motivasi menuntut ilmu

download motivasi menuntut ilmu

of 7

Transcript of motivasi menuntut ilmu

Catatan Kuliah Hari: Kamis Tanggal: 20 Oktober 2011 Mata Kuliah: Islam Dan Ilmu Pengetahuan Dosen: Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara

Sistem Pendidikan Di Dunia Islam Kita boleh mengklaim bahwa sistem pendidikan Islam masa lalu sudah lebih baik daripada di masa kini, terbukti dengan produk ilmuwan yang dihasilkannya. Tapi, kita harus segera bertanya, apa yang terjadi hingga menurun seperti ini? Sistem dan fasilitas sekarang lebih baik, mungkin, tapi mengapa tidak bisa mengubah pelajar menjadi orang besar di bidang kajiannya? Mengapa semangat menuntut ilmu kini menurun? Kita mulai kajian ini dengan motivasi menuntut ilmu di kalangan ulama Islam agar kita mengerti, mereorientasi, dan merekonstruksi niat kita dalam menuntut ilmu, agar kita tidak berjalan di tempat. Bagaimana peranan guru (pada masa itu) yang lebih berperan sebagai fasilitator, atau bidan seperti istilah Socrates, yang hanya membantu mengeluarkan pengetahuan yang sudah ada pada diri pelajar? Bagaimana sistem pengajaran? Bagaimana metode belajar mengajar? Bagaimana klasifikasi ilmu? Bagaimana kurikulum pada masa itu?

Motivasi Nabi bersabda, "Sesungguhnya esensi dari suatu perbuatan adalah tergantung kepada niatnya." Sayang jika proses belajar yang mahal dan lama sia-sia atau tidak maksimal hasilnya hanya karena niat yang salah. Orang zaman dulu punya energi yang luar biasa untuk menempuh perjalanan jauh demi ilmu. Motivasi menuntut ilmu tergantung pada persepsi orang tentang ilmu. Salah satu definisi ilmu--banyak definisi diberikan oleh Franz Rosenthal--yang diberikan oleh alBaqillani, kalau tidak salah, adalah, "" ," Mengetahui sesuatu sebagaimana adanya." Artinya mencari ilmu adalah mencari realitas, hakikat, esensi dari sesuatu. Pengetahuan yang belum mencapai level ini belum dikatakan ilmiah. Mencari ilmu = mencari realitas = mencari kebenaran. Apakah Anda datang ke Pasca untuk mencari kebenaran?

Itulah motivasi ulama dulu dalam mencari ilmu. Dan, Sang Kebenaran adalah Allah. Zat Allah tidak dapat diketahui, kecuali melalui sarana-sarana lain, yaitu ayat yang berupa kawniyyah (alam) dan qur'aniyyah. Ini sama dengan menghasilkan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu agama. Simple. Mencari ilmu = mencari jejak-jejak ilahi = vestigia Dei. Motivasi seperti ini sangat penting, karena penelitian yang tidak dalam kerangka ini tidak akan menjadi penelitian yang sungguh-sungguh. Kerangka ini juga menyiratkan keraguan. Selama keraguan itu masih menghantui kita, kita akan terus mencari. Ini tidak hanya teoritis. Tapi dibuktikan oleh banyak kasus. Al-Ghazali misalnya. Keinginan yang sangat kuat untuk mencari kepastian yang tidak menyisakan keraguan sama sekali, seperti 2+2=4. Al-Ghazali menangguhkan semua yang telah dia ketahui. Semua dia ragukan. Tidak baik jika seseorang datang belajar dengan membawa keyakinan yang fix, lantas mempertahankan apa yang telah dia ketahui, menutup diri dari hal-hal yang baru. Masih muda. Jangan mantap pada sesuatu. Rene Descartes menyebut pengetahuan adalah sesuatu yang clear and distinc. Mengapa penelitian di Indonesia tidak mengglobal? Karena motivasinya bukan kebenaran, seperti hakim motivasinya bukan keadilan. Menjadi filsuf sama dengan philo mencari sophos kebenaran. Ibnu Hajar al-'Asqallani dikabarkan memiliki 3000 guru. Kalau dia orang yang cepat puas, mungkin dia akan berhenti pada guru ke-2000. Al-Biruni mencari separuh manuskrip selama 40 tahun sejak dia menemukan separuhnya. Beratus kilometer ditempuh al-Farabi untuk menemui guru, dari al-Farab ke Baghdad, karena guru logika ada di Baghdad. Semua ini karena kerinduan mereka pada kebenaran. Mentalitas yang lain adalah kritis. Mengapa begini? Mengapa begitu? Tidak hanya memahami, tapi juga mengkritisi. Tidak ada belajar hanya untuk ijazah dan mendapatkan kerja setelahnya. Guru bisa dibantah. Mencari kebenaran dengan cara apa saja. Jika harus otodidak, maka ya. Ibnu Sina misalnya.

Peran Guru Pada masa lalu seolah guru sangat ingin menjadikan muridnya seorang yang mumpuni. Guru Ibnu Sina, al-Natili, adalah ahli dalam banyak bidang ilmu. Dia mulai mengajar dengan teorema-teorema, karena Ibnu Sina pada umur 12 tahun sudah mahir dalam bidang fiqih, sudah menghapal Quran, bahasa dan sastra Arab.

Ketika sudah diajari 4-5 teorem, Ibnu Sina sudah mampu menangkap, lalu mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab gurunya. Sang Guru tidak otoriter, mengarahkan Ibnu Sina untuk belajar sendiri, membimbingnya jika ada masalah. Guru adalah peletak dasar. Misalnya mengajari logika dan matematika sebagai alat analisa. Setelah bisa, dia melepas muridnya untuk meneliti sendiri. Setelah dia tahu Ibnu Sina dapat mandiri, maka dia pergi. Seseorang tidak menjadi guru selamanya. Dia senang jika muridnya berkembang dari seseorang yang difasilitasi, lalu dibimbing, lalu mandiri. Guru memang ada tingkatannya. Tapi intinya dia adalah pertama-tama fasilitator. Menunjukkan buku yang baik. Satu hal yang sering dikritik adalah pendidikan pada masa lalu itu tradisional, tidak efektif, menekankan hapalan dan bukannya pemahaman. Sekarang masih berlaku di al-Azhar. Ini mungkin bagus pada masa belum ada komputer. Mereka hapal buku filsafat, hadith, fiqih. Dalam bidang tertentu, kawaidnya harus dihapal. Alfiyah misalnya. Ibnu Sina membuat puisi yang isinya adalah kaidah-kaidah kedokteran. Dulu hal ini masih dipraktekkan di kampung saya. Hapalan pada masa kecil itu akan bermanfaat ketika seseorang belajar serius di masa selanjutnya. Ibnu Sina menghapal kitab metafisika. Dia membaca buku Aristoteles sebanyak 40 kali, tanpa mengerti. Ketika jalan-jalan di penjual buku, dia membeli buku al-Farabi berjudul Maqasid Ma Ba'd al-Tabi'ah karena kasihan pada penjualnya. Berkat buku itu dia mengerti buku yang telah dihapalnya sehingga dia merasa perlu bersyukur dengan banyak bersedekah. Jadi, menghapal bukan metode belajar yang salah, justru bagian dari proses belajar yang penting. Imla juga metode belajar yang dipakai pada zaman dulu. Penulis zaman dulu, misalnya Yaqut, menulis buku dengan cara mendikte pada 100 murid. Mereka mencatat, maka terbitlah 100 kopi. Itu salah satu metode penerbitan zaman dulu. Pengimla mungkin membaca buku karyanya, mungkin juga dengan hapalannya. Al-Tabari berhari-hari mengimla sebuah buku. Setelah 5000 halaman tiba-tiba dia berhenti. Ada yang mendiktekan 10.000 hadith di luar kepala. Menulis dengan cara mendikte lebih gampang. Murid menanyakan topik-topiknya, direkam, ditranskrip. Ini lebih cepat. Dua hari bisa selesai, karena seseorang sudah memiliki bahanbahan yang tersimpan di kepalanya, tinggal dipicu dengan pertanyaan. Tapi, hasilnya harus diperiksa oleh pengimla. Metode lainnya adalah debat. Murid ditekankan untuk membuat ta'liqah, bukan hashiyah, bukan sharah. Ta'liqah adalah catatan kritis atas suatu teks. Ta'liqah

murid bisa merepotkan guru, seperti yang dilakukan al-Ghazali pada gurunya alJuwayni, sehingga sang guru berkata, "Komentarmu menguburku hidup-hidup. Apa kau tidak bisa bersabar sehingga menyimpannya sampai aku mati?" Al-Ghazali sangat kritis. Dia menginginkan kebenaran metafisis seperti kebenaran matematis sehingga jika seseorang mengatakan bahwa 2+2 adalah bukan 4 dengan dalil bisa mengubah tongkat menjadi ular, maka dia tidak percaya. Keraguan al-Ghazali bukan asal keraguan. Di Indonesia orang mudah percaya. Pengetahuan yang benar adalah yang cocok antara yang di adhhan dengan di a'yan, korespondensi antara apa yang ada di dalam kepala dengan apa yang di luar kepala. B Ini merepotkan. Ahli astronomi tahu bahwa lagu Bintang Kecil adalah tidak ilmiah. Maka diperlukan pengukuran. Mereka mengukur benda-benda langit baik secara empiris maupun secara logis. Bayangkan bagaimana orang dulu ingin melihat bentuk bumi. Ikhwan al-Safa mengatakan bahwa jika Anda ingin mengetahui bentuk bumi, Anda ambil telur rebus, lalu belah. Yang kuning itu adalah inti bumi. Bagaimana mencapai korespondensi dalam ilmu tasawuf? Ini tidak mudah. Metodologi jadi sangat penting. Salah menetapkan cara menghasilkan kesimpulan yang salah. Mengapa orang tertipu oleh fatamorgana? Karena, kalau dia mencari air, seharusnya dia membuktikan dengan menyentuhnya, bukan dengan melihatnya saja. Ada banyak metode. Ini penting dibicarakan. Objek ilmu bermacam-macam. Pelangi. Kita akan mengatakan bahwa pelangi ada di langit seperti lagu anak-anak. Benarkah pelangi itu di langit? Kata "terbang ke langit" itu benar? Di mana keberadaan pelangi? Di matamu? Ya. Karena pelangi itu adalah defraksi air hujan. Jika didatangi, dia tidak ada. Ibnu a-Haytham sudah bicara teori ini berabad lalu, kemudian banyak ahli mengkritisinya. Pengetahuan sehari-hari mengatakan kita dapat melihat seluruh bulan pada saat purnama. Ini juga tidak benar.

Klasifikasi Ilmu Menurut SH Nasr, dunia modern menyusun ilmu secara random tanpa hirarki karena mentalitas modern yang anti hirarki. Mereka tidak mengakui adanya wujudnya yang mulia dan yang rendah. Semakin tinggi wujud, semakin besar kebahagiaan yang dapat diberikannya. Mereka menolak hirarki wujud, menolak keberadaan Tuhan

sebagai puncak wujud. Ketika laki-laki di Barat menghujat Tuhan, maka perempuan mereka menghujat laki-laki. Di dalam ontologi dan kosmologi Islam, wujud yang menjadi objek pengetahuan tidak berdiri sama, tapi berjenjang, hirarkis. Semakin spiritual, semakin tinggi kedudukannya. Hirarki wujud dari yang sangat spiritual hingga yang sangat material. Karena itu, ada hirarki ilmu. Tanpa hirarki ilmu, maka pengetahuan kita tidak akan sepadan dengan objeknya. Hirarki ontologis berkonsekuensi hirarki epistemologis. Mengapa wujud fisik lebih rendah daripada wujud metafisik? Karena kompleksitas objeknya. Kimia dasar membahas arkan/4 unsur. Minerologi membahas unsur-unsur yang sudah menjadi komposisi tertentu dari 4 unsur. Timah berbeda dengan besi, baja, emas karena berbeda unsur airnya. Emas meleleh karena dibakar, tapi tidak berkurang. Ilmu Botani mempelajari objek yang lebih kompleks karena tumbuh-tumbuhan memperlihatkan fenomena yang tidak ada pada objek minerologi. Reproduksi. Tidak ada batu yang melahirkan kecuali dalam kisah Juha. Dia hajatan, pinjam priuk pada tetangga. Usai hajatan, dia mengembalikan dua priuk, besar dan kecil. Apa-apaan ini? Kata tetangganya. Oh, priuk Anda melahirkan. Ini induknya, ini anaknya. Si tetangga heran, tapi dia menerima saja. Kemudian, Juha meminjam lagi. Lama sejak usai acara, Juha tidak mengembalikan priuk itu. Tetangganya menanyakan. Juha berkata, "Anda belum dapat kabar ya, priuk Anda meninggal?" Mana mungkin? Mungkin saja. Semua yang melahirkan, mungkin saja meninggal. Zoologi mempelajari objek yang lebih kompleks lagi. Gerak. Tidak ada anak pohon kelapa yang lari-lari karena takut pada gledek. Matematika. Metafisika. Huft, ngantuk. Saya sudah menulis Filsafat Matematika. Di situ saya mempertanyakan status ontologis objek matematik. Misalnya, ilmu ukur, geometri. Apakah bentuk-bentuk itu ada di pikiran kita saja, atau ada juga di luar? Penemuan di dunia fisik sering kali didahului penemuan rumus matematika. Ini menunjukkan objek matematika adalah real. Orang-orang Barat sekarang bingung saat ditanya matematika sains atau bukan.

Ada yang bilang bukan karena objek matematika tidak empiris. Begitu juga objek metafisika. Di dunia fisika saja indera kita tidak dapat menangkap dengan indera x-ray, cosmic ray, tapi efeknya sudah ditangkap secara ilmiah. Angelic-ray boleh jadi akan ditemukan. Wajah kita yang sejati tidak kelihatan. Wajah kita yang kelihatan tidak sejati. Tumbuhan punya jiwa. Dia makan. Bukan hanya karena daya kapiler. Buktinya, pohon kelapa yang menyedot makanan dari pinggir comberan, air kelapanya tidak rasa comberan. Muslim yakin bahwa objek matematika memiliki status ontologis yang jelas. "2" adalah simbol dari dua. Dua itu immaterial. Yang material adalah "kursi" pada dua kursi. Angelologi. Antroplogi. Eskatologi. Suhrawardi, "Cahaya yang semakin jauh itulah yang membentuk dunia fisik." Mengapa klasifikasi ini menjadi penting sehingga hampir seluruh filsuf membuatnya? Pertama, karena hal ini akan menentukan lingkup filsafat. Filsafat pada masa kejayaannya meliputi hampir semua ilmu rasional sehingga dia harus memastikan tidak ada satu cabang ilmu yang luput. Seorang filsuf dituntut untuk mengetahui semua cabang ilmu tanpa terkecuali. Dia harus belajar mulai dari fisika dasar, ruang, bentuk, gerak; minerologi mulai dari batu-batuan, cairan; botani .... Tanpa hirarki ini pelajar akan bingung. Juga akan sombong. Ini tidak berlaku dalam ilmu 'aqliyyah saja, tapi juga dalam ilmu naqliyyah, boleh jadi baru tahu fiqih, seolah-olah dia sudah tahu segalanya. Hirarki ilmu membuat orang tahu bidang apa saja yang sudah dan belum diketahuinya. Menyadari kekurangannya, lalu terpacu untuk terus belajar. Kita akan kaji kurikulum dan silabus pendidikan Islam pada pertemuan minggu depan.

Diskusi: Belajar mulai dari yang sederhana-kongkrit menuju yang kompleks-abstrak. Tapi konsep filosofis kita sudah meninggalkan konsep Ibnu Sina sehingga kita meninggalkan banyak ilmu. Al-Kindi sangat tegas bahwa metafisika akan dipahami

setelah memahami fisika dan matematika. Barat tetap memandang ada ilmu yang diprioritaskan atau dianggap menjadi basis bagi ilmu lain. Mereka menyebut fisika adalah The Science karena basis filsafat yang berbeda.