NASKAH AKADEMIK DAN DRAFT RANCANGAN PERATURAN...
Transcript of NASKAH AKADEMIK DAN DRAFT RANCANGAN PERATURAN...
NASKAH AKADEMIK DAN DRAFT
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN
TENTANG
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
DINAS PARIWISATA, KEBUDAYAAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA
KABUPATEN TUBAN
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................iKATA PENGANTAR..................................................................................iiBAB I : PENDAHULUAN.........................................................................
1.1. Latar Belakang....................................................................11.2. Identifikasi Masalah............................................................111.3. Maksud dan Tujuan............................................................121.4. Metode Penelitian................................................................131.5. Sistematika Penyusunan.....................................................21
BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS...........................2.1. Hakikat Kebudayaan...........................................................232.2. Konsep Budaya...................................................................302.3. Tinjauan Umum tentang Cagar Budaya..............................322.4. Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah........................482.5. Praktik Empiris...................................................................59
BAB III : EVALUASI DAN ANALISISPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT...................3.1. Evaluasi dan Analisis UUD NRI Tahun 1945.......................633.2. Evaluasi dan Analisis UU 11/2010.....................................653.2. Evaluasi dan Analisis UU 12/2012.....................................683.3. Evaluasi dan Analisis UU 23/2014.....................................69
BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS...............4.1. Landasan Filosofis...............................................................724.2. Landasan Sosiologis............................................................744.3. Landasan Yuridis................................................................76
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUPMATERI MUATAN PERATURAN DAERAH................................5.1. Sasaran...............................................................................815.2. Jangkauan..........................................................................825.3. Arah …………………………………………………………………….825.4. Ruang Lingkup Materi Muatan …………………………………..83
i
BAB VI : PENUTUP...................................................................................6.1. Kesimpulan.........................................................................1256.2. Saran/Rekomendasi............................................................127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN : RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa
atas Rahmat dan Taufik yang diberikan, sehingga penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian
Cagar Budaya dapat diselesaikan. Penyusunan Naskah Akademik ini telah
melalui dan disesuaikan dengan tahapan/prosedur yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Naskah Akademik disusun berdasarkan latar belakang masalah, tujuan,
kajian teori serta diperkuat dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
dan telah kami sertakan Lampiran Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Naskah akademik ini diharapkan
dapat bermanfaat sebagai bahan bagi penyusunan Rancangan Peraturan
ii
Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya yang menjadi
prakarsa Pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Pariwisata,
Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban. Tujuan akhir Raperda
tersebut dapat bermanfaat dan berguna serta menjadi payung hukum bagi
Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban.
Penyusunan Naskah Akademik ini tidak dapat diselesaikan tanpa
dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, atas dukungan dan partisipasi
yang telah diberikan oleh berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, kami ucapkan terimakasih yang tidak terhingga. Selain itu, Naskah
Akademik ini tidak lepas dari berbagai kekurangan, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat konstruktif-solutif sangat dinantikan.
Tuban, Februari 2020
Ketua Tim Penyusun
Dr. RUSDIANTO SESUNG, S.H., M.H.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Benda, struktur, dan bangunan yang memiliki nilai eksistensi
kehidupan masa lalu pada suatu wilayah atau komunitas penting
mendapat perhatian untuk memberi track pemahaman terhadap realitas
sosial dan fisik kekinian. Hal ini karena realitas sosial dan fisik
terbentuk secara evolutif dan umumnya berlangsung linier. Sehingga
fakta-fakta yang terbentuk pada masa lalu menjadi track yang autentik
untuk mengkonstruksi pemahaman realitas faktual.
Pemahaman terhadap masa depan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan manusia menganalisa realitas faktual. Hal ini karena
dinamika manusia bersifat historis sehingga konstruksi masa depan
sangat dipengaruhi oleh realitas yang terjadi secara faktual ada hari ini.
Proses historis secara umum berlangsung evolutif dan linier sehingga
pola pergerakan masa depan dapat dianalisis dari tahapan-tahapan
perkembangan dalam konteks sejarah yang telah berlangsung.
Kemampuan mengantisipasi sejarah menjadi kunci bagaimana nilai-nilai
1
dan produktivitas manusia terjaga. Tanpa antisipasi tersebut, sebuah
masyarakat atau komunitas terancam eksistensinya karena terlindas
oleh pergerakan sejarah yang dinamis. Cerita tentang hilangnya
komunitas masyarakat sudah cukup ternarasi dalam folklor sejarah
misalnya suku-suku kecil di komunitas Jawa serta komunitas lokal
yang saat ini makin tergerus.
Keberadaan komunitas-komunitas lokal yang menjaga
otentisitasnya cukup mengganggu kekuatan global yang secara agresif
mendesain masyarakat dunia dalam bentuk yang tunggal. Mengenai hal
itu, Herbert Marcuse mengemukakan bahwa, “kekuatan global
mendorong manusia di dunia ini masuk dalam dimensi tunggal. Pada
saat manusia berdimensi tunggal maka kekuatan global tersebut akan
mengeruk keuntungan besar karena memiliki pasar (market) sangat
besar yang bisa setiap saat dikelola, terutama untuk mengkonsumsi
komodutas-komoditas yang diciptakan.1
Pernyataan Herbert Marcuse nampaknya diamini oleh Francis
Fukuyama yang meramalkan manusia berakhir pada kemenangan
kapitalisme liberal dengan indikator utamanya adalah industri dan
konsumsi dalam skala massif.2 Dengan adanya agresi kekuatan
1 Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Massachuset, USA: Beacon Press, 1964, hlm.52
2 Francis Fukuyama, The End of History, Oxford, British: Free Press, 1992, hlm. 154
2
dominan tersebut maka perlu diantisipasi dengan adanya pemahaman
yang utuh tentang pergerakan perubahan sosial yang salah satunya
dilakukan dengan metode historis. Dalam konteks inilah eksistensi,
narasi, dan konstruksi sosial masa lalu penting. Hal ini karena akan
memberi track yang relatif akurat untuk memahami situasi kekinian.
Salah satu basis data yang orisinal adalah keberadaan benda, struktur,
atau bangunan yang merupakan peninggalan masa lalu dan memiliki
nilai atau cerita tentang praktik-praktik kehidupan. Benda, struktur,
dan bangunan tersebut layak dijadikan sebagai Cagar Budaya yang
mendapat perlakuan khusus baik dari sisi fisik maupun
pemanfaatannya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, Cagar budaya merupakan
kekayaan yang menjadi warisan budaya bangsa yang tidak terhingga
nilainya sebab cagar budaya adalah wujud karya manusia yang
bersumber dari hasil pemikiran dan perilaku manusia pada jamannya.
Cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat yang rapuh,
unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sebagaimana yang terjadi
pada warisan budaya pada umumnya, tidak semua cagar budaya ketika
ditemukan sudah tidak berfungsi lagi dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya; sebab dalam kenyataan masih cukup banyak cagar
3
budaya yang masih digunakan oleh pendukungnya, baik dalam
fungsinya seperti semula atau diberi peran baru.
Mengingat pentingnya arti cagar budaya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka keberadaan
cagar budaya sangat penting untuk dipertahankan, dilestarikan, dan
dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka untuk menjaga
cagar budaya dari berbagai ancaman, diperlukan pengaturan yang jelas
mengenai pelestarian cagar budaya, baik yang sifatnya sebagai
monumen mati (dead monument) maupun yang sifatnya sebagai
monumen hidup (living monument). Pelestarian cagar budaya yang
dimaksud mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan dan
memanfaatkannya.
Negara mempunyai tanggung jawab dalam pengaturan
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.
Tanggung jawab tersebut adalah amanat konstitusi sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun
4
1945 menegaskan bahwa ”Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.”.
Ketentuan dari Pasal 32 ayat (1) di atas adalah hasil perubahan
(amandemen) Pasal 32 sebelumnya yang berbunyi: ”Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Perubahan ini dapat
dimaknai ke dalam 3 (tiga) hal mendasar yakni:
1. Adanya kesadaran dari perumus Undang-undang Dasar tentang
peran penting kebudayaan dalam pembentukan jati diri masyarakat
dan bangsa Indonesia pada khususnya, serta bagi modernitas dan
kemajuan bangsa pada umumnya.
2. Adanya kesadaran bahwa pengembangan budaya Indonesia adalah
tanggung jawab Negara, bukan hanya pemerintah tetapi juga
masyarakat.
3. Identitas bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam sasanti
Bhinneka Tunggal Ika harus dihayati. Persatuan (Tunggal) akan
selalu ada bersama dengan kemajemukan (Bhinneka).
Cagar Budaya di Indonesia adalah cerminan dari nilai-nilai luhur
bangsa yang harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa,
5
mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan
rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada
masa depan. Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia juga sangat penting
dalam rangka memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan
kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan
nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.
Merujuk pada amanat UUD NRI Tahun 1945 tersebut, pemerintah
mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan
kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan hal tersebut, seluruh hasil karya bangsa Indonesia,
baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu
dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan
budaya masa lalu, cagar budaya menjadi penting perannya untuk
dipertahankan keberadaannya.
Sebagai penjabaran amanat ketentuan Pasal 32 UUD NRI Tahun
1945 khususnya berkaitan dengan Pelestarian Cagar Budaya
Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya yang diundangkan pada tanggal 24 November 2010.
Undang-undang a quo merupakan pengganti undang-undang
6
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya.
Dasar filosofis penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya adalah bahwa undang-undang a quo
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas dasar itu, lahirnya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2010 tidak hanya sekadar mengatur
pelestarian benda Cagar Budaya, melainkan juga mengatur berbagai
aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya
masa lalu, baik benda, bangunan dan struktur, situs dan kawasan,
serta lanskap budaya yang pada undang-undang sebelumnya tidak
secara jelas dimunculkan. Di samping itu, paradigma Pelestarian Cagar
Budaya juga mengalami perubahan.
Manajemen pengelolaan Cagar Budaya menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1992 mengacu kepada sistem manajemen yang bersifat
terpusat, yaitu pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap
perlindungan Cagar Budaya. Orientasi manajemen pengelolaan Cagar
Budaya lebih banyak kepada orientasi perlindungan. Berbeda dengan
kondisisi tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya mempunyai orientasi manajemen pengelolaan Cagar
7
Budaya yang bersifat partisipatif. Di mana, sistem pengelolaan
manajemen Cagar Budaya, Pemerintah pusat tidak lagi mengambil
peran sebagai penanggungjawab tunggal, melainkan melibatkan para
stakeholder yang terdiri dari masyarakat, akademisi, organisasi
kemasyarakatan, pihak swasta dan pemerintah daerah. Oleh karena itu,
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
terdapat tiga peringkat Cagar Budaya, yaitu Cagar Budaya peringkat
nasional yang penetapannya dilakukan dengan Keputusan Menteri,
Cagar Budaya peringkat provinsi yang ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur, dan Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota yang
ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota sebagai
pengejawantahan dari adanya peran dan fungsi pemerintah daerah yang
harus ikut serta dalam Pelestarian Cagar Budaya.
Sejalan dengan paradigma Era Reformasi yang bertumpu pada
Otonomi Daerah maka peran pemerintah daerah menjadi penting dalam
Pelestarian Cagar Budaya. Hal itu terlihat dari ketentuan Pasal 95
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, di mana
pelestarian cagar budaya tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat, melainkan juga menjadi tanggungjawab Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Dengan demikian,
8
Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban mempunyai peranan yang penting
dalam Pelestarian Cagar Budaya, tidak hanya dalam perlindungan dan
pengembangan tetapi juga dalam pemanfaatan cagar budaya untuk
kepentingan masyarakat.
Selanjutnya, Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya memberikan tugas kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Tuban khususnya untuk:
1. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat
dalam Pengelolaan Cagar Budaya;
2. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin
terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
3. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan Cagar Budaya;
4. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
5. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
6. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan
promosi Cagar Budaya;
7. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat
untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah
9
dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan
terhadap daerah yang mengalami bencana;
8. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap
Pelestarian warisan budaya;
9. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.
Agar tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka
Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban dibekali dengan seperangkat
wewenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, antara lain:
1. membuat peraturan pengelolaan cagar budaya;
2. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;
3. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor
dan wilayah;
4. menghimpun data Cagar Budaya;
5. menetapkan peringkat Cagar Budaya;
6. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
9. mengelola Kawasan Cagar Budaya;
10
10. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah
melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
11. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk
kepentingan Pengamanan;
12. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan
peringkat kabupaten/kota;
13. menetapkan batas situs dan kawasan; dan
14. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan
yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar
Budaya, baik seluruh maupun bagian- bagiannya.
Dengan adanya berbagai tugas dan wewenang sebagaimana
diuraikan di atas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu
menetapkan strategi dan sekaligus merumuskan kebijakan yang
dituangkan ke dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Peraturan daerah
a quo, memiliki urgensi setidaknya karena 3 (tiga) alasan mendasar
yaitu: (1) melaksanakan tugas dan wewenang dalam Pelestarian Cagar
Budaya sebagai wujud dari adanya otonomi daerah; (2) mengisi
kekosongan aturan (regel vacuum) bidang Pelestarian Cagar Budaya di
11
Daerah; (3) menetapkan pedoman tunggal bagi Pemerintah Daerah
sendiri dan pihak lain termasuk organisasi kemasyarakatan bidang
Pelestarian Cagar Budaya, masyarakat, dan orang perorangan agar ada
standar baku dalam pelaksanaan Pelestarian Cagar Budaya di Daerah
sehingga Cagar Budaya dapat dilindungi, dikembangkan, dan
dimanfaatkan secara terarah, terintegrasi, dan berkepastian hukum.
1.2. Identifikasi Masalah
Berpokok pangkal pada latar belakang di atas, maka masalah
hukum yang muncul adalah adanya kekosongan aturan (regel vacuum)
yang dapat dijadikan payung hukum dalam Pelestarian Cagar Budaya di
Kabupaten Tuban. Dengan demikian, perlu disusun Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Adapun masalah-
masalah yang akan diteliti dalam penyusunan Naskah Akademik ini
adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian
Cagar Budaya?
b. Bagaimana urgensitas Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya sebagai dasar pemecahan masalah?
12
c. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya?
d. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya?
Sesuai dengan kewenangannya untuk mengatur (regelendaad),
Kabupaten Tuban dapat membentuk Peraturan Daerah sebagai landasan
dan dasar hukum untuk menjamin kepastian hukum dalam Pelestarian
Cagar Budaya. Untuk itu, diperlukan naskah akademik yang berfungsi
sebagai pedoman penyusunan Raperda Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya.
1.3. Maksud dan Tujuan
1.3.1. Maksud
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya ini dimaksudkan untuk
merumuskan pengaturan dalam bentuk Peraturan Daerah sebagai
dasar Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Di samping
itu, Naskah Akademik tersebut juga dimaksudkan untuk
13
mencegah terjadinya disharmonisasi peraturan perundang-
undangan, baik vertikal maupun horizontal dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya.
1.3.2. Tujuan
Tujuan dibentuknya Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya ini adalah untuk:
a. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya.
b. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang harus
ada dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban
tentang Pelestarian Cagar Budaya, guna memberikan
pengaturan yang pasti atas Pelestarian Cagar Budaya di
Kabupaten Tuban.
c. Memberikan kajian dan kerangka dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis serta teknis tentang perlunya pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.
14
1.4. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk
memperoleh pemecahan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan
dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan metode
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui
pengungkapan kebenaran secara sistematis, analisis-konstruktif
terhadap bahan yang dikumpulkan dan diolah. Atas dasar inilah, maka
di dalam penelitian ini terdapat beberapa unsur dari kerangka metode
penelitian tersebut.
1.4.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif
dan penelitian hukum empiris yang dilakukan untuk mencari
pemecahan masalah atas permasalahan hukum yang ada. Hasil
dari penelitian ini adalah memberikan preskripsi mengenai apa
yang seyogyanya mengenai permasalahan yang diajukan. Peter
Mahmud Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum
merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
15
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi.3
1.4.2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian normatif ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).4 Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu pendekatan
yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan
dengan masalah dalam penelitian ini. Sedangkan pendekatan
konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun
landasan teoritis yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.
1.4.3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Untuk menemukan, menghimpun, mengolah dan
menganalisis permasalahan penelitian, maka diperlukan
beberapa jenis dan sumber bahan hukum yang dapat dijadikan
dasar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun jenis dan sumber bahan hukum yang akan menjadi
dasar analisis di dalam penelitian ini sesuai dengan tipe3Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 354Ibid., hlm. 93
16
penelitian adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah data yang yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini terdiri dari tiga bahan
hukum, yaitu:5
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah dalam penelitian ini, meliputi :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur
juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965 tentang
Perubahan Bentuk Daerah Kota Praja Surabaya dan
Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia
5Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 12-13
17
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4247);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5168);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
18
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6055);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang
Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di
Museum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3599);
19
11. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
13. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2017 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 199);
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007
tentang Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan
Bidang Kebudayaan, Keraton dan Lembaga Adat dalam
Pelestarian dan Pengembangan Budaya;
20
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007
tentang Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Nilai Sosial Budaya Masyarakat;
16. Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor 40 tahun 2009 dan Menteri Dalam Negeri Nomor
42 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian
Kebudayaan;
17. Peraturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Yang
Dilestarikan.
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 2036)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
157);
21
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang berasal dari beberapa
literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan
terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat
berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
1.4.4. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer berupa perundangan-undangan
dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan kategorisasi.
Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistem kartu
catatan (card system), baik dengan kartu ikhtisiar (memuat
ringkasan tulisan sesuai aslinya, secara garis besar dan pokok
gagasan yang memuat pendapat asli penulis); Kartu kutipan
(digunakan untuk memuat catatan pokok permasalahan); serta
kartu ulasan (berisi analisis dan catatan khusus penulis).
22
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
telah dikumpulkan (inventarisasi) kemudian dikelompokkan dan
dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan, guna
memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum.
Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klaisifikasi kemudian
dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang
dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa secara
normatif.
1.4.5. Tahapan Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya,
dilakukan dengan mengacu pada tahapan di bawah ini:
a. Persiapan pengkajian atau penelitian normatif yang
diperlukan dengan metode kajian normatif, filosofis dan
sosiologis;
b. Penyusunan Naskah Akademik dan Draft Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian
Cagar Budaya.
23
c. Evaluasi terhadap kesesuaian Naskah Akademik dan Draft
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya.
d. Penyerahan sekaligus laporan kegiatan dengan lampiran
hasil kegiatan berupa Naskah Akademik dan Draft
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya (final).
1.5 Sistematika Penyusunan
Naskah akademik ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, yang menggambarkan latar belakang
munculnya kebutuhan peraturan daerah ini, yang antara lain memuat
tentang pengaturan mengenai Pelestarian Cagar Budaya dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, perlunya pembentukan peraturan
mengenai Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Dalam bab ini
juga dipaparkan mengenai maksud dan tujuan dari Naskah Akademik
ini, serta sistematika penyusunan dokumen naskah akademik ini.
Bab II : Kajian Teoritis dan Empiris, yang memaparkan tentang
kajian akademik, baik secara teoritis maupun empiris. Kajian tersebut
24
merupakan landasan perlunya pembentukan peraturan mengenai
Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban.
Bab III : Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan
Terkait, yang memaparkan tentang berbagai peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya. Dengan
adanya evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan tersebut,
diharapkan Peraturan Daerah tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun
horizontal.
Bab IV : Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, yang
memaparkan tentang landasan pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Landasan
tersebut baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Bab V : Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup
Materi Muatan Peraturan Daerah, memaparkan tentang pokok dan
lingkup materi apa yang harus ada dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya, di dalamnya mencakup
ketentuan umum, materi pokok yang akan diatur, dan ketentuan
penutup.
25
Bab IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan
naskah akademik dan rekomendasinya.
Lampiran : berisi legal drafting atas Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.
26
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS
2.1 Hakikat Kebudayaan
Mendasarkan kepada berbagai kajian pustaka, hakikat dari
kebudayaan dapat dipahami sebagai serangkaian aturan-aturan,
petunjuk-petunjuk, pedoman, rencana-rencana, dan strategi-strategi,
yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan
secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan
yang dihadapinya.
Kebudayaan dapat dipandang sebagai "mekanisme kontrol" bagi
kelakuan dan tindakan-tindakan manusia, atau sebagai "pola-pola bagi
kelakuan manusia". Oleh karena itu, kebudayaan merupakan hasil karya
manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan
keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala
keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang
ada di sekitarnya.
Kebudayaan merupakan perwujudan tanggapan manusia terhadap
tantangantantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri
mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan
27
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong
terwujudnya kelakuan. Hal ini dapat terjadi karena kebudayaan
melingkupi nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut
adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang
dimiliki oleh setiap manusia.
Kebudayaan berkembang menjadi sistem pengetahuan, yang
secara terusmenerus digunakan untuk dapat memahami dan
menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada
dalam lingkungannya. Interaksi sosial antarindividu dalam masyarakat
selalu mewujudkan nilai dan norma dalam tingkah laku yang harus
saling dapat dipahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup
anggota masyarakat sebagai makhluk sosial dapat tetap dipertahankan.
Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk
membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai
gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka.
Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan
modelmodel kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka
pegangan untuk pemahaman. Dengan kebudayaan manusia memiliki
28
kesanggupan untuk mewujudkan perilaku tertentu sesuai dengan
rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang dihadapinya.
Bagaimanapun, kebudayaan yang terdiri atas serangkaian
petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan
simbol-simbol yang diperlukan, yang secara bersama-sama dan diatur
sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau benda-
benda kebudayaan (artefak). Dalam setiap kebudayaan terdapat pedoman
yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-
tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya,
berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan
mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya
bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana
mengatasinya.
Dalam serangkaian rekomendasi Kongres Kebudayaan mulai tahun
1992 hingga 2013, setidaknya bisa ditemukan empat pemahaman
tentang kebudayaan yang diajukan. Pertama, kebudayaan sebagai
”warisan luhur nenek moyang”; Kedua, sebagai kenyataan antropologis
(yang bersifat serba menyeluruh, yang terdiri atas (a) “seven culture
universals”, ataupun yang melihatnya dari (b) sudut ajaran nilai, jadi
kebudayaan adalah sesungguhnya “konfigurasi sistem nilai”. Ketiga,
29
kebudayaan sebagai “kreativitas kehidupan yang estetik”. Keempat,
kebudayaan sebagai sistem makna (system of meaning).6
Pemahaman kebudayaan sebagai ”warisan nenek moyang” hanya
dapat berlaku pada kesatuan-kesatuan etnis saja, bukan pada bangsa
yang sifatnya ”multietnis”, jadi yang bersifat multi-warisan nenek
moyang. Hanya kata-kata slogan atau mitos yang mengatakan bangsa
Indonesia mempunyai nenek moyang yang sama, bukan realitas sejarah.
Slogan atau mitos mungkin bermanfaat dalam usaha memajukan suatu
keinginan normatif tetapi menyesatkan dalam usaha merumuskan
pemahaman, apalagi kebijakan yang strategis. Jadi pemahaman
kebudayaan ”sebagai warisan nenek moyang” lebih baik dipakai oleh
para literati daerah saja. Hal ini tentu saja bisa dibenarkan secara
kontitusional agar keprihatinan kultural daerah mendapat tempat yang
wajar dalam kebijaksanaan nasional.
Sedangkan pemahaman kebudayaan sebagai ”kreativitas estetik”
dengan mudah menyebabkan kita tergelincir pada penyempitan
pemahaman. Meskipun dinamika kebudayaan sangat tergantung pada
kreativitas, tetapi pemahaman artistik dan estetik dengan mudah
menjebak kita pada penyempitan makna kebudayaan menjadi
6 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 26
30
”kesenian”, betapapun mungkin banyaknya ragam perwujudan kesenian
itu. Namun demikian, arah Pembangunan Nasional Kebudayaan akan
kehilangan orientasi bilamana disusun tanpa batasan yang jelas
mengenai konsep kebudayaan.
Kebudayaan oleh para ahli dirumuskan dalam pengertian yang
tidak seragam. Dalam kata lain, kebudayaan didefinisikan bermacam-
macam sesuai dengan anggapan dasar pemikiran, pengalaman
keseharian, pengetahuan yang dimiliki, latar belakang kepentingan
sekaligus perenungan-perenungan tertentu. Namun demikian,
kebudayaan akan dipandang dalam perspektif pembangunan yang
berarti sebuah perubahan yang disengaja secara sistematik dari satu
kondisi kebudayaan yang dirasa kurang bernilai menuju kearah kondisi
kebudayaan yang lebih baik sesuai dengan tuntutan jaman.
Pengertian Kebudayaan yang selama ini dipahami oleh masyarakat
akademis sebagai : “keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya
manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui
proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi
sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara”, ternyata tidak mampu menjadi penafsiran tunggal mengenai
hakekat Kebudayaan.
31
Mendasarkan pada kebuntuan mengenai pemahaman kebudayaan
diatas dalam rangka menyusun Undang-Undang Kebudayaan di sini,
kebudayaan lebih dipahami bukan dari pengertian definisi semata, akan
tetapi lebih dipahami dan didekati secara paradigmatik untuk
menyepakati substansi prioritas segenap aspek yang dirasa oleh bangsa
Indonesia merupakan persoalan yang perlu diubah ke arah yang lebih
baik.
Mendasarkan pada serangkaian penyerapan aspirasi dan pendapat
dari segenap pemangku kepentingan dan pemangku kebenaran di bidang
kebudayaan, akhirnya disimpulkan ada 8 (delapan) aspek yang menjadi
hakekat substansi dari pembangunan kebudayaan Indonesia ke depan.
Ke delapan aspek tersebut meliputi:7
a. Aspek Hak Berkebudayaan;
b. Aspek Jatidiri dan Karakter Bangsa;
c. Aspek Multikulturalisme;
d. Aspek Sejarah dan Warisan Budaya;
e. Aspek Industri Budaya;
f. Aspek Diplomasi Budaya;
g. Aspek Pranata dan SDM Kebudayaan;
h. Aspek Prasarana dan Sarana Kebudayaan.7 Ibid. hlm. 62
32
Mengingat begitu luasnya tebahan domain kebudayaan dan
kerumitan keterkaitannya dengan berbagai peraturan perundangan dari
sektor terkait yng telah mendahuluinya, maka didalam menyusun
Undang-Undang tentang Kebudayaan ini, perlu memahami kebudayaan
sebagai suatu sistem. Memahami makna sistem kebudayaan di
Indonesia, hendaknya perlu didahului dengan mengetahui pengertian
‘sistem’ dan ‘sistem kebudayaan’. Apa yang dimaksud dengan sistem?
Kemudian bagaimana pemahaman atas ‘sistem’ tersebut terkait dengan
istilah ‘kebudayaan’, sehingga istilah ‘sistem kebudayaan’ dalam konteks
Indonesia dapat dibaca sebagai sebuah sistem kebudayaan nasional yang
akan akan dapat diterangkan secara lebih jelas.
Apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat, istilah sistem dapat dimaknai sebagai “perangkat unsur yang
secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.”8
Sedangkan dalam Kamus Oxford 7-th Edition, system didefinisikan
sebagai “an organized set of ideas or theories or a particular way of doing
something.”9 Dari kedua pengertian tersebut di atas, selanjutnya dapat
ditarik ke dalam definisi yang lebih sederhana. Sistem di sini akan
8 Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2008, hlm. 1320
9 Richard Chenevix Trench, Oxford Dictionary 7th edition, Oxford University Press, 2006,hlm 1557
33
dimaknai sebagai seperangkat gagasan atau unsur-unsur tentang
sesuatu yang saling berkelindan yang mempengaruhi sesuatu. Ketika
istilah ‘sistem’ disandingkan dengan istilah ‘kebudayaan’, sistem
kebudayaan bisa diartikan sebagai: seperangkat unsur-unsur
kebudayaan yang saling berkaitan dan mempengaruhi antara yang satu
dengan yang lainnya. Lebih lanjut, sistem kebudayaan Indonesia dapat
dipahami sebagai seperangkat unsur-unsur kebudayaan yang berada
dalam batas wilayah negara Indonesia yang saling berkaitan dan
mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Sistem
Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi sistemik dari
budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan, budaya
tempatan, serta budaya global, yang terkait satu sama lain dan dinamis
menuju ke arah kemajuan peradaban bangsa.
Adapun unsur-unsur kebudayaan Indonesia terdiri atas sepuluh
unsur yaitu (1) sistem kepercayaan; (2) organisasi sosial; (3) komunikasi;
(4) mata pencaharian; (5) pendidikan; (6) kesehatan; (7) kesenian; (8)
pengetahuan dan teknologi; (9) tata boga; dan (10) tata busana.
2.2 Konsep Budaya
34
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu
diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dengan kata dasar budaya
berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.10 Jadi Koentjaraningrat
mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan
rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang
membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya
merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari
budi. Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan
dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan
atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal diatas, Koentjaraningrat
membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud
kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai,
10 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2000, hlm. 131
35
norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
suatu masyrakat. (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia.11
Menurut Liliweri kebudayaan merupakan pandangan hidup dari
sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan
simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar yang semuanya
diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya.12
Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri mendefinisikan kebudayaan
tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut
adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia
sebagai anggota masyarakat.13 Dengan kata lain, kebudayaan mencakup
semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
11 Ibid.12 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: LKiS,
2002, hlm. 813 Ibid. hlm. 62
36
Hawkins mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang
meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta
kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian
masyarakat.14 Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari
cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi
atau lebih diinginkan. Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai
aspek kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan
dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.15
2.3 Tinjauan Umum tentang Cagar Budaya
2.3.1. Konsep Cagar Budaya
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya menentukan :”Cagar Budaya adalah
warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting14 P. Hawkins, Creating a Coaching Culture, New York: Bell and Bain Ltd., 2012, hlm. 8115 Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006,
hlm. 18
37
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan”. Dari difinisi konsep
tersebut dapat dipahami bahwa cagar budaya adalah warisan
budaya. Warisan pada umumnya dipahami sebagai peninggalan
dari masa lalu dan akan ditinggalkan untuk generasi mendatang
supaya dapat belajar darinya, dikagumi, dan dinikmati.
Dari pengertian Cagar Budaya di atas, Cagar Budaya
meliputi obyek yang cukup luas, meliputi benda, bangunan,
struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang berada di darat
dan/atau di air. Untuk dapat memahami konsep Cagar Budaya
seutuhnya, penting dipahami lingkup Cagar Budaya. Lingkup
Cagar Budaya tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang meliputi:
1. Benda Cagar Budaya, yaitu benda alam dan/atau benda
buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-
sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan
sejarah perkembangan manusia;
2. Bangunan Cagar Budaya, yaitu susunan binaan yang terbuat
dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi
38
kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan
beratap;
3. Struktur Cagar Budaya, yaitu susunan binaan yang terbuat
dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan
alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan
manusia;
4. Situs Cagar Budaya, yaitu lokasi yang berada di darat
dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya
sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa
lalu; dan
5. Kawasan Cagar Budaya, yaitu satuan ruang geografis yang
memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang
khas.
2.3.2. Paradigma dalam Pelestarian Cagar Budaya
Pengaturan benda-benda purbakala sudah ada sejak jaman
sebelum kemerdekaan, yaitu melalui Monwnenten Ordonantie
1931 (Stbl. No. 238 tahun 1931), lazimnya dlsingkat MO. Setelah
39
kemerdekaan, tonggak penting pengaturan benda peninggalan
budaya ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Saat ini, pengaturan
benda-benda peninggalan budaya berdasarkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Seiring dengan
pergantian peraturan perundang-undangan tersebut, terjadi pula
pergeseran paradigma dalam pelestarian cagar budaya.
Dengan dikeluarkannya undang-undang a quo, terjadi
perubahan paradigma dalam pelestarian Cagar Budaya. Apabila
diidentifikasi, terdapat lima hal yang menjadi paradigma baru
yang membedakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya, yaitu:
1. manajemen pengelolaan cagar budaya sifat pemerintahan yang
sentralistik diubah menjadi desentralistik.
2. adanya perubahan cara pandang pelestarian, dari object-
oriented menjadi site-oriented yang mengarah pada pengelolaan
kawasan.
40
3. pelestarian yang bersifat statis menjadi dinamis serta
mencakup lingkungan daratan dan perairan (arkeologi bawah
air).
4. pelestarian yang dinamis merupakan wujud dari prinsip
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
5. Pelestarian cagar budaya yang semula hanya terarah pada
objek materi, kini diarahkan pula pada pelestarian nilai untuk
pembentukan identitas (jati diri) bangsa dan kesejahteraan
rakyat.
Selanjutnya, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 menyebutkan bahwa pelestarian Cagar Budaya pada masa
yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang
berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat,
desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
2.3.3. Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelestarian Cagar Budaya
Penerapan otonomi daerah di Indonesia setelah Reformasi,
membawa konsekuensi perubahan terhadap cara pandang
maupun perilaku dalam melihat pola hubungan pusat dengan
daerah. Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk
41
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Otonomi
daerah kemudian menjadi salah satu alasan pergantian Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1992 melalui Undang-undang Nomor 11
Tahun 2010. Dengan berlakunya Undang-undang Nomer 11
Tahun 2010 maka terjadi perubahan arah dan ruang lingkup
pelestarian cagar budaya. Berdasarkan UU Benda Cagar Budaya
tahun 1992, manajemen pengelolaan Cagar Budaya mengacu
kepada sistem manajemen yang bersifat terpusat, yaitu
pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap perlindungan
Cagar Budaya.
Berdasarkan undang-undang yang baru, Pemerintah pusat
tidak lagi mengambil peran sebagai penanggungjawab tunggal
dalam sistem pengelolaan manajemen Cagar Budaya, melainkan
melibatkan para stakeholder yang terdiri dari masyarakat,
akademisi, NGO, pihak swasta dan pemerintah daerah. Seiring
dengan menguatnya Otonomi Daerah setelah Reformasi, maka
peran pemerintah daerah, baik tingkat provinsi dan kabupaten
mempunyai peran yang penting tidak hanya dalam perlindungan
42
dan pengembangan tetapi juga dalam pemanfaatan Cagar Budaya
untuk kepentingan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya memberikan kewenangan yang cukup besar kepada
Pemerintah Daerah dalam pelestarian cagar budaya. Hal itu dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 yang memberikan 16 kewenangan kepada daerah.
Selengkapnya Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 menyatakan sebagai berikut:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
tingkatannya mempunyai wewenang:
a. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;
b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas
sektor dan wilayah;
c. menghimpun data Cagar Budaya;
d. menetapkan peringkat Cagar Budaya;
e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;
g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
43
i. mengelola Kawasan Cagar Budaya;
j. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis
bidang pelestarian, penelitian, dan museum;
k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di
bidang kepurbakalaan;
l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah
melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk
kepentingan pengamanan;
n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat
provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan
p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang,
atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 97, Pemerintah Daerah
berwenang memfasilitasi pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.
Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
44
dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.
2.3.4. Ruang Lingkup Pelestarian Cagar Budaya
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, terjadi pergeseran konsep pelestarian cagar
budaya. Dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya
sebelumnya, yaitu Undang- Undang Nomor 5 tahun 1992, dianut
konsep bahwa pelestarian adalah salah satu tujuan dari
perlindungan benda budaya. Selanjutnya, dalam Pasal 2
menegaskan bahwa, ”Perlindungan benda cagar budaya dan situs
bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan
kebudayaan nasional Indonesia”. Sebaliknya, menurut Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2010, justru perlindungan adalah salah
satu upaya untuk melestarikan cagar budaya. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 22, pelestarian didifinisikan sebagai
upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya
dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkannya. Dengan demikian, dalam konsep pelestarian
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Adapun ruang
lingkup Pelestarian Cagar Budaya dalam Undang-Undang Nomor
45
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya lebih lengkap diuraikan
sebagai berikut:
1. Perlindungan
Perlindungan dalam hal ini mencakup kegiatan-kegiatan
penyelamatan, pengamanan, zonasi kawasan, pemeliharaan
dan pemugaran cagar budaya. Penyelamatan adalah upaya
menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Menurut Pasal 58,
penyelematan Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk (a)
mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam
yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai- nilai yang
menyertainya; dan (b) mencegah pemindahan dan beralihnya
pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar
Budaya dari ancaman dan/atau gangguan. Berdasarkan Pasal
61 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Pengamanan Cagar
Budaya adalah kewajiban pemilik dan/atau yang
menguasainya. Masyarakat juga dapat berperan serta
46
melakukan Pengamanan Cagar Budaya (vide Pasal 63).
Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar
Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.
Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memberi
pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada
tempat yang terhindar dari gangguan alam dan manusia.
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud di atas
harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan
sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama,
kebudayaan, dan/atau pariwisata.
Pelindungan Cagar Budaya juga dilakukan dengan menetapkan
batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui
sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian. Sistem zonasi ini
ditetapkan oleh Menteri untuk cagar budaya nasional, oleh
gubernur untuk cagar budaya provinsi, dan oleh
Bupati/Walikota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya
atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar
Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik
47
vertikal maupun horizontal, yang dapat terdiri atas: (a) zona
inti, (b) zona zona penyangga , (c) zona pengembangan,
dan/atau (d) zona penunjang.
Masih termasuk dalam lingkup kegiatan perlindungan adalah
pemeliharaan dan pemugaran. Pasal 75 Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2010 menegaskan bahwa Setiap orang wajib
memelihara Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan/atau yang
menguasainya dapat dikuasai oleh Negara. Pemeliharaan
dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk
mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh
alam dan/atau perbuatan manusia. Perawatan dilakukan
dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas
kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak,
gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya (vide Pasal 76).
Mengenai pemugaran, Pasal 77 menentukan bahwa Pemugaran
Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan
cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya
melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan
48
restorasi. Pada Pasal 77 ayat (2) ditentukan bahwa Pemugaran
Cagar Budaya harus memperhatikan: (a) keaslian bahan,
bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan; (b)
kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin; (c)
penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat
merusak; dan (d) kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
Di samping itu, pemugaran harus memungkinkan
dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap
mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan
Cagar Budaya.
2. Pengembangan
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi,
dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan
serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian (vide Pasal
1 angka 29) Pengembangan cagar budaya mencakup kegiatan
penelitian, revitalisasi cagar budaya, dan adaptasi. Penelitian
adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan
metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan
keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu
49
pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan (vide Pasal 1
angka 30). Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang
ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting
Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang
tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya
masyarakat (vide Pasal 1 angka 31). Adaptasi adalah upaya
pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai
dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan
terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai
pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai
penting (vide Pasal 1 angka 32)
3. Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk
kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan
tetap mempertahankan kelestariannya. (Pasal 1 angka 33)
Pemanfaatan mencakup kegiatan pemanfaatan untuk bidang
agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan dan pariwisata. Ketiga fokus kegiatan pelestarian
ini merupakan suatu kegiatan yang terkait dan saling
mendukung. Menurut Pasal 85 Undang-Undang Nomor 11
50
tahun 2010, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang
dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama,
sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan,
dan pariwisata. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang
dilakukan oleh setiap orang. Yang dimaksudkan dengan ”setiap
orang” adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat,
badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan
berbadan hukum (vide Pasal 1 angka 35)
2.3.5. Manajemen Pelestarian Cagar Budaya yang Partisipatif
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya mempunyai orientasi manajemen pengelolaan Cagar
Budaya yang bersifat partisipatif. Sistem pengelolaan manajemen
Cagar Budaya yang partisipatif mempunyai tujuan: (a) melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya; (b) meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam melindungi Cagar Budaya. Dengan
demikian, orientasi sistem manajemen pengelelolaan Cagar
Budaya berdasarkan undang- undang yang baru adalah bersifat
berkelanjutan dan berbasiskan masyarakat (community based)
51
dalam suatu wadah manajemen yang terintegrasi (integrated
management).
2.3.6. Masyarakat Hukum Adat sebagai Pemilik Cagar Budaya
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, istilah
”masyarakat hukum adat” ditemukan dalam tiga pasal, yaitu Pasal
13, Pasal 87 ayat (2), dan pasal 97 ayat (3). Pasal 13 berkaitan
dengan pengakuan dari undang-undang ini terhadap hak dari
masyarakat hukum adat yang dapat memiliki cagar budaya,
khususnya kawasan cagar budaya. Selengkapnya, Pasal 13
menegaskan bahwa: ”Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki
dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara
turuntemurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat”. Pasal 87
berkaitan dengan pemanfaatan cagar budaya yang pada saat
ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula. Pasal 87 ayat (1)
menyatakan bahwa Cagar Budaya yang pada saat ditemukan
sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan tertentu. Selanjutnya pada ayat (2) ditentukan bahwa
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud di atas
dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum
52
adat yang memiliki dan/atau menguasainya. Kedudukan hukum
adat juga kuat dalam pembentukan badan pengelola kawasan
cagar budaya. Dalam Pasal 97 ayat (3) ditentukan bahwa:
Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya...dilakukan oleh badan
pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat hukum adat”.
Mengingat pentingnya kedudukan masyarakat hukum adat,
baik sebagai (1) pemlik/penguasa cagar budaya, (2) pemberi ijin
pemanfaatan cagar budaya yang sudah tidak lagi berfungsi seperti
semua, dan sebagai (3) pembentuk badan pengelola kawasan
cagar budaya; maka konsep masyarakat hukum adat harus
dijelaskan. Dalam Penjelasan Pasal 13 memang sudah disebutkan
bahwa: ”Yang dimaksud dengan “masyarakat hukum adat” adalah
kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah geografis
tertentu yang memiliki perasaan kelompok (in-group feeling),
pranata pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat, dan
perangkat norma hukum adat.
Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia,
ditemukan dua istilah yang ditemukan berkaitan dengan
masyarakat hukum adat. Dalam UUD NRI Tahun 1945,
53
khususnya dalam Pasal 18B ayat (2) istilah yang digunakan
adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat”, sedangkan dalam
beberapa undang- undang, termasuk dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 digunakan istilah ”masyarakat hukum
adat”. Secara akademis . sesungguhnya kedua istilah ini
mempunyai pengertian yang berbeda, yaitu ”kesatuan hukum
adat” menunjuk kepada lembaga atau unit organisasi atau wadah
dari masyarakat hukum adat di mana masyarakat hukum adat
adalah isi dari unit organisasi atau warga dari kesatuan
masyarakat hukum adat itu.16 Namun demikian, dalam kajian ini
perbedaan pengertian tersebut tidak terlalu dipermasalahnkan
karena kedua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama.
Dengan begitu, pemahaman tentang konsep kesatuan masyarakat
hukum adat dapat juga digunakan untuk memahami konsep
masyarakat hukum adat.
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor:
31/PUU-V/2007, di Indonesia terdapat 3 (tiga) golongan kesatuan
masyarakat hukum adat, yaitu:
16 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005, hlm. 77
54
1. kesatuan masyarakat hukum adat genealogis, yaitu kesatuan
masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan kriteria
hubungan keturunan darah;
2. kesatuan masyarakat hukum adat fungsional, yaitu kesatuan
masyarakat hukum adat yang didasarkan atas fungsi-fungsi
tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang
mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan
dan tidak tergantung kepada hubungan darah atau pun
wailayah;
3. kesatuan masyarakat hukum adat teritorial, yaitu kesatuan
masyarakat hukum adat yang bertumpu pada wilayah tertentu
di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan
hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan air, hutan, dan
sebagainya.
2.4 Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah
2.4.1 Pengertian Peraturan Daerah
Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar
level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif
55
(inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap
dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.17
Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau
penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari
campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah
dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat.18
Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan
pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang
terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki
tangan pemerintah pusat.19
Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 18
A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945), dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan
pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas
17 Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDMAparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000. hlm. 5
18 M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978. hlm. 15019 Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara,
Rajawali Press, Jakarta, 1998. hlm. 52
56
desentralisasi sebab asas tersebut memberikan indikasi positif bagi
penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah.
Menurut pendapat Riant Nugroho D. memberikan pengertian
mengenai desentralisasi yaitu sebagai pendelegasian, prinsip ini
mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi
sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.20
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Amrah Muslimin yang
menyatakan bahwa Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan
kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan
daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.21
Pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-
cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah
juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus
dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah
daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di
daerah. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat 6 UUD
NRI Tahun 1945 menetapkan, “Pemerintahan daerah berhak
20 Riant Nugroho D., Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Resolusi Kajian dan KritikAtas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002. hlm. 42
21 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982.hlm. 42
57
menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Peraturan Daerah
merupakan salah satu dari jenis peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 6 UUD NRI Tahun 1945 maka
setiap daerah diberikan wewenang untuk membuat sendiri peraturan
daerahnya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, mengatur bahwa peraturan daerah dibentuk
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Provinsi atau Kabupaten
atau Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah
sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan
bagian dari pembangunan sistem hukum nasional.
Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh
metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentukan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), menjadi landasan
hukum untuk penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk
58
juga peraturan lokal tadi yaitu peraturan daerah yang berlaku mengikat
bagi daerah tempat peraturan daerah itu dibentuk. Peraturan Daerah
merupakan produk hukum daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah
atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan dalam
pelaksanaannya berlaku secara lokal, sehingga kekuatan mengikatnya
hanya pada daerah dibentuk. Menurut ketentuan yang tercantum di
dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
“Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur.” Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 8 UU
No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: “Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.” Ketentuan yang tercantum diatas dapat
diketahui bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk membuat
Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten
Kota.
Peraturan Daerah tetap mengacu pada peraturan hukum lebih
tinggi di atasnya, sehingga tidak serta merta akan mengesampingkan
aturan-aturan yang lebih tinggi. Prinsip peraturan daerah adalah untuk
59
melaksanakan peraturan yang lebih tinggi diatasnya maka tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut. Oleh karena
itu daya ikat dari Peraturan Daerah adalah hanya mengikat bagi setiap
aspek-aspek kepentingan daerah, namun tidak berarti dengan berlaku
mengikat secara lokal tersebut, sehingga pemerintah daerah
menganggap bahwa pengawasan pemerintah terhadap peraturan daerah
tidak ada. Justru kewenangan pembentukan peraturan daerah
diberikan kepada daerah untuk melakukannya dengan tetap mendapat
pengawasan dan pembinaan hukum oleh pemerintah melalui institusi
pemerintah yang berkompeten, yaitu Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia. Kewenangan pembentukan
peraturan daerah (PERDA) tersebut, merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan
sebaliknya peraturan daerah merupakan salah satu sarana
penyelenggaraan otonomi daerah.
Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama dengan DPRD, untuk penyelenggaraan
otonomi yang dimiliki oleh daerah provinsi/kabupaten/kota. Peraturan
daerah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana
60
dijelaskan di atas, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah. Peraturan daerah yang dibuat oleh suatu daerah, baru
mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat
dalam lembaran daerah, namun dalam asas hukum pemberlakuannya
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dan atau menyangkut kepentingan umum.
2.4.2. Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah
Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di
Indonesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk pada asas
maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah
ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang
landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah pijakan, alasan
atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat.
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan terdapat
4 (empat) landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-
61
undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang baik dan
berkualitas.22 Keempat landasan tersebut adalah:
a) Landasan yuridis
Landasan ini berkaitan dengan ketentuan hukum yang menjadi
dasar kewenangan (bevoegheid, competentie) pembuat peraturan
perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan
mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-
undnagan atau tidak. Hal ini sangat penting untuk disebutkan dalam
perundang-undangan karena seorang pejabat/suatu badan tidak
berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan. Landasan ini dibagi
menjadi dua:
1) Dari segi formil landasan ini memberikan kewenangan bagi
instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu.
2) Dari segi materiil sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal
tertentu Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-
undangan meliputi 3 hal:
a. Kewenangan dari pembuat perundang-undangan.
b. Kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diatur.
22 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting: Teori dan TeknikPembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009. hlm. 25-28
62
c. Keharusan mengikuti tata cara tertentu pembuatan
perundang-undangan
Adapun Landasan yuridis dalam suatu perundang-undangan
ini ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”.
b) Landasan Sosiologis
Landasan Sosiologis yaitu satu peraturan perundang-undangan
yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan
kenyataan hidup.Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
masyarakat.23 Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-
undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di
masyarakat.
c) Landasan Filosofis
Landasan ini berkaitan dengan dasar filsafat atau pandangan
atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan
kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan
negara. Suatu rumusan perundang-undangan harus mendapat
pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara
filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari
23 Soimin, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.hlm. 18
63
landasan filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai
nasional bagi sistem kehidupan bernegara.24
d) Landasan Politis
Landasan ini berkaitan dengan garis kebijakan politik yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan
pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah
(Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasional
(Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di
laksanakan selama pemerintahannya ke depan.
Selain landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan
yang dapat digunakan diantaranya, landasan ekonomis, ekologis,
cultural, religi, administratif dan teknis perencanaan yang tidak boleh
diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang
baik di semua tingkatan pemerintah.
2.4.3. Asas Pembentukan Peraturan Daerah
Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 UU No. 12
Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan
24 Budiman NPD., Ilmu Pengantar Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2005.hlm. 33
64
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organisasi pembentuk yang tepat, yaitu setiap
jenis peraturan perundang- undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat
oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam
pembentukan peraturan perundang- undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
65
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Selain asas-asas yang telah dikemukakan di atas lebih lanjut
dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 juga menyatakan bahwa materi
muatan Perda juga harus mengandung asas-asas sebagai berikut:
66
a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus
berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan)
dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut
67
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali.
h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap
materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku,
ras, golongan, gender atau status sosial.
i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan
Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap
materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k. asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.
Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah
Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan
68
keunggulan lokal/daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.
2.5 Praktik Empiris Bidang Kebudayaan di Kabupaten Tuban
Secara geografis, Kabupaten Tuban termasuk dalam wilayah
Provinsi Jawa Timur yang berada di pantai utara pulau jawa dengan
luas wilayah 183.994.562 Ha dan luas wilayah laut 22.608 km2 dengan
koordinat 111o35’ Bujur Timur dan 6o40’ sampai dengan 7o18’ Lintang
Selatan. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tuban ada sebagai
berikut:
Utara : Laut Jawa
Timur : Kabupaten Lamongan
Selatan : Kabupaten Bojonegoro
Barat : Kabupaten Rembang dan Blora (Provinsi Jawa Tengah)
Daerah administratif Kabupaten Tuban terbagi dalam 20
Kecamatan yaitu Kecamatan Plumpang, Widang, Singgahan, Rengel,
Soko, Senori, Bangilan, Bancar, Parengan, Merakurak, Palang, Jatirogo,
Jenu, Tuban, Tambakboyo, Montong, Semanding, Kenduruan, Kerek,
dan Grabagan. Dari 20 Kecamatan tersebut terbagi ke dalam 311 Desan
dan 17 Kelurahan.
69
Jumlah penduduk Kabupaten Tuban kurang lebih sejumlah
1.304.080 jiwa berdasarkan registrasi tanggal 31 Desember 2015.
Jumlah tersebut tentunya tumbuh secara pesat pada tahun 2019.
Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan atau disebut
rasio jenis kelamin (sex ratio) tercatat 100,42. Angka tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Tuban
sedikit lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan.
Dihitung berdasarkan kepadatan per km2 sebesar 708,76 yang berarti
tiap 1 km2 luas daratan di Kabupaten Tuban dihuni oleh rata-rata 709
jiwa.
Secara harfiah, Tuban dalam Bahasa Kawi bermakna “Air Terjun”
atau “Air Yang Jatuh Dari Tempat Yang Curam”, hal tersebut
menunjukkan bahwa di sekitar wilayah Tuban terdapat air terjun meski
yang belakangan yang disebut Tuban adalah kota pantai yang terletak di
daerah dataran rendah. Keberadaan air terjun di selatan Tuban
kemungkinan menunjukkan bahwa wilayah hunian di Kabupaten Tuban
lebih masuk ke pedalaman daripada sekarang.
Secara historis, Kabupaten Tuban yang wilayahnya diapit oleh laut
jawa sebelah utara dan sungai bengawan Solo di sebelah selatan
merupakan kawasan lalu lintas utama pada zaman dahulu. Hal itulah
70
yang menjadikan Tuban sebagai kawasan strategis dan sangat penting
dalam sejarah perjalanan nusantara, terutama yang berkaitan dengan
sejarah penyebaran agama islam di pulau jawa. Kabupaten Tuban
mempunyai kedudukan yang penting pada zaman kerajaan Kahuripan,
Kediri, Singasari, Majapahit, dan kerajaan Islam Demak. Atas dasar
itulah kemudian Tuban mempunyai banyak sekali Cagar Budaya baik
itu benda, bangunan, struktur, situs, maupun kawasan yang menjadi
warisan dari kerajaan-kerajaan di masa lampau.
Berkenaan dengan hal tersebut, jika dikaitkan dengan keberadaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka
Kabupaten Tuban mempunyai warisan Cagar Budaya yang perlu
dilestarikan karena memiliki jumlah yang banyak sesuai dengan kriteria
yang ditentukan dalam undang-undang a quo. Adapun benda,
bangunan, struktur, situs, dan kawasan Cagar Budaya di Kabupaten
Tuban yang masih ada hingga saat ini dan perlu terus dilestarikan,
meliputi jenis-jenis Cagar Budaya sebagai berikut:
71
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Menurut stufenbau des recht theorie dari Hans Kelsen bahwa norma
hukum di dalam negara itu berjenjang dan mempunyai hierarki. Norma
hukum yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi pembentukan norma
hukum yang lebih rendah, karenanya norma hukum yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Terkait dengan
hal tersebut, Hans Kelsen menyatakan bahwa:
“The relation between the norm regulation the creation of another normand this other norm may be presented as a relationship of super and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm determining thecreation of another norm is the superior, the norm created according to thisregulation, the inferior norm. the legal order, especially the legal order thepersonification of wich is State, is therefore not a system of normscoordinated to each other, stading, so to speak, side by side on the samelevel, but a hierarchy of different levels of norms”25
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah akan
memperoleh validitas normatif apabila sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah akan kehilangan validitas normatifnya, apabila materi muatannya
25 Hans Kelsen, General Theory of Law and State; Teori Umum Tentang Negara danHukum, Bandung: Nusamedia, 2006, hlm. 36
72
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk
itu, melihat kedudukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka diperlukan
analisis berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait langsung
dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian
Cagar Budaya. Hal tersebut diperlukan supaya Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya
tersebut nantinya mempunyai validitas yuridis dan dapat dijadikan sebagai
dasar hukum dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar
Budaya di Kabupaten Tuban.
3.1 Pasal 18, ayat (2), ayat (3) ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin diberikannya
otonomi kepada daerah otonom, baik provinsi maupun
kabupaten/kota.Otonomi sendiri mengandung arti kewenangan untuk
mengurus (bestuurdaad) dan mengatur (regelendaad). Kewenangan
73
untuk mengurus berisi kewenangan daerah untuk mengurus beberapa
urusan yang menjadi kewenangannya, sedangkan kewenangan
mengatur berisi kewenangan daerah untuk membuat Norma, Standar,
Prosedur Dan Kriteria (NSPK) yang dapat dijadikan dasar untuk
melaksanakan kewenangan pengurusan tersebut.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada prinsip otonomi. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa pemerintahan daerah selain memiliki kepala daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah, juga memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah dan berkedudukan setara dengan
kepala daerah sehingga harus diberikan hak dan kewajiban yang sama.
Selanjutnya, Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa otonomi yang
diberikan kepada daerah otonom adalah otonomi seluas-luasnya.
74
Karenanya, Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”. Atas dasar itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban
melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga
berinisiatif membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya sebagai wujud dari pelaksanaan kewenangan
mengatur (regelendaad) Kabupaten Tuban sebagai salah satu Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Paragraf ke 9, 10, dan 11 Penjelasan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan sebagai berikut:
Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datangmenyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi padapengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasipemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhanhukum dalam masyarakat. Paradigma baru tersebut mendorongdilakukannya penyusunan Undang-Undang yang tidak sekadarmengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagaiaspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalanbudaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dankawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnyatidak secara jelas dimunculkan. Di samping itu, nama CagarBudaya juga mengandung pengertian mendasar sebagaipelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakanpenyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu
75
pengetahuan dan teknologi. Untuk memberikan kewenangankepada Pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengelolaCagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan,pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan denganpelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budayasebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka telah terjadi pergeseran
paradigma dalam Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia dari semula
hanya melakukan pelindungan, namun setelah lahirnya undang-undang
a quo, maka Pelestarian Cagar Budaya selain pelindungan juga
dilaksanakan melalui pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya.
Di samping itu, seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat juga
dilibatkan dalam setiap upaya Pelestarian Cagar Budaya. Oleh karena
itu, Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya menentukan bahwa, Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah mempunyai tugas melakukan pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan Cagar Budaya. Dengan demikian, maka tugas Pelestarian
Cagar Budaya tidaklah bersifat sentralistik sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang yang lama, namun juga merupakan tugas
Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban
untuk melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar
Budaya. Adapun tugas-tugas tersebut diuraikan dalam ayat (2)
ketentuan a quo yang berbunyi sebagai berikut:
76
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannyamempunyai tugas:a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dankewajiban masyarakat dalam Pengelolaan Cagar Budaya;
b. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapatmenjamin terlindunginya dan termanfaatkannya CagarBudaya;
c. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan CagarBudaya;
d. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;e. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;f. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan
dan promosi Cagar Budaya;g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan
darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasanyang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikandukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;
h. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadapPelestarian warisan budaya; dan
i. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian CagarBudaya.
Atas dasar pelaksanaan tugas-tugas tersebut, Pemerintah Daerah
juga dibekali dengan seperangkat wewenang sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya yang menentukan sebagai berikut:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannyamempunyai wewenang:a. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas
sektor dan wilayah;c. menghimpun data Cagar Budaya;d. menetapkan peringkat Cagar Budaya;e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
77
f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;i. mengelola Kawasan Cagar Budaya;j. mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang
Pelestarian, Penelitian, dan museum;k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang
kepurbakalaan;l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah
melakukan Pelestarian Cagar Budaya;m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk
kepentingan Pengamanan;n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi,dan peringkat kabupaten/kota;
o. menetapkan batas situs dan kawasan; danp. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, ataumusnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Mencermati beberapa ketentuan sebagaimana diuraikan di atas
dan dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka
Pemerintah Kabupaten Tuban mempunyai wewenang dalam Pelestarian
Cagar Budaya, sehingga dalam fungsi pengaturan (regelendaad)
Pemerintah Kabupaten Tuban dapat membentuk Peraturan Daerah
tentang Pelestarian Cagar Budaya yang materi muatannya meliputi
tugas dan wewenang yang diberikan melalui Pasal 95 ayat (1) dan ayat
(2) Juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
78
Peraturan Perundang-Undangan Juncto Pasal 236 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3.3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.” Ketentuan Pasal 14 undang-undang a quo
memberikan ruang bagi peraturan daerah untuk mengatur ketentuan
pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi dan dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
79
Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 12 ayat (2) huruf p Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menentukan bahwa Kebudayaan merupakan salah satu urusan
pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (non
basic need). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban
dalam melaksanakan otonomi daerah mempunyai kewenangan dalam
merumuskan kebijakan untuk urusan kebudayaan yang kemudian
dituangkan ke dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya guna dijadikan
payung hukum dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan
Cagar Budaya di Daerah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Juncto Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3.4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Pasal 236 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan “Untuk menyelenggarakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk perda.” Lebih Lanjut
Pasal 236 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
80
Pemerintahan Daerah menentukan, “Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat materi muatan:
a. Penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; dan
b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan di atas memberikan kewenangan kepada daerah untuk
membentuk produk hukum daerah sebagai wujud dari fungsi mengatur
daerah (regelendaad) sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bentuk
produk hukum daerah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 236
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di
atas adalah Peraturan Daerah yang salah satu materi muatannya
sebagai penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan. Dengan
demikian, adanya Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya merupakan pelaksanaan atas otonomi daerah
di bidang kebudayaan yang menurut Pasal 12 ayat (2) huruf p Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
(non basic need).
81
Selanjutnya, Pasal 31 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanatkan untuk
memelihara keunikan adat isiadat, tradisi, dan budaya Daerah dalam
melakukan penataan Daerah yang juga menjadi bagian dalam
pelaksanaan desentralisasi. Oleh karena itu, Kabupaten Tuban sebagai
Daerah Otonom wajib melaksanakan amanat tersebut dengan tetap
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya di
Daerah sebagai upaya dalam melestarikan Cagar Budaya yang
merupakan pelaksanaan dari Otonomi Daerah.
82
BAB IV
LANDASAN FILOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1. Landasan Filosofis
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan (Preambule) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke IV yaitu,
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam persmusyawaratan/perwakilan dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal demikian secara yuridis
diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam pembukaan
(preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamatkan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia
83
dan memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar itu, maka pemerintah
berkewajiban untuk menjamin tatanan berbangsa dan bernegara secara
tertib dan berkeadilan. Sehingga, perlu memberikan pelayanan yang
optimal kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Untuk memaknai eksistensi Kebudayaan secara filosofis, alinea
keempat pembukaan (preamble) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara.
Sila-sila yang termaktub dalam Pancasila tersebut dijadikan sebagai
kristalisasi nilai-nilai Kebudayaan bangsa harus dijadikan fondasi dalam
pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagai upaya
Pelestarian Cagar Budaya di Daerah.
Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, mengamanatkan bahwa “Negara berkewajiban memajukan
kebudayaan Nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai nilai budayanya, sehingga kebudayaan Indonesia
perlu dihayati oleh oleh seluruh warga Negara.” Oleh karena itu, setiap
kebudayaan termasuk yang bersifat kebendaan (tangible) yang
mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna
memperkokoh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat
84
bangsa serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi
terwujudnya cita cita bangsa pada masa depan.
Berdasarkan pada amanat Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban
mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk melestarikan
Cagar Budaya. Sehubungan dengan itu, keseluruhan kistalisasi nilai-
nilai bangsa Indonesia yang meliputi; gagasan, perilaku dan hasil karya
manusia dan/atau kelompok manusia Indonesia yang dikembangkan
melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkunganya yang
berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara perlu untuk terus dilestarikan dan dikelola sebagai dasar
dan jiwa dalam membangun bangsa. Bertitik tolak dari kondisi tersebut,
maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu melakukan langkah-
langkah strategis dengan membuat kebijakan (policy) yang dituangkan ke
dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.
4.2.Landasan Sosiologis
Secara sosiologis, hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a
tool of social engineering) dan hukum adalah alat untuk memaksimalkan
85
manfaat (law as a to maximize overall social utility). Dari dasar pemikiran
tersebut, maka Peraturan Daerah sebagai produk hukum harus dibuat
semaksimal mungkin harus mendatangkan kesejahteraan bagi
masyarakat. Peraturan Daerah sebagai produk hukum harus
mempunyai landasan atau dasar sosiologis (sociologische grondsIag)
sebagai dasar Peraturan Daerah tersebut mempunyai validitas sosiologis
(social validity). Suatu perda dapat dikatakan mempunyai validitas
sosiologis apabila Peraturan Daerah tersebut disusun, dibuat sesuai
dengan kondisi masyarakat, kebutuhan masyarakat dan keyakinan
umum atau kesadaran hukum masyarakat. Dalam artian bahwa, norma
hukum yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kesadaran hukum, kehendak dan keyakinan
hukum masyarakat dimana Peraturan Daerah tersebut dibutuhkan.
Dengan kata lain, Peraturan Daerah harus disusun dan dibuat sesuai
dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat itu
sendiri, baik berupa kebutuhan, maupun tuntutan yang dihadapi oleh
masyarakat, serta kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan
memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan
diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku
secara efektif.
86
Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk
mempertahankan warisan budaya agar tetap lestari dan berkelanjutan
di samping memberikan manfaat bagi kebudayaan, tetapi juga memiliki
nilai manfaat secara ekonomi. Pelestarian yang semula dipahami secara
sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas tidak saja
untuk maksud tersebut, tetapi terkait juga dengan upaya
pengembangan dan pemanfaatan. Perluasan pemahaman ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak satu pun unsur dari
pengertian pelestarian itu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
sebuah kesatuan yang saling mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan.
Kabupaten Tuban sebagai daerah otonom yang sangat lekat sekali
dengan sejarah masa lalu khususnya pada masa-masa kejayaan
kerajaan di Indonesia berkepentingan untuk tetap melestarikan Cagar
Budaya dengan tetap mempertahankan nilai dan ciri khas Cagar
Budaya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai daerah
otonom yang mempunyai kewenangan untuk mengatur (regelendaad),
Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu menetapkan strategi dan
sekaligus merumuskan kebijakan (policy) dalam melakukan
pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya yang ada
di wilayah Kabupaten Tuban agar Cagar Budaya yang merupakan
87
warisan dan kekayaan budaya serta identitas budaya masyarakat
Kabupaten Tuban dapat terjamin keberadaanya sesuai bentuk dan
muka aslinya. Dengan demikian, perlu membentuk Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya yang dapat
dijadikan sebagai payung hukum dan pedoman tunggal dalam
pelaksanaan Pelestarian Budaya di Kabupaten Tuban.
4.3. Landasan Yuridis
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan
landasan yuridis dalam penyusunan Rancangan Naskah Akademik dan
Draft Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur juncto Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1965 tentang Perubahan Bentuk Daerah Kota Praja
Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
88
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
89
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6055);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan
dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di Museum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 35, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3599);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4532);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
90
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
13. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan,
Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan
Budaya;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya
Masyarakat;
16. Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 40
tahun 2009 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pelestarian Kebudayaan;
17. Peraturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/PRT/M/2015 tentang
Bangunan Gedung Yang Dilestarikan.
91
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
92
BAB V
JANGKAUAN PENGATURAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya adalah sebagai berikut:
5.1. Sasaran
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya dimaksudkan untuk merumuskan pengaturan (regeling) dalam
bentuk Peraturan Daerah sebagai dasar Pelestarian Cagar Budaya di
Kabupaten Tuban. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu Peraturan Daerah
yang mengatur mengenai Pelestarian Cagar Budaya yang berlandaskan
prinsip perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Selain itu, adanya Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya ini bertujuan untuk menjadi pedoman tunggal
dalam Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Sehingga, Cagar
Budaya dan dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif
dan optimal guna menjaga dan melindungi identitas dan kekayaan
kesejarahan di Daerah serta untuk memberikan manfaat ekonomi bagi
93
masyarakat Tuban. Dengan demikian, adanya Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya dapat dijadikan
payung hukum dalam Pelestarian Cagar Budaya yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.
5.2. Jangkauan
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya, merupakan wujud dari kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Tuban dalam melaksanakan pelindungan, pengembangan,
dan pemanfaatan Cagar Budaya di Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya juga dibentuk untuk
kepentingan masyarakat Kabupaten Tuban agar dapat memberikan
manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan, serta menjadi
pedoman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban dalam melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya di Daerah secara
terarah, terintegrasi, dan berkepastian hukum sebagaimana telah
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5.3. Arah
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan tugas pembantuan,
maka Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar
Budaya ini harus dijadikan rujukan bagi penyusunan Peraturan Bupati
94
yang diperintahkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya ini dan juga harus menjadi pedoman bagi
Bupati dalam menyusun Keputusan (beschikking) dan/atau Peraturan
(regeling) yang berkaitan dengan Pelestarian Cagar Budaya. Sehingga
dapat mencegah adanya disharmonisasi dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Selain itu, Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian
Cagar Budaya juga menjadi pedoman bagi seluruh pemangku
kepentingan (stake holder) dalam melaksanakan Pelestarian Cagar
Budaya agar terjadi sinkronisasi dan tidak menimbulkan kerugian bagi
seluruh elemen masyarakat.
5.4. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah
Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya terdiri dari 18 (delapan belas) bab yang
mencakup ruang lingkup sebagai berikut:
Bab I adalah Ketentuan umum yang merupakan satu ketentuan
yang berisi:
1. Batasan pengertian atau definisi
2. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam Peraturan Daerah
95
3. Hal-hal lain yang besifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud
dan tujuan.
Ketentuan umum yang dimuat dalam Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1. Daerah adalah Kabupaten Tuban.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten Tuban.
3. Bupati adalah Bupati Tuban.
4. Dinas adalah Dinas Pariwisata, Kebudayaan,
Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban.
5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pariwisata,
Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban.
6. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang
disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai
penyelenggara Pemerintahan Desa di Kabupaten Tuban.
7. Setiap orang adalah perseorangan, kelompok
orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan
usaha bukan berbadan hukum.
96
8. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar
Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan.
9. Benda Cagar Budaya adalah benda alam
dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak
bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya,
atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan
dan sejarah perkembangan manusia.
10. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding,
dan beratap.
11. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan
97
alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan
manusia.
12. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di
darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai
hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
13. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang
geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang
letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang
khas.
14. Cagar Budaya Daerah adalah Cagar Budaya
peringkat Daerah yang ditetapkan oleh Bupati.
15. Pemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh
terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial
dan kewajiban untuk melestarikannya.
16. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari
pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang
untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi
sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
98
17. Dikuasai oleh Daerah adalah kewenangan
tertinggi yang dimiliki oleh Daerah dalam menyelenggarakan
pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar
Budaya.
18. Pengalihan adalah proses pemindahan hak
kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang
kepada setiap orang lain atau kepada Daerah.
19. Kompensasi adalah imbalan berupa uang
dan/atau bukan uang dari Pemerintah Daerah.
20. Insentif adalah dukungan berupa advokasi,
perbantuan, atau bentuk lain bersifat non finansial untuk
mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah Daerah.
21. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli
pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat
kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan,
pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
22. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang
karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat
di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar
Budaya.
99
23. Museum adalah lembaga yang berfungsi
melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,
bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar
Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mempublikasikannya
kepada masyarakat.
24. Kurator adalah orang yang karena kompetensi
keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.
25. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda,
bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk
diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Daerah atau
perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan
dalam Register Nasional Cagar Budaya.
26. Penetapan adalah pemberian status Cagar
Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan
ruang geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
27. Register Daerah Cagar Budaya adalah daftar
resmi kekayaan budaya Daerah berupa Cagar Budaya yang berada
di dalam dan di luar Daerah.
100
28. Penghapusan adalah tindakan menghapus status
Cagar Budaya dari Register Daerah Cagar Budaya.
29. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya
melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
30. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk
mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan
cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
31. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan
dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan.
32. Pengamanan adalah upaya menjaga dan
mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.
33. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan
Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan
kebutuhan.
34. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan
merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.
101
35. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi
fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur
Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk,
tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang
usianya.
36. Pelindungan adalah upaya mencegah dan
menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan
dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan
Pemugaran Cagar Budaya.
37. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai,
informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan pelestarian.
38. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan
menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh
informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan pelestarian Cagar
Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
39. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang
ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar
Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak
102
bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya
masyarakat.
40. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar
Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa
kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan
mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada
bagian yang mempunyai nilai penting.
41. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar
Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
42. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung
terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau
Struktur Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Bab II adalah Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup yang mengatur
beberapa ketentuan sebagai berikut:
‒ Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pancasila;
b. Bhinneka Tunggal Ika;
c. kenusantaraan;
103
d. keadilan;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kemanfaatan;
g. keberlanjutan;
h. partisipasi;
i. transparansi dan akuntabilitas; dan
j. kearifan lokal.
‒ Pelestarian Cagar Budaya bertujuan untuk:
a. Melestarikan dan memanfaatkan cagar budaya yang berada di
Daerah sebagai bagian dari pembelajaran masyarakat untuk
kepentingan agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan,
pariwisata dan kebudayaan;
b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya;
c. memperkuat karakter dan kepribadian Daerah;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e. mempertahankan kearifan lokal;
f. mengamankan potensi cagar budaya yang mempunyai nilai
penting bagi Daerah; dan
g. mempromosikan potensi cagar budaya Daerah kepada
masyarakat.
104
‒ Ruang lingkup Pelestarian Cagar Budaya dalam Peraturan Daerah ini
meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan:
a. benda;
b. bangunan;
c. struktur;
d. situs; dan/atau
e. kawasan;
Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
Bab III adalah Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah yang
mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:
‒ Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Pelestarian Cagar Budaya
mempunyai tugas:
a. merencanakan, melaksanakan dan mengawasi dalam pelestarian
dan pengelolaan Cagar Budaya dengan memperhatikan
kemampuan dan potensi wilayahnya;
b. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan
kewajiban masyarakat dalam Pelestarian Cagar Budaya;
c. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat
menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
105
d. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya;
e. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
f. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
g. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan
promosi Cagar Budaya;
h. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan
darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan
yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya;
i. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap
Pelestarian Cagar Budaya; dan
j. mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya.
‒ Dalam melaksanakan tugas Pelestarian Cagar Budaya, Pemerintah
Daerah berwenang:
a. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya tingkat Daerah;
b. mengkoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor
dan wilayah;
c. menghimpun data Cagar Budaya tingkat Daerah;
d. menetapkan peringkat Cagar Budaya tingkat daerah;
e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya tingkat Daerah;
f. menyusun peraturan Pelestarian Cagar Budaya;
106
g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang Cagar
Budaya;
i. mengelola kawasan Cagar Budaya;
j. mendirikan atau membubarkan lembaga pelaksana bidang
pelestarian, penelitian, dan museum;
k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang
kepurbakalaan;
l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang
melaksanakan Pelestarian Cagar Budaya;
m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk
kepentingan pengamanan;
n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat Daerah;
o. menetapkan batas situs dan kawasan Cagar Budaya; dan
p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau
musnahnya Cagar Budaya, baik sebagian maupun seluruhnya.
107
Bab IV adalah Kriteria dan Penggolongan Cagar Budaya yang
mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:
‒ Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar
Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
‒ Benda Cagar Budaya yang memenuhi kriteria dapat berupa:
a. benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan
oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan
dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan
sejarah manusia;
b. benda bergerak atau tidak bergerak; dan
c. merupakan kesatuan atau kelompok.
‒ Bangunan atau struktur Cagar Budaya yang memenuhi kriteria
dapat:
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
108
b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
‒ Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila
memenuhi kriteria:
a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan
b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
‒ Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar
Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan;
b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling
sedikit 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu
berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses
pemanfaatan ruang berskala luas;
e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti
kegiatan manusia atau endapan fosil.
109
‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang
atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat Daerah,
tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya dapat diusulkan
sebagai Cagar Budaya.
‒ Cagar Budaya yang memenuhi kriteria dibagi atas 3 (tiga) golongan
yang meliputi:
a. golongan A (utama);
b. golongan B (madya); dan
c. golongan C (pratama).
‒ Cagar Budaya golongan A (utama) merupakan Cagar Budaya yang
harus dipertahankan dengan cara preservasi.
‒ Cagar Budaya golongan B (madya) merupakan Cagar Budaya yang
dapat dilakukan pemugaran dengan cara restorasi, rehabilitasi atau
rekonstruksi.
‒ Cagar Budaya golongan C (pratama) merupakan Cagar Budaya yang
dapat dilakukan pemugaran dengan cara revitalisasi atau adaptasi.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis Cagar Budaya yang
masuk ke dalam penggolongan diatur dalam Peraturan Bupati.
Bab V adalah Pencarian dan Penemuan yang mengatur beberapa
hal sebagai berikut:
110
‒ Pemerintah Daerah wajib melakukan pencarian benda, bangunan,
struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
‒ Setiap orang dapat melakukan pencarian benda, bangunan, struktur,
dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya dengan
penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau
di air setelah mendapatkan izin dari Kepala Dinas.
‒ Pencarian hanya dimaksudkan untuk kepentingan penelitian dengan
tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan
terhadap benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga
sebagai Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan tata cara perizinan
diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Setiap orang yang menemukan benda, bangunan, struktur, dan/atau
lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya wajib melaporkan kepada
Dinas atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penemuan.
‒ Dalam hal penemuan tidak dilaporkan Pemerintah Daerah dapat
mengambil alih benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang
diduga Cagar Budaya.
111
‒ Untuk menindaklanjuti laporan Dinas atau instansi terkait
melakukan kajian terhadap objek penemuan.
‒ Dalam hal objek penemuan ditetapkan sebagai Cagar Budaya
berdasarkan hasil kajian penemu berhak mendapatkan kompensasi
dari Pemerintah Daerah.
‒ Dalam hal objek penemuan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya
memiliki jenis yang sangat langka, rancangan yang unik, dan jumlah
yang sedikit, penguasaannya dialihkan kepada Pemerintah Daerah.
‒ Dalam hal objek penemuan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya
tidak memiliki jenis, rancangan, dan jumlah, pemilikannya dapat
diberikan kepada penemu.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai kajian atas penemuan Cagar
Budaya dan tata cara pemberian kompensasi diatur dalam Peraturan
Bupati.
Bab VI adalah Pemilikan dan Penguasaan yang mengatur beberapa
hal sebagai berikut:
‒ Setiap orang dapat memiliki benda, bangunan, struktur, dan/atau
situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya
112
sepanjang jumlah dan jenisnya telah memenuhi kebutuhan Daerah
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
‒ Pemilikan dapat diperoleh melalui hadiah, tukar-menukar, jual-beli,
hibah, pewarisan, dan/atau berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan, kecuali terhadap Cagar Budaya yang dikuasai oleh
Pemerintah Daerah.
‒ Pemerintah Daerah mempunyai hak penguasaan terhadap Cagar
Budaya yang pemiliknya telah meninggal dan tidak mempunyai ahli
waris atau tidak mengalihkan kepada orang lain berdasarkan wasiat,
hibah, atau hadiah, dengan cara mengambil alih sesuai tata cara
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Seluruh kawasan Cagar Budaya di Daerah dikuasai oleh Pemerintah
Daerah, kecuali Kawasan Cagar Budaya yang dimiliki oleh
masyarakat hukum adat secara turun temurun.
‒ Pemerintah Daerah secara serta merta menguasai Cagar Budaya yang
tidak diketahui pemiliknya.
‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya dapat mengalihkan
pemilikannya kepada orang lain atau dialihkan untuk dikuasai oleh
Pemerintah Daerah.
113
‒ Pengalihan pemilikan dapat dilaksanakan melalui hibah, waris,
hadiah, jual-beli, tukar menukar, ganti rugi, dan/atau putusan atau
penetapan pengadilan.
‒ Pengalihan untuk dikuasai oleh Pemerintah Daerah wajib
didahulukan atas pengalihan pemilikan Cagar Budaya.
‒ Cagar Budaya yang telah dikuasai oleh Pemerintah Daerah tidak
dapat dialihkan kepada pihak lain.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalihan diatur dalam
Peraturan Bupati.
‒ Setiap orang yang melakukan pengalihan atas pemilikan Cagar
Budaya peringkat Daerah baik sebagian maupun seluruhnya, wajib
mendapatkan izin dari Bupati.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan dan pemberian izin
diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki rusak, hilang,
atau musnah wajib melaporkannya kepada Dinas atau instansi
terkait.
114
‒ Dalam hal pemilik tidak melakukan pelaporan dalam jangka waktu,
Pemerintah Daerah dapat menguasai Cagar Budaya untuk dikelola
guna kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.
‒ Benda, bangunan, dan/atau struktur Cagar Budaya bergerak yang
dikuasai oleh Pemerintah Daerah atau dimiliki oleh setiap orang
dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.
‒ Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan benda, bangunan,
dan/atau struktur Cagar Budaya bergerak, menjadi tanggung jawab
pengelola museum.
‒ Dalam melaksanakan tanggung jawab, museum wajib memiliki
Kurator.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan Peraturan
Bupati.
‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang
diduga sebagai Cagar Budaya atau yang telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya yang disita untuk kepentingan penegakan hukum
dilarang dimusnahkan atau dilelang.
‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang
diduga sebagai Cagar Budaya atau yang telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya yang disita untuk kepentingan penegakan hukum,
115
dapat dilindungi secara mandiri oleh lembaga yang melaksanakan
penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan atau
meminta bantuan kepada Dinas.
‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya dan melakukan
pelindungan terhadap Cagar Budaya yang dimilikinya sesuai
peraturan perundang-undangan, berhak mendapatkan kompensasi
atau insentif fiskal dari Pemerintah Daerah.
‒ Insentif fiskal berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan atau
pajak penghasilan.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi
dan insentif diatur dalam Peraturan Bupati.
Bab VII adalah Tim Ahli Cagar Budaya yang mengatur beberapa hal
sebagai berikut:
‒ Untuk kepentingan Pelestarian Cagar Budaya. Pemerintah Daerah
membentuk Tim Ahli Cagar Budaya yang bertugas melakukan kajian
dan memberikan rekomendasi dalam penetapan, pemeringkatan,
dan/atau penghapusan Cagar Budaya.
116
‒ Tim Ahli Cagar Budaya berjumlah paling banyak 5 (lima) orang yang
terdiri atas berbagai ahli lintas disiplin ilmu yang memiliki sertifikat
kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan.
‒ Tim Ahli Cagar Budaya diangkat berdasarkan Keputusan Bupati
dengan masa kerja paling lama 5 (lima) tahun.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, keanggotaan, dan tata
cara pengangkatan Tim Ahli Cagar Budaya diatur dalam Peraturan
Bupati.
‒ Dalam hal Tim Ahli Cagar Budaya belum terbentuk, Pemerintah
Daerah dapat mengajukan permohonan rekomendasi penetapan,
pemeringkatan, dan/atau penghapusan Cagar Budaya kepada Tim
Ahli Cagar Budaya Provinsi.
Bab VIII adalah Register Daerah Cagar Budaya yang mengatur
beberapa ketentuan sebagai berikut:
‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya wajib mendaftarkan
kepada Dinas tanpa dipungut biaya.
‒ Cagar Budaya yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya, dapat diambil
alih untuk dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
117
‒ Setiap orang yang tidak memiliki Cagar Budaya dapat berpartisipasi
melakukan pendaftaran atas benda, bangunan, struktur, dan/atau
lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
‒ Dinas melakukan pendaftaran terhadap Cagar Budaya yang tidak
diketahui pemiliknya atau Cagar Budaya yang dikuasai oleh
Pemerintah Daerah.
‒ Hasil pendaftaran harus dilengkapi dengan deskripsi dan
dokumentasi objek pendaftaran.
‒ Pendaftaran dapat dilaksanakan secara elektronik dan/atau non
elektronik.
‒ Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk
diidentifikasi dan diklasifikasi guna kepentingan pengkajian dalam
rangka memberikan penilaian kelayakan untuk ditetapkan sebagai
Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
‒ Benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang didaftarkan dan
dilakukan pengkajian, wajib dilindungi dan diperlakukan sebagai
Cagar Budaya selama proses pengkajian.
‒ Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan, dilaksanakan
secara mandiri oleh Kurator.
118
‒ Hasil pengkajian wajib diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya
untuk dilakukan penilaian.
‒ Tim Ahli Cagar Budaya memberikan rekomendasi kepada Bupati
untuk menetapkan Cagar Budaya, dalam hal hasil pengkajian
menyatakan layak untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
‒ Bupati dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
dikeluarkannya rekomendasi menetapkan status Cagar Budaya
dengan Keputusan Bupati.
‒ Benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang telah ditetapkan
sebagai Cagar Budaya dicatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.
‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang
memiliki arti khusus bagi masyarakat Daerah dapat ditetapkan
sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Bupati setelah
mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya.
‒ Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang ditetapkan
sebagai Cagar Budaya berhak mendapatkan kompensasi dari
Pemerintah Daerah.
‒ Pemilik Cagar Budaya yang dicatatkan dalam Register Daerah Cagar
Budaya berhak memperoleh:
a. surat keterangan status Cagar Budaya; dan
119
b. surat keterangan pemilikan berdasarkan bukti yang sah.
‒ Pemerintah Daerah membangun sistem Register Daerah Cagar
Budaya untuk mencatat Cagar Budaya.
‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan geografis yang telah
ditetapkan sebagai Cagar Budaya harus dicatat dalam Register
Daerah Cagar Budaya.
‒ Koleksi museum di Daerah yang memenuhi kriteria sebagai Cagar
Budaya dicatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Daerah Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diatur dengan Peraturan
Bupati.
‒ Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya
peringkat Daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
‒ Peringkat Daerah dapat diberikan terhadap Cagar Budaya yang
memenuhi syarat:
a. Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan di Daerah;
b. mewakili masa gaya yang khas;
c. tingkat keterancamannya tinggi;
d. sedikit jenisnya; dan/atau
e. jumlahnya terbatas.
120
‒ Pemeringkatan Cagar Budaya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
‒ Cagar Budaya yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat
Daerah, namun tidak lagi memenuhi syarat, peringkatnya dapat
dicabut berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
‒ Selain pencabutan, Cagar Budaya peringkat Daerah dapat dicabut
peringkatnya, dalam hal Cagar Budaya:
a. musnah;
b. kehilangan wujud dan bentuk aslinya; atau
c. kehilangan sebagian besar unsurnya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeringkatan Cagar
Budaya diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Bupati dapat melakukan penghapusan terhadap Cagar Budaya yang
tercatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.
‒ Penghapusan hanya dilaksanakan untuk menindaklanjuti
penghapusan Cagar Budaya dalam Register Nasional Cagar Budaya
yang lokasinya berada di Daerah setelah mendapatkan rekomendasi
dari Tim Ahli Cagar Budaya.
‒ Penghapusan dilaksanakan dalam hal Cagar Budaya:
a. musnah;
b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan;
121
c. mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan
keasliannya; atau
d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.
‒ Penghapusan Cagar Budaya dilaksanakan dengan tanpa
menghilangkan data dalam Register Daerah Cagar Budaya berserta
dokumennya.
‒ Dalam hal Cagar Budaya yang hilang ditemukan kembali, Cagar
Budaya wajib dilakukan pencatatan ulang ke dalam Register Daerah
Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan dan
pencatatan kembali diatur dalam Peraturan Bupati.
Bab IX adalah Pelestarian Cagar Budaya yang mengatur beberapa
ketentuan sebagai berikut:
‒ Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelindungan;
b. pengembangan; dan
c. pemanfaatan.
‒ Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan oleh Tenaga Ahli
Pelestarian berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat
122
dipertanggungjawabkan secara akademik, teknis, dan administratif
serta memperhatikan etika pelestarian.
‒ Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan dengan:
a. mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian
kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian; dan
b. didukung pendokumentasian sebelum dilaksanakannya kegiatan
yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.
‒ Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan teknis dan/atau
kepakaran kepada setiap orang yang akan melakukan upaya
Pelestarian Cagar Budaya yang dimilikinya.
‒ Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.
‒ Pemerintah Daerah melakukan pelindungan terhadap Cagar Budaya
di Daerah.
‒ Selain pelindungan oleh Pemerintah Daerah, setiap orang dapat
berperan serta melakukan pelindungan terhadap Cagar Budaya baik
yang dimiliki maupun tidak dimilikinya.
‒ Pelindungan Cagar Budaya dilaksanakan melalui kegiatan:
a. penyelematan;
b. pengamanan;
123
c. penetapan zonasi;
d. pemeliharaan; dan/atau
e. pemugaran.
‒ Penyelamatan Cagar Budaya dimaksudkan untuk:
a. mencegah kerusakan karena faktor alam dan/atau manusia yang
mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang
menyertainya; dan
b. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan atau
penguasaan Cagar Budaya secara bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
yang dilaksanakan dalam keadaan normal atau keadaan darurat.
‒ Setiap orang wajib melakukan penyelamatan Cagar Budaya yang
dimilikinya dalam keadaan darurat atau keadaan yang memaksa
untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat memindahkan
Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah ke tempat
lain yang lebih aman untuk menjamin keutuhan dan keselamatan
Cagar Budaya dengan tetap berada di bawah koordinasi Tenaga Ahli
Pelestarian.
124
‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang yang melakukan tindakan
penyelamatan dengan cara pemindahan wajib menjaga dan merawat
Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, dan kerusakan baru.
‒ Pelaksanaan penyelamatan dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Pemerintah Daerah melakukan pengamanan terhadap Cagar Budaya
yang dikuasai atau Cagar Budaya yang tidak diketahui pemiliknya.
‒ Setiap orang wajib melakukan pengamanan Cagar Budaya yang
dimilikinya untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak
rusak, hancur, hilang, atau musnah.
‒ Selain pelindungan dengan cara pengamanan oleh Pemerintah
Daerah dan setiap orang, masyarakat dapat berperan serta dalam
melakukan pengamanan terhadap Cagar Budaya.
‒ Pengamanan Cagar Budaya harus memperhatikan pemanfaatannya
bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu
pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
‒ Pengamanan dilaksanakan dengan cara memberikan pelindung,
menyimpan, dan/atau menempatkannya di tempat yang terhindar
dari gangguan manusia dan bencana alam.
125
‒ Pelaksanaan pengamanan dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Setiap orang dilarang merusak dan/atau mencuri Cagar Budaya baik
sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, kelompok, dan/atau
letak asal.
‒ Setiap orang dilarang memisahkan dan/atau memindahkan Cagar
Budaya peringkat Daerah baik sebagian atau seluruhnya tanpa izin
dari Bupati.
‒ Setiap orang dapat membawa Cagar Budaya ke luar Daerah baik
sebagian maupun seluruhnya hanya untuk kepentingan penelitian,
promosi kebudayaan, dan/atau pameran setelah mendapatkan izin
dari Bupati.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan
pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Dalam melaksanakan pelindungan Cagar Budaya, Pemerintah
Daerah menetapkan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang
melalui sistem zonasi yang didasarkan pada hasil kajian.
‒ Pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi dapat dilakukan untuk
tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.
126
‒ Sistem zonasi ditetapkan dengan Keputusan Bupati sesuai dengan
keluasan situs atau kawasan Cagar Budaya di Daerah.
‒ Sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya secara
vertikal dan horizontal yang terdiri atas:
a. zona inti;
b. zona penyangga;
c. zona pengembangan; dan/atau
d. zona penunjang.
‒ Pengaturan zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap
lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
‒ Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan
hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan
kesejahteraan masyarakat Daerah.
‒ Pelaksanaan penetapan zonasi dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimilikinya
dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan
menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau
perbuatan manusia, baik di lokasi asli atau di tempat lain setelah
lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap.
127
‒ Perawatan dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan
perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk,
tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi cagar budaya.
‒ Terhadap Cagar Budaya yang berasal dari air dilakukan perawatan
sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya
dengan tata cara khusus.
‒ Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru
pelihara untuk melakukan perawatan cagar budaya.
‒ Pelaksanaan pemeliharaan dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Pemugaran bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya yang
rusak, dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara
memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui
pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
‒ Pemugaran cagar budaya harus memperhatikan:
a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi
pengerjaan;
b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat
merusak;
128
d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran; dan
e. penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap
mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan
cagar budaya.
‒ Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului dengan
dokumen lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
‒ Setiap orang yang melakukan pemugaran bangunan cagar budaya
dan struktur cagar budaya wajib memperoleh izin mendirikan
bangunan.
‒ Pelaksanaan pemugaran dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Cagar Budaya di
Daerah sebagai upaya peningkatan potensi nilai, informasi, dan
promosi Cagar Budaya melalui kegiatan:
a. penelitian;
b. revitalisasi; dan
c. adaptasi.
129
‒ Pengembangan Cagar Budaya dilaksanakan dengan memperhatikan
prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-
nilai yang melekat padanya.
‒ Pengembangan Cagar Budaya harus:
a. disertai pendokumentasian; dan
b. diarahkan untuk memacu pengembanganan ekonomi yang
hasilnya digunakan untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
‒ Setiap orang dapat melakukan pengembangan Cagar Budaya setelah
memperoleh:
a. izin dari Bupati; dan/atau
b. izin dari pemilik apabila Cagar Budaya yang akan dilakukan
pengembangan bukan merupakan miliknya sendiri.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan
pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Untuk kepentingan pengembangan Cagar Budaya, Pemerintah
Daerah melakukan penelitian untuk menghimpun informasi serta
mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya.
‒ Penelitian dilaksanakan melalui:
a. penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan
130
b. penelitian terapan untuk pengembangan teknologi atau tujuan
praktis yang bersifat aplikatif.
‒ Penelitian dapat dilaksanakan sebagai bagian dari analisis mengenai
dampak lingkungan atau secara berdiri sendiri.
‒ Proses dan hasil penelitian Cagar Budaya diinformasikan dan
dipublikasikan kepada masyarakat untuk kepentingan promosi Cagar
Budaya.
‒ Pemerintah Daerah melakukan revitalisasi potensi situs atau
kawasan Cagar Budaya dengan memperhatikan tata ruang, tata
letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya berdasarkan kajian.
‒ Revitalisasi dilaksanakan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai
budaya, dan penguatan informasi Cagar Budaya.
‒ Revitalisasi harus memberikan manfaat untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat di Daerah dan mempertahankan ciri khas
budaya lokal.
‒ Setiap orang dilarang mengubah fungsi situs dan/atau kawasan
Cagar Budaya peringkat Daerah baik sebagian maupun seluruhnya,
tanpa izin dari Bupati.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan
pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.
131
‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat melakukan adaptasi
terhadap bangunan atau struktur Cagar Budaya untuk memenuhi
kebutuhan masa kini sepanjang tetap mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka bangunan atau struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs atau
kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
‒ Adaptasi dilaksanakan dengan cara:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan
keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
‒ Pelaksanaan pengembangan Cagar Budaya melalui kegiatan
penelitian, revitalisasi, dan adaptasi dilakukan menurut tata cara
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat melakukan
pemanfaatan terhadap Cagar Budaya untuk kepentingan pendidikan,
ilmu pengetahuan, teknologi, agama, sosial, kebudayaan, dan/atau
pariwisata.
132
‒ Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilaksanakan
untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu
pengetahuan, sosial, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
‒ Pemanfaatan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau
analisis mengenai dampak lingkungan apabila berpotensi
menyebabkan terjadinya kerusakan.
‒ Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitasi bagi setiap orang
yang melakukan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya berupa:
a. dukungan Tenaga Ahli Pelestarian;
b. dukungan dana; dan/atau
c. pelatihan.
‒ Promosi dilaksanakan untuk memperkuat identitas budaya serta
untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.
‒ Setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya yang pada saat
ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula untuk kepentingan
tertentu.
‒ Pemanfaatan dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari:
a. Bupati untuk Cagar Budaya yang memenuhi kriteria sebagai
Cagar Budaya peringkat Daerah; atau
133
b. masyarakat hukum adat untuk Cagar Budaya yang dimilikinya
secara turun temurun.
‒ Setiap orang yang melakukan pemanfaatan lokasi temuan yang telah
ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya wajib memperhatikan fungsi
ruang dan pelindungannya.
‒ Pemerintah Daerah dapat menghentikan pemanfaatan dalam hal
pemilik dan/atau pihak yang melakukan pemanfaatan terbukti
melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya.
‒ Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus dikembalikan pada
keadaan semula seperti saat sebelum dimanfaatkan.
‒ Biaya pengembalian dibebankan kepada pemilik dan/atau pihak
yang melakukan pemanfaatan Cagar Budaya.
‒ Setiap orang dapat melakukan pemanfaatan dengan cara
perbanyakan benda Cagar Budaya yang ditetapkan sebagai peringkat
Daerah setelah mendapatkan izin dari Bupati.
‒ Setiap orang dapat melakukan pemanfaatan dengan cara
mendokumentasikan Cagar Budaya baik sebagian maupun
seluruhnya untuk kepentingan komersial setelah mendapatkan izin
dari:
134
a. Bupati untuk Cagar Budaya yang dikuasai oleh Pemerintah
Daerah; atau
b. pemilik Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan
pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.
‒ Pelaksanaan pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan menurut tata
cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bab X adalah Partisipasi Masyarakat yang mengatur sebagai
berikut:
‒ Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Pelestarian Cagar Budaya di
Daerah.
‒ Partisipasi dilaksanakan melalui:
a. upaya merawat Cagar Budaya di Daerah;
b. pengawasan terhadap Pelestarian Cagar Budaya; dan/atau
c. penyampaian informasi atau laporan terjadinya penelantaran,
pencurian, perusakan, dan/atau pemusnahan Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat
diatur dalam Peraturan Bupati.
135
Bab XI adalah Pembinaan dan Pengawasan yang mengatur
beberapa hal sebagai berikut:
‒ Dalam rangka mengoptimalkan Pelestarian Cagar Budaya di Daerah,
Bupati melakukan pembinaan.
‒ Pembinaan berupa:
a. pendidikan dan pelatihan Pelestarian Cagar Budaya bagi
masyarakat Daerah;
b. penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk
menyelenggarakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
Cagar Budaya di Daerah; dan
c. pemberian insentif kepada masyarakat dan/atau orang
perseorangan yang melakukan Pelestarian Cagar Budaya di
Daerah.
‒ Bupati dapat melakukan pengawasan terhadap Pelestarian Cagar
Budaya di Daerah.
‒ Dalam melakukan pengawasan, Bupati berwenang:
a. melakukan inspeksi di lapangan;
b. meminta laporan kepada masyarakat;
c. melakukan evaluasi atas Pelestarian Cagar Budaya di Daerah;
atau
136
d. memberikan sanksi administratif kepada setiap orang yang
melakukan pelanggaran.
‒ Dalam melaksanakan pengawasan, Bupati dapat melibatkan
masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan di bidang
Pelestarian Cagar Budaya.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
Pelestarian Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Bupati.
Bab XII adalah Larangan yang memuat norma dan ketentuan
sebagai berikut:
‒ Setiap orang dilarang secara melawan hukum membawa,
memindahkan, menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau
memusnahkan Cagar Budaya di Daerah.
‒ Setiap Orang dilarang secara melawan hukum melakukan perbuatan
yang mengakibatkan sistem Register Daerah Cagar Budaya tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Bab XIII adalah Pembiayaan yang mengatur mengenai sumber
pendanaan sebagai berikut:
137
‒ Pembiayaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah Daerah dan masyarakat.
‒ Pembiayaan bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. hasil pemenfaatan Cagar Budaya; dan/atau
c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan
perundang-undangan.
‒ Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk pelindungan,
pengembangan, pemanfaatan, dan kompensasi Cagar Budaya dengan
memperhatikan prinsip proporsionalitas.
‒ Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk
penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan
yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sesuai kemampuan
keuangan Daerah.
Bab XIV adalah Penyelesaian Perselisihan yang mengatur sebagai
berikut:
‒ Perselisihan dalam Pelestarian Cagar Budaya antar orang
perseorangan dan/atau antar masyarakat diselesaikan secara
musyawarah oleh para pihak.
138
‒ Musyawarah para pihak dapat dilakukan melalui mediasi dan
rekonsiliasi.
‒ Dalam hal musyawarah tidak tercapai, Bupati dapat memfasilitasi
proses penyelesaian perselisihan.
‒ Dalam hal musyawarah dan fasilitasi, tidak tercapai penyelesaian
perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan
melalui proses peradilan.
Bab XV adalah Sanksi Administrasi yang memuat norma dan
ketentuan sebagai berikut:
‒ Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal dikenakan sanksi
administrasi.
‒ Sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administrasi diatur dalam Peraturan Bupati.
139
Bab XVI adalah Ketentuan Penyidikan yang mengatur sebagai
berikut:
‒ Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran
Peraturan Daerah ini.
‒ Dalam melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
diberikan wewenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan/atau
keterangan mengenai pelanggaran atas Peraturan Daerah ini;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
pelanggaran;
c. meminta keterangan dan/atau barang bukti yang berkaitan
dengan pelanggaran;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain yang
berhubungan dengan pelanggaran;
e. melakukan penyitaan terhadap barang dan/atau surat yang
berkaitan dengan pelanggaran;
f. meminta dan/atau mendengarkan keterangan ahli dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugas penyidikan terhadap dugaan
pelanggaran;
140
g. menghentikan proses penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup
bukti mengenai adanya pelanggaran.
‒ Dalam hal melaksanakan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
wajib melakukan pemberitahuan dan menyerahkan hasil penyidikan
kepada penuntut umum pada Kejaksaan Negeri setempat melalui
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bab XVII adalah Ketentuan Pidana yang mengatur mengenai
pengenaan sanksi pidana sebagai berikut:
‒ Setiap orang yang melanggar diancam dengan pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
‒ Tindak pidana dalam Peraturan Daerah ini adalah pelanggaran.
Bab XVIII adalah Ketentuan Penutup yang mengatur sebagai
berikut:
‒ Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini
ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.
‒ Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
141
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Tuban.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka jangkauan, arah pengaturan
dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya adalah sebagai berikut:
BAB I : KETENTUAN UMUM
BAB II : ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
BAB III : TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH
BAB IV : KRITERIA DAN PENGGOLONGAN CAGAR BUDAYA
BAB V : PENCARIAN DAN PENEMUAN
BAB VI : PEMILIKAN DAN PENGUASAAN
BAB VII : TIM AHLI CAGAR BUDAYA
BAB VIII : REGISTER DAERAH CAGAR BUDAYA
BAB IX : PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
BAB X : PARTISIPASI MASYARAKAT
BAB XI : PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
BAB XII : LARANGAN
BAB XIII : PEMBIAYAAN
BAB XIV : PENYELESAIAN PERSELISIHAN
142
BAB XV : SANKSI ADMINISTRASI
BAB XVI : KETENTUAN PENYIDIKAN
BAB XVII : KETENTUAN PIDANA
BAB XVIII : KETENTUAN PENUTUP
143
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk
mempertahankan warisan budaya agar tetap lestari dan berkelanjutan di
samping memberikan manfaat bagi kebudayaan, tetapi juga memiliki nilai
manfaat secara ekonomi. Pelestarian yang semula dipahami secara sempit
hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas tidak saja untuk
maksud tersebut, tetapi terkait juga dengan upaya pengembangan dan
pemanfaatan. Perluasan pemahaman ini dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa tidak satu pun unsur dari pengertian pelestarian itu yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan sebuah kesatuan yang saling
mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara dalam hal ini Pemerintah
Daerah mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kebudayaan
dengan cara menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. Sebagai perwujudan Pasal 32 ayat
(1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
144
tersebut, Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya menjelaskan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya
yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
Kabupaten Tuban sebagai daerah otonom yang sangat lekat sekali
dengan sejarah masa lalu khususnya pada masa-masa kejayaan kerajaan
di Indonesia berkepentingan untuk tetap melestarikan Cagar Budaya
dengan tetap mempertahankan nilai dan ciri khas Cagar Budaya. Oleh
karena itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai daerah otonom yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur (regelendaad), Pemerintah
Daerah Kabupaten Tuban perlu menetapkan strategi dan sekaligus
merumuskan kebijakan (policy) dalam melakukan pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya yang ada di wilayah
Kabupaten Tuban agar Cagar Budaya yang merupakan warisan dan
kekayaan budaya serta identitas budaya masyarakat Kabupaten Tuban
dapat terjamin keberadaanya sesuai bentuk dan muka aslinya. Dengan
145
demikian, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Pelestarian Cagar Budaya yang dapat dijadikan sebagai payung hukum
dan pedoman tunggal dalam pelaksanaan Pelestarian Budaya di
Kabupaten Tuban.
6.2. Saran/Rekomendasi
Untuk mengatasi kekosongan aturan (regel vacuum) dalam
pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya di
Kabupaten Tuban, maka perlu disusun Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.
146
DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta:
LKiS, 2002.
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung,
1982.
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM
Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2000.
Budiman NPD., Ilmu Pengantar Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta,
2005.
Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia,
2008.
Francis Fukuyama, The End of History, Oxford, British: Free Press, 1992.
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State; Teori Umum Tentang Negara
dan Hukum, Bandung: Nusamedia, 2006.
Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Massachuset, USA: Beacon Press,
1964.
Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978.
P. Hawkins, Creating a Coaching Culture, New York: Bell and Bain Ltd., 2012.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Riant Nugroho D., Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Resolusi Kajian dan
Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2002.
Richard Chenevix Trench, Oxford Dictionary 7th edition, Oxford University
Press, 2006.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984).
Soimin, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata
Negara, Rajawali Press, Jakarta, 1998.
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting: Teori dan
Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
2009.