun pengawasan dilakukan berjenjang dengan
melibatkan masyarakat terutama akademisi yang kompeten.75
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berpendapat bahwa
parameter yang digunakan dalam menetapkan alokasi anggaran
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan akan transportasi jalan. Perlu
adanya parameter tersebut terkait pemberian bantuan anggaran dari pusat
untuk pemerintahdaerah untuk anggaran pembangunan jalan, seperti
pertimbangan tingkat kemajuan wilayah, topografi, luas wilayah, kondisi
tanah, aksesbilitas, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggara
untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan tidak cukup mengingat
jumlah panjang jalan di kabupaten sangat panjang.76
Adanya proses mempengaruhi kebijakan alokasi anggaran oleh
berbagai pihak yang berwenang untuk dapat mengalokasikan dana APBN
yang cukup bukan saja untuk Jalan Nasional tetapi Jalan Daerah di biayai
oleh APBN. sehingga pada akhirnya dapat menjamin kualitas jalan yang
baik. Keterbatasan Pembiayaan Jalan di Daerah telah di intervensi oleh
72Ibid. 73Dolly W Karels, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana, Loc. Cit. 74Egidius Kalogo, Diskusi dengan Universitas Katolik Widia Mandira Kupang,
Loc.Cit. 75Ibid. 76Diskusi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, Loc. Cit.
80
Pemerintah Pusat melalui Alokasi Dana DAK yang bersumber dari APBN
dengan mekanisme atau parameter yang di pakai sebagai berikut:77
a. luas wilayah;
b. jumlah penduduk;
c. kondisi jalan;
d. panjang jalan; dan
e. akses jalan yang mendukung pariwisata dan pertanian.
Dalam politik anggaran pembangunan jalan antara pusat dan
daerah, diperlukan komunikasi yang baik dan koordinasi dalam setiap
pelaksanaan pembangunan jalan nasional dan daerah. Selain itu dana
alokasi khusus dan transfer daerah untuk infratrukur jalan agar
ditingkatkan dan berimbang dengan sasaran untuk infrastruktur jalan
nasional.78 Terkait kemampuan keuangan pemerintah daerah yang masih
terbatas, maka pemerintah pusat wajib membantu pemerintah daerah
untuk pendanaan kerusakan jalan provinsi maupun kabupaten. Dana
tersebut dimasukkan ke dalam APBD dengan cara pemerintah daerah baik
provinsi maupun kabupaten/kota menganggarkan di dalam APBD dana
subsidi jalan tersebut. Namun dana tersebut merupakan dana subsidi jalan
yang sumber keuangannya diberikan oleh Pemerintah Pusat.79
Dana subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat di atas, terbatas
hanya digunakan untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan. Untuk itu,
penarikan/penggunaan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan. Artinya
dana tersebut hanya dapat dicairkan melalui proposal permintaan dana
sesuai dengan kebutuhan akibat adanya kerusakan jalan.80 Hal ini penting,
karena pada umumnya kerusakan jalan yang parah akibat lamban dalam
penanganannya. Apabila terjadi kerusakan kecil pada jalan dan segera
77Diskusi dengan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional X Kupang, Loc. Cit. 78 Wawancara dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, Dinas
Perhubungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Selatan
dalam rangka Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan atas UU No. 38
Tahun 2004 tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017. 79 Diskusi dengan Biro Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera
Selatan dalam rangka Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan atas UU
No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017. 80 Ibid.
81
ditangani maka tidak akan terjadi kerusakan parah pada jalan yang
membutuhkan dana besar. Penggunaan dana tersebut diawasi oleh
Pemerintah Pusat.81
Dana subsidi tersebut walaupun terdapat pada APBD Pemerintah
Daerah namun tidak secara otomatis bisa langsung digunakan oleh
pemerintah daerah tersebut. Artinya dana tersebut tidak menjadi milik
pemerintah daerah sehingga bila dana tersebut tidak terserap maka akan
digulirkan tahun berikutnya dan tidak diperhitungkan sebagai Silpa
pemerintah daerah tersebut.82 Parameter pemberian bantuan sangat
penting untuk menentukan besaran bantuan yang akan diberikan kepada
pemerintah daerah. Parameter utama adalah panjang jalan, kelas jalan, dan
kondisi topografi daerah. Besarannya bisa ditentukan misalnya antara 15%
sampai dengan 20% dari dana pemeliharaan jalan yang ada di dalam APBN
untuk jalan nasional atau APBD untuk jalan provinsi dan jalan
kabupaten.83
Dana Preservasi Jalan muncul dikarenakan keterbatasan anggaran
pemerintah yang dialokasikan kepada danapemeliharaan jalan sangat
terbatas sehingga betapa pentingnya pengaturan dana preservasi jalan pada
revisi UU tentang Jalan. Dalam kaitan perubahan UU tentang Jalan,
pengaturan mengenai dana preservasi jalan hendaknya memperhatikan
harmonisasi pengaturan dengan peraturan perundang-undangan lain.
Beberapa peraturan perundang-undangan lain telah mengatur mengenai
dana preservasi jalan, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan serta UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah
memberikan terobosan penting mengenai ketentuan earmarking yang
mengalokasikan pajak daerah yang diperoleh dari pajak kendaraan
bermotor bagi pemeliharaan jalan. Sementara itu, pengaturan dana
preservasi jalan dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menekankan
kepada pentingnya keberadaan dana preservasi bagi pemeliharaan jalan
dalam mendukung upaya keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
81 Ibid. 82 Ibid. 83 Diskusi dengan Biro Hukum dan HAM, Loc.Cit.
82
Saat ini juga sudah terdapat wacana untuk menerapkan road pricing
sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi kemacetan khususnya jalan
protokol yang ada di kota-kota besar, tetapi di sisi lain wacana ini belum
memiliki dasar hukum untuk diterapkan. Road pricing di samping dapat
dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi kemacetan juga
dapat menjadi sumber pembiayaan untuk pemeliharaan jalan yang masuk
dalam APBD. Sehingga di dalam RUU ini perlu diatur mengenai penerapan
road pricing sebagai salah satu alternatif pembiayaan pemeliharaan jalan
dan salah satu solusi untuk mengurai kemacetan di kota-kota besar.
4. Pelaksanaan Konsep Pembangunan Jalan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah
pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan di masa kini tanpa
meniadakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhannya (The Brutland Report (1987)). Ruang lingkup dari sustainable
development mencakup tiga pilar utama yaitu: lingkungan (ecological),
ekonomi (economic), dan sosial (community). Terdapat pula pengaruh,
seperti polusi udara dan efek menahun limbah pabrik, dan perubahan
sumber daya alam, seperti air dan perikanan, serta permasalahan
perubahan lingkungan. Greenberg (2008), menyatakan bahwa pergerakan,
ekologi, dan komunitas adalah aspek penting dalam perancangan jalan
yang berkelanjutan. Hal ini dinyatakan dalam beberapa contoh
perancangan sampai dengan pelaksanaan jalan. Pergerakan yang dimaksud
adalah pergerakan pengguna jalan dan barang menggunakan semua moda
dan seluruh tujuan maupun tipe perjalanan. Penurunan polusi yang
berasal dari kendaraan merupakan harapan perancangan jalan yang
berkelanjutan. Hal ini didapat dengan perancangan moda dan penurunan
panjang perjalanan. Ekologi yang dimaksud adalah alam di area ruang
manfaat jalan beserta ekologi yang ada di dalamnya, termasuk pengaliran
air, udara yang dipengaruhi emisi kendaraan, dan nilai lansekap jalan.
Jalan yang berkelanjutan melindungi dan menambah sumber daya alam
beserta proses yang ada di dalamnya. Komunitas yang dimaksud adalah
sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, budaya, dan estetika. Prinsip yang
83
digunakan pada aspek komunitas adalah solusi sensitif (context-
sensitivesolutions). Dengan demikian jalan berkelanjutan menunjukkan
adanya keterlibatan masyarakat dan pola pengembangan suatu wilayah
atau kota.84
Pembangunan jalan yang berkelanjutan harus memperhatikan
efisiensi khususnya pembangunan material dan sumber daya alam yang
tidak terbarukan, keselamatan, dan keamanan pengguna jalan, mobilitas,
pembatasan emisi, dan ekosistem. Konsep Pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) menurut Emil Salim diartikan sebagai suatu
proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya
alam dan sumber daya manusia dengan menyerasikan sumber alam dan
manusia dalam pembangunan. Oleh karenanya sebuah proyek
pembangunan jalan harus memenuhi persyaratan siklus fungsional seperti
pembangunan sosial dan pertumbuhan ekonomi dan dengan
memperhatikan lingkungan dan mengurangi konsumsi sumber daya alam.
Karakteristik keberlanjutan dari jalan harus dinilai dan dipertimbangkan
untuk dlaksanakan menyeluruh baik dari dari konseps, perencanaan serta
konstruksi dan pemeliharaan.85
Dalam mengembangkan pembangunan jalan berkelanjutan perlu
diatur/ditetapkan jenis dan konstruksi material untuk konstruksi
berkelanjutan yang dipakai berdasarkan tingkat dan klasifikasi jalan.86
Kesenjangan kualitas jalan, antara jalan nasional, propinsi dan
kabupaten/kota, salah satu penyebabnya adalah pembiayaannya dimana
jalan nasional lebih besar dibanding status jalan lainnya. Di sisi lain, aspek
perencanaan jalan-aspek konstruksi-pemeliharaan tidak berjalan baik
untuk status jalan selain jalan nasional. Solusinya adalah penetapan
standar pembiayaan yang sama baik jalan nasional maupun status jalan
lainnya (propinsi, kabupaten/kota) yang diperkuat dengan ketepatan
perencanaan, konstruksi dan program pemeliharaan yang tepat pula
84Ibid. 85Margareth Evelyn Bolla, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana dalam rangka
Pengumpulan Data Penyusunan dan Penyempurnaan NA dan RUU tentang Perubahan atas
UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Kupang, 8-10 Februari 2017. 86 Dolly W Karels, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana, Loc. Cit.
84
dengan memperhatikan prinsip pembangunan jalan berkelanjutan. Jadi
jelas untuk mencapai standar jalan yang aman dan nyaman maka jalan
perlu direncanakan, dikerjakan dan dipelihara secara baik. Faktor
kekurangan biaya dapat diatasi dengan penerapan teknologi tepat guna
seperti penggunaan material lama, pemanfaatan bahan tambah non aspal
dan lainnya yang dapat mengurangi biaya pembuatan jalan. Di sisi lain,
aspek peningkatan kualitas sumber daya manusia juga harus menjadi
perhatian. Penerapan standar / kualifikasi secara ketat pada setiap orang
yang terlibat dalam pembangunan jalan memegang peranan penting dalam
mewujudkan jalan yang aman dan nyaman.87
Dalam praktik beberapa pembangunan jalan di beberapa kota besar
di Indonesia nampaknya menggambarkan betapa pentingnya aspek
kelestarian lingkungan sekitar yang terkena dampak kegiatan
pembangunan tersebut. Misalnya, dalam pembangunan tol Jakarta-
Bandung yakni Cipularang yang mana setidaknya telah menimbulkan
banjir yang disebabkan berkurannya daerah resapan air dan sistem
drainase yang tidak memadai.88 Kemudian, Pembangunan Fly over Pulo
Brayan dan Amplas setidaknya telah menyebabkan kebisingan dan getaran
bagi penduduk sekitar serta meningkatnya polusi udara. 89Selanjutnya,
pembangunan jalan tol Semarang-Solo juga telah mengakibatkan
berkurangnya lahan pertanian dan beberapa rumah terendam lumpur
akibat kesalahan Land Clearing pada Bukit Sewulah.90 Kajian tersebut
tentu mengarah pada suatu kesimpulan bahwa peran dan posisi
lingkungan sekitar pembangunan jalan menjadi isu krusial untuk terus
diperhatikan dan ditingkatkan pengawasannya agar tetap lestari dan sehat.
Selain terhadap lingkungan, pembangunan prasarana jalan juga
berdampak dalam menciptakan peluang usaha dan menampung angkatan
kerja serta berpotensi untuk memberikan multiplier effect terhadap
87 Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit. 88 Laporan Ringkas Kajian Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang PU Dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Lingkungan, Pusat Kajian Strategis (Pustra) Kementerian PU, 2010,
hlm.2. 89 Pusat Kajian Strategis Kementerian PU, hlm.6 90 Pusat Kajian Strategis Kementerian PU, hlm.8
85
perekonomian lokal maupun kawasan.91 Contohnya adalah, pembangunan
Jalan Tol Cipularang sepanjang 58 km yang menelan biaya sekitar 1,6
triliun rupiah dan 100% dikerjakan oleh tenaga lokal.92 Proyek tersebut
melibatkan 50 ribu tenaga kerja dan meningkatkan nilai konsumsi dengan
menggunakan 500 ribu ton semen, 25 ribu ton besi beton, 1,5 juta m3
agregat, dan 500 ribu m3 pasir. Peran prasarana jalan dalam
menggerakkan roda per ekonomian sangat penting karena ketersediaan
prasarana jalan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi
terutama berkaitan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).93 Setiap 1%
pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan pertumbuhan lalulintas
sebesar 1,5%, sehingga dari sini harus diantisipasi kebutuhan tersebut baik
dengan menyediakan penambahan kapasitas fisik maupun melalui bentuk
pengaturan dan pengendalian kebutuhan transportasi atau Transport
Demand Management (TDM). Berdasarkan hasil pengamatan empirik di
lapangan, pembangunan prasarana jalan memiliki hubungan yang positif
dan efek “saling ketergantungan” dengan harga tanah.94 Dengan adanya
prasarana jalan,harga tanah di sepanjang koridor yang ada umumnya
dapat meningkat pada tahun-tahun pertama. Untuk itu, di samping
manfaat jangka panjang, pembangunan prasarana jalan juga secara
langsung berpotensi untuk menggairahkan dan menggerakkan roda
perekonomian pada jangka pendek.95
Konsep pembangunan jalan yang berkelanjutan menjadi salah satu
titik tekan dalam Rancangan Undang-Undang terkait dengan pembangunan
jalan. Pembangunan jalan harus memperhatikan efisiensi yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya
manusia dengan menyerasikan sumber alam dan manusia dalam
pembangunan. Dalam mengembangkan pembangunan jalan berkelanjutan
perlu diatur/ditetapkan jenis dan konstruksi material untuk konstruksi
berkelanjutan yang dipakai berdasarkan tingkat dan klasifikasi jalan.
91 Rencana Strategis Dirjen Bina Marga 2010-2014,Kementerian Pekerjaan Umum,
2010, hlm. 5-6. 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid. 95 Ibid.
86
5. Pemenuhan SPM
Ukuran pelayanan jalan yang selama ini digunakan, dinyatakan
dalam tingkat kemantapan suatu jalan dan memakai indikator kondisi jalan
atau khususnya kondisi kerataan permukaan perkerasan jalan untuk
pelayanan volume lalu lintas tertentu dan lebar jalur lalu lintas serta bahu
jalan tertentu. Sedangkan pelayanan yang dirumuskan melalui SPM jalan
meliputi ukuran pelayanan yang lebih luas, tidak hanya kondisi perkerasan
jalan, tetapi juga aksesibilitas, mobilitas, keselamatan jalan, kondisi jalan,
dan geometrik jalan yang direpresentasikan oleh kecepatan.
Kemajuan pembangunan jalan dinyatakan melalui data pencapaian
SPM jalan yang dievaluasi dan diumumkan setiap tahun. Suatu perubahan
dalam penyelenggaraan jalan karena kinerja pembangunan jalan
diungkapkan lebih terukur dengan menggunakan ukuran indikator kinerja
SPM jalan yang lebih detail dari sebelumnya. Penerapan SPM jalan
memungkinkan masyarakat mengetahui lebih detail tentang kondisi jalan
yang juga mencerminkan kinerja pemerintah.
Hampir 80 persen jalan di Indonesia tidak laik fungsi. Berdasarkan
penilaian GCI Tahun 2013-2014, kualitas jalan Indonesia hanya
mendapatkan nilai 3,7 (dari 7) dan berada pada peringkat 78 dari 148
negara di dunia. Kemantapan jalan merupakan kunci dalam menjamin
kelancaran mobilitas orang dan barang, yang berpengaruh terhadap
efisiensi waktu dan biaya, kenyamanan, dan keselamatan pengguna jalan.
Jalan nasional telah mencapai kondisi kemantapan 94 %. Peningkatan
program manajemen aset diperlukan untuk memperpanjang umur jalan
dan mencapai 100% kondisi mantap dengan kebutuhan biaya yang
mencukupi.
Kondisi kemantapan jalan nasional tidak didukung oleh jaringan
jalan daerah yang memadai, karena kemantapan jalan daerah kurang dari
60%. Saat ini kecepatan rata-rata kendaraan pada koridor utama adalah
2,6 jam/100 km. Tanpa peningkatan kapasitas akan terjadi peningkatan
waktu tempuh yang diperkirakan menjadi 4 jam/100 km.
87
a. SPM Jalan Non Tol
Regulasi tentang ketentuan pemenuhan SPM sebenarnya sudah ada,
namun persoalannya adalah pada pelaksanaan terhadap pemenuhan
ketentuan tersebut. SPM untuk setiap wilayah tidak harus sama karena
berkaitan dengan kemampuan pemerintah pada setiap strata dalam
mewujudkan SPM. Penerapan SPM yang sama akan terjadi inefisiensi
dalam pembangunan khususnya jika dikaitkan dengan anggaran berbasis
kinerja. Penerapan SPM dilaksanakan secara bertahap mulai dari kondisi
minimal yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah menuju
kondisi standar pelayanan yang lebih tinggi.96
Standar pelayanan jalan perlu diatur sehingga pembangunan jalan
memiliki tolak ukur yang jelas. Rincian pengaturan standar pelayanan jalan
dapat diatur dengan keputusan menteri atau lainnya. Dalam UU perlu
diatur secara tegas bahwa setiap jalan harus memenuhi standar pelayanan
minimal yang ditetapkan.97
b. SPM Jalan Tol
Penerapan SPM Jalan Tol harus menerapkan pelindungan kepada
konsumen atau pengguna jalan. Penerapan SPM diikuti dengan
pertanggungjawaban atas penerapan SPM tersebut. Penanggung jawab atas
terlaksana atau tidak terlaksananya SPM harus dipertegas dalam peraturan
perundang-undangan. Penegasan terhadap siapa yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan jalan tol dan penerapan SPM. Secara pendekatan
hukum administrasi, apabila jalan tol tersebut berada di Kabupaten/Kota,
maka yang bertanggung jawab adalah Bupati/Walikota, begitu juga
seterusnya.98 Permasalahan tanggung jawab terhadap SPM jalan terjadi di
Sumatera Selatan, masyarakat banyak yang belum memahami siapa
penanggung jawab pembangunan dan pemeliharaan jalan? Jalan Nasional
yang berada di Sumatera Selatan banyak yang mengalami kerusakan,
96Diskusi dengan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Kupang, Loc. Cit 97Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit. 98 Febrian, Jawaban Atas Daftar Pertanyaan dan Jawaban Draft RUU Jalan,
disampaikan dalam Focus Group Discusion (FGD) Pengumpulan Data Perubahan Atas UU Jalan, Palembang: Universitas Sriwijaya, 7 Februari 2017.
88
masyarakat seringkali mengeluhkan hal ini kepada Pemerintah Daerah,
sedangkan jalan tersebut merupakan jalan nasional, hal ini disampaikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Balai
Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, dan Akademisi Universitas Sriwijaya.
Kenaikan tarif tol menjadi permasalahan di masyarakat. Kenaikan
tarif tol pada saat sekarang ini belum diikuti dengan hak konsumen yang
harus diperoleh pengguna jalan tol tersebut.99 Dalam praktiknya, hak
konsumen seringkali diabaikan oleh pengelola jalan tol tersebut. Kenaikan
tarif tol harus diikuti dengan SPM yang ideal atau paling tidak SPM harus
terpenuhi, sehingga kenaikan tarif tol dapat memenuhi pelindungan
konsumen.
Konsumen dapat melakukan upaya litigasi apabila keberatan
terhadap penyesuaian/kenaikan tarif tol.100 Jalur litigasi yang dimaksud
yaitu melalui proses pengadilan seperti pada umumnya. Selain
diberikannya kesempatan untuk mengajukan keberatan melalui jalur
litigasi terhadap penyesuaian/kenaikan tarif tol, maka perlu juga
diperhatikan terhadap pengaturan tentang jalan tol yang bersifat cepat dan
solutif.101 Pengaturan yang bersifat kedepan atau bersifat solutif merupakan
solusi yang tepat apabila akan mengatur tentang jalan tol, khususnya
terkait dengan penyesuaian/kenaikan tarif tol yang harus diikuti dengan
pemenuhan terhadap SPM dan pelindungan kepada konsumen.
6. Permasalahan Kinerja Jalan
Adanya beberapa permasalahan yang terjadi pada ruas jalan seperti
kapasitas jalannya yang sudah tidak sesuai, yang ditandai dengan kondisi
lingkungan dan volume kendaraan yang padat, jalur keluarnya kendaraan
dari arah pasar yang tepat berada pada ruas jalan, banyak aktivitas
samping jalan pada ruas jalan yang sering menimbulkan konflik, kadang-
kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu-lintas yang terutama
berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan seperti pejalan kaki,
angkutan umum, kendaraan lain berhenti, kendaraan lambat, kendaraan
99 Ibid. 100 Ibid. 101 Ibid.
89
masuk dan keluar dari lahan di samping jalan. Dengan adanya
permasalahan tersebut berdampak pada kondisi prasarana jalan yang
semakin disalahgunakan.102
Adanya kendaraan yang keluar/masuk, kendaraan berjalan lambat,
pejalan kaki dan kendaraan yang berhenti atau parkir di ruas jalan,
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan
kecepatan kendaraan. Faktor yang paling berpengaruh terhadap turunnya
kinerja Jalan adalah adanya kegiatan pasar sehingga mengakibatkan
hambatan samping yang cukup tinggi dan bercampurnya arus lokal pada
saat jam sibuk. Selain itu juga, jumlah manusia yang semakin banyak pada
suatu wilayah yang sama, menyebabkan kebutuhan mengunjungi tempat
yang sama, pada saat yang sama, dan melalui jalur yang sama.
Konsekuensinya, ini menimbulkan konflik lalu lintas yang semakin rumit
pula. Konflik ini tercermin dari lalu lintas sehari-hari di jalan, pemusatan
berbagai jenis kendaraan di suatu tempat, jumlah manusia yang sama-
sama memerlukan alat angkut yang sama dan lain-lain.
Oleh karena itu, solusi yang digunakan untuk meningkatkan kinerja
ruas jalan adalah dengan mengurangi hambatan samping yang ada.
Kebijakan pemeliharaan jalan harus berkesinambungan. Para pemangku
kepentingan dalam hal ini konsultan/kontraktor harus memahami
konstruksi yang didesain/dilaksanaan serta pekerjaan ikutannya sampai
dengan metode kebersinambungan dalam menjamin terpeliharanya kinerja
jalan pada tingkat pelayanan berbasis SPM.
7. Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Masalah pembebasan tanah telah dikatakan
sebagai kendala paling mengikat untuk investasi infrastruktur di Indonesia.
Meskipun pembangunan infrastruktur dimaksudkan untuk
102Egidius Kalogo, Diskusi dengan Universitas Katolik Widia Mandira Kupang, Loc
Cit.
90
menguntungkan negara dan penduduknya, jelas bahwa dalam kasus
Indonesia, ada keengganan dari pihak pemilik tanah swasta melepaskan
tanah mereka untuk kepentingan umum. Permasalahan intinya adalah
masalah kompensasi atau ganti rugi tanah.103 Sengketa yang timbul dalam
pembebasan tanah milik masyarakat yang terkena proyek pembangunan
infrastruktur pada umumnya berawal dari konflik, pertentangan, dan
ketidaksepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang diberikan pihak
pelaku pembebasan tanah.104 Persoalan ini timbul dikarenakan adanya
panitia cenderung menggunakan Nilai Jual objek Pajak (NJOP), yang selalu
di bawah harga pasar sebagai acuan, sementara pemilik tanah
menggunakan harga pasar, yang bahkan sering dituntut hingga tiga atau
empat kali lebih besar dari NJOP. Dengan kewenangan pembangunan jalan
pada pemerintah daerah maka tentu saja biaya pembangunan jalan
dibebankan pada APBD, yang biasanya sangat terbatas. Hal ini kemudian
yang menjadikan proses pengadaan tanah menjadi terhambat. Oleh karena
itu, diperlukan adanya ketentuan mengenai tata cara penghitungan ganti
kerugian yang adil dan transparan, serta perkuatan kewenangan Negara
untuk mengambil tanah pada harga yang telah ditetapkan tersebut.105
Pengadaan tanah tanah untuk kepentingan umum memang sudah
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012,106 akan tetapi pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan juga harus diikuti oleh peraturan perundang-undangan
yang ada di bawahnya atau undang-undang yang secara lex specialist
mengatur tentang jalan.107 Permasalahan lain dalam pengadaan tanah
untuk pembangunan jalan yaitu adanya tumpang tindih peraturan
perundang-undangan. Hal ini terjadi di Sumatera Selatan, manakala
103Zafar Iqbal dan Areef Suleman, “Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan
Infrastruktur”, (Islamic Development Bank, 2010), hal.87. 104Sepanjang 2010, YLBH menerima laporan 3.406 kasus konflik pertanahan yang
melibatkan negara dan pihak swasta. Lihat dalam, “YLBHI: RUU Pengadaan Tanah =
Perampasan,”
http://nasional.kompas.com/read/2011/03/24/06312220/YLBHI:.RUU.Pengadaan.Tanah
..Perampasan, diakses 18 Februari 2016. 105Margareth Evelyn Bolla, Diskusi dengan Universitas Nusa Cendana, Loc. Cit.
106 Ibid. 107 Ibid.
91
pengadaan tanah untuk membangun jalan seringkali tumpang tindih
dengan peraturan menteri, sehingga jalan tidak dapat di bebaskan.108
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan harus ditujukkan untuk
kepentingan umum, selain itu Pemerintah harus memberi dukungan dalam
kerangka pengadaan tanah baik untuk jalan umum maupun jalan tol.
Dukungan diberikan dalam bentuk pendanaan oleh pemerintah yang
besarnya disesuaikan dengan anggaran pemerintah dan
mempertimbangkan tingkat kelayakan finansial.109 Dalam proses
pembebasan tanah, identifikasi permasalahan tanah harus dilakukan sejak
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) khususnya pada jalur
rencana jalan. Perlu adanya regulasi dan pelaksanaan yang dilakukan
secara konsisten berkaitan dengan ruang milik jalan, ruang pengawasan
jalan yang diikuti dengan pengawasan dan pengendalian terhadap
pemanfaatan ruang milik jalan. Koordinasi yang baik antara Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan penyelenggara jalan dalam menetapkan
batas-batas kepemilikan tanah yang berbatasan dengan jalan. Selain itu
perlu dilaksanakan sertifikasi jalan dan sosialisasi kepada masyarakat
dalam kondisi tertentu dan harus disiapkan dana kompensasi.110
Permasalahan lain dalam pembebasan lahan yaitu terkait dengan
pembangunan jalan tol. Selain adanya penolakan oleh masyarakat setempat
yang menginginkan nilai ganti rugi di atas rata-rata,111 persoalan juga
muncul dari aparatur pemerintahan yang terkadang belum memahami
proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara detail. Salah
satunya adalah masalah persetujuan dari gubernur yang belum bisa
beradaptasi dengan ketentuan baru mengenai pembebasan lahan. Dalam
Perpres 30 tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Kepentingan Umum disebutkan, Surat Persetujuan Penetapan Lokasi
Pembangunan (SP2LP) harus diperbarui dan berubah menjadi Penetapan
108 Ibid.
109Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit. 110Diskusi dengan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Kupang, Loc
Cit. 111
Wawancara dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
Sumatera Selatan dalam rangka Pengumpulan Data penyusunan NA dan RUU Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Provinsi Sumatera Selatan 6-10 Februari 2017.
92
Lokasi (Penlok) oleh gubernur, kemudian gubernur wajib memperbarui
Penlok setiap dua tahun sekali.112
Pemahaman terhadap persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sangat penting agar tidak muncul persoalan di kemudian hari. Salah
satu yang harus diperhatikan adalah mengenai prinsip, tata cara, prosedur,
hingga pemahaman bilamana terjadi keberatan dari masing-masing pihak.
Ada tiga hal yang harus menjadi pegangan dalam pengadaan tanah.
Pertama, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia
tanahnya. Kedua, hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi, dan
Ketiga, menutup peluang lahirnya spekulasi tanah. Prinsip ini harus
menjaga landasan agar proses pengadaan tanah berjalan lancar.
Dalam pembebasan tanah yang diperuntukkan untuk kepentingan
umum, beberapa poin kebijakan baru sudah diterapkan.113 Pertama, sudah
dilibatkannya tim penilai dalam menentukan nilai jual tanah. Apraisial ini
yang akan menentukan nilai. Kemudian supaya tidak terjadi proses adanya
kerumitan, maka kemudian tanah-tanah di lokasi yang akan dijadikan
tempat pembangunan, tidak diperbolehkan dialihkan status
kepemilikannya. Dengan dilibatkannya tim penilai yang bekerja secara
independen, maka harga tanah akan disesuaikan dengan berbagai macam
kondisi. Jadi, nilai jual objek pajak (NJOP) tidak berlaku demi mencegah
munculnya percaloan atau mafia tanah. Hal yang terjadi selama ini, pemilik
tanah biasa menjual tanah berkali lipat dari NJOP. Oleh sebab itu, selalu
tidak ada kepastian harga tanah, terlebih jika calo tanah sudah ikut
bermain dalam menentukan harga jual tanah.
Kedua, pemberian jangka waktu dan periode bagi pemilik tanah
setelah dibayarkan, sosialisasi dan memediasi agar timbul kesadaran di
masyarakat atas asas kepentingan orang banyak, dan lain sebagainya. Total
waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari sembilan bulan. Perinciannya, tiga
bulan pertama mediasi dan kesepakatan dan pembayaran. Kemudian enam
112BPN Segera Terbitkan Petunjuk Teknis Pembebasan Lahan,
http://katadata.co.id/berita/2015/04/22/bpn-segera-terbitkan-petunjuk-teknis-
pembebasan-lahan#sthash.yIFXV8DJ.rHcqkUhJ.dpbs, diakses 18 Februari 2016. 113Yeremia Sukoyo, “Ini Penyebab Berlarutnya Pembebasan Tanah untuk Jalan Tol”,
http://www.beritasatu.com/nasional/282386-ini-penyebab-berlarutnya-pembebasan-tanah-untuk-jalan-tol.html, diakses 18 Februari 2016.
93
bulan selanjutnya pemerintah memberikan kesempatan si penjual tanah
untuk pindah.
8. Sanksi
Sanksi merupakan salah satu permasalahan yang ada dalam
implementasi UU No. 38 Tahun 2004. Penegakan hukum terhadap
pelanggaran atas larangan yang terdapat dalam UU No. 38 Tahun 2004
belum secara maksimal dijalankan. Penindakan atas pelanggaran UU
tentang Jalan belum dilakukan secara maksimal. Salah satu contoh di
Provinsi NTT misalnya penggunaan bagian-bagian jalan untuk berbagai
kepentingan, jumlah dan berat kendaraan yang melebihi kapasitas/kelas
jalan, pemasangan utilitas tanpa ijin dan sebagainya.114 Hal ini kemudian
yang membuat penggunaan jalan tidak sesuai dan membuat jalan menjadi
rusak. Sanksi yang diberikan juga belum memberikan efek jera kepada para
pelanggar aturan perundang-undangan. Sanksi yang diberikan harus
mengandung efek jera, antara lain berupa denda yang sangat tinggi atau
ancaman kurungan penjara, serta dapat pula berupa sanksi sosial.115
Penerapan dan pengenaan sanksi ini juga disampaikan oleh berbagai
institusi di Provinsi Sumatera Selatan, dimana sanksi pidana dalam
undang-undang jalan tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan sanksi lain
yang dapat memberikan efek jera kepada perusahaan atau pelaku
pelanggar peraturan. Penggunaan atau pengaturan tentang sanksi
administratif harus diutamakan, dengan membedakan sanksi yang
dikenakan kepada penyelenggara jalan dengan penggunaan jalan.116
Penjabaran mengenai sanksi administratif harus jelas dan konkrit dalam
draft perubahan undang-undang misalnya pencabutan izin
114
Melchior Bria, Diskusi dengan Politeknik Negeri Kupang, Loc. Cit. 115 Ibid. 116 DR. Febrian SH, MS disampaikan dalam Focus Group Discusion (FGD) dalam
rangka pengumpulan data dan informasi penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan
Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Palembang 6-10 Februari 2017.
94
penyelenggaraan terutama untuk utilitas jalan yang banyak merusak
jalan.117
Pengenaan sanksi dalam RUU tentang Perubahan atas UU tentang
Jalan lebih mengedepankan sanksi administratif agar lebih implementatif
dalam pelaksanaannya. Sanksi pidana yang terdapat dalam UU Jalan tidak
berjalan secara efektif, oleh karena itu pengenaan sanksi administratif lebih
tepat dikenakan kepada penyelenggara jalan.
9. Perbandingan dengan Negara Lain
Ketertinggalan pembangunan Indonesia tercermin pada laporan World
Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Index 2015-2016,
yang secara umum menempatkan Indonesia, menurun dari peringkat 34 ke
peringkat 37 tahun 2014-2015 diantara 140 negara. Indonesia masih
kalah dari Singapura (2), Malaysia (20), dan Thailand (32) di kawasan
ASEAN. Kita hanya lebih baik dari Vietnam 68 , Philipina peringkat 52 dan
Laos peringkat 93. Indonesia di bawah dari Tiongkok yang menempati
peringkat 28, Jerman 4, dan Kerajaan Belanda 5.
Overall infrastructure Indonesia pada Tahun 2014-2015 menempati
peringkat 72 dari 144 negara dan pada tahun 2015-2016 Indonesia
menempati peringkat 62 dari 140 negara yang dinilai. Sementara Singapura
(2), Jepang (5), Malaysia (24), Thailand (44), China (39), Jerman (7) dan
Kerajaan Belanda (3). Secara spesifik penilaian Kualitas Infrastruktur Jalan,
Indonesia berada di peringkat 80 tahun 2015-2016 dari 140 negara,
sementara tahun sebelumnya Indonesia menempati peringkat 72 dari 144
negara yang dinilai.
Sedangkan proporsi biaya logistik Indonesia terhadap PDB sebesar
27%, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (15%), Jepang (10,6%), Amerika
Serikat (9,9%), Jerman (8,8 %) dan Kerajaan Belanda (12,27 %). Ini artinya
biaya logistik di Indonesia belum seefisien negara-negara tersebut yang
117Wawancara dengan Kabid Pelaksana wilayah I Dinas PU Bina Marga dan Tata
Ruang Provinsi Sumatera Selatan, Ir. Taufik, M.T dalam rangka pengumpulan data dan
informasi penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Palembang 6-10 Februari 2017.
95
berimplikasi terhadap harga yang lebih tinggi. Pada laporan Logistics
Performance Index 2014 yang dilakukan oleh World Bank, secara
keseluruhan Indonesia berada pada peringkat ke 53 dari 160 negara,
dengan kualitas infrastruktur termasuk jalan yang berada didalamnya
berada pada peringkat ke 56 dari 160 negara.
Salah satu faktor penyebab ketertinggalan pembangunan Indonesia
adalah kualitas infrastruktur jalan yang belum memadai. Hasil studi Jones
Lang LaSalle (2013), kualitas jalan raya di Indonesia masih buruk.118 Jalan
raya utama di jalur pantura di Jawa misalnya, sangat tergantung pada
jalan raya tol Merak-Tangerang-Jakarta-Cikampek, yang merupakan jalan
satu-satunya penghubung transportasi logistik Sumatera-Jawa.
Selain itu, karakteristik jalan tol yang umumnya hanya mampu
memberikan solusi jangka pendek (1 s.d 5 tahun) mulai menghadapi isu
kemacetan, keamanan, dan keselamatan angkutan. Pada hari-hari dan
jam-jam tertentu, para pengguna jalan raya tol tersebut, harus menghadapi
kenyataan kemacetan yang seharusnya tidak dialami pengguna jalan raya
tol. Jarak Jakarta-Surabaya yang sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu
kurang dari 24 jam, kini harus ditempuh dalam waktu lebih dari 30 jam.
Kondisi jalan buruk seperti ini menimbulkan banyak kecelakaan lalu
lintas. Penilaian WHO bahwa kecelakaan lalu lintas sudah menjadi
pembunuh terbesar ketiga di Indonesia, perlu menjadi perhatian bersama.
Masyarakat, pengusaha angkutan, pemerintah dan pemangku kepentingan
lainnya perlu waspada atas peringatan tersebut.
Data di atas menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelalaian manusia, kondisi jalan,
kelaikan kendaraan dan belum optimalnya penegakan hukum lalu lintas.
Berdasarkan Outlook 2013 Transportasi Indonesia, terdapat empat faktor
penyebab kecelakaan, yakni kondisi sarana dan prasarana transportasi,
faktor manusia dan alam. Namun demikian, di antara keempat faktor
tersebut, kelalaian manusia menjadi faktor utama penyebab tingginya
118
http://supplychainindonesia.com/new/wp-
content/files/Infrastruktur_Logistik_untuk_Daya_Saing_Negara.pdf, diakses pada tanggal 25 Februari 2016.
96
angka kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran berlalu
lintas yang baik bagi masyarakat, terutama kalangan usia produktif.
Berdasarkan data dari Korlantas Polri Tahun 2014:
a. Jumlah kecelakaan di Indonesia selama tahun 2014 mencapai total
88.516 kecelakaan dimana korban meninggal dunia mencapai 20.829
jiwa. Jumlah kecelakaan tersebut semakin mengkhawatirkan.
b. Pelaku kecelakaan lalu lintas terbanyak berasal dari masyarakat di usia
produktif yaitu pada usia 15-49 yang mencapai sekitar 67% atau setara
dengan 14.505 orang dari total pelaku kecelakaan di Indonesia pada
triwulan terakhir tahun 2014.
c. Penyebab kecelakaan yang terjadi selama triwulan terakhir tahun 2014
didominasi oleh pengendara sepeda motor yang mencapai 28.865
sepeda motor atau mendominasi sekitar 70,79% dari total kendaraan
bermotor yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara, turut berupaya untuk
meminimalisir tingginya angka kecelakaan di Indonesia. Melalui program
Dekade Keselamatan Jalan 2011-2020, yang dicanangkan oleh Wakil
Presiden di Jakarta pada 20 Juni 2011 lalu, pemerintah menargetkan
penurunan fatalitas hingga 50 persen pada 2020. Dengan tahun basis 2010
yang menelan 31.234 korban jiwa, pada 2020 fatalitas atau korban jiwa
kecelakaan lalu lintas seharusnya sekitar 15.000 jiwa. Untuk mewujudkan
Dekade Keselamatan Jalan Indonesia pada 2020, diperlukan langkah-
langkah konkrit pihak-pihak terkait dalam mengimplementasikan UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Terlebih untuk ikut mewujudkan zero accident
pada 2015 yang dicanangkan PBB.
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Undang-
Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
97
Beberapa materi muatan baru yang akan diatur dalam perubahan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentu akan menimbulkan implikasi
terhadap masyarakat. Beberapa hal yang dimungkinkan akan
mempengaruhi kondisi jalan, kenyamanan masyarakat pengguna jalan,
serta penyelenggaraan jalan secara keseluruhan dapat diuraikan berikut
ini:
a. Pengaturan di ruas jalan arteri diharapkan berimplikasi pada
berkurangnya kepadatan arus lalu lintas di jalan arteri yang pada
faktanya saat ini sudah mengalami pergeseran dari fungsi awalnya.
Pengaturan ini guna mengembalikan ruas jalan arteri pada fungsi
awalnya. Pengaturan di ruas jalan arteri harus mempertimbangkan
dampak lalu lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses jalan dan
kapasitas jalan yang ada.
b. Pencantuman identitas jalan berguna untuk membantu masyarakat dan
pemegang kewenangan mengidentifikasi setiap ruas jalan berdasarkan
status yang sesuai. Saat mendapati permasalahan di suatu ruas jalan,
masyarakat bisa mengajukan usulan atau komplain kepada pihak
penyelenggara jalan yang tepat. Masyarakat banyak yang tidak tahu
bahwa masing-masing ruas jalan memiliki status yang berbeda dengan
penanggungjawab dan pemegang kewenangan yang berbeda.
c. Bangunan penghubung terutama jembatan dan terowongan. Hal yang
masih sering diabaikan oleh penyelenggara jalan maupun masyarakat
tentang pentingnya bagian-bagian jalan termasuk bangunan
penghubung terutama jembatan dan terowongan. Pembangunan jalan
harus memperhatikan juga bagian-bagian jalan karena merupakan
bagian yang tidak terpisahkan. Setiap jalan harus memiliki bagian-
bagian jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk
konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keamanan
bagi pengguna jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan,
dan ruang pengawasan jalan. Selain memiliki bagian-bagian jalan, jalan
dapat didukung dengan bangunan penghubung yang mempunyai
kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan
98
pemeliharaan dibangun untuk mendukung fungsi jalan dan mengatasi
rintangan antar ruas-ruas jalan berupa jembatan dan/atau terowongan.
Bagian-bagian jalan dan bangunan penghubung yang dibangun
sebagaimana mestinya tentu akan menunjang kenyamanan dan
keselamatan penggunaan jalan. Mengingat spesifiknya teknis
pembanguan jembatan dan terowongan maka perlu perhatian yang lebih
dalam membangun kedua jenis bangunan penghubung tersebut.
d. Pembangunan jaringan utilitas atau kegiatan lainnya pada bagian-
bagian jalan seharusnya dilakukan dengan seizin penyelenggara jalan
dan adanya kewajiban melaksanakan pekerjaan sesuai rencana
pelaksanaan pekerjaan, meminimalisasi dampak gangguan lalu lintas
akibat pekerjaan, dan mengembalikan ruang milik jalan minimal sesuai
dengan kondisi semula. Pengaturan ini diharapkan berimpilkasi pada
adanya ketertiban dalam pemanfaatan bagian jalan sebagaimana
mestinya serta mengurangi kegiatan pemanfaatan bagian jalan yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan rusaknya
jalan dan bahkan mengganggu pengguna jalan karena tidak
mengindahkan kondisi jalan atau tidak dikembalikan ke kondisi
semula. Pengaturan yang tegas dan sanksi yang memadai dimaksudkan
agar jalan dan bagian-bagiannya dikembalikan sesuai fungsinya yang
semula demi kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan.
e. Penguasaan jalan oleh Negara memberi wewenang kepada Pemerintah
dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan
yang memperhatikan keberlangsungan pelayanan jalan sebagai
kesatuan sistem jaringan jalan akan berimplikasi pada proses
penyelengaraan yang lebih komprehensif dan terintegrasi.
f. Anggaran pembangunan jalan daerah menjadi salah satu pekerjaan
rumah yang dihadapi mengingat kualitas dan kemantapan jalan daerah
yang timpang dengan jalan nasional. Undang-Undang No. 38 Tahun
2004 mengatur dimungkinkannya bantuan dari Pemerintah Pusat
untuk pembangunan jalan daerah namun demikian dalam
implementasinya hal ini sulit dilaksanakan mengingat adanya
persyaratan dalam PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan yang
99
mensyaratkan terpenuhinya 20% alokasi anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk sektor jalan di daerah untuk dapat mengajukan
bantuan. Dalam RUU ini mekanisme pemberian bantuan dari
Pemerintah kepada pemerintah untuk pembangunan sektor jalan dibuat
lebih umum dengan mempertimbangkan beberapa aspek sehingga
dalam pelaksanaannya Pemerintah dapat membuat semacam indeks
daerah yang akan dibantu dengan beberapa parameter yang lebih
terukur namun fleksibel selain alokasi dan penyerapan anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk sektor jalan seperti: pelaksanaan
pemeliharaan dan peningkatan kualitas jalan; pemenuhan standar
pelayanan minimal jalan yang ditetapkan; jalan daerah merupakan ruas
prioritas atau memiliki peran strategis; luas jalan dibandingkan dengan
luas wilayah; fungsi jalan merupakan jalan arteri; dan/atau
proporsionalitas kontribusi pendanaan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah terhadap ruas jalan yang akan dibangun. Perubahan pengaturan
dari batasan persentase ke parameter yang lebih terukur namun
fleksibel akan membuat bantuan dana pusat kepada daerah ini lebih
mudah diimplementasikan dan dilaksanakan guna pembangunan jalan
daerah yang berkualitas dan dengan kemantapan yang memadai.
g. Pengaturan jalan tol. Dalam RUU harus dipastikan bahwa jalan tol
merupakan bagian dari sistem jaringan jalan nasional dan terintegrasi
dengan sistem transportasi yang terpadu. Pengusahaan jalan tol
dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan
jalan bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional. Dalam
keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan jalan tol
tidak dapat diwujudkan oleh badan usaha, Pemerintah dapat
mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya.
Konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu
untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang
wajar bagi usaha jalan tol. Dalam hal konsesi berakhir, pengusahaan
jalan tol dikembalikan kepada Pemerintah. Kemudian pemerintah
menetapkan status jalan tol sesuai dengan kewenangannya:
a. menawarkan pengusahaan baru kepada badan usaha jalan tol; atau
100
b. mengalihkan status jalan tol menjadi jalan bebas hambatan non tol.
Pengaturan ini memastikan bahwa setiap jangka waktu konsesi
berakhir, jalan tol dikembalikan pada Negara dalam hal ini Pemerintah
sehingga seharusnya biaya yang dikenai kepada masyarakat sebagai
konsumen mengalami penyesuaian karena telah terpenuhinya margin
keuntungan kepada badan usaha pengelola sebelumnya.
Selain itu, RUU menekankan kewajiban pemenuhan SPM jalan tol
mengingat adanya kewajiban membayar tarif bagi konsumen maka
mereka berhak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. SPM Jalan
Tol merupakan informasi publik yang ditetapkan dalam perjanjian
pengusahaan Jalan Tol. Setiap Badan usaha di bidang jalan tol yang
mengusahakan jalan tol tidak memenuhi SPM jalan tol dikenai sanksi
administratif.
h. Dana Jalan. Mengingat terbatasnya anggaran jalan dari APBN dan
APBD maka untuk menjamin keberlanjutan pelayanan jalan, diperlukan
dana pembiayaan jalan. Dana Jalan dapat bersumber dapat berasal dari
alokasi pajak kendaraan bermotor, retribusi penggunaan ruas jalan,
dana preservasi Jalan, dan sumber lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika dana jalan ini dapat
diimplementasikan maka sebagaian permasalahan anggaran/dana jalan
dapat diatasi dengan konsep dana yang dipungut dari penggunaan jalan
kembali untuk pelayanan jalan atau dari masyarakat kembali kepada
masyarakat.
i. Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan disesuaikan dengan
ketentuan dalam undang-undang terkait terutama Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum dan peraturan pelaksana dari Undang-
Undang ini dan Undang-Undang tentang Pendaftaran Tanah.
Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
berkewajiban menjamin pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
101
yang dilakukan berdasarkan prosedur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan dilakukannya penyesuaian dan sinkronisasi dengan undang-
undang tersebut maka diharapkan persoalan pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan semakin mudah diselesaikan dengan “win-win
solustion” bagi pihak pemilik tanah dan pemerintah.
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Ada beberapa pengaturan dalam RUU ini yang memang memberi
dampak pada aspek keuangan negara. Pengaturan identitas jalan
berdasarkan statusnya tentu akan membutuhkan anggaran dalam
pelaksanaannya. Meskipun demikian pengadaan untuk identitas jalan ini
bukan kebutuhan yang sifatnya berulang. Pengadaannya cukup dilakukan
satu kali dan bisa digunakan seterusnya, diharapkan hal ini tidak terlalu
membebani keuangan negara.
Sebaliknya pengaturan tentang dana jalan merupakan alternatif yang
sangat potensial bagi pembangunan jalan baru maupun pemeliharaan jalan
yang tidak hanya mengandalkan biaya APBN dan APBD saja. Dana jalan
yang masuk bisa dikelola untuk pengembangan dan pemeliharaan jalan
atau bahkan sistem transportasi massal pada umumnya.
Dana jalan yang dikelola sebagai mestinya juga merupakan salah
satu alternatif sumber pendanaan sektor jalan yang jika dihitung secara
matematik sangat besar. Dana yang dikenakan karena pengunaan jalan
tersebut jika dialokasi kembali ke sektor jalan akan sangat berpengaruh
siginifikan terhadap kondisi jalan baik dari sisi kualitas maupun
kemantapan. Kontribusi berbagai pendapatan dari sektor jalan saat ini
cukup signifikan namun sayangnya masih tersebar dalam berbagai institusi
dan tentu saja beragam peruntukan. Jika dana jalan dikelola sebagai
mestinya dengan konsep dari jalan kembali ke jalan, maka secara signifikan
akan mempengaruhi beban keuangan negara yang dialokasikan untuk
sektor jalan.
102
Selain itu pengaturan bantuan anggaran jalan dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah yang lebih terukur diharapkan lebih mudah
diimplementasikan sehingga, dana pemerintah yang teralokasi untuk pos
tersebut bisa tersalurkan dan pada akhirnya jalan-jalan daerah yang
memenuhi kriteria bantuan dapat dibangun guna mewujudkan pemerataan
pembangunan.
103
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa tujuan membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia antara lain untuk memajukan kesejahteraan
umum. Oleh karena itu, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945. Disamping itu, negara betanggungjawab atas
penyediaan fasilitas peleyanan umum yang layak yang diatur dalam
undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) dan (4)
UUD NRI tahun 1945. Fasilitas umum yang layak termasuk infrastruktur
jalan.
Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang merupakan urat nadi
kehidupan masyarakat berperan penting dalam usaha pengembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan
mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, serta
perwujudan dari sila ke-5 Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, negara melalui pemerintah bertanggungjawab
atas penyelenggaraan jalan baik itu dalam hal kewenangan membangun
dan memelihara jalan serta juga dalam hal pembiayaan yang harus
termasuk dalam struktur anggaran pendapatan belanja negara (APBN).
Penyelenggaraan jalan harus tetap sesuai dengan amanah UUD NRI
Tahun 1945 seiring perkembangan zaman dan kebutuhan hukum di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam mencapai hal tersebut perlu dilakukan
deregulasi melalui mekanisme penyusunan naskah akademik dan draf
rancangan undang-undang tentang jalan agar pengaturan mengenai
penyelenggaraan jalan dapat lebih komprehensif, dapat diimplementasikan
secara efektif dan efisien, serta tidak keluar atau menyimpang dari amanah
104
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar hukum serta konstitusi
negara Indonesia.
B. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Secara filosofis UU tentang Jalan sebagai salah satu prasarana
transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat
mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai
peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara sosiologis Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional
mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung ekonomi, sosial
budaya, lingkungan, politik, serta pertahanan dan keamanan. Dari aspek
ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan katalisator di
antara proses produksi, pasar, dan konsumen akhir. Dari aspek sosial
budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat
menjadi wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan
mencairkan sekat budaya. Dari aspek lingkungan, keberadaan jalan
diperlukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dari aspek
politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat antardaerah,
sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan
memberikan akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan
dan keamanan.
Landasan filosofis dan sosiologis di atas masih relevan dengan kondisi
saat ini, namun dalam penerapan UU tentang Jalan masih diperlukan
perhatian berbagai isu terkait antara lain permasalahan jalan berbayar,
pembiayaan jalan, dan penyesuaian dengan beberapa peraturan
perundang-undang seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Di samping itu yang
menjadi perhatian adalah dinamika pengembangan jalan tol dan
105
pemenuhan standar pelayanan minimum dan perkembangan lingkungan
strategis dalam persaingan global.
UU tentang Jalan terdiri dari 10 BAB dan 68 Pasal. Dari segi tehnik
penyusunan peraturan perundang-undangan UU tentang Jalan perlu
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) tapi mengingat
secara substansi UU tentang Jalan masih ada yang relevan pengaturannya
dan sebagian substansi perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini serta
perubahan UU tentang Jalan tidak lebih dari 50 (lima puluh) persen maka
UU tentang Jalan hanya dilakukan perubahan bukan penggantian.
Perkembangan zaman dan kebutuhan hukum sangatlah
mempengaruhi keberlanjutan suatu peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan merupakan
penggantian dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan.
Ddalam rangka penyusunan naskah akademik dan draf rancangan undang-
undang tentang jalan kita perlu melihat sejarah peraturan dan pengaturan
tentang jalan agar ke depannya peraturan mengenai jalan di Indonesia
dapat lebih komprehensif dan dapat diimplementasikan secara efektif dan
efisien.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan dibentuk
berdasarkan tujuan untuk menjamin terselenggaranya peranan jalan serta
pembinaannya secara konsepsional dan menyeluruh, karena jalan
mempunyai peranan penting terutama yang menyangkut perwujudan
perkembangan antar daerah yang seimbang dan pemerataan hasil
pembangunan serta pemantapan pertahanan dan keamanan nasional
dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan mengatur
tentang jaringan jalan, bagian-bagian jalan, hak penguasaan dan
wewenang, wewenang pembinaan jalan, penyelenggaraan jalan tol,
perbuatan-perbuatan yang dilarang, dan sanksi pidana. Dalam Bab I UU ini
hanya berisikan ketentuan umum, tidak menjelaskan asas, tujuan, dan
lingkup pengaturan. Pengelompokan jalan dalam UU ini dibagi atas jalan
arteri, kolektor, dan lokal yang menurut sifatnya dibedakan menjadi jalan
106
umum dan jalan khusus (Pasal 4 dan Pasal 8). Untuk bagian-bagian jalan,
UU ini menggunakan istilah daerah manfaat jalan, daerah milik jalan, dan
daerah pengawasan jalan (Pasal 5).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan ini bersifat
sentralistik (terpusat) karena belum adanya otonomi daerah, sehingga
belum menganut pembagian status jalan beserta kewenangan
penyelenggaraannya. Dalam UU ini mengatur tentang penyelenggaraan
jalan tol, berdasarkan hak penyelenggaraan jalan tol, pemerintah
menyerahkan kewenangan penyelenggaraan jalan tol kepada badan hukum
usaha negara jalan tol yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan (Pasal 17). Badan tersebut terbentuk 10 tahun kemudian melalui
PP Nomor 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol. Dalam pelaksanaannya PT. Jasa
Marga berlaku sebagai operator sekaligus regulator pengadaan dan
penyelenggaraan jalan tol. Akses pemerintah sangat kecil pada pelaksanaan
jalan tol kecuali hanya sebagai pembina dan penetapan tarif tol (Pasal 18).
Selanjutnya, dalam UU ini tidak mengatur mengenai pengadaan tanah,
peran serta masyarakat, dan sanksi administratif.
C. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU
tentang Jaskon).
Dalam pembangunan infrastruktur jalan, proses pengikatan dan
pengelolaannya mengikuti ketentuan dalam UU tentang Jaskon. Sesuai
dengan ketentuan dalam UU tentang Jaskon, pihak penyedia jasa yakni
konsultan dan kontraktor dengn pihak pengguna jasa yakni pemerintah
baik pusat maupun daerah terikat dalan suatu kontrak kerja konstruksi.
Pengaturan dalam pengikatan pekerjaan konstruksi menmgikat ke dua
belah pihak untuk menjalankan kesepakatan sesuai dengan dasar-dasar
pengaturan dalam UU tentang Jaskon.
Penyelenggaraan jasa konstruksi baik konsultansi konstruksi maupun
pekerjaan kontruksi dalam pembangunan infrastruktur jalan harus
memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU tentang Jaskon. Kewajiban ini
dikenai pada pengguna jasa dan penyedia jasa. Dalam memenuhi standar
107
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan pengguna jasa
dan/atau penyedia jasa harus memberikan pengesahan atau persetujuan
atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
b. rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran,
dan/atau pembangunan kembali;
c. pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan,
pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
d. penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi; dan/atau
e. hasil layanan jasa konstruksi.
Standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan paling
sedikit meliputi:
a. standar mutu bahan;
b. standar mutu peralatan;
c. standar keselamatan dan kesehatan kerja;
d. standar prosedur pelaksanaan jasa konstruksi;
e. standar mutu hasil pelaksanaan jasa konstruksi;
f. standar operasi dan pemeliharaan;
g. pedoman pelindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan jasa
konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
h. standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan untuk
setiap produk jasa konstruksi diatur oleh menteri teknis terkait sesuai
dengan kewenangannya dengan memperhatikan kondisi geografis yang
rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.
D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (UU tentang Pemda)
UU tentang Pemda telah mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Undang-Undang
108
Perubahannya. 119 UU Pemda berikut Lampirannya tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.120
Dalam UU tentang Pemda secara eksplisit menegaskan penggunaan
istilah “urusan pemerintahan konkuren” yang dimaknai otonomi harus
dipahami secara fungsional upaya memaksimalkan pelaksanaan fungsi
pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan penyelenggaraan) agar dapat
dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Inilah mengapa urusan konkuren dalam UU
tentang Pemda seharusnya dimaknai serta dilaksanakan secara konsekuen
dan konsisten oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di dalam UU
tentang Pemda, penyelenggaraan jalan termasuk pada urusan
pemerintahan konkuren wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9, Pasal 11, dan pasal 12 ayat (1)
huruf c.
Di dalam lampiran UU tentang Pemda wewenang pemerintah dalam
bidang pekerjaan umum dan penataan ruang khususnya pada sub bidang
jalan meliputi pengembangan sistem jaringan jalan secara nasional serta
penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
Wewenang itu meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan.
Sementara itu, wewenang pemerintah provinsi dalam
penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan
provinsi. Selanjutnya, wewenang pemerintah kabupaten dalam
penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan
desa. Sedangkan wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan
meliputi penyelenggaraan jalan kota. Wewenang penyelenggaraan jalan
119 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Nomor 244 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5587. 120 Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang, lihat
Pasal 15 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
109
kabupaten, jalan kota, dan jalan desa meliputi pengaturan, pembinaan,
pembangunan, dan pengawasan.
Pengaturan mengenai kewenangan penyelenggaraan jalan dalam UU
tentang Jalan masih relevan dengan pembagian urusan kewenangan dalam
UU tentang Pemda yang berlaku sekarang. Namun, ada frasa pengecualian
dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian
wewenangnya dalam penyelenggraan jalan pemerintah provinsi dapat
menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah.121 Begitu juga
dengan pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian
wewenangnya dalam penyelenggaraan jalan, pemerintah kabupaten/kota
dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.122
Keterkaitan lainnya di dalam UU tentang Pemda, implikasi dari
pembagian urusan pemerintah di bidang jalan itu termasuk pada urusan
konkuren wajib yang berkenaan dengan pelayanan dasar adalah kewajiban
pemerintah untuk memenuhi SPM. SPM jalan adalah ukuran teknis jalan
yang harus diwujudkan oleh penyelenggara jalan agar jalan dapat
beroperasi sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Ukuran
teknis tersebut diamanatkan PP Nomor 34 tahun 2006 tentang jalan yang
meliputi 2 hal yaitu: 1) SPM jaringan jalan dengan indikator kinerja
aksesibilitas, mobilitas, dan keselamatan, dan 2) SPM ruas jalan dengan
indikator kinerja kondisi jalan dan kecepatan.123 Penetapan SPM jalan lebih
lanjut diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU). SPM
jalan wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
amanat PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemeritah
Kabupaten/Kota.124 Mengenai tata pemerintahan yang baik dan
transparansi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan khususnya di
bidang jalan, yaitu dengan menetapkan ukuran-ukuran teknis jalan sesuai
SPM jalan yang ditetapkan, yang harus dipenuhi oleh jaringan jalan serta
121 Lihat Pasal 15 ayat (3) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan 122 Lihat Pasal 16 ayat (4) UU Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan 123 Lihat Pasal 112 ayat (1) PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan 124 Lihat Pasal 8 PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pebagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Pemrintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
110
setiap ruas-ruas jalan yang ada di dalamnya. Pencapaiannya menjadi
kewajiban penyelenggara jalan, yang kemudian harus diinformasikan
secara terbuka kepada publik dengan mengumumkan melalui media masa.
UU tentang Jalan mnegamanatkan penyelenggara jalan wajib
memprioritaskan pemeliharaan, perawatan, dan pemerikasaan jalan secara
berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan
SPM yang ditetapkan.125 Keberlakuan kebijakan tersebut meliputi seluruh
jalan umum yang harus dilaksanakan sesuai dengan status jalan, kecuali
jalan tol. Perbedaan status jalan yang berimplikasi kepada kewenangan
siapa yang mengelola jalan tersebut. Jalan nasional wewenang
pengelolaannya ada pada pemerintah berdasarkan pembiayaan dari APBN,
jalan provinsi wewenang pengelolaannya ada pada pemerintah provinsi yang
pembiayannya berasal dari APBD provinsi, dan jalan kabupaten/kota
wewenang pengelolaannya ada pada pemerintah kabupaten/kota yang
pembiayaannya berasal dari APBD kabupaten/kota. Masalah pembiayaan
berdasarkan kemampuan dari APBN/APBD daerah yang bersangkutan
dalam penyelenggaraan jalan. Secara normatif jelas bahwa setiap jalan
umum, baik jalan baru maupun jalan lama yang sudah dioperasikan, harus
memenuhi ukuran teknis SPM jalan sebagai wujud pelayanan pemerintah
kepada masyarakat.
E. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU tentang
Desa)
Menurut UU tentang Desa, kewenangan pembangunan di desa
menjadi kewenangan dari masing-masing desa serta didasarkan atas
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UU tentang Desa menyatakan bahwa desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, pembangunan jalan di desa perlu
125 Lihat Pasal 30 ayat (1) huruf b UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
111
memperhatikan adanya kewenangan dari masing-masing desa untuk
melaksanakan pembangunan di desanya masing-masing. Dalam Pasal 78
ayat (2) dan ayat (3) disebutkan bahwa pembangunan di Desa meliputi
tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pembangunan tersebut
mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Dalam Pasal 79 UU tentang Desa, sebelum melakukan pembangunan,
pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai
dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan tersebut meliputi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun
dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana
Kerja Pemerintah Desa yang merupakan penjabaran dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun serta
ditetapkan dengan peraturan desa.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perencanaan pembangunan desa tersebut merupakan salah satu masukan
dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Program pemerintah
dan/atau pemerintah daerah yang berskala lokal desa dikoordinasikan
dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada desa.
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ( UU tentang PTUP)
Pembangunan jalan baru baik jalan umum termasuk jalan tol tentu
sangat ditentukan oleh ketersediaan lahan. Karenanya penyediaan lahan
menjadi isu krusial. Pengaturan dalam RUU tentang Jalan tentu
membutuhkan penguatan agar proses ketersediaan lahan atau pengadaan
tanah tidak menjadi hambatan. Karena ketentuan mengenai hal ini sangat
erat kaitannya dengan ketentuan dalam UU tentang PTUP. UU No.38 tahun
2004 tentang Jalan sudah mengatur materi tentang Pengadaan Jalan,
mengingat UU ini lahir jauh sebelum UU tentang PTUP maka sangat
112
penting untuk mencermati perkembangan pengaturannya dalam UU
tentang PTUP.
Dalam UU tentang PTUP dinyatakan bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak. Adapun klepentingan umum sendiri
didefinisikan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Mengingat fungsi jalan sebagai sarana mobilitas baik
orang maupun barang/jasa dalam pergerakan ekonomi dan sumber daya
lainnya.
Tanah untuk Kepentingan Umum dalam UU tentang PTUP mencakup
jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api (Pasal 5 huruf b) sehingga seluruh proses
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan umum dan jalan
tol termasuk terowongan harus mengikuti ketentuan dalam UU ini. Salah
satunya bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin
tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum tersebut (Pasal 4 ayat (1)).
Dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan jalan yang
diselenggarakan melalui tahapan perencanaan; persiapan; pelaksanaan;
sampai penyerahan hasil (Pasal 13) harus selaras dengan ketentuan dalam
UU tentang PTUP termasuk masalah penilaian ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
G. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman (UU tentang Perkim)
Pengaturan di dalam UU tentang Jalan yang harus diharmoniskan
dan disinkronkan dengan materi pengaturan yang ada di UU Perkim yaitu
terkait dengan perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
perumahan. Pasal 28 ayat (1) huruf b menyatakann perencanaan
prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan meliputi rencana
113
kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. Di dalam
penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan
prasarana” paling sedikit meliputi jalan, drainase, sanitasi, dan air minum.
Jadi jalan merupakan salah satu rencana kelengkapan prasarana di dalam
pembangunan suatu rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.
H. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU tentang PPLH)
Keterkaitan UU tentang Jalan dengan UU tentang PPLH adalah
tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selain mengacu pada
konsep pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, pembangunan jalan di Indonesia juga harus memperhatikan aspek
lingkungan. Hal tersebut menjadi penting karena pembangunan ekonomi
sangat tergantung pada keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Sebagai contoh dampak bencana banjir menyebabkan terhentinya
aktivitas perekonomian yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.
Pertimbangan faktor lingkungan tersebut telah diatur dalam UU tentang
PPLH.
Dalam pasal 22 ayat (1) UU tentang PPLH menyatakan bahwa setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal (analisis mengenai mengenai dampak
lingkungan hidup). Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting
suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Kemudian pasal 23 UU tentang PPLH menjelaskan kriteria usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal
terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang
tidak terbarukan;
114
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan
dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar
budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
Pembangunan jalan merupakan jenis kegiatan yang dimasukkan
dalam kegiatan wajib amdal dalam bidang pekerjaan umum. Hal tersebut
disebabkan kegiatan tersebut telah memenuhi kriteria yang telah dijelaskan
dalam UU tentang PPLH.
Selain kewajiban untuk memiliki amdal, dalam kegiatan
pembangunan jalan juga dilarang melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar (Pasal 69 ayat (1) huruf h). Oleh karena itu, apabila dalam
kegiatan pembangunan jalan membutuhkan pembukaan lahan tetapi
dilakukan dengan cara membakar lahan tersebut berarti hal itu melanggar
UU tentang PPLH.
I. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU tentang PDRD)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang PDRD
adalah pengenaan pajak kendaraan bermotor yang dipungut oleh
pemerintah provinsi (Pasal 2 ayat (1) huruf a). Objek Pajak Kendaraan
Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor
(Pasal 3 ayat (1),termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di
115
semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air
dengan ukuran isi kotor 5 GT (lima Gross Tonnage) sampai dengan 7 GT
(Pasal 3 ayat (2)). Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah bobot
yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor (Pasal 5
ayat (1)).
Konsekuensi adanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh
pemerintah provinsi adalah adanya kewajiban yang harus dilakukan oleh
pemerintah provinsi yaitu hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
paling sedikit 10%, termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota,
dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta
peningkatan moda dan sarana transportasi umum (Pasal 8). kebijakan tarif
Pajak Kendaraan Bermotor diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan
di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk
menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan
seterusnya.
Keterkaitan lain pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang PDRD
adalah pengenaan pajak penerangan jalan yang dipungut oleh pemerintah
kabupaten/kota (Pasal 2 ayat (2) huruf e) yang hasil penerimaan pajaknya
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan (Pasal 56).
Selain pajak kendaraan bermotor dan pajak penerangan jalan,
keterkaitan pengaturan di bidang jalan dan UU tentang PDRD adalah
pengenaan retribusi parkir ditepi jalan umum (Pasal 110 ayat (1) huruf e).
Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan
pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
J. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
(UU tentang Pelayanan Publik)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang Pelayanan
Publik secara garis besar adalah SPM yang ditetapkan sebagai tolak ukur
penyelenggaraan jalan sebagai salah satu infrastruktur yang dinikmati oleh
publik (masyarakat). Pasal 1 angka (7) UU tentang Pelayanan Publik
116
menjelaskan bahwa standar pelayanan adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara
kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,
mudah, terjangkau, dan terukur. Hal ini harus menjadi acuan dalam
penyusunan ketentuan mengenai SPM dalam RUU tentang Jalan
selanjutnya.
Pasal 3 UU tentang Pelayanan Publik menjelaskan bahwa
penyelenggaraan pelayanan publik harus:
a. menyebutkan batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
b. sesuai dengan asas-asas umu pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; serta
d. memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pasal 5 UU tentang Pelayanan Publik menjelaskan bahwa
penyelenggaraan jalan termasuk kedalam ruang lingkup pelayanan publik
yang meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan
administratif yang diatur dala peraturan perundang-undangan, dimana
dananya dapat bersumber dari APBN dan/atau APBD. Pasal 6 dan Pasal 7
UU Pelayanan Publik menjelaskan bahwa guna menjamin kelancaran
penyelenggaran pelayanan publik diperlukan pembina dan
penanggungjawab dengan tugas dan wewenang yang ditentukan masing-
masing. Oleh karena itu pengaturan mengenai wewenang pemerintah
provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
jalan dalam RUU tentang Jalan selanjutnya dapat merujuk kepada UU
tentang Pelayanan Publik ini.
Pengusahaan jalan tol yang dilakukan oleh badan usaha milik swasta
dalam RUU tentang Jalan harus merujuk kepada pedoman
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13
UU Pelayanan Publik. Sedangkan pengaturan mengenai batasan hak dan
kewajiban penyelenggara, pelaksana, dan masyarakat, yang menjadi bagian
117
dalam penyelenggaran jalan dalam RUU tentang Jalan harus merujuk
kepada Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 UU tentang Pelayanan Publik.
Pasal 20 UU tentang Pelayanan Publik menjelaskan bahwa
penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun dan menetapkan standar
pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan
masyarakat, dan kondisi lingkungan. Komponen standar pelayanan publik
sekurang-kurangnya harus meliputi: dasar hukum; persyaratan; sistem,
mekanisme, dan prosedur; jangka waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk
pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana;
pengawasan internal; penanganan pengaduan, saran, dan masukan; jumlah
pelaksana; jaminan pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan; dan
evaluasi kinerja sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 21 UU tentang
Pelayanan Publik. Seluruh ketentuan ini harus menjadi rujukan dalam
penetapan SPM penyelenggaraan jalan dalam RUU tentang Jalan.
Penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik juga berkewajiban
mengelola sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara
efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan dan/atau penggantian sarana,
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 25 ayat (1) UU tentang Pelayanan Publik, serta ayat dan/atau
pasal berikutnya yang menjelaskan mengenai pengaturan pengelolaan
sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik. Hal ini juga harus
menjadi acuan bagi pengaturan pengelolaan dan pemeliharaan jalan dalam
RUU tentang Jalan.
Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 UU tentang Pelayanan Publik juga
mengatur mengenai penentuan dan alokasi biaya/tarif pelayanan publik.
Maka dari itu pengaturan mengenai penentuan dan/atau penyesuaian tarif
tol dalam RUU tentang Jalan juga harus mengacu pada ketentuan yang
telah diatur dalam UU tentang Pelayanan Publik ini.
K. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU tentang LLAJ)
118
UU tentang Jalan dan UU tentang LLAJ memiliki keterkaitan yang
sangat erat satu dengan lainnya dalam hal mengatur segala hal yang terkait
dengan pemanfaatan jalan. Sehingga pengaturan diantara keduanya harus
sinkron karena akan terkait dengan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan. Adapun keterkaitan materi pengaturan dan hal-hal yang harus
disinkronisasikan diantara kedua UU dimaksud mencakup beberapa hal,
yaitu definisi jalan, dana preservasi jalan, menteri; pembinaan dan
penyelenggaraan; kelas jalan; penggunaan jalan; perbaikan jalan;
perlengkapan jalan; larangan; dana preservasi jalan; manajemen dan
rekayasa lalu lintas; pemanfaatan jalan untuk kepentingan diluar
fungsinya; pengawasan jalan; dan sanksi.
Terkait dengan definisi, Pasal 1 angka 12 UU tentang LLAJ
mendefinisikan “jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas
umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan rel dan jalan kabel. Kemudian Pasal 1 angka 28 UU tentang LLAJ
mendefinisikan Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan
untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara
berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Selain itu, definisi
Menteri yang terkait jalan juga dicantunkam di dalam Pasal 1 angka 39,
dimana Menteri didefinisikan sebagai pembantu Presiden yang memimpin
kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di
bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang
pendidikan dan pelatihan.
Dalam hal pembinaan di bidang jalan, Pasal 5 ayat (3) huruf a UU
tentang LLAJ menyatakan pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan
dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya, yang meliputi urusan pemerintahan di bidang Jalan oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan. Adapun Pasal
7 ayat (2) huruf a UU tentang LLAJ menyatakan penyelenggaraan
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah
119
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-
masing meliputi urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian
negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan. Adapun penyelenggaraan
di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan,
dan pengawasan prasarana Jalan, yaitu:
a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan
tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas
Jalan;
d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;
e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan
keselamatan berlalu lintas; dan
g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana
Jalan (Pasal 8 UU tentang LLAJ)
Terkait dengan pengelompokkan kelas jalan, materi ini diatur di
dalam Pasal 19 UU tentang LLAJ, yang menyatakan jalan dikelompokkan
dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan
penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
Kendaraan Bermotor.
Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan terdiri atas:
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua
ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu
dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak
120
melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat
8 (delapan) ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500
(tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8
(delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh
Pemerintah, untuk jalan nasional; pemerintah provinsi, untuk jalan
provinsi; pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau pemerintah
kota, untuk jalan kota. Kelas jalan tersebut dinyatakan dengan Rambu Lalu
Lintas (Pasal 20 UU tentang LLAJ). Terkait pengunaan, jalan yang
dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis
dan administratif. Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan
fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. Penyelenggara Jalan wajib
melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi
secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau sesuai dengan kebutuhan. Uji kelaikan fungsi Jalan dilakukan
oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. Tim
uji laik fungsi Jalan terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hasil uji
kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh
penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Pasal 22).
121
Dalam hal perbaikan jalan, penyelenggara Jalan wajib segera dan
patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan
kecelakaan Lalu Lintas. Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan
yang rusak, penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada
Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas (Pasal
24 UU tentang LLAJ). Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas
umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: rambu lalu
lintas; marka jalan; alat pemberi isyarat lalu lintas; alat penerangan Jalan;
alat pengendali dan pengaman pengguna Jalan; alat pengawasan dan
pengamanan Jalan; fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang
cacat; dan fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan (Pasal 25 UU tentang LLAJ).
Penyediaan perlengkapan Jalan diselenggarakan oleh Pemerintah untuk
jalan nasional; pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; pemerintah
kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau badan
usaha jalan tol untuk jalan tol (Pasal 26 UU tentang LLAJ). Perlengkapan
Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas,
intensitas, dan volume Lalu Lintas (Pasal 27 UU tentang LLAJ). Terkait
dengan larangan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan dan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan (Pasal 28 UU
tentang LLAJ).
Substansi yang menyangkut masalah pemeliharaan jalan, hal ini juga
diatur di dalam UU tentang LLAJ, yaitu materi pengaturan mengenai dana
preservasi jalan. Pasal 29 UU tentang LLAJ menyatakan untuk mendukung
pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan
lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan, untuk itu diperlukan Dana
Preservasi Jalan. Dana ini digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan. Dana Preservasi Jalan dapat
bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 31 UU tentang
LLAJ juga menyatakan Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola
122
Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang
Jalan.
Keterkaitan antara UU tentang Jalan dan UU tentang LLAJ juga
menyangkut materi mengenai manajemen dan rekayasa lalu lintas. Pasal 93
menyatakan manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk
mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam
rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dilakukan melalui:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau
jalur atau jalan khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan
peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
h. perlindungan terhadap lingkungan.
Adapun manajemen dan rekayasa lalu lintas meliputi kegiatan
perencanaan; pengaturan; perekayasaan; pemberdayaan; dan pengawasan.
Kegiatan pengaturan meliputi:
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan lalu
lintas pada jaringan jalan tertentu; dan
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan
kebijakan yang telah ditetapkan.
sedangkan kegiatan perekayasaan sebagaimana meliputi:
a. perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta
perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan pengguna
jalan;
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan
jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan; dan
123
c. optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas dalam rangka
meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan
hokum (Pasal 94 UU tentang LLAJ).
UU tentang LLAJ juga mengatur terkait pemanfaatan jalan diluar
fungsinya, penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar
fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten/kota, dan jalan desa dapat diizinkan untuk kepentingan umum
yang bersifat nasional. Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa
dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah,
dan/atau kepentingan pribadi (Pasal 127 UU tentang LLAJ).
Terkait dengan materi pengawasan pemanfaatan jalan, Pasal 169 UU
tentang LLAJ menyatakan pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan,
daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan. Untuk mengawasi
pemenuhan terhadap ketentuan tersebut dilakukan pengawasan muatan
angkutan barang dengan menggunakan alat penimbangan, yang terdiri atas
alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau alat penimbangan yang
dapat dipindahkan. Kemudian Pasal 170 UU tentang LLAJ menyatakan alat
penimbangan yang dipasang secara tetap dipasang pada lokasi tertentu.
Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang
dipasang secara tetap pada Jalan dilakukan oleh Pemerintah.
Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap
dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh
Pemerintah. Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib
mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
Pengaturan terkait sanksi dalam pemanfaatan dan penggunaan jalan
diatur dalam beberapa pasal di UU tentang LLAJ, yaitu:
a. setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut
memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan
Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah). Dalam hal perbuatan mengakibatkan luka berat, pelaku
124
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dalam
hal perbuatan mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan
yang rusak dan belum diperbaiki dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu
juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 273 UU tentang LLAJ);
b. setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Ketentuan ancaman
pidana berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan (Pasal 274 UU
tentang LLAJ).
L. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UU
tentang Penataan Ruang)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang Penataan
Ruang sebagai bagian dari perencanaan tata ruang wilayah kota yang
mencakup rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana
jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang
evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah
kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan
wilayah.
Pasal 33 UU tentang Penataan Ruang berikut penjelasannya
menyatakan bahwa penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan
untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum
memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.
Pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau
pemerintah daerah termasuk jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di
125
atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
M. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
(UU tentang Penanaman Modal)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang
Penanaman Modal terkait dengan penguatan investasi dalam bidang
infrastruktur khususnya jalan. UU tentang Penanaman Modal memberikan
tempat yang istimewa bagi investasi di bidang pembangunan infrastruktur
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU tentang Penanaman Modal yang
menyinggung tentang kriteria penanam modal yang mendapat fasilitas
khusus dari pemerintah yang dapat berupa keringanan pajak dan
percepatan amortisasi. Dalam Pasal 12 UU tentang Penanaman Modal
disinggung juga mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka
dan sebagaimana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal bahwa investasi
di bidang jalan tol masuk pada investasi yang terbuka bagi penanaman
modal asing sampai 95 persen dan investasi di bidang jasa konstruksi
maksimal kepemilikan sampai 67 persen. Ini akan terkait dengan persoalan
investasi di bidang pembangunan jalan yang selama ini jarang diminati oleh
para investor, padahal hal ini dapat menjadi solusi bagi kesulitan
pendanaan/pembiayaan yang selama ini dialami oleh pemerintah.
Penyelenggaraan jalan yang memadai tentu sangat memicu investasi
dari luar untuk masuk ke Indonesia. Hal ini tentu sangat terkait dengan
yang terdapat dalam Penjelasan UU tentang Jalan poin ke 11 yang
menyinggung soal pengusahaan jalan tol yang harus diselenggarakan untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif. Pembangunan infrastruktur
yang lamban dan tidak memadai tentu akan menurunkan kepercayaan
investor terhadap iklim investasi di Indonesia sehingga pada intinya
percepatan pembangunan jalan tentu harus membuka ruang yang lebih
lebar lagi bagi investasi asing ataupun swasta dan juga percepatan
pembangunan jalan membuka ruang bagi terselenggaranya iklim investasi
126
yang baik guna meningkatkan perekonomian nasional sebagaimana salah
satu tujuan dari penanaman modal.
N. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (UU
tentang Perkeretaapian)
Moda transportasi kereta api mempunyai jaringan jalur yang terdiri
atas rangkaian petak jalan rel. Kereta api dengan karakteristik dan
keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut,
baik orang maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat
penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki
tingkat pencemaran yang rendah, serta lebih efisien dibandingkan dengan
moda transportasi jalan untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang
padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan. Sebagai salah satu moda
transportasi di darat tentunya akan ada keterkaitan antara pengaturan
kereta api yang mengacu kepada UU tentang Perkeretaapian dengan dengan
lalu lintas moda transportasi lain, sehingga tentunya akan ada keterkaitan
pula dengan RUU tentang Jalan. Beberapa hal yang terkait yaitu:
1. Perpotongan jalur kereta api dengan sebidang jalan
Dalam Pasal 90 huruf f UU tentang Perkeretaapian disebutkan bahwa
penyelenggara prasarana perkeretaapian berhak dan berwenang
mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.
Faktor keselamatan dalam kegiatan transportasi diutamakan dimulai
dengan pembangunan jalur rel kereta api dan jalan. Definisi “jalan” dalam
UU Perkeretaapian adalah sebagaimana diatur dalam UU tentang Jalan.
Kemudian dalam Pasal 91 ayat (1) bahwa perpotongan antara jalur
kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang, namun hal ini dapat
dikecualikan dengan alasan untuk tetap menjamin keselamatan dan
kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan (Pasal 91 ayat (2)).
Definisi “tidak sebidang” adalah letak jalur kereta api tidak berpotongan
secara horizontal dengan jalan, tetapi terletak di atas atau di bawah jalan.
Perlintasan antara jalur kereta api dan jalan yang sebidang yang telah ada
sebelum ditetapkan UU Perkeretaapian diupayakan untuk dibuat tidak
127
sebidang secara berangsur-angsur sesuai dengan kemampuan Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 92 ayat (1) pembangunan jalan, jalur kereta api khusus,
terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan
persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur
kereta api umum dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan
umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
Kemudian, pembangunan tersebut wajib mendapat izin dari pemilik
prasarana perkeretaapian (ayat (2). Selanjutnya, Pasal 92 ayat (3)
disebutkan bahwa pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan
keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi
tanggung jawab pemegang izin.
Norma-norma dalam UU tentang Perkeretaapian tersebut diatas
berkaitan dengan kegiatan pembangunan jalan. Sehingga menjadi pedoman
dalam RUU tentang Jalan ketika menorma hal-hal seperti kegiatan
pembangunan jalan harus memperhatikan apakah mengganggu jalur lalu
lintas yang telah ada dan jaringan jalur moda transportasi lainnya.
Dalam hal untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai
jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup (Pasal
94 ayat (1)) dan penutupan perlintasan sebidang tersebut dilakukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah (Pasal 94 ayat (2)). Amanat mengenai
pengaturan lebih lanjut perpotongan dan persinggungan jalur kereta api
dengan bangunan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 95).
Pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api pada
perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan (Pasal 124). Hal itu
dilakukan untuk menjaga keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta
api dan lalu lintas jalan.
2. Ketentuan Pidana
Pemilik Prasarana Perkeretaapian yang memberi izin pembangunan
jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain
yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau
persinggungan dengan jalur kereta api umum yang tidak menjamin
keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan,
128
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) (Pasal
200).
Kemudian dalam Pasal 201 disebutkan bahwa Setiap orang yang
membangun jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air, dan/atau
prasarana lain yang menimbulkan atau memerlukan persambungan,
perpotongan, atau persinggungan dengan jalan kereta api umum tanpa izin
pemilik prasarana perkeretaapian, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam Pasal 213 apabila tindak pidana mengenai pemilik prasarana
Perkeretaapian yang memberi izin pembangunan jalan, jalur kereta api
khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan
persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur
kereta api umum yang tidak menjamin keselamatan dan kelancaran
perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan dilakukan oleh suatu korporasi,
maka dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah) ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).
O. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (UU
tentang RPJPN)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
disusun dengan pandangan bahwa Indonesia memerlukan perencanaan
pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan
secara menyeluruh dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur. Pokok-pokok materi muatan yang diatur dalam UU tentang
RPJPN dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Bahwa diperlukan suatu pola
pembangunan yang harmonis antara periode pemerintahan yang satu
dengan yang lainnya, sehingga penyusunan RPJMN yang dilaksanakan per
lima tahunan berdarakan rezim kebijakan pemerintah terpilih harus
berkesesuaian dengan RPJPN. Pola pembangunan yang harmonis dan
129
berkesinambungan perlu pula disusun dalam pedoman peraturan turunan
di sektor pemerintah yang dikenal sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang RPJPN
terletak pada rencana pemerintah dalam menyusun pengembangan
infrastruktur dalam negeri termasuk pengembangan jalan layak pakai
sebagai sarana transportasi dan pengangkutan baik intra pulau maupun
inter pulau. Rencana pembangunan infrastruktur jalan dituangkan dalam
RPJMN dan RKP dari rezim pemerintah yang sedang berjalan atau dengan
kata lain pengembangan infrastruktur memerlukan perencanaan matang
dari sudut alokasi dana yang tertuang dalam APBN.
P. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah,
penyelenggaraan jalan di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
didanai oleh APBD, jika pelaksanaan pengelolaan jalan tersebut dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.126
Namun, jika penyelenggaraan jalan di daerah tersebut merupakan
bagian dari penyelenggaraan jalan yang menjadi urusan pemerintah pusat
namun dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan
dekosentrasi, maka penyelenggaraan jalan di daerah tersebut didanai oleh
APBN.127Demikian halnya jika penyelenggaraan jalan di daerah tersebut
merupakan bagian dari penyelenggaraan jalan yang menjadi urusan
pemerintah pusat namun dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka
pelaksanaan tugas pembantuan, maka penyelenggaraan jalan di daerah
tersebut didanai pula oleh APBN.128
126 Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. UU Nomor 33 Tahun 2004. Lembaran Negara Nomor 126. TLN Nomor 4438. Pasal
4 ayat (1). 127 Ibid. Pasal 4 ayat (2) 128 Ibid. Pasal 4 ayat (3)
130
Q. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU
tentang Kehutanan)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UU tentang
Kehutanan yaitu mengenai pemanfaatan hutan. Mengingat setengah dari
daratan Indonesia adalah hutan dengan luas yang mencapai 162 juta
hektar namun kini tersisa 98 juta hektar,129 tentu saja akan bersinggungan
dengan kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan. Pengelolaan hutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 salah satunya meliputi kegiatan
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimasi bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Pemanfaatan hutan berdasarkan Pasal 26 UU tentang
Kehutanan dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan
produksi berdasarkan Pasal 28 dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Meskipun
dalam UU tentang Kehutanan secara umum menyebutkan bahwa
pemanfaatan hutan berkaitan langsung dengan fungsi produksi dari hutan
tersebut, akan tetapi dalam Pasal 38 dimungkinkan adanya penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan. Penjelasan Pasal 38 ayat (1) Kepentingan pembangunan di luar
kehuatanan yang diapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung
dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan
hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan
pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis
yang tidak dapat dielakan.
Pengaturan Pasal 38 tersebut dapat dimaknai bahwa memungkinkan
adanya penggunaan kawasan hutan selain untuk kegiatan kehutanan,
129 Jodhi Yudono, “Sebelum Hutan Menjadi Kenangan” Harian Kompas 21 Maret
2015, diakses pada 3 Februari 2016, dapat diakses di
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/21/11422271/Sebelum.Hutan.Menjadi.Kenangan
131
yaitu penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan jalan. Meskipun
dalam penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan jalan
membutuhkan studi kelayakan yang komprehensif mengingat hutan tidak
hanya terdiridari tegakan pohon saja namun termasuk juga seluruh sumber
daya hayati di dalamnya.
R. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen)
Penyelenggaraan jalan dilaksanakan berdasarkan pada asas
kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian dan keseimbangan,
keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan. Hal ini sesuai dengan
tujuan dari perlindungan konsumen yaitu untuk meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen. UU tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak
konsumen, salah satunya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen dalam
penyelenggaraan jalan adalah pengguna jalan, sehingga dalam konteks
konsumen adalah pengguna jalan maka keamanan, kenyamanan,
keselamatan, dan kemanfaatan merupakan prioritas dan mutlak dalam
penyelenggaraan jalan.
Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk antara lain
mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, mewujudkan
peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada
masyarakat dan mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta
berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat sebagai pengguna
jalan terutama jalan tol berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif, sebagaimana diatur dalam UU
tentang Perlindungan Konsumen. Dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan jalan secara optimal, andal dan prima, maka
penyelenggaraan jalan harus memenuhi SPM yang ditetapkan terutama
dalam penyelenggaraan jalan tol. Jalan tol harus mempunyai spesifikasi
132
dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada.
Penyelenggara jalan tol dilarang untuk memberikan pelayanan jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak
memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai dengan SPM yang
ditetapkan.
Hak konsumen dalam UU tentang Perlindungan Konsumen adalah
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha wajib usaha memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan jalan maka masyarakat sebagai pengguna jalan berhak
memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan secara benar, jelas,
dan jujur.
UU tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa konsumen
mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan dan hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut. UU Perlindungan Konsumen membuka kemungkinan untuk
melakukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha. Gugatan tersebut
dapat dilakukan antara lain oleh seorang konsumen yang dirugikan atau
ahli waris yang bersangkutan, kelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau
yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen. UU tentang Jalan juga membuka kemungkinan
bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan pada pengadilan. Gugatan
yang diatur dalam Undang-Undang Jalan hanya terbatas pada gugatan
masyarakat terhadap kerugian akibat pembangunan jalan tidak terhadap
hal lain misalnya apabila SPM tidak dipenuhi terutama pada
penyelenggaraan jalan tol. Masyarakat atau pengguna jalan tidak diberikan
kemungkinan untuk dapat menggugat dalam hal penyelenggara jalan tidak
memenuhi standar minimal.
133
Hal lain yang berbeda antara UU tentang Perlindungan Konsumen
dan UU tentang Jalan terkait gugatan adalah penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. UU Perlindungan Konsumen mengatur penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Jadi UU
tentang Perlindungan Konsumen membuka kemungkinan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, sedangkan UU tentang Jalan tidak mengatur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Terkait dengan penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan, badan penyelesaian sengketa
konsumen mempunyai tugas dan wewenang diantaranya melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, memberikan konsultasi
perlindungan konsumen, yang paling penting dari tugas dan wewenang
badan ini adalah memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian
di pihak konsumen, memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen dan
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UU tentang Perlindungan Konsumen.
UU tentang Perlindungan Konsumen dan UU tentang Jalan mengatur
mengenai ganti rugi namun terdapat perbedaan akibat timbulnya
pemberian kompensasi atau ganti rugi. UU tentang Perlindungan
Konsumen mewajibkan pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. UU tentang
Perlindungan Konsumen memberikan hak kepada konsumen untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya. UU tentang Jalan mengatur bahwa
masyarakat berhak memperoleh ganti kerugian yang layak akibat
kesalahan dalam pembangunan jalan, bukan akibat dari pelanggaran
ketentuan SPM.
134
Pemerintah mempunyai peran atas penyelenggaraan kegiatan yang
dimaksud dalam undang-undang. Peran Pemerintah dalam UU tentang
Perlindungan Konsumen adalah bertanggungjawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen
dan pelaku usaha. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam UU
tentang Jalan ditentukan berdasarkan wewenangnya masing-masing. Salah
satu peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam UU tentang Jalan
adalah kewenangan penyelenggaraan jalan sesuai dengan pengelompokan
jalan. Kewenangan penyelenggaraan jalan tersebut pada prinsipnya sama,
meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
S. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan UUPA yaitu dalam hal
pengadaan tanah untuk penyelenggaraan jalan. Dalam undang-undang ini
diatur mengenai kewenangan negara dalam hak menguasai tanah,
diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a. Dalam penyelenggaraan
peruntukan bumi salah satunya dapat dilakukan melalui penyediaan lahan
bagi pembangunan infrastruktur jalan untuk menunjang mobilitas
penduduk yang ada di seluruh wilayah indonesia.
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama bagi rakyat maka hak atas tanah dapat dicabut
dengan memberikan ganti rugi yang layak menurut cara yang diatur dalam
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 18. Dalam pembangunan
infrastuktur seperti jalan peranan pembebasan tanah menjadi sangat
penting untuk dapat membantu mempercepat pembangunan jalan.
Pencabutan hak atas tanah yang dilakukan pemerintah harus disertai
dengan pemberian ganti rugi yang sesuai bagi masyarakat yang memiliki
hak atas tanah tersebut.
135
T. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
PP ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.38 Tahun 2004
tentang Jalan. Materi muatan PP ini sepenuhnya merupakan materi teknis
yang didelegasikan oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004. Beberapa
materi yang diatur lebih lanjut antara lain pengaturan mengenai jalan
umum; bagian-bagian jalan dan pemanfaatan bagian-bagian jalan;
pengaturan tentang izin, rekomendasi, dan dispensasi; Wewenang
penyelenggaraan jalan pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
penyelenggaraan jalan; dokumen jalan; peran masyarakat; dan jalan
khusus.
U. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan
Jalan
PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan merupakan
amanat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Penyelenggaraan Angkutan orang dan barang dengan
kendaraan bermotor di jalan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi
SPM yang meliputi unsur keamanan, keselamatan, kenyamanan,
keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan di jalan. Dalam kegiatan
angkutan jalan, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pengaturan di
bidang jalan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, menyebutkan angkutan orang dengan kendaraan bermotor
dilarang menggunakan mobil barang, kecuali dalam hal rasio kendaraan
bermotor untuk angkutan orang, kondisi wilayah secara geografis, dan
prasarana jalan di provinsi atau kabupaten/kota belum memadai (Pasal 4
ayat (2) huruf a). Dalam Pasal 5 ayat (3) kondisi prasarana jalan yang belum
memadai meliputi:
1. memiliki perkerasan yang sebagian atau seluruhnya rusak berat;
2. perkerasan jalan masih merupakan tanah asli; dan/atau
3. tanjakan dan/atau turunan jalan sangat curam.
Namun demikian hal tersebut dapat dikecualikan untuk penggunaan mobil
barang untuk angkutan orang dengan kondisi wilayah secara geografis yang
belum memadai dan kondisi prasarana jalan yang belum memadai yang
136
ditetapkan oleh Bupati atau Walikota sesuai dengan wilayah
administratifnya berdasarkan pertimbangan dari Forum Lalu Lintas
Angkutan Jalan kabupaten/kota (Pasal 5 ayat (4)).
Kedua, jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotor umum
salah satunya disusun berdasarkan kesesuaian dengan kelas jalan (Pasal
24 huruf e). Di dalam Pasal 26 ayat (1) rencana umum jaringan trayek
terdiri atas:
1. Jaringan Trayek lintas batas negara;
2. Jaringan Trayek antarkota antarprovinsi;
3. Jaringan Trayek antarkota dalam provinsi;
4. Jaringan Trayek perkotaan; dan
5. Jaringan Trayek perdesaan.
Kemudian, penyusunan rencana umum jaringan trayek salah satunya
mempertimbangkan jaringan jalan yang dilalui dengan hierarki status dan
fungsi jalan yang sama, sesuai dengan jenis pelayanan angkutan yang
disediakan (Pasal 26 ayat (2) huruf d). Selanjutnya, masing-masing jaringan
trayek mempunyai persyaratan terkait dengan jalan, yaitu:
1. Rencana umum jaringan trayek lintas batas negara salah satunya
memuat terkait jaringan jalan yang dilalui adalah jalan nasional
(Pasal 27 ayat (1) huruf c).
2. Rencana umum jaringan trayek antarkota antarprovinsi salah
satunya memuat terkait jaringan jalan yang dilalui dapat merupakan
jaringan jalan nasional, jaringan jalan provinsi, dan/atau jaringan
jalan kabupaten/kota (Pasal 28 ayat (1) huruf b).
3. Rencana umum jaringan trayek antarkota dalam provinsi salah
satunya memuat terkait jaringan jalan yang dilalui dapat merupakan
jaringan jalan nasional, jaringan jalan provinsi, dan/atau jaringan
jalan kabupaten/kota (Pasal 29 ayat (1) huruf b).
Pengklasifikasian kawasan perkotaan dimana salah satunya
diberdasarkan pada ketersediaan jaringan jalan dan permintaan
kebutuhan Angkutan ulang alik dalam atau antar wilayah administrasi
pemerintahan (Pasal 31 ayat (1) huruf b). Pada ayat (3) disebutkan
bahwa kawasan perkotaan berdasarkan ketersediaan jaringan jalan dan
137
permintaan kebutuhan Angkutan ulang alik dalam atau antar wilayah
administrasi pemerintahan sebagaimana mencakup kesatuan kawasan
yang:
a. melampaui batas wilayah provinsi;
b. melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
dan
c. berada dalam wilayah kabupaten/kota.
4. Rencana umum jaringan trayek perkotaan salah satunya memuat
terkait jaringan jalan yang dilalui dapat merupakan jaringan jalan
nasional, jaringan jalan provinsi, dan/atau jaringan jalan
kabupaten/kota (Pasal 32 huruf c).
5. Rencana umum jaringan trayek perdesaan salah satunya memuat
terkait jaringan jalan yang dilalui dapat merupakan jaringan jalan
nasional, jaringan jalan provinsi, jaringan jalan kabupaten/kota,
dan/atau jalan desa (Pasal 36 ayat (1) huruf b).
Ketiga, terkait angkutan massal, di dalam Pasal 47 ayat (1) angkutan
massal berbasis jalan harus didukung oleh:
a. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
b. Lajur khusus;
Yang dimaksud “lajur khusus” adalah lajur yang disediakan untuk
Angkutan massal berbasis jalan baik dengan menggunakan pemisah
secara fisik atau marka jalan.
c. Trayek Angkutan umum lain yang tidak berhimpitan dengan Trayek
Angkutan massal; dan
d. Angkutan pengumpan.
Pada ayat (3) disebutkan lajur khusus terdiri atas:
a. lajur khusus Angkutan massal yang berdiri sendiri; dan/atau
b. lajur khusus Angkutan massal di ruang milik jalan.
Keempat, terkait dengan pengawasan, yang pertama mengenai pengawasan
terhadap angkutan orang, pada Pasal 48 ayat (3) pengawasan angkutan
orang dengan kendaraan bermotor umum dilakukan di:
a. Terminal;
b. tempat wisata;
138
c. ruas jalan; dan
d. tempat keberangkatan.
Kemudian yang kedua mengenai pengawasan terhadap angkutan barang,
dalam Pasal 60 Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang
wajib mematuhi ketentuan mengenai:
a. tata cara pemuatan;
b. daya angkut;
c. dimensi kendaraan; dan
d. kelas jalan yang dilalui.
Selanjutnya kelas jalan yang dilalui ditentukan berdasarkan rambu kelas
jalan (Pasal 61 ayat (4)). Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan
dengan menggunakan alat pengawasan dan pengamanan jalan (Pasal 62
ayat (2)). Pada ayat (3) Alat pengawasan dan pengamanan jalan terdiri atas:
a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau
b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
Dalam Pasal 64 ayat (1) pengawasan muatan angkutan barang
dengan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan pada lokasi
tertentu di ruas jalan nasional dan jalan strategis nasional. Yang dimaksud
dengan “jalan strategis nasional” adalah jalan yang melayani kepentingan
nasional atas dasar kriteria strategis yaitu mempunyai peranan untuk
membina kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah rawan, bagian
dari jalan lintas regional atau lintas internasional, melayani kepentingan
perbatasan antarnegara, serta dalam rangka pertahanan dan keamanan.
Pada ayat (2) huruf c lokasi ditentukan dengan mempertimbangkan salah
satunya jaringan jalan dan rencana pengembangan. Yang dimaksud dengan
“jaringan jalan dan rencana pengembangan” adalah satu kesatuan jaringan
jalan yang terdiri atas sistem jaringan primer dan sistem jaringan jalan
sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. Selain itu juga
mempertimbangkan keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas dan
topografi. Yang dimaksud dengan “keselamatan dan kelancaran arus lalu
lintas” adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko
kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia,
Kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan serta penggunaan Angkutan yang
139
bebas dari hambatan dan kemacetan di jalan. Sedangkan Yang dimaksud
dengan “kondisi topografi” adalah jalan lurus, jarak pandang, ruang di
kanan/kiri ruang milik jalan yang memadai, artinya memperhatikan zonasi
jaringan jalan dari tepi jalan.
Pada Pasal 75 ayat (1) pengawasan muatan angkutan barang dengan
alat penimbangan yang dapat dipindahkan dilakukan untuk pemeriksaan
kendaraan bermotor angkutan barang di jalan dan penyidikan tindak
pidana pelanggaran muatan. Pada ayat (2) pengawasan muatan angkutan
barang dengan alat penimbangan yang dapat dipindahkan dilakukan
bersama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada
ayat (4) pengawasan muatan Angkutan barang dengan alat penimbangan
yang dilakukan apabila:
a. terdapat indikasi peningkatan pelanggaran muatan angkutan barang;
b. kecenderungan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh kelebihan
muatan Angkutan barang; dan/atau
c. belum ada alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada ruas
jalan tertentu.
Penjelasan Pasal 75 ayat (4) huruf a yang termasuk “pelanggaran muatan
angkutan barang” adalah pelanggaran terhadap ketentuan mengenai tata
cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan.
V. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2013 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah Nomor
15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
Keterkaitan antara PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan tol
dengan UU tentang Jalan ada dalam beberapa hal. Pertama, tentang tujuan
penyelenggaraan jalan tol yang mana dalam Pasal 43 UU tentang Jalan
tujuannya adalah untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah
berkembang, meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi
barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi,
meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan,
dan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan. Dalam
140
Pasal 2 PP Nomor 15 Tahun 2005 juga disinggung mengenai hal yang
serupa namun lebih menekankan pada peran sentral jalan tol dalam hal
peningkatan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang
peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi
tingkat perkembangannya. Hal tersebut nampaknya penting untuk
diberikan penegasan agar pengembangan jalan tol sungguh-sungguh
beriringan dengan peningkatan pelayanan distribusi yang makin lancar
tidak hanya di wilayah yang sudah berkembang tetapi keberadaan jalan tol
juga harus meningkatkan aksesibilitas dari daerah potensial yang belum
berkembang.
Kedua, terkait wewenang penyelenggaraan dan pengusahaan bahwa
dalam Pasal 3 PP Nomor 15 Tahun 2005 menguatkan apa yang ada pada
Pasal 45 UU tentang Jalan bahwa wewenang penyelenggaraan berada di
tangah Pemerintah yang sebagian wewenangnya yang berkaitan dengan
pengaturan, pengusahaan, dan pengawasan dilaksanakan oleh BPJT,
namun dalam hal pengusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP dan
Pasal 50 UU tentang Jalan nampak agak berbeda dalam hal siapa saja
pihak yang dapat mengusahakannya karena dalam Pasal 50 ayat 5 UU
tentang Jalan disebutkan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah dan/atau
badan usaha milik swasta sedangkan dalam Pasal 19 PP Nomor 15 Tahun
2005 menyebutkan bahwa pengusahaan dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau badan usaha. Hal tersebut tentu patut untuk diperjelas kembali
agar dapat diketahui siapa saja sebetulnya pihak yang dapat
mengusahakan jalan tol yang dapat dikaitkan juga nantinya dengan faktor
kelayakan ekonomi serta finansial. Hal tersebut tercermin juga dalam
perubahan kedua PP Nomor 12 Tahun 2005 yakni PP Nomor 43 Tahun
2013 yang mana perubahannya menyinggung tentang pengusahaan jalan
tol oleh Pemerintah yang diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak
secara ekonomi tetapi tak layak secara finansial serta penugasan kepada
BUMN untuk melaksanakan pengusahaan jalan tol terbatas dalam rangka
percepatan pembangunan wilayah.
141
Ketiga, mengenai definisi Badan Pengatur Jalan Tol, bahwa baik
dalam UU tentang Jalan maupun dalam PP Nomor 15 Tahun 2005 Pasal 1
Nomor 4 dijelaskan bahwa Badan Pengatur Jalan Tol adalah badan yang
dibentuk oleh Menteri, ada di bawah, dan bertanggung jawab kepada
Menteri tetapi nampaknya definisi tersebut belum terlalu menggambarkan
keberadaan BPJT yang sesungguhnya sehingga perlu diperjelas kembali
posisi dan fungsi BPJT dalam suatu definisi yang tepat. Hal tersebut
penting sebab BPJT adalah suatu badan yang sangat vital dalam mewakili
pemerintah yang juga memegang peranan dalam mengatur, membina,
mengusahakan, serta mengawasi penyelenggaraan jalan tol.
Keempat, mengenai pelayanan jalan tol, bahwa pada prinsipnya
pelayanan adalah kewajiban pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 16 PP
Nomor 15 tahun 2005. Hal tersebut terkait pula dengan standar pelayanan
minimum (SPM) yang mana UU 38 Tahun 2004 belum menyinggung
khusus tentang standar pelayanan minimum tersebut yang mencakup
kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, dan
keselamatan yang mana hal tersebut adalah ukuran yang harus dicapai
dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol beserta evaluasinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP Nomor 15 Tahun 2005. Hal tersebut
cukup penting dalam rangka menjaga dan memantau bahwa pelaksanaan
jalan tol memang diarahkan pada suatu penyelenggaraan yang benar-benar
memenuhi standar pelayanan yang baik dan memadai meskipun secara
singkat telah disinggung dalam Pasal 44 UU tentang Jalan tentang
pelayanan yang lebih tinggi dari jalan umum serta Pasal 45 point 6 UU
tentang Jalan yang menyinggung soal evaluasi dan pengawasan terhadap
pelayanan jalan tol.
Kelima, mengenai pelelangan penguasaan jalan tol, bahwa pada
prinsipnya, pengusahaan jalan tol diberikan oleh Pemerintah kepada badan
usaha melalui pelelangan secara transparan dan terbuka. Pasal 56 PP
Nomor 15 Tahun 2005 membagi proses pelelangan menjadi dua tahap yaitu
tahap prakualifikasi dan tahap pelelangan terbatas bagi yang lulus
prakualifikasi. Dalam PP Nomor 15 Tahun 2005 secara rinci mengatur
mengenai setiap tahapan pelelangan, prosedural secara terperinci, teknis
142
dokumen pelelangan, evaluasi pelelangan, hingga pemenang pelelangan.
Pengaturan mengenai pelelangan secara terperinci untuk menjamin proses
pelelangan berlangsung secara transparan dan terbuka sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keenam, mengenai perjanjian pengusahaan jalan tol, setelah melalui
proses pelelangan, pemenang lelang, akan mengadakan perjanjian
pengusahaan jalan tol dengan Pemerintah. Pasal 64 PP Nomor 15 Tahun
2005 menyebutkan bahwa Menteri atas nama Pemerintah mengadakan
perjanjian pengusahaan jalan tol dengan Badan Usaha. Muatan perjanjian
pengusahaan jalan tol telah dirinci dalam Pasal 64 ayat (2) PP Nomor 15
Tahun 2005. Dalam perjanjian pengusahaan jalan tol juga harus secara
tegas mengatur ketentuan mengenai penyerahan jalan tol dan/atau
fasilitasnya pada akhir masa konsesi. Perjanjian menjadi unsur penting
dalam pengusahaan jalan tol karena adanya asas pacta sunt servanda
(Setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang
melakukan perjanjian).
Ketujuh, mengenai penentuan tarif tol merupakan komponen utama
dalam pengaturan mengenai jalan tol. Penentuan tarif tol dhitung
berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan tol, besar keuntungan
biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Penentuan tarif tol harus
mempertimbangkan banyak hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 PP
Nomor 15 Tahun 2005, selain itu bagi pengguna jalan tol, tarif tol yang
dibebankan harus lebih ekonomis dibandingkan biaya yang harus
digunakan pengguna jalan apabila tidak melalui jalan tol.130 Evaluasi dan
penyesuaian tarif tol dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dari BPJT untuk
diserahkan kepada Menteri. Menteri menetapkan pemberlakuan
penyesuaian tarif tol.
Kedelapan mengenai pengawasan jalan tol. Pengawasan jalan tol
diatur dalam Pasal 57 UU tentang Jalan. Pengawasan jalan tol meliputi
kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan dan
pembinaan jalan tol serta pengusahaan jalan tol. Pasal 69 PP Nomor 15
130 Hasil Diskusi Pakar Bersama Ir. Rudy Hermawan Karsaman, M.Sc., Ph.D pada
tanggal 3 Februari 2016
143
Tahun 2005 membagi pengawasan jalan tol menjadi dua yaitu pengawasan
umum dan pengawasan pengusahaan jalan tol. Teknis pelaksanaan
pengawasan jalan tol diatur dalam Pasal 70 hingga Pasal 71 PP Nomor 15
Tahun 2005.
Kesembilan mengenai hak dan kewajiban pengguna dan badan usaha
jalan tol. Pasal 55 UU tentang Jalan mengatur bahwa setiap pengguna jalan
tol wajib menaati peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas dan
angkutan jalan, peraturan perundang-undang tentang jalan, serta
peraturan perundang-undang lainnya. Hak dan kewajiban merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan dari setiap subyek hukum, dalam hal ini
khusunya mengenai pengguna dan badan usaha jalan tol. Pasal 86 hingga
Pasal 92 telah secara komprehensif mengatur mengenai hak dan kewajiban.
PP Nomor 15 Tahun 2005 telah dua kali berubah menyesuaikan
dengan kebutuhan hukum akan perubahan PP tersebut. Perubahan
pertama tertuang dalam PP Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol mengubah Pasal 38 yang
memungkinkan penggunaan jalan tol untuk kendaraan roda dua pada jalur
khusus. PP tersebut untuk mengakomodasi adanya jalur untuk kendaraan
roda dua di Jalur Suramadu. Perubahan kedua tertuang dalam PP Nomor
43 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 15 Tahun 2005
tentang Jalan Tol mengubah beberapa pasal mengenai pengusahaan jalan
tol terbatas oleh badan usaha milik negara untuk ruas jalan tol tertentu
dalam rangka percepatan pembangunan wilayah. Penugasan kepada badan
usaha milik negara untuk pengusahaan jalan terbatas ditetapkan dengan
Peraturan Presiden. Perubahan kedua tersebut untuk mengakomodasi
nawa cita Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastuktur
khususnya ruas jalan tol di luar jawa.131
W. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen
dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu
Lintas (PP 32/2011)
131 Berdasarkan diskusi bersama jajaran Ditjen Bina Marga Kementerian PU dan
Pera 4 Februari 2016.
144
Salah satu peruntukkan jalan adalah “lalu lintas” baik itu konteks
jalan umum, jalan khusus, maupun jalan bebas hambatan. Keterkaitan UU
tentang Jalan dengan PP 32/2011 adalah terletak pada pengaturan
ketentuan mengenai pengelompokkan, pembangunan, dan penggunaan
jalan serta dampaknya terhadap kelancaran lalu lintas.
Pasal 8 PP 32/2011 menjelaskan bahwa penyelenggaraan di bidang
jalan yang meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan prasarana jalan dilakukan oleh instansi yang bergerak di
bidang urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara
yang bertanggung jawab di bidang Jalan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) nya. Hal ini harus menjadi acuan dalam mengatur
ketentuan mengenai penyelenggaraan jalan dalam RUU tentang Jalan.
Dalam penyelenggaraan jalan khususnya dalam pembangunan jalan
juga perlu diperhatikan mengenai Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan yang ditetapkan dengan juga memperhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 sampai
dengan Pasal 18.
Hal lain yang harus diperhatikan dari PP 32/2011 terhadap perubahan
UU tentang Jalan adalah sebagai berikut:
a. Pengelompokkan kelas jalan yang telah diatur dalam Pasal 19 dan
Pasal 20 PP 32/2011;
b. Penggunaan dan perlengkapan jalan yang telah diatur dalam Pasal 21
sampai dengan Pasal 29 PP 32/2011; dan
c. Dana preservasi jalan yang telah diatur dalam Pasal 29 sampai
dengan 32 PP 32/2011.
Pengaturan mengenai pengembangan jaringan jalan dalam RUU
tentang Jalan harus mengacu juga pada ketentuan Pasal 93 sampai dengan
Pasal 95 PP 32/2011 mengenai Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas yang mengamanatkan dilakukannya kegiatan iinventarisasi dan
analisis ketersediaan atau daya tampung jalan.
Selanjutnya, pelaksanaan ketentuan dalam UU tentang Jalan diatur
dengan selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait, salah
satunya Peraturan Pemerintah yang merupakan acuan pelaksanaan
145
ketentuan dalam undang-undang terkait, dalam hal ini yaitu PP 32/2011
sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
X. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010
Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
PP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai peraturan
pelaksana dari UU Penataan Ruang memiliki keterkaitan dengan UU
tentang Jalan dalam hal penyusunan dan penetapan rencana tata ruang
wilayah kota. Perumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah kota harus
mencantumkan rencana penyediaan dan pemanfaatan: a) ruang terbuka
hijau publik dan pendistribusiannya; b) ruang terbuka hijau privat; c) ruang
terbuka non hijau; d) prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki,
angkutan umum, kegiatan sektor informal; dan e) ruang evakuasi bencana.
Y. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (PP tentang RTRWN)
Keterkaitan pengaturan di bidang jalan dengan PP tentang RTRWN
adalah mengenai implementasi teknis sebagai turunan dari UU tentang
Jalan. Dalam PP tentang RTRWN dinyatakan bahwa kebijakan
pengembangan struktur ruang meliputi peningkatan akses pelayanan
perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan
berhierarki, strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan
jaringan prasarana meliputi meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan
mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara
(Pasal 5).
Rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi system jaringan
transportasi nasional (Pasal 10). Sistem jaringan transportasi nasional
sebagaimana dimaksud terdiri atas sistem jaringan transportasi darat,
sistem jaringan transportasi laut dan sistem jaringan transportasi udara .
Sistem jaringan transportasi darat terdiri atas jaringan jalan nasional,
jaringan jalur kereta api, dan jaringan transportasi sungai, danau, dan
penyeberangan. Sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan
146
kepelabuhanan dan alur pelayaran(Pasal 17). Jaringan jalan nasional terdiri
atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer, jaringan
jalan strategis nasional, dan jalan tol. Jaringan jalan arteri primer
dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan
sistem orientasi untuk menghubungkan antar-Pusat Kegiatan Nasional
(PKN), antara PKN dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKL); dan/atau PKN
dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan
primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional. Jaringan
jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar-PKW
dan antara PKW dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Jaringan jalan strategis
nasional dikembangkan untuk menghubungkan antar-Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) dalam satu kawasan perbatasan Negara, antara
PKSN dan pusat kegiatan lainnya, dan PKN dan/atau PKW dengan kawasan
strategis nasional. Jalan tol dikembangkan untuk mempercepat
perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian dari jaringan
jalan nasional (Pasal 18). Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) mencakup pula jembatan atau terowongan
antarpulau serta jembatan atau terowongan antarnegara.
PP ini juga mengatur tentang Peraturan zonasi untuk jaringan jalan
nasional disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional dengan tingkat
intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di
sepanjang sisi jalan nasional; dan
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan nasional yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan (Pasal 90).
Z. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 43 PRT/M/2015 tentang Badan Pengatur
Jalan Tol (Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015)
147
Keterkaitan UU tentang Jalan dan Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015
adalah tentang pembentukan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Badan
tersebut merupakan badan non struktural yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri (Pasal 2). Kinerja BPJT merupakan
salah satu kunci dari penyelenggaraan jalan tol yang baik di Indonesia.
BPJT mempunyai wewenang untuk melakukan sebagian wewenang
pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol yang meliputi pengaturan,
pengusahaan, dan pengawasan Badan Usaha jalan tol sehingga dapat
memberikan manfaat yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 5).
Dalam Pasal 6 Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015 menjelaskan
bahwa tugas dan fungsi BPJT adalah sebagai berikut:
a. merekomendasikan tarif awal dan penyesuaian tarif tol kepada
Menteri;
b. melakukan pengambilalihan hak pengusahaan jalan tol yang telah
selesai masa konsesinya dan merekomendasikan pengoperasian
selanjutnya kepada Menteri;
c. melakukan pengambilalihan hak sementara pengusahaan jalan tol
yang gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan
kembali pengusahaannya;
d. melakukan persiapan pengusahaan jalan tol yang meliputi analisa
kelayakan finansial, studi kelayakan, dan penyiapan amdal;
e. melakukan pengadaan investasi jalan tol melalui pelelangan secara
transparan dan terbuka;
f. membantu proses pelaksanaan pembebasan tanah dalam hal
kepastian dana pengadaan tanah;
g. memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi
serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dilakukan
Badan Usaha; dan
h. melakukan pengawasan terhadap Badan Usaha atas pelaksanaan
seluruh kewajiban perjanjian pengusahaan jalan tol dan
melaporkannya secara periodik kepada Menteri.
148
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi di atas, BPJT juga dapat melibatkan
tenaga profesional atau penyedia jasa sesuai dengan bidangnya (Pasal 7).
Pasal 8 sampai Pasal 10 Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015 BPJT
menjelaskan tentang keanggotaan BPJT yang terdiri dari 5 (lima) orang
anggota dengan susunan 1 (satu) orang kepala merangkap anggota dan 4
(empat) orang anggota. Kepala BPJT merupakan wakil dari unsur
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang jalan. Anggota BPJT meliputi
beberapa unsur sebagai berikut: 3 (tiga) orang unsur Pemerintah, 1 (satu)
orang unsur pemangku kepentingan, dan 1 (satu) orang unsur masyarakat.
Unsur Pemerintah terdiri dari 2 (dua) orang wakil Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, dan 1 (satu) orang wakil Kementerian
Keuangan. Kemudian unsur pemangku kepentingan merupakan wakil dari
asosiasi profesi. Sedangkan unsur masyarakat merupakan wakil dari
akademisi. Kepala dan Anggota BPJT diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri yang dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan terhadap para
calon anggota yang memenuhi persyaratan.
Kepala BPJT mempunyai tugas sebagai berikut (Pasal 11):
a. memimpin dan mengelola BPJT sesuai dengan wewenang, tugas, dan
fungsi BPJT;
b. mengoordinasikan para anggota dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya;
c. menetapkan rencana kerja BPJT;
d. menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BPJT secara berkala kepada
Menteri;
e. mewakili BPJT di dalam dan di luar Pengadilan; dan
f. melakukan pengawasan internal terhadap kinerja manajemen dan
pengelolaan keuangan BPJT secara menyeluruh.
Kemudian Anggota BPJT mempunyai tugas sebagai berikut (Pasal 12):
a. membantu Kepala BPJT dalam memimpin pelaksanaan wewenang,
tugas dan fungsi;
b. berkoordinasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan oleh Kepala BPJT;
149
c. bersama Kepala BPJT menyiapkan rencana kerja dan anggaran belanja
tahunan BPJT;
d. melaksanakan tugas Kepala BPJT apabila berhalangan melaksanakan
tugas;
e. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh Kepala BPJT;
f. menghadiri rapat dan sidang BPJT;
g. memberikan bahan masukan dalam perumusan rancangan kebijakan
BPJT; dan
h. bertindak sebagai koordinator bidang/kegiatan BPJT yang ditetapkan
melalui Keputusan Kepala BPJT.
Sehubungan dengan kelancaran pelaksanaan fungsi dan tugas
BPJT, maka dibentuklah Sekretariat BPJT yang dipimpin oleh Sekretaris
dan berada di lingkungan Menteri. Sekretariat BPJT adalah unsur staf yang
membantu BPJT dalam menyelenggarakan dukungan teknis dan
administratif kesekretariatan penyelenggaraan pengaturan jalan tol.
Sekretariat BPJT secara teknis operasional bertanggung jawab kepada
Kepala BPJT dan secara administratif bertanggung jawab kepada Menteri
(Pasal 13).
Pasal 14 sampai Pasal 15 Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015
menjelaskan bahwa Sekretariat BPJT mempunyai tugas memberikan
pelayanan teknis dan administratif kepada BPJT serta menyelenggarakan
fungsi sebagai berikut:
a. pelaksanaan kajian dan evaluasi penyiapan pengusahaan jalan toldan
sistem informasi jalan tol;
b. pelaksanaan penyiapan, pelayanan, dan pengawasan pengusahaan
jalan tol;
c. pelaksanaan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan Perjanjian
Pengusahaan Jalan Tol oleh Badan Usaha;
d. pelaksanaan perencanaan, pengelolaan, dan penyiapan bahan
penetapan skala prioritas penyaluran dana bergulir serta administrasi,
penyaluran, dan pengembalian pinjaman dana bergulir; dan
e. pelaksanaan kegiatan hukum dan hubungan masyarakat,
ketatausahaan, kepegawaian, dan keuangan.
150
Susunan Organisasi Sekretariat BPJT terdiri atas Bagian Umum, Bidang
Teknik, Bidang Investasi, Bidang Operasi dan Pemeliharaan, dan Bidang
Pendanaan (Pasal 16). Setiap bagian tersebut memiliki subbagian dan
subbidang yang berada di bawahnya masing-masing. Selain itu, Permen
PUPR No. 43/PRT/M/2015 ini juga telah mengatur secara komprehensif
tugas masing-masing bagian, subbagian, dan subbidang tersebut.
Berikut susunan lengkap Organisasi BPJT sesuai Permen PUPR No.
43/PRT/M/2015:
Pada Pasal 39 sampai Pasal 44 Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015
menjelaskan tentang bagaimana tata kerja, eselon, pengangkatan, dan
pemberhentian di dalam Sekretariat BPJT.
Terkait dengan pendanaan, anggaran untuk pelaksanaan tugas BPJT
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Pasal 45). Dalam hal Pembinaan
terhadap BPJT dilakukan oleh Menteri, pembinaan teknis Sekretariat BPJT
151
dilakukan oleh BPJT, dan pembinaan administratif Sekretariat BPJT
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (Pasal 46).
Pasal 47 Permen PUPR No. 43/PRT/M/2015 menjelaskan, dalam
rangka menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi BPJT dan Sekretariat BPJT
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, maka perlu dilakukan pegawasan. Pengawasan tersebut
meliputi pengawasan atas kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi, serta atas
penggunaan anggaran untuk pembiayaan pelaksanaan tugas BPJT.
Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kemudian, dalam hal tertentu
Menteri juga dapat menunjuk auditor independen untuk melakukan
pemeriksaan terhadap BPJT.
Setelah mengetahui tentang segala hal terkait BPJT maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa BPJT mempunyai peran yang besar dalam
pembunan tol di Indonesia. Oleh karena itu, kinerja dari badan ini perlu
untuk lebih dioptimalkan. BPJT juga harus lebih banyak menarik investor
karena biaya pembangunan jalan tol yang sangat besar dan tidak cukup
apabila hanya mengandalkan dari APBN.
Bisnis jalan tol adalah proyek skala besar, dengan demikian harus
komersial sehingga menarik para investor dan lembaga
keuangan/perbankan. Pendapatan tol diperoleh melalui penarikan tol
selama masa konsesi dan digunakan untuk pengembalian investasi
keuntungan yang wajar, operasi, dan pemeliharaan. Oleh sebab itu tarif tol
dan masa konsesi menjadi faktor penting untuk menentukan kelayakan
usaha.
Sehubungan dengan itu, BPJT harus terus menjalankan
penyelenggaraan jalan tol dengan lebih optimal ke depannya sehingga dapat
memberikan manfaat yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
AA. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014
tentang SPM Jalan Tol (PermenPU tentang SPMJT)
152
Dalam Pasal 3 huruf d UU tentang Jalan, salah satu tujuan
pengaturan penyelenggaraan jalan adalah mewujudkan pelayanan jalan
yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat.
Penjelasan Pasal 3 huruf d yang dimaksud dengan pelayanan yang andal
adalah pelayanan jalan yang memenuhi SPM, yang meliputi aspek
aksesibilitas (kemudahan pencapapaian), mobilitas, kondisi jalan,
keselamatan, dan kecepatan tempuh rata-rata, sedangkan yang dimaksud
prima adalah selalu memberikan pelayanan yang optimal. Aspek SPM yang
diuraikan dalam penjelasan Pasal tersebut di atas hanya mencakup
aksesibilitas, mobilitas, kondisi jalan, keselamatan, dan kecepatan tempuh
rata-rata sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PermenPU SPMJT, SPM jalan tol
mencakup substansi pelayanan (1) Kondisi jalan tol; (2) Kecepatan tempuh
rata-rata; (3) Aksessibilitas; (4) Mobilitas; (5) Keselamatan; (6) Unit
pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan; (7) Lingkungan; dan (8)
Tempat Istirahat (TI) dan Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP). Ada 3 aspek
SPM yang diatur dalam Peraturan Menteri tersebut dan tidak diatur dalam
Undang-Undang Jalan, ketiga aspek tersebut adalah unit
pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan, lingkungan, tempat
Istirahat, dan Tempat Istirahat (TI) dan Tempat Istirahat dan Pelayanan
(TIP), oleh karena itu ketiga aspek tersebut perlu ditambahkan dalam
Rancangan Undang-Undang Jalan.
153
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Jalan sebagai salah satu infrastruktur merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Jalan berfungsi sebagai
penghubung wilayah negara, sarana pemersatu bangsa, dan unsur penting
untuk mencapai tujuan negara yakni memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Salah satu tugas Negara (Pemerintah) yang termaktub dalam Alinea
ke-empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah “memajukan
kesejahteran umum”. Tugas tersebut salah satunya dilakukan melalui
penyelenggaraan jalan sebagai salah satu tugas dan tanggung jawab
pemerintah, sehingga kekuasaan penyelenggaraan jalan ada pada
pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan
Negara, mempunyai hak penguasaan atas jalan yang merupakan aset,
harus dibangun dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”Jalan berada di
atas, dalam tanah (bumi), dan di atas air, maka hak penguasaan atas jalan
ada pada negara sebagai aset yang dibangun dan dipelihara untuk
prasarana berlalu lintas baik pejalan kaki maupun kendaraan. Hal ini
ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
yang menyatakan bahwa, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” mengingat
jalan merupakan bagian dari fasilitas layanan umum.
Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang penting
dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat
dalam memajukan kesejahteraan umum. Peran negara menjadi penting
untuk menjamin penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan sesuai
154
tujuannya. Jalan sebagai prasarana umum yang dibutuhkan untuk
mencapai kemakmuran masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sehingga dibutuhkan membangun jalan
sebanyak-banyaknya di mana penyelenggaraannya menjadi tanggungjawab
pemerintah.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang dimaksudkan
maka penyediaan prasarana jalan adalah melayani dan meniadakan
hambatan bagi pergerakan barang dan manusia untuk semua warga negara
dan sekaligus menjaga agar prasarana jalan tetap ada dan menjangkau
seluruh wilayah Indonesia hingga ke wilayah perbatasan Negara.
B. Landasan Sosiologis
Jalan merupakan suatu sistem jaringan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional yang mempunyai peranan penting terutama dalam
mendukung konektivitas, aksesibilitas, dan mobilitas di bidang ekonomi,
sosial, dan budaya harus dijamin oleh negara dan dikembangkan melalui
pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh
kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan
sasaran pembangunan nasional.
Penyelenggaraan jalan yang andal menjadi isu penting untuk
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, pengembangan daya saing
kawasan, serta pada akhirnya peningkatan standar hidup masyarakat.
Ketersediaan infrastruktur jaringan jalan dengan infrastruktur lainnya
merupakan prasyarat utama bergeraknya investasi dan pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur jalan yang handal yang
berarti harganya rasional, kualitasnya prima, cukup dan ketersediaannya
berkesinambungan akan menjamin terciptanya peningkatan efisiensi dan
produktivitas nasional.
Pada sisi lain, penyediaan infrastruktur transportasi juga dapat
mendorong terciptanya stabilitas ekonomi dan sosial yang mantap. Untuk
itu pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan harus
155
dilaksanakan, oleh negara (pemerintah) dengan sasarannya adalah
bagaimana membangun jalan sebanyak-banyaknya.
Peranan jalan sebagaimana mestinya belum terpenuhi di mana masih
banyak daerah/desa yang kategori tertinggal, daerah transmigrasi serta
wilayah-wilayah potensial yang belum dapat diakses secara memadai
sehingga pemerintah berkewajiban mempercepat pembangunan
infrastruktur jalan yang merata di seluruh wilayah Indonesia guna
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Semangat penyelenggaraan jalan diarahkan sebagai prasarana umum
bagi tercapainya road infrastructures for all atau infrastruktur jalan yang
dapat diakses secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Implikasinya, jalan dikuasai oleh negara, sehingga melahirkan kewenangan
kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan jalan untuk menjamin akses bagi pergerakan masyarakat
dalam memanfaatkan jalan. Semangat pengaturan jalan road infrastructure
for all mengindikasikan kedudukan prasarana jalan sebagai prasarana
untuk kepentingan umum. Karena itu prasarana jalan sebagai prasarana
publik memiliki karakteristik bahwa masyarakat dapat memanfaatkan jalan
tanpa harus bersaing dan dibutuhkan juga penegasan mekanisme dalam
menjaga bagian-bagian jalan tetap memberikan fungsinya sebagaimana
mestinya dengan tidak mengubah fungsi. Kondisi ini berlaku untuk jalan
dengan lalu lintas rendah, manfaat jalan harus dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat, sehingga tidak dapat dikhususkan hanya pada
sekelompok pengguna jalan saja.
Selain ketersediaan infrastruktur jalan yang merata di seluruh
kawasan, permasalahan yang masih ditemui dalam penyelenggaraan jalan
adalah minimnya pemeliharaan jalan yang menyebabkan turunnya kualitas
infrastruktur jalan dan keberlanjutan pelayanan jalan. Permasalahan
pemeliharaan infrastruktur jalan juga sangat terkait dengan bagian-bagian
jalan. Turunnya kualitas infrastruktur jalan juga diakibatkan oleh
dominannya peranan jalan sebagai transportasi darat yang menyebabkan
peningkatan volume lalu lintas angkutan barang yang masih menggunakan
jalan umum sehingga kondisi jalan relatif lebih cepat menurun akibat
156
beban lalu lintas angkutan berat, penempatan maupun penanggung jawab
utilitas pada bagian jalan maupun mekanisme koordinasi antara
penanggung jawab penyelenggara jalan dan penanggung jawab utilitas yang
ditempatkan pada bagian jalan belum sesuai, perubahan kondisi alam dan
lingkungan seperti banjir dan longsor mengakibatkan kerusakan aset jalan
tidak dapat dihindari.
Permasalahan ketertiban dan penegakan hukum penggunaan serta
pemanfaatan jalan mengakibatkan bertambahnya kemacetan lalu lintas dan
meningkatnya angkutan barang beban lebih. Selain itu Kelaikan fungsi
jalan harus terpenuhi sebagai syarat utama sehingga jalan dapat melayani
masyarakat pengguna jalan dengan aman dan nyaman. Aspek keselamatan
merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian lebih sehingga kuantitas
kejadian kecelakaan dan fatalitas dapat diminimalkan. Yang tidak kalah
penting adalah aspek keserasian dengan lingkungan sekitar jalan dan
upaya penghijauan sebagai bentuk pembangunan jalan berkelanjutan.
Kebutuhan masyarakat terhadap jalan yang lain adalah terkait
dengan perlu penyelenggaraan jalan tol. Jalan tol ditempatkan sebagai ruas
jalan alternatif yang dapat memberikan manfaat yang lebih daripada ruas
jalan umum yang ada dan ditarik sejumlah uang yang disebut tol sebagai
pembayaran atas nilai manfaat yang diperoleh pengguna dari jalan tol.
Dengan dasar pemikiran tersebut, maka kualitas layanan jalan tol harus
lebih baik daripada ruas jalan umum non tol. Untuk menjamin kualitas
layanan jalan tol lebih baik daripada ruas jalan umum biasa, maka
ditetapkan SPM jalan tol sebagai acuan dasar pelayanan dari ruas jalan tol.
Pengaturan yang bersifat kedepan atau bersifat solutif merupakan solusi
yang tepat apabila akan mengatur tentang jalan tol, khususnya terkait
dengan penyesuaian/kenaikan tarif tol yang harus diikuti dengan
pemenuhan terhadap SPM dan pelindungan kepada konsumen.
Kebutuhan lain dalam penyelenggaraan jalan adalah penyelenggaraan
jalan menghadapi keterbatasan sumber daya jalan yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara peningkatan jumlah pergerakan barang dan
manusia pada suatu wilayah dengan pertumbuhan kuantitas panjang jalan.
Kondisi ini dapat dijumpai pada wilayah perkotaan dengan mobilitas arus
157
barang dan manusia yang tinggi, sedangkan lahan yang disediakan bagi
pembangunan prasarana jalan semakin terbatas, sehingga peningkatan
kuantitas panjang jalan tidak mampu memenuhi peningkatan lalu lintas.
Untuk menurunkan hambatan bagi pergerakan barang dan manusia
penyelenggara jalan dapat membebankan biaya penggunaan jalan kepada
pengguna jalan atau jalan beretribusi. Dana yang diperoleh dari
pembebanan biaya penggunaan jalan ini dikembalikan kepada sektor jalan
dalam wujud layanan prasarana jalan. Di samping itu, kesulitan
pemerintah daerah dalam pemeliharaan jalan yang rusak di provinsi dan
kabupaten/kota dikarenakan keterbatasan anggaran di provinsi maupun
kabupaten/kota untuk membangun dan memelihara jalan dan luas wilayah
tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah
daerah untuk membangun dan memelihara jalan. Akibatnya terjadi
ketimpangan kondisi ruas jalan nasional dengan provinsi dan
kabupaten/kota disebabkan ketimpangan anggaran.
Dalam penyelenggaraan jalan, mengandalkan peran pemerintah saja
tidak cukup, sehingga diperlukan peran swasta yang lebih besar terutama
untuk meningkatkan akumulasi asset serta mendorong sistem penyediaan
layanan infrastruktur jalan yang efisien. Pelibatan swasta dalam
penyediaan infrastruktur jalan dapat diberikan pada proyek-proyek yang
secara finansial dan bisnis layak untuk diusahakan, yaitu dalam hal
penyediaan jalan tol.
Dalam penyediaan infrastruktur jalan yang melibatkan swasta, peran
pemerintah utamanya adalah sebagai fasilitator dan regulator. Sebagai
fasilitator, pemerintah harus dapat memecahkan kebuntuan investasi,
seperti proses penyediaan lahan. Persoalan utama terkait pengadaan tanah
ini adalah biaya pembebasan lahan. Panitia cenderung menggunakan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP), yang selalu di bawah harga pasar sebagai acuan,
sementara pemilik tanah menggunakan harga pasar, yang bahkan sering
dituntut hingga tiga atau empat kali lebih besar dari NJOP. Dengan
kewenangan pembangunan jalan pada pemerintah daerah maka tentu saja
biaya pembangunan jalan dibebankan pada APBD, yang biasanya sangat
terbatas. Perlu adanya ketentuan mengenai tata cara penghitungan ganti
158
kerugian yang adil dan transparan, serta perkuatan kewenangan Negara
untuk mengambil tanah pada harga yang telah ditetapkan tersebut. Sebagai
regulator, pemerintah berkewajiban untuk menyusun strategi dan kerangka
kebijakan yang tepat agar tercipta lingkungan kompetisi yang sehat,
penetapan standar layanan prima, dan penetapan tarif optimum yang
mempertimbangkan kepentingan bisnis sekaligus daya beli konsumen.
Dalam melaksanakan kewenangan, persoalan yang sering muncul adalah
kurangnya koordinasi dan konsistensi dalam mekanisme dan sistem
perencanaan. Masing-masing strata pemerintahan lebih memfokuskan diri
untuk menangani ruas jalan atau jaringan jalan yang menjadi
kewenangannya untuk mencapai target kinerja yang ditentukan pada
masing-masing strata pemerintahan dan ditambah lagi dengan adanya
kepentingan politik serta bisnis yang terkadang mengabaikan prosedur
dalam program pembangunan jalan.
Dalam penyelenggaraan, masyarakat juga didorong untuk
berpartisipasi. Misalnya untuk menjamin pengelolaan dana jalan yang
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, penyelenggara dana jalan
membutuhkan peran masyarakat dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Secara umum, peran masyarakat dapat berbentuk pemberian informasi
terhadap terjadinya penyelewengan dalam penyelenggaraan jalan serta
penyampaian pendapat atas kualitas layanan penyelenggaraan jalan.
Dukungan dari seluruh elemen harus berjalan optimal, misalnya drainase
yang ditutup oleh warga untuk jalan masuk, sehingga terjadi genangan air
yang mengakibatkan mempercepat kerusakan jalan akibat air yang masuk
ke pori-pori perkerasan, selain itu hambatan kendaraan berupa hambatan
samping seperti pasar dan permintaan sumbangan dijalan oleh warga
mengakibatkan perlambatan kendaraan yang mengakibatkan tekanan roda
semakin bertambah yang mengakibatkan perkerasan menjadi derformasi
dan bergelombang.
C. Landasan Yuridis
Pengelenggaraan jalan yang selama ini dilaksanakan berdasarkan
UU tentang Jalan telah berlangsung lebih dari satu dekade. Dalam kurun
159
waktu sepuluh tahun terdapat berbagai permasalahan hukum mengingat
adanya perkembangan dan dinamika pembangunan yang terjadi selama
lebih dari satu dekade.
Negara harus menjamin dan mengembangkan penyelenggaraan jalan
yang tidak hanya memaksimalkan potensi ekonomi namun juga
memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk
struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Guna mendukung pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan jalan yang
sejalan dengan tujuan pembangunan nasional terdapat kebutuhan hukum
untuk melakukan evaluasi terhadap ketentuan dalam UU tentang Jalan.
Mengingat pentingnya fungsi jalan sebagai prasarana transportasi
yang penting dalam pengembangan kehidupan bermasyarakat yang
mendukung mobilitas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang merata di
seluruh wilayah negara, maka masih diperlukan perhatian terhadap
berbagai isu terkait permasalahan penyelenggaraan jalan.
Terdapat kekosongan hukum dalam penyelenggaraan jalan antara
lain percepatan pembangunan dan kualitas jalan, perbaikan dan
pemeliharaan jaringan jalan, kinerja jalan, pengaturan jalan tol,
pembiayaan jalan daerah, pengadaan tanah untuk pembangunan jalan.
Sehingga diperlukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam
UU tentang Jalan.
Selain kebutuhan hukum tersebut, dinamika perkembangan
legislasi yang berhubungan dengan pengaturan jalan juga menjadi
pertimbangan untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan dalam
UU tentang Jalan. Perlunya harmonisasi, sinkronisasi, dan penyesuaian UU
tentang Jalan dengan peraturan perundang-undangan terkait. Beberapa
undang-undang yang terkait yang dibentuk setelah tahun 2004 dan sangat
mempengaruhi pengaturan penyelenggaraan jalan antara lain Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
160
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
161
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional maka penyediaan prasarana jalan ditujukan
untuk melayani dan meniadakan hambatan bagi pergerakan barang dan
manusia untuk semua warga negara dan sekaligus menjaga agar prasarana
jalan tetap ada dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Selain itu
penyediaan prasarana jalan diarahkan untuk mencapai keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh
kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional.
Untuk mencapai hal tersebut maka penyelenggaraan jalan memiliki
beberapa tujuan pokok, yaitu:
a. mewujudkan ketertiban, keamanan, kelancaran, keselamatan arus
penumpang dan barang, serta kepastian hukum dalam
Penyelenggaraan Jalan;
b. mewujudkan Penyelenggaraan Jalan yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan konsep
Pembangunan Jalan berkelanjutan;
c. mewujudkan peran Penyelenggara Jalan secara optimal dalam
pemberian layanan kepada masyarakat;
d. mewujudkan pelayanan Jalan yang andal dan prima serta berpihak
pada kepentingan masyarakat dengan memenuhi kinerja Jalan dengan
memenuhi kinerja Jalan yang laik fungsi;
e. mewujudkan Sistem Jaringan Jalan yang berdaya guna dan berhasil
guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang
terpadu;
f. mewujudkan pengusahaan Jalan Tol yang transparan dan terbuka
serta memenuhi SPM; dan
g. mewujudkan peran masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan.
162
Pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang terkait dengan
penyelenggaraan jalan yang meliputi:
a. pembatasan di ruas jalan arteri;
b. pencantuman identitas jalan;
c. perubahan status jalan;
d. bagian-bagian jalan termasuk bangunan penghubung yakni jembatan
dan terowongan;
e. pembangunan jaringan utilitas atau kegiatan lainnya pada bagian-
bagian jalan;
f. penekanan penguasaan jalan oleh Negara;
g. penyempurnaan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan jalan;
h. penyempurnaan pengaturan jalan secara umum dalam perumusan
kebijakan perencanaan dan penyusunan perencanaan umum jaringan
jalan nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa serta penekanan
pada konsep pembangunan jalan berkelanjutan;
i. penyempurnaan pengaturan mengenai pembangunan jalan umum;
j. pengawasan jalan umum;
k. penyempurnaan pengaturan tentang jalan tol;
l. dana jalan;
m. pengadaan tanah untuk pembangunan jalan; dan
n. data dan informasi penyelenggaraan jalan.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
1. Ketentuan Umum
Beberapa pengertian dalam RUU yang diubah untuk
menyesuaikan dengan definisi yang sama dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait antara lain:
a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
163
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
b. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
c. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Jalan.
d. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Selain itu ditambahkan ketentuan definisi mengenai standar
pelayanan minimal yakni:
e. Standar Pelayanan Minimal, selanjutnya disingkat SPM, adalah
standar pelayanan yang terukur untuk menjamin keselamatan dan
dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh pengguna jalan.
2. Pembatasan di ruas jalan arteri
Jalan telah dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelas.
Berdasarkan fungsinya, jalan dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan
umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara berdaya guna. Namun demikian banyak ditemukan dalam
implementasinya jalan arteri tidak lagi memenuhi fungsi sebagaimana
mestinya sehingga diperlukan pengaturan/pembatasan untuk membuka
akses ke/dari jalan arteri yang menyebabkan terganggunya kelancaran lalu
lintas dan mengurangi kapasitas jalan, kecuali mendapat izin dari
Penyelenggara Jalan sesuai dengan klasifikasi status jalan.
Izin dari Penyelenggara Jalan harus mempertimbangkan dampak lalu
lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses Jalan dan kapasitas Jalan
yang ada. Dalam hal Penyelenggara Jalan membuka akses ke/dari Jalan
arteri, Penyelenggara Jalan harus menyediakan Jalan paralel dengan Jalan
arteri. Setiap Orang yang melanggar ketentuan pembatasan akses ke/dari
jalan arteri tanpa izin penyelenggara jalan dikenai sanksi administratif.
164
3. Pencantuman identitas jalan
Pencantuman identitas yang antara lain dapat berupa kode dan
angka pada masing-masing ruas jalan berdasarkan status jalan. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan baik bagi penyelenggara jalan maupun
masyarakat umum untuk mengetahui status masing-masing jalan dan
siapa penyelenggara jalan yang berwenang pada ruas jalan tersebut.
4. Perubahan status jalan
Status Jalan dapat dievaluasi secara berkala untuk perubahan
status setelah perubahan fungsi Jalan ditetapkan. Perubahan fungsi Jalan
dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
a. berperan penting dalam pelayanan terhadap wilayah yang lebih luas
daripada wilayah sebelumnya;
b. semakin dibutuhkan masyarakat dalam rangka pengembangan sistem
transportasi;
c. lebih banyak melayani masyarakat dalam wilayah wewenang
penyelenggara Jalan yang baru;
d. semakin berkurang peranannya, dan/atau semakin sempit luas wilayah
yang dilayani.
e. faktor risiko dan tingkat kesulitan pembangunan jalan;
f. kapasitas jalan;
g. jumlah penduduk daerah sekitar ruas jalan; dan/atau
h. kecepatan rata-rata arus lalu lintas dibandingkan dengan kecepatan
rencana.
5. Bagian-bagian jalan
Setiap Jalan harus memiliki bagian-bagian Jalan yang merupakan
ruang yang dipergunakan untuk konstruksi Jalan, keperluan peningkatan
kapasitas Jalan, dan keselamatan bagi pengguna Jalan. Bagian-bagian
Jalan meliputi: a. ruang manfaat Jalan; b. ruang milik Jalan; dan c. ruang
pengawasan Jalan.
165
Ruang manfaat Jalan terdiri dari badan Jalan termasuk jalur dan
fasilitas pejalan kaki, saluran tepi Jalan, dan ambang pengaman Jalan.
Penyediaan fasilitas pejalan kaki dikecualikan di Jalan Bebas Hambatan
dan Jalan Tol. Ruang milik Jalan meliputi ruang manfaat Jalan dan sejalur
tanah tertentu di luar ruang manfaat Jalan. Ruang pengawasan Jalan
merupakan ruang tertentu di luar ruang milik Jalan yang ada di bawah
pengawasan Penyelenggara Jalan.
Selain memiliki bagian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
untuk mendukung fungsi Jalan dapat dibangun bangunan penghubung
berupa jembatan dan/atau terowongan guna mengatasi rintangan antar
ruas Jalan. Bangunan penghubung merupakan bangunan yang mempunyai
kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan
dibangun untuk mendukung fungsi Jalan dan mengatasi rintangan antar
ruas-ruas Jalan berupa jembatan dan/atau terowongan.
6. Pembangunan jaringan utilitas atau kegiatan lainnya pada bagian-
bagian jalan
Setiap Orang yang membangun jaringan utilitas atau melakukan
kegiatan lainnya pada bagian Jalan dikenai kewajiban untuk mendapatkan
izin dari Penyelenggara Jalan; melakukan koordinasi dengan pihak
Penyelenggara Jalan; melaksanakan pekerjaan sesuai dengan rencana
pelaksanaan pekerjaan; meminimalisasi dampak gangguan lalu lintas dan
lingkungan akibat pekerjaan; dan mengembalikan ruang milik Jalan
dengan memenuhi spesifikasi teknis yang sesuai standar. Pelanggaran
ketentuan ini dikenai sanksi administrasi.
7. Penguasaan jalan oleh Negara
Penguasaan atas Jalan ada pada Negara. Negara memberi wewenang
kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangannya dengan
memperhatikan keberlangsungan pelayanan jalan dalam kesatuan sistem
jaringan jalan.
166
8. Penyempurnaan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan jalan
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi:
a. pengembangan sistem jaringan jalan secara nasional;
b. penyelenggaraan jalan secara umum; dan
c. penyelenggaraan jalan nasional.
Dalam mengembangkan sistem jaringan Jalan secara nasional
Pemerintah menyusun perencanaan umum jaringan Jalan secara nasional
dengan memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. tataran
transportasi nasional yang ada dalam sistem transportasi nasional; c.
rencana pembangunan jangka panjang nasional; dan d. konsep
pembangunan jalan berkelanjutan.
9. Penyempurnaan pengaturan jalan secara umum dalam perumusan
kebijakan perencanaan dan penyusunan perencanaan umum jaringan
jalan nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa serta penekanan
pada konsep pembangunan jalan berkelanjutan.
Sesuai dengan asas dan tujuan dalam RUU ini, maka dalam pengaturan
jalan umum termasuk dalam perumusan kebijakan perencanaan dan
penyusunan perencanaan umum jaringan jalan nasional, Pemerintah
memperhatikan rencana tata ruang nasional dan konsep pembangunan
jalan berkelanjutan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Keselarasan dengan tata ruang wilayah dan perhatian terhadap konsep
pembangunan jalan berkelanjutan juga berlaku dalam penyusunan
perencanaan jaringan jalan provinsi, penyusunan perencanaan jaringan
jalan kabupaten/desa, dan penyusunan perencanaan jaringan jalan kota.
a. Jalan nasional
Pengaturan Jalan nasional meliputi:
1) penetapan fungsi Jalan untuk ruas Jalan arteri dan Jalan kolektor yang
menghubungkan antaribukota provinsi dalam Sistem Jaringan Jalan
primer;
2) penetapan status Jalan nasional; dan
167
3) penyusunan perencanaan umum jaringan Jalan nasional.
Dalam perumusan kebijakan perencanaan dan penyusunan
perencanaan umum jaringan Jalan nasional, Pemerintah memperhatikan:
1) rencana tata ruang wilayah nasional;
2) tataran transportasi nasional yang ada dalam sistem transportasi
nasional;
3) rencana pembangunan jangka panjang nasional; dan
4) konsep pembangunan jalan berkelanjutan.
b. Jalan Provinsi
Pengaturan Jalan provinsi meliputi:
1) perumusan kebijakan penyelenggaraan Jalan provinsi berdasarkan
kebijakan nasional di bidang Jalan;
2) penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan Jalan provinsi
dengan memperhatikan keserasian antarwilayah provinsi;
3) penetapan fungsi Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan sekunder dan
Jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten, antaribukota kabupaten, Jalan lokal, dan Jalan lingkungan
dalam Sistem Jaringan Jalan primer;
4) penetapan status Jalan provinsi; dan
5) penyusunan perencanaan jaringan Jalan provinsi.
Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan provinsi, pemerintah
provinsi memperhatikan:
1) rencana tata ruang wilayah provinsi;
2) tataran transportasi wilayah provinsi yang ada dalam sistem
transportasi nasional;
3) rencana pembangunan jangka panjang provinsi;
4) perencanaan umum jaringan Jalan nasional; dan
5) konsep pembangunan Jalan berkelanjutan
c. Jalan kabupaten/kota
Pengaturan Jalan kabupaten/kota meliputi:
168
1) perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan kabupaten/kota
berdasarkan kebijakan nasional di bidang Jalan dengan memperhatikan
keserasian antardaerah dan antarkawasan;
2) penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan
kabupaten/kota;
3) penetapan status Jalan kabupaten/kota; dan
4) penyusunan perencanaan jaringan Jalan kabupaten/kota.
Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan kabupaten/kota,
pemerintah kabupaten/kota memperhatikan:
1) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
2) tataran transportasi lokal kabupaten/kota yang ada dalam sistem
transportasi nasional;
3) rencana pembangunan jangka panjang kabupaten/kota;
4) perencanaan umum jaringan Jalan nasional dan Jalan provinsi; dan
5) konsep pembangunan Jalan berkelanjutan.
d. Jalan desa
Pengaturan Jalan desa meliputi:
1) perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan desa berdasarkan
kebijakan nasional di bidang Jalan dengan memperhatikan keserasian
antardaerah dan antarkawasan;
2) penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan desa;
3) penetapan status Jalan desa; dan
4) penyusunan perencanaan jaringan Jalan desa.
Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan desa, pemerintah
desa memperhatikan:
1) rencana tata ruang wilayah desa;
2) tataran transportasi lokal desa yang ada dalam sistem transportasi
nasional;
3) rencana pembangunan jangka panjang desa;
4) perencanaan umum jaringan Jalan nasional, Jalan provinsi, dan Jalan
kabupaten/kota; dan
5) konsep pembangunan Jalan berkelanjutan
169
10. Penyempurnaan pengaturan mengenai pembangunan jalan umum
Pembangunan jalan umum ditujukan untuk mencapai kondisi laik
fungsi baik jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, maupun
jalan desa. Kondisi laik adalah kondisi suatu ruas jalan yang memenuhi
persyaratan teknis kelaikan untuk memberikan keselamatan bagi
penggunanya, dan persyaratan administratif yang memberikan kepastian
hukum bagi penyelenggara jalan dan pengguna jalan, sehingga jalan
tersebut dapat dioperasikan untuk umum.
Pembangunan Jalan umum meliputi pembangunan jalan secara umum,
pembangunan jalan nasional, pembangunan jalan provinsi, pembangunan
jalan kabupaten/kota, dan jalan desa. Pembangunan Jalan umum terdiri
dari kegiatan: a. penyusunan program dan anggaran; b. perencanaan
teknis; c. pelaksanaan konstruksi; d. pengoperasian jalan; dan e.
pemeliharaan jalan.
a. penyusunan program dan anggaran
Sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional
mencakup penyusunan program dan anggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, pengoperasian jalan, dan pemeliharaannya dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyusunan program pembangunan jalan baik di tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten kota meliputi pembangunan jalan baru dan
pengembangan jalan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas jalan.
Penyusunan program pembangunan jalan baru ditujukan untuk
mempercepat mobilitas barang/atau orang, menciptakan sistem logistik
yang efisien, serta membuka akses yang menghubungkan seluruh wilayah
Indonesia terutama di wilayah perbatasan Negara.
Penyusunan program pengembangan jalan melalui peningkatan
kapasitas dan kualitas jalan harus setara atau lebih dari kapasitas atau
kualitas teknis jalan yang telah ada.
Penyusunan program pembangunan jalan pada jaringan jalan primer
harus bersinergi, saling mendukung, dan berdasarkan rencana tata ruang
170
nasional dan/atau daerah. Penyusunan program pembangunan jalan
memperhatikan klasifikasi status jalan.
Salah satu permasalahan krusial terkait pembiayaan pembangunan
jalan adalah keterbatasan pembiayaan pembangunan jalan daerah. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan politik anggaran. Salah satu hal yang
dimungkinkan berdasarakan Undang-Undang No.38 Tahun 2004 dengan
adanya bantuan dari Pemerintah namun demikian dalam implementasinya
hal ini sulit dilaksanakan mengingat adanya persyaratan dalam PP No.34
Tahun 2006 tentang Jalan yang mensyaratkan terpenuhinya 20% alokasi
APBD untuk sektor jalan di daerah untuk dapat mengajukan bantuan.
Dalam RUU ini mekanisme pemberian bantuan dari Pemerintah kepada
pemerintah untuk pembangunan sektor jalan dibuat lebih umum dengan
mempertimbangkan beberapa aspek sehingga dalam pelaksanaannya
Pemerintah dapat membuat semacam indeks daerah yang akan dibantu
dengan beberapa parameter:
1) besarnya alokasi dan penyerapan dana anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk sektor Jalan;
2) pelaksanaan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas dan kualitas
Jalan daerah;
3) pemenuhan standar pelayanan minimal Jalan yang ditetapkan;
4) Jalan daerah merupakan ruas prioritas atau memiliki peran strategis;
5) perbandingan panjang Jalan di daerah dengan luas wilayah;
6) fungsi Jalan merupakan Jalan arteri;
7) proporsionalitas kontribusi pendanaan dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah terhadap ruas Jalan yang akan dibangun;
dan/atau
8) kondisi tanah dan topografi daerah di ruas Jalan yang akan dibangun.
b. perencanaan teknis pembangunan jalan
Perencanaan teknis pembangunan jalan mencakup perencanaan teknis
jalan, bangunan penghubung, dan bangunan pelengkap harus dilakukan
secara optimal dengan memenuhi berbagai persyaratan teknis di bidang
konstruksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu
171
perencanaan teknis harus memperhatikan konsep pembangunan jalan
berkelanjutan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
c. pelaksanaan konstruksi
Pelaksanaan konstruksi pembangunan jalan wajib memenuhi standar
dan kualitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang konstruksi.
d. pengoperasian jalan
Penyelenggara jalan wajib memenuhi persyaratan laik fungsi secara
teknis dan administratif untuk memulai pengoperasian jalan.
Pengoperasian jalan wajib memenuhi standar pelayanan minimal.
Penerapan SPM dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi
masing-masing wilayah guna mencapai standar pelayanan yang lebih tinggi.
e. pemeliharaan jalan
Pemeliharaan jalan terdiri dari: a. pemeliharaan rutin; b. pemeliharaan
berkala; dan c. rehabilitasi. Penyelenggara jalan wajib melaksanakan
pemeliharaan jalan untuk mencapai umur rencana mempertahankan
tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal.
Pelaksanaan pemeliharaan jalan harus memperhatikan keselamatan
pengguna jalan dan penempatan perlengkapan jalan secara jelas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
11. Pengawasan jalan umum
Dalam mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan
pembangunan jalan umum dilakukan pengawasan yang terdiri dari
kegiatan pemantauan dan evaluasi yang meliputi:
a. penilaian kinerja penyelenggaraan jalan;
b. pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan;
c. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan
d. pemenuhan SPM yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan.
Pengawasan jalan umum meliputi pengawasan jalan secara umum,
pengawasan jalan nasional, pengawasan jalan provinsi, pengawasan jalan
kabupaten dan jalan desa, serta pengawasan jalan kota yang dilaksanakan
oleh penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.
172
Penyelenggara jalan dan instansi terkait yang berwenang dalam
pengawasan lalu lintas angkutan jalan wajib berkoordinasi dalam
melakukan pengawasan dan pengendalian muatan yang berlebih yang
menjadi faktor perusak jalan. Penyelenggara jalan wajib melakukan
langkah-langkah penanganan terhadap hasil pengawasan, termasuk upaya
hukum atas terjadinya pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
12. Penyempurnaan pengaturan tentang jalan tol
Dalam RUU harus dipastikan bahwa jalan tol merupakan bagian dari
sistem jaringan jalan nasional dan terintegrasi dengan sistem transportasi
yang terpadu. Jalan Tol diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang;
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang
dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna
Jalan;
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan; dan
e. meningkatkan aksesibilitas dari daerah potensial yang belum
berkembang
Pengusahaan Jalan Tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan
Usaha yang memenuhi persyaratan berdasarkan prinsip transparansi dan
keterbukaan
Terakit dengan evaluasi dan penyesuaian tarif tol maka diusulkan
dalam RUU bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2
(dua) tahun sekali (3) Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap
2 (dua) tahun sekali berdasarkan:
a. kelayakan dan keuntungan minimal sebagaimana disepakati dalam
perjanjian pengusahaan Jalan Tol setelah dilakukan audit oleh akuntan
publik;
b. pengaruh laju inflasi; dan
c. pertimbangan kepuasan pengguna Jalan Tol terhadap pemenuhan SPM
Jalan Tol.
173
Pengusahaan Jalan Tol dilaksanakan dengan maksud untuk
mempercepat perwujudan jaringan Jalan Bebas Hambatan sebagai bagian
dari jaringan Jalan nasional. Pengusahaan Jalan Tol meliputi kegiatan
pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian,
dan/atau pemeliharaan. Wewenang mengatur pengusahaan Jalan Tol
dilaksanakan oleh BPJT. Pengusahaan Jalan Tol dilakukan oleh Badan
Usaha milik negara dan/atau Badan Usaha milik daerah dan/atau Badan
Usaha milik swasta melalui perjanjian pengusahaan Jalan Tol dengan BPJT
dan diaudit oleh lembaga yang berwenang memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan
Jalan Tol tidak dapat diwujudkan oleh Badan Usaha, Pemerintah dapat
mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya. Konsesi pengusahaan
Jalan Tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi
pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha Jalan
Tol. Dalam hal konsesi berakhir, Pengusahaan Jalan Tol dikembalikan
kepada Pemerintah.
Pemerintah sesuai dengan kewenangannya, kemudian menetapkan
status Jalan Tol dengan:
a. menawarkan pengusahaan baru kepada Badan Usaha Jalan Tol; atau
b. mengalihkan status Jalan Tol menjadi Jalan bebas hambatan non tol.
Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan Jalan Tol
tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam
perjanjian pengusahaan Jalan Tol, Pemerintah dapat melakukan langkah
penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan Jalan Tol.
Dalam mengusahakan jalan tol, badan usaha wajib memenuhi SPM
jalan tol. SPM jalan tol paling sedikit meliputi substansi pelayanan sebagai
berikut:
a. kondisi jalan tol;
b. kecepatan tempuh rata-rata;
c. aksessibilitas;
d. mobilitas;
e. keselamatan;
174
f. unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan;
g. lingkungan; dan
h. tempat istirahat dan pelayanan.
SPM Jalan Tol merupakan informasi publik yang ditetapkan dalam
perjanjian pengusahaan Jalan Tol. Badan Usaha wajib melakukan evaluasi
terhadap pemenuhan SPM Jalan Tol secara berkala.
Setiap Badan usaha di bidang jalan tol yang mengusahakan jalan tol
tidak memenuhi SPM jalan tol dikenai sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. penundaan kenaikan tarif;
c. denda administratif; dan
d. pembatalan perjanjian pengelolaan jalan tol.
Pengguna jalan tol diwajibkan membayar tarif jalan tol. Tarif Jalan
Tol digunakan untuk pengembalian investasi, pengoperasian, dan
pemeliharaaan. Pengguna Jalan Tol wajib menaati peraturan perundang-
undangan tentang lalu lintas dan angkutan Jalan, peraturan perundang-
undangan tentang Jalan, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengguna Jalan Tol juga berhak mendapatkan pelayanan Jalan Tol yang
sesuai dengan SPM. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pengguna
Jalan Tol serta hak pengguna Jalan Tol diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri.
Pengawasan Jalan Tol meliputi kegiatan yang dilakukan untuk
mewujudkan tertib pengaturan dan pembinaan Jalan Tol serta
pengusahaan Jalan Tol. Pengawasan Jalan Tol terdiri dari pengawasan
umum yang dilakukan oleh Pemerintah dan pengawasan pengusahaan yang
dilakukan oleh BPJT. Hasil pengawasan merupakan informasi publik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan Jalan Tol diatur dalam Peraturan Menteri.
13. Dana jalan
Untuk menjamin keberlanjutan pelayanan jalan, diperlukan dana jalan
yang dapat berasal dari alokasi pajak kendaraan bermotor, retribusi
penggunaan ruas jalan, dana preservasi Jalan, dan sumber lain yang sah.
175
Alokasi pajak kendaraan bermotor digunakan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Retribusi penggunaan ruas jalan diperuntukkan bagi
peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana preservasi Jalan bersumber dari pengguna Jalan dan digunakan
untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
Ketentuan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
disesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang terkait terutama
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan peraturan pelaksana dari
Undang-Undang ini dan Undang-Undang tentang Pendaftaran Tanah.
Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
berkewajiban menjamin pengadaan tanah untuk pembangunan jalan yang
dilakukan berdasarkan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pihak yang menguasai atau memiliki objek penguasaan tanah wajib
melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadaan
tanah untuk pembangunan jalan diselenggarakan sesuai dengan:
a. rencana tata ruang wilayah;
b. rencana pembangunan nasional/daerah;
c. rencana strategis; dan
d. rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah.
176
Dalam hal belum ada rencana tata ruang wilayah, proses pengadaan
tanah untuk pembangunan jalan dapat dilakukan secara bersamaan
dengan proses penetapan rencana pembangunan jalan baru dalam rencana
tata ruang wilayah.
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam hal percepatan pembangunan
jalan, pendanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan dapat
bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha selaku Instansi yang
memerlukan tanah yang mendapat kuasa berdasarkan perjanjian, yang
bertindak atas nama lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah
non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota.
15. Data dan informasi penyelenggaraan jalan
Dalam membangun sistem jaringan Jalan, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
membangun, menyusun, mengembangkan, dan menyediakan sistem data
dan informasi penyelenggaraan Jalan yang terintegrasi. Sistem data dan
informasi digunakan untuk keperluan:
a. penyusunan program dan anggaran;
b. perencanaan teknis;
c. pelaksanaan konstruksi;
d. pengoperasian Jalan;
e. pemeliharaan Jalan; dan
f. pengawasan.
Sistem data dan informasi memuat basis data jaringan Jalan secara
nasional. Basis data wajib diperbaharui setiap 1 (satu) tahun oleh Menteri.
16. Ketentuan Penutup.
Ketentuan penutup dari RUU ini menegaskan bahwa pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini
177
harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
178
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Beberapa ketentuan dalam UU tentang Jalan sudah tidak sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta
perkembangan dinamika legislasi terkait dengan pengaturan di bidang
jalan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang dimaksud.
2. Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang ini telah diakomodasi
berbagai ketentuan mengenai penyelenggaraan jalan baik berupa
penambahan ketentuan baru, perbaikan, penyempurnaan, maupun
mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan.
3. Perubahan atau penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap UU
tentang Jalan terkait dengan penyelenggaraan jalan penyelenggaraan
jalan yang meliputi:
a. pembatasan di ruas jalan arteri;
b. pencantuman identitas jalan;
c. perubahan status jalan;
d. bagian-bagian jalan termasuk bangunan penghubung yakni
jembatan dan terowongan;
e. pembangunan jaringan utilitas atau kegiatan lainnya pada bagian-
bagian jalan;
f. penekanan penguasaan jalan oleh Negara;
g. penyempurnaan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan
jalan;
h. penyempurnaan pengaturan jalan secara umum dalam perumusan
kebijakan perencanaan dan penyusunan perencanaan umum
jaringan jalan nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa serta
penekanan pada konsep pembangunan jalan berkelanjutan;
i. penyempurnaan pengaturan mengenai pembangunan jalan umum;
179
j. pengawasan jalan umum;
k. penyempurnaan pengaturan tentang jalan tol;
l. dana jalan;
m. pengadaan tanah untuk pembangunan jalan; dan
n. data dan informasi penyelenggaraan jalan.
B. Saran
Naskah Akademik sebagai dasar pemikiran disusunnya Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas UU tentang Jalan ini diharapkan
memenuhi kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih
memberikan jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan serta
pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan jalan yang sejalan dengan
tujuan pembangunan nasional.
1
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bahan Makalah, “Pengadaan Tanah Infrastruktur PU”, disampaikan dalam
peningkatan kemampuan SDM Bidang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Infrastruktur, Denpasar 3 Oktober 2012.
Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum, Bahan Makalah Reformasi
Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, disampaikan dalam peningkatan kemampuan SDM Bidang
Pengadaan Tanah, Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum,
Jakarta,10 September 2014.
E. E. Savas. 1987. Privatization: The Key to Better Government. Chatham
House Publishers. Inc: New York.
Iqbal, Zafar dan Suleman, Areef. 2010. “Indonesia: Kendala Kritis Bagi
Pembangunan Infrastruktur”. Islamic Development Bank.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2010. Draft
Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Jalan. Universitas Gajah
Mada.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Rencana Strategis Dirjen Bina Marga
2010-2014.
Kementerian PPN/Bappenas. 2012. Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Sektoral Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan.
Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi di
Indonesia.
2
Pusat Kajian Strategis (Pustra) Kementerian PU. 2010. Laporan Ringkas
Kajian Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang PU Dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Lingkungan.
Usman, S., 2009. “Studi Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat:
Image of The Subject Matter”, Magister Pengelolaan Infrastruktur dan
Pemberdayaan Masyarakat (PIPM), Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Walker., C. Mulcahy, J.Smith, A. Lam., 1995. Privatized infrastructure : the
build operate transfer approach. Thomas Telford, P.T.I and Cochrane,R:
London.
Laman
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana-Bappenas. Prioritas Pembangunan
Infrastruktur 2016,
http://www.pu.go.id/konreg2015/BAHAN%20KONREG%202015/Papa
ran%20Deputi%20Sarpras%20Bappenas%20-
%20Konreg%20PU%202015.pdf.
Djunedi, Praptono. “Implementasi Public-Private Partnerships dan
Dampaknya Ke APBN”.
(www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5Cartikel_PPP_prap.pdf.
Dr. Zaroni, Infrastruktur logistik untuk daya saing negara. Supply Chain
Indonesia. http://supplychainindonesia.com/new/infrastruktur-
logistik-untuk-daya-saing-negara.
Lawalata, Grace Maria. Prinsip-Prinsip Pembangunan Jalan Berkelanjutan,
Jurnal Transportasi Vol.13 No.2 Agustus 2013.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=166004&val=605
5&title=PRINSIP-
PRINSIP%20PEMBANGUNAN%20JALAN%20BERKELANJUTAN.
3
Highways Departement. “Hong Kong The Facts: Highway,”
(http://www.hyd.gov.hk/eng/aboutus/organ /index.htm.)
India Financing Highways. Energy and Infrastructure Sector Unit South Asia
Region. Document of World Bank October 21, 2004; The World Bank.
2008.
Indian Road Construction Industry : Capacity Issues, Constraints &
Recommendations. New Delhi: Colorcom Advertising; National Highway
Authority of India (www.nhai.org.)
Iskandar, Hikmat. Kajian Standar Pelayanan Minimal Jalan Untuk Jalan
Umum Non-Tol.
http://www.pu.go.id/uploads/services/service20130717142059.pdf
Kementerian Pekerjaan Umum. Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019.
http://pu.go.id/uploads/info-anggaran/renstra/Renstra-2015-
2019.pdf.
Pembangunan Jalan Baru Sulit,” Selasa, 26/02/200
(http://finance.detik.com/read/2008/02/26/123229/900105/4/pemb
angunan-jalan-baru-sulit, diakses 10 Juni 2011).
Sukoyo,Yeremia. “Ini Penyebab Berlarutnya Pembebasan Tanah untuk Jalan
Tol”, http://www.beritasatu.com/nasional/282386-ini-penyebab-
berlarutnya-pembebasan-tanah-untuk-jalan-tol.html.
4
“YLBHI: RUU Pengadaan Tanah = Perampasan,”
http://nasional.kompas.com/read/2011/03/24/06312220/YLBHI:.RU
U.Pengadaan.Tanah..Perampasan, diakses 18 Februari 2016.
Yudono, Jodhi, “Sebelum Hutan Menjadi Kenangan” Harian Kompas 21
Maret 2015, diakses pada 3 Februari 2016, dapat diakses di
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/21/11422271/Sebelum.
Hutan.Menjadi.Kenangan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37436/3/Chapter%20II.
pdf.
http://www.academia.edu/5740385/DASAR_PERENCANAAN_JALAN_SURV
AI_and_DATA_PENDUKUNG.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37301/3/Chapter%20II.
pdf.
http://binamarga.dpu.ntbprov.go.id/rekomendasi-pemanfaatan-ruang-
milik-jalan-untuk-pemasangan-utilitas-pada-ruas-jalan-provinsi/.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_141562.pdf.
http://kbbi.web.id/biaya
http://pustaka.pu.go.id/new/istilah-bidang-detail.asp?id=272
http://www.pu.go.id/berita/9975/APBN--P-TA-2015-Kementerian-PUPR-
Rp-116,8-Triliun.
http://bachnas.staff.uii.ac.id/2009/02/14/penyebab-kerusakan-jalan/
5
http://www.instran.org/index.php/en/news-room/home/25-front-
page/1627-kecelakaan-lalu-lintas-di-indonesia-renggut-31-ribu-jiwa.
https://id.wikibooks.org/wiki/Rekayasa_Lalu_Lintas/Kapasitas_jalan.
http://katadata.co.id/berita/2015/04/22/bpn-segera-terbitkan-petunjuk-
teknis-pembebasan-lahan#sthash.yIFXV8DJ.rHcqkUhJ.dpbs.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37436/3/Chapter%20II.
pdf.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi. Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan jo. UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan jo. UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 Tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2013 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005
tentang Jalan Tol.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen dan
Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 43 PRT/M/2015 tentang Badan Pengatur Jalan Tol.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang
Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.
8
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang
Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Jasa Konstruksi dan Jasa
Konsultansi.