Naskah Akademik Perda Tik Kota Bitung

36
NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN USAHA DAN JASA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI KOTA BITUNG I. Pendahuluan A. Latar belakang 1. Aspek Filosofis Perjalanan kehidupan suatu bangsa dan negara di dunia ini tidak terlepas dari sistem. Sistem di tiap-tiap negara memiliki perbedaan dan ciri khasnya sendiri-sendiri. Namun ada satu hal yang memiliki kesamaan mayoritas bangsa-bangsa yakni kehidupan demokrasi. Demokrasi dalam hal ini pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Bagi bangsa Indonesia, sistem demorasi yang dianut adalah sistem demokrasi Pancasila, di mana segala sesuatu yang menyangkut kepentingan kehidupan bangsa dan negara, senantiasi mengacu pada dasar negara yakni Pancasila. Sistem ini merupakan satu-satu di dunia karena tidak dimiliki negara lain. Secara etimologis demokrasi berarti rakyat berkuasa atau government or rule by the people" (Budiarjo, 1974:37). Dengan demikian, segala sesuatu yang menjadi aturan, ketentuan, kebijakan terkati penyelenggaraan negara dan pemerintahan, senantiasi berorientasi pada rakyat dan bukan pada kekuasaan dan “penguasa” atau pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Istilah pemerintah merupakan terjemahan dari kata Inggris government dan Perancis gouverment yang kedua-duanya memiliki etimologi kata bahasa Latin gubernaculums yang berarti kemudi (Safrudin, 1973:3). Menurut wikipedia, “Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia Sebagai contoh: Republik, Monarki /Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut” (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah ). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemerintah berarti Sistem 1

description

Naskah akademik penyusunan dan pengusulan rancangan peraturan daerah tentang teknologi informasi dan komunikasi

Transcript of Naskah Akademik Perda Tik Kota Bitung

NASKAH AKADEMIKPERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN USAHA DAN JASA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

DI KOTA BITUNG

I. Pendahuluan

A. Latar belakang

1. Aspek Filosofis

Perjalanan kehidupan suatu bangsa dan negara di dunia ini tidak terlepas dari sistem. Sistem di tiap-tiap negara memiliki perbedaan dan ciri khasnya sendiri-sendiri. Namun ada satu hal yang memiliki kesamaan mayoritas bangsa-bangsa yakni kehidupan demokrasi. Demokrasi dalam hal ini pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Bagi bangsa Indonesia, sistem demorasi yang dianut adalah sistem demokrasi Pancasila, di mana segala sesuatu yang menyangkut kepentingan kehidupan bangsa dan negara, senantiasi mengacu pada dasar negara yakni Pancasila. Sistem ini merupakan satu-satu di dunia karena tidak dimiliki negara lain.

Secara etimologis demokrasi berarti rakyat berkuasa atau government or rule by the people" (Budiarjo, 1974:37). Dengan demikian, segala sesuatu yang menjadi aturan, ketentuan, kebijakan terkati penyelenggaraan negara dan pemerintahan, senantiasi berorientasi pada rakyat dan bukan pada kekuasaan dan “penguasa” atau pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah daerah.

Istilah pemerintah merupakan terjemahan dari kata Inggris government dan Perancis gouverment yang kedua-duanya memiliki etimologi kata bahasa Latin gubernaculums yang berarti kemudi (Safrudin, 1973:3). Menurut wikipedia, “Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia Sebagai contoh: Republik, Monarki /Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut” (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemerintah berarti Sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara. (KBBI, 1988)

Di lain sisi, pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah merupakan penguasa yang memerintah di daerah seperti gubenur dan bupati. (KBBI 1988). Keberadaan Pemerintah daerah merujuk pada otoritas administratif di suatu daerah yang lebih kecil dari sebuah negara. Sebutan ini digunakan untuk melengkapi lembaga-lembaga tingkat negara-bangsa, yang disebut sebagai pemerintah pusat, pemerintah nasional, atau (bila perlu) pemerintah federal. "Pemerintah daerah" hanya beroperasi menggunakan kekuasaan yang diberikan undang-undang atau arahan tingkat pemerintah yang lebih tinggi dan masing-masing negara memiliki sejenis pemerintah daerah yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam masyarakat primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala desa atau kepala suku. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah)

Seperti juga sistem negara dan pemerintahan antarnegara agak berbeda-beda antara satu dengan yang lain, penyelenggaraan pemerintah daerah pun memiliki perbedaan menurut masing-masing negara. Terminologinyapun berbeda-beda. Nama umumnya pemerintah daerah meliputi negara bagian, provinsi, region,

1

departemen, county, prefektur, distrik, kota, township, town, borough, parish, munisipalitas, shire dan desa. Untuk Amerika Serikat, misalnya, sebagai negara federal memiliki dua tingkat pemerintah di atas tingkat daerah: pemerintah lima puluh negara bagian dan pemerintah nasional federal yang hubungannya dijembatani oleh konstitusi Amerika Serikat. Pemerintah daerah di Amerika Serikat sudah ada sejak masa kolonial dan terus berubah-ubah sejak itu: tingkat tertinggi pemerintah daerah adalah tingkat county.

Pemerintah merupakan nama subyek yang berdiri sendiri. Sebagai subyek pemerintah melakukan tugas dan kegiatan. Untuk menunjukkan adanya subyek tertentu maka di belakang kata pemerintah ada kata sambungannya misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sebagainya. Bertolak dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah adalah pemegang kemudi dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan di daerah (Misdyanti dan R.G. Kartasapoetra 1993:17). Penerapan desentralisasi yang telah melahirkan daerah-daerah otonom memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam bangsa moden, pemerintah daerah biasanya memiliki sejenis kekuasaan yang sama seperti pemerintah nasional. Mereka memiliki kekuasaan untuk meningkatkan pajak, meskipun dibatasi oleh undang-undang pemerintah pusat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah) Selain itu, memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu kewenangan pemerintah daerah adalah mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur segala sesuatu yang terkait penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah bersangkutan.

Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kebijakan publik. Karena itu, sebuah peraturan daerah yang dibuat dan disahkan oleh DPRD bersama pemerintah daerah dapat diterima oleh masyarakat jika memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang baik. Landasan filosofis setiap peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini merujuk pada recht idée yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan ke-1, 2, 3 dan 4), Alinea ke-4. Inti landasan filosofis adalah jika landasan peraturan yang digunakan memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar (logis), baik dan adil. Menemukan nilai filosofis berarti melakukan pengkajian secara mendalam dalam rangka mencari hakekat sesuatu hal dengan menggunakan penalaran.

Sistem Demokrasi modern menuntut agar kebijakan publik tidak semata berisi cetusan pikiran atau pendapat penguasa, tetapi berisi pendapat atau opini publik dengan porsi yang sama besarnya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan publik. Setiap kebijakan publik mutlak berorientasi kepada kepentingan publik (public interest). Menurut M. Oosting sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, dalam suatu negara demokrasi, negara dapat dipandang sebagai penyalur gagasan sosial mengenai keadilan kepada para warganya dan mengungkapkan hasil gagasan semacam itu dalam undang-undangnya, atau dengan perkataan lain, proses kegiatan negara harus juga merupakan suatu proses di mana semua warganya dapat mengambil bagian dan memberikan sumbangannya dengan leluasa (Bambang Sunggono, 1994:11-12).

2. Aspek Yuridis

Penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini peraturan daerah bagi pemerintah daerah memiliki landasan yuridis. Landasan dimaksud merujuk pada peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada pihak tertentu untuk membentuk peraturan daerah dan materi peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Dengan

2

diberlakukannya otonomi daerah (Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan kemudian diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah), dan beberapa peraturan yang mengatur tentang otonomi daerah yang pernah ada sebelumnya, menunjukkan bahwa ada peraturan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri.

Aspek yuridis lainnya yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah otonom dalam membuat suatu peraturan daerah adalah:

1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor III/MPR/2000, Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1999 tentang Teknik Penyususnan Peraturan Perundang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden;

2) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah nomor 21 tahun 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah;

3) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah nomor 22 tahun 2001 tentang Bentuk Produk-produk Hukum Daerah;

4) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah nomor 23 tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk-produk Hukum Daerah;

5) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah nomor 24 tahun 2001 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Hindia Belanda hingga kini, yang berwenang membentuk peraturan adalah pemerintah dan parlemen (BPHN, 1994). Sementara di Inggris meskipun kedaulatan berada di tangan parlemen, namun pemerintah termasuk pemerintah daerah, perusahaan yang dibentuk atau diatur dengan undang-undang, perusahaan swasta dan warga negara secara perorangan berhak pula mengajukan rancangan undang-undang yang diajukan kepada parlemen dalam bentuk petisi. Model ini ditiru oleh Afsel, Irlandia dan Selandia Baru. Di negara Bulgaria dan Brasil kewenangan mengajukan rancangan undang-undang diberikan pula kepada badan peradilan. Australia dan Italia memberikan kewenangan kepada mereka yang memiliki hak pilih dengan syarat harus diajukan oleh minimal 300.000 orang (Australia) dan 50.000 orang (di Italia). Rancangan undang-undang yang mereka susun diberikan kepada parlemen. Di Swiss hak itu juga dimiliki oleh canton (daerah-daerah otonomi), (BPHN, 1999:74-75).

Berkaitan dengan kegiatan pungutan atas pemberian rekomendasi dan izin penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi, Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Kota Bitung) memiliki beberapa landasan hukum sebagai acuan dan rujukan sebagai bentuk dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah yang lebih baik dan unggul berdasarkan amanat Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004, Pasal 2 ayat (3), yang bunyinya: "Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.".

Perkembangan arus lalu-lintas barang dan jasa serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah merasuki segenap aspek kehidupan masyarakat. Kemajuan pembangunan di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan peralihan pola pikir, gaya hidup dan budaya masyarakat yang menganggap kebutuhan informasi dan komunikasi bukan lagi sebagai kebutuhan sekunder atau kebutuhan mewah, tetapi telah menjadi kebutuhan primer dan tidak mewah. Apalagi layanan telekomunikasi nirkabel telah menjangkau sampai ke pelosok pedesaan dan disertai harga perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang semakin terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah sekalipun.

3

Demikian halnya dengan kebutuhan akan jasa pos terus mengalami peningkatan sehubungan dengan semakin berkembangnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Arus lalu lintas barang dan jasa pun ikut meningkat dan membutuhkan prasarana dan sarana yang memadai. Sebagai efeknya, investasi di bidang penyelenggara pos untuk jasa pengiriman barang terus bertumbuh.

Sebagai dampak perubahan sikap, gaya hidup dan budaya masyarakat terhadap kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi, para pemilik modal secara otomatis tergerak membangun dan mendirikan usaha di bidang jasa layanan teknolohi informasi dan komunikasi. Masyarakat pemilik modal kecil hingga besar berlomba-lomba mendirikan usaha yang terkait dengan kebutuhan akan informasi dan komunikasi. Misalnya, mendirikan menara telekomunikasi di mana-mana, membuka warung internet, memiliki dan menguasai radio komunikasi, mendirikan stasiun radio dan televisi dan lain-lain. Kenyataan ini telah menimbulkan tantangan dan masalah bagi pemeritah kota dalam hal pengawasan dan pengendalian. Untuk itu, perlu ada aturan yang bisa mengaturnya, sekaligus menjadikannya sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan daerah atau pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat digunakan untuk pembangunan kota Bitung.

Dalam memberian rekomendasi dan perizinan, mengatur, mengendalikan dan mengawasi kegiatan usaha dan jasa di bidan teknologi informasi dan komunikasi, pemerintah daerah wajib berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi Pemerintah kota Bitung, sebagaimana pemerintah daerah lainnya, memiliki acuan jelas yakni Undang-undang nomor 32 tahun 2004, Pasal 14 ayat (1) huruf a yang berbunyi: "perencanaan dan pengendalian pembangunan;" dan huruf b mengamanatkan: "perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;" dilanjutkan dengan huruf p yang berbunyi: "urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.". Selaras dengan itu adalah ayat (2) dalam Pasal tersebut yang berbunyi: "Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan kondisi dan kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan."

Aturan pelaksanaan yang sangat jelas mengatur kewenangan pemerintah daerah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada tabel Lampiran Y peraturan ini telah diatur 24 kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait bidang Pos dan Telekomunikasi yang meliputi:

1) Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan.2) Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.3) Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.4) Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.5) Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan

pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.

6) Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota.

7) Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.

8) Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).9) Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi

yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan

4

telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya.

10) Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.11) Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.12) Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi

sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.13) Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi

dalam satu kabupaten/kota.14) Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan). 15) Pemberian izin instalansi penangkal petir.16) Pemberian izin instalansi genset.17) Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos

dan telekomunikasi. 18) Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.19) Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi

serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

20) Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio.

21) Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.

22) Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota.

23) Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.24) Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala

kabupaten/kota.Sedangkan UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos secara implisit mengatur

aktivitas Pos di daerah antara lain:1. Pasal 4 menyebutkan,

(1) Penyelenggaraan Pos dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:a. badan usaha milik negara;b. badan usaha milik daerah;c. badan usaha milik swasta; dand. koperasi.

Pasal 5(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat

melakukan kegiatan:a. layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik;b. layanan paket;c. layanan logistik;d. layanan transaksi keuangan; dan e. layanan keagenan pos.

2. Pasal 12(1) Penyelenggara Pos asing dapat menyelenggarakan pos di

Indonesia dengan syarat:a. wajib bekerja sama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri;b. melalui usaha patungan dengan mayoritas saham dimiliki

Penyelenggara Pos dalam negeri;c. Penyelenggara Pos dalam negeri yang akan bekerja sama

sahamnya tidak boleh dimiliki oleh warga negara atau badan usaha asing yang berafiliasi dengan Penyelenggara Pos dalam negeri;

5

d. Penyelenggara Pos asing dan afiliasinya hanya dapat bekerja sama dengan satu Penyelenggara Pos dalam negeri; dan

e. kerja sama Penyelenggara Pos asing dengan Penyelenggara Pos dalam negeri dibatasi wilayah operasinya pada ibukota provinsi yang telah memiliki pelabuhan udara dan/atau pelabuhan laut internasional.

Terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi antara lain mengatur sbb:

Bagian KelimaHak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat

Pasal 12(1) Dalam rangka pembangunan,pengoperasian,daan atau

pemeliharaan jaringan telekomunikasi,penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara da atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.

(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau banguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku pula terhadap sungai,danau,atau laut,baik permukaan maupun dasar.

(3) Pembangunan,pengoperasian dan atau pemelihaaran jaringan telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1),dilaksanakan setelaah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan,pengoperasian atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan diantara para pihak.

Pasal 14Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2008, maka pasal 12 -14 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi memiliki benang merah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur penyelenggaraan usaha dan jasa telekomunikasi. Antara lain diatur dalam lampiran Y Bidang Komunikasi dan Informatika sbb.:

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

2. Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi

1. — 1. —

6

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

2. — 2. —

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.

3. —

4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.

4. — 4. —

5. — 5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.

6. — 6. Pengawasan layanan jasa telekomunikasi.

6. —

7. — 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.

7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota.

7

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

8. — 8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.

8. Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.

9. — 9. — ‘9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).

10. Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.

10.Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.

10. Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya.

11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).

11. — 11. —

12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.

12. — 12. —

13. — 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

13.Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.

14. — 14. —

15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.

15. — 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.

3. Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat)

1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat

1. — 1. —

2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di

2. — 2. —

8

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

3. — 3. —

4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.

4. — 4. —

5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.

5. — 5. —

6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.

6. — 6. —

7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.

7. — 7. —

8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio.

8. — 8. —

9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.

9. — 9. —

10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment).

10. — 10.—

11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.

11.— 11.—

12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional.

12.— 12. —

13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia.

13. — 13. —

14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.

14. — 14. —

15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.

15. — 15. —

16.Pelaksanaan teknikal analisis.

16. — 16. —

17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.

17. — 17. —

18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.

18. — 18. —

9

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.

19. — 19. —

20.Penerbitan izin stasiun radio. 20. — 20. —21.Pelaksanaan verifikasi izin

stasiun radio.21. — 21. —

22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.

22. — 22. —

23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.

23. — 23. —

24.Pelaksanaan penegakan hukum.

24. — 24. —

25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum.

25. — 25. —

26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.

26. — 26. —

27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.

27. — 27. —

28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.

28. — 28. —

29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.

29. — 29. —

30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower.

30. — 30. Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.

31. — 31. Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.

31. Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota.

32. — 32. — 32. Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).

33. — 33. — 33. Pemberian izin instalansi penangkal petir.

34. — 34. — 34. Pemberian izin instalansi genset.

4. Bidang Standarisasi Pos dan Telekomun

1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan

1. — 1. —

10

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

ikasi pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

2. — 2. —

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

3. —

4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.

4. — 4. —

5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.

5. — 5. —

6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.

6. Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.

6. Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.

7. Kerjasama standar teknik tingkat internasional.

7. — 7. —

8. — 8. — 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.

5. Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

1. — 1. —

2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral,

2. — 2. —

11

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

3. — 3. —

4. — 4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

5. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

5. — 5. —

1. Penyiaran 1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.

1. — 1. —

2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.

2. Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.

2. —

3. — 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.

3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio.

4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.

4. — 4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.

5. Penetapan pedoman teknis 5. — 5. —

12

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi.

6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.

6. — 6. —

7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.

7. — 7. —

8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.

8. — 8. —

9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.

9. — 9. —

10. Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.

10. — 10. —

11. Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.

11. — 11. —

12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.

12. — 12. —

13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.

13. — 13. —

2. Kelembagaan Komunikasi Sosial

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.

25)Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota.

2. Perumusan dan pelaksanaan

kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.

2. — 26) —

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.

3. — 27) —

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi

4. — 28) —

13

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.

3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.

1. — 1. —

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian.

2. — 2. —

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.

3. — 3. —

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.

4. — 4. —

4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.

1. — 1. —

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.

2. — 2. —

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.

3. — 3. —

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.

4. — 4. —

5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.

5. Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Kemitraan Media

1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan

1. — 1. —

14

SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN

DAERAH PROVINSIPEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.

2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota.

Aspek yuridis lainnya yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah adalah peraturan menteri Komunikasi dan Informartika Nomor 18/PER/M.KOMINFO/03/2009 tentang Tata cara dan proses perizinan penyelenggaraan penyiaran oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Antara lain menyebutkan:

PENYELENGGARAAN PERIZINAN PENYIARAN DI DAERAH Pasal 2

1. Perizinan penyiaran terdiri atas :a. Urusan yang menjadi kewenangan Departemen Komunikasi dan Informatika b. Urusan yang dibagi bersama dengan pemerintahan Daerah Provinsi Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kotac. Urusan yang dibagi bersama dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

2. Urusan yang menjadi kewenangan Departemen Komunikasi dan Informatika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan

mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya;

b. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan p enyiaran;

c. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran;

d. Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi;e. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga

Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berlangganan oleh salah satu orang atau salah satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran;

f. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara Lembaga g. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada Lembaga Penyiaran

Swasta dan Lembaga Penyiaran berlangganan;h. Pemetaan usaha jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi;i. penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi;j. Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan

televisi;k. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi;l. Penetapan pedoman teknis dan sarana dan prasarana penyiaran radio dan

televisi;m. Penetapan/penentuan alokasi frekuensi dalam penyelenggaraan jasa

penyiaran radio dan televisi; 3. Urusan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

15

a. Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis permohonan izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi;

b. Pembelian rekomendasi kelengkapan data administrasi dan data teknis permohonan izin penyelenggaraan televisi;

4. Urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :a. Evaluasi persyaratan adminitrasi dan data tehnik terhadap

permohonan izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran radio;b. Pemberian rekomendasi kelengkapan data administrasi dan data

tehnis persyaratan permohonan izin penyelenggaraan radio;c. Pemberian izin lokasi pembagunan studio dan stasiun pemancar radio

dan/ atau televisi;

Pasal 3Rekomendasi kelengkapan data tehnis Permohonan izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) huruf b dan Ayat (4) huruf b tidak berarti sebagai penetapan/ penentuan frekuensi dalam penyelenggaraan jasa penyiaran radio atau televisi.

Pasal 4Persyaratan administrasi dan data tehnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat. (3) huruf a dan ayat (4) huruf a, adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelengaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Pasal 5Menteri dapat melakukan pembinaan, Pengarahan dan Petunjuk kepada Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota dalam pelaksanaan urusan yang telah menjadi Kewenangannya di bidang proses perizinan penyelenggaraan penyiaran agar lembaga penyiaran daoat memenuhi azas, tujuan dan arah penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Demikian pula terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,

telah berkembang sangat pesat melampaui eksistensi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, perangkat hukum tertinggal selangkah dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, namun tidak jauh tertinggal. Karena itu, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (baca: UU ITE) yang secara implisit, mengharuskan pemerintah daerah untuk mengambil sikap guna menyelamatkan masyarakat, bangsa dan negara dari kehancuran moral akibat penyalahgunaan telknologi informasi dan komunikasi. Dalam UU ITE antara lain disebutkan:

PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 40(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai

akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

16

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.

(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.

(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 41(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi

melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.

(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.

Penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi benar-benar telah merasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan pelaku dan korban penyalahgunaannya adalah masyarakat yang nota bene berada di bawah dan bersentuhan langsung dengan pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Pornografi, antara lain mengatur peran pemerintah daerah dalam mengatasi penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi terkait pornografi. Pasal 17-19 menyebutkan:

Peran Pemerintah Pasal 17 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk

pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk

pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;

17

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

3. Aspek Sosilogis

Aspek sosiologi dari sebuah peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan wajib yang harus dipertimbangkan dalam prose pembuatannya. Sebab, suatu peraturan perundang-undangan dinilai memilki landasan sosiologis yang tepat jika dibentuk berdasarkan realita dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal ini penting agar sebuah produk peraturan (dalam hal ini peraturan daerah) tidak menimbulkan keresahan, ketidakpuasan dan yang berujung pada resistensi masyarakat ketika hendak diberlakukan.

Pemerintah daerah sebagai pemegang kekuasaan di daerah tidak hanya harus memahami keadaan masyarakat tetapi juga mempertimbangkan dukungan (support) dan tuntutan (demand) yang ada di dalam masyarakatnya. Karena itu sebelum mengajukan prakarsa pembuatan peraturan daerah, pemerintah daerah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk bisa mempelajari situasi dan kondisi secara tepat (Bambang Sunnggono, 1994:12-13).

Penolakan terhadap kebijakan pemerintah secara terbuka atau terselubung pada umumnya disebabkan oleh minimnya komunikasi oleh birokrasi atau ketidaksiapan masyarakat memikul resiko dan dampak yang dipersepsikan. Sikap budaya lama dari "pamong" (birokrasi) yang merasa memonopoli informasi sering muncul ke permukaan dalam bentuk yang dituduhkan sebagai "kecongkakan kekuasaan". Hampir semua masalah yang kita hadapi dewasa ini dapat ditelusuri kembali kepada akar masalahnya, yaitu karena tiadanya komunikasi yang sehat, atau bahkan karena "salah komunikasi". Semuanya berlatar belakang karena ketidaksediaan berbagi privilese, berbagi informasi dengan pihak lain. Partisipasi rakyat dalam perumusan kebijakan-kebijakan penting yang berdampak terhadap kepentingan masyarakat luas membutuhkan dialog yang terbuka (Z.A. Maulani, 2000: 10-15).

Pemberian ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan daerah tidak perlu dinilai sebagai bentuk rongrongan terhadap kewenangan DPRD. Namun, harus dinilai sebagai suatu bentuk pemberian ruang partisipasi yang sewajarnya. Kehadiran dewan perwakilan rakyat dalam demokrasi perwakilan sama sekali tidaklah dimaksudkan untuk menghapuskan hak-hak rakyat yang diwakilkanya. Selain itu tidak perlu pula dinilai sebagai bentuk lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap DPRD. Meskipun benar dalam catatan sejarah peraturan perundang-undangan di negara kita setidaknya sampai dengan tahun 1999, dan juga pada kebanyakan negara, hak inisiatif DPRD jarang dimanfaatkan (BPHN, 1999). Bahkan sebagai paradoks, sejak pasca 1999 diindikasikan bahwa penggunaaan hak inisiatif DPRD pada daerah-daerah otonom terus meningkat seiring dengan tumbuhnya dominasi DPRD terhadap pemerintah daerah.

Dengan demikian, memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan merupakan condition sine quanon dan perlu dijadikan alternatif solusi yang mempunyai makna penting agar peraturan daerah yang dibentuk mendapatkan dukungan masyarakat serta memiliki kemampuan untuk diterapkan dan berlaku dalam jangka waktu yang lama karena memang sesuai dengan nilai moral dan prinsip-prinsip kebaikan serta realitas kebutuhan yang hidup di tengah masyarakat.

18

4.. Kondisi Khusus di Daerah

B. Tujuan dan Kegunaaan

Penyusunan naskah akademik ini pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan bahan masukan dan pembanding bagi penyusunan Draft Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan, Pengawasan dan Pengendalian Usaha dan Jasan di Bidang Teknolohi Informasi dan Komunikasi di kota Bitung. Sedangkan sisi manfaatnya adalah memberikan gambaran dan kajian untuk pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam pembuatan peraturan daerah. Apalagi pembuatan peraturan daerah tidak menjadi hak monopoli pemerintah ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah semata. Karena itu, dari kajian kademik ini diharapkan dapat muncul pemahaman bersama bahwa penyelenggaraan, pengendalian, dan pengawasan jaa dan usaha di bidang teknologi informasi dan komunikasi wajib dilakukan demi kelangsungan generasi selanjutnya. Maka, pembuatan peraturan daerah ini sudah sangat urgen untuk segera diwujudkan.

C. Metode Penyusunan

1. Studi Pustaka, dan 2. Diskusi.

II. Kerangka Materi Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang penataan, pembangunan, pengoperasian dan pengendalian menara

telekomunikasi.

A. Bab Ketentuan Umum

Ketentuan umum dalam naskah akademik dalam rancangan peraturan daerah ini mencakup pengertian-pengertian istilah:

1. Daerah adalah Kota Bitung.2. Pemerintahan Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah.3. Walikota adalah Walikota Bitung.4. Dinas Komunikasi dan Informatika adalah Dinas Komunikasi dan Informatika

Kota Bitung.5. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika adalah Kepala Dinas Komunikasi

dan Informatika Kota Bitung.6. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah adalah

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah Kota Bitung.

7. Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah adalah Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah Kota Bitung.

8. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.

9. Warung Internet selanjutnya disingkat Warnet adalah tempat usaha yang didirikan untuk memberikan pelayanan jasa informasi dan komunikasi secara terbatas, baik bersifat sementara maupun tetap.

19

10. Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan.

11. Perangkat lunak adalah adalah program komputer yang berfungsi sebagai sarana interaksi antara pengguna dan perangkat keras.

12. Perangkat keras adalah peralatan fisik yang membentuk suatu sistem komputer, meliputi : peralatan input, output, memori, prosesor, papan ketik, tetikus, pemindai, monitor, pencetak, peralatan penyimpanan, peralatan komunikasi, dan sebagainya.

13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

14. Peladen (atau Server) adalah seperangkat komputer yang berfungsi menjalankan perangkat lunak administratif yang mengontrol akses terhadap jaringan internet dan sumber daya yang terdapat di dalamnya, seperti halnya berkas atau alat pencetak, dan memberikan akses kepada perangkat komputer klien anggota jaringan.

15. Klien adalah sejumlah unit komputer yang terhubung dan mengakses peladen (atau server) melalui jaringan komputer, baik secara nirkabel maupun dengan kabel dan digunakan oleh pengguna umum.

16. Nirkabel adalah sistem hubungan antarperangkat komputer tanpa menggunakan kabel, melainkan menggunakan gelombang frekuensi radio 2,4 GHz atau 2,5 GHz.

17. Wireless Fidelity yang disingkat Wi-Fi, adalah jaringan internet nirkabel yang melayani pengguna pada jarak tertentu dalam suatu area terbatas dalam suatu gedung atau rumah.

18. Hotspot adalah tempat-tempat umum yang memiliki layanan internet dengan menggunakan teknologi jaringan nirkabel, seperti pada perguruan tinggi, mall, plaza, perpustakaan, hotel, restoran atau pelabuhan.

19. RT/RW-Net adalah suatu jaringan beberapa komputer secara nirkale maupun kabel dalam suatu kompleks perumahan atau blok yang saling berhubungan dan dapat berbagi data serta informasi dengan fasilitas internet tersedia selama 24 jam sehari selama sebulan dimana biaya pembangunan infrastruktur, operasional dan biaya langganan ditanggung bersama seluruh pemilik komputer anggota jaringan.

20. Voice over Internet Protocol yang selanjutnya disingkat VoIP adalah teknologi komunikasi yang memungkinkan percakapan suara jarak jauh melalui media internet di mana suara diubah menjadi kode digital dan dialirkan melalui jaringan yang mengirimkan paket-paket data dan bukan lewat sirkuit analog telepon biasa.

21. Permainan daring (atau juga disebut online game) adalah jenis permainan video atau permainan komputer dengan menggunakan jaringan komputer yang pada umumnya melalui jaringan internet sebagai medianya. Permainan online terdiri dari dua unsur utama, yaitu peladen (atau server) dan klien (atau client). Peladen adalah penyedia layanan permainan yang merupakan basis agar para klien yang terhubung dapat memainkan permainan dan melakukan komunikasi dengan baik. Peladen pada prinsipnya hanya melakukan administrasi permainan dan menghubungkan seluruh klien. Sedangkan klien adalah pengguna permainan dan memakai kemampuan peladen.

22. Layanan luring adalah kegiatan usaha dan/atau jasa yang menggunakan sistem komputer secara tidak daring (atau juga disebut offline) di mana satu komputer tidak terhubunga dengan komputer lain suatu dalam jaringan internet.

20

23. Multimedia adalah penggunaan komputer untuk menyajikan dan menggabungkan teks, suara, gambar, animasi dan video dengan alat bantu dan koneksi sehingga pengguna dapat bernavigasi, berinteraksi, berkarya dan berkomunikasi.

24. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.

25. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

25. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

B. Bab Materi

Sebagaimana halnya dengan pembentukan produk hukum lainnya, pembentukan produk hukum daerah harus pula didasarkan pada asas kewenangan, kejelasan tujuan, manfaat, kesesuaian jenis dan materi muatan, kejelasan rumusan, aspiratif serta dapat dilaksanakan.

C. Bab Ketentuan Sanksi

Dalam rancangan peraturan daerah ini diatur detail dan teknis penerapan sanksi terhadap pelanggaran atas pelaksanaan peraturan daerah itu nantinya. Dalam hal ini akan berkaitan dengan pengaturan tentang akibat hukum dan upaya hukum jika terjadi pelanggaran teknis di lapangan.

D. Bab Ketentuan Penutup

Pelaksanaan peraturan daerah ini dilaksanakan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diundangkannya peraturan daerah ini, maka peraturan daerah ini mulai berlaku. Dengan diundangkannya peraturan daerah ini maka segala peraturan daerah yang terkait dengan penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian jasa dan usaha di bidang pos dan telekomunikasi di kota Bitung dinyatakan tidak berlaku lagi dan dicabut. Dan, agar setiap orang dapat mengetahui, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan penempatannya di dalam Lembaran Daerah.

III. Penutup

Sebagai penutup dalam bab ini, perlu disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan desentralisasi telah melahirkan daerah-daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan membentuk peraturan daerah yang dijadikan oleh pemerintah daerah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah atau peraturan daerah-peraturan daerah lain yang dibentuk dengan maksud untuk mengatur kehidupan masyarakat daerah.

2. Dalam sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan di negara kita, secara yuridis formal kewenangan pengajuan rancangan peraturan daerah dimiliki oleh pemerintah daerah (eksekutif) dan dewan perwakilan rakyat daerah (legislatif), tetapi masyarakatpun dapat mengajukan prakarsa pengajuan peraturan perundang-undangan sebagai hak inisiatif. Di beberapa negara yang

21

menjalankan demokrasi modern, pemberian kewenangan kepada masyarakat untuk mengajukan usulan rancangan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah adalah hal yang biasa.

3. Masyarakat harus diberikan ruang seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam mengawasi dan mengendalikan pembangunan menara telekomunikasi.

4. Penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian jasa dan usaha di bidang teknologi informasi dan komunikasi di kota Bitung memerlukan waktu sosialisasi yang panjang dan memberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat lokal secara umum dan luas tentang segala akibat dari penyelenggaraan usaha dan jasa di bidang teknologi informasi dan komunikasi.

5. Untuk menjalankan maksud dari peraturan daerah ini, perlu dibentuk Tim Pengawas dan Pengendali Penyelenggaraan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TP3TIK) berdasarkan Keputusan Walikota Bitung.

Daftar Pustaka

Balai Pustaka, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.BPHN, 1999. Aspek Hukum Pelaksanaan Inisiatif DPR dalam Penyusunan

Rancangan Undang-undang, Jakarta. Budiarjo, M., 1974. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta. Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Depkum-HAM, dan UNDP, 2008. Panduan

Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Sasmita: Jakarta.Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Kemenkominfo, 2009. Himpunan

Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penyiaran.Manan, Bagir, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia", Ind. Hill Co.:

Jakarta. Maulani, Z.A., 2000. "Demokrasi & Pembangunan Daerah", Pustaka Pelajar dan

CRDS: Yogyakarta. Misdyanti dan R.G. Kartasapoetra, 1993. Fungsi Pemerintah Daerah dalam

Pembuatan Peraturan Daerah, Bumi Aksara: Jakarta. Rasyid, M. Ryaas, 2002. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan, PUSKAP MIPI: Jakarta.Safrudin, Ateng, 1003. Pemerintah daerah dan Pembangunan", Sumur: Bandung. Sunggono, Bambang, 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika: Jakarta.Ubbe, Ahmad, 1999. Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum dalam Proses

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia: Jakarta.

22