NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN …€¦ · Tesis Majul dikuatkan dalam Ensiklopedi...
Transcript of NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN …€¦ · Tesis Majul dikuatkan dalam Ensiklopedi...
1
NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS
PERJUANGAN BANGSA MORO
DALAM KONFLIK FILIPINA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
Oleh :
SITI AISYAH
NIM.105022000852
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H / 2010 M
2
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Tiada kata yang pantas terucap selain puji syukur kehadirat Allah swt atas
segala limpahan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tercurahkan kepada kekasih Allah dan manusia termulia,
Nabi Muhammad saw, yang telah membuka zaman baru bagi peradaban dunia.
Dalam studi di perguruan tinggi, skripsi telah menjadi keharusan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis membahas skripsi yang berjudul “Nasionalisme Moro
Sebagai Identitas Perjuangan Bangsa Moro dalam Konflik Filipina”.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor beserta seluruh jajaran
rektorat UIN Syarif Hidayatyllah yang telah memfasilitasi mahasiswa
menempuh studi.
2. Dr. Abd. Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora beserta
seluruh jajarannya. Drs. H. Ma’ruf Misbah dan Usep Abdul Matin, S.Ag.,
MA., MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan.
3. Dr. Amelia Fauzaia, MA. yang di tengah kesibukannya selaku direktur
CSRC telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan
memberikan arahan yang sangat berguna ke arah terwujudnya skripsi ini.
3
4. Dosen, beserta seluruh staf pengajar Fakultas Adab dan Humaniora yang
telah banyak memberikan sumbangan pemikiran selama penulis menemph
studi.
5. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
Perupusatakaan Nasional yang telah menyediakan berbagai sumber yang
dibutuhkan untuk menulis skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan do’a restunya dan
motivasi moril maupun materil dengan penuh keikhlasan yang sangat
berharga bagi penulis.
7. Teman-teman Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2005 yang telah
memberikan dorongan moril selama menempuh studi di Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam.
Akhir kata, penulis mendoakan semoga amal perbuatan dan bimbingan
yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah
swt. Penulis berharap hasil yang penulis tuangkan dalam skripsi ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Jakarta, Januari 2010
Siti Aisyah
4
DAFTAR ISI
NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN
BANGSA MORO DALAM KONFLIK FILIPINA
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Permasalahan............................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7
D. Kontribusi Penulisan.................................................................7
E. Studi Kepustakaan.................................................................... 7
F. Sumber dan Metode Penelitian................................................. 8
G. Jadwal Penelitian...................................................................... 5
H. Sistematika Penulisan...............................................................15
BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA TERHADAP KONDISI
SOSIAL MUSLIM........................................................................17
A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina...................................17
B. Kebijakan Diskriminasi Terhadap Sosial Keagamaan.............25
C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi........................................... 28
BAB
III
PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI....................... 32
A. Perjuangan Pada Masa Kolonial..............................................32
B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan
Bangsa Moro............................................................................45
C. Bersatunya Para Pemimpin Islam............................................46
BAB
IV
NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS
PERJUANGAN MUSLIM
FILIPINA................................................................... 48
A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro........ 48
B. Nasionalisme Moro sebagai Identitas Muslim Filipina..........53
C. Konflik Internal dan Perdebatan Identitas.............................. 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................70
Daftar Pustaka................................................................................73
Lampiran........................................................................................77
5
ABSTRAK
Seperti halnya Indonesia, Filipina merupakan Negara kepulauan dengan
penduduk plural dari berbagai etnik. Namun semenjak masa kolonialisme Spanyol
pada abad ke-16, Filipina mengalami konflik berkepanjangan yang berlangsung
hingga saat ini. Para ahli yang mengamati sejarah dan perkembangan konflik di
Filipina, seperti Cesar A Majul berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi di
Filipina merupakan konflik agama sejak asa kolonialisme Spanyol.
Tulisan-tulisan Cesar A Majul sangat membantu karena ia adalah orang
yang secara langsung bersentuhan dengan konflik Moro. Dan bersama Nur
Misuari serta pemimpin Islam lainnya, Majul membuat kesepakatan pemimpin
Islam bersatu. Beberapa tulisannya adalah Dinamika Islam di Filipina dan Moro;
Pejuang Muslim Filipina Selatan. Tulisan Jamail Kamlian Bangsamoro Society
and Culture merupakan pustaka yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.
Masyarakat Muslim yang mendiami wilayah Selatan Filipina, sejak masa
kolonialisme Spanyol hingga Amerika melakukan perlawanan yang kemudian
berlanjut hingga pasca kemerdekaan Filipina. Menariknya, sejak lahirnya
intelektual muslim, masyarakat Muslim Filipina yang sejak masa kolonialisme
Spanyol dikenal dengan sebutan Moro, melalui MNLF (Moro National Liberation
Front) mengeluarkan manifesto bahwa masyarakat muslim merupakan sebuah
bangsa yang disebut Bangsa Moro. Tentunya aneh jika dalam sebuah negara
terdapat rasa nasionalisme yang berbeda. Dalam hal ini Nur Misuari, seorang
muslim moderat, melalui MNLF mengusung kemerdekaan Bangsa Moro (bukan
negara Islam). Dalam skripsi ini, Nasionalisme Moro sebagai identitas perjuangan
Muslim Filipina merupakan tesis pokok dalam pembahasan skripsi ini.
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah
Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau
7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600.
Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga
negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan.1
Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak
terlepas dari rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh
sebelum Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan
Muslim yang mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni;
Kesultanan Sulu (meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay,
Mindoro, dan Iloco di sebelah utara pulau-pulau Luzon), Kesultanan
Manguindanao, dan Kesultanan Buayan.
Penjajahan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, termasuk penjajahan Spanyol
(1565-1876) atas Filipina tentunya bukan hanya bertujuan memperoleh
kemenangan secara ekonomi dan perluasan kekuasaan, melainkan juga
mempunyai misi menyebarkan agama Kristen (Gold, Glory, Gospel).2 Namun,
apa yang dilakukan Spanyol tentunya mendapat perlawanan dari masyarakat
Muslim yang mengorganisir diri. Terutama di selatan pulau-pulau Palawan, Sulu
1 Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.13 2 Dinamika Islam di Filipina. h.13
7
dan Mindanao. Sehingga meski terjadi peperangan berkali-kali, Spanyol tidak
pernah mampu menaklukkan kepulauan tersebut.
Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina
seperti halnya pada masa kolonial, khususnya di Filipina Selatan yang dihuni oleh
komunitas Muslim. Masyarakat Moro beranggapan, pemerintah Filipina hendak
menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan dengan kebudayaan Barat
yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari peradaban Kristen dari
kolonialisme Spanyol dan Amerika.
Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim mengangkat senjata untuk
mempertahankan diri. Perjuangan ini dipimpin oleh Moro National Liberation
Front (Front Nasional Pembebasan Moro) yang dipimpin Profesor Nur Misuari,
seorang dosen dari Universitas Filipina.3
OKI dan Libia memainkan peranan mediator antara pemerintah Filipina
dengan MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi
di Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi
tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur,
Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota
Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun
Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli
hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu,
Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur.4
3 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam : Studi Harakah Darul Islam dan MNLF
(Jakarta, Darul Falah, 2003). h.135 4 Garni Janto Bambang Wahyudi, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Terorisme
Internasional, (Jakarta, 2003). H.23
8
Ali Kettani dalam bukunya, Minoritas Muslim, menganggap pemerintah
Filipina tidak pernah ingin memberikan penyelesaian yang adil. Sehingga
menurutnya tidak heran jika perjanjian itu segera macet, dan memunculkan
konflik antara Tentara Filipina dan milisi MNLF. Dari Maret 1968 sampai Maret
1982, lebih dari 100.000 orang sipil Muslim dibunuh oleh tentara Filipina, lebih
dari 300.000 rumah orang Muslim dihancurkan dan lebih dari 50 desa, kota kecil
dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina, termasuk Jolo. Pada tahun 1972
Tentara Filipina diperbesar jumlahnya menjadi sekitar 300.000 prajurit dan
50.000. sekitar 3 juta Muslim telah ditelantarkan dan banyak sekali masjid,
sekolah dan tanaman dihancurkan.5
Dari latar belakang masalah ini, yang dijelaskan bukanlah proses
perjalanan konflik dan diskriminasi terhadap Muslim Filipina dari masa
kolonialisme Spanyol hingga kemerdekaan Filipina. Yang menarik bagi penulis
adalah identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan
terhadap kekuatan asing dan pemerintah Filipina. Tentunya, ini didasarkan bahwa
seluruh perjuangan pasti membutuhkan suatu rumusan konsepsi dalam
gerakannya. Konsepsi yang dihadirkan memunculkan identitas dalam
memperjuangkan eksistensi gerakan tersebut. Hal ini juga terjadi dalam
masyarakat Muslim Moro yang memperjuangkan eksistensinya. Mereka
membutuhkan identitas. Apakah Islam sebagai Identitasnya, atau Nasional Moro,
tentunya kita dapat melihatnya dalam rangkaian historis yang merupakan satu
kesatuan utuh dengan kondisi Muslim Filipina saat ini.
5 Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini: Rajawali Pers, Jakarta, 2001. h. 197
9
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial
masyarakat Muslim Filipina mengalami konflik yang berkepanjangan sejak
kolonialisme Spanyol. Hal ini berimbas pada masalah struktur sosial baik politik,
ekonomi ataupun keagamaan. Ini memungkinkan adanya gerakan dari masyarakat
muslim Filipina untuk melakukan gerakan dalam rangka menunjukkan
eksistensinya agar diperhitungkan oleh pemerintah. Sehingga dapat
diklasifikasikan permasalahannya sebagai berikut
a. Masyarakat Muslim Filipina mengalami konfllik yang berkepanjangan
dari masa kolonialisme Spanyol
b. Masyarakat Muslim Filipina membutuhkan wadah dalam bentuk
organisasi untuk memperjuangkan aspirasinya.
c. Untuk itu, maka organisasi yang memperjuangkan masyarakat Muslim
Filipina membutuhkan sebuah identitas perjuangan.
2. Batasan Masalah
Sebelum melangkah lebih jauh, agar pembahasan skripsi ini tidak
mengalami pelebaran dan tetap fokus pada masalah yang akan diungkap, tentunya
kita akan menggunakan landasan teoritis mengenai siapa itu bangsa Moro? Apa
itu Identitas?.
a. Munculnya Istilah Moro
Masyarakat Muslim Filipina terdiri dari berbagai etnik yang sangat
beragam. Seperti yang akan dijelaskan dalam Bab II, setidaknya ada sebelas etnik
10
yang tersebar di Filipina Selatan. Banyaknya etnik ini tentunya memunculkan
pertanyaan para ahli mengenai etnik mana sebenarnya yang disebut Moro?.
Menurut Cesar Adib Majul, kata Moro bukanlah istilah baru yang
dimunculkan pemerintah Filipina untuk menyebut sekelompok gerakan yang
mengatas-namakan Moro (Moro National Liberation Front). Namun tentunya
istilah tersebut tidak muncul dengan sendirinya seiring dengan dideklarasikannya
kemerdekaan Filipina pada tahun 1946.
Kata Moro bagi masyarakat Muslim Filipina mempunyai kebanggaan
tersendiri, karena menurut Majul merupakan simbol perlawanan yang berlangsung
selama ratusan tahun sejak masa Spanyol.6
Tesis Majul dikuatkan dalam Ensiklopedi Tematis Islam yang menelusuri
akar kata Moor dalam kamus Latin. Dalam hal ini Moro adalah komunitas
Muslim Filipina. Istilah Moro sendiri merupakan kosakata yang sudah beredar
ratusan tahun di Filipina, tercatat sejak awal invasi Spanyol ke wilayah Filipina
pada tahun 1565. Moro, seperti yang dijelaskan dalam ensiklopedi tematis Islam
berasal dari kata ‘Moor’ atau ‘Moriscor’ yang berasal dari istilah latin ‘Mauri’,
istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi kuno untuk menyebut
penduduk penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol
tiba di Filipina dan menemukan komunitas yang memiliki adat dan istiadat seperti
orang-orang Moor di Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang
Islam Filipina dengan istilah Moro.7
Sampai saat ini tidak ada perdebatan di antara para ahli mengenai asal
istilah Moro yang digunakan Muslim Filipina dalam beberapa organisasinya
6 Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.113 7 Iik Arifin Mansurnoor, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol.5 (Jakarta, Ichtiar Baru van
Hoeve, 2003). h. 477
11
(MNLF dan MILF). Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Moro
adalah seluruh masyarakat Filipina Selatan yang beragama Islam yang disatukan
dengan perasaan terdiskriminasikan bersama sejak kolonialisme Spanyol.
b. Makna dan Istilah Identitas
Identitas adalah sesuatu yang melekat di diri manusia maupun benda.
Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Serapan dijelaskan bahwa Identitas merupakan
kondisi dimana dua benda atau keadaan sama atau identik, sifat dimana sesuatu
pada dasarnya tidak berubah dan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang;jati diri.8
Namun dalam pembahasan skripsi ini, yang dimaksud Identitas adalah
jargon yang diusung masyarakat Muslim dalam melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Filipina.
Agar tidak terjadi pelebaran dalam masalah ini, maka penulisan skripsi ini
di batasi pada masalah identitas dari tahun 1965-1986.
3. Rumusan Masalah
Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan:
1. Bagaimana proses munculnya bangsa Moro di Filipina?
2. Bagaimana perjalanan konflik yang dilalui bangsa Moro?
3. Identitas apa yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah
Filipina?
8 Kamaruzzaman, Aka dan M Dahlan, Kamus Ilmiah Serapan, (Yogyakarta: Absolut, 2005.
h.131
12
C. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Memahami kondisi sosial dan berbagai permasalahan di Filipina.
2. Mengetahui identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perjuangan
mempertahankan eksistensi.
3. Memahami kebijakan pemerintah Filiipina terhadap Muslim dan tujuan
perjuangan Muslim di Filipina.
D. Kontribusi
Adapun kontribusi penulisan skripsi ini di antaranya:
1. Menambah khazanah kepustakaan sejarah Islam
2. Masyarakat Muslim Filipina akan memahami rangakaian sejarah
perkembangan identitas mereka dalam perjuangan mempertahankan
eksistensinya. Sehingga pada akhirnya, tulisan ini bisa menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan konsepsi perjuangan selanjutnya.
E. Studi Kepustakaan
Sudah banyak akademisi yang membahas mengenai konflik di Filipina.
Tulisan Cesar A Majul sebagai sumber primer sangat membantu dalam
penyusunan skripsi. Penjelasan dalam Dinamika Islam di Filipina, diawali dengan
penggambaran etnik-etnik yang ada di Filipina Selatan. Lebih jelasnya lagi ia
membahas mengenai perjuangan bangsa Moro ketika terjadi konflik dengan
pemerintah Filipina beserta perjanjian-perjanjian damai yang dibuat di kedua
belah pihak.
13
Dalam bukunya, Dinamika Islam di Filipina dilampirkan beberapa sumber
primer seperti pernyataan pemimpin Islam bersatu, perjanjian tripoli, manifesto
pembentukan Republik Bangsa Moro, dan lain-lain. Ini bisa disebut sebagai
sumber primer karena Cesar A Majul merupakan salah seorang intelektual muslim
Moro dari College of Arts & Sciences U.P. Diliman, Quezon City yang ikut
menandatangani kesepakatan para pemimpin Islam untuk bersatu.
Selain Cesar A Majul, Jamail Kamlian dalam bukunya Bangsamoro
Society and Culture merupakan peneliti sosial Filipina yang dipakai dalam
penulisan skripsi ini. Berbeda dengan Cesar A Majul, Kamlian lebih menekankan
pada perkembangan aspek sosial budaya masyarakat Moro dalam rangkaian
historis konflik bangsa Moro sejak masa kolonial.
Namun dari beberapa studi tersebut tidak ada satu pun yang secara
langsung membahas mengenai identitas bangsa Moro dalam memperjuangkan
eksistensinya. Seluruhnya hanya membahas mengenai rangkaian historis konflik
beserta usaha-usaha penyelesaiannya. Hanya satu peneliti yang membahas sekilas
mengenai teori identitas dan minoritas, yakni Erni Budiwati dalam sebuah
artikelnya, Minoritas Muslim di Filipina. Namun lagi-lagi penjelasan mengenai
identitas hanya ditulis sekilas tanpa dibahas secara mendetile.
f. Sumber dan Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Bertitik tolak pada model penelitian yang bersifat literal, maka dalam
penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis terhadap
sumber data pustaka (library research). Studi kepustakaan atau library research
14
yaitu menggambarkan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan
masalah pokok yang telah dirumuskan, yang bertujuan untuk mengumpulkan data
dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdiri dari buku-
buku, majalah, jurnal dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan kajian
skripsi ini.9 Data tersebut kemudian penulis analisis berdasarkan deskriptif
terhadap narasi, adapun alat untuk menganalisis masalah-masalah sosial yang
muncul, penulis menggunakan pendekatan kualitatif.
Data-data tersebut kemudian diolah dengan cara menelaah,
membandingkan serta menganalisanya dengan pendekatan normatif kualitatif.
Bogdan dan Taylor yang dikutip Moleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati..10 Penelitian kualitatif
juga merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan mannusia dalam kawasannya sendiri
dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam peristiwanya.11
2. Metode Penelitian dan Pendekatan
1). Metode Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mencapai penulisan sejarah, maka upaya
untuk merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui
metode sejarah. Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali,
dilanjutkan dengan metode penggunaan bahan dokumen. Adapun acuan dari
9 Mardalis, Metodologi Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,
1993), h.25 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), h.3 11 S. Margono, Metodologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet ke-5, h.36
15
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode
penulisan sejarah menurut Louis Gottschalk dalam bukunya Mengerti Sejarah.
Penulisan sejarah harus bersumber pada empat aktivitas pokok, yaitu :
• Penggunaan objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan data-data
harus tercetak, tertulis, dan sumber lisan yang boleh jadi relevan.
• Menghindari bahan-bahan atau bagian-bagian daripadanya yang tidak
otentik.
• Menyimpulkan kesaksian yang dapat terpercaya mengenai bahan-bahan
yang otentik.
• Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau
penyajian yang berarti.
Mengacu pada definisi Louis Gottschalk tentang empat kegiatan dalam
metode sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Dalam tahap pertama penulis melakukan pencarian dan mengumpulkan
data, baik data primer maupun sekunder. Proses pencarian dan pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan metode library research berupa kunjungan ke
beberapa perpustakaan seperti: Perpustakaan UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas,
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI dan lain-lain.
Sumber primer yang penulis gunakan berupa buku-buku mengenai tentang
Filipina seperti karya Cesar A Majul Dinamika Islam di Filipina dan Moro;
Pejuang Muslim Filipina Selatan. Karya Majul sebagai sumber primer karena ia
merupakan orang yang ikut berperan langsung di lingkungan intelektual Moro.
16
Selain itu penulis juga menggunakan buku Jamail Kamlian, Bangsamoro Society
and Culture. Adapun sumber sekunder di antaranya adalah Peter Gowing, The
Moro Wars dan beberapa penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
b. Kritik
Kritik merupakan tahap pengklasifikasian data-data yang layak dijadikan
sumber atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sebenar-
benarnya. Data-data yang sudah penulis peroleh kemudian diuji validitasnya
dengan melakukan kritik atas data tersebut. Kritik dilakukan agar sumber yang
dipakai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
c. Interpretasi
Selanjutnya, dari data yang sudah dikritik tersebut, penulis melakukan
interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Ini dilakukan
untuk mencari keterkaitan antara masing-masing sumber untuk mencari fakta
yang ada. Dengan begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan
ini.
d. Historiografi
Tahapan ini merupakan proses akhir dari penelitian, yakni tahapan
penulisan hasil penelitian setelah data yang ada dinterpretasikan dengan mengacu
pada fakta-fakta historis.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode deduktif atau pola umum-
khusus, yakni dimulai dari awal bangsa Moro hingga bagaimana perjuangan
organisasi-organisasi Moro dalam memperjuangkan eksistensinya.
17
2) Pendekatan
Karena skripsi ini membahas mengenai identitas yang digunakan Muslim
Filipina dalam memperjuangkan eksistensinya, maka teori yang digunakan adalah
teori identitas sosial. Sebagai sebuah teori, identitas sosial tidak bisa lepas dari
keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan
yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di
mana bisa membimbing kita untuk membandimgkan diri kita dengan yang lain,
siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang beda. Setidaknya ada tiga variable
yang mempengaruhi hubungan pembedaan anta kelompok dalam situasi soaial
yang nyata.12 Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok meraka
sebagai konsep diri mereka. Secara subjektif mereka pasti mengidentifikasikan
kelompok yang relevan. Hal ini tadak cukup dari orang lain saja yang
mengidentivikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua,
situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memnungkinkan
terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok
pada tiap-tiap daerah tidak sama secara siknifikan. Ketiga, kelompoknya tidak
membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada kelompok lain;
out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan
baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian,
Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-
group.
Menurut Sarben dan Allen (1968), identitas soaial juga berfungsi sebagai
pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan
12 Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra,
2000). H.82
18
mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaanya sama dengan kita dan
mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas
sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara
umumnya, perbandingannya adalah antara in-group dan out group. In groups
biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out
groups.13
Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari
individu-individu yang berkumpul serta memiliki pendangan dan emosi yang
sama. Representasi sosial dapat didefinisikan sebagai prinsip hubungan symbol
balik yang terorganisasi. Mereka memperkenalkan letak individu dalam
hubungannya dengan objek sosial secara siknifikan. Individu adalah objek yang
melekat dalam jaringan relationship. Moscovici (1981) mengartikan sosial
representasikan sebagai kumpulan konsep, statements dan asal penjelasan dalam
kehidupan sebagai bagian dari konunikasi inter-individual yang merupakan
equivalent dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai mitos dan system
kepercayaan dalam masyarakat tradisonal. Representasi sosial juga merupakan
informal keseharian, sebagai keinginan individu untuk memahami dunia.
Representasi sosial dari tiap-tiap identitas adalah berbeda. Masing-masing
identitas memiliki pandangannya dan pemahamannya terhadap dunia. Dari siti
timbullah stereotype, jika anda berasal dari kelompok tersebut maka sifat-sifat
anda tidak jauh dari apa yang ada dalam skema akan sifat-sifat kelompok anda
13 Erikson. H. Erik, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1989). Hal.73
19
Sifat-sifat kelompok di mana individu berasal pastilah membawa sifat
kelompoknya.14
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yakni sumber
primer dan sumber sekunder. Yang dimaksud sumber primer dalam penelitian ini
yaitu sumber-sumber yang ditulis langsung oleh intelektual muslim Filipina
ataupun para tokoh yang terlibat langsung dalam situasi nasional Filipina.
Setidaknya ada dua penulis, yakni Cesar A Majul yang terlibat langsung dalam
kesepakatan pemimpin Islam Filipina bersatu dan Jamail Kamlian yang
merupakan intelektual Moro. Di antara tulisan-tulisan Cesar A Majul : Dinamika
Islam di Filipinai dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Dalam buku
pertamanya, Cesar melampirkan dokumen-dokumen primer berupa kesepakatan
pemimpin Islam Filipina untuk bersatu, Kesepakatan Perjanjian Tripoli, dan
Manifesto Pembentukan Republik Bangsa Moro. Adapun tulisan Jamail Kamlian
yaitu Bangsamoro Society and Culture yang menjelaskan sosial kebudayaan
muslim Filipina secara historis.
Adapun sumber sekunder adalah sumber-sumber yang ditulis oleh para
akademisi yang menekuni mengenai problematika Muslim Filipina. Baik orang
Indonesia yang tergabung dalam peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) ataupun para peneliti asing seperti Peter Gowing.
14 Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra,
2000). H.95
20
4. Analisis Data
Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis maka dianalisa untuk
menemukan kesimpulan akhir dari penelitian ini. Yang pertama adalah mengkritik
sumber-sumber, baik primer ataupun sekunder. Dalam tulisan Majul misalnya,
pasti terdapat kecondongan terhadap masyarakat Muslim, karena secara obyektif
ia berada dalam kelompok Muslim. Tetapi apa yang dilukiskannya merupakan
penggambaran kondisi sosial Filipina.
Setelah ditelaah dari berbagai sumber yang diperoleh, maka ditemukan
adanya perbedaan identitas yang diusung dari berbagai periode. Kondisi sosial
yang mengiringi perjuangan muslim Filipina berbeda-beda, sehingga mereka
mencari identitas baru yang lebih relevan. Saat ini ada satu organisasi yang diakui
di dunia internasional dengan identitas yang diusungnya, Nasionalisme Moro.
G. Jadwal Penelitian
Harus disadari bahwa penelitian ini merupakan tugas akhir akademis.
Sehingga penelitian ini dilakukan dengan bimbingan intensif kepada dosen
tertentu. Namun setidaknya waktu penulisan ini dijadwalkan selama tiga bulan
dimulai bulan September. Bulan pertama penulis menelusuri dan membaca
sumber, bulan kedua menganalisis dan mengkritisi, dan bulan terakhir melakukan
perbaikan-perbaikan berdasaran arahan pembimbing.
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan
21
perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan
serta sistematika penulisan
BAB II PETA SOSIAL-POLITIK MUSLIM FILIPINA
Menguraikan tentang kondisi sosial Filipina ayang melatar
belakangi konflik setelah penjajahan Spanyol hingga saat ini
BAB III PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI
Menjelaskan kronologis konflik Filipina dari masa penjajahan
Spanyol hingga pasca kemerdekaan Filipina. Serta menjelaskan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kolonialisme Spanyol dan
Amerika yang dilanjutkan sampai pemerintahan Filipina untuk
orang muslim.
BAB IV POLITIK IDENTITAS DALAM PERJUANGAN BANGSA
MORO
Membahas tentang identitas yang diusung oleh Muslim Filipina
dalam mempertahankan eksistensi bangsa Moro. Mulai
perjuangan melawan Spanyol hingga diskriminasi pasca
kemerdekaan Filipina. Dan dijelaskan pula mengenai perpecahan
organisasi masyarakat Filipina Selatan karena perbedaan
pandangan mengenai identitas yang digunakan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk
penelitian lanjutan.
22
BAB II
PETA KONDISI SOSIAL MUSLIM FILIPINA
A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina
Filipina merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang terletak di
bagian Barat Daya lautan teduh. Negara yang ber-ibukota Manila ini mempunyai
luas wilayah 301.000 km2 yang mencakup 7100 pulau. Dua pulaunya yang
terbesar adalah pulau Luzon di Utara dengan luas 104.699 Km, dan Pulau
Mindanao di bagian Selatan dengan luas 94.630 Km15. Di Utara Filipina
berbatasan dengan laut Cina dan Taiwan, di Selatan dengan wilayah laut
kepulauan Indonesia, sedangkan di Timur dengan Samudra Pasifik dan di Barat
dengan Laut Cina Selatan.
Jumlah penduduk Muslim Filipina sejak adanya sensus penduduk tahun
1903 oleh Amerika, mengalami peningkatan. Namun dalam hal ini tidak
ditemukan data penduduk Filipina pada masa Spanyol. Pada tahun 1903
penduduk Muslim berjumlah 763.500, kemudian meningkat pada tahun 1918
sebanyak 1.314.000 jiwa. Kemudian dua tahun setelah Filipina merdeka, 1948
jumlah penduduk Muslim menjadi 1.9234.000 jiwa.16
Dari sensus penduduk tahun 1990, penduduk Muslim Filipina berkisar
antara lima sampai enam juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total penduduk negeri
itu yang berjumlah + 66.000.000.17 Pada bulan Juli 2001, diketahui total
penduduk Filipina berjumlah 82.841.518 jiwa. Dari total jumlah tersebut, 83 % di
15 Alfian, Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik; Kasus Indonesia dan Libya dalam
Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF), (Jakarta: UI, 2000). h.23
16 Ibid.h.36 17 Cesar Adib Majul, Filipina dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Jakarta:
Mizan, 2001). h.65
23
antaranya beragama Katolik, 9% Protestan, 5% Islam dan 3% Budha dan lain-lain.
Adapun mayoritas Muslim menempati bagian Selatan Filipina seperti Pulau
Mindanao, Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi-tawi.18
Penduduk asli Filipina merupakan orang-orang yang telah mendiami
wilayah Filipina sejak awal. Sampai kini, setidaknya ada tiga suku bangsa yang
dianggap sebagai penduduk asli Filipina, yaitu: 19
1. Negrito
Suku bangsa negrito ini mendiami wilayah sekitar laut Sulu. Mereka adalah
suku bangsa pertama yang mendiami wilayah Filipina. Mereka
mengembangkan pertanian dataran rendah, namun kemudian terdesak ke
daerah pegunungan.
2. Melayu
Suku bangsa Melayu merupakan kelompok penduduk kedua yang datang ke
Filipina. Mereka datang dan kemudian melakukan kawin campur dengan
orang Negrito. Selanjutnya mereka terbagi ke dalam berbagai kelompok yang
berbeda dan tersebar ke wilayah lain di Filipina. 20
3. Igorit dan Ifugao
Orang-orang Igorit dan Ifugao mendiami wilayah pegunungan Cordilerra di
bagian Utara Filipina. Mereka sejak ratusan tahun silam terkenal sebagai
petani terasing di Banaue. Daerah tersebut saat ini merupakan salah satu
tempat wisata yang favorit.
18 Peran Pihak Ketiga dalam Resoluisi Konflik. h 36 19 Lamijo, Syarfuan Rozi, Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina, (Jakarta : LIPI,
2003). h.23 20 Wacana Ideologi Negara Islam. h. 61
24
Dari tiga suku asli Filipina, kemudian berkembang menjadi banyak etnik.
Setidaknya di Filipina terdapat lebih dari 75 kelompok etnis yang sebagian besar
di antaranya merupakan keturunan Melayu, di mana saat ini sebanyak 91%
merupakan kelompok Melayu Kristen dan 4% Melayu Muslim. Selebihnya adalah
1,5 % Cina dan kelompok etnis yang lain sebesar 3%. Adapun kelompok-
kelompok etnis yang ada di Filipina adalah sebagai berikut:21
1. Kelompok etnis yang berada di Pulau Luzon, antara lain:
Ivatan, Ilocano, Tinggian, Apayao, Kalinga, Balangao, Kankanay, Kankanaey,
Bago, Bontoc, Ifugao, Ibaloi, Ikalahan/Kalanguya, Iwak, Isinay, Pengasinan,
Ga’dang, Ibanag, Itawit, Malaweg, Yigad, Ilongot, Kampangan, Palanan,
Tagalog, Bicol, Negrito, dan Sambal.
2. Kelompok etnis yang berada di Kepulauan Visayas, antara lain:
Masbateno, Abaknon, Rombloanon, Bantoanon, Aklanon,
Kinitaya/Hamtikanon, Hiligaynon, Sulod, Bikidnon, Boholano, Cebuano, dan
Waray.
3. Kelompok etnis yang berada di Pulau Mindanao antara lain:
Manabo, Sangil/Sangir, Maranao, Ilanun, Tiruray, Tasaday, T’boli, B’laan,
Kamiguin, Subanun, Mamanwa, Butuanon, Kamayo, Bagobo, Mandaya,
Klagan, dan Kalibugan.
4. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Palawan antara lain:
Tagbanwa, Agutayanaen, Kuyonen, Pala’wan, Milibog, Batak, dan Taut Batu.
5. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Sulu/Tawi-tawi antara lain:
Yakan, Sama, Sama dilaut, Tausug, dan Jama mapun.22
21 Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h.20 22 Ibid.hal.21
25
Dari 75 kelompok etnis di Filipina, masyarakat Muslim Filipina menurut
John L Esposito dan Cesar Adib Majul, diklasifikasikan menurut 12 kelompok
etnik, yakni: Manguindanao, Maranao, Iranun, Tausug, Samai, Yakan, Jama
mapun, Palawani, Kalagan, Kalibugan, Sangil dan Badjo.23 Dengan demikian,
Moro pada dasarnya hanya sebutan bangsa Spanyol terhadap Muslim Filipina,
bukan nama etnik. Karena masyarakat Muslim di Filipina terdiri dari berbagai
etnik. Berikut ini data etnik yang mayoritas Muslim di Filipina Tahun 1975.24
Nama Kelompok Populasi (perkiraan 1975)
Manguindanao
Maranao dan Iranun
Tausug
Samal
Yakan
Jama Mapun
Kelompok-kelompok Palawan
(Palawani dan Molbog)
Kalagan
Kolibugan
Sangil
674.000
670.000
492.000
202.000
93.000
15.000
10.000
5.000
4.000
3.000
Dalam hal ini berbeda dengan John L Esposito dan Cesar Adib Majul,
Lamijo dan Syarfuan Rozi menyebut 13 kelompok etnik dalam masyarakat
Muslim Filipina. Perbedaannya hanyalah pada peletakkan etnik Badjao atau
Samal Laut. Mungkin John L Esposito dan Cesar Adib Majul tidak
23 Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. hal.65 24 Dinamika Islam di Filipina. hal 3
26
meletakkannya karena dianggap sama dengan etnik Samal. Di bawah ini adalah
13 etnik hasil sensus tahun 1980.25
Kelompok Etno-Linguistic Jumlah Presentase
Maranao
Manguindanao
Tausug (Jolo, Sulu)
Sama (Sama’a, Samal)
Yakan
Sangil (Sangir)
Badjao (Samal Laut)
Kolibugan (Kalibugan)
Jama Mapun (Samal Cagayan)
Iranum (Ilanun)
Palawanon (Muslim Pinalawan)
Kalagan (Muslim Tagakalo)
Molbog (Melebuganon)
742.962
644,548
502,918
244.160
196.000
77.000
28.5346
15.417
14.347
12.542
10.500
7.902
7.500
29,7
25,7
20,1
9,7
7,8
3,2
1,1
0,6
0,6
0,5
0,4
0,3
0,3
Total 2.504.332 100
Mayoritas masyarakat Muslim tinggal di bagian Selatan Filipina, yakni di
Pulau Mindanao dan di Kepulaun Sulu. Orang Manguindano marupakan
kelompok terbesar dan paling banyak tinggal di daerah Cotabato di Mindanao,
Sultan Kudarat, Cotabato Utara dan Selatan. Orang Maranao tinggal di dua
proponsi Lanao del Sur dan Lanao del Norte., Iranun atau Illanun mendiami
daerah Lanao sekitar Teluk Illana dan daerah sebelah Utara Cotabato. Tausug dan
Samal tinggal di Kepulaun Sulu. Jama Mapun tinggal di Cagayan desulu.
Masyarakat Kalangan tinggal di sepanjang pantai Teluk Davao. Orang Yakan di
25 Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h.23
27
Basilan. Sangil tinggal di Davao. Orang Kalibugan tinggal di Zamboanga del Sur.
Sedangkan masyarakat Palawani tinggal di Pulau Palawan Selatan dan orang
Molbog di dekat Pulau Balabae dekat pantai Utara Kalimantan.26
Secara geografis, masyarakat Moro yang terdiri dari banyak etnik
mendiami bagian Selatan Filipina dan memiliki identitas tersendiri. Dari segi
sejarah maupun secara sosio kultural berbeda dengan orang Filipina Utara.
Sebutan Moro sendiri berasal dari bangsa Spanyol yang datang ke Filipina. Hal ini
bisa dimaklumi karena masyarakat Muslim Filipina mempunyai kepercayaan yang
sama dengan bangsa Moor yang sejak lama mendiami Spanyol.27
Ada lebih dari seratus bahasa dan dialek berbeda di Filipina. Namun
bahasa Tagalog digunakan oleh lebih dari lima belas juta penduduk Filipina,
sedangkan bahasa Inggris dimengerti oleh tak kurang dari tiga belas juta
penduduk Filipina. Adapun beberapa bahasa utama di Filipina antara lain:
1. Tagalog dan Cebuanon, dipakai di Cebu, Bohol, Negros Occidental, Bastern
Leyte, dan sebagian Mindanao.
2. Hiligaynon, dipakai di Negros Iccidental dan popinsi Panay.
3. Waray, dipakai di Samar dan Western Leyte.
4. Bikolano, dipakai di Profinsi Bikol.
5. Kampapangan, digunakan di Pampangan dan Tarlac.
6. Ilokano, digunakan di Pengasinan, La Union dan propinsi Ilocos.
7. Manguindanao, digunakan di beberapa wilayah Muslim Mindanao.
26 Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik. hal.24 27 Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. h.65
28
8. Tausog, digunakan oleh orang-orang Islam Zamboanga dan Kepulauan
Sulu.28 Banyaknya etnik dalam masyarakat Muslim Filipina menyebabkan
tidak ada bahasa khusus yang digunakan masyarakat Muslim Filipina,
namun setidaknya mayoritas menggunakan bahasa Tausog dan
Manguindanao.
Adapun sistem sosial dalam masyarakat Moro pada masa kolonial terbagi
menjadi tiga kelas, yakni kelas Datu, orang bebas, dan budak. Kelompok Datu
merupakan keturunan aristokrat, kaya, memiliki jabatan politik, dan status sosial
yang tinggi. Orang bebas (freeman) merupakan orang yang tidak memiliki
kekayaan, tidak punya prestise ataupun pengikut, tapi bukan budak. Sedangkan
budak adalah kelas paling rendah. Saat ini budak tidak ada lagi, yang tersisa
hanyalah Datu dan orang biasa. 29
A.1. Dampak Pluralitas Etnis di Filipina
Kondisi Muslim Filipina yang plural tentunya menimbulkan persaingan
antar etnis. Hal ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal kedatangan Spanyol. Di
mana tiga kesultanan Muslim di Filipina, yakni kesultanan Sulu, Mindanao dan
Buayan tidak melakukan kerjasama dalam menghadapi kolonialisme Spanyol.
Setidaknya selama empat tahap Perang Moro dengan Spanyol, baru pada tahap
terakhirlah mereka sadar harus memunculkan sikap bersatu pada 1645.30 Dalam
tahap terakhir ini selama peperangan dengan Pihak Spanyol, pemerintahan Sultan
28 Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h. 27 29 Ibid. h. 25 30 Wacana Ideologi Negara Islam. h. 30
29
menjadi lebih disentralisasikan untuk tujuan-tujuan pertahanan terhadap Spanyol
sebagai common enemy.31
Multi etnis di Filipina sebenarnya sangat merintangi proses integrasi.
Bahkan dalam kelompok-kelompok Muslim pun perbedaan-perbedaan etno-kultur
cukup fundamental dalam memberi dampak serius persaingan bahkan pada saat-
saat bahaya bersama dihadapi. Sultan dan Datu sering terjadi konflik, bahkan
bekerjasama dengan orang Kristen yang mereka benci untuk menghancurkan
Sultan atau Datu di tempat lain.32
Konflik antara elit ini bisa dilihat pada penguasa Muslim di Cotabato yang
bernama Datu Uttu. Ia menyediakan perahu-perahu bagi orang Spanyol untuk
menyerang kelompok –kelompok Muslim yang menolak tunduk padanya. Selain
itu, selama masa pendudukan Amerika, beberapa kelompok menandatangani
pakta perdamaian, sementara beberapa kelompok Muslim lainnya tetap
mengadakan perlawanan.
Pemberontakan Datu Ali yang dimulai tahun 1903 merupakan salah satu
pemberontakan yang sangat hebat pada periode Amerika, dapat dipatahkan karena
Datu Ali dibunuh berdasarkan informasi yang diberikan oleh Datu Piang.
Kompetisi antara para Datu tersebut sebenarnya hanyalah mendapat harta
kekayaan dan pengaruh.33
Kesamaan agama nampaknya tidak membuat persatuan masyarakat yang
terdiri dari banyak etnis berjalan dengan lancar. Multi etnis justru mempersulit
integrasi masyarakat jika yang dicita-citakan masyarakat Islam menjadi sebuah
31 Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara; Telaah Perbandingan Atas
Terbentuknya Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan-Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonialisme, (Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 1992). h. 61
32 Ibid. hal.206 33 Ibid. h. 207
30
bangsa. Masyarakat Muslim yang terdapat di Thailand misalnya, multi etnis
menyebabkan masyarakat Muslim tidak bersatu dalam melakukan perlawanan
terhadap diskriminasi pemerintah.34
Ternyata sentimen etnis juga terlihat pada konflik internal Moro National
Liberation Front (MNLF) pada tahun 1977, ketika itu petinggi MNLF yang tidak
suka dengan kepemimpinan Nur Misuari melakukan pembusukan dengan
mengambil isu komunis dikatakan bahwa Nur Misuari sebenarnya orang Komunis
yang berlindung dalam selimut Islam. Hashim Salamat (1942-2003), yang ketika
itu menjadi menjabat anggota Komite Sentral MNLF memecat Nur Misuari dari
kedudukannya sebagai Ketua Komite. Salamat menyatakan bahwa Nur Misuari
sedang berpaling dari Islam, karena lebih menyukai metode Komunis, dan bahwa
ia sedang kehilangan kepercayaan dari banyak komandan lapangan Bangsa Moro
Army (BMA). Nur Misuari kemudian menyerang balik dengan cara memecat
Salamat dari Komite Sentral, dan memasukkan lebih banyak anggota dari etnisnya
sendiri, yakni etnis Tausug.35
B. Kebijakan Terhadap Sosial Keagamaan
Sistem pendidikan pasca kemerdekaan Filipina pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan sistem yang diperkenalkan Amerika dan kemudian dikembangkan
pada masa persemakmuran. Manuel Quezon mengatakan bahwa dalam rezimnya
tidak ada tempat bagi para Datu dan Sultan. Ini bisa kita mengerti karena Manuel
Quezon menghendaki kesultanan menjadi wilayah integral Negara Filipina.
34 Erni Budiwanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah Represi
Politik (Jakarta: LIPI, 2003). h.129 35 Dinamika Islam Filipina. h. 92
31
Sistem pendidikan Filipina pada masa Amerika sebenarnya menerapkan
kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina di semua daerah tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan agama, kultural dan tidak
mempertimbangkan bahwa orang-orang Islam memiliki beberapa karakteristik
agama yang unik dan sejarah mereka sendiri. Serta Undang-Undang nasional
akan diterapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen.
Namun dengan adanya kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari umat
Islam yang membuat presiden Quezon menyadari bahwa orang-orang Islam
memiliki kode etik sendiri yang berharga dan memiliki sistem undang-undang
yang menguasai aspek kehidupan mereka. Beliau pun gagal menyadari bahwa
undang-undang nasional yang dibentuk tanpa perwakilan para pemilih Islam
karena ini dirasakan asing bagi orang Islam Filipina yang warisan kulturalnya
diambil secara besar-besaran dari masyarakat Melayu.36 Padahal menurut hemat
penulis, apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika pada waktu itu bertujuan
untuk mengintegrasikan masyarakat Filipina yang sejak masa kolonialisme
Spanyol mengalami konflik antara masyarakat Utara dan Selatan. Kemungkinan
yang membuat masyarakat Muslim Filipina berontak terhadap Amerika adalah
menyangkut diskriminasi dalam politik migrasi.
Sementara itu, para pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan
pemerintah yang baru, merupakan rencana yang sengaja dilaksanakan untuk
mematikan Islam di Filipina. Ketika diproklamirkan kemerdekaan di Filipina,
masyarakat Muslim meminta perlakuan khusus dan pembentukan hukum serta
pengadilan syari’ah yang memungkinkan mereka melaksanakan haknya dalam
36 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar,
(Jakarta: LIPI, 2003). h. 11
32
memperaktekkan hukum Islam secara penuh, karena orang-orang Muslim merasa
sulit menerima undang-undang nasional Filipina, kerena berasal dari nilai Barat
dan Kristen.37
Orang-orang Islam tidak menyukai sistem pendidikan baru yang
menekankan ide-ide progresif Barat yang berguna untuk menciptakan kerakyatan
nasional baru yang cocok. Aturan-aturan perilaku didasarkan pada nilai-nilai
Barat. Buku-buku sejarah mengajarkan bahwa orang-orang Filipina Selatan, yang
telah memerangi orang-orang Spanyol adalah kelompok perampok dan pedagang
budak. Karena hal ini, orang-orang Islam Filipina tidak bersemangat untuk
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Walaupun begitu, di
Filipina masih terdapat sejenis pendidikan pesantren atau sekolah pandita (ustadz
atau guru). Sekolah ini diselenggarakan di rumah atau di Masjid. Sekolah pandita
adalah sebuah lembaga pendidikan yang menjadi sekolah lokal.38
Pada tahun 1976, dalam masa pemerintahan Presiden Marcos (1965-1982),
konflik antara gerakan Muslim yang tergabung dalam MNLF dengan Pemerintah
Filipina berakhir dengan kesepakatan Tripoli yang isinya masyarakat Moro
mendapat hak otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan. Perjanjian
tersebut tidak berjalan dengan lancar, namun Pemerintah Filipina membentuk
Kementrian Urusan Islam (KUI) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah
formal yang megah diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan
program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka.
Dalam menjalankan tugasya, kementrian Urusan Islam menekankan
integrasi dengan membuka kesempatan kepada Masyarakat moro untuk berperan
37 Dinamika Islam Filipina. h. 15 38 Wacana Ideologi Negara Islam. h.133
33
aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat
Filipina lainnya. Penekanan kementrian ditujukan kepada pembinaan lembaga
sosial budaya dan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan
hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan
syari’at yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan
sumber pelaksana hukum syari’at (kadi) juga dilancarkan.
Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan
keagamaan bagi masyarakat Muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan
penunjukkan amir al hajj (pemimpin rombongan haji nasional) pada musim haji
1982, pengadaan perlombaan membaca al Qur’an secara luas dan rutin,
pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama.39
Bagaimanapun seriusnya usaha pemerintah melalui KUI, namun sebagian
masyarakat Muslim meragukan ketulusan Marcos dalam menyelesaikan persoalan
Moro dan beranggapan bahwa program pembangunan di Filipina Selatan hanyalah
kedok ke arah integrasi yang merugikan. Karena itu, para tokoh perlawanan,
terutama MNLF masih mendapat dukungan luas, kendati tidak dalam bentuk
konkret perlawanan bersenjata.
C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi
Sejak Filipina memperoleh kemerdekaan, tahun 1946, Pemerintah Manila
membuat program pemukiman bagi orang Kristen dari Luzon dan Visaya di
wilayah Moro berdasarkan UU No. 1888 tanggal 22 Juni 1957 dibentuklah
Commission On National Integration. Program ini sebenarnya kelanjutan dari
39 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.6. h. 315.
34
politik integrasi yang dilakukan Amerika. Pada waktu itu, masyarakat Moro tidak
merasa terganggu, karena administrasi wilayah diatur oleh kalangan mereka
sendiri. Tetapi dengan dukungan pemerintah, para pemukim Kristen mulai
mengambil alih posisi straregis di bidang politik dan ekonomi, segera setelah
mereka memenuhi tanah Moro. Kondisi ini mengakibatkan Muslim Moro makin
terpinggir. Padahal semula program ini bertujuan mendorong semangat
berproduksi, pertanian, industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara-cara yang
lebih modern. Tetapi ini tidak berdampak signifikan bagi masyarakat Moro.40
Dengan adanya kondisi semacam ini, tampaknya motivasi pemerintah
Manila dalam proses migrasi dan pembangunan dinilai negatif, bukan hanya
murni untuk pemerataan pemukiman di daerah Selatan, sehingga Cesar A Majul
beranggapan tujuan Pemerintah Filipina adalah untuk mengurangi dan
menghancurkan peran orang Islam di sana.
Selain itu, kaum Moro merasa bahwa pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. Akhirnya di kalangan Moro
terjadilah apa yang disebut erosi identitas kultural, teralienasi dari pembangunan
ekonomi, terasing dari wilayah kehidupannya sendiri. Mereka menjadi kian asing
di negeri sendiri.41
Pada masa pemerintahan Marcos atau setelah penandatanganan perjanjian
Tripoli, bangsa Moro diberikan hak otonom untuk mengelola wilayah Filipina
Selatan. Bidang ekonomi dan finansial, wilayah Filipina Selatan mempunyai
sistem tersendiri. Pada tahun 1977, keluar dekrit Presiden Filipina untuk
mendeklarasikan adanya otonomi di wilayah Filipina Selatan dan tahun 1979
40 Djunaedi Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, (Jakarta: PT Al Ma’arif, 1975). h. 31
41 Demografi fan Sejarah Kolonisasi di Fiipina. h. 42
35
kembali dekrit Presiden dikeluarkan untuk mengimplementasi adanya wilayah
otonomi Filipina Selatan.42
Dengan kesepakatan itu, pihak MNLF diberikan hak otonomi untuk
mengelola wilayah Filipina Selatan di bidang ekonomi dan finansial, misalnya
wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Tetapi perincian
bagaimana mengoperasikan sistem itu dan bagaimana hubungan dengan
pemerintah pusat dan Manila tidak begitu jelas, sehingga masyarakat Filipina
Selatan tidak bisa berharap banyak pada kesepakatan otonomi tersebut.43
Awal bulan Agustus 1973, didirikanlah Bank Amanah Filipina untuk
memenuhi beberapa tujuan: untuk membangun kelas pengusaha wiraswasta
Muslim yang lebih besar, untuk melatih kaum muda Islam memperoleh keahlian
perbankan dan pengetahuan ekonomi yang canggih, dan membantu dana
rehabilitasi daerah-daerah yang menyedihkan di daerah Selatan.
Pada tahun 1974 Administrasi Pembangunan Filipina
Selatan(SPDA/Southern Philippines Development Authority) didirikan untuk
meningkatkan hubungan ekonomi antara Muslim dan dan Non-Muslim pada batas
regional.44
Nyatanya, banyak usaha pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil
tambang atau sumber daya alam lainnya di wilayah masyarakat Moro di
Mindanao. Banyak usaha dari pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil
tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri tambang ini untuk
keuntungan berbagai proyek industri di Utara Filipina. Tingginya investasi untuk
42 Erni Budiwanti, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai, (Jakarta: LIPI, 2001).
h. 92 43 Problematika Minoritas Muslim Asia Tenggara. h.109 44 Durorudin Mashad, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand, dan
Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2004). h. 171
36
menggali sumber-sumber tambang di Mindanao ini semakin mempertinggi
disparitas atau kesenjangan di antara minoritas Muslim Moro dan Mayoritas
Katolik. Setelah kemerdekaan Filipina, pemerintah bahkan menarik lebih banyak
investor asing dari berbagai perusahaan multidimensional untuk mendirikan
industri-industri besar di Mindanao guna memenuhi harapan pemerintah akan
peningkatan ekspor Filipina, namun tidak memenuhi kebutuhan lokal Masyarakat
Muslim Moro di Mindanao.45
Pada umumnya, persoalan ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah
berlangsung lama di kalangan kelompok minoritas secara etnis ataupun agama.
Menurut Tri Nuke Pujiastuti, diskriminasi tersebut didukung oleh beberapa hal,
pertama, pada kenyataannya kelompok minoritas tinggal di wilayah terpisah
dengan kelompok mayoritas; kedua, masih rendahnya fasilitas-fasilitas ekonomi
yang mereka miliki; ketiga, pelemahan konflik budaya; atau keempat,
diskriminasi yang dilakukan kelompok mayoritas. 46
45 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 138 46 Problematika Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar. h.15
37
BAB III
PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI
A. Perjuangan Pada Masa Kolonial
A.1. Perlawanan Terhadap Imperialisme Spanyol (1565-1876)
Bangsa Spanyol menginjakkan kaki pertama kali di Filipina pada tanggal 16
Maret 1521 di pulau Samar melalui sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh
Ferdinand Magellan. Kedatangan Magellan disambut oleh dua raja dari Filipina
Utara, yaitu Kolambu dan Siagu. Magellan kemudian ke Cebu untuk menemui
Raja Humabon. Raja Humabon dan 800 orang Cebuano lainnya dibaptis menjadi
Kristen. Dalam hal ini, Magellan setuju membantu Raja Humabon untuk
memadamkan pemberontakan Lapu-lapu di sekitar pulau Mactan. Magellan
terbunuh dalam sebuah pertempuran antara pasukan Spanyol dan pasukan Lapu-
lapu pada tanggal 27 April 1521. dia menyebut wilayah baru itu “Philippine”,
sebagai penghormatan kepada raja Philip II yang berkuasa di spanyol ketika itu.47
Filipina secara resmi menjadi koloni bangsa Spanyol pada tahun 1565,
ketika raja Philip II menunjuk Miguel Lopez de Lagazpi sebagai Gubernur
Jenderal yang pertama. Ia selanjutnya memilih Manila sebagai Ibu Kota wilayah
koloni itu pada tahun 1571, karena dianggap potensial. Kedatangan Lagazpi di
manila tidaklah di sambut dengan baik, karena orang Islam di Manila pimpinan
raja Sulaiman (1570-1582) tidak mudah tunduk dalam kekuasaan orang Spanyol
dan mereka memahami maksud dan tujuan dari kebijakan yang akan diterapkan
di Manila. Selama sekitar 200 tahun awal masa penjajahan Spanyol di Filipina,
47 Carlos P Romulo, Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier Internasional,
PT Widyadara, 2003). h. 254.
38
masyarakat muslim terisolasi dari dunia luar. Baru setelah berakhirnya ‘perang
tujuh tahun” dengan Inggris pada tahun 1762, yang ditandai dengan perjanjian
Paris (1763) di mana Manila dikembalikan pada Spanyol, Filipina mulai
membuka dengan dunia luar, dan kemudian pada tahun ini juga, Miguel Lopez de
Lagazpe berhasil menaklukan Luzon Visayas.
Awal kedatangan bangsa Spanyol di Manila, Legazpi melakukan hubungan
langsung dengan raja Sulaiman. Mereka telah membuat pernyataan yang mana
pernyatan tersebut hanya sebuah siasat dari Legazpi. Walaupun demikian pada
akhirnya Spanyol melakukan pemberontakan di Manila. Mereka mulai menembak
dan merampok orang-orang Islam. Manila menjadi markas besar Spanyol pada
tahun 1571 ketika bangsa Spanyol mulai menetapkan peraturan untuk masyarakat
muslim.48
Dalam memperpanjang pengaruh kolonialnya, bangsa Spanyol
memperingatkan masyarakat muslim bahwa jika ingin berdamai dengan mereka,
maka muslim Filipina harus membayar upeti, jika menolak maka harta muslim
Filipina akan di ambil paksa oleh Spanyol. Selain itu pula, masyarakat muslim
Filipina wajib memberkan empat puluh orang laki-laki yang berumur antara 16
sampai 60 tahun untuk dipekerjakan kepada Spanyol. Walaupun demikian
masyarakat muslim tidak pernah menyerah.49
Kedatangan bangsa Spanyol di Filipina pada tahun 1565 untuk mendirikan
koloni serta mengkristenisasi penduduk asli Filipina, menghalangi penyebaran
Islam selanjutnya ke Utara dari Kalimantan, dan ke Selatan Filipina arah Luzon
48 Perang Moro. h. 30 49 T.J.S George, Revolt in Mindanao; the Rise of Islam in Philippine Politics, (Oxford
University Press, 1980). h. 32-33.
39
dan kepulauan Visayan. Sejak saat itu penyebaran Islam terbatas sampai ke
kepulauan Sulu dan Mindanao sebelah Barat.
Sejarah menunjukan bahwa pertentangan penduduk yang di utara dan
penduduk Islam bermula dari permusuhan antara orang Spanyol dan kaum
Muslimin. Spanyol yang datang ke Filpina pada tahun 1565 untuk mendirikan
koloni dan memasukkan penduduknya ke dalam agama Kristen telah menghalangi
penyebaran Islam yang dilakukan dari Brunai (Kalimantan) para mahdumin
(pendakwah Islam) yang juga berperan sebagai pedagang dari Kalimantan tiba di
Filipina pada tahun 1520 secara besar-besaran sehingga Manila pun telah menjadi
sebuah kerajaan Islam dibawah pemerintahan sultan Brunai. 50
Filipina dijajah Spanyol selama lebih kurang 377 tahun. Periode Spanyol di
Filipina merupaka era kristenisasi bangsa Filipina. Hampir semua kepulauan di
Filipina, kecuali Mindanao, dikristenkan. Dengan kekerasan, persuasi atau
menundukan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol berhasil
memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh Barangay (perkampungan) di
Filipina. Spanyol menghadapi perlawanan yang gigih dari kesultanan-kesultanan
di Filipina selatan, Sulu, manguindanao, dan Buayan yang mana memiliki
kesatuan politik dan telah dikembangkan jauh lebih melabihi struktur Barangay
yang sederhana.
Orang-orang Spanyol memaksa kaum pribumi yang telah memasuki
agamanya untuk menjadi sekutu mereka dalam pertempuran. Misalnya ketika
terjadi perang antara bangsa Spanyol dengan kekuatan muslim di bawah pimpinan
Sultan Nasruddin (1656). Kaum pribumi ini digunakan sebagai pandayung,
50 Dalam hal ini Cesar A Majul tidak menjelaskan dengan rinci siapa nama seseorang yang
dimaksud. Lihat Dinamika Islam Filipina. h. 9
40
pelempar tombak, atau prajurit-prajurit untuk menyerang perkampungan-
perkampungan Islam yang mana mereka telah diindoktrinasi dengan kepercayaan
bahwa mereka sedang melakukan pelayan agama. Kaum ini disebut kaum Indio
oleh Spanyol.51
Rentetan peperangan yang panjang antara orang-orang Spanyol dan Islam
dinamakan “perang moro”, dan dilanjutkan sampai masa kekuasaan Spanyol di
Filipina berakhir. Peperangan ini pada akhirnya menambah ketegangan yang
terjadi sekarang antara orang-orang Islam dan Kristen. Ekspedisi bangsa Spanyol
banyak menghancurkan komunitas-komunitas Islam dan daerah pertanian,
menghancurkan perokonomian dan kehidupan orang-orang Spanyol serta selama
ekspedisi kota-kota Islam banyak dikosongkan. Akhirnya dengan kemenangannya
beberapa sultan dipaksa mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan
kolonial di Manila dan banyak para datu secara sukarela menyerah dan menerima
perlindungan Spanyol.
Tahun 1596 kapten Esteban Rodriguez de Figuroa diperintahkan untuk
mendirikan suatu benteng tetap di selatan bagi kepentingan Spanyol dan pada
tahun 1578 Figuroa juga menyerang Sulu. Sebelum menjalani tugasnya sang
kapten mendatangani kontrak dengan pemerintah Spanyol yang isinya
menjanjikan kedudukan sebagai gubernur pulau Mindanao untuk de Figuroa dan
ada semacam bagi hasil atas segala sesuatu yang dihasilkan dari penduduk asli
Mindano. Cita-citanya belum terwujud, karene Figuroa terbunuh dalam suatu
serangan mendadak di Tampacan. Anak buahnya yang moralnya jatuh karena
51 Istilah Indio menunjukan sebutan kepada kaum pribumi yang menjadi Kristen.
Sedangkan moro sebutan untuk orang-orang yng beragama Islam. Kaum pribumi yang menyembah berhala dan tinggal di gunung-gunung dan dipedalam pulau-pulau besar disebut infieles. Istilah Filipino dipakai bagi orang-orng Sapnyol yang lahir di Filipina sedangkan peninsula yaitu orang-orang Spanyol yang lahir di Spanyol.
41
kehilangan pemimpin, mengundurkan diri ke suatu daerah terpencil beberapa
kilometer dari kota Zamboanga sekarang.52
Karena kegagalan itu, Spanyol akhirnya menerapkan stretegi lain, mereka
mendirikan benteng di dua tempat di pulau Mindanao. Benteng pertama adalah di
ujung semenanjung Zamboanga dan di Caraga yang terletak di ujung timut laut
Pulau Mindanao. Dari kedua tempat itu, yang sebenarnya berfungsi sebagai “pos
pengawas”, bisa diawasi gerakan kaum Moro yang menyerang Spanyol di pulau
Luzon. Biasanya “rute” penyerangan adalah melalui ujung Semenanjung
Zamboanga dan pulang melalui sisi timur pulau yaitu dekat dengan Caraga.53
Tahun 1645 terjadi perjanjian antara bangsa Spanyol dan Sultan
Manguindanao, yang isinya memaksa sultan untuk mengakui penutupan daerah
pantai Sibuguey sampai Davao Gulf dan memperpanjang ke dalam daerah
Maranao. Spanyol juga menghina sultan Nasruddin dan melanjutkan usahanya
untuk melakukan perubahan di Filipina. Kerena hal itulah, maka pada tahun 1656
tejadi konflik antara orang Manguindanao dan orang Spanyol. Dalam konflik
tersebut Sultan Manguindanau mendeklarasikan sebagai ‘jihad’ dan memangggil
Sultan-Sultan dari Sulu, Ternate, dan Makassar untuk segera bangkit secara
serentak membantunya dalam membela Syariat Islam, yang oleh Spanyol hendak
di hancurkan dan diganti dengan undang-undang sekular bikinan mereka. Menurut
Cesar A Majul, Spanyol belum pernah menemukan seorang pemimpin Islam yang
mengagumkan seperti Nasruddin.54
52 Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan. h.31 53 Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara, Telaah Perbandingan atas
Terbentuknya Diskukrsus Politik Islam dalam Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonial, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993). h.216
54 Cesar A Majul, Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan, (Jakarta: Al Hilal, 1990). h.35
42
Pada Tahun 1663 bangsa Spanyol meninggalkan Moluccas dan Zamboanga,
sehingga pada akhirnya terjadi perdamaian antara orang spanyol dan Muslim di
Filipina. Tetapi perdamaian tersebut tidak berjalan lama, karena pada tahun 1718
orang Spanyol memutuskan untuk mengulangi kembali penjajahnya di
Zamboanga.55
Selama berlangsungnya peperangan Moro dan strategi Spanyol dalam
“memecah belah dan menaklukan” telah meninggalkan warisan sikap-sikap yang
pahit, yang tidak dapat dihapus dalam beberapa generasi. Kepahitan masih
berlangsung dalam beberapa golongan penduduk Filipina. Meski umat Islam di
selatan Filipina relatif bersatu namun stategi tersebut dapat memecah bagian-
bagian penting persatuan umat Islam di kepualauan itu. Islam akhirnya terpisah
dari ikatan-ikatan politik otonom, karena hancurnya tiga kekuatan Islam di
Filipina.Sehingga pada fase selanjutnya, Islam menjadi agama yang mempribadi,
kehilangan ruh bahwa Islam sebagai sebuah umat.
Menjelang akhir abad 19, kebijakan resmi Spanyol tidak difokuskan pada
politik kristenisasi, tetapi berusaha mengubah pola fikir masyarakat Moro agar
patuh pada kekuasaan Spanyol. Padahal sebelumnya, sejak tahun 1635 pemerintah
Spanyol menetapkan sebuah garnisun untuk melindungi missionaris Kristen di
Zamboanga. Tiga ratus orang Spanyol dan seribu pasukan Visayan membangun
benteng raksasa yang digunakan jesuit untuk melakukan kristenisasi.56
Perang Moro nampaknya tidak akan pernah selesai, meskipun Spanyol
mengeluarkan dana yang besar untuk peperangan. Yang paling menderita akibat
peperangan ini menurut Delor Angeles yang dikutip Peter Gowing adalah Kristen
55Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. h. 42 56A Rahman Zainuddin, Sejarah Minoritas Muslim di Filipina, Thailand da Myanmar,
(Jakarta: LIPI, 2003). h. 31
43
Filipina. Karena orang-orang Kristen harus membayar pajak yang amat berat
untuk membiayai parang yang mahal. Mereka yang tidak sanggup membayar
pajak dijadikan pekerja paksa yang hampir tidak berhenti membangun kapal-kapal
untuk berekspedisi angkatan laut Spanyol, sedangkan sebagian lagi yang masih
muda dan kuat bertugas sebagai tukang-tukang dayung kapal yang menyerang
kedudukan kaum Moro57.
Pada tahun 1896 dan 1898 terjadi revolusi Filipina yang menyebabkan
bangsa Spanyol menarik pasukannya dari wilayah Muslim untuk dikonsentrasikan
di Utara. Pada masa-masa ini para pemimpin revolusi Filipina yang berasal dari
Filipina Utara berusaha menarik dukungan Muslim Filipina Selatan untuk
membantu melawan Spanyol. Namun Muslim Moro memandang keduanya,
bangsa Spanyol ataupun Filipina adalah musuh.58
Wilayah Mindanao dan Sulu di Selatan Filipina tidak pernah bisa
ditundukkan oleh pasukan Spanyol. Namun demikian, Spanyol tetap
menganggapnya sebagai bagian dari koloninya. Hal ini terbukti dengan
ditandatanganinya Traktat Paris pada 1989 yang mengalihkan hak penguasaan
wilayah Filipina, termasuk Filipina Selatan kepada Amerika dengan harga 20 juta
dollar AS. Sejak itu, Amerika mengambil alih kekuasaan di Filipina.59
A.2. Perlawanan Terhadap Imperialisme Amerika (1898-1946)
Tahun 1898, kemenangan Amerika atas Spanyol menandai perpindahan
kekuasan atas Filipina ke tangan Amerika. Meskipun status Sulu dan Mindanao
57 Delor Angeles, The Moro Wars, dalam Peter G. Gowing dan Robert D McAmis,
(Manila: Solidarided Publishing House, 1974). h.27-32 58 Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. h.65 59 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vo.5. h. 477
44
sendiri belum sepenuhnya berada di bawah kontrol penuh Spanyol, namun
keduanya dimasukkan dalam perjanjian penyerahan tersebut.
Kedatangan Amerika di Filipina Selatan pada tahun 1898 sebenarnya tidak
membuat kaget Muslim di sana. Ketika angkatan laut Amerika menduduki
Zamboanga kepala suku muslim berkumpul bersama untuk membahas
perdagangan dengan mereka dan Muslim siap bertempur dengan kebijakan baru
orang Amerika. Serangan yang rutin dan serangan balasan ini pada akhirnya mirip
seperti pemberontakan pada masa Spanyol.60
Seperti Spanyol, Amerika mempunyai satu kesatuan tentara, administrasi,
dan strategi ekonomi untuk menyelesaikan misinya di Filipina. Penjajahan
Amerika atas Filipina dimulai sejak armada pimpinan Laksamana Dewey
mengalahkan Spanyol di teluk Manila. Spanyol menyerahkan Filipina kepada
Amerika ditandai dengan perjanjian Paris pada tanggal 10 Desembar 1898, yang
sekaligus mengakhiri perang amerika Spanyol. Dalam perjanjian tersebut ternyata
Spanyol memasukkan pula wilayah Moro dengan mengklaim sebagai daerah
koloninya, padahal Spanyol sama sekali tidak pernah bisa menguasai wilayah itu.
Tindakan Spanyol itu merupakan tindakan yang tidak sah dan tidak bermoral.
Mereka tidak berhak untuk menyerahkan wilayah moro pada Amerika Serikat,
sebab mereka tidak berdaulat di Moro, dan masyarakat Moro pun tidak dimintai
pendapatnya lebih dahulu.
Kedatangan Amerika di Filipina (1989) tidak sekedar muatan politis, tapi
juga memiliki kepentingan ekonomi, mereka tertarik dengan sumber daya alam di
wilayah selatan, sebab di Laut Sulu terdapat deposit minyak bumi.61 Pada masa
60 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 135 61 Dinamika Islam Filipina. h.19
45
Amerika, Filipina sepenuhnya dibaratkan. Sistem demokrasi yang dipakai Filipina
hingga saat ini adalah warisan dari kolonialisme Amerika. Di Asia Tenggara yang
paling banyak mengalami pembaratan adalah Filipina. Dan dua dekade setelah
kemerdekaan, Filipina mengalami ketergantungan terhadap Amerika terutama
secara ekonomi. Filipina secara kelembagaan juga sangat terkait dengan ekonomi
bisnis Amerika. Kapitalisme Filipina disumbangkan oleh peninggalan sistem
liberal Amerika sedangkan feodalismenya diwariskan secara mendalam dari
Spanyol. Karakteristik bangsa Fipilina adalah sangat Barat.
Ketika bangsa Amerika sampai ke wilayah Muslim, mereka memandang
orang Islam seperti orang-orang Indian Amerika yang harus ditertibkan. Berbeda
dengan kolonial Spanyol, kolonial Amerika tidak menganjurkan permusuhan
Islam dan Kristen, melainkan memperkenalkan proses rasional dalam system
administrasi kenegaraan dan komunitas Islam diajak untuk bekerja sama dalam
proyek-proyek Negara dan menganjurkan pembauran orang Kristen dan Islam
dengan cara mengajak orang Kristen menetap di Mindanao. Sebelum Perang
Dunia I Amerika sedikitnya mendirikan tujuh koloni pertanian di daerah-daerah
Islam tradisional. Orang Amerika tidak seperti Spanyol yang mana tidak
menganjurkan permusuhan Kristen-Islam. Bahkan Amerika menetapkan
kebijakan resmi bahwa membiarkan kehidupan agama orang-orang Islam dan
kebiasaan ritual tidak terusik.62
Hubungan Amerika dengan penguasa Muslim di Sulu dibawa pertama kali
oleh misi Jenderal John Bates. Tujuan Bates ini adalah untuk menetralisir orang-
orang Muslim yang tertuang dalam Bates Agreement tahun 1899. Dengan
62 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h.72
46
persetujuan ini Muslim Filipina mengakui kedaulatan Amerika dan setuju untuk
membantu memerangi perompak (bajak laut) dan orang-orang yang melawan
otoritas dan martabat pemimpin Sulu maupun pemimpin-pemimpin yang lain.
Sebaliknya, orang Amerika berjanji untuk menghormati martabat dan kekuasaan
Sultan Sulu dan beberapa pemimpin-pemimpin yang lain serta tidak mencampuri
masalah agama mereka dan membayar gaji sultan dan pemimpin-pemimpin orang
Islam.
Muslim Filipina melihat bahwa perjanjian ini terdiri dari poin-poin yang
berbeda dengan Amerika. Pemimpin Islam tampaknya percaya bahwa dengan
berdiplomasi dengan mereka, Amerika tidak ikut campur terhadap masalah
internal dan menjamin cara kehidupan mereka.
Kebijakan Amerika di Filipina hanya sedikit di terapkan di daerah Moro
sejak periode pendudukan militer. Kebijakan untuk tidak mencampuri masalah
internal orang moro, kini banyak usaha dengan giat di jalankan Amerika. Mereka
mengembangkan, membudayakan, mendidik dan melatih masyarakat Muslim
Filipina dalam pendidikan pemerintahan demokrasi Amerika.63
Persetujuan Bates ini kehilangan relevansinya ketika pada bulan Agustus
tahun berikutnya terjadi bentrokan berdarah antara orang-orang Amerika dan
pemimpin –pemimpin lokal Muslim. Pada tahun 1904 Amerika secara resmi
menghapus persetujuan ini. Meski kedatangan Amerika pertama kali bukan untuk
mengkristenkan orang-orang Muslim di Mindanao, namun pada akhirnya juga
melakukan pekerjaan missionary atau dakwah Kristen terhadap orang-orang
Islam. Jendral Samuel Summer, komandan Angkatan Darat Amerika Serikat di
63 Kamlian, Jamail, Bangsamoro Society and Culture, Iligian Centre for Peace Education
Research, 2001. 16
47
Mindanao antara tahun 1902 hingga 1903 menulis bahwa orang Islam adalah
seorang yang berbeda dari kami dalam hal perkataan, kata dan aksi, dan agama
mereka akan menjadi penghalang serius bagi peradaban Kristen. Selama agama
Islam berlaku, peradaban Anglo-Saxon akan memperlambat kemajuan. Sementara
presiden Mc Kinley merasa berdosa jika tidak mencoba untuk mengangkat,
membudayakan dan mengkristenkan orang-orang Muslim Moro.64
Pembatalan perjanjian tersebut merupakan sebuah isyarat amerika Serikat
untuk mendirikan atau menetapkan wewenang mutlak atas Filipina. Menurut
sekretaris perang, Elihu Root mengatakan bahwa kebijakan amerika terhadap
filipina telah melalui keputusan Mahkamah agung amerika dalam bangsa chrokee.
Kemudian administrasi kolonial Amerika dengan cepat membudayakan
orang Islam yang mana tak dapat di elakkan lagi bahwa ini bermaksud untuk
mengkristenkan orang Islam.
Gubernur pertama Amerika di wilayah muslim, Jendral Mayor Leonardo
Wood mengatakan bahwa orang Islam tak lain adalah orang liar yang hidup di
bawah hukum berat dan tidak ada alasan untuk Wood menetapkan kebijakan yang
buruk.
Gubernur terakhir Amerika di wilayah muslim, Frank Carpenter berhasil
mengurangi gambaran jelek para penganut agama Islam, memperkenalkan sistem
sekolah umum dan hukum yang bijak. Sistem pendidikan dan hukum ini telah
menolong peletakan pondasi bagi konversi besar-besaran orang Muslim ke dalam
cara hidup kristen. Kaum Muslim yang enggan berimitasi dengan orang-orang
nasionalis telah memiliki perlawananya tersendiri, nasionalisme tersendiri.65
64 Revolt In Mindanao. h. 58 65 Ideologi Negara Islam Asia tenggara. h. 204
48
Periode Carpenter merupakan sebuah ketenangan selingan. Pada awalnya,
beberapa orang tingkat tinggi orang Islam melawan kebijakan Amerika.
Pemerintah militer telah menentukan kebijakan dengan kontrol langsung dari
seorang jendral di Mindanao dan setiap pemimpin memimpin empat daerah. Tiga
abad melewati hidup berperang dengan orang spanyol, maka orang Islam yakin
bahwa mereka dapat mengalahkan orang amerika dengan baik. Kelompok-
kelompok Islam telah menyebar untuk menjaga tekanan dari resimen infantry
Amerika yang telah menyebar sepanjang Selatan.
Tahun 1906 terjadi pemberontakan antara orang Muslim Filipina dengan
Amerika. peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Bud dajo yang merupakan
pembalasan Muslim Filipina. Penyebab peristiwa ini adalah penetapan kebijakan
Amerika seperti perpajakan yang merupakan kebijakan Amerika tetapi suatu
kebijakan yang membebankan Orang Muslim. Selain itu persiapan untuk
menghapus secara besar-besaran orang Muslim di Jolo.
Dengan bertujuan untuk menghalangi pertempuran tersebut, sekitar 600
orang Islam yang mencakup wanita-wanita dan anak-anak melakukan perjalanan
ke kawah dalam memadamkan bukit vulcano di Dajo. Mereka bersenjata keris,
tombak dan beberapa senapan. Sedangkan di sisi Amerika, 800 pasukan
memperlihatkan mereka membawa banyak senjata modern dalam baju baja orang
Amerika. Muslim Filipina mengabaikan mereka dan dengan penuh ejekan dan
hinaan menolak peluang untuk mengungsikan anak-anak dan wanita-wanita
mereka. Sebagaimana pendirian mereka, bahwa kematian dalam peperangan
adalah lebih baik daripada hidup di bawah orang kafir. Seluruh kelompok Islam
49
telah dihancurkan dan menurut sejarawan-sejarawan Bud Dajo bukanlah sebuah
pertempuran tetapi sebuah pembantaian besar-besaran.66
Tahun 1902 Filipina mengumumkan pembentukan panita untuk
kemerdekaan Filipina. Penguasa sipil dan militer mulai untuk melihat kebijakan
Amerika di Mindanao, Itu dilakukan untuk menentukan kebijakan dasar dan
kebijakan atas orang Muslim untuk integrasi ke dalam politik Filipina. Salah satu
faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut adalah desakan dari nasionalis-
nasionalis Kristen Filipina bahwa daerah orang Islam tak dapat dipisahkan dari
bangsa Filipina. Akhirnya Amerika dan Filipina menyadari bahwa Mindanao dan
Sulu sangat penting sebagai sumber penghasilan mereka yang akan datang. Dalam
hal ini Amerika menafsirkan bahwa perlawanan orang Muslim tidak lain adalah
untuk menentang kebijakan mereka yang permasalahannya lebih kompleks.67
Sebenarnya, para nasionalis Filipina yang merupakan intelektual di
Filipina Utara, sudah memproklamirkan kemerdekaan Filipina pada tanggal 12
Juni 1898, para nasionalis Filipina memproklamasikan kemerdekaan mereka
sebagai jalan terbentuknya Republik Filipina setahun kemudian. Dalam menuju
kemerdekaan, tentara nasional Filipina pimpinan Aquinaldo serta pasukan-
pasukan gerilya lainnya mengadakan perlawanan, sehingga Amerika
mengeluarkan Undang-Undang darurat perang, dan baru dicabut kembali pada
tahun 1901 ketika nasionalis Filipina dapat dikalahkan.68
Amerika dengan cepat memperkenalkan pemerintahan dalam negeri untuk
rakyat Filipina, dimulai dengan Badan Legislatif dua kamar pada tahun 1934
dengan janji kemerdekaan 10 tahun kemudian. Namun Amerika tidak mampu
66 Revolt in Mindanao. h. 31. 67 Sejarah Minoritas Muslim Filipina, Thailand dan Myanmar. h. 38 68 Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya. h. 3
50
memberi kemerdekaan pada tahun 1944 seperti yang dijanjikan, karena Jepang
menduduki kepulauan itu antara tahun 1944 dan tahun 1945 selama Perang Dunia
II.
Pada tahap Perang Dunia II, baik bangsa Filipina, Amerika ataupun Moro
sama-sama bertempur melawan Jepang, meskipun perjuangan mereka dilakukan
secara terpisah tanpa satu komando. Setelah Jepang mampu dikalahkan, maka
Amerika memerdekakan Filipina pada tanggal 4 Juli 1946.69
B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro
Sebenarnya bila dicermati lebih lanjut, konflik kelompok minoritas dengan
penguasa, dipengaruhi oleh sikap dan tindakan penguasa terhadap kelompok
minoritas. Sikap dan tindakan pemerintah dapat dilihat dari pola-pola
kebijakannya.70
Dari tahun 1920, di bawah pemerintahan Filipina, masyarakat Muslim masih
banyak mendapat diskriminasi. Memang pada saat itu pemerintahan Filipina tidak
berjalan sepenuhnya sendiri, tetapi masih adanya kontrol dari Amerika
Selama pemerintahan Ferdinand Marcos, persoalan umat Muslim diselesaikan
dengan setengah hati. Terbukti dengan adanya peristiwa Jabidah pada awal tahun
1968.71 Peristiwa Jabidah tersebut membangkitkan keraguan dan ketakutan yang
pada akhirnya intelektual Moro berkeinginan untuk menyatukan bangsa Moro.
Pemerintah Filipina mengabulkan permintaan orang muslim tetapi pemerintah
69 Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier International, PT Widyadara,
2003). h. 255 70 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan
Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 17 71 Bangsamoro, Societys and Culture. h.23
51
tidak menjalankan sepenuhnya. Dengan keadaan seperti ini, banyak organisasi
yang bermunculan.72
Setelah pemerintah Filipina menyatakan keadaan perang pada tahun 1972,
pemerintah menertibkan semua senjata yang ilegal atau liar untuk diserahkan
kepada yang berwenang. Tetapi sebagian kelompok Muslim menolak untuk
menyerahkan, kerena menurutnya mereka akan kalah dengan pemerintah dan
orang Kristen. Selain itu, dengan menyerahkan senjatanya mereka akan terbuka
bagi serangan-serangan kelompok Kristen. Tindakan tentara untuk menyita
senjata dan amunisi di bario-bario (regional) dan kota-kota pedalaman Sulu,
menyebabkan timbulnya perlawanan dan pertempuran yang sporadis.
Pengumuman tentang batas waktu untuk penyerahan semua senjata pada tanggal
25 Oktober, menghasilkan apa yang dinamakan “pemberontakan Marawi”. 73
C. Bersatunya Para Pemimpin Islam
Banyaknya Insiden yang mengorbankan masyarakat muslim ini kemudian
disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu
di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah Upi, bagian Selatan Cotabato dan
menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat
Muslim menyebut kelompok Kristen yang menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’.
Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan
desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi
semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19
Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70
72 W.K. Che Man, Muslim Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern Thailand, (Oxford University Press, 1990). h. 77
73 Dinamika Islam Filipina. h. 62
52
orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh
membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa
pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah
kendali Police Constibulary (Satuan Polisi Khusus).
Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompok-
kelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’,
kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari
MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi
pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.74
Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada
Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin
tradisional (datu), dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang
menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi
kekerasan atas bangsa Moro.75 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika
Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa
memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat
Islam dengan harta dan jiwa.76
74 Ibid. h. 171 75 Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92 76 Lihat Lampiran 1. Dinamika Islam Filipina. h 129
53
BAB IV
NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN
MUSLIM FILIPINA
A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro
Dalam suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak etnis seperti di
Filipina, nilai-nilai agama cenderung dilihat sebagai sarana mengatur aspek ritual
bagi penganutnya. Akan tetapi pada saat penganut suatu agama minoritas tidak
merasa keberadaannya disejajarkan dengan kelompok mayoritas, kelompok
minoritas tersebut akan terus mencari jalan supaya keberadaannya diperhitungkan.
Pasca kolonial, usaha yang dilakukan bangsa Moro untuk memperjuangkan
eksistensinya adalah melalui organisasi. Sehingga Moro telah mengalami
pergumulan yang panjang untuk mendapatkan eksistensi dan identitasnya.77
Carmen Abu Bakar dalam meneliti masyarakat Tausug, diketahui bahwa
sebenarnya masyarakat Filipina lebih cenderung menggunakan identitas agama
dibandingkan identitas etnis.78 Wajar jika organisasi-organisasi yang muncul
pertama kali di Moro adalah organisasi yang mengatasnamakan Islam. Namun
sebagai kelompok minoritas, masyarakat Muslim di Filipina sangat dipengaruhi
peran Negara dalam menciptakan kondisi sosial politik, yang sangat menentukan
dinamika konstruksi identitas mereka.
Unsur etnis dan agama memang merupakan daya tarik tersendiri bagi
kelompok minoritas dalam menonjolkan identitasnya, tetapi itu bukan satu-
77 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan
Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h.10 78 Saiful Muzani (edt), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:
LP3ES, 1993). h.203
54
satunya variabel penyebab untuk dapat memunculkan persoalan yang kemudian
memicu konflik. Pemicu di sini melibatkan berbagai faktor seperti budaya,
ekonomi, dan politik yang berlangsung secara kumulatif.
Berdasarkan analisis Hendropuspito, konflik yang berdasarkan agama
terjadi karena tiga hal. Pertama, agama tidak lagi dipandang sebagai ‘agama’
dalam arti sempit, yaitu sebagai perangkat doktrin yang mengikat individu, tetapi
telah diubah menjadi suatu ideologi bagi penganutnya, sehingga seringkali agama
menimbulkan rasa ketidaksukaan dari kelompok lainnya. Kedua, adanya
kecenderungan kelompok minoritas yang hidupnya mengelompok dan eksklusif.
Dengan tidak berbaur, maka hal itu semakin menajamkan jurang perbedaan
budaya antar kelompok dan menimbulkan prasangka kelompok lain atau
mayoritas terhadap minoritas Muslim ataupun sebaliknya. Ketiga, adanya mitos
mayoritas, artinya bahwa adanya keyakinan tentang kekuatan yang berkuasa dan
upaya pemenuhan keinginan mayoritas tanpa menghiraukan keinginan kelompok
minoritas. Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau
penguasa untuk memaksakan pengaruh dan keinginannya tersebut dengan
memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya. Analisis situasi di atas dapat
memunculkan perlawanan organisai-organisasi Moro yang anggotanya kelompok
minoritas Islam untuk mempertahankan eksistensi identitasnya.79
Munculnya organisasi modern Moro merupakan bagian dari pencarian
identitas yang berlangsung sangat lama dan tidak terlepas dari sosio-historis
Muslim Filipina sejak masa awal kolonialisme. Menjelang berakhirnya era
kolonialisme, pada tahun 1935 pemimpin-pemimpin Muslim di Mindanao dan
79 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993). h. 165-166
55
Sulu mengajukan permintaan pada Kongres Amerika Serikat agar kedua daerah
itu jangan dipersatukan ke dalam Republik jika Filipina memperoleh kemerdekaan
dari Amerika Serikat. Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi. Permintaan para
pemimpin Sulu dan Mindanao kepada Kongres Amerika tersebut menunjukkan
pada masa tersebut masyarakat Muslim yang berada di wilayah Filipina Selatan
tidak menginginkan integrasi dalam sebuah negara Filipina bersama dengan warga
Kristen, karena secara historis keduanya sudah mengalami konflik sejak masa
kolonialisme Spanyol.80
Meskipun para pemimpin Sulu dan Mindanao menolak diintegrasikan
dalam sebuah negara Republik Filipina, namun pada masa itu para pemimpin
tersebut belum menemukan konsep yang jelas mengenai arah warga Muslim di
Filipina Selatan. Kemungkinan ini disebabkan karena para pemimpin Muslim
pada waktu itu belum mengenal pendidikan modern sebagaimana kelompok
Kristen Filipina yang mengecap pendidikan Barat pada masa kolonialisme
Amerika.
Setelah masyarakat Muslim mengecap pendidikan modern pasca
kemerdekaan Filipina, kemudian muncul diskusi-diskusi di sekitar mahasiswa
Muslim pada tahun 1960-an.81 Pada tahun 1961, Datu Ombra Amilbangsa,
seorang anggota Kongres dari Sulu memperkenalkan sebuah rancangan Undang-
Undang yang meminta pemerintah mengabulkan kemerdekaan untuk seluruh
Provinsi Sulu. Ia adalah salah satu dari tiga penuntut Kesultanan Sulu dan telah
dinobatkan sebagai Sultan oleh para pengikutnya. Rancangan Undang-Undang itu
dimuat Media Nasional Filipina dan mengundang berbagai komentar dari para
80 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h. 77 81 Muslim Separatism. h. 77
56
sejarawan dan mereka yang berminat dalam urusan keislaman. Namun rancangan
Undang-Undang itu tidak ditanggapi oleh Kongres.82
Sebagai seorang elite keturunan Kesultanan Sulu, apa yang dilakukan oleh
Datu Ombra Amilbangsa menurut hemat penulis tidak lebih dari sekedar
romantisme sejarah yang ingin membangkitkan Kesultanan Sulu, serta
kepentingan pribadi sebagai Sultan Sulu agar mendapatkan kekuasaan mutlak
sebagai seorang Sultan.
Apa yang dilakukan Datu Ombra disusul dengan dikeluarkannya
Manifesto pada 1 Mei 1968 oleh mantan Gubernur Cotabato, Datu Udtog di
daerah Pagalungan, Provinsi Cotabato yang menyerukan agar seluruh daerah yang
yang penduduknya mayoritas beragama Islam di bagian Selatan Filipina bersatu di
bawah sebuah negara yang dinamakan Republik Mindanao dan Sulu. Manifesto
tahun 1968 tersebut merupakan awal dari suatu gerakan yang lebih teratur, lebih
terorganisir untuk memisahkan diri dari Pemerintah Filipina. Meskipun
sebenarnya gerakan ini tidak banyak bedanya dengan yang dilakukan para
pendahulu mereka sebelum Perang Dunia Kedua. Tanggapan dari manifesto
tersebut, maka dibentuklah Muslim Independence Movement (MIM) pada tahun
1968.
Gerakan MIM awalnya hanya merupakan gerakan yang mengumpulkan
massa dan simpati dari ummat Islam karena bertujuan untuk mengimbangi
kekuatan pemerintah yang dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam menangani
masalah konflik yang terjadi atas masayakat Muslim. Namun kondisi politik dan
keamanan justru mendorong proses pematangan gerakan MIM ke arah yang lebih
82 Bangsamoro, Society and Culture. h. 21
57
radikal dan lebih keras. Salah satu di antaranya adalah kasus pembantaian di Pulau
Corregidor, yang kemudian dikenal sebagai ‘jabidah massacre’ pada tahun
1970.83
Insiden ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara
penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah
Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara.
Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang
menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’.
Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan
desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi
semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19
Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70
orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh
membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa
pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah
kendali Police Constibulary (Satuan Polisi Khusus).
Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompok-
kelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’,
kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari
MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi
pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.84
Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada
Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin
83 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut Filipina. h. 169 84 Ibid. h. 171
58
tradisional (datu), dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang
menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi
kekerasan atas bangsa Moro.85 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika
Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa
memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat
Islam dengan harta dan jiwa.86
Meskipun para pemimpin Muslim mengeluarkan ultimatum berupa
manifesto, namun pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan konflik horizontal
tersebut. Maka Nur Misuari, seorang yang menandatangani manifesto tersebut
mendirikan MNLF dengan disertai gerakan bersenjata.
B. Nasionalisme Moro Sebagai Identitas Muslim Filipina
Perlu dipahami, bahwa sebuah bangsa pada hakikatnya dapat diartikan
sebagai komunitas manusia yang menyatu karena perasaan bersama karena
tertindas, merasa bersama-sama memiliki wilayah dan cita-cita bangsa sebagai
akibat kesamaan sejarah, tradisi, bahasa, budaya dan peradaban, serta kadang-
kadang juga karena kesamaan agama dan aspirasi politik. Jadi dalam suatu
komunitas itu ada kesadaran sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi
satu, yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.87
Rasa kebangsaan (nasionalisme) dapat terwujud terutama melalui integrasi
nasional secara terus menerus, yakni meminjam pendapat Myron Weiner, proses
penyatuan atau bersatunya berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam
kesatuan wilayah dan pada pembentukan suatu identitas nasional. Identitas
85 Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92 86 Lihat Lampiran 1. Dinamika Islam Filipina. h 129 87 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.190
59
nasional ini sangat diperlukan bagi tercapainya tujuan dan cita-cita pembangunan
bangsa, serta dapat mengurangi berbagai ikatan yang mengarah pada sifat
kedaerahan berdasar pada perbedaan etnis, budaya, bahasa dan agama, serta
ideologis. Oleh karena itu pengertian integrasi pada hakikatnya merujuk pada
persatuan pelbagai kelompok masyarakat ke dalam sistem politik.88
Renato Constantino, seperti yang dikutip Nagasura Madale memberikan
definisi lain tentang nasionalisme. Ia memandang nasionalisme sebagai suatu
perjuangan melawan penindasan, sebuah tindakan mempertahankan diri, bukan
menyerang, demokratis, bukan dorongan anti demokratis. Nasionalisme tidak
berusaha menindas namun melenyapkan penindasan. Nasionalisme adalah sebuah
alat untuk menyadarkan masyarakat dari berbagai bentuk penindasan.
Nasionalisme untuk menghapuskan semua bentuk penghisapan.89
Ada perbedaan interpretasi Nasionalisme antara pemerintah Filipina
dengan warga Muslim Filipina. Adopsi nilai-nilai identitas etnik Bangsa Moro
sangat tegas memisahkan antara bangsa Filipina (Filipino) dan Bangsa Moro
(Bangsamoro). Hal ini menunjukkan terjadinya polarisasi sosial dalam negara
kebangsaan ini.90 Tentu saja hal itu tidak terlepas dari faktor historis yang sangat
panjang. Dalam hal ini Nur Misuari mengatakan:
“Kami telah diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh kolonialisme
Filipina (Philippines Colonialism)...91
88 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.190 89 Nagasura Madale, Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988).
h. 343 90 Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan MNLF:. h. 127 91 Kompas, 18 April 1993. wawancara dengan Misuari
60
Dari pernyataan tersebut, jelas Nur Misuari menganggap bahwa
pemerintahan Filipina saat ini merupakan kelanjutan dari kolonialisme
sebelumnya. Sehingga tidak mungkin warga Muslim khususnya di Filipina
Selatan mempunyai intepretasi yang sama tentang Nasionalisme dengan
pemerintah Filipina. Akibat dari perbedaan interpretasi tentang ‘Nasionalisme’ ini
terjadi kesalahpahaman yang dilematis antara kelompok Islam dan berbagai
komponen negara Filipina lainnya.
Muslim Filipina merasa bahwa mereka memiliki hak-hak yang mendasar
yang berkaitan dengan agama, tradisi, dan sumber-sumber ekonomi mereka.
Semua ini merupakan warisan yang harus diperjuangkan dan dipertahankan.
Sedangkan pihak Pemerintah Filipina memandang bahwa sejarah telah membawa
masyarakat Islam di Filipina Selatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan politik Republik Filipina, setidaknya setelah menghilangnya
kekuatan kolonialisme.92 Namun demikian menurut Kustigar Nadaek, konflik
yang terjadi di Filipina membuktikan bahwa perasaan Nasionalisme rakyat
Filipina tidak ada. Selain karena adanya konflik perebutan identitas nasional
(antara bangsa Moro dan pemerintah Filipina), juga karena bangsa Filipina
melihat Amerika sebagai cerminan dalam segala hal.93
Tentunya jika melihat pribadi Nur Misuari kita akan memahami ia adalah
muslim yang taat. Wajar saja jika setelah terjadi tragedi pembantaian terhadap
muslim, ia bergabung dengan pemimpin Islam lainnya dan membuat kesepakatan
bersama agar pemimpin Islam bersatu dalam mempejuangkan Muslim Filipina.
Namun anehnya, apa yang ia perjuangkan dalam Moro National Liberation Front
92 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. h. 478 93 Kustigar Nadaek dan Atmadji, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1986). h. 191
61
(MNLF) tidak mengusung Islam sebagai identitas perjuangannya, melainkan ingin
mendirikan Republik Bangsa Moro. Setidaknya ada dua faktor yang
melatarbelakangi konsepsi Nur Misuari.
Pertama, seperti yang dijelaskan Hashim Salamat ketika terjadi konflik
internal di MNLF, sebenarnya konsepsi MNLF Nur Misuari banyak dipengaruhi
oleh teori perjuangan kelas Karl Marx. Ini terjadi ketika Nur Misuari masih
menjadi mahasiswa, ia bergabung dengan Kabatan Makabayan, sebuah organisasi
yang berhaluan Marxis. Ia keluar dari organisasi tersebut karena ada perbedaan
konsepsi dasar dengan Simon yang kemudian ia menjadi pemimpin gerakan
komunis Huk Balahap.
Dengan demikian, sebenarnya kita dapat melihat konversi pemikiran Nur
Misuari sejak pada masa mahasiswa. Ia menyadari bahwa perjuangan kelas yang
diusung Kabatan Makabayan tidak sesuai dengan pribadinya sebagai seorang
muslim. Maka ia kemudian keluar dari organisasi tersebut. Sampai di sini menurut
hemat penulis, ini merupakan alasan kenapa pemberontak komunis Huk Balahap
tidak pernah terjadi bentrokan dengan para pejuang Muslim
Kedua, rupanya selama menjadi mahasiswa ia sadar bahwa ia harus
memperjuangkan rakyatnya yang beragama Islam, tetapi tidak dengan mendirikan
negara Islam Moro, tetapi dengan Republik Bangsa Moro. Ini dapat dipahami
bahwa dalam pandangan MNLF, Moro bukan hanya sebuah bangsa di Filipina
Selatan, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya Islam. Dengan
demikian, dengan membentuk Republik Bangsa Moro secara tidak langsung Nur
Misuari memperjuangkan kemerdekaan masyarakat Muslim.
62
B.1. MNLF dan Nasionalisme Moro
Kondisi sosial muslim Moro yang didiskriminasikan pemerintah Filipina
mendorong sekelompok intelektual `muda Islam Filipina yang sedang belajar di
Jeddah, Arab Saudi membentuk sebuah organisasi politik dengan sayap militer
yang kuat, yakni Moro National Liberation Front (MNLF) tahun 1968. Sayap
militer organisasi ini dibentuk pada tahun 1971. Otak dari gerakan tersebut adalah
seorang pengacara, Macapanto Abbas, Jr. Kata Moro digunakan karena dia sangat
mengetahui maknanya bagi masyarakat Islam berarti perlawaan yang tidak
menyerah sejak masa penjajahan Spanyol. MNLF didirikan untuk menyatukan
bangsa Moro yang pada masa pemerintahan Filipina terus didiskriminasikan.94
Di antara tokoh-tokoh MNLF yang paling terkemuka adalah Nur Misuari,
lulusan Universitas Filipina jurusan Ilmu Politik yang kemudian menjadi dosen,
dan selanjutnya menjadi staf Pusat Asia di Universitas tersebut. Seorang
pemimpin yang lain adalah Hashim Salamat dari Cotabato, dan mengenyam
pendidikan di Kairo, Mesir.95
Menurut hemat penulis, berdirinya Moro National Liberation Front
(MNLF) merupakan bentuk baru konsep Nasional Muslim Filipina jika
dibandingkan dengan Muslim Independent Movement (MIM) yang dibentuk Datu
Udtog melalui manifesto-nya di tahun 1968. Hal ini disebabkan manifesto yang
dikeluarkan Datu Udtog lebih bersifat Chauvinis (kedaerahan) karena konsep
republik-nya hanya melingkupi dua pulau besar di Filipina Selatan, yakni
Mindanao dan Sulu dan menegasikan masyarakat Muslim lain yang terdiri dari
banyak etnis. Jika ditarik lurus dalam garis sejarah, Sulu dan Mindanao tidak lain
94 Peran Pihak Ketiga dalam Relasi Konflik. h.32 95 Cesar A Majul, Dinamika Islam Filipina, (Jakarta: LP3ES, 1989). h. 65.
63
adalah dua kesultanan besar di Filipina Selatan. Dengan demikian Datu Udtog
sama dengan ingin menggabungkan bekas dua Kesultanan Besar yang pernah
berjaya menjadi sebuah republik modern. Konsep ini sebenarnya hanya perluasan
dari rencana Datu Ombra Amilbangsa yang merancang Undang-Undang Sulu
untuk memisahkan diri dari Filipina pada tahun 1961. Berbeda dengan Moro
National Liberation Front (MNLF) yang menggunakan konsep yang lebih luas
dan mencakup seluruh komunitas Muslim di Filipina.
Perjuangan Muslim Filipina dalam mempertahankan eksistensinya tidak
hanya mampu merebut simpati internal Muslim Filipina, tetapi juga menarik
simpati dunia secara luas. Dan faktor eksternal ini merupakan salah satu faktor
terpenting dalam kebangkitan eksistensi dan identitas keislamannya.96
Sebagai implikasi dari tragedi Jabidah, pada pertemuan Islamic
Conference of Foreign Ministers (ICFM), atau Menteri-Menteri Luar Negeri
Organisasi Konferensi Islam yang ketiga di Jeddah menekan Pemerintah Filipina
untuk melindungi kehidupan dan harta benda Muslim di Filipina Selatan. Sebagai
reaksi atas tekananan ini, pada bulan Januari 1972 Pemerintah Filipina mengajak
8 Duta Besar Islam keliling Mindanao. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa tuduhan genocide terlalu dibesar-besarkan. Namun menurut Erni Budiwati
Government Republic of Philipino (GRP) berusaha menutup-nutupi fakta yang
terjadi kepada masyarakat internasional, karena pemerintah mengajak 8 Duta
Besar ke wilayah Mindanao ketika wilayah tersebut dianggap aman. Kemudian
pada bulan Juli 1972 rombongan delegasi Mesir dan Libya mendatangi Mindanao
96 Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar.. h. 22
64
dan menyimpulkan bahwa meskipun belum ada bukti kuat adanya genocide, tetapi
perang Kristen-Islam benar-benar terjadi.97
Pada tahun 1972 Presiden Filipina di bawah pemerintahan Ferdinand
Marcos memberlakukan Undang-Undang Darurat Militer, karena Filipina
dihadapkan pada dua pemberontakan, yakni pemberontakan Muslim dan
pemberontakan Komunis yang disebut kelompok Hukbalahap. Sehingga undang-
Undang Darurat Militer dikeluarkan sebagai jalan oleh Marcos untuk
menghadapai kelompok pemberonotak. Hal itu ditanggapi pemimpin Moro
National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari mengeluarkan Manifesto
Pembentukan Bangsa Moro pada tahun 1974.
Dalam manifesto tersebut dijelaskan secara eksplisit disebutkan bahwa
MNLF beserta sayap militernya, Bangsa Moro Army (Tentara Bangsa Moro)
didirikan sebagai alat perjuangan dalam merealisasikan cita-cita nasional Bangsa
Moro menuju Republik Bangsa Moro. 98
MNLF berhasil merebut kotamadya-kotamadya di Cotabato, dan
mendudukinya untuk sementara waktu. Seringnya terjadi serangan balik
gerilyawan Islam memperlihatkan kemampuan MNLF dalam mengkoordinasi
dan memperluas operasinya secara seksama.
Keberhasilan MNLF dalam membentuk sayap militer yang kuat ini tidak
terlepas dari bantuan finansial dan material (termasuk persenjataan) dari berbagai
negara Muslim, khususnya dari Timur Tengah maupun dari organisasi Islam,
terutama OIC (Organization of Islamic Conference). Pendukung utamanya adalah
pemimpin Libya, Kolonel Muamar Khadafi yang mengeluarkan ribuan
97 Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h. 93 98 Lihat Lampiran 2. Dinamika Islam Filipina. h.29.
65
Poundsterling bagi perjuangan Muslim Filipina, bahkan melatih mereka dalam
pelatihan militer.99
Perjuangan MNLF mendapat tanggapan dari OIC, sehingga pada tahun
1974 OIC mengeluarkan resolusi yang mendesak pemerintah Filipina untuk
mencari pemecahan konflik dan jalan damai. Dengan disebutkan MNLF dalam
resolusi OIC menunjukkan keberhasilan MNLF dalam membuat terobosan
diplomatik.
Sebagai akibat dari tekanan ini, Pemerintah Filipina pada akhirnya
menghentikan serangan militernya. Langkah ini kemudian disusul dengan inisiatif
Pemerintah Filipina untuk mengadakan perundingan dengan MNLF. Di bulan
Januari 1975 untuk pertama kalinya Pemerintah Filipina duduk dalam meja
perundingan dengan Nur Misuari sebagai pemimpin MNLF dan wakilnya,
Hashim Salamat di Jeddah. Puncaknya adalah penandatanganan Perjanjian Tripoli
antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976.100
Dengan kejatuhan rezim Marcos pada tahun 1985, MNLF melakukan
gencatan senjata dengan Presiden Corazon Aquino pada tahun 1986. Kemudian
pada Januari 1987, MNLF menandatangani perjanjian usaha kemerdekaan bagi
daerah-daerah Muslim dan menerima tawaran otonomi dari pemerintah. MILF
yang merupakan pecahan dari MNLF menolak persetujuan itu. Pembicaraan
antara Pemerintah Filipina dengan MNLF tentang otonomi wilayah terus berlanjut
secara sporadis sepanjang tahun 1987, tetapi akhirnya mengalami jalan buntu.
99 Muslim Separatism. h. 77 100 Bangsamoro, Societys and Culture. h.25
66
MNLF secara resmi melanjutkan pemberontakan pada Februari 1988, meskipun
kekuatan MNLF melemah.101
C. Konflik Internal dan Perdebatan Identitas
Dari tahun 1975, di tubuh MNLF terjadi konflik internal karena perbedaan
tuntutan yang akan diusung dalam perundingan di Jeddah dan dilanjutkan di
Tripoli. Perpecahan MNLF dikarenakan munculnya perbedaan pendapat
mengenai arah perjuangan Muslim Moro. Nur Misuari mewakili kelompok
Nasionalis Sekuler, Hashim Salamat melebarkan gaya perjuangan dengan
Nasionalis Islam, serta kelompok Macapanto Abbas yang lebih kepada perjuangan
di parlemen.102
Dalam hal ini intelektual Moro yang berada di Jeddah menuduh Nur
Misuari tidak memperjuangkan kepentingan ummat Islam. Ia ingin meluruskan
perjuangan MNLF yang dianggapnya mengarah ke sekuler. Maka di bawah
Salamat Hashim, mereka berusaha menguasai MNLF, tetapi mereka gagal.
Mereka kemudian membentuk Moro Islamic Lilberation Front yang lebih
berorientasi kepada Islam Moro daripada Nasional Moro.103
MNLF yang tetap berada di bawah pimpinan Nur Misuari memindahkan
markasnya ke Tripoli, Libya. Sementara itu Hashim Salamat yang keluar
mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Kairo, dan kelompok ketiga
Macapanton Abbas, bersama mantan anggota Kongres, Haroun al Rashid Lucman
Abbas mendirikan organisasi Bangsa Moro Liberation Front (BMLO) yang
101 John Gershman, Asia Tenggara Konsentrasi baru Kebangkitan Islam; Peta dan Prospek
Gerakan Islam di Filipina, (Bandung : Fokus Media, 2003). h. 239 102 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. h. 479. 103 Problematika Minoritas Muslim di AsiaTenggara. h. 109
67
berkedudukan di Jeddah. Namun BLO tidak diperhitungkan, karena mereka
bergabung dalam Pemerintahan Filipina.104
Pendiri MILF, Hashim Salamat merupakan yang berpendidikan agama
ingin mengutamakan orientasi Islam pada kelompoknya melalui pemisahan diri
MNLF, yang mana MNLF telah dihormati seperti sebuah organisasi yang kekiri-
kirian.105
Ada perbedaan mendasar antara MNLF dan MILF. Mengenai hal ini,
Hashim Salamat menjelaskan bahwa gerakannya sekarang tidaklah semata-mata
bersifat nasionalis saja. ‘Kami menginginkan sesuatu yang lebih universal yang
juga bisa berlaku untuk bangsa lain yang menuntut hak-hak mereka. Ini semua
bisa tercakup dengan satu pengertian, Islam” ujarnya.106
Singkatnya, MNLF di bawah Nur Misuari mau menerima otonomi di
bawah kekuasaan Pemerintah Manila, sedangkan MILF menginginkan
terwujudnya negara Islam Moro yang merdeka. Dengan perbedaan target
pencapaian itu, maka perjuangannya pun berbeda. MILF menolak berunding
dengan Pemerintah Filipina dan menolak Tripoli Agreement. MILF menolak
kesepakatan itu, karena alasan sebagai berikut:
1. Perjanjian hanya mempertimbangkan satu sisi persoalan dan tidak
pernah menyentuh persoalan dasar Bangsamoro yang ingin menentukan
nasibnya sendiri
104 Muslim Sparatism: the Moros of Southern Philippines and Malays of Southern Thailand.
h.. 73 105 Ibid. h. 85 106 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194
68
2. Perjanjian itu tidak adil dan tidak ada kebebasan untuk Bangsamoro.
Perdamaian tanpa keadilan dan kebebasan untuk pihak yang
dikecewakan merupakan pola penindasan kolonial.
3. Perjanjian hanyalah solusi untuk masalah Pemerintah Filipina, tetapi
tidak merupakan solusi Bangsamoro.107
Ini menunjukkan Hashim Salamat berusaha melebarkan gaya
perjuangannya dari sekedar perjuangan atas dasar Nasionalisme menjadi bentuk
perjuangan yang berdasarkan agama. Bentuk ini bisa dikatakan lebih menajamkan
tuntutan atas daerah mereka di Filipina Selatan.108
Dalam menghadapi MILF, Pemerintah Filipina mengajukan lima point
‘Interim Agreement’ yang antara lain berisi gencatan senjata, pembicaraan
perdamaian, dan kesepakatan damai 15 Desember 2000. Pemerintah Filipina di
Manila berharap Interim Agreement bisa disepakati pada 30 Juni 2000. Namun
menanggapai permintaan itu, MILF ingin mempelajari terlebih dahulu dan tidak
menghiraukan deadline tanggal 30 Juni, dan akhirnya perjanjian itu pun gagal.
C.1. Hashim Salamat dan Dukungan Internasional
Sejak terjadi konflik internal di tubuh MNLF, Hashim Salamat menuduh
Nur Misuari sebagai seorang Komunis yang menggunakan bendera Islam untuk
menutupi tujuan-tujuannya sendiri. Tuduhan Hashim Salamat bisa saja merupakan
black propaganda untuk menjatuhkan Nur Misuari dari MNLF agar MILF
mendapat dukungan internasional. Namun tuduhan menurut Cesar A Majul karena
107 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.110 108 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194
69
ketika Nur Misuari menjadi mahasiswa Universitas Filipina, Misuari adalah
anggota organisasi beraliran kiri yang dinamakan Kabataan Makabayan (KM).
Sejak KM menjadi semakin berorientasi Maois, ia keluar atau dipecat
karena kepercayaannya tidak cukup beraliran kiri. Setelah diadakan beberapa
‘pembersihan’ dalam KM, maka klik Maois di bawah kepemimpinan Jose Maria
Sison mengambil alih seluruh organisasi. Sison menjadi ketua Partai Komunis
Filipina, Sison kemudian ditangkap pemerintah pada bulan November 1977.
Misuari memang lebih lama menjadi anggota KM, ketika berada di bawah kontrol
Sison.109
Dalam hal ini kubu Bangsa Moro Liberation Organization (BMLO) juga
secara ironis menggunakan isu ini. Semua ini memang tidak menyangkal
kemungkinan, bahwa kelompok Komunis telah mencoba mengadakan kontak
dengan MNLF. Bagaimanapun juga, Misuari telah dapat meyakinkan kaum
simpatisan Islam di Filipina dan di luar negeri, bahwa ia bukan dan tidak akan
pernah menjadi seorang komunis.
Tuduhan Hashim Salamat (MILF) dan Macapanto (BMLO) terhadap
Misuari menyebabkan Nur Misuari mendapat panggilan dari Rabithah Alam
Islami; namun Misuari dapat meyakinkan para pemimpin tertinggi Rabithah
bahwa dirinya bukanlah seorang Komunis atau Marxis, melainkan seorang
Muslim. Salah seorang anggota Rabithah kemudian menyatakan bahwa Nur
Misuari adalah seorang muslim, tetapi bahasanya kelihatannya dipengaruhi oleh
Marxisme.110
109 Dinamika Islam Filipina. h. 91 110 Ibid. h. 93
70
Pada tanggal 23 Desember 1977, dengan ‘instrument take over’, Hashim
Salamat memberitahukan kepada Sekretariat Organisasi Konferensi Islam (OKI)
bahwa Komite Pusat Moro National Liberation Front (MNLF) telah berganti
nama menjadi Moro Islamic Liberation Front (MILF). Namun OKI tidak
menanggapi usulah politis Hashim Salamat, karena beranggapan bahwa Nur
Misuari dengan MNLF-nya mempunyai status peninjau di OKI sejak tahun 1974,
sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Moro.111 Tentu saja ini merupakan
kekalahan diplomasi MILF terhadap dunia internasional.
Namun di luar konflik tersebut, ada indikasi usaha mendamaikan MILF
dan MNLF. Dikabarkan, sebelum pertemuan OKI di Kuala Lumpur, Nur Misuari
sebagai pemimpin MNLF dan Gubernur ARMM (Autonomous Region Of
Muslim Mindanao) bertemu dengan Ghazali Jaafar, wakil pimpinan MILF urusan
politik. Dalam pertemuan tersebut, Nur Misuari menerima surat dari Hashim
Salamat, Pimpinan MILF.112 Namun ternyata MILF dan MNLF tidak bisa bersatu
karena perbedaan visi, di satu sisi Nur Misuari menghendaki Nasionalisme Moro,
di sisi lain Hashim Salamat menghendaki tidak hanya Nasionalisme Moro, tetapi
Nasionalisme Islam Moro. Karena menurutnya antara Islam dan Moro tidak dapat
dipisahkan.
C.2. Konsep Nasionalisme Islam MILF
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pebedaan mendasar antara gerakan
Moro Nastional Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari dengan Moro
Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Hashim Salamat adalah mengenai
111 Peran Pihak Ketiga dalam Resolusi Konflik. h. 35 112 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. (Jazkarta: ). h. 113
71
konsep perjuangan. Jika Nur Misuari mencita-citakan Republik Bangsa Moro
tanpa menyisipkan kata-kata Islam, meskipun dalam prakteknya ia mencari
dukungan dengan sentimen keislaman. Di sisi lain Hashim Salamat
memperjuangkan Nasionalisme Bangsa moro yang dielaborasikan dengan ide-ide
Keislaman.113
Menurut Al Chaidar, ide dasar dari MILF nampaknya tidak jauh berbeda
dengan konsep Darul Islam yang pernah bergolak di Indonesia di bawah pimpinan
Kartosuwiryo. Menurutnya Daerah Islam hanya satu, namun status dan
kondisinya berubah-ubah. Penguasaan terhadap wilayah menjadi demikian urgen
dalam Islam sebagai wujud konsep mulkiyah Allah dalam ‘aqidah Islam. Bangsa
Moro sangat yakin bahwa suatu ketika seluruh Bangsa Filipna akan kembali
kepada Islam. Bangsa Moro percaya bahwa sebelum kolonisasi Spanyol,
masyarakat kepulauan Filipina beragama Islam.114
Dalam hal ini Imam Margaran, seorang anggota MILF mengatakan bahwa
suatu ketika bangsa Filipina akan menjadi Islam lagi. Latar belakang Kebangsaan
Islam yang melekat pada keyakinan orang-orang Islam Bangsa Moro memberikan
keyakinan yang besar bahwa suatu saat Filipina akan kembali menjadi Islam.
Keyakinan akan hal itu dapat dilihat dari awal kemerdekaan Filipina tahun 1946.
Sebenarnya, sejak kemerdekaan Filipina itulah, sudah ada keinginan Pemerintah
di bawah Presiden Manuel Quezon untuk mengasimilasi Moro, yang selalu
mencari warisan kulturalnya di alam Melayu dan Timur Tengah. Tetapi semenjak
113 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194 114 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h. 216
72
pemerintahan Ferdinand Marcos yang dimulai tahun 1966, bangsa Moro mulai
menarik jarak dari pemerintah sekuler.115
Dari sudut keyakinan Bangsa Moro mempercayai siklus sejarah, dimana
Islam akan bangkit setelah serangkaian Proses hispanisasi, Amerikanisasi serta
Filipinisasi. Proses Hispanisasi (Spanyolisasi) berlangsung ketika kedatangan
Spanyol di Filipina Utara pada 1521 memerlukan waktu lebih dari satu abad untuk
mencapai Filipina Selatan. Proses Hispanisasi ini berjalan dengan cara
menanamkan pengaruh Gereja ke dalam institusi dan pranata negara dan
masyarakat.
Kemudian dalam sebuah pertempuran di teluk Manila, ketika Amerika
mengambil alih kekuasaan dari Spanyol pada 1898, Filipina masuk ke dalam fase
proses Amerikanisasi yang dibagi menjadi tiga tahap: pertama, pemerintahan
militer (1898-1913), kedua, Pemerintahan Sipil (1913-1935), dan ketiga,
Commonwealth atau persemakmuran (1935-1946).116 Berbeda dengan proses
Hispanisasi yang memiliki misi komersial, imperial dan agama, maka proses
Amerikanisasi merupakan proses la mission civilatrice, misi untuk membuat
orang-orang Moro beradab, yakni demokrasi.117
Pengalaman sejarah yang dialami Bangsa Moro ini rupanya membawa
Muslim Moro sangat teliti dalam mengusung identitas dalam proses perjuangan
eksistensi mereka. Bisa dipahami bahwa pemikiran Hashim Salamat memilih
Nasionalisme Islam karena sadar betul bahwa perjuangan Moro pada masa
kolonial hingga Kemerdekaan Filipina tahun 1946 yang mengusung Islam sebagai
115 Nurul Agustina, Muslim Moro, Bangkit dari Puing-Puing: Republika, 19 April 1995. 116 Bresnan, John (ed), Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya, (Jakarta:
Gramedia, 1988. h.13 117 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h.220
73
identitas tidaklah cukup. Nasionalisme Bangsa Moro yang diusung Moro National
Liberation Front pimpinan Nur Misuari juga tidak cukup, karena Bangsa Moro
tidak bisa dibatasi dengan letak geografis yang hanya di Filipina Selatan,
melainkan Moro adalah sebuah Bangsa yang beragama Islam. Untuk itulah ia
mengusung Nasionalisme Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan konflik di
Filipina sejak masa kolonialisme Spanyol hingga pemerintahan Filipina, identitas
perjuangan muslim selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial dan politik
zamannya. Namun dalam perkembangan sejarah Filipina, lahirnya organisasi
modern muslim Filipina memunculkan dua identitas yang diusung masing-masing
organisasi, yakni Nasionalisme Moro yang diusung MNLF dan Nasionalisme
Islam oleh MILF.
Nasionalisme Moro merupakan perasaan kebangsaan masyarakat muslim
Filipina Selatan yang tumbuh karena beberapa faktor, yakni kondisi sosial yang
merasa didiskriminasikan sejak masa Spanyol hingga kemerdekaan Filipina,
selain itu masyarakat Filipina Selatan yang beragama Islam merasa mempunyai
kultur yang berbeda dengan masyarakat Filipina Utara yang beragama Kristen
sejak kolonialisme Spanyol. Namun sekalipun masyarakat Filipina Selatan
mayoritas beragama Islam, mereka memahami tidak mungkin berjuang untuk
mendirikan negara Islam, oleh sebab itu MNLF mengusung Nasionalisme. Dalam
hal ini untuk membedakan dengan nasionalisme negara Filipina, maka MNLF
menyebut Nasionalisme Moro.
Nasionalisme Islam yang diusung MILF pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan nasionalisme yang diusung MNLF. Karena memang MILF lahir dari
74
MNLF. Namun dalam perkembangannya Hashim Salamat menegaskan adanya
peran serta Islam dalam perjuangan di Filipina Selatan sejak masa Spanyol
membuat Hashim Salamat membentuk MILF yang mengusung Nasionalisme
Islam. Tidak hanya memperjuangankan kemerdekaan bangsa Moro, tetapi juga
mencita-citakan negara Islam.
75
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah
Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau
7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600.
Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga
negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan.
Muslim Filipina dikenal dengan sebutan bangsa Moro. Istilah Moro
berasal dari kata ‘Moor’, ‘Moriscor’ yang berasal dari istilah latin ‘Mauri’, istilah
yang sering digunakan orang-orang Romawi kuno untuk menyebut penduduk
penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di
Filipina dan menemukan komunitas yang memiliki adat dan istiadat seperti orang-
orang Moor di Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam
Filipina dengan istilah Moro.
Pada masa-masa awal kemerdekaan Filipina, harapan teriptanya
perdamaian bagi masyarakat Muslim Filipina belum benar-benar terwujud.
Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari
rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh sebelum
Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan Muslim yang
mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni; Kesultanan Sulu
(meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay, Mindoro, dan Iloco di
sebelah utara pulau-pulau Luzon), Kesultanan Manguindanao, dan Kesultanan
Buayan.
76
Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina
yang mendiskriminasikan Moro seperti halnya masa kolonialisme, khususnya di
Filipina Selatan yang dihuni oleh komunitas Muslim. Menurut Masyarakat Moro,
pemerintah Filipina hendak menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan
dengan kebudayaan Barat yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari
peradaban Kristen dari kolonialisme Spanyol dan Amerika.
Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim untuk membentuk
organisasi-organisasi Islam modern modern untuk mempertahankan eksistensinya.
Tentunya sebuah organisasi sebagi wadah perjuangan harus mempunyai
konsespsi yang menjadi identitas tersendiri dalam melawan diskriminasi yang
dilakukan pemerintah Filipina.
Moro National Liberation Front (MNLF) adalah organisasi Moro pertama
yang dalam perjuangannya mengangkat senjata untuk mempertahankan diri. Nur
Misuari, konseptor ideologi, pendiri dan sekaligus pemimpin MNLF menetapkan
MNLF sebagai organisasi yang bertujuan untuk mendirikan Republik Bangsa
Moro. Tentunya Nur Misuari mengusung nasionalisme Moro dengan
mengecualikan Islam sebagai agama yang dianut bangsa Moro.
Secara pribadi, nur Misuari merupakan sorang Muslim yang taat, namun ia
tidak meletakkan Islam sebagai bagian yang diperjuangkan masyarakat Moro.
Kemungkinan, pemikiran Misuari yang moderat lahir karena ia sadar bahwa pasca
Perang Dunia II, negara agama tidak lagi relevan, karena itulah ia mengusung
Nasionalisme Moro.
OKI dan Libia merupakan mediator antara pemerintah Filipina dengan
MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi di
77
Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi
tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur,
Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota
Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun
Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli
hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu,
Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur.
Masyarakat Muslim yang multi etnik menyebabkan adanya perbedaan
pandangan mengenai identitas yang di usung. Apakah hanya akan
memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Moro, ataukah Bangsa Islam Moro.
Dalam hal ini Nur Misuari, seorang muslim moderat, melalui MNLF mengusung
kemerdekaan Bangsa Moro (bukan negara Islam), sedangkan Hashim Salamat
yang keluar dari MNLF mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan
mengusung mengusung Nasionalisme Islam. Menurut Hashim Salamat Moro
bukan hanya sebuah bangsa, tapi juga merupakan masyarakat Muslim. Tentunya
munculnya identitas sebagai sebuah jargon yang diusung tidak muncul dengan
tiba-tiba, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam rangkaian historis.
B. Saran
Saat ini hampir seluruh Universitas di negara-negara maju berlomba-
lomba untuk mendirikan sebuah departemen yang khusus mengkaji
perkembangan Islam di Asia Tenggara, termasuk Filipina. Ironisnya, Indonesia
yang merupakan bagian dari Asia Tenggara minim sekali pengkajian mengenai
wilayahnya sendiri. Untuk itu mari kita kembangkan studi Islam Asia Tenggara.
78
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
Agustina, Nurul, Muslim Moro, Bangkit dari Puing-Puing: Republika, 19 April
1995.
Gowing, Peter G. dan Robert D McAmis, The Moro Wars: Solidaridad Publishing
House, Manila, 1974.
Kamlian, Jamail, Bangsamoro Society and Culture, Iligian Centre for Peace
Education Research, 2001.
Kompas, 18 April 1993. wawancara dengan Misuari
Majul, Cesar A, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern: Mizan, Jakarta, 2001.
_______________, Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan: Al Hilal, Jakarta,
1997.
_______________, Dinamika Islam Filipina: LP3 ES, Jakarta, 1984.
Mansurnoor, Iik Arifin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.6: Ichtiar van
Hoeve, Jakarta, 2003.
Sumber Sekunder
Al Chaidar, Ideologi Negara Islam Asia Tenggara; Telaah Perbandingan atas
Terbentuknya Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan Pembentukan
Negara di Indoneis dan Filipina Pasca Kolonialisme: Tesis UI,
Jakarta, 1996.
Al Chaidar, Wacana Ideologi Gerakan Islam; Studi Harakah Darul Islam dan
MNLF: Darul Falah, Jakarta, 1999.
79
Alfian, Peran Pihak Ketiga dalam Resoluisi Konflik; Kasus Indonesia-Libya
dalam Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina dan MNLF
di Filipina Selatan: UI, Jakarta, 2002.
Bresnan, John (ed), Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya
:Gramedia, Jakarta, 1988.
Budiwanti, Erni, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai: Artikel
LIPI.
Budiwanti, Erni, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah
Represi Politik, LIPI, Jakarta, 2003.
Djunaedi, Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan: PT Al Ma’arif,
Jakarta, 1975.
George, T.J.S, Revolt in Mindanao; The Rise of Islam in Philippine politics:
Oxford University, Osford., 1980.
Gershman, John, Asia Tenggara Konsentrasi baru Kebangkitan Islam; Peta dan
Prospek Gerakan Islam di Filipina: Fokus Media, Bandung, 2003.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, UI Press, Jakarta, 2006
Hendropuspito, Sosiologi Agama: Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Kamaruzzaman, Aka dan M Dahlan, Kamus Ilmiah Serapan, Yogyakarta,
Absolut, 2005.
Kettani, Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini: Rajawali Pers, Jakarta,
2001.
Bracher, Jacques Laqan; Diskursus dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, jalasutra,
2000.
80
Che Man, W.K Muslim Separatism: The Moros of Southern Philipines and The
Malays of Southern Thailand, Oxford University Press, 199.
Erik, Erikson. H, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Gramedia, Jakarta, 1989.
Lamijo dan Syafuan Rozi, Demografi fan Sejarah Kolonisasi di Fiipina: LIPI,
2001, Jakarta.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Madale, Nagasura, Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara: LP3 ES,
Jakarta, 1988.
Mardalis, Metodologi Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal: Bumi Aksara, Jakarta, 1993.
Margono,S, Metodologi Pendidikan: PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Mashad, Durorudin, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand,
dan Myanmar: LIPI, Jakarta, 2004.
Muzani, Saiful (edt), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara:,
LP3ES, Jakarta, 1993.
Nadaek, Kustigar dan Atmadji, Revolosi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina:
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1986.
Pujiastuti, Tri Nuke, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan
Myanmar: Artikel LIPI, Jakarta.
Romulo, Carlos P, Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3; Filipina: Grolier
Internasional, PT Widyadara Jakarta, 2003. Filipina.
Wahyudi, Garni Janto Bambang, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi
Terorisme nternasional: Jakarta, 2003.
81
Zainuddin, Rahman, Sejarah Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan
Myanmar: Artikel LIPI, Jakarta, 1998.
82
Lampiran 1 (Cesar A Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta, LP3ES, 1989)
KESEPAKATAN PARA PEMIMPIN ISLAM UNTUK BERSATU
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar, Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang
Dihadapkan kepada ancaman-ancaman terhadap eksistensi ummat Islam di
Filipina, yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di masa lalu dan belakangan
ini, maka sebagai suatu kesepakatan untuk bersatu, kami, setelah mengadakan
musyawarah sebagaimana mestinya, dengan ini mengeluarkan komunike ini:
Kami semua menyadari dan merasa sangat prihatin mengenai hak-hak dan
kewajiban Islami rakyat kami sebagai Muslim dan sebagai warga negara, dan
menyadari amanat yang diberikan kepada kami oleh rakyat kami, untuk bekerja
demi kesejahteraan mereka dan melindungi hak-hak mereka dari segala bentuk
pelanggaran.
Untuk melaksanakan kewajiban ini, kami dengan ini sepakat untuk bersatu
padu, mengesampingkan semua perselisihan pribadi dan politik di masa lampau
dan di masa sekarang, dengan tujuan untuk memerangi musuh-musuh kami
sebagai ummat Islam;
Kami telah memperhatikan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa orang-
orang Islam di Filipina di masa lalu, seperti : pembantaian di Jabidah, gangguan-
gangguan terhadap desa-desa Muslim yang mengakibatkan kerugian berupa
kurban jiwa dan harta benda, rentetan pembunuhuan, serangan, dan penganiayaan
yang sedang berlangsung terhadap orang Islam di Cotabato dan Lanao del Sur, di
83
mana mayat-mayat mereka dikotori, masjid-masjid dan rumah-rumah mereka
dibakar, belum lagi diskriminasi yang terus menerus dilakukan teradap orang-
orang Islam di banyak tingkat kehidupan nasional serta pemalsuan atau
pemutarbalikan citra mereka yang sebenarnya sebagai buah rakyat yang punya
sejarah.
Serangan-serangan tanpa arasan terhadap orang-orang Islam, seperti
pembantaian yang kejam terhadap 61 laki-laki, wanita dan anak-anak Islam di
sebuah tempat ibadah , yakni sebuah masji di Manila, Cermen, Cotabato, oleh
gerombolan sewaan ‘Ilaga’, yang melakukan kejahatan-kejahatan sebesar itu
tanpa mendapatkan hukuman, menunjukkan bahwa orang-orang Islam tidak
mendapat perlindungan sepenuhnya, yang merupakan hak mereka di bawah
perundang-undangan negara.
Semua kekejaman yang biadab dan tidak manusiawi terhadap orang-orang
Muslim itu, seperti memotong kuping orang-orang Islam yang sudah mati, dan
sebagainya merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah, konstitusi dan
perundang-undangan yang berlaku, dan suatu3ancaman yang serius dan nyata
terhadap kebebasan beragama rakyat kami, serta suatu penghinaan terhadap hati
nurani dan deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia.
Melihat kemampuan mniliter perampok-perampok ‘Ilaga’ itu, sepertinya
ternyata dari bukti-bukti yang ada, ada alasan yang kuat untuk percaya, bahwa
mereka bersekongkol dengan atau mendapat dukungan dari, sektor-sektor tertentu
Angkatan Bersenjata dan kaum politisi Kristen setempat.
Pola Agresi dan tindakan-tindakan kriminal di daerah-daerah Muslim itu,
jika tidak dihentika dengan segera oleh pemerintah, akan memperkuat anggapan
84
bahwa memang ada rencana untuk menceraiberaikan orang-orang Islam dengan
meniadakan komunitas mereka.
Dalam kasus kaum pengungsi, kenyataan bahwa pemerintah hingga kini
belum mengmbalikan mereka ke tempat-tempat asal mereka, belum mengganti
kerugian yang telah mereka derita, berbeda sekali dengan sikap ketika mereka
dengan segera merehabilitasi dan mengganti rumah-rumah di Ora Este dan Ora
Centro di bantay, Ilocos Sur, dan melindungi penduduknya, telah semakin
mengikis kepercayaan orang Islam, terhadap kejujuran dan pemerintah untuk
menegakkan hak-hak mereka, melindungi jiwa dan harta benda mereka.
Mengingat fakta-fakta dan alasan-alasan di atas, kami mendesak
pemerintah agar menerima baik usul-usul kami untuk menjamin perdamaian yang
langgeng di negeri ini, dan agar supaya tentara pemerintah melindungi tidak
hanya jiwa orang-orang Kristen, tetapi juga jiwa orang-orang Islam.
OLEH SEBAB ITU, KAMI berseru kepada semua orang yang berada di
belakang gerombolan sewaan ‘Ilaga’ itu, agar menghentikan rencana-rencana
mereka terhadap kaum Muslim, karena kami sudah tau siapa mereka itu, dan kami
tahu mereka dapat menghentikan apa yang mereka mulai; jika mereka tidak mau
menghentikan rencana-rencana mereka itu, akan terjadi akibat-akibat yang gawat
dalam kehidupan nasional negara ini.
Kami berseru kepada hierarki Katolik dan golongan-golongan Kristen
lainnya untuk menggunakan kepemimpinan moral dan spiritual mereka dengan
menghimbau orang-orang seagama mereka agar menghormati Islam dan orang-
orang Islam sebagai dasar perdamaian dan keselarasan.
85
Kami menghimbau kepada semua orang Kristen yang progresif dan
beritikad baik agar berusaha keras untuk mewujudkan persatuan dan dengan
demikian menghindari disintegrasi bangsa;
Akhirnya, apabila pemeriintah tidak, atau tidak mau melakukan
kewajibannya yang fundamental untuk memberikan perlindungan yang sama
kepada semua warganegaranya, apakah mereka itu Muslim atau Kristen, apabila
pemerintah tidak menghentikan tindakan-tindakan perampokan dan pemusnahan
di daerah-daerah Muslim, yang dilakukan dengan cara biadab dan terang-terangan
di depan mataangkatan bersenjata pemerintah, dan apabila kami tidak
memperoleh keadilan untuk rakyat kami melalui cara-cara yang damai dan
menurut hukum, maka hari ini, di hadapan Allah, kami berjanji tanpa
mengindahkan kedudukan pribadi dan politik kami, untuk berusaha sekuat tenaga
untuk mempertahankan umat dan negeri kami. Untuk tujuan itu, kami bersedia
mengorbankan harta benda kami dan bahkan jiwa kami, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh nenek-moyang kami di masa lalu untuk membela kemerdekaan
dan Islam.
Para penandatangan:
Mamital A Tamano, Senator
Presiden Liga Pengacara Muslim Filipina
Salipada K Pendatun, Anggota DPR
Presiden Perhimpunan Muslim Filipina
Ali Dimaporo, Anggota DPR
Presiden, Dewan Tertinggi Urusan Islam Filipina
Domocao Alonto, Delegate
Direktur Jendera Anzar el Islam
86
Sultan Rashid Lucman
Ketua, Persatuan Kekuatan-Kekuatan Islam Filipina
Sandiale Sambolawan, Pengacara
Constitutional Delegate, Cotabato City
Macacana Dimaporo, Anggota DPR
Lanao del Sur
Benjamin Abu Bakar, Pengacara
Bekas Gubernur Jolo, Sulu
Kasan Marohombzar
Wakil Gubernur Ladnao del Sur
Pullong Arpa
Bekas Duta Besar Jolo, Sulu
Cesar Adib Majul, Dekan
College of Arts & Sciences U.P. Diliman, Quezon City
Datu Udtog Matalam, Jr
Pikit, Cotabato
Hadji Arsad Sali
Bekas Gubernur Jolo, Sulu
Muz Izquierdo
Anggota Dewan Pemerintah Profinsi Jolo, Sulu
Midpantao Adil, Pengacara
Constitutional Delegate, Pagalungan, Cotabato
M. Guro
Delegate Lanao del Sur
Lininding Pangandaman
Constitutional Delegate, Lanao del Suru
Michael Mastura, Pengacara
Constitutional Delegate, Cotabato City
Nur Misuari
University of The Philippines
M.Y. Abbas, Jr., Pengacara
Ketua Majelis Nasional Pemuda Muslim
87
Ir. Farouk Carpizo
Sekjend National Coordination Council for Islamic Affairs, Inc.
Musib buat, Pengacara
Nurul Islam; Cotabato
Ustadz Kunung Pumbaya
Imam Masjid Manila
Abraham Rasul, Pengacara
Mantan CNI Commisioner, jolo, Sulu
Madki Alonto, pengacara
Mantan Gubernur Lanao del Sur
Aminkadra Abu Bakar
Walikota Jolo, Sulu
Manaros Boransing
Profesor Mindanao State university
Ustadz Calbi Tupay
Basilan City
Kalingalan Kaluangn
Jolo, Sulu
Kapten Hassan Bagis
Jolo, Sulu
Atas nama Pemimpin-Pemimpin Muslim di Filipina
88
Lampiran 2 (Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989)
MANIFESTO PEMBENTUKAN REPUBLIK BANGSA MORO
Kami, rakyat Bangsamoro yang ingin membebaskan diri dari teror,
penindasan dan tirani kolonialisme Filipia, yang telah menimbulkan penderitaan
dan kesengsaraan yang tak terperikan, dengan jalan merampas tanah kami,
mengancam Islam melalui penghancuran dan penodaan (secara besar-besaran)
tempat-tempat peribadahannya serta Kitab Sucinya, dan mebunuhi saudara-
saudara kami, laki-laki perempuan, dan orang-orang yang sudah tua, dalam suatu
kampanye pemusnahan bangsa kami pada tingkat yang sangat mengerikan.
DENGAN CITA-CITA untuk mempunyai preogatif tunggal guna
menentukan dan merencanakan nasib bangsa kami sendiri, sesuai dengan
kehendak bebas kami sendiri guna menjamin masa depan kami dan masa depan
anak cucu kami.
Setelah mengembangkan suatu bentuk ideologi yang cocok, yang telah
berhasil menggalang persatuan rakyat kami yang kukuh dan memperkuat identitas
dan watak nasionalnya.
Setelah membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National
Liberation Front) serta badan militernya, yakni Tentara Bangsamoro sebagai alat
pokok kami untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran utama kami
dengan dukungan bulat massa luas rakyat kami, dan akhirnya:
SETELAH kami sekarang menguasai dengn kukuh ebagian tanah air
bangsa kami, melalui kemenangan-kemenangan cemerlang yang berturut-turut
89
telah dicapai oleh Tentara Bangsamoro kami dalam pertempuran melawan
Angkatan Bersenjata Filipina dan Diktator Marcos, dengan ini mengumumkan:
• Bahwa, untuk selanjutnya, rakyat dan Revolusi Bangsamoro setelah
mendirikan Republik Bangsamoro, memutuskan segala ikatan politik,
ekonomi dan ikatan-ikatan mereka lainnya dengan pemerintah Filipina
yang menindas di bawah rezim Diktator Ferdinand Marcos, untuk
menegakkan suatu negara yang bebas dan merdeka bagi rakyat
Bangsamoro.
• Bahwa rakyat dan Revolusi kami, yang menjunjung tinggi asas hak
menentukan nasib sendiri, mendukung hak semua rakyat dari semua
bangsa dalam perjuangan memreka yang sah dan adil untuk kelangsungan
hidup nasional, kebebasan dan kemerdekaan mereka.
• Bahwa rakyat dan Revolusi Bangsamoro, demi kebenaran akan menjamin
kebebasan Pers.
• Bahwa, Untuk mempercepat kemajuan ekonomi tanah air Bangsamoro
yang telah diporakporandakan oleh peperangan, rakyat dan Revolusi kami
akan mendorong investasi asing dengan persyaratan dan di bawah kondisi-
kondisi yang menguntungkan bagi rakyat kami dan bagi investor. Oleh
sebab itu, investor-investor asing di tanah air Bangsamoro yang
memutuskan untuk meneruskan kegiatan ekonomi mereka di bawah rezim
revolusi, akan disambut dengan tangan terbuka.
• Bahwa, rakyat dan Revolusi Bangsamoro terikat kepada asas bahwa
mereka merupakan bagian dari Dunia Islam dan Dunia Ketiga serta dari
umat manusia yang dijajah dan ditindas di mana pun di dunia ini.
90
• Bahwa Front Pembebasan Nasional Moro dan badan militernya, Tentara
Bangsamoro, tidak akan menyetujui setiao bentuk penyelesaian dan
persetujuan yang tidak memberikan kebebasan dan kemerdekaan penuh
kepada rakyat Bangsamoro yang tertindas.
• Bahwa revolusi rakyat Bangsamoro merupakan suatu revolusi dengan
suara hati sosial. Oleh sebab itu mereka terikat kepada asas pembentukan
suatu sistem pemerintahan yang demokratis, yang dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak akan membiarkan atau menenggang segala bentuk
pemerasan dan penindasan terhadap setiap manusia oleh Manusia lainnya,
atau terhadap suatu bangsa oleh bangsa lainnya.
• Bahwa orang-orang Filipina yang ingin tetap tinggal di tanah air Nasional
Bangsamoro yang sudah merdeka akan diterima dengan tangan terbuka
dan akan mendapat hak-hak dan perlindungan yang sama dengan yang
diberikan kepada semua warga lainnya di Republik Bangsamoro, asalkan
mereka dengan resmi melepaskan kewarganegaraan Bangsamoro; hak
milik mereka akan dihormati sepenuhnya dan hak-hak plitik, kebudayaan
dan keagamaan mereka akan dijamin.
• Bahwa rakyat dan Revolusi bangsamoro terkat kepada kewajiban untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Islam di kalangannya
sendiri tanpa merugikan perkembangan dan pertumbuhan agama-agama
dan kebudayaan-kebudayaan asli lainnya di tanah air kami.
• Bahwa rakyat dan Revolusi kami mengakui dan menjunjung tinggi
Piagam PBB dan Deklarasi Universal mengenai hak-hak Asasi Manusia.
91
Dan selain itu, mereka akan menghormati dan tunduk kepada semua
peraturan hukuk dan konvensi yang mengikat bangsa-bangsa di dunia.
• Bahwa rakyat dan Revolusi Bangsamoro terikat kepada kewajiban untuk
melestarikan dan memperkukuh perdamaian dunia melalui kerjasama
timbal-balik di antara bangsa-bangsa, dan melalui kemajuan bersama
rakyat-rakyat di dunia. Oleh sebab itu, mereka terikat kepada asas saling
menghormati dan persahabatan di antara bangsa-bangsa tanpa memandang
keyakinan ideologis dan keagamaan mereka.
Oleh sebab itu, maka kami dengan ini menghimbau suara hati semua
orang di manapun, serta simpati semua bangsa di dunia, untuk membntu
mempercepat derap Revolusi kami dengan jalan secara resmi dan tanpa ragu-ragu
lagi mengakui dan mendukung hak sah rakyat kami untuk memperoleh kebebasan
dan kemerdekaan nasionalnya. Pengakkuan dan dukungan itu hendaknya
dikongkritkan dengan jalan menerima Bangsamoro sebagai anggota keluarga
bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat di dunia, dan mengakui dengan resmi
Froont pembebasan Nasional Moro.
Ditetapkan di tanah air Bangsamoro, hari ini tanggal 18 Maret 1974.
Nur Misuari, Ketua Komite Sentral Front Pembebasan Nasional Moro
92
Lampiran 3
(Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989)
Dengan Menyebt nama Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang
Persetujuan Antara Pemerintah Republik Filipina dan MNLF dengan
Partisipasi Para Anggota Komisi Tingkat Menteri Empat Negara Dari
Organisasi Konferensi Islam dan Sekretaris Jenderal Konferensi Islam
Sesuai dengan Resolusi No. 4 Para. 5 yang telah disetujui oleh Dewan
Menteri Konferensi Islam dalam Persidangannya yang keempat di Benghazi,
Republik Arab Libya, dalam bulan Shafar 1939 H yang bertepatan dengan bulan
Maret 1973, yang menyerukan dibentuknya Komisi Tingkat menteri Empat
Negara yang mewakili Republik Arab Libya, Kerajaan Arab Saudi, Republik
Senegal dan Republik Somalia, untuk mengadakan perundingan dengan
Pemerintah Republik Filipina mengenai situasi kaum Muslim di bagian Selatan
Filipina;
Dan sesuai dengan Resolusi No. (18) yang telah disetujui oleh Konverensi
Islam yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam bulan Jumadil akhir 1393
Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Juni 1974 M yang merekomendasikan
upaya mencari suatu penyelesaian yang adil dan damai mengenai masalah orang-
orang Islam di Filipina Selatan melalui perundingan.
Dan sesuai dengan Resolusi No. 12/7/S yang telah disetujui oleh
konverensi Islam di Istambul dalam bulan Jumadil Awal 1396 Hijriyah yang
bertepatan dengan bulan Mei 1976 M, yang memberi kuasa kepada Komisi
Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Konverensi Islam untuk
93
mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi dimulainya kembali
perundingan-perundingan.
Dan sebagai kelanjutan tugas yag dipikul oleh komisi Tingkat Menteri
Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Konferensi Islam serta pembicaran-
pembicaran yang telah diadakan dengan Yang Mulia Presiden Marcos dari
republik Filipina.
Dan sebagai perwujudan ini Para (6) Komunike Bersama yang dikeluarkan
di Tripoli tanggal 25 Dzulhijjah 1396 H. Yang bertepatan dengan 17 November
1976. Setelah kunjungan resmi delegasi Pemerintah Filipina di bawah pimpinan
Ibu negara Filipina Nyonya Imelda Romualdez Marcos ke Republik Arab Libya,
dan menyerukan dimulainya kembali perundingan antara kedua pihak yang
bersangkutan di Tripoli pada 15 Desember 1976 M.
Maka dilangsungkanlah perundingan-perundingan di Kota Tripoli dalam
periode antara 24 Dzulhijjah 1396 H. Dan 2 Muharram 1397, yang bertepatan
dengan periode antara 15 sampai 23 Desember 1976 M. Bertempat di kementerian
Luar Negeri dan diketuai oleh Dr. Ali Abdussalam Treki, Menteri Negara Urusan
Luar Negeri Republik Arab Libya, dan mencakup delegasi-delegasi dari :
1. Pemerintah Republik Filipina, yang dipimpin oleh yang terhormat
Carmelo Z Berbero, Menteri Muda pertahanan Nasional untuk hubungan-
hubungan Sipil.
2. Front Pembebasan Nasional Moro, yang dipimpin oleh Tuan Nur Misuari,
Ketua Front.
Dan dengan partisipasi wakil-wakil dari Komisi Tingkat Menteri Empat
Negara:
94
Republik Arab Libya- Dr. Ali Abdussalam Treki, Menteri Negara Urusan
Luar Negeri.
Kerajaan Arab Saudi – Yang Mulia Salah Abdalla El-Fadl, Duta besar
kerajaan Arab Saudi untuk Republik Arab Libya.
Republik Senegal – Tuan Abubakar Othman Si, Wakil republik Senegal
dan Kuasa Usaha Senegal di Kairo.
Republik Demokratik Somalia – Yang Mulia Bazi Mohamed Sufi,
Dutabesar Republik Demokratik Somalia untuk Republik Arab Libya.
Dengan bantuan Yang Mulia Dr. Ahmed Karim Gai, Sektretaris Jendral
Konperensi Islam, dan sebuah delegasi dari Sekretariat Jenderal Konferensi yang
terdiri dari tuan Qasim Zuheri, Asisten Sekretaris Jenderal, dan Tuan Aref Ben
Musa, Direktur Departeman Politik.
Dalam perundang-undangan itu yang ditandai oleh semangat kerukunan
dan saling pengertian, dicapai persetujuan mengenai hal-hal berikut:
Pertama : Pembentukan Otonomi di bagian Selatan Filipina, di dalam
kerangka kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Filipina.
Kedua : Daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim di bagian Selatan
Filipina itu akan meliputi;
1. Basilan
2. Sulu
3. Tawi-Tawi
4. Zamboanga del Sur
5. Zamboanga del Norte
6. Cotabato Utara
95
7. Maguindanao
8. Sultan Kudarat
9. Lanao del Norte
10. Lanao del Sur
11. Davao del Sur
12. Cotabato Selatan
13. Palawan
14. Semua kota dan desa yang terletak di daerah-daerah tersebut di atas.
Ketiga :
1. Politik Luar Negeri akan merupakan wewenang Pemerintah Pusat Filipina.
2. Urusan pertahanan Nasional akan merupakan urusan Pemerintah Pusat,
dengan persyaratan bahwa pengaturan-pengaturan bagi penggabungan
pasukan-pasukan Front Pembebasan Nasional Moro ke dalam Angkatan
Bersenjata Filipina akan dibicarakan kemudian.
3. Di daerah-daerah otonom, orang-orang Islam akan berhak untuk
membentuk Pengadilan-pengadilan mereka sendiri yang menerapkan
ketentuan-ketentuan Syari’ah. Kaum Muslim akan diwakili di semua
pengadilan, termasuk Mahkamah Agung. Wakil-wakil kaum Muslim di
Mahkamah Agung akan diangkat sesuai dengan rekomendasi pejabat-
pejabat di daerah otonom dan dari Mahkamah Agung. Dekrit-dekrit akan
dikeluarkan oleh Presiden Republik mengenai pengangkatan mereka,
dengan mempertimbangkan semua klasifikasi yang dituntut para calon.
4. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak
mendirikan sekolah-sekolah, kolese-kolese dan Universitas-Universitas,
96
dengan syarat bahwa soal-soal yang menyangkut hubungan antara badan-
badan pendidikan dan keilmuan itu dan sistem pendidikan umum di negara
itu akan dibicarakan kemudian.
5. Kaum Muslim akan mempunyai sistem administrasi mereka sendiri
dengan tujuan-tujuan Otonomi dan lembaga-lembaganya. Hubungan
antara sistem administrasi itu dan sistem administrasi pusat akan
dibicarakan kemudian.
6. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan mempunyai
sistem ekonomi dan keuangannya sendiri. Hubungan antara sistem ini dan
sistem ekonomi dan keuangan pusat akn dibicarakan kemudian.
7. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak untuk
diwakili dan berpartisipasi dalam Pemerintah Pusat dan semua organ
Negara. Jumlah wakil itu dan cara-cara partisipasinya akan ditetapkan
kemudian.
8. Pasukan Keamanan Regional Khusu akan dibentuk di daerah-daerah
otonom bagi kaum Muslim di Filipina Selatan. Hubungan antara pasukan-
pasukan itu dan pasukan keamanan pusat akan ditetapkan kemudian.
9. Sebuah Majelis Legislatif fan sebuah Dewan Eksekutif akan dibentuk di
daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim. Majelis Legislatif akan
dibentuk melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk
melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk melalui
pengangkatan-pengangkatan oleh Majelis legislatif. Sebuah dekrit
mengenai pembentukan kedua badan itu akan dikeluarkan oleh Presiden
97
Republik. Jumlah anggota majelis dan dewan itu akan ditentukan
kemudian.
10. Tambang-tambang dan sumber-sumber mineral akan berada di bawah
wewenang Pemerintah Pusat, dan suatu presentase yang layak dari
penghasilan tambang-tambang dan sumber-sumber mineral itu akan
digunakan untuk kepentingan daerah-daerah otonom.
11. Sebuah komite campuran akan dibentuk, terdiri dari wakil-wakil
Pemerintah Pusat Republik Filipina dan wakil-wakil Front Pembebasan
Nasional Moro. Komite campuran itu akan bersidang di Tripoli dalam
periode antara tanggal 5 Februari dan satu tanggal yang tidak akan
melampaui tanggal 3 Maret 1977. Tugas Komite adalah untuk
mempelajari secaa rinci hal-hal yang masih harus dibicarakan lebih lanjut
untuk dicari pemecahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Persetujuan ini.
12. Gencatan senjata akan diumumkan segera setelah penandatanganan
Persetujuan ini, dengan syarat bahwa ia akan mulai berlaku (menjelang)
tanggal 20 januari 1977. Sebuah komite gabungan akan dibentuk di antara
kedua belah pihak dengan bantuan Organisasi Konferensi Islam yang
diwakili oleh Komisi Tingkat Empat Negara yang akan mengawasi
pelaksanaan gencatan senjata itu. Komite Gabungan itu juga akan
ditugaskan untuk mengawasi hal-hal berikut ini :
a. Pelaksanaan pemberian amnesti penuh di daerah-daerah otonom dan
penghapusan semua tuntutan dan ketentuan hukum yang ditimbulkan
oleh peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Filipina Selatan.
98
b. Pembebasan semua tahanan politik yang berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa di Filipina Selatan.
c. Pengembalian semua pengungsi yang telah meninggalkan daerah
mereka di Filipina Selatan.
d. Pemberian jaminan kebebasan bergerak dan mengadakan rapat.
13. Sebuah sidang gabungan akan diadakan di jeddah dalam minggui pertama
bulan Maret 1977 untuk memarap apa yang telah disimpulkan oleh komite
yang disebut dalam Para 11.
14. Persetujuan final mengenai pembentukan otonomi seperti yang
dimaksudkan dalam pragraf pertama dan kedua akan ditandatangani di
Kota Manila, Republik Filipina, oleh Pemerintah Filipina dan Front
Pembebasan Nasional Moro, dan oleh Konferensi Islam yang diwakili oleh
Komisi Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Organisasi
Konferensi Islam.
15. Segera setelah penandatanganan Persetujuan itu di Manila, sebuah
Pemerintah Sementara akan dibentuk di daerah-daerah Otonom, dan
diangkat oleh Presiden Filipina. Pemerintah sementara itu akan ditugasi
mempersiapkan pemilihan anggota-anggota Majelis Legislatif di daerah-
daerah otonom, dan memerintah daerah-daerah itu sesuai ktentuan-
ketentuan Persetujuan ini sampai dibentuknya sebuah Pemerintah oleh
Majelis Legislatif.
16. Pemerintah Filipina akan mengambil segala langkah yang diperlukan
dalam pproses konstitusional untuk melaksanakan Persetujuan ini secara
keseluruhan.
99
Keempat: Persetujuan ini akan mulai berlaku pada tanggal
penandatanganannya.
Dibuat di kota Tripoli, pada tanggal 2 Muharram 1397 H yang bertepatan
dengan tanggal 23 Desember 1976 M. Dalam tiga eksemplar yang asli dalam
bahasa Arab, Inggris dan Perancis, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
Untuk Pemerintah Republik Filipina
Yth. Carmelo Z Barbero Menteri Muda Pertahanan Nasional
Untuk Hubungan-Hubungan Sipil
Untuk Front Pembebasan Nasional Moro
Tuan Nur Misuari Ketua Front
Dr. Ali Abdussalam Treki Menteri Negara Urusan Luar Negeri
Republik Arab Libya & Ketua Perundingan
Dr. Ahmad Karim Gai Sekretaris Jenderal Organisasi
Konferensi Islam