Monograf: Solilukui Pemilu 2014

70
SEBUAH MONOGRAF SOLILUKUI PENGAWAS PEMILU AULIA ANDRI

Transcript of Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Page 1: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

SEBUAH MONOGRAF

SOLILUKUI PENGAWAS PEMILU

AULIA ANDRI

Page 2: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

PENGANTAR

Ketika dilantik menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu, pada Agustus 2013, saya berjanji dalam hati akan menulis pengalaman atau apapun yang saya rasakan ketika menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu di Sumatera Utara (Sumut). Harus diakui, menjadi pengawas pemilu bukanlah cita-cita saya. Cita-cita saya sesungguhnya ya saya ingin menjadi penulis buku. Maka itu, tak berlebihan jika dikatakan “pekerjaan” sebagai pengawas pemilu ini menjadi pengalaman sangat berharga bagi saya mewujudkan cita-cita itu.

Isi buku ini memang tak serius. Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan saya yang sudah dipublikasikan di blog pribadi saya (aandri.blogspot.com). Sembari menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu, saya memang menyempatkan diri menulis catatan-catatan ringan. Semuanya awalnya hanya bermaksud untuk mendokumentasikannya secara personal. Maka itu, tulisan-tulisan dalam buku ini pun seperti solilukui, yang lebih merupakan renungan, pembelajaran dan sikap saya terhadap persoalan-persoalan kepemiluan di Indonesia.

Ada banyak kekurangan dalam buku ini. Tapi sebagai sebuah monograf, buku ini memang harus lahir. Terimakasih kepada Daniel Zuchron, Pimpinan Bawaslu RI yang telah memberikan dorongan pada saya untuk menulis buku. Juga terimakasih pada Ketua Bawaslu RI, Prof Muhammad yang telah bersedia member prolog bagi buku ini. Kepada dua rekan saya, Syafrida Rasahan dan Hardi Munte, serta Pak Iwan Tero dan Rusli Siregar (Kasek dan Bendahara) di Bawaslu Provinsi Sumut, juga saya harus ucapkan terimakasih. Kepada para staf (Edward F Bangun, Anwar Sadat, Safrian Idris, M Tohir, Wigun Suseno dan Rudianto) yang telah membantu tentu tak mungkin juga tak menyebutkan betapa mereka berjasa membuat buku ini jadi berwujud. Terimakasih juga untuk teman-teman seperjuangan Fatikhatul “diajeng” Khoiriah, Andika, Bang Parsa Harahap, Teh Mimah, Bang Kris dan Khuwalid NTB.

Akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa menulis itu penting untuk memahat ingatan. Semoga buku ini bermanfaat. Salam.

Page 3: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

BAGIAN PERTAMA

Page 4: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Membenahi Daftar Pemilih PemiluRapat kerja teknis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi se-Indonesia yang diadakan oleh Bawaslu RI tanggal 2-4 Oktober 2013 di Jakarta, memfokuskan pada pelaksanaan penyusunan daftar pemilih pemilu 2014 yang telah sampai pada proses pencermatan kembali terhadap DPT yang telah ditetapkan sebelumnya oleh KPU Kab/Kota.

Sesuai keputusan KPU RI bahwa proses pencermatan DPT dilakukan (baca: ditunda) selama 30 hari sejak 13 September 2013. Artinya pada tanggal 13 Oktober mendatang, KPU sesuai Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2014, harus sudah menetapkan DPT.

Dan sebagai bentuk pelaksanaan mandat UU 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, serta UU 8 Tahun 2012 Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pengawas Pemilu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyusunan daftar pemilih dimaksud, termasuk mengawal secara ketat proses pencermatan kembali DPT yang ditetapkan sebelumnya.

Sebenarnya, persoalan daftar pemilih pemilu 2014 ini tidaklah perlu hiruk-pikuk seperti ini jika saja kita semua menyadari bahwa partisipasi politik setiap warga Negara merupakan inti dari demokrasi. Maka itu, harus menjadi dogma bahwa demokratis-tidaknya suatu sistem politik ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya.

Terjaminnya partisipasi politik warga untuk memilih dalam sebuah pemilu harus diakui sebagai corak demokrasi dalam sebuah system politik. Maka itu, hak pilih merupakan syarat penting bagai sebuah negara yang menganut faham konstitusional modern. “The right to vote, along with freedom of expression, assembly, association, and press, is one of the fundamental requirements of modern constitutional democracy” (Dieter Nohlen, “Voting Rights”, dalam Seymour Martin Lipset, 1995)

Untuk memberikan jaminan agar pemilih dapat menggunakan pilihnya, paling tidak harus tersedia daftar pemilih akurat yang memenuhi standar kualitas daftar pemilih. Kondisi saat ini tentu sangat mengkhawatirkan. Sejak Pemilu 2004 dan 2009, permasalahan daftar pemilih menjadi urusan pelik yang belum terpecahkan. Nah, pada Pemilu 2014 ini pun, KPU dan Kemendagri masih berkutat soal perbedaan daftar pemilih pemilu. Sesuatu yang rasanya sangat tidak bisa diterima, karena ini bukan masalah baru.

Tersedianya daftar pemilih yang standar pada pemilu, tentunya akan menunjukkan kualitas pemilu itu sendiri. Dari sisi standar kemanfaatan teknis, seharusnya ada beberapa aspek yang harus terpenuhi yakni; daftar pemilih hendaknya mudah diakses oleh pemilih, mudah digunakan saat pemungutan suara, mudah dimutakhirkan, dan disusun secara akurat.

Nah, tentunya standar kemanfaatan teknis ini harus didukung sejak awal oleh semua pemangku kepentingan pemilu. KPU dan Kemendagri, sebagai pihak yang paling berkompeten mengurusi masalah ini, harus memformulasikan sistem pendaftaran pemilih.

Page 5: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Paling tidak ada dua dua jenis sistem pendaftaran pemilih yang bisa dilakukan, yaitu berdasarkan skala periode waktu serta berdasarkan hak dan kewajiban. Berdasarkan skala periode waktu, sistem pendaftaran pemilih ada tiga jenis, yaitu periodic list, continuous register or list, dan civil registry.

Sistem periodic list adalah sistem pendaftaran pemilih hanya untuk pemilu tertentu saja. Pendaftar pemilih dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan Pemilihan Umum sebagaimana diterapkan selama enam kali pemilihan umum pada Era Orde Baru.

Sistem continuous register or list adalah sistem pendaftaran pemilih untuk pemilu yang berkelanjutan. Artinya Daftar Pemilih Pemilu tidak dibuang melainkan dimutahirkan untuk digunakan pada Pemilu berikutnya baik itu untuk pemilu kepala daerah.

Sistem civil registry adalah pendaftaran pemilih berdasarkan pencatatan sipil (penduduk) untuk mendata nama, alamat, kewarganegaraan, umur dan nomor identitas. Dengan kata lain pada sistem ini data kependudukan sebagai dasar daftar pemilih memerlukan data-sharing agreements.

Berdasarkan model pendaftaran pemilih seperti ini, penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, wajib menggunakan data pemilih yang diberikan oleh instansi pemerintah yang bertugas mengurus administrasi kependudukan. Sistem inilah yang kemudian diterapkan dalam pemilu di Indonesia saat ini.

Tanpa bermaksud menyudutkan para penyelenggara pemilu yang selama ini sudah bekerja keras menyusun daftar pemilih pemilu, saya berpendapat, tentunya harus disadari bahwa selain sistem civil registry itu, sebenarnya masih ada sistem lain yang bisa dipakai.

Selain itu tentunya, para penyelenggara pemilu bisa mencermati sistem pendaftaran pemilih berdasarkan hak dan kewajiban. Sistem ini mencakup tiga jenis, yaitu pendaftaran sukarela (voluntary registration), pendaftaran wajib (mandatory registration), dan campuran sukarela-wajib (mix strategy).

Pada voluntary registration, memilih adalah hak, pemilih dapat memilih untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih. Prinsip yang dianut adalah prinsip pendaftaran berdasarkan prakarsa sendiri (self-initiated registration). Pada mandatory registration, memilih adalah kewajiban, pemilih wajib mendaftar/didaftar dalam daftar pemilih. Prinsip yang dianut adalah pendaftaran berdasarkan prakarsa negara (state-initiated registration). Pada mix strategy pemerintah memfasilitasi proses pendaftaran pemilih dan proses pendaftaran pemilih dilakukan sendiri oleh pemilih. Prinsip yang dianut adalah para warga Negara dan negara berbagi tanggungjawab dalam pendaftaran pemilih (citizens and the state share responsibility for registration).

Ketiga sistem ini tentu punya kelebihan dan kekurangan. Maka itu, sudah saatnya penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan Bawaslu, duduk bersama menyepakati model daftar pemilih pemilu yang akan digunakan pada pemilu berikutnya. Sehingga, carut marut persoalan daftar pemilih ini tidak lagi terulang.

Page 6: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Benang Kusut DPTKomisi Pemilihan Umum (KPU) secara nasional menunda penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sejatinya, KPU akan menetapkan DPT pada tanggal 23 November 2013. Namun, karena rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), penetapan DPT kemudian ditunda selama dua pekan hingga tanggal 4 November 2013.

Apa yang terjadi saat ini layak menjadi perhatian penting. Persoalan DPT yang merupakan inti dari kepemiluan, harus menjadi perhatian semua pihak. Tidak hanya KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu, atau Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Partai Politik (Parpol) peserta pemilu pun wajib untuk menyimak masalah DPT ini dengan serius.

Di Sumatera Utara (Sumut), sebenarnya tidak ada penundaan penetapan DPT. Pada pleno penetapan rekapitulasi DPT Pemilu 2014 di Hotel Garuda Plaza, 19 Oktober 2013, Bawaslu Provinsi Sumut sudah memberikan garis bawah terhadap banyaknya pemilih yang tidak mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Kartu Keluarga (NKK), pemili dengan nama ganda, pemilih dengan alamat kosong, pemilih tanpa tanggal lahir dan pemilih fiktif. Terhadap laporan-laporan temuan ini, Bawaslu Provinsi Sumut, dalam pleno tanggal 19 Oktober itu sudah memberi tanggapan, agar KPU Provinsi Sumut melakukan perbaikan. Namun, KPU Provinsi Sumut kemudian menetapkan 9.840.562 pemilih di Sumut. Namun, temuan Bawaslu Provinsi Sumut juga cukup fantastis. Paling tidak ada sekitar 1,481,686 pemilih yang masuk dalam DPT Sumut yang tidak mempunyai NIK dan NKK. Ini belum lagi ditambah dengan pemilih dengan NIK ganda, pemilih yang sudah meninggal dunia, pemilih yang tanpa tanggal lahir, pemilih tanpa status perkawinan, pemilih yang tidak cukup umur, pemilih yang memenuhi syarat tapi tidak terdaftar di DPT yang berjumlah 45.305.

Seluruh masalah ini kemudian telah dilaporkan Bawaslu Provinsi Sumut ke Bawaslu RI untuk dijadikan bahan pertimbangan agar ditundanya penetapan rekapitulasi DPT secara nasional. Hal ini, karena Bawaslu Provinsi Sumut menganggap, masih banyak masalah yang perlu diselesaikan dalam DPT di Sumut.

Keputusan rapat pleno KPU tanggal 23 Oktober 2013 yang memutuskan penundaan rekapitulasi DPT secara nasional selama dua pekan, kemudian membuat suasana menjadi lain. KPU Provinsi Sumut kemudian melakukan pembersihan terhadap DPT yang dianggap Bawaslu Provinsi Sumut bermasalah. Bahkan untuk menyelesaikan masalah tersebut, KPU Provinsi Sumut berinisiatif mengundang seluruh jajaran Bawaslu Provinsi Sumut untuk duduk bersama menyelesaikan DPT ini. Pertemuan antara penyelenggara teknis pemilu (KPU) dan pengawas pemilu ini kemudian dilaksanakan di Hotel Asean Medan pada tanggal 29 Oktober 2013.

Dari hasil pertemuan tersebut muncullah kesepahaman bahwa temuan 45.305 yang didapat jajaran Bawaslu Provinsi Sumut akan dibersihkan oleh KPU kabupaten/kota se-Sumut. Namun, KPU Provinsi Sumut dalam pertemuan itu juga menyebutkan bahwa untuk masalah NIK dan NKK kosong, tidak bisa dibersihkan dengan alasan hal itu merupakan kewenangan KPU RI. Atas hal ini, setelah berkonsultasi dengan pimpinan Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi Sumut menyetujuinya. Artinya, Bawaslu Provinsi Sumut dan KPU Provinsi Sumut sepakat bahwa

Page 7: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

persoalan NIK dan NKK kosong menjadi "wilayah" KPU RI dan Kemendagri untuk menyelesaikannya.

Pembersihan DPT kemudian dilanjutkan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan pengawas pemilu pada tanggal 1 November 2013. Seluruh pengawas pemilu di kabupaten/kota kemudian memberikan daftar pemilih by name dan by adress yang bermasalah dalam DPT.

Pasca pembersihan sekaligus pleno KPU penetapan DPT di tingkat kabupaten/kota, KPU Provinsi Sumut kemudian melakukan rekapitulasi DPT di tingkat provinsi. Pada rapat pleno KPU Provinsi Sumut tentang rekapitulasi DPT, tanggal 2 November 2013, di Hotel Grand Angkasa, ditetapkan jumlah pemilih sebesar 9.795.714. Jika menilik jumlah DPT ini dibanding DPT pada tanggal 19 Oktober 2013, maka didapat selisih 44.848. Artinya, KPU Provinsi Sumut sudah membersihkan 44.848 pemilih dalam DPT-nya. Tentunya melihat jumlah ini tidak terlalu jauh dari jumlah masalah yang sudah ditemukan oleh Bawaslu yang berkisar pada jumlah 45.305.

Walaupun, harus digarisbawahi bahwa penetapan rekapitulasi DPT di Sumut itu tetap menyisakan masalah adanya NIK dan NKK kosong. Tapi, karena sudah disepakati bahwa permasalahan NIK dan NKK kosong diselesaikan KPU RI bersama Kemendagri, maka Bawaslu Provinsi Sumut menyetujuinya.

Tetapi yang mengejutkan adalah bahwa KPU RI pada tanggal 1 November 2013 mengeluarkan surat edaran No 741 yang isinya meminta KPU kabupaten/kota dan provinsi untuk berupaya maksimal mengisi NIK dan NKK kosong. Bahkan dalam point 2 surat edaran tersebut disebutkan agar KPU kabupaten/kota dan provinsi meminta berita acara dari kepala Lapas atau kepala dinas kependudukan dan catatan sipil terhadap NIK dan NKK yang kosong tersebut. Surat KPU RI ini tentu mengejutkan karena dikeluarkan hanya tiga hari sebelum penetapan rekapitulasi DPT secara nasional yang diagendakan tanggal 4 November 2013.

Ketika saya menulis catatan ini, usai menghadiri rapat pleno KPU Provinsi Sumut, saya seperti tertampar. Ada perasaan dipermainkan karena baru saja, Bawaslu Provinsi Sumut memutuskan menyerahkan persoalan NIK dan NKK kosong pada KPU RI dan Kemendagri. Dalam kapasitas sebagai pimpinan Bawaslu Provinsi Sumut, saya menyampaikan dalam rapat pleno tersebut bahwa Bawaslu Provinsi Sumut mendukung langkah agar KPU dan Kemendagri menyelesaikan persoalan NIK dan NKK kosong ini. Kini, setelah keluarnya surat edaran No 741 itu, kegalauan terhadap persoalan DPT menjadi menggumpal. Apakah penetapan DPT akan ditunda lagi? Ah, susah benar mengurus DPT!

Medan, 2 November 2013

Page 8: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Mengawal DPT Pemilu 2014Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, mengambil keputusan penting, sehari menjelang penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh jajarannya di tingkat kabupatan dan kota. Keputusan itu adalah menunda pelaksanaan penetapan DPT Pemilu 2014 yang seyogyanya dilaksanakan paling lambat tanggal 7 sampai dengan 13 September 2013. Keputusan KPU RI disaat injury time itu memang bukan perkara gampang. Apalagi sejak awal, KPU RI melalui Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2014, sudah menetapkan jadwal penetapan DPT.

Keputusan penundaan ini diambil KPU RI setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Kemendagri dan Bawaslu yang menyepakati untuk memundurkan jadwal penetapan DPT di tingkat kabupaten/kota. Dalam rapat dengar pendapat itu, KPU diminta mencermati ulang penetapan DPT Pemilu 2014 yang terindikasi masih menyimpan banyak masalah.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melakukan pengawasan DPT secara nasional mengungkapkan adanya beberapa persoalan, semisal: 1) Adanya selisih jumlah kecamatan antara data yang terungkap di Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) dengan data yang tercantum di Daftar Pemilih Sementara (DPS). Bawaslu menemukan bahwa data jumlah kecamatan di DPS lebih banyak 72 (tujuh puluh dua) kecamatan yang tersebar di 21 (dua puluh satu) kabupaten/kota di 9 (sembilan) provinsi disbanding dalam data DAK2. 2) Bawaslu juga menemukan adanya 823 kecamatan di 31 provinsi yang tidak mempunyai atau tidak lengkap DPS-nya. 3) Bawaslu juga menemukan ketidakwajaran jumlah pemilih dibanding jumlah penduduk antara 60%-80% di 2.516 kecamatan di 31 provinsi di Indonesia.

Selain persoalan-persoalan diatas yang terjadi secara nasional, Bawaslu Provinsi Sumatera Utara juga menemukan banyak persoalan di lapangan terkait penetapan daftar pemilih. Beberapa persoalan yang muncul adalah, soal legalitas dokumen daftar pemilih, akurasi daftar pemilih, ketidaksesuaian data yang dimutakhirkan oleh PPS dan Pantarlih dengan data sistem Sidalih milik KPU dan minimnya publikasi terhadap daftar pemilih. Bawaslu Sumut melakukan monitoring dan evaluasi dengan sampling terhadap Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) di 11 kabupaten/kota di Sumut. Hasilnya memang cukup mengejutkan, banyak kabupaten/kota yang legalitas dokumen daftar pemilihnya tidak sesuai. Juga soal akurasi daftar pemilih yang menyangkut soal adanya pemilik yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama ganda, atau tidak sesuainya nama dengan alamat pemilih. Terhadap persoalan-persoalan ini, Bawaslu Sumut juga sudah menghimbau ke partai politik agar bisa lebih pro aktif menyikapi soal daftar pemilih ini. Hasil amatan tim Bawaslu Sumut, rata-rata parpol di Sumut belum melakukan pendataan secara aktif terhadap konstituennya yang tidak terdaftar di daftar pemilih. Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu Sumut kemudian sudah menghimbau kepada papol agar bisa sesegera mungkin melakukan

Page 9: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

koordinasi dengan jajaran dibawahnya untuk melakukan pendataan pemilih berbasis parpol. Tentunya, semua ini diyakini akan bisa membantu KPU menyelesaikan kisruh soal daftar pemilih yang cenderung kisruh.

KPU sendiri memang terkesan melakukan kesalahan yang sama dan berulang terkait daftar pemilih ini. Walaupun harus dimaklumi juga, bahwa KPU merupakan penyelenggara dan pelaksana teknis pemilu, dalam membuat daftar pemilih sementara (DPS) sampai ke DPT masih bergantung pada data yang diserahkan pemerintah. Pemerintah kabupatan/kota menyerahkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada KPU dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi. Dari daftar DP4 ini, kemudian KPU melakukan verifikasi melalui perangkatnya  dengan membentuk panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih). Selanjutnya, data dari Pantarlih yang sudah diverifikasi diserahkan kepada PPS lalu diteruskan ke KPU melalui PPK.

Saya tentu tak bermaksud menyalahkan KPU serta perangkat dibawahnya. Namun, persoalan daftar pemilih ini terkait dengan azas profesionalitas penyelenggara pemilu serta ketaatan pada aturan yang telah dibuat. Profesionalitas disini tentu adalah bahwa KPU harus bisa memastikan bahwa semua proses pendataan pemilih yang dilakukannya sesuai dengan aturan yang sudah dibuat tanpa merugikan siapapun. Tentunya, ketaatan pada aturan ini akan membuat KPU terlindungi dari konflik-konflik sosial yang kemungkinan akan muncul pasca Pemilu 2014.

Mencermati persoalan-persoalan diatas serta belajar dari pengalaman Pemilu 2009 dan Pemilukada di Sumut, kiranya, KPU serta jajaran dibawahnya, bisa memanfaatkan tenggang waktu 30 hari yang sudah diberikan untuk memperbaiki daftar pemilih ini. Saya mencermati, bahwa persoalan daftar pemilih ini seringkali menjadi titik sentral bagi partai politik, calon legislatif dan para calon kepala daerah untuk melayangkan gugatan sengketa pemilu.

Di sisi lain, saya juga melihat bahwa partisipasi partai politik dan calon legislatif pada Pemilu2014 sangat minim untuk “berteriak” keras soal daftar pemilih ini. Seolah, masalah daftar pemilih ini sengaja disimpan untuk menjadi “bom waktu” yang akan diledakkan usai perhitungan suara pemilu. Padahal, inilah saatnya partai politik bisa menghimbau konstituennya untuk mengecek namanya terdaftar atau tidak sebagai pemilih di DPS dan DPT.

Penting digarisbawahi, bahwa persoalan daftar pemilih baik itu DPS maupun DPT sejatinya bukanlah hanya urusan tentang penggunaan hak pilih seorang warga negara. Lebih diatas itu semua, persoalan ini menjadi cermin penting terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu 2014. Masih kacaunya persoalan daftar pemilih ini, tentu juga menjadi tanggungjawab Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu yang mencita-citakan pemilu yang jujur, adil dan demokratis untuk memilih para wakil rakyat.

Page 10: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

DPT Tidak Wajar, So What Gitu Loh!Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2014 di sembilan kabupaten/kota di Sumut di bawah ambang kewajaran. Ini tentunya menjadi pertanyaan penting, bagaiman Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sembilan kabupaten/kota itu bekerja.

Saya tercengang ketika mendapati data bahwa ada sembilan kabupaten/kota di Sumut yang jumlah DPT-nya dibawah ambang kewajaran. Pengawas Pemilu sudah menetapkan bahwa alat validasi yang bisa dipakai untuk mengukur tingkat validitas DPT adalah data dari Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2). Hal ini karena DAK2 mencakup semua warga, baik warga yang sudah memenuhi syarat memilih maupun yang usianya di bawah 17 tahun, bahkan balita. Maka itu, sangat tepat DAK2 menjadi alat bandingan terhadap DPT yang ditetapkan KPU karena DPT hanya menggambarkan jumlah warga yang berhak memilih. Rumusannya sederhana saja, jika jumlah pemilih di sebuah kabupaten/kota angkanya di bawah 60 persen, maka ini akan besar kemungkinan pemilih yang tidak terdaftar. Sebaliknya jika atas 80 persen dari DAK2, kemungkinan untuk terjadinya data pemilih yang salah sangat tinggi. Sebagai pengawas pemilu, saya menemukan error data di Kabupaten Nias, Langkat, Asahan, Labuhan Batu, Paluta, Nias Utara, Nias Barat, Kota Binjai dan Kota Gunung Sitoli.

Sebagai contoh misalnya Kabupaten Nias yang menetapkan jumlah pemilih sebesar 88.532 sementara DAK2 yang diberikan adalah 151.825. Hal ini jika dibandingkan dengan data DAK2 maka persentasenya adalah 58%. Dengan angka kewajaran dibawah 60 persen itu, maka bisa dikatakan, DPT di kabupaten Nias dibawah ambang kewajaran. Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar, ada pemilih yang belum terdaftar di Nias.

Di tengah rumitnya memutuskan urusan rekapitulasi DPT di Sumut, saya hanya ingin mengingatkan agar KPU Provinsi Sumut dan jajaran dibawahnya peka terhadap hal ini.

Nias : 151.825 (DAK2) ; 88.532 (DPT) = 58%

Langkat : 1.210.776 (DAK2); 702622 (DPT) = 58%

Asahan : 915.229 (DAK2); 472.541 (DPT) = 52%

Labuhan Batu : 522.064 (DAK2); 290.677 (DPT) = 56%

Paluta : 269.582 (DAK2); 156.054 (DPT) = 58%

Nias Utara : 142.358 (DAK2) ; 84.316 (DPT) = 59%

Nias Barat : 96.037 (DAK2) ; 53.870 (DPT) = 56%

Kota Binjai : 308.518 (DAK2) ; 179.500 (DPT) = 58%

Gunung Sitoli : 146.356 (DAK2) ; 85.280 (DPT) = 58%

Medan, 2 November 2013

Page 11: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

MENJAMIN PARTISIPASI POLITIK PEMILIH

Adagium bahwa partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, tentunya merupakan keniscayaan. Karena itu, tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik menjadi tolak ukur demokratis atau tidak demokratisnya system politik di sebuah negara.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945dengan jelas menyebutkan bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.Sementara Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; “(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Sedangkan pada tingkat undang-undang, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur tentang hakmemilih. Dalam Pasal 43 dinyatakan bahwa “Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, “Menimbang,bahwa hak konstitusional warga Negara untuk memilih dan dipilih (right to voteand right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan,peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”

Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa begitu pentingnya partisipasi pemilih dalam demokrasi dan pemilu.Namun demikian masih terdapat problem pada tingkat implementasi, yakni; 1) tidak tersedianya daftar pemilih yang akurat dan, 2) belum adanya jaminan bahwa pemilih tidak akan kehilangan hak pilihnya.

Kemitraan dalam “Seri Demokrasi Elektoral Buku 9: Meningkatkan Akurasi Pemilih” menyebutkan dari aspek standar kualitas demokrasi, daftar pemilih hendaknya memiliki dua cakupan standar, yaitu; 1) pemilih yang memenuhi syarat masuk daftar pemilih dan; 2) tersedianya fasilitasi pelaksanaan pemungutan suara. Dari aspek standar kemanfaatan teknis, daftar pemilih hendaknya memiliki empat cakupan standar, yaitu mudah diakses oleh pemilih, mudah digunakan saat pemungutan suara, mudah dimutakhirkan, dan disusun secara akurat.

Hal yang menarik dibahas disini adalah mengenai jaminan bahwa pemilih tidak akan kehilangan hak pilihnya dimana pun ia berada. Menurut saya, pendaftaran pemilih berbasis domisili sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU No 9 Tahun 2013tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara. Alasannya, karena pendaftaran pemilih dengan memberikan kesempatan kepada pemilih menentukan tempatnya memilih tidak disertai Peraturan KPU tentang Tata Cara Pemungutan, Penghitungan Rekapitulasi dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum.

Page 12: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Hal ini karena dalam Pasal 18 Ayat (4) Peraturan KPU No.9 Tahun 2013, disebutkan “Dalam hal Pantarlih menemukan Pemilih berdomisili di wilayah kerjanya tetapi memiliki identitas kependudukan dari daerah lain, maka Pantarlih menanyakan kepada Pemilih di mana akan menggunakan hak pilihnya.” Pilihan memilih di tempat kerjanya ditur dalam ayat (5) dan jika memilih sesuai dengan alamat KTP nya ---ayat (6).

Ini dapat diartikan bahwa, seandainya ada pemilih penduduk Kota Pematang Siantar sesuai KTP, maka ia bisa terdaftar di Kota Medan sesuai dengan tempat kerjanya, atau tempat menyelesaikan pendidikan.Sementara, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, jelas disebutkan bahwa anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah dewan mewakili rakyatnya – sesuai dengan daerah pemilihan.

Sementara pada Pasal 27 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 disebutkan: “Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan, atau gabungan kecamatan.” Kaitannya antara penduduk dan keterwakilan dilihat dengan mekanisme penetapan kuota kursi di DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 8 Tahun 2012.

Nah, pertanyaanya, apakah pemilih asal Kota Pematang Siantar tadi dapat memilih wakilnya di Kota Medan? Atau pemilihitu akan kehilangan hak untuk memilih anggota DPRD di tingkat Kabupaten/Kota, karena dia bukan penduduk Kota Medan?Lantas, Surat suara setingkat mana yang diperolehnya saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada saat hari pemilihan?Kerumitan dari pemilih asal Kota Pematang Siantar ini semakin bertambah ketika daerah pemilihan untuk keterwakilannya di tingkat DPRD Provinsi Sumut dan DPR RI juga berbeda.

Hingga kini, KPU belum mengatur masalah ini, padahal kerumitan seperti ini akan terjadi di banyak tempat dan banyak pemilih. Sebagai bagian dari pengawas pemilu, saya melihat, akan ada banyak potensi konflik dan pelanggaran jika KPU tidak segera mengeluarkan aturan mengenai hal ini.

Dampak dari Peraturan KPU No 9 Tahun 2013, juga menyebabkan pekerja lintasdaerah dan mahasiswa, terdaftar di alamat yang tidak sesuai dengan identitas kependudukanya. Ini tentunya akan berakibat mendongkrak jumlah pemilih di sebuah daerah.

Contohnya dapat dilihat padaDaftar Pemilih Sementara (DPS) diKecamatan Medan Tuntungan yang ditetapkan sebanyak 56.153 pemilih dan DPSHasil Perbaikan sebanyak 58.606 pemilih. Ini menunjukkan terjadi penambahan sebesar 2.453 pemilih. Memang ada banyak faktor yang menyebabkan membengkaknya jumlah pemilih di Kota Medan; 1) pekerja antardaerah; 2) mahasiswa; 3) penduduk tidak tetap.

Bertambahnya pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak disertai Peraturan KPU yang tegas, tentu akan berpotensi munculnya pelanggaran. Beberapa potensi pelanggaran yang bisa dideteksi adalah, pengarahan memilih calon tertentu untuk tingkatan DPRD Kabupaten/Kota dengan melakukan tekanan serta memainkan politik uang.

Page 13: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Saya berharap, KPU akan segera menelurkan aturannya seperti yang disebutkan diatas guna mencegah kehilangan hak pilih setiap warga negara. Tentunya, seperti yang sudah disebutkan diawal, bahwa partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, akan menjadi mantra sakti kita bersama.

Page 14: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

AKHIRNYA DPT!Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rapat pleno, 4 November 2013. Jalan berliku penetapan DPT ini cukup panjang, apalagi pasca diundurnya penetapan ini dalam rapat pleno 23 Oktober 2013.

Sebagai pengawas pemilu, tentu saja saya memberi catatan penting terhadap penetapan pleno DPT ini, karena memang masih banyak persoalan di dalam DPT ini. Lihat saja di Sumatera Utara (Sumut), masih ada ratusan ribu pemilih yang terdaftar di DPT tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK). Kondisi ini tentunya tidak baik dalam kerangka membangun sistem kepemiluan di Indonesia.

Saya menilai persoalan rumit DPT ini paling tidak harus diselesaikan sejak awal antara penyelenggara pemilu (KPU) dan pemerintah. Persoalan DPT ini harus diakui tak mudah. Ada dimensi perlindungan hak-hak konstitusional warga negara didalam penyusunannya. Maka itu, sinergi pemerintah dan KPU wajib dilakukan agar sinkronisasi DPT ini bisa dilakukan.

Bagi saya, DPT paling tidak punya dua aspek penting yang harus diperhatikan. Ketika banyak pihak meributkan soal DPT, saya menjelaskan bahwa ada dua aspek yang termaktub di dalamnya. Pertama, persoalan DPT ini adalah persoalan bagaimana kita bersama-sama menyelamatkan logistik pemilu. Cobalah anda bayangkan jika DPT amburadul, maka akan terjadi kemubaziran dalam pengadaan logistik pemilu. Ada surat suara yang berlebih, ada tinta yang terbuang. Ini semua tentu harus menjadi perhatian. Kedua adalah, persoalan DPT ini menjadi penting karena menyangkut partisipasi warga negara dalam pemilu. Semrawutnya daftar pemilih tentu akan berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat.

Dua hal penting yang saya sebutkan diatas, tentunya menjadi point penting bagi kita semua untuk sama-sama membenahi DPT. Sebagai pengawas pemilu, saya meyakini bahwa core (inti) dari kepemiluan itu adalah bagaimana, setiap warga bisa terlindungi haknya dalam memilih, jadi bukan hanya soal bagaimana dan siapa yang akan dipilih.

Medan, 6 November 2013

Page 15: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

BAGIAN KEDUA

Page 16: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Strategi Komunikasi APK CalegPemilu 2014 kini sudah memasuki tahap kampanye. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PKPU No 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Aturan yang disahkan tanggal 27 Agustus 2013 itu resmi berlaku sebulan kemudian. Artinya, sejak tanggal 27 September 2013, seluruh Alat Peraga Kampanye (APK) milik calon anggota legislatif (caleg) harus sudah menyesuaikan dengan aturan ini.

Tapi apa yang terjadi? Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) hingga pada awal bulan Oktober 2013 menemukan ribuan APK caleg yang melanggar aturan milik KPU tersebut. Laporan resmi Bawaslu Provinsi Sumut menyebutkan bahwa ribuan APK caleg itu tersebut terdiri dari baleho/billboard, poster dan banner yang dipasang pada tempat-tempat terlarang sesuai PKPU No 15 tahun 2013 tersebut.

Persoalan sulitnya mengatur APK caleg ini, memang sudah terasa sejak awal. Ketika KPU mulai membuka pendaftaran bakal caleg, ratusan calon wakil rakyat kemudian tiba-tiba muncul di tengah-tengah masyarakat lewat berbagai jenis media luar ruang. Ada yang menggunakan spanduk, banner atau bahkan baleho ukuran besar. Semuanya itu tentu untuk mengenalkan kepada publik sosok mereka sebagai calon wakil rakyat.

Munculnya fenomena ini jika dilihat dari sisi komunikasi, bisa dikatakan wajar saja. Para caleg melalui APK-nya ingin berkomunikasi dengan publik. Memasang APK sering dianggap efektif menjangkau publik ketimbang harus melakukan road show secara langsung ke publik. Namun, apakah APK para caleg ini bisa efektif meraup dukungan, atau hanya sekedar menjadikan mereka populis, tentu patut dipertanyakan.

Paling tidak dibutuhkan tiga tahapan penting dalam merancang strategi komunikasi yang efektif. Pertama, pembangunan citra (image builder), kedua, peneguhan personalitas (personality awareness), dan ketiga, memposisikan (positioning) figur pada publik. Dengan mengusung ketiga tahapan penting ini, maka diharapkan terbangunnya sebuah strategi komunikasi yang efektif untuk mendukung caleg "menjual" dirinya.

Lantas mengapa diperlukan strategi komunikasi yang efektif? Jawabannya adalah, tidak peduli seberapa berbakatnya, betapapun unggulnya, atau berapapun banyak uang disiapkan seorang caleg, karena kesuksesan tidak akan pernah diperoleh tanpa komunikasi yang efektif.

Kemampuan seorang caleg dalam mengirimkan pesan atau informasi dengan baik, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau ketrampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.

Page 17: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Banyak orang yang menyepelekan soal komunikasi yang efektif ini. Hal ini wajar saja, karena mereka menganggap komunikasi merupakan bagian dari kehidupan ini. Renungkan saja, kita menghabiskan sebagian besar waktu untuk berkomunikasi. Seperti juga seperti bernafas, komunikasi sering dianggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga sering tidak terpikirkan untuk melakukannya dengan efektif.

Bagaimana berkomunikasi secara efektif? Pertanyaan itu sering terlontar ketika saya memberikan pelatihan soal komunikasi publik. Pertanyaan ini muncul karena kita sering tidak pernah secara khusus mempelajari bagaimana menulis dengan efektif, bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbicara secara efektif. Bahkan kita tak pernah belajar untuk menjadi pendengar yang baik.

Komunikasi yang efektif menurut Littlejohn (1999) bisa dibangun dibangun dengan konsep saling ketergantungan (interdependency) dengan publik. Karena unsur paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang dikatakan atau ditulis, tetapi pada karakter komunikator dan bagaimana ia menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komunikan). Melalui konsep saling ketergantungan ini, diharapkan munculnya efek saling percaya, saling menghargai dan rasa empati.

Selain itu ada juga 5 Hukum Komunikasi yang Efektif (The Inevitable Laws of Effevtive Communication). Kelima hukum ini adalah respect (penghargaan), empathy (empati), audible (dapat didengar), clarity (jelas) dan humble (rendah hati).

Respect (penghargaan) sangat diperlukan dalam mengembangkan komunikasi yang efektif. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pada prinsipnya semua manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Sedangkan empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain.

Makna dari audible (dapat didengar) adalah seorang pemimpin hendaknya mampu menerima umpan balik dengan baik. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan (clarity) dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dan hukum terakhir dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati (humble). Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain.

Dengan mengetahui dan membangun rencana strategi komunikasi yang efektif, rasanya model serbuan APK caleg ini bisa segera ditinggalkan. Karena memang publik tak peduli lagi dengan berbagai slogan kosong di APK caleg. Apalagi APK milik sang calon wakil rakyat itu jelas-jelas menyalahi aturan. Duh!!!

Page 18: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Mengawasi APK CalegKomisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PKPU No 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Aturan yang disahkan tanggal 27 Agustus 2013 itu resmi berlaku sebulan kemudian. Artinya, sejak tanggal 27 September 2013, seluruh Alat Peraga Kampanye (APK) milik calon anggota legislatif (caleg) harus sudah menyesuaikan dengan aturan ini.

Terhadap Peraturan KPU ini, Bawaslu juga sudah meresponnya melalui Surat Edaran (SE) No 684 tertanggal 23 September 2013. Tentunya, isi SE Bawaslu tersebut menegaskan kepada jajaran pengawas pemilu untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tersebut. Hasil pencermatan Bawaslu Provinsi Sumut, terhadap pelaksanaan Peraturan KPU tersebut, ada beberapa hal yang mendasar perlu diluruskan. Pertama, KPU sebagai regulator teknis pemilu kurang melakukan sosialisasi terhadap peraturannya. Padahal Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 merupakan peraturan yang sangat penting terkait Alat Peraga Kampanye (APK) calon anggota legislatif. Masalah kedua adalah, masalah koordinasi KPU dengan pemerintah kabupaten/kota. Ini tentunya terkait dengan penetapan wilayah untuk pemasangan APK caleg. Kedua masalah ini kemudian membuat jajaran pengawas pemilu harus bekerja ekstra keras. Hingga batas waktu 27 September 2013, banyak KPU di tingkat kabupaten/kota di Sumut belum melakukan sosialisasi terhadap peraturannya. Apalagi melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota.

Lambatnya KPU di tingkat kabupaten/kota melakukan sosialisasi tentu membuat sumringah para caleg. Beralaskan ketidaktahuan, para caleg kemudian memasang APK sekehendak hati. Jajaran pengawas pemilu di Sumut menemukan ribuan APK caleg bermasalah. Laporan APK caleg yang bermasalah mencakup mengenai jenis APK yang tidak sesuai dengan peraturan KPU. Di Sumut misalnya, para caleg cenderung suka memakai APK jenis baleho atau banner. Padahal sesuai dengan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 pasal 17 disebutkan baleho hanya boleh dipasang oleh partai politik. Sementara para caleg hanya diizinkan memasang spanduk dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 meter dan hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah.

Pelanggaran lain yang dilakukan para caleg dalam memasang APK-nya adalah terkait penempatan. Peraturan KPU sudah tegas menyatakan bahwa APK caleg dilarang ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Penempatan APK caleg yang tidak sesuai ketentuan ini, kemudian menjadi perhatian besar jajaran pengawas pemilu di Sumut.

Sejak awal, jajaran pengawas pemilu memang sudah mengantisipasi potensi kerawanan dalam pemasangan APK caleg ini. Melalui Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No 4 Tahun 2013 tertanggal 18 April 2013, pasal 11, sudah diuraikan potensi-potensi kerawanan tersebut, meliputi; a. kordinasi penetapan lokasi pemasangan APK antara KPU dan Pemerintah, tidak melibatkan peserta dan Pengawas Pemilu; b. penetapan lokasi pemasangan APK, tidak

Page 19: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

mengindahkan nilai estetika dan tata ruang kota; dan c. penetapan lokasi pemasangan alat peraga dikaitkan dengan pendapatan pajak daerah.

Ketiga potensi kerawanan itu kini benar-benar terjadi. Peserta pemilu beralasan tidak mendapatkan informasi. Pemerintah daerah mengatakan belum koordinasi. Pengawas pemilu pun kemudian sibuk mengeluarkan rekomendasi. Menutup tulisan ini, perlu rasanya menyimak pantun pengawas pemilu dibawah ini.

Pedih hari diamuk raja/Picing mata tandanya miris/Pengawas pemilu sudah bekerja/Tapi KPU tetap tidak menggubris/.

Page 20: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

PILIH APK ATAU DIALOG?Pekan-pekan menjelang akhir tahun 2013, Jajaran Pengawas Pemilu di Sumatera Utara (Sumut) masih disibukkan dengan masalah bagaimana mengawasi Alat Peraga Kampanye (APK) yang bertebaran di setiap sudut jalan. Saya pribadi meragukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Alat Peraga Kampanye bisa berjalan efektif. Pasalnya, saya menilai adanya kelemahan di aturan tersebut akibat ketiadaan sanksi terhadap pelaku pelanggaran.

Maka itu, pertanyaan kawan-kawan pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota di Sumut sering jawab dengan enteng. "Lho, memangnya ngapain kita repot-repot. Perlu diingat bahwa kalau pun soal APK ini dilanggar peserta pemilu, bahwa yang dilanggar itu aturan KPU. Bukan aturan pengawas pemilu," demikian saya biasanya menjawab.

Maka itu, saya dalam berbagai kesempatan bertemu dengan para calon anggota legislatif di ruang publik, selalu mengingatkan bahwa pentingnya untuk mengedepankan dialog ketimbang memasang APK. Saya sejak dulu berkeyakinan bahwa, APK dalam bentuk iklan luar ruang dan iklan melalui media massa, sangat tidak efektif untuk menarik pemilih.

Sebagai orang yang belajar ilmu komunikasi, saya meyakini apa yang dikatakan Al Ries dalam bukunya,"Fall of Advertising and Rise of Public Relations (2004)". Ries dalam buku itu dengan apik mencontohkan bahwa kini iklan bukanlah media yang baik untuk meningkatkan penjualan (selling). Iklan kini tak lebih dari sebuah medium yang tak mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat secara luas. Ries juga mencontohkan bahwa, iklan kini tak berbeda seperti lukisan yang hanya enak dipandang, tapi tak dibeli kecuali oleh orang yang benar-benar menyukainya.

Kembali ke soal APK yang dipajang dalam bentuk iklan di ruang-ruang publik, saya kok merasa hal ini merupakan pemborosan. Tak ada nilai lebih dari APK para caleg yang dipajang di ruang publik selain, jelas hal itu merupakan pelanggaran aturan berkampanye.

Bagi saya, dialog kepada publik secara langsung akan bisa meningkatkan bobot pencitraan seorang calon anggota legislatif. Menyampaikan visi dan misinya melalui jaringan tim kerja yang kuat, akan bisa membantu menjangkau khalayak secara luas dan tepat sasaran. Nah, kalau ini yang bisa dilakukan, maka pengawas pemilu gak perlu lagi galau mikirin APK yang bertebaran. Kan sama-sama enak.

1 Desember 2013

Page 21: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Embargo APK CalegUsai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Bawaslu RI tentang Pengawasan Logistik Pemilu, 1-3 Desember 2013 di Jakarta, saya iseng untuk jalan-jalan ke Bali. Niat semula sebenarnya hanya ingin keluar dari rutinitas sebagai pengawas pemilu sejak lima bulan terakhir ini.

Begitu mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali, mata saya yang terbiasa awas melihat Alat Peraga Kampanye (APK) para caleg, seperti berkedut-kedut. Pasalnya, sejak keluar dari kawasan bandara, saya hampir tak menemui APK milik caleg bertebaran di sekitar kawasan Denpasar maupun Kuta.

"Luar biasa." Batin saya berkata melihat kondisi Bali menjelang Pemilu 2014 ini. Saya betul-betul iri melihat kondisi di Bali yang tidak semrawut dengan APK caleg. Ketika saya bertanya pada supir taksi, saya mendapatkan jawaban tak acuh. "Disini yang penting bisnis, pak. Gak ngerti saya soal caleg-cale itu," kata supir taksi yang saya tanyai.

Meskipun minim APK caleg, saya memang masih menemui di beberapa sudut gang di sekitar Denpasar, ada caleg yang memasang APK-nya. Bentuknya dalam ukuran baleho sekitar 2x3 meter. Hasil amatan saya, para caleg yang memasang APK, kebanyakan dari partai berwarna merah yang selama ini memang dikenal "menguasai" Bali.

Soal APK yang dipasang di billboard atau baleho berbayar, saya sama sekali tak berhasil menemukannya. Tak seperti di Medan, tiang-tiang reklame dipadati iklan politik para caleg yang memajang fotonya sambil tersenyum. Di Bali, hal yang berbeda saya temui. Bahkan, saya mencoba mencari-cari mana tahu ada wajah Gubernur Bali, Made Mangkupastika di tiang-tiang reklame itu. Hasilnya pun nihil. Saya tersenyum sendiri mengingat betapa narsisnya para pejabat publik semacam gubernur atau walikota di Sumatera Utara. Lagi-lagi kenyataan kontras saya temui. Jika di Sumatera Utara, hampir dengan mudah didapati wajah sang gubernur, maka di Bali keadaannya terbalik. Ah, saya sampai mengelus dada melihat kenyataan bahwa "syndrome narsis" itu memang sudah akut di tanah kelahiran saya.

Lewat tengah malam, sambil berjalan di trotoar Jalan Legian menuju Pantai Kuta, saya merenung. Apakah karena Bali merupakan daerah tujuan wisata, maka disini, para caleg seolah sadar diri mematut dirinya di APK? Saya kemudian membandingkan suasana di Kota Pematang Siantar yang tak jauh berbeda dengan Medan. Sebagai gerbang menuju kawasan Danau Toba, Kota Siantar bisa dikatakan daerah tujuan wisata. Saya kembali terenyuh. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala saya. Apa yang salah dengan APK di Sumatera Utara. Para caleg, ramai-ramai melakukan pelanggaran massal dengan berbagai dalih. Ada yang bilang bahwa pemasangan APK dalam bentuk poster tidak dilarang. Ada juga berkilah bahwa memasang APK di becak tak diatur. Lho, ini kan bukan semata-mata soal aturan. Ini soal bagaimana kita membangun sistem pemilu yang adil dan beradab.

Tak terasa, di pertengahan Jalan Legian, tak jauh dari Monumen Bom Bali, saya menemukan sebuah cafe. Namanya asyik; M-Bar-Go. Tiba-tiba saya bersemangat untuk mengatakan pada

Page 22: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

semua orang, usai pulang dari Bali ini. Ya, kiranya perlu dilakukan embargo atau penghentian sementara (terjemahan bebas saya) terhadap pemasangan APK di Sumut. Tentunya, ya ini atas kesepakatan anda-anda semua, para caleg yang terhormat!

6 Desember 2013

Page 23: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Efektifkah Iklan Kampanye?Suatu hari di ujung bulan November 2013, sambil duduk di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumut, saya bersama Edward Bangun, asisten Bawaslu Provinsi Sumut yang juga wartawan sebuah harian di Medan, menemukan sebuah iklan di Harian Sumut Pos. Empat mata kami langsung melotot, begitu mendapati pemandangan ganjil adanya iklan di Harian Sumut Pos tersebut.

"Wah ini bisa kena peringatan. Kok bisa-bisanya sudah pasang iklan politik para caleg ini," kata Edward pada saya. Saya masih mengamati iklan di media cetak tersebut dengan seksama. Kami lantas mendiskusikan masalah iklan tersebut sembari membuka-buka UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum.

Saya tak akan bicara soal apakah iklan politik itu salah atau benar dari sisi pengawasan. Saya ingin mengulas sedikit soal apakah efektif memasang iklan politik, di rentang waktu yang hampir lima bulan menjelang Pemilu 2014 itu. Pembicaraan mengenai kampanye dengan iklan politik memang sudah terlanjur ramai dibicarakan. Namun apakah iklan politik akan efektif mempengaruhi pemilih pada Pemilu 2014 ini?

Rice&Atkins (1989) menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan iklan politik di media massa. Dalam pandangan Rice&Atkins kampanye politik harus memperhatikan aspek-aspek kognitif, afektif, dan behavior. Jika dalam aspek kognitif, partai politik atau calon anggota legislatif harus mengetahui siapa pemilihnya. Sedangkan ketika masuk ke dalam aspek afektif, harus ada sikap empati terhadap pemilih. Sehingga ketika pada tingkatan aspek behavior, pemilih akan menunjukkan sikapnya mendukung partai politik atau calon anggota legislatif yang berkampanye.

Akankah hal itu terjadi? Pengalaman pahit tentang kampanye dengan iklan-iklan politik berbiaya tinggi pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009 tentu masih dalam ingatan kita. Partai politik yang jor-joran berkampanye lewat iklan politik, ternyata tak mendapatkan hasil memadai ketimbang biaya yang dihabiskan. Khalayak tetap saja mempunyai patron politik sendiri dalam memilih partai politik atau calon anggota legislatif.

4 Desember 2013

Page 24: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

BAGIAN KETIGA

Page 25: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

MAU KEMANA PENGAWASAN DANA KAMPANYE?Kerumitan mengawasi masalah dana kampanye caleg di Pemilu 2014 sudah membayang di mata saya. Hal ini karena menurut saya, esensi pengawasan pemilu itu ya harusnya di soal dana kampanye ini. Merujuk ke beberapa election comitee di luar negeri, pengawasan dana kampanye merupakan persoalan krusial. Namun, melihat aturan soal dana kampanye ini, saya kemudian merasa pesimis akan bisa dilakukan pengawasan secara efektif. Hal ini karena berubah-ubahnya sistem pemilu di Indonesia. Ini membuat masalah besar di pengawasan dana kampanye yang seharusnya sudah dirumuskan sejak jauh hari. Lihatlah bagaiman sistem pemilu yang saat ini dicampur adukkan antara sistem pemilu berbasis parpol dan sistem pemilu berbasis kandidat. jika merujuk ke negara-negara di Eropa, maka kita akan melihat bahwa sistem pemilu disana jelas berbasis parpol. Hal ini tentu akan sangat memudahkan pengawasan dana kampanye oleh election comitee. Sedangkan di negara-negara seperti Amerika dan Asia, memang sistem pemilunya berbasiskan kandidat. Artinya, kandidat merupakan pihak yang akan diawasi dana kampanyenya.

Di Indonesia, dengan keputusan Mahakamah Konstitusi tahun 2009, bahwa caleg yang memperoleh suara terbanyak yang akan duduk di parlemen, membuat dampak pada pengawasan dana kampanye. Padahal, aturan pemilu sudah menyebutkan bahwa dana kampanye itu menjadi tanggung jawab parpol. Dengan keputusan MK ini, maka caleg akan sangat besar kemungkinan (dan ini sudah terjadi) membangun tim sukses sendiri dan menggunakan dana kampanye secara mandiri.

Kerumitan ini tentu makin dipertegas dengan Peraturan KPU No 17 Tahun 2013 tentang Dana Kampanye, yang mewajibkan parpol melapor pemasukan dan pengeluaran dana kampanyenya pada KPU. Saya tak bisa membayangkan bagaimana kerumitan pengawasan yang dilakukan terhadap dana kampanye ini. Para pengawas pemilu bukanlah orang-orang yang dididik secara spesifik dalam bidang ekonimi, khususnya akuntansi. Maka, ini tentu akan menimbulkan banyak penafsiran dalam melakukan pengawasan dana kampanye. Bayangan saya, pengawasan dana kampanye ini akan tetap tidak bisa efektif dilakukan sebelum adanya ketegasan dari para pembuat Undang-Undang untuk membangun sistem pemilu yang tidak ambigu. Tentunya, ini akan mencegah munculnya pertanyaan dari seorang pengawas pemilu di Sumut kepada saya,"mau kemana pengawasan dana kampanye ini kita bawa?" Dan saya lagi-lagi tak bisa menjawabnya.

1 Desember 2013

Page 26: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Pemilu Edisi Revisi dengan Tertib Dana KampanyeKomisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menelurkan Peraturan KPU (PKPU) No 17 Tahun 2013 tertanggal 22 Agustus 2013 yang mengatur tentang pedoman pelaporan dana kampanye peserta pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Harus disadari bahwa proses politik demokratis tidak akan dapat berlangsung tanpa sumber keuangan (dana kampanye). Partai politik tidak akan dapat mengorganisasi dirinya, para politikus tidak akan dapat berkomunikasi dengan publik, dan kampanye pemilu tidak akan dapat dilaksanakan bila tidak terdapat dana yang memadai.

Singkat kata, partai politik memerlukan dana yang cukup besar untuk dapat melaksanakan fungsinya, baik sebagai jembatan antara masyarakat dengan negara maupun sebagai peserta pemilu. Karena itu keuangan partai tidak hanya tak terhindarkan, tetapi juga diperlukan. Karena dana bagi partai politik peserta pemilu sangat diperlukan, maka sangatlah menarik masalah ini.

Jika merunut PKPU diatas, maka, pada bulan Oktober ini, seharusnya jajaran pengawas pemilu harus sudah menelisik laporan dana kampanye yang seyogyanya wajib diserahkan kepada KPU pada semua tingkatan oleh partai politik peserta pemilu.

Seperti yang tercantum pada PKPU No 17 Tahun 2013, Pasal 22 ayat 1, disebutkan bahwa "Pengurus Partai Politik Peserta Pemilu pada setiap tingkatan wajib melaporkan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota"

Menariknya, hingga kini, belum satu pun partai politik di Sumatera Utara (Sumut) menyerahkan laporan dana kampanyenya kepada KPU. Saya berfirasat, partai politik peserta pemilu akan menggunakan Pasal 20 ayat 5 dalam PKPU No 17 Tahun 2013 yang menyebutkan "Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadual pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum".  Maka itu, saya berkeyakinan bahwa partai politik peserta pemilu baru akan menyerahkan laporannya tepat paling sekitar bulan Maret 2014.

Membaca PKPU NO 17 Tahun 2013, saya ingin menguraikan bahwa saat ini, para calon anggota DPR dan DPRD, kurang memahami soal dana kampanye ini. Para calon anggota legislatif (caleg) ini kemudian sesuka hati memasang Alat Peraga Kampanye (APK) tanpa memperhitungkan dampak yang akan mereka rasakan ketika nanti melaporkan penggunaan dana kampanye kepada partai politiknya. Lihat saja pada Pasal 4 ayat 1 bahwa sejatinya kegiatan kampanye pemilu calon anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota menjadi tanggungjawab partai politik peserta pemilu.

Maka itu, sejak namanya terdaftar sebagai caleg di KPU, maka partai politiklah yang mempunyai tanggungjawab terhadap semua aktivitas kampanye para caleg. Pemasangan atribut pribadi caleg tanpa berkoordinasi dengan partai politik peserta pemilu tentu akan menyulitkan nanti ketika pelaporan. Nah, bisa saja sebenarnya para caleg asal-asalan memberikan laporan penggunaan dana yang sudah dikeluarkan sejak awal kampanye, namun tentunya jajaran pengawas pemilu juga punya data yang akurat untuk menyanggah hal itu.

Pada Pasal 21 disebutkan bahwa setidaknya laporan dana awal kampanye yang nanti diserahkan partai politik peserta pemilu kepada KPU akan mencakup; 1) informasi penyumbang, 2) jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye berupa uang, barang dan/atau jasa sejak hari pertama Kampanye Pemilu nonrapat umum sampai dengan paling

Page 27: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadual pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum, 3) jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye sebagaimana tercatat dalam Rekening Khusus Dana Kampanye dari bank sejak dibuka sampai dengan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadual pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum.   

Nah, pertanyaan pamungkasnya, bagaimana jika partai politik peserta pemilu tidak melaporkan dana awal kampanyenya? Dalam PKPU NO 17 Tahun 2013, pasal 21 ayat 5 memang disebutkan bahwa dalam hal Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan, KPUakan mengumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman dan/atau website KPU paling lambat 3 (tiga) hari setelah batas waktu PesertaPemilu tidak menyampaikan laporan hasil perbaikan. Sementara UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD menyebutkan pada pasal 138 bahwa pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota yang tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu maka partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi calon terpilih. Mudah-mudahan, Pemilu 2014, seperti yang dikatakan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nur Hidayat Sardini, sebagai pemilu edisi revisi akan didukung oleh niat baik partai politik peserta pemilu dengan menegakkan aturan setegak-tegaknya.

Page 28: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Dana Kampanye Oh Dana KampanyeJumat, 27 Desember 2013, saya baru saja turun dari pesawat Garuda yang membawa saya ke Jakarta. Tujuan saya adalah menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Bawaslu Provinsi se-Indonesia yang sedianya akan dilaksanakan dua hari.

Begitu menghidupkan blackberry, saya mendapati, lampu pesan berwarna merah di smartphone itu berkedip-kedip. Saya kemudian membaca pesan disana. Fatikhatul, sahabat saya, sesama anggota Bawaslu di Provinsi Lampung menyampaikan kabar. "Sudah baca SE KPU 860?" Saya bingung, SE KPU apalagi ini. Sehari sebelum berangkat, saya memang menyiapkan bahan-bahan monitoring terkait dana kampanye partai politik agar dikerjakan Panwas Kabupaten/Kota se-Sumut.

Saya membalas pesan Fatikhatul dengan bertanya, terkait apa SE KPU tersebut. Tepat dugaan saya, SE KPU bernomor 860 tertanggal 24 Desember itu berkaitan dengan Pelaporan Dana Kampanye Parpol Tahap I ke KPU. Bergegas saya minta pada Fatikhatul agar dikirimi salinan SE KPU tersebut. Sambil duduk diatas taksi yang membawa saya ke Hotel Kaisar, tempat acara berlangsung, saya tertawa membaca surat edaran tersebut. Terus terang, semangat saya luntur membaca SE KPU yang sangat kontradiksi dengan PKPU No 19/2013 tentang jadwal tahapan pemilu 2014. Ah, saya sampai tak bisa bicara apapun.

Tak lama, smartphone saya berdering-dering. Teman-teman Panwas Kabupaten/Kota di Sumut kebingungan. Pasalnya, setelah kemarin kami bersepakat akan mengawasi pelaporan dana kampanye tahap I secara ketat, dimana sesuai jadwal dilaksanakan paling lambat tanggal 27 Desember, maka SE KPU itu membuat ceritanya jadi lain. Pertama, dalam SE KPU tersebut disebutkan bahwa waktu pelaporan dana kampanye tahap I diperpanjang selama dua hari. Artinya, KPU memberi kelonggaran sampai tanggal 29 Desember 2013 bagi parpol yang belum melaporkan dana kampanyenya. Kedua, dalam SE KPU itu juga disebut, sebagai bagian dari pendidikan politik, jika parpol belum bisa menyerahkan laporan dana kampanyenya pada tanggal 29 Desember 2013, maka akan bisa diserahkan lagi, tetapi dengan membuat surat keterangan terlambat. Oalah!!!

Saya kecewa, benar-benar kecewa. Bagi saya, esensi pengawasan pemilu tentu termasuk mengawasi dana kampanye. Lihatlah di Pemilu Amerika, pengawasan terhadap dana kampanye begitu ketat. Dana yang disumbang dan dinyatakan berlabel "haram" akan menjadi masalah yang berat. Tapi disini lain cerita. Ini belum lagi bicara soal dana kampanye. Ini masih bicara soal kepatuhan mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan. Dan kita sudah sangat longgar.

Ada apa dengan KPU? Saya tak mau menduga-duga terlalu jauh apa yang dipikirkan oleh teman-teman KPU sehingga mengeluarkan SE KPU 860 itu. Bagi saya, jika kepatuhan pada jadwal saja tak bisa ditegakkan, tentu akan sangat berat untuk berbicara mengenai pengawasan dana kampanye parpol di pemilu 2014 ini.

Dalam perspektif pendidikan politik, tentu, dimana-mana akan ada aspek reward dan punishment. Maka tentunya, agak kurang tepat jika KPU masih bicara perspektif pendidikan politik tapi tanpa melihat kedua aspek diatas. Ini tentunya sangat menggelisahkan para pengawas pemilu. Kawan-kawan saya di Panwas Kabupaten/Kota se-Sumut gamang. Molornya waktu membuat mereka tak tahu harus bagaimana bersikap melakukan pengawasan. Ah, naif jika saya kemudian menyalahkan teman-teman KPU. Bukankah sejatinya, permasalahan ini

Page 29: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

tidak berada di KPU. Permasalah terbesar kita adalah bagaimana sebagai sebuah bangsa, kita harus punya tekad yang sama untuk membangun demokrasi dan pemilu yang adil. Itu saja! 

Medan, 31 Desember 2013

Page 30: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Letoynya Aturan Dana KampanyeIqbal, wartawan Harian Sumut Pos yang biasanya meliput pemilu di Sumut, suatu hari menelepon saya. Ia meminta pendapat terkait laporan dana kampanye parpol yang sudah diserahkan kepada KPU. "Ada caleg yang nyumbang ke parpolnya lebih dari 1 milyar, bang," ucap Iqbal.

Sejak Peraturan KPU (PKPU) No 17 Tahun 2013 dikeluarkan, saya sudah mencermatinya dengan teliti. Saya kemudian menemukan adanya kelemahan aturan tersebut, terkait apa yang disampaikan Iqbal. Maksudnya begini, di dalam PKPU 17 itu tak diatur mengenai sumbangan yang diberikan oleh caleg kepada parpol. Pasal 11 dalam PKPU itu cuma mengatur soal besaran dana kampanye yang boleh diberikan oleh perseorangan, kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha non pemerintah. Nah, bagaimana soal sumbangan dari caleg yang diberikan ke parpolnya?

Ini sama sekali tak diatur. Maka pertanyaan Iqbal tadi menjadi relevan dibahas karena sangat mungkin sumbangan dari pihak lain baik dari perseorangan, kelompok atau badan usaha non pemerintah, dimanipulasi menjadi sumbangan pribadi caleg. Tentu saja, karena peraturan KPU tak mengatur besaran dana kampanye yang boleh diberikan caleg pada parpolnya.

Lucunya lagi, peraturan itu malah mengatur bahwa sumbangan yang berasal dari perseorangan termasuk sumbangan dari keluarga caleg. Maka itu, saya kemudian memberi pendapat bahwa sangat besar kemungkinan adanya manipulasi dalam laporan dana kampanye yang diberikan peserta pemilu kepada KPU.

Persoalan lain yang saya sampaikan agar ditulis di media massa tempat Iqbal bekerja adalah tentang keharusan dana kampanye peserta pemilu yang dilaporkan partai politik ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa sebelum parpol atau caleh menggunakan dana tersebut untuk kegiatan kampanye pemilu, maka seluruh dana kampanye harus tercatat di rekening khusus dana kampanye.

Ini tentu sesuai pasal 10 dalam PKPU 17, bahwa caleg wajib menempatkan dana kampanyenya pada rekening khusus dana kampanye parpol sebelum digunakan. Belajar dari pengalaman pelaporan dana kampanye tahap I yang dilaksanakan akhir desember 2013 lalu, saya ingin mengingatkan agar peserta pemilu bisa lebih memahami aturan mengenai laporan dana kampanye.

Medan, 7 Desember 2014

Page 31: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Mana Dana Kampanye Caleg?Mencermati soal dana kampanye parpol yang telah dilaporkan ke KPU pada tanggal 27 ZDesember 2013 lalu, saya kemudian semakin penasaran. Setelah menelisik sejarah dana kampanye ini, saya menemukan penaikan jumlah batasan sumbangan dana kampanye yang signifikan dalam UU No. 8 Tahun 2012.

Jika sebelumnya dalam UU No. 10 Tahun 2008 diatur dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar), dalam UU pemilu yang baru, batasannya dinaikan menjadi sebesar Rp 7.500.000.000,00 (tujuh koma lima milyar).

Sedangkan batasan sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini boleh jadi sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Tapi bukan soal batasan jumlah sumbangan itu yang saya permasalahkan, namun tentang batasan jumlah dana belanja kampanye caleg. Hal ini karena UU No 8 tahun 2012 sama sekali tak mengatur soal dana belanja caleg. Padahal untuk menjaga kompetisi yang adil antarcalon dalam sistem proporsional terbuka, maka seharusnyalah diterapkan pembatasan belanja kampanye bagi setiap caleg.

Saya kemudian mencoba menelusuri persoalan ini. Sejumlah fraksi di DPR RI pada pandangan akhir fraksinya ketika membahas UU pemilu ini, juga sudah memberi usulan tentang batasan dana belanja caleg. Fraksi PDI-Perjuangan dan PKB, misalnya memberi batasan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan Fraksi PKS memberi batasan Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Namun, entah mengapa usulan itu kandas dan tak berbekas di UU pemilu. Ah, saya kemudian membayangkan, sulitnya membangun kompetisi yang fair di Pemilu 2014 jika hal ini tak diatur. Tapi ya mau bilang apa lagi!

Medan, 11 Januari 2014

Page 32: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

BAGIAN KEEMPAT

Page 33: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Martabat Pengawas PemiluKetika membuka acara Rakernis Pengawasan Logistik, 13-15 Desember 2013, di Jakarta, pimpinan Bawaslu RI, Nasrullah mengemukakan pendapat yang membuat saya tersadar tentang posisi jajaran pengawas pemilu. Pak Nas (demikian sapaan Nasrullah) mengemukakan bahwa dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada jajaran pengawas pemilu, tidak diikuti dengan semakin tingginya marwah lembaga ini.

Pak Nas kemudian mencontohkan Komisi Yudisial (YK) yang terlihat sangat bermarwah dan bermartabat dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan Bawaslu, menurut Pak Nas belumlah bisa disandingkan. Padahal, jika dibandingkan dengan kewenangan KY, Bawaslu mempunyai kewenangan yang lebih luas, tak hanya memberi rekomendasi namun bisa melakukan eksekusi terhadap beberapa hal terkait ruang lingkup kerjanya.

Apa yang dikatakan Pak Nas, boleh jadi betul. Namun, tentu saja, Bawaslu tak mungkin disamakan dengan KY. Jika mau disandingkan, tentu lebih elok jika membandingkan antara KY dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Saya melihat, sosok DKPP sebagai sebuah lembaga sudah cukup kokoh. Sebagai moral guard bagi penyelenggara pemilu, DKPP bisa dikatakan berhasil mencitrakan dirinya, bukan hanya dihadapan para penyelenggara pemilu, melainkan juga publik.

Sebenarnya, jika melihat postur Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di bidang pengawasan, maka model pencitraannya haruslah sama dengan DKPP. Bawaslu harus terlibat gagah dan berwibawa dihadapan sesama penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Untuk point pertama ini, saya melihat ada proses pasang-surut. Hubungan jajaran Bawaslu dan KPU bisa dikatakan harmonis, namun disaat yang lain, tak mungkin menyembunyikan aroma perbedaan pendapat.

Sedangkan point lainnya, adalah bahwa jajaran pengawas pemilu tentu harus mendapatkan dukungan dan pengakuan dari publik. Saya menyadari sampai saat ini, Bawaslu belumlah mendapat dukungan dari publik secara riil. Sebagai pengawas pemilu, jajaran Bawaslu tentu sangat membutuhkan dukungan publik secara luas. Dukungan ini tentu tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, karena Bawaslu tentu harus menjaga dirinya terhadap hal tersebut.

Terkait dua point tersebut, dalam perjalanannya mengawal pemilu, jajaran Bawaslu tentu harus mengeluarkan rekomendasi yang bernas dan ajeg, agar publik merasakan manfaatnya. Keberpihakan publik kepada Bawaslu harus dibangun secara simultan, agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Saya meyakini, kerja jajaran pengawas pemilu tak akan pernah bisa sukses, jika tak didukung oleh publik. Maka itu, tentu saja, jajaran pengawas pemilu tak bisa main-main menjalankan tugas dan fungsinya. Ada beban berat yang disandangnya, untuk mengangkat martabat dan marwahnya. Semoga kita semua, jajaran pengawas pemilu, bisa melaksanakannya.

Page 34: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Medan 16 Desember 2013

Page 35: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Memahami Prilaku PemilihMenghadapi Pemilu 2014 ini, sebagai pengawas pemilu, saya sering mendapat lontaran pertanyaan sederhana namun agak sulit dipahami para calon anggota legislatif. "Bagaimana ya memahami prilaku pemilih?" Karena banyaknya pertanyaan soal ini, saya kemudian ingin menulis saja soal prilaku pemilih ini, dan mudah-mudahan bisa membantu kita semua membangun pemilu yang beradab.

Dalam kajian ilmu komunikasi, setidaknya ada tiga faktor yang  harus diperhatikan untuk memahami perilaku pemilih. Faktor-faktor itu adalah: sosiologis, psikologis dan rasional (Sugiono, 2005). Ketiga faktor ini saya yakini, bisa menjelaskan strategi komunikasi yang efektif dalam memahami prilaku pemilih dalam Pemilu 2014.

Faktor sosiologis bisa dipahami bahwa prilaku pemilih berorientasi pada budaya, agama dan sosial. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Lipset (dalam Sherman dan Kolker, 1987) menunjukkan adanya hubungan agama dengan kecenderungan seseorang memberikan pilihannya. Faktor ini pun sebenarnya sangat gamblang terjadi di Indonesia. Lihat saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang (dulunya) berbasis organisasi kemasyarakatan Nadhlatul Ulama bisa meraih jumlah suara yang cukup banyak dalam pemilu.

Faktor lainnya adalah faktor psikologis. Faktor ini secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya sangat dipengaruhi sikap dan sosialisasi. Proses penyampaian sikap dan sosialisasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya, pemilih bisa dipengaruhi oleh prilaku politik orang tua, kelompok acuan, kelompok pekerja, kelompok kebudayaan, dan lain-lain.

Dan yang ketiga faktor rasional. Nursal (2004) menjelaskan faktor rasional bermuara pada kesimpulan bahwa pemilih selalu bersikap rasional. Para pemilih melakukan “penilaian” yang selektif terhadap tawaran dari seorang calon anggota legislatif. Pemilih yang memberikan pilihan pada seorang calon anggota legislatif akan melandasi pilihannya pada pertimbangan-pertimbangan dan alasan yang logis. Memahami ketiga faktor prilaku pemilih ini penting agar para calon anggota legislatif tidak terperosok melakukan strategi komunikasi yang tidak efektif.

Namun pertanyaanya, bagaimana melakukan komunikasi yang efektif guna “menjual” seorang calon anggota legislatif di Pemilu 2014? Newman (1999) dalam buku The Mass Marketing of Politics, Democracy in Age of Manufacturer menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu berusaha untuk melihat sang kandidat secara utuh.

Dalam bukunya yang lain Newman (1985) juga menjelaskan bahwa individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif. Pertama, program dan kebijakan publik. Seorang calon anggota legislatif akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikannya jika kelak menjadi legislator. Program dan kebijakan publik itu termasuk didalamnya bidang ekonomi, hukum, budaya, dan sosial. Kedua, citra sosial adalah citra seorang calon anggota legislatif dalam pikiran pemilih mengenai berada dalam posisi apa,

Page 36: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

tergolong kelompok sosial mana dan partai politik apa yang mengusungnya menjadi calon anggota legislatif.

Ketiga, perasaan, dimana pemilih akan memberikan penilaian terhadap prilaku atau pun aktivitas sang calon anggota legislatif dalam memberikan pendapatnya terhadap sebuah peristiwa. Keempat, karakter yang bisa dinilai sebagai sifat-sifat personal dari seorang calon anggota legislatif. Kelima, peristiwa mutakhir (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan, dan kebijakan sang calon anggota legislatif menjelang pelaksanaan pemungutan suara. Keenam, peristiwa personal (personal event) dimana pemilih akan memberikan penilaiannya terhadap jalinan kehidupan sang calon anggota legislatif. Seperti apakah sang calon anggota legislatif seorang tokoh agama, birokrat, atau pengusaha. Ketujuh, isu-isu, adalah aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih terhadap sang calon anggota legislatif. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok calon anggota legislatif sebagai figur yang benar-benar bisa diandalkan memecahkan persoalan publik.

Sistem Pemilu 2014 yang kini telah berubah menjadi sangat demokratis, dimana rakyat diberikan kebebasan untuk memilih langsung, tak hanya parpol saja, tentu menjadi tantangan berat. Dengan memahami prilaku pemilih, menurut saya akan bisa membantu para calon anggota legislatif membangun strategi komunikasi yang efektif.

1 Desember 2013

Page 37: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Kelas Menengah dan Partisipasi PemilihKetika melakukan diskusi dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diselenggarakan Panwaslu Kota Medan, 16 Desember 2013, saya (lagi-lagi) mendapati sikap pesimis soal pemilu dan demokrasi di Indonesia. Teman saya, Majdah El Muhtaz, dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) yang turut menjadi pembicara mengemukakan dengan keras pendapatnya soal pemilu yang belum bisa menghasilkan kepemimpinan politik, seperti yang diharapkan publik secara luas. Majdah dan hampir seluruh audiens di acara itu, mengkritisi persoalan rendahnya partisipasi publik dalam pemilu. Apa yang dikatakan Majdah dan para audiens boleh jadi betul dan benar terjadi. Namun, tentu kita harus lihat dulu akar persoalannya. 

Saya berpendapat, persoalan partispasi publik dalam pemilu lebih disebabkan tidak acuhnya masyakat kelas menengah. Hal ini karena, masyarakat kelas menengah di Indonesia, sedang menikmati zona aman, pasca krisis ekonomi di Indonesia. Lihatlah, partisipasi politik masyarakat kelas menengah sejak Pemilu 2004 dan 2009 semakin menurun.

Padahal, jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori kelas menengah terus bertambah. Logika sederhana adalah, jika masyarakat kelas menengah bertambah, maka demokrasi akan semakin baik. Sejatinya, pesta demokrasi dalam bentuk pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, sudah terbukti menjadi bagian yang mendorong peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah ini. Terjadi laju peningkatan perekonomian karena proses-proses politik dalam bentuk pemilu. Sektor riil menjadi hidup. Namun yang patut disesalkan, meningkatnya jumlah kelas menengah tidak diiringi dengan kebangkitan kesadaran untuk mendukung sistem demokrasi.

Maka itu, kebangkitan kesadaran politik kelas menengah mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pemilu. Antitesanya sederhana, sikap negatif kelas menengah terhadap pemilu tentu akan berkontribusi terhadap terpilihnya pemimpin yang tidak kredibel.

Lihatlah, pemilukada di DKI Jakarta. Saya sangat yakin, suksesnya pasangan Jokowi-Ahok karena didukung masyarakat kelas menengah yang kini menjadi mayoritas di Jakarta. Jokowi-Ahok tentu menjadi pembenaran, bahwa kelas menengah saat ini sedang menginginkan perubahan di Jakarta. Lokomotifnya tentu ada ditangan Jokowi-Ahok yang dinilai kelas menengah akan bisa melakukan hal tersebut.

Maka itu, saya mencermati, kini yang paling penting adalah mendorong masyarakat kelas menengah untuk kembali ikut dalam pesta demokrasi ini. Keberhasilan dan capaian yang sudah didapat masyarakat kelas menengah dalam bidang ekonomi, akan lambat laun bisa rubuh jika pemilu tidak menghasilkan kepemimpinan yang cakap dan kredibel. Yakinlah!

Medan, 17 Desember 2013

Page 38: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Resolusi Pengawas Pemilu di SumutHari pertama di tahun 2014, saya merenung di Kantor Bawaslu Provinsi Sumut. Sambil menulis-nulis di laptop, saya memikirkan apa yang harus kami lakukan ditahun 2014. Saya mengurut-urut berbagai tahapan penting yang harus dilewati jajaran pengawas pemilu dalam kaitan tugasnya menjaga pemilu 2014. Panjang sekali daftarnya. Saya sampai kebingungan harus memulai darimana dan mengakhirinya dimana. Ada banyak tugas berat yang harus dijalani.

Setelah merenung cukup lama, saya kemudian menulis sebuah kata. Di selembar kertas yang ada di meja, saya menulis sebaris kata berbunyi. "Ayo Lebih Baik". Saya mencanangkan sebait kalimat itu sebagai resolusi diri saya dan (jika berkenan) menjadi resolusi jajaran pengawas pemilu di Sumut.

"Ayo Lebih Baik" tentu bukan hanya sebaris kalimat kosong. Memang gampang mengucapkannya. Tapi diperlukan lebih dari sekedar suara lantang atau bibir yang mengeras untuk membunyikannya. Ada komitmen dan kesadaran moral yang harus dibangun disana. Komitmen itu adalah bahwa saya dan jajaran pengawas pemilu di Sumut berjanji untuk bekerja dengan lebih sungguh-sungguh. Kendala waktu, tenaga, bahkan biaya, bukanlah hal yang patut dirisaukan. Saya tak akan pernah lupa, ketika tanggal 17 Juli 2013, saya dilantik dan diambil sumpah oleh DR Muhammad, Ketua Bawaslu RI. Kala itu, saya seperti dijatuhi beban berat di pundak. Berat sekali. Sumpah yang saya ucapkan tertatih-tatih saya pahat dalam hati. Saya ingin mengabdikan diri dan hidup saya bagi negeri ini, dengan menjadi pengawas pemilu. Itu komitmen saja.

Kesadaran moral tentunya, adalah bahwa saya punya moral obligation untuk melakukan pekerjaan sesuai peraturan yang ada. Saya tak boleh keluar sedikitpun dari rel yang sudah ada. Saya boleh saja dibenci siapapun, ketika melakukan pengawasan pemilu, tapi sepanjang itu beradar dalam koridor peraturan, saya harus tetap teguh.

Sepanjang 2014 ini, saya dan semua teman-teman pengawas pemilu akan mengalami masa-masa sulit sekaligus bersejarah dalam hidup. Suatu saat, saya akan bisa bercerita pada anak dan cucu saya, bagaiman saya dulu ikut berjuang membangun demokrasi dan pemilu di negeri ini. Agar, mereka bisa hidup lebih baik, dan bangga para leluhurnya sudah membangun negeri ini dengan setulus hati.

Medan, 1 Januari 2014 

Page 39: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

AK-47 Untuk Pengawas PemiluSenapan serbu AK-47 alias Avtomat Kalashnikova 1947, boleh jadi merupakan senjata paling populer di dunia saat ini.  AK-47 disukai oleh gerilyawan, teroris dan banyak tentara di seluruh dunia dan diperkirakan jumlahnya kini berkisar 100 juta pucuk. Tak heran jika kemudian AK-47 menjadi bedil yang paling banyak diproduksi.

Judul provokatif diatas bukan bermaksud membekali para pengawas pemilu dengan senapan AK-47. Judul itu cuma untuk menegaskan bahwa jajaran pengawas pemilu juga punya "senjata" pengawasan yang bisa dilihat di Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No 13 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengawasan Pemilihan Umum.

Dalam sebuah kesempatan di Rakernis Bawaslu di Jakarta, saya bertemu dengan Asisten Bawaslu RI, Turmuji. Pria berperawakan kurus dan hitam manis itu bercerita pada saya tentang proses pembuatan Perbawaslu "AK-47" itu. Saya tercengang. Turmuji adalah salah satu kreator Perbawaslu No 13 tahun 2012. Ia menceritakan bahwa karakteristik Perbawaslu tentang Pengawasan Pemilu itu sudah disesuaikan dengan segala kondisi yang ada di lapangan.

"Jadi tinggal digunakan saja. Seperti senapan AK-47 itu. Dimana saja bisa digunakan. Untuk tempur di semua medan dan cuaca," kata Turmuji.

Saya memang mengakui, jajaran pengawas pemilu mempunyai banyak kelemahan dalam aturan yang mendukungnya. Pokoknya, ruang gerak jajaran pengawas pemilu tidaklah bisa leluasa karena keterbatasan peraturan yang lebih "KPU sentris". Maka itu, menurut Turmuji, solusinya bisa didapat dengan memaksimalkan Perbawaslu No 13 tersebut.

"Itu sudah kita siapkan agar bisa digunakan dengan leluasa oleh jajaran pengawas pemilu," tegasnya lagi.

Ah, usai bertemu Turmuji, saya kemudian membuka-buka file Perbawaslu No 13 tahun 2012 itu di laptop. Saya kemudian merasa beryukur bahwa jajaran pengawas pemilu masih akan bisa bergerak dengan perbawaslu itu. Paling tidak ada secercah harapan bagi pengawas pemilu, di tengah masih semrawutnya pelaksanaan pemilu di tanah air.

Medan, 8 Januari 2014

Page 40: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Skor Seri di Pemilu 2014Gonjang-ganjing soal Dana Saksi Parpol yang ditolak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) usai sudah. Ketua Bawaslu, Muhammad dalam beberapa pertemuan dengan pimpinan Bawaslu provinsi se-Indonesia menyebutkan bahwa masalah Dana Saksi Parpol sudah "almarhum". Maksudnya, Bawaslu sudah tak ingin lagi cakap soal itu. Bawaslu dengan tegas menolak keinginan Kemendagri yang mau agar Bawaslu jadi "kasir" untuk dana tersebut.  

Isu Dana Saksi Parpol selesai, kini muncul polemik lain. Sepaket dengan Dana Saksi Parpol, ada dana lain. Namanya Dana Mitra PPL. Sesungguhnya, dana inilah yang diusulkan Bawaslu kepada parlemen. Rujukan pemikirannya sederhana, jajaran Pengawas Pemilu tak akan mampu untuk berada di semua TPS di seluruh Indonesia. Maka itu dibutuhkan Mitra PPL yang akan jadi pengawas "dadakan".

Awalnya usul Bawaslu ini disambut baik oleh parlemen. Komisi IIDPR RI bahkan mendukung penuh rencana ini.  Alasannya, tentu semakin banyak Pengawas Pemilu, maka akan semakin bagus kualitas pemilu. Dengan anggaran hampir Rp 800 milyar, Bawaslu berencana Mitra PPL akan hadir dua orang per-TPS.  

Yang jadi soal adalah, Kemendagri kemudian meminta Bawaslu untuk menyiapkan Perpres guna mengeluarkan dana tersebut. Giliran Bawaslu yang meradang. Pasalnya, urusan menyiapkan Perpres bukanlah tugas Bawaslu. Kemendagri punya tugas itu karena memang merupakan wilayah kewenangannya. Namun Kemendagri tetap berkeras. Apalagi diujung polemik muncul pernyataan bahwa tidak ada payung hukum untuk mendanai Mitra PPL yang diminta Bawaslu.  

Apa yang terjadi antara Dana Saksi Parpol dan Mitra PPL serta hubungan antara Bawaslu dan Kemendagri menjadi catatan penting dalam Pemilu 2014 ini. Saya berpendapat, skor antara Bawaslu dan Kemendagri ini seri, alias 1-1. Bawaslu menolak Dana Saksi Parpol dan Kemendagri menolak Dana Mitra PPL.   Dalam pertemuan pimpinan Bawaslu Provinsi se-Indonesia di Makassar, 21-24 Februari 2014, Ketua Bawaslu, Muhammad dengan nada prihatin menyatakan penyesalannya tentang Dana Mitra PPL ini. Padahal, menurutnya, Bawaslu sudah merancang program ini jauh hari sebelumnya.

Saya berpendapat sulit membayangkan Pemilu 2014 akan berhasil dan berkualitas jika dengan kekuatan personil pengawas pemilu yang ada.   Sebagai contoh saja di Sumut dengan jumlah TPS mencapai 30 ribu lebih, jajaran pengawas pemilu hanya berjumlah sekitar 19 ribu. Ini artinya, sekitar 11 ribu TPS di Sumut akan tidak bisa diawasi secara ketat oleh pengawas pemilu. Kondisi  ini tentu akan sangat menyulitkan para pengawas pemilu yang harus bekerja ekstra keras.  Yah...mau bilang apalagi, karena skor pun sudah seri.

Page 41: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Relawan Tanpa BayaranMerekrut relawan tanpa honor mungkin termasuk "mission impossible" saat ini. Apalagi sejak Pemilu 1999, 2004 dan 2009, terus terjadi pergeseran nilai-nilai voulenterism di Indonesia. Voulenter atau relawan kini tak bisa dikatakan rela. Serela-relanya relawan, ya pasti ujung-ujungnya mengharapkan uang. Dan kini, Bawaslu dengan kekuatannya menggagas kembali kerelawanan itu tumbuh di Indonesia.

Ketika mendengar Pimpinan Bawaslu RI, Nashrullah bersemangat menjelaskan soal Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP), saya menangkap gagasan ini bukan sekedar sebuah gerakan massif untuk mengawasi pemilu, tetapi untuk memperbaiki semangat ke-relawanan yang saya sebut diatas. Maka, adrenalin saya pun bergolak. Saya ingin gerakan berlabel "mission impossible" ini bisa terwujud. Tak perduli apakah target sejuta itu bisa tercapai atau tidak, jajaran pengawas pemilu di Sumut saya ajak untuk bersama mendukung gagasan ini.

Saya ingin lebih dulu menjelaskan soal pergeseran semangat ke-relawanan yang kini semakin bergeser dari khittahnya. Sebenarnya ini masalah sederhana. Kelatahan para peserta pemilu juga lah yang menyebabkan ini terjadi. Lihat saja, sedikit-dikit ada pemilu, baik pemilukada atau pileg, para calon buat tim yang diberi status "relawan". Padahal sejatinya, relawan yang dibentuk itu adalah kamuflase dari tim sukses. Kalau bicara tim sukses ya tentu saja ada dana yang dikeluarkan. Nah, dari sini, semangat ke-relawanan itu kemudian perlahan bergeser. Relawan sih relawan, tapi kalau disuruh rela serela-relanya tentu jadi tak rela.

GSRPP tentu punya maksud untuk "melawan" pergeseran nilai-nilai kerelawanan itu. Gagasan yang ingin mengembalikan semangat   ke-relawanan untuk duduk pada hakikatnya, tentu tak mudah. Saya pernah bertemu dengan pimpinan ormas yang langsung mengundurkan diri ikut GSRPP usai mendengar tak ada dana yang bisa diberikan. Dengan nada mengejek, ia tak bersedia ikut dengan Bawaslu Sumut mendukung GSPP. Saya hampir menangis mendengar jawaban itu. Bukan sedih karena pimpinan ormas serta pendukungnya mundur dari GSRPP, tetapi membayangkan hal yang sama akan dialami teman-teman pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota.

Ah, keabsurdan bahwa relawan itu juga harus dibayar, semakin menguatkan saya untuk menggalang dukungan. Terbukti, saya menjumpai orang-orang baik yang ternyata punya pikiran berbeda. Masih banyak juga rupanya yang merindukan semangat ke-relawanan itu kembali ke jati dirinya. Merekalah yang kini bergerak. Tanpa pamrih, tanpa bayaran apapun.

GSPP mengutip ucapan Ketua Bawaslu, Muhammad, merupakan mahkotanya pengawas pemilu. Pasca ditolaknya Dana Mitra PPL dikucurkan oleh pemerintah, Bawaslu kini tak punya pilihan lain. GSRPP menjadi "emergency exit" untuk membantu jajaran pengawas pemilu melakukan pengawasan. Kekuatan pengawas pemilu tentu tak akan mampu jika tak didukung relawan untuk mengawasi pemilu. Semoga, niat baik ini bisa terlaksana.

Page 42: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Bang Teguh dan DKPPDewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Ketua Panwas Medan, Teguh Satya Wira, tanggal 24 Juni 2014. Berita itu saya dapatkan ketika saya sedang mengikuti Rakernis Pengawasan Logistik, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Rekapitulasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 23-25 Juni 2014. Hati saya langsung teriris mendengar kabar itu. Teguh, atau bang Teguh merupakan senior saya yang kebetulan menjadi ketua Panwas Kota Medan di Pileg dan Pilpres 2014.

Apa yang dialami Bang Teguh tentunya menarik perhatian banyak orang. Saya langsung menelepon Bang Teguh, dan menyatakan prihatin ketika mendapat kabar itu. Tak lama setelah itu, teman-teman Panwas dari berbagai kabupaten/kota di Sumut juga menghubungi saya mengkonfirmasi soal pemberhentian Bang Teguh itu.

Malam ini, saya merenung-merenung sendiri mengenai apa yang dialami Bang Teguh. Para penyelenggara pemilu seperti Bang Teguh atau saya memang menjadi "objek" pengawasan etika bagi DKPP. Ancaman pemberhentian oleh DKPP memang menjadi momok paling menakutkan bagi siapapun penyelenggara pemilu di Indonesia yang melanggar etika penyelenggara pemilu.

DKPP memang lembaga "super power" yang bukan hanya bisa menjewer telinga penyelenggara pemilu, namun bisa sampai menentukan nasib "kami". Prinsip penegakan etika yang dibangun DKPP menurut saya harus didukung untuk menjaga netralitas, imparsialitas dan independensi seorang penyelenggara pemilu.

Saya sama sekali tak menyalahkan DKPP dengan semua keputusannya. Memang harus diakui, bahwa tak semua juga keputusan DKPP menyenangkan (baca: bisa dipahami). Untuk kasus Bang Teguh, saya memang terpengaruh hubungan emosional. Sementara untuk kasus-kasus DKPP yang lain, saya memang cenderung setuju.

Cerita seorang penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP karena kesalahannya, bak menjadi bumbu penyedap dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Bayangkanlah, saya pernah mendengar, seorang penyelenggara pemilu yang baru diberhentikan DKPP lantas sangat plong. Cerita itu saya dapat dari seorang anggota DKPP, Nur Hidayat Sardini. Ceritanya, ada seorang penyelenggara pemilu di kawasan Indonesia Timur yang diberhentikan DKPP karena alasan yang bersangkutan menghadiri pesta adat di kampungnya yang diadakan pasangan calon (paslon) yang bertanding di Pemilukada. Si penyelenggara ini diindikasikan tidak netral dan berpihak karena menghadiri acara tersebut. Apa boleh buat, DKPP kemudian memberhentikan si penyelenggara pemilu. Lantas, apa reaksi si penyelenggara pemilu? Ia malah berterimakasih karena sudah bisa bebas untuk menjadi masyarakat biasa. Saya masih ingat, bagaimana Mas Nur menceritakan bahwa si penyelenggara pemilu itu berterimakasih pada DKPP karena menurutnya, menghadiri acara adat di kampungnya itu lebih penting ketimbang dibuang dari masyarakat adatnya.

Page 43: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

Kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu membuat ia merasa dikucilkan dari masyarakat adatnya.

Cerita lain yang saya dapatkan soal penyelenggara pemilu yang diberhentikan oleh DKPP adalah bagaimana si penyelenggara pemilu itu kemudian langsung bisa menunjukkan "penghasilannya" selama menjadi penyelenggara pemilu.

Selama jadi penyelenggara pemilu, ia mengatakan pada saya, tak bisa atau tak berani membeli mobil. Katanya takut disangka pemberian dari caleg. Nah, usai diberhentikan dari penyelenggara pemilu oleh DKPP, ia kemudian bersiap menuju showroom mobil untuk membeli mobil baru. Halah!

DKPP sejatinya tentu menjadi moral guard bagi seluruh penyelenggara pemilu. Lembaga yang dibentuk dengan niat suci serta keinginan menjaga penyelenggara pemilu bisa ajeg dalam menjalankan tugasnya, tentu patut didukung. Kesadaran inilah yang menjadi pemikiran bagi saya untuk merenung terkait keputusan DKPP memberhentikan Bang Teguh.

Hingga menjelang saya tertidur, saya masih juga memikirkan keputusan DKPP itu. Saya membayangkan kesedihan di raut wajah Bang Teguh. Saya membayangkan kepenatan yang pernah terlukis di wajahnya ketika kami harus bergadang sampai jam 3 pagi untuk menjalankan tugas negara ini, mengawal pemilu. Saya membayangkan kesedihan di sanubari isteri Bang Teguh, yang mendapati suaminya diberhentikan sebagai penyelenggara pemilu. Ah, saya membayangkan juga bagaimana nasib rekan-rekan saya para penyelenggara pemilu yang selama ini bekerja tak kenal waktu demi tugas yang mereka emban.

Dan tiba-tiba saja saya mendapati wajah Bang Teguh yang tersenyum. Dengan suaranya yang parau dan khas, ia mendapati saya dengan kegembiraan. Ia bilang begini,"Keputusan DKPP sudah dianulir untuk saya. Saya dinyatakan tidak bersalah. Sekarang saya akan mundur sebagai anggota Panwas Kota Medan. Sesuai janji saya,"

Saya tersenyum bahagia. Saya berteriak gembira sambil melonjak-lonjak kegirangan. Ternyata DKPP mau menganulir keputusannya memberhentikan Bang Teguh. Saya bersyukur, karena Bang Teguh bisa tersenyum.

Lalu, sebuah irama berdering di telinga saya, bunyinya melengking mirip alarm. Tangan saya refleks menuju arah bunyi itu. Ah, alarm di blackberry saya berbunyi menunjukkan pukul 6 pagi. Saya terbangun. Astaga, ternyata tadi hanya mimpi. Saya kemudian masih terduduk di tepi ranjang sambil memikirkan raut kesedihan di wajah Bang Teguh.

Medan 27 Juni 2014

Page 44: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

BAGIAN KEEMPAT

Page 45: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

MENGHUKUM MANDAT RAKYAT

Para anggota DPR RI periode 2009-2014 diujung masa jabatannya membuat keputusan penting. Mereka memutuskan untuk mengembalikan mandat memilih kepala daerah kembali ke tangan DPRD. Isu ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah yang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Salah satu pokok penting RUU ini adalah mengembalikan lagi mandat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih pemimpin lokal, seperti gubernur, wali kota, atau bupati. Mayoritas fraksi di DPR ingin agar RUU Pemilihan Kepala Daerah dapat disahkan menjadi undang-undang sebelum masa jabatan berakhir pada 30 September 2014 mendatang. Mereka beralasan, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat selama ini menimbulkan ongkos politik yang sangat mahal bagi para kandidat. Di sisi lain, pemilihan langsung dinilai tidak menjamin terhentinya politik uang, bahkan dipandang turut menyuburkan praktik negatif itu. Namun, bagi banyak pihak, RUU ini juga dipandang menciderai cita-cita reformasi. 

Bagi kubu penentang, pengesahan RUU tersebut sama dengan memasung hak rakyat dalam memilih pemimpin mereka di tingkat daerah. Selain itu, pengembalian mandat kepada DPRD untuk memilih pemimpin daerah sama halnya praktik yang dilakukan era Orde Baru. Padahal sejak tahun 2004, rakyat Indonesia sudah diberi mandat untuk memilih secara bebas kepala daerahnya sendiri.

Pro-kontra soal ini menjadi isu nasional. Dibahas hampir di semua media massa di Indonesia. Sebagai penyelenggara pemilu, saya memang kecewa (jika) keputusan ini diambil oleh parlemen. Jelas, keputusan DPR RI untuk menarik mandat dari rakyat akan berdampak pada rezim penyelenggara pemilu. Dan saya pasti akan segera merasakan dampaknya.

Kawan-kawan saya, sesama penyelenggara pemilu, galau berat. Ini jelas persoalan serius. Tapi, saya ingin menjelaskan kira-kira mengapa parlemen Indonesia mengambil keputusan ini. Dalam perspektif saya sebagai penyelenggara pemilu, sejumlah fraksi di parlemen seperti menjilat ludahnya sendiri. Mereka menghendaki pilkada via DPRD dengan bersandar pada argumentasi yang pernah digunakan pemerintah yang dulu, yakni mahalnya biaya politik yang memasifkan budaya politik uang, konflik horizontal pasca-pilkada yang menelan korban tak sedikit, serta terjeratnya sejumlah kepada daerah dalam kasus korupsi akibat politik transaksi yang marak.

Alasan diatas tentu sangat absurd. Saya menilai, rezim pemilu yang sudah bekerja sejak dimandatkannya rakyat untuk memilih langsung terus melakukan perbaikan. Bawaslu-KPU, sebagai instrumen rezim pemilu terus berbenah untuk membangun sistem pemilu yang bermuara membangun demokrasi yang adil dan jujur bagi semua pihak. 

Selain itu, para anggota parlemen (pendukung pilkada lewat DPRD) pun menggunakan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana menegaskan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, sebagai dasar hukum menolak pilkada langsung. 

Alibi mereka, kata dipilih “demokratis” tidak selalu menunjuk pada pengertian dipilih secara langsung. Pertanyaannya, kenapa kata “demokratis” di sisi lain malah dimaknai sebagai

Page 46: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

pemilihan langsung dalam konteks pemilu legislatif atau pemilu presiden. Jelas ini mencerminkan sebuah bentuk dekonstitusionalisasi liar terhadap ruh demokrasi dan penghukuman terhadap mandat rakyat. 

Pilkada lewat DPRD juga dipastikan akan meredupkan partisipatoris kerakyatan dalam demokrasi. Dampaknya tentu makin derasnya arus kekuatan oligarki di daerah-daerah yang bermuara rusaknya substansi kedaulatan politik rakyat. 

Sebuah keniscayaan, rakyat dengan sendirinya akan terdelegitimasi oleh imperium politik oligarkis yang mengendalikan seluruh putusan, kebijakan dan sumber daya lokal di daerah-daerah.

Sejujurnya, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana menegakkan hukum dan merekayasa agar sistem dan manajemen pemilu serta kelembagaan partai politik dapat berjalan dengan demokratis. Ya, sejujurnya, karena ini sebuah penolakan!

Page 47: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

TERANCAMNYA REZIM PEMILU

Usai Pileg dan Pilpres 2014, jagad politik Indonesia kembali heboh. Bukan soal hasil pilpres yang sudah dimenangkan oleh pasangan capres dan cawapres Jokowi-Jusuf Kalla, melainkan soal pemilukada yang akan dilaksanakan tahun 2015. 

Masih menggantungnya RUU Pemilukada di DPR RI periode 2009-2014 memang akan menjadi epilog bagi parlemen periode ini. Koalisi Merah Putih yang kalah di Pilpres kemudian membuat manuver dengan ingin mengembalikan Pemilukada ke tangan para wakil rakyat di DPRD. Padahal, semula isu soal ini tak begitu santer. Media massa, para pengamat politik di Indonesia kemudian ramai bergunjing soal ini. Televisi dan koran membahasnya habis-habisan. Para tokoh elit dari Koalisi Merah Putih diundang untuk berkomentar. Saya menonton beberapa show mereka di televisi. 

Sebagai penyelenggara pemilu, saya memang terusik dengan urusan ini. Walaupun, seorang rekan saya, Rahmat Ceper dalam akun twitternya "merepet" soal ini. Ia mengatakan bahwa urusan pemilukada kembali ke DPRD ini substansinya bukan soal memperjuangkan hak rakyat, melainkan kepentingan sekelompok orang. Saya geli saja membaca ocehan Rahmat di twitter. Tapi begitulah, apa yang disampaikan Rahmat boleh jadi benar. Ia mengatakan, saya terusik soal isu ini karena menyangkut kepentingan, peran dan eksistensi penyelenggara pemilu ke depan. Yes, itu benar. Dan benar juga, saya juga kan rakyat juga. Hehehehe.

Memang, persoalan "dikebirinya" hak rakyat untuk berpesta demokrasi dengan memilih kepala daerahnya menimbulkan kontroversi. Namun, di tengah rezim pemilu yang dikuasai oleh para penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) ini menjadi menarik dibicarakan. Saya memang tak happy jika kelak pemilukada diserahkan kembali ke DPRD. Ini sama saja kemunduran dalam demokrasi. Persoalan terjadi voter buying di pemilukada, ini menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaikannya. 

Seloroh, dalam sebuah acara diskusi dengan kawan-kawan Panwas di Sumut, saya bilang, jika memang nanti pemilukada dikembalikan ke DPRD, bisa juga nanti pileg akan hanya memilih parpol. Jadi tak akan ada lagi muncul nama-nama caleg. Kalau ini terjadi, saya jamin, anggota DPR pun akan berpikir ulang. Benar gak?

Medan, 13 September 2014

Page 48: Monograf: Solilukui Pemilu 2014

SKENARIO PERPU PILKADAPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 tentang Pemilukada, kemungkinan besar akan disetujui DPR RI di masa persidangan kedua, sekitar bulan Januari 2015. Informasi ini saya dapat dari seorang anggota DPR RI yang masuk dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Melalui pesan blackberry messenger, teman saya yang itu memberitahukan secara gamblang bahwa KMP akan menyetujui Perppu Pilkada. Saya terus terang gembira mendengar kabar itu. Sebelumnya memang saya was-was bahwa KMP akan menolak Perppu dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Walaupun sebenarnya saya tak menyetujui dikeluarkannya Perppu oleh Presiden SBY, namun, bagi saya menyelamatkan nyawa demokrasi dengan Pilkada langsung lebih baik dilakukan dengan cara ini. Perppu Pilkada langsung ini memang menciptakan angin segar bagi semua pihak. Ada secercah harapan disana. Namun, lagi-lagi saya pesimis karena teman saya itu mengatakan, bahwa akan ada kejutan lain, pasca DPR (baca: KMP) menyetujui Perppu ini.

Senior saya, mantan Ketua Panwaslu Kota Medan, Teguh Satya Wira menganalisis bahwa Perppu memang akan diterima oleh KMP namun, tetap akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Diterima di DPR, tapi kalah di MK. Itu skenarionya," analisis Teguh.

Saya terdiam mendengar analisi ini. Benarkah ini skenario yang sedang dimainkan oleh para politisi? Saya kemudian mendengar lanjutan analisis dari Teguh yang mengatakan bahwa usai Perppu Pilkada dianulir MK, maka yang berlaku kembali adalah UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang telah disetujui DPR dan ditandatangani presiden.

"Jadi kembali lagi pilkada tidak langsung. Itu muaranya," kata Teguh.

Analisis Teguh boleh jadi benar, karena kemungkinan yang akan digugat ke MK adalah uji formil dari Perppu tersebut. Jadi bukan uji materil. Saya sendiri memahaminya bahwa uji formil dilakukan untuk melihat proses pembuatan UU atau Perppu oleh Pemerintah dan DPR. Harus saya akui, bahwa proses pembentukan Perppu ini jelas sangat sembrono. Prof Yusril dalam akun twitternya bahkan mengakui bahwa agak aneh dikeluarkannya Perppu oleh Presiden SBY.

Saya sendiri berpendapat, Perppu ini lebih ingin menyelamatkan wajah Presiden SBY karena Partai Demokrat, blunder ketika paripurna DPR memutuskan UU Pemilukada. Kini, apakah mungkin, skenario yang dikatakan Teguh memang tengah dijalankan. Skenario yang dibuat untuk menjaga wajah semua pihak dalam arus politik Indonesia pasca Pemilu Presiden 2014. Apapun itu, kita tentu berharap yang terbaik bagi bangsa ini.

Antara Medan-Jakarta, 14 Oktober 2014