NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG …berkas.dpr.go.id/pusatpuu/na/file/na-31.pdf · 6...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG …berkas.dpr.go.id/pusatpuu/na/file/na-31.pdf · 6...
1
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2018
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...
B. Identifikasi Masalah ...
C. Tujuan dan Kegunaan ... D. Metode ...
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis ...
B. Praktik Empiris ...
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) ...
B. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ...
C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ...
D. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ...
E. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara ...
F. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ...
G. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ...
H. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah ...
I. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan ...
J. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ...
K. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan ...
L. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ...
M. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ...
3
N. Peraturan MPR tentang Tata Tertib ...
O. Peraturan DPR tentang Tata Tertib ...
P. Peraturan DPD tentang Tata Tertib ...
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS A. Landasan filosofis ...
B. Landasan sosiologis ...
C. Landasan yuridis ...
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A. Jangkauan dan Arah Pengaturan ...
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang ...
1. MPR ...
2. DPR ...
3. DPD ...
BAB VI PENUTUP DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG ...
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena hanya atas karunia dan rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (RUU tentang MD2) dapat diselesaikan dengan baik dan
lancar.
RUU tentang MD2 merupakan salah satu RUU yang terdapat di dalam
daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2014-2019.
Pembentukan RUU tentang MD2 diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum dalam rangka pelaksanaan hubungan kerja dan koordinasi antara
lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, maupun lembaga lainnya.
Adapun Naskah Akademik RUU ini disusun berdasarkan pengolahan
hasil pengumpulan data dan informasi yang diperoleh baik melalui bahan-
bahan bacaan (kepustakaan), website maupun diskusi yang dilakukan
secara komprehensif. Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini
tentunya tidak terlepas dari peran aktif seluruh Tim Penyusun dari Badan
Keahlian DPR RI, yang telah dengan penuh ketekunan dan tanggung jawab
menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Untuk itu, terima kasih atas
ketekunan dan kerja samanya.
Semoga Naskah Akademik ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Jakarta, Desember 2017
Ketua Tim
5
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan maka
perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
Amandemen terhadap UUD NRI 1945 telah mengakibatkan banyak
perubahan pada desain sistem ketatanegaran Indonesia, termasuk
pengaturan mengenai lembaga permusyawaratan/perwakilan tersebut.
UUD NRI 1945 hasil amandemen telah merubah kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula merupakan lembaga
tertinggi negara menjadi lembaga negara. Adapun Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) berdasarkan UUD NRI 1945 memiliki peran besar dengan
tiga fungsi utama. Fungsi tersebut adalah sebagai lembaga pembentuk
undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah dan fungsi
anggaran. Selain itu, amandemen UUD NRI 1945 juga mengamanatkan
kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal
22D UUD 1945.
Meskipun kedudukan MPR saat ini merupakan lembaga negara,
namun tidak dapat dikesampingkan kewenangan MPR untuk melantik
Presiden dan Wakil Presiden serta memilih dan mengangkat Presiden
dan Wakil Presiden untuk keadaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam UUD NRI 1945. Hal ini berimplikasi perlu ditegaskannya
kedudukan MPR dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan lembaga
permusyawaratan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945,
perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penataan dimaksud bisa
6
menyangkut kelembagaannya dan bisa juga menyangkut mekanisme
pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Dengan demikian, MPR
sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 akan dapat
menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara efisien, efektif,
transparan, optimal, dan aspiratif.
Adapun terkait dengan kelembagaan DPR, dalam menjalankan
tugasnya DPR mempunyai tiga fungsi sesuai dengan Pasal 20A ayat 1
UUD NRI 1945, yaitu:
1. fungsi legislasi, yaitu DPR mempunyai wewenang untuk membuat
Undang-Undang bersama-sama dengan Presiden. Usulan Rancangan
Undang-Undang dapat diajukan oleh Presiden, dapat pula
berdasarkan hak inisiatif DPR;
2. fungsi anggaran, yaitu kewenangan DPR untuk menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh
pemerintah (Presiden); dan
3. fungsi pengawasan, yaitu DPR mempunyai fungsi untuk
menjalankan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan. Pengawasan DPR terhadap pemerintah dapat berupa
pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, APBN, dan
kebijakan pemerintah lainnya berdasarkan UUD NRI 1945.
Saat ini DPR dituntut untuk mampu bertransformasi menjadi
parlemen modern. Membangun DPR RI sebagai parlemen modern pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik dan
legitimasi DPR. Dalam konsep parlemen modern, DPR memang harus
dapat memastikan informasi parlemen dapat disebarkan secara proaktif
serta memungkinkannya dibangun sebuah mekanisme yang
meningkatkan partisipasi publik, baik dalam pengawasan maupun
dalam peningkatan partisipasi publik pada kerja parlemen. DPR juga
harus membangun mekanisme transparansi dan partisipasi publik yang
mumpuni sehingga dapat diakses secara mudah dan merata oleh
seluruh rakyat Indonesia. Melalui konsep parlemen modern, DPR
menjadi parlemen yang bukan lagi lembaga negara yang statis. Parlemen
berubah mengikuti perubahan yang terjadi “di dalam dan di luar”
parlemen.1
1Center for Election and Political Party FISIP-UI , Desember 2014.
7
Untuk membangun DPR sebagai parlemen modern maka DPR
perlu untuk terus-menerus memberikan informasi yang langsung, akurat
dan terpercaya. DPR juga perlu untuk membuka ruang untuk partisipasi
publik baik secara langsung maupun virtual sehingga diharapkan dapat
meningkatkan dukungan terhadap kerja-kerja yang berkaitan dengan
tugas dan fungsi para anggota legislatif di lembaga DPR.
Dalam upaya untuk membangun kelembagaan DPR, saat ini DPR
masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan di antaranya:
1. mekanisme dan tata cara pemilihan Pimpinan DPR;
2. kedudukan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) sebagai Alat
Kelengkapan DPR (AKD), keanggotaan MKD, dan tata cara
persidangan MKD sebagai pengadilan etik;
3. penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR;
4. masih belum jelasnya pengaturan mengenai objek hak angket DPR
dan pemanggilan paksa non-pro justitia;
5. syarat dan pembatasan terhadap proses pemberhentian antar waktu
Anggota DPR;
6. pelaksanaan hak-hak Anggota DPR, khususnya hak imunitas dan
hak pengawasan; dan
7. pengelolaan anggaran DPR secara khusus dan akses terhadap data
APBN.
Adapun mengenai kelembagaan DPD, pembentukan DPD
merupakan upaya konstitusional yang bertujuan agar dapat lebih
mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran
kepada daerah-daerah. Saluran dan peran tersebut dilakukan dengan
memberikan tempat bagi daerah untuk menempatkan wakilnya dalam
badan perwakilan tingkat nasional untuk memperjuangkan dan
menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Dengan
terbentuknya DPD, diharapkan kepentingan-kepentingan daerah dapat
terakomodasi.2
Namun, dalam upaya mencapai tujuan tersebut DPD masih
menghadapi kendala-kendala yang perlu disempurnakan dalam
2Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, (Jakarta: Total
Media, 2009), h. 157
8
perubahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD. Kendala
tersebut di antaranya:
1. masih belum optimalnya fungsi legislasi DPD sebagaimana amanat
Pasal 22D UUD NRI 1945 dan ketentuan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 79/PUU-
XII/2014;
2. keikutsertaan Anggota DPD yang menjadi anggota partai politik;
3. mekanisme pemilihan dan masa jabatan Pimpinan DPD;
4. rangkap jabatan pimpinan di lembaga perwakilan; dan
5. pengaturan terkait dengan hak Anggota DPD.
Untuk mewujudkan lembaga perwakilan daerah sebagaimana
diamanatkan dalam UUD NRI 1945 maka perlu menata Dewan
Perwakilan Daerah. Penataan dimaksud bisa menyangkut
kelembagaannya (misalnya alat kelengkapan) dan bisa juga menyangkut
mekanisme pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Dengan demikian,
DPD sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 akan dapat
menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara efisien, efektif,
transparan, optimal, dan aspiratif.
Sehubungan dengan hal tersebut, DPR RI berencana melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3),
dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun konsep
Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU). Kegiatan
penyusunan konsep NA dan draf RUU tersebut memerlukan data dan
masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait agar konsep NA
dan draf RUU yang disusun lebih komprehensif.
Oleh karena itu, tim asistensi penyusunan konsep NA dan RUU
tentang Perubahan UU MD3, sesuai tugas dari Badan Keahlian DPR RI
berencana melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) untuk menggali
poin-poin substansi dalam rangka penyusunan konsep NA dan RUU.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasikan
masalah pokok Focus Group Discussion (FGD), yaitu:
9
1. Bagaimana materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan MPR terkait kewenangan untuk menyusun Garis
Besar Haluan Negara (GBHN)?
2. Bagaimana materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan DPR terkait:
a. mekanisme dan tata cara pemilihan Pimpinan DPR;
b. kedudukan MKD sebagai AKD, keanggotaan MKD, dan tata cara
persidangan MKD sebagai pengadilan etik;
c. penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR;
d. pengaturan mengenai objek hak angket DPR dan pemanggilan
paksa non-pro justitia;
e. syarat dan pembatasan terhadap proses pemberhentian antar
waktu Anggota DPR;
f. pelaksanaan hak-hak Anggota DPR, khususnya hak imunitas dan
hak pengawasan; dan
g. pengelolaan anggaran DPR secara khusus dan akses terhadap
data APBN?
3. Bagaimana materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan DPR terkait:
a. batasan keikutsertaan DPD dalam proses pembahasan RUU
sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan
Nomor 79/PUU-XII/2014;
b. status Anggota DPD yang menjadi anggota partai politik;
c. mekanisme pemilihan dan masa jabatan Pimpinan DPD;
d. rangkap jabatan pimpinan di lembaga perwakilan; dan
e. pengaturan mengenai hak Anggota DPD?
4. Materi muatan atau substansi apa saja kiranya yang perlu diatur
dalam RUU MPR, DPR, dan DPD selain pokok permasalahan di atas?
C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan Focus Group Discussion (FGD) ini adalah untuk:
1. Mengetahui materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan kelembagaan MPR terkait kewenangan untuk
menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Mengetahui materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan kelembagaan DPR terkait:
10
a. mekanisme dan tata cara pemilihan Pimpinan DPR;
b. kedudukan MKD sebagai AKD, keanggotaan MKD, dan tata cara
persidangan MKD sebagai pengadilan etik;
c. penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR;
d. pengaturan mengenai objek hak angket DPR dan pemanggilan
paksa non-pro justitia;
e. syarat dan pembatasan terhadap proses pemberhentian antar
waktu Anggota DPR;
f. pelaksanaan hak-hak Anggota DPR, khususnya hak imunitas dan
hak pengawasan; dan
g. pengelolaan anggaran DPR secara khusus dan akses terhadap
data APBN.
3. Mengetahui materi muatan RUU yang perlu diatur mengenai
permasalahan kelembagaan DPD terkait:
a. batasan keikutsertaan DPD dalam proses pembahasan RUU
sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan
Nomor 79/PUU-XII/2014;
b. status Anggota DPD yang menjadi anggota partai politik;
c. mekanisme pemilihan dan masa jabatan Pimpinan DPD;
d. rangkap jabatan pimpinan di lembaga perwakilan; dan
e. pengaturan mengenai hak Anggota DPD.
4. Mengetahui materi muatan atau substansi lainnya yang perlu diatur
dalam RUU MPR, DPR, dan DPD.
Hasil kegiatan ini digunakan sebagai bahan acuan dalam
penyempurnaan penyusunan NA dan draf RUU tentang perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang nantinya
diharapkan dapat memberikan konstribusi dan rekomendasi bagi
Anggota DPR RI dalam penyusunan RUU tersebut.
11
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS
A. Kajian Teoritis Dalam perbendaharaan ilmu politik, khususnya sub kajian
Perbandingan Politik, dikenal tiga bentuk pemerintahan, yaitu parlementer,
presidensial, dan semi presidensial. Perbedaan ketiga bentuk pemerintahan
ini secara formal tampak pada empat aspek, yaitu kepala negara dan kepala
pemerintahan beserta mekanisme penentuan pemegang kedua jabatan ini,
hubungan legislatif dengan eksekutif, masa jabatan dan prosedur
pemberhentian, dan posisi menteri di kabinet.
Rujukan pemerintahan parlementer adalah Westminster Inggris,
sedangkan ikon pemerintahan presidensial adalah Amerika Serikat, dan ikon
pemerintahan semi presidensial adalah Prancis. Penerapan ketiga bentuk
pemerintahan tersebut di negara lainnya adalah tidak serupa seratus persen
dari masing-masing rujukan dimaksud. Khusus pada bentuk pemerintahan
presidensial, baik jabatan kepala negara maupun kepala pemerintahan
dipegang oleh seorang Presiden. Presiden dipilih oleh rakyat secara
langsung. Namun penting dicatat, walaupun presiden dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilu, tetapi formula pemilihan yang digunakan tidaklah
sama. Secara umum formula pemilihan presiden dapat dibedakan menjadi
tiga pola: pola Amerika Serikat yang mungkin dapat disebut semi popular
vote (setiap Negara Bagian mendapat sejumlah electoral colleges sesuai
dengan jumlah penduduk; calon presiden yang memenangkan mayoritas
suara di Negara Bagian tersebut akan mendapatkan seluruh electoral college
di Negara Bagian dimaksud. Pola popular vote digunakan di pemilu
kebanyakan negara Amerika Latin, dan pola popular vote dikombinasi
dukungan daerah sebagaimana yang diterapkan oleh Nigeria dan Indonesia.
Satu-satunya negara yang mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial,
tetapi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang tidak
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu adalah Afrika Selatan. Walaupun
negara ini mengadopsi bentuk pemerintahan presidensail, presiden tidak
dipilih melalui pemilu, tetapi dipilih oleh parlemen.3
3Ramlan Surbakti, dkk, Naskah Akademik Draft RUU Tentang Kitab Hukum Pemilu: Usulan Masyarakat Sipil, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2015, h. 76-77.
12
G. Bingham Powell Jr. menyatakan, karakteristik utama sistem
presidensil melalui proses pemilihan secara langsung yang dilakukan
untuk jangka waktu yang pasti. Melalui sistem pemilihan semacam itu,
karakteristik tersebut menunjukkan basis kekuasaan yang berbeda bagi
dirinya dan proses pemilihan yang dilakukan terhadap legislatif ternyata
mempunyai implikasi campuran. Di satu sisi, karakteristik tersebut akan
membantu eksekutif untuk mencegah tindakan “penggulingan” bagi dirinya
dari kekuasaan oleh sistem yang demokratis, ketika eksekutif tidak dapat
mengendalikan parlemen, melalui kekuasaan partai mayoritas. Tetapi, di
pihak lain, pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif
menciptakan kesulitan bagi sistem presidensil untuk melakukan koherensi,
program-program positif dalam rangka mengatasi masalah nasional.
Kombinasi jangka waktu yang pasti dari pemilihan secara langsung terhadap
pemisahan kelembagaan eksekutif dan legislatif menghasilkan kemampuan
bertahan yang besar dibandingkan dengan sekedar pengaturannya secara
konstitusional. Meskipun, eksekutif dapat menghadapi kesulitan untuk
bekerjasama, ketidakakomodasian, dan bahkan sikap resisten dari
parlemen.4
Jose Antonio Cheibub mengatakan, disatu pihak: “under presidential
system- a system in which the president and the legislature are
independently elected for fix terms in office- a minority portofolio government
may face hostile legislative democracies will emerge because it is in the
interest of presidents to make portofolio offers to non presidential parties and it
is in the interest of these parties to accept them.“5 Kasus semacam ini
menunjukkan, bahwa sistem presidensial bukan selalu menghadapi
persoalan kurangnya insentif bagi pembentukan koalisi. Meskipun, terdapat
catatan, dari Mainwaring dan Scully (1995:33), terkait koalisi yang terbentuk
untuk memenangkan pemilu presiden, akan menjadi rapuh pada saat
setelah pemilu usai dan pemerintahan yang terbentuk menjalankan berbagai
program kerjanya. Ini akan memiliki konsekuensi berbeda, dibandingkan
dengan sistem parlementer yang mendorong koalisi terbentuk setelah
4G.Bingham Powell, dikutip Charles O Jones, “The American Presidency: A Separationist Perspective”, dalam http://www.amazon.com., dikutip 5 Februari 2010.
5Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, Cambridge University Press, New York, 2007.
13
pemilu, dengan dukungan sikap disiplin dari partai-partai yang turut dalam
koalisi.6
Mengingat makna signifikan kurun waktu pemerintahan dalam sistem
presidensil dengan segala konsekuensi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, maka masalah proses pemberhentian Presiden/Wakil
Presiden dalam masa jabatannya sangat penting untuk dikaji lebih lanjut.
Denny Indrayana menyebutkan, terdapat dua konsep pemecatan Presiden
atau removal from the office. Pertama, adalah impeachment dan kedua
adalah, pembuktian secara hukum atau forum prevelegiantum. Konsep
impeachment lahir dizaman Mesir Kuno dengan istilah ieasangelia yang pada
abad ke 17 diadopsi pemerintahan Inggris dan dimasukkan ke dalam
Konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke 18. Impeachment tidak berarti
sekedar prosedur pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, tetapi
juga pemecatan bagi pejabat tinggi negara lainnya, termasuk hakim agung
karena melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.7
Tugas dan Kewenangan MPR: Isu Politik GBHN dan Sidang Tahunan Pemetaan pemilu presiden dan soal impeachment dalam sistem
presidensial penting dilakukan, agar muatan substansinya nanti dapat
dilihat jelas pada saat dikaitkan dengan tugas dan kewenangan MPR pasca
amandemen UUD 1945 di Indonesia.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3), disebutkan bahwa MPR berwenang:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
6 Mainwaring dan Scully (1995: 33), lihat kutipan Ibid., hal. 8.
7 Deni Indrayana, “Problematik Konstitusi Pemberhentian Presiden”, Kompas 27 Juli 2001.
14
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil
presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam Pasal 5 UU MD3, disebutkan bahwa, MPR bertugas:
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Meskipun MPR dilengkapi dengan sejumlah kewenangan oleh UUD
1945 hasil perubahan, tetapi kewenangannya dapat dinilai bersifat
insidentil. Kewenangan mengubah UUD, memilih Wakil Presiden dalam hal
terjadi kekosongan Wakil Presiden, memilih Presiden dan Wakil Presiden jika
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
sifatnya insidentil. Dengan demikian, MPR dinilai semacam joint session
DPR dan DPD tidak perlu permanen yang menempatkan pimpinan MPR
hanya bersifat ad hoc.8
Pasal-pasal terkait dengan MPR dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dapat dicatat sebagai berikut:
8Konsekuensinya, ada pendapat dari itu semua adalah tidak perlu sekretariat dan pimpinan yang terpisah dari DPR dan DPD. Lihat misalnya, Ni’matul Huda, “Mendesain Ulang Kelembagaan MPR dalam UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4, No. 3, September 2007, h. 90.
15
Pasal 1 khususnya Ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 A Ayat (3)
dan Ayat (4) terkait Pasal 3 Ayat (2), Pasal 6 A Ayat (3) dan (4) terkait Pasal 3
Ayat (2), Pasal 7B Ayat (1) dan Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7), Pasal 8 Ayat
(2), Ayat (3), Pasal 9, Pasal 37. Seluruh ketentuan yang berkaitan dengan
pihak lain selain anggota MPR supaya diatur dalam UU tentang MPR, agar
mengikat secara hukum. Tidak hanya diatur dalam Peraturan MPR,
misalnya mengenai hak dan kewajiban partai politik pengusung calon
Presiden Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pemenang pertama dan
kedua (meraih suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9
Terkait tugas dan kewenangan MPR tampaknya perlu
mempertimbangkan atas perkembangan yang terjadi dalam ketatanegaraan
saat ini. MPR masa jabatan yang lalu telah memberikan rekomendasi kepada
MPR yang sekarang untuk melakukan penataan sistem ketatanegaraan
melalui perubahan kelima amandemen dan isu yang kuat adalah
menghadirkan kembali GBHN. Perlu GBHN sebagai arah kebijakan politik
karena RPJP yang diputuskan oleh Presiden dan DPR sifatnya teknokratis.
Perlu ada GBHN yang keputusannya adalah keputusan politik.
Mengapa kita perlu GBHN, saat ini tidak dikenal istilah UU payung.
Artinya UU itu sama derajatnya. Ini yang menyebabkan UU yang satu
dengan UU yang lain saling overlap. Sehingga diperlukan Tap MPR yang
memayungi semua UU yang ada. Terlepas dari pro dan kontra dari pakar
hukum tata negara mengenai kemungkinan menghadirkan kembali GBHN,
karena idealnya diatur dalam UUD 1945. Namun ada pendapat yang
menyatakan bahwa apabila menemui kesulitan pengaturan dalam UUD
1945, maka muncul pemikiran bahwa kewenangan membuat GBHN tersebut
diatur dalam UU. Bisa di dalam UU tersendiri, ada UU yang memberikan
penugasan kepada MPR untuk membuat GBHN. Selain langkah tersebut,
bisa juga dengan perubahan UU MD3. Ada penambahan kewenangan dan
tugas MPR terkait dengan membuat GBHN. Jika kewenangan tersebut kita
pahami sebagai turunan dari UUD 1945, karena kewenangan lembaga
negara diberikan oleh UUD 1945. Pertanyaannya adalah mungkin tidak
menambah kewenangan sebuah lembaga negara yang pengaturannya oleh
UU? Hal substansi kewenangan MPR dalam membahas dan memutuskan 9Zain Badjeber, “UUD-MD3 Dengan Perubahannya Menurut UUD NRI Tahun 1945”, makalah disampaikan dalam acara Diskusi Tim penyusunan Naskah Akademik Perubahan UU No. 17 Tahun 2014 Badan Keahlian DPR RI, Jakarta, 21 November 2017.
16
GBHN adalah analogi MK saat mempunyai kewenangan menyelesaikan
sengketa Pilkada. Kewenangan MK itu diberikan oleh UU dan tidak ada
dalam UUD 1945. Masalahnya tinggal kepada pilihan politik Anggota saja.
MPR yang di masa sebelum reformasi, seperti halnya saat penerapan
sistem politik Orde Baru, MPR merupakan lembaga negara tertinggi. Posisi
demikian dibarengi dengan kewenangannya terkait GBHN yang diserahkan
dan dijalankan oleh Presiden sebagai Mandataris MPR. Tetapi saat itu, posisi
ketatanegaraan MPR demikian, ternyata justru menghasilkan check and
balances antar lembaga negara yang tidak jelas. Bahkan, Soeharto dengan
kekuasaan dan instrumen penggeraknya di perwakilan MPR dan DPR, justru
dominan mengendalikan dinamika politik MPR.10 Dari sisi kaidah hukum
tata negara apakah pas jika UU memberikan kewenangan kepada MPR
untuk membuat GBHN, yang mana produk hukumnya adalah Tap MPR yang
mana lebih tinggi dari UU? Karena sesuai dengan ketentuan UU 12 Tahun
2011, Tap MPR itu ada di atas UU.
Walaupun ada pakar hukum Tata Negara yaitu Prof. Maria Farida
mengatakan sebenarnya Penjelasan Pasal 7 UU 12 Tahun 2011, kalau saja
ada yang Judicial Review pasti gugur. Karena yang membatasi Penjelasan
Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 hanya Pasal 2 dan Pasal 4 Tap MPR No. 1 Tahun
2003. Supaya dapat didalami posisi Tap MPR No. 1 Tahun 2003 ini karena
banyak yang belum selesai.
Tap MPR Nomor 3 Tahun 2010 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Perundang-Undangan itu mengatur ada UUD 1945, Tap MPR, UU,
Perppu, PP, Perpres. Jadi Perppu ini di bawah UU dan tidak sejajar dengan
UU. Tap ini masuk dalam Pasal 4 Tap MPR No. 1 Tahun 2003 yaitu
kelompok Tap MPR dan Tap MPRS yang tetap berlaku sampai terbentuknya
UU, artinya kalau muncul UU yang menjabarkan Tap No. 3 Tahun 2010
maka Tap ini dianggap telah selesai. Karena amanat Tap ini harus
dijabarkan dalam UU, tidak boleh UU bertentangan dengan Tap yang
mengamanatkan tersebut. Kalau dianggap tidak tepat Perppu di bawah UU,
kan ada sejarahnya mengapa Perppu ditempatkan di bawah UU, ini
merupakan kebiasaan Gus Dur yang pada masanya banyak sekali
mengeluarkan Perppu, ini yang berbahaya.
10Lihat anomali posisi kelembagaan negara demikian,Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional Reform 1999-2002, Kompas Publishing, Jakarta, 2008, h. 128.
17
Gerakan politik untuk melakukan amandemen UUD 1945 semakin
mengemuka pasca pemilu 2014, meskipun sebelumnya sudah muncul
secara sporadis terkait penilaian empat kali amandemen konstitusi yang
sudah dihasilkan. Amandemen UUD 1945 sejak 1998-2001 dianggap masih
belum mampu menghasilkan sistem politik yang kompatibel antara sistem
presidensil yang ingin dibangun dengan proses politik di tingkat
suprastruktur dan infrastruktur. Perwujudan check and balances di antara
kelembagaan yang ada di struktur kenegaraan masih belum secara
maksimal menopang beroperasinya sistem politik yang demokratis ala
pemerintahan presidensil. Lebih jauh dari sekedar penilaian secara general
tatanan kenegaraan, keinginan mewujudkan amandemen UUD 1945 akhir-
akhir ini mengerucut pada dua point spesifik seperti halnya akomodasi
penguatan kewenangan DPD, dan dihidupkannya perencanaan
pembangunan ala GBHN.
Keinginan politik amandemen di atas berjalan dalam konteks yang
dinamis, tidak saja karena posisi kekuatan politik pengusul secara
kelembagaan, tetapi juga kasus yang menimpa elit di lembaga pengusul.
Kasus tertangkapnya Irman Gusman, Ketua DPD, oleh KPK terkait kebijakan
impor gula, menjadi contoh signifikan beberapa waktu lalu, menjadi
kekhawatiran potensi halangan atas unsur penguatan DPD yang dapat
dituangkan secara menyeluruh di dalam agenda amandemen UUD 1945.
Sementara pada posisi lembaga pengusul, kekuatan politik partai melalui
fraksi dengan sejumlah kursi yang ada di DPR, menunjukkan adanya kritik
cukup tajam atas pertarungan ideologis antara kubu konservatif di MPR
dengan kubu progresif masyarakat sipil. Kubu konservatif menilai adanya
ketidaaan orientasi politik yang jelas memandu pembangunan bangsa
Indoensia setelah tidak lagi adanya GBHN, meskipun di saat sekarang
terdapat UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dan UU No. 17 Tahu 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sedangkan kubu progresif
masyarakat sipil menilai amandemen UUD 1945 perlu dilakukan secara
komprehensif dalam rangka upaya pencapaian kepentingan nasional dan
tidak sekedar berlandaskan pada paham kekuasaan secara partikular
semata.
Pada konteks kubu konservatif, kewenangan DPD dianggap tidak
memadai sebagai lembaga negara untuk melakukan check and balances,
termasuk dalam hal pemberian pertimbangan atas RUU yang menyangkut
18
kepentingan daerah, dan proses pengangkatan anggota BPK. Keinginan
amandemen kewenangan DPD menjadi sesuatu yang ironis justru ketika
para anggota DPD banyak yang sudah terlanjur merasa dirinya sebagai
“Senator” sebagaimana pada posisi Senator yang memiliki pengaruh kuat di
negara bagian yang diwakilinya. Di samping perkuatan kewenangan DPD,
muatan untuk menghidupkan kembali GBHN juga menjadi sisi berikut dari
keinginan amandemen UUD 1945. PDI P melalui Rakernasnya 10 Januari
2016 misalnya, memunculkan gagasan untuk mendorong pemberlakuan
kembali program Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Megawati
mengatakan PDI P akan berusaha mengembalikan fungsi MPR untuk
mengatur GBHN dan ini merupakan salah satu roh atau spirit dari Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana dengan keseluruhan proses
yang terjadi di Dewan Perancang Nasional, dapat dihadirkan lagi. Megawati
meyakini, melalui penguatan pembangunan semesta berencana, maka sifat,
tugas, sektor, ruang lingkup dan pembangunan berwatak kesemestaan
dapat disusun secara lebih baik. Termasuk di sini adalah upaya penguatan
kelembagaan perencanaan pembangunan nasional itu sendiri. Sehingga,
melalui GBHN, bangsa Indonesia dinilai akan memiliki konsep dan strategi
pembangunan yang tidak hanya terbatas pada lima tahun usia politik.11
Konstruksi MPR dianggap mencerminkan nilai
permusyawaratan/perwakilan yang tidak hanya mencerminkan pilihan
demokrasi khas Indonesia dalam perspektif prosedural pengambilan
keputusan. Tetapi juga menggambarkan pilihan struktur ketatanegaraan
yang dianut sejak Indonesia merdeka. Dalam Risalah Sidang BPUPKI,
Supomo menjelaskan bahwa “permusyawaratan” dan “perwakilan” adalah
dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945. Pertama, musyawarah adalah
pembahasan bersama semua pihak agar tercapai kesepakatan. Kedua,
kedudukan wakil yang dipilih secara langsung atau yang diangkat, untuk
mengambil keputusan. Secara struktural, forum permusyawaratan berbeda
dengan forum perwakilan. Forum permusyawaratan direpresentasikan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan forum perwakilan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).12 Amandemen UUD 1945, di samping
menegaskan kedudukan MPR yang bukan lagi sebagai lembaga negara
11Rakernas PDIP: Megawati Akan Kembalikan Fungsi MPR Atur GBHN”, http://m.tempo. co, diakses 3 Oktober 2016.
12Farouk Muhammad, “Rekonstruksi Makna Permusyawaratan”, Kompa,s 23 Agustus 2016.
19
tertinggi, juga munculnya DPD, di samping “saudara tua” nya yaitu DPR,
dalam struktur lembaga perwakilan. DPR sebagai lembaga negara diisi oleh
kalangan wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang dipilih melalui
pemilu. Demikian halnya, DPD keanggotaannya sebagai wakil rakyat adalah
bersifat perseorangan dengan mewakili kelompok daerah masing-masing. Di
titik proses pemilihannya, DPD dan DPR, keanggotaannya sama-sama dipilih
melalui pemilu.
Adapun kalangan progresif di sebagian publik memandang bahwa
ketika berlangsung tahapan perubahan UUD 1945 (1999-2002) mencatat,
salah satu kesepakatan yang diambil adalah tetap mempertahankan sistem
pemerintahan presidensil. Tidak berhenti sampai disitu, pilihan politik
untuk mempertahankan sistem tersebut diikuti upaya melakukan
pemurnian (purifikasi). Di antara bentuk purifikasi yang dilakukan adalah
mengubah pemilihan secara paket presiden dan wakil presiden dari dipilih
lembaga perwakilan, yaitu melalui MPR, menjadi pemilihan langsung oleh
rakyat.13 Sehingga, kalau kemudian keinginan amandemen nanti di
arahkan pada penggunaan kembali model GBHN, maka ada hal yang perlu
dicermati lebih lanjut. Substansi yang perlu dicermati itu adalah bagaimana
menempatkan GBHN dalam proses pemilihan presiden secara langsung oleh
rakyat? Jika disusun sebelum proses pemilihan, maka hampri dipastikan
semua calon hanya perlu menyampaikan dalam kampanye bhawa jika
terpilih, mereka sekedar melaksanakan yang telah digariskan dalam GBHN.
Sebaliknya, apabila disusun setelah pemilihan presiden, point substansi
GBHN lebih banyak mengakomodasi janji-janji pasangan presiden/wapres
saat kampanye. 14
Alternatif bagi perlunya panduan pembangunan tanpa harus terjebak
pada kalander politik, di antaranya adalah memperbaiki kelemahan pada
sistem perencanaan pembangunan nasional. Sehingga, kalau langkah ini
dilakukan tidak perlu sampai melakukan amandemen UUD 1945. Atau
kalaupun amandemen UUD 1945 dilakukan, maka ini dengan memasukkan
prinsip-prinsip dan arah pembangunan nasional dalam konstitusi. Saldi
Isra mencatat, pilihan model ini diadopsi oleh Pasal 11 Konstitusi Filipina
(1987) yang secara eksplisit memuat “Declaration of Principles and State
13Saldi Isra, “Wacana Menghidupkan GBHN”, Kompas, 12 Januari 2016.
14Ibid.
20
Politics”.15 Arah amandemen UUD 1945 dilandaskan pada penegakkan
kedaulatan rakyat dengan mengarahkan reposisi kekuatan politik dan
kelembagaan negara dalam konteks yang tidak partikular kelompok semata,
serta benar-benar bertujuan bagi kemaslahatan bersama.
1. Lembaga Perwakilan
Secara teoritis, konteks lembaga perwakilan dimulai dari
perkembangan masyarakat yang semakin maju. Pengelompokan semakin
besar, dengan demikian diperlukan sebuah lembaga untuk melindungi dan
mengatur. Filsuf Ibnu Khaldun menyatakan bahwa adanya organisasi
kemasyarakatan (ijtima’I wa! Insani) adalah sebuah keharusan.16 Sementara
Aristoteles menyebut bahwa perkumpulan masyarakat yang nantinya
menjadi negara itu merupakan suatu persekutuan hidup secara politis, atau
disebut he koinona politika.17
Sejalan dengan pemikiran awal Aristoteles tersebut pada
perkembangan kondisi politik Eropa pada masa itu telah melahirkan
beberapa pemikir terkenal, beberapa di antaranya antara lain Thomas
Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.18 Meski sebenarnya terdapat
perbedaan prinsipil dari ketiganya. Utrecht menyatakan bahwa banyak hal
yang membedakan pemikiran awal Aristoteles tersebut dengan pemikiran
tokoh-tokoh lainnya.
Pada masa Aristoteles, konsep negara masih sangat sederhana (polis),
sedangkan perkembangan pemikiran pada masa Eropa pertengahan lebih
didasarkan pada perkembangan masyarakat pada masa itu yang sedang
menggeliat ke arah demokrasi. Locke misalnya menjamin negara kerajaan
konstitusional harus memberikan jaminan mengenai hak-hak dan
kebebasan pada manusia (life, liberty, healthy, and prosperity). Rousseau
menyatakan bahwa negara bersifat perwakilan rakyat, dan selayaknya
dalam sebuah negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat. Konsep
pengakuan hak rakyat ini melahirkan konsep non-derogable right. Agak
berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Hobbes menyakini bahwa negara
15Saldi Isra, “GBHN dan Perubahan Konstitusi”, Kompas, 23 Agustus 2016.
16 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hal. 71.
17 Drs. Teuku May Rudy, SH, MA, MIK, Pengantar Ilmu Politik, Eresco, Bandung, 1993, hal. 30.
18 Dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1999.
21
harus absolut (tidak terbatas). Perjanjian yang dilakukan berarti penyerahan
secara absolut hak rakyat kepada negara.19
Pemikiran tersebut di atas telah melahirkan pandangan dasar
mengenai demokratisasi negara. Konsep ini sejalan dengan perkembangan
sosial-budaya masyarakat yang pada akhirnya melahirkan teori demokrasi
representatif.20 Perkembangan yang terjadi saat ini tidak memungkinkan
rakyat berkumpul untuk menentukan keinginannya setiap saat. Konsep
direct democracy yang digunakan sebagai bentuk pemerintahan dimana hak
untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung
oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-prosedur
mayoritas, karena faktor populasi penduduk yang tidak memungkinkan
dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari
pemecahan masalahnya, yaitu dengan konsep demokrasi pewakilan rakyat
atau disebut juga demokrasi representatif yang hampir dilakukan di setiap
negara modern pada saat ini.
Perkembangan demokrasi representatif ini mengalami perkembangan
yang panjang mulai dari konsep Yunani Kuno hingga ke jaman Romawi
Kuno. Peradaban Romawi-lah yang mengemukakan konsep baru yaitu Senat
sebagai perwakilan yang berfungsi sebagai pengawas dan Caesar sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dan perwakilan rakyat di bidang
pemerintahan. Konsep dan imbas peradaban Romawi ini menjalar ke
seantero Eropa dengan munculnya negara-negara monarki yang menjadikan
1 (satu) orang sebagai raja yang menjadi pusat pemerintahan. Pola
penyerahan kewenangan mengatasnamakan rakyat dari rakyat ke lembaga
negara ini lebih merupakan konsep monarki absolut karena lembaga negara
mempunyai otoritas untuk memerintah rakyat.21
Menurut Robert Paul Wolf, peran lembaga negara yang
mengatasnamakan negara itu, diartikan sebagai “suatu kelompok orang
19 Solly Lubis, Ilmu Negara, Manda Maju, Bandung, 1989, hal. 35.
20 Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hal. 70.
21 Bandingkan pandangan kaum Marxis terhadap Negara. Kaum Marxis menganggap bahwa negara adalah alat penguasa. Lebih lanjut dalam dilihat dalam Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
22
yang mempunyai otoritas tertinggi dalam wilayah tertentu terhadap
penduduk tertentu.”22
Kekuasaan yang besar diberikan oleh negara menjadi masalah jika
ternyata tidak digunakan sebagai sarana mensejahterakan masyarakat dan
bagaimana kekuasaan tersebut dapat dikoreksi. Kekuasaan negara sudah
terlanjut besar, sedangkan kekuasaan rakyat sangat kecil. Karena itu, harus
ada kekuatan besar yang merupakan representasi rakyat dalam mengontrol
negara. Pada perkembangannya muncullah teori-teori kedaulatan yang
mencoba merumuskan siapa dan apakah yang berdaulat dalam suatu
negara.23
Menurut Laski, negara modern adalah negara yang mempunyai
kedaulatan. Hal ini dimaksudkan sebagai independensi dalam menghadapi
komunitas lainnya. Hal ini akan mempengaruhi substansi yang diperlukan
dalam kekuasaan internal dan kekuasaan eksternal. Lebih jauh, merupakan
kekuasaan yang tertinggi di wilayahnya…(“the modern state is a sovereign
state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may
infuse its will towards them with a substance which need not be affected by
the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the
territory that it control”).24 Dalam pandangan Laski, kedaulatan merupakan
keharusan yang dimiliki oleh negara yang ingin independen atau merdeka
dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga,
kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan
bernegara.
Hal senada diungkapkan oleh Jean Bodin yang dikenal sebagai bapak
teori kedaulatan yang merumuskan bahwa: Suatu keharusan tertinggi
dalam suatu negara, dimana kedaulatan dimiliki oleh negara dan
merupakan ciri utama yang membedakan organisasi negara dari organisais
yang lain di dalam negara. Karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi
yang tidak dibatasi oleh hukum daripada penguasa atas warga negaranya
dan orang-orang lain dalam wilayahnya.”25
Pada perkembangan berikutnya, prinsip-prinsip kedaulatan tersebut
dirumuskan secara berbeda-beda disesuaikan dengan konsep negara dan
pemerintahan yang berlaku. Setidaknya terdapat 5 (lima) bentuk kedaulatan
22 Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, PT Tiara Wacara Yogya, Yogyakarta, 1993, hal. 229.
23 Ibid. hal. 154. 24 Harold J. Laski, A Grammer of Politics, George Allen & Unwin Ltd, London, 1938,
hal. 44. 25 Padmo Wahjono, Imu Negara, In Hill Co, Jakarta, 1996, hal. 153.
23
yang dapat dijumpai, yaitu Kedaulatan Tuhan; Kedaulatan Raja; Kedaulatan
Rakyat; Kedaulatan Negara; dan Kedaulatan Hukum.
Kedaulatan Tuhan. Menurut teori ini, kekuasaan yang tertinggi ada
pada Tuhan, sehingga titik berat paham kedaulatan didasarkan pada agama.
Teori-teori teokrasi dijumpai bukan hanya di dunia Barat namun juga di
Timur. Dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan. Negara
merupakan ciptaan Tuhan dan raja adalah wakil dunia. Apabila pemerintah
negara itu berbentuk kerajaan (monarki) maka dinasti yang memerintah
dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari Tuhan. Sebagai contoh,
Tenno Heika di Jepang dianggap sebagai turunan dari Dewa Matahari.
Kedaulatan Raja. Teori kedaulatan menyatakan bahwa kekuasaan
yang tertinggi pada pada raja dan kekuasaan mutlak pada raja/penguasa.26
Negara adalah raja. L’etat cest moi, yang diungkap oleh Louis XVI yang
menjadi sumbu pemicu dari Pergerakan Revolusi Perancis.
Kedaulatan Rakyat. Teori ini lahir dari reaksi pada kedaulatan raja.
Bapak ajaran ini adalah JJ. Rousseau yang pada akhirnya menjadi inspirasi
Revolusi Perancis.27 Teori ini menjadi inspirasi banyak negara termasuk
Amerika Serikat dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan
simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan rakyat. Menurut teori ini,
rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya
kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa kekuasaan
yang diberikan pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan. Tetapi
karena pada saat dilahirkan teori ini banyak negara yang masih menganut
sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja atau pemerintah.
Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan
kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu.
Kedaulatan rakyat ini didasarkan pada kehendak umum yang disebut
Rousseau sebagai “vol onte generale”.28 Apabila Raja memerintah hanya
sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh di tangan rakyat dan tidak
dapat dibagikan kepada pemerintah itu.
Kedaulatan Negara. Teori ini juga sebagai reaksi dari kedaulatan
rakyat, tetapi melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana
kedaulatan rakyat. Menurut paham ini, negaralah sumber dalam negara. 26 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hal. 59.
27 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 121.
28 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan, Jakarta, 1999, hal. 162.
24
Dari situ negara (dalam arti governement atau pemerintah) dianggap
mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty, dan prosperity dari
warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat
dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat kepada
hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu adalah kehendak
negara. Hal ini terutama diajarkan oleh mazhab Deutsche Publizis ten Schule,
yang memberikan konstruksi pada kekuasaan Raja Jerman yang mutlak,
pada suasana teori kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena
mendapat dukungan yang besar dari 3 (tiga) golongan, yaitu Armee
(angkatan perang); Junkertum (golongan industrialis); dan Birokrasi (staf
pegawai negara). Dengan demikian rakyat tidak mempunyai kewenangan
apa-apa dan tidak memiliki kedaulatan. Tetapi wewenang tertinggi tersebut
berada pada negara. Sebenarnya negara hanyalah alat, bukan yang memiliki
kedaulatan. Jadi, ajaran kedaulatan negara ini adalah penjelmaan baru dari
kedaulatan raja. Karena pelaksanaan kedaulatan adalah negara, dan negara
adalah abstrak, maka kedaulatan ada pada raja.29
Teori Kedaulatan Hukum. Teori ini timbul sebagai penyangkalan
terhadap teori kedaulatan negara yang dikemukakan oleh Krabbe. Teori ini
menunjukkan kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja (teori
kedaulatan raja) juga tidak pada negara (teori kedaulatan negara), tetapi
berada pada hukum yang bersumber pada kesadaran hukum pada setiap
orang.30 Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit
dari kesadaran hukum manusia. Hukum merupakan sumber kedaulatan.
Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang
tidak adil.31 Teori ini dipakai di Indonesia dengan mengubah UUD-nya, dari
konsep kedaulatan rakyat yang diwakilkan menjadi kedaulatan hukum.
Kedaulatan hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI Tahun
1945 “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-
Undang Dasar”.
Pada tingkat implementasi, muncullah berbagai teori tentang
bagaimana seharusnya dalam menjalankan kedaulatan. Paham ini akhirnya
pada jaman modern ini banyak dianut oleh banyak negara. Paham yang
sering dianggap lebih demokratis didasarkan pada pemerintahan yang 29 Padmo Wahjono, op.cit., hal. 156.
30Ibid.
31 M. Solly Lubis, op.cit., hal. 41.
25
berdasarkan rakyat. Paham demokrasi ini kemudian berkembang menjadi 2
(dua) teori, yaitu Teori Demokrasi Langsung dan Teori Demokrasi Tidak
Langsung.32
Teori Demokrasi Langsung (Direct Democracy) yaitu kedaulatan
rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang
melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya. Sedangkan Teori Demokrasi Tidak Langsung (Representatives Democracy) memandang
bahwa representasi diperlukan bagi eksistensi otoritas politik di samping
beberapa hal pokok lainnya. Bagi para ahli politik tentang kekuasaan,
paham ini sangat tergantung pada beberapa tuntutan lain dan biasanya
berhubungan dengan konstitusionalisme; pembatasan kekuasaan
pemerintah dan kebebasan politik warga negara.33
Teori Rosseau mengenai Demokrasi Perwakilan menyatakan bahwa
rakyatlah yang berdaulat dan kemudian mewakilkan kedaulatannya kepada
suatu lembaga yaitu pemerintah (siapa yang memerintah untuk
menjalankan kedaulatan tersebut). Konsep demokrasi rakyat seperti ini
menjadi suatu hal yang diminati pada saat Renaissance34 dan menjadi
konsep yang sering dipakai pada saat ini.
Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun menjadi
beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman dan
dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-undang.35 Akan tetapi hal ini
membawa kekhawatiran tentang kekuasaan yang diberikan kepada satu
lembaga. Seperti yang dikemukakan Montesquieu:
When the legislative and executive powers are united in the same persons or body, there can be no liberty, because apprehensions may arise lest the same monarch or senate should enact tyrannnical laws, to enforce them in tyrannical manner. Were the power of judging joined with the legislature, the life and liberty of the subject would then be exposed to arbitrary control, for the judge would then be the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with all the violence of an opressor.36
32 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 70. 33 April Carter, Otoritas dan Demokrasi, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 65. 34 Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada
kesusastraaan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawan dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru.
35 A.V. Dicey, Introduction To The Study of Law of The Constitution, Mc. Millan Education Ltd., London, 1959, hal. lxi.
36 Harold J Laski, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin LTd, London, 1938. h. 297. secara bebas dapat diterjemahkan: “Ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif bersatu dalam satu orang atau lembaga, berarti kemungkinan akan tidak ada kebebasan,
26
Pada perkembangannya, konsep lembaga perwakilan menjadi beragam
sesuai dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di masyarakat.
Namun demikian, tugas dan wewenang dari lembaga perwakilan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi: 1. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang
mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat
sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang;37 2.
Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan
rakyat. Dan diinterprestasikan dalam undangundang dan juga sebagai
pembuat Undang-Undang Dasar (supreme legislative body of some nations).38
2. Sistem Perwakilan di Indonesia
Desain lembaga perwakilan Indonesia saat ini diberikan nama yang
berbeda-beda oleh beberapa pihak. Dalam pandangan Jimly Assidiqie,
desain lembaga perwakilan di Indonesia disebut sebagai soft bicameralism.39
Sekalipun gagasan soft bicameralism tersebut juga tidak begitu kentara,
yang dibuktikan dengan beberapa ciri seperti DPD tidak diberi kewenangan
legislatif karena DPD tidak mempunyai hak untuk ikut dalam pengambilan
keputusan; keanggotaan MPR merupakan keanggotaan perorangan bukan
kelembagaan; MPR mempunyai kewenangan-kewenangan sendiri dan
pimpinan sendiri sehingga merupakan institusi tersendiri dan memiliki
pimpinan tersendiri, yang mengakibatkan struktur Parlemen Indonesia
dapat dikatakan tricameralism (tiga kamar).
karena kesanggupan akan muncul dengan membuat perundang-undangan yang tiran dan dilakukan oleh pemerintahan monarki atau senat, dan lembaga tersebut akan berbuat tirani .............................. Dan ketika kekuasaan mengadili bersatu dengan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan dari pengadilan tersebut akan kemudian terkena kontrol yang sepihak dimana hakim tersebut menjadi legislatif. Dan ketika kekuasaan mengadili digabung dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan bertindak dengan segala kekerasan sebagai penindas”.
37 Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, Princeton University Press, New Jersey, 1976, h.16
38 Bryan A Garner (ed in chief), Black’s Law Dictionary , sevent edition,West Group, St Paul, Minn, 1999
39 Jimly Assidiqie, “Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan” dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI dan Pusat Studi HTN FH UI, 2004, hal. 150.
27
Komisi Konstitusi memberikan istilah pola parlemen yang asimetrik.40
Disebut asimetrik karena sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang
masing-masing lembaga, mekanisme pengambilan keputusan dan hubungan
interkameral pada umumnya. Akibatnya, pelembagaan perwakilan daerah
(spatial representation) dilandasi adanya pembentukan DPD yang tidak
setara (asimetrik).
Bagir Manan41 mengemukakan istilah dua kamar (bikameral) untuk
menggambarkan sistem perwakilan Indonesia. Hal ini didasarkan pada
gagasan pembentukan DPD melalui Amandemen UUD 1945. DPR dan DPD
digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti yang berlaku di
Amerika Serikat42 yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan negara bagian
(DPD) dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat
(DPR). Selain itu, kehadiran DPD dianggap sebagai sebuah lembaga yang
ikut serta dalam jalannya politik dan pengelolaan negara.
Ide dasar penempatan kedua lembaga tersebut sebagai lembaga
perwakilan juga didasarkan pada konteks pemisahan kekuasaan (separation
of power). Pemisahan kekuasaan pada dasarnya merupakan doktrin
pemerintahan yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan
memfasilitasi pemerintahan yang baik (good governance).43 Karena itu,
pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau
doktrin pembatasan pemerintahan dengan membagi kekuasaan menjadi
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tugas kekuasaan
legislatif adalah membuat undang-undang (hukum), kekuasaan eksekutif
adalah menjalankan hukum tersebut, dan kekuasaan yudikatif bertugas
menafsirkan hukum tersebut. Masing-masing cabang kekuasaan tersebut
harus saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain (check and
balances).
40 Komisi Konstitusi, Kajian Terhadap Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebuah makalah.
41 Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, 2003, hal. 53.
42 Pasal 1 ayat (1) Konstitusi Amerika Serikat (1778) menyatakan “All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.
43 Agus Wahyudi, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek”, dalam Jentera Edisi 8 Tahun III, Maret 2005.
28
Prinsip pengejawantahan kedaulatan rakyat dan pemisahan
kekuasaan juga terlihat dalam kaitannya dengan lembaga MPR. Jika
sebelumnya MPR ditempatkan sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan
sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan tidak terbatas sehingga
kekuasaan rakyat akhirnya dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam
lembaga-lembaga tinggi negara di bawahnya (vertical hierarkie). Pada saat ini
MPR ditempatkan sederajat dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kekuasaan tertinggi berada di dalam UUD yang diserahkan kepada lembaga-
lembaga negara menurut fungsi-fungsinya (horizontal functional).
Dalam kaitan tersebut, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) belum menempatkan kekuasaan lembaga-lembaga negara
sebagaimana mestinya. Jalinan konstitusional antarcabang kekuasaan tidak
secara tegas dilaksanakan.44 Sebagai contoh, untuk melaksanakan sistem
presidensiil murni sebagaimana dimuat dalam UUD 1945, tidak diimbangi
dengan mekanisme check and balances dari lembaga legislatif. Sistem
presidensiil murni yang kita anut ditandai dengan adanya pemilihan
presiden secara langsung; kekuasaan presiden fixed term; dan presiden
berkedudukan sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala
pemerintahan (chief executive). Sementara itu, penguatan dari sisi legislatif
hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan legislasi (dengan
memberikan kekuasaan membentuk UU kepada DPR), tetapi tidak
menjangkau upaya mengakomodasi kepentingan daerah yang lebih luas
dalam tataran pengambilan kebijakan nasional.
Konsep lembaga perwakilan (representative institution) merupakan
lembaga yang mewakili rakyat dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Hal
ini didasari karena adanya tujuan dari negara untuk menjalankan
ketertiban dan keamanan serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran
bagi warga negaranya. Hadirnya DPD seharusnya mampu memperkuat
lembaga perwakilan di Indonesia.
Kekuasaan kehakiman telah ditempatkan secara independen dan
merdeka, seluruh cabang-cabang kehakiman ditempatkan di bawah
Mahkamah Agung dan juga dihadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai
pemegang kekuasaan judicial review. Sejalan dengan perubahan dalam UUD
1945, struktur lembaga parlemen di Indonesia juga mengalami perubahan.
44 PSHK, Naskah Akademik RUU MD3, Jakarta, 2012, hal. 14.
29
Desain sistem perwakilan di Indonesia merupakan kebutuhan untuk
mengakomodasi perkembangan demokrasi di tanah air.
3. Perbandingan Negara Lain Mengenai Badan Legislatif Bikameral Secara teoritik dapat dikatakan bahwa dalam sebuah negara yang
demoratis setiap warga negara dan unit-unit politik harus diwakili dan
terwakili. Badan-badan perwakilan tersebut lazim disebut parlemen. Salah
satu isu yang paling fundamental adalah penentuan berapa jumlah “kamar”
dalam parlemen tersebut dan bagaimana proses pengambilan putusan serta
proses legislasi yang diemban oleh parlemen tersebut.45 “Kamar-kamar”
dalam Parlemen tersebut dapat berjumlah “satu”, “dua”, “tiga”, atau
“empat”.
Desain parlemen, pada dewasa ini cenderung ke arah Badan Legislatif
yang terdiri atas dua majelis, yang biasanya susunannya menjadi majelis
rendah (dengan berbagai nama seperti House of Representatives, House of
Commons, Chamber of Deputies, Federal Assembly, dan sebagainya) dan
Mejelis Tinggi (dengan berbagai nama seperti Senate, House of Lord dan
sebagainya).46
Dari pengamatan menyeluruh, terdapat sejumlah konteks
perkembangan dan kebutuhan politik yang melatari gejala tumbuh
suburnya sistem bikameral tersebut. Secara umum, hal itu terkait dengan
tuntutan perwakilan wilayah (daerah otonom atau negara bagian) di
panggung kekuasaan nasional (model Amerika Serikat) dari pada karena
motif untuk melestarikan privelese politik dari suatu kelas sosial tertentu
(model Inggris) yang semakin terasa kurang relevan dalam konteks
perubahan sosio-politik kontemporer. Dalam arus semacam itu, Forum
Senat Dunia (“Forum of the World ’s Senate”), di dalam pertemuan
internasionalnya di Paris, 14 Maret 2000, mencatat sejumlah alasan seperti
yang diringkas berikut ini.47 Pertama, menguatnya arus devolusi dan
desentralisasi kekuasaan di banyak negara, yang diikuti tuntutan
45 Lihat pada Pendahuluan yang ditulis oleh Samuel C. Patterson dalam ”Senate, Bicameralism in The Comtempory World”, Ohio State University, USA, hal. 1.
46 Mengenai macam-macam bicameralism, lihat “Parliament and Congresses, Concentration Versus Division of Legislative Power” dalam Arend Lijphart, 1999, “Patterns of Democracy”, Chapter 11, Yale University Press.
47 Institute For Local Government, Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal, ILG, Jakarta, 2006, hal 11.
30
akan akomodasi kepentingan mereka lewat perwakilan independen di level
kekuasaan nasional (pusat); kedua, proses demokratisasi dan konsolidasi
yang menuntut keterlibatan semua komponen kekuatan dalam suatu
negara melahirkan kebutuhan akan sistem parlemen bikameral sebagai
formula akomodasi dan faktor kohesif untuk menjamin suatu stabilitas transisi
yang sedang berlangsung; ketiga, kecenderungan terbentuknya sistem
majority-rule dalam first/lower chamber menuntut kehadiran sistem
bikameral sebagai mekanisme separasi kekuasaan, penyeimbang dan
pemecah oligarki politik yang potensial terbentuk; dan keempat, berbeda dari
anggapan umum, sistem bikameral dihadirkan sebagai penjamin efisiensi
dalam proses legislasi lewat fungsinya dalam menguji setiap proposal
kebijakan dan mereview aturan yang dibuat oleh first/lower chamber.
Perbedaan dalam hal faktor dominan (di antara berbagai faktor di
atas), atau perbedaan dalam perjalanan sejarah dan latar belakang sosial
politik yang lain tentu membuat opsi rancangbangun parlemen bikameral
(khususnya menyangkut second/upper chamber) setiap negara sedikit banyak
juga berbeda. Untuk melihat variasi yang ada, dua contoh utama berikut
bisa dilihat. Pertama dari segi struktur kelembagaan, dengan
melihat metoda nominasi/ sistem pemilihan anggota second/upper chamber,
besaran jumlah dan masa kekuasaan, dan jenis keterwakilan. Kedua, dari
segi isi kewenangannya sendiri, yakni dengan melihat kesetaraan maupun
kesenjangan kuasa legislatif antara kedua kamar parlemen dan
kekuasaan ekstra-lkegislatif yang dimiliki oleh second/upper chamber.48
Secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, Metode nominasi/sistem pemilihan para anggota
second/upper chamber. Terdapat 3 variasi metode pemilihan, yakni (A)
semua anggota dipilih (elected), baik secara langsung oleh raky at/direct
suffrage (21 negara seperti Australia, Bolivia, Brazil dan Amerika Serikat), secara tidak
langsung/indirect suffrage oleh otoritas lokal tertentu (16 negara seperti
Afrika Selatan, Austria dan Ethiopia oleh legislatif provinsi, Federasi Rusia
oleh badan legislatif dan eksekutif Negara Bagian dan Gabon oleh
perwakilan otoritas lokal/komune) atau gabungan antara pemilihan oleh
otoritas lokal dan pemilihan oleh rakyat (Spanyol dan Belgia). (B) metode
gabungan, di mana sebagian dipilih (elected) baik secara langsung oleh 48 Ibid, hal 11-20, atau temukan juga dalam “Parliament and Congresses, Concentration Versus Division of Legislative Power” dalam Arend Lijphart, “Patterns of Democracy”, Chapter 11, Yale University Press, 1999.
31
rakyat (seperti Chili dan Italia) maupun tidak langsung melalui institusi
politik tertentu (seperti Algeria, Irlandia dan Kazakhstan) dan sebagian
lainnya diangkat (appointed). Pada umumnya jumlah bagian yang dipilih
lebih banyak dibanding yang diangkat seperti 114 anggota dipilih dan 96
anggota diangkat di Algeria , 324 berbanding 315 di Italia, 60 berbanding 49
di Irlandia, dll. (C) semua anggota diangkat (appointed), terdapat di 14
negara, umumnya terjadi pada negara-negara transisi demokrasi seperti
Yordania dan Kamboja.
Kedua, Jumlah anggota dan masa jabatan. (A) Secara umum,
jumlah anggota second/upper chamber terbatas dan terbilang kecil jika
dibanding dengan jumlah anggota first/lower c h a m b e r . D i l u a r
I n g g r i s y a n g j u m l a h a n g g o t a firs t/lowerchamber. Di luar Inggris
yang jumlah anggota House of Lords-nya amat besar sebagai kasus khusus,
Italia, India, Spanyol, Jepang, Thailand, Mesir dan Morocco adalah
sedikit contoh negara yang memiliki anggota second/upper chamber besar,
antara 240 sampai 329 orang. Sementara mayoritas negara lainnya rata-rata
memiliki anggota sekitar 100 atau bahkan lebih kecil lagi. Di 27 negara
yang pada umumnya berpenduduk sedikit atau wilayah kecil, jumlah
anggota senatnya 19 orang atau kurang; sejumlah sedikit negara
memiliki anggota antara 20-50 orang, seperti Filipina (24), Bolivia (27),
Uruguay (30), Paraguay (45), dan Chili (47); 22 negara memiliki jumlah
anggota antara 50-109 seperti Jerman, Belanda, Belgia, Malaysia, Kamboja,
Nepal, dst. (B) Sementara dalam hal masa jabatan, secara umum adalah
sekitar 4 sampai 6 tahun (terdapat 13 negara bagian dengan masa jabatan 4
tahun, 22 negara dengan masa jabatan 5 tahun, dan 17 negara dengan masa
jabatan 6 tahun), namun 3 negara kurang dari 3 tahun (Bosnia 2 tahun,
Burkina Faso dan Malaysia 3 Tahun) dan 3 negara lainnya sekitar 9 tahun
(Perancis, Moroko dan Liberia);
Ketiga, Jenis Keterwakilan. Pada dasarnya, peran yang menjadi
misi keberadaan second/upper chamber adalah perwakilan atas kelompok
kekuatan sosial/unit teritorial yang berbeda dalam masyarakat/negara dan
pencarian keseimbangan politik dalam sistem legislatif secara keseluruhan.
Dalam kerangka itu, sekurang-kurangnya terdapat 3 jenis keterwakilan,
yakni (A) sebagai perwakilan organisasi/ level teritorial pemerintahan, yang
terlihat pada National Council of Provinces di Afrika Selatan, Federation
Council di Rusia, federal Council di Ethiopia yang para anggotanya dipilih
Provincial Council, atau senat di Brazil yang mewakili negara-negara
32
bagian. (B) sebagai perwakilan organisasi profesi atau kelompok sosial,
seperti para anggota Chamber of Councillors di Moroko yang
sebagiannya dipilih (sebagiannya lagi oleh otoritas lokal) dan dipekerjakan
oleh badan-badan profesional, senat di Irlandia yang para anggotanya
dinominasi oleh dewandewan lokal dan dipilih oleh berbagai universitas
berdasarkan keanggotaan mereka di suatu lembaga profesional, dan anggota
Chamber of Representatives di Burkina Faso yang dipilih oleh serikat
pekerja, federasi perempuan, asosiasi desa dan berbagai kelompok sosial
lainnya. (C) sebagai perwakilan elite tradisional, yang umumnya terdapat di
negara-negara Afrika, di mana para pemimpin suku atau tokoh adat yang
merasa terpinggirkan sejak masa kemerdekaan menuntut hak perwakilan
dalam parlemen. Senat di Mauritania, Council of Chiefs di Botswana
dan negara-negara lain seperti Libanon mengakomodasi tuntutan tersebut,
dengan bahkan menciptakan kamar perwakilan tersendiri bagi mereka.
Semuanya ini menyerupai model House of Lords di Inggris.
Keempat Bobot kekuasaan legislatif kedua kamar. Kalau dibuat
neraca timbang, bobot kekuasaan legislatif (ihwal inisiatif legislatif dan
kewenangan mengamandemen) antara kedua kamar (first/lower chamber dan
second/upper chamber) di kebanyakan negara adalah setara, namun
senjang di sebagian kecil lainnya. (A) bobot kekuasaan setara dalam hal,
pertama, inisiatif legislatif, di mana terdapat 33 negara (seperti Amerika
Serikat, Australia, Brazil, dll) yang memiliki bobot kekuasaan setara secara
penuh; dan kedua, kekuasaan mengamandemen, hampir semua negara
memberikan masing-masing kamar parlemen bobot otoritas penuh
dalam merubah usulan legislasi dari kamar yang lainnya, kecuali di sedikit
negara (Kamboja, Krygstan dan Belanda) sama sekali tidak memberikan
otoritas tersebut bagi second/upper chamber-nya. (B) bobot kekuasaan
senjang, dengan dua jenis: pertama, kekuasaan terbatas dan lebih kecil
bagi second/upper chamber, terdapat negaranegara Anglo-Saxon seperti
Antiqua, Bahamas, Barbados dan negara Karibian lainnya dengan adanya
restriksi kewenangan menyangkut legislasi fiskal. Bahkan pada level
ekstrim, second/upper chamber hanya berperan sebagai lembaga
konsultatif dengan tidak terlibat dalam pembahasan dan pengambilan
keputusan namun hanya memberi pandangan/nasihat atas isi kalau dirasa
perlu (kasus Burkina Faso, Mesir, Slovenia dan Botswana). Kedua,
kekuasaan lebih besar lagi second/upper chamber menyangkut
sejumlah bidang legislasi tertentu, seperti hak persetujuan mutlak dari
33
Bundesrat Jerman bagi setiap rencana legislasi yang mengatur persoalan
Lander, hak veto National Council Afrika Selatan atas semua aturan yang
mempengaruhi kehidupan propinsi, atau kekuasaan memutuskan pada
tingkat akhir bagi senat Belgia atas legislasi terkait ratifikasi perjanjian
internasional, kerja sama antara negara federal dengan negara bagian dan
organisasi yudisial. Varian lebih lunak dari ini adalah, kewenangan
second/upper chamber sebagai the last resort/last world namun dengan
persetujuan mayoritas para anggotanya (kasus Rusia dan Jepang) atau
bisa dianulir oleh first/lower chamber dengan dukungan persetujuan
mayoritas anggotanya (kasus Algeria dan Paraguay).
Kelima, Kekuasaan ekstra-legislatif bagi second/upper chamber. Di
sejumlah negara, second/upper chamber diberikan kekuasaan khusus (ekstra-
legislatif) menyangkut satu atau lebih dari rrusan berikut. (A) sebagai
penjamin konstitusi berdasarkan ide konstitusionalisme yang
berintikan hakhak dan kepentingan rakyat menjadi rujukan. Untuk
memastikan hal itu, second/upper chamber diberi kewenangan
untuk mengangkat hakim-hakim mahkamah konstitusi untuk menjalankan
fungsi penjagaan konstitusi. Variasi peran ekstra-legislatif semacam ini
menjadi trend di banyak negara, seperti di kawasan Eropa Barat (Perancis,
Jerman, Spanyol, Italia dan Belgia), Amerika Selatan (Kolombia, Chili dan
Paraguay), Afrika (Mauritania, Gabon dan Morocco) dan Asia (Kamboja dan
Kazakhstan). (B) fungsi pengangkatan pejabat negara tertentu, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pertimbangan/ persetujuan
second/upper chamber. Model pertama biasanya terkait dengan
pengangkatan para pejabat senior birokrasi, diplomat atau hakim agung
(kasus Bolivia, Kolombia, Spanyol, Rusia, dll); sementara model kedua yang
lazim terjadi di banyak negara adalah pemenuhan persyaratan atau
pertimbangan/ persetujuan second/upper chamber seperti yang berlaku
di Amerika Serikat dalam pengangkatan para menteri kabinet, duta besar
dan pejabat senior birokrasi, atau serupa dengan itu di Argentina, Bolivia,
Brazil dan sebagainya. (C) kekuasaan yudisial, baik bersama dengan first/lower
chamber maupun sendirian dalam memeriksa kasus-kasus pelanggaran para
pejabat negara, dengan jalan meminta pertanggungjawaban maupun
prosedur impeachment (kasus Rusia, Brazil, Argentina, Bolivia, Kolombia atau
Amerika Serikat sebagai contoh populer).
Selain hal-hal diatas, wadah kedua kamar tersebut sebagai cerminan
dari badan perwakilan tersebut juga berbeda. Seperti Conggress sebagai
34
nama badan perwakilan untuk Amerika Serikat yang terdiri atas Senate dan
House of Representatives. Di Belanda dikenal lembaga perwakilan Staten
Generaal yang terdiri atas de Eerste Kamer (perwakilan daerah) dan de
Tweede Kamer (perwakilan seluruh rakyat). Di Inggris dikenal badan
perwakilan Parliament yang terdiri atas House of Lord (perwakilan golongan,
biasanya dari golongan ningrat) dan House of Commons (perwakilan
seluruh rakyat).49
Dari uraian diatas, penggunaan nama yang digagas dalam sistem
bikameral akan memiliki spesifikasi tersendiri. Untuk badan perwakilan
di Indonesia adalah tetap digunakan nama Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), namun demikian tidak seperti Conggress di Amerika, MPR
memiliki ruang dan wilayah kerja tersendiri hanya asal keanggotaannya
berasal dari anggota DPR dan anggota DPD.50
Idealnya, sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai
sisem dua kamar maka MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan
sendiri. Wewenang MPR seharusnya melekat pada wewenang DPR dan DPD.
Sehingga seperti praktek ketatangaraan di negara lain, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat dan negara lainnya, wewenang yang ditentukan oleh UUD
adalah wewenang Conggress, Parliament, Staten Generaal yang
pelaksanaannya dilakukan oleh kamar-kamar perwakilannya.51
Berbeda dengan konteks Indonesia, dimana kedudukan MPR
sebenarnya? Prof. Jimly Assidiqie, dengan menyitir pendapat dari Rod
Hague dan Martin Harrop menyatakan bahwa kesulitan utama adalah
sisten keparlemenan di Indonesia adalah menentukan perbedaan di
antara kedua kamar parlemen dalam UUD.52 Sebagai contoh, ketentuan Pasal
1 ayat (8) Konstitusi Amerika Serikat mengatur wewenang Conggress
seperti menetapkan undang-undang mengenai pajak, cukai,
peminjaman uang atas nama Amerika Serikat, perdagangan antarnegara
49 Lebih kurang ada 68 negara yang menggunakan sistem bikemeral pada
parelemennya termasuk Indonesia, Formappi. Op.cit, hal. 10. 50 Lihat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat
(8) Konstitusi Amerika yang mengatur wewenang Conggress dalam menetapkan undang-undang mengenai pajak, cukai, peminjaman uang atas nama Amerika Serikat, perdagangan antar negara bagian dan luar negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-lain yang semuanya wewenang tersebut dilaksanakan oleh Senate dan House of Representatives.
51 Bagir Manan, op.cit., hal. 54-55. 52 Prof. Dr. Jimly Assidiqie, S.H., Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 21. Rod Hague dan Martin Harrop menyatakan sebagai berikut: ”The main justification for having two (or occasional more) chambers within an assembly are first, to present distict interest within soceity and secondly to provide checks and balances within the legislative branch”.
35
bagian dan luar negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-
lain. Semua wewenang tersebut dilaksanakan atau pengelolaannya
dilakukan oleh Senate dan House of Representatives.53
Dalam hal-hal tertentu, konstitusi memberikan wewenang khusus
kepada masing-masing kamar. Misalnya semua rancangan undang-undang
mengenai pendapatan negara harus diusulkan (berasal dari) House of
Representat ives. Sedangkan Senate mempunyai wewenang khusus
memberi pertimbangan dan persetujuan (advise and consent) mengenai
perjanjian luar negeri, pengangkatan duta, konsul, menteri, hakim federal,
dan pejabat-pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang.54
53 Rumusan asli Pasal 1 ayat (8) Konstitusi Amerika, menyebutkan:
1. The Conggress shall have power; To lay and collect taxes, duties, imports, and excises, to pay the depts and provide for the common defense smd general welfare of the United States; but all duties, imports, and excises shall be uniform throughout the United States;
2. To borow money on the credit of the United States; 3. To regulate commerce with foreign nations, and among the several States, and
with Indian tribes; 4. To estabilish a uniform rule of naturalization, and uniform laws on the
subject of bankruptcies through out the Unites States; 5. To coin money, regulate the value thereof, and of foreign coin, and fix the
standard of weights and measures; 6. To provide for the punishment of counterfeiting the securities and current coin
of the United States; 7. To establish Post Office and Post Roads; 8. To promote the progress of science and useful arts, by securing for limited times to
authors and inventors the exclusive right to their respective writing and discoveries;
9. To constitute tribunals inferior to the Supreme Court; 10. To define and punish piracies and felonies committed on the high seas, and
offenses againts the law of nations; 11. To declare war, grant letters of margue and reprisal, and make rules concerning
captures on land and water; 12. To raise and support armies, but no appropriation of money to that use shall be for
a longer term than two years; 13. To provide and maintain a navy; 14. To make rules for the government and regulation of the land and naval force; 15. To provide for calling forth the militia to execute te laws of the Union,
Suppress insurrections and repel invasions; 16. To provide for organizing, arming, and disciplining the militia, and for governing
such part of them as may be employed in the service of the United States, reserving to the States respectively, the appointment of the officers, and the authority of training the militia according to the discipline prescribed by Conggress;
17. To exercise exclusive legislation in all cases whatsoever, over such District 9not exceeding ten miles square) as may, by cession of particular States, and the acceptance of Conggress, become the seat of Government of the United States, and to exercise like authority over all places purchased by the consent of the Legislature of the State in which the same shall be, for the erection of forts, magazines, arsenals, dock-yards, and other needful buildings; and
18. To make all laws which shall be necessary and proper for carrying into execution the foregoing powers, and all powers vested by Constitution in the Government of the United States, or in any departement or officer thereof.
54 Ibid.
36
Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945
tersebut, memang tidak tampak perwujudan gagasan sistem dua kamar
seperti pratek yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara lain yang
melaksanakan sistem bikameral.
Jika mengkaji lebih lanjut tentang Teori Bikameral, Maurice Duverger
menyatakan ada 2 (dua) model, yaitu simetris dan asimetris. Model yang
saat ini berlaku di Indonesia adalah asimetris. Model simetris, seperti yang
berlaku di negara-negara federal dan yang menganut bikameral,
mengandung pengertian bahwa antar kamar memiliki kedudukan yang
simetris. Sebagai contoh, Jepang. Indonesia dan Jepang memiliki
kesamaan dalam hal bentuk Negara, yakni sama-sama Negara kesatuan,55
menganut sistem bikameral, dan kedua kamar sama-sama
dibentuk berdasarkan pemilu. Ini ditunjukkan dengan ketentuan Pasal 59
Konstitusi Jepang bahwa RUU harus mendapat persetujuan dari kedua
kamar. Teori Rosseau tentang kedaulatan rakyat sangat relevan untuk
menjadi alat analisis dimana disebutkan parlemen merupakan pemegang
voluntee generale sehingga menurut konsepsi ini yang dimaksud dengan the
people souvereignity56 ini adalah parlemen. Artinya, antara kedua kamar mesti
equal karena prinsipnya kedua kamar memiliki legitimasi yang sama yang
diperoleh melalui pemilu.
4. Sejarah Perwakilan Daerah di Indonesia
55 Secara teoritis dikenal adanya dua model dalam formasi negara yaitu negara
kesatuan dan negara federal. Bentuk negara federal adalah suatu bentuk yang lazim dianut oleh berbagai negara di dunia. Persepsi bahwa negara serikat akan menimbulkan perpecahan, disintegrasi bangsa, separatisme, tentu memerlukan analisis yang mendalam. Menurut C.F. Strong ciri-ciri negara kesatuan ialah kedaulatan tidak terbagi atau dengan perkataan lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya lembaga legislatif lain selain lembaga legislatif pusat. Menurutnya ada dua ciri yang mutlak yang melekat pada suatu negara kesatuan : Pertama, adanya supremasi dari pemerintah pusat, kedua, tidak adanya badanbadan lain yang berdaulat. Asumsi dasar model negara kesatuan berbeda dengan negara federal. Bentuk negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari negara tersebut. Tidak ada kesepakatan dari para penguasa daerah apalagi negara-daerah, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Dalam hal ini, negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan dan selanjutnya terbentuklah daerahdaerah otonom. Dapat dikatakan bahwa otonomi daerah adalah wujud pemberian kekuasaan oleh pemerintah pusat.
56 Dalam perkembangannya lebih lanjut, mengenai kekuasaan yang tertinggi dalam negara menimbulkan bermacam pandangan atau teori tentang kedaulatan.
37
Reposisi dan sejarah perwakilan daerah dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 1.
Sejarah Perwakilan Daerah di Indonesia
Periode Bentuk Negara
Nama Badan Jumlah Keterangan
Pasca Republik Badan 25 orang: Anggota dari daerah inilah merupakan
Kemerdekaan (1945—1949)
Pekerja Komite
17 orang dipilih sidang,
cikal bakal terbentuknya unsur daerah dalam lembaga Negara
Nasional 8 orang dipilih dari daerah
RIS Republik Senat Setiap daerah
- Menggunakan konstitusi UUD RIS di
(1949) Indonesia bagian diwakili
mana susunan lembaga-lembaga Serikat 2 orang Negara berubah
(RIS) - Anggota Senat ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Bagian - Salah satu syarat telah
berusia 30 tahun ke atas
UUDS (1950) Kesatuan Dihapuskan - - Konsekuensi digunakan
UUDS – yang telah disahkan Presiden Sukarno tahun
1950 – struktur kelembagaan berubah
- Lembaga legislatif hanya DPR
- Senat dihapus karena tidak ada daerah-daerah bagian dalam Negara Kesatuan
Pasca Dekrit Republik Utusan 94 orang - Struktur kelembagaan negara Presiden (1959 -- Daerah (PP No. mengikuti UUD 1945 (Dekrit 5
Juli 1969) 150/1959) 1959) - Dibentuk MPRS (sebelum MPR)
terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Golongan - Setiap 24 daerah diwakili 3 – 5 orang di mana pencalonan dilakukan oleh DPRD dan diputuskan oleh Presiden Sukarno
Orde Baru (1969—1999)
Republik Utusan Daerah
131 orang (27 propinsi)
- Sesusai dengan UU No. 16/1969 - UD di MPR terdiri dari Gubernur dan (Litsus) - Sebagian besar berasal dari Golkar - Setiap Provinsi ditetapkan 4 – 7 orang
38
- Di MPR perwakilan daerah ditambah Ref ormasi
(1999 – 2004) Republik Utusan
Daerah 135 orang - Berakhirnya Orde Baru
menguatkan keberadaan Utusan Daerah (UU No. 4/1999 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD) - Penentuan anggota lewat proses - Setiap Provinsi mengirim 5 anggota (seluruh anggota MPR 700 orang) - SU MPR 1999 menghapuskan F-UD, anggota UD dimasukkan - ST MPR 2001 F-UD kembali diakui MPR
Amandemen UUD 1945 (sejak 2004)
Republik Menuju Dewan Perwakilan Daerah
Diwakili 4 orang (hasil pemekaran wilayah)
- Amandemen UUD 1945 selesai tahun 2002 yang mengubah struktur lembaga Negara - Unsur perwakilan daerah diwadahi (DPD) yang bersama DPR merupakan bagian dari MPR - Proses pemilihan tidak lagi lewat DPRD tapi melalui Pemilu 2004 dan dipilih langsung oleh rakyat - Namun fungsinya tidak sekuat DPR - Jumlah keseluruhan anggota tidak MPR - Calon anggota harus independen dan
5. Hak-Hak DPR Landasan konstitusional mengenai Hak DPR dan Hak Anggota DPR diatur
dalam Pasal 20A UUD NRI 1945, dengan rumusan:
Pasal 20A (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.** (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.**
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.**
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.**
Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 mengatur mengenai Hak DPR sebagai lembaga,
yaitu Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Ketiga
hak tersebut merupakan tools bagi DPR dalam melaksanakan fungsinya
sebagaimana disebut dalam ayat (1), yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.
Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai hak setiap anggota
DPR sebagai individu, yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat, serta hak imunitas. Di dalam Pasal 20A ayat (2) maupun
39
ayat (3) UUD NRI 1945 terdapat frasa “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain”.. hal ini menunjukkan bahwa Hak DPR dan Hak Anggota DPR
tidak hanya dirumuskan dalam pasal ini, melainkan juga terdapat di pasal-
pasal lain.
Apabila ditelusuri lebih lanjut pasal-pasal lain yang mengatur
mengenai hak DPR atau hak anggota DPR, hanya terdapat 1satu pasal yang
menyebutkan secara eksplisit, yaitu hak anggota DPR yang diatur dalam
Pasal 21 yang menyebutkan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang.*)”
Namun demikian, sebelum perubahan UUD 1945, terdapat Penjelasan
Pasal 23 UUD 1945 yang menyebutkan: “Dewan ini mempunyai juga hak
begrooting Pasal 23. Dengan ini, Dewan Perwakilan Rakyat mengontrol
Pemerintah. Harus diperingati pula bahwa semua anggota Dewan ini
merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Berdasarkan penafsiran historis tersebut, DPR juga memiliki hak
begrooting atau hak budget. Selanjutnya, meskipun tidak dieksplisitkan
sebagai hak, Pasal 7B UUD NRI 1945 mengatur mengenai pengajuan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengajuan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan dapat pula
dikategorikan sebagai hak apabila mendasarkan pada pengertian hak
berdasarkan KBBI sebagai “kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah
ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya)”.
Secara etimologi, “hak” berasal dari bahasa Arab haqq yang
merupakan bentuk tunggal dari kata huquq. Istilah haqq diambil dari akar
kata haqqa, yahiqqu, haqqaan yang berarti “benar”, “nyata”, “pasti”, “tetap”,
dan “wajib”. Namun setelah diserap dalam Bahasa Indonesia, pengertian hak
dapat dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut:
1. n kewenangan: dengan ijazah itu ia mempunyai -- untuk mengajar
2. n kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh
undang-undang, aturan, dan sebagainya): semua warga negara yang
telah berusia 18 tahun ke atas mempunyai -- untuk memilih dan dipilih
dalam pemilihan umum
3. n kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut
sesuatu: menantu tidak ada -- atas harta peninggalan mertuanya
4. n derajat atau martabat: orang Melayu pada waktu itu tidak sama --nya
dengan orang Eropa
5. n Huk wewenang menurut hukum
40
Berdasarkan KBBI tersebut, maka hak secara gramatikal disamakan dengan
wewenang menurut hukum.
Penafsiran historis
Adanya Hak-Hak DPR dan Hak Anggota DPR di dalam UUD 1945 tidak
dapat lepas dari pengalaman dalam praktik demokrasi keparlemenan yang
telah dilalui bangsa Indonesia. Apabila ditelusuri pada masa Volksraad,
anggota Volksraad yang berasal dari pribumi pernah mengajukan 1 petisi
dan 2 mosi yang menyudutkan pemerintah Belanda, yaitu petisi Soetardjo
Kartohadikoesoemo pada tahun 1936, mosi Moh. Thamrin pada tahun 1939,
dan mosi R. WiwohoHadidjojo pada tahun 1940. Petisi tersebut
menghendaki peningkatan status Hindia Belanda menjadi sejajar dengan
negeri Belanda dan Suriname. Mosi Moh. Thamrin menghendaki
penggantian nama Hindia Belanda dengan Indonesia, dan mosi Wiwoho
menghendaki supaya Hindia Belanda menjadi suatu negara penuh yang
tingkatannya sejajar dengan negeri Belanda, supaya anggota Dewan Rakyat
dipilih dalam pemilihan umum yang langsung, Dewan Rakyat supaya
mempunyai hak-hak dan wewenangnya sebagaimana layaknya suatu
parlemen dan kepala-kepala departemen supaya bertanggung jawab kepada
Dewan Rakyat. Pemerintah Belanda tidak dapat menerima ketiga tuntutan
itu, namun untuk menenangkan situasi yang mulai menghangat,
Pemerintah Belanda pada tanggal 14 September 1940 membentuk suatu
komisi yang diketuai F.H. Visman untuk menyerap lebih lanjut semua
pendapat dan tuntutan dari semua golongan masyarakat mengenai masalah
perubahan konstitusional Hindia Belanda.57
Semenjak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, badan legislatif
di DPR mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan-perubahan
tersebut antara lain terjadi akibat perubahan Undang-Undang Dasar,
perubahan sistem demokrasi, Pemilihan Umum dan perubahan-perubahan
politik yang terjadi pada setiap periode.
Pada awal masa kemerdekaan, secara yuridis normatif, belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak dan
kewajiban KNP dan BP KNP, kecuali di bidang perundang-undangan, yang
57 A.S.S. Tambunan, Fungsi DPR RI Menurut UUD 1945; Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, Jakarta, Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998, hal. 34
41
telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar, yaitu hak anggota untuk
mengajukan rancangan undang-undang.
Sementara hak-hak lain yang telah dipergunakan oleh BP KNP yang
menyangkut pertanggungjawaban Menteri adalah hak interpelasi, meminta
keterangan dari Pemerintah, misalnya:58
1. Tanya jawab/interpelasi dengan Perdana Menteri Syahrir pada tanggal 29 Mei 1946 tentang soal-soal politik ekonomi. a.l. perundingan dengan pihak Belanda yang ketika itu baru akan diadakan.
2. Tanya jawab/interpelasi dengan Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprodjo tentang soal-soal tahanan politik, “3 daerah”, dll pada tanggal 5 Desember 1946.
Pada saat itulah muncul suatu perbedaan pendapat antara
Pemerintah dengan BP KNP mengenai sifat atau isi suatu “hak”. Menteri
Kehakiman menyatakan bahwa interpelasi Badan Pekerja dengan
pemerintah adalah tanya jawab dengan mengajukan fakta-fakta, bukan
penilaian terhadap Pemerintah. Sementara pihak Badan Pekerja
menginginkan lebih jauh lagi, karena pada akhir tanya jawab itu anggota-
anggota Supeno dan Mangunsarkoro mengemukakan gagasan agar Badan
Pekerja mengadakan angket, karena keterangan-keterangan yang diberikan
oleh Pemerintah dianggap kurang memuaskan.59
Baru pada tanggal 10 Juni 1947, berdasarkan Peraturan Tata Tertib
Badan Pekerja terdapat ketentuan mengenai Hak-Hak badan pekerja, di
samping tugas dan kewajibannya membentuk Undang-Undang. Hak-hak
Badan atau yang menurut anggapan Badan Pekerja dipunyainya sebagai
badan legislatif adalah mengajukan usul, interpelasi (minta keterangan),
mengadakan pengusutan (angket), dan mengajukan pertanyaan. Badan
Pekerja menganggap hak-hak tersebut sebagai konsekuensi hak inisiatif
menurut pasal 21 UUD dan sistem pertanggungjawaban Menteri yang
berlaku sejak November 1945. Badan Pekerja mengaturnya dalam Peraturan
Tata Tertib, meskipun UUD tidak menyebut adanya hak-hak tersebut pada
DPR. Karena pihak Pemerintah tidak mengajukan keberatan terhadap
Peraturan Tata tertib yang dibuat sendiri oleh Badan Pekerja, maka
ketentuan tersebut terlaksana dalam praktek kehidupan parlementer Badan 58 Sekretariat DPR GR, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta; Sekretariat DPR-GR, 1970 hal. 30. 59 Ibid.
42
Pekerja. Adapun tata cara penggunaan hak-hak tersebut adalah sebagai
berikut:
1. mengajukan usul; sekurang-kurangnya 3 orang Anggota minta
Keputusan Badan Pekerja tentang suatu hal, baik yang bersangkutan
dengan acara rapat ataupun tidak. Usul yang bersangkutan disertai
penjelasannya dibicarakan dalam rapat Pleno Badan Pekerja
selanjutnya.
2. interpelasi: interpelasi untuk minta keterangan dari Pemerintah tentang
soal-soal yang tidak termasuk acara pembicaraan, dapat diajukan oleh 3
orang Anggota. Jika interpelasi diadakan atas nama Badan Pekerja,
perlu pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan dirundingkan terlebih
dahulu. Dan kemudian Ketua Seksi yang bersangkutan mengajukannya
dalam rapat dengan Pemerintah. Setelah Pemerintah memberikan
keterangan, diadakan tanya jawab dengan Pemerintah. Akhirnya Badan
Pekerja mengadakan rapat tertutup untuk merundingkan tindakan
apakah yang perlu diambil lebih lanjut. Kalau keterangan Pemerintah
tidak memuaskan dapat diadakan pengusutan (angket).
3. mengadakan pengusutan (angket): Atas usul 3 orang anggota Badan
Pekerja dapat mengadakan pengusutan. Untuk keperluan itu
Kementerian atau Jawatan yang bersangkutan diberitahu tentang
putusan angket dan anggota-anggota yang ditunjuk untuk mengadakan
angket membawa surat resmi dari Ketua Badan Pekerja. Laporan
anggota-anggota dirundingkan dalam rapat tertutup Badan Pekerja dan
kesimpulannya dijadikan bahan bagi sesuatu usul inisiatif rancangan
undang-undang atau usul lain.
4. mengajukan pertanyaan: Tiap-tiap anggota dapat mengajukan
pertanyaan tertulis kepada Pemerintah dengan perantaraan Ketua.
Pertanyaan anggota dan jawaban Pemerintah dibacakan dalam rapat
Badan Pekerja, mula-mula rapat tertutup, akan tetapi kemudian
menjadi kebiasaan Badan Pekerja untuk mengadakan tanya jawab
dengan para Menteri dalam rapat Pleno terbuka pada “Hari-Hari
Pertanyaan”.
Pada perjalanannya dalam periode 14 November 1945 sampai dengan 17
Agustus 1950, Kabinet-Kabinet yang terbentuk selama adanya KNP dan
Badan Pekerja KNP adalah:
1. Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945-28 Februari 1946)
43
2. Kabinet Syahrir II (3 Maret 1946-29 Juni 1946)
3. Kabinet Presidensiil yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri (29
Juni 1946-2 Oktober 1946) berdasar Maklumat No. 1 Tahun 1946.
4. Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-26 Juni 1947)
5. Kabinet Amir Syarifudin (3 Juli 1947-23 Januari 1948)
6. Kabinet Presidensiil yang pimpinan sehari-harinya dipegang oleh Wakil
Prssiden Mohammad Hatta. (29 Januari 1949) sampai terbentuknya
RIS pada tanggal 27 Desember 1949, dengan mengalami waktu non-
aktif selama pendudukan Belanda di Yogyakarta dari tanggal 19
Desember 1948 sampai dengan 6 Juli 1949.
7. Kabinet (Pemerintah Darurat) Syafrudin Prawiranegara 19 Desember
1948-6 Juli 1949.
8. Kabinet Halim (Januari 1950 sampai pulihnya Negara Kesatuan pada
17 Agustus 1950).
Meskipun berganti-ganti kabinet, namun pada kenyataannya tidak ada
satupun Kabinet yang jatuh berdasarkan mosi tidak percaya parlemen
sebagaimana pada sistem parlementer pada umumnya. Pergantian Kabinet
tersebut lebih dikarenakan situasi revolusi pada saat itu.
Pada Masa Konstitusi RIS, Kedudukan DPR dan Senat RIS dengan
Pemerintah:
a. Dalam hal Pembuatan Undang-Undang (pasal 127)
b. Dalam Hal Anggaran
c. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi dan hak
menanya, Anggota Mempunyai hak menanya;
d. DPR mempunyai hak menyelidiki (anquette) menurut aturan-aturan
yang ditetapkan oleh Undang-Undang federal
e. DPR yang ditunjuk menurut pasal 100 dan 110 tidak dapat memaksa
kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.
Hak-Hak DPR dan Senat RIS, serta Hak Anggota Dari prinsip-prinsip sebagaimana diuraikan di atas, dapat diketahui
bahwa Konstitusi RIS telah mengatur mengenai hak DPR, yaitu interpelasi
dan menanya, serta hak menyelidiki, sementara untuk anggota DPR
memiliki hak menanya. Untuk Senat sebagaimana diatur di dalam
Konstitusi adalah hak untuk meminta keterangan. Namun DPR yang
pertama kali karena belum dipilih melalui Pemilihan umum, ditegaskan di
44
dalam konstitusi tidak dapat memaksa Kabinet atau para Menterinya untuk
meletakkan jabatan.
Konstitusi RIS telah mengatur mengenai hak DPR, yaitu interpelasi
dan menanya, serta hak menyelidiki, sementara untuk anggota DPR
memiliki hak menanya. Untuk Senat sebagaimana diatur di dalam
Konstitusi adalah hak untuk meminta keterangan. Namun DPR yang
pertama kali karena belum dipilih melalui Pemilihan umum, ditegaskan di
dalam konstitusi tidak dapat memaksa Kabinet atau para Menterinya untuk
meletakkan jabatan.
Sesuai dengan ketentuan konstitusi RIS pula, Senat diberi
kewenangan untuk menetapkan Tata Tertibnya sendiri. Di dalam Peraturan
Tata Tertib Senat RIS, diatur beberapa hak, antara lain pada:
Bab V Tentang Mosi (Peraturan Tata Tertib Senat)
1. Tiga Orang atau lebih anggota dapat mengusulkan pernyataan (mosi)
Senat, baik berhubung dengan pokok yang sedang dibicarakan maupun
yang mempunyai maksud tersendiri.
2. Rancangan pernyataan disampaikan kepada Seretaris dengan dibubuhi
atau tidak dibubuhi keterangan tertulis;
3. Surat-surat ini dengan secepatnya diberitahukan kepada Senat;
4. Senat menentukan bagaimana dan kapan usul tersebut akan
dibicarakan dan diadakan pemungutan suara
5. Keputusan tersebut disampaikan kepada Senat
6. Senat berwenang untuk mengadakan perubahan.
Bab X Hak Interpelasi dan Hak menanyakan
1. Sekurang-kurangnya tiga anggota dapat mengajukan usul kepada senat
untuk meminta keterangan kepada seorang atau lebih Menteri
mengenai suatu soal yang tidak termasuk acara;
2. Sesuatu usul tersebut harus disusun dengan singkat dan tegas dan
harus disampaikan dengan tulisan kepada Ketua serta ditandatangani.
Ada sekitar 25 mosi yang diajukan pada masa ini,
Ada dua interpelasi atau hak bertanya yang digunakan, yaitu tentang
perkembangan politik di NIT dan Daerah Banjar yang diubah menjadi
pertanyaan.
Pada Masa UUDS, Sistem-sistem Pemerintahan menurut UUDS 1950
45
1. Sistem Kabinet Parlementer
2. Presiden adalah Kepala negara (pasal 45) bukan Kepala Pemerintahan;
3. Pemerintahan ada di tangan Dewan Menteri yang diketuai oleh seorang
Perdana Menteri
4. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 83 ayat
(1)
5. Menteri-menteri baik secara bersama-sama maupun untuk bagiannya
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan.
6. Apabila ada perbedaan pendapat, Pemerintah dapat meminta kepada
Presiden untuk membubarkan DPR.
7. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR {pasal 1 ayat (2)}
Usul Mosi Z. Baharuddin dkk (September 1952) (ditolak)
Usul Mosi I.J. Kasimo dkk (ditarik)
Usul Mosi Manai Sophian dkk. (diterima)
Hasil Pekerjaan DPRS dalam 5 ½ tahun
a. Pembicaraan tentang Keterangan-keterangan Pemerintah termasuk 5 kali
tentang program Kabinet (5 kali penggantian kabinet);
b. usul mosi/resolusi: diajukan 82 buah, diantaranya 21 disetujui, 17
ditolak dan 44 ditarik kembali atau tidak dibicarakan lagi;
c. usul interpelasi: diajukan 24 buah, disetujui 16, ditolak , dan tidak
dibicarakan lebih lanjut 6 buah.
d. usul angket satu kali dibicarakan, disetujui dan dilaksanakan;
e. hak budget: dilaksanakan dua kali, sekalipun terlambat waktunya.
f. perundang-undangan: dari 237 buah, 9 usul inisiatif, telah disetujui 167
buah (termasuk 5 usul inisiatif), sedangkan 64 ditarik kembali dan yang
lain tidak/belum diselesaikan lebih lanjut.
Pada Masa Perubahan UUD 1945
1. DPR Hasil Pemilihan Umum 1999 Terdapat sembilan isu yang diusulkan dengan hak interpelasi dan
angket oleh DPR yang sebagian diterima dan sebagian lainnya ditolak. Pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) diajukan Hak Interpelasi
Pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan, Hak Interpelasi Pemecatan
Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, Hak Angket Kasus Yanatera Bulog dan
Sumbangan Sultan Brunei dan Hak Angket Kasus Bulog II
46
Masa Presiden Megawati (2001-2004)
Hak Angket Dana Nonbujeter Bulog (kasus Akbar Tandjung)
Hak Angket Divestasi PT Indosat
Hak Interpelasi Bantuan Presiden utk Pembangunan Asrama TNI/Polri
Hak Interpelasi Kunjungan Presiden ke Timor Leste
Hak Interpelasi Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia
2. DPR Hasil Pemilihan Umum 2004 Usul hak pengawasan yang pertama diajukan DPR Periode 2004-2009
adalah usulan hak interpelasi atas Penarikan Surat (Mantan) Presiden
Megawati Soekarnoputri tentang Pemberhentian Panglima TNI Jenderal
Endriartono Sutarto dan Pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu
sebagai Panglima TNI, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada
tanggal 25 Oktober 2004. Usul interpelasi tersebut akhirnya ditolak. Usul
interpelasi lain yang juga ditolak menjadi hak institusional DPR, antara lain
usul Interpelasi Impor Beras I, Interpelasi Impor Beras II, dan Interpelasi
Kenaikan Harga BBM.
Sebaliknya, usul hak interpelasi yang diterima sebagai hak interpelasi
DPR di antaranya adalah Interpelasi Busung Lapar dan Wabah Polio;
Persetujuan Pemerintah terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747
yang berisi perluasan sanksi terhadap Iran terkait dengan pendayagunaan
uranium; Penyelesaian Kasus KLBI/BLBI; dan Kenaikan Harga Kebutuhan
Pokok. Keempat hak interpelasi ini berakhir dengan penyampaian
keterangan pemerintah yang diwakili oleh sejumlah menteri terkait atas
pernyataan DPR dan tidak ada satupun yang berlanjut kepada penggunaan
hak angket maupun hak menyatakan pendapat.
Sisanya, yaitu usul Interpelasi SK Wapres tentang Pembentukan
Timnas Penanganan Bencana di Aceh; Surat Seswapres yang berisi arahan
Wakil Presiden M. Jusuf Kalla agar para menteri tidak terlalu menganggap
penting rapat kerja dengan DPR; MoU Helsinki tentang penyelesaian kasus
Aceh; dan Video Conference Rapat Kabinet Presiden SBY dari Amerika
Serikat kandas di tengah jalan karena berbagai sebab. Sementara itu,
Interpelasi Lumpur Lapindo nasibnya lebih tidak jelas lagi sebab usul ini
tidak pemah ditolak sebagai hak interpelasi DPR, tetapi juga tidak diterima,
melainkan statusnya—meminjam istilah yang digunakan beberapa politisi—
masih on call. Kasus tersebut tidak memiliki kadaluarsa dan kapanpun bisa
47
dibuka kembali oleh DPR atau dengan kata lain ditunda hingga batas waktu
yang tidak ditentukan.
Dari 12 usulan hak angket yang diajukan, hanya 4 usulan yang
diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan 6 usulan ditolak, dan sisanya
2 usulan kandas di tengah jalan atau tidak berlanjut. Usulan hak angket
yang disetujui menjadi hak angket DPR, antara lain usul hak angket atas
Penjualan Tanker Pertamina; Penyelenggaraan Ibadah Haji; Kenaikan Harga
BBM (II); dan Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif
2009.
Dari beberapa usul hak angket yang disetujui DPR, ada yang
menghasilkan rekomendasi yang cukup konkret, di antaranya dalam kasus
penjualan tanker Pertamina yang berujung pada dipenjarakannya mantan
Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Demikian halnya dengan Angket
Kenaikan Harga BBM yang berhasil mendesak pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan penurunan harga BBM sebanyak tiga kali dan
mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Negative Lisi yang mengatur mengenai larangan bagi kontraktor untuk
memperhitungkan tujuh belas jenis biaya operasional sebagai cost recovery.
Sementara itu, Angket DPT dapat dikatakan berakhir antiklimaks.
Panitia angket yang menyatakan bahwa KPU harus bertanggung jawab atas
persoalan ini dengan cara memberhentikan anggota KPU dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Rekomendasi tersebut kemudian dilimpahkan kepada
DPR periode berikutnya untuk ditindaklanjuti. Namun, persoalan ini tidak
jelas kelanjutannya, bahkan hampir tidak pemah dibahas lagi di DPR.
Sementara itu, usul hak angket yang ditolak di antaranya adalah
Angket Kenaikan Harga BBM (I); Lelang Gula Impor Ilegal; Kredit Macet
Bank Mandiri; Impor Beras; Penunjukan Exxon-Mobil Ltd. sebagai Pimpinan
Operator Lapangan Minyak Blok Cepu; Transfer Pricing PT Adaro Indonesia.
Sisanya, yakni Angket Penyelesaian KLBI/BLBI dan Pilkada Maluku Utara
kandas alias prosesnya berhenti di tengah jalan.
3. DPR Hasil Pemilihan Umum 2009 Sampai dengan akhir tahun 2011, ada dua kasus angket yang
diajukan DPR Periode 2009-2014 ,yaitu tentang penyelamatan (bailout) Bank
Century dan mafia perpajakan.
4. DPR Hasil Pemilihan Umum 2014
48
Hak Angket Pelindo II dan Hak Angket Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang KPK. Pada awalnya banyak perdebatan terkait relevansi hak-hak
yang dimiliki oleh DPR dengan sistem pemerintahan yang digunakan. Pada
masa menggunakan sistem pemerintahan parlementer, beberapa hak yang
dimiliki oleh DPR memang relevan, namun ketika menggunakan sistem
presidensial ada beberapa pendapat yang menyatakan beberapa hak, seperti
hak angket, tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Namun
dengan telah disebutkannya hak-hak tersebut dalam Perubahan UUD 1945,
maka semua hak yang tercantum adalah konstitusional meskipun dalam
sistem pemerintahan presidensial. Yang perlu dilakukan kemudian adalah
memberikan definisi masing-masing hak agar sesuai dengan sistem
pemerintahan presidensial.
Ketentuan mengenai hak DPR pada Undang-Undang yang berlaku
pada saat ini (UU No. 17 Tahun 2014) diatur dalam Pasal 79 dengan
rumusan sebagai berikut:
(1) DPR mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di tanah air atau di dunia internasional; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
49
Pasal 79 ayat (1) menyebutkan hak-hak yang dimiiliki oleh DPR seperti yang
disebutkan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat.
Hak Interpelasi
Hak interpelasi didefinisikan sebagai hak DPR untuk meminta
keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Beberapa kemungkinan permasalahan yang
terkait dengan definisi ini adalah:
a. Siapa yang dimaksud dengan Pemerintah?
b. Apakah Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi
wajib hadir sendiri dan menjawab interpelasi DPR tersebut atau dapat
diwakilkan kepada wakil Presiden maupun menteri?
c. Apa kriteria kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Apakah
harus kumulatif?
Berdasarkan literatur, di parlemen negara-negara eropa kontinental dan
negara-negara yang mengikutinya, interpelasi secara esensial mempunyai
dua aspek, yaitu:60
1. Pengajuannya menimbulkan perdebatan umum; dan 2. Biasanya suatu interpelasi mempunyai sanksi politis apabila
perdebatan mencapai puncaknya dan bermuara pada mosi yang melukiskan kepuasan atau ketidakpuasan parlemen atas jawaban yang diberikan oleh pemerintah atau menteri yang bersangkutan.
Seorang menteri yang tidak bersedia memberikan jawaban atas
pertanyaan yang ditujukan kepadanya, menurut konvensi hukum tata
negara harus mundur dan meletakkan jabatannya. Hal inilah yang sering
menimbulkan krisis kabinet di Perancis sebelum tahun 1958. Itulah
sebabnya parlemen Perancis dalam Republik ke-V di bawah naungan UUD
1958 tidak lagi mengenal lembaga interpelasi. Di Tweede Kamer Belanda,
hak interpelasi sekarang sekarang jarang digunakan karena sistem komisi
tetap-nya. Dalam rapat-rapat komisi yang sering diadakan, cukup diperoleh
60 ASS Tambunan, op.cit., hal 153
50
keterangan yang diperlukan.61 Di Indonesia, hak interpelasi ada sejak tahun
1945 hingga sekarang dengan beberapa variasi (kecuali Pengganti DPR 1959
yang dibubarkan pada tahun 1960 karena tidak sesuai dengan Demokrasi
Terpimpin).
Berdasarkan hal tersebut dan sejarah penggunaan hak interpelasi
DPR, maka hak interpelasi pada hakekatnya adalah hak bertanya atau
meminta keterangan kepada pemerintah yang urgensinya lebih tinggi
dibandingkan ketika bertanya atau meminta keterangan di rapat kerja biasa
di komisi dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan. Kemudian, hal
tersebut juga mungkin karena kebijakan pemerintah tersebut berada di luar
kewenangan menteri atau merupakan kewenangan di atasnya, yaitu
Presiden, yang tidak dapat dijelaskan oleh menterinya.
Mengingat penggunaan hak DPR adalah dalam rangka pelaksanaan
fungsinya, maka pihak yang dituju oleh DPR merupakan lembaga yang
diawasi, yang secara lebih konkret lagi adalah pasangan kerja komisi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemerintah adalah Presiden dan
lembaga-lembaga di bawahnya serta lembaga-lembaga lain yang menjadi
pasangan kerja alat kelengkapan DPR.
Idealnya, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang
tertinggi yang menjawab interpelasi tersebut, mengingat apabila hanya
ditujukan kepada Menteri, hal ini dapat dilakukan dalam Rapat Kerja
dengan Komisi. Apabila Presiden hendak mewakilkan, maka setidaknya yang
mewakili adalah Wakil Presiden atau Menteri Koordinator. Kemudian
mengenai kebijakan yang seperti apa? Maka kebijakan yang dikeluarkan
oleh Presiden yang berbentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang menurut DPR dianggap menuai kontroversi, bukan dalam
level Peraturan Menteri.
Hak Angket
Pengertian Hak Angket dalam Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014
adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
61 Ibid.
51
Pengertian ini secara nyata menimbulkan multiinterpretasi
sebagaimana pelaksanaan penggunaan hak angket terhadap KPK pada DPR
periode ini (2014-2019). Salah satu indikasi adanya perbedaan penafsiran
dapat dilihat dari diajukannya beberapa permohonan uji materi terhadap UU
MD3, antara lain pada perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, perkara Nomor
37/PUU-XV/2017, perkara Nomor 40/PUU-XV/2017, dan perkara Nomor
47/PUU-XV/2017, yang pada intinya mempersoalkan rumusan Pasal 79
ayat (3) mengenai pengertian hak angket.
Secara gramatikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan angket dalam tiga pengertian yang salah satunya
adalah penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan
pemerintah.62 Sementara Patrialis Akbar yang pernah menjadi anggota
Panitia Ad Hoc III dan I Badan Pekerja MPR menyebutkan bahwa hak angket
adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus tertentu
yang dianggap besar dan menyangkut kepentingan rakyat atau nasional oleh
DPR melanggar undang-undang. Dibandingkan dengan hak interpelasi, hak
angket lebih kuat dan lebih tinggi derajatnya mengingat sesuai peraturan
perundang-undangan dampak penggunaan hak ini dapat berkembang ke
arah proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.63 Penerjemahan
angket dengan penyelidikan dikhawatirkan oleh Bagir Manan dapat
menimbulkan salah pengertian. Istilah penyelidikan merupakan proses awal
dalam pengungkapan dugaan telah terjadi perbuatan pidana, sebagai
terjemahan opsporing dalam bahasa Belanda.64
Definisi yang berbeda mengakibatkan perbedaan penafsiran terkait
pengertian hak angket. Pengertian yang terdapat dalam Pasal 79 ayat (3) UU
MD3 tidak menyebutkan kepada siapa hak angket DPR tersebut seharusnya
ditujukan, baik lembaga maupun perseorangan, namun terhadap apa. Pasal
79 ayat (3) UU MD3 menyebutkan bahwa angket ditujukan terhadap sesuatu
hal, yang dalam hal ini adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau
kebijakan pemerintah. Adanya frasa “dan/atau” memiliki arti bahwa
penyelidikan tersebut dapat dilakukan terhadap pelaksanaan undang-
undang saja, terhadap kebijakan pemerintah saja, atau sekaligus terhadap
62 “Angket” dalam https://kbbi.web.id/angket, diakses tanggal 2 Oktober 2017. 63 Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2012, hal. 62. 64 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta; FH UII Press, 2003, hal. 38.
52
pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Namun tidak
berhenti sampai di situ, masih ada kondisi lain yang harus dipenuhi, yaitu
pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah tersebut
harus berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tambahan berikutnya
adalah adanya dugaan pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan
pemerintah tersebut diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket
adalah hak DPR untuk melakukan:
1. penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang; 2. penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah; atau 3. penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan kebijakan Pemerintah;
yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, terdapat penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang
menyebutkan: “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden,
Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.”
Penjelasan ayat ini bukan menjelaskan siapa pemerintah, melainkan
siapa yang melaksanakan undang-undang atau kebijakan pemerintah
tersebut. Terkesan ada kalimat yang tidak selesai, yaitu ketika ada frasa
“dilaksanakan sendiri” maka seharusnya ada kelanjutan “maupun
dilaksanakan oleh…”. Dengan demikian, pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah tersebut dapat berupa kebijakan yang
dilaksanakan sendiri oleh pihak-pihak sebagaimana disebutkan secara
eksplisit, dan dapat pula yang dilaksanakan oleh pihak lain, di luar yang
disebut secara eksplisit di dalam penjelasan. Dengan demikian, penjelasan
tersebut bukan merinci siapa yang dimaksud dengan pemerintah.
Pasal 79 ayat (3) maupun penjelasannya tidak mengatur mengenai
terhadap siapa atau lembaga mana hak angket DPR seharusnya ditujukan.
Perkembangan ketatanegaraan sekarang ini telah melahirkan banyak
lembaga negara independen atau lembaga negara sampiran yang seringkali
diperdebatkan kedudukannya dengan ukuran Trias Politika. Ni’matul Huda
53
menyebutkan bahwa proses kelahiran lembaga-lembaga sampiran negara
merupakan refleksi dari kontestasi dua kecenderungan klasik yang menjadi
salah satu pertanyaan besar yang bersifat permanen dalam studi ilmu
politik, yakni kecenderungan sentripetal (konsentrasi kekuasaan) dan
kecenderungan sentrifugal (pemencaran kekuasaan).65
Lebih lanjut dikemukakan oleh Ni’matul Huda, jika pada awalnya
kekuatan non-negara membatasi perjuangan mereka hanya untuk merebut
ruang bagi mereka sendiri yang telah dipilah-pilah secara ketat –state, civil
society, and economic society – dalam perkembangan sejak reformasi, telah
memperluas hasratnya untuk juga menjangkau kontrol atas ranah negara.
Dalam logika seperti ini, lewat lembaga-lembaga sampiran negara, aktor
non-negara bisa mengkonversi diri secara cepat sebagai aktor yang
bertindak atas nama dan untuk kepentingan publik yang selama ini
dimonopoli oleh negara. Negara bukan lagi sebuah institusi yang tunggal
dan otonom atas masyarakatnya, tetapi bergeser menjadi arena kontestasi
dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam negara dan masyarakat.
Indikasinya jelas terlihat lewat dominannya aktor-aktor non-negara –para
aktivis, ilmuwan, dan sebagainya- dalam menguasai struktur pengambilan
keputusan dalam pelbagai lembaga sampiran negara. 66
Namun demikian, Mukhtie Fadjar berpendapat walaupun terhadap
ajaran Montesquieu itu timbul banyak keberatan, tetapi yang penting, yang
perlu diambil adalah jiwa dan tujuan dari ajaran tersebut, yaitu bahwa
kekuasaan negara itu jangan sampai disentralisasi dalam satu tangan
(badan) karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan, melainkan harus
dibagi sehingga hak asasi warga negaranya terlindungi. Jadi bukan sistem
atau caranya yang memisahkan secara mutlak yang dipegang oleh tiga
organ. Boleh tidak setuju dengan sistem dan caranya, tetapi jiwa dan
tujuannya yang baik perlu diambil, bahwa adanya pembagian kekuasaan
negara mutlak diperlukan bagi suatu pembagian negara hukum modern.67
Hak angket (dengan nama yang berbeda-beda, enquete, inquiry)
dimiliki oleh banyak parlemen di dunia, baik yang menggunakan sistem
parlementer maupun sistem presidensiil. Berdasarkan pengertian dan
65 Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktek di Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2016, hal. 76. 66 Ibid.
67 Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah, Elemen, dan Tipe Negara Hukum, Malang: Setara Press, 2016, hal. 53.
54
sejarah penggunaan hak angket tersebut, kecenderungan atau hal-hal apa
saja yang dapat diselidiki melalui angket tidak terbatas pada lembaga
pemerintah, namun dalam kerangka pelaksanaan fungsi DPR yaitu
pembentukan undang-undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-
undang atau kebijakan pemerintah, dan pengawasan terhadap
penyelewengan administrasi dan keuangan. Dengan demikian, apabila
hendak dirumuskan terhadap siapa hak angket tersebut ditujukan, ukuran
yang paling jelas adalah pemerintah dan pasangan kerja DPR.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lembaga pemerintah melainkan
lembaga yang dibentuk oleh konstitusi yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. KPU merupakan pasangan kerja Komisi II yang pernah juga
menjadi subjek hak angket DPR sebagai pelaksana dari UU Pemilu.
Pembatasan penggunaan hak angket, secara konstitusional hanya dibatasi
dalam ranah kekuasaan kehakiman. Artinya, hak angket DPR tidak dapat
mengambil alih masalah penegakan hukum yang menjadi ranah kekuasaan
kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Konteks penyelidikan dalam hak angket berbeda dengan penyelidikan
pro-justicia atau penyelidikan aparat penegak hukum (opsporing), yaitu
sebagai proses awal dalam mengungkapkan dugaan telah terjadi perbuatan
pidana. Penyelidikan parlemen terkait dengan fact finding untuk
merumuskan suatu kebijakan atau melakukan fungsi pengawasan.
Hak Menyatakan Pendapat
Rumusan Pasal 79 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2014 mendefinisikan
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat
atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
55
Rumusan ini mempunyai arti bahwa hak menyatakan pendapat dapat
digunakan untuk tiga hal yang berbeda, yaitu kebijakan pemerintah atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau dunia
internasional; tindak lanjut hak interpelasi dan hak angket; atau pintu
masuk pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pada masa lalu,
hak ini dinamakan hak untuk mengusulkan mosi, resolusi, dan petisi. Baik
mosi, petisi, maupun resolusi merupakan pendapat DPR, oleh karenanya
kemudian disederhanakan dengan hak mengajukan pernyataan pendapat,
yang kemudian dalam perubahan UUD 1945 menjadi hak menyatakan
pendapat. Kemudian, dulu juga dikenal apa yang disebut dengan
memorandum yang terdapat dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang
merupakan pintu masuk untuk menurunkan Presiden yang pernah
digunakan untuk menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Memorandum dan menyatakan pendapat kemudian disamakan karena
rumusan dalam UUD 1945, adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan
Presiden merupakan pendapat DPR yang diajukan kepada MK.
Sebagaimana diketahui, Perubahan UUD 1945 telah mengatur sistem
baru terkait dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada
masa jabatannya. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa Sistem
pemerintahan yang sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem Presidential,
namun di dalam praktiknya lebih dominan menjadi sistem parlementer.
Presiden berhenti atau diberhentikan di tengah masa jabatannya karena
tidak lagi mendapat dukungan dari Parlemen. Presiden Soekarno turun
dengan peristiwa yang dikenal dengan Nawaksara dan Presiden
Abdurrahman Wahid yang turun karena skandal Buloggate dan Buneigate.
Untuk mempertegas sistem Presidential dimana seharusnya Presiden
mempunyai masa jabatan yang tetap (fix term) maka diaturlah sistem
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa
jabatannya atau yang biasa dikenal dengan impeachment atau pemakzulan.
Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Keputusan terkait dengan pemberhentian Presiden di tengah masa
jabatannya bukan hanya ditentukan oleh DPR, melainkan juga melibatkan
56
lembaga negara lainnya, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Selanjutnya, berdasarkan pengertian sebagaimana disebutkan di atas,
dapat diketahui bahwa hak DPR untuk menyatakan pendapat dapat berdiri
sendiri dan dapat pula sebagai kelanjutan dari pelaksanaan hak DPR yang
lain, yaitu hak interpelasi dan hak angket. Hak menyatakan pendapat juga
merupakan “pintu masuk” bagi proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Yang perlu diperhatikan, khusus sebagai “pintu masuk”
pemakzulan, persyaratannya harus sesuai dengan UUD 1945 dan lebih
berat dibandingkan pernyataan pendapat yang pertama dan kedua.
MK berpendapat, menurut sistem ketatanegaraan Indonesia, hak
menyatakan pendapat ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana
diatur dalam Pasal 20A UUD 1945; dan ada yang bersifat khusus (lex
specialis) sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Mekanisme
pengambilan keputusan pendapat DPR menurut Pasal 7B UUD 1945
dilakukan dalam sidang paripurna yang dihadiri paling sedikit 2/3 anggota
DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir. Undang-
Undang sebelum UU No. 17 Tahun 2014 pernah memperberat persyaratan
tersebut pada Pasal 184 ayat (4). Menurut MK, mengatur semua jenis hak
menyatakan pendapat baik berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 (lex generalis)
maupun Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 (lex specialis) dengan
menyamakan persyaratannya kurang tepat. Karena itu, MK menilai Pasal
184 ayat (4) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945,
yang menyatakan usul pemberhentian presiden dan wakil presiden ke MK
harus memperoleh 2/3 dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir. MK
beralasan, Pasal 184 ayat (4) memunculkan penambahan syarat quorum
dari 2/3 menjadi ¾, maupun syarat persetujuan keputusan DPR . Aturan
tersebut tentu akan lebih mempersulit pelaksanaan hak menyatakan
pendapat, khususnya hak usul pemberhentian presiden dan wakil presiden
ke MK. Dengan sendirinya, pasal tersebut akan mempersulit pelaksanaan
hak dan kewenangan konstitusional DPR.
Ketentuan tersebut, menurut MK, juga bisa mengakibatkan DPR tidak
efektif melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Presiden, sehingga tidak
sejalan dengan sistem checks and balances yang dianut dalam UUD 1945.
Lebih tegas, MK menyatakan bahwa aturan itu dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran dalam proses kontrol terhadap Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan pelemahan terhadap demokrasi.
57
Dengan pertimbangan di atas, MK menyatakan bahwa syarat
pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak menyatakan
pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum, tidak boleh melebihi batas persyaratan yang
ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Bahkan, menurut MK,
persyaratan jenis hak menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah,
kejadian luar biasa, dan tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket, harus lebih ringan dibanding persyaratan pendapat DPR terkait
Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Karena itu, dengan tidak berlakunya ketentuan
Pasal 184 ayat (4) UU MD3, MK memutuskan ketentuan persyaratan
pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan
pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana.
Hak DPR Menyatakan Pendapat juga berbeda dengan Hak individu
anggota Menyampaikan Usul dan Pendapat. Yang dimaksud dengan hak
anggota DPR menyampaikan usul dan pendapat adalah Anggota DPR berhak
menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang
dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
A. Kajian terhadap Asas
B. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
1. MPR MPR kini bukan lagi lembaga tertinggi Negara, pemegang dan
pelaksana kedaulatan rakyat. Ini ditandai dengan diubahnya ketentuan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Rumusan
baru Pasal 1 ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan
meneguhkan paham kedaulatan rakyat; dan bukannya menyangkut
pemasalahan kedudukan dari lembaga-lembaga negara melainkan
soal cara melaksanakan dan mewujudkan kedaulatan rakyat
sebagaimana diatur dalam UUD. Rumusan ini adalah “penjabaran
langsung” paham kedaulatan rakyat. Rumusan ini tidak lagi mengenal
istilah lembaga tertinggi negara maupun lembaga tinggi negara. Hal ini
berlainan dengan maksud dan penjabaran Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 sebelum diubah, dimana UUD 1945 membentuk struktur
ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan
58
MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-
institusi ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kunci bagi
kekuasaan pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada
hubungannya lagi dengan rakyat.
Selain itu, gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi secara konseptual ingin menegaskan kedaulatan
rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik negara dan
pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah
pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk kepada rakyat.68
Artinya, ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tidak
meletakan perwujudan MPR dalam gagasan sistem dua kamar, bahkan
ketika MPR mengubah konsep Kedaulatan yang berada di tangan MPR
menjadi, Pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar” dan
meskipun hal tersebut MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi,
tetapi sama seperti lembaga negara lainnya yang wewenangnya
ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 3, Pasal 6A, Pasal 8, dan
Pasal 37 UUD 1945 sekaligus menggeser supremasi MPR ke supremasi
menurut UUD.
Dengan kedudukan MPR yang berubah, UUD 1945 masih
memberikan wewenang kepada MPR untuk mengubah dan
menetapkan UUD; dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUD; memilih Wakil
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden; serta
memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya.
Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih memalui pemilihan umum yang diresmikan dengan Keputusan
Presiden. Masa Jabatan Anggota MPR adalah lima tahun dan
berakhir bersamaan pada pada saat Anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
MPR tidak bisa dikatakan sama dengan sistem dua kamar seperti
“Congress” (Amerika Serikat), “Parliament” (Inggris) atau “Staten
General” (Belanda). Kalau dilihat dari segi kewenangannya,
68 Bagir Manan, op.cit., hal. 74.
59
wewenang MPR disebutkan secara limitatif dalam Pasal 3, Pasal 6A,
Pasal 7B, Pasal 8 dan Pasal 37 UUD 1945. Wewenang MPR untuk
menetapkan UUD tidak dimiliki oleh “Congress” Amerika Serikat,
“Parliament” Inggris dan “Staten General” Belanda.
Jika mencontoh model bikameral di Jerman, dimana Bundestag
mewakili pemerintahan federal kalau di Indonesia disamakan
dengan DPR, sedangkan Bundesrat mewakili negara bagian atau
disebut Laender di Indonesia disamakan dengan DPD. Kedua lembaga
itu (Bundestag dan Bundesrat) terpisah, berarti sistem bikameral yang
di anut di Indonesia bersifat “quasi federal”, karena Jerman bersifat
negara federal.
Menurut Prof. DR. Bagir Manan, tidak diketahui dasar pemikiran
MPR untuk meletakkan MPR dan DPR sebagi dua badan perwakilan
tingkat pusat yang terpisah.69 Ada yang mengaitkannya dengan Soviet
Tertinggi di Uni Republik Soviet Sosialis (Union of Soviet of Nationalities)70
Tetapi Soviet Uni dan Soviet Kebangsaan merupakan unsur-
unsur dari Soviet Tertinggi tidak terpisah satu sama lain. Soviet
Tertinggi adalah sistem perwakilan dua kamar, bukan badan terpisah
seperti MPR.
Ada juga yang mencoba mengaitkannya dengan Kongres Rakyat
Nasional (National People’s Conggress) di Republik Rakyat Cina.
Pendekatan ini kurang tepat, karena Kongres Rakyat Nasional
memiliki wewenang yang sangat luas, meliputi mengubah UUD,
mengawasi pelaksanaan UUD menetapkan dan mengubah undang-
undang, memilih Presiden dan Wakil Presiden, menyetujui Perdana
Menteri yang dicalonkan oleh Presiden.71 Dari jumlah keanggotaan,
wewenang dan kedudukan yang tidak setara antara DPR dan DPD,
mencerminkan bahwa sistem MPR yang dianut oleh perubahan UUD
1945 lebih bersifat “quasi bikameral” dalam sistem negara federal.
2. DPD
Permasalahan Yuridis yang dihadapi oleh DPD berawal dari
ketentuan mengenai DPD yang dirumuskan dalam UUD Negara
69Ibid. 70 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Univ. Islam Indonesia,
Jogyakarta, 2003. hal. 51. 71 Pasal 57 UUD RRC. (tahun 1977).
60
Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan-aturan yang ditetapkan dalam
UUD belum menterjemahkan dasar-dasar teoritis sistem parlemen
bikameral yang harus ditetapkan dalam bentuk normatif.
Prinsip check and balances yang menjadi tuntutan
perubahan UUD 1945 tidak tercermin dalam hubungan
kewenangan antara DPR, DPD dan Presiden.
Ketentuan dalam Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD
1945, tidak dapat memberikan jawaban, apa sebetulnya yang menjadi
kewenangan DPD dalam bidang legislasi, anggaran dan pengawasan.
DPD dalam melaksanakan fungsinya, DPD juga mempunyai tugas dan
wewenang antara lain :
a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah; yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
f. menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk
dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR;
g. tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
61
DPD hingga saat ini masih merasakan pelaksanaan fungsi DPD
sebagai lembaga perwakilan daerah kurang efektif dengan
pengaturan yang ada selama ini.
3. Anggaran DPR Dalam UU no. 17 tahun 2014 tentang MD3, pasal 75 ayat (1)
disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang DPR
(pasal 71 dan 72),
DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam menyusun program dan kegiatan tersebut, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk dibahas bersama.
Dalam pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR No. 1
tahun 2014 tentang Tata Tertib, penyusunan anggaran ini dilakukan oleh
BURT dengan berpedoman pada arah kebijakan umum anggaran DPR dan
berdasarkan pada usulan dari alat kelengkapan DPR dan fraksi dengan
memperhatikan geografis daerah pemilihan anggota.
Merujuk pada Pasal 71 dan Pasal 72 tersebut di atas, konsep
kemandirian dalam menyusun anggaran dapat dilaksanakan melalui 2 opsi,
yaitu menyusun sendiri besaran anggaran yang dibutuhkan atau DPR dapat
mengajukan standar biaya khusus (SBK) untuk kegiatan-kegiatan tertentu
yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan DPR dengan
mengikuti ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Tidak seluruh
kegiatan dapat ditetapkan dalam SBK. Berdasarkan pada petunjuk teknis
penyusunan standar biaya khusus yang diterbitkan Kementerian Keuangan,
ada beberapa kegiatan yang tidak dapat masuk dalam komponen SBK yaitu:
1) Kegiatan-kegiatan kesekretariatan yang sifatnya umum dalam
rangka operasional perkantoran pada Kementerian Negara/Lembaga
seperti: pembayaran gaji, operasional dan pemeliharaan kantor;
2) Kegiatan-kegiatan yang bersifat insidentil seperti: pengadaan barang
antara lain komputer dan kendaraan, pembangunan gedung kantor.
Pengajuan pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak
termasuk dalam SBK dapat diusulkan melalui penelaahan RKAKL,
dilengkapi dengan TOR, RAB, dan data pendukung terkait yang dapat
dipertanggungjawabkan. Namun demikian, DPR dapat mengusulkan
62
alternatif lain kemandirian anggaran berdasarkan pada praktik-praktik yang
telah dilakukan di dalam maupun luar negeri, mencakup:
a. Penetapan Kemandirian dalam Mengatur Anggaran Sendiri Tingginya dinamika aspirasi masyarakat yang menuntut mobilitas
tinggi dan kurangnya keleluasaan (rigiditas) terhadap peraturan yang
ada terkait dengan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara,
DPR seharusnya diberikan keluasaan dalam mengatur anggarannya
sendiri di luar aturan kebijakan pengelolaan keuangan negara,
sebagaimana yang telah diberlakukan terhadap Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat
kolektif dan kolegial. Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan
Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan
kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada Dewan Komisioner. Dengan keleluasaan yang dimiliki, DPR dapat
menetapkan standar biaya, kebijakan pengelolaan keuangan negara, dan
pertanggungjawaban keuangan negara yang dituangkan dalam bentuk
peraturan DPR. Untuk itu, DPR dapat membentuk badan pengelola
anggaran dan badan audit profesional dalam rangka menjaga prinsip
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Terkait
dengan hal tersebut, maka perlu disisipkan pasal baru yang mengatur
kemandirian anggaran DPR dengan melihat penerapan di OJK.
Melihat penerapannya di OJK, tanggung jawab pengelolaan
anggaran di OJK dilimpahkan kepada Dewan Komisoner selaku
pimpinan tinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial. Selain Dewan
Komisioner, OJK juga memiliki Dewan Audit, yaitu organ pendukung
Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas
pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen
risiko OJK.
Konsekuensi dari ketentuan ini adalah DPR akan bertanggung
jawab secara langsung terhadap pengelolaan keuangan negara, karena
dalam menghitung kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset
serta kegiatan pendukung lainnya, DPR memiliki standar sendiri (yang
ditetapkan dalam peraturan DPR) yang dikecualikan dari standar biaya
umum pemerintah. Standar biaya umum ini ditetapkan setiap tahun
oleh pemerintah dan menjadi pedoman bagi seluruh
kementerian/lembaga dalam menyusun rencana kerja anggarannya.
63
b. Penetapan Persentase Tertentu Anggaran DPR Terhadap APBN72 Penetapan persentase tertentu atas anggaran parlemen terhadap
anggaran negara (APBN) telah dilakukan oleh beberapa parlemen negara-
negara di dunia. Dasar dari otonomi anggaran ini salah satunya adalah
penjabaran prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif sebagaimana diatur dalam konstitusi. Di samping itu, prinsip
non-dependensi dan non-subordinasi juga menjadi prinsip yang
mendasari otonomi anggaran ini.
Karakter otonomi anggaran parlemen tidak berarti berupaya
menghalangi kerja sama dengan pemerintah dalam pengelolaan
anggaran, namun lebih memberikan keleluasaan bagi parlemen dalam
mengikuti peraturan yang ditetapkannya sendiri. Dalam beberapa kasus,
keterlibatan pemerintah terlihat dalam penyiapan usulan anggaran,
sebelum ditetapkan dalam rapat paripurna. Usulan anggaran ini dapat
merupakan bagian dari anggaran negara (UU APBN), atau dapat pula
menjadi terpisah dari APBN (UU terpisah).
Tabel 2. Perbandingan Anggaran Parlemen Negara Lain
No Negara
Penyusunan draf anggaran Parlemen Debat dan voting di parlemen
Penyiapan usulan
anggaran
Keterlibatan eksternal
Penetapan usulan
Presentasi usulan
Masuk dalam
UU APBN
UU terpisah
1 Belanda - Majelis
Pertama Ketua dan Watua
Menteri Dalam Negeri
Paripurna Ya
- Majelis Kedua
Biro – Setjen
Menteri Dalam Negeri
Paripurna Ya
2 Filipina - Senat Departmen
Administrasi dan Anggaran
- Komisi Bikameral
- Biro Ketua Parlemen
Ya
3 Rumania - Majelis
Deputi Departmen Questeurs
Tidak - Biro (berdasarkan laporan Questeurs)
- Komisi Anggaran Parlemen
Pemerintah Ya
- Senat Biro Tidak
72 The administrative and financial autonomy of parliamentary assemblies, Report
prepared by Mr Michel Couderc (France), adopted at the Moscow Session (September 1998)
64
4 Italy - Majelis
Deputi Dewan Questeurs Tidak
Ya - Senat
Besarnya proporsi anggaran parlemen terhadap anggaran negara bervariasi.
Tabel 3. Perbandingan Porsi Anggaran Parlemen terhadap Anggaran Negara
No. Parlemen Porsi anggaran parlemen
terhadap anggaran negara (%)
1 Australia: - DPR - Senat
0.36 0.05
2 Kanada: - Senat
0.03
3 Cyprus 0.02 4 Republik Ceko
- Dewan Deputi - Senat
0.25 0.16
5 Denmark - Folketinget
0.011
6 Finlandia 0.1 7 Perancis
- DPR - Senat
0.17 0.09
8 Jerman 0.2 9 Hungaria
- DPR 1
10 Irlandia - Majelis Perwakilan
0.29
11 Belanda - Majelis Pertama - Majelis Kedua
0.07 0.15
12 Norwegia - DPR
0.086
13 Filipina - Majelis Perwakilan - Senat
0.03 0.16
14 Rusia - Konsil Federasi
0.04
15 Spanyol - Senat
0.03
16 Swedia - DPR
0.12
17 Thailand - DPR - Senat
0.17 0.02
18 Inggris - Majelis Tinggi
0.001
65
- Majelis Rendah 0.001 19 Uruguay 2 20 Zambia 6
Berdasarkan survey yang dilakukan, ada beberapa skema untuk pengelolaan
anggaran yang diurutkan berdasarkan frekwensi penerapannya:
- Sekretaris Jenderal atau Kepala Divisi sebagai pengelola anggaran
melakukan pengeluaran. Pejabat ini juga merupakan pejabat akuntansi,
dari divisi keuangan atau akuntansi, mungkin melalui pendelegasian
dari berbagai divisi keuangan. Pengeluaran ini diaudit oleh seorang
auditor, pengawas keuangan atau seorang kepala akuntan.
- Ketua Parlemen bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran dan
mendelegasikan kekuasaannya kepada Sekretaris Jenderal atau
departemen khusus yang membantunya dalam mengelola anggaran.
Pembayaran diaudit oleh departemen akuntansi atau oleh seorang
kepala akuntan.
- Biro atau komisi parlemen yang bertanggung jawab atas pengelolaan
anggaran. Badan ini dibantu oleh Sekretaris Jenderal dan departemen
khusus yang melakukan pengeluaran, dan diaudit oleh kepala akuntan.
- Beberapa negara membentuk “The Questeurs” Parlemen (badan
gabungan dari DPR dan Senat) yang memiliki peranan kunci dalam
pengelolaan anggaran.
Ada beberapa peran yang dimiliki :
a) Di Belgia, Italia dan Perancis, badan ini memainkan peran lebih besar
dalam pengelolaan anggaran, pengeluaran dan pembayaran. Namun
keputusan keuangan yang paling penting selalu melibatkan
Ketua/Sekjen dan Biro. Sekretaris Jenderal memiliki kewenangan
melakukan pengeluaran sampai dengan jumlah tertentu.
b) Pada Parlemen di Afrika: Ketua Parlemen bertanggung jawab untuk
pengelolaan anggaran dan juga sebagai Pejabat Kepala Akuntansi (chief
accounting officer). The Questerurs mengusulkan pengeluaran,
mengaudit pembayaran dan otorisasinya. Badan ini dapat menerima
pendelegasian dari Ketua parlemen.
Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran dilakukan dua cara :
a) pemeriksaan internal (oleh badan parlemen) dan/atau pengawas
eksternal (oleh badan independen dari parlemen)
66
b) pemeriksaan umum (a priori) selama pelaksanaan anggaran atau
pemeriksaan khusus (a posteriori) di akhir pelaksanaan
Berdasarkan pada dua pola pengawasan tersebut, ada negara yang
sangat ketat pengawasannya (melibatkan pengawas eksternal pemerintah)
seperti di Republik Ceko, Hungaria, Namibia, Romania, Thailand, Zambia,
dan ada pula yang tidak terlalu ketat dimana parlemen sepenuhnya
melakukan pengawasan melalui badan independen (Belgia, Kanada,
Perancis).
Publikasi anggaran ini dilakukan di hampir semua Parlemen. Terkait
dengan anggaran yang telah ditetapkan, hampir separuh parlemen
mempublikasikan keseluruhan anggaran baik dalam Lembaran Negara
(official journal) atau dalam dokumen khusus yang diterbitkan oleh
parlemen. Beberapa parlemen langsung mempublikasikan dokumen
anggaran setelah selesai pembahasan, disamping UU Anggaran dalam
Lembaran Negara. Tujuannya adalah memberikan informasi/ pemahaman
tentang anggaran parlemen kepada masyarakat, baik rinciannya atau hanya
dalam beberapa aspek yang terpenting saja. Mayoritas parlemen hanya
mempublikasikan anggaran secara garis besar.
4. Program Pembangunan Daerah Pemilihan Salah satu hak Anggota DPR adalah mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Pengaturan
mekanisme program pembangunan daerah pemilihan ini lebih banyak
dimuat dalam Peraturan nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib. Klausul
yang dimuat dalam tatib antara lain:
- Tugas Komisi untuk menindaklanjuti penugasan dari pimpinan DPR
mengenai usulan Anggota berkaitan dengan aspirasi dari daerah
pemilihan dan/atau tugas pengawasan lainnya yang diputuskan dalam
rapat paripurna DPR.
- Tugas Badan Anggaran untuk mengintegrasikan usulan Anggota
berdasarkan aspirasi daerah pemilihan kepada komisi terkait.
- Hak anggota untuk meminta data dan informasi mengenai
pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah,
mengadakan kunjungan lapangan dan menyampaikan hasil pengawasan
kepada publik, dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat,
termasuk masyarakat di daerah pemilihan.
67
- Pengintegrasian program Pembangunan Daerah Pemilihan ke dalam
program pembangunan nasional dalam APBN dan mekanisme
penyampaiaannya dalam rapat paripurna DPR.
Untuk mewujudkan janji, hak dan kewajiban Anggota DPR, maka hal-
hal yang berkaitan dengan program pembangunan daerah pemilihan harus
dituangkan dalam undang-undang untuk menegaskan implementasinya bagi
parlemen dan pemerintah. Penyempurnaan ini mencakup tugas komisi di
bidang anggaran dan memasukkan hak dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan. Untuk menghindari adanya overlapping
antara fungsi pengawasan DPR selaku lembaga dengan hak pengawasan
anggota DPR selaku individu yang memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan, maka pasal 227 (paragraf 9 yang mengatur Hak
Pengawasan) yang mengatur hak pengawasan individu anggota DPR terkait
pengawasan atas usulan program pembangunan daerah pemilihan perlu
diubah menjadi “paragraph 9: Hak Pengawasan Program Pembangunan
Daerah Pemilihan” tanpa mengubah isi pasal 227. Dengan memindahkan
klausul ini, dari peraturan menjadi undang-undang, diharapkan dapat
memperkuat komitmen parlemen dan pemerintah dalam rangka
mewujudkan program pembangunan daerah pemilihan.
5. Siklus Pembahasan APBN Mekanisme pembahasan siklus APBN dijabarkan secara lebih detail
dalam Peraturan DPR No. 1 tahun 2014 tentang Tatib. Siklus ini diawali
dengan pembahasan tentang Pembicaraan Pendahuluan, Pembahasan dan
Penetapan RUU tentang APBN, penetapan RUU tentang Perubahan atas
APBN, Pembahasan dan Penetapan RUU tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN, dan pembahasan laporan realisasi semester pertama
APBN dan perkiraan realisasi untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Klausul dana transfer daerah dalam Tatib DPR secara umum
mengatur tugas dari Badan Anggaran untuk membahas dana alokasi umum;
menerima usulan program yang akan didanai oleh dana alokasi khusus
berdasarkan kriteria teknis dari komisi terkait; menerima, membahas, dan
mengintegrasikan usulan Anggota berdasarkan aspirasi daerah pemilihan
kepada komisi terkait; dan sinkronisasi di Badan Anggaran terkait dengan
ketiga hal tersebut.
Pembahasan tentang dana transfer daerah ini perlu dimasukkan ke
dalam bentuk undang-undang. Di samping itu, dengan berubahnya
68
nomenklatur dana transfer ke daerah menjadi dana transfer ke daerah dan
dana desa, maka perlu diciptakan pula mekanisme pengawasan yang efektif
terhadap transfer dana desa yang sudah dimulai pada tahun 2015.
Pengawasan parlemen terhadap dana tersebut dimaksudkan untuk
menghindari adanya pola ketergantungan baru dari pemerintah desa
terhadap anggaran dari APBN. Dana desa diharapkan dapat mewujudkan
kemandirian ekonomi desa, dan mampu mengatasi kesenjangan antar desa,
sebagaimana tujuan utama pengalokasian dana desa yang bersumber dari
APBN.
6. Mitra Kerja Jumlah mitra kerja setiap komisi saat ini bervariasi antara 5 – 17
mitra kerja. Kondisi ini mengakibatkan setiap mitra kerja kurang waktu
untuk membahas mengenai berbagai persoalan di bidangnya. Anggota DPR
juga terpecah-pecah konsentrasi dalam membahas suatu hal dalam satu
hari. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan kerja komisi, dipikirkan untuk
mengecilkan jumlah mitra kerja dengan memperbanyak jumlah komisi.
Seperti halnya Komisi, Badan Anggaran dalam pelaksanaan tugasnya
juga membahas rencana kerja dan anggaran Kementerian Koordinator yaitu
(1) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; (2)
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; (3) Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; dan (4) Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman. Sementara, dalam praktiknya,
Kementerian Koordinator tidak disebutkan sebagai mitra kerja Badan
Anggaran.
7. Supporting System Dalam rangka memberikan dukungan pelayanan administrasi, teknis,
dan keahlian di MPR, DPR, dan DPD dari beberapa riset yang dilakukan
telah merekomendasikan agar dilakukan reformasi di tubuh supporting
system. Status sebagai PNS yang merupakan pegawai pemerintah telah
mengakibatkan tanggung jawab para pegawai tetap yang bekerja di
Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD dua kaki, satu kaki berada di
arena eksekutif dan yang lainnya di area legislatif.
Kondisi demikian selama ini telah menimbulkan pertanyaan dimana
letak profesionalisme para pegawai yang berstatus sebagai PNS? Beberapa
kendala lain yang dihadapi yaitu terkait rekrutmen pegawai yang harus
69
memperhatikan formasi yang diatur oleh Menteri PAN dan RB. Demikian
pula terkait beberapa ketentuan yang harus dihadapi oleh para pejabat
fungsional dimana pembinanya sebagian besar di luar instansi MPR, DPR,
dan DPD. Seringkali dalam praktiknya ketentuan yang mengatur mereka
kurang memperhatikan cara kerja di parlemen yang sangat berbeda dengan
di instansi pemerintah.
8. Kawasan Parlemen Penataan kawasan parlemen dimaksudkan untuk mempermudah
pengaturan orang/barang tanpa mengganggu aktivitas parlemen. Sebagai
representasi rakyat, Anggota DPR menampung aspirasi masyarakat melalui
berbagai cara antara lain kunjungan kerja ke daerah pemilihannya dan
menerima pengaduan masyarakat yang berkunjung langsung ke parlemen.
Penataan kawasan parlemen juga bertujuan untuk memberikan lingkungan
yang lebih baik bagi anggota DPR dalam menjalankan fungsi representasi
rakyat dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkualitas bagi
kepentingan rakyat. Diperlukan beberapa fasilitas pendukung yang
memadai bagi anggota dewan dan masyarakat, antara lain:
1. Pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli Salah satu masalah yang mendesak antara lain pembangunan
ruang kerja bagi anggota dan tenaga ahli anggota dewan. Dengan
kondisi saat ini, 5 orang tenaga ahli bagi 1 orang anggota dewan,
maka diperlukan gedung yang mampu menampung 2.800 orang.
Standarisasi luas ruang kerja bagi pejabat negara telah diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
7/PMK.06/2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 248/Pmk.06/20 1 1 Tentang Standar Barang Dan
Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Tanah Dan/Atau
Bangunan. Berdasarkan ketentuan tersebut, luas ruang kerja bagi
Pejabat Tinggi dan yang setingkat dapat diatur lebih lanjut oleh
Pengelola Barang dengan memperhatikan tugas dan fungsi pejabat
tinggi yang bersangkutan. Namun demikian, sebagai perbandingan,
total luas ruang kerja Menteri dan yang setingkat maksimum 223
m2 (dua ratus dua puluh tiga meter persegi) , dengan contoh
penerapan sebagai berikut:
Tabel 5. Ukuran Standar Ruangan
70
No. Jenis Ruang Luas Satuan
a. Ruang Kerja 28 m2
b. Ruang Tamu 40 m2
c. Ruang Rapat 40 m2
d. Ruang Tunggu 60 m2
e. Ruang Istirahat 20 m2
f. Ruang
Sekretaris
15 m2
g. Ruang Simpan 14 m2
h. Ruang Toilet 6 m2
Jumlah 223 m2
Sumber: PMK No. 7/PMK.06/2016
Pembangunan gedung baru menjadi kebutuhan mendesak bila
melihat kondisi ruang anggota yang ada saat ini, yang luasnya
tidak sampai 50 m2. Gedung baru ini nantinya akan memberikan
akses khusus bagi masyarakat/tamu yang ingin mengunjungi
parlemen.
2. Pembangunan ruang pusat kajian legislasi Sebagai lembaga yang salah satu fungsinya melahirkan berbagai
produk perundang-undangan, diperlukan adanya dukungan
sarana dan prasarana bagi berjalannya fungsi ini secara efektif dan
efisien. Ruang pusat kajian legislasi merupakan ruang khusus bagi
anggota dan staf bidang legislasi untuk menyimpan segala bentuk
referensi dan produk yang telah dilahirkan oleh parlemen.
3. Pembangunan alun-alun demokrasi, museum dan perpustakaan, dan visitor center Kawasan parlemen memang seharusnya tidak membatasi akses
masyarakat yang ingin berkunjung/menyampaikan aspirasinya
kepada parlemen atau kepada anggota DPR yang diwakilinya.
Namun demikian, perlu dilaksanakan pembenahan/pengaturan
untuk menjamin tetap terselenggarakan persidangan dan aktivitas
parlemen dalam proses penyampaian aspirasi masyarakat di
parlemen. Untuk itu, diperlukan zonasi/pembatasan akses di
kawasan parlemen, tanpa menghilangkan prinsip “kedekatan”
71
parlemen bagi rakyat/masyarakat. Karenanya diperlukan adanya
tempat khusus bagi masyarakat yang ingin menyuarakan
aspirasinya secara langsung di parlemen (alun-alun demokrasi) dan
visitor center bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih dekat
mekanisme kerja dan hal-hal lain terkait parlemen. Melalui visitor
center ini, masyarakat dapat secara menyaksikan langsung dan
mendengar jalannya persidangan dengan tetap menjaga ketertiban
jalannya persidangan.
4. Integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR Intensitas dan mobilitas yang tinggi mengharuskan anggota dewan
untuk secara kontinu menghadiri rapat-rapat dengan pemerintah.
Stamina yang terjaga dengan baik merupakan salah satu faktor
pendukung kinerja anggota dalam menjalankan aktivitasnya.
Integrasi kawasan tempat tinggal anggota dengan gedung parlemen
diharapkan mampu mengatasi padatnya jadwal rapat.
Di beberapa negara, seperti Inggris, pemerintah mengalokasikan
anggaran sewa rumah bagi anggota parlemen. Anggaran ini dikelola
oleh sebuah badan independen yaitu The Independent
Parliamentary Standards Authority (IPSA), yang mengatur ongkos
dan biaya perjalanan, pensiun, dan dukungan keuangan lainnya
bagi anggota parlemen dalam menjalankan fungsinya.
Parlemen Jepang menyediakan akomodasi bagi anggota parlemen
yang lokasinya berdekatan dengan kantor parlemen, sementara
anggota parlemen India menempati bungalow di New Delhi, dan
Myanmar membangun asrama bersama (shared dorms) bagi
anggota parlemennya.
C. Kajian terhadap Aspek Beban Keuangan Negara Beberapa hal baru yang diperkirakan akan berimplikasi kepada
beban keuangan negara dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Penambahan jumlah komisi
72
Penambahan jumlah komisi akan mengakibatkan kebutuhan
jumlah ruang untuk rapat komisi. Namun demikian, bisa juga
dipikirkan dampak dari penambahan jumlah ruang dapat disiasati
dengan mengatur waktu rapat sehingga penambahan ruang tidak
diperlukan.
2. Penataan Kawasan Parlemen
Penataan kawasan parlemen mengakibatkan kebutuhan anggaran
pembangunan gedung, baik untuk fasilitas kerja anggota DPR dan
pegawai, juga termasuk museum, dan alun-alun.
B. Praktik Empiris
73
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Substansi analisis dan evaluasi peraturan hukum terkait dimaksudkan
untuk memberikan gambaran mengenai peraturan perundang-undangan
yang menjadi landasan mengenai keberadaan, peranan, dan fungsi MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Analisis terhadap substansi pengaturan badan-badan
tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan berbagai persoalan yang yang
dihadapi. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah pertentangan antara
peraturan yang satu dengan yang lainnya, baik secara vertikal maupun
horizontal. Di samping itu, apakah terjadi kekosongan dan tumpang tindih
peraturan. Analisis ini penting untuk menjamin agar RUU tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD mempunyai kedudukan dan porsi yang jelas di
antara undang-undang yang lain, serta menjamin harmonisasi ketentuan
dalam undang-undang yang lain. Walaupun berjudul Undang-Undang
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, akan tetapi dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
ketentuan mengenai DPRD dicabut untuk diatur dalam Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah tersebut, sehingga pengaturan di dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
tinggal mengatur MPR, DPR, dan DPD.
Dalam sistem hukum di Indonesia, terdapat jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan, yaitu Konstitusi atau UUD 1945 berada
pada urutan paling atas. Selain Konstitusi, berturut-turut secara hierarki
adalah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Peraturan perundang-undangan tersebut tersusun dalam bertingkat, di
mana peraturan yang lebih tinggi lebih kuat dibandingkan dengan peraturan
74
yang lebih rendah. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi. Peraturan yang lebih tinggi merupakan
sumber dari peraturan yang lebih rendah. Apabila terjadi pertentangan
antara peraturan yang lebih rendah dan yang lebih tinggi maka peraturan
yang lebih rendah tidak dapat berlaku lagi. Prinsip ini dimaksudkan agar
tidak terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga tercapai harmonisasi
dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal. Di
samping harmonisasi secara vertikal, diperlukan pula harmonisasi secara
horizontal, yaitu harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan perundang-
undangan yang berada pada tingkatan yang sama. Harmonisasi dan
sinkronisasi ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan atau
kekosongan hukum yang berdampak pada efektivitas pelaksanaan suatu
undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan MPR,
DPR, dan DPD pada saat ini tersebar dalam berbagai jenis peraturan
perundang-undangan, oleh karenanya, berikut kajian evaluasi dan analisis
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan MPR, DPR,
dan DPD.
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU MD3 merupakan ketentuan undang-undang organik dari UUD NRI
Tahun 1945. Oleh karena itu, banyak ketentuan pokok mengenai
pengaturan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diatur
dalam UUD NRI Tahun 1945. Pasal 2 UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan
bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilhan umum (pemilu). Sementara Anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih
melalui pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945.
Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik
(parpol); dan peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD adalah
perseorangan.
a. MPR Dalam UUD NRI Tahun 1945, MPR diatur dalam Bab II, yaitu Pasal 2
dan Pasal 3. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota
Negara. Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan
75
suara yang terbanyak. MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar (UUD). MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden dan
hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut UUD.
MPR dapat mengusulkan perubahan UUD, sebagaimana diatur dalam
Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat
diagendakan dalam sidang MPR, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya
1/3 dari jumlah anggota MPR. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang
MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota MPR.
Dalam Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan
bahwa MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun
2003.
b. DPR Dalam UUD NRI Tahun 1945, DPR diatur dalam Bab VII, yaitu Pasal
19 sampai dengan Pasal 22B. Susunan DPR diatur dengan undang-undang,
yaitu UU MD3. DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Kedudukan
DPR sangat kuat, bahkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7C UUD NRI
Tahun 1945.
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu. Tidak hanya DPR secara
kelembagaan, UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Anggota DPR berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang. Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang, yaitu UU MD3.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
(perppu). Perppu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
76
yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka perppu itu harus
dicabut.
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak
interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Setiap anggota DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas. Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan
hak anggota DPR diatur dalam undang-undang, yaitu diatur dalam UU MD3.
Dalam menjalankan pemerintahan pada beberapa hal tertentu, UUD
NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden wajib meminta persetujuan DPR
atau pertimbangan DPR. Persetujuan DPR diatur dalam Pasal 11 UUD NRI
Tahun 1945, sementara pertimbangan DPR diatur dalam Pasal 13 dan 14
UUD NRI Tahun 1945. Presiden meminta persetujuan DPR untuk
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain. Presiden juga meminta persetujuan DPR dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Sementara itu, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal
mengangkat duta, menerima penempatan duta negara, serta memberi
amnesti dan abolisi.
Tidak hanya hubungan DPR dengan Presiden yang diatur dalam UUD
NRI Tahun 1945. UUD NRI Tahun 1945 juga mengatur hubungan DPR
dengan kekuasaan kehakiman, khususnya mengenai pencalonan hakim
agung, hakim konstitusi, dan pengangkatan anggota Komisi Yudisial (KY).
Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa calon Hakim
Agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. DPR juga
mengajukan tiga orang hakim konstitusi dari sembilan orang formasi hakim
konstitusi yang tersedia, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945. Pasal 24B ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa
anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.
c. DPD Dalam UUD NRI Tahun 1945, DPR diatur dalam Bab VIIA, yaitu Pasal
22C dan Pasal 22D. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu.
77
Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh
anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. DPD
bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Susunan dan kedudukan DPD
diatur dengan undang-undang, yaitu UU MD3. Anggota DPD dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur
dalam undang-undang, yaitu UU MD3.
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. DPD ikut membahas rancangan undang-
undang dengan topik-topik tersebut, serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama. DPD dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
d. DPRD UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur terlalu banyak mengenai DPRD.
Hanya Pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut secara
spesifik mengenai DPRD, yaitu: “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”Selanjutnya Pasal 18
ayat (7) menyatakan bahwa Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah (termasuk DPRD) diatur dalam undang-undang, yaitu
UU MD3.
e. Irisan Tugas dan Wewenang DPR dan DPD Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada beberapa tugas dan
wewenang DPR dan DPD yang beririsan, yaitu mengenai rancangan undang-
undang anggaran pendapatan dan belanja negara (RUU APBN) yang
diajukan oleh Presiden. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas
78
bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945. Apabila DPR tidak menyetujui
rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan
APBN tahun yang lalu. Selain mengenai RUU APBN, Pasal 23F UUD NRI
Tahun 1945 menyatakan bahwa Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan
oleh Presiden.
f. Irisan Tugas dan Wewenang DPR, DPD, dan DPRD Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada beberapa tugas dan
wewenang DPR, DPD, dan DPRD yang beririsan, yaitu untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, sebagaimana
diatur dalam Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Hasil pemeriksaan keuangan
yang dilakukan oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
g. Irisan Tugas dan Wewenang DPR dan MPR Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada beberapa tugas dan
wewenang DPR dan MPR yang beririsan, terutama yang terkait dengan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam Pasal 7A UUD NRI
Tahun 1945 dinyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya Pasal 7B UUD NRI
Tahun 1945 mengatur bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus dugaan DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi
syarat. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan
dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang
79
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
dengan seadil-adilnya paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan
DPR itu diterima oleh MK. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat, DPR menyelenggarakan
sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna MPR.
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil
Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam hal terjadi kekosongan
Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon
yang diusulkan oleh Presiden. Selain itu, jika MPR atau DPR tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR
dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.
B. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
80
Tahun 2014 Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menindaklanjuti
pengaturan mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terdapat dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Akan
tetapi, berdasarkan Pasal 409 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai DPRD yang
terdapat dalam UU MD3 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan
demikian, UU MD3 hanya memuat pengaturan mengenai MPR, DPR, dan
DPD.
Pengaturan mengenai MPR yang dimuat dalam UU MD3 antara lain
susunan dan kedudukan MPR, wewenang dan tugas MPR, keanggotaan
MPR, hak dan kewajiban anggota MPR, fraksi dan kelompok anggota MPR,
alat kelengkapan MPR, pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, pelaksanaan
hak anggota MPR, persidangan dan pengambilan keputusan di MPR, dan
penggantian antarwaktu anggota MPR. Susunan MPR diatur dalam Pasal 2
UU MD3 yaitu MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum. Adapun kedudukan MPR diatur dalam Pasal 3 UU
MD3 yaitu MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.
Wewenang MPR diatur dalam Pasal 4 UU MD3. Wewenang tersebut
terdiri atas:
a. mengubah dan menetapkan UUD NRI Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
81
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan dari 2 (dua) pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil
presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Adapun tugas MPR diatur dalam Pasal 5 UU MD3. Tugas tersebut terdiri
atas:
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD NRI Tahun 1945, serta
pelaksanaannya; dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD NRI
Tahun 1945.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden, sedangkan masa
jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota
MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 7 UU MD3. Hak anggota MPR diatur dalam Pasal 10 UU MD3. Hak
anggota MPR tersebut terdiri atas mengajukan usul pengubahan pasal UUD
NRI Tahun 1945, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan
keputusan, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, serta
keuangan dan administratif. Adapun, kewajiban anggota MPR diatur dalam
Pasal 11 UU MD3. Kewajiban tersebut terdiri atas memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NRI Tahun 1945 dan menaati
peraturan perundang-undangan, memasyarakatkan Pancasila, UUD NRI
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika, mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mendahulukan kepentingan
82
negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, dan
melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi diatur dalam Pasal 12 UU MD3. Fraksi merupakan
pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR
yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam
melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Adapun kelompok anggota
diatur dalam Pasal 13 UU MD3. Kelompok anggota MPR merupakan
pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
Kelompok anggota MPR dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan
efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai
wakil daerah.
Alat kelengkapan MPR menurut Pasal 14 UU MD3 terdiri atas
pimpinan dan panitia ad hoc MPR. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU MD3
dinyatakan pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pimpinan MPR
tersebut dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat
tetap. Adapun Panitia ad hoc MPR menurut Pasal 20 UU MD3 terdiri atas
pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya
mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap
fraksi dan kelompok anggota MPR. Anggota Panitia ad hoc diusulkan oleh
DPR dan DPD dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.
Pelaksanaan wewenang dan tugas MPR meliputi:
a. pengubahan UUD NRI tahun 1945
Usul pengubahan pasal UUD NRI Tahun 1945 diajukan oleh paling
sedikit 1/3 (satu per tiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul
pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara
jelas pasal yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
b. pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
dalam sidang paripurna MPR. Jika MPR tidak dapat
menyelenggarakan sidang tersebut maka Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan rapat paripurna DPR. Akan tetapi, jika DPR tidak dapat
83
menyelenggarakan rapat tersebut maka Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung.
c. pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa
Jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut UUD NRI Tahun 1945.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
Usul DPR tersebut harus dilengkapi putusan Mahkamah Konstitusi
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan
tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
d. pelantikan Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh
Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
e. pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden
Jika terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan
sidang paripurna untuk memilih Wakil Presiden.
f. pemilihan dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
maka MPR menyelenggarakan sidang paripurna.
Pelaksanaan hak anggota MPR meliputi:
a. hak imunitas
Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya
baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR
atau di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang
dan tugas MPR. Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya
baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau
rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR. Akan
tetapi, hal tersebut tidak berlaku dalam hal anggota yang
84
bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam
rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam
ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b. hak protokoler
Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler. Tata cara
pelaksanaan hak protokoler diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
c. hak keuangan dan administratif
Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan
administratif. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
MPR disusun oleh pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan wewenang dan
tugas MPR. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu
kota negara. Adapun pengambilan keputusan dalam sidang MPR terlebih
dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Jika
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil melalui
pemungutan suara.
Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi
penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD. Pemberhentian
dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR
diresmikan dengan keputusan Presiden.
Pengaturan mengenai DPR yang dimuat dalam UU MD3 antara lain
susunan dan kedudukan DPR, Fungsi DPR, wewenang dan tugas DPR, hak
DPR, hak anggota DPR, alat kelengkapan DPR, Susunan DPR diatur dalam
Pasal 67 UU MD3 yaitu terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan
umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Adapun kedudukan DPR
diatur dalam Pasal 68 UU MD3 yaitu DPR merupakan lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Fungsi DPR diatur dalam Pasal 69 UU MD3. Fungsi tersebut terdiri
atas fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi tersebut
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat dan juga untuk mendukung
upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Fungsi legislasi dilaksanakan
sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan
85
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Fungsi
pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang dan APBN.
Wewenang DPR diatur dalam Pasal 71 UU MD3. Wewenang tersebut
terdiri atas:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden
atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan
mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan
oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama;
g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang
dan membuat perdamaian dengan negara lain;
h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang;
86
i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti
dan abolisi;
j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat
duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Adapun tugas DPR diatur dalam Pasal 72 UU MD3. Tugas tersebut terdiri
atas:
a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program
legislasi nasional;
b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan
undangundang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
APBN, dan kebijakan pemerintah;
e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara;
g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat; dan
h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Hak DPR diatur dalam Pasal 79 UU MD3. Hak DPR terdiri atas hak
interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Hak interpelasi adalah hak
87
DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan
Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak angket adalah
hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk
menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak Anggota DPR diatur dalam Pasal 80 UU MD3. Hak tersebut terdiri
atas mengajukan usul rancangan undang-undang, mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri,
imunitas, protokoler, keuangan dan administratif, pengawasan,
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan, dan melakukan sosialiasi undang-undang.
Alat kelengkapan DPR berdasarkan Pasal 83 ayat (1) UU MD3 terdiri
atas pimpinan, Badan Musyawarah, komisi, Badan Legislasi, Badan
Anggaran, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, Mahkamah Kehormatan
Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, panitia khusus, dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Pimpinan alat kelengkapan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam
satu paket yang bersifat tetap. Jumlah Pimpinan komisi, Badan Legislasi,
Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, Mahkamah
Kehormatan Dewan, dan Badan Urusan Rumah Tangga ditambah 1 (satu)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
88
Pengaturan mengenai DPD yang dimuat dalam UU MD3 antara lain
susunan dan kedudukan DPD, Fungsi DPD, wewenang dan tugas DPD,
keanggotaan DPD, hak DPD, hak anggota DPD, dan alat kelengkapan DPD.
Susunan DPD diatur dalam Pasal 246 UU MD3 yaitu terdiri atas wakil
daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Adapun kedudukan
DPD diatur dalam Pasal 247 UU MD3 yaitu DPD merupakan lembaga
perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Fungsi DPD diatur dalam Pasal 248 UU MD3. Fungsi tersebut terdiri
atas:
a. pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
dan
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama.
Wewenang dan tugas DPD diatur dalam Pasal 249 UU MD3. Wewenang
tersebut terdiri atas:
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
89
c. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan
undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan
dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undangundang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undangundang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK; dan
i. menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keanggotaan DPD diatur dalam Pasal 252 UU MD3. Anggota DPD dari
setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang. Jumlah anggota
DPD tidak lebih dari 1/3 (satu per tiga) jumlah anggota DPR.
Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden. Hak DPD
diatur dalam Pasal 256 UU MD3. Hak DPD tersebut terdiri atas:
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
90
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama; dan
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.
Hak anggota DPD diatur dalam Pasal 257 UU MD3. Hak anggota DPD
tersebut terdiri atas hak bertanya, menyampaikan usul dan pendapat,
memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, serta keuangan
dan administratif.
Alat kelengkapan DPD diatur dalam Pasal 259 UU MD3. Alat
kelengkapan DPD tersebut terdiri atas pimpinan, panitia musyawarah,
panitia kerja, panitia perancang undang-undang, panitia urusan rumah
tangga, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan
dan dibentuk oleh rapat paripurna.
C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN) merupakan Undang-Undang yang
menggantikan atau mencabut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999. UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN dibentuk
atas pertimbangan antara lain untuk membangun aparatur sipil negara yang
memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
91
Pegawai ASN terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Definisi PNS adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai
ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki
jabatan pemerintahan. Adapun definisi PPPK adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan.
Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas
pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, pegawai ASN harus
memiliki profesi dan manajemen ASN yang berdasarkan pada sistem merit
atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang
dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang
dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan
promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif,
sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Keterkaitan antara UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) adalah mengenai sistem pendukung.
Pasal 413 UU MD3 menyatakan bahwa untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat
Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat.Jenderal DPD yang
susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas
usul lembaga masing-masing. Selanjutnya dinyatkan bahwa Sekretaris
Jenderal MPR, DPR, dan DPD pada dasarnya berasal dari PNS profesional
yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Hal ini menegaskan bahwa pimpinan organisasi di Sekretariat
Jenderal di ketiga lembaga tinggi negara tersebut harus berasal dari PNS.
Selanjutnya hubungan UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU
MD3 adalah terkait dengan pegawai MPR DPR dan DPD. Pasal 415 UU MD3
menyatakan bahwa pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal
DPR dan Badan Keahlian DPR, serta Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas
PNS dan pegawai tidak tetap. Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian
MPR, DPR, dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masing-masing yang
dibahas bersama dengan Pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Ketentuan mengenai kepegawain di RUU perubahan atas UU
MD3 kedapan harus disinkronkan dengan nomenklatur yang digunakan
dalam UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN, dimana pegawai ASN terdiri atas
92
PNS dan PPPK. Hal ini untuk menciptakan keharmonisan nomenklatur
kepegawain MPR, DPR, dan DPD dengan UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN.
Hal penting lain keterkaitan antara UU No 5 Tahun 2014 Tentang
ASN dengan UU MD3 yaitu mengenai larangan rangkap jabatan. Pasal 236
dan 302 UU MD3 menyatakan bahwa anggota DPR dan anggota DPD serta
anggota MPR tentunya, karena MPR terdari atas anggota DPR dan anggota
DPD, dilarang merangkap jabatan sebagi PNS. Hal ini menegaskan bahwa
pegawai PNS yang merupakan bagian dari pegawai ASN harus menjaga
kenetralannya dan tidak menjadi bagian/pengurus partai politik tertentu.
D. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU Keuangan Negara dibentuk untuk memenuhi amanat ketentuan
Pasal 23C UUD 1945. UU ini berisi beberapa hal penting terkait dengan
pengaturan Keuangan Negara di antaranya pengertian dan ruang lingkup
keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara,
kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Dalam perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, wacana yang
dibawa adalah kemandirian anggaran yang akan dilakukan oleh lembaga
keparlemenan, yaitu oleh MPR, DPR, maupun DPD, sedangkan untuk DPRD
saat ini sudah menjadi ranah Pemerintahan Daerah dalam UU Pemerintahan
Daerah. Dalam kaitannya dengan UU Keuangan Negara, substansi yang
terkait dengan kemandirian anggaran perlu dilihat dari beberapa aspek.
Pertama, pihak yang melakukan pengelolaan keuangan negara. Kedua,
pihak yang melakukan pertanggungjawaban keuangan negara.
Terkait dengan pengelolaan Keuangan Negara, dalam Pasal 6 UU
Keuangan Negara mengatur bahwa:
1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan.
2. Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan
Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan;
93
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan;
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi
antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur
dengan undang-undang.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pada prinsipnya kekuasaan
pengelolaan Keuangan Negara dipegang oleh Presiden RI yang selanjutnya
dapat dikuasakan kepada beberapa pihak di antaranya dikuasakan kepada
pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang lembaga
yang dipimpinnya.
Jika melihat pada penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU Keuangan
Negara, yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan
lembaga pemerintah nonkementerian negara. Di lingkungan lembaga
negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang
bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.
Yang perlu dikaji lebih lanjut apakah pejabat yang bertanggung jawab atas
pengelolaan keuangan lembaga negara adalah Pimpinan Lembaga Negara
yang dalam hal ini Pimpinan DPR, Pimpinan MPR, atau Pimpinan DPD,
ataukah pimpinan suatu badan yang dibentuk khusus yang memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan Keuangan
Negara. Hal ini menjadi penting karena tugas pimpinan lembaga negara
yang diberi kuasa untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara di
lembaga negaranya memiliki tugas yang tidak kalah penting, sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 UU Keuangan Negara, yaitu:
1. menyusun rancangan anggaran lembaga yang dipimpinnya;
2. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
3. melaksanakan anggaran lembaga yang dipimpinnya;
4. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke Kas Negara;
5. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
lembaga yang dipimpinnya;
94
6. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
lembaga yang dipimpinnya;
7. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan lembaga yang
dipimpinnya; dan
8. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Selanjutnya, dalam hal pertanggungjawaban Keuangan Negara, setiap
lembaga Negara dalam melaksanakan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN harus membuat laporan keuangan lembaga Negara, hal ini
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU Keuangan Negara, yang
menyatakan “Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi
Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas
Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.” Hal ini berimplikasi jika DPR, MPR, dan DPD
memiliki kemandirian anggaran maka harus memenuhi ketentuan dalam
Pasal 30 ayat (2) UU Keuangan Negara, yaitu DPR, MPR, DPD harus
membuat laporan keuangan sebagai prasyarat laporan keuangan presiden
kepada DPR.
E. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola
dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Bahwa dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan
negara yang mengatur perbendaharaan negara yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara yang terkait
dengan Undang-Undang MD3 dan perlu disinkronisasikan dalam
pengaturannya yaitu terkait dengan ketentuan kewenangan MPR, DPR, DPD
dalam menyusun anggaran yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-
95
Undang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa : “Dalam Pasal 4
ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa Menteri/pimpinan lembaga selaku
Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya, berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
negara;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan
piutang;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah
pembayaran;
g. menggunakan barang milik negara;
h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik
negara;
i. mengawasi pelaksanaan anggaran;
j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan; kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya.
Bahwa kewenangan MPR, DPR dan DPD dalam menyusun anggaran diatur
dalam Pasal 6, Pasal 75 dan Pasal 250 UU MD3. Dalam Pasal 6
menyebutkan :
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian menyusun
anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan
kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
dibahas bersama.
(3) Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
96
(4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam
peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kewenangan DPR dalam menyusun anggaran diatur dalam Pasal 75 yang
menyebutkan :
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan Pasal 72 DPR memiliki kemandirian menyusun
anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan
kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk
dibahas bersama.
(3) Anggaran DPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam
peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kewenangan DPD dalam menyusun anggaran diatur dalam Pasal 250 yang
menyebutkan :
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 249, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam
program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan
Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
97
(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam
peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Untuk menjaga kemandirian anggaran suatu Lembaga dalam hal ini
maka perlu dijaga pertanggungjawaban anggaran itu sendiri. Bahwa
pertanggungjawaban tersebut juga harus bersifat transparan dan akuntabel.
MPR, DPR, dan DPD menetapkan pertanggungjawbaan Pengelolaan
anggaran yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan MPR, DPR dan
DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa
Ketentuan Peraturan perundangan tersebut juga perlu melihat Ketentuan
mengenai Pengelolaan pertanggungjawaban anggaran yang diatur dalam
Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Dalam Pasal 54 UU
Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa “Pengguna Anggaran
bertanggung jawab secara formal dan material kepada
Presiden/gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran
yang berada dalam penguasaannya.” Bahwa pengguna anggaran
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara
adalah Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Sedangkan dalam
hal ini MPR, DPR dan DPD dalam Pengelolaan anggaran dilaksanakan oleh
sekretariat jenderal, sehingga perlu dikaji lebih lanjut terkait siapa pimpinan
lembaga yang harus bertanggungjawab dalam Pengelolaan anggaran apakah
pimpinan MPR, DPR dan DPD ataukah Sekretaris Jenderal MPR, DPR dan
DPD.
F. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Koherensi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara terkait pembahasan atas laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat yang disampaikan
oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
98
menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah mengatur tentang, diantaranya:
1. Tugas DPR salah satunya yaitu membahas dan menindaklanjuti hasil
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang disampaikan oleh BPK;
2. Tugas komisi dibidang anggaran untuk mengadakan pembahasan
laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil
pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
3. Tugas komisi dibidang pengawasan juga membahasn dan
menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang
lingkup tugasnya;
4. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan
tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan
berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
5. Wewenang dan tugas DPD terkait menerima hasil pemeriksaan atas
keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan
kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
APBN; dan
6. Tugas panitia kerja DPD dibidang pengawasan dalam melakukan
pembahasan hasil pemeriksaan BPK.
kewajiban ketiga lembaga negara tersebut melakukan pertanggungjawaban
keuangan Negara yang dikelolanya. Bukan hanya pemeriksaan terhadap
keuangannya saja, namun juga mencakup pemeriksaan atas kinerja ketiga
lembaga negara tersebut. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah juga
mengatur mekanisme pembahasan dan penetapan rancangan undang-
undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setelah
disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah
oleh BPK ke DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 183.
Hal ini sesuai dalam pengaturan mengenai pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangan Negara diatur secara lebih detail dan teknis.
Pengelolaan Keuangan Negara dalam UU 15 Tahun 2004 adalah
keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan
kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
99
pengawasan, dan pertanggungjawaban. Adapun Pengertian Pemeriksaan
adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan
secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan
keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara. Sedangkan Tanggung Jawab Keuangan Negara diartikan sebagai
kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
Lingkup pemeriksaan terhadap keuangan Negara meliputi
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara dan pemeriksaan atas
tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK, di mana
pemeriksaan tersebut terdiri atas pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas
laporan keuangan) pemeriksaan kinerja (pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi
serta pemeriksaan aspek efektivitas), dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (tidak termasuk dalam kedua jenis pemeriksaan sebelumnya).
Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa
melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian
intern pemerintah.
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara;
b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi,
dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali
dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang
dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
c. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara;
d. meminta keterangan kepada seseorang (BPK dapat melakukan
pemanggilan kepada seseorang);
e. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, pemeriksa juga dapat melaksanakan
pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian
100
negara/daerah dan/atau unsur pidana, di mana apabila dalam pemeriksaan
ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Atas hasil pelaksanaan tugasnya, kemudian laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh
BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Sedangkan laporan
hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan
oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima
laporan keuangan dari pemerintah daerah. Selain itu, kedua laporan hasil
pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan laporan hasil
pemeriksaan kinerja dan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu
disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD serta kepada Presiden/gubernur/
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyampaian Ikhtisar hasil
pemeriksaan semester kepada lembaga perwakilan disampaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga
perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan tersebut tidak
termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Terhadap laporan hasil pemeriksaan, pejabat wajib menindaklanjuti
rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan
jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas
rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. dan wajib disampaikan
kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan di mana pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban
tindak lanjut atas rekomendasi tersebut dapat dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian. Selanjutnya BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak
lanjut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.
Terhadap hasil pemeriksaan BPK, kemudian lembaga perwakilan
menindaklanjuti dengan melakukan pembahasan sesuai dengan
kewenangannya, di mana DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK
dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut. DPR/DPRD juga
101
dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ataupun dapat
meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan,
penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan
penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh
BPK.
G. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Penyelenggarakan pemerintahan daerah berdasarkan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijalankan melalui
otonomi yang seluas-luasnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah daerah
yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahannya memiliki hubungan kewenangan dan keuangan
dengan Pemerintah Pusat yang salah satunya diatur dengan sistem
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah
dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Hubungan keuangan memiliki peran dan kedudukan yang sangat
penting dalam rangka menjalankan pemerintahan di daerah melalui tugas,
wewenang dan bertanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka
memajukan kehidupan bermasyarakat di daerah. Perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah mencakup pembagian
keuangan secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Pemerintah Pusat
pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi,
fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi
pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah,
sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui
kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga
fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-
dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan
hubungan keuangan yang baik antara pemerintah daerah dengan
102
Pemerintah Pusat. Hubungan keuangan disesuaikan dan diselaraskan
dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah, sehigga
seluruh sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah,
diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Daerah
diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain
berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan
urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan
bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan
dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-
sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada
dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.
H. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
UUD NRI Tahun 1945 membentuk BPK untuk melaksanakan tugas
menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga perwakilan rakyat
dalam melaksanakan hak budgetnya. Definisi Badan Pemeriksa Keuangan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (UU BPK) merupakan lembaga negara yang bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.73 Dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK berkedudukan
sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. Hal ini merupakan
penguatan posisi BPK yang diberikan kepada BPK melalui perubahan ketiga
UUD NRI Tahun 1945. Pemeriksaan BPK tidak hanya mencakup
pemeriksaan keuangan, tetapi juga mencakup pemeriksaan kinerja dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.74
Pasal 23F ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Lebih lanjut dalam UU 73 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
74 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
103
BPK diatur bahwa anggota BPK yang berjumlah sembilan orang diajukan
oleh DPR kepada Presiden untuk diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada beberapa tugas dan
wewenang DPR, DPD, dan DPRD yang beririsan, yaitu untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, sebagaimana
diatur dalam Pasal 23E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan mengenai
penyerahan hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
oleh BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu berdasarkan Pasal 7 UU BPK
dinyatakan bahwa BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya, hasil pemeriksaan ini kemudian ditindaklanjuti
oleh DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan peraturan tata tertib masing-
masing lembaga perwakilan. Mengenai tata cara penyerahan hasil
pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama BPK dengan
masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya, dan
hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang telah diserahkan tersebut dinyatakan terbuka untuk umum.75
UU BPK memberikan hubungan koordinasi antara DPR dengan DPD
dengan pengaturan Pasal 14 ayat (1) UU BPK yang mengatur bahwa anggota
BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Selain itu
UU BPK juga membuka kesempatan bagi DPR untuk menerima partisipasi
masyarakat dengan pengaturan Pasal 14 ayat (3) UU BPK yang mengatur
bahwa calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk
memperoleh partisipasi dari masyarakat. Untuk tetap memberi pelayanan
kepada publik secara prima maka untuk pergantian anggota BPK, UU BPK
memberikan peluang waktu yang cukup. Hal ini bisa terlihat dalam
pengaturan Pasal 14 ayat (4) UU BPK yang mengatur bahwa DPR memulai
proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat
pemberitahuan dari BPK dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK
yang baru paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota BPK yang lama.
75 Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
104
Sebagai mekanisme check and balance, Pasal 21 ayat (2) UU BPK
mengatur bahwa pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK
untuk diresmikan dengan Keputusan Presiden atas usul BPK atau DPR.
Sedangkan untuk kewenangan DPR di bidang anggaran dalam kaitannya
dengan kewenangan BPK diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU BPK yang
mengatur bahwa anggaran diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Walaupun DPD tidak
memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki fungsi
memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan
APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah
menjadi APBN.
Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya
pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD sebagai
pemegang hak budget. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan
hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD
menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya
masing-masing. Semuanya itu diatur dalam Pasal 147 UU No. 22 tentang
Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD yang telah diganti dengan UU No. 17
Tahun 2014 tentang MD3 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 42
Tahun 2014 dan Pasal 17 ayat (1) UU BPK.
Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak
dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan
BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun
dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan
koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur
pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum.
Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat
diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
I. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2015 dan UU No. 9 Tahun 2015)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda) merupakan Undang-Undang yang
105
menggantikan atau mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemda membawa perubahan penting terhadap fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD
kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan
peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Keterkaitan antara UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan UU
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) adalah mengenai dicabutnya
aturan tentang DPRD di dalam UU MD3. Pasal 409 huruf d UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemda mencabut Pasal 1 angka 4 mengenai definisi DPRD,
Pasal 314 sampai dengan Pasal 412 mengenai DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota, dan Pasal 418 sampai dengan Pasal 421 mengenai sistem
pendukung DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU MD3.
Adanya ketentuan dalam Pasal 409 huruf d UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemda pada dasarnya adalah untuk meluruskan kerancuan antara DPR
dengan DPRD. Di dalam Penjelasan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda
dinyatakan bahwa terdapat perbedaan antara penyelenggaraan
pemerintahan di pusat dan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Sementara itu penyelenggaraan pemerintah daerah
dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
diberi mandat rakyat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Penjelasan umum UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemda menyatakan bahwa sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah maka DPRD tidak diatur dalam
beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemda. Pasal 409 huruf d UU Pemda 2014 yang mengeluarkan
DPRD dari UU MD3 merupakan langkah yang sangat tepat. DPR dan DPRD
adalah lembaga yang berbeda dan sudah seharusnya tidak diatur dalam
satu undang-undang. Konsekuensi dari dicabutnya ketentuan yang
mengatur mengenai DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU
MD3 tentu akan mempengaruhi struktur dan sistematika dari UU MD3 serta
mempengaruhi judul dari undang-undang tersebut.
106
J. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemerintahan Umum (UU tentang Pemilu)
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah keniscayaan bagi
sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis. Melalui Pemilu sebuah
pemerintahan ditentukan dan dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
mendapatkan mandat mengurus bangsa dan negara ini demi kesejahteraan
bersama. Hal ini pula sejalan dengan kata “demokrasi“ yang menurut asal
kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people.76
Pembentukan UU tentang Pemilu yang juga merupakan kodifikasi
undang-undang terkait dengan kepemiluan ini didasari atas Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 (Putusan MK No. 14/PUU-
XI/2013) tentang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU tentang Pilpres)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945). Putusan MK No 14/PUU-XI/201377 ini diajukan
oleh Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D, M.Si dan Mahkamah Konstitusi (MK)
telah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres. Dengan dibatalkan sejumlah
pasal tersebut, maka pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(Pileg) yang semula terpisah kemudian penyelenggaraannya78. Adapun
pelaksanaan Pemilu dengan metoda yang baru ini pula berlaku mulai sejak
tahun 2019 dan seterusnya.
Bahwa munculnya perintah Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 pada
akhinya menjadi angin segar dan momentum yang begitu tepat bagi
pembentuk undang-undang untuk mengkodifikasikan berbagai undang-
undang yang terkait dengan kepemiluan kedalam 1 (satu) naskah undang-
undang. Kodifikasi ini pun diperlukan karena sebelum adanya UU tentang
Pemilu ini, pengaturan Pemilu itu masih tersebar dalam sejumlah undang-
undang. Mulai dari undang-undang yang mengatur penyelenggara dari
Pemilu yakni pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (UU tentang Penyelenggara Pemilu),
kemudian undang-undang mengenai Pemilu untuk memilih anggota DPR,
76Miriam budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008, hal. 105. 77 Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 ini telah dibacakan pada hari Kamis tanggal 23 Januari 2014. 78 Lihat amar putusan MK No. 14/PUU-XI/2013.
107
DPD, dan DPRD yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang
Pileg), dan terakhir UU tentang Pilpres. Ketiga undang-undang lahir di tahun
yang berbeda-beda dan tentunya dari ketiganya pasti memiliki sedikit
banyak perbedaan karena hukum selalu berkembang, sebagai contoh UU
tentang Pilpres sudah barang tentu ketinggalan dengan undang-undang
yang terbaru diantara ketiganya yakni UU tentang Pileg, sehingga ketika MK
memerintahkan untuk menyatukan dua jenis Pemilu tersebut (Pileg dan
Pilpres) maka undang-undangnya pun penting untuk diselaraskan
pengaturannya.
Adapun perintah untuk melakukan kodifikasi itu pula secara implisit
dinyatakan dalam Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK No 14/PUU-
XI/2013 yakni tepatnya dalam pertimbangan mahkamah angka [3.20] huruf
b Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa:
Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan
ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan
persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai
dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6)
UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah
diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan
untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan
Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun
2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa
tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai
untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan
komprehensif.
Oleh karena itu pula, maka pada akhirnya muncullah usulan dari
Pemerintah mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaan
Pemilu (RUU tentang Penyelenggaan Pemilu) demi pelaksanaan Pemilu 2019.
Sesuai dengan Pasal 50 (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan), rancangan undang-undang dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Adapun dalam
108
kaitannya dengan RUU tentang Penyelenggaan Pemilu ini, Surat Presiden RI
No. R-66/Pres/10/2016 ini tertanggal 22 Oktober 2016 tentang
Penyampaian Draf RUU tentang Penyelenggaan Pemilu dikirimkan kepada
Ketua DPR RI79.
RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang kemudian menjadi UU
Pemilu ini pada akhrnya diselesaikan setelah dilakukan sejumlah 67 kali
rapat selama kurang lebih 9 (sembilan) bulan lamanya.80 Banyak hal diatur
dalam UU tentang Pemilu ini karena untuk pertama kalinya Pileg dan Pilpres
dilaksanakan secara serentak. Pembenahan Pemilu dalam UU tentang
Pemilu ini bukan hanya fokus di pelakasanaan pemilu saja namun juga
pembenahan kepada pihak penyelenggaranya. Penyelenggara
direstrukturisasi sehingga menjadi lebih baik dan diharapkan mampu
mengatasi tantangan besar event Pemilu yang begitu krusial tersebut.
Terkait dengan rencana pembentukan Undang-Undang tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Daerah (UU tentang MD2), sejatinya undang-undang mengenai lembaga
legislatif ini saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang MD3)
dan saat ini telah mengalami 1 (satu) kali perubahan yakni diubah dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang Perubahan Atas UU MD3). Adapun
terkait dengan rencana pembentukan UU tentang MD2 ini pula, terkait
dengan UU tentang Pemilu kiranya ada beberapa hal terkait.
Hal yang sudah jelas dan pasti adanya terkait adalah penambahan
jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang MD3 sebagaimana diatur dalam
Pasal 76 ayat (1) diatur bahwa anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam
puluh) orang. Hal ini adalah jelas perlu diatur berbeda karena UU tentang
Pemilu telah mengatur bahwa anggota DPR hasil nanti Pemilu 2019 adalah
berjumlah 575 (lima ratus tujuh puluh lima) orang. Hal ini dikarenakan
adanya penambahan 15 (lima belas) kursi dari hasil UU tentang Pemilu. 79 Lihat Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-66/Pres/10/2016 tertanggal 22 Oktober 2016 untuk Penyampaian Draf RUU tentang Penyelenggaan Pemilu yang telah dikirimkan kepada Ketua DPR. 80 Sebagaimana tertuang dalam Laporan Ketua Pansus dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 20 Juli 2017 yang juga dibuat oleh Penulis selaku Tim Asistensi Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu.
109
Penambahan itu berlaku untuk Jambi (1 kursi); Kepulauan Riau (1 kursi);
NTB (1 kursi); Sulawesi Tengah (1 kursi); Sulawesi Barat (1 kursi); Sulawesi
Tenggara (1 kursi); Riau (2 kursi); Lampung (2 kursi), Kalimantan Barat (2
kursi), dan Kalimantan Utara (3 kursi). Alokasi penambahan kursi untuk
Dapil DPR ini menggunakan formula yakni jumlah penduduk yang harga
kursinya diatas 500.000 (lima ratus ribu) pemilih.81 Hal perlu juga dicermati
keterkaitannya misalnya adalah dalam Pasal 76 ayat (2) UU tentang MD3
yanga mana diatur bahwa keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan
Presiden. Hal kiranya ini perlu disesuaikan dengan implikasi keserentakan
Pilpres dan Pileg. mempengaruhi DPR.
Hal yang juga menurut penulis adalah disharmoni dan perlu kiranya
ditemukan jalan keluarnya adalah terkait dengan implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 (Putusan MK No. 92/PUU-
XIV/2016) tentang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (UU tentang Perubahan Kedua atas UU tentang Penetapan
Perppu Pilkada) terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam Putusan MK No.
92/PUU-XIV/2016 tersebut, MK menyatakan bahwa konsultasi Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka pembentukan Peraturan KPU adalah
tidak mengikat. Sebagaimana dengan kebaikan-kebaikan di undang-undang
mengenai Pemilihan Kepala Daera dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang
diakomodir masuk dalam UU tentang Pemilu, maka hal ini pula diadopsi
masuk dan diatur dalam UU tentang Pemilu.
Namun demikian, disinilah muncul disharmoninya. Disharmoni ini
muncul karena pengaturan konsultasi dalam UU tentang MD3 selama ini
kurang ada penjelasannya baik secara teknis maupun produk konsultasi itu
sendiri. Sehingga aplikasinya selama ini, pasca lahirnya Putusan MK No.
92/PUU-XIV/2016, konsultasi tetaplah mengikat. Hal ini dikarenakan
bahwa dalam UU tentang Perubahan Atas UU MD3 terutama Pasal 98 ayat
(6) diatur bahwa keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi bersifat
mengikat dan wajib dilaksanakan. Karena konsultasi yang selama ini
dilakukan karena pengaturannya pula tidak ada dalam UU tentang MD3,
maka konsultasi dilaksanakan dalam bentuk format rapat kerja komisi dan
keputusannya tetaplah mengikat. Sehingga dengan demikian sejatinya 81 Ibid.
110
Putusan MK No. 92/PUU-XIV/2016 yang juga diatur dalam UU tentang
Pemilu misalnya di Pasal 75 ayat (4) UU tentang Pemilu untuk KPU adalah
tetap mengikat jika melihat UU tentang Perubahan Atas UU MD3 sedangkan
di UU tentang Pemilu adalah tidak. Sehingga dengan demikian jikalau tidak
diatur dengan baik mengenai konsultasi itu bagaimana baiknya dalam UU
tentang MD2 nantinya, maka sejatinya disharmoni ini akan selamanya
berlanjut.82Dengan demikian, dalam rangka membentuk Naskah Akademik
mengenai UU tentang MD2 ini, maka perlu kiranya memperhatikan
pengaturan yang ada dan telah diatur dalam UU tentang Pemilu ini sebagai
undang-undang yang terbaru dan memiliki dampak bagi UU tentang MD3.
K. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang
Keprotokolan (UU Keprotokolan) diberlakukan untuk menghormati
kedudukan para pejabat negara, pejabat pemerintahan, perwakilan negara
asing dan/atau organisasi internasional, serta tokoh masyarakat tertentu.
Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 3 UU Keprotokolan yang
menyebutkan bahwa pengaturan keprotokolan bertujuan untuk:
a. memberikan penghormatan kepada pejabat negara, pejabat
pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta tokoh masyarakat tertentu, dan/atau tamu negara
sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan
masyarakat;
b. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan
tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan
yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan
c. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.
Definisi dari keprotokolan berdasarkan Undang-Undang ini adalah
serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara
kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara, dan
tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai
dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau
masyarakat. Pengaturan keprotokolan tersebut hanya diberlakukan dalam 82 Achmadudin Rajab, Implikasi Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016 Di Dalam Pembentukan Peraturan KPU, dimuat dalam http://rechtsvinding.bphn.go.id/view/view_online.php?id=243, diakses tanggal 22 November 2017.
111
acara kenegaraan atau acara resmi bagi pejabat negara, pejabat
pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional,
dan tokoh masyarakat tertentu. Adapun batasan pengertian dari pejabat
negara yang dimaksud dalam UU Keprotokolan adalah pimpinan dan
anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan pejabat
negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang.
Lembaga perwakilan di Indonesia yang terdiri atas MPR, DPR, dan
DPD merupakan lembaga negara yang secara eksplisit disebutkan dalam
UUD NRI 1945. Dengan demikian, Pimpinan dan anggota MPR, DPR, dan
DPD merupakan pejabat negara yang memiliki hak keprotokolan sesuai
dengan pengaturan dalam UU Keprotokolan. Mengingat pentingnya
pengaturan mengenai keprotokolan, maka dalam perubahan Rancangan
Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD dirasa perlu untuk
memasukkan ketentuan bahwa terhadap pimpinan dan anggota MPR, DPR,
dan DPD mempunyai hak protokoler, baik dalam acara kenegaraan, dalam
acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
L. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Partai politik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia, sebab partai politik diberikan wewenang
untuk mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dicalonkan mengisi
jabatan-jabatan politik dari pusat sampai daerah.Kewenangan yang cukup
besar dan menentukan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 inilah yang
menempatkan partai politik mempunyai posisi sangat strategis.
Salah satu fungsi penting partai politik adalah rekrutmen politik yaitu
proses untuk pengisian jabatan-jabatan politik. Terkait dengan fungsi
rekrutmen politik ini telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Partai Politik. Pasal 29 ayat (1)
menentukan bahwa Partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga
negara Indonesia untuk menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
112
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan memperhatikan kedudukan partai politik yang diatur baik di
dalam UUD NRI 1945 dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol),
jelas bahwa partai politik merupakan pilar demokrasi yang berperan penting
bagi kelangsungan suatu negara. Dapat pula dikatakan bahwa partai politik
merupakan penentu bagi kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, sebab
para pemangku kekuasaan dari pusat sampai daerah berasal dari partai
politik. Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau
wakilrakyat.83 Hal ini sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita, bahwa
untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus menjadi anggota
partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partaipolitik.
Bahwa secara garis besar, partai politik bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi politik dari masyarakat dalam penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sesuai dengan etika dan budaya politik yang tumbuh dan
berkembang di Negara Republik Indonesia guna mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, keberadaan partai politik adalah untuk mewujudkan stabilisasi
politik yang dinamis, karena dengan terbentuknya partai politik yang sehat,
kuat, modern dan akuntabel dapat membentuk Pemerintahan yang kuat dan
efektif serta mampu mencerminkan keterwakilan dari suatu masyarakat
Indonesia yang pluralis/majemuk.
Bahwa perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik pada prinsipnya adalah sebagai upaya untuk semakin
menyempurnakan pelembagaan Partai Politik yang secara garis besar
bertujuan membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang berpola atau
sistemik hingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip
dasar sistem demokrasi di Indonesia. Pelembagaan Partai Politik tersebut
sangat penting agar partai politik menjadi organisasi modern yang
mempunyai kelembagaan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik
yang kuat.
83 Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, Reformasi Sistem Multi Partai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 177.
113
Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan
untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem
presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik
diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan
perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya
politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini
ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem
seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan
sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua,
memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap
negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan
politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk
menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di
bidang politik.
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil,
paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan
terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya
pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan
terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan
keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat
masyarakat. Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam penataan dan
penyempurnaan Partai Politik di Indonesia adalah persyaratan pembentukan
Partai Politik, persyaratan kepengurusan Partai Politik, perubahan AD dan
ART, rekrutmen dan pendidikan politik, pengelolaan keuangan Partai Politik
dan kemandirian Partai Politik.84
Dalam kaitannya dengan penyusunan RUU tentang perubahan Undang-
Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, ada
beberapa pasal dalam UU Partai Parpol yang perlu diperhatikan dan
diharmonisasikan. Pertama, Pasal 16 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundangundangan”.
84 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
114
Pasal tersebut menekankan bahwa jika suatu partai politik
memberhentikan anggotanya yang notabene merupakan anggota di lembaga
perwakilan rakyat, maka pemberhentian anggota partai tersebut diikuti
kemudian dengan pemberhentian anggota partai politik tersebut di lembaga
perwakilan rakyat. Namun demikian telah ada Putusan MK terhadap
keberlakuan pasal a quo yakni dalam Putusan MK No. 39/PUU-XI/2013
yang pada intinya memutus bahwa Pasal a quo inkonstitusional secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan bagi anggota DPR atau
DPRD” jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi
peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak
ada lagi;
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh
partai politik yang mencalonkannya;
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon
Tetap dari partai yang mencalonkannya”.
Dengan adanya putusan MK diatas maka perlu adanya harmonisasi dan
sinkronisasi pengaturan materi muatan dalam RUU Perubahan UU 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya terkait materi
pemberhentian anggota lembaga perwakilan rakyat yang merupakan anggota
partai politik.
M. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU PPP) merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD
1945. Ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja
undang-undang tetapi mencakup pula peraturan perundang-undangan
lainnya, selain UUD 1945 dan Ketetapan MPR.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 7 UU PPP terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
115
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
UU PPP menambahkan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis
peraturan perundang-undangan dan hierarkinya yang ditempatkan setelah
UUD 1945 dan sebelum UU. Sehubungan dengan adanya hal tersebut,
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP menyatakan yang dimaksud
dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud Pasal
2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai
dengan tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain di atas mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas
perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Ketentuan UU PPP yang berkaitan dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) adalah mengenai Prolegnas dan
penyusunannya (Pasal 20 dan 21 UU PPP). Ketentuan lain yang sangat
berkaitan dengan Undang-Undang MD3 adalah Bab V mengenai
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang melibatkan DPR.
Disamping itu melibatkan pula DPD terkait hak DPD yang dapat
mengajukan RUU tertentu. Dalam Pasal 45 ayat (2) UU PPP, RUU yang
diajukan oleh DPD adalah RUU yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
116
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya;dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sedangkan dalam Pasal 46 UU PPP menyatakan bahwa RUU dari DPR
diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang
berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan RUU diatur dengan Peraturan DPR.
Dalam Pasal 48 UU PPP, RUU dari DPD disampaikan secara tertulis
oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah
Akademik.Usul RUU disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Alat
kelengkapan dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan
DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk
membahas usul RUU. Alat kelengkapan menyampaikan laporan tertulis
mengenai hasil pengharmonisasian kepada pimpinan DPR untuk
selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Bab VII UU PPP juga mempunyai kaitan sangat erat dengan MD3,
yaitu mengenai Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang.
Disamping DPR sebagai pihak yang mempunyai kewenangan bersama
Presiden untuk membahas RUU dan mendapatkan persetujuan bersama,
DPD juga dapat ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan
otonomi daerah. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal
71 UU MD3. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
79/PUU-XII/2014, MK menegaskan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dalam proses pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden. MK
mengabulkan sebagian pasal pengujian UU MD3.
MK memberi tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal
166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3 ini. Intinya, MK
mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan
membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait otonomi daerah,
117
pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian
anggaran DPD.
Pasal 71 huruf c UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai,“membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.”
Sedangkan, Pasal 250 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai, “Dalam melaksanakan wewenang dan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam
program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Perubahan UU MD3 ini diharapkan dapat mengakomodir Putusan MK
terkait dengan kewenangan DPD dalam Pasal 71 huruf c dan Pasal 250 ayat
(1) UU MD3.
N. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tatib MPR)
Untuk memperkuat kinerja, wewenang, dan tugas MPR, serta upaya
untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum dan
ketatanegaraan Republik Indonesia, juga sebagai upaya untuk
memperkukuh kedaulatan rakyat dan supremasi hukum dalam
penyelenggaraan negara, perlu dibuat suatu aturan yang materinya memuat
tata tertib MPR. Di dalamnya diatur mengenai susunan, kedudukan, dan
keanggotaan serta tata cara MPR dalam melaksanakan tugas, wewenang,
hak, dan kewajibannya.
Beberapa substansi di dalam Tatib MPR yang dapat dipertimbangkan
untuk diangkat menjadi materi muatan di dalam perubahan UU No. 17
Tahun 2014, dapat diklasterisasi dalam beberapa pokok substansi, yaitu:
pengaturan mengenai wewenang dan tugas Pimpinan MPR; pembentukan
badan dan lembaga; masa persidangan; dan larangan.
118
Pasal 16 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 hanya mengatur terkait tugas
Pimpinan MPR, disisi lain di dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Tatib MPR, diatur
dengan lebih rinci wewenang, tugas, dan hak Pimpinan MPR. Karena
substansi ini sangat penting, seharusnya dapat dipertimbangkan untuk
diangkat menjadi materi muatan di dalam perubahan UU No. 17 Tahun
2014. Adapun substansi tersebut meliputi:
1. Pasal 28 Tatib MPR mengatur wewenang Pimpinan MPR, yang meliputi:
a. mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau
pimpinan lembaga negara lainnya untuk pemasyarakatan dan
pelaksanaan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika;
b. mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau
pimpinan lembaga negara lainnya dalam rangka penganggaran MPR;
c. mengundang pimpinan Fraksi dan Pimpinan Kelompok DPD untuk
mengadakan Rapat Gabungan; dan
d. membentuk alat kelengkapan untuk menunjang kelancaran tugas
Pimpinan.
2. Pasal 29 Tatib MPR mengatur tugas Pimpinan MPR, yang meliputi:
a. memimpin Sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil
keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara
ketua dan para wakil ketua;
c. menjadi juru bicara MPR;
d. melaksanakan keputusan MPR;
e. mewakili MPR di pengadilan;
f. memberikan penjelasan atas tafsir kaidah-kaidah konstitusional
dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar di Mahkamah Konstitusi;
g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR;
h. menyampaikan laporan kinerja Pimpinan dalam Sidang Paripurna
MPR pada akhir masa jabatan;
i. membentuk tim kerja sebagai alat kelengkapan Pimpinan MPR dalam
rangka membantu pelaksanaan tugas dan wewenangnya;
119
j. membentuk tim verifikasi persyaratan calon Presiden dan/atau Wakil
Presiden; dan
k. menjaga ketertiban dalam rapat dengan melaksanakan asas
demokrasi yang berintikan hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang MPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 17 Tahun 2014, Tatib MPR
mengatur pembentukan badan dan lembaga. Hal ini semestinya dapat
dijadikan materi yang dapat diangkat menjadi substansi pengaturan di
dalam RUU, karena substansinya sangat penting dan tidak cukup hanya
hanya menjadi materi muatan Tatib MPR. Adapaun materi pengaturannya
yaitu:
1. Pasal 43 Tatib MPR mengatur:
(1) Untuk melaksanakan wewenang dan tugas, MPR membentuk badan.
(2) Badan sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas:
1. Badan Sosialisasi;
2. Badan Pengkajian; dan
3. Badan Penganggaran.
(3) Selain badan yang dimaksud pada ayat (2), untuk melaksanakan
tugas lainnya, MPR dalam Sidang Paripurna MPR dapat membentuk
badan lain yang diperlukan.
2. Pasal 60 Tatib MPR, yaitu:
(1) Untuk melaksanakan wewenang dan tugas, MPR membentuk
lembaga.
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Lembaga
Pengkajian.
3. Pasal 152 Tatib MPR juga mengatur substansi pelakasanaan tugas MPR,
yaitu:
(1) MPR bertugas melaksanakan evaluasi atas implementasi Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan
MPR.
120
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
melakukan kajian terhadap implementasi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR.
(3) Pelaksanaan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didukung
oleh Badan Pengkajian.
(4) Hasil kajian implementasi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR dipublikasikan kepada
publik.
Terkait dengan persidangan di MPR, Pasal 61 UU No. 17 Tahun 2014
mengatur bahwa MPR bersidang sedikitnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun. Disisi lain, saat ini sudah terbentuk konvensi bahwa MPR dapat
melakukan sidang setiap tahunnya. Kegiatan tersebut diatur secara jelas di
dalam Tatib MPR. Mengingat pentingnya substansi tersebut, rasanya perlu
untuk diangkat menjadi materi pengaturan di dalam RUU. Adapun materi
pengaturannya yaitu:
1, Pasal 66 Tatib MPR mengatur:
(1) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota
negara.
(2) MPR menyelenggarakan sidang dalam rangka pelaksanaan wewenang
dan tugas MPR.
(3) MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR awal masa jabatan.
(4) MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka
memfasilitasi lembaga-lembaga negara menyampaikan laporan kinerja.
(5) MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR akhir masa jabatan
untuk mendengarkan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang serta
kinerja Pimpinan MPR.
2. Pasal 155 Tatib MPR mengatur:
(1) Untuk menjaga dan memperkokoh kedaulatan rakyat, MPR dapat
menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka mendengarkan
laporan kinerja lembaga negara kepada publik tentang pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
121
(2) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi MPR,
DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial.
(3) Sidang tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setiap tanggal 14 (empat belas) Agustus sampai dengan tanggal 16
(enam belas) Agustus, yang diawali oleh penyampaian laporan kinerja
MPR dan ditutup oleh laporan kinerja Presiden.
(4) Pidato Presiden dalam rangka laporan kinerja pada tanggal 16 (enam
belas) Agustus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekaligus
merupakan pidato kenegaraan Presiden dalam rangka hari ulang
tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Substansi yang penting yang ada di Tatib MPR dan bisa diangkat
menjadi materi muatan RUU anatar lain mencakup substansi larangan
terhadap anggota MPR. Substansi ini justru tidak diatur di dalam UU No. 17
Tahun 2014. Hal ini diatur didalam Pasal 160 Tatib MPR, yaitu
(1) Anggota MPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota MPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural
pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat,
notaris, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan wewenang, tugas,
dan hak sebagai Anggota MPR.
O. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Sebagai sebuah lembaga negara yang keberadaannya dalam
ketatanegaraan diakui oleh konstitusi, DPD belum memberikan dampak
yang maksimal dalam fungsi legislasi yang dimiliki. Sebagai representasi
rakyat daerah yang idealnya tidak berafiliasi dengan partai politik,
kedudukan DPD seharusnya lebih menonjol dalam perumusan kebijakan,
khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah.
122
Fungsi legislasi yang dimiliki DPD sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
diterjemahkan ke dalam peraturan pelaksana berupa Peraturan DPD No. 1
Tahun 2014 yang kemudian diganti dengan Peraturan DPD No. 4 Tahun
2017 Tentang Tata Tertib. Fungsi legislasi ini diperkuat dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014, yang beberapa
diantaranya menyatakan bahwa DPD dapat ikut serta dalam pembahasan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Dalam Putusan MK
tersebut juga disampaikan bahwa DPD memiliki kemandirian dalam
menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan
disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD tertuang dalam
Bab VI Peraturan DPD No. 4 Tahun 2017 Tentang Tata Tertib, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 149 sampai dengan Pasal 187. Bahwa pelaksaan
fungsi legislasi DPD tersebut termasuk dalam hal Prolegnas; pengajuan
rancangan undang-undang baik itu berdasarkan daftar kumulatif terbuka
maupun di luar prolegnas; pembahasan rancangan undang-undang yang
berasal dari DPD; pembahasan rancangan undang-undang dari pemerintah
atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta
penyusunan pertimbangan atas rancangan undang-undang dari DPR atau
Presiden. Namun, DPD tidak memegang kekuasaan membentuk undang-
undang, maka rancangan undang-undang yang diajukan DPD kepada DPR
bukan hak inisiatif, melainkan hanya hak mengusulkan rancangan undang-
undang atau dengan kata lain rancangan undang-undang yang diajukan
oleh DPD hanya merupakan usulan atau gagasan. Sebagai sebuah usulan,
tidak ada kewajiban bagi DPR untuk membahas karena tidak ada kekuatan
mengikat terhadap DPR. Kesimpulan lebih lanjut, meskipun DPD dapat
mengajukan rancangan undang-undang dan ikut membahas rancangan
undang-undang, DPD bukan kekuasaan legislatif karena tidak memegang
kekuasaan membentuk undang-undang atau sebagai mita (counterpart)
123
pembentukan undang-undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
20 ayat (1) UUD Tahun 1945 dimana kekuasaan membentuk undang-
undang hanya dimiliki oleh DPR. Dengan kata lain pembentuk undang-
undang hanya DPR dan Presiden, karena DPD tidak ikut menyetujui atau
tidak menyetujui suatu rancangan undang-undang menjadi undang-
undang.85
Baik ikut membahas maupun memberi pertimbangan menunjukkan
tidak diperlukan persetujuan DPD sebagai persyaratan agar rancangan
undang-undang bersangkutan menjadi undang-undang. Suatu rancangan
undang-undang tetap dapat menjadi undang-undang karena telah
disepakati oleh DPR dan Presiden, walaupun dalam pembahasan atau
pertimbangan DPD menyatakan menolak atau berkeberatan atas rancangan
undang-undang yang bersangkutan.
Selain fungsi legislasi, beberapa pengaturan dalam Peraturan DPD
No.4 Tahun 2017 Tentang Tata Tertib dapat dinaikkan menjadi materi
substansi dalam rencana perubahan UU MPR, DPR, dan DPD, diantaranya
adalah substansi mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD yang di
dalam Tata Tertib DPD diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 58.
Adapun masa jabatan pimpinan DPD adalah sesuai dengan keanggotaan
DPD sebagaimana diatur pada Ayat (3) Pasal 47 Tata Tertib DPD. Hal ini
perlu penegasan langsung dimana masa jabatan pimpinan DPD adalah 5
tahun, sesuai dengan masa keanggotaan DPD. Naiknya substansi Tata
Tertib mengenai tata cara pemilihan dan masa jabatan pimpinan DPD
menjadi materi substansi dalam RUU MD2 ini menjadi penting untuk
menghindari terulangnya konflik dan perbedaan pendapat yang panjang
diantara anggota DPD mengenai pemilihan dan masa jabatan pimpinan DPD
setelah adanya kasus yang menimpa mantan ketua DPD Irman Gusman
beberapa waktu lalu. Selain itu, perlu kesepakatan bersama mengenai perlu
atau tidaknya penegasan pengaturan mengenai rangkap jabatan pimpinan
lembaga negara, sebagaimana fenomena yang terjadi sekarang ini dimana
ketua DPD juga merangkap sebagai wakil ketua MPR, Pengaturan mengenai
rangkap jabatan pemimpin negara terdapat pada ketentuan Pasal 302 ayat
(1) yang menyatakan bahwa:
85 Bagir Manan, 2017, Konstruksi Dewan Perwakilan Daerah Di Dalam UUD 1945, disampaikan dalam diskusi pakar Tim RUU MD2.
124
(1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggran-nya bersumber dari APBN/APBD.
Di dalam pengaturan Pasal tersebut belum diatur mengenai konsekuensi
yang timbul apabila terjadi pimpinan (ketua) DPD sebagai pejabat negara
merangkap jabatan sebagai pimpinan (wakil ketua) MPR yang juga berstatus
sebagai pejabat negara.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
B. Landasan Sosiologis
C. Landasan Yuridis Perubahan hukum dalam dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara telah terjadi di Indonesia, antara lain, sebagai implikasi dari
pertama, adanya Perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang membawa
konsekuensi pada perubahan sistem ketatanegaraaan di Indonesia; kedua,
adanya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU No.
27 Tahun 2009 sebagaimana telah diganti dengan UU No. 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan ketiga, pengaturan DPRD sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga hal tersebut berpengaruh
terhadap politik hukum bagi pemegang kekuasaan legislatif, baik yang
berada di pusat maupun di daerah.
125
I. Perubahan Sistem Ketatanegaraan Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan sejak
Perubahan UUD NRI Tahun 1945. UUD NRI Tahun 1945 secara jelas telah
mengatur sistem ketatanegaraan, membedakan cabang-cabang kekuasaan
negara, dan mengatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional.
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah melahirkan sejumlah lembaga
negara, baik yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi (constitutionally
entrusted power) maupun lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh undang-undang (legislative entrusted power). Lembaga-lembaga negara
yang memegang kekuasaan negara, bersifat konstitusional, maupun
lembaga negara yang dibentuk dengan undang-undang dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya tersebut diikat satu sama lain oleh prinsip
konstitusionalisme, prinsip checks and balances, prinsip integrasi, dan
prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Perubahan sistem ketatanegaraan
dalam lembaga negara yang bersifat konstitusional termasuk di dalamnya
lembaga perwakilan. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.
II. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK terhadap uji materi UU No. 17 Tahun 2014, antara lain:
a. 76/PUU-XI/2014 dan 83/PUU-XII/2014
Berkaitan dengan mekanisme pemeriksaan anggota DPR yang terkena kasus
pidana, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 76/PUU-XI/2014
dan 83/PUU-XII/2014 atas uji materi Pasal 245 UU MD3. Berdasarkan
putusan tersebut, frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat (1) UU MD3
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden. Atas dasar itu, Pasal 245
ayat (1) UU MD3 dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan
terhadap anggota DPR, yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan
dengan pelaksanaan tugas, harus mendapat persetujuan presiden. Pasal
245 UU MD3 ini mengatur tentang perlindungan terhadap anggota DPR
berupa pemberian izin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR selama 30
hari apabila penegak hukum hendak memanggil anggota DPR untuk
dimintai keterangan terkait suatu tindak pidana. Putusan MK ini tidak
hanya berlaku bagi anggota DPR, tetapi juga pada anggota MPR dan DPD.
126
Hal ini dapat menimbulkan permasalahan karena pertama, MK telah
memutuskan lebih dari permohonannya yang hanya meminta agar
persetujuan tertulis MKD dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 dan kedua, izin tertulis dari Presiden ini akan melibatkan pihak
eksekutif dan legislatif sehingga bisa menghambat proses dan menjadi
bentuk imunitas baru.
b. 79/PUU-XII/2014
MK melalui putusan ini mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal
71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU
MD3. Dalam Putusan No. 79/PUU-XII/2014, MK memberi tafsir
inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250
ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3, yaitu MK mempertegas keterlibatan
wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah
naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan/pemekaran daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan kemandirian anggaran DPD. Pertama,
Pasal 71 huruf c UU MD3 dimaknai “membahas rancangan undang-undang
yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan
mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden.” Selain itu, dalam pembahasan tersebut DPD diikutsertakan
sebelum mengambil persetujuan bersama antara DPR dengan presiden.
Kedua, Pasal 166 ayat (2) UU MD3 dimaknai RUU yang dimaksud
sebagaimana pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD pada pimpinan DPR dan presiden. Ketiga, Pasal
250 ayat (1) UU MD3 dimaknai dalam melaksanakan tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam
menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan
disampaikan pada presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Keempat, Pasal 277 ayat (1) UU MD3
dimaknai RUU disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD pada
pimpinan DPR dan presiden.Putusan ini berkaitan wewenang DPD dalam
Pasal 22D UUD 1945. DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki
kedudukan setara dengan DPR dan Presiden ketika mengajukan dan
membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
127
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Namun, hal ini kontradiktif
dengan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945. Putusan ini juga memberikan
kemandirian anggaran bagi DPD, agar DPD dapat bekerja maksimal harus
didukung dengan ketersediaan anggaran yang cukup. Kebutuhan anggaran
ini juga tidak dapat dilepaskan adanya perbedaan antara DPR dan DPD.
Oleh karena itu, UU memberi kesempatan sama kepada DPR dan DPD
secara mandiri untuk menyusun dan mengajukan anggaran lembaganya
sesuai rencana kerjanya masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara sesuai pembahasan oleh
Presiden bersama DPR. Hal ini disebabkan yang memiliki hak anggaran
adalah DPR untuk dibahas bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. Putusan ini diwarnai dissenting opinion antara Hakim
Konstitusi Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati. Arief berpendapat proses
pembentukan UU MD3 yang baru terkait kewenangan DPD tidak
mengindahkan Putusan MK No.92/PUU-X/2012. Selain itu, tidak
diakomodirnya syarat keterwakilan hak-hak politik perempuan (affirmative
action) seperti dalam UU MD3 sebelumnya, sehingga mengabaikan Putusan
MK No.22-24/PUU-VI/2008, Putusan MKNo.20/PUU-XI/2013, dan Putusan
MK No.73/PUU-XI/2014. Hal ini menurut Arief Hidayat berarti bahwa UU
MD3 yang sejak kelahirannya mengalami cacat, baik secara formil
pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya, sehingga
seharusnya pengujian formil dan materiil UU MD3 dikabulkan. Menurut
Maria, selain bertentangan dengan putusan MK, proses pembentukan UU
MD3 bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat, dan asas keterbukaan yang berdampak terjadinya kerugian
konstitusional anggota dan/atau lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur
UUD NRI Tahun 1945, ketika penentuan alat kelengkapan MPR, DPR, dan
DPD. Oleh karena itu, pengujian formil terhadap pembentukan UU MD3,
seharusnya dikabulkan dan UU MD3 dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
III. Pengaturan DPRD dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UUD NRI Tahun 1945 memuat bab khusus tentang pemerintahan
daerah yang terdiri dari tiga pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B
128
yang menjadi landasan konstitusional bagi peraturan perundang-undangan
tentang pemerintahan daerah termasuk di dalamnya lembaga legislatif
daerah. Lembaga legislatif daerah ini sebelumnya diatur dalam UU MD3
sebagai salah satu unsur lembaga perwakilan. Namun dengan
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, DPRD merupakan Lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal
146 untuk DPRD Provinsi dan Pasal 147 sampai dengan Pasal 200 untuk
DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 201 sampai dengan Pasal 206 untuk Sistem
Pendukung DPRD, dan Pasal 207 untuk Hubungan Kerja antara DPRD dan
Kepala Daerah. Adapun implikasi yuridis dari pengaturan DPRD dalam UU
No. 23 Tahun 2014 tersebut berupa segala hal yang mengatur mengenai
DPRD dalam UU No. 17 Tahun 2014 menjadi tidak berlaku. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 409 huruf d UU No. 23 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412,
Pasal 418 sampai dengan Pasal 421 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5568) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
129
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP PENGATURAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan B. Ruang Lingkup Pengaturan Undang-Undang
130
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
B. Rekomendasi
131
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
UU No. 27 Tahun 2009, LN No. 123 Tahun 2009 TLN No. 5043.
__________, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011 TLN No. 5234.
C. Internet
D. Lain-lain
LAMPIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG