NASK AH AKADEMIK RE NCANA ST RATEGIS JANGKA … fileKebijakan Pertanian dapat berjalan dengan arah...
-
Upload
phungtuyen -
Category
Documents
-
view
228 -
download
0
Transcript of NASK AH AKADEMIK RE NCANA ST RATEGIS JANGKA … fileKebijakan Pertanian dapat berjalan dengan arah...
NASK
PRO
KAH AKAD
OGRAM PE
PUSAT SO
BADAN PEN
DEMIK RE
ENGKAJIA
PERT
Kur
P
M
S
SIAL EKONO
NELITIAN DA
KEMENT
NCANA ST
AN SOSIAL
TANIAN 20
Oleh
I Wayan Ru
Sumarya
Reni Kus
rnia Suci Ind
Nyak Ilh
Erizal ja
rajogo Utom
Bambang I
Muchjidin R
Sri Hery Sus
OMI DAN KEB
AN PENGEM
TERIAN PERT
20121
TRATEGIS
L EKONOM
013 – 2035
:
usastra
anto
stiari
draningsih
ham
mal
mo Hadi
rawan
Rachmat
silowati
BIJAKAN PER
BANGAN PE
TANIAN
S JANGKA
MI DAN KE
5
RTANIAN
ERTANIAN
PANJANG
EBIJAKAN
G
i
KATA PENGANTAR
Tugas utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian adalah
melakukan analisis dan pengkajian berbagai permasalahan sosial ekonomi dan
kebijakan pertanian, yang akan digunakan dalam merumuskan kebijakan khususnya
bagi pimpinan Kementerian Pertanian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu
arahan kegiatan analisis dan pengkajian dalam jangka menengah dan jangka
panjang berdasarkan pada isu‐isu pokok yang berkembang di tingkat nasional,
regional, dan internasional. Penyusunan Rencana Strategis (RENSTRA) Jangka
Panjang 2013 ‐2035 ini merupakan bagian dari upaya tersebut, sehingga
diharapkan kegiatan‐kegiatan yang akan dilakukan Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian dapat berjalan dengan arah yang jelas serta memberikan
manfaat yang sebesar‐besarnya bagi pembangunan pertanian dan pedesaan.
Kegiatan pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian disusun
berdasarkan perspektif kegiatan yang menyeluruh, berkelanjutan dan progresif.
Menyeluruh berarti meliputi kegiatan analisis sosial ekonomi, kebijakan pertanian
serta pelayanan dan pendayagunaan hasil analisis. Berkelanjutan bermakna adanya
kebutuhan penyediaan fasilitas dan penyediaan sumberdaya manusia penunjang
secara memadai. Progresif berarti mempertimbangkan peningkatan fasilitas dan
sumberdaya yang semakin bertambah kualitas maupun kuantitasnya.
Sebagai acuan pokok, dalam tataran operasional masih dimungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian, terutama terkait dengan perkembangan isu serta
kebutuhan stakeholder. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyusunan Renstra Jangka Panjang 2013‐2035 ini, saya ucapkan terima kasih dan
semoga dokumen ini dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kepala Pusat,
Dr. Handewi P. Saliem NIP. 19570604 198103 2 001
ii
TIM PENYUSUN
NASKAH AKADEMIK RENCANA STRATEGIS JANGKA PANJANG PROGRAM PENGKAJIAN SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PERTANIAN 2013 – 2035
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Ketua : Prof. Dr. I Wayan Rusastra
Anggota : 1. Dr. Sumaryanto
2. Dr. Reni Kustiari
3. Dr. Kurnia Suci Indraningsih
4. Dr. Nyak Ilham
5. Prof. Dr. Erizal jamal
6. Prajogo Utomo Hadi, SE., MEc.
7. Dr. Bambang Irawan
8. Dr.Muchjidin Rachmat
9. Dr. Sri Hery Susilowati
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATAPENGANTAR .………….......................…………………...................................... i TIM PENYUSUN ………………………….........................................................…………. ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………. iii I. PENDAHULUAN …………………..........................………………………............……………. 1 1.1. Latar Belakang ………………….....................…………..............................…… 1 1.2. Tugas Pokok dan Fungsi ……………….............................................……….. 2 II. Visi dan Misi ……………………………............................................................……….…. 5 2.1. Visi Pertanian dan Pedesaan Indonesia 2035 ...............................……….... 5 2.2. Visi dan Misi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2035 ………. 9 III. Perspektif Global Penelitian dan Pertanian untuk Pembangunan…………….…. 11 3.1. Kontribusi dan Redifinisi Peran Sektor Pertanian …................................... 11 3.2. Konteks Dinamis Pembangunan Pertanian……..................................……. 13 3.3. Agenda Penelitian dan Pengembangan Pertanian….........…..................... 18 IV Perspektif Lingkungan Strategis Nasional, 2013‐2035. ...........................………. 25 4.1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku Industri Pangan ............... 25 4.2. Kelangkaan Dan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air ....................……… 28 4.3. Manajemen Pembangunan: Lintas Sektor, Pusat Daerah dan Pertisipasi
Masyarakat ……………………………..................................................................
31 4.4. Implementasi Komitmen Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Menghadapi Perubahan Iklim ....................................................................
37 4.5. Implementasi Komitmen MDG‐1 : Pengentasan Kemiskinan dan
Kelaparan ……………………………………………………...........................................
42 4.6. Transformasi Struktural Ekonomi Pertanian dan Pedesaan ...................... 45 V. Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Nasional, 2013‐2035 ................ 48 5.1. Subsektor Tanaman Pangan.…………………….............................................. 48 5.2. Subsektor Hortikultura .………………………….........................................……… 56 5.3. Subsektor Perkebunan ………............................…….............................… 67 5.4. Subsektor Peternakan ………………………................................................... 77 VI. Antisipasi Permasalahan Penelitian dan Pembangunan
Sosial Ekonomi Pertanian Nasional, 2013‐2035……………………………………………..
85 6.1. Pengembangan Kapasitas Produksi dan Investasi Pertanian..................... 85 6.2. Penguatan dan Perlindungan Usaha Pertanian ........................................ 94 6.3. Kelembagaan dan Regulasi Pertanian ……............................................... 106 6.4. Kebijakan Ekonomi Makro dan Perdagangan ……………............................ 113 6.5. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Pembangunan Pedesaan ................ 133
iv
VII. Program Tematik Pengkajian Kebijakan Sosek Pertanian, 2013‐2035……………. 151
7.1. Program Pengkajian Kebijakan SDA, Infrastruktur dan Investasi Pertanian ...................................................................................................
151
7.2. Program Pengkajian Kebijakan Penguatan dan Perlindungan Usaha Pertanian ………………………...............................................................
152
7.3. Program Pengkajian Kebijakan Kelembagaan dan Regulasi Pertanian ..... 155 7.4. Program Pengkajian Kebijakan Ekonomi Makro dan Perdagangan .......... 156 7.5 Program Pengkajian Ketahanan Pangan, Kemiskinan, dan Pembangunan
Pertanian Pedesaan..........................……………….........................................
156 DAFTAR PUSTAKA ……………………………..........................................……….. 158
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ada dua hal yang melatarbelakangi perlunya penyusunan rencana jangka
panjang penelitian sosial ekonomi, pertama kesadaran akan pentingnya suatu
perencanaan jangka panjang dalam pembangunan pertanian. Keberhasilan
pengembangan pertanian merupakan resultante dari berbagai hal yang terkait
dengan perencanaan jangka panjang, banyak pembelajaran yang didapat selama
ini bahwa upaya instan dan tidak terencana dengan baik, dinilai kurang
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Kedua berbagai ketidakpastian ke
depan akibat perubahan iklim dan masuknya komoditi pertanian dalam bursa
komoditi menyebabkan ketidakpastian produksi dan harga semakin tinggi.
Beranjak dari kedua hal tersebut maka untuk dapat terlaksananya suatu
pembangunan pertanian yang baik, dimana petani dan pelaku agrobisnis sebagai
kelompok sasaran, dapat hidup layak sebagaimana kelompok masyarakat
lainnya,maka perlu adanya suatu sasaran yang jelas serta pentahapan dalam
mencapai sasaran tersebut. Pentahapan tersebut tentunya dengan
memperhatikan berbagai tantangan yang ada, terutama yang terkait dengan
kondisi perubahan iklim saat ini, serta fluktuasi harga yang semakin sulit
diprediksi perilakunya.
Tahun 2035 Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu negara dengan
pendapatan penduduk per kapita sekitar US $ 13.000 yang setara dengan
pendapatan penduduk negara maju. Yayasan Indonesia Forum memproyeksikan
bahwa Indonesia akan menjadi negara 10 besar tujuan pariwisata dunia dan
negara 30 besar yang memiliki nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
tertinggi di dunia. Goldman Sachs memproyeksikan bahwa pada tahun 2035
Indonesia akan menuju negara kelas menengah – maju yang menjadi salah satu
poros ekonomi dunia bersama dengan 10 negara lainnya. Pada masa itu
kekuatan ekonomi Indonesia akan setara dengan Korea, Italia dan Kanada. Price
2
Water Houses Coopers dalam laporannya kepada OEDC memproyeksikan bahwa
pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi salah satu dari 7 negara maju bersama
Rusia, Brazil, Meksiko, India, Cina dan Turki. PDB Indonesia pada tahun 2050
diperkirakan mencapai US $ 13.800 miliar.
Kondisi perekonomian nasional tahun 2035 tersebut diperkirakan akan
meningkatkan investasi di berbagai sektor riil di dalam negeri. Guna memberikan
dukungan yang optimal dalam pengembangan sektor pertanian nasional dan
ekonomi yang kuat, yang dapat memberikan arahan untuk menjawab berbagai
ketidakpastian seperti disebutkan di atas, terkait dengan hal itu perlu
dirumuskan suatu Rencana Jangka Panjang yang sistematis, komprehensif,
terintegrasi dan akuntabel.Penyusunan rencana strategis tersebut memerlukan
pijakan dasar sebagai langkah awal untuk membuat proyeksi penetapan kondisi
yang akan datang. Oleh karena itu penelaahan kebijakan saat ini dan perkiraan
kondisi ke depan perlu dilakukan secara cermat.
Secara umum bahan yang akan diuraikan dalam tulisan ini terdiri dari
gambaran kondisi riil pembangunan pertanian Indonesia saat ini, lingkungan
strategis yang ada serta tantangan ke depan. Diakhir tulisan diuraikan tentang
upaya yang perlu dilakukan sebagai kegiatan penelitian sosial ekonomi untuk
menjawab berbagai tantangan ke depan.
1.2. Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Mentan No. 299/Kpts/OT.140/7/2005, tugas
utama PSE‐KP adalah melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan
kebijakan pertanian. Tugas pokok dan fungsi PSE‐KP sebagai bagian dari institusi
Kementerian Pertanian ialah memberikan opsi, pertimbangan dan informasi bagi
pimpinan agar dapat membuat dan melaksanakan program fasilitasi, kebijakan
dan peraturan terbaik untuk sebesar‐besarnya kesejahteraan petani. Secara
terinci tugas pokok dan fungsi PSE‐KP adalah: (a) perumusan program analisis
3
sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (b) pelaksanaan analisis dan pengkajian
sosial ekonomi dan kebijakan di bidang pertanian; (c) pelaksanaan telaah ulang
program dan kebijakan di bidang pertanian; (d) pemberian pelayanan teknik di
bidang analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (e) pelaksanaan
kerjasama dan pendayagunaan hasil analisis dan pengkajian serta konsultasi
publik di bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (f) evaluasi dan
pelaporan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; dan
(g) pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Pusat.
Dalam arti luas, analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan
pertanian yang mencakup penelitian kebijakan (policy research) dan analisis
kebijakan (policy analysis) pembangunan pertanian memiliki arti strategis,
karena: (a) memberikan landasan, arah dan prioritas penelitian bidang pertanian
agar sejalan dengan kebijakan pembangunan yang telah digariskan; (b)
mengidentifikasi masalah dan unsur‐unsur sosial ekonomi yang mempengaruhi
adopsi teknologi di tingkat petani; (c) mengevaluasi kelembagaan yang efektif
dalam mempromosikan pengembangan suatu teknologi atau sistem usahatani;
(d) merumuskan dan mengevaluasi serta menyempurnakan program dan
kebijakan yang diperlukan untuk mengembangkan agribisnis, baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di atas, sesuai dengan Peraturan
Mentan No. 61/Permentan/OT.140/10/2010, PSE‐KP dibina oleh Badan Litbang
Pertanian. Tugas dan fungsi PSE‐KP pertama‐tama ialah melayani pimpinan
Kementerian Pertanian dengan memberikan opsi dan pertimbangan perihal
perumusan, pelaksanaan dan penegakan program fasilitasi, kebijakan dan
peraturan pembangunan pertanian. Pimpinan Kementerian Pertanian menjadi
pemangku kepentingan terdekat yang harus dilayani PSE‐KP. Untuk itu pimpinan
PSE‐KP akan senantiasa berupaya membangun komunikasi dengan pimpinan
Kementerian Pertanian guna memahami preferensi terkait karakteristik fasilitasi,
kebijakan dan peraturan pendukung pembangunan pertanian. PSE‐KP akan terus
4
membangun jejaring kerjasama seluas‐luasnya dengan lembaga‐lembaga terkait,
baik dengan semua eselon I lingkup Kementerian Pertanian, dengan sesama
lembaga penelitian, dengan lembaga negara terkait maupun dengan organisasi
masyarakat, sepanjang dipandang bermanfaat dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsi institusi.
Dalam pelaksanaanya, PSE‐KP senantiasa mendahulukan kepentingan
terbesar bagi petani, pelaku agribisnis dan rakyat Indonesia. Petani dan rakyat
Indonesia menjadi prioritas pemangku kepentingan yang mesti didahulukan oleh
PSE‐KP. Untuk itu, penyusunan opsi dan pertimbangan yang diberikan kepada
pimpinan Kementerian Pertanian akan senantiasa mengedepankan upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum. PSE‐KP juga
melakukan advokasi kebijakan, yaitu keberpihakan dan upaya aktif dalam
memperjuangkan penerapan dan penegakan kebijakan yang diyakini paling
sesuai untuk sebesar‐besarnya kesejahteraan petani dan masyarakat umum atau
kepentingan negara.
II. VISI DAN MISI
2.1. Visi Pertanian dan Pedesaan Indonesia 2035
Berbagai prediksi mengenai kondisi Indonesia tahun 2035 telah
disampaikan oleh berbagai pihak yang tertuang di dalam pernyataan visi. Visi
resmi pemerintah yang dituangkan dalam Undang‐Undang No 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025
menyatakan bahwa Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah:
”Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Visi tersebut menyiratkan
bahwa Indonesia pada tahun 2035 akan menjadi negara mandiri, maju, adil, dan
makmur.
Visi berikutnya adalah visi yang dikemukakan oleh Yayasan Indonesia
Forum, yaitu “Indonesia sebagai Negara maju yang unggul dalam pengelolaan
kekayaan alam”. Visi Indonesia 2030 tersebut ditopang empat pencapaian
utama, yaitu
1. Indonesia merupakan 5 besar kekuatan ekonomi dunia, pendapatan
perkapita sekitar US$ 18 ribu, jumlah penduduk sekitar 285 juta jiwa ;
2. Pemanfaatan kekayaan alam yang berkelanjutan, antaralain masuk dalam
10 besar tujuan pariwisata dunia dan tercapainya kemandirian dalam
pemenuhan energi domestik;
3. Kualitas modern yg merata (shared growth), a.l. ditandai oleh masuknya
Indonesia dalam 30 besar indeks pembangunan manusia (HDI) terbaik di
dunia;
4. Paling sedikit 30 perusahaan lndonesia dalam daftar fortune 500
companies
Selanjutnya KADIN memformulasikan Visi 2030 Indonesia sebagai: ”Negara
Industri Maju dan Bangsa Tangguh yang Makmur dalam Keadilan dan Adil dalam
Kemakmuran”. Untuk mencapai Visi tersebut ditetapkan sasaran sebagai berikut:
6
1. Kebangkitan kekuatan rekayasa, rancang bangun, manufaktur dan jaringan
penjualan produk industri nasional, terutama dengan menghasilkan barang
dan jasa berkualitas unggul yang menang bersaing dengan produk negaradi
kawasan Asia seperti Vietnam, Malaysia, dan China, baik di pasar domestik
maupun regional;
2. Kebangkitan kekuatan industri nasional pengolah hasil sumber daya alam
dengan produk olahan bermutu, sehingga dapat dicapai swasembada
pangan secara lestari dan berkemampuan ekspor;
3. Kebangkitan daya cipta dan kreativitas rekayasa dan rancang bangun putra‐
putri Indonesia sehingga industri nasional berbasis tradisi dan budaya
bangsa dapat tumbuh berkembang kembali melalui produk berkualitas
tinggi yang dicintai dan digunakan dalam kehidupan sehari‐hari sebagai
”life style” masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan Visi yang dikemukakan oleh Yayasan Indonesia Forum,
yaitu “Indonesia sebagai Negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan
alam”, Institut Pertanian Bogor menyusun Visi Pertanian 2030, yaitu “pertanian
tangguh dan modern berbasis pada pengelolaan yang menjamin ketahanan
pangan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri dan kesejahteraan
petani serta berdaya saing global”. Untuk memahami visi tersebut diberikan
uraian bahwa :
1. Pertanian tangguh dan modern menekankan produk yang dihasilkan harus
bermutu, aman dan berproduktivitas tinggi, petani berpengetahuan,
berketrampilan dan berbudaya industri ;
2. Pembangunan pertanian dilakukan dengan mengutamakan pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian
7
lingkungan untuk mencapai sasaran ketahanan, keamanan dan mutu
pangan sesuai dengan SNI, Codex dan standar lainnya ;
3. Pembangunan pertanian juga harus memposisikan petani sebagai subyek
yang sejahtera dengan pendapatan mencapai US $ 13.000/tahun. Peran
sektor pertanian tahun 2035 di dalam perekonomian nasional sangat
strategis sebagai penyedia bahan pangan, bahan baku industri, penyerap
lapangan kerja, dan sumber pendapatan masyarakat pedesaan.
Untuk mencapai pertanian tahun 2035 di bawah kondisi lingkungan
strategis negara maju yang berpendapatan per kapita US $ 13.000 per tahun
diperlukan pembenahan sektor pertanian dan sektor pendukungnya secara
sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Memperhatikan potensi dan
keunggulan sebagai negara agraris dan maritim dengan jumlah penduduk yang
besar, Indonesia perlu menempatkan sektor pertanian sebagai basis aktivitas
ekonomi (agrobisnis) yang diperkuat oleh industri (agroindustri) yang
menciptakan nilai tambah. Agribisnis dan agroindustri mampu mengakomodasi
tuntutan agar perekonomian terus tumbuh, sekaligus memenuhi prinsip
kerakyatan, keberlanjutan, dan pemerataan individu maupun antar daerah.
Oleh karena sektor pertanian umumnya berada di pedesaan, maka
pembangunan pedesaan didorong melalui agropolitan, peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia di pedesaan, khususnya dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya, serta pengembangan jaringan infrastruktur
penunjang kegiatan produksi di kawasan pedesaan dan kota‐kota kecil terdekat.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta keterkaitan fisik, sosial, dan ekonomi yang
saling komplementer dan saling menguntungkan. Hal tersebut perlu didukung
olehpeningkatan akses informasi dan pemasaran, lembaga keuangan,
kesempatan kerja dan teknologi, serta pengembangan sosial kapital dan
8
SDMyang belum tergali potensinya. Dengan begitu kawasan pedesaan tidak
semata‐mata mengandalkan sumberdaya alamnya saja.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian harus dipacu, baik
melalui pendidikan formal maupun non‐formal. Kegiatan penyuluhan pertanian
sebagai bagian pendidikan non‐formal harus diaktifkan kembali. Sementara
pendidikan formal dengan lembaga penelitiannya harus terus menghasilkan
inovasi dan teknologi baru yang diperlukan untuk memajukan pertanian.
Dengan kondisi sumberdaya manusia pertanian yang baik, diharapkan
teknologi dapat berkembang. Teknologi yang berkembang dapat meningkatkan
kualitas produk. Kualitas produk yang semakin baik akan menyebabkan daya
saingnya semakin tinggi. Bila daya saing produk pertanian Indonesia semakin
baik, minat konsumen untuk mengkonsumsi akan meningkat. Peningkatan
konsumsi dari dalam negeri, menjadikan produk pertanian adalah tuan rumah di
negerinya sendiri. Hal ini tentunya akan menekan impor dan menghemat devisa.
Di sisi lain, dengan daya saing yang tinggi ekspor dapat ditingkatkan. Ekspor yang
meningkat memperkaya devisa. Artinya, dengan kemajuan ekspor, tanpa
bantuan luar negeri, Indonesia akan memiliki banyak devisa dan sumber
pendanaan pembangunan tanpa berhutang dari luar negeri.
Dari sisi ekonomi, diperlukan intervensi kebijakan yang berpihak ke sektor
pertanian. Sektor pertanian masih cukup berperan, khususnya dalam menyerap
tenaga kerja. Sektor pertanian menyerap 40.952.856 orang tenaga kerja atau
setara dengan 45,91%. Agar sektor pertanian meningkat, beberapa hal perlu
dilakukan yaitu: (a) mengimplementasikan kebijakan iklim investasi yang
kondusif, (b) memberi insentif agar sektor pertanian berkembang, seperti
penetapan harga, upah, dan pemberian subsidi, serta (c) memanfaatkan peluang
perdagangan internasional.
Pengembangan agrowisata yang memperhatikan kesesuaian tipologi dan
fungsi ekologis lahan akan memberi sinergi terhadap kelestarian sumberdaya
9
lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini secara
tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif petani serta masyarakat
sekitarnya tentang arti penting pelestarian sumberdaya lahan pertanian.
Pengembangan agrowisata selanjutnya akan menciptakan lapangan pekerjaan
karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja terutama dari masyarakat
pedesaan.
Sehubungan dengan peningkatan peran pertanian dalam arti luas tersebut,
perlu komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang mendukung.
Pemerintah perlu memberikan insentif perkembangan sektor pertanian seperti
tingkat bunga yang kondusif, pengenaan pajak yang optimal bagi konsumen
maupun produsen, dan bantuan bunga rendah bagi industri kecil‐menengah.
Perlu kebijakan pemerintah untuk memajukan sektor pertanian, sebagaimana
dilakukan oleh negara‐negara yang sekarang sudah maju.
Untuk mencapai negara maju, sebuah bangsa harus menciptakan
percepatan kualitas intelektual manusianya. Manusia yang lebih cerdas akan
menciptakan ilmu dan teknologi yang lebih maju, sehingga ekonomi pun akan
maju. Oleh karena itu peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia
merupakan agenda pembangunan yang semakin tinggi prioritasnya. Alokasi
anggaran belanja untuk pendidikan perlu ditingkatkan, dan disalurkan dengan
benar.
2.2. Visi dan Misi PSE‐KP 2035
Visi PSE‐KP adalah “menjadi center of excellent dan rujukan utama dalam
menghasilkan informasi dan ilmu pengetahuan sosial ekonomi pertanian, serta
proaktif dalam memberikan alternatif rekomendasi kebijakan pembangunan
pertanian”
10
Visi tersebut dirumuskan berdasarkan kesadaran bahwa PSE‐KP adalah
lembaga pemerintah, sehingga harus berorientasi pada pelayanan masyarakat
melalui partsipasi secara aktif dalam memberikan alternatif rekomendasi
kebijakan pembangunan pertanian.
Untuk mewujudkan visi di atas, misi yang akan dijadikan sebagai arahan
kegiatan PSE‐KP adalah:
1. Melakukan analisis dan pengkajian guna menghasilkan informasi dan ilmu
pengetahuan sosial ekonomi pertanian.
2. Melakukan analisis kebijakan dengan memanfaatkan informasi dan ilmu
pengetahuan hasil penelitian kebijakan menjadi rumusan alternatif
kebijakan pembangunan pertanian.
3. Melakukan advokasi pembangunan pertanian, berupa kampanye publik
untuk memobilisir partisipasi lembaga terkait dan masyarakat luas dalam
mendukung pembangunan pertanian.
4. Mengembangkan kemampuan institusi PSE‐KP sehingga mampu
mewujudkan visi dan misinya secara berkelanjutan.
III. PERSPEKTIF GLOBAL PENELITIAN DAN PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN
3.1. Kontribusi dan Redifinisi Peran Sektor Pertanian
Di negara berkembang (termasuk Indonesia) kontribusi multifungsi sektor
pertanian dalam beberapa dasa warsa mendatang tetap memegang peranan
sentral. Kontribusi multi‐fungsi pertanian mencakup beberapa dimensi penting
(Byerlee and de Janvry, 2008) yaitu: (a) pertanian sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi nasional dan kawasan; (b) pertanian sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan; (c) pertanian sebagai sumber peluang kesempatan berusaha dan
bekerja; (d) pertanian sebagai sumber keragaman hayati dan pelestarian
lingkungan bagi masyarakat secara holistik; dan (e) pertanian sebagai sumber
ketahanan pangan nasional, regional, dan global.
Dalam perspektif jangka panjang, terkait dengan dampak ksisis ekonomi
global (krisis pangan‐energi‐finansial), kontribusi dan peran sektor pertanian
akan semakin memegang peranan strategis. Kehadiran pertanian sebagai sumber
pertumbuhan, kesempatan kerja, pemantapan ketahanan pangan, pengentasan
kemiskinan, dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan akan semakin
penting. Krisis finansial global yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan
keterkaitannya dengan krisis pangan dan energi. Krisis pangan diawali oleh krisis
energi yang memicu kelangkaan pangan dan kenaikan harga pangan. Krisis
finansial yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan ekonomi global telah
memunculkan fenomena baru yaitu krisis harga pangan (Rusastra et al., 2010).
Krisis pangan dan finansial secara simultan berdampak terhadap ketahanan
pangan, ketahanan politik, dan stabilitas ekonomi kawasan dan global (von
Braunn, 2008).
Selama periode 2007‐2008, harga pangan meningkat tajam. Pada kwartal
kedua 2008, harga internasional gandum dan jagung mencapai puncak tertinggi,
yaitu tiga kali lebih dari harga 2003, dan lima kali lebih tinggi untuk beras. Harga
12
ekspor biji‐bijian meningkat 130 % untuk gandum, 98 % untuk beras, dan 38 %
untuk jagung. Kenaikan harga komoditas di pasar global ini merefleksikan derajat
krisis pangan global (Rusastra et al., 2010; ADB, 2008). Krisis finansial berdampak
terhadap ketersediaan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur dan
pengembangan pertanian di negara berkembang dengan konsekuensi penurunan
pendapatan petani dan keberlanjutan usahatani.
Krisis pangan, harga pangan tinggi dengan kecenderungan meningkat,
diprediksi akan menjadi permasalahan jangka panjang ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan regional dan global (von Braunn, 2008; ADB, 2008;
CGIAR, 2008), dengan justifikasi sebagai berikut: (a) pemanfaatan sumberdaya
lahan dan komoditas pangan untuk pengembangan bioenergi; (b) tindakan
spekulatif melalui peningkatan cadangan pangan di luar batas kewajaran; (c)
kelangkaan sumberdaya alam (lahan dan air), perubahan iklim global, dan
peningkatan permintaan pangan karena peningkatan jumlah penduduk dan
pendapatan; dan (d) keterbatasan ketersediaan dana pembangunan untuk
pengembangan infrastruktur dan kapasitas produksi pertanian, khususnya di
negara berkembang. Krisis pangan jangka panjang ini akan berdampak serius
terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk miskin, khususnya di negara
berkembang dengan ketergantungan sektor pertanian dan kebutuhan pangan
tinggi.
Redifinisi peran sektor pertanian dalam konteks ekonomi global tersebut
membutuhkan sedikitnya enam program aksi kebijakan strategis pembangunan
pertanian (Byerlee and de Janvry, 2008), yaitu: (a) inisiasi sumber pertumbuhan
baru sektor pertanian dengan mempertimbangkan dinamika pasar modern dan
teknologi frontir bioteknologi dan teknologi informasi dan komunikasi; (b)
penekanan pada pertumbuhan inklusif dan berkualitas dalam pembangunan
pertanian dengan mempertimbangkan kemanfaatan yang sebesar‐besarnya bagi
pengentasan kemiskinan; (c) penekanan tinggi pada aspek keberlanjutan pada
pembangunan pertanian dan sebagai wahana pelestarian sumberdaya dan
13
lingkungan hidup; (d) eliminasi risiko dalam pengembangan pertanian dan
kerawanan pangan bagi penduduk pedesaan; (e) penciptaan lingkungan politik
yang kondusif dalam reformasi kebijakan dan investasi sektor pertanian yang
lebih baik; dan (f) menggalang kerjasama global dalam mendukung agenda
regional dan global penelitian/pengembangan pertanian untuk pembangunan.
3.2. Konteks Dinamis Pembangunan Pertanian
Sejalan dengan redifinisi peran dan program aksi pembangunan pertanian
kedepan, Wold Bank dalam laporannya “ Agriculture & Rural Development:
Contributing to International Development”, dalam perancangan penelitian dan
pengembangan pertanian untuk pembangunan, sedikitnya ada enam konteks
dinamik lingkungan strategis regional dan global yang perlu dipertimbangkan
(Byerlee dan de Janvry, 2008), yaitu: (a) harapan dan tantangan pengembangan
bahan bakar nabati; (b) mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam
pembangunan pertanian; (c) harmonisasi dan sinergi pembangunan pertanian
dan lingkungan; (d) dimensi dan pengarus‐utamaan gender dalam pembangunan
pertanian; (e) pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan; (f)
perspektif dan implikasi krisis pangan dan finansial global terhadap pertanian
dan kemiskinan.
(1) Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Pengembangan bahan bakar nabati secara normatif berperan positif dalam
penyediaan bahan bakar terbarukan dan memiliki prospek pasar baru bagi
negara produsen potensial. Namun perlu disadari bahwa pengembangannya juga
melekat risiko yang mencakup ketidaklayakan ekonomi dalam
pengembangannya, dan sebagian besar memiliki risiko sosial dan lingkungan
yang cukup tinggi. Beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan
14
dalam pengembangannya di negara berkembang adalah: (a) perlu dilakukan
pengkajian secara holistik terkait dengan peluang dan risiko pengembangannya;
(b) menghindari kebijakan dan program pengembangan dengan menterapkan
sistem insentif yang bersifat distortif; (c) komplementasi sistem regulasi dan
sistem sertifikasi yang dapat mencegah terjadinya dampak negatif terhadap
lingkungan dan ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional; (d) kebijakan
pengembangan bahan bakar nabati ini harus didasarkan pada sistem insentif
yang adil dan transparan antara negara maju dan negara berkembang, melalui
penurunan tarif dan subsidi di negara maju.
(2) Perubahan Iklim dan Pembangunan Pertanian.
Perubahan iklim global, tanpa penanganan yang serius, akan berdampak
semakin besar terhadap kegagalan panen dan kematian ternak dalam
pengembangan peternakan. Dampak negatif yang secara disproporsional lebih
besar akan dirasakan oleh kelompok miskin (negara dan masyarakat), karena
mereka lebih tergantung pada sektor pertanian, kemampuan adaptasi rendah
karena keterbatasan penguasaan sumberdaya; hambatan akses kredit dan
kemampuan akumulasi kapital; serta menghadapi kendala ketersediaan dan
akses sumberdaya air. Dukungan kebijakan strategis yang perlu mendapat
perhatian serius dalam hal ini adalah ketersediaan dan akses informasi publik
terkait dengan peramalan dan informasi perubahan iklim secara cepat dan tepat;
penelitian, konservasi, dan pengembangan tanaman yang mampu beradaptasi
terhadap perubahan iklim; dan R&D terkait dengan teknologi yang mampu
mencegah degradasi sumberdaya lahan. Dalam konteks ini, negara berkembang
perlu mendapatkan dukungan mobilisasi pendanaan, bantuan teknis, dan
menejemen, serta perencanaan strategis dalam mengatasi dampak perubahan
iklim global.
15
(3). Pembangunan Pertanian dan Kelestarian Lingkungan
Pembangunan pertanian dan kelestarian lingkungan merupakan dua aspek
yang tidak dapat dipisahkan. Pertanian memegang peran dominan dalam
pelestarian lingkungan, sementara itu pertanian pengguna utama sumberdaya
alam sehingga secara potensial dapat berisiko terhadap kerusakan lingkungan.
Kerugian ekonomi ini dapat diminimisasi melalui strategi reformasi kebijakan
dan kelembagaan, serta inovasi teknologi pertanian berkelanjutan. Beberapa
dukungan kebijakan terkait dengan pengembangan pertanian berkelanjutan yang
perlu dipertimbangkan adalah : (a) eliminasi kendala dan kebijakan yang bersifat
distortif, dalam pengembangan usahatani berkelanjutan; (b) penterapan regulasi
dan sistem insentif bagi pelaku dan implementasi pertanian berkelanjutan,
seperti insentif investasi, reward finansial, sistem sertifikasi pertanian ramah‐
lingkungan; (c) investasi inovasi teknologi dalam rangka minimisasi trade‐off
antara pertumbuhan ekonomi tinggi dan pengentasan kemiskinan dalam
pembangunan pertanian (seperti teknologi konservasi, tanaman penutup tanah
sumber pupuk organik, pengembangan pestisida nabati, dan lain‐lain); dan (d)
pengembangan kapasitas kelembagaan dan prakarsa program aksi terkait
dengan pengembangan agro‐forestry, pengembangan DAS berbasis partisipasi
masyarakat untuk mencegah degradasi dan erosi lahan, dll.
(4) Pengarus Utamaan Gender.
Dalam perspektif pertumbuhan dan pemerataan pembangunan pertanian
dan pedesaan, aspek pengarus‐utamaan gender memegang peran penting.
Pengabaian dimensi pengarus‐utamaan gender dalam pembangunan pertanian
akan menimbulkan konskwensi yang serius terkait dengan kehilangan produksi
dan pendapatan rumahtangga pertanian, dan tingginya tingkat kemiskinan,
malnutrisi, dan rawan pangan, karena tidak adanya panduan kebijakan yang
berbasis gender. Kendala spesifik gender terkait dengan pembangunan pertanian
16
diantaranya adalah keterbatasan partisipasi dan akses wanita terhadap
sumberdaya produktif, pasar kredit, dan diskriminasi tingkat upah, sehingga
membatasi potensi perannya dalam revitalisasi pertanian sebagai jalan utama
keluar dari kemiskinan. Kebijakan strategis dan program pengarus‐utamaan
gender dalam mendorong optimalisasi dan percepatan pembangunan dan
pertumbuhan pertanian yang perlu dipertimbangkan, diantaranya adalah
kesetaraan gender; akses pasar dan pelayanan publik (teknologi, kredit,
penyuluhan); pendidikan dan pelatihan untuk akses kesempatan kerja bagi
tenaga kerja wanita; eliminasi regulasi diskriminatif yang menghambat peran
wanita; dan promosi peran wanita dalam organisasi publik dan swasta sektor
pertanian.
(5) Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan.
Posisi dan peran pertanian dan pedesaan pada tingkat regional dan global
dalam pengentasan kemiskinan pada dasa warsa mendatang akan tetap
memegang peran strategis. Justifikasi yang mendasari pemikiran ini adalah
sekitar 75% populasi penduduk miskin global tinggal di daerah perdesaan, dan
sebagian besar dari mereka (86%) tergantung pada sektor pertanian.
Pemantapan dan peningkatan pertumbuhan sektor pertanian akan berkontribusi
nyata dalam pengurangan jumlah penduduk miskin. Dinyatakan bahwa
pertumbuhan sektor pertanian dua kali lebih efektif dalam penurunan penduduk
miskin bila dibandingkan dengan pertumbuhan di luar sektor pertanian. Dampak
langsung dan tidak langsung pertumbuhan sektor pertanian memiliki potensi dan
kekuatan yang relatif berimbang, dimana dampak langsung akan meningkatkan
pendapatan usahatani, sementara dampak tidak langsung melalui penciptaan
kesempatan kerja dan penurunan/pemantapan stabilitas harga pangan.
Kebijakan pendukung dalam memantapkan dampak pro‐kelompok miskin
dari pertumbuhan sektor pertanian, adalah: (a) fokus pada peningkatan daya
17
saing dan keberlanjutan usahatani skala rumahtangga (smallholder farming),
melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan, serta pemberdayaan
organisasi petani produsen; (b) pengembangan inovasi teknologi dan
kelembagaan dengan sasaran perbaikan akses terhadap sumberdaya produktif
dan pasar produk, serta peningkatan produktivitas pertanian; pemantapan
pengelolaan sumberdaya alam, pelayanan pengelolaan finansial dan risiko
usahatani skala kecil; (c) pemantapan transparansi dan keadilan terkait dengan
pasar tenaga kerja, serta pemasaran dan perdagangan produk pertanian.
(6) Krisis Pangan dan Finansial global
Dalam konteks krisis ekonomi global dan kaitannya dengan pertanian dan
kemiskinan, menarik untuk diungkap respon kebijakan global terhadap
ketahanan pangan dan kemiskinan. Krisis ekonomi global berdampak terhadap
ketahanan pangan, khususnya ketersediaan dan akses pangan penduduk miskin,
sehingga akan memperluas dan memperparah tingkat kemiskinan (Rusastra et
al., 2008). Strategi peningkatan produksi pangan di negara berkembang perlu
mempertimbangkan eksistensi dan peran rumahtangga petani skala kecil, yang
populasinya tidak kurang dari 500 juta rumahtangga , atau sekitar 1,5 miliar
penduduk tergantung pada usahatani marginal (Hazell et al., 2007).
Dalam perspektif pertumbuhan dan pemerataan, kebijakan strategis
pengembangan petani skala kecil mencakup tiga aspek penting (Hazell et al.,
2007), yaitu: (a) pemantapan stabilitas makroekonomi dan anggaran
pembangunan pertanian dan infrastruktur pedesaan; (b) mendorong
pengembangan usahatani berbasis pasar dan perbaikan sistem pemasaran
produk pertanian untuk mencapai pangsa pasar yang lebih tinggi; dan (c)
pengembangan inovasi kelembagaan untuk menjamin ketersediaan dan akses
input serta pelayanan usahatani bagi kepentingan petani skala kecil. Disamping
itu, pengembangan bioenergi harus mampu menghindari kompetisi pemanfaatan
18
lahan dan air untuk pangan, dan dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat
miskin (PECC, 2006).
Sebagai konskuensi krisis ekonomi global, sedikitnya terdapat tujuh
kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan, terkait dengan pembangunan
ketahanan pangan dan sektor pertanian sebagai andalan kesempatan kerja dan
sumber pendapatan bagi kelompok miskin (Nellemen et al., 2009). Dalam jangka
pendek, terdapat dua opsi kebijakan penanggulangan kemiskinan, yaitu: (a)
regulasi harga pangan dan implementasi jaring pengaman sosial bagi kelompok
miskin; dan (b) pengembangan bioenergi berkelanjutan, tanpa berkompetisi
dalam pemanfaatan lahan dan air.
Tiga opsi kebijakan jangka menengah yang patut dipertimbangkan adalah:
(a) realokasi pemanfaatan biji‐bijian untuk pakan melalui pengembangan
teknologi pakan alternatif; (b) pengembangan pola usahatani berkelanjutan
melalui dukungan keuangan mikro; dan (c) peningkatan perdagangan komoditas
dan akses pasar domestik dan global bagi petani kecil di negara berkembang.
Terakhir, terdapat dua opsi kebijakan jangja panjang, yaitu: (a) pengendalian
dampak pemanasan global melalui upaya adaptasi dan mitigasi; dan (b)
meningkatkan kesadaran tentang dampak peningkatanjumlah penduduk dan
pola konsumsi terhadap lingkungan dan ekosistem pertanian. Ketujuh pilihan
kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara inklusif, terintegrasi, dan
terkoordinasi.
3.3. Agenda Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dalam perspektif jangka panjang, sedikitnya terdapat lima agenda
antisipatif penelitian dan pengembangan pertanian (Byerlee and de Janvry, 2008;
Timmer, 2006), yaitu: (a) transparansi dan keadilan perdagangan global; (b)
peran iptek dalam pemenuhan kebutuhan pangan global; (c) reformasi kebijakan
harga, subsidi, dan investasi sektor pertanian; (d) transformasi struktural
19
pembangunan pertanian dan pedesaan; dan (e) harmonisasi pengembangan
ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
(1). Transparansi dan Keadilan Perdaganan Global.
Transparansi dan keadilan dalam perdagangan global akan berkontribusi
positip dalam mendorong peningkatan produksi pertanian (agricultural
production gain) antar komoditas dan antar negara. Regulasi perdagangan dalam
kerangka perundingan Doha sepatutnya memberikan penekanan yang serius
terhadap penghapusan kebijakan yang bersifat distortif dan merugikan
perkembangan pertanian di negara berkembang. Komplementasi regulasi dan
kebijakan sangat dibutuhkan bagi negara berkembang agar komoditas pertanian
yang memiliki keunggulan komparatif dapat memetik manfaat ekonomi
(keunggulan kompetitif) dari adanya keterbukaan perdagangan di tingkat global
ini (Byerlee and de Janvry, 2008). Ketidakadilan perdagangan global ditunjukan
oleh tingginya dukungan finansial petani (Produser Support Estimate/PSE) di
negara maju yang tergabung dalam OECD. Pendapatan petani beras, gula, dan
daging sapi di negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai
78%, 51%, dan 33% ( Sawit, 2007). Petani jagung dan kedele mendapat dukungan
finansial dari pemerintah masing‐masing sebesar 24%. Secara ekstrim dapat
dinyatakan bahwa hanya 22% pendapatan petani beras dan 49% pendapatan
petani gula di negara maju yang bersumber dari usahatani petani, selebihnya
adalah subsidi negara.
Antisipasi perdagangan produk pertanian negara berkembang kedepan
perlu mempertimbangkan (Sawit, 2008), beberapa aspek yaitu: (a) tetap gigih
memperjuangkan penghapusan berbagai bentuk subsidi di negara maju, untuk
peningkatan daya saing di pasar domestik dan global; (b) produk pertanian
negara berkembang patut memperoleh perlindungan sementara (SSM), sehingga
dapat terlindung dari serbuan impor dan kejatuhan harga; (c) merumuskan
20
rancangan insentif dan perlindungan bagi pengembangan agoindustri yang
mampu memenuhi standar internasional, kualitas, dan keamanan pangan; (d)
pasar domestik produk pertanian dan pangan perlu dilindungi dengan regulasi
terkait dengan regulasi retail modern, pengembangan pasar tradisional, dan
pengembangan pasar induk; dan (e) fasilitasi dan pemberdayaan petani agar
mampu akses ke pasar modern, sehingga dapat menikmati manfaat ekonomi
dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di negara berkembang.
Dalam konteks liberalisasi perdagangan perlu diungkap dampak dan
antisipasi kebijakan penanaggulangannya di negara berkembang. Dampak
liberalisasi perdagangan ekonomi terhadap kinerja sektor pertanian dan ekonomi
pedesaan, khususnya bagi negara berkembang (Wilson Center, 2006),
diantaranya adalah: (a) petani kecil di daerah terpencil dengan kondisi
infrastruktur marginal dan efisiensi pemasaran rendah akan menerima dampak
negatif liberalisasi; dan (b) pelaksanaan liberalisasi akan berdampak buruk
terhadap tenaga kerja tidak terdidik yang bekerja pada usahatani padat tenaga
kerja dengan orientasi ekspor, tetapi memiliki tingkat keunggulan komparatif
yang rendah. Dinyatakan bahwa beberapa kebijakan antisipatif yang perlu di
pertimbangkan dalam mengatsi dampak negatif liberalisasi terhadap kemiskinan
dan perekonomian pedesaan adalah: (a) minimisasi dampak transisi kehilangan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin, melalui instrumen
perbaikan pendidikan, investasi infrastruktur, fasilitasi penelitian dan penyuluhan
pertanian, dan pengembangan JPS yang efektif; dan (b) keberpihakan kebijakan
pembangunan pertanian dan perdagangan bagi kelompok miskin di negara
berkembang melalui investasi R&D dalam peningkatan produktivitas dan daya
saing, kerjasama perdagangan selatan‐selatan, perdagangan berbasis regulasi
yang adil dan transparan, dan pengembangan SDM yang handal untuk perolehan
dampak positif yang maksimal.
21
(2). Peran Iptek dan Kebutuhan Pangan Global.
Dalam dasa warsa mendatang, kelangkaan sumberdaya lahan dan air di
tingkat regional dan global akan semakin menjadi kenyataan. Konskwensinya
adalah tumpuan pemenuhan kebutuhan pangan kedepan akan sangat
ditentukan oleh kemampuan dalam peningkatan produktivitas pertanian melalui
penciptaan dan aplikasi teknologi. Dalam rangka pembangunan sektor
pertanian terkait dengan akselerasi tingkat pertumbuhan pertanian dan
pengentasan kemiskinan di negara berkembang, dibutuhkan prioritas pemacuan
investasi penelitian dan pengembangan pertanian.
Terkait dengan percepatan investasi R&D kedepan, beberapa pemikiran
yang perlu dipertimbangkan (Byerlee and de Janvry, 2008), adalah : (a)
pengembangan teknologi pertanian berkelanjutan dalam mendorong
peningkatan dan stabilitas hasil/produktivitas usahatani; (b) penciptaan varietas
dengan tingkat hasil yang lebih tinggi dan resisten terhadap hama/penyakit,
perlu dikomplemen dengan atribut yang responsif terhadap perubahan iklim
seperti mampu beradaptasi terhadap kekeringan, panas, kebanjiran, dan
salinitas; (c) pengembangan teknologi dengan penekanan yang lebih tinggi
terhadap keberlanjutan sistem produksi, seperti teknologi tanpa‐olah
tanah/zero‐tillage, pemanfaatan tanaman/leguminosa fiksasi nitrogen, dan
teknologi PHT; (d) kemitraan pemerintah‐swasta dalam investasi, penciptaan,
dan pengembangan teknologi, mengingat dominasi peran pemerintah/investasi
publik dalam R&D selama ini; (e) pengembangan kelembagaan dan kemitraan
antara lembaga riset dan penyuluhan dalam rangka peningkatan relevansi dan
efektivitas penciptaan dan pemanfaatan hasil penelitian; dan (f) peningkatan
proporsi alokasi dana riset di negara berkembang atas prakarsa sendiri dan
dikomplemen dengan kontinuitas dukungan teknis, manajemen, dan pendanaan
dari lembaga internasional dan negara maju.
22
(3). Kebijakan Subsidi dan Investasi Pertanian
Kebijakan harga, subsidi, dan investasi sektor pertanian memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya dalam mendorong peningkatan produksi dan
tingkat kesejahteraan petani (Byerlee dan de Janvry, 2008). Penetapan pajak
langsung dan tidak langsung (devaluasi mata‐uang) berdampak buruk terhadap
pertumbuhan sektor pertanian (akhirnya terhadap pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan), khususnya di negara miskin dengan penetapan pajak tinggi pada
sektor pertanian. Sejak dasa warsa 1980‐an, telah banyak kemajuan yang dicapai
terkait dengan reorientasi kebijakan harga yang kurang kondusif bagi
pembangunan pertanian. Reorientasi kebijakan makroekonomi yang dinilai
cukup signifikan adalah koreksi kebijakan devaluasi mata uang yang tidak
kondusif dalam mendorong ekspor komoditas pertanian dan impor barang
modal, bahan baku, dan penolong dalam pengembangan pertanian dan industri
di negara berkembang.
Kedepan masih dibutuhkan reformasi kebijakan lebih lanjut dan
komplementasi program pendukungnya untuk memacu pertumbuhan sektor
pertanian dan pengentasan kemiskinan di pedesaan. Komplemetasi program
transisional dalam derajat tertentu tetap dibutuhkan, seperti insentif
pengembangan komoditas prioritas atau trnsfer pendapatan/jaring pengaman
sosial bagi petani skala kecil. Disamping itu, kebijakan subsidi yang efektif dan
efisien perlu terus diinisiasi (misalnya: market smart subsidies) yang mampu
membangun fondasi bagi teciptanya pasar saprodi terlanjutkan berbasis pasar
(sustainable private sector‐led input market). Syarat kecukupan agar kebijakan
harga dan subsidi dapat memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan bagi
petani adalah investasi infrastruktur pertanian dan pedesaan. Investasi
infrastruktur publik yang sangat mendesak bagi sebagian besar negara
berkembang dalam mendorong percepatan pertumbuhan dan respon yang lebih
baik bagi kebijakan sistem insentif adalah perbaikan infrastruktur pemasaran,
R&D, kelembagaan pertanian, dan pelayanan pendukung lainnya.
23
(4). Transformasi Struktural Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dalam perspektif pengentasan kemiskinan, pertumbuhan inklusif perlu
dikomplemen dengan identifikasi dan implementasi transformasi struktur
ekonomi pertanian dan pedesaan (Rusastra, 2008). Pengentasan kemiskinan
membutuhkan upaya komprehensif dan perlu dilakukan secara simultan dengan
tetap mempertahankan pertumbuhan sektoral (khususnya sektor pertanian) dan
perluasan pembangunan sosial ekonomi. Prinsip dasar dalam pencapaian
transformasi struktural perekonomian adalah pemanfaatan teknologi
terbarukan, investasi pendidikan untuk perbaikan kualitas tenaga kerja,
penurunan biaya transaksi utuk penyatuan dan integrasi aktivitas ekonomi, dan
peningkatan alokasi sumberdaya (Timmer, 2006). Sasaran akhir dari transformasi
struktural ini adalah konvergensi produktivitas tenaga kerja dan kapital antara
sektor pertanian (pedesaan) dan non‐pertanian (perkotaan), melalui perbaikan
integrasi ekonomi desa‐kota.
Kedepan, beberapa pemikiran yang perlu mendapat tindak lanjut terkait
dengan transformasi struktural ekonomi pertanian dan pedesaan (Timmer, 2006;
Henderson, 2008) adalah: (a) menjaga keseimbangan investasi dan
pembangunan desa‐kota, dengan prioritas pada pembangunan pertanian dan
pedesaan; (b) integrasi desa‐kota melalui strategi pembangunan dan
pertumbuhan ekonom pertanian dan pedesaan pro‐kelompok miskin; (c)
penguatan kapasitas dan akses ekonomi penduduk miskin melalui investasi
pedesaan dan migrasi tenaga kerja; dan (d) mempersempit disparitas
produktivitas sektor pertanian dan non‐pertanian.
(5). Harmonisasi Pendekatan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Pengentasan kemiskinan tidak dapat dipisahkan dengan pemantapan
ketahanan pangan pada tingkat global,regional, nasional, wilayah, dan rumah
tangga. Bagi negara berkembang dalam perumusan kebijakan ketahanan pangan
24
perlu mempertimbangkan beberapa prinsip dasar terkait dengan kedaulatan
pangan (Syahyuti, 2011). Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara
resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dan
pembangunan pertanian. Disisi lain kedaulatan pangan memiliki dimensi
humanis dan ekologis yang perlu diakomodasi dalam penyempurnaan
pendekatan dan implementasi kebijakan dan program ketahanan pangan.
Konsep dan strategi ketahanan pangan telah diimplementasikan lebih dari empat
dasa warsa terakhir, namun sasaran yang diharapkan belum dapat dicapai dan
bahkan dikhawatirkan semakin jauh dari harapan. Fakta empirik dan kerisauan
ini memunculkan harapan akan sinergi dan integrasi pendekatan kedaulatan
pangan di masa yang akan datang.
Pendekatan kedaulatan pangan, sebagai sebuah konsep, pada dasarnya
sejajar dengan konsep ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya
adalah elemen didalamnya (Tramel, 2009 dalam Syahyuti, 2011), sbb: (a)
kedaulatan pangan menekankan pada model produksi pertanian agro‐ekologis vs
pertanian industrial pada konsep ketahanan pangan; (b) model perdagangan
pertanian yang proteksionis dan mendorong pengembangan pasar lokal vs
liberalisasi perdagangan; (c) pedekatan terhadap sumberdaya genetik pertanian
yang bersifat komunal dan cenderung anti‐paten vs Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights (TRIPS); (d) penekanan pada wacana lingkungan green
rationalism vs economic rationalism; dan (e) wadah organisasi kedaulatan
pangan adalah ‘Via Campesina’ vs ‘WTO’ untuk ketahanan pangan. Fakta empirik
menunjukkan bahwa hanya sedikit negara dengan ekonomi yang sangat kuat dan
jumlah penduduk relatif kecil yang mampu mencapai ketahanan pangan dengan
memetik manfaat dari liberalisasi perdagangan dunia. Tantangan kedepan adalah
menciptakan pendekatan dan merumuskan kebijakan dan progran operasional
yang mampu mengintegrasikan dan mensinergikan prinsip‐prinsip kedaulatan
pangan kedalam pendekatan ketahanan pangan.
IV. PERSPEKTIF LINGKUNGAN STRATEGIS NASIONAL, 2013‐2035
4.1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku Industri Pangan
Berdasarkan revisi terakhir tentang prospek populasi menunjukkan bahwa
populasi dunia diproyeksikan tumbuh sekitar 34 persendari 6.8 milliar saat ini
menjadi 9.1 miliar pada 2050. Peningkatan populasi dominan terjadi di negara
berkembang. Urbanisasi akan terus meningkat dengan laju yang semakin tinggi,
dan sekitar 70 persen dari populasi dunia akan berada di urban area
(dibandingkan dengan 49 persen pada saat ini). Tingkat pendapatan akan
menjadi beberapa kali lipat dari sekarang. Agar mendapat pangan yang
mencukupi, lebih banyak populasi di urban dan lebih kaya, produksi pangan
(termasuk untuk bahan baku biofuel) harus meningkat sekitar 70 persen.
Produksi sereal harus meningkat sekitar 3 miliar ton dari 2.1 miliar saat ini dan
produksi daging per tahun harus meningkat sebesar 200 juta ton agar mencapai
470 juta ton (FAO, 2009).
Perubahan iklim dan peningkatan produksi biofuel merepresentasikan
resiko utama ketahanan pangan pada jangka panjang. Pertanian harus
beradaptasi terhadap perubahan iklim, tetapi pertanian dapat juga digunakan
untuk mengurangi dampak perubahan iklim, dan terdapat sinergi yang sangat
berguna antara adaptasi dan mitigasi. Produksi biofuel berbahan baku komoditas
pertanian meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 2000 sampai 2008 (FAO, 2009).
Selama periode 2007‐08 total penggunaan biji‐bijian untuk produksi ethanol
mencapai 110 juta ton, atau sekitar 10 persen dari produksi global. Peningkatan
penggunaan tanaman pangan untuk produksi biofuel akan mempunyai implikasi
yang serius untuk ketahanan pangan. Oleh karena itu, kebijakan yang
mempromosikan penggunaan biofuel berbahan baku pangan perlu dikaji ulang
dengan tujuan untuk mengurangi kompetisi antara pangan dan fuel untuk
sumberdaya yang langka.
26
Pada sisi permintaan telah terjadi perubahan struktur permintaan. Hal ini
dapat diterima bahwa perkembangan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan di
negara‐negara berkembang secara gradual merubah struktur permintaan
komoditas pangan (khususnya di China and India). Diversifikasi menu pangan
cenderung berubah dari pangan karbohidrat kearah daging dan produk susu,
sehingga menyebabkan meningkatnya permintaan untuk bahan pakan dan
memperkuat keterkaitan antara komoditas pangan. Diperlukan tujuh sampai
delapan kilogram biji‐bijian untuk memproduksi satu kilogram daging sapi. Tidak
hanya perubahan struktur permintaan tetapi juga peningkatan populasi dari
waktu ke waktu dan proses urbanisasi berperan penting dalam mengintensifkan
permintaan untuk pangan pada jangka panjang.
Munculnya pasar biofuel merupakan sumber utama permintaan terhadap
beberapa komoditas pertanian seperti gula, jagung, ubi kayu, oilseeds dan kelapa
sawit. Komoditas ini, yang sebelumnya digunakan secara dominan untuk pangan,
sekarang mulai digunakan untuk memproduksi biofuel. Peningkatan harga
minyak crude yang signifikan menjadikan komoditas pangan sebagai substitusi
yang layak di negara‐negara yang mempunyai kapasitas untuk menggunakan
komoditas tersebut. Kemungkinan ini mengarahkan pelaksanaan kebijakan
publik untuk mendukung sektor biofuel, yang semakin mendorong permintaan
terhadap komoditas pangan tersebut.
Dengan semakin ketatnya kondisi pasar‐pasar komoditas pertanian, dan
rendahnya jumlah stock, kemungkinan harga akan semakin meningkat dan
volatilitas harga akan berlanjut sampai beberapa tahun mendatang. Karena awal
peningkatan permintaan dipicu oleh meningkatnya minyak crude, permintaan di
masa yang akan datang akan tergantung pada perkembangan pasar enerji. Hal ini
juga tergantung pada laju pertumbuhan harga minyak crude oil dan bahan
pakan. Sekitar 70‐80 persen biaya produksi biofuel adalah biaya untuk bahan
pakan.
27
Beberapa studi telah memproyeksikan permintaan dan penawaran pangan.
Kesimpulan umum dari studi‐studi ini adalah kemungkinan terjadinya penurunan
permintaan pangan dengan laju pertumbuhan yang menurun. Hal ini terutama
disebabkan oleh laju pertumbuhan populasi yang rendah dan terjadinya
kejenuhan di pasar‐pasar emerging.Rosegrant et al. (2001) menggunakan model
IFPRI–IMPACT untuk menganalisis permintaan komoditas pertanian pada 2020.
Studi ini menyimpulkan bahwa perubahan penting yang mempengaruhi
permintaan pangan terkait dengan urbanisasi, meningkatnya pendapatan dan
menurunnya laju pertumbuhan populasi, khususnya di Asia. Laju pertumbuhan
permintaan terhadap biji‐bijian akan menurun dari waktu ke waktu. Sebaliknya,
permintaan terhadap daging akan meningkat di negara‐negara berkembang,
sedangkan permintaan di negara maju relatif konstan, meningkatnya tekanan
permintaan terhadap biji‐bijian untuk pakan. Secara umum, laju pertumbuhan
permintaan di negara berkembang akan lebih tinggi, meningkatkan pentingnya
negara‐negara tersebut di pasar pangan global.
Proyeksi jangka panjang yang dilakukan oleh FAO (2006), dan direvisi oleh
Alexandratos (2009) menunjukkan masih terdapat peluang untuk pertumbuhan
permintaan di masa yang akan datang, walaupun diperkirakan tidak akan terjadi
pertumbuhan populasi pada tingkat global. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa
proyeksi pertumbuhan populasi akan terjadi di negara‐negara dengan tingkat
konsumsi yang sangat rendah. Walaupun diharapkan pertumbuhan permintaan
yang positif, laju pertumbuhan akan cenderung menurun di masa yang akan
datang karena laju pertumbuhan populasi yang semakin rendah dan tingkat
konsumsi per capita yang rendah di beberapa negara emerging, yang
sebelumnya mempunyai tingkat permintaan yang tinggi terhadap pangan. Laju
pertumbuhan konsumsi manusia dikompensasi oleh penambahan permintaan
untuk biofuel. Selanjutnya, laju pertumbuhan konsumsi daging juga
diproyeksikan akan menurun, sedangkan produk susu akan meningkat dari waktu
ke waktu, terutama di negara berkembang. Oleh karena itu, kesimpulan dari hasil
28
proyeksi FAO adalah penurunan laju pertumbuhan permintaan pangan,
khususnya pada jangka panjang.
4.2. Kelangkaan dan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air
Luas daratan Indonesia diperkirakan sekitar 192 juta hektar, yang terbagi
atas kawasan budidaya seluas 123 juta hektar (64,6%) dan kawasan lindung 67
juta hektar (35,4%). Dari kawasan yang layak untuk budidaya tersebut sekitar
101 juta hektar potensial untuk kegiatan pertanian, dan saat ini telah
dimanfaatkan sekitar 47 juta hektar. Dari sekitar 54 juta hektar yang potensial
atau belum dimanfaatkan sekitar 36 juta hektar berupa lahankering, 15 juta
sesuai untuk sawah dan 5 juta lagi berupa sabana yang cocok untuk peternakan.
Salah satu persoalan pokok Indonesia terkait dengan distribusi lahan
adalah timpangnya distribusi penduduk antar wilayah, sehingga belum semua
lahan yang potensial untuk dimanfaatkan dapat digarap dengan baik. Di Jawa
dengan kepadatan penduduk 1.059 perkilometer persegi menghadapi tekanan
terhadap lahan pertanian yang sangat kuat, karena desakan perkembangan
sektor lainnya. Sementara itu Papua dengan kepadatan penduduk yang hanya 7
perkilometer persegi masih sangat terbuka untuk dimanfaatkan. Jawa yang luas
arealnya hanya sekitar 7 persen dari luas wilayah Indonesia, merupakan areal
pertanian subur yang menyumbang hampir 60 persen kebutuhan pangan
Indonesia dan juga didiami oleh hampir 60% penduduk Indonesia.
Kepadatan yang tinggi di Jawa menyebabkan penguasaan lahan per petani
atau orang yang bekerja di pertanian sangat rendah.Rataan lahan pertanian
perorang yang bekerja di pertanian di Jawa hanya sekitar 0,40 hektar, jauh lebih
endah dibandingkan Kalimantan yang mendekati 5 hektar per orang yang bekerja
di pertanian. Keadaan ini juga menyebabkan rata‐rata penguasaan lahan per
petani sangat timpang antara Jawa dan luar Jawa.
29
Menghadapi berbagai masalah ketimpangan ini, pemerintah sejak awal
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, telah mencanangkan Revitalisasi
Pertanian, yang menargetkan peningkatan areal pertanian dengan target yang
telah terukur untuk semua sektor. Sebagai contoh lahan sawah yang saat ini
masih sekitar 7‐8 juta hektar ditargetkan menjadi 15 juta hektar. Sayanganya
upaya ini tidak ada realisasinya, karena lemahnya perencanaan dan tidak ada
tindak lanjut operasionalnya.
Terkait dengan pemeliharaan lahan pertanian, termasuk sumberdaya air,
berbagai persoalan justru mengancam keberadaan lahan ini, sehingga sangat
menghambat upaya percepatan pembangunan pertanian di Indonesia.
Pengembangan tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya baik, dalam banyak
kasus telah menyulitkan pengembangan sektor pertanian. Di wilayah pantai
utara Jawa misalnya, pengembangan kawasan industri dan perumahan yang
kurang terencana telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah ke
penggunaan lainnya. Persoalan ini dipicu karena terjadinya kerusakan pada
berbagai sarana pendukung pengembangan areal persawahan seperti irigasi,
sehingga petani sulit melanjutkan kegiatan budidaya.Secara rasional petani yang
arealnya telah dikepung oleh pengembangan perumahan dan industry, sulit
mempertahankan areal sawahnya karena kuatnya desakan dari sektor lainnya.
Secara teoritis hal ini dapat dilihat dari perhitungan surplus ekonomi
tanah (land rent) dalam proses alokasi lahan pada satu hamparan. Pada banyak
kasus mekanisme penataan pemilikan/penguasaan lahan pada suatu hamparan
diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Bila hal ini yang terjadi maka ada
dua mekanisme yang makin mendorong kelangkaan lahan, pertama terjadinya
ketimpangan penguasaan lahan dimasyarakat, dimana petani kaya dengan
berbagai kemudahan yang dimilikinya akan mengakumulasi lahan melalui
berbagai mekanisme dari petani berlahan sempit yang ada di sekitarnya. Kasus
tiga desa di Jawa menunjukkan 64‐76 persen petani tidak memiliki lahan,
30
sementara 1‐3% rumah tangga menguasai 36‐54% lahan (Tjondronegoro dan
Wiradi, 2008).
Kedua terhadap alokasi lahan antar sektor, hasil analisis ekonomi sewa
lahan (land rent economics) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan
lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan
dan industri adalah satu berbanding 622 dan 500 (Nasution dan Winoto, 1996).
Sehingga tanpa campur tangan pemerintah, alokasi lahan untuk kegiatan
pertanian akan semakin berkurang karena proses alih fungsi lahan ke
penggunaan yang memiliki ekonomi sewa lahan yang tinggi.
Melalui kedua mekanisme di atas akan menyebabkan lahan pertanian di
pedesaan semakin langka, lahan yang diakumulasi oleh petani kaya biasanya
tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Aspek spekulasi
menyebabkan mereka mengakumulasi lahan sebagai salah satu upaya dalam
mendapatkan nilai tambah dari kekayaannya, melalui peningkatan harga jual
lahan yang terus meningkat. Sementara itu desakan sektor lainnya menyebabkan
alokasi lahan untuk pertanian semakin terbatas. Selain itu kedua hal di atas juga
akan merusak tatanan pengelolaan air yang ada di sawah yang ada disekitarnya,
dan pada ujungnya menyebabkan petani yang bertahan dengan sawahnya
kesulitan dalam mendapatkan air. Pola‐pola semacam ini dominan pada lahan
pertanian di Jawa, sehingga laju alih fungsi lahan pertanian di Jawa berkisar pada
angka 100.000 hektar per‐tahun.
Untuk kasus di luar Jawa persaingan pemanfaatan lahan terjadi antar
komoditi. Baiknya harga satu komoditi akan berpengaruh terhadap alokasi lahan
antar komoditi. Saat ini isu alih fungsi lahan dari areal sawah untuk perkebunan
sawit banyak ditemui di Sumatera dan Kalimantan. Satu kasus menarik di satu
desa di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, pemerintah desa terpaksa
mengeluarkan peraturan desa yang disepakati para pemangku kepentingan di
desa, untuk melarang alih fungsi lahan sawah untuk perkebunan sawit. Upaya ini
31
terpaksa dilakukan mengingat tingginya kecenderungan alih fungsi lahan sawah
ke perkebunan sawit.
Menghadapi fenomena ini pemerintah telah menetapkan Undang‐undang
nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, yang pada intinya ingin melindungi suatu kawasan pertanian
tanaman pangan dari proses alih fungsi lahan. Sayangnya undang‐undang ini
belum sepenuhnya dapat diterapkan dilapangan karena masih terbatasnya
ketersediaan peraturan penunjang di tingkat operasional.
Terkait dengan sumberdaya air, persaingan pemanfaatannya semakin
ketat, terlebih dengan dikeluarkannya undang‐undang nomor 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, yang memberi peluang untuk pemanfaatan air bagi
tujuan komersial. Kondisi ini jelas akan menyulitkan sektor pertanian, yang untuk
berbagai tahapan kegiatannya membutuhkan keberadaan sumberadaya air yang
banyak.
Kerusakan berbagai sumberdaya air karena eksploitasi sumber mata air
dan wilayah tangkapan hujan makin menyulitkan petani untuk mendapatkan air.
Bila tidak ada upaya perlindungan khusus, maka ke depan kegiatan pertanian
dalam genangan seperti usahatani padi sawah akan semakin terancam
keberadaannya.
4.3. Manajemen Pembangunan: Lintas Sektor, Pusat Daerah, dan Partisipasi
Masyarakat
Pembangunan pertanian tidak terlepas dari pengembangan kawasan
pedesaan yang menempatkan pertanian sebagai penggerak utama
perekonomian. Lahan, potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi lokal pedesaan
menjadi faktor utama pengembangan pertanian. Saat ini pembangunan
pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan integrasi dengan
32
kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang tidak saja berada di
pedesaan, namun juga di kota. Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan
usaha pertanian difokuskan pada produk‐produk olahan hasil pertanian yang
memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional, seperti pengembangan
industri pertanian.
Dalam industri pertanian terdapat sejumlah keunggulan. Pertama, dari sisi
tenaga kerja, kegiatan pertanian merupakan penyerap tenaga kerja yang
terbesar dan merupakan sumber pendapatan mayoritas penduduk (terutama di
pedesaan). Kedua, dari tanaman pangan, pertanian merupakan penghasil
makanan pokok penduduk. Peran ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna
oleh sektor ekonomi lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan.
Ketiga, komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga, yang menjadi
indikator kesejahteraan masyarakat. Harga produk‐produk pertanian memiliki
bobot yang besar dalam indeks harga konsumen sehingga dinamikanya sangat
berpengaruh terhadap inflasi. Keempat, dari sisi perdagangan, akselerasi
pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong ekspor dan
mengurangi impor. Kelima, dari sisi industri, komoditas pertanian merupakan
bahan industri manufaktur pertanian. Keenam, dari sisi pembangunan daerah,
pada tataran pelaksanaan pertanian memiliki keterkaitan antara regional dan
sektoral yang sangat tinggi. Ketujuh, industri pertanian merupakan kegiatan yang
paling banyak mengikut‐sertakan kelompok masyarakat yang tidak mampu dan
berada dalam kawasan yang belum maju atau kawasan tertinggal. Kedelapan,
dari sisi investasi, industri pertanian merupakan kegiatan yang paling banyak
menarik dan menghimpun kegiatan investasi.
Industri pertanian mengandung makna tidak hanya kegiatan produksi
pertanian tetapi juga meliputi kegiatan manufaktur serta distribusi input
pertanian, pengolahan, serta pemasaran hasil pertanian. Kegiatan produksi tidak
hanya menyangkut tanaman pangan, tetapi juga hortikultura, peternakan, dan
perkebunan. Dengan demikian industri pertanian mengandung makna
33
keterpaduan, setidaknya keterpaduan komoditas atau output pertanian. Untuk
itu perlu partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini pelaku usaha berskala besar
untuk mewujudkan pembangunan industri pertanian yang mantap seiring
dengan peningkatan partisipasi pelaku usaha berskala kecil dan menengah.
Selain itu diperlukan komitmen di antara lintas sektor untuk mensinergikan
pemanfaatan anggaran pembangunan dalam implementasi pembangunan
industri pertanian. Terutama di sektor yang berperan seperti pertanian, tenaga
kerja, perdagangan, perindustrian, pengembangan usaha nasional, keuangan,
koperasi, infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (terkait dengan masalah koordinasi
perencanaan kebijakan).Penyelenggaraan pembangunan melalui jalur
pembangunan sektoral nasional adalah pemerintah pusat yang menjalankan
fungsi sebagai fasilitator bagi pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat di daerah,
termasuk dunia usaha di daerah. Pemerintah daerah merupakan kunci sukses
pembangunan nasional, yang dipahami sebagai pembangunan sektor‐sektor di
daerah.
Sebelum era otonomi daerah manajemen pembangunan pertanian
merupakan implementasi paradigma sentralisasi pembangunan nasional yang
diwujudkan dalam bentuk kebijakan pembangunan pertanian oleh lembaga
eksekutif dan lembaga‐lembaga teknis, di tingkat pusat dan daerah yang
merupakan pelaksana kebijakan pusat. Dalam era otonomi daerah dan dengan
kekuatan wewenang daerah, sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dalam
konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan.
Pola pikir dan manajemen berorientasi pusat bergeser menjadi pola pikir dan
manajemen pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara
teknis dan ekonomi, maupun secara sosio‐kultural, sehingga proses dan
manajemen pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen
pembangunan, termasuk masyarakat adat. Pergeseran paradigma ini juga
34
membawa perubahan terhadap pola dan strategi operasional kelembagaan
pertanian yang berada di daerah. Keragaman potensi daerah dan gaya
manajemen pembangunan wilayah serta teknik penyusunan prioritas
pembangunan sektoral harus dipahami oleh lembaga pembangunan pertanian.
Hal ini merupakan implikasi tantangan besar yang harus segera dijawab secara
lugas oleh lembaga‐lembaga pendukung pembangunan pertanian di daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang‐Undang (UU)
Republik Indonesia (RI) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang
kemudian direvisi menjadi UU RI No. 32 Tahun 2004, secara substantif
memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan telah
dilakukan yakni pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang‐
undangan, sedangkan pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pengaturan ini diperlukan agar terwujud koordinasi,
harmonisasi, keselarasan antar kegiatan pembangunan; baik pembangunan
nasional, daerah maupun antar daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling
terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu kesatuan dalam sistem
pemerintahan.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya memberikan kewenangan relatif
terbatas pada pemerintah pusat, yaitu, mencakup 6 (enam) hal: politik luar
negeri, moneter‐fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi, dan keagamaan.
35
Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah diposisikan sebagai urusan
pilihan. Oleh sebab itu, kemajuan pertanian di daerah mengandalkan prioritas
kebijakan pembangunan dan kreativitas masyarakat di setiap daerah/wilayah.
Perumusan kebijakan yang semula banyak menggunakan pendekatan pola top
down dan sentralistik, mengarah pada pola bottom up dan desentralistik.
Peranan pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, berubah menjadi
fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian.
Penerapan sistem otonomi daerah memiliki beberapa kelemahan dan
kelebihan. Kelemahannya terletak pada potensi konflik yang besar berada pada
sebagian besar daerah saat ini. Hubungan sosial antar petani tidak harmonis,
kesenjangan sosial, dan kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap
konflik merupakan faktor‐faktor yang sangat potensial bagi munculnya konflik di
daerah. Seperti masalah jaringan irigasi desa (jides) tampak banyak yang
terbengkalai. Jaringan tersebut pada era otonomi daerah telah diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten. Pemerintah daerah yang kurang
perhatian terhadap kelembagaan petani pengguna air serta pemeliharaan
jaringan irigasi telah menimbulkan berbagai konflik antar petani dalam
memanfaatkan air irigasi. Salah satu ukuran penting keberhasilan kebijakan
otonomi daerah adalah pencapaian penyelenggaraan pemerintahan yang
bersifat kontekstual. Artinya, kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah,
baik provinsi maupun kabupaten/kota adalah petani, perlu dilihat sampai sejauh
mana perhatian pemerintahan setempat terhadap nasib petani serta seberapa
besar mampu memfasilitasi pembangunan sektor pertanian.
Sisi positif penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik adalah
peluang mengarahkan kebijakan dan program yang dirancang lebih mengacu
pada kondisi dan keperluan daerah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara
pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat dan daerah.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan
36
sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumberdaya
pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pertanian berbasis
komunitas lokal sangat tepat diterapkan dalam era otonomi daerah. Selain
karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia
memiliki keterkaitan yang kuat dengan daerahnya, sehingga pengelolaan yang
dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.
Seperti sistem integrasi tanaman‐ternak, kebijakan desentralisasi meningkatkan
peluang daerah untuk mengembangkan potensinya. Pada saat yang sama
desentralisasi juga menuntut kesiapan daerah untuk lebih mandiri, termasuk
mengelola konflik‐konflik yang berkembang, baik setelah proses desentralisasi
ataupun konflik‐konflik yang selama ini dikelola dengan mengandalkan
pemerintah pusat.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan lebih banyak dilakukan
oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang
dapat menghasilkan barang dan peraturan untuk publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan).
Pemerintah pusat hanya menangani pembangunan pertanian yang dinilai tidak
efektif dan efisien bila ditangani oleh pemerintah daerah. Aspek ketahanan
pangan tetap menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat. Pada
akhir tahun 2035, manajemen ketahanan pangan diharapkan akan mendapat
prioritas semakin baik dalam rangka meningkatkan kemandirian pangan.
Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan pertanian di daerah, menuntut
partisipasi aktif masyarakat dan peran swasta yang relatif lebih besar terutama
dalam merespon perubahan lingkungan yang dinamis. Kemampuan masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan adalah seiring dengan keefektifan
proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar yang menyebabkan
masyarakat memperoleh dan memahami informasi. Kemudian secara kognitif
informasi tersebut akan diproses menjadi pengetahuan tentang adanya
37
kesempatan dan melatih masyarakat agar mampu berbuat (konatif), serta secara
intrinsik termotivasi untuk mau (afekfif) bertindak atas dasar manfaat yang dapat
diperoleh masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukan berarti
pengerahan tenaga masyarakat secara koersif. Namun hal yang terpenting
adalah tergeraknya masyarakat untuk mau memanfaatkan kesempatan‐
kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri dan keluarganya. Semakin
cerdas masyarakat, akan semakin tinggi partisipasinya dalam pembangunan.
Kriteria keberhasilan pembangunan pertanian adalah meningkatkan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat (terutama petani). Faktanya
peningkatan tersebut hanya dapat tercapai jika diikuti dengan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian. Tantangan utama dalam
pembangunan pertanian adalah bagaimana menemukan cara yang efektif untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat. Agar tercapai sinergi, diperlukan
konvergensi kepentingan berbagai pihak dalam pembangunan pertanian. Hal ini
menuntut partisipasi aktif dari masyarakat dan energi ekstra untuk belajar hal‐
hal yang baru sejalan dengan hadirnya upaya‐upaya pembangunan pertanian.
4.4. Implementasi Komitmen Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Menghadapi Perubahan Iklim
Adalah fakta bahwa perubahan iklim telah terjadi. Terkait dengan
perubahan iklim, rata‐rata suhu atmosfer meningkat, intensitas curah hujan
makin tajam variasinya – bahkan kadang‐kadang ekstrim, pola sebaran
temporalnya berubah (awal dan durasinya berubah dan makin tak teratur), dan
frekuensi serta intensitas badai tropis meningkat. Kesemuanya itu tidak kondusif
untuk hampir semua sektor perekonomian bahkan hampir semua aspek
kehidupan. Variabilitas iklim yang tajam menyebabkan infrastruktur cepat rusak,
derajat kesehatan menurun, produktivitas kerja menurun, kelancaran arus
barang dan jasa terganggu, dan sebagainya.
38
Berpijak pada karakteristik iklim sebagai suatu sistem yang sifatnya global
maka ruang lingkup dampak negatif perubahan iklim tidak eksklusif lokal,
nasional, atau regional, tetapi bersifat global. Diperkirakan bahwa total biaya
dan risiko global akibat perubahan iklim setara dengan kehilangan GDP dunia
sekitar 5 persen per tahun (Stern et al., 2006). Dampak negatif perubahan iklim
yang diderita negara‐negara berkembang diperkirakan lebih besar daripada
negara‐negara maju (IPCC, 2001).
Meskipun penyebab utama perubahan iklim adalah anthropogenic
(Trenberth et al., 1995), namun hal itu terjadi melalui akumulasi proses dalam
jangka waktu yang sangat panjang. Proses pembalikan arah sangat sulit bahkan
mungkin mustahil untuk dilakukan dalam jangka menengah karena
membutuhkan teknologi yang sangat canggih, biaya yang luar biasa besar, serta
partisipasi aktif secara sistematis dan konsisten yang sifatnya menyeluruh
(global) dan terorganisasikan secara sangat baik. Oleh karena itu secara teknis –
ekonomi – sosial – politik yang layak ditempuh adalah melakukan adaptasi dan
mitigasi secara sinergis (IPCC, 2001; Yohe, 2001,; IPCC, 2007). Untuk
mengkoodinasikan program dan aksi global mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim, PBB membentuk UNFCCC yang didukung dengan IPCC sebagai
think‐tanknya.
Aktivitas utama (core business) di sektor pertanian adalah usahatani yang
mencakup usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, usaha
peternakan dan usaha perikanan. Terkait karakteristik intrinsiknya, hampir
semua cabang usahatani itu rentan terhadap perubahan iklim yang fenomenanya
dicirikan oleh variabilitas iklim yang tajam, bahkan kadang‐kadang ekstrim (IPCC,
2001). Oleh karena itu sektor pertanian adalah paling rentan terhadap
perubahan iklim (FAO, 2007; ADB, 2009). Di sektor pertanian, kelompok paling
rentan adalah petani kecil. Leary et al., (2007) menyatakan bahwa strategi
adaptasi yang ada pada saat ini pada umumnya belum memadai untuk
mengatasi kerentanan petani terhadap perubahan iklim. Khusus untuk Asia
39
Tenggara (termasuk Indonesia), laporan ADB and IFPRI (2009) menyatakan
bahwa jika tidak ada perbaikan produktivitas dan strategi adaptasi yang
dijalankan secara konsisten dan efektif maka keberlanjutan ketahanan pangan
kawasan ini akan sangat terancam.
Dalam menghadapi perubahan iklim, sektor pertanian mempunyai peran
unik dan sangat strategis. Di satu sisi, sektor ini sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Ini mencakup aspek biofisik maupun sosial ekonomi, dan yang
sifatnya langsung maupun tak langsung. Di sisi lain, potensi sektor ini dalam aksi
mitigasi sangat menjanjikan dan karena itu UNFCCC menempatkannya sebagai
salah satu andalan untuk mitigasi perubahan iklim.
Dengan tetap menerapkan kerangka kerja internasional dalam aksi mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim (melaksanakan mitigasi dan adaptasi
secara sinergis); Kementerian Pertanian menetapkan bahwa atas dasar
pertimbangan obyektif maka strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut.
Program aksi adaptasi diberlakukan untuk seluruh sektor, dan dalam konteks ini
sub sektor pangan memperoleh prioritas tertinggi karena terkait langsung
dengan keberlanjutan ketahanan pangan. Untuk aksi mitigasi, prioritas tertinggi
diberlakukan untuk sub sektor perkebunan. Strategi ini dipandang tepat
mengingat bahwa adaptasi pada dasarnya merupakan himpunan kiat‐kiat
penyelamatan (coping strategies) dan karena itu bersentuhan langsung dengan
keberlanjutan kehidupan keseharian yang sebenarnya juga merupakan
prakondisi yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan aksi mitigasi.
Sasaran akhir dari adaptasi adalah untuk mengkondisikan agar kerentanan
petani terhadap perubahan iklim dapat diminalkan sehingga mampu bertahan
(resilience) terhadap variabilitas iklim yang tajam (bahkan kadang‐kadang
ekstrim) sedemikian rupa sehingga usahatani tetap produktif dan mampu
menyejahterakan petani. Kerentanan petani terhadap perubahan iklim
40
ditentukan oleh derajat paparannya (exposure), sensitivitas sistem yang
terpapar, dan kapasitas adaptasi sistem yang terpapar tersebut.
Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian yang
dilakukan sebagai respon terhadap pengaruh yang timbul akibat kondisi iklim
aktual atau yang diperkirakan akan terjadi agar mampu bertahan dan jika
memungkinkan dapat memanfaatkan kesempatan untuk berkembang. Terdapat
berbagai tipe adaptasi berdasarkan sifatnya: adaptasi autonomous vs terencana,
adaptasi antisipatif vs reaktif, dan adaptasi individual vs kolektif (masyarakat).
Meskipun berbeda‐beda namun sasaran umumnya adalah mengarah pada
minimalisasi risiko akibat iklim, dalam arti meningkatkan resiliensi dan
mengurangi kerentanan terhadap kondisi iklim yang tidak kondusif (Lasco et al.,
2011).
Berbagai aksi adaptasi yang telah dikembangkan secara mandiri oleh petani
merupakan modal dasar yang sangat penting namun tidak cukup untuk
menghadapi kondisi iklim yang variasinya sangat tajam dan kondisi lingkungan
strategis yang makin dinamis. Peranan pemerintah dalam program adaptasi
variabilitas dan perubahan iklim mencakup fasilitas pemerintah untuk aplikasi
teknologi budidaya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim
(penyediaan varietas adaptif, fasilitas penerapan teknik pengelolaan lahan dan
air), peningkatan indeks panen, penurunan risiko gagal panen, peningkatan
produktivitas dan kapasitas irigasi (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2010).
Pada aspek teknologi, program adaptasi difokuskan pada aplikasi teknologi
adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam,
penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir,
salinitas, dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian, teknologi
pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan dan lain‐lain. Pada aspek
kelembagaan, program adaptasi diarahkan untuk pengembangan sistem
41
informasi dan pengembangan kapasitas adaptif petani melalui kegiatan sekolah
lapang iklim, sistem penyuluhan dan kelompok kerja (pokja) variabilitas dan
perubahan iklim sektor pertanian,. serta pengembangan sistem asuransi
pertanian akibat resiko iklim.
Program mitigasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi rendah emisi baik
pada tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura serta peternakan.
Sebagaimana dinyatakan di atas, prioritas jangka pendek diarahkan pada sub
sektor perkebunan. Beberapa teknologi yang akan dikembangkan antara lain
varietas unggul dan jenis tanaman yang rendah emisi dan atau dengan kapasitas
absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan
pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, bio pestisida dan pakan ternak
rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Selain itu mitigasi dalam konteks
pemanfaatan dan perluasan areal pertanian adalah menfokuskan pembukaan
lahan baru hanya pada lahan terlantar dan terdegradasi tanpa melakukan
kegiatan yang bersifat deforestasi. Khusus untuk lahan gambut diarahkan pada
sistem, pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan dengan tingkat emisi
serendah mungkin melalui perbaikan sistem drainasi, pengembangan teknologi
ameliorasi, pemupukan dll. Terkait dengan ini pemerintah juga telah
menerbitkan peraturan mengenai moratorium pembukaan hutan dan perluasan
lahan pertanian pada kawasan gambut.
Bentuk konkrit dari upaya akselerasi aksi mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim tersebut antara lain tertuang dalam Rencana Aksi Nasional
Mitigasi Perubahan Iklim dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Terhadap
Perubahan Iklim. Ini merupakan sebuah kerja besar, bersifat jangka panjang, dan
sudah barang tentu membutuhkan biaya yang besar. Agar efisien dan efektif
maka kebijakan, program, dan strategi implementasinya perlu disempurnakan
dari waktu ke waktu karena kondisi obyektif di lapangan bersifat dinamis, baik
akibat dinamika internal sosial ekonomi komunitas petani itu sendiri maupun
kondisi lingkungan strategisnya di lingkup lokal, nasional, regional, maupun
42
global. Upaya‐upaya penyempurnaan tersebut tentu saja membutuhkan
himpunan data dan informasi berbasis kajian‐kajian empiris yang harus terus
dimuthakirkan (up date). Hanya dengan cara itu komitmen nasional dalam
menghadapi perubahan iklim mencapai sasarannya.
4.5. Implementasi Komitmen MDG‐l: Pengentasan Kemiskinan dan
Kelaparan
Millenium Development Goals (MDG) yang diadopsi oleh 189 negara
memiliki delapan tujuan dan target yang harus dicapai pada tahun 2015
dengan mengacu basis data 1990 yaitu pengentasan kemiskinan dan
kelaparan; pemenuhan pendidikan dasar; kesetaraan gender dan
pemberdayaan wanita; penurunan angka kematian anak; perbaikan
kesehatan ibu melahirkan; pemberantasan penyakit menular seperti
HIV/AIDS, malaria, dll; kepastian keberlanjutan lingkungan; dan
pengembangan kerjasama global dalam pembangunan. Kedelapan tujuan
tersebut pada hakekatnya bersifat inklusif dan saling melengkapi, khususnya
dalam pencapaian tujuan pertama (MDG‐1) yaitu pengentasan kemiskinan
dan kelapran. Komplemensitas dan inklusifitas pencapaian tujuan MDG
dalam perspektif pengentasan kemiskinan dan kelaparan akan tetap menjadi
agenda jangka panjang pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Dalam jangka menengah dan panjang kedepan pengentasan
kemiskinan dan kelaparan akan dihadapkan pada lingkungan strategis
nasional yang mencakup beberapa aspek yaitu: (i) dampak krisis ekonomi
global terhadap pencapaian MDGs regional dan menurunnya kapasitas dan
implementasi kerjasama global pembangunan, khususnya terhadap
pembangunan pertanian dan pedesaan di negara berkembang termasuk
Indonesia; (ii) faktor penghambat pengentasan kemiskinan dan pencapaian
target MDG‐1 di Indonesia; (iii) konsiderasi karakteristik penduduk miskin,
43
khususnya aspek non‐ekonomi, sebagai basis perumusan intervensi
kebijakan dalam pengentasan kemiskinan; (iv) konsistensi dan
komplementasi analisis kemiskinan dengan analisis kelaparan, masing‐
masing dengan indikator yang berbeda, dalam perspektif pencapaian MDG‐1;
dan (v) reorentasi pendekatan dan strategi pengentasan kemiskinan dengan
sasaran peningkatan efektivitas program pengentasan kemiskinan dan
kelaparan.
Krisis ekonomi global diprediksi akan berdampak serius terhadap
pencapaian MDGs regional di kawasan Asia‐Pasifik (UN‐ESCAP News Services,
2006) yang diindikasikan oleh kehilangan momentum dengan kemajauan
relatif lambat; terdapat kemajuan (catching‐up), tetapi dengan indeks status
dibawah rataan regional; kinerja mengalami kemunduran (falling further
behind) dengan nilai negatif untuk progres dan indeks pencapaian. Termasuk
dalam katagori terakhir ini adalah Bangladesh, Laos, Myanmar, dan
Indonesia. Di Indonesia berdasarkan trend kemiskinan 2000‐2009
diperkirakan kemiskinan relatif tahun 2015 akan mencapai 12,3%, jauh diatas
target MDG‐1 yang besarnya 7,5% (Rusastra et aI., 2010). Dalam jangka
panjang kedepan, faktor penghambat pengentasan kemiskinan yang perlu
mendapatkan perhatian secara konsisten (Irawan dan Romdiati, 2000;
Rusastra dan Bottema, 2008) adalah: (i) fluktuasi dan stagnasi tingkat
kedalamam (P1) dan tingkat keparahan (P2) kemiskinan; (ii) tidak adanya
perubahan yang signifikan tingkat distribusi pendapatan nasional antar
wilayah, desa‐kota, dan antar kelompok pendapatan; (iii) ketimpangan
distribusi spasial kemiskinan (57,5% di pulau Jawa), disparitas tingkat
kemiskinan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa), dan antar daerah perkotaan
dan pedesaan.
Di masa yang akan datang, mengingat permasalahan ekonomi disparitas
pertumbuhan dan pendapatan antar wilayah dan kelompok masyarakat, maka
eksistensi dimensi kemiskinan nonekonomi perlu mendapatkan penekanan
44
serius. Pada prinsipnya dimensi non‐ekonomi kemiskinan mencakup tiga
indikator utama yaitu kapasitas sumberdaya manusia, aksesibilitas terhadap
kebutuhan utama, dan keterlibatan dalam kesrmpatan kerja dan berusaha dalam
arti luas (Sudaryanto dan Rusastra, 2006). Secara detail dan spesifik terdapat
delapan indikator non‐ekonomi penduduk miskin yang perlu dipertimbangkan
yaitu: (i) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan
perumahan); (ii) aksesibilitas ekonomi rendah terhadap pendidikan, kesehatan,
sanitasi, dll; (iii) kemampuan akumulasi kapital dan investasi yang rendah; (iv)
rentan terhadap goncangan faktor eksternal (teknis, alam, sosial dan politik); (v)
kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam rendah; (vi)
terbatasnya keterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (vii) terbatasnya
akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan; dan (viii)
ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik dan mental.
Dalam perspektif efektivitas pencapaian MDG‐1, analisis pengentasan
kemiskinan perlu dikomplemen dengan analisis pengentasan kelaparan dengan
mempertimbangkan indikator kunci seperti prevalensi balita dibawah berat
normal; status gizi bayi dibawah lima tahun; dan kasus malnutrisi yaitu asupan
energi dibawah 2.100 kkalori/kapita/hari. Dua indikator utama kelaparan yaitu
balita dengan berat dibawah standar dan status gizi balita, bersifat fluktuatif dan
tidak menunjukkan perkembangan yang berarti (Rusastra dan Bottema, 2008).
Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk konsumsi energi lima kelompok
pertama dari delapan kelompok pendapatan, bahkan bagi tiga kelompok
pertama termasuk dalam kategori rawan pangan (konsumsi energi kurang dari
80% kebutuhan standar). Dalam jangka panjang kedepan, ketiga indikator kunci
kelaparan ini perlu mendapatkan penekanan dalam rangka percepatan
pencapaian MDGs di Indonesia.
Ke depan permasalahan paling krusial dalam pengentasan kemiskinan dan
pencapaian MDG1 di Indonesia adalah reorientasi pendekatan dan strategi
pengentasan kemiskinan (Rusastra, 2010). Implementasi program pembangunan
45
dan pengentasan kemiskinan parsial‐sektoral‐individual tidak mampu melakukan
percepatan pengentasan kemiskinan nasional. Dalam jangka menengah kedepan
perlu dipertimbangkan sinergi dan integrasi pertumbuhan ekonomi nasional dan
wilayah dengan pembangunan pedesaan inklusif, program pemberdayaan, dan
program bantuan terpadu berbasis rumahtangga. Reorientasi paradigma ini
perlu didukung oleh strategi percepatan transformasi struktural perekonomian
dalam arti luas. Agribisnis, agroindustri, dan UKM non‐pertanian patut dijadikan
landasan pembangunan dan instrumen percepatan transformasi struktural
ekonomi pertanian, pedesaan, dan nasional.
4.6. Transformasi Struktural Ekonomi Pertanian dan Pedesaan
Fakta empiris menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan pedesaan
dan pembangunan perkotaan, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan
yang signifikan produktivitas tenaga kerja dikedua wilayah ini. Akar masalahnya
adalah terhambatnya revitalisasi dan modernisasi di sektor pertanian, dan
bertambahnya arus tenaga kerja keluar dari daerah pedesaan. Dengan demikian,
dalam jangka menengah dan panjang kedepan, transformasi struktural
perekonomian dalam arti luas, khususnya transformasi ekonomi pertanian dan
pedesaan akan tetap menjadi agenda penting pembangunan nasional.
Dalam tataran operasional, transformasi struktural ekonomi pertanian dan
pedesaan dalam kontek pembangunan nasional dapat ditempuh dengan
mempertimbangkan strategi sbb: (i) penciptaan kesempatan kerja dan berusaha
dan akses bagi semua pihak, khususnya bagi kelompok miskin; (ii) fokus dan
percepatan pertumbuhan sektor pertanian dan pedesaan yang memegang peran
dominan (khususnya dalam penyerapan tenaga kerja), tanpa mengabaikan
pertumbuhan ekonomi di luar sektor pertanian (perdagangan,
manufaktur/industri, dan sektor jasa); (iii) sinergi program pemberdayaan,
pertumbuhan ekonomi pertanian dan pedesaan, dan integrasinya dengan
46
ekonomi perkotaan; (iv) pemantapan pembangunan ekonomi daerah melalui
sinergi pemberdayaan masyarakat dengan pusat pertumbuhan ekonomi daerah
berbasis sumberdaya lokal; (v) sinergi pusat‐pusat pertumbuhan ekonomi
nasional (koridor ekonomi dan investasi) dengan ekonomi daerah dan wilayah,
dengan sasaran pencapaian pertumbuhan inklusif secara nasional; (vi) fokus
program pemberdayaan dan kemandirian ekonomi perdesaan khususnya di
daerah marginal dan desa‐desa miskin di seluruh Indonesia; (vii) identifikasi
agribisnis dan agoindustri unggulan sebagai instrumen kebijakan strategis dalam
percepatan transformasi struktural ekonomi pertanian dan pedesaan. Dalam
jangka panjang kedepan, semua lingkungan strategis tersebut perlu
dipertimbangkan dalam percepatan konvergensi produktivitas tenaga kerja
pertanian/pedesaan dan non‐pertanian/perkotaan.
Dalam kontek pengembangan agribisnis dan agroindustri sebagai
instrumen strategis transformasi ekonomi pertanian dan pedesaan beberapa
aspek yang perlu dipertimbangkan (Rusastra et ai., 2002) adalah: (i)
pengembangan infrastruktur ekonomi pedesaan dengan sasaran peningkatan
produktivitas dan efisiensi; (ii) pengembangan sistem inovasi pertanian dengan
sasaran peningkatan kapasitas produksi, produktivitas, dan nilai tambah; (iii)
pengembangan SDM dan kelembagaan petani melalui pembentukan organisasi
petani dan aliansinya dengan pelaku agribisnis lainnya; (iv) optimasi sumberdaya
berkelanjutan dengan sasaran menjaga keberlanjutan kapasitas produksi,
peningkatan produktivitas, dan daya saing; (v) konsolidasi vertikal agribisnis
melalui konsolidasi usahatani skala kecil dengan mitra usaha dengan prinsip
dasar saling menguntungkan; (vi) pemacuan investasi sektor agribisnis dengan
fasilitasi pemerintah, khususnya kredit investasi jangka panjang dan lingkungan
ekonomi yang kondusif; (vii) rasionalisasi kebijakan subsidi dan proteksi sektor
pertanian dan agribisnis dengan mempertimbangkan multifungsi sektor
pertanian, kebijakan negara lain, dan penyesuaian kebijakan insentif secara
47
bertahap. Kedepan, ketujuh faktor tersebut merupakan lingkungan strategis
penting dalam revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan.
V. KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL,
2013‐2035
5.1. Subsektor Tanaman Pangan
(1) Kinerja Produksi Tanaman Pangan 2005‐2009
Sejak masa pemerintahan Orde Baru upaya peningkatan produksi beras
merupakan salah satu fokus pembangunan pertanian dalam rangka penyediaan
pangan nasional. Memasuki masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pada
tahun 2005 fokus pembangunan subsektor tanaman pangan relatif tidak
bergeser yaitu tercapainya swasembada beras, jagung, kedelai, gula dan daging
sapi. Swasembada komoditas pangan tersebut dinilai penting mengingat
peranannya yang cukup besar terhadap konsumsi kalori dan protein penduduk
Indonesia sehingga ketergantungan terhadap pasokan impor kurang
menguntungkan bagi ketahanan pangan nasional.
Swasembada beras pertama kali tercapai pada tahun 1984 akibat naiknya
produksi padi sekitar 5 persen per tahun selama periode 1970‐1984. Namun
setelah itu swasembada beras sulit dipertahankan karena laju pertumbuhan
produksi padi semakin lambat dan hanya sekitar 1 persen per tahun atau lebih
rendah dibanding laju pertambahan penduduk yang mencapai sekitar 1,5 persen
per tahun. Pertumbuhan produksi padi yang semakin lambat terus berlangsung
hingga tahun 2000‐2004 dimana pertumbuhan produksi padi pada periode rata‐
rata sebesar 0.88 persen per tahun.
Memasuki masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu tahap pertama
(2005‐2009) perlambatan laju pertumbuhan produksi padi masih terus
berlangsung dan pada tahun 2005 pertumbuhan produksi padi hanya sebesar
0.12 persen per tahun. Pada tahun 2006 pertumbuhan produksi padi masih tetap
lambat yaitu sebesar 0.56 persen per tahun dan lebih rendah dibanding
pertumbuhan produksi rata‐rata selama tahun 2000‐2005 yang mencapai 0.88
49
persen per tahun. Namun pada tahun 2007, 2008 dan 2009 pertumbuhan
produksi padi melonjak menjadi 4.96 persen, 5.54 persen dan 6,75 persen per
tahun atau meningkat sekitar 2,70 juta ton GKG, 3,17 juta ton GKG dan 4,07 juta
ton GKG. Secara rata‐rata pertumbuhan produksi padi selama tahun 2005‐2009
sebesar 4.21 persen per tahun.
Pertumbuhan produksi padi selama tahun 2005‐2009 yang mencapai 4.21
persen per tahun sangat fantastis dibanding periode 5 tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 0.88 persen per tahun. Dengan kata lain laju pertumbuhan
produksi padi pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu tahap
pertama meningkat sekitar 5 kali lipat. Sepanjang sejarah produksi padi laju
pertumbuhan produksi rata‐rata lima tahunan sebesar 4‐5 persen per tahun
hanya pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru dimana pada masa
tersebut ketersediaan sumberdaya lahan sawah, inovasi teknologi budidaya padi
dan anggaran pembangunan untuk subsidi harga dan pembangunan jaringan
irigasi masih cukup tersedia. Namun kondisi akhir‐akhir ini sangat berbeda
dimana ketiga faktor tersebut (sumberdaya lahan sawah, inovasi teknologi,
anggaran pembangunan) semakin terbatas, misalnya luas lahan sawah antara
tahun 1995 dan 2006 telah menyusut dari 8,49 juta hektar menjadi 7,89 juta
hektar atau berkurang sekitar 597 ribu hektar. Oleh karena itu dapat dipahami
apabila banyak kritik yang mempertanyakan keakuratan data produksi padi
akhir‐akhir ini karena secara agronomis peningkatan produksi padi secara
signifikan hanya mungkin terjadi apabila didukung dengan peningkatan
sumberdaya lahan sawah yang memungkinkan perluasan tanaman padi,
peningkatan jaringan irigasi yang dapat mendorong intensitas tanam padi dan
peningkatan inovasi teknologi yang memungkinkan peningkatan produktivitas
padi.
Lonjakan pertumbuhan produksi yang sangat signifikan juga terjadi pada
produksi jagung dan kedelai. Pada tahun 2000‐2004 produksi jagung meningkat
rata‐rata 5,46 persen per tahun sedangkan produksi kedelai turun sebesar ‐3,62
50
persen per tahun. Namun pada tahun 2005‐2009 laju pertumbuhan produksi
jagung melonjak menjadi 8.39 persen per tahun atau naik sekitar 1,5 kali lipat
dibanding pertumbuhan produksi tahun 2000‐2004. Sedangkan produksi kedelai
pada tahun 2005‐2009 melonjak menjadi 4,27 persen per tahun atau naik sekitar
2 kali lipat dibanding pertumbuhan produksi tahun 2000‐2004.
(2) Kinerja Produksi 2010‐2014
Pembangunan pertanian jangka menengah tahap kedua (2010‐2014)
diarahkan pada terciptanya peningkatan peran sektor pertanian dalam : (1)
pembentukan modal, (2) penyediaan bahan pangan, (3) penyediaan bahan baku
industri, bahan pakan dan bio‐energi, (4) penyerapan tenaga kerja, dan (5)
pembentukan sumber devisa dan sumber pendapatan masyarakat. Dalam rangka
meningkatkan peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan
Kementerian Pertanian telah menetapkan 5 komoditas strategis yaitu : beras,
jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Terkait dengan kelima komoditas strategis
tersebut telah ditetapkan target utama yang ingin dicapai selama tahun 2010‐
2014 yaitu swasembada berkelanjutan beras dan jagung serta swasembada
kedelai, daging sapi dan gula pada tahun 2014.
Untuk pencapaian swasembada beras berkelanjutan selama tahun 2010‐
2014 produksi padi diharapkan naik rata‐rata 5.22 persen per tahun atau sekitar
3,7 juta ton gabah kering giling per tahun. Sedangkan sasaran pertumbuhan
produksi jagung dan kedelai masing‐masing sebesar 10.02 persen per tahun dan
20.05 persen per tahun atau sekitar 2,3 juta ton jagung pipilan kering per tahun
dan 350 ribu ton kedelai biji kering per tahun.
Dalam rangka pencapaian sasaran tersebut diatas terdapat 4 strategi yang
diterapkan yaitu : peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam,
pengamanan produksi, penguatan kelembagaan petani dan permodalan. Dalam
pelaksanaannya keempat strategi tersebut diterapkan melalui berbagai rencana
51
aksi yang meliputi : Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT),
pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan, pengelolaan sistem
perlindungan tanaman dari gangguan OPT dan dampak perubahan iklim serta
bencana alam, peningkatan pelayanan pasca panen, pelayanan pembiayaan
usahatani, pengembangan dan pembinaan kelembagaan petani, perluasan areal
pertanian serta optimalisasi lahan dan air, peningkatan kapasitas jalan usahatani,
dan berbagai rencana aksi lainnya.
Pada tahun 2010 implementasi keempat strategi tersebut diatas mampu
meningkatkan produksi padi sebesar 3.22 persen. Namun akibat pengaruh
perubahan iklim yang berdampak pada terjadinya eksplosi OPT, banjir dan
kekeringan produksi padi pada tahun 2011 diperkirakan turun sebesar ‐1.63
persen. Dengan tingkat pertumbuhan produksi tahun 2010 dan tahun 2011
tersebut maka sasaran peningkatan produksi padi tahun 2010‐2014 rata‐rata
sebesar 5.22 persen per tahun dalam rangka mempertahankan swasembada
beras tampaknya sulit diwujudkan. Hal ini mengingat untuk mencapai
pertumbuhan produksi padi rata‐rata sebesar 5.22 persen selama tahun 2010‐
2014 maka rata‐rata pertumbuhan produksi padi pada tahun 2012‐2014 harus
mencapai sekitar 8,17 persen per tahun, suatu laju pertumbuhan produksi yang
belum pernah terjadi dalam sejarah produksi padi.
Pencapaian sasaran pertumbuhan produksi jagung rata‐rata sebesar
10,02 persen per tahun selama tahun 2010‐2014 tampaknya juga sulit
diwujudkan. Hal ini mengingat pertumbuhan produksi jagung pada tahun 2010
hanya sebesar 3,96 persen dan pada tahun 2011 diperkirakan turun sebesar ‐
5.99 persen. Dengan tingkat pertumbuhan produksi tersebut maka untuk
mencapai pertumbuhan produksi rata‐rata sebesar 10,02 persen per tahun pada
periode 2010‐2014, maka produksi jagung harus meningkat rata‐rata sebesar
17,37 persen per tahun. Begitu pula pencapaian sasaran pertumbuhan produksi
kedelai rata‐rata sebesar 20.05 persen per tahun dalam periode yang sama sulit
52
diwujudkan mengingat produksi kedelai pada tahun 2010 dan 2011 justru
mengalami penurunan sebesar ‐6,92 persen dan ‐4,08 persen.
(3.) Prospek Pembangunan dan Produksi Pangan
Dalam rangka ketahanan pangan nasional peningkatan produksi padi,
jagung dan kedelai yang sesuai dengan kebutuhan penduduk Indonesia
merupakan tuntutan yang tak bisa dihindari. Ketergantungan penyediaan ketiga
komoditas terhadap pasokan impor tidak menguntungkan karena dua alasan
yaitu : Pertama, pasokan dan harga bahan pangan sereal di pasar dunia tidak
stabil sehingga instabilitas pengadaan pangan nasional akan meningkat jika
proporsi pengadaan impor terhadap total penyediaan pangan semakin besar.
Kedua, Indonesia merupakan salah satu importir pangan terbesar di dunia
terutama beras sehingga perubahan impor beras Indonesia akan memiliki
pengaruh signifikan terhadap harga beras di pasar dunia. Dengan kata lain, jika
impor beras Indonesia mengalami peningkatan maka harga beras di pasar dunia
akan semakin mahal dan semakin banyak pula devisa yang harus dialokasikan
untuk mengimpor beras.
Pada situasi pasar dunia seperti diatas maka dalam rangka ketahanan
pangan nasional tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi Indonesia kecuali
memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri, dengan kata lain
mengupayakan tercapainya swasembada beras, jagung dan kedelai. Namun di
masa yang akan datang upaya tersebut akan dihadapkan berbagai masalah dan
tantangan sebagai berikut.
a. Lebih dari 90% produksi padi dihasilkan dari lahan sawah. Sumberdaya
lahan sawah juga merupakan penghasil utama komoditas palawija
terutama jagung dan kedelai melalui penanaman pada musim tanam MK.
Namun luas sawah akhir‐akhir ini terus berkurang akibat dikonversi ke
penggunaan diluar pertanian terutama untuk pembangunan perumahan,
53
industri dan perkantoran/pertokoan. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003
menunjukkan bahwa luas konversi lahan sawah ke penggunaan non
pertanian rata‐rata 110 ribu hektar per tahun. Sejalan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan untuk pemukiman
maka dalam jangka panjang konversi lahan sawah tersebut akan terus
berlangsung sehingga mengurangi kapasitas produksi pangan. Berbagai
peraturan telah diterbitkan pemerintah untuk melarang konversi lahan
sawah tetapi konversi lahan tersebut masih tetap berlangsung akibat
lemahnya sistem pengendalian konversi lahan sawah. Dalam kaitan ini
maka untuk peningkatan produksi pangan perlu dirumuskan kebijakan dan
strategi perluasan tanaman pangan terutama padi pada lahan kering dan
sumberdaya lahan tersebut relatif tersedia terutama di luar pulau Jawa.
b. Selama ini pulau Jawa merupakan penghasil utama padi, jagung, kedelai
dan hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan produksi ketiga komoditas
tersebut di pulau Jawa harus diupayakan untuk menyangga kebutuhan
pangan nasional. Sekitar 55% produksi padi nasional dihasilkan di pulau
Jawa sedangkan untuk produksi jagung dan kedelai sumbangan produksi
pulau Jawa masing‐masing sebesar 60% dan 68%. Namun didalam Master
Plan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
yang dirumuskan oleh Bappenas pulau Jawa dipetakan sebagai pusat
industri dan jasa nasional, bukan sebagai sentra produksi pangan. Dengan
kebijakan tersebut maka luas lahan sawah dan lahan pertanian produktif
lainnya di pulau Jawa akan semakin sempit akibat dikonversi ke sektor
industri dan sektor jasa sehingga mengurangi kapasitas produksi pangan.
Dalam rangka mengantisipasi kebutuhan pangan yang terus meningkat di
masa mendatang maka perlu dikembangkan kebijakan akselerasi produksi
pangan di luar pulau Jawa.
c. Kondisi iklim yang kondusif merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan upaya peningkatan produksi pangan. Akhir‐akhir ini semakin
54
sering terjadi perubahan iklim global yang menimbulkan pengaruh negatif
terhadap kondisi iklim di wilayah Indonesia. Hal ini tercerminkan dari
semakin seringnya kejadian EL Nino yang cenderung menimbulkan
kekeringan akibat berkurangnya curah hujan dan kejadian La Nina yang
cenderung menimbulkan eksplosi OPT dan banjir di daerah tertentu akibat
meningkatnya curah hujan. Bagi upaya peningkatan produksi pangan
perubahan iklim tersebut berpotensi menyebabkan berkurangnya luas
lahan pertanian yang dapat ditanami akibat kurangnya ketersediaan air,
terendamnya lahan pertanian produktif maupun meningkatnya salinitas
tanah terutama di sekitar daerah pantai. Pada sisi lain areal yang telah
ditanami komoditas pangan juga berpotensi mengalami gagal panen akibat
kekeringan, banjir dan serangan OPT sementara waktu musim
tanam/panen juga mengalami pergeseran sejalan dengan terjadinya
pergeseran waktu musim hujan. Pada wilayah tertentu yang dilanda
dampak negatif perubahan iklim harga pangan akan meningkat dan pada
tingkat usahatani menyebabkan turunnya produktivitas tanaman dan
keuntungan petani sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap
ketahanan pangan rumah tangga petani terutama petani miskin.
d. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk kebutuhan pangan dan
energi akan meningkat di masa datang. Sementara itu ketersediaan sumber
energi minyak dan gas bumi semakin terbatas sehingga perlu
dikembangkan sumber energi alternatif lainnya. Salah satu sumber energi
yang potensial untuk dikembangkan adalah sumber energi berbahan baku
hasil pertanian, misalnya biodiesel yang dihasilkan dari hasil pengolahan
kelapa sawit, bioethanol yang merupakan hasil pengolahan lanjutan
ubikayu dan berbagai komoditas pertanian lainnya seperti kemiri sunan
dan jarak. Akhir‐akhir ini pengembangan sumber energi alternatif tersebut
cenderung meningkat sehingga menimbulkan persaingan dalam
pemanfaatan komoditas pertanian antara untuk kebutuhan pangan dan
55
kebutuhan energi. Persaingan antara kedua kebutuhan tersebut juga
terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan hal ini tercerminkan dari
banyaknya lahan sawah yang dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit,
meskipun lahan sawah sangat potensial untuk budidaya tanaman pangan.
Antara tahun 1995 dan 2005 luas lahan sawah berkurang dari 8,49 juta
hektar menjadi 7,89 juta hektar sedangkan luas lahan perkebunan naik dari
13,84 juta hektar menjadi 18,49 juta hektar dan peningkatan luas lahan
perkebunan tersebut sebagian besar dimanfaatkan untuk tanaman kelapa
sawit.
e. Pengalaman pada periode 1970‐1980 telah membuktikan bahwa secara
teknis pembangunan jaringan irigasi dan penggunaan varitas padi berumur
pendek merupakan faktor penting bagi upaya peningkatan intensitas
tanam dan produktivitas padi. Tersedianya air sepanjang tahun yang dapat
dikendalikan melalui pembangunan waduk dan jaringan irigasi
memungkinkan peningkatan intensitas penanaman padi per tahun dan
tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai. Namun akhir‐akhir ini
jaringan irigasi banyak yang rusak dan pembangunan jaringan irigasi
semakin terbatas akibat keterbatasan anggaran pemerintah.
Pengembangan varitas baru yang berumur lebih pendek juga semakin sulit
dilakukan, misalnya varitas unggul padi yang dilepas akhir‐akhir ini seperti
varitas Sarinah dan Inpari 1 memiliki umur tanaman sekitar 117 hari dan
108 hari dan tidak berbeda jauh dengan umur tanaman varitas IR 64 (115
hari) yang dilepas pada tahun 1986. Konsekuensi dari kedua kondisi
tersebut adalah upaya peningkatan intensitas tanam padi per tahun
semakin sulit diwujudkan akhir‐akhir ini.
56
5.2. Subsektor Hortikultura
Berdasarkan UU No 13 /2010 Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan
dengan buah, sayuran, bahan obat nabati dan florikultura, termasuk di dalamnya
jamur, lumut dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati
dan/atau bahan estetika. Berdasarkan UU tersebut cakupan komoditas
hortikultura sangat luas, namun menurut Kepmentan Nomor
511/Kpts/PD.9/2006 komoditas hortikultura yang perlu ditangani sebanyak 323
jenis komoditas yang terdiri dari buah‐buahan sebanyak 60 jenis, sayuran
sebanyak 80 jenis, tanaman hias sebanyak 117 jenis, dan tanaman obat
sebanyak 66 jenis.
Secara umum, komoditas hortikultura bercirikan: jenisnya sangat banyak
tetapi masing‐masing jenis dibutuhkan dalam jumlah yang relatif tidak banyak,
mudah rusak dan life time‐nya pendek, pada umumnya dibutuhkan dalam
bentuk segar, dan tergantung selera konsumen yang cenderung cepat berubah.
Pembangunan hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat
dari Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan
sumber pendapatannya dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja,
dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pembangunan hortikultura juga
meningkatkan perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional.
Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang penting dan strategis
karena merupakan komponen penting dalam ketersediaan pangan masyarakat,
khususnya buah‐buahan dan sayuran sebagai makanan pokok yang merupakan
bagian penting dari Pola Pangan Harapan untuk memenuhi “gizi bermutu dan
berimbang”. Komoditas hortikultura selain menjadi sumber karbohidrat, protein,
dan lemak nabati, yang sangat penting adalah juga menjadi sumber vitamin,
mineral, serat, antioksidan, senyawa yang berkhasiat obat, dan senyawa‐
senyawa berguna lainnya. Oleh karena itu, produk hortikultura perlu selalu
57
tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi,
harga yang terjangkau, serta mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat sebagai konsumen merupakan pasar yang sangat potensial, dari
tahun ke tahun menunjukkan kenaikan tingkat konsumsi hortikultura. Komoditas
hortikultura juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha
hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku
usaha lainnya, baik yang skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
Selain peranan hortikultura dalam hal pangan dan ekonomi tersebut di
atas, komoditas hortikultura juga mempunyai peranan penting dalam hal
penyediaan lapangan kerja dan berusaha, penyedia bahan baku industri,
kesehatan manusia, sosial budaya, dan pariwisata. Komoditas hortikultura
terutama tanaman obat (biofarmaka) mempunyai peranan yang penting dalam
menjaga dan memperbaiki kesehatan manusia. Karena semangat “back
tonature” dewasa ini, permintaan konsumen terhadap obat (jamu) dan suplemen
makanan herbal terus meningkat di dalam negeri maupun luar negeri. Komoditas
hortikultura juga sangat penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat,
terkait dengan keindahan baik indoor maupun outdoor, acara/upacara budaya,
dan kegiatan lain yang memerlukan tanaman hias, buah dan sayuran. Komoditas
hortikultura juga berperan besar dalam pariwisata, antara lain menyediakan
buah‐buahan, sayuran, dan tanaman hias di tempat wisata, hotel,
restoran/rumah makan, agrowisata, dll.
Konsumsi hortikultura masyarakat Indonesia dewasa ini masih sangat
rendah, belum mencapai 50% dari standar minimal yang ditetapkan FAO/WHO,
tertinggal dibandingkan negara‐negara di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan
negara maju. Permintaan konsumen yang rendah mengakibatkan produksi tidak
dapat didorong melebihi permintaan, oleh karena itu konsumsi hortikultura perlu
dinaikkan.
58
(1) Kinerja Pembangunan Hortikultura
Indonesia merupakan negara dengan megadiversity flora terbesar di dunia,
dengan ketersediaan sumberdaya hayati dan lahan, agroklimat yang beragam,
apabila dikelola secara baik akan menjadi sumber usaha yang sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan menyediakan
lapangan kerja di pedesaan maupun perkotaan. Potensi tersebut dewasa ini
belum dimanfaatkan secara optimal karena masih banyak permasalahan dan
hambatan dalam usaha hortikultura.
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, subsektor hortikultura (tanaman
buah, tanaman sayuran, tanaman hias dan tanaman obat) telah tumbuh menjadi
salah satu sumber pertumbuhan kekuatan ekonomi baru. Saat ini perannya telah
cukup signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional di sektor pertanian.
Untuk melihat sampai sejauh mana, komoditas hortikultura mewarnai
pembangunan ekonomi di Indonesia, berikut disampaikan beberapa indikator
kontribusi hortikultura dalam pilar ekonomi nasional diantaranya: (a) produksi,
(b) produk domestik bruto (PDB), (c) penyediaan lapangan pekerjaan, (d)
pendapatan petani dan masyarakat, (e) perdagangan domestik, (f) perdagangan
internasional, dan (g) perkembangan agro industri.
Produksi Komoditas Hortikultura
Produksi komoditas hortikultura dari tahun ke tahun cenderung meningkat
khususnya pada komoditas buah, sayur, tanaman obat dan beberapa jenis
tanaman hias. Peningkatan produksi buah dan sayur dilatarbelakangi besarnya
permintaan buah dan sayur ini akibat pertambahan penduduk, peningkatan
kesadaran penduduk akan manfaat buah dan sayur bagi kesehatan serta
peningkatan kesejahteraan.
Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature)
menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan obat alami yang diyakini
59
tidak memiliki efek samping dan harga lebih terjangkau daripada obat sintetik.
Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan obat tradisional maupun
fitofarmaka.
Produksi tanaman hias menunjukkan fluktuasi produksi sebagai akibat
perubahan preferensi konsumen seperti halnya yang terjadi pada mode/fashion.
Perkembangan produksi komoditas hortikultura dalam kurun waktu 5
tahun terakhir (tahun 2005 ‐2009) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Produksi Komoditas Hortikultura di Indonesia, 2005‐2009
Komoditas Produksi
2005 2006 2007 2008 2009
1. Buah‐buahan (Ton) 14.786.599 16.171.130 17.116.622 18.027.889 18.300.332
2. Sayuran (Ton) 9.101.987 9.527.463 9.455.464 10.035.094 10.628.285
3. Tanaman Hias :
Bunga Potong (Ribu Tangkai) 173.240 166.646 179.374 205.565 235.314
Dracaena (Ribu Batang) 1.132 905 2.042 1.864 2.263
‐ Melati (Ton) 22.553 24.796 15.776 20.388 28.307
‐ Palem (Pohon) 751.505 986.340 1.171.768 1.149.420 1.260.408
4. Tan.Rimpang (Biofarmaka) (Ton) 342.389 447.558 474.912 465.257 472.863
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009
Produk Domestik Bruto (PDB)
Nilai PDB hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB
hortikultura tahun 2008 mencapai lebih 84 trilyun rupiah dan diprediksi
mencapai lebih 89 trilyun rupiah di tahun 2009. PDB dari subsektor hortikultura
tahun 2008 tersebut menyumbang lebih kurang 18,55% dari total PDB sektor
pertanian.
PDB hortikultura terbesar di sumbang dari komoditas buah‐buahan, disusul
sayuran, hias dan tanaman obat. Adapun perkembangan nilai PDB Hortikultura
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sebagaimana tabel berikut.
60
Tabel 2. Nilai PDB Hortikultura Indonesia, 2005‐2009 (berdasarkan harga berlaku)
No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp)
2005 2006 2007 2008 2009*
1 Buah‐buahan 31.694 35.448 42.362 47.060 50.595
2 Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 29.005
4 Tan. Hias 4.662 4.734 4.741 4.960 5.348
3 Tanaman Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 3.853 4.109
Hortikultura 61.792 68.638 76.795 84.078 89.057
Sumber : Ditjen Hortikultura, 2009 *Angka Sementara
Tabel 2 menunjukkan bahwa di subsektor hortikultura PDB buah
berkontribusi sebesar 56,8%, diikuti oleh sayuran sebesar 32,6%. Sedangkan
tanaman hias dan biofarmaka berkontribusi sekitar 10%.
Penyediaan Lapangan Pekerjaan
Berdasar hasil Sensus Pertanian (SP) tahun 2003, dari 24,9 juta rumah
tangga pertanian yang ada terdapat sekitar 8,4 juta rumah tangga yang bekerja
di bidang hortikultura. Jumlah ini meningkat sebesar 76,69% dibandingkan
dengan SP tahun 1993 yang berjumlah 4,7 juta rumah tangga.
Sementara itu, penyerapan tenaga kerja pertanian di subsektor
hortikultura pada kegiatan on farm memperlihatkan grafik yang terus meningkat.
Rata‐rata peningkatan penyerapan tenaga kerja hortikultura di sektor ini berkisar
5‐35 % setiap tahunnya. Pada Tabel 3 disajikan jumlah tenaga kerja yang bekerja
di bidang produksi di level on farm hortikultura. Penghitungan ini didasarkan atas
luas panen dan hari orang kerja (HOK) per ha.
Jumlah tenaga kerja hortikultura di sisi on farm pada tahun 2009
diprediksi mencapai 3,97 juta orang. Serapan tenaga kerja terbesar berasal dari
lapangan pekerjaan di komoditas sayuran, disusul tanaman buah‐buahan,
tanaman obat dan tanaman hias. Jumlah tersebut diperkirakan lebih banyak lagi
karena pada kenyataannya, usaha agribisnis hortikultura sering melibatkan
61
tenaga kerja tidak hanya disektor produksi (on farm), tetapi juga bidang pasca
panen (off farm). Sektor pendukung usaha hortikultura lain seperti perbenihan,
penyediaan sarana produksi (pupuk, obat‐obatan, dll.) maupun pemasaran dan
distribusi juga menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit.
Tabel 3. Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Subsektor Hortikultura di lndonesia , 2004 – 2009 (Orang)
Komoditas 2004 2005 2006 2007 2008 2009*
Sayuran 2.337.118 2.272.324 3.002.602 2.837.357 2.843.440 2.973.328
Buah 587.173 607.184 738.571 898.435 901.467 961.172
Tan. Hias 1.744 1.461 794 734 867 902
Tan. Obat 16.452 20.931 31.283 34.326 32.083 37.587
Total 2.942.487 2.901.900 3.773.250 3.770.852 3.777.857 3.972.989
Sumber : Ditjen Hortikultura, 2009 *Angka Sementara
(2) Perdagangan Produk Hortikultra
Sampai saat ini, produk hortikultura memang masih menjadi produk
penting dalam perdagangan di dalam negeri. Indikasi ini dapat dilihat dari makin
banyaknya pusat‐pusat pemasaran produk hortikultura yang dibangun ataupun
direhabilitasi baik dengan konsep pasar tradisional maupun pasar modern.
Selain untuk keperluan konsumsi segar, permintaan aneka ragam produk
hortikultura juga terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaannya
untuk keperluan industri. Kebutuhan bahan baku produk hortikultura untuk
industri sebagian ada yang diperoleh dari pasar induk hortikultura, tetapi
sebagian diantaranya juga langsung dipasok dari para pelaku usahanya.
Dalam lingkup perdagangan domestik, produk hortikultura Indonesia saat
ini sebagian besar masuk ke pasar tradisional. Sedikit porsi yang masuk untuk
pasar modern. Proporsi produk buah dan sayur domestik di pasar modern baru
sekitar 21,4% dan 16,2%. Sedangkan pasar modern yang menghendaki produk
bermutu diperkirakan pertumbuhannya sebesar 20% per tahun. Saat ini,
62
setidaknya terdapat 2.000 unit pasar modern dan 5.000 convenience store yang
memasarkan produk hortikultura khususnya buah.
Dalam konteks perdagangan luar negeri, diakui bahwa sampai saat ini
penetrasi produk hortikultura juga masih sangat sedikit. Indonesia masih
merupakan negara “net importir” untuk produk hortikultura. Beberapa hal yang
mempengaruhi kinerja perdagangan produk hortikultura di luar aspek budidaya
adalah elastisitas permintaan produk, pergeseran preferensi konsumen, belum
adanya pemberlakuan kuota impor, dan pemberlakuan Free Trade Area
khususnya dengan negara ASEAN dan China.
(3.) Sosok Pembangunan Hortikultura
Subsektor hortikultura memiliki prospek pertumbuhan yang cerah pada
masa mendatang sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian di dalam
negeri dan internasional. Kualitas hidup penduduk Indonesia tahun 2035 akan
meningkat dibandingkan tahun 2010. Hal ini diikuti dengan perubahan gaya
hidup dan pola konsumsi. Preferensi konsumsi penduduk akan mengarah pada
pola makan sehat dengan mengurangi konsumsi karbohidrat dan memperbanyak
konsumsi produk hortikultura untuk pemenuhan serat, vitamin, mineral dan
penyegar stamina tubuh. Selain itu perubahan gaya hidup pun akan terjadi yang
diindikasikan dengan peningkatan kebutuhan tanaman hias, khususnya untuk
keindahan lingkungan sekitar. Peningkatan permintaan tersebut mendorong
berkembangnya kegiatan produksi yang diikuti dengan tumbuhnya sektor
pendukung di tingkat hulu maupun hilir. Dengan berkembangnya lingkungan
strategis global dengan karakteristik pemberlakuan standar mutu, pelabelan dan
sertifikasi produk, penerapan sistem perdagangan yang berbasis lingkungan,
keamanan pangan dan kesehatan, maka pola pengusahaan tanaman
hortikultura akan mengalami transformasi dari pengelolaan tradisional yang
bertumpu pada keunggulan komparatif ke arah pencapaian keunggulan
63
kompetitif berbasis industri dengan memperhatikan isu sensitif lingkungan
global. Transformasi tersebut akan membawa produk hortikultura Indonesia
menjadi berdaya saing, sehingga mampu mengambil peran yang signifikan dalam
perdagangan internasional. Hal tersebut perlu didukung oleh kebijakan yang
kondusif di bidang perpajakan, perijinan investasi, perdagangan, transportasi,
perbankan, ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur, penyediaan lahan,
dan stabilitas nasional yang mantap.
Proyeksi membaiknya kondisi perekonomian nasional tahun 2035 memberi
angin segar bagi pembangunan subsektor hortikultura di dalam negeri.
Perbaikan kondisi ekonomi tahun 2035 yang dipicu oleh perubahan mendasar
kebijakan yang menghambat investasi berdampak pula terhadap perbaikan iklim
usaha hortikultura. Investasi hortikultura diperkirakan akan berkembang di
semua lini di dalam sistem agribisnis yang pada gilirannya mendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah. Di sisi lain permintaan pasar internasional juga
akan meningkat sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi di berbagai
negara. Hal ini berdampak terhadap peningkatan peluang ekspor yang potensial
sebagai penerimaan devisa negara. Akumulasi permintaan pasar domestik dan
internasional perlu diantisipasi dengan peningkatan kegiatan di sektor produksi.
Sejalan dengan hal tersebut, sektor‐sektor pendukung juga akan tumbuh
mengikuti intensitas kegiatan sektor produksi. Pada akhirnya terbangun jaringan
kerja ekonomi yang bersifat lintas sektoral yang secara agregat berpengaruh
terhadap pertumbuhan perekonomian nasional.
Subsektor hortikultura harus dibangun berbasis pada kekayaan
sumberdaya genetik nasional yang memiliki kespesifikan keunggulan dan cita
rasa yang tidak dapat disaingi oleh produk serupa dari negara lain. Dengan
mengatur pola produksi, kapasitas produksi, dan proses produksi yang ramah
lingkungan akan diperoleh produk yang bersih dan berdaya saing global.
Mengingat permintaan pasar meningkat pesat, maka proses produksi
hortikultura akan berkembang ke lokasi baru bersamaan dengan penerapan
64
program intensifikasi di lahan yang telah mapan. Seiring dengan membesarnya
volume kegiatan usaha hortikultura di dalam negeri, dampak pengembangan
subsektor ini dapat dirasakan dari peningkatan kinerja pembangunan ekonomi
dari tahun ke tahun.
Pembangunan subsektor hortikultura ditargetkan dapat memberikan
kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi Indonesia 2035. Untuk dapat
mengukur kinerja subsektor hortikultura dan perannya dalam pembangunan
ekonomi nasional, maka ditetapkan tujuh indikator makro kinerja industri, yaitu
produksi, produktivitas, luas area panen, ekspor, PDB, tenaga kerja, tingkat
konsumsi dan kelembagaan. Masing‐masing indikator capaian kinerja subsektor
hortikultura tersebut terkait dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian
nasional.
Produksi buah pada tahun 2035 diproyeksikan mencapai 55 juta ton/ha
yang mampu memenuhi konsumsi sebesar 75 kg/kapita/tahun, sehingga sesuai
rekomendasi FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun. Luas area pertanaman buah tahun
2035 diproyeksikan mencapai 2,5 juta ha. PDB buah diperkirakan akan mencapai
Rp 109,8 trilyun dan nilai ekspor sebesar US $ 500 juta. Dengan memperhatikan
data proyeksi negara lain di Asia, Indonesia diperkirakan akan menjadi pemasok
30 % pasar Asia dan 20% pasar dunia.
Produksi sayuran tahun 2035 diproyeksikan sebesar 30 juta ton/ha dengan
luas area panen sebesar 2,2 juta ha. PDB sayuran tahun 2035 akan mencapai nilai
Rp. 75 trilyun dengan nilai ekspor sebesar US $ 400 juta. Konsumsi sayuran dapat
ditingkatkan menjadi 75 kg/kapita/tahun. NTP sayuran diperkirakan mencapai
107,3 berarti petani mendapatkan nilai tukar yang lebih baik dibandingkan
periode tahun sebelumnya. Dengan data proyeksi tersebut Indonesia
diperkirakan akan menjadi negara pemasuk utama sayuran tropis yang terbesar
di Asia.
65
Pada tahun 2035 luas area tanaman hias diproyeksikan mencapai 3.500 ha
dengan kapasitas produksi bunga potong sebesar 1.600 juta tangkai. PDB
tanaman hias diproyeksikan meningkat mencapai Rp 25 trilyun dengan ekspor
senilai US $ 50 juta. Jika dibandingkan dengan data serupa di negara Asia, maka
Indonesia diperkirakan akan menempati posisi kelima terbesar pemasok bunga
potong di wilayah Asia setelah Jepang, China, India dan Korea. Jepang
memproyeksikan produksi bunga potong senilai US $ 2.599 juta dengan luas area
sebesar 16.800 hektar, China menargetkan produksi senilai US $ 1172 juta
dengan luas area sebesar 44.079 ha, India menargetkan produksi senilai US $
1150 seluas 20.000 ha dan Korea Selatan akan menghasilkan US $ 284 juta
dengan luas area 2.268 ha.Tahun 2035 produksi tanaman obat diperkirakan
mencapai 2 juta ton dengan luas area sebesar 100.000 ha. PDB anaman obat
diperkirakan mencapai Rp 20 trilyun dengan nilai ekspor sebesar US $ 100 juta.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan produksi hortikultura di berbagai
daerah, kebutuhan akan benih bermutu meningkat nyata. Pada tahun 2025,
produksi benih buah diproyeksikan mencapai 129,44 juta pohon, sayuran 35 juta
ton (biji) dan 75 juta ton (benih umbi), tanaman hias 1.800 juta unit, dan
tanaman obat 2 juta ton. Produksi tersebut dapat dicapai dari luasan lahan
sebagai berikut: buah 0,2 juta ha; sayuran 0,75 juta ha; tanaman hias 0,1 juta ha;
dan biofarmaka 0,01 juta ha. Produksi benih hortikultura diarahkan pada upaya
penyediaan benih bermutu dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan dan harga
yang terjangkau.
Tahun 2035 sistem perlindungan tanaman hortikultura akan berfungsi
secara optimal dengan indikator: (a) terkawalnya produksi dan produktifitas
hortikultura dari gangguan OPT, yaitu proporsi luas serangan OPT utama
maksimal 5(lima) persen dari luas panen hortikultura; (b) terjaganya produksi
dan produktifitas hortikultura dari dampak perubahan pola iklim; (c) terjaminnya
mutu produk hortikultura agar tidak turun karena serangan OPT dan residu
pestisida tidak melebihi batas maksimum residu /BMR sehingga aman konsumsi
66
dan ekspor; dan (d) meningkatnya kegiatan ekspor dan terkendalinya impor
produk hortikultura terutama terkait dengan persyaratan SPS dan BMR.
Potensi pengembangan hortikultura sangat besar mencakup
keanekaragaman varietas dan kondisi tanah agroklimat sangat kondusif untuk
kegiatan produksi berbagai jenis buah‐buahan, sayuran, tanaman hias dan
tanaman biofarmaka. Potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal.
Dalam tahun 2035 diprediksi agribisnis hortikultura telah berada pada tahap
maju, sehingga sub sektor hortikultura telah mempunyai peran dalam ekonomi
nasional, baik dalam pendapatan nasional (PDB), sumber lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat dan devisa. Permintaan domestik akan produk
hortikultura akan meningkat cukup besar, didasarkan pada peningkatan jumlah
penduduk dan peningkatan partisipasi dan tingkat konsumsi sejalan dengan
kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2035 dengan pendapatan masyarakat US
$ 13 ribu per kapita.
Kenaikan produksi hortikultura berarti pula kenaikan ketersediaan produk
hortikultura di masyarakat, sehingga konsumsi per kapita masyarakat Indonesia
akan produk hortikultura akan mengalami peningkatan. Dalam tahun 2010 –
2035 konsumsi buah dan sayuran akan meningkat masing‐masing dari 32,6
kg/kap/tahun dan 40,7 kg/kap/tahun menjadi masing‐masing sebesar 75 kg/kap
per tahun atau meningkat sebesar 130 % untuk buah dan 84,3 persen untuk
sayuran. Dengan kondisi demikian maka konsumsi buah dan sayuran tahun 2035
telah memenuhi standar minimal FAO sebesar 73 kg/kap/tahun.
Peningkatan sasaran‐sasaran diatas perlu diikuti oleh berbagai upaya
antara lain : (a) penyediaan lahan usaha bagi pengembangan hortikultura, (b)
kegiatan usaha hortikultura yang menghasilkan produk bermutu sesuai
permintaan pasar, (c) dukungan industri perbenihan, (d) dukungan perlindungan
tanaman, (e) penerapan inovasi teknologi, (f) penyediaan infrastruktur, (g)
kelembagaan agribisnis, dan (8) penyediaan sistem informasi.
67
5.3. Subsektor Perkebunan
(1) Kinerja Pembangunan Perkebunan 2005 – 2010
Produksi Komoditas Perkebunan
Perkembangan produksi komoditas perkebunan selama periode 2005‐2010
sangat bervariasi, mulai dari negatif sampai dengan yang positif sangat cepat
(Tabel 4). Komoditas yang mengalami peningkatan produksi sangat cepat (trend
7%/tahun atau lebih) adalah pala, kelapa sawit, kakao, dan cengkeh, sedangkan
yang berkembang cukup cepat (trend 4.43‐6.63%/tahun) adalah kakao dan gula,
dan yang berkembang lambat (trend 0.94‐1.86%/tahun) adalah panili, kelapa,
jambu mete, kopi dan karet. Dua komoditas yang menurun produksinya adalah
tembakau dan teh.
Tabel 4. Perkembangan Produksi Komoditas Perkebunan Indonesia,2005‐2010 (ton)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Trend (%)
Kelapa sawit 5,453,817 6,594,914 6,766,836 7,363,847 7,873,294 8,036,431 7.30Karet 3,279,391 3,346,427 3,413,717 3,424,217 3,435,270 3,445,121 0.94Kelapa 3,096,844 3,131,158 3,193,266 3,239,672 3,257,970 3,266,448 1.14Gula 2,241,742 2,051,644 2,623,786 2,668,428 2,517,374 2,694,227 4.43Kakao 1,167,046 1,320,820 1,379,279 1,425,216 1,587,136 1,651,539 6.63Kopi 640,365 682,158 676,476 698,016 682,591 684,076 1.04Teh 166,091 146,858 150,623 153,971 156,901 150,342 ‐0.79Jambu mete 135,070 149,138 146,148 156,652 147,403 145,081 1.12Tembakau 153,470 146,265 164,851 168,037 176,510 122,276 ‐1.58Cengkeh 78,350 61,408 80,404 70,535 82,033 110,807 7.06Lada 78,328 77,533 74,131 80,420 82,834 84,218 1.84Pala 8,198 8,943 9,318 11,493 16,048 16,229 15.37Panili 2,366 3,768 3,177 3,319 3,007 3,059 1.86
Sumber: Statistik Perkebunan 2009‐2011 (berbagai komoditas), Ditjen Perkebunan, Jakarta, diolah.
Laju pertumbuhan produksi yang spektakuler pada komoditas kelapa sawit
disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar dunia yang cepat sebagai akibat
dari meningkatnya permintaan dunia akan minyak sawit dan meningkatnya
minyak mentah (crude oil) dunia. Insentif harga yang makin tinggi tersebut
menyebabkan sebagian areal komoditas perkebunan lain dan bahkan areal
komoditas pangan terkonversi menjadi areal kelapa sawit. Namun pembukaan
68
hutan secara besar‐besaran untuk perluasan areal, utamanya oleh perkebunan
besar swasta, mendapatkan kritikan dari negara‐negara lain karena kegiatan
tersebut dapat mengganggu keseimbangan alam dunia, dimana Indonesia
mempunyai peranan sangat penting dalam menjaga areal rain forest sebagai
salah satu paru‐paru dunia. Karena itu pada tahun 2011 dilakukan moratorium
kelapa sawit untuk mengendalikan penebangan hutan guna perluasan areal
kelapa sawit.
Laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat pada kakao, pala, dan
cengkeh juga disebabkan oleh permintaan pasar dan harga dunia yang
meningkat. Walaupun sebagian areal kakao dikonversi menjadi areal kelapa
sawit di beberapa wilayah, utamanya Sumatera, laju pertumbuhan produksinya
masih tinggi. Program Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) berdampak positif
terhadap pertumbuhan produksi komoditas ini. Jika masalah hama penggerek
buah kakao (PBK) dapat diatasi secara lebih baik, maka laju pertumbuhan
produksi tersebut sebenarnya bisa dipacu menjadi lebih cepat lagi. Produksi pala
dan cengkeh yang mengalami pertumbuhan produksi sangat cepat juga
disebabkan oleh permintaan dan harga dunia yang makin tinggi. Kedua jenis
komoditas rempah tersebut telah dikenal luas sejak zaman kolonial Belanda.
Produksi gula yang meningkat cukup pesat disebabkan oleh adanya
program pemerintah yaitu revitalisasi kebun tebu (utamanya program “bongkar
ratoon”) dan revitalisasi pabrik gula. Revitalisasi kebun tebu telah mampu
meningkatkan kandungan gula dalam nira tebu, sedangkan revitalisasi pabrik
gula telah dapat memperbaiki ekstraksi nira tebu dan rendemen gula yang
dihasilkannya.
Pertumbuhan negatif yang terjadi pada komoditas tembakau disebabkan
oleh tidak adanya lagi dukungan pemerintah dalam perluasan areal, disamping
turunnya permintaan akan rokok per kapita karena makin mahalnya harga rokok
sebagai akibat dari cukai rokok yang makin tinggi. Karena itu banyak industri
rokok yang tutup, utamanya yang berskala kecil, sehingga permintaan akan
69
tembakau oleh industri rokok dalam negeri menurun. Bersamaan dengan itu, laju
permintaan dunia akan daun dan produk tembakau juga melambat karena makin
tingginya kesadaran masyarakat dunia akan bahaya asap rokok terhadap
kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif. Sementara laju pertumbuhan
produksi teh yang negatif disebabkan oleh industri minuman pesaing yang
tumbuh sangat pesat, disamping produk teh Indonesia di pasar dunia juga
dikalahkan oleh produk teh asal negara‐negara lain.
Produksi beberapa komoditas perkebunan tersebut seluruhnya dihasilkan
oleh Perkebunan Rakyat (PR), yaitu jambu mete, lada dan panili (Tabel 5).
Sementara itu, produksi beberapa komoditas lainnya sebagian besar dihasilkan
oleh PR dan sebagian oleh Perkebunan Besar, yaitu kelapa, kakao, karet, kopi,
cengkeh, pala, tembakau, dan gula. Peranan Perushaan Besar Swasta dalam
memproduksi gula dan tembakau juga cukup signifikan. Komoditas yang lebih
banyak diproduksi oleh perkebunan besar adalah kelapa sawit, utamanya
Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Tabel 5. Pangsa Produksi Komoditas Perkebunan Menurut Tipe Manajemen di Indonesia 2010 (%)
No. Komoditas PR PBN PBS
1. Kelapa sawit 38.81 10.40 50.792. Kelapa 97.45 0.07 2.48 3. Gula 51.32 13.66 35.024. Karet 79.68 9.74 10.58 5. Kakao 91.60 4.36 4.036. Kopi 95.81 2.10 2.097. Tembakau 66.98 2.29 30.37 8. Teh 23.14 52.57 24.299. Jambu mete 100.00 0 0 10. Cengkeh 98.25 0.30 1.4511. Lada 100.00 0 0 12. Pala 99.38 0.62 013. Panili 100.00 0 0
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat; PBN = Perkebunan Besar Negara; PBS = Perkebunan Besar Swasta.
Sumber :
70
Peningkatan Nilai Tambah
Peningkatan nilai tambah di dalam negeri masih belum maksimal. Hal ini
terbukti dari bentuk produk yang diekspor pada umumnya masih berupa produk
primer, yaitu minhyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan minyak inti sawit
(Palm Kernel Oil/PKO) untuk kelapa sawit; karet remah, sheet dan lateks pekat
untuk karet; minyak kelapa mentah (Crude Coconut Oil/CCO) untuk kelapa; biji
kering kakao, kopi dan lada; daging buah jambu mete; daun tembakau; bunga
cengkeh; buah panili; dan buah pala. Di negara‐negara importir, produk‐produk
ekspor Indonesia tersebut digunakan sebagai bahan baku atau bahan pencampur
dalam industri manufaktur. Sebagai contoh, CPO untuk industri kosmetik dan
bahan bakar nabati (bio‐diesel), karet remah (crumb rubber) untuk industri ban,
CCO untuk kosmetik, biji kering kakao untuk bahan campuran dalam industri
cokelat, biji kering kopi untuk bahan campuran dalam industri kopi bubuk, daun
tembakau untuk rokok, bunga cengkeh untuk pestisida dan obat‐obatan, buah
panili untuk aroma makanan/minuman, biji kering lada, kulit kayu manis dan
buah pala untuk bumbu masakan.
Beberapa kebijakan dalam upaya peningkatan nilai tambah telah
ditempuh pemerintah, antara lain adalah pengenaan Bea Keluar (BK) untuk CPO
dan kakao. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk menghambat ekspor kedua
komoditas perkebunan sehingga pasokan dalam negeri cukup untuk mendukung
pengembangan industri hilir di dalam negeri.
Perdagangan Internasional dan Daya Saing
Produksi semua komoditas perkebunan yang disebutkan diatas diekspor
kenegara‐negara lain, kecuali gula yang selama ini Indonesia masih melakukan
impor. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6, nilai ekspor sebagian besar
komoditas perkebunan selama 2005‐2008 cenderung meningkat, sedangkan
pada tahun 2009 menurun. Pola perkembangan ini dialami oleh komoditas
71
kelapa sawit, karet, kopi, minyak kelapa, dan lada. Penurunan teesebut terjadi
karena gangguan iklim pada tahun 2009. Sementara nilai ekspor beberapa
komoditas, yaitu kakao, tembakau, jambu mete, dan pala, terus meningkat
selama periode 2005‐2009. Dua komoditas yang selama 2005‐2007 nilai
ekspornya meningkat pesat tetapi kemudian anjlok pada tahun 2008 dan turun
lagi pada tahun 2009 adalah cengkeh. Hal serupa juga dialami oleh panili, tetapi
penurunan pada tahun 2008 tidak sedrastis yang terjadi pada cengkeh. Dari
Tabel 6 juga dapat diketahui bahwa komoditas ekspor utama perkebunan dilihat
dari nilainya adalah minyak sawit, karet, kakao dan kopi, yang pada tahun 2009
pangsa nilai ekspor masing‐masing komoditas tersebut adalah 64.10%, 17.91%,
7.81% dan 4.55% atau 94.37% secara keseluruhan.
Tabel 6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Perkebunan di Indonesia, 2005‐2009 (US$'000)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
Minyak sawit*) 4,344,303 4,139,286 8,866,445 14,110,229 11,605,431
Karet 2,582,875 4,321,525 4,868,700 6,023,323 3,241,534
Kakao 664,338 852,778 924,157 1,268,914 1,413,535
Kopi 503,836 586,877 636,319 991,458 824,015
Minyak kelapa 411,830 270,674 570,410 769,134 387,360
Tembakau 117,433 107,787 124,423 133,196 172,629
Teh 121,777 134,515 125,243 158,958 171,628
Lada 58,468 77,258 132,495 185,701 140,313
Jambu mete 68,972 56,584 82,833 77,755 82,650
Pala 47,775 47,775 51,047 50,187 54,020
Cengkeh 14,916 23,533 33,951 7,251 5,586
Panili 5,347 5,891 6,066 5,565 5,087
Gula kristal 0 0 0 0 0
Total 8,941,870 10,624,483 16,422,089 23,781,671 18,103,788
Sumber: Statistik Perkebunan berbagai komoditas (Ditjen Perkebunan, 2011) *) Termasuk minyak inti sawit
Selain melakukan ekspor, Indonesia juga melakukan impor seluruh jenis
komoditas perkebunan tersebut diatas. Nilai impor komoditas perkebunan
selama 2005‐2009 diperlihatkan pada Tabel 7. Tiga jenis komoditas yang nilainya
72
menonjol adalah gula, tembakau dan kakao. Nilai impor gula sempat mencapai
puncaknya pada tahun 2007 yaitu lebih dari US$ 1 milyar, tetapi kemudian
menurun drastis pada tahun 2008 dan naik lagi pada tahun 2009. Impor gula
digunakan untuk menutup kekurangan produksi gula untuk konsumsi dan
memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman yang berkembang pesat.
NIlai impor tembakau terus meningkat selama 2005‐2008 tetapi menurun sedikit
pada tahun 2009. Impor tembakau dilakukan oleh industri rokok karena produksi
dalam negeri tidak lagi mencukupi kebutuhan, disamping harga tembakau impor
lebih murah dibanding tembakau produksi dalam negeri. Nilai impor kakao terus
meningkat selama 2005‐2009, utamanya ditujukan untuk bahan campuran
(blending) oleh industri cokelat di dalam negeri.
Tabel 7. Perkembangan Nilai Impor Komoditas Perkebunan di Indonesia,2005‐2009 (US$'000)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
Gula kristal 585,263 537,130 1,040,194 352,385 567,034
Tembakau 179,201 189,915 267,083 330,510 290,170
Kakao 82,326 74,185 82,786 113,381 119,321
Kopi 6,220 11,406 78,314 18,442 25,012
Karet 6,441 12,926 13,327 24,204 18,918
Kelapa sawit 8,366 2,494 7,036 8,953 16,822
The 7,161 8,703 11,855 11,990 12,537
Jambu mete 83 65 1,718 1,743 3,997
Lada 516 994 729 918 1,528
Panili 206 274 119 228 157
Minyak kelapa 3,646 3,693 3,341 183 147
Cengkeh 1 1 0 0 112
Pala 239 102 138 203 32
Total 879,669 841,888 1,506,640 863,140 1,055,787
Sumber: Statistik Perkebunan berbagai komoditas (Ditjen Perkebunan, 2011)
Neraca perdagangan komoditas perkebunan selama 2005‐2009 yang
diperlihatkan pada Tabel 8 memberikan gambaran bahwa ekspor sebagian besar
komoditas perkebunan mempunyai surplus yang bervariasi dari kecil hingga
sangat besar, yang bervariasi dari 87.61% sampai dengan 100% atau rata‐rata
73
97.37%. Ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan net exporter sebagian
besar komoditas perkebunan. Sementara itu, hanya ada 2 komoditas yang selalu
mengalami defisit perdagangan yaitu gula dan tembakau. Pada tahun 2009, nilai
deficit gula dan tembakau masing‐masing adalah US$ 567 juta dan US$ 117.5
juta. Dengan kata lain, impor gula dan tembakau mempunyai efek menguras
devisa negara. Total nilai surplus perdagangan komoditas perkebunan terus
meningkat selama 2005‐2008 tetapi kemudian menurun pada tahun 2009
menjadi sekitar US$ 17 milyar karena terjadinya penurunan produksi pada tahun
2009 (pada tahun 2008 mencapat US$ 23 milyar).
Tabel 8. Perkembangan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan di Indonesia 2005‐2009 (US$'000)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
Kelapa sawit 4,335,937 4,136,792 8,859,409 14,101,276 11,588,609
Karet 2,576,434 4,308,599 4,855,373 5,999,119 3,222,616
Kakao 582,012 778,593 841,371 1,155,533 1,294,214
Kopi 497,616 575,471 558,005 973,016 799,003
Minyak kelapa 408,184 266,981 567,069 768,951 387,213
Teh 114,616 125,812 113,388 146,968 159,091
Lada 57,952 76,264 131,766 184,783 138,785
Jambu mete 68,889 56,519 81,115 76,012 78,653
Pala 47,536 47,673 50,909 49,984 53,988
Cengkeh 14,915 23,532 33,951 7,251 5,474
Panili 5,141 5,617 5,947 5,337 4,930
Tembakau ‐61,768 ‐82,128 ‐142,660 ‐197,314 ‐117,541
Gula kristal ‐585,263 ‐537,130 ‐1,040,194 ‐352,385 ‐567,034
Total 8,062,201 9,782,595 14,915,449 22,918,531 17,048,001
Sumber :
Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan berbagai indikator, yang
salah satunya adalah pangsa produksi di tingkat dunia dan perkembangannya
selama periode tertentu. Tabel 9 menunjukkan bahwa 4 komoditas perkebunan
Indonesia mempunyai pangsa produksi yang sangat tinggi pada tahun 1999
dibanding 2005 dan menempati posisi pertama di dunia di antara sekian banyak
negara produsen, yaitu cengkeh, kelapa sawit, panili dan kelapa. Posisi kedua di
74
dunia ditempati oleh karet, kakao dana lada, dimana pangsa produksi karet dan
kakao meningkat sedangkan untuk pala menurun. Posisi ke tiga, kekima, keenam,
ketujuh dan kesebelas dunia diduduki oleh pala, kopi, tembakau, jambu mete,
teh dan gula. Posisi Indonesia yang relatif tinggi tersebut merupakan indikator
bahwa Indonesia menempati posisi penting dalam memproduksi komoditas
perkebunan tersebut. Sementara pangsa produksi yang meningkat pada tahun
2009 dibanding 2005 mengindikasikan daya saing produk perkebunan Indonesia
yang makin tinggi, yaitu cengkeh, kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, pala dan
jambu mete.
Tabel 9. Posisi Indonesia Dalam Produksi Komoditas Perkebunan Dunia, 2005 – 2009.
Komoditas Pangsa (%) Rangking
Indonesia 1999 Jumlah Negara Produsen1999 2005 2009
Cengkeh 74.51 77.23 1 12
Kelapa sawit 45.01 55.04 1 92
Panili 45.07 44.44 1 9
Kelapa 31.62 34.95 1 14
Karet 24.13 27.64 2 29
Kakao 15.86 19.60 2 58
Lada 20.44 17.73 2 41
Pala 10.08 11.08 3 20
Kopi 8.73 8.41 5 56
Tembakau 2.27 2.52 6 128
Mete 4.25 4.33 6 30
Teh 4.90 4.05 7 46
Gula 2.23 1.50 11 103
Sumber :
Di masa datang, daya saing dan posisi Indonesia di dunia dalam
memproduksi komoditas perkebunan perlu ditingkatkan atau minimal
dipertahankan jangan sampai turun. Program‐program revitalisasi perkebunan
perlu ditingkatkan dengan perencanaan dan mutu pelaksanaan yang lebih baik
lagi.
75
Peningkatan Kesejahteraan Petani
Komoditas perkebunan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan pendapatan petani produsennya. Di wilayah‐wilayah sentra
produksi perkebunan komoditas kelapa sawit, karet, kakao, kopi dan tebu,
dimana usahatani komoditas tersebut menjadi sumber utama pendapatan
petani, kondisi ekonomi rumah tangga petaninya pada umumnya sudah cukup
baik. Sementara di wilayah‐wilayah dimana usahatani komoditas perkebunan
menjadi usaha sambilan, seperti pada komoditas cengkeh, panili, lada, pala,
tembakau, jambu mete, dan teh, petani mendapatkan tambahan pendapatan
yang cukup baik untuk menopang kehidupan keluarganya.
(2.) Prospek Pengembangan Perkebunan.
Selama kurun waktu 2013‐2035, produksi sebagian komoditas perkebunan
akan tetap meningkat namun dengan laju yang menurun, dan sebagian kecil
komoditas akan mengalami penurunan produksi (tembakau dan teh). Laju
pertumbuhan produksi yang melambat tersebut utamanya disebabkan oleh
makin terbatasnya lahan yang tersedia untuk perluasan areal, dan lambatnya
peningkatan produktivitas. Lahan‐lahan yang digunakan untuk perluasan areal
pada umumya adalah lahan‐lahan kehutanan. Khususnya untuk pembukaan
lahan kelapa sawit sudah moratorium yang akan mengendalikan pembukaan
hutan untuk perluasan kebun kelapa sawit. Perluasan tanaman tebu di Jawa akan
makin sulit karena adanya persaingan dengan tanaman padi disawah dan
dengan jagung di lahan kering, serta konversi lahan untuk non‐pertanian. Dalam
jangka panjang, kebutuhan dunia akan karet alam sebagai bahan baku
pembuatan ban dan alat‐alat dari karet alam akan meningkat dengan
meningkatnya kebutuhan penduduk dan makin mahalnya harga karet sintetis
sebagai akibat makin mahalnya harga minyak mentah (crude oil) dunia.
76
Dengan makin terbatasnya lahan yang tersedia, baik kuantitas maupun
kualitas, maka ke depan program‐program pemerintah akan lebih dititik‐
beratkan pada perbaikan manajemen usahatani, mutu lahan dan teknologi.
Perluasan masih bisa terjadi tetapi dengan laju menurun. Berdasarkan itu, maka
produksi komoditas perkebunan pada tahun 2035 diperlihatkan pada Tabel 10.
Produksi semua komoditas perkebunan akan terus meningkat hingga 2035,
kecuali tembakau dan panili.
Tabel 10. Proyeksi Produksi Perkebunan Indonesia, 2013‐2035
Komoditas 2010 2013 2025 2035
Kelapa sawit 8,036,431 9,428,167 17,188,672 26,875,368
Kakao 1,651,539 1,959,937 3,731,194 6,025,388
Karet 3,445,121 3,476,942 3,599,062 3,692,484
Kelapa 3,266,448 3,306,944 3,463,523 3,584,541
Gula 2,694,227 2,711,403 2,776,873 2,826,493
Cengkeh 110,807 155,699 493,846 791,770
Kopi 684,076 687,080 698,474 707,054
Lada 84,218 95,070 149,935 210,408
Pala 16,229 24,919 107,118 195,202
Mete 145,081 150,008 170,052 186,652
Teh 150,342 154,334 170,292 183,201
Tembakau 122,276 111,945 80,393 62,901
Panili 3,059 2,868 2,253 1,884
Sumber :
Selain produksi meningkat, kualitas produk diharapkan juga akan
meningkat dengan berkembangnya teknologi pengolahan hasil yang dilakukan
oleh para industriawan perkebunan. Karena itu, komposisi produk ekspor
perkebunan akan makin bergeser ke produk‐produk yang mempunyai nilai guna
(utility value) dan nilai tambah (value added) yang makin tinggi, utamanya kelapa
sawit, karet, kopi dan kakao. Para petani generasi tua akan digantikan oleh
petani generasi baru yang lebih inovatif dengan manajemen usaha yang lebih
maju. Khusus untuk gula, perbaikan teknologi produksi dan pengolahan hasil
akan menjadi sumber prtumbuhan produksi tebu/gula di masa datang.
Pembelian langsung ke petani oleh importer, utamanya kopi specialty dan kakao
77
fermentasi, akan menjadi modus operansi yang makin luas, yang akan
berdampak positif bagi pendapatan petani dan efisiensi bagi importer.
5.4. Subsektor Peternakan
(1) Kinerja Ekonomi Peternakan
Industri peternakan berperan penting mendukung ketahanan pangan
nasional, yaitu sebagai sumber penghasil bahan pangan bernilai gizi tinggi dan
sebagai sumber pendapatan masyarakat baik dalam usaha on farm maupun off
farm. Untuk mencukupi bahan pangan hewani penduduk, sebagian harus
diimpor. Secara agregat posisi Indonesia merupakan negara net importir produk
peternakan. Produk peternakan yang diekspor mencakup ternak, hasil olahan
ternak, obat hewan, kulit dan tulang/tanduk. Sebaliknya Indonesia mengimpor
ternak, hasil olahan ternak, dan obat hewan. Kondisi 2004‐2008 neraca
perdagangan peternakan mengalami defisit rata‐rata USD 623,8 juta per tahun
(Ditjen Peternakan, 2009).
Ada tiga komponen utama produk pangan hewani yaitu daging, telur dan
susu. Tiga produk tersebut dihasilkan dari berbagai jenis ternak. Tiga kelompok
industri yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian dan perlu
mendapat perhatian khusus adalah: (1) kelompok industri sapi potong sebagai
penghasil daging; (2) kelompok industri unggas sebagai penghasil daging dan
telur; dan (3) kelompok industri sapi perah yang menghasilkan susu. Namun
demikian bukan berarti kelompok ternak lain tidak perlu mendapat perhatian,
seperti kambing/domba untuk kebutuhan ritual dalam negeri dan ekspor, babi
untuk ekspor, dan kelinci sebagai ternak potensial untuk dikembangkan di
pekarangan.
Dari aspek produksi daging nasional sebagian besar dihasilkan dari daging
unggas dengan pangsa 63,9%, daging sapi dan kerbau 20,4% dan daging lain yang
terdiri dari daging kambing, domba, babi, kuda, dan kelinci 15,7%. Peternakan
78
sapi dan unggas merupakan sektor pertumbuhan pada subsektor peternakan
(Ilham, 2007). Di Indonesia peran daging unggas sudah melampaui peran daging
sapi pada tahun 1986, sedangkan di level dunia peran tersebut beralih sejak
tahun 2000‐an (Ilham, 2009). Produk telur konsumsi sebagian besar yaitu 68,5%
berasal dari telur ayam ras, 14,9% dari ayam buras, dan 16,6% itik. Secara
agregat produk unggas (daging dan telur) sudah mampu dipenuhi dari produksi
domestik. Sementara itu konsumsi susu nasional sebagian besar yaitu 70%
berasal dari impor dan 30% dari produksi domestik.
Dari aspek ekonomi, keterlibatan Rumah Tangga Usaha Peternakan (RTUP)
Sapi Potong (RUTP) 2,6 juta, yang menempati posisi terbesar dari total RTUP 5,6
juta (BPS, 2005).Pasokan ternak dan daging sapi impor yang makin besar
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sapi potong secara regional dan nasional.
Demikian juga pada industri perunggasan yang diusahakan sekitar 105,5 ribu
RTUP Unggas (ayam ras pedaging dan petelur) menyerap tenaga kerja dan
jumlah investasi yang besar sejak dari pengadaan saprodi, produksi, pemasaran
hingga siap saji dan mampu memutar dana dalam jumlah besar dan cepat yang
sangat mempengaruhi perekonomian regional dan nasional. Berbeda dengan
industri sapi perah nasional yang tidak memberikan kontribusi besar pada
perekonomian. RTUP yang terlibat tidak banyak (111,5 ribu) dan hanya terdapat
pada beberapa daerah. Namun RTUP sapi perah sudah ada sejak lama, sehingga
tanpa ada perhatian pemerintah maka keberlanjutan keberadaannya akan
terganggu dengan dominasi produk susu impor.
Dari aspek konsumsi, rasa dan tekstur daging sapi masih belum tergantikan
dengan daging lain. Demikian juga untuk kebutuhan yang terkait dengan agama
(ternak kurban), sosial (prestise), dan budaya (upacara adat) keberadaannya
masih dibutuhkan. Bagi kelompok masyarakat berpendapat menengah ke
bawah, produk unggas baik daging dan telur merupakan produk substitusi bagi
daging sapi dan alternatif pangan sumber protein dengan harga murah sehingga
mudah diakses dari sisi ekonomi dan fisik. Ikan laut sebagai pangan bergizi tinggi
79
dari sisi harga sudah sulit terjangkau. Sementara itu, telur dapat bertahan selama
15 hari pada suhu kamar, sehingga pemasarannya sampai ke wilayah pedalaman
di Kalimantan dan Papua dengan harga terjangkau (Hadi et al, 2007). Susu segar
produk domestik bernilai gizi jauh lebih baik dari produk susu impor dalam
bentuk bubuk, sehingga keberadaannya tidak tergantikan dengan susu impor.
(2) Potensi Sumberdaya dan Peningkatan Nilai Tambah
Pada industri sapi potong sebagian masih dicukupi dari impor. Impor
dilakukan dalam bentuk sapi hidup dan daging sapi. Walaupun disadarai impor
sapi hidup memberikan nilai tambah yang lebih besar dari impor daging sapi,
namun kecenderungan dari waktu ke waktu impor daging terus meningkat. Saat
ini sekitar 65% pasokan daging sapi berasal dari produksi domestik dan 35% dari
impor daging beku dan sapi bakalan. Impor kedua komoditas tersebut dari tahun
ke tahun cenderung meningkat.
Potensi industri sapi potong berbasis sumberdaya lokal cukup tersedia,
namun pengelolaannya masih belum optimal. Ada dua komponen yang harus
diperhatikan dalam pengembangan industri sapi potong berbasis lokal yaitu
peningkatan produksi lokal dan pengendalian impor ternak dan daging sapi.
Selama ini filosofi impor kedua komoditas tersebut ditujukan hanya untuk
memenuhi kekurangan pasokan domestik. Namun kenyataannya justeru pasokan
domestik makin terdesak dengan produk impor tersebut karena dayasaing
produk lokal yang makin menurun.
Menyikapi makin besarnya peran ternak dan daging sapi impor yang
berdampak pada industri sapi potong domestik, pemerintah mencanangkan
Program PSDS. Program tersebut hingga kini sudah mencapai periode ketiga,
yaitu PSDS 2005, PSDS 2010, dan PSDS 2014. Secara konseptual program
tersebut secara bertahap ditingkatkan, namun dalam implementasinya masih
menghadapi banyak kendala. Paling tidak diperlukan beberapa perbaikan
80
dalamimplementasi program, yaitu: (a) dukungan dana yang konsisten, (b)
dukungan kebijakan inter dan antar kementerian yang terkait dengan
peningkatan produksi dalam negeri disinergikan dengan kebijakan pengendalian
impor secara konsisten mendukung ketahanan pangan yang mandiri, (c)
implementasi kegiatan yang fokus dan sungguh‐sungguh sesuai potensi.
Dari sisi sumberdaya, Indonesia memiliki sapi lokal dengan performance
yang baik. Selain itu untuk meningkatkan produktivitas menghasilkan daging
persilangan sapi lokal sudah berkembang baik pada daerah‐daerah tersedia
cukup pakan. Sumberdaya pakan tersedia dari berbagai sumber yaitu hasil
budidaya tanaman hijauan pakan ternak, rumput alam di padang
penggembalaan, limbah pertanian dan industri pertanian di wilayah tanaman
pangan, limbah perkebunan dan industri perkebunan di kawasan perkebunan.
Potensi peningkatan nilai tambah industri sapi potong pada kawasan baru
dapat dilakukan melalui pengembangan kawasan baru sapi potong berbasis
perkebunan kelapa sawit yang dikenal dengan program SITT (sistem integrasi
tananan ternak). Selama ini pola tanaman pangan dan sapi sudah berkembang di
kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan. Pola yang potensial yang
belum dikembangkan adalah antara sawit dan sapi. Dengan perkebunan yang
ada diperkirakan pengembangan program SITT berpotensi meningkatkan
populasi sapi potong. Menurut Mathius (2011), tanpa sentuhan teknologi,
potensi industri kelapa sawit dapat menampung dua ekor sapi dewasa untuk
setiap hektarnya. Saat ini Indonesia merupakan negara yang memiliki kebun
sawit terluas pada tahun 2009 mencapai 7,5 juta hektar.
Potensi peningkatan nilai tambah yang terkait antar daerah adalah masih
belum berkembangnya perdagangan daging beku sapi lokal. Diharapkan ke
depan perdagangan sapi hidup dengan risiko yang menyebabkan daya saingnya
di pasar konsumen menurun akan berganti menjadi perdagangan daging beku.
Potensi untuk itu sudah terlihat karena sebagian konsumen utamanya konsumen
81
industri saat ini banyak mengkonsumsi daging beku. Permasalahannya adalah
apakah kontinuitas dan harga dapat bersaing dengan produk impor. Selain itu,
pihak produsen akan menghadapi masalah bagaimana memasarkan jeroan
(perutan dan usus).
(3.) Prospek Pengembangan Peternakan
Indonesia merupakan negara berkembang, berpenduduk sekitar 235 juta
jiwa. Tingkat konsumsi penduduknya terhadap pangan asal hewani masih di
bawah Pola Pangan Harapan dan masih jauh lebih rendah dibandingkan negara‐
negara tetangga apalagi negara maju. Produk peternakan masih termasuk barang
mewah dengan nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari satu. Dengan posisi
demikian potensi permintaan produk pangan hewani ke depan akan terus
meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan dua faktor utama yaitu laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% pertahun dan laju pertumbuhan
pendapatan.
Pada sisi produksi, peningkatannya membutuhkan upaya keras karena
berbagai sumberdaya yang ada seperti lahan (pertanian lain, pemukiman,
industri, dan infrastruktur), pakan (food, fuel, dan feed) dan permodaalan
semakin terbatas (dana pemerintah terbatas, perbankan tidak berani ambil
risiko, dan swasta berorientasi keuntungan jangka pendek). Perkembangan
industri domestik menghadapi saingan dengan produk‐produk impor dari negara
maju yang didukung berbagai subsidi di sektor hulu dan on farm sehingga
perkembangannya terhambat.
Dengan kondisi permintaan dan penawaran yang demikian, kondisi
Indonesia pada tahun 2035 masih merupakan negara net importir. Dengan
pertumbuhan ekonomi, kemampuan menyediakan sapi domestik masih tidak
cukup dan perbedaan harga antara Australia dan Indonesia akan meningkatkan
impor ternak sapi Indonesia dari Australia (Hadi, et al.,2002). Quirke, et al.,
(2003) memperkirakan dengan terus meningkatnya permintaan daging sapi
82
Indonesia, ke depan diramalkan 70% pasokan daging sapi Indonesia berasal dari
impor.
Proyeksi yang dilakukan Kustiari (2009) pada tahun 2009‐2014
menunjukkan bahwa neraca produksi dan konsumsi daging sapi, telur dan susu
mengalami defisit, sedangkan untuk daging ayam mengalami surplus. Proyeksi
yang dilakukan MAFF Jepang (2011),diperkirakan pada tahun 2020 Indonesia
menjadi negara net importir produk‐produk peternakan anatara lain daging sapi,
daging babi, daging domba dan daging ayam.
Pengembangan sektor peternakan menghadapi sejumlah kendala seperti
pengembangan infrastruktur, ketergantungan impor bibit dan sarana produksi
dan pengembangan pasar dalam negeri. Sentra produksi yang terpencar di
berbagai daerah perlu dukungan infrastruktur pemasaran untuk
mendistribusikan ternak dan daging sapi ke sentra konsumen. Sebagai negara
kepulauan, sarana transportasi laut kurang mendukung proses distribusi
sehingga biaya distribusi yang terdiri dari biaya transport, pakan, tenaga, dan
penyusutan yang tinggi menyebabkan dayasaing produk lokal kalah dengan
produk impor. Panjangnya rantai pasok yang melibatkan berbagai pelaku usaha
juga menyebabkan lemahnya dayasaing.
Pada industri unggas, Indonesia masih tergantung pada PS dan GPS impor.
Belum ada upaya sistematis untuk dapat memproduksi PS dan GPS di dalam
negeri. Padahal nilai tambah usaha tersebut akan menjadi lebih baik jika
dilakukan di dalam negeri. Demikian juga dengan bahan baku pakan, sebagian
besar masih mengimpor terutama jagung dan MBM. Padahal potensi kedua
bahan baku tersebut cukup tersedia di Indonesia.
Secara agregat produk unggas (daging dan telur) sudah mampu dipenuhi
dari produksi domestik. Namun demikian masih dijumpai permasalahan dalam
industri unggas, yaitu: (a) penyediaan sarana produksi terutama bibit (Parent
Stock‐PS) dan pakan (jagung dan tepung tulang dan daging‐MBM) yang masih
83
tegantung impor, (b) wabah penyakit flu burung berdampak langsung berupa
kematian unggas dan dampak tak langsung berupa turunnya permintaan (Ilham
dan Yusdja, 2010), bahkan ekspor produk unggas utamanya ke Jepang
mengalami penurunan tajam. Walaupun saat ini kasus penyakit flu burung sudah
bersifat sporadis, jika tidak di kelola secara baik memungkin untuk mewabah
kembali, (c) masuknya produk impor berupa CLQ dapat mengganggu kinerja
industri unggas nasional dan keresahan konsumen dari aspek ASUH (aman,
sehat, utuh, dan halal), dan merupakan praktek perdagangan yang tidak fair
(Daryanto, 2007) yang perlu terus diwaspadai; (d) penataan kelembagaan
industri perunggasan yang melibatkan pengusaha unggas skala kecil, skala
menengah dan skala besar yang terintegrasi.
Industri ungas yang sudah maju dapat ditingkatkan lagi nilai tambahanya
dengan cara meningkatkan produksi jagung dan MBM dalam negeri serta
mengembangkan industri pengolahan daging dalam berbagai bentuk. Industri
pengolahan tersebut tentunya membutuhkan daging tanpa tulang yang lebih
banyak. Untuk itu industri ayam broiler yang selama ini melakukan panen dengan
berat sekitar satu kilogram dapat ditingkatkan menjadi lebih dari dua kilogram.
Dengan demikian efisiensi industri makin meningkat, harga makin menurun dan
kapasitas produksi akan meningkat.
Pada usaha sapi perah yang sebagian besar merupakan peternak kecil yang
tergabung dalam koperasi menghadapi masalah harga pakan yang terus
meningkat, sedangkan harga jual susu ke koperasi relatif tetap. Kebijakan
pemerintah membebaskan bea masuk atau memberi tanggungan terhadap bea
masuk menekan harga jual susu peternak ke IPS (industri pengolahan susu).
Sebenarnya ada potensi penjualan susu dengan harga yang jauh lebih tinggi
dibandingkan jual ke IPS, yaitu dengan menjual susu segar langsung ke konsumen
melalui kios‐kios susu atau langsung ke rumah tangga. Cara lain dengan
melakukan pengolahan seperti yang sudah dilakukan pengusaha peternakan
skala besar di beberapa daerah seperti Cimory di Cisarua. Untuk mendapatkan
84
pasar susu segar dengan harga baik diperlukan edukasi pada konsumen tentang
manfaat susu segar dibandingkan susu olahan. Selain itu perlu juga dukungan
pemerintah untuk mendapatkan captive market pada sekolah‐sekolah dan
TNI/POLRI.
VI. ANTISIPASI PERMASALAHAN PENELITIAN DAN PEMBANGUNAN SOSIAL
EKONOMI PERTANIAN NASIONAL, 2013‐2035
6.1. Pengembangan Kapasitas Produksi dan Investasi Pertanian
Penduduk, ekonomi, dan sosial budaya akan terus tumbuh dan
berkembang. Ini terjadi di semua level, baik di lingkup lokal, nasional, regional,
maupun global. Kesemuanya itu berimplikasi pada peningkatan kebutuhan
barang‐barang dan jasa‐jasa; baik kuantitas maupun kualitasnya. Khususnya pada
sektor pertanian, hal itu berimplikasi bahwa produksi pertanian harus terus
ditingkatkan. Ini bukan hanya meliputi produksi pertanian bahan pangan, bahan
baku energi, bahan baku industri pengolahan, tetapi mencakup pula produk‐
produk pertanian yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan rekreasi dan
estetika.
Untuk mendukung peningkatan produksi tersebut diperlukan peningkatan
kapasitas produksi. Kapasitas produksi pertanian ditentukan oleh ketersediaan
sumberdaya lahan dan air, infrastruktur pertanian dan perdesaan, teknologi
(bioteknologi, teknologi pasca panen, dan pengolahan), serta investasi pertanian.
Secara empiris, salah satu kendala terbesar yang dihadapi dalam
pembangunan pertanian terletak pada keterbatasan kapasitas produksi dan
investasi. Dikaitkan dengan kecenderungan yang terjadi selama ini,
permasalahan yang terkait dengan aspek ini diperkirakan akan semakin kompleks
karena beberapa hal berikut. Di satu sisi, seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi serta jumlah penduduk maka persaingan pemanfaatan
sumberdaya alam antar sektor akan makin ketat. Di sisi lain, sumberdaya alam
tersebut telah banyak yang terdegradasi,sehingga berimplikasi terhadap
kompleksitas permasalahan, karena munculnya permasalahan generasi kedua
(second generation problem) akibat lemahnya penerapan prinsip‐prinsip
86
pengelolaan berkelanjutan maupun rendahnya pencapaian target
rehabilitasinya.
(1) Sumberdaya Lahan dan Air
Semua sektor ekonomi berkepentingan dengan sumberdaya lahan dan air
sehingga sumberdaya ini terkategorikan sebagai sumberdaya paling strategis.
Sifat multi fungsi kedua sumberdaya ini berimplikasi bahwa norma sistem
pemanfaatannya bersifat lintas sektor, holistik, dan antar‐generasi. Pelanggaran
atas norma tersebut seringkali menimbulkan konflik antar pihak‐pihak yang
berkepentingan dan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan instrumen
ekonomi semata karena nilai‐nilai yang tercakup di dalamnya seringkali
menyangkut pula aspek budaya. Sementara itu, eksistensi sumberdaya tersebut
terutama sumberdaya air tunduk pada hukum‐hukumnya sendiri yang jika
dilanggar akan mengalami degradasi. Degradasi sumberdaya tersebut
memberikan umpan balik kepada pemanfaatannya berupa kerugian sosial yang
harus ditanggung dan jika tidak ada rehabilitasi maka akan memunculkan
persoalan baru jangka panjang.
Periode 25 tahun ke depan substansi permasalahan dan isu kebijakan
pertanian yang berkenaan dengan sumberdaya lahan dan air adalah:
a. Alih fungsi lahan pertanian. Ini mencakup alih fungsi lahan pertanian pangan
ke non pangan maupun ke non pertanian. Meskipun sudah ada Undang‐
undang tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (UU No.
41 Tahun 2009) namun sampai saat ini belum efektif. Penjabarannya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah memang telah ada, namun implementasinya
sampai ke bentuk Perda, Program Aksi, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaannya
masih sangat minim, sehingga sosialisasi dan pelaksanaannya di lapang
belum dapat dilakukan secara serius. Di sisi lain, desakan untuk memenuhi
kebutuhan lahan dari sektor lain sangat kuat sehingga terjadi berbagai upaya
87
pelemahan implementasi UU No. 41 Th 2009 tersebut. Oleh karena itu,
berbagai kajian untuk menyempurnakan strategi pengendalian alih fungsi
lahan pertanian masih diperlukan, setidaknya sampai dekade mendatang.
b. Degradasi sumberdaya lahan dan air. Degradasi sumberdaya lahan dan air
terkait dengan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Sampai saat ini jumlah
DAS yang mengalami degradasi lebih separuh. Dari yang telah diidentifikasi
saja, lebih dari 89 DAS pada Tahun 2009 yang lalu telah mengalami
degradasi; bahkan di Pulau Jawa lebih dari 90 persen DAS dalam keadaan
rusak, di mana lebih dari 60 persen diantaranya termasuk kategori kritis
berat. Kondisi ini perlu diatasi dengan segera agar kerugian sosial yang
timbul akibat krisis DAS tidak makin membesar. Selain kerusakan DAS, lahan
usahatani juga sudah banyak yang mengalami degradasi berupa
menurunnya kesuburan fisik dan kimia tanah akibat over intensifikasi tanpa
diimbangi dengan pemupukan dengan pupuk organik. Ini banyak ditemukan
di areal pertanian di Pulau Jawa, terutama pada lahan sawah. Akibat dari
kondisi ini adalah terus menurunnya produktivitas marginal pupuk an
organik dan kemudian justru mendorong petani menggunakan pupuk an
organik dengan dosis yang lebih tinggi, yang selanjutnya justru membuat
kesuburan fisik dan kimia tanah mengalami degradasi secara progresif.
c. Fragmentasi lahan pertanian. Terkait dengan pertumbuhan penduduk, pola
pewarisan menyebabkan fragmentasi pemilikan terus berlanjut. Pada saat
yang sama, transaksi jual beli lahan pertanian juga semakin banyak. Secara
bersamaan, kedua hal itu menyebabkan laju fragmentasi lahan pertanian
makin cepat. Kondisi ini, mempersulit upaya konsolidasi usahatani dan
menjadi salah satu kendala peningkatan efisiensi pertanian.
d. Masalah land grabbing. Seiring dengan makin langkanya lahan pertanian
maka land grabbing makin menggejala. Saat ini, land grabbing yang
dilakukan sejumlah negara maju/negara kaya memang masih terpusat di
88
Amerika Selatan, Afrika, dan di beberapa negara Asia seperti di Filipina.
Namun jika tidak diantisipasi dengan baik maka sangat mungkin akan
merambah pula ke Indonesia. Gejala‐gejala ke arah itu sudah tampak,
misalnya dengan modus pengembangan kawasan pertanian berbasis
korporasi maupun penguasaan saham oleh negara‐negara asing di sejumlah
perkebunan sawit di Indonesia. Masalah ini membutuhkan perhatian yang
sangat serius karena potensial memunculkan konflik sosial dan dalam jangka
menengah – panjang sangat potensial memunculkan kerugian ekonomi yang
sangat besar.
e. Disharmoni arah perkembangan perluasan lahan pertanian di Jawa vs Luar
Jawa. Pembangunan pertanian dinilai kurang mampu mengintegrasikan
implikasi dari struktur kepulauan dalam strategi kebijakan pembangunan
pertanian. Akibatnya, di satu sisi penguasaan lahan pertanian di Jawa
semakin gurem, di sisi lain sumberdaya lahan di Luar Jawa yang potensial
dikembangkan menjadi lahan pertanian ternyata tidak berkembang. Kondisi
ini justru akan makin parah jika konsep MP3EI tidak dikoreksi.
f. Implikasi dari degradasi kawasan hutan terhadap pertanian. Meskipun saat
ini telah ada Inpres tentang moratorium pembukaan hutan dan kawasan
gambut namun berbagai upaya untuk menyiasatinya terus dilakukan oleh
pemangku kepentingan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek
saja. Persoalannya menjadi lebih kompleks karena degradasi fungsi hutan
tidak hanya bersumber dari penebangan hutan tetapi juga ancaman dari
pembukaan pertambangan di wilayah hutan lindung. Mengingat
implikasinya terhadap kondisi sumberdaya air sangat serius maka sektor
pertanian perlu lebih dilibatkan karena secara empiris ternyata cukup
banyak kegiatan pengelolaan hutan lestari yang keberhasilannya ternyata
ditentukan oleh partisipasi petani kawasan sekitar hutan.
89
g. Kebijakan keagrariaan. Salah satu kendala pengembangan pertanian di
Indonesia juga bersumber dari masalah hukum pertanahan yang sebenarnya
masih ”belum selesai”. Butir‐butir pokok hukum agraria 1960 yang dalam
disain awal sebenarnya dapat dijadikan landasan untuk menyingkronkan
nilai‐nilai budaya lokal dengan hukum pertanahan nasional justru mengalami
”dormancy”. Konflik‐konflik horizontal maupun vertikal yang terjadi di
beberapa kawasan sekitar perkebunan atau sekitar kawasan pertambangan
di beberapa daerah (terutama di Luar Pulau Jawa) perlu dicermati karena
berimplikasi sangat serius terhadap masa depan pembangunan pertanian
khususnya, maupun pembangunan nasional pada umumnya.
h. Efisiensi penggunaan air irigasi. Perubahan iklim akan ditandai oleh
berkurangnya presipitasi di kawasan bagian Selatan Ekuator yang lebih
rendah dan meningkatnya presipitasi di kawasan bagian Utara Ekuator.
Secara empiris, sampai saat ini sentra‐sentra produksi beras yang dihasilkan
di wilayah‐wilayah yang terletak di sebelah selatan Ekuator (Sumatera
Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Selatan). Turunnya presipitasi tentu saja akan mengakibatkan
pasokan air untuk tanaman pangan, baik dari irigasi maupun dari curah
hujan menjadi lebih rendah. Untuk itu efisiensi penggunaan air irigasi,
utamanya di wilayah‐wilayah tersebut harus dapat diwujudkan.
i. Alokasi lahan pertanian untuk biofuel dan implikasinya terhadap
keberlanjutan pangan. Seiring dengan makin langkanya bahan bakar fosil
sebagai sumber energi, permintaan akan biofuel akan semakin tinggi. Ini
akan berimplikasi terhadap keberlanjutan ketahanan pangan karena
sebagian dari sumberdaya lahan dan air akan dialokasikan untuk
menghasilkan biofuel. Suatu rancang bangun kebijakan harmonisasi pangan
– energi dalam penggunaan sumberdaya lahan dan air harus dipersiapkan
sejak dini.
90
(2.) Infrastruktur Pertanian dan Perdesaan
Berbagai pengamatan empiris maupun hasil‐hasil penelitian menunjukkan
bahwa upaya peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani dan
masyarakat perdesaan, terkendala oleh situasi dan kondisi infrastruktur yang
kurang memadai. Di perdesaan, kuantitas dan kualitas infrastruktur di bidang
transportasi masih kurang, sedangkan yang telah ada cukup banyak yang rusak.
Hal ini menyebabkan biaya distribusi barang dan jasa menjadi mahal. Di musim
hujan, di beberapa perdesaan sentra produksi pertanian kondisi jalan
penghubung antara hamparan pertanian dengan pusat desa atau kota
kecamatan dalam kondisi rusak sehingga biaya penyaluran hasil panen melonjak.
Oleh karena struktur pasar cenderung oligopsoni dan pangsa biaya
pengangkutan dalam struktur ongkos pemasaran dominan, sehingga pada
akhirnya harga yang diterima petani lebih rendah dari yang diharapkan.
Jika tidak segera diperbaiki, menurunnya kualitas sarana transportasi
perdesaan tersebut bukan hanya tidak kondusif untuk meningkatkan produksi
pertanian tetapi juga menghambat pembangunan ekonomi dalam arti luas serta
mempersulit upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan distribusinya. Hal
ini terkait dengan peran strategis infrastruktur transportasi di perdesaan untuk
mendukung mobilitas sumberdaya pertanian dan perdesaan serta
perkembangan sektor non pertanian di perdesaan.
Di masa mendatang kinerja sektor pertanian ataupun perekonomian dalam
arti luas akan sangat dipengaruhi oleh dampak negatif perubahan iklim. Dalam
situasi dan kondisi demikian itu, tingkat ketersediaan (kuantitas maupun kualitas)
infrastruktur mempunyai peranan yang sangat vital karena merupakan
determinan kapasitas adaptasi dan mitigasi.
Di sektor pertanian, salah satu kemunduran infrastruktur yang paling
menonjol adalah kerusakan infrastruktur irigasi. Selain terjadinya pendangkalan
bendungan, jaringan irigasi yang kondisinya rusak diperkirakan tak kurang dari 25
91
persen sehingga secara umum kualitas irigasi menurun. Beberapa penelitian
empiris menunjukkan bahwa kerusakan fisik jaringan irigasi merupakan salah
satu faktor penyebab utama turunnya kinerja irigasi. Kerusakan terjadi baik di
jaringan sekunder maupun tersier. Laju kerusakan terus berlanjut karena biaya
operasi dan pemeliharaan irigasi yang tersedia sangat terbatas. Degradasi
kualitas irigasi ini merupakan kendala yang sangat serius dalam peningkatan
produksi pangan.
Infrastruktur lain seperti jalan usahatani, pasar‐pasar desa, maupun
infrastruktur pendukung program penyuluhan juga banyak yang harus
direhabilitasi. Kemunduran kualitas jalan usahatani disebabkan minimnya
pemeliharaan sebagai akibat dari sangat terbatasnya anggaran yang tersedia dan
degradasi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemeliharaannya. Di beberapa
perdesaan kemunduran kinerja pasar desa justru terjadi karena akses desa‐kota
meningkat sehingga penduduk perdesaan banyak yang langsung menjual hasil‐
hasil pertanian ataupun membeli sarana produksi pertanian yang dibutuhkannya
di kota‐kota terdekat. Sementara itu, menurunnya kualitas infrastruktur
penyuluhan diduga berkaitan erat dengan menurunnya perhatian pemerintah
akan arti penting aktivitas ini.
Sejak era otonomi daerah, rehabilitasi dan atau pengembangan
infrastruktur di perdesaan mengalami pelambatan. Faktor penyebab utama
adalah sangat terbatasnya anggaran pemerintah yang tersedia, sementara itu
biaya investasi infrastruktur mengalami kenaikan yang sangat tajam. Faktor
penyebab yang lain adalah: (a) pemerintah setempat mengutamakan investasi
untuk pembangunan infrastruktur di wilayah urban karena lebih cepat dan lebih
banyak menghasilkan Penerimaan Asli Daerah (PAD), (b) masih berkembangnya
persepsi bahwa pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat, dan (c) secara kultural, pemerintah daerah
pada umumnya belum siap untuk mengelola secara mandiri infrastruktur di
wilayahnya.
92
Dalam arti luas, infrastruktur mencakup infrastruktur fisik maupun non fisik
(misalnya kelembagaan). Efektivitasnya dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi ditentukan oleh sinergi yang tercipta dari kinerja kombinasi kedua
kategori infrastruktur tersebut. Oleh karena itu, pengembangan dan atau
rehabilitasi infrastruktur harus mencakup kedua kategori tersebut.
Persoalan yang sangat mendasar adalah bahwa pengembangan dan atau
rehabilitasi infrastruktur membutuhkan biaya yang sangat besar dan cenderung
semakin mahal seiring dengan meningkatnya upah tenaga kerja, harga material
yang diperlukan untuk membangun infrastruktur, dan sebagainya. Oleh karena
itu penentuan skala prioritas sangat diperlukan.
Secara normatif, penentuan skala prioritas harus didasarkan atas manfaat
yang dapat dipetik dari investasi di bidang infrastruktur yang bersangkutan.
Pengertian manfaat tidak hanya manfaat finansial tetapi manfaat sosial‐
ekonomi, karena pembangunan infrastruktur bukan hanya berdampak positip
terhadap peningkatan produksi tetapi juga perluasan kesempatan kerja,
perbaikan distribsusi pendapatan, perbaikan taraf kesehatan, tingkat pendidikan
bahkan pelestarian lingkungan. Dalam jangka pendek, terkait dengan
karakteristik perekonomian wilayah perdesaan, jenis‐jenis infrastruktur yang
mendesak dibangun dan atau direhabilitasi seyogyanya difokuskan pada
infrastruktur yang memberikan dampak nyata terhadap peningkatan produksi
pertanian dan pendapatan petani.
Dalam penentuan skala prioritas tersebut dibutuhkan adanya data dan
informasi yang memadai tentang situasi dan kondisi infrastruktur serta
pengaruhnya terhadap produksi pertanian dan pendapatan petani khususnya
dan pendapatan masyarakat perdesaan pada umumnya.
93
(3) Bioteknologi, Teknologi Pasca Panen, dan Pengolahan
Di masa mendatang, peranan bioteknologi dalam pertanian akan semakin
luas dan diperkirakan menjadi determinan pertumbuhan produktivitas.
Peranannya akan meliputi usaha di bidang perbenihan, usahatani, penanganan
pasca panen, bahkan sampai ke pengolahan hasil pertanian.
Dalam konteks ini berbagai masalah yang berkenaan dengan prospek
maupun kendala pengembangan dan aplikasi GMO dalam pertanian perlu dikaji
dengan sangat serius. Alasannya, selain berkenaan dengan aspek lingkungan dan
keberlanjutan usaha pertanian itu sendiri masalah sosial ekonomi yang terkait
dengan pengembangan GMO juga sangat kompleks karena berkenaan dengan
keamanan hayati, keamanan pangan, kelestarian keragaman hayati, risiko usaha,
dan keadilan dalam memetik manfaat hasil pembangunan.
Selain substansi permasalahan yang berkenaan dengan bioteknologi,
teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian akan menjadi motor
penggerak dalam pembangunan pertanian.
(4) Investasi dan Sumber Pembiayaan Sektor Pertanian
Investasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan yang penting.
Investasi di sektor pertanian berasal dari investasi pemerintah (public
investment), petani, dan sektor swasta.
Diperkirakan bahwa dalam dua puluh lima tahun ke depan, arah investasi
dari petani dan sektor swasta cenderung mengarah pada sektor perkebunan
(orientasi ekspor maupun untuk biofuel) dan hortikultura sebagai komoditas
bernilai ekonomi tinggi. Dalam hubungannya dengan pendapatan petani, dinilai
kondusif namun tanpa adanya kebijakan yang tepat maka yang akan terancam
adalah pasokan pangan.
94
Peranan sektor swasta dalam investasi pertanian diperkirakan akan
semakin besar, terutama di sektor perkebunan, hortikultura, dan peternakan.
Untuk sub sektor tanaman pangan, investasi non pemerintah masih akan
bertumpu pada pertanian rakyat karena sub sektor ini cenderung padat tenaga
(labor intensive) sedangkan profitabilitasnya relatif rendah jika dibandingkan
dengan investasi di sub sektor perkebunan dan atau hortikultura.
Mengacu pada kondisi tersebut di atas, agar keberlanjutan ketahanan
pangan nasional dapat diwujudkan maka investasi dari pemerintah masih akan
tetap menjadi faktor penentu. Dalam hal ini investasi tidak hanya berorientasi
pada peningkatan produktivitas tetapi juga meliputi aspek keberlanjutan (aspek
lingkungan), penciptaan kesempatan kerja, perlindungan petani terhadap risiko
iklim, dan fasilitasi pengembangan nilai tambah melalui pengembangan agro
industri.
6.2. Penguatan dan Perlindungan Usaha Petanian
(1) Ketersediaan dan Akses Sarana Produksi Pertanian
Dua hal penting terkait sarana produksi pertanian untuk penguatan dan
perlindungan usahatani adalah ketersediaan dan dapat diakses secara fisik dan
ekonomi oleh petani yang berada di pedesaan. Selama ini beberapa sarana
produksi tersedia namun sulit mengaksesnya dalam waktu yang tepat sehingga
mengganggu sistem produksi yang terkait dengan musim, seperti usahatani
tanaman pangan.
Pada sebsektor peternakan khususnya usaha sapi potong,
permasalahannya terletak pada penyediaan sapi bibit dan sapi bakalan karena itu
pembangunan industri sapi potong perlu difokuskan pada pembenahan terhadap
sistem pembibitan dan perkembangbiakan (IRSA, 2009). Upaya tersebut dapat
dilakukan melalui tiga pola pembibitan berdasarkan sumber pakan, yaitu: (a)
95
berbasis padang penggembalaan, (b) berbasis hijauan pakan dan limbah
pertanian pangan, dan (c) berbasis lahan dan limbah tanaman perkebunan.
Pada bisnis pembibitan terjadi suatu yang paradoks. Pada satu sisi masih
banyak dibutuhkan sapi bibit dan sapi bakalan. Pada sisi lain pihak pengusaha
masih enggan berinvestasi dalam usaha penyediaan sapi bibit dan sapi bakalan.
Akibatnya harga kedua komoditas tersebut menjadi mahal dan merupakan faktor
yang menekan daya saing produk akhir yaitu ternak dan daging sapi. Kedua
usaha tersebut berpotensi dilakukan dalam bentuk usaha: (a) Usaha BUMN, (b)
Usaha Swasta, dan (c) Usaha Rakyat. Untuk merangsang ketiga pelaku usaha ini
diperlukan sistem insentif.
Sistem insentif dapat dilakukan dengan berbagai bentuk sesuai dengan
kondisi yang ada. Suatu sistem yang sudah baik berjalan jangan diintervensi
dengan insentif yang justeru merusak sistem yang ada. Seperti kasus benih padi,
adanya bantuan bibit pada Program P2BN justeru manggangu sistem yang ada.
Dalam hal ini pembinaan sistem pengadaan dan peningkatan kualitas dinilai lebih
tepat dari pada melakukan bantuan benih. Hal yang sama pada subsektor
peternakan, saat ini sebagian pengadaan semen beku sudah dilakukan dengan
swadana. Namun masih diperlukan pengaturan sistem distribusi agar tidak
terjadi perkawinan sapi secara inbreeding yang merugikan atau persilangan
tanpa mempertahankan kemurnian ras sapi lokal yang ada sebagai kekayaan
plasma nutfah..
(2) Manajemen dan Efisiensi Usahatani
Manajemen dan efisiensi usahatani dua hal yang saling terkait. Setidaknya
efisiensi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu skala ekonomi (Hirshleifer, 1985),
economy of scope, dan penerapan supply chain management‐SCM (Daryanto,
2009). Dengan kemampuan manajemen petani yang baik dan didukung dengan
96
usahatani yang memperhatikan skala ekonomi dan economi of scope maka
tingkat efisiensi usahatani dapat ditingkatkan.
Masalahnya adalah ada fenomena aging pada petani. Penduduk
berpendidikan lebih suka bekerja di sektor luar pertanian. Pekerjaan usahatani
tidak memberikan prestise dan tidak memberikan pendapatan yang memadai
dimata generasi muda. Skala usaha sangat menentukan pendapatan dari sektor
usahatani. Walaupun teknologi tersedia jika pemilikan lahan petani sempit, maka
pendapatan pertanian tidak memberikan harapan baik. Selain itu, dengan skala
usaha yang kecil sulit mengadopsi teknologi yang merupakan salah satu faktor
untuk mencapai efisiensi usahatani.
Selain skala usaha, economy of scope merupakan salah satu cara
meningkatkan efisiensi usahatani dan meningkatkan pendapatan petani. Adanya
berbagai kegiatan on farm dan off farm yang saling terkait dan dikelola oleh
seorang atau sekelompok petani akan meningkatkan biaya transaksi dan nilai
tambah usaha sehingga meningkatkan efisiensi usahatani secara keseluruhan.
Oleh karena itu ke depan diharapkan kebijakan pembangunan pertanian
harus memperhatikan peran skala menengah. Petani skala menengah dapat
diciptakan melalui pemilik‐pemilik modal untuk berinvestasi pada sektor
pertanian dan menggabung petani, peternak dan pekebun dalam satu kelompok
dan gapoktan dalam satu manajemen. Tingginya biaya transaksi antar subsistem
dalam satu sistem agribisnis, dapat dihindari dengan melakukan usahatani yang
terintegrasi secara vertikal dan horizontal.
Selain bersatu dalam manajemen diharapkan petani bergabung dalam satu
kelompok asosiasi. Kelompok asosiasi diperlukan untuk memperkuat bargaining
power antar pelaku usaha dan pemerintah dalam berbagai aspek seperti
kemudahan mendapat pembinaan, subsidi dan berhadapan dengan importir. Jika
petani tidak bergabung dalam asosiasi pemerintah sulit berhadapan dengan
pengusaha yang mempunyai posisi lebih kuat.
97
Pakpahan (2011), menunjukkan kasus di Amerika dan
mengimplementasikannya pada usaha perkebunan tebu di Indonesia betapa
pentingnya asosiasi petani dibentuk. Keberadaan asosiasi mewujudkan lembaga
legal yang menampung dan mewakili seluruh anggota dapat bergerak secara
legal melalui kekuatan massa untuk mencapai tujuan‐tujuan yang diinginkan
petani. Dampak keberadaan asosiasi tersebut mampu meningkatkan kinerja
industri gula.
(3) Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Produk Pertanian
Pasca panen mayoritas komoditas pertanian belum ditangani secara
optimal, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan.
Pada tanaman padi, teknik perontokan gabah masih menimbulkan kerugian
karena adanya hasil yang tercecer. Pengeringan gabah masih menjadi masalah
besar, yaitu terbatasnya tempat penjemuran dan alat pengering, utamanya pada
musim hujan, sehingga petani menjual gabahnya dalam bentuk gabah kering
panen (GKP) yang kadar airnya cukup tinggi (25‐30%). Untuk jagung, proses
pengolahan menjadi pakan ternak, tepung maizena, makanan kering (corn flake,
dll), dan produk kalengan (baby corn) sudah berkembang pesat karena ditangani
oleh perusahaan besar, yang di antaranya merupakan perusahaan multinational,
dan produk‐produknya ditujukan untuk ekspor. Biji kedelai lebih banyak diproses
menjadi tahu, tempe dan kecap oleh industri rumah tangga dengan teknologi
sederhana. Jenis kedelai tertentu yaitu eda mame diawetkan dan dikemas dalam
kaleng dan diekspor. Ubi kayu umumnya diproses menjadi tepung tapioka dan
bio‐ethanol oleh perusahaan besar dengan teknologi yang sudah maju. Sebagian
hasil ubikayu diolah menjadi gaplek (cassava chips) dan pellet yang banyak
dipasarkan ke luar negeri.
Pada komoditas buah‐buahan dan sayuran, cara penanganan pasca panen
pada umumnya juga masih jauh dari memadai, antara lain karena kemasan dan
98
teknik pengangkutan yang kurang baik. Hal ini menyebabkan kerusakan hasil
yang besar sehingga menimbulkan kerugian besar. Hasil yang dipasarkan pada
umumnya dalam bentuk segar, sedangkan produk olahan belum berkembang
karena masalah pasokan bahan baku tidak kontinyu, skala usaha kecil, teknologi
pengolahan yang maju belum dikuasai, dan jangkauan pemasaran masih bersifat
lokal (misalnya keripik dan sale pisang, keripik singkong, keripik kentang). Hanya
beberapa jenis komoditas yang telah diproses dengan teknologi maju oleh
perusahaan besar dan produk olahannya dipasarkan ke berbagai negara, yang
umumnya dalam bentuk produk kalengan, utamanya nenas dan jamur. Jenis
kentang tertentu diolah khusus untuk potato chips (kentang goreng) dan snack
oleh perusahaan besar. Dengan kualitas terpilih dan dikemas secara rapi dan
higienik, beberapa jenis buah‐buahan seperti mangga, jeruk, pepaya, manggis,
alpukat dan berbagai jenis sayuran produksi dalam negeri dijual di pasar
swalayan.
Pada komoditas perkebunan seperti kakao, petani masih enggan
melakukan fermentasi biji karena korbanan yang dikeluarkan lebih besar
dibanding kenaikan harga akibat perbaikan kualitas. Disamping itu, petani
memerlukan uang tunai segera untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Pada komoditas perkebunan lain, seperti kelapa sawit, tebu/gula, kelapa, karet
dan teh, penanganan pasca panen sudah cukup baik. Namun untuk kelapa sawit,
produk industri masih dalam bentuk primer yaitu CPO, namun sebagian hasil CPO
telah diolah menjadi bio‐diesel (bio‐solar) pengganti solar asal fossil. Sementara
untuk karet, petani masih menerapkan teknologi pasca panen yang kurang baik,
dimana hasil yang dijual dalam bentuk bahan olahan karet yang kotor dan
berkadar air tinggi. Namun produk‐produk karet petani telah diolah menjadi
karet remah (crumb rubber) oleh perusahaan swasta berskala besar dan
dipasarkan ke berbagai negara di dunia. Penanganan pasca`panen kopi oleh
rakyat juga belum baik, dimana sortasi dan grading belum dilakukan sehingga
terjadi percampuran biji kopi bermutu bagus (biji tua berwarna merah) dan
99
bermutu jelek (biji muda berwarna hijau). Hasil teh umumnya diproses oleh
perusahaan besar yang menghasilkan daun teh kering hitam dan hijau, dan
minuman ringan (soft drink). Untuk tembakau, daun tembakau diproses menjadi
daun kering sebagai bahan baku pabrik rokok di dalam negeri atau diekspor.
Dengan dicabutnya subsidi harga minyak tanah, maka biaya pengeringan daun
tembakau menjadi mahal dan banyak petani yang mengeluh. Bunga cengkeh
sebagian besar digunakan oleh industri rokok kretek di Indonesia dan sebagian
diolah menjadi minyak atsiri untuk bahan pembuatan obat serangga.
Pada komoditas peternakan, cara pemotongan ternak masih dilakukan
secara tradisional dan belum memenuhi standar higienik, utamanya sapi. Kondisi
rumah pemotongan hewan (RPH), meskipun milik pemerintah, masih belum
memenuhi standar kesehatan, dan cara pemotongan ternak sapi masih belum
menerapkan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare). Hanya di beberapa
RPH milik BUMD dan swasta berskala besar yang sudah menerapkan standar.
Para pedagang daging di pasar tradisional umumnya menjual daging segar
karena konsumen lebih menginginkan daging segar dibanding daging beku.
Pengolahan hasil ternak menjadi makanan jadi seperti bakso, sosis, burger,
dendeng, abon, dan lain‐lain sudah cukup berkembang, namun sebagian besar
produk olahan daging sapi sebenarnya berupa bakso. Pengolahan susu segar
menjadi susu bubuk, susu kental manis, ice cream, yoghurt dan keju sudah
berkembang yang dilakukan oleh perusahaan besar, yang beberapa di antaranya
merupakan perusahaan multinasional, seperti Frisian Flag, Nestle, dan lain‐lain.
Koperasi Susu di wilayah Bandung, yaitu Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung
Selatan dan Koperasi Susu Bandung Utara, telah memproses sebagaian hasil
susus segarnya menjadi yoghurt dan ice cream tetapi masih dalam skala kecil.
100
(4.) Subsidi dan Proteksi Pertanian
Subsidi bertujuan untuk meringankan beban biaya yang ditanggung oleh
petani produsen hasil pertanian sehingga petani mampu membeli input dalam
jumlah yang cukup sehingga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan atau
dipertahankan pada tingkat yang tinggi. Peningkatan produktivitas diharapkan
mempunyai kontribusi positif dalam upaya peningkatan produksi pangan untuk
memperkuat ketahanan pangan. Jenis input yang disubsidi harganya adalah
pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK Phonska dan dan NPK Pelangi), pupuk
organik dan benih tanaman pangan tertentu (padi non‐hibrida, jagung hibrida,
jagung komposit dan kedelai). Sasaran penerima subsidi pupuk adalah petani
yang mempunyai luas lahan garapan maksimal 2 ha/KK, baik petani tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan (kebun rumput). Subsidi
pupuk diberikan secara tidak langsung melalui 5 BUMN pupuk, yaitu PT Pupuk
Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, PT Petrokimia Gresik dan
PT Pupuk Kalimantan Timur. Sementara subsidi benih diberikan melalui 2 BUMN
benih yaitu PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani. Dengan adanya subsidi, petani
hanya membayar sebesar HET (harga eceran tertinggI) untuk pupuk dan HP
(harga penyerahan) untuk benih. Penyaluran pupuk bersubsidi dari produsen
pupuk hingga kios pengecer telah diatur dalam Permendag, sedangkan
penyaluran benih bersubsidi diatur dalam Permentan. Kebutuhan pupuk
bersubsidi dituangkan dalam RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok) yang
dibuat oleh Kelompok Tani dengan dibantu oleh PPL. Alokasi pupuk bersubsidi
oleh pemerintah memperhatikan kebutuhan petani tersebut dan kemampuan
anggaran pemerintah.
Permasalahan penting yang terkait dengan penyaluran pupuk bersubsidi
adalah: (1) Data kebutuhan pupuk yang dituangkan dalam RDKK belum
didasarkan atas luas lahan garapan yang obyektif; (2) Sebagian petani tidak
menjadi anggota kelompok tani sehingga kebutuhan pupuknya belum masuk
kedalam RDKK, yang berdampak mengganggu ketersediaan pupuk bagi petani
101
anggota kelompok; (3) Masih terjadi perembesan pupuk bersubsidi dari wilayah
pangan ke wiiayah perkebunan besar sebagai akibat adanya disparitas harga
pupuk, yaitu harga subsidi dan harga non‐subsidi yang perbedaannya sangat
besar; dan (4) Khusus untuk pupuk organik, bahan baku masih sangat terbatas
sehingga kebutuhan petani belum tercukupi. Sementara masalah pada subsidi
benih adalah harga subsidi tidak berbeda jauh dari harga non‐subsidi (sekitar 5%)
dan mutunya juga tidak berbeda jauh dari mutu benih non‐subsidi. Alasan
pemerintah adalah agar penangkar benih yang selama ini telah berkembang
pesat tetap eksis dan sustainable. Masalah lainnya adalah bahwa program
bantuan langsung benih unggul (BLBU), dimana benih diberikan kepada petani
secara gratis dalam rangka pelaksanaan SLPTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu), mengurangi penggunaan benih bersubsidi.
Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi bunga kredit untuk
usahatani. Beberapa skim kredit yang sudah diluncurkan adalah KKPE (Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi), KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi), KUR (Kredit
Usaha Rakyat) dan KEPN‐RP (Kredit Pembangunan Enegeri Nabati dan Revitalisasi
Perkebunan). Besaran subsidi bunga bervariasi dari 5‐8% per tahun, tetapi untuk
KUPS hanya 5%, sementara untuk KUR tidak ada subsidi bunga tetapi
persyaratan agunan relatif mudah dibanding kredit komersial pada umumnya.
Namun tingkat serapan berbagai skim kredit tersebut masih sangat rendah
karena persyaratan agunan yang sulit dapat dipenuhi oleh petani atau kelompok
tani.
Proteksi pertanian bertujuan agar harga yang diterima petani tidak jatuh
karena terlalu banyak impor yang menyebabkan terjadinya over supply. Karena
itu, impor hasil pertanian dikenakan tariff impor, namun maksimum hanya 5%
berdasarkan kesepakatan WTO. Namun khusus untuk komoditas pertanian
tertentu yang sudah berhasil masuk ke dalam kategori “Special Product” seperti
beras, jagung, kedelai dan gula, Indonesia diperbolehkan untuk mengenakan tarif
impor yang cukup tinggi, disamping melakukan pengaturan waktu dan
102
penetapan pelabuhan impor. Masalah yang selama ini muncul adalah adanya
impor beras dan gula yang tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan dan waktu
yang kurang tepat. Pengadaan beras dalam negeri untuk menjaga agar stok
nasional cukup belum dilakukan secara maksimal, sehingga kurang berdampak
positif terhadap stabilitas harga pangan ditingkat produsen. Demikian pula impor
gula rafinasi yang seharusnya untuk memasok industri makanan dan
minuman,sebagian masuk ke pasar gula konsumsi sehingga harga gula konsumsi
jatuh dan petani tebu menderita kerugian.
(5.) Sistem Usahatani Ekologis Ramah Lingkungan
Makin terbatasnya sumberdaya dan tingkat degradasi yang makin
meningkat perlu dilakukan upaya‐upaya konservasi sumberdaya pertanian,
diantaranya lahan dan air. Untuk itu aplikasi ekonomi pasar yang menggunakan
konsep penawaran dan permintaan tidak cukup karena akan terus menguras
sumberdaya. Diperlukan juga penerapan ekonomi kelembagaan. Untuk
menerapkan sistem usahatani yang ramah lingkungan diperlukan aturan‐aturan
baik formal maupun informal, sehingga sistem usahatani yang dibangun
dirancang dengan memperhatikan fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi
ekologi.
Dalam praktek, sistem usahatani ekologis ramah lingkungan dapat
dibangun dengan berbagai pola sesuai kondisi lingkungan setempat. Jika
memumngkinkan sistem usahatani ramah lingkungan dapat di tansformasi atau
di replikasi ke daerah lain dengan melalui penyesesuaian. Setidaknya ada empat
cara mengembangkan sistem usahatani ramah lingkungan, yaitu: (a)
mengidentifikasi sistem yang sudah ada pada masyarakat di suatu daerah
tertentu untuk dikembangkan di daerah lain; (b) membangun sistem baru
dengan mengintegrasikan antar sistem usaha, sehingga pemanfaatan input
menjadi efisien dan limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan; (c) membangun
103
sistem usahatani yang sekaligus juga sebagai upaya konservasi lahan dan air; (d)
mengembangkan teknologi penggunaan input yang berbasis bahan organik; dan
(e) menerapkan beban pajak progresif pada usaha‐usaha yang cenderung
mengekploitasi sumberdaya.
Subak di Bali merupakan bentuk kelembagaan irigasi masyarakat di Bali.
Kelembagaan subak melakukan pengelolaan dan pelayanan irigasi berdasarkan
harmoni dan kebersamaan yang menggabungkan sistem teknologi dan sistem
kebudayaan (Windia et al, 2005) yang mendukung sistem usahatani ekologis
ramah lingkungan. Karena sistem subak merupakan suatu teknologi dan sudah
merupakan kebudayaan, dapat ditansformasi ke daerah lain.
Sistem integrasi tanaman pangan dan ternak dengan pola zero‐waste juga
merupakan sistem usahatani yang ramah lingkungan. Pada usahatani ternak dan
tanaman dikenal istilah pengembangan ternak dengan pola SITT (sistem integrasi
tanaman ternak). Sebagai contoh integrasi sawit dan sapi potong, dimana usaha
sapi potong dapat memanfaatkan limbah tanaman dan limbah industri
perkebunan sawit dan sebaliknya pupuk kandang yang dihasilkan mampu
menjaga kualitas lahan. Disisi lain kerjasama pihak Perhutani dengan masyarakat
sekitar hutan dalam memanfaatkan lahan di bawah tanaman kehutanan dalam
jangka panjang dapat mengganggu peran hutan sebagai penangkap air.
Upaya‐upaya yang dilakukan organisasi pecinta lingkungan untuk
mengklaim produk‐produk perkebunan dan kehutanan dengan alasan merusak
lingkungan, memperkerjakan tenaga di bawah umur, dll merupakan upaya untuk
mengerem derasnya peran ekonomi pasar yang dapat merusak lingkungan. Kritik
dan saran dari organisasi tersebut perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembangunan pertanian di Indonesia.
104
(6.) Pemasaran dan Perdagangan Komoditas dan Produk Pertanian
Dalam pemasaran komoditas pertanian, petani selalu dalam posisi tawar
yang lebih lemah dibanding pembeli sehingga mereka hanya menerima harga
yang lebih rendah dari yang seharusnya. Beberapa faktor penyebabnya antara
lain adalah: (a) Skala usahatani terlalu kecil dan belum kuatnya organisasi petani
untuk melakukan kegiatan pemasaran bersama (group marketing) yang dapat
meningkatkan skala usaha untuk perbaikan posisi rebut‐tawar; (b) Modal petani
terbatas sehingga seringkali mereka terikat hutang pada pembeli/pedagang
sehingga membatasi pilihan penjualan produk; (c) Rantai pemasaran yang cukup
panjang, utamanya bagi lokasi petani yang terisolasi, sehingga biaya pemasaran
(angkutan dan marjin keuntungan pedagang) menjadi tinggi; (d) Kurang aksesnya
petani terhadap informasi pasar (harga dan lokasi/tujuan pemasaran) sehingga
menerima harga relatif rendah; dan (e) Kemitraan usaha antara petani dan
pengusaha seringkali menemui kegagalan antara lain karena kurangnya menjaga
kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Dalam perdagangan internasional, sekitar 360 jenis produk pertanian
Indonesia diekspor ke berbagai negara di dunia. Namun komoditas ekspor
tersebut pada umumnya masih dalam bentuk produk primer dan bermutu
rendah sehingga nilai tambah (value added) lebih banyak jatuh di negara‐negara
pembeli yang memproses komoditas menjadi barang‐jadi. Sebagai contoh adalah
minyak sawit mentah (crude palm oil), minyak kelapa mentah (crude coconut oil),
karet remah (crumb rubber), biji kakao kering tanpa fermentasi, kopi biji kering,
gaplek (cassava chips), daun tembakau, dan produk segar (buah dan sayuran).
Hanya sedikit komoditas ekspor pertanian yang dalam bentuk olahan, antara lain
adalah produk kalengan (nenas, jamur, baby corn), bentuk awetan (asinan),
bentuk setengah‐jadi (kakao bubuk, mentega dan pasta; tapioka) dan produk
sampingan (bungkil inti sawit dan bungkil kopra). Rendahnya mutu hasil yang
diekspor seringkali menyebabkan terjadinya pemotongan harga (price discount),
penahanan otomatis (automatic detention) dan penolakan (rejection) oleh
105
pembeli di luar negeri,sehingga menimbulkan kerugian besar bagi eksportir
Indonesia. Kerugian itu selalu dibebankan kepada pedagang pemasok (supplier)
dan akhirnya supplier membebankan kerugiannya kepada petani.
Disamping melakukan ekspor 360 jenis produk pertanian, Indonesia juga
mengimpor sekitar 340 jenis produk pertanian, namun yang paling banyak dari
segi nilainya adalah gandum dan tepung gandum. Produk lainnya yang cukup
menonjol adalah kedelai, susu, gula, jagung, suplemen pakan ternak, tembakau,
produk tembakau, beras, buah‐buahan (jeruk, apel, anggur, durian) dan
beberapa jenis sayuran. Beberapa jenis produk impor tidak mengganggu
komoditas pertanian lokal karena tidak diproduksi di Indonesia, utamanya
gandum.
(7.) Efisiensi dan Daya Saing Produk Pertanian Nasional
Produk pertanian pada umumnya diproduksi secara kurang efisien, yang
terbukti dari biaya per unit hasil yang masih relatif tinggi dibanding di luar negeri.
Beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah: (a) Skala usaha terlalu kecil dan
belum berkembangnya usaha kolektif, baik dalam usahatani maupun pengolahan
dan pemasaran hasil; (b) Teknologi usahatani belum tepat guna; (c) Teknologi
panen dan pasca panen (termasuk pengangkutan) belum baik sehingga
menimbulkan biaya berupa nilai kehilangan hasil yang cukup tinggi; dan (d)
Pungutan liar yang menambah biaya dalam pengangkutan hasil.
Dalam perdagangan internasional, komoditas pertanian yang diekspor oleh
Indonesia pada umumnya juga diekspor oleh negara‐negara lain, utamanya
negara‐negara Asia yang kondisi biofisiknya hampir sama dengan Indonesia.
Persaingan terjadi pada tiga pilar daya saing, yaitu biaya per unit output, mutu
hasil dan kontinuitas pasokan. Di pasar ekspor, cukup banyak komoditas
pertanian Indonesia yang daya saingnya cukup tinggi dan meningkat. Hal ini
terlihat dari pangsa pasar ekspor yang tinggi dan membaik. Sebagai contoh
106
adalah beberapa produk perkebunan seperti minyak sawit dan karet, dan produk
hortikultura seperti buah dan sayur kaleng. Daya saing ini bersumber dari
keunggulan komparatif (comparative advantage). Namun jika dilihat dari mutu
hasil yang diekspor dan kontinyuitas pasokannya, sebenarnya masih banyak
produk Indonesia yang daya saingnya rendah, misalnya kakao, kopi, dan teh.
Dengan kata lain, keunggulan kompetitifnya (competitive advantage) masih
kurang kuat. Sementara di pasar domestik, banyak komoditas pertanian yang
daya saingnya rendah, antara lain beras, kedelai, gula, daging sapi dan beberapa
jenis buah‐buahan, karena kedua jenis keunggulannya, yaitu keunggulan
komparatif dan kompetitifnya, masih relatif rendah.
6.3. Kelembagaan dan Regulasi Pertanianpenguatan kelembagaan pasar input (benih, pupuk),
kelembagaan kredit atau kelembagaan permodalan usahatani,
(1) Keberadaan Pasar Input Utama Pertanian
Dalam pembangunan pertanian, penguatan kelembagaan pasar input
utama pertanian merupakan hal yang sangat penting. Untuk pengembangan
usahatani yang kompetitif diperlukan kelembagaan kredit atau kelembagaan
permodalan usahatani, kelembagaan pupuk dari mulai pengadaan sampai
distribusinya, kelembagaan benih dengan salah satu bagiannya dikenal sebagai
struktur jaringan benih antar lapang (JABAL), dan kelembagaan pestisida yang
terkait dengan penyediaan serta distribusinya. Setiap kelembagaan memiliki
kekhasan, terutama dilihat dari aturan kerja, dengan latar belakang tata‐nilai
atau norma tertentu, penentuan hak dan kewajiban antar bagian, serta struktur
organisasi yang menentukan bagaimana keterkaitan antar bagian tersebut.
Dalam revitalisasi kelembagaan perbenihan/perbibitan, perlu dilakukan
beberapa upaya : (a) Penataan kembali kelembagaan perbenihan/perbibitan
nasional mulai dari tingkat pusat sampai daerah; (b) Memberdayakan penangkar
107
dan produsen benih berbasis lokal; (c) Meningkatkan peran swasta dalam
membangun industri perbenihan/perbibitan; (d) Mengembangkan industri
perbenihan yang mengarah pada: (i) kemandirian industri benih nasional yang
mencakup kemandirian produksi benih dan industri varietas, (ii) kemandirian
penyediaan benih berbasis kawasan, dan (iii) industri benih berbasis komunitas.
Untuk mendorong berkembangnya industri benih di dalam negeri, maka importir
pedagang benih diharuskan mengembangkan perbenihan di dalam negeri
sehingga menjadi importir produsen benih dalam upaya untuk menahan laju
benih impor.
(2.) Sistem Iptek dan Transfer Teknologi Pertanian
Ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berubah, untuk itu agar
pembangunan pertanian dapat berlangsung terus menuntut adanya suatu
perubahan berkelanjutan di bidang inovasi teknologi. Hal ini diperlukan dalam
kaitannya dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan perubahan dalam sistem
pertanian/industri pertanian. Sejak proses budidaya sampai pascapanen
komoditas pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi
pertanian secara berkelanjutan. Inovasi teknologi tersebut sangat relatif. Bisa
merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang dikembangkan petani, ditemukan
petani dan peneliti lain, dari beragam kelembagaan pemerintah dan atau swasta
di dalam dan luar negeri. Dengan sumberdaya yang terbatas dan tatanan pasar
yang sangat kompetitif, penerapan inovasi teknologi merupakan faktor kunci
dalam pengembangan pertanian industrial unggul berkelanjutan. Inovasi
teknologi harus bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas produksi dan
produktivitas sehingga dapat memacu pertumbuhan produksi dan peningkatan
daya saing. Inovasi teknologi juga diperlukan dalam pengembangan produk
(product development) dalam rangka peningkatan nilai tambah, diversifikasi
produk dan transformasi produk sesuai dengan preferensi konsumen.
108
Dalam proses transfer inovasi teknologi kepada pengguna mencakup lima
tahapan yang perlu diperhatikan, yakni (a) tahap kesadaran, yaitu seseorang
(sasaran) mulai sadar tentang adanya inovasi teknologi; (b) tahap menaruh
minat, yang ditandai oleh keinginan seseorang (sasaran) untuk bertanya atau
untuk mengetahui lebih banyak tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
inovasi teknologi; (c) tahap penilaian, yaitu seseorang (sasaran) melakukan
penilaian terhadap inovasi, baik aspek teknis, ekonomi, maupun sosial budaya,
dikaitkan dengan kondisi sasaran serta antisipasi aplikasi teknologi; (d) tahap
mencoba: seseorang (sasaran) menerapkan inovasi dalam skala kecil untuk
menentukan kegunaan dan kesesuaian teknologi; serta (e) tahap penerimaan
atau menerapkan dengan keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang
telah dilakukan. Selain itu kecepatan penerapan suatu inovasi teknologi juga
perlu memperhatikan karakteristik pengguna seperti umur, pendidikan, faktor
psikologis (rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi pada
usahatani dan kemudahan inovasi), pendapatan usahatani, luas usahatani,
prestise dalam masyarakat, sumber informasi yang digunakan, tingkat kerumitan
suatu inovasi, dan interaksi faktor‐faktor tersebut yang berhubungan.
(3.) Kelembagaan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian
Dalam Undang‐Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006
penyuluhan merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku
usaha. Sasarannya adalah agar mereka mau dan mampu menolong serta
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Strategi
penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang dewasa;
109
penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuhkembangan dinamika
organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan
kapasitas pelaku utama yang profesional.
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan pelaku utama pembangunan,
termasuk pertanian. Tanpa pelaku yang handal dan berkompeten, maka
pembangunan pertanian tidak dapat berjalan secara optimal. Ada tiga komponen
SDM pertanian yang perlu dikembangkan kapasitasnya: (a) Non‐aparatur yang
meliputi petani/tenaga kerja pertanian dan pelaku industri pertanian lainnya; (b)
Aparatur pertanian, baik fungsional maupun struktural yang lebih berperan
sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator dalam proses pembangunan
pertanian; (c) Lembaga petani pedesaan seperti kelompok tani, gabungan
kelompok tani (gapoktan), Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya
(P4S), koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, kios sarana produksi, dan lembaga
pemasaran.
Wilayah kerja penyuluhan pertanian yang luas dan jumlah
individu/kelompok petani yang banyak menuntut rasio penyuluh dan petani yang
ideal. Selain itu penyuluh juga memerlukan sarana transportasi, komunikasi, alat
peraga dan biaya operasional pembinaan yang memadai. Untuk itu diperlukan
upaya‐upaya mewujudkan sistem penyuluhan yang efektif melalui terbangunnya
kelembagaan penyuluhan yang didukung dengan kapasitas dan jumlah penyuluh
yang proporsional, sarana kerja dan fasilitas operasional yang memadai,
pembinaan yang berkesinambungan serta terbuka bagi masyarakat yang
berminat untuk berperan serta dalam kegiatan penyuluhan. Dalam memenuhi
kebutuhan penyuluh pertanian untuk pembangunan pertanian dan ketahanan
pangan, tidak hanya ditugaskan penyuluh dengan status pegawai negeri sipil,
tetapi dapat melibatkan penyuluh swadaya dari masyarakat secara partisipatif
dan sukarela, serta penyuluh swasta dari kalangan dunia usaha.
110
(4.) Pola Usahatani dan Konsolidasi Agribisnis
Pola usahatani yang dijalankan petani secara umum dilakukan
secaraindividual, atau organisasi keluarga. Kegiatan ekonomi yang tidak
terorganisir akan sulit ditingkatkan daya saingnya. Kegiatan usahatani pertanian
yang bertujuan peningkatan produksi semata dengan nilai tambah yang relatif
kecil, tampaknya akan menjadi kendala pencapaian tujuan peningkatan
kesejahteraan petani. Untuk itu perlu upaya yang mengarah pada pendekatan
pola usahatani yang berorientasi industri pertanian. Beberapa faktor yang
mendukung perbaikan sistem manajeman dan keorganisasian industri pertanian,
antara lain adalah: (a) Basis organisasi dari individu petani perlu ditranformasikan
pada kolektivitas individu; (b) Kesatuan organisasi produksi yang masih terbatas
pada sistem usahatani ditranformasikan pada seluruh jaringan industri pertanian
di pedesaan; (c) Jaringan industri pertanian yang bersifat parsial dan tersekat‐
sekat ditranformasikan secara utuh dan integratif; (d) Sistem kemitraan yang
bersifat interdependensi asimetris ditranformasikan menjadi interdependensi
simetris; (e) Aliansi strategis petani dan pelaku ekonomi lokal ditranformasikan
menjadi organisasi petani dan asosiasi profesional; dan (f) Sistem manajemen
usaha yang bersifat tertutup, “otoritarian” dan “bad accountability”
ditranformasikan ke arah transparan, demokratis dan memiliki akuntabilitas yang
baik.
Sistem produksi yang semula hanya berorientasi menghasilkan produk
bahan mentah bernilai tambah ekonomi rendah menjadi menghasilkan produk
olahan atau produk akhir yang bernilai tambah ekonomi tinggi. Transformasi
sistem produksi ini juga bisa diartikan sebagai upaya agar sistem usaha pertanian
menjadi lebih utuh dan terintegrasi. Strategi mengintegrasikan sekat‐sekat
kegiatan usaha pertanian menjadi satu kesatuan yang lebih utuh dapat diartikan
sebagai upaya meningkatkan efisiensi pembiayaan dalam sistem usaha pertanian
111
secara keseluruhan. Di masa mendatang pola kemitraan yang ada seyogyanya
ditransformasikan hingga memiliki ciri interdependensi yang lebih simetris.
Secara kolektif petani diarahkan untuk menguasai seluruh jaringan usaha
pertanian di pedesaan. Kemampuan petani menggalang aliansi strategis dengan
pelaku ekonomi lain, seperti dengan pedagang antar kota, pengolah skala besar,
dan eksportir merupakan salah satu strategi penting pengembangan usaha
pertanian.
Usaha pertanian rakyat berskala kecil dan tersebar serta terbatas dalam
menyediakan agunan. Hal ini mengakibatkan perbankan kurang berminat untuk
membangun jaringan hingga ke pelosok‐pelosok desa. Proporsi alokasi dan
tingkat penyerapan pembiayaan usaha kecil di bidang pertanian relatif rendah,
termasuk yang dibiayai dari kredit program. Kelembagaan kelompok usaha tani
yang belum solid serta tingkat pendidikan petani yang rendah merupakan
kendala dalam menyusun proposal/rencana usaha dan mengelola administrasi
keuangan yang merupakan pra syarat dalam pengajuan pinjaman ke perbankan.
Untuk itu diperlukan upaya‐upaya yang dapat mendorong keberpihakan
pemerintah dan perbankan agar dapat memberikan kredit program dan kredit
komersial berbunga rendah yang disertai dengan upaya memperluas jaringan
pelayanannya hingga ke pelosok pedesaan. Di samping itu, diperlukan juga upaya
pendampingan dan penguatan kelembagaan usaha kelompok, peningkatan
kemampuan dalam menyusun rencana usaha dan manajemen pengelolaan
keuangan serta penumbuhan, pengembangan kelembagaan keuangan mikro
pedesaan, pengembangan Koperasi Unit Desa maupun koperasi khusus
pertanian di pedesaan.
(5.) Pembiayaan Usahatani dan Asuransi Pertanian
Dalam kegiatan berusahatani, petani senantiasa menghadapi risiko
kegagalan panen. Pengembangan asuransi pertanian merupakan salah satu
112
alternatif bentuk skim pendanaan untuk membagi risiko dan membantu petani
dari kerugian gagal panen. Upaya merealisasikan asuransi pertanian perlu
keberpihakan pemerintah, terutama yang terkait dengan pengesahan RUU
Perlindungan Petani yang diusulkan Kementerian Pertanian tahun 2010, sehingga
dapat dijadikan payung hukum. Pendekatan pola komunikasi dialogis perlu
dilakukan dengan pihak penyelenggara skim asuransi pertanian, termasuk
dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Mengingat
minat petani untuk ikut asuransi pertanian sangat tinggi dengan harapan
mendapatkan modal usahatani untuk kegiatan tanam pada musim berikutnya,
setelah mengalami gagal panen.
(6.) Pengembangan Kemitraan dan Sistem Rantai Pasok
Dalam kemitraan usaha secara terpadu perlu memahami persyaratan
membangun kelembagaan kemitraan usaha yang berdaya saing dan
berkelanjutan. Persyaratan tersebut mencakup: (a) Proses perencanaan dan
pelaksanaan melalui proses sosial yang matang; (b) Kemampuan dalam
membangun saling kepercayaan di antara pihak‐pihak yang bermitra; (c) Adanya
keterbukaan dalam membangun kemitraan usaha terutama dalam penetapan
harga dan pembagian keuntungan; (d) Sistem pengaturan produksi yang
didasarkan dinamika permintaan pasar yang terjalin dalam kemitraan usaha; (e)
Adanya satu manajemen dalam pengambilan keputusan melalui kemitraan
kelembagaan usaha; (f) Koordinasi secara vertikal antar pelaku industri
pertanian, termasuk mekanisme pembentukan harga; (g) Adanya jaminan
kepastian pasar dan harga melalui kemitraan usaha; (h) Pengembangan
kelembagaan kemitraan usaha didasarkan atas tingkat perkembangan sistem
industri pertanian dan karakteristik komoditas, serta bersifat spesifik lokasi; (i)
Pentingnya melakukan konsolidasi kelembagaan kelompok tani; (j) Pentingnya
memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi sebagai energi daya kerja untuk
113
menghasilkan produk pertanian berdaya saing; (k) Pengembangan sistem
informasi yang handal untuk mempermudah sistem pengambilan keputusan
dalam kelembagaan kemitraan usaha.
Sistem manajemen rantai pasok merupakan satu kesatuan sistem
pemasaran terpadu yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku guna
memberikan kepuasan kepada pelanggan. Pelaku dalam rantai pasok antara lain
adalah: (1) Produsen baik individu maupun kelompok; (2) Pemasok (supplier); (3)
Pengolah (manufacture); (4) Pendistribusi (distributor); (5) Pengecer (retail
outlet); serta (6) Pelanggan (customer). Beberapa tujuan manajemen rantai
pasok suatu komoditas atau produk adalah: (1) Mengurangi risiko pasar; (2)
Meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; (3) Berguna
dalam menyusun strategi pengembangan produk, serta (4) Strategi untuk
memasuki pasar baru.
Sistem manajemen rantai pasok tersebut perlu didukung kelembagaan
petani yang tangguh/kokoh, dalam arti: (a) Petani melakukan konsolidasi dalam
wadah keorganisasaian (kelompok tani); (b) Dalam rangka penguatan
keorganisasian di ruang publik, kelompok tani perlu diberikan landasan hukum
atau badan hukum (koperasi pertanian, koperasi industri pertanian, atau
kelembagaan lainnya sesuai kebutuhan; (c) Sebagai lembaga berbadan hukum,
keorganisasian kelompok tani dapat dikembangakan (misalnya) dalam bentuk
asosiasi industri pertanian industrial pedesaan; (d) Dengan asosiasi yang
beraliansi luas, keorganisasian industri pertanian pedesaan akan relatif mudah
melakukan konsolidasi terhadap lahan, permodalan, SDM, manajemen,
infrastruktur, dan pemasaran; khususnya dalam rangka peningkatan daya saing
usaha.
6.4. Kebijakan Ekonomi Makro dan Perdagangan
(1.) Kebijakan Ekonomi Makro
114
Permasalahan perekonomian suatu negara mencakup beberapa indikator
ekonomi makro seperti laju inflasi, pengangguran, pertumbuhan ekonomi,
kapasitas produksi dan tingkat pendapatan, neraca pembayaran, dan distribusi
pendapatan. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melakukan
kebijakan‐kebijakan makro sebagai berikut: (a) kebijakan fiskalyang pada
prinsipnya merupakan kebijakan yang mengatur penerimaan dan pengeluaran
negara. Sumber‐sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan
bukan pajak, serta bantuan/pinjaman luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi
dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji
pegawai, belanja barang serta pengeluaran pembangunan. Dengan demikian,
kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang
mencakup sumber‐sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang
tercantum dalam APBN; (b) Kebijakan moneter adalah kebijakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah
uang beredar dan atau suku bunga.
Beberapa kebijakan fiskal dan moneter yang diambil pemerintah pada saat
krisis untuk merespons anjloknya nilai rupiah adalah sebagai berikut: (a)
kontraksi rupiah secara besar‐besaran melalui kebijakan fiskal (APBN) dengan
cara menekan pengeluaran dan menunda pembayaran‐pembayaran; (b) bank
Indonesia meningkatkan suku bunga, sehingga suku bunga SBI (Sertifikat Bank
Indonesia) mencapai 70% dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan
dan menarik uang yang beredar dan sistim perbankan yang dikonversikan ke
dalam SBI; (c) melakukan intervensi pasar dengan menjual dollar; dan (d)
pembatalan dan penundaan berbagai proyek pemerintah agar impor dapat
dikurangi guna menolong cadangan devisa nasional.
Perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan perekonomian
global. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan perdagangan, keterhubungan pasar
keuangan antarnegara, penanaman modal asing, serta mobilitas penanaman
115
portofolio asing yang meningkatkan. Di satu sisi, integrasi perekonomian
domestik dengan ekonomi global telah menambah dinamika dan memberi
banyak manfaat pada ekonomi Indonesia, terutama masuknya modal asing.
Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global memberikan
akses kepada dana dari luar negeri, untuk selanjutnya digunakan bagi percepatan
pertumbuhan permintaan agregat ketika sumber pembiayaan domestik terbatas.
Namun di sisi lain, integrasi pasar keuangan juga mengandung risiko instabilitas
terutama ancaman penarikan modal asing dari dalam negeri secara tiba‐tiba
dalam jumlah yang cukup besar.
Terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat pada bulan September 2008,
telah memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian Indonesia. Hal itu
terkait dengan struktur arus modal yang masuk ke Indonesia yang masih
didominasi oleh modal jangka pendek sehingga rentan terhadap risiko
pembalikan. Arus modal jangka panjang (FDI) yang masuk ke Indonesia masih
relatif kecil. Krisis yang terjadi di pasar modal, diikuti dengan situasi sektor
perbankan yang kurang kondusif membuat Bank Indonesia memutuskan untuk
menaikkan rate Bank Indonesia awal September 2008 menjadi 9,25 persen.
Dengan mempertimbangkan perkembangan dan prospek perekonomian, pada
Januari 2009, Bank Indonesia menurunkan BI rate sebesar 50 bps menjadi 8,75%.
Sementara itu, penerbitan program stimulus fiskal senilai 73,3 trilyun rupiah
pada APBN 2009 yang bertujuan demi menjaga kestabilan perekonomian dari sisi
permintaan, menyebabkan pemerintah menerbitkan global bond dengan suku
bunga yang ditetapkan pemerintah mencapai 10,5 persen dan 11,75 persen.
Besaran bunga itu lebih tinggi 2,75 persen dibanding global bond yang
diterbitkan Filipina. Menyikapi berbagai perkembangan di atas, tantangan yang
dihadapi ekonomi yang kian terintegrasi diperkirakan akan semakin kompleks.
Kebijakan‐kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk mengoptimalkan manfaat
dan meminimalkan risiko yang diperoleh dari integrasi ekonomi, terutama demi
116
menjaga stabilitas perekonomian dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
optimal menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan.
Dalam melaksanakan kebijakan moneternya BI diwajibkan untuk
menentukan sasaran inflasi setiap tahun kalender. Penetapan sasaran inflasi ini
oleh BI kemudian diubah melalui amandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004
dimana penetapan sasaran inflasi dilakukan oleh pemerintah setelah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia (Pohan, 2008 dalam Sembiring, 2010).
Namun dalam pelaksanaannya, terjadi trade off antara kebijakan fiskal
dengan kebijakan moneter menjadi perkara yang tidak mudah. Dari sisi kebijakan
moneter, penggunaan suku bunga sebagai target operasional kadang kala
menempatkan posisi Bank Indonesia dalam posisi yang dilematis karena suku
bunga sangat berkaitan dengan konsumsi, produksi dan investasi yang dilakukan
oleh masyarakat. Suku bunga merupakan salah satu unsur biaya dalam konsumsi
masyarakat (kredit konsumtif) dan juga dalam produksi dan investasi (cost of
capital). Tentunya hal ini dapat menghambat pencapaian target pertumbuhan
ekonomi dan penurunan tingkat pengangguran oleh kebijakan fiskal. Oleh karena
itu, perlu dibangun suatu kerangka kerja sama oleh kedua otoritas ini untuk
meminimalkan trade off antara menjaga inflasi di satu sisi dan mendorong
pertumbuhan sektor riil di sisi yang lain.
Indikator Makro Ekonomi Indonesia tahun 2004‐2010 menunjukan bahwa
laju inflasi, tingkat pengangguran, dan kemiskinan menurun dengan laju masing‐
masing sebesar 9.1%, 15.3% dan 4.8% per tahun. Pertumbuhan ekonomi,
kapasitas produksi dan tingkat pendapatan yang direfleksikan oleh pertumbuhan
PDB meningkat sebesar 15.5 persen per tahun.
(2) Kebijakan Perdagangan
117
Dalam era perdagangan global, kebijakan perdagangan menjadi sangat
penting. Hal ini karena kebijakan perdagangan merupakan mesin penggerak
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Era perdagangan adalah era persaingan, oleh
karena itu Indonesia harus dapat membuat kebijakan perdagangan yang dapat
mendukung peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar dunia maupun di
pasar domestik dalam menghadapi persaingan dari produk‐produk impor.
Efektifitas kebijakan perdagangan ditentukan oleh kualifikasi konsepsi kebijakan
dan kenerja pelaksanaannya serta dukungan kebijakan lain seperti kebijakan
investasi dan kebijakan makro ekonomi.
Reformasi Kebijakan Perdagangan
Reformasi perdagangan di Indonesia dalam bentuk penetapan tariff yang
lebih rasional telah dilakukan sejak tahun 1985. Bentuk rasionalisasi yang
diterapkan adalah pengurangan applied tarif maksimum dari 225 persen menjadi
0‐60 persen, dengan sebagian besar tariff berada pada kisaran 5‐35 persen
(Pangestu, 1996b). Dikaitkan dengan penetapan hambatan non‐tarif dalam
bentuk tataniaga impor pada tahun 1982, rasionalisasi tariff tersebut dapat
dipandang sebagai suatu hal yang positif bagi pembangunan (Pangestu, 1996a).
Hasil dari kebijakan ini terlihat pada penurunan peran minyak bumi dan gas
dalam komposisi ekspor Indonesia menjadi kurang dari 50 persen sejak tahun
1987.Pada bulan Mei 1995, pemerintah Indonesia mengumumkan sejumlah
deregulasi sebagai upaya untuk meningkatkan effisiensi ekonomi nasional dan
meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional atau dikenal
dengan Paket Deregulasi Mei 1995. Paket deregulasi ini termasuk pengurangan
bertahap tingkat tarif impor. Semua tarif impor yang saat itu lebih dari 20%
dikurangi menjadi maksimum 20% pada tahun 1998 dan tingkat maksimum 10%
pada tahun 2003. Bea masuk yang saat itu 20% atau lebih rendah dikurangi
maksimal menjadi 5% pada tahun 2000.
118
Pada bulan Januari dan Juni 1996 pemerintah Indonesia mengumumkan
serangkaian langkah‐langkah deregulasi ekonomi yang meliputi kelanjutan dari
Penjadwalan Penurunan Tarif. Kelompok tarif line 20% atau lebih rendah harus
dikurangi secara bertahap, sehingga pada tahun 2000 tidak melebihi 5%.
Kelompok tarif line yang lebih dari 20% dikurangi secara bertahap sehingga pada
tahun 2003, tidak melebihi 10%. Selain itu, sejumlah langkah telah diambil untuk
mengurangi tarif pada impor barang modal dan menghilangkan biaya tambahan
atas barang impor.
Selanjutnya, pada 7 Juli 1997, pemerintah mengumumkan deregulasi
kebijakan ekonomi sebagai kelanjutan dari seri paket deregulasi sebelumnya.
Reformasi kebijakan ekonomi dalam paket deregulasi mencakup: penurunan tarif
impor, lelang swasta, perusahaan investasi tidak langsung, transfer barang
modal, ekspor tanpa pemberitahuan, pajak daerah, serta redistribusi dan
pendapatan bukan pajak di sektor industri dan perdagangan. Mulai 17
September 1997 pemerintah mengurangi bea masuk untuk bahan baku dan
bahan penting untuk produk tertentu yang meliputi 153 item tarif. Kisaran
pengurangan bea masuk tersebut antara 5‐10 poin persentase, dan tarif finalnya
menjadi nol, 5, 10 dan 15%.
Paket deregulasi lainnya adalah terkait dengan program IMF pada tahun
1998. Penghapusan monopoli BULOG untuk berbagai impor memungkinkan
persaingan impor untuk semua komoditas, dalam beberapa kasus menggantikan
larangan impor dengan tarif. Saat ini BULOG ditargetkan untuk keamanan
pangan melalui subsidi beras daripada menstabilkan harga eceran atau
menyimpan stok publik yang besar, yang membutuhkan biaya mahal.
Pemerintah juga menghapuskan subsidi impor gandum, gula dan kedelai dengan
mengelompokkannya sebagai 'impor umum', dan mengeliminasi Dewan
Pemasaran Cengkeh, BPPC. Peraturan perdagangan lain terkait dengan
pengurangan jumlah item yang masuk pada pembatasan impor dan persyaratan
119
lisensi khusus seperti beras yang terus diatur termasuk untuk pelabelan
makanan.
Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian yang telah dilakukan saat ini
mencakup 1081 jenis barang pertanian (HS 2002), dengan bound tariff rata‐rata
pada tahun 2010 sebesar 38.5 Persen. Besaran tariff ini lebih rendah
dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalam GATT yang menyetujui
penerapan tariff sebesar 40 persen untuk 1041 jenis barang pertanian, lebih dari
40 persen untuk 300 jenis barang dan kurang dari 40 persen untuk 27 jenis
barang (BTBM, 2010).
Tujuan Utama Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia dapat dibedakan
atas peran komoditas itu dalam perdagangan internasional, yaitu (a) Melakukan
proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditas‐komoditas
yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk
mendapatkan proteksi adalah beras, jagung kedelai dan gula (defensive); (b)
Melakukan promosi terhadap komoditas–komoditas promosi ekspor (offensive),
khususnya komoditas‐komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh
petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat promosi adalah karet,
kopi, kakao, CPO dan lada.
Indonesian offensive interests adalah meningkat akses pasar, mengurangi
dukungan domestik dan menghapuskan subsidi ekspor. Sedangkan defensive
interests adalah melindungi produsen domestik dari persaingan yang tidak fair
dan untuk mengupayakan agar negara berkembang mempunyai peluang untuk
memilih strategi untuk mencapai tujuan. Sebagai anggota G‐20 Indonesia lebih
mengutamakan pengembangan pasar ekspor (offensive), namun Indonesia juga
ketua dan anggota G‐33 yang lebih suka melindungi industri dalam negeri
120
(defensive). Kebijakan yang mempertimbangkan kedua hal ini perlu dilakukan
untuk meningkatkan devisa Negara.
Untuk mencapai pemulihan ekonomi yang sukses serta mengatasi
persaingan global, tidak ada pendekatan alternatif yang lebih baik kecuali
meningkatkan daya saing nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah
merumuskan kebijakan ekonomi termasuk kebijakan industri dan kebijakan
perdagangan. Kebijakan industri dan perdagangan saat ini berkonsentrasi pada
revitalisasi dan pengembangan industri, mengantisipasi penyelundupan melalui
introduksi Nomor Pengenal Importir Khusus, pengembangan ekspor,
memberdayakan UKM, meningkatkan konter‐perdagangan bilateral, dan
memfasilitasi pembentukan Dana Pemulihan Indonesia.
Tujuan utama dari kebijakan perdagangan antara lain adalah: (a)
meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor dan industri berbahan baku
lokal tinggi; (b) mempertahankan dan meningkatkan investasi; (c) menjaga dan
menciptakan peluang kerja untuk tenaga kerja; (d) meningkatkan pendapatan
devisa; dan (e) memberdayakan UKM sebagai industri pendukung.
Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah, perlu
diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang terdapat dalam
perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA). Ketiga pilar adalah (1) akses
pasar; (2) subsidi domestik; dan (3) subsidi ekspor. Sebagian besar kepentingan
Indonesia untuk akses pasar (strategi defensive) sudah tercapai yaitu dengan
adanya komitmen Negara Maju untuk melakukan: (a) pengurangan/eliminasi
subsidi domestik dan subsidi ekspor yang mendistorsi perdagangan; dan (b)
penurunan tarif bea masuk. Masih ada beberapa hal termasuk satu isu prinsip
tidak diakomodasi yaitu instrumen perdagangan untuk produk pertanian yang
sensitif.
(3.) Komponen Tiga Pilar Kebijakan Perdangan Pertanian (AoA)
121
Tarif dan Non Tarif
Setelah berlakunya Perjanjian Putaran Uruguay, dan sesuai dengan Pasal
XVII dari GATT 1994, Indonesia telah menotifikasi dua badan perdagangan‐
negara yaitu Badan Logistik Nasional ( BULOG) dan Badan Penyangga Pemasaran
Cengkeh (BPPC). BULOG digambarkan sebagai penanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan pangan Pemerintah dan menjamin pasokan yang cukup
dari produk makanan penting. Dengan demikian, BULOG mengendalikan
stabilitas harga komoditas melalui intervensi pasar yang mencakup pengadaan
dalam negeri, penjualan dan distribusi, impor dan ekspor, dan manajemen stok.
Dalam konteks ini, BULOG diberikan monopoli impor dan ekspor beras,
gula, gandum dan tepung terigu, kedelai dan bawang putih. Pengadaan BULOG
rata‐rata sekitar 10% dari produksi beras dalam negeri, sisanya sebagian besar
dikonsumsi langsung oleh rumah tangga petani atau dipasarkan oleh pedagang
swasta. Pemerintah tidak memiliki sumber daya untuk mendukung harga
domestik di tingkat yang dikendalikan. Dengan kata lain, sistem telah efektif
dalam memberikan dukungan penuh pada petani tersirat dari harga yang
dikendalikan(Widodo, 2006).
Perizinan impor (untuk gula pabrik) berlanjut hingga 2000 ketika digantikan
dengan tarif 20% dan 25%, masing‐masing untuk gula mentah dan halus. Pada
tahun 2002, pemerintah mulai membatasi impor gula mentah dan halus untuk
pengolahan pada tiga pabrik gula negara. Importir terdaftar hanya bisa
mengimpor semi‐gula halus ketika harga gula lokal di tingkat petani lebih tinggi
dari Rp. 3.100 / kg ("titik impas" bagi produsen dalam negeri). Pemerintah juga
menotifikasi WTO standar baru untuk gula mentah yang diterapkan terhadap
gula lokal dan impor. Tarif impor ad valorem digantikan oleh bea masuk khusus
sebesar Rp. 550/kg untuk gula mentah dan Rp. 700/kg untuk gula putih (Haley
dan Suarez, 2003).
122
Setelah monopoli Bulog untuk impor beras dihapuskan pada tahun 1999,
badan masih berkontribusi sekitar 75% dari total impor. Impor swasta dikenakan
tarif spesifik sebesar Rp 430/kg, atau sekitar 25% dari harga impor (CIF) pada
pertengahan tahun 2002. Selain itu, impor beras oleh swasta diperlakukan
melalui 'jalur merah', yang berarti melalui pemeriksaan pabean standard yang
lebih ketat dibandingkan dengan barang makanan lainnya, dan juga harus
memenuhi persyaratan lisensi impor khusus (Jennifer et al.,2003). Tarif dan
hambatan non‐tarif ini tampaknya menyebabkan bertambahnya perbedaan
harga antara harga CIF beras impor dan harga domestik. Sampai saat ini
pemerintah masih menghindari pengurangan yang nyata pada hambatan
perdagangan untuk impor beras. Pemerintah masih memberlakukan tarif impor
beras yang relatif tinggi yaitu sekitar 30%.
Pada bulan April 2008, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa
BULOG akan memiliki wewenang eksklusif untuk mengimpor beras. Tindakan ini
didasarkan pada pertimbangan keamanan pangan dan manajemen harga. Impor
tidak diijinkan sebelum, selama, dan sesaat setelah periode panen raya,
efektifnya adalah kuartal pertama. Perusahaan swasta dapat mengimpor beras
untuk tujuan khusus saja, seperti untuk benih dan beras khusus, tetapi harus
memperoleh nomor identifikasi importir khusus yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pertanian.
Pada beberapa tahun terakhir telah banyak kemajuan dalam deregulasi
kebijakan perdagangan internasional di Indonesia. Tarif, perizinan impor dan
hambatan ekspor telah dikurangi secara substansial serta mengekspos bisnis
lokal karena lebih banyak kompetisi internasional baik dalam impor maupun
pasar ekspor.
Bound rate rata‐rata untuk semua produk adalah 37,1% dengan tingkat
rata‐rata untuk produk pertanian dan produk non pertanian, masing‐masing
adalah 47% dan 35,6%. Rata‐rata bound rate untuk produk pertanian lebih besar
123
dibandingkan dengan non‐produk pertanian, tetapi masih di bawah tingkat rata‐
rata bound rate komoditas pertanian dunia (62%). Bound rate untuk produk non
pertanian masih di atas tingkat rata‐rata global (29%) (Gibson et al., 2001; WTO,
2003). Maksimum tarif ad‐valorem adalah pada tingkat 210% yang berada di
atas tingkat rata‐rata global tarif ad‐valorem untuk anggota WTO yang berkisar
dari 25% ‐ 113% (Gibson et al., 2001).
Tidak seperti tarif terikat (bound), tarif yang diterapkan dapat dinaikan
dengan cara yang konsisten dengan aturan WTO selama kenaikan tariff tersebut
tidak di atas tingkat tarif terikat. Pada tahun 1995, rata‐rata tariff yang
diterapkan untuk produk pertanian adalah 15,9% dan ini lebih rendah daripada
produk non‐pertanian yaitu 19,6%. Namun, tarif yang diaplikasikan untuk produk
pertanian meningkat menjadi 16,16% pada tahun 1996, lebih besar dari pada
produk non‐pertanian yaitu 14,2%. Tren ini terjadi sampai tahun 2002,
sedangkan tarif yang diterapkan terhadap produk pertanian menurun menjadi
8,2% dan 7,0% untuk produk non‐pertanian.
Berdasarkan jadwal penurunan tariff Indonesia, sebagian besar tarif akan
menjadi tiga tingkat struktur tarif yaitu 0%, 5%, dan 10% pada tahun 2003.
Namun, sekitar 300 tarif line, atau sekitar 20% dari total tariff line produk
pertanian, dikecualikan dari jadwal. Rata‐rata tarif yang diterapkan terhadap
produk pertanian menurun dari 15,9% pada tahun 1995 menjadi 8,3% pada
tahun 2002. Ini adalah di bawah rata‐rata applied tarif MFN dunia yaitu 17%
untuk produk pertanian dan 9,0% untuk produk‐produk industri (WTO, 2003).
Lisensi Impor
Pemerintah terus mengurangi jumlah item yang terkena pembatasan dan
persyaratan perizinan impor, meskipun tarif tinggi yang tersisa masih dapat
menjadi penghalang untuk masuk pasar dan ekspansi item ini. Jumlah tarif line
yang terkena pembatasan lisensi impor diturunkan secara bertahap dari 1.122
124
pada 1990 menjadi 261 pada tahun 1994. Proteksi terhadap sebagian besar
produk ditandai oleh masuknya komoditas pangan utama yang dikendalikan oleh
BULOG (seperti beras, gandum dan tepung gandum, gula, dan kedelai). Namun,
Indonesia telah menghapus lisensi dalam konteks program IMF, terutama
produk‐produk yang tidak termasuk dalam komitmen WTO. Langkah pertama
dilakukan pada akhir tahun 1997 dengan penghapusan persyaratan perizinan
impor komoditas yang dikendalikan oleh BULOG (kecuali beras). Ini meliputi 26
tarif line (7 tarif line untuk susu dan produk susu, 7 tarif line untuk gula dan
produk gula, 8 tarif line untuk kedelai, 2 tarif line untuk cengkeh, dan 2 tarif line
untuk tepung terigu dan meslin). Saat ini produk‐produk tersebut dapat diimpor
secara bebas di bawah lisensi importir umum (UI).
Tarif Tingkat Kuota (TRQ)
Pada awal 1990, Pemerintah mulai membuat kebijakan perdagangan yang
lebih transparan dan efisien dengan mengubah NTB tarif. Akibatnya, jumlah NTB
menurun menjadi sekitar 200 pada tahun 1994. Dalam tahun‐tahun berikutnya,
jumlah NTB terus menurun karena dilaksanakannya komitmen WTO. Negara juga
memberikan tingkat minimum impor untuk produk yang sebelumnya dilindungi
oleh hambatan non‐tarif (NTB). Hal ini dicapai dengan menciptakan tarif‐tarif
kuota (TRQs), yang umumnya mengenakan tarif yang relatif rendah untuk (kuota)
impor sampai tingkat tertentu. Setelah tingkat kuota telah tercapai, impor
terbatas barang yang sama dapat diimpor dengan tarif yang lebih tinggi "over‐
kuota".
Indonesia telah menotifikasi TRQs beras dan susu (lemak krim dan produk‐
produknya) sebagai berikut: 70.000 mt beras TRQ dengan tingkat tarif kuota 90%
dan susu 414.700 mt dengan TRQ pada tingkat kuota tarif 40%. Tapi karena
pelaksanaan Perjanjian tentang Pertanian (AoA), impor Indonesia dari produk ini
telah melebihi kuota dan tingkat tarif yang diterapkan telah lebih rendah
125
daripada bound in‐kuota tarif. TRQs untuk susu dan krim telah dihapuskan sejak
tahun 1998. Tarif saat ini untuk produk ini adalah 5% dan tidak ada kuota (WTO,
2003b dan 2003c).
Pembatasan Kuantitatif
Banyak komoditas pangan utama massal, seperti gandum dan kedelai,
tunduk pada hambatan non‐tarif. Para importir tunggal, nasional lembaga
logistik (BULOG), membatasi jumlah impor. Harga domestik untuk produk
komoditas ini lebih tinggi dari harga pasar dunia. Gandum impor mencapai
sekitar 2,5 juta metrik ton senilai sekitar $ 442.000.000 pada tahun 1993. Impor
komoditas tersebut akan meningkat secara signifikan tanpa pembatasan impor.
Persyaratan kandungan lokal berlaku untuk impor beberapa produk susu dan kue
kedelai, tetapi dijadwalkan untuk fase dalam waktu 10 tahun dan tiga tahun
masing‐masing, seperti yang disepakati dalam Putaran Uruguay.
Sanitary dan Phytosanitary
Ketentuan lain seperti tindakan sanitary dan phytosanitary juga
dipertimbangkan untuk mencegah pengelakan aturan ketat pada akses impor
melalui langkah proteksionis keamanan pangan dan kesehatan tanaman. Jadi,
perjanjian tentang pertanian dinegosiasikan vis‐à‐vis perjanjian tentang
penerapan tindakan Sanitary dan Phytosanitary.
Pada tahun 1996, Indonesia memperkenalkan undang‐undang baru
tentang keamanan pangan, yang meliputi label dan persyaratan kemasan,
makanan aditif, residu pestisida dan kontaminan lainnya. Pada tahun 1999,
Indonesia juga memperkenalkan Undang‐Undang Perlindungan Konsumen, yang
mencakup ketentuan mengenai penjualan eceran makanan. Meskipun
126
komprehensif, kedua hukum ini bersifat umum, dan peraturan perlu
dilaksanakan sebelum mereka dapat ditegakkan. Sebagai contoh, produsen
makanan rekayasa genetik harus memastikan bahwa produk tersebut aman
untuk konsumsi manusia dan harus memberikan label makanan sebagai
"Rekayasa Genetik", tapi peraturan lebih lanjut dan pedoman rekayasa genetika
belum akan dikeluarkan (FAO, 2003).
Selain itu, impor makanan olahan harus terdaftar di Departemen
Kesehatan dan memerlukan sertifikat terkait tingkat radiasi, standar pada
kemurnian Islam ("halal"), aditif makanan, keamanan pangan dan konten
beralkohol. Dalam kasus kaki ayam, telah dilarang impor paha ayam AS dengan
alasan tidak diproduksi sesuai dengan praktek‐praktek Islam, karena lebih dari
95% penduduk Indonesia adalah Muslim. lmpor makanan olahan harus mengacu
sertifikasi halal Indonesia,dimana produk peternakan telah disembelih dan
ditangani dengan cara yang konsisten dengan hukum Islam.
Dalam diskusi Komite bilateral dan TBT dengan Indonesia mengenai
sertifikasi halal, para pejabat AS menekankan bahwa Amerika Serikat
menghormati hak Indonesia untuk mengatur produk halal.Indonesia dan Amerika
Serikat sepakat untuk memastikan bahwa makanan berlabel "halal" memenuhi
persyaratan di Indonesia.
(4.) Hambatan Teknis untuk Perdagangan
Ada beberapa peraturan diselesaikan oleh pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan peran pada keselamatan pembentukan pangan produk pertanian.
Dalam rangka meningkatkan keamanan pangan dalam produk pertanian, instansi
Pemerintah yang berwenang di lingkungan Departemen Pertanian telah
mengeluarkan beberapa peraturan teknis, antara lain termasuk:
127
1. Keputusan Bersama Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan di
Batas Minimum Residu produk pertanian. Sistem kontrol menetapkan
serangkaian pemantauan melalui analisis laboratorium untuk residu kimia dari
sampel produk pertanian yang diambil dari tempat‐tempat dalam negeri
sepanjang tahun. Pemerintah laboratorium di bawah pengawasan
Departemen Pertanian melakukan analisis.
2. Keputusan Direktur Jenderal Peternakan pada survei Residu dan Program
Pemantauan. Bersama dengan peraturan BMR, Keputusan ini mengatur
residu kimia pada produk ternak yang didistribusikan di negara ini.
3. Departemen Pertanian tidak ada keputusan tentang Sistem Standardisasi
Nasional di sektor pertanian. Peraturan teknis yang ditetapkan sistem
standardisasi di sektor pertanian termasuk keamanan pangan tampil sebagai
jaminan kualitas untuk produk pertanian melalui sistem HACCP aplikasi di
semua tahap kegiatan industri pertanian, inspectation sistem untuk
komoditas pertanian dengan penerapan SNI wajib.
(5) Hubungan Perdagangan
Dalam menyusun kebijakan perdagangan, Indonesia mempunyai komitmen
terhadap sejumlah blok perdagangan seperti berikut ini:
WTO
Indonesia meratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) pada November 2, 1994 oleh UU No 7/1994. Pada prinsipnya
Indonesia telah mengadopsi rezim perdagangan yang cukup liberal dan
melakukan sejumlah langkah penting untuk mengurangi perlindungan. Sampai
saat ini tidak ada tarif impor melebihi bound tariff, sebagaimana tercantum pada
Jadwal Komitmen Indonesia pada Perjanjian WTO. Pada Januari 2002, 67,4
persen dari pos tarif Indonesia mempunyai bea masuk berkisar antara nol dan
128
lima persen. Rata‐rata tingkat tarif produk Indonesia sekitar 7,3 persen,
dibandingkan dengan 20 persen pada tahun 1994, sebelum keanggotaan
Indonesia di WTO.
Dukungan untuk liberalisasi perdagangan dari pemerintah relatif kuat di
Indonesia. Pemerintah tidak hanya telah menciptakan sebuah lingkungan yang
umumnya mendukung liberalisasi perdagangan ‐ seperti menurunkan tarif dan
mengurangi hambatan non‐tarif perdagangan ‐, tetapi juga telah mengeluarkan
peraturan yang menetapkan reformasi pengurangan pajak, tarif dan pembatasan
kuantitatif pada ekspor dan impor. Pemerintah Indonesia terus mengurangi
jumlah produk yang terkena pembatasan impor. Ada sekitar 141 pos tarif yang
saat ini terkena perizinan impor, berkurang dari 261 pos tarif pada tahun 1994
dan 1.112 pada tahun 1990. Minuman beralkohol, lubrications, dan bahan
peledak, dan beberapa senyawa kimia berbahaya terus terkena peraturan lisensi
impor khusus.
Selain itu, Indonesia juga aktif terlibat dalam negosiasi DDA berdasarkan
kepentingan nasional dengan maksud untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan pengentasan kemiskinan. Dalam proses ini Indonesia menyelaraskan diri
dengan koalisi negara‐negara berkembang, seperti G‐33 dan NAMA‐11, juga
dengan kelompok lainnya seperti Kelompok Cairns dan G‐20. Indonesia secara
aktif terlibat dalam kelompok‐kelompok tersebut untuk membangun posisi
umum yang memprioritaskan pada tujuan pengembangan DDA. Pemerintah
tidak hanya secara aktif berusaha untuk meningkatkan partisipasi negara dalam
perjanjian perdagangan multilateral, tetapi juga untuk memasukkan negara itu
dalam perjanjian perdagangan regional (misalnya ASEAN Free Trade Area / AFTA
danAPEC).
ASEAN
129
Sebagai anggota Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia
melakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Melalui AFTA, anggota
ASEAN melakukan penghapusan tarif berdasarkan skema Common Effective
Preferential Tarif (CEPT) skema, yang diberlakukan untuk produk‐produk yang
diperdagangkan pada tahun 2003. Kesepakatan kewajiban penurunan tarif impor
untuk 98,62% dari total produk impor 6 (enam) anggota ASEAN (Indonesia,
Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Singapura) dicakup oleh
CEPT‐AFTA dipotong menjadi 0% ‐ 5%. Khususnya untuk Indonesia, pada 1
Januari 2002, telah mengurangi tarif untuk semua produk yang termasuk dalam
komitmen aslinya (7.286 pos tarif) menjadi lima persen atau kurang untuk
setidaknya 65 persen produk asal ASEAN.
APEC
Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dibentuk pada tahun 1989 pada
pertemuan para menteri luar negeri dan perdagangan di Canberra, Australia.
Para anggota asli dari forum APEC termasuk Australia, Brunei, Kanada, Indonesia,
Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand dan
Amerika Serikat.
Forum APEC berangkat untuk mengkoordinasikan ekonomi dan
perdagangan antara negara anggota, sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran
atas kurangnya kemajuan dalam perundingan Putaran Uruguay GATT. Berikutnya
pertemuan menteri APEC telah menghasilkan komitmen yang lebih besar terkait
liberalisasi perdagangan di kawasan ini, memuncak dalam Deklarasi Bogor yang
terkait dengan perdagangan bebas dan investasi.
APEC telah lama memimpin ekonomi global dalam mengurangi hambatan
perdagangan terbuka, rata‐rata tingkat tarif yang diterapkan dikurangi dari 8,2
persen pada 1996 menjadi 5,4 persen pada 2008. Pada saat yang sama rata‐rata
dunia adalah 10,4 persen. Pada tahun 2011, APEC akan membangun ke arah
"ekonomi regional mulus" dengan mencapai hasil nyata, terutama di tiga bidang
130
prioritas tertentu: memperkuat integrasi ekonomi regional dan memperluas
perdagangan, mempromosikan pertumbuhan hijau, dan memperluas kerjasama
peraturan dan memajukan konvergensi regulasi (APEC, 2011).
FTA Indonesia – Australia‐ New Zealand
Ketentuan‐ketentuan FTA ini adalah penghapusan sebagian besar tarif
menjadi 0% atau pengurangan menjadi tinggal antara 2,5–5% merupakan sebuah
liberalisasi pertanian yang besar‐besaran, akan berakibat dan berdampak nyata
bagi petani di Indonesia. Liberalisasi tarif semacam ini akan menyulitkan
sebagian besar petani Indonesia. Ini akan menjadi pertarungan antara mayoritas
petani‐petani subsistens yang serba kecil dan miskin di Indonesia melawan
sebuah sistem industri agribisnis negara maju Australia yang telah mapan dan
besar.
Apabila dilihat neraca perdagangan komoditi pertanian Indonesia ‐
Australia dan Indonesia ‐ New Zealand selama 2004‐2008 maka terlihat defisit
bagi Indonesia.Nilai impor Indonesia dari Australia didominasi oleh komoditi
gandum lainnya untuk konsumsi manusia yang mencakup 19% dari total impor
keseluruhan. Rata‐rata tarif impor komoditi tersebut berkisar antara 5‐10%.
Impor dominan Indonesia dari New Zealand ada berbagai produk susu dengan
rataan tarif impor 0‐5%.
FTA perdagangan Indonesia ‐ Australia dan Indonesia ‐ New Zealand untuk
komoditi pertanian sudah mengalami defisit, mengingat applied tariff nya yang
sudah cukup rendah. Namun mengingat perundingan FTA tidak hanya pada
sektor pertanian tetapi juga harus mempertimbangkan akses pasar komoditi
lainnya, maka ada beberapa komoditi pertanian yang harus “dikorbankan”,
dengan kata lain tarif impornya harus dihapus pada kurun waktu yang lebih
cepat. Produk garmen dan foot wear adalah dua produk andalan ekspor
Indonesia ke Australia dan New Zealand yang pada perundingan FTA
diprioritaskan untuk dihapuskan tarifnya.
131
FTA Indonesia ‐ ASEAN (Malaysia, Philipina, Thailand, Viet Nam)
AFTA adalah hasil kesepakatan para kepala Negara ASEAN dalam ASEAN
Summit IV di Singapura pada bulan Januari 1992 ketika ditandatanganinya
“Singapore Declaration and Agreement for Enhancing ASEAN Economic
Cooperation”. Kesepakatan merealisasikan AFTA ini dilakukan melalui sebuah
skema yang disebut “Common Effectife Preferential Tariffs” (CEPT) yang
diperkenalkan pada Januari 1993 dan mulai berlaku semenjak Januari 1994. Inti
dari skema ini ada pada realisasi tarif yang efektif, rendah dan berlaku umum
pada kisaran 0‐5% untuk seluruh perdagangan antar ASEAN. Kerangka waktu
pelaksanaan skema ini semula 15 tahun, akan tetapi kemudian dipercepat
menjadi 10 tahun dari sejak basis tahun 1993, sehingga target waktu bagi AFTA
adalah 2003. Jadi semenjak tahun 2000, maka untuk sekitar 90% lini tariff,
tingkat tarifnya akan berada pada 0‐5%. Sampai tahun 2002, jumlah produk yang
masih dikenai tariff di atas 5% hanya tinggal 3,8% atau 1.683 dari 44.060 pos
tariff dalam daftar inklusif (inclusion list). CEPT tidak bersifat sukarela tetapi
wajib. Begitu produk sudah dipilih berdasar sektor untuk masuk ke dalam CEPT,
maka semua negara harus mematuhinya. Sektor‐sektor yang dicakup adalah
manufaktur, barang modal dan produk pertanian.
Dalam AFTA juga terdapat produk yang masuk dalam produk yang
dilindungi (sensitive list). Produk‐produk dilindungi ini diberi kesempatan
penurunan tariff secara bertahap selama 3 tahun menjadi 5% yang berlaku
selama 10 tahun. Disamping itu ada kategori lain yang disebut daftar produk
yang sangat sensitive (high sensitive list), di mana Indonesia memasukkan beras
dan gula ke dalamnya. Artinya, beras dan gula tetap bertahan dengan tariff yang
berlaku sekarang selama 10 tahun, dan setelahnya harus turun menjadi 20%
yang berlaku selama 10 tahun lagi. Sebagai catatan, khusus untuk produk
pertanian, pemberlakuan liberalisasi tariff menjadi 0%‐5% baru akan
132
dilaksanakan pada 1 Januari 2010 bagi ASEAN‐6, sementara bagi ASEAN‐4 pada 1
Januari 2018.
Selain pengurangan tarif, skema CEPT juga mengatur tentang pencabutan
berbagai hambatan non‐tarif (non‐tariff barriers–NTB). NTB artinya berbagai
kebijakan pemerintah di luar masalah tarif yang secara efektif dapat
menghambat atau membatasi kelancaran transaksi perdagangan, seperti
monopoli pengadan barang impor tertentu, penetapan harga barang impor,
pembatasan kuota, pengenaan bea masuk tambahan dan pajak‐pajak tambahan
lain, lisensi impor, berbagai pemberlakuan persyaratan teknis dan lainnya.
Penghapusan NTB telah disepakati paling lambat pada tahun 2003. Dalam hal ini,
Indonesia telah melaksanakan beberapa penghapusan NTB, diantaranya peran
dan fungsi BULOG sejak September 1998. BULOG sebagai BUMN kini tidak lagi
menjadi importir tunggal untuk produk‐produk beras, gandum, gula, kacang dan
kedelai, juga tidak berhak lagi meminjam kredit likuiditas dari Bank Sentral.
Akan tetapi seiring waktu, nampaknya AFTA mulai tergeser oleh agenda
FTA bilateral (BFTA). Hal ini terutama disebabkan oleh empat alasan, yaitu: (1)
Beberapa negara anggota ASEAN mulai menganggap kemajuan AFTA sangat
lamban. Sejak krisis ekonomi 1997, perdagangan diantara negara‐negara ASEAN
hanya tumbuh 4%, yaitu dari 19% ke 23%. Padahal telah terjadi kesepakatan
percepatan jadual AFTA dari 2003 ke 2002. Juga banyak negara anggotanya yang
mangkir untuk menurunkan tarifnya untuk produk‐produk yang mereka anggap
sensitif, seperti pada kasus industry otomotif. Nampaknya, bergesernya
perhatian kepada FTA, terutama dari Singapura, karena kehendak untuk
mengkompensasi potensi pasar AFTA yang cenderung turun; (2) ASEAN masih
merupakan kelompok kawasan yang lemah di tingkat ekonomi global, sehingga
penggunaan strategi BFTA antara ASEAN dengan Negara‐negara Asia Timur Laut
dapat memperkuat ASEAN sebagai kelompok kawasan serta meningkatkan posisi
tawarnya di dunia; (3) Negara‐negara ASEAN tertarik dengan kemungkinan‐
kemungkinan yang ada bila menempuh FTA dengan Asia Timur, terutama karena
133
sejak 1999‐2000, perdagangan antara ASEAN dengan China, Jepang dan Korea
Selatan berkembang dari $ 158,2 milyar menjadi $ 201,7 milyar; dan (4) Karena
lambannya proses perundingan multilateral WTO dalam Putaran Doha, sehingga
menyebabkan dorongan kuat kearah BFTA di kawasan Asia Timur.
ASEAN kini telah menjalin kerangka FTA dengan beberapa negara mitra
utama ASEAN, yaitu ASEAN+3 (China, Jepang. Korea Selatan) dan ASEAN+6
(Australia, Selandia Baru, India). Disamping itu masing‐masing negara di ASEAN
juga mulai melakukan pengikatan bilateral FTA dengan negara‐negara lain di luar
mitra utama. Hal ini sedikit banyak juga mengakibatkan efek “spaghetti‐bowl” di
lingkup hubungan antara Negara‐negara tersebut, yaitu kesimpangsiuran dan
keruwetan.
Dengan melihat kecenderungan di atas, maka nampaknya BFTA maupun
ASEAN Plus Agreement semakin meninggalkan AFTA. Terutama sejak
disepakatinya ASEAN Economic Community (AEC) di tahun 2008 di Singapura
sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community dan ASEAN Charter, yang
melahirkan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement). ATIGA adalah
penyempurnaan dari skema CEPT‐AFTA. Lambannya AFTA serta meningkatnya
perkembangan BFTA, menyebabkan perlunya peningkatan skema perdagangan
barang ASEAN. ATIGA berfokus pada jadwal pengurangan dan penghapusan tarif
perdagangan barang di ASEAN. ATIGA juga terhubung erat dengan perdagangan
barang (trade‐in‐goods) di dalam perjanjian FTA, yang terdiri dari unsur tarif
maupun non‐tarif seperti SPS (Sanitary and Phytosanitary), prosedur
kepabeanan, fasilitasi perdagangan, dan lain‐lainnya. Tujuan utamanya adalah
mencapai arus barang yang bebas di ASEAN sebagai alat utama untuk mendirikan
sebuah basis produksi dan pasar tunggal bagi integrasi ekonomi yang semakin
mendalam kearah AEC 2015.
6.5. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Pembangunan Pedesaan
134
(1) Ketersediaan, Distribusi dan Akses Pangan
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemenuhan pangan untuk
hidup sehat dan aktif diukur dengan menggunakan tiga aspek: (a) aspek
ketersediaan pangan, yaitu tersedia cukup untuk seluruh penduduk; (b) aspek
distribusi meliputi penyerapan pangan merata ke seluruh wilayah dengan harga
stabil dan terjangkau; serta (c) aspek konsumsi pangan yaitu setiap penduduk
mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsi sesuai dengan
kecukupan status gizi dan kesehatan.
Ketahanan pangan merupakan aspek strategis dan masih tetap menjadi
priorias agenda nasional, karena saat ini di Indonesia masih terdapat sekitar 29.9
juta jiwa penduduk dalam kondisi rawan pangan, atau sekitar 13% dari total
penduduk. Sasaran MDG pada tahun 2015 ditargetkan jumlah penduduk rawan
pangan di Indonesia harus kurang dari 8%. Sebenarnya ditinjau dari
ketersediaan pangan, saat ini posisi Indonesia sudah cukup baik. Pada tahun
2009, ketersediaan energi per kapita tercatat sebesar 3.907 kkal sedangkan
ketersediaan protein tercatat 85,32 gram per kapita per hari. Angka ini
sebenarnya jauh diatas angka rekomendasiWidyakarya Pangan dan Gizi Nasional,
2008 yaitu sebesar 2.200 kkal/kapita/hari dan 57 gram/kapita/hari.
Disamping itu, produksi komoditas pangan utama juga terus menunjukkan
pertumbuhan menuju swasembada. Produksi padi pada tahun 2010 mencapai
66,68 juta ton, produksi jagung mencapai 19,80 juta ton, produksi gula mencapai
2,99 juta ton, dan produksi daging sapi mencapai 0,41 juta ton. Ditargetkan pada
tahun 2014 produksi padi menjadi 75,70 juta ton, jagung 29 juta ton, gula 5,7
juta ton, dan daging sapi menjadi 0,55 juta ton. Untuk mencapai swasembada
kedelai, gula dan daging sapi serta swasembada berkelanjutan padi dan jagung,
produksi beberapa komoditas pangan utama 2010‐1014 ditargetkan tumbuh
135
sebagai berikut: produksi padi rata‐rata meningkat sekitar 2,83 persen/tahun,
jagung 10,02 persen/ tahun, kedelai 20,05 persen per tahun, gula 17,63 persen
per tahun, dan daging sapi 7,3 persen per tahun (Kementerian Pertanian,
2010). Target‐target tersebut dilakukan melalui berbagai program untuk
mendukung target swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung serta
swasembada untuk kedelai, gula dan daging.
Menyimak perkembangan selama 30 tahun terakhir dapat disimpulkan
bahwa belum dapat dicapai status swasembada yang mantap (Sumaryanto,
2009). Status swasembada beras pertama kali adalah tahun 1984 namun tidak
bertahan lama. Sejak pertengahan dasawarsa 90‐an Indonesia telah kembali
menduduki posisinya sebagai salah satu importir besar beras dunia. Pada tahun
2008 yang lalu kenaikan produksi beras sangat nyata sehingga Indonesia mampu
kembali berswasembada beras. Menurut ASEAN Food Security Information and
Training Center (2009), untuk mencapai ketahanan pangan yang mantap maka
rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik (Food security ratio)
setidaknya 20 persen. Jika ukuran ini yang dipakai, maka tantangan untuk
mencapai status ketahanan pangan yang mantap cukup berat, karena food
security ratio beras pada saat ini baru mencapai 4,38 persen (Hanani, 2009).
Dari sisi ketersediaan pangan, Indonesia dipandang telah mampu
memenuhi angka rekomendasi nasional. Namun dari sisi konsumsi, tingkat
konsumsi pangan saat ini baru mencapai 1927 kkal per kapita dan 54,35 gram
protein per kapita. Kondisi ini menunjukkan bahwa, persoalan ketahanan
pangan Indonesia juga terkait dengan masalah “non‐supply”. Dari fakta kondisi
tersebut diatas maka dapat dipahami bahwa persoalan ketahanan pangan di
Indonesia saat ini terutama disebabkan oleh masih adanya hambatan akses fisik
dan akses ekonomi masyarakat terhadap bahan pangan. Rendahnya akses fisik
terutama karena keterbatasan sarana distribusi pangan, sedangkan rendahnya
akses ekonomi disebabkan oleh rendahnya daya beli masyarakat terhadap bahan
pangan.
136
Peta rawan pangan menunjukkan masih terdapat 100 kabupaten yang
masuk ke dalam kriteria rawan pangan. Seluruh kabupaten di Kalimantan Barat
dan Papua Barat masuk dalam 100 kabupaten prioritas, sementara di Papua
tercatat 16 dari 19 kabupaten (Badan Ketahan Pangan, 2009). Dari pola sebaran
tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kendala dalam distribusi pangan
sehingga sebagian besar penduduk yang berada di wilayah yang jauh dari pusat
pembangunan belum mampu sepenuhnya mengakses pangan. Oleh karena itu
diperlukan upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan atau ketimpangan dalam
akses atas pangan, baik antar lokasi, antar waktu, maupun antar golongan
pendapatan, serta upaya untuk mengatasi fluktuasi harga pangan pokok.
Distribusi pangan dikembangkan untuk memperbaiki akses atau keterjangkauan
fisik dan ekonomi masyarakat atas pangan. Secara umum distribusi pangan harus
diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi untuk pangan pokok dan strategis,
campur tangan pemerintah masih diperlukan. Upaya mengatasi permasalahan
distribusi pangan dilakukan melalui pengelolaan cadangan pangan dan kebijakan
harga.
(2) Diversifikasi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal
Diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dapat diartikan sebagai
upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang
dengan memanfaatkan sumber pangan yang diproduksi dan dikembangkan
sesuai dengan potensi sumber daya wilayah dan budaya setempat. Pentingnya
upaya diversifikasi pangan ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal. Namun sebetulnya upaya menggalakkan
diversifikasi pangan telah menjadi perhatian pemerintah sejak lama yaitu dengan
ditetapkannya berbagai program untuk percepatan Diversifikasi Pangan melalui
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1974 tentang Upaya Perbaikan Menu
Makanan Rakyat (UPMMR), dengan menggalakkan produksi dan konsumsi umbi‐
umbian, kacang‐kacangan dan jagung.
137
Tujuan utama Peraturan Presiden Republik Indonesia No.22 tahun 2009
adalah meningkatkan permintaan masyarakat terhadap aneka pangan segar,
olahan maupun siap saji baik pangan nabati dan hewani, serat, vitamin dan
mineral, melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran gizi seimbang sejak
usia dini. Ketersediaan aneka pangan segar dan olahan lebih lanjut akan
mendorong pengembangan bisnis dan industri pengolahan aneka pangan
sumber karbohidrat non beras dan non terigu serta menggerakkan
pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan pengembangan Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM). Diversifikasi pangan atau keragaman konsumsi pangan
merupakan salah satu strategi mencapai ketahanan pangan.
Sasaran percepatan keragaman konsumsi pangan adalah tercapainya pola
konsumsi pangan yang aman, bermutu, dan bergizi seimbang yang dicerminkan
oleh tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH). Kementerian Pertanian
mentargetkan dicapainya PPH sekurang‐kurangnya 93.3 pada tahun 2014 dari
target ideal 100 (Kementerian Pertanian, 2010). Konsumsi umbi‐umbian,
sayuran, buah‐buahan, pangan hewani ditingkatkan dengan mengutamakan
produksi lokal, sehingga konsumsi beras diharapkan dapat diturunkan. Menurut
rekomendasi pada Widyakarya Pangan dan Gizi VIII konsumsi energi dan protein
penduduk Indonesia masing‐masing adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52
gram/kap/hari.
Meskipun upaya percepatan diversifikasi pangan telah dilakukan melalui
berbagai program, namun tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada
pangan utama beras. Hal itu ditandai oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang
belum sesuai, dan belum optimalnya peran pangan lokal dalam mendukung
penganekaragaman konsumsi. Menurut Widyakarya Pangan dan Gizi VIII,
konsumsi padi‐padian untuk mencukupi karbohidrat itu cukup 50% saja dan
sisanya umbi‐umbian. Data Susenas 2008 menunjukkan bahwa rakyat Indonesia
mengkonsumsi beras lebih banyak daripada asupan karbohidrat yang dibutuhkan
yakni sekitar 88%
138
Beberapa kendala yang perlu dipetakan dalam upaya peningkatan
diversifikasi bahan pangan berbasis sumberdaya lokal antara lain adalah : (a)
tingkat pengetahuan masyarakat yang masih belum memadai sehingga tidak
mudah memahami pesan yang relatif kompleks terkait upaya peningkatan
diversifikasi pangan; (b) budaya makan masyarakat yang tidak diganti dengan
jenis makanan alternatif; (c) secara sengaja atau tidak sengaja beras telah
diposisikan sebagai pangan unggulan dan strategis, sehingga ketersediaan beras
merupakan hal fundamental untuk menjaga kestabilan politik; (d) inovasi bidang
alternatif pangan lain berbasis sumberdaya lokal sampai saat ini relatif lambat
sehingga belum dapat diakses secara mudah oleh masyarakat luas baik dari
faktor kontuinuitas penyediaan maupun faktor harga; (e) proses produksi dan
distribusi pangan saat ini masih difokuskan kepada beras sehingga ketersediaan
pangan alternatif dianggap sebagai pelengkap; (f) tidak cukup insentif bagi
industri untuk mengembangkan pangan alternatif, lembaga‐lembaga riset belum
maksimal dalam melakukan pengembangan alternatif pangan, dan media massa
belum memberikan dukungan maksimal dalam memberikan informasi
mengenai pangan alternatif; (g) program diversifikasi pangan masih bersifat
sporadis dan reaktif serta belum memperoleh dukungan komitmen oleh
komponen masyarakat secara menyeluruh.
Sasaran kebijakan pengembangan diversifikasi pangan berbasis
sumberdaya lokal adalah terbentuknya spektrum pangan yang lebih luas untuk
mendukung perwujudan pola konsumsi yang mengarah ke pola pangan harapan
dan berkembangnya sistem produksi pangan lokal yang selaras dengan prinsip‐
prinsip keberlanjutan dalam rangka mewujudkan sistem ketahanan pangan yang
mantap. Belajar dari pengalaman selama ini, agar kebijakan diversifikasi pangan
efektif maka pengembangan diversifikasi pangan diposisikan sebagai bagian
integral dari pemantapan ketahanan pangan nasional berkelanjutan.
Pengembangan diversifikasi pangan mengacu pada prinsip bahwa produksi
agroindustri pangan‐konsumsi adalah suatu sistem sinergis. Pengembangan
139
diversifikasi pangan dirancang berdasarkan pendekatan holistik lintas disiplin
ilmu dan lintas sektor secara harmonis dan konsisten dan dimaknai sebagai
upaya pemerataan dan peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan usaha
dan kesempatan kerja, dan relevan dengan prinsip‐prinsip pembangunan
berwawasan lingkungan
(3.) Pengentasan Rawan Pangan dan Kemiskinan/Kelaparan
Kondisi rawan pangan dapat disebabkan: a) tidak adanya akses secara
ekonomi bagi individu atau rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup; b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu atau rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup; c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
produktif individu atau rumah tangga; d) tidak terpenuhinya pangan secara
cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga.
Upaya untuk mengatasi ancaman kelaparan dan kerawanan pangan dan
kemiskinan masih tetap menjadi prioritas agenda nasional. Data BPS
menunjukkan jumlah penduduk miskin pada pada tahun 2010 masih sebesar 31
juta lebih atau sekitar 13.3 persen dari total penduduk Indonesia. Masalah rawan
pangan dan kemiskinan menjadi isu yang semakin penting bila dilihat dari
kecenderungan pertambahan penduduk. Dengan laju pertambahan penduduk
1.66 % per tahu dan jumlah penduduk saat ini sekitar 233 juta maka kemampuan
penyediaan pangan akan semakin berat sehingga diperlukan terobosan‐
terobosan inovatif untuk dapat memecahkan permasalahan penyediaan pangan
bagi seluruh masyarakat termasuk akses pangan bagi penduduk miskin.
Berdasarkan trend penurunan kemiskinan 2000‐2009, maka kemiskinan
relatif pada tahun 2015 diperkirakan akan masih mencapai 12,28%, jauh diatas
target Millenium Development Goal‐1 (MDG‐1) sebesar 7,5% (Rusastra, 2010).
Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan tidak menunjukkan penurunan
yang berarti, sehingga kelompok miskin masih sangat rentan terhadap
140
perubahan eksternal sosial ekonomi dan lingkungan. Tingkat kedalaman dan
keparahan kemiskinan di daerah pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan di
daerah perkotaan sehingga untuk mengatasi masalah kemiskinan di perdesaan
diperlukan upaya yang lebih berat. Sebagian besar (63,39 persen) penduduk
miskin ini tinggal di daerah perdesaan. Pembangunan sektor pertanian
khususnya dan daerah perdesaan pada umumnya, termasuk infrastruktur
perdesaan seperti jalan, irigasi, listrik, sarana air bersih, dan lain sebagainya,
perlu mendapatkan prioritas utama di dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Persistensi tingkat kemiskinan yang masih tinggi memberikan indikasi
bahwa ada sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi, kebijakan,
dan program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah. Dilihat
dari sisi alokasi anggaran yang digunakan untuk pengentasan kemiskinan,
pemerintah memiliki perhatian yang serius untuk memerangi kemiskinan. Alokasi
anggaran untuk pengentasan kemiskinan meningkat tajam dari Rp 18 triliun pada
tahun 2004 menjadi Rp 54 triliun di tahun 2007, dan naik lagi menjadi sekitar 80
trilliun pada tahun 2010. Langkah‐langkah konsolidasi program penanggulangan
kemiskinan ini diluncurkan Pemerintah dalam tiga klaster yaitu Paket Bantuan
Program I yang merupakan bantuan dan perlindungan sosial terpadu bagi rumah
tangga miskin, Paket Bantuan Program II yang merupakan program
pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri), dan Paket Bantuan Program III yang
merupakan program pemberdayaan usaha mikro dan kecil (UMK‐KUR). Melalui
berbagai bantuan tersebut, jumlah dan persentase penduduk miskin menurun
namun penurunan kemiskinan belum nyata dan belum sebanding dengan
jumlah anggaran yang dibelanjakan. Pengentasan kemiskinan dan rawan pangan
tidak bisa hanya semata menggantungkan dari anggaran APBN yang terbatas.
Mengingat besarnya upaya, dana dan sumberdaya yang telah dicurahkan,
perlu dirumuskan reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan
perdesaan di Indonesia dalam perspektif peningkatan efektivitas, efisiensi dan
daya guna kebijakan dan program pengentasan kemiskinan, yaitu melalui
141
pembangunan perdesaan inklusif (Rusastra, 2010). Paradigma pertumbuhan
inklusif pada dasarnya adalah pembangunan pro‐kelompok miskin dengan tetap
mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan mencegah kerusakan
lingkungan. Bank Dunia (2006) menyarankan dua pendekatan yang dapat
ditempuh untuk keluar dari kemiskinan di pedesaan, yaitu (a) transformasi dari
pertanian subsisten ke pertanian modern; dan (b) transformasi dari kegiatan non
pertanian subsisten menjadi usaha non pertanian formal yang lebih produktif
dan menguntungkan. Sudaryanto (2010) menawarkan program revitalisasi sektor
pertanian yang mencakup diversifikasi pertanian, peningkatan investasi untuk
pengembangan infrastruktur dan inovasi teknologi dalam akselerasi pengentasan
kemiskinan di pedesaan. Swastika (2010) menawarkan pembangunan perdesaan
terpadu yang didukung oleh industrialisasi perdesaan dan perluasan skala
usahatani.
Selain masalah kemiskinan, permasalahan kerawanan pangan baik yang
bersifat kronis dan transient juga sering ditemui di berbagai wilayah di
Indonesia. Tercatat sekitar 29.9 juta jiwa penduduk atau sekitar 13% dari total
penduduk dalam kondisi rawan pangan. Dengan demikian kemiskinan memiliki
keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan. Jumlah
penduduk miskin paling banyak berada di pedesaan yang menggantungkan pada
sektor pertanian. Penduduk disektor pertanian menempati proporsi 55 persen
dari total penduduk miskin, sekitar 75 persen diantaranya pada sub sektor
tanaman pangan, 7,4 persen pada perikanan laut, dan 4,6 persen pada
peternakan. Lebih lanjut, hasil analisis dari peta Ketahanan Pangan dan
Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerable Atlas/FSVA) tahun 2009
menunjukkan bahwa penyebaran daerah yang rentan terhadap rawan pangan
utamanya di Indonesia berada di wilayah Indonesia Timur. Dari seratus wilayah
kabupaten/kota yang masih berstatus rentan terhadap rawan pangan, sebagian
besar berada di kawasan Indonesia Timur yang masih menghadapi kendala
142
dalam produksi pangan, ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang
terbatas, serta dayabeli masyarakat yang rendah.
Pemerintah, melalui Dewan Ketahanan Pangan telah merumuskan
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010‐2014 untuk mengatsi masalah rawan
pangan, yang terdiri dari empat pilar utama yaitu: 1) Meningkatkan Ketersediaan
Pangan; 2) Mengembangkan Sistem Distribusi Pangan; 3) Meningkatkan Kualitas
Konsumsi Pangan; dan 4) Membangun sistem pendukung ketahanan pangan
yang kondusif (Badan Ketahan Pangan, 2010). Strategi pemerintah untuk
pengentasan rawan pangan antara lain dilakukan dengan menekankan
kemandirian pangan tingkat rumah tangga sebagai basis untuk membentuk
kemandirian pangan tingkat desa dan seterusnya tingkat kabupaten/kota,
propinsi dan nasional. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan antara
lain adalah melalui percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dengan
memanfaatkan keanekaragaman hayati setempat (berbasis sumberdaya lokal),
pengembangan kapasitas cadangan pangan, baik yang dikelola pemerintah
pusat, pemerintah daerah. Langkah operasional sebagai strategi jangka pendek
dalam memerangi ancaman kelaparan adalah melalui program‐program
bantuan seperti raskin dan pangkin (pangan untuk orang miskin) dan program
pemberdayaan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan terutama pada musim
paceklik, seperti misalnya melalui program padat karya perbaikan sarana dan
prasarana irigasi.
(4) Program JPS, Pemberdayaan, dan Pengentasan Kemiskinan
Konsep awal JPS merupakan integrasi dari beberapa program dalam
menanggulangi dampak krisis, dengan program‐program yang dirancang sebagai
upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. JPS
ditujukan untuk memberikan jaminan sosial yang meliputi aspek ketahanan
pangan masyarakat, pengamanan sosial bidang kesehatandan pendidikan,
143
penciptaan lapangan kerja produktif, serta pemberdayaan masyarakat. Dengan
demikian sektor pertanian memiliki kontribusi terutama dalam aspek ketahanan
pangan, penciptaan lapangan kerja produktif serta pemberdayaan masyarakat.
Program JPS untuk sektor pertanian diarahkan untuk memulihkan kecukupan
pangan yang terjangkau untuk masyarakat miskin, menciptakan kesempatan
kerja yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat miskin dan memulihkan
kegiatan ekonomi masyarakat melalui berbagai program pemberdayaan dengan
sasaran akhir pada pengentasan kemiskinan.
Salah satu program pemerintah yang dilakukan untuk membantu petani
dan masyarakat miskin pedesaan dalam hal ketahanan pangan rumahtangga
adalah melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk Petani, yang berupa
Program JPS berbasis pangan yaitu dengan memberikan makanan baik secara
langsung atau melalui sejumlah instrumen. Secara umum, program ini memiliki
tujuan untuk menjamin penghidupan keluarga, meningkatkan daya beli,
mengurangi kesulitan hidup serta meningkatkan gizi masyarakat tani. JPS
berbasis pangan dapat dikombinasikan dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
yang ditujukan untuk membantu kegiatan‐kegiatan produktif, baik kegiatan
usahatani maupun usaha agribisnis lain yang berdampak pada peningkatan
perekonomian masyarakat pedesaan. Bantuan Langsung Tunai tersebut dapat
berupa bantuan benih unggul, bantuan pupuk ataupun modal usahatani atau
modal usaha agribisnis lainnya. Program JPS dengan pendanaan dalam bentuk
Bansos ini merupakan program targetted subsidy bagi keluarga yang termasuk
dalam kriteria miskin/prasejahtera, masyarakat yang mengalami kesulitan
pangan, mengalami putus sekolah, penduduk yang tidak mampu berobat ke
pelayanan kesehatan, KK yang terkena PHK, dan sebagainya.
Berbagai program di sektor pertanian yang terkait dengan program JPS,
pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan
selama ini memiliki tujuan strategis secara garis besar, yaitu : (1) Memperkuat
kapasitas penduduk miskin pedesaan dan kelembagaannya, melalui upaya
144
menyediakan kesempatan untuk membangun kapabilitas individu dan kelompok,
memperbesar akses peluang ekonomi, infrastruktur dan pelayanan sosial, serta
membantu berinteraksi secara lebih seimbang;(2) Memperbaiki akses petani
kecil /penduduk miskin di pedesaan secara lebih merata terhadap sumberdaya
infrastruktur dan teknologi produksi, melalui upaya fasilitasi akses kepada
sumberdaya alam (lahan, air dan hutan);dan (3) Meningkatkan akses petani
kecil/penduduk miskin di pedesaan kepada modal finansial melalui upaya
mengembangkan lembaga keuangan pedesaan yang profesional dan responsif,
mengembangkan agribisnis pedesaan, mengupayakan penganekaragaman
sumber pendapatan (non farm dan off farm).
Dalam hal penguatan permodalan masyarakat miskin di pedesaan,
pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) diharapkan menjadi dasar
pengembangan ekonomi rakyat dan pemberdayaan masyarakat kecil.
Keberadaan lembaga keuangan mikro dapat memenuhi kebutuhan modal dan
pelayanan keuangan masyarakat pedesaan dengan prosedur yang lebih
fleksibel.LKM merupakan pendekatan yang baik untuk menanggulangi
kemiskinan karena dapat berfungsi sebagai lembaga penyedia berbagai jasa
keuangan untuk kegiatan produktif maupun kegiatan konsumtif keluarga miskin.
Program JPS dan penanggulangan kemiskinan bukan merupakan program
derma (charity) melainkan sebagai upaya memperkuat kapasitas dan
pemberdayaan penduduk miskin. Program JPS dapat dipandang sebagai salah
satu komponen dalam Sistem Keterjaminan Sosial. Keterjaminan sosial (social
security) dapat didefinisikan secara luas sebagai tindakan publikuntuk melindungi
kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup
sehingga mereka memiliki standar hidup yang memadai ( The World Bank
Research Observer, 1991). Instrumen yang terkait adalah jaminan pekerjaan dan
pendapatan serta beberapa kebijakan formal seperti asistensi, asuransi sosial
dan tunjangan keluarga. Dengan demikian akan diperoleh kemampuan
masyarakat secara mandiri untuk terus berkembang serta mampu mewaspadai,
145
mencegah dan mengatasi terjadinya krisis yang bersumber dari faktor internal
maupun eksternal.
Konsepsi program pemberdayaan dapat dikembangkan melalui: (a)
Pemberdayaan keluarga yang merupakan unit sosial dan kekerabatan paling
kecil, agar mampu mewujudkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan; (b)
Pemberdayaan wilayah komunitas yang melibatkan dimensi partisipatif
masyarakat dan kedaulatan rakyat; (c) Pemberdayaan energi sosial yang
bersumber pada tiga unsur yang saling terkait, yaitu gagasan (ideas), idaman
(ideal), dan persaudaraan (friendship) (Sayogyo, 1994); serta (d) Pemberdayaan
kelembagaan lokal melalui peningkatan pemahaman terhadap dinamika aspek
kultural, sosial, ekonomi dan politik, mendorong tumbuhnya rasa memiliki dan
tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan sistem serta membangun
kapasitas sosial untuk mengembangkan program yang sudah ada.
(5.) Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Inklusif
Rusastra (2010) dalam orasi profesor riset menawarkan konsep
pembangunan perdesaan inklusif, yang pada dasarnya merupakan pembangunan
pro kelompok miskin dengan tetap mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
dan mencegah kerusakan lingkungan. Terdapat keterkaitan antara pembangunan
pro kelompok miskin dengan pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan.
Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi akan mendorong perbaikan distribusi
pendapatan kelompok miskin yang memiliki ketergantungan pada efisiensi dan
konservasi penggunaan sumberdaya. Konsekuensinya, pilihan prioritas sektoral
adalah pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tetap mempertahankan
pertumbuhan ekonomi lainnya.
Justifikasi yang mendasari pembangunan sektor pertanian berkelanjutan
sebagai basis pertumbuhan ekonomi berkualitas adalah: (a) dominasi dalam
penyerapan tenaga kerja; (2) pengentasan kemiskinan merupakan pra kondisi
146
penting bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan; (3) melibatkan sebagian
besar petani skala kecil dan dapat menekan ongkos transaksi karena terkait
dengan kebutuhan langsung konsumsi rumahtangga dan pasar lokal; (4)
dominasi dalam struktur pendapatan rumahtangga petani dan adanya peluang
pengembangan diversifikasi usahatani dalam rangka memantapkan ketahanan
pangan dan pengenatasan kemiskianan.
Komponen dasar pembangunan perdesaan Inklusif terdiri dari tiga
komponen yang harus dilakukan secara sinergis dan integratif (Rusastra, 2010),
yaitu; (a) pengembangan potensi dan kapasitas individual kelompok miskin; (b)
pembangunan dan pemberdayaan holistik multisektoral di tingkat desa berbasis
komunitas dan bersifat partisipatif; dan (c) transformasi struktural ekonomi
pertanian dan perdesaan melalui pengembangan agribisnis dan integrasi
ekonomi desa‐kota.
Keberhasilan pembangunan perdesaan inklusif ditentukan oleh faktor
(Rusastra, 2010), : (a) peningkatan kapasitas dan akses ekonomi penduduk
miskin melalui pendekatan pemberdayaan; (b) pemacuan pertumbuhan ekonomi
perdesaan melalui peningkatan kapasitas produksi, ketersediaan dan akses
teknologi, dan peningkatan peran swasta; (c) dukungan lintas sektoral terkait
dengan pengembangan kelembagaan, pengembangan infrastruktur, serta
komitmen pembinaan dan pendanaan daerah; (d) adapatasi dan sinergi program
pembangunan perdesaan dengan pemberdayaan kelompok miskin.
Pembangunan perdesaan inklusif diprioritaskan pada desa‐desa miskin secara
nasional. Implementasi program ini memerlukan koordinasi dan konsolidasi di
lapangan. Pelaksanaan paradigma ini merupakan reorientasi pendekatan dari
parsial sektoral ke holistik multisektoral dalam pengentasan kemiskinan
Percepatan transformasi struktural terkait dengan pengentasan kemiskinan
dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan fokus pada
sektor pertanian di perdesaan tanpa mengabaikan pertumbuhan perkotaan.
Prinsip dasarnya adalah penciptaan kesempatan dan akses lebih luas bagi
147
kelompok miskin. Kapasitas individu dan kelompok miskin harus ditingkatkan dan
akses terhadap kesempatan ekonomiperlu ditingkatkan melalui investasi
perdesaan, mobilitas tenaga kerja, dan integrasi ekonomi desa kota.
Transformasi dalam arti luas berlaku untuk desa miskin dan tidak miskin, dalam
perspektif percepatan pertumbuhan inklusif ekonomi nasional.
Pertumbuhan inklusif ekonomi nasional melalui pembangunan pertanian
dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu : (a) stabilitas indikator
makroekonomi dan keberpihakan kebijakan fiskal untuk pembangunan
pertanian; (b) optimalisasi alokasi sumberdaya publik serta fasilitasi pelayanan
dan insentif dalam spirit mengatasi kegagalan produksi dan pasar; (c) pemulihan
sumberdaya lahan dan air dalam perspektif stimulasi berkelanjutan
pertumbuhan; dan (d) promosi pengembangan produk dan pemasaran
komoditas pertanian ramah lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural dinilai paling
efektif mengangkat kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan
yang perlu dipertimbangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat adalah: (a) pengurangan ekonomi
dan logistik biaya tinggi; (b) dukungan teknologi, regulasi, dan iklim investasi
yang lebih kondusif; dan (c) prioritas tinggi pada investasi infrastruktur untik
mencapai tingkat pertumbuhan tinggi dan berkelanjutan di masa yang akan
datang.
(6.) Model Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Berdasarkan arah dan tujuan pembangunan ketahanan pangan, maka
strategi yang akan dilaksanakan untuk penanganan daerah rawan pangan melalui
strategi jalur ganda (twin track strategy), yaitu : (a) pembangunan pertanian dan
pedesaan untuk meningkatkan produksi pangan dan pertanian, menyediakan
lapangan kerja dan pendapatan (daya beli); (b) memenuhi kebutuhan pangan
148
bagi kelompok miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung
pangan dan pemberdayaan masarakat.
Dalam perspektif pengentasan kemiskinan dan belajar dari pengalaman
eksistensi usahatani skala kecil dalam merespons dampak krisis global, maka
model pembangunan pertanian/perdesaan yang berbasis pada pengembangan
usahatani skala kecil merupakan satu alternatif terpilih. Usahatani skala kecil
dapat dipandang sebagai unit bisnis rasional yang perlu didukung secara
terintegrasi dengan rantai pasok input, rantai pasok output, pengembangan
infrastruktur, regulasi, dan jasa layanan lainnya. Model pembangunan pertanian
tersebut ditempuh melalui: (a) Kebijakan pengembangan usahatani skala kecil;
(b) Kebijakan peningkatan daya saing komoditas pertanian; dan (c)
Pembangunan perdesaan berlandaskan agribisnis, yang dirumuskan sebagai
berikut (Rusastra, 2010).
Kebijakan Pengembangan Usahatani Skala Kecil
Pengembangan usahatani skala kecil perlu mempertimbangkan : (a)
populasi rumahtangga petani kecil yang relatif tinggi, yaitu 13.7 juta dengan
pendapatan usahatani sangat rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan
keluarga, dan (b) pemantapan reorientasi tujuan pengembangan usahatani, yaitu
peningkatan pendapatan, ketahanan pangan rumahtangga petani, dan
dinamisasi perekonomian desa.
Instrumen kebijakan operasional yang harus dipertimbangkan adalah: (a)
peningkatan ketersediaan dan akses sumberdaya lahan dan peningkatan
kapasitas produksi pertanian; (b) percepatan diversifikasi pertanian dengan fokus
perkembangan usahatani dan agroindustri komoditas non padi; (3) keberpihakan
dan konsistensi kebijakan subsidi dan proteksi yang rasional dan proposional.
Kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pertanian.
149
Peningkatan harga pangan global merupakan tantangan dan peluang
peningkatan produksi dan daya saing komoditas pertanian/nasional. Dengan
kapasitas produksi dan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia harus
berusaha keras memenuhi kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi
dalam negeri. Analisis dinamika daya saing menunjukkan bahwa komoditas
pertanian strategis memiliki potensi untuk ditingkatkan keunggulan kompartif
dan kompetitifnya.
Komoditas substitusi impor seperti beras, jagung, dan kedele tetap perlu
diupayakan peningkatan produktivitas dan efisiensinya dengan dukungan
stabilisasi harga melalui pengadaan dalam negeri dan penetapan tariff bea
masuk secara rasional dan berimbang antar komoditas. Komoditas gula dengan
tingkat keunggulan komparatif yang rendah membutuhkan dukungan perbaikan
produktivitas dan efisiensi industri gula secara menyeluruh. Indikasi kenaikan
harga gula dalam jangka panjang hendaknya menguatkankomitmen untuk
meningkatkan produksi secara nasional. Desakan komoditas impor menyebabkan
keunggulan kompetitif usaha ternak sapi potong mengalami kemunduran.
Peningkatan daya saing sapi potong membutuhkan upaya yang konsisten terkait
dengan upaya diseminasi dan adopsi teknologi, serta perbaikan efisiensi melalui
peningkatan skala usaha, dukungan kelembagaan dan akses permodalan.
Pembangunan Perdesaan Berlandaskan Agibisnis.
Pemberdayaan usahatani skala kecil tidak dapat dipisahkan dengan
pembangunan perdesaan inklusif, melalui restrukturisasi agribisnis dan
peningkatan daya saing.Operasionalisasi pembangunan agribisnis berdaya saing
dalam pengentasan kemiskinan membutuhkan dukungan paket kebijakan secara
komprehensif dan terpadu yang meliputi tujuh komponen utama, dengan
deskripsi dan sasaran sebagai berikut:
150
1. Pembangunan infrastruktur ekonomi perdesaan dengan sasaran
peningkatan produktivitas dan efisiensi,
2. Pengembangan sistem inovasi pertanian dengan sasaran peningkatan
kapasitas produksi, produktivitas, dan nilai tambah,
3. Pengembangan SDM dan kelembagaan petani melalui pembentukan
organisasi petani dan aliansinya dengan pelaku agribisnis lainnya,
4. Optimasi sumberdaya berkelanjutan dengan sasaran menjaga keberlanjutan
kapasitas produksi, peningkatan produktivitas dan daya saing,
5. Konsolidasi vertikal agribisnismelalui konsolidasi usahatani skala kecil
dengan mitra usaha dengan prinsip dasar saling menguntungkan,
6. Pemacuan investasi sektor agribisnis dengan fasilitasi pemerintah,
khususnya kredit investasi jangka panjang dan lingkungan ekonomi yang
kondusif,
7. Rasionalisasi kebijakan subsidi dan proteksi sektor pertanian dan
pengembangan agribisnis dengan mempertimbangkan multi fungsi sektor
pertanian, kebijakan negara lain, dan penyesuaian kebijakan insentif secara
bertahap.
VII. PROGRAM TEMATIK PENGKAJIAN KEBIJAKAN SOSIAL EKONOMI
PERTANIAN, 2013‐2035
Sasaran program pengkajian adalah tersedianya rekomendasi kebijakan
pertanian dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan yang
berkelanjutan dan peningkatan kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan
nasional yang meliputi produksi pertanian, devisa, dan kesempatan kerja, dan
pendapatan petani. Sebagai bagian integral dari kebijakan nasional, orientasi
kebijakan pertanian adalah pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan secara
simultan dan sinergis.
Rancang bangun kebijakan pembangunan pertanian berbasis pada visi
dan misi pembangunan pertanian sebagaimana digariskan dalam Rencana Jangka
Panjang Pembangunan Pertanian Nasional. Dalam konteks ini program tematik
pengkajian kebijakan sosial ekonomi pertanian sangat terkait dengan dinamika
lingkungan strategis nasional dan global.
7.1. Program Pengkajian Kebijakan SDA, dan Infrastruktur dan Investasi
Pertanian
Program Tematik Pengkajian Kebijakan sumberdaya alam, infrastruktur,
dan investasi pertanian meliputi:
(1) Pengelolaan sumberdaya lahan dan air (khususnya di Kawasan Timur
Indonesia) untuk mendukung kemandirian dan ketahanan pangan nasional
berkelanjutan berbasis prinsip pemerataan dan eko efisiensi;
(2) Pengembangan pertanian pada lahan rawa dalam rangka mendukung
ketahanan pangan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi wilayah;
152
(3) Regulasi pengelolaan sumberdaya lahan dan air dan implikasinya bagi
pembangunan pertanian nasional;
(4) Pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan untuk mendukung
kinerja pertanian dan pertumbuhan ekonomi wilayah;
(5) Pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan untuk mendukung
kinerja perdagangan komoditas pertanian antar pulau;
(6) Kebijakan investasi pertanian untuk mendukung pertumbuhan sektor
pertanian yang berorientasi pada pemerataan manfaat hasil
pembangunan, aspek keberlanjutan, dan kemandirian pangan;
(7) Kebijakan investasi pertanian untuk mendukung percepatan aplikasi
teknologi pertanian produktif yang adaptif terhadap perubahan iklim;
(8) Kebijakan investasi pertanian yang berorientasi pada pencapaian
keseimbangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah;
(9) Kebijakan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) di bidang
ekonomi yang berbasis lahan dan air dan implikasinya terhadap pertanian
rakyat dan perekonomian desa.
7.2. Program Pengkajian Kebijakan Penguatan dan Perlindungan Usaha Pertanian
Ketersediaan dan Akses sarana produksi pertanian
1. Kebijakan sistem insentif pengadaan sarana produksi berbasis potensi
sumberdaya dan kelembagaan;
2. Penyediaan sapi bibit dan sapi bakalan berbasis sumber pakan dan bentuk
usaha.
Managemen dan efisiensi usahatani
153
1. Identifikasi dan potensi peningkatan skala ekonomi, economy of scope, dan
penerapan supply chain management‐SCM mendukung peningkatan
efisiensi usahatani;
2. Dinamika kinerja dan sistem insentif tenaga kerja sektor pertanian
mendukung keberlanjutan ketahanan pangan;
3. Penguatan usaha pertanian skala menengah mendukung peningkatan efisien
dan nilai tambah produk pertanian nasional;
4. Identifikasi keberadaan dan peran asosiasi petani dan pedagang produk
pertanian domestik dan upaya peningkatannya.
Penanganan pasca panen dan pengolahan produk pertanian
1. Kebutuhan teknologi pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil dan
memperbaiki penampilan (performance) produk pertanian;
2. Kebutuhan teknologi pengolahan sesuai dengan permintaan pasar,
meningkatkan nilai guna (utility), daya simpan (storability), nilai tambah dan
citarasa produk olahan komoditas pertanian;
3. Analisis regulasi dan ekonomi penanganan pasca panen dan industri
pengolahan produk pertanian nasional.
Subsidi Penguatan Kreditdan proteksi pertanian
1. Kinerja infrastruktur produksi dan pemasaran produk pertanian untuk
mendukung daya saing nasional;
2. Perlindungan sistem agribisnis terhadap praktek‐praktek ekonomi biaya
tinggi;
3. Dampak tata perdagangan dunia (WTO) terhadap keberlanjutan industri
pertanian nasional;
154
4. Kinerja, kendala dan dampak kredit program pertanian terhadap kinerja
pertanian nasional;
5. Penguatan usahatani terhadap akses kredit komersial pertanian dan sistem
pengadaan sarana produksi pertanian.
6. Prospek pengembangan asuransi pertanian untuk perlindungan usahatani
Sistem usahatani ekologis ramah lingkungan
1. Identifikasi dan transformasi kelembagaan usahatani konservasi.
2. Studi peran legislasi dan sistem insentif terhadap pengembangan usahatani
ramah lingkungan;
3. Dinamika produksi dan pasar produk pertanian organik;
4. Kinerja dan prospek pengembangan usahatani terintegrasi dalam
mendukung diversifikasi pertanian berkelanjutan;
5. Tinjau ulang dan antisipasi upaya black campaign terhadap produk pertanian
di pasar dunia.
Pemasaran dan perdagangan komoditas dan produk pertanian
1. Dinamika pangsa pasar domestik menurut sumber pasokan impor dan lokal;
2. Neraca perdagangan produk pertanian terhadap negara anggota kerjasama
perdagangan bilateral dan multilateral;
3. Pengembangan diversifikasi pasar dan peningkatan efisiensi pemasaran
produk pertanian nasional.
Efisiensi dan daya saing produk pertanian nasional
1. Metode peningkatan efisiensi melalui penghematan biaya usahatani,
pengolahan dan pemasaran hasil;
155
2. Peningkatan keunggulan kompetitif dilihat dari segi mutu produk dan
kontinyuitas pasokan,
7.3. Program Pengkajian Kebijakan Kelembagaan dan Regulasi Pertanian
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal,
1. Peningkatan kapasitas pelaku utama (petani) dan pelaku usaha (pedagang)
melalui pelatihan, pendampingan, dan fasilitasi;
2. Menumbuh‐kembangkan kinerja organisasi dan kepemimpinan, keadilan
dan kesetaraan gender di pedesaan;
3. Penguatan dan pemanfaatan energi kearifan lokal terkait pengelolaan
komoditas pangan lokal dan perubahan iklim.
Pengembangan Teknologi dan Kelembagaan Pertanian
1. Peningkatan keefektifan penggunaan teknologi baru dalam bidang pertanian
dan komunikasi;
2. Pengembangan inovasi kredit mikro dan asuransi bagi petani kecil;
3. Kemitraan investasi publik–swasta dalam bioteknologi dan teknologi pangan
yang memiliki keuntungan sosial tinggi bagi keluarga miskin;
4. Penguatan kelembagaan usahatani dan pemasaran komoditas pertanian
dalam peningkatan posisi tawar petani kecil;
5. Pemantapan reformasi dan pasar lahan untuk meningkatkan akses dan
kapasitas pemilikan lahan bagi rumah tangga petani.
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian dan Peningkatan Daya Saing.
156
1. Sinkronisasi kelembagaan penyuluhan dengan UU No. 16/2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K);
2. Peningkatan rasio tenaga penyuluh dalam satu Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP) atau Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K)
dengan desa binaan;
3. Peningkatan intensitas dan kualitas penyuluhan dengan penyampaian materi
penyuluhan yang mendorong peningkatan daya saing pertanian dengan
kerangka industrialisasi pertanian‐pedesaan;
4. Diseminasi inovasi teknologi dan kelembagaan untuk peningkatan ketahanan
pangan nasional dengan kebutuhan dengan memadukan pendekatan top
down dan bottom up.
7.4. Program Pengkajian Kebijakan Ekonomi Makro dan Perdagangan
1. Kebijakan dibidang moneter seperti suku bunga, nilai tukar dan instrumen
moneter lain terhadap daya saing dan perkembangan sektor pertanian;
2. Kebijakan dibidang fiskal seperti perpajakan, subsidi, pola anggaran dan
instrumen fiskal terhadap daya saing dan perkembangan sektor pertanian;
3. Kinerja dan Kebijakan investasi, skim dan pola pembiayaan pertanian dalam
mendukung pembangunan dan dayasaing sektor pertanian;
4. Legislasi dibidang kebijakan makro dan perdagangan dalam mendukung
pembangunan pertanian dan dayasaing komoditas pertanian nasional.
7.5 Program Pengkajian Ketahanan Pangan, Kemiskinan, dan Pembangunan
Pertanian Pedesaan.
1. Peningkatan kapasitas dan akses penduduk miskin terhadap kesempatan
kerja dan berusaha disektor pertanian dan non‐pertanian;
157
2. Pengembangan kapasitas produksi, sistem usahatani, pengolahan/ cadangan
pangan/pemanfaatan pangan lokal non‐beras dalam pemantapan ketahanan
pangan dan pengentasan kemiskinan;
3. Revitalisas pertanian, usaha non‐pertanian di pedesaan dan integrasi
ekonomi desa‐kota dengan sasaran percepatan pengentasan kemiskinan di
pedesaan;
4. Sinergi program JPS, pemberdayaan rakyat miskin, dan pemberdayaan UKM
dalam perspektif pertumbuhan dan pembangunan inklusifdi pedesaan;
5. Pemantapan strategi pengentasan kemiskinan berbasis pembangunan
inklusif, dengan penekanan pada pembangunan pertanian tanpa
mengabaikan pertumbuhan sektor non‐pertanian;
6. Percepatan transformasi struktural ekonomi pertanian dan pedesaan melalui
pengembangan agribisnis dan agroindustri di daerah pedesaan;
7. Reorientasi program pengentasan kemiskinan parsial‐struktural menjadi
program pemberdayaan partisipatif dengan dukungan lintas sektoral dan
sinerginya dengan pertumbuhan ekonomi pedesaan dan integrasi ekonomi
desa‐kota;
8. Perumusan model pembangunan pertanian dan pedesaan inklusif dalam
perspektif pengembangan MP3EI pada setiap koridor ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
ADB, 2008. Soaring Food Price: Respons to the Crisis. Asian Development Bank, Manila, The Philippines.
Asian Development Bank (ADB) and International Food Policy Research Institute (IFPRI). 2009. Building climate resilience in the agriculture sector in Asia and the Pacific. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2009.
Asian Development Bank (ADB). 2009. The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, Asian Development Bank (ADB).
Asia‐Pacific Economic Cooperation (APEC). 2011. APEC 2011 to expand regulatory cooperation and advance regulatory convergence. http://www.apec.org/Press/Features/2011/0128_convergence.aspx
Badan Ketahan Pangan, 2009. Peta Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia‐Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2009. Badan Ketahana Pangan dan Program Pangan Dunia (Worls Food program). Jakarta
Badan Ketahan Pangan, 2010. Keynote Speech Kepala Badan Ketahanan Pangan pada Seminar Nasional Hari Pangan nasional XXX, Mataram, 6 Oktober 2010.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. “Road map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Rencana Strategis 2010‐2014. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 1990‐2010. Statistik Indonesia Tahunan. Jakarta.
BPS. 2005. Sensus Pertanian 2003: Analisis Rumah Tangga Usaha Peternakan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Byerlee, D. And A. de Janvry. 2008. Agricultural & Rural Development: Contributing to International Cooperation. Rural Development Department of The World Bank, Washington DC; University of California at Berkely, Berkely, USA.
CGIAR. 2008. The Biofuel Revolution: Boon or Bann for the Developing World’s Poor? (http://www.cgiar.org/ (March, 2008)).
Daryanto, A. 2007. Peningkatan Dayasaing Industri Peternakan.PT. Permata Wacana Lestari, Jakarta.
159
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press, Bogor.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
FAO. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries: Perspective, framework and priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations, Rome.
Food and Agriculture Oranization. 2003. WTO agreement on agriculture: the implementation experience ‐ developing country case studies. Publishing Management Service, Information Division, Rome, Italy (http://www.fao.org/DOCREP/004/ W7814E08.htm)
General Agreement Tariff and Trade. 1994. Indonesia’s Schedules of Market Accession Concessions Schedules XXI‐Indonesia
Gibson. P, J. Wainio, D. Whitley, and M. Bohman. 2001. Profiles of Tariffs in Global Agricultural Markets. USDA, Economic Research Service. Agriculture Economic Report No. 796.
Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, GPO Box 1571, Canberra, ACT, Australia.
Hadi, P.U., N. Ilham, B. Winarso, Saktyanu, K.D., dan Helena, J.P. 2007. Egg Market Survey In Eastern Indonesia. A Collaborative Research Between Indonesia Center for Agriculture Socio Economic and Policy Studies, Bogor and International Finance Corporation, South Sulawesi.
Haley, S., and N. R. Suarez. 2003. Sugar and sweeteners outlook. U.S. Department of Agriculture‐Economic Research Service. (http://www.ers.usda.gov/ publications /so/view.asp?f=specialty/sss‐bb/).
Hanani, 2009 Hanani, Nuhfil. 2009. Sumbangan Pemikiran Arah Pembangunan Ketahanan Pangan. Makalah dipresentasikan dalam Round‐Table Discussion "Strategi Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan Petani" pada Tanggal 23 Juni 2009 di Surabaya.
Hazell,P., C.Poulton, S.Wiggins&A.Daward. 2007. The Future of Small Farmers for Poverty Reduction and Growth. 2020 Discussion Paper No. 42, IFPRI, Washington, DC, USA.
Henderson, W. 2007. Rural‐Urban Inequality in Asia. CAPSA Flash 5(9), September 2007. UNESCAP‐CAPSA, Bogor, Indonesia.
Hirshleifer, H. 1985. Price Theory and Application. 3rd edition. University of California, Los Angles.
160
Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan di Indonesia. AKP, Vol 5 (4): 335‐373.
Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi daging: Indikasi dan Implikasi Kebijakannya. AKP, Vol 7 (1): 43‐63.
Ilham, N. dan Y. Yusdja. 2010. Dampak Flu Burung terhadap Produksi Unggas dan Kontribusi Usaha Unggas terhadap Pendapatan Peternak Skala Kecil di Indonesia. JAE, Vol 28 (1): 39‐68.
IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.
IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: Impacts, Adaptati on and Vulnerability. Contributi on of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Hanson (eds), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 7‐22.
IRSA. 2009. Pengaturan Kebijakan Industri Daging Sapi di Indonesia. Indonesia Research Strategic Analysis, Jakarta.
Jennifer, L. and C. P. Warr. 2003. Indonesia rice tariff. SMERU Institute. March 2003 http://www.prspsynthesis.org/Indonesia_Final_PSIA.doc
Kementerian Pertanian, 2010. Rencana Startegis Kementarian Pertanian 2010‐2014. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2011. Rencana Strategis 2010‐2014. Jakarta.
Kustiari, R., Dewa K.S. Swastika, Wahida, Helena, J. Purba, P. Simatupang, A. Purwoto, dan T. Nurasa. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Lasco R.D, C.M.D. Habito, R.J.P. Delfino, F.B. Pulhin, and R.N. Concepcion. 2011. Climate Change Adaptati on for Smallholder Farmers in Southeast Asia. World Agroforestry Centre, Philippines. 65p.
Leary, N., J. Adejuwon, V. Barros, I. Burton, J. Kulkarni, R. Lasco (eds). 2007. Climate Change and Adaptati on, London: Earthscan, p. 448.
MAFFJ. 2011. World Food Supply and demand Projections to 2020. Unofficial Translation. Policy Research Institute, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Japan.
Mathius, I.W. 2011. Industri Kelapa Sawit sebagai Basis Pengembangan Sapi Potong. Paper disampaikan pada Diskusi Inovasi dan Pembelajaran Sistem Integrasi Sapi dan sawit Berbasis Mekanisasi Pertanian untuk Kemandirian Peternak di Provinsi Riau. Pekanbaru, Juli 2011.
161
Mosher AT. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization. Frederick A. Praeger. New York.
Nasoetion, L. I. & J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada pangan dalam prosiding Lokakarya Persainagn dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Bogor.
Nellemenn,C., M.Macdevettee & T.Manders. 2009. The Environmental ood Crisis: The Environmental Role in AvertingFood Crisis. A UNEP Rapid Response Assessment. GRID Arendal, http://www.grida.org (February, 2009).
Pakpahan, A. 2011. Aplikasi Ekonomi Institusi dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional: Petani dan Pembangunan Pertanian”, Bogor 12 Oktober 2011, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian, Bogor.
Pangestu, M. 1996a. Managing Economic Policy Reforms in Indonesia. In M. Pangestu. Economic Reform, Deregulation, and Privatization. Centre for Strategic and International Studies(CSIS), Jakarta.
Pangestu, M. 1996b. Trade Policy Reforms in Indonesia: Towards an Explanation. In M. Pangestu. Economic Reform, Deregulation, and Privatization. Centre for Strategic and International Studies(CSIS), Jakarta.
Pasaribu S. et al. 2011. Pengembangan Asuransi Usaha Tani padi untuk Menanggulangi Risiko Kerugian Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Makalah Seminar pada tanggal 13 April 2011. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
PECC. 2006. The Future Role of Biofuel: Pacific Food System Outlook 2006‐2007. Pacific Economic Cooperation Council, 2006.
Pranadji T. 2007. Mengurai Kemacetan Transformasi Kelembagaan Pertanian dan Ekonomi Pedesaan: Penguatan dan Penyiapan Masyarakat (Pertanian) Inovatif di Pedesaan dalam Menghadapi Globalisasi Ekonomi dan Pasar Terbuka. Makalah Seminar Nasional Hasil Penelitian IPTEK Terapan pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STTP). Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Bogor.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2011. Rencana Strategis 2010‐2014. Bogor.
Quirke, D., M. Harding, D. Vincent, and D. Garret. 2003. Effects of Globalisation and Economic Development on the Asian Livestock Sector. ACIAR, Can berra, Australia.
Rusastra, 2010. Reorientasi Paradigma dan Strategi Pengentasan Kemiskinan dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Global. Naskah Orasi
162
Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
Rusastra, IW. 2008. Structural Transformation: A Paradigm for Rural Development and Poverty Alleviation. CAPSA Flash 6 (5), April 2008. UNESCAP‐CAPSA, Bogor, Indonesia.
Rusastra, IW., H.P.Saliem&Ashari. 2010. Krisis Global Pangan‐Energi‐Finansial: Dampak dan Respon Kebijakan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.8 No.1, Maret 2010. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Saptana, Agustian A, Mayrowani H, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Saptana, EL. Hastuti, KS. Indraningsih, Ashari, S. Friyatno, Sunarsih, V. Darwis. 2006. Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Bali. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Sawit, M.H. 2007. Serbuan Impor Pangan dengan Minim Perlindungan di Era Liberalisasi. Makalah disampaikan dalam Konpernas XV dan Kongres XVI PERHEPI di Surakarta, 3‐5 Agustus 2007.
Sawit, M.H. 2008. Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 6 No.3, September 2008. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Sayogyo, 1994. Kemiskinan dan Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yayasan Obor Indonesia. Yogyakarta.
Stern, N., S.Peters, V.Bakhshi, A.Bowen, C.Cameron, S.Catovsky, D.Crane, S.Cruickshank, S.Dietz, N.Edmonson, S.‐L.Garbett, L.Hamid, G.Hoffman, D.Ingram, B.Jones, N.Patmore, H.Radcliffe, R.Sathiyarajah, M.Stock, C.Taylor, T.Vernon, H.Wanjie, and D.Zenghelis (2006), Stern Review: The Economics of Climate Change, HM Treasury, London.
Sudaryanto, B dan T. Prasetyo. 2009. Keterpaduan Pengelolaan Pembangunan Pertanian dalam Rangka Otonomi Daerah. Dalam: Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Sudaryanto, T. 2009. Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan: Revitalisasi Peran Sektor Pertanian. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Sudaryanto, T, S.H. Susilowati and S. Sumaryanto. 2009, “Increasing Number of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences”, European
163
Association of Agricultural Economists, 111th Seminar, June 26‐27, 2009, Canterbury, UK
Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina, Adjat Sudradjat. Sydex Plus. Bogor.
Sumaryanto, 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia yang diselenggarakan di Jakarta pada Tanggal 1 Oktober 2009.
Suradisastra, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). 4 (4): 281‐314. Pusat Analisis dan Kebijakan Sektor Pertanian. Bogor.
Swastika, D.K S. (2010. Membangun kemandirian dan Kedaulatan Pangan untuk Membedah Perangkap Kemiskinan Petani Tanaman Pangan. Orasi Pengukuihan Profesor Riset Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syahyuti. 2011. Paradigma Kedaulatan Pangan dan Keterlibatan Swasta: Ancaman Terhadap Pendekatan Kedaulatan Pangan (?). Analisis Kebijakan Pertanian Vol.9 No.1, Maret 2011. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Timmer, C.P. 2006. The Structural Transformation in Historical Perspective: Lessons from Global Patterns and Divergent Country Path. Center for Global Development, USA.
Tjondronegoro, S.M.P., & G. Wiradi. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah :Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa, edisi revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Trenberth, K. E., J. T. Houughton, and L. G. Meira Filho. 1995. The Climate System: an Overview. In: Climate Change 1995. The Science of Climate Change. Contribution of Working Group I to the Second Assessment Report of The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Cambridge University Press.
Von Braunn, J. 2008. Food and Financial Crisis: Implication for Agriculture and the Poor. Brieft prepared for the CGIAR Annual GeneralMeeting, Maputo Mozambique, december 2008. IFPRI, Washington, DC, USA.
164
Wilson Center. 2006. Summary of Proceeding of a Conference on the “ Impact of Trade Liberalization on Poverty”, organized on 15 April 2006. USAID and Woodrow Wilson International Center for Scholars, Washington, DC (www.wilsoncenter.org/tradeandpoverty).
Windia, W., S. Pusposutardjo, N. Sutawan, P. Sudira, dan S.S. Arif. 2005. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Soca, Vol 5 (2): 229‐235.
World Bank. 2006. Making the new Indonesia Work for the Poor. World Bank, Washington, D.C., U.S.A.
World Trade Organization (WTO). 2003. World Trade Organization Agreement on agriculture basics, Geneva. Swizerlands.
Wrihatnolo, R. 2000. Biro Industri, Perdagangan, dan Pariwisata. Bappenas. Jakarta.
WTO. 2003a. World Trade Report 2003. World Trade Organization (WTO), Geneva. Swizerlands.
WTO. 2003b. Trade policy Review Indonesia. Geneva. Swizerlands.
Yohe, G. 2001. Mitigative capacity: the mirror image of adaptive capacity on the emissions side. Climate Change 49:247‐262.