MORFOLOGI ORGAN DAN AKTIFITAS ENZIM PENCERNAAN …
Transcript of MORFOLOGI ORGAN DAN AKTIFITAS ENZIM PENCERNAAN …
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
71
MORFOLOGI ORGAN DAN AKTIFITAS ENZIM PENCERNAAN
LARVA RAJUNGAN (Portunus pelagicus)
TRACT MORPHOLOGY AND ENZYME ACTIVITY DIGESTIVE OF BLUE
CRAB LARVA (Portunus pelagicus)
Andi Nikhlani*, Komsanah Sukarti
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan organ pencernaan sejalan dengan pertumbuhan larva, dan spesifik untuk
setiap spesies. Proses kimia pencernaan dalam larva rajungan dimulai pada segmen
lambung karena enzim pencernaan yang berperan dalam proses pencernaan kimia mulai
dihasilkan oleh kelenjar lambung.. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkembangan organ pencernaan dan aktivitas enzim pencernaan larva rajungan. Data
perkembangan organ pencernaan dan aktivitas enzim pencernaan disajikan dalam bentuk
gambar dianalisis secara deskriptif. Hasil yang diperoleh dapat menjadi referensi dalam
menentukan pencapaian fase definitif organ pencernaan. Berdasarkan studi histologis,
organ pencernaan larva rajungan mulai berkembang ke tahap definitif pada hari 5 dan
mencapai kesempurnaan pada hari ke -13 dan aktivitas enzim amilase dari organ
pencernaan larva rajungan meningkat pada hari -5, demikian juga aktivitas enzim lipase
dan pepsin.
Kata Kunci: saluran pencernaan, enzim pencernaan, fase definitif, larva rajungan
ABSTRACT
The development of the digestive organs in line with the growth of the larvae, and specific
to each spesies. Chemical process of digestion in the swimming crab’s larva begins at the
gastric segment because digestive enzymes that play a role in the process of chemical
digestion begin generated by the gastric glands. Digestion is further refined in the midgut.
This study was to determine the development of the digestive organs and the
gastrointestinal organs definitive phase of crab larvae in the digestive organs morfologi and
determine the activity of digestive enzymes of blue crab larvae. Data histology obtained is
presented in the form of images were analyzed descriptively. The results obtained by a
reference in determining the achievement of a definitive phase of the digestive organs.
Based on histological studies, crab larvae digestive organ began to evolve into the
definitive phase on day 5 and reaches perfection when the 13-day-old larvae and that the
activity of the amylase enzymes from digestive blue crab larva increased on day -5, as well
as the activity of lipase and pepsin.
Keywords: tract digestive, digestive enzyme, definitive fase, blue crab larva
PENDAHULUAN
Pencernaan adalah proses penyederhanaan
makanan melalui mekanisme fisik dan
kimiawi sehingga makanan menjadi bahan
yang sederhana dan melarut yang dengan
mudah dapat diserap dan diedarkan keseluruh
tubuh melalui sistem peredaran darah
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
72
(Fujaya, 1999). Sistem pencernaan erat
kaitannya dengan organ pencernaan yang
terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar
pencernaan.
Pada umumnya saluran pencernaan meliputi
mulut, rongga mulut, esophagus, lambung,
usus, dan anus, sedangkan kelenjar
pencernaan meliputi hepatopankreas yang
berlokasi pada 2 sisi dari organ pencernaan
(Affandi dkk., 2009). Pencernaan secara fisik
atau mekanik dimulai pada bagian rongga
mulut, yaitu berperannya gigi pada proses
pemotongan dan penggerusan makanan.
Pencernaan secara mekanik ini dilanjutkan
pada segmen lambung dan usus yaitu dengan
adanya gerakan-gerakan (kontraksi) otot pada
segmen tersebut.Pencernaan secara mekanik
pada segmen lambung dan usus terjadi lebih
efektif karena adanya enzim pencernaan
(Fujaya, 1999). Proses pencernaan secara
kimiawi dimulai dibagian lambung. Hal ini
dikarenakan enzim pencernaan yang berperan
dalam proses pencernaan secara kimiawi
mulai dihasilkan oleh kelenjar lambung.
Pencernaan ini selanjutnya disempurnakan
pada segmen usus (Affandi dkk., 2009).
Seperti halnya hewan air lain, proses
pencernaan berlangsung sempurna apabila
organ pencernaan sudah berada pada fase
definitif. Larva krustase stadia awal
umumnya sangat kecil, belum berkembang
dengan sistem pencernaan belum berfungsi
penuh. Kebanyakan larva stadia awal juga
kekurangan enzim yang diperlukan untuk
mencerna partikel pakan dan bergantung
pada enzim yang terdapat dalam pakan alami
untuk membantu pencernaan (Kumlu, 1999).
Oleh karena itu, penggantian total pakan
alami secara umum bukan pilihan yang layak
untuk larva karnivora stadia awal.
Penelitian mengenai perkembangan organ
dan aktifitas enzim pencernaan larva
berbagai macam organisme perairan telah
banyak dilakukan. Penelitian tentang
morfologi dan histologi Palaemonetes
argentines (Sousa dan Patriella, 2006),
perkembangan saluran pencernaan Scylla
olivacea (Jantrarotai dkk., 2005), morfologi
dan histologi larva ikan bandeng (Haryati,
2002). Perkembangan enzim pencernaan
amilase, tripsin, leusin aminopeptidase pada
larva Scylla serrata (Serrano dan Traifalgar,
2012), aktivitas enzim pencernaan larva S.
serrata, khususnya enzim amilase dan
protease (Serrano, 2012), perkembangan
enzim protease, amilase, selulosa dan lipase
pada larva S.serrata (Holme dkk., 2008).
Kumlu (1997) juga melakukan penelitian
mengenai aktivitas enzim pencernaan
khususnya enzim protease, tripsin, kitinase,
chymotripsin, elastase, maltase, esterase, dan
amilase pada beberapa larva krustase, Wang
(2007) untuk enzim amilase, protease, lipase
dan selulosa pada larva Penaeus vannamei,
Pavasovic dkk. (2004) untuk enzim protease,
amilase, selulosa, dan silanase pada larva S.
serrata. Saborowski dkk. (2006) untuk enzim
proteinase, tripsin, chymotrypsin, alanin
aminopeptidase pada larva Southern king
crab Lithodes santolla, Johnston dan
Freeman (2005) untuk enzim protease,
tripsin, amilase, glukosinase, kitinase,
selulosa, dan laminarinase pada beberapa
larva kepiting. Pavasovic dkk.(2004) untuk
enzim lipase, protease, dan selulosa pada
larva redclaw crayfish Cherax
quadricarinatus.
Hasil penelitian yang didapatkan
menunjukkan bahwa perkembangan organ
pencernaan dan aktivitas enzim pencernaan
mempunyai waktu yang berbeda untuk setiap
larva organism Oleh karena itu, informasi
tentang perkembangan organ pencernaan
larva rajungan selama stadia ontogenesis
sangat menentukan pengembangan strategi
pemberian pakan.Dengan demikian perlu
dilakukan penelitian dan pengamatan
mengenai perkembangan organ pencernaan
larva rajungan sebagai salah satu acuan
dalam menentukan jadwal pemberian pakan.
.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di BBU Manggar,
Balikpapan. Pembuatan pakan dan analisis
beberapa peubah dilakukan di Laboratorium
Nutrisi dan Manajemen Pakan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Mulawarman, Samarinda, dan Laboratorium
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau, Maros.
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
73
Pemeliharaan Larva
Larva yang baru menetas dipelihara pada
bak berkapasitas 5 ton berjumlah 2 buah.
Pemberian pakan alami berupa Brachionus
diberikan pada larva umur 2-10 hari dengan
kepadatan 10 individu/mL, kemudian
ditingkatkan menjadi 20 individu/mL pada
larva umur 11-21 hari, sedangkan Artemia
diberikan saat larva umur 5 hari sampai akhir
penelitian sebanyak 1-5 individu/mL. Pakan
buatan diberikan setelah larva berumur 13
hari dengan metode pemberian pakan secara
adlibitum (pengenyangan). Kepadatan
Brachionus dan nauplii Artemia dikontrol
setiap 2 kali sehari yaitu pada pukul 07.00
dan 17.00. Jika jumlah Brachionus dan
nauplii Artemia dalam media sudah
berkurang maka akan ditambahkan supaya
tetap konstan sepanjang percobaan
(Aslamyah, 2006)
Pengambilan sampel larva dilakukan pada
pagi hari sebelum pemberian pakan
dilakukan. Pergantian air dalam wadah
pemeliharaan larva dimulai saat stadia zoea-2
sebanyak 10% per hari, kemudian
ditingkatkan saat megalopa menjadi 20-50%
per hari.
Hewan Uji
Larva yang digunakan berasal dari induk
rajungan yang berukuran 173±8,5 g/individu
dengan lebar dan panjang karapas berturut-
turut 12,50±3,5 cm dan 6,7±2,7cm. Larva
tersebut diseleksi dan larva yang berkualitas
baik dengan tanda-tanda ukuran larva >65
mm dan tertarik pada cahaya dipisahkan.
Media dan Wadah Pemeliharaan
Air yang digunakan dalam pemeliharaan
larva berupa air laut. Salinitas air media yang
digunakan sebesar 29-33 ppt; pH air sekitar
6,5-7,5 dengan suhu 26-33oC, dan oksigen
terlarut 5-6 mg/L, dan dilengkapi dengan
peralatan aerasi. Sebelum digunakan, media
pemeliharaan terlebih dahulu disterilkan
dengan menggunakan khlorin 150 ppm
kemudian dinetralisir dengan natrium
thiosulfat(Na2S2O3) 25 ppm dan diaerasi
selama 24 jam. Pengukuran oksigen terlarut
dan pH dilakukan 2 hari sekali masing-
masing dengan menggunakan alat ukur DO
meter dan pH meter sedangkan pengukuran
suhu dan salinitas dilakukan setiap hari
dengan menggunakan handrefraktometer
(ketelitian 0,1 ppt) dan termometer batang
(ketelitian 0,1oC).
Sebelum digunakan, wadah dan peralatan
yang digunakan untuk pemeliharaan larva
terlebih dahulu disucihamakan dengan
menggunakan kaporit dan dinetralkan
dengan larutan natrium thiosulfat
Pakan yang Digunakan
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pakan alami berupa Brachionussp dan
nauplii Artemia, dan pakan buatan komersil
yang terdiri dari 3 jenis yaitu Japonicus 0 (J0)
diberikan untuk larva stadia zoea-1 dan zoea-
2, Japonicus 1 (J1) diberikan untuk larva
stadia zoea-3, Japonicus 2 (J2) untuk larva
stadia zoea-4 dan Flake untuk stadia
megalopa.
Pengamatan Parameter
a. Histologi Organ Pencernaan
Pengamatan terhadap organ pencernaan
secara histologi dilakukan untuk
menganalisis perkembangan morfologi organ
pencernaan yang meliputi lambung, usus dan
hepatopankreas serta untuk menentukan fase
definitif dari organ tersebut.
Pengamatan ini dilakukan mulai hari pertama
setiap 2 hari sekali yaitu pada hari ke-1, 3, 5,
7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, dan 21.
Sampel yang digunakan untuk membuat
preparat histologi adalah 10 ekor larva untuk
setiap waktu pengamatan.
b. Analisa Enzim Pencernaan
Pengamatan organ pencernaan secara
kimiawi dilakukan dengan mengamati
aktivitas enzim pencernaan, meliputi
aktivitas enzim amilase, lipase dan protease
(pepsin dan tripsin).
Uji Aktivitas Enzim Pencernaan
Pengujian aktivitas enzim α-amilase
mengikuti metode Barnfield (1955),
pengukuran aktivitas lipase mengikuti
metode Tietsz dan Friedreck dalam
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
74
Borlongan (1990), sedangkan pengukuran
aktivitas protease (pepsin dan tripsin)
mengikuti metode Walford dan Lam (1993).
Perubahan Relatif Aktivitas Enzim
Perubahan relatif pada masing-masing enzim
dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
PR(%) = [At-(At-1)]/At-1 x 100
Dimana :
PR = Perubahan relatif
At = Aktivitas enzim pada saat t
At-1 = Aktivitas enzim pada saat
t-1 (aktivitas enzim
sebelum t)
Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk
gambar dan histogram. Data perkembangan
organ pencernaan secara histology dan
analisa enzim pencernaan disajikan dalam
bentuk gambar dan grafik dan dianalisis
secara deskriptif. Hasil yang diperoleh
menjadi acuan dalam menentukan
tercapainya fase definitif organ pencernaan.
Fase definitif tercapai pada saat saluran dan
kelenjar pencernaan sudah tampak dan
terletak pada posisinya (Boulhic dan
Gabaudan, 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan organ pencernaan larva
rajungan mulai hari ke-1 sampai hari ke-21
hari disajikan pada Gambar 1 - 11.
Gambar 1. Potongan melintang, histologi
organ pencernaan larva rajungan hari ke-1.
L=Lambung U=Usus, Vi=Vili, H =
Hepatopankreas
Secara histologi, hasil pengamatan
perkembangan organ pencernaan larva
rajungan pada hari ke-1 (Gambar 1)
memperlihatkan bagian-bagian organ
pencernaan (usus, lambung dan
hepatopankreas) larva rajungan sudah mulai
nampak, meskipun masing-masing organ
tersebut masih menyatu. Begitu pula dengan
kelenjar pencernaan seperti hepatopankreas
masih menyebar disekitar bagian luar usus
dan vili-vili belum terbentuk masih
menyerupai benjolan-benjolan yang tidak
beraturan pada bagian dalam dinding usus.
Gambar 2.Potongan melintang, histologi
organ pencernaan larva rajungan hari ke-
3.L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas
Pada Gambar 2, organ pencernaan larva
rajungan sudah dapat dibedakan antara
lambung, usus, dan hepatopankreas.
Lambung dan usus sudah mulai terbentuk
dengan jelas, walaupun lapisan luar usus
masih tipis, tetapi sudah dapat dibedakan
dengan organ lain. Pada pengamatan ini
sudah nampak adanya vili pada usus yang
menyerupai serabut walaupun masih tipis.
Hepatopankreas menyebar, dengan sel-sel
yang masih jarang. Jika dibandingkan antara
perkembangan organ pencernaan hari ke-1
dan ke-3, jelas terlihat bahwa ukuran
lambung lebih besar, walaupun batasan
lambung tersebut masih tipis, demikian juga
luasan hepatopankreas pada hari ke-3 lebih
besar jika dibandingkan hari ke-1 walaupun
sel-sel epitelnya masih kecil dan belum rapat
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
75
atau belum menyatu, dengan warna yang
masih terang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Jantrarotai dkk.(2005) yang menyatakan
bahwa hepatopankreas, lambung, dan usus
pada larva rajungan berkembang mulai dari
tahap awal zoea sampai tahap-tahap
selanjutnya.Meskipun pada umur tersebut
larva belum mengambil makanan dari luar,
tapi terlihat bahwa organ pencernaan
berkembang seiring dengan bertambahnya
umur larva.
Gambar 3. Potongan melintang,
histologi organ pencernaan larva rajungan
hari ke-5. L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas,
Pada Gambar 3, organ pencernaan larva
rajungan hari ke-5 sudah mulai
berdiferensiasi. Hal ini terlihat dengan
adanya perkembangan lambung yang
berbentuk seperti ruangan, dengan batas yang
sudah jelas, namun masih berada pada proses
perkembangan. Demikian juga usus serta
perkembangan vili yang menyerupai serabut
dimana pada ujungnya sudah mulai terbentuk
menyerupai lipatan-lipatan tali, meskipun
belum begitu jelas. Hepatopankreas
menyebar menutupi sebagian organ
pencernaan, warna lebih gelap. Sel-sel epitel
semakin bertambah, walaupun pada bagian-
bagian tertentu masih jarang (belum rapat).
Gambar 4. Potongan melintang, histologi
organ pencernaan larva rajungan hari ke-7.
L=Lambung, U=Usus Vi=Vili,
H=Hepatopankreas
Pada larva hari ke-7 (Gambar 4) organ
pencernaan sudah mulai definitif/sempurna
walaupun pada gambar diatas lambung tidak
nampak dengan jelas, tetapi usus terlihat
semakin berkembang. Perkembangan
hepatopankreas pada hari ke-7 semakin
tampak nyata, hal ini dapat dilihat dengan
hepatopankreas yang semakin menyebar,
dimana warna sel-sel epitelnya yang semakin
gelap.
Gambar 5 dan 6. Potongan
memanjang, histologi organ pencernaan larva
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
76
rajungan hari ke-9 dan 11. L=Lambung,
U=Usus, Vi=Vili, H=Hepatopankreas.
Pada larva hari ke-9 (Gambar 5) dan ke-11
(Gambar 6), lambung, usus, dan
hepatopankreas dapat dibedakan dengan
jelas. Bagian luar lambung dikelilingi oleh
hepatopankreas.Usus mengalami
perkembangan dengan semakin jelasnya vili
yang memenuhi seluruh permukaan bagian
dalam usus.Seperti yang dilaporkan Kuzmina
(1996) bahwa semakin tinggi vili
menunjukkan adanya pelipatgandaan luas
permukaan usus. Meningkatnya luas
permukaan usus maka : 1) semakin banyak
jumlah sel penghasil enzim, dan 2) daerah
penyerapan makanan juga semakin luas, yang
berarti meningkatnya kemampuan untuk
menyerap nutrien hasil pencernaan.
Hepatopankreas menyebar dan terlihat jelas
pada setiap dinding bagian luar masing-
masing organ pencernaan dan selnya pun
sudah terlihat rapat (padat) dan besar
Gambar 7. Potongan memanjang,
histologi organ pencernaan larva rajungan
hari ke-13. L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas
Perkembangan organ pencernaan larva pada
larva hari ke-13 (Gambar 7) terlihat sudah
mengalami peningkatan yang sangat besar
menuju bentuk yang lebih definitif.Lambung
bertambah jelas jika dibandingkan pada hari
sebelumnya, demikian juga usus dan
hepatopankreas yang semakin menyebar dan
semakin rapat.
Gambar 8. Potongan memanjang,
histologi organ pencernaan larva rajungan
hari ke-15. L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas
Organ pencernaan pada larva hari ke-15
(Gambar 8) sudah berkembang sempurna,
ditandai dengan perkembangan semakin
menyebarnya vili pada seluruh bagian dalam
usus, lambung tampak jelas dengan bentuk
yang menyerupai sebuah ruangan, batas
antara lambung dengan organ lain kelihatan
sangat jelas. Hepatopankreas menyebar
dimana sel-sel epitel semakin banyak dengan
warna yang lebih gelap.
Gambar 9. Histologi organ pencernaan
larva rajungan hari ke-17. L=Lambung,
U=Usus, Vi=Vili, H=Hepatopankreas,
gf=gland filter, ps=pyloric stomach
Gambar 10. Potongan memanjang, histologi
organ pencernaan larva rajungan hari ke-19.
L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas
Pada hari ke-17 (Gambar 9), perkembangan
vili dalam usus semakin meningkat, ditandai
dengan semakin gelap, semakin jelas dan
semakin banyaknya serabut yang menyebar
pada bagian dalam permukaan usus.
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
77
Semakin banyaknya serabut menunjukkan
semakin luas daerah penyerapan nutrisi
dalam usus, sehingga meningkatkan
kemampuan larva untuk menyerap nutrien
hasil pencernaan.Lambung terlihat semakin
membesar, begitu pula dengan
perkembangan hepatopankreas terlihat jelas,
ditandai dengan semakin jelasnya bagian-
bagian sel epitel.dan semakin rapat antar sel
tersebut.
Pada hari ke-19 (Gambar 10), Semua organ
pencernaan sudah sempurna, baik bentuknya
maupun posisinya ke fase definitif. Ukuran
lambung bertambah besar. Pada saat larva
berumur 19 hari, vili memenuhi bagian
dalam usus.Serabut pada permukaan usus
bagian dalam semakin banyak Semakin
banyak serabut, semakin banyak jumlah sel
penghasil enzim.Sel-sel hepatopankreas
semakin bertambah besar dan padat dengan
meningkatnya umur.
Gambar 11. Potongan memanjang,
histologi organ pencernaan larva rajungan
hari ke-21. L=Lambung, U=Usus, Vi=Vili,
H=Hepatopankreas, gf=gland filter,
ps=pyloric stomach, lu=lumen, B=sel B,
F=sel F, R=sel R.
Setelah larva berumur 21 hari (Gambar 11),
perkembangan semua organ pencernaan
maupun sel pencernaan sudah mencapai
bentuk definitif. Seperti halnya penelitian
yang telah dilakukan oleh Jantarotai dkk.
(2005) terhadap Scylla serrata, organ
pencernaan larva rajungan juga terdiri dari 3
bagian yaitu foregut, midgut, dan hindgut.
Foregut terdiri dari mulut, osephagus dan
lambung. Midgut terdiri dari usus dan
hepatopankreas, sedangkan hindgut adalah
perpanjangan dari usus menuju ke anus.
Lambung berbentuk sebuah ruang, dimana
ukurannya dipengaruhi oleh tahap umur larva.
Usus berbentuk melingkar dan
hepatopankreas berwarna gelap dengan sel-sel
epitel yang semakin bertambah, semakin
banyak dengan ukuran yang semakin besar.
Berdasarkan pengamatan perkembangan
organ pencernaan, terlihat keterkaitan antara
perkembangan organ pencernaan dengan
dimulainya aktivitas makan. Hal ini berarti
bahwa ketika larva mulai mengambil makanan
dari luar, maka organ pencernaan diperkirakan
sudah mulai berfungsi walaupun dengan
kondisi yang sangat terbatas, dan walaupun
organ pencernaan berfungsi secara terbatas,
enzim yang dibutuhkan untuk mencerna
makanan berasal dari luar yakni berasal dari
makanan yang dikonsumsinya. Affandi dkk.
(2009) melaporkan bahwa sekresi enzim
pencernaan terkait dengan perkembangan
organ penghasil cairan digestif yang berada
pada saluran pencernaan maupun yang berada
di luar saluran, oleh karena itu ketika organ
penghasil cairan digestif (enzim) masih dalam
proses perkembangan maka sekresi cairan
digestif termasuk di dalamnya enzim
pencernaan akan terbatas baik jenis maupun
jumlahnya.
Organ pencernaan larva rajungan sudah
kelihatan jelas sejak larva berumur 1 hari.
Walaupun batas antar organ pencernaan masih
tipis, tapi sudah dapat dibedakan antara usus,
lambung, dan adanya hepatopankreas.
Berbeda dengan organ pencernaan larva
bandeng, dimana larva pada hari ke-5
memiliki saluran pencernaan yang masih
sederhana, berbentuk tabung lurus, tanpa
tonjolan-tonjolan (vili), dan batas antar
segmen saluran pencernaan belum tampak
(Haryati, 2002).
Pada hari ke-5, dimana larva rajungan sudah
memasuki stadia zoea-2, organ pencernaannya
sudah nampak berdiferensiasi menuju fase
definitif. Perbedaan antara usus, lambung, dan
hepatopankreas sudah semakin nyata. Usus
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
78
larva rajungan dipenuhi vili yang menyerupai
serabut pada permukaan bagian dalam, Usus
berbentuk tabung, dan agak melingkar jika
berada pada posisi melintang. Lambung yang
merupakan sebuah ruangan tempat
menampung makanan tampak jelas
berkembang, ukuran lambung berkaitan
dengan umur larva. Hepatopankreas, dengan
sel epitel yang berbentuk kubus dan silinder
yang semakin jelas, dan bertambah banyak
dengan warna yang lebih gelap. Satu tipe sel
epitel berpengaruh dan meluas dari basal
lamina sampai ke lumen (Gambar 10 dan
Gambar 11).
Analisa histologi organ pencernaan larva
rajungan pada setiap stadia, memperlihatkan
bahwa organ pencernaan larva rajungan
berkembang sangat baik sejak berumur 5 hari
yaitu pada saat larva berada pada stadia zoea-
2, dan definitif saat larva berumur 13 hari,
yaitu pada stadia zoea-4.
Pada hari ke-13, 15, 17, 19 dan 21, Pyloric
stomach dan gland filter pada lambung
kelihatan dengan jelas. Pyloric stomach
adalah lapisan columnar ephitelium
sederhana.Gland filter atau gastric sieve
terdapat pada bagian ventral pyloric stomach.
Gland filterdibagi atas dua bagian. Setiap
bagian dari gland filter berbentuk persegi
panjang, pipih dan terdiri dari deretan setae
yang berfungsi menyaring partikel makanan
sebelum masuk ke saluran usus. Vili-vili
pada usus semakin besar dan banyak, dan
jelas, sementara luasan hepatopankreas dan
ukuran sel-selnya semakin besar . Hal ini
menunjukkan bahwa bertambahnya umur
larva, maka perkembangan organ pencernaan
juga semakin berkembang hingga mencapai
pada fase definitif.
Pada hari ke-17,19, dan 21 bagian-bagian sel
epitel hepatopankreas sudah kelihatan jelas
dengan pembesaran 200x. Bagian-bagian sel
epitel tersebut seperti sel B, sel F dan sel R.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pavasovic
(2004), yang menyatakan bahwa
hepatopankreas mempunyai 4 tipe sel, yaitu E-
cells (Embryonalzellen), R-cells (Restzellen),
F-cells (Fibrezellen), dan B-cells
(Blasenzellen). E-cells adalah apikal sel
terdapat pada setiap saluran hepatopankreas
dan menghasilkan R-cells dan F-cells. Fungsi
utama dari R-cells (absortif sel) adalah sebagai
tempat penyimpanan. Setiap sel mempunyai
mikrovili tersusun padat untuk efisiensi
absorpsi. Sel mature mengandung lipid droplet
(akumulasi), partikel glikogen (akumulasi). F-
cells atau Fibrillar cells mempunyai mikrovilli
yang sama dengan R-cells yang juga berfungsi
dalam proses absorpsi. Sel ini menghasilkan
dan mensintesis enzim pencernaan. B-cells
(vacuolar cells) mempunyai dua fungsi utama
yaitu : mencerna nutrien yang diabsorpsi dan
membuang zat-zat yang tidak dapat larut.
Ukuran sel epitel menunjukkan status fungsi
fisiologis.Selain mensekresikan garam
empedu, sel-sel epitel mempunyai peran
dalam metabolisme protein, lemak, dan
karbohidrat (Takashima dan Hibiya 1995).
Pada permukaan sel yang berbatasan dengan
kapiler darah dan saluran empedu (bile duct)
terdapat mikrofilli, hal ini menunjukkan
bahwa sel epitel merupakan sel yang aktif
(Affandi dkk., 2009).
Pemberian pakan buatan pada waktu yang
tidak tepat, akan mempengaruhi
perkembangan organ hati. Terganggunya
perkembangan sel epitel akan berdampak
pada pertumbuhan organ secara keseluruhan.
Hal ini terjadi karena, organ hati diibaratkan
sebuah pos persinggahan dan gudang
pendistribusian nutrien ke seluruh bagian
tubuh (Takashima dan Hibiya, 1995).
Secara umum hepatopankreas berfungsi
sebagai tempat metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein serta tempat memproduksi
cairan empedu. Karbohidrat yang dikonsumsi
oleh larva akan dicerna di dalam saluran
pencernaan hingga menjadi bahan yang
sederhana, yaitu glukosa. Glukosa ini akan
diserap oleh dinding usus dan kemudian
masuk ke dalam darah (Jantrarotai dkk.,
2005). Selanjutnya dikatakan bahwa zat
makanan yang telah diserap oleh sel epitel
akan masuk ke dalam sistem sirkulasi dan
akan dibawa menuju organ hati (hepatik).
Pada organ hati nutrien hasil serapan tersebut
bila berlebih akan disimpan dalam bentuk
glikogen, butiran lemak, atau organel sel
lainnya. Sementara Affandi dkk. (2009)
melaporkan bahwa hati dan pankreas
merupakan kelenjar pencernaan yang
mensekresikan bahan yang digunakan dalam
proses pencernaan makanan. Bahan dari hasil
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
79
sekresi kedua organ tersebut akan masuk ke
usus depan melalui saluran ”ductus
choledochus” dan saluran ”ductus
pancreaticus” dengan adanya hubungan antara
kelenjar pencernaan dan usus depan, letak
kedua kelenjar tersebut berada di sekitar usus
depan dan lambung.
Aktifitas Enzim Pencernaan Larva
Rajungan
Aktivitas enzim dan perubahan relatif enzim
amilase, lipase, tripsin dan pepsin larva
rajungan hari ke-1 sampai hari ke-21
disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Aktivitas enzim amilase (a),
lipase (b), tripsin (c), pepsin (d) dan
Perubahan relatif aktivitas enzim amilase
(a1), lipase (b1), tripsin (c1) dan pepsin (d1)
larva rajungan
Pada pengukuran hari ke-1, aktivitas enzim
amilase diperoleh sebesar 0,021 u/mL/menit.
Pada hari ke-3 mengalami sedikit penurunan
sebesar 4,76% sehingga diperoleh aktivitas
enzim 0,02 u/mL/menit. Terjadinya
penurunan tersebut disebabkan karena
ketersediaan kuning telur sebagai makanan
cadangan larva sudah mulai habis, dengan
demikian pada kondisi tersebut larva mulai
membutuhkan makanan dari luar untuk
pertumbuhan, sehingga pada fase ini dikenal
dengan fase kritis. Pada hari ke-5 dan ke-7,
perubahan aktivitas enzim amilase
mengalami perubahan peningkatan sebesar
60% dan 3,2%, sehingga diperoleh aktivitas
0,032 dan 0,033 u/ml/menit. Terjadinya
peningkatan ini disebabkan karena
ketersediaan makanan alami dalam wadah
cukup, sehingga larva dengan mudah
mendapatkan makanan, dan substrat pada
masing-masing enzim pencernaan cukup
tersedia dalam organ pencernaan.Tinggi
rendahnya aktivitas enzim sangat ditentukan
oleh ketersediaan substrat. Pada hari ke-9,
ternyata perubahan aktivitas enzim amilase
menurun 3,03% hingga enzim tersebut
mencapai 0.032 u/mL/menit. Pada hari ke-11,
dimana larva rajungan sudah mulai
memasuki stadia akhir zoea 3 terjadi
perubahan peningkatan aktivitas enzim
amilase yang tinggi sebesar 146%, hingga
aktivitas enzim tersebut mencapai 0,079
u/mL/menit. Pada hari ke-15, aktivitas enzim
pencernaan mengalami peningkatan dan tetap
stabil hingga pada hari ke-17. Sampai akhir
masa penelitian, walaupun aktivitas enzim
tersebut mengalami penurunan, tapi tidak
dalam jumlah yang besar (Gambar 12a dan
12a1).
Pada awal kehidupan larva, aktivitas enzim
amilase dan pepsin tampak sangat rendah.
Hal ini disebabkan karena walaupun pada
umur tersebut organ penghasil enzim sudah
terbentuk namun organ tersebut masih sangat
sederhana, dan larva belum mengkonsumsi
pakan dari luar. Aktivitas enzim amilase
yang rendah pada tahap awal larva
mengindikasikan bahwa larva rajungan
bersifat karnivora (Serrano dan Traifalgar,
2012). Pada hari ke-11, secara signifikan
terjadi peningkatan aktivitas enzim amilase.
Peningkatan ini terjadi sampai hari ke-17,
setelah itu menurun pada hari ke-19. Hal ini
diduga disebabkan karena pada hari ke-11,
organ pencernaan larva sudah berada pada
fase definitif sehingga sudah mampu
menghasilkan enzim pencernaan yang sangat
penting untuk mencerna pakan yang
diberikan. Serrano dan Traifalgar (2012),
menyatakan bahwa penurunan aktivitas
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
80
enzim pada stadia menjelang crab penting
untuk mendukung perubahan kebiasaan
makan larva dari karnivora menjadi
omnivora. Menurunnya aktivitas enzim
amilase pada hari ke-19 menandakan bahwa
pada tahap tersebut larva sudah bersifat
omnivora. Model yang sama juga telah
diteliti pada larva freshwater prawn, dimana
memperlihatkan aktivitas amilase yang
sangat rendah pada tahap awal tapi
meningkat sangat tajam tahap 7-11
(Kamaruddin dkk., 1991), demikian juga
pada larva P.serratus (Van Wormhoudt,
1980).
Tingginya aktivitas enzim amilase pada larva
rajungan hari ke-11 mempertegas bahwa
larva tersebut mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk memanfaatkan karbohidrat pada
stadia larva. Hal ini berhubungan dengan
kebiasaan makan selama siklus hidup
rajungan. Menurut Maheswarudu dkk. (2008),
rajungan bersifat karnivora pada stadia larva,
dan pengaturan waktu perkembangan enzim
pencernaan menunjukkan pentingnya
karbohidrat yang tinggi selama awal periode
pemberian makan larva rajungan.
Pengamatan aktivitas enzim pencernaan
lipase pada hari ke-1 diperoleh sebesar 0,087
u/mL/menit. Setelah hari ke-3 mengalami
penurunan sebesar 1,15% hingga mencapai
0,086 u/mL/menit. Pada hari ke-5 dan ke-7
aktivitas enzim lipase mengalami
peningkatan lagi sebanyak 4,65% dan 1,11%
hingga mencapai aktivitas sebesar 0,090 dan
0,091 u/ml/menit. Penurunan dan
peningkatan aktivitas enzim lipase terjadi
selama penelitian.Aktivitas enzim ini
mengalami peningkatan secara kontinyu
sejalan dengan bertambahnya umur larva.
Perubahan relatif aktivitas enzim lipase
nampak mengalami penurunan pada hari ke-
3, hari ke-9, hari ke-11 dan hari ke-19.
(Gambar 12b dan 12b1)
Berbeda dengan aktivitas amilase yang rendah
pada tahap awal kehidupan larva, aktivitas
lipase dan tripsin pada umur tersebut cukup
tinggi. Aktivitas enzim lipase ditemukan
tinggi pada hari ke-1 setelah penetasan, dan
sejak hari ke-1 sampai hari ke-21 aktivitas
enzim lipase cenderung terus menerus
mengalami peningkatan. Menurut Affandi
dkk. (2009), sejak awal fase larva,
pemanfaatan lemak sebagai sumber energi
telah berlangsung, terutama ketika larva
belum mengambil pakan dari luar. Watanabe
(1986) menyatakan bahwa larva hari ke-1
masih menggunakan kuning telur sebagai
sumber energi dan kuning telur terserap
sempurna setelah umur 3 hari. Aktivitas lipase
yang tinggi pada awal stadia larva juga
terdeteksi antara lain pada udang galah
Macrobrachium rosenbergii (Kamaruddin
dkk., 1991).
Pengamatan aktivitas enzim pencernaan
tripsin larva rajungan pada hari ke-1
diperoleh sebesar 0,09 u/mL/menit. Pada hari
ke-3 dan ke-5 menurun sebanyak 0,056 dan
0,03 u/mL/menit dengan perubahan relatif
enzim sebesar 37,77% dan 46,42%. Pada hari
ke-7 aktivitas enzim tripsin meningkat lagi
menjadi 0,035 u/ml/menit dengan perubahan
relatif enzim sebesar 16,66% hingga
mencapai peningkatan yang tinggi pada hari
ke-9 dengan aktivitas enzim sebesar 0,087
u/mL/menit, dan dengan perubahan relatif
148,57%. Perubahan relatif aktivitas enzim
tripsin terus menerus mengalami peningkatan
hingga mencapai aktivitas enzim sebesar
0,154 u/ml/menit dengan perubahan relatif
1,31% pada hari ke-21 (Gambar 12c dan
12c1).
Seperti larva krustase lainnya, aktivitas enzim
tripsin sudah terdeteksi pada larva stadia zoea-
1. Aktivitas enzim tripsin yang tinggi pada
saat larva baru menetas, disebabkan karena
enzim penetasan dari kelenjar penetasan
umumnya tipe tripsin (Serrano, 2012). Pada
udang air tawar, aktivitas enzim tripsin
menurun saat pemberian makanan pertama
dan cenderung menurun pada tahap
berikutnya (Kamaruddin dkk., 1991). Model
yang sama untuk spesies decapoda yang lain
carridian shrimp, H. americanus dan P.
elegans (Van Wormhoudt, 1980). Peningkatan
aktivitas tripsin sampai stadia crab
mengasumsikan perkembangan
hepatopankreas yang semakin sempurna.
Sama halnya dengan aktivitas enzim tripsin,
aktivitas enzim pepsin tinggi pada hari 1
yaitu sebesar 0,011 U/mL/menit, mengalami
peningkatan sampai hari ke-5 sebesar 0,032
U/mL/menit, menurun sampai hari ke-11,
dan perlahan-lahan meningkat kembali
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
81
sampai akhir masa percobaan yaitu pada hari
ke-21 dimana diperoleh aktivitas enzim
pepsin sebesar 0,04 U/ml/menit. Perubahan
relatif maksimum aktivitas enzim pepsin
terjadi pada larva rajungan hari ke-2 sebesar
154,5%, sedangkan perubahan relatif
terendah aktivitas enzim pepsin terjadi pada
larva rajungan hari ke-9 yaitu sebesar -
19,23% (Gambar 12d dan 12d1).
Kemampuan larva krustase menghasilkan
enzim pencernaan berhubungan dengan
perkembangan organ pencernaan, genetik,
dan pakan yang diberikan (Serrano dan
Traifalgar, 2012). Level aktivitas enzim
yang tinggi ditemukan pada larva penaeid
sesaat setelah menetas (Jones dkk., 1991) dan
pada larva S.paramamosain terutama
aktivitas protease, amilase, selulosa dan
lipase ditemukan bervariasi pada setiap tahap
perkembangan (Hong dkk., 1995).
Serrano dan Traifalgar (2012) juga
mengatakan bahwa efek interaksi antara
tahap perkembangan larva Scylla serrata dan
tipe pakan sangat berpengaruh terhadap
aktivitas enzim. Pemberian pakan alami pada
larva Scylla serrata menghasilkan aktivitas
enzim yang tinggi, sehingga pemberian
pakan alami pada stadia awal larva sangat
penting sebagai sumber enzim eksogeneus.
Pada umumnya, aktivitas enzim-enzim
tersebut terus meningkat dengan semakin
meningkatnya umur larva. Menurut Serrano
(2012), peningkatan aktivitas enzim tersebut
disebabkan oleh 2 faktor yaitu (1) semakin
sempurnanya organ penghasil enzim dan (2)
meningkatnya konsumsi pakan alami yang
merupakan sumber energi eksogen sejalan
dengan menyusutnya kuning telur telah
menyebabkan peningkatan konsumsi pakan.
Menurut Walford dan Lam (1993), pakan
alami yang dikonsumsi akan memberikan
kontribusi terhadap peningkatan aktivitas
enzim tersebut dalam saluran pencernaan.
Menurut Holme dkk.(2008), kemampuan
larva krustase menghasilkan enzim berkaitan
erat dengan perkembangan organ
pencernaan, pengertian tentang morfologi
pembentukan dan perubahan fisiologi organ
pencernaan termasuk kelenjar pencernaan
adalah hal yang sangat penting untuk
diketahui. Untuk Scylla serrata, perubahan
morfologi larva stadia zoea-3 ke zoea-4
ditandai dengan peningkatan jumlah segmen
abdomen dari 5 menjadi 6 yang berarti
gastric mill dari sistem pencernaan mulai
berkembang, dan hepatopankreas sudah
mulai berfungsi.
Menurut Sarasquete dkk. (1995), pada stadia
telur dan awal larva, dengan organ sekresi
belum berkembang enzim yang berperan
adalah enzim protein, karbohidrat dan lipid
pada oosit yang masak ditemukan di dalam
telur dan kantong kuning telur dari larva yang
baru menetas. Selanjutnya Anggoro (1992)
bahwa kuning telur merupakan satu-satunya
sumber energi bagi perkembangan embrio.
Karena pada umur tersebut organ masih dalam
perkembangan, setelah fase tersebut maka
dibutuhkan enzim dari luar yang berasal dari
pakan alami. Dikatakan juga bahwa pada
umur 1-3 hari, cadangan lemak yang terdapat
pada kantong kuning telur (yolk sac)
dihidrolisis dengan bantuan enzim lipase
untuk menghasilkan energi bebas. Stadia
embrionik dimulai dari akhir fertilisasi sampai
mulai mengambil pakan dari luar (Verreth
dkk., 1992).
Komponen utama dari kuning telur adalah
lipoglikoprotein yang sangat padat yang
disebut lipovitelin yang mengandung 35%
(atau lebih) lipid, dan sisanya terdiri dari
karbohidrat, protein dan posfor (Anggoro,
1992). Pada stadia awal larva, dengan organ
sekresi yang belum berkembang, enzim yang
berperan adalah enzim yang terikat pada
membran maupun yang terdapat pada
sitoplasma.
Tingginya aktivitas enzim tripsin dan lipase
pada fase exogenous dibandingkan dengan
aktivitas enzim α-amilase dan aktivitas enzim
pepsin, disebabkan karena kandungan nutrisi
pakan alami yang diberikan yaitu rotifera,
seperti yang dilaporkan Haryati (2002) bahwa
komposisi nutrisi rotifera dimana protein
54,32%; lemak 11,86%; dan abu 1,01%.
Sedangkan komposisi nutrisi naupli artemia
yang dilaporkan oleh Watanabe (1988) yaitu:
protein 55,27 %; lemak 16,02% dan abu
7,20%.
Keempat jenis enzim amilase, tripsin, pepsin
dan lipase dari hasil analisis masing-masing
mengalami peningkatan seiring dengan
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
82
bertambahnya umur dan perkembangan organ
pencernaan pada larva. Walford dan Lam
(1993) menyatakan bahwa pakan alami yang
dikonsumsi akan memberikan kontribusi
terhadap peningkatan aktivitas enzim tersebut
di dalam saluran pencernaan.
Peningkatan relatif terbesar aktivitas enzim
amilase dan lipase terjadi pada saat larva
rajungan hari ke-11 dan ke-5. Pada enzim
tripsin, peningkatan relatif terbesar terjadi
pada saat larva berumur 9 hari sedangkan
enzim pepsin terjadi pada saat larva berumur 3
hari. Terjadinya peningkatan relatif terbesar
aktivitas enzim amilase, lipase, tripsin dan
pepsin pada umur tersebut selain adanya
kontribusi enzim eksogen yang berasal dari
pakan, juga karena enzim endogen sudah
mulai disekresikan. Hal ini sesuai hasil
pengamatan histologi dimana pada saat larva
rajungan berumur 13 hari, hepatopankreas,
salah satu organ yang mensekresikan enzim-
enzim tersebut sudah berada pada tahap
definitif.
Enzim-enzim tersebut juga berasal dari
Brachionus yang merupakan pakan alami
larva, yang memberikan kontribusi terhadap
aktivitas enzim didalam saluran pencernaan.
Aktivitas enzim amilase, lipase, tripsin dan
pepsin pada Brachionus berturut-turut sebesar
0,0694+0,0134; 0,0537+0,0080;
0,0180+0,0020 dan 0,0192+0,0002 U enzim/g
Brachionus/menit (Haryati, 2002). Walford
dan Lam (1993) juga mendeteksi aktivitas
enzim tripsin dan pepsin pada Brachionus
berturut-turut sebesar 28,6 dan 2,7 U/mg
protein.
Peningkatan aktivitas enzim lipase dan tripsin
pada fase eksogeneus lebih besar bila
dibandingkan peningkatan aktivitas enzim
amilase dan pepsin pada setiap kelompok
umur. Hal ini disebabkan karena pengaruh
aktivitas enzim lipase dan protease kedua
pakan alami lebih tinggi dibandingkan
aktivitas amilase (Tabel 1). Sementara
kandungan lemak ke dua pakan alami yang
diberikan lebih juga tinggi walaupun lebih
rendah dari kandungan protein seperti yang
dilaporkan oleh Haryati (2002) bahwa lemak
rotifera yaitu 11,86%, sementara Watanabe
(1988) bahwa lemak naupli artemia yaitu
16,02%, lebih rendah dibandingkan dengan
kandungan protein. Meskipun demikian
peningkatan aktivitas enzim lipase seiring
dengan bertambahnya umur dan
perkembangan organ pencernaan sampai
mencapai penyempurnaan organ pencernaan.
seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti
sebelumnya seperti Haryati (2002) bahwa
dengan bertambahnya umur larva ikan, organ
tubuh termasuk alat pencernaan akan
mempengaruhi produksi enzim pencernaan
tersebut yang diproduksi oleh kelenjar yang
terdapat pada organ pencernaan seperti usus,
pankreas, lambung, dan dinding usus.
Peningkatan aktivitas enzim yang cukup tinggi
dapat dijadikan dasar untuk menentukan saat
pakan buatan mulai dapat digunakan. Hal ini
sesuai pendapat Gawlicka dkk. (2000)
menyatakan bahwa aktivitas enzim
pencernaan adalah suatu indikator yang baik
untuk menentukan kapasitas pencernaan,
ketika aktivitas tinggi dapat diindikasikan
secara fisiologis larva siap untuk memproses
pakan dari luar. Berdasarkan perkembangan
organ pencernaan dan aktivitas enzim
tersebut, pakan buatan sudah dapat diberikan
setelah larva rajungan berumur 5 hari.
Dengan demikian evaluasi terhadap aktivitas
enzim tampak bahwa ada keterkaitan antara
aktivitas enzim pencernaan dengan
perkembangan organ pencernaan. Pada saat
struktur anatomis dan histologi alat
pencernaan belum sempurna enzim endogen
yang disekresikan sangat sedikit, dengan
bertambahnya umur larva maka organ
pencernaan bertambah sempurna sehingga
mencapai definitif.
KESIMPULAN
1. Organ pencernaan larva rajungan sudah
terbentuk sejak hari 1 setelah penetasan
walaupun masih sangat sederhana.
2. Berdasarkan kajian histologis, organ
pencernaan larva rajungan mulai
berkembang ke fase definitif pada hari ke-5
dan mencapai kesempurnaan saat larva
berumur 13 hari.
3. Aktivitas enzim amilase meningkat pada
hari ke-5, demikian juga dengan aktivitas
enzim lipase dan pepsin. Walaupun
aktivitas enzim tripsin nampak menurun
pada hari ke-5,
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
83
4. Aktivitas enzim pencernaan larva
rajungan sudah berada pada fase
definitive pada hari ke 13 pemeliharaan
larva.
5. Pemberian pakan buatan 100% kepada
larva rajungan dapat diberikan pada saat
larva berumur 13 hari, dengan mengacu
pada kesempurnaan organ pencernaan
larva rajungan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R., D.S. Sjafei, M.F. Rahardjo dan
Sulistiono, 2009. Fisiologi Ikan,
Pencernaan dan Penyerapan
Makanan. IPB Press.
Anggoro, S. 1992. Efek osmotik berbagai
tingkat salinitas media terhadap daya
tetas telur dan vitalitas larva udang
windu, Penaeus monodon Fab.
Disertasi, Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aslamyah, S. (2006). Penggunaan mikroflora
saluran pencernaan sebagai probiotik
untuk meningkatkan pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan
bandeng (Chanos chanos Forsskal).
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Borlongan, T.G, 1990. Studies on the lipases
of milkfish Chanos chanos.
Aquaculture; 315-325.
Boulhic, M., and J. Gabaudan,
1992.Histology study of the
organogenesis of the digestive
system ang swim bladder of the
Dover sole, Solea solea (Linnaeus
1758). Aquaculture, 102; 373-396.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan, Dasar
Pengembangan Teknik Perikanan.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Gawlicka A., B. Parent, M.H. Horn, N. Ross,
I. Opstad, and O.J. Torrissen. 2000.
Activity of digestive enzymes in
yolk-sac larvae of atlantic halibut
(Hippoglossushippoglossus):
indication of readiness for first
feeding. Aquaculture 184:303-314.
Haryati. 2002. Respon larva ikan bandeng
(Chanos chanos Forskal) terhadap
pakan buatan dalam system
pembenihan. Disertasi. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Holme, M.H., C. Zeng, and P.C, Southgate.
2009. A review of recent progress
toward development of a formulated
microbound diet for mud crab, Scylla
serrata, larvae and their nutritional
requirements. Journal
Review.Australian Institute of
Marine Science, School of Marine &
Tropical Biology, James Cook
University, Townsville, Queensland
4811, Australia.
Hong, T., S. Li, W. Guizhong, and Q. Lin.
1995. The experimental studies on
the digestive enzyme activities in the
larvae of the mud crab Scylla serrata
(Forskal). J. Xiamen Univ. (Nat.Sci)
Xiamen Daxue Xuebao 34, 88 – 93.
Jantrarotai, P., N. Srakaew, and A.
Sawanyatiputi. 2005. Histological
study on the development system in
zoeal stage of mud crab (Scylla
olivacea). Nac.Sci (39):666-671.
Johnston, P.T., and C. Freeman. 2005. The
digestive physiology of herbivorous,
omnivorous, and carnivorous
crustacean larvae. A review.
Aquaculture 155:285-295.
Jones, D.A., M.S, Kamaruddin. And L. Le
Vay. 1991. The potensial for
replacement of live feeds in larval
culture. Fish and crustacean
larviculture symposium European
Aquaculture Society, Belgium.
Kamaruddin. M.S., D.A, Jones, L. Le Vay.,
A.Z. Abidin. 1991. Ontogenetik
changes in digestive enzyme activity
during larval development of
Macrobrachium rosenbergii,
Aquaculture 123:323-333
Kamaruddin, 2010.Perkembangan organ
pencernaan dan aktivitas enzim
pencernaan (protease, amylase, dan
lipase) larva ikan beronang (Siganus
guttatus).Tesis. Program
Pascasarjana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Kapoor, B.G., H. Smith, and T.A. Verighina.
1975. The elimentary canal and
digestion in teleostei, Adv. Mar.
Biol, 3:1719-1725
Jurnal Agrisistem, Juni 2016, Vol. 12 No. 1 ISSN 1858-4330
84
Kim, B.G., S. Divakaran, C.L. Brown, and H.
Ostrowski. 2001. Comparative
digestive enzyme ontogeny in two
marine larval fishes : Pasific Treadfin
(polydactilus sexfilis) Blue Fin
Trevally (Caranx melampygus). Fish
Physiol. Biochem. 24 : 225 – 241
Kumlu, M., and D.A. Jones. 1995. Feeding
and digestion in the Casidean Shrimp
larva of Palaemon degans (Rathke)
and Macrobrachium rosenbergii (De
Man) Crustacea : Palamonidae on
live and artificial diets. Aquac.Nutr.
1, 3 – 12.
Kuzmina VV. 1996. Influence of age on
digestive enzyme activity in some
freshwater teleostei.
Aquaculture:148:25-37.
Maheswarudu, G., J. Jose, K.R.M. Nair,
M.R. Arputharaj, A. Ramakhrisna,
A. Vairamani, and N. Ramamoorthy.
2008. Evaluation of seed production
and grow out culture of Blue
Swimming Crab Portunus pelagicus
(Linneus 1758) in India. Indian
Journal of Marine Sciences Vol 37
(3) : 313 – 321.
Pavasovic, M., N.A. Richardson, A.J.
Anderson, D. Mann., and P.B.
Mather. 2004. Effect of pH,
temperatur, and diet on Scylla
serrata. Aquaculture 242 : 641-654.
Saborowski. R., S. Thaje, J. A. Calcagno,
G.A. Lovrich, and K. Anger., 2006.
Digestive enzymes in the ontogenetic
stages of the southern king crab
Lithodes santolla. Marine Biology,
149:865-873.
Sarasquete, M,C., A. Polo, and M.Yufera.
1995. Histology and histochemistry of
the development of the digestive
system of larval gilthead sea bream
Sparus aurata (L) Aquaculture, 130 :
79 – 92
Serrano, A. E. 2012. Ontogeny of the
endogeneous and exogeneous amylase
and total protease activities in mud
crab, Scylla serrata larvae fed live
food. Eur. Jour. Of Exp. Biol 2(5) :
1578-1584.
Serrano, A. E. and R. F. Traifalgar., 2012.
Ontogeny and induction of digestive
enzymes in Scylla serrata larvae fed
live or artificial feeds or their
combination. AACL Bioflux. 5(3);101-
111.
Sousa, L. and A. M, Petriella, 2006.
Morphology and histology of P.
argentinus (Crustacea Decapoda,
Caridea) digestive tract.Biocell.
30(2):287-294
Takashima F. and T. Hibiya. 1995. An atlas
of fish histology, normal and
pathological features. Tokyo, Gustav
Fisher Verlag, Stuttgart, New York:
Kodansa Ltd.
Van Wormhoudt A., H.J. Ceccaldi, and B.
Martin., 1980. Adaptation de la
teneur en enzymes digestives de la l-
hepatopancreas de Palaemon
serratus (Crustacea, Decapoda) a la
composition d’alimnets
experimentaux, Aquaculture 21:63-
78
Verreth, J.A., E. Torrele, E. Spazier,
A.W.D.Sluiszen, J.H.W.Rombout and
R.Booms. 1992. The development of a
functional digestive system in the
African Catfish Clarias gariepinus
(Burchel) J. World Aquaculture Soc.
23(4):286-298.
Wang, Y.B., 2007. Effect of probiotics on
growth performance and digestive
enzyme activity of the shrimp
Pennaeus vannamei.Aquaculture.
269;25
Warfold, J.T. and T.J, Lam., 1993.
Development of digestive tract and
proteolitic enzyme activity in seabass
(Lates calcarifer) larvae and juveniles.
Aquaculture 109:187-205.
Watanabe, W.O. 1986. Larvae and Larval
Culture.in C.S. Lee., M.S. Gordon and
W.O. Watanabe (editors.). Aquaculture
of milkfish (Chanos chanos): State of
the art. Oceanic institute Hawai.