Mogok Kerja Oleh serikat
Click here to load reader
-
Upload
gayuh-arya-hardika -
Category
Documents
-
view
373 -
download
28
description
Transcript of Mogok Kerja Oleh serikat
i
KATA PENGANTAR
Lihatlah itu yang disanaOrang berkumpul bising suaranya
Wajahnya merah dibakar marahSang dewa nasib sedang berduka
Di depan pabrik minta keadilanHanyalah janji membumbung tinggi
Tuntutan mereka membentur bajaTerus bekerja atau di PHK
[…]
Di atas adalah penggalan lirik lagu Robot Bernyawa milik penyanyi Iwan
Fals yang bercerita tentang nasib buram kaum buruh Indonesia. Walaupun lagu
tersebut diciptakan sekitar dua dekade yang lalu, tetapi masih relevan hingga kini.
Buruh hingga kini tetap dinistakan.
Buruh “dimuliakan” dengan menempatkan posisi buruh setara dengan
pemilik modal, relasi buruh dan pemilik modal dalam aktivitas produksi
dikonstruksikan seperti dua orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli.
Tenaga dan pikiran buruh dianggap sebagai komoditas. Dalam konstruksi seperti
itu, buruh yang secara sosial-ekonomi merupakan pihak lemah, tentu tidak
mempunyai posisi tawar yang cukup kuat, dan pada akhirnya hanya praktek
eksploitasi dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya yang dialami buruh. Karena
itulah tenaga dan pikiran yang diberikannya untuk memberi tambahan nilai atas
suatu barang tak pernah dihargai dengan layak.
Negara yang seharusnya berkewajiban berpihak dan membela yang lemah,
justru malah mengekalkan konstruksi semacam itu. Dengan alasan “demi menarik
masuk investasi guna mengejar pertumbuhan ekonomi”, politik upah murah
diterapkan. Dan, ketika buruh menuntut perbaikan kesejahteraan, setiap kali
berusaha menyuarakan kepentingan dan tuntutannya, selalu membentur “baja”,
yaitu struktur yang berlaku dan dikuatkan oleh negara.
***Tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi (penulisan hukum) penulis di
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang telah sedikit penulis
modofikasi. Tulisan ini, yang merupakan penulisan hukum selain untuk memenuhi
syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas
ii
Gadjah Mada, juga merupakan bentuk usaha penulis untuk menuangkan
pengalaman dan pengetahuan yang sedikit penulis miliki selama bergelut dengan
isu-isu perburuhan, serta berkawan dan berinteraksi dengan kawan-kawan buruh
yang selalu bergeliat untuk bergerak. Dengan kata lain, penulis mencoba
membedah realitas dan persoalan perburuhan dari kacamata ilmiah ilmu hukum.
Sekaligus penulis berharap bahwa tulisan ini dapat turut memberikan kontribusi
untuk melengkapi wacana gerakan buruh Indonesia. Sekali lagi, ini hanya sebuah
ikhtiar, dan tentunya mungkin masih jauh dari ukuran untuk disebut ilmiah. Di
dalamnya masih terbuka amat lebar akan kekurangan dan kelemahan, baik dari sisi
materi maupun metodologi.
Akan tetapi, bukankah ilmu pengetahuan—terutama yang bersinggungan
dengan masalah sosial—itu sifatnya dialektis? Berkembang terus menerus sehingga
sesuatu yang hari ini dianggap sebagai kebenaran ilmiah, esok hari tergantikan oleh
“kebenaran ilmiah” lainnya? Dan, bukankah tidak ada metode yang mempunyai
tingkat presisi seratus persen untuk menjawab persoalan secara utuh? Atas dasar
itulah penulis memberanikan diri untuk membuat tulisan ini. Atas dasar itu pula
maka kritik dan saran yang membangun amat penulis harapkan.
Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis membuat tulisan ini, seperti Mas Ari Hermawan (dosen
pembimbing skripsi penulis di FH UGM); Mas Herlambang Perdana (salah seorang
guru penulis yang merupakan staf pengajar FH Universitas Airlangga, aktivis
gerakan rakyat, dan sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Leiden,
Belanda); Mas Surya Tjandra (juga salah seorang guru penulis sekaligus Direktur
Eksekutif TURC); dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Namun, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kaum buruh
Indonesia beserta semesta gerakan buruh yang terus berjuang, karena mereka telah
memberikan inspirasi, pemahaman serta pengetahuan kepada penulis. Tulisan ini
secara khusus penulis persembahkan kepada kaum buruh Indonesia.
Yogyakarta, April 2008
Penulis
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………….……………………. iDAFTAR ISI ……………………………………………………....………………. iii
BAB IPENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1
BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG SERIKAT BURUH/SERIKAT PEKERJADAN MOGOK KERJA ………………………………………………………….. 28A. Tinjauan Umum Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja ……………………… 28
1. Sejarah Umum Serikat Buruh ……………………………………………... 28a. Fase-fase Gerakan Serikat Buruh ……………………………………… 43b. Sejarah Serikat Buruh Di Indonesia …………………………………… 48
1). Masa Pra Kemerdekaan ……………………………………………. 482). Masa Pasca Kemerdekaan …………………………………………. 53
2. Pengertian Serikat Buruh ………………………………………………….. 613. Kebebasan Berserikat Bagi Buruh ………………………………………… 714. Jenis-jenis Serikat Buruh/Serikat Pekerja Menurut Paradigma dan Pola
Gerakannya ………………………………………………………………... 815. Bentuk-bentuk Serikat Buruh …………………………………………….... 836. Fungsi dan Kewajiban Serikat Buruh ……………………………………... 85
a. Kewajiban Serikat Buruh ……………………………………………… 87b. Fungsi Serikat Buruh …………………………………………………... 89
7. Fungsi Serikat Buruh Dalam Penetapan Upah Minimum …………………. 92
B. Tinjauan Umum Tentang Mogok Kerja ……………………………………….. 1011. Pengertian Mogok Kerja …………………………………………………... 1012. Kebebasan Berserikat dan Mogok Kerja …………………………………... 1053. Klasifikasi Mogok Kerja Di Indonesia ……………………………………. 1144. Mogok Kerja Sebagai Hak Dibidang Sosial-Ekonomi dan
Hak Dibidang Politik ………………………………………………………. 116a. Hak Dibidang Sosial Ekonomi …………………….…………….…….. 118b. Hak Dibidang Politik …………………………………………………... 118
BAB IIITINJAUAN UMUM TENTANG UPAH, KEBIJAKAN UPAH MINIMUM,MEKANISME PENETAPAN, DAN KONFLIK KEPENTINGAN DALAMPENENTUAN UPAH MINIMUM ……………………………………………… 121A. Tinjauan Umum Tentang Upah ………………………………………………... 121
1. Konsepsi Upah Dalam Mode Produksi Kapitalis ………………………….. 1212. Pergeseran Dari Ranah Privat Menjadi Publik …………………………….. 1293. Kebijakan Upah Murah & Industrialisasi Kapitalis ...……………………... 136
3.1. Perubahan Teori Pembangunan International Division of Labor …… 138
xi
3.2. New International Division of Labor ………………………………... 143
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Upah Minimum ………………………… 1471. Tujuan Kebijakan Upah Minimum ………………………………………... 1472. Kebijakan Upah Minimum sebagai Sarana Politik Upah Murah ………….. 1503. Kebijakan Upah Minimum di Era Kebebasan Berserikat: Lanjutan Politik
Upah Murah ……………………………………………………………….. 1523.1. “Negara Bonapartis” ………………………………………………… 158
4. Implikasi Kebijakan Upah Minimum yang Konsisten …………………….. 165
C. Tinjauan Mengenai Mekanisme Perumusan dan Penetapan Upah Minimum … 1711. Perdebatan Seputar Penetapan Upah Minimum …………………………… 1752. Kebutuhan Hidup Layak sebagai Prinsip Penentuan Besaran Upah ………. 1803. Faktor-faktor yang Dijadikan Pedoman dalam Perumusan dan Penentuan
Besaran Upah Minimum …………………………………………………... 186
D. Tinjauan Mengenai Konflik Kepentingan dalam Penentuan dan PenetapanUpah Minimum ………………………………………………………………... 1921. Hubungan Industrial Pancasila …………………………………………….. 1922. Kepentingan Pengusaha …………………………………………………… 1953. Kepentingan Negara ……………………………………………………….. 2004. Kepentingan Buruh ………………………………………………………... 209
BAB IVSTUDI KASUS JAWA TIMUR ….......................………………………………. 214A. Deskripsi ......... ………………………………………………………………... 214
1. Mekanisme Penetapan Upah Minimum di Provinsi Jawa Timur ………….. 214a. Kebutuhan Hidup Layak ………………………………………………. 216b. Survei & Penghitungan Nilai Kebutuhan Hidup Layak ……………….. 217c. Penetapan Upah Minimum …………………………………………….. 221
2. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Ketetapan UpahMinimum di Jawa Timur …………………………………………………... 223a. Peran Serikat Buruh Dalam Penentuan Upah Minimum ……………… 223b. Serikat Buruh dan Pengorganisasian Protes Buruh Terhadap Ketentuan
Upah Minimum ………………………………………………………... 226c. Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum ………………… 234d. Ancaman Dikriminalkan dan Digugat Perdata ………………………... 236
3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum OlehSerikat Buruh ……………………………………………………………… 238
B. Pembahasan ……………………………………………………………………. 2411. Persoalan di Seputar Penetapan Upah Minimum ………………………….. 241
a. Indikator Komponen yang Tidak Memadai …………………………… 241b. Survei Harga Barang …………………………………………………... 245c. Penetapan Harga dan Nilai KHL Didasarkan Kesepakatan …………… 249d. Keanggotaan Dewan Pengupahan ……………………………………... 252
xii
d.1. Bukti “Negara Bonapartis” ……………………………………….. 2552. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Penetapan Upah
Minimum …………………………………………………………………... 257a. Pemogokan Memrotes Ketentuan Upah Minimum Oleh Serikat Buruh:
Bentuk Usaha Mempertahankan dan Memperjuangkan HakKonstitusional Serta Pelaksanaan Kewajiban Serikat …………………. 257
b. Pengorganisasian Mogok Kerja Sebagai Bentuk Pelaksanaan Fungsidan Kewajiban Serikat ………………………………………………… 266
c. Mogok sebagai Hak Politik ……………………………………………. 268d. Kategori Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum Oleh
Serikat Buruh ………………………………………………………….. 2741). Sebagai Mogok Kerja Tidak Sah ………………………………….. 2742). Terkategorikan Mogok Kerja Sah …………………………………. 277
3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum ………. 282a. Diperkarakan secara Pidana oleh Pengusaha ………………………….. 282b. Digugat Perdata ……………………………………………................... 284c. Dikualifikasikan sebagai Mangkir Kerja .……………………………... 287
4. Konsekuensi Kualifikasi Mangkir Kerja Menurut Peraturan MenteriTenaga Kerja Nomor 232 Tahun 2003 sebagai Bentuk DehumanisasiTerhadap Buruh ……………………………………………………………. 290
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 2005 sampai awal tahun 2006, Ibu Kota Provinsi Jawa
Timur, Surabaya, diwarnai dengan aksi massa (demonstrasi) buruh besar-besaran.
Aksi massa tersebut diikuti ribuan orang buruh1 yang tergabung pada “Koalisi
Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat” dengan agenda tuntutan menolak besaran
Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang telah ditetapkan. Juga
mendesak supaya Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, mencabut SK Gubernur
No. 188/286/KPTS/013/2005 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur.2
Meskipun pada akhirnya aksi penolakan Upah Minimum Kabupaten/Kota
direspon oleh Gubernur Imam Utomo dengan mengeluarkan SK Gubernur No.
188/16/KPTS/013/2006 tentang Perubahan SK Gubernur No.
188/286/KPTS/013/2005 pada tanggal 23 Januari 2006,3 namun aksi demonstrasi
buruh merupakan fenomena yang patut dicermati. Peristiwa aksi demonstrasi
buruh yang sempat diwarnai insiden kekerasan dan penangkapan beberapa orang
buruh peserta aksi oleh aparat keamanan cukup menarik perhatian para pelaku
1 Kompas, edisi 20 Desember 2005, melaporkan bahwa aksi demonstrasi diikuti sekitar20.000 buruh.
2 Upah Minimum Provinsi ditolak oleh kaum buruh karena tidak sesuai denganrekomendasi yang diberikan oleh Dewan Penelitian dan Pengupahan kota/kabupaten. Besarannominal upah minimum yang ditetapkan jumlahnya lebih kecil daripada hasil survei dan penelitianDewan Penelitian dan Pengupahan kota/kabupaten.
3 Revisi UMP yang dilakukan oleh Gubernur Imam Utomo melalui SK Gubernur No.188/16/KPTS/013/2006 pada dasarnya tetap ditolak oleh kaum buruh karena tetap tidak sesuaidengan hasil rekomendasi DPPD kota/kabupaten. Selain itu, langkah Gubernur Imam Utomotersebut ditanggapi oleh kalangan pengusaha dengan mengajukan gugatan kepada PTUN Surabaya(gugatan Apindo Jatim tersebut ditolak oleh PTUN Surabaya).
2
usaha yang operasional atau kegiatan produksinya berbasis di Jawa Timur. Selain
itu, aksi demonstrasi yang berlangsung selama beberapa hari itu tentunya
membawa konsekuensi hilangnya jam kerja dalam jumlah yang besar dan
terganggunya aktivitas produksi di sejumlah industri. Merujuk kenyataan tersebut,
maka aksi demonstrasi yang dilakukan oleh serikat buruh tersebut dapat
digolongkan sebagai aksi mogok kerja.
Seperti dikatakan Abdul Khakim;
jika dicermati secara empiris, setiap terjadi unjuk rasa sudah dapatdipastikan para pekerja/buruh tidak akan menjalankan pekerjaan. Jelassangat tidak mungkin mereka tetap melaksanakan pekerjaan, kendatipun didalam lokasi kerja. Berdasarkan alas an tersebut penulis berpendapat bahwaunjuk rasa atau demonstrasi identik dengan mogok kerja. Perbedaannya jikamogok kerja biasanya dilakukan di dalam perusahaan, sedangkan unjuk rasaatau demonstrasi dilakukan di luar perusahaan4.
Fenomena aksi mogok kerja berupa demonstrasi buruh yang berkaitan
dengan masalah upah pada waktu itu bukan hanya terjadi di Jawa Timur saja.
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, di Bandung, Jawa Barat, juga terjadi
aksi demonstrasi buruh yang mempunyai tuntutan serupa; menuntut upah
minimum yang layak. Di daerah-daerah lainnya seperti Jakarta, Semarang dan
Medan, juga terdapat aksi massa buruh menuntut kenaikan upah minimum dan
perbaikan kesejahteraan.
Fenomena tersebut masih tetap terus berlanjut pada tahun 2007. Penetapan
ketentuan upah minimum di beberapa daerah diwarnai penolakan dan resistensi
yang kuat dari kalangan kelas pekerja. Kenyataan akan kesejahteraan buruh yang
makin menurun dengan kesejahteraan pengusaha dan anggota top level
4 Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 97.
3
management yang terlihat makin naik, merupakan disparitas yang memicu
ketidakpuasan buruh akan besaran upah minimum yang ditetapkan.
Banyaknya jumlah aksi-aksi massa buruh, baik dalam skala besar maupun
kecil, yang terjadi merata hampir di setiap kota di Indonesia mencerminkan bahwa
hubungan industrial di Indonesia masih menyimpan banyak persoalan. Problem-
problem yang menghiasi wajah hubungan industrial dewasa ini banyak yang tidak
terselesaikan secara tuntas dan bahkan malah kian parah. Jika pun terdapat
penyelesaian, solusi yang diterapkan sifatnya parsial dan cenderung merugikan
salah satu pihak, yaitu buruh. Persoalan perburuhan relatif masih bersifat parsial
dan lokal dan bahkan sangat disederhanakan, sehingga penanganan dan
penyelesaian pun juga masih terkesan parsial, lokal serta sangat sederhana. “Yang
penting bisa diselesaikan walaupun bersifat sementara”. 5 Hal ini tentunya
merupakan kendala dan ancaman serius ditengah upaya program industrialisasi di
Indonesia karena keadaan yang demikian ini telah menggiring buruh,
sebagaimana dikatakan Tjandra, “sampai pada satu titik di mana mau tidak mau
harus melawan”6.
Bagi Indonesia, industrialisasi merupakan program yang menjadi agenda
utama untuk menarik “gerbong” perekonomian sekaligus guna mengejar
ketertinggalan dengan negara-negara maju di dunia. Pada pertengahan dekade
1980-an, Indonesia telah menempatkan industri sebagai sektor yang
diprioritaskan. Keunggulan disektor pertanian yang dimiliki Indonesia, disadari
5 Santosa, Ibnu, “Kiprah Serikat Buruh”, Suara Merdeka edisi 04 Agustus 2005.6 Pontianak Pos, edisi 19 Februari 2007
4
tidak menjanjikan untuk mengangkat Indonesia agar sejajar dengan negara-negara
maju. Wacana program industrialisasi semakin menguat setelah Indonesia
berusaha bangkit dari krisis.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia, yang baru
berusaha bangkit dari krisis ekonomi yang menerpa sejak tahun 1997, hingga kini
masih tergolong sebagai negara yang dapat dikatakan tertatih-tatih dalam berjalan.
Perekonomian yang porak-poranda akibat krisis ekonomi tersebut hingga kini
belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Hal ini ditunjukkan oleh Produk
Domestik Bruto dan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang masih lebih
rendah dibanding dengan pada masa sebelum krisis dan terpaut sangat jauh
dengan negara-negara maju maupun dengan negara yang menjadi kiblat
perekonomian dunia saat ini, yaitu China.
Sejumlah persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara
berkembang, diantaranya adalah tingginya jumlah pengangguran, baik
pengangguran terbuka maupun pengangguran setengah terbuka7. Pengangguran
dan semi-pengangguran adalah inti dari kemiskinan di negara-negara
berkembang.8 Sehingga program industrialisasi merupakan pilihan rasional utama
7 Istilah untuk ‘Pengangguran Terbuka’ adalah untuk orang yang sama sekali tidakmemiliki penghasilan karena tidak bekerja, atau orang yang tidak mampu melakukan aktivitasproduksi. Sedangkan ‘Pengangguran Setengah Terbuka’ adalah orang yang bekerja tidak tetap dantidak memiliki penghasilan tetap. Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia dari tahun 2000sampai dengan tahun 2004 cenderung meningkat. Jika pada tahun 2000 jumlah pengangguranterbuka 5,8 juta jiwa atau 6,1 persen dari angkatan kerja, maka pada tahun 2004 meningkatmenjadi 10,3 juta jiwa atau 9,9 persen dari angkatan kerja.
8 ILO, 2003, Perundingan Bersama Serta Keterampilan Negosiasi (Pedoman PelatihanUntuk Serikat Pekerja, ILO Indonesia, Jakarta, halaman 11.
5
yang diambil pemerintah untuk membangun perekonomian dan mengurangi
jumlah pengangguran.9
Namun, program industrialisasi yang dibangun sebagai fundamen
perekonomian nasional, di sana-sini banyak menemui kendala. Masalah mendasar
yang dihadapi adalah tidak tersedianya cukup modal yang berasal dari dalam
negeri untuk membangun negara industri yang kokoh. Dengan kata lain, program
industrialisasi yang sedang dibangun banyak bergantung pada investasi asing
(Foreign Direct Investment/FDI).
Seiring dengan selesainya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal dasawarsa 1990-an,
ideologi kapitalisme seakan menjadi satu-satunya ideologi ekonomi dunia atau
setidaknya menjadi ideologi yang dominan dianut negara-negara di dunia.
Konsekuensi yang dibawa kemudian adalah aliran modal global menjadi
sedemikian penting bagi pembangunan suatu negara (liberalisasi investasi) dan
juga liberalisasi perdagangan antar-negara (globalisasi pasar bebas) semakin
mendekati kenyataan.
Pada era globalisasi ini, batas teritorial suatu negara seakan sudah tidak
mempunyai makna lagi dalam aktivitas tata-niaga dunia. Melalui Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), pemerintah dari negara-
9 Bandingkan dengan: Iskandar, A. Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin(Simpang Kepentingan Buruh-Negara-Modal di Tengah Arus Kapitalisme Global), YayasanWahyu Sosial, Semarang. Hal 93.
6
negara di dunia 10 sepakat untuk menghilangkan halangan-halangan yang
menghambat atau berpotensi menghambat pelaksanaan perdagangan bebas.11
Dibukanya keran perdagangan bebas, telah membawa pengaruh yang sangat
besar dalam kehidupan dunia industri di masing-masing negara, termasuk
Indonesia. Persaingan antar industri semakin ketat. Dalam hal ini berlakulah
“hukum seleksi alam”; ada industri yang kolaps kemudian bangkrut, dan ada
industri yang bertahan dan kemudian semakin besar.12 Persaingan yang demikian
ketat ini berlangsung terus menerus, sehingga industri yang mampu bertahan dan
berkembang adalah industri yang mampu memproduksi barang/jasa dengan biaya
produksi yang rendah. Sehingga para pemilik modal dan industri akan selalu
mencari tempat (negara) yang murah untuk melakukan produksi.13 Jika negara
yang menjadi tujuan relokasi dalam perjalanannya atau waktu berikutnya
kemudian dipandang tidak efisien lagi, maka pemilik modal dan industri akan
memindahkan pabriknya ke tempat lain yang lebih menjanjikan.14 Tidak salah apa
10 Meskipun tidak seluruh forum pertemuan WTO berhasil membuat kesepakatan, namundari beberapa kesepakatan yang telah berhasil dibuat, tidak seluruh negara anggota WTO padadasarnya menyetujui klausul-klausul yang ditawarkan, terutama oleh negara-negara berkembangterhadap klausul yang merugikan negara-negara berkembang, namun karena atas desakan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara anggota G8 lainnya, sejumlah negara yangpada awalnya menolak akhirnya menerima.
11 Yang dimaksud sebagai ‘hambatan’ adalah kebijakan-kebijakan negara yang tidak sesuaidengan prinsip-prinsip ekonomi pasar, seperti tarif masuk yang tinggi, politik dumping, subsididan proteksi untuk produk-produk pertanian, dll.
12 Biasanya yang kolaps adalah suatu industri yang memproduksi suatu barang dan/atau jasayang mana barang/jasa tersebut juga diproduksi oleh industri di negara lain yang mempunyaimodal yang sangat besar dan memadai untuk melakukan ekspansi pasar.
13 Lazim disebut dengan istilah relokasi. Praktek-praktek pengejawantahan spirit danmetode kapitalisme tersebut selama ini dilakukan oleh TNCs/MNCs.
14 Perusahaan yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini adalah SONY dan Reebok yangmemindahkan lokasi industrinya dari Indonesia ke Vietnam.
7
yang dikatakan oleh Michel Beaud dalam bukunya yang berjudul The History of
Capitalism 1500-2000:
Inti dari perubahan yang sedang dan telah terjadi adalah diterapkannyarestrukturisasi dan reorganisasi produksi secara global oleh modal untukmenjaga tetap tercapainya elemen-elemen kunci dari kapitalisme, yaknitujuan untuk keuntungan, akumulasi, perluasan produksi, sirkulasi, hinggaakhirnya perluasan pasar.15
Pada konteks ini, upah buruh menjadi target dari upaya penurunan biaya
produksi. Artinya, upah buruh (harus) ditekan serendah mungkin untuk
menurunkan biaya produksi. Upah buruh menjadi target karena dipandang sebagai
sesuatu yang sifatnya fleksibel, relatif lebih dapat dipengaruhi atau diintervensi,
dibanding dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk faktor-faktor
produksi lainnya, seperti tanah dan bahan baku, yang sifatnya relatif tetap.
Kondisi yang demikian ini tepat seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa
dalam sistem ekonomi kapitalis, keuntungan yang diperoleh oleh
majikan/pengusaha (pemilik pabrik/pengusaha) adalah selisih antara nilai yang
dihasilkan oleh buruh dengan nilai yang diberikan (dibayarkan) kepada buruh oleh
pengusaha.16
Sinyalemen yang dilontarkan oleh Marx tersebut merupakan gambaran dari
watak majikan (pemilik pabrik) dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak peduli
apakah negara turut campur dalam aktivitas produksi dan perdagangan, atau tidak.
15 Diadopsi dari Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., “Modal Bergerak,Serikat Terserak: Perubahan Situasi Perburuhan dan Tantangan Gerakan Buruh di Indonesia”,Anilisis Sosial, Volume 10 No. 1 Juni 2005, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 71-72.
16 Marx, Karl, 1887, Capital (Volume I), English Edition (1958), Foreign LanguagesPublishing House, Moscow. Hal 189-190 dan 546; Suseno, Franz Magnis, 2001, Pemikiran KarlMarx (Dari Utopis Sampai Revisionis), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 140; Sparingga,Daniel, 2004, “Buruh: Pengorganisasian di Tengah Liberalisasi Politik dan Transformasi Global”,sebuah kata pengantar dalam Iskandar, A. Muhaimin, Op.Cit. Hal 14.
8
Memang, teori Marx tersebut didasarkan pada suatu asumsi kondisi di mana
campur tangan negara terhadap aktivitas produksi dan perekonomian sangat
minim. Aktivitas produksi dan perdagangan beserta segala mekanismenya
diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing individu pelaku ekonomi. Namun
ternyata pada suatu kondisi di mana negara turut campur dalam hubungan
industrial, terutama dalam hal pengupahan melalui kebijakan upah minimum,
watak dari pengusaha sebagaimana yang dilontarkan oleh Marx tersebut tetap
nyata.
Jika dalam aktivitas produksi pada sistem ekonomi kapitalis murni besarnya
upah tergantung pada kesepakatan langsung antara buruh dengan pengusaha, di
mana buruh tidak memiliki kekuatan ekonomi yang setara dengan pengusaha akan
menerima berapapun jumlah upah yang ditawarkan dan diberikan oleh pengusaha.
Maka dalam suatu kondisi di mana terdapat intervensi negara dalam hal penentuan
besaran upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh, memang
kondisinya tidak separah dalam hubungan industrial yang berakar pada pemikiran
ekonomi liberal. Namun tetap saja watak dari pengusaha adalah sama.17
Watak sejati dari pengusaha perlu dibedakan dengan watak pengusaha
dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia pribadi. Yang dimaksud watak
pengusaha adalah watak obyektif yang mau tidak mau harus dijalani oleh
17 Sebagai contoh adalah sikap penolakan secara resmi dari DPN APINDO untukmenggunakan indikator Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penentuan besaran upah minimum.Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO menolak penetapan standar upah pekerja berdasarkantolok ukur KHL sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUK dan meminta pihak PemerintahRI untuk tidak melanjutkan pembahasan penyusunan rumusan KHL. (lihat Harian EkonomiNeraca, 13 Juli 2004, yang dimuat dalam dari berita di website Apindo: http://www.apindo.or.id)
(Setiawan dan Tambunan, ”Upah Murah Dan Kebijakan Ekonomi Neoliberal: AnalisisTerhadap Kebijakan Upah Minimum 2005”, TURC Discussion Paper, Jakarta, 2005).
9
seseorang yang menjadi salah seorang pelaku produksi (pengusaha) dalam
aktivitas produksi. Sedangkan watak pribadi pengusaha dalam kapasitasnya
sebagai seorang manusia adalah watak subyektif seseorang di luar kapasitasnya
sebagai pengusaha. Masing-masing pengusaha mempunyai watak pribadi yang
berbeda antara pengusaha yang satu dengan yang lainnya; ada yang berwatak
humanis, namun ada juga yang berwatak penghisap.
Bahwa watak dari pengusaha tetaplah sama, baik dalam sistem ekonomi
kapitalis murni maupun yang campuran, maksudnya adalah watak obyektif
seseorang yang menjadi pengusaha dalam kegiatan produksi. Untuk hal ini, Franz
Magnis Suseno memberikan analogi tentang seorang majikan (pengusaha) yang
sebenarnya mempunyai watak pribadi yang baik dan prihatin dengan nasib
buruhnya yang upahnya sangat rendah, namun tidak dapat menaikkan upah
buruhnya yang sesuai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak
karena apabila upah buruh dinaikkan, maka biaya produksi akan meningkat dan
industrinya akan bangkrut. Apabila biaya produksi meningkat, korelasinya adalah
produk yang dihasilkan harga jualnya akan lebih mahal, sehingga tidak mampu
bersaing dengan produk-produk sejenis dari industri lain yang mempunyai
kualitas yang sama namun harganya lebih rendah.18 Sehingga tidak mengherankan
apabila persoalan upah merupakan persoalan klasik yang selalu menghiasi wajah
hubungan industrial hingga kini.
Di Indonesia, persoalan upah hampir selalu menjadi konflik tahunan yang
rutin tergelar. Sebagaimana telah disebut di muka bahwa seringkali konflik di
18 Untuk lebih lengkap dan lebih jelasnya, baca: Suseno, Franz Magnis, 2001, Kuasa danMoral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 50-51.
10
seputar persoalan besaran upah minimum19 yang ditetapkan pemerintah, diwarnai
aksi massa turun ke jalan (demonstrasi) dan kadangkala pemogokan yang
melibatkan ribuan orang buruh.20 Pada persoalan ini, fokus konflik terletak pada
besaran upah yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi buruh, upah yang ditetapkan
dipandang sangat tidak layak, sedangkan bagi pengusaha, upah yang ditetapkan
dirasa memberatkan dunia usaha.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian inilah peran pemerintah sebagai
pihak ketiga yang menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha
dirasa cukup penting. Namun sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah,
seringkali tidak seimbang; lebih banyak mencerminkan kepentingan pengusaha
dan merugikan buruh.
Secara teoritis, banyak metode yang dapat digunakan untuk menentukan
jumlah besar upah yang menjadi hak buruh, yaitu melalui perundingan bersama,
kesepakatan individu buruh dengan perusahaan, dewan industri, arbitrasi dan
penentuan upah minimum nasional (yaitu ketentuan upah minimum yang berlaku
secara nasional), atau dalam beberapa kasus, penentuan upah minimum regional
(propinsi dan/atau kabupaten/kota―seperti yang diterapkan di Indonesia sekarang
ini)21.
19 Upah minimum meskipun secara normatif hanya diterapkan bagi buruh tanpa pengalamandan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah terdistorsi dan memberikan "efek domino" bagiburuh yang telah memiliki masa kerja.
20 Seperti pemogokan oleh buruh PT. Maspion yang dilakukan pada 22-25 Februari 2006,karena perusahaan tidak membayar upah sesuai dengan SK Gubernur No. 188/16/KPTS/013/2006yang merevisi SK Gubernur No. 188/286/KPTS/013/2005.
(Harian Media Indonesia, edisi 27 Februari 2006).21 ILO, Op. Cit. halaman 67.
11
Untuk metode melalui perundingan bersama, kesepakatan individu, dan/atau
dewan industri, pihak yang terlibat dalam kepentingan secara langsung ialah
buruh dan pengusaha sendiri. Sedangkan pemerintah hampir sama sekali tidak
terlibat. Sementara untuk metode melalui abitrasi dan kebijakan upah minimum,
penentuan upah melibatkan pihak ketiga selain buruh dan pengusaha. Dalam hal
ketentuan upah minimum, negara/pemerintah telah melakukan intervensi. Dengan
demikian, besaran upah ditetapkan dengan melibatkan partisipasi tiga pihak
(tripartit), yakni: pengusaha, buruh dan pemerintah. Besaran upah minimum yang
berlaku pada kurun waktu tertentu disuatu daerah berbeda dengan upah minimum
yang berlaku di daerah lainnya.
Bagi pemerintah, kebijakan upah minimum merupakan mekanisme
redistribusi dan usaha pemerataan pendapatan kepada yang lebih luas. Kebijakan
upah minimum merupakan bagian dari strategi poverty alleviation yang berfungsi
sebagai jaring pengaman (safety net) dalam rangka meningkatkan taraf hidup
golongan penerima upah terendah.22 Dengan upah, produk yang dihasilkan dari
suatu aktivitas produksi diharapkan dapat dikonsumsi, sehingga roda
perekonomian negara diharapkan juga dapat terus berjalan dan bahkan meningkat.
Kebijakan upah minimum yang diperkenalkan pertama kali di Indonesia
pada awal 1970-an, akan tetapi penerapannya baru mulai diperkuat oleh
Pemerintah Indonesia sejak akhir tahun 80-an,23 secara normatif berfungsi sebagai
22 Hendarmin, Ari, “Kesejahteraan Buruh dan Kelangsungan Usaha: Upah Minimum dariSisi Pandang Pengusaha”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No.1 Februari 2002, YayasanAKATIGA, Bandung. Hal 95.
23 Suryahadi et all, “Upah dan Kesempatan Kerja (Dampak Kebijakan Upah Minimumterhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal Perkotaan)”, dalam Ibid., halaman 17-21.
12
standar upah bagi pekerja yang berada di tingkatan terendah di sebuah
perusahaan. 24 Hal ini sebenarnya dapat diartikan sebagai upaya perlindungan
terhadap buruh agar pihak pengusaha tidak bersikap sewenang-wenang dalam
memberikan kompensasi bagi tenaga dan hasil kerja buruh. Standarisasi ini masih
diperlukan dalam sistem pengupahan di Indonesia karena menyangkut daya tawar
buruh yang masih sangat rendah dalam berhadapan dengan pengusaha, sehingga
belum memungkinkan buruh untuk melakukan negosiasi secara bipartit.
Di sisi lainnya, kebijakan upah minimum yang diterapkan oleh pemerintah,
pada dasarnya merupakan bentuk mekanisme kontrol negara untuk menjamin
keamanan investasi yang ada.25 Terutama untuk periode waktu sekarang ini di
mana Indonesia sedang berusaha memperbaiki kinerja dan pertumbuhan
ekonominya. Sebagaimana diketahui bahwa sejak dihantam krisis ekonomi,
industri di Indonesia banyak yang kolaps. Di samping itu, Indonesia dilanda
fenomena pelarian modal ke luar negeri dalam jumlah yang sangat besar sehingga
membuat perekonomian Indonesia carut-marut dan menambah jumlah
24 Tujuan dari penerapan kebijakan upah minimum adalah:
1). untuk menghindari dan/atau mengurangi persaingan yang tidak sehat antarkaryawan/pekerja;
2). untuk menghindari atau mengurangi eksploitasi terhadap buruh oleh pengusaha;
3). Sebagai jaring pengaman sosial (safety net) untuk menjamin terpenuhinya kebutuhanhidup;
4). Untuk menghindari atau mengurangi kemiskinan dan kesenjangan penghasilan;
5). Untuk mendorong peningkatan produktivitas dan motivasi kerja;
6). Untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang akan mendorong pertumbuhanekonomi dan kesempatan kerja; dan
7). Untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih aman dan harmonis.25 Pada awal masa industrialisasi, strategi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk
mengembangkan industri di tanah air adalah strategi upah murah.
(Prasetyantoko, A, “Buruh dalam Pusaran Fleksibilitas”, Al Andang L. Binawan dan A.Prasetyantoko (editor), 2004, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama DiIndonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hal 112)
13
pengangguran. 26 Peristiwa yang terjadi selanjutnya adalah pandangan perlunya
memperkuat industri dan korporasi yang telah ada melalui kebijakan perburuhan
yang pro-pasar kian mantap.
Sektor ketenagakerjaan diupayakan untuk lebih fleksibel melalui
pengadobsian konsep fleksibilitas pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility)
ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.27
Sektor ketenagakerjaan disesuaikan dengan fluktuasi produksi dan pasar sehingga
diharapkan dapat memperkuat industri dan korporasi di Indonesia serta
merupakan upaya untuk mencegah pelarian investasi dari Indonesia. Namun
upaya fleksibelisasi pasar tenaga kerja tersebut tidak meliputi “fleksibilisasi”
upah. Maksudnya adalah sistem pengupahan tidak di dasarkan atau disesuaikan
dengan kondisi riil di lapangan atas harga barang-barang kebutuhan sehari-hari
yang cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain,
besaran upah secara riil tidak mengikuti fluktuasi tingkat inflasi.
Apabila upah minimum telah ditetapkan dan selang beberapa waktu
kemudian tingkat inflasi dan harga barang-barang kebutuhan pokok melambung
tinggi, besaran upah yang dibayarkan kepada buruh tetap mengacu pada upah
26 Pada masa krisis, PHK terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Jutaan buruh menjadikorban. Antara tahun 1997 sampai 2003, buruh yang di PHK mencapai kisaran 7-10 juta jiwa.Pada tahun 2001-2003 saja, jumlah buruh yang di PHK mencapai 6 juta jiwa.
(Bappenas, 2005, “Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan”, Bab 22 hal 1-2).
Pemutusan hubungan kerja tersebut ada yang disebabkan oleh karena perusahaan benar-benar bangkrut, tetapi juga terjadi oleh karena perusahaan yang masih mampu bertahan dan yangbahkan hanya terkena dampak kecil dari krisis serta dalam kondisi yang sehat memanfaatkanmomentum krisis untuk merestrukturisasi dan mereorganisasi aktivitas produksi supaya lebihefisien sehingga ke depannya dapat memaksimalkan keuntungan.
27 Diperkuatnya sistem kerja kontrak dan legalisasi outsourcing (yang oleh sejumlahkalangan dinilai sebagai legalisasi terhadap praktek perbudakan modern), yang jelas merugikanburuh merupakan bukti diadopsinya konsep Labour Market Flexibility.
14
minimum yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM dua kali lipat dari harga sebelumnya, yang tentunya
memberi dampak kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya, tidak
diikuti kebijakan menaikkan upah minimum buruh. 28 Oleh karena itu, dalam
konteks ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan upah minimum merupakan
kebijakan struktural untuk mengeliminsi atau mengurangi peluang munculnya
gerakan buruh yang radikal, yang mana hal tersebut dipandang akan membawa
dampak buruk terhadap kondisi makro ekonomi dan ketahanan industri nasional.
Pada tahun 2000, mekanisme penetapan upah minimum mengalami
perubahan. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom 29 , dan Keputusan Menteri
226/2000, pemerintah pusat melimpahkan kewenangan penetapan Upah Minimum
Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kepada gubernur.
28 Di Jawa Timur, sebagai respon atas dampak kenaikan harga BBM tersebut terhadapketenagakerjaan, gubernur hanya mengeluarkan surat edaran yang tidak mempunyai kekuatanhukum dalam politik perundang-undangan. Surat edaran yang ditujukan kepada bupati/walikotase-Jatim yang dikeluarkan pada 17 Maret 2005 pada intinya menyerukan kepada masing-masingbupati/walikota bahwa terkait dampak pasca kenaikan harga BBM, penyesuaian upah hendaknyamengoptimalkan lembaga bipartit.. Surat edaran Gubernur Jatim tersebut isinya menyangkut tigahal. Pertama, menanggapi tuntutan revisi upah berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.226/M/2000 hanya mengatur tentang revisi upah, baik upah minimum provinsi maupun upahminimum Kabupaten/Kota setahun sekali berdasarkan usulan dari Komisi Penelitian dan JaminanSosial dan Dewan Ketenagakerjaan Daerah (Pasal 4 Ayat 7). Kedua, berdasarkan Undang-Undang(UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum hanya bisa ditetapkan olehgubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan dan Bupati/walikota. Ketiga,menganjurkan pada pengusaha maupun pekerja untuk memberdayakan peran bipartit secaraoptimal.
29 Menurut Pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, pemerintah propinsiberwenang untuk:
1). menetapkan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; dan
2). Menetapkan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upah minimum.
15
Pelimpahan kewenangan penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota
kepada gubernur, dipertegas lagi melalui Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
Kendati pelimpahan kewenangan penetapan upah minimum propinsi dan
kabupaten/kota kepada gubernur baru dimulai pada tahun 2000, namun untuk
perumusan upah minimum pelimpahan wewenang kepada daerah sebenarnya
telah dimulai sejak tahun 1992 melalui SK Bersama Menteri Tenaga Kerja dan
Menteri Dalam Negeri No. KEP-564/MEN/92/115 tahun 1992.30
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pelimpahan kewenangan
penetapan upah minimum kepada gubernur merupakan bagian dari kebijakan
otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah sendiri dimaksudkan untuk
mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta diharapkan
dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Logika yang
mendasari maksud dan harapan ini tidak lain adalah bagaimana kondisi dan
potensi yang dimiliki oleh suatu daerah serta apa saja yang menjadi kebutuhan
masyarakat setempat, hanya pemerintah daerah yang bersangkutan yang
mengetahui lebih dalam. Melalui kebijakan otonomi daerah, diharapkan laju gerak
pembangunan dapat dipercepat dan berhasil karena pemerintah daerah dapat
menentukan secara otonom program-program pembangunan berdasarkan keadaan
daerah setempat. Dalam kaitannya dengan masalah upah, harapan dari pelimpahan
kewenangan penetapan upah minimum kepada gubernur adalah gubernur dapat
30 Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, “Institusi Pengupahan Kabupaten/Kota: StudiKasus Cilacap, Sidoarjo, Gresik”, Working Paper AKATIGA No. 20, Yayasan AKATIGA,Bandung. Hal 13.
16
menetapkan upah sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang hasilnya
diharapkan lebih sesuai dengan kondisi riil yang ada pada daerah setempat.
Kendati terjadi perubahan mekanisme penetapan upah minimum berupa
pelimpahan wewenang kepada gubernur, konfigurasi komposisi keanggotaan
Dewan Pengupahan tidak berubah dan tetap seperti dahulu. Keanggotaan Dewan
Pengupahan dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi buruh
dengan komposisi perbandingan 2 : 1 : 1. 31 Dahulu Keanggotaan Dewan
Penelitian Pengupahan didominasi oleh unsur pemerintah yang berasal dari
berbagai instansi. Buruh hanya diwakili 1 (satu) Serikat Buruh, yaitu SPSI,
sedangkan asosiasi pengusaha diwakili oleh Apindo. Namun menurut Resmi
Setia, komposisi perbandingan keanggotaan dewan pengupahan telah mengalami
perubahan.
Saat ini Dewan Pengupahan menggunakan model komposisi keterwakilansecara berimbang. Masing-masing unsur tripartit mempunyai jumlah wakilyang sama dalam Dewan Pengupahan. Bertambahnya jumlah perwakilanSerikat Buruh dalam Dewan Pengupahan berkaitan dengan diratifikasinyaKonvensi ILO No. 87/1948 Tentang Kebebasan Berserikat pada tahun1998.32
Dominasi pemerintah dalam DPPN/D yang diperkuat dengan pemberian
kewenangan penetapan upah minimum kepada Menteri Tenaga Kerja, hakikatnya
adalah upaya pemerintah untuk menjaga strategi kebijakan upah rendah. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Resmi Setia:
31 Pasal 6 ayat (2) Keputusan Presiden No 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahanmenentukan bahwa komposisi perbandingan keanggotaan antara unsur pemerintah, organisasipengusaha dan organisasi buruh di dalam Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) adalah 2:1:1,begitu juga untuk Dewan Pengupahan Propinsi (pasal 23 ayat (2)) dan Dewan PengupahanKabupaten/Kota (pasal 40 ayat (2)).
32 Setia, Resmi, “Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Alat Perjuangan Buruh?”,Analisis Sosial, Volume 7 No. 1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung. Hal 53.
17
Model komposisi yang didominasi oleh unsur pemerintah itu membuatDewan Pengupahan tidak lebih sebagai alat kontrol pemerintah terhadapketentuan upah minimum agar sesuai dengan kebijakan ekonomi yangdibuat pemerintah Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kebijakanupah rendah untuk menarik investor.33
Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa salah satu kendala yang dihadapi
dalam menjalankan program industrialisasi adalah terbatasnya modal, sehingga
diperlukan modal asing untuk menutup atau mengurangi kekurangan modal yang
diperlukan program industrialisasi. Masalahnya, negara yang menghadapi
persoalan dan memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia, adalah hampir
seluruh negara berkembang yang berniat menjadi negara industri. Oleh karena itu,
(pemerintah) Indonesia harus mampu mempunyai keunggulan komparatif
dibanding negara berkembang lainnya supaya investor asing mau menanamkan
modalnya di Indonesia.
Soal ketenagakerjaan memang menjadi salah satu faktor dalam
menggerakkan iklim investasi. Di sektor ketenagakerjaan-lah, keunggulan
komparatif Indonesia diletakkan. Keunggulan komparatif itu tidak lain adalah
jumlah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang rendah yang diterapkan
hingga kini. 34 Dengan menetapkan upah minimum, pemerintah berusaha
mempertahankan atau menyediakan suatu situasi yang kondusif bagi para pemilik
modal untuk menanamkan investasi di Indonesia.
Upah adalah kompensasi yang diberikan oleh pengusaha atas tenaga yang
telah dikeluarkan oleh buruh untuk memproduksi suatu barang/jasa. Upah
menunjukkan penghasilan yang diterima pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan
33 Ibid.34 Iskandar, A. Muhaimin, Op.Cit. Hal 93.
18
yang dilakukannya.35 Konvensi No. 95 dari Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO) menganggap upah sebagai:
pembayaran, bagaimanapun disebut atau dikalkulasi, yang dapat dinyatakandalam bentuk uang dan ditentukan oleh kesepakatan bersama atau olehundang-undang atau peraturan nasional yang harus dibayarkan berdasarkankontrak tertulis atau karena mempekerjakan seseorang oleh seorangpengusaha, kepada seorang pekerja untuk pekerjaan yang telah dilakukanatau akan dilakukan atau untuk jasa pelayanan yang diberikan.
Konvensi ILO No. 100 menganggap bahwa pembayaran remunerasi
mencakup: “Upah atau gaji minimum dasar yang biasa, serta pembayaran
tambahan apapun yang dibayarkan secara langsung atau tidak langsung, baik
dalam bentuk tunai atau natura, oleh pengusaha kepada pekerja dan yang timbul
karena pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja”.
Sedangkan menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, upah
di definisikan:
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentukuang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepadapekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjiankerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjanganbagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yangtelah atau akan dilakukan.36
Bagi perusahaan dan pengusaha, upah adalah biaya untuk penggunaan jasa
tenaga kerja; upah adalah suatu komponen dari pengeluaran, suatu bagian dari
biaya produksi. Bagi perusahaan, suatu sistem kompensasi yang baik harus
mampu meningkatkan efisiensi perusahaan dengan mendorong peningkatan
35 ILO, Op. Cit. halaman 68.36 Pengertian upah yang diberikan oleh UU No. 13/2003 lebih progresif dibanding dengan
pengertian yang diberikan oleh PP No. 8/1981 yang memaknai upah hanya sebatas imbalan daripengusaha kepada buruh, sama sekali tidak menyebutkan bahwa upah merupakan hak buruh.
19
kinerja (produktivitas) dan mendorong peningkatan mutu produk yang dihasilkan.
Hal ini tidak lain karena sebagai bagian dari biaya tenaga kerja, upah
mempengaruhi posisi saing manajemen melalui peningkatan biaya produksi,
efisiensi para pekerja dan kemampuan memperoleh keuntungan dari operasi
perusahaan.37
Kebijakan upah minimum, oleh kalangan pengusaha dipandang sebagai
sesuatu yang relatif tidak menguntungkan. Upah minimum telah mengurangi
kesempatan perusahaan untuk meningkatkan produktivitas buruh melalui sistem
insentif. Hasil penelitian sebuah lembaga penelitian menyatakan:
[….] semua pekerja tidak terampil dan setengah terampil di perusahaan-perusahaan menerima upah yang kurang lebih sama besarnya. Akibatnya,hal ini telah membatasi kemampuan perusahaan untuk menggunakan upahsebagai sistem insentif untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Selain itu,kebijakan upah minimum juga dikhawatirkan mempunyai akibat akanmenimbulkan disinsentif bagi pekerja yang lebih produktif.38
Belum terbangunnya (sistem) jaminan sosial 39 yang kokoh di Indonesia,
menjadikan upah bagi sebagian besar buruh hingga hari ini masih menjadi satu-
37 ILO, Op. Cit. halaman 69.38 SMERU, 2001, “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan
Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan”, Ringkasan eksekutif laporan penelitian LembagaPenelitian, hal 7.
39 Jaminan sosial menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem JaminanSosial Nasional, adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agardapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sebenarnya di Indonesia telah terdapatprogram jaminan sosial bagi buruh, yang dikenal dengan istilah “Jamsostek”, melalui UU No. 3Tahun 1992, namun program tersebut ternyata tidak berjalan sebagamana mestinya. Menurutsebagian kalangan pengusaha, program jamsostek tersebut justru dirasa membebani biayaproduksi. Sebagaimana diatur dalam UU No. 3/1992, iuran dari program jamsostek yang diikutiburuh, sebagian menjadi tanggungan pengusaha. Fenomena ini nampak pada sedikitnya jumlahtenaga kerja yang diikutkan program jamsostek. Bahkan sejumlah pengusaha melakukanmanipulasi data jumlah buruh yang diperkerjakan (dengan mengecilkan jumlah buruh dari jumlahyang sebenarnya) hanya dengan maksud menghindari program jamsostek. Selain itu, beberapaprogram turunan dari program jamsostek ditujukan untuk buruh tetap suatu perusahaan danmensyaratkan masa kerja tertentu bagi buruh untuk dapat ikut serta dalam program jamsostek.Sehingga bagi buruh kontrak dan buruh outsourcing –yang mana sistem kerja kontrak dan/atau
20
satunya komponen yang menopang kehidupan buruh beserta keluarga yang
menjadi tanggungannya sehari-hari. Sehingga bukan hal yang mengejutkan
apabila isu upah merupakan persoalan yang sensitif dalam lapangan hubungan
industrial di Indonesia.
Secara teoritis-konseptual, besaran upah minimum yang ditetapkan oleh
pemerintah menggunakan kriteria: biaya hidup (living cost) minimal yang harus
dikeluarkan buruh dalam satu harinya untuk memulihkan tenaganya. 40 Akan
tetapi, walaupun setiap tahun jika dilihat dari nominalnya upah mengalami
kenaikan, namun tetap saja upah tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.
Dari berbagai laporan berita media massa yang mengangkat masalah
kehidupan buruh menunjukkan bahwa upah yang diterima oleh buruh tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum selama satu bulan. Upah
minimum yang diterima buruh setiap bulan hanya mampu untuk membiayai
kebutuhan hidup selama 2 minggu, dua minggu berikutnya harus ditutup dari upah
outsourcing sekarang ini menjadi tren, kendati telah bekerja selama bertahun-tahun padaperusahaan yang sama, hampir sama sekali tidak memiliki peluang untuk mengikuti programjamsostek.
40 Meskipun pada dasarnya upah minimum merupakan standar upah terendah yang bolehdibayarkan pengusaha kepada buruh, namun pelaksanaan kebijakan upah minimum itu sendiri jugadigantungkan pada kemampuan perusahaan (pengusaha) untuk membayar. Jika suatu perusahaandapat membuktikan bahwa tidak mampu membayar upah sesuai ketentuan, maka yangbersangkutan dapat meminta penangguhan kepada gubernur setempat untuk membayar upah dibawah standar minimum yang telah ditetapkan.
21
lembur. 41 Artinya, kenaikan besaran nominal upah minimum setiap tahunnya,
ternyata tidak diikuti dengan kenaikan upah riil.42
Surya Tjandra mengungkapkan bahwa walaupun tanpa perlu penelitian yang
panjang lebar, semua kalau mau jujur akan menerima fakta bahwa upah buruh
Indonesia memang masih amat rendah; jauh dari cukup untuk buruh dan
keluarganya bisa hidup layak sebagai manusia yang bermartabat43. Lebih jauh
Tjandra mengungkapkan:
Data sederhana yang bisa diperoleh dari Biro Pusat Statistik (2007) punsesungguhnya sudah bisa menunjukkan itu. Pada tahun 1995 rata-rata upahminimum masyarakat Indonesia adalah sedikit di bawah Rp. 200.000,-,dengan daya beli sama-sama sedikit di bawah Rp. 200.000,-. Di tahun 2007ini rata-rata upah minimum Indonesia telah meningkat lebih dari lima kalilipat menjadi di atas Rp. 1.000.000,-, namun rata-rata daya beli masyarakathanya naik menjadi sedikit di atas Rp. 200.000,-. Dengan kata lain,sepanjang 12 tahun terakhir, dan 10 tahun reformasi, praktis tidak adapeningkatan kesejahteraan bangsa ini secara rata-rata44.
Kenyataan yang memprihatinkan ini dapat dipahami dengan melihat bahwa
dari sejumlah regulasi tentang upah yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak satu
pun yang memuat kejelasan,45 sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda dan
41 Divisi Perburuhan YLBHI, 1999, “kata pengantar”, dalam Ungpakorn, Ji Giles, 1999,Perjuangan Kelas Di Tengah Krisis Ekonomi: Belajar Dari Perjuangan Buruh Thailand”,YLBHI, Jakarta. Hal iv.
42 Dipandang dari sudut nilainya, upah dibedakan menjadi:
1) upah nominal, yaitu jumlah upah yang berupa uang;
2) Upah riil adalah kemampuan upah yang diterima untuk ditukar dengan barang.
(Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta,halaman 131)
43 Tjandra, Surya, “Pengantar”, dalam Tjandra et all, 2007, Advokasi Pengupahan DiDaerah (Strategi Serikat Buruh Di Era Otonomi Daerah), TURC, Jakarta, halaman 2.
44 Ibid.45 Ada peraturan perundang-undangan yang memuat faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam perumusan upah minimum, namun indikator-indikator dari setiap faktortersebut tidak diatur secara jelas.
22
memancing perdebatan yang sengit pada pihak-pihak yang terlibat dalam
perumusan upah minimum. Posisi ekonomi dan politik yang relatif lebih lemah
dibanding posisi yang dimiliki pengusaha, membuat kepentingan buruh seringkali
“dikalahkan” dalam meja perundingan. Buruh serasa bagai kayu bakar yang mesti
dikorbankan untuk menggerakkan laju perekonomian nasional dan kemakmuran
bagi sejumlah kecil anggota masyarakat yang kebetulan memiliki modal.
Buruh dipaksa untuk melakukan pengorbanan dan menjalani kesengsaraan
dengan dalih ‘demi menyelamatkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
serta kesejahteraan masyarakat luas’. Kebijakan upah minimum yang rendah
dijalankan oleh pemerintah untuk menarik atau mempertahankan minat investor
asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Akibat sesat pikir yang mendera
para aktor pemegang kekuasaan, negara yang seharusnya bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan warga negaranya―dalam hal ini termasuk juga kaum
buruh, telah bertindak sebagai kekuatan yang melakukan eksploitasi sistematis
terhadap buruh.46 Sehingga bagi buruh, satu-satunya kekuatan yang masih tersisa
adalah kenyataan bahwa tenaga mereka merupakan faktor yang tidak dapat
digantikan dalam proses produksi.
(Hendarmin, Ari, Op. Cit. Hal 103)46 Persoalan baik-buruknya iklim investasi selama ini hanya dikaitkan dengan masalah
ketenagakerjaan semata, padahal ada banyak faktor lain yang turut menentukan iklim investasi.Sebagai contoh, sedikitnya investasi yang masuk ke Indonesia pasca krisis, sektor ketenagakerjaankembali menjadi satu-satunya sektor yang “diutak-atik” dan dituding sebagai satu-satunyapenyebab rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia. Sebagai contoh ialah rencana pemerintahmerevisi UU No. 13/2003 pada pertengahan tahun 2006 untuk disesuaikan dengan konsepsifleksibilitas pasar kerja yang tentunya perlindungan terhadap buruh akan semakin dikurangi.Justru masalah birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama serta maraknyapungutan liar, yang jelas-jelas telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi tidak disentuh.
23
Kondisi yang demikian ini sangat disadari betul oleh kaum buruh.
Akibatnya, tindakan berikutnya yang memungkinkan dilakukan―untuk
memperkuat posisi dalam rangka memperjuangkan kepentingannya―kemudian
adalah melakukan pemogokan. Ketika negara tidak mampu menghadirkan
kekuatan yang efektif dalam membela kepentingan buruh atau menciptakan suatu
kondisi hubungan industrial yang demokratik dan harmonis, maka bagi buruh,
pemogokan merupakan jawaban atas kebuntuan kondisi yang merugikan kaum
buruh.
Pemogokan merupakan sesuatu yang ingin selalu dihindari pengusaha. Saat
pemogokan sedang berlangsung, dapat diduga bahwa gerak roda produksi akan
berhenti dan menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan atau keuntungan
dipihak pengusaha. Namun demikian, meskipun di satu sisi pengusaha selalu
berusaha untuk menghindari aksi pemogokan buruh karena akan menyebabkan
terbuangnya waktu produksi, tetapi di sisi lainnya pengusaha tetap ingin
meningkatkan laju produktivitas produksi tanpa perlu menambah biaya produksi
(menaikkan upah atau fasilitas-fasilitas kesejahteraan lainnya).
Pemogokan dapat berupa menghentikan pekerjaan atau memperlambat
penyelesaian pekerjaan. Namun demikian, pemogokan yang dilakukan oleh buruh
pada umumnya adalah menghentikan sama sekali atas pekerjaan yang menjadi
bebannya. Sebabnya ialah pemogokan dengan menghentikan pekerjaan relatif
lebih mudah koordinasinya dibanding dengan pemogokan berupa pelambatan
penyelesaian pekerjaan.
24
Indonesia merupakan negara yang mengakui bahwa mogok kerja adalah hak
buruh yang pelaksanaannya diberi batasan-batasan. Untuk dapat melaksanakan
mogok kerja, buruh harus memenuhi sejumlah persyaratan administratif dan telah
melalui suatu kondisi tertentu.47 Adanya keberadaan sejumlah persyaratan yang
harus dipenuhi oleh buruh, tentu memberatkan dan merugikan buruh karena
potensial mementahkan kembali aspirasi/tuntutan buruh dan bahkan juga
menggagalkan pelaksanaan hak mogok itu sendiri. Selain itu jika pengusaha selalu
berusaha untuk menghindari perundingan atau mengingkari bahwa perundingan
yang dilakukan mengalami kebuntuan (deadlock), maka mogok kerja yang
dilakukan oleh buruh juga potensial digolongkan ke dalam pemogokan tidak
sah.48
Mogok kerja dapat terjadi sebagai akibat dari: pertama, perselisihan
normatif, yaitu perselisihan yang ditimbulkan oleh adanya hak-hak buruh dalam
47 Pemogokan merupakan upaya yang dapat ditempuh oleh buruh apabila sebelumnya telahberupaya menyelesaikan konflik/perselisihan industrial dengan cara yang damai (perundingan,mediasi) dalam kurun waktu tertentu tetapi tidak membuahkan hasil. Sebelum melakukanpemogokan, buruh harus memberitahukan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawabdibidang ketenagakerjaan setempat (Pasal 140 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
48 Pertama, meskipun di dalam penjelasan pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003gagalnya perundingan termasuk juga dalam pengertian pengusaha menolak melakukanperundingan. Penolakan pengusaha yang dimaksud dalam penjelasan Undang-Undang No. 13Tahun 2003, karena tidak diberikan penjelasan dan ukuran yang memadai, seringkali interpretasiyang diberikan dalam implementasi adalah penolakan yang dilontarkan secara tegas olehpengusaha, dan tidak termasuk penolakan yang dilakukan secara halus (seperti janji pengusahayang akan melakukan perundingan atau akan memenuhi aspirasi buruh dalam beberapa waktu kedepan tetapi implementasinya selalu ditunda-tunda).
Kedua, menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003, gagalnyaperundingan karena mengalami jalan buntu, harus dinyatakan oleh kedua belah pihak, yakni buruhdan pengusaha, dalam risalah persidangan. Dengan adanya ketentuan ini, apabila pengusaha tidakmau menyatakan bahwa perundingan mengalami jalan buntu, padahal kenyataannya memangperundingan mengalami jalan buntu, maka buruh tidak dapat segera melakukan aksi mogok jikatidak ingin aksi mogok kerja tersebut digolongkan sebagai mogok kerja tidak sah. Dan apabilaburuh nekad menggelar pemogokan, maka secara yuridis-formal mogok kerja yang dilaksanakantergolong sebagai mogok kerja tidak sah.
25
perjanjian kerja bersama, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan peraturan
perundangan yang dilanggar oleh pengusaha. Kedua, perselisihan non-normatif,
yaitu perselisihan yang bukan merupakan perselisihan yang bersumber dari hak-
hak normatif. Namun demikian, hanya pemogokan dengan tuntutan normatif saja
yang secara tegas diatur akan mendapatkan perlindungan hukum.
Salah satu kewajiban normatif pengusaha, yang juga merupakan hak
normatif buruh, ialah tidak boleh memberikan upah di bawah upah minimum yang
telah ditetapkan. Perselisihan yang didasari oleh tindakan pengusaha yang tidak
membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sudah pasti termasuk
kategori perselisihan normatif. Demikian juga mogok kerja yang timbul dengan
tuntutan supaya pengusaha membayar upah sesuai upah minimum yang berlaku,
sudah dapat ditebak bahwa mogok kerja tersebut dilatarbelakangi oleh tuntutan
hak normatif, yang mana konsekuensi hukumnya sudah diatur secara tegas di
dalam pasal 145 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun untuk perselisihan terkait penentuan besaran upah minimum, belum
ada penjelasan yang menyatakan apakah termasuk kategori perselisihan normatif
atau tidak. Dari berbagai peraturan perundang-undangan sektor hubungan
industrial, terutama bidang pengupahan, disebutkan bahwa buruh berhak atas
penghasilan (upah) yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
yang ditentukan melalui penetapan upah minimum. Dengan kata lain, upah
minimum yang ditetapkan pemerintah harus memenuhi standar penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Ini berarti, perselisihan dalam penentuan besaran upah
minimum, pada dasarnya termasuk kategori perselisihan hak normatif.
26
Akan tetapi jika mengingat bahwa perselisihan hak dibidang hubungan
industrial diberi pengertian sebagai perselisihan yang hanya melibatkan buruh dan
pengusaha,49 maka perselisihan dalam penentuan upah minimum yang merupakan
konflik kepentingan tiga pihak, yaitu negara (pemerintah), buruh dan pengusaha,
lebih tepat dikatakan sebagai konflik kepentingan. Kata “konflik kepentingan”
dalam hal ini tidak mengacu makna pada peraturan perundang-undangan sektor
hubungan industrial yang berlaku, melainkan sebagai semacam kata bantu untuk
menjelaskan persoalan. Hal ini tidak lain mengingat bahwa aksi-aksi yang
mengiringi penentuan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur
adalah merupakan aksi yang dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan buruh
dalam menuntut perbaikan kebijakan sosial-struktural dan ekonomi yang
berpengaruh pada kondisi buruh, yang dilakukan dalam kerangka ranah (tuntutan
hak) normatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa posisi pemogokan buruh Jawa
Timur yang merupakan reaksi penolakan terhadap penetapan upah minimum
provinsi, terdapat pada “wilayah abu-abu” antara pemogokan yang
dilatarbelakangi oleh tuntutan normatif dan non-normatif.
Terlepas dari perdebatan tentang termasuk dalam kategori mana pemogokan
buruh dalam rangka memperjuangkan kepentingan perbaikan kesejahteraan,
seperti peningkatan upah khususnya penolakan atas ketentuan upah minimum
yang telah ditetapkan, yang jelas penetapan upah minimum selama ini selalu
49 Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hak adalah “perselisihan yang timbul karena tidakdipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuanperaturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjabersama”.
27
mengundang kontroversi dan resistensi dari kalangan kaum buruh. Dari uraian
tersebut dan dikaitkan dengan era penerapan kebijakan kebebasan berserikat
sekarang ini, persoalan yang relevan untuk diangkat ke permukaan adalah
bagaimanakah sesungguhnya peran yang telah dijalankan oleh serikat buruh
dalam melakukan tawar-menawar saat proses penentuan upah minimum sehingga
mengapa upah minimum yang ditetapkan masih mendapatkan resistensi.
Dalam hal ini pada giliran berikutnya pembahasan tidak dapat dilepaskan
dari kenyataan adanya pemogokan dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya
terhadap ketentuan upah minimum yang dilakukan oleh serikat buruh yang juga
terlibat dalam proses perumusan dan penentuan upah minimum. Pemogokan dan
perlawanan yang dilancarkan oleh serikat buruh tersebut harus “dibaca”
bagaimana atau sebagai apa. Tentu jika mengingat fungsi dan tugas inti serikat
buruh adalah melayani, mengartikulasikan dan menyuarakan kepentingan buruh,
maka pemogokan dan beragam bentuk lain perlawanan yang dilakukan oleh
serikat buruh dalam menanggapi ketentuan upah minimum yang ditetapkan, lebih
tepat apabila dilihat sebagai bentuk pelaksanaan fungsi dan tugas serikat buruh itu
sendiri yang salah satunya adalah mengupayakan perlindungan hak dan
peningkatan kesejahteraan buruh.
28
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SERIKAT BURUH/SERIKAT PEKERJA
DAN MOGOK KERJA
A. Tinjauan Umum Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja
1. Sejarah Umum Serikat Buruh
Serikat buruh merupakan fenomena yang muncul dalam sebuah masyarakat
modern, yang mana jalinan-jalinan dan hubungan antar komunitas yang terdapat
di dalamnya menampilkan konfigurasi yang rumit dan kompleks. Artinya serikat
buruh merupakan salah satu produk sejarah manusia yang dinamis dan dialektis.
Pergeseran sifat kegiatan produksi dari yang sifatnya subsisten―yaitu kegiatan
produksi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri―menjadi yang
sifatnya komersial, juga turut memberikan kontribusi bagi terbentuknya suatu
tatanan sosial dan keadaan yang menjadi basis material atas kemunculan asosiasi-
asosiasi di dalam masyarakat dan termasuk juga serikat buruh.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa persatuan kaum buruh atau serikatburuh yang merupakan alat untuk melindungi dan membela kaum buruh,yaitu mereka yang bekerja dengan mendapat upah (wage earners), adalahakibat dari keadaan-keadaan di lingkungan pekerjaan yang ditimbulkan olehekonomi modern.50
Meskipun secara riil serikat buruh baru ada sekitar akhir abad ke delapan belas sampai awal
abad ke sembilan belas, yaitu ketika aktivitas industrialisasi dengan corak kapitalis mulai marak
pasca Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 (delapan belas), akan tetapi cikal bakalnya
telah ada pada periode waktu sebelumnya. Keberadaan gilda-gilda, yaitu perkumpulan
dari orang-orang yang menjalankan usaha yang sama dengan tujuan memelihara
50 ICFTU, 1965, Sejarah Ringkas Gerakan Serikat Buruh Internasional, halaman 2.
29
kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya 51 , pada masa sebelum Revolusi
Industri, misalnya, disebut sebagai cikal bakal atau setidaknya memberikan
inspirasi bagi terbentuknya serikat buruh dikemudian hari.
Namun demikian, oleh sejumlah kalangan dikatakan bahwa serikat buruh
dan gilda merupakan dua entitas yang sama sekali berbeda, bahkan gilda itu
sendiri disebutkan sebagai model kerja yang kapitalistis dalam hal kegiatan
produksi, sehingga disebut sebagai dasar-dasar praktek ekonomi kapitalis52. Hal
ini wajar saja sebab jika merujuk definisi gilda sebagai perkumpulan orang-orang
yang mempunyai usaha yang sama53, maka tak ubahnya gilda seperti asosiasi
pengusaha yang ada pada masa kini. Akan tetapi jika ditinjau dari perspektif
organisasional, antara serikat buruh dan gilda terdapat kesamaan, yaitu persatuan
yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup anggota-anggotanya54, maka cukup
rasional apabila gilda dianggap sebagai cikal bakal lahirnya serikat sekerja yang
kemudian pada gilirannya menjadi serikat buruh.
Di tengah masyarakat yang mempunyai struktur makin rumit dan kompleks,
pertarungan kepentingan menjadi demikian tajam. Apabila di dalam sebuah
masyarakat yang jumlahnya masih sedikit dan masih mempunyai corak
tradisional, di mana anggota-anggotanya antara yang satu dengan yang lainnya
telah saling mengenal dalam arti yang sesungguhnya, penyelesaian suatu masalah
51 Siregar, A. Madjid, 1953, Perkembangan Serikat Buruh di Beberapa Negara, PenerbitKebangsaan Pustaka Rakyat N.V., Jakarta, halaman 18.
52 Lihat misalnya: Radjab, Suryadi A., Buruh dalam Formasi Sosial Kapitalis;Kusumandaru, Ken Budha, “Upah Sebuah Catatan Ekonomi Politik”, www.perhimpunan-rakyat-pekerja.org, diakses pada tanggal 16 Agustus 2007.
53 Lihat: Siregar, A. Madjid, Loc Cit.54 Ibid.
30
yang timbul akibat dari perbedaan kepentingan mungkin cukup dilakukan dengan
cara-cara sederhana yang didasarkan pada kemauan dan kepercayaan antara pihak
yang satu dengan pihak yang lainnya guna menuju pencapaian kata sepakat. Maka
tidak demikian halnya pada sebuah masyarakat yang jumlahnya besar dan telah
mempunyai struktur yang kompleks.
Pada masyarakat yang sudah mulai meninggalkan karakter masyarakat
tradisional atau yang sama sekali telah menjadi masyarakat modern, lapisan
masyarakatnya “terdiri dari orang-orang yang tidak ada hubungan persaudaraan
satu sama lain, mempunyai berbagai pandangan hidup, bahkan terkadang terdiri
dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan kebudayaan yang
berlainan.”55 Sehingga penggunaan cara-cara konvensional-tradisional yang hanya
tepat bagi suatu masyarakat dengan struktur sederhana untuk menyelesaikan suatu
masalah yang timbul dalam masyarakat yang lebih kompleks tentunya tidak akan
efektif. Identifikasi ragam kepentingan yang begitu banyak jumlah pemangkunya
menjadi sebab ketidakefektifan pemanfaatan cara-cara tradisional.
Pada masyarakat yang sudah memasuki atau memiliki ciri-ciri masyarakat
modern, khususnya masyarakat industri, persoalan yang timbul biasanya
melibatkan jumlah manusia yang terbilang cukup banyak. Artinya persoalan yang
muncul bukan saja melibatkan para pihak yang bertikai atau yang mempunyai
perbedaan kepentingan secara langsung itu sendiri, tetapi juga melibatkan pihak
lain yang berada di barisan luar. Atau dengan kata lain persoalan yang muncul
juga menyentuh struktur dasar yang berkembang di masyarakat yang
55 Labour Education Center, 2001, Organisasi Serikat Buruh, halaman 1.
31
bersangkutan. Sehingga apabila upaya penyelesaian tersebut menggunakan
pendekatan antar-personal, kemungkinan besar hasil yang dicapai jauh dari
penyelesaian yang mendasar atas persoalan yang mengemuka tersebut.
Penyelesaian yang dihasilkan akan disusul oleh persoalan-persoalan yang sama
dari pihak-pihak yang berasal dari lingkungan yang sama.56 Lebih jauh lagi, jika
pun terdapat penyelesaian, hasil yang dicapai cenderung mengarah pada dominasi
kepentingan salah satu pihak, yaitu pihak yang mempunyai posisi lebih kuat.
Atas dasar itu maka dapat dipahami jika kemudian mekanisme yang
dibangun dan dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat yang mempunyai
kesamaan kepentingan adalah melakukan pengorganisasian atau melakukan
penyusunan kekuatan secara kolektif untuk memperjuangkan kepentingannya
dalam berhadapan dengan golongan-golongan lain yang memiliki kepentingan
berbeda. Demikian juga halnya yang berlaku di kalangan kelas pekerja sejak
berlakunya sistem produksi massal di pabrik-pabrik pasca Revolusi Industri.
Dalam membahas soal pergulatan menjelang kelahiran serikat buruh, kajian
pertama-tama akan difokuskan pada kronologi peristiwa yang terjadi pada
masyarakat Eropa, khususnya Inggris, karena di sanalah serikat buruh pertama
kali muncul. Selain itu, keadaan masyarakat di Inggris pada waktu itu
menyediakan banyak data sejarah yang memungkinkan penelusuran serta analisis
terhadap keberadaan serikat buruh industri. Keberadaan buruh upahan memang
telah ada sebelumnya, hanya saja sistem produksi pada masa sebelumnya belum
56 Menurut Weber, hal ini tidak lain karena arah yang ditempuh oleh setiap individu dalammemburu kepentingannya bisa sangat bervariasi, tergantung bagaimana secara mental iamemenuhi syarat bagi pekerjaan dan tantangan yang ia hadapi
(Weber, Max, 2006, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 221).
32
menggunakan corak produksi massal sebagaimana yang diterapkan pada industri-
industri dewasa ini.
Jika pada masa sebelum Revolusi Industri, kendati telah ada sistem kerja
upahan, akan tetapi kaum buruh pada masa itu di sisi yang lain masih mempunyai
pekerjaan alternatif, sehingga kebergantungannya terhadap upah tidak sedemikian
besar seperti pada buruh industri pasca Revolusi Industri. Setiap perkembangan
yang terjadi di masyarakat tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang telah ada
begitu saja, melainkan harus dilihat dalam kerangka sosial yang lebih luas. Sebab
setiap perubahan dan perkembangan masyarakat, terdapat faktor-faktor tertentu
yang menjadi titik tolak perubahan sekaligus determinannya. Faktor tersebut
antara lain adalah kebijakan negara yang berlaku pada zaman tersebut.
Kemajuan pesat kekuatan-kekuatan produktif memang menimbulkandampaknya terhadap perkembangan masyarakat. Ketika mesin-mesinproduksi mulai dihasilkan dalam masyarakat Inggris, Revolusi Industrimenjadi tidak terelakkan. Kegiatan produksi mulai beralih denganmenggunakan peralatan mesin-mesin industri. Hasil-hasil pertaniankemudian dihisap oleh sektor industri, dan kemudian dihasilkan komoditasindustri. Semula merupakan kumpulan perajin manufaktur – dari tukangkayu sampai tukang pemintal benang untuk menghasilkan kain – yangdisebut gilda, selanjutnya terbentuk dan berkembanglah perusahaan-perusahaan industri komoditas57.
Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada kenyataannya telah
memberikan pengaruh yang luas bagi pergeseran-pergeseran mode produksi dan
susunan masyarakat serta arah kebijakan yang diambil oleh negara-negara di
Eropa. Di Inggris, sebagaimana dikatakan oleh Siregar bahwa munculnya kelas
buruh industri bukan semata disebabkan oleh Revolusi Industri, tetapi juga di
57 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.
33
dorong oleh adanya kebijakan politik agraria dari Pemerintah Inggris.58 Dalam
konteks ini, kelahiran serikat buruh sebagai fenomena sosial-ekonomi juga
mempunyai basis material tersendiri, yaitu kebijakan negara baik yang menjelang
maupun sesudah Revolusi Industri. Pada kurun waktu ini telah dimulai penerapan
paham kapitalisme dalam sistem produksi dan sistem sosial di dalam masyarakat
walaupun masih dalam tingkatan awal. Hal yang menjadi latar belakang
munculnya keadaan ini ialah karena berkembangnya politik merkantilisme di
negara-negara daratan Eropa.
Aktivitas perdagangan antar negara ini telah mendorong masing-masing
pemerintah negara-negara di Eropa untuk menyediakan lebih banyak komoditas,
sehingga kemudian melahirkan beberapa kebijakan yang mana kebijakan-
kebijakan tersebut mempunyai korelasi erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Kebijakan-kebijakan tersebut pada intinya bertujuan meningkatkan kapasitas
produksi komoditas yang diperdagangkan dengan negara-negara lain.
Cikal bakal sistem ekonomi kapitalis adalah produksi komoditas. Komoditasyang diperdagangkan bersumber dari produksi komoditas. Kelompok sosialyang muncul dari kegiatan produksi komoditas ada dua, yaitu perajinmanufaktur dan pedagang atau saudagar. Perajin manufaktur adalah adalahpencipta komoditas, sedangkan pedagang berperan sebagai penghubungyang menghubungkan antara produsen dan konsumen. Ketika perubahansosial terjadi, sebagian modal dagang brerubah menjadi modal produksikomoditas yang juga memegang peranan utama dalam struktur ekonominya.Ketika pertukaran komoditas semakin meluas, seketika itu pula uang mulaiberfungsi sebagai media sirkulasi, alat penunjukan kekayaan, serta alatakumulasi59.
Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Inggris pada masa itu
ialah memaksa rakyat untuk menanam dan membudidayakan tanaman atau hewan
58 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 15.59 Radjab, Suryadi A., Op. Cit..
34
ternak tertentu yang menjadi komoditas maupun merupakan bahan baku dari
komoditas perdagangan internasional. 60 Akibatnya rakyat tidak mempunyai
kebebasan dan kemandirian dalam hal mengolah lahan, sehingga pada gilirannya
tidak banyak alternatif pekerjaan yang dimiliki oleh rakyat. Kebijakan ini makin
dikerjakan secara intens dalam skala massif ketika terdapat penemuan-penemuan
baru mesin industri yang memudahkan pengolahan atas barang-barang yang
diperdagangkan. Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap
pada abad ke delapan belas membuka jalan bagi dibuatnya mesin tenun otomatis
dan mesin-mesin lainnya yang memudahkan proses produksi, dan pada gilirannya
“mengubah secara permanen hubungan antara buruh dan majikan”61.
Kebijakan-kebijakan strategis yang ditempuh negara-negara di Eropa
dengan didukung oleh penemuan mesin-mesin baru secara nyata telah
menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat, yang meliputi timbulnya
kelas menengah dan golongan buruh upahan industri beserta relasi antar elemen-
elemen dalam masyarakat tersebut. Logika ekonomi pasar kemudian menjadi
tolok ukur efektifitas dan model dari setiap kebijakan yang diterapkan.
“Dengan politik merkantilisme, sektor industri senantiasa mendapatkan
sokongan penuh dari pemerintah”62, yang mana hal ini pada giliran berikutnya
mendorong penerapan paham kapitalisme dalam sistem sosial dan sistem produksi
masyarakat kian berkembang. Sebagaimana karakter dari paham kapitalisme yang
60 Penerapan kebijakan yang demikian ini sangat mungkin dilakukan mengingat struktursosial yang berlaku dan berkembang saat itu berwatak feodal, di mana aristokrasi menjadipenopang utama bangunan kenegaraan Inggris.
61 Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis atasUndang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta, halaman 10.
62 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 15.
35
menghendaki campur tangan negara dalam bidang ekonomi sekecil mungkin,
maka demikian juga yang terjadi dalam sistem produksi yang berkembang masa
itu. Produksi atas barang-barang komoditas perdagangan diserahkan kepada
masyarakat, sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator yang menjamin
keamanan dan kelangsungan dari aktivitas produksi dan distribusi. Praktek
ekonomi semacam ini sama sekali tidak mengurangi pemasukan negara, karena
dalam hal ini negara menarik pajak dan retribusi kepada para pelaku ekonomi di
lapangan.
Keleluasaan dalam melakukan produksi yang diberikan oleh negara kepada
para pemilik pabrik membuat posisi kaum kelas pekerja terpinggirkan. Kaum
buruh tidak dapat menuntut kenaikan upah dan perbaikan syarat maupun kondisi
kerja di dalam pabrik sebagai suatu cara kaum buruh untuk dapat turut menikmati
laba yang diperoleh pemilik alat produksi (pabrik). Kendati pemilik pabrik dan
kaum majikan memperoleh laba yang lebih besar daripada waktu-waktu
sebelumnya, akan tetapi nasib kaum buruh tetap sangat memprihatinkan. Kaum
buruh harus tetap bekerja dengan jam-jam kerja panjang –sampai sekitar enam
belas jam per hari, upah rendah serta kondisi kerja yang buruk bagi kesehatan dan
mengancam keselamatan buruh.
Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan kepada
buruh melalui serangkaian instrumen hukum, akan tetapi upaya pemerintah
tersebut mendapatkan tentangan yang kuat dari kalangan pemilik pabrik. Pada
tahun 1802 pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan tentang kesehatan dan
keselamatan kerja bagi buruh, namun implementasi di lapangan atas peraturan
36
yang kemudian dikenali sebagai undang-undang pertama dibidang perburuhan
tersebut tidak berjalan mulus.
Keberadaan teori sosial dan doktrin laissez-faire yang merupakan bagian
dari paham kapitalisme, menjadi landasan sikap penentangan kalangan pemilik
modal terhadap upaya pemerintah untuk melindungi buruh. Doktrin laissez-faire
mengedepankan bahwa setiap hubungan antar anggota masyarakat dalam
lapangan ekonomi harus didasarkan pada azas kebebasan berkontrak yang
sesungguhnya, yaitu tanpa pembatasan dan intervensi dari pemerintah. Dalam
konteks hubungan kerja, kaum pemilik modal menghendaki agar hubungan kerja
tidak diberikan pembatasan-pembatasan yang mana hal tersebut dapat mengurangi
kesempatan meraih laba sebesar-besarnya.
[…] sejalan dengan filsafat laissez-faire, cukup kuat desakan agar hubungankerja dibebaskan dari segala pembatasan. Yang dianut di sini adalah azasbahwa majikan (pemilik pabrik) dan buruh haruslah mutlak bebas untukmengadakan hubungan kerja berdasarkan perjanjian, dan hubungan kerjaseperti ini dapat diakhiri kapan saja oleh salah satu pihak.63
Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap untuk pertama
kalinya dan dilanjutkan dengan pemanfaatan mesin-mesin yang ditemukan setelah
mesin uap, telah membuat ketergantungan produksi kepada tenaga manusia
menjadi berkurang; mesin telah menggantikan posisi manusia dalam mengerjakan
hal-hal tertentu di dalam pabrik. Sementara keberadaan mesin itu sendiri telah
meningkatkan kemampuan produksi pabrik-pabrik secara signifikan. “Revolusi
63 Sinaga, Marsen, Op. Cit.
37
Industri menandai munculnya zaman mekanisasi yang tidak dikenal
sebelumnya”.64
Lebih jelasnya, akibat dari Revolusi Industri “produksi tidak lagi dibatasi
oleh segala macam ketentuan feodal, oleh sistem gilda, oleh keterkaitan petani
pada tanah dan sebagainya”65. Selain itu penemuan mesin-mesin baru ini telah
memudahkan para pemilik pabrik untuk meningkatkan produksi tanpa menambah
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, atau bahkan mengurangi penggunaan
tenaga manusia. Dengan demikian secara sosiologis penemuan mesin memberikan
dampak meningkatkan posisi pemilik pabrik di satu sisi, sedangkan di sisi lain
menurunkan daya tawar kaum buruh yang bekerja di pabrik.
Penemuan mesin uap untuk pertama kalinya menyediakan sumber energiyang besar bagi proses produksi. Mesin tenun otomatis dan mesin-mesin lainmemungkinkan produksi massal yang murah. Siapa yang mempunyai modaldapat mengerjakannya melalui mesin-mesin itu dengan membeli tenagakerja kaum buruh.66
Engels mengemukakan:
Penerapan tenaga mekanik dan mesin dalam pekerjaan-pekerjaan baru, danperluasan dan perbaikan-perbaikan mesin dalam usaha-usaha yang sudahmenggunakannya, terus menggusur semakin banyak "tangan" (pekerja); danitu terjadi dalam laju yang jauh lebih cepat daripada laju "tangan-tangan" itudapat diserap oleh, dan menemukan pekerjaan di dalam, usaha-usahamanufaktur negeri bersangkutan. "Tangan-tangan" yang digantikan inimembentuk barisan cadangan industrial yang sesungguhnya untuk kegunaanModal. Jika perdagangan sedang buruk, mereka itu bisa kelaparan,mengemis, mencuri, atau ke tempat-kerja; jika perdagangan sedang baik,mereka siap (dipakai) untuk meluaskan produksi; dan hingga laki-laki,perempuan atau anak terakhir dari barisan cadangan (tenaga kerja cadangan)ini akan memperoleh pekerjaan-yang, hanya terjadi pada masa-masa
64 Ibid.65 Magnis-Suseno, Franz, 2001, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
halaman 5366 Ibid.
38
kekalutan over-produksi hingga di situlah persaingannya akan menekanupah-upah, dan dengan keberadaannya saja memperkuat kekuasaan Modaldalam pergulatannya dengan Kerja. Dalam perlombaan dengan Modal itu,Kerja tidak saja berintangan, ia harus pula menyeret sebuah bola-besiraksasa yang dikelingkan pada kakinya. Namun ini (pun) adalah layakmenurut ekonomi politik Kapitalis.67
Jelaslah bahwa Revolusi Industri selain membawa manfaat dalam hal
penciptaan sistem produksi massal, disisi lainnya telah menyebabkan kaum kelas
pekerja menjadi semakin terhimpit. Akan tetapi yang harus diperhatikan ialah
tersubordinasinya kaum buruh ke dalam kekuasaan modal bukan hanya
disebabkan oleh Revolusi Industri itu saja, melainkan juga disebabkan oleh
kebijakan-kebijakan negara dibidang ekonomi dan di bidang-bidang lainnya.
Kebijakan dibidang agraria oleh Pemerintah Inggris sebagaimana tereksposisi di
atas, misalnya, pada kenyataannya telah mematikan kemerdekaan ekonomi
masyarakat kelas bawah yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya
dari lahan pertanian yang digarapnya. Akibatnya masyarakat yang kehilangan
kekuasaan atas lahan dan alat produksi yang sebelumnya dikuasai, beralih pada
pekerjaan lain, yang dalam hal ini adalah menjadi buruh pabrik.
Kegiatan produksi merupakan kegiatan kreatif yang harus menggunakan
peralatan produksi.Peralatan produksi adalah hal yang pokok bagi manusia untuk
menjalankan kegiatan produksi. Kegiatan produksi tidaklah mungkin berlangsung
tanpa peralatan produksi (means of production). Ketika peralatan produksi berada
di tangan segelintir orang, maka banyak orang akan bergantung hidupnya kepada
pemilik peralatan produksi. Terbentuknya hubungan pemilikan secara pribadi atas
67 Engels, Friederich, 1881, “The Labour Standart”, terjemahan Edy Cahyono,www.marxist.org, diakses pada tanggal 25 Juni 2007.
39
peralatan produksi oleh kapitalis atau pengusaha, menyebabkan orang-orang yang
tidak mempunyai alat produksi harus bergantung hidupnya karena tidak
mempunyai apa-apa lagi kecuali tenaga fisik, dan dengan terpaksa harus menjual
atau menyewakan tenaga kerjanya kepada orang-orang yang menguasai alat
produksi68.
Kelas masyarakat yang terpinggirkan inilah yang kemudian dinamakan kelas
buruh industri, suatu kelas baru yang muncul dalam struktur masyarakat di Eropa.
Buruh industri pada masa ini berbeda dengan buruh-buruh pada masa
sebelumnya―walaupun sama-sama sebagai buruh upahan. Kelas buruh industri
tersebut mempunyai ciri khas tertentu di mana ciri khas tersebut merupakan
sesuatu yang relatif baru pada masyarakat yang bersangkutan, yang oleh Franz
Magnis Suseno dikatakan:
Ciri khas kelas baru itu (baca: buruh industri) bahwa mereka di satu pihaklebih bebas dari buruh-buruh dan tukang-tukang dulu, di lain pihak lebihtergantung kepada majikan mereka. Lebih bebas karena mereka berhakmencari pekerjaan di mana-mana. Lebih tergantung dari majikan karenamereka hanya bisa bekerja apabila mereka ditawari tempat kerja, dantempat-tempat kerja dimiliki oleh para pemilik modal.69
Akan tetapi persoalannya bukan hanya berhenti sampai disitu. Dalam
hubungan kerja bebas tersebut nampak ada dua pihak, yaitu buruh dan majikan
(pemilik pabrik). Kedua pihak ini mempunyai kepentingan yang saling bertolak
belakang dan “tidak selalu sepakat dalam terpenuhinya kepentingan masing-
68 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.69 Magnis-Suseno, Franz, 2001, Loc. Cit..
40
masing”70. Perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang saling bertentangan
yang tidak terselesaikan ini kemudian berubah menjadi ketegangan di dalam
proses produksi.
Dalam hubungan produksi kapitalis, terbentuk dua kelas sosial yangfundamental yang kepentingannya satu sama lain bertentangan, namunkeduanya saling membutuhkan. Pertama, sesuai dengan istilahnya, kelaskapitalis adalah pemilik modal, yakni pemilik perusahaan industri,pertanian, pertambangan, perusahaan pelayanan dan perdagangan. Kelaskapitalis mempekerjakan sejumlah buruh upahan yang harus menghasilkanlebih banyak modal. Posisi kapitalis bersifat dominant yang kepentingannyaadalah menghisap tenaga kerja―yang berada di dalam darah dandaging―kaum buruh atau pekerja. Kedua, berhubung tidak mempunyai apa-apa lagi, kaum buruh terpaksa bekerja untuk kepentingan kapitalis denganmenghasilkan lebih banyak modal, dan seterusnya lebih banyak lagi modal.Posisi mereka adalah pihak yang dihisap oleh kapitalis, karena seluruh hasilkerjanya sepenuhnya menjadi milik kapitalis.71
Kebijakan politik agraria yang miskin keberpihakan kepada masyarakat
kelas bawah dan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan tradisional yang
selama ini digeluti masyarakat untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya,
telah menimbulkan surplus tenaga kerja dalam jumlah besar. Antara lapangan
kerja yang tersedia di pabrik dengan jumlah tenaga kerja pencari kerja tidak
seimbang. Sementara itu, para pencari kerja ini hanya dapat bekerja apabila
mereka ditawari tempat kerja. Sehingga kemudian timbul ketergantungan yang
luar biasa besar dari pihak para pencari kerja kepada para pemilik modal. Kondisi
ini menyebabkan persaingan antar pencari kerja menjadi sedemikian ketat,
akibatnya ketika mereka mendapatkan pekerjaan, mereka bersedia menerima upah
serta syarat dan kondisi kerja yang memprihatinkan.
70 Suroto, Suri, “Gerakan Buruh dan Permasalahannya”, dalam Prisma No. 11 Tahun 1985,halaman 25.
71 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.
41
Karena buruh itu bagaimanapun harus makan dan memenuhi kebutuhandasar lainnya, padahal satu-satunya cara untuk itu adalah menjual tenagakerja mereka kepada para pemilik pabrik, maka terpaksa mereka menerimasyarat-syarat kerja yang ditentukan oleh kepentingan ekonomis perusahaanuntuk mendapatkan untung sebesar mungkin.72
Oleh karena itu, desakan kalangan pemilik modal agar dalam hubungan
kerja diterapkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diterapkan
dalam lapangan transaksi jual beli barang, merupakan sesuatu yang tidak masuk
akal. Persoalan yang terdapat dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan
berbeda dengan transaksi jual beli barang. Antara hubungan kerja dengan
transaksi jual beli, terdapat perbedaan yang substansial. Perbedaan tersebut ialah:
Pertama, di dalam hubungan antara buruh dengan pemilik modal (alat
produksi) dan kegiatan produksi yang dijalankan oleh buruh atas perintah pemilik
modal terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu pertukaran tenaga buruh dengan
sejumlah uang yang disebut gaji, dan kegiatan kerja atau produksi. Buruh yang
bekerja kepada pemilik alat produksi, tenaga mereka ditukar dengan sejumlah
uang, yaitu upah atau gaji. Tenaga yang dipunyai buruh dan berada dalam tubuh
buruh adalah untuk menjalankan kegiatan kerja atau produksi. Dengan dibelinya
tenaga ini oleh pemilik alat produksi, maka pemilik alat produksi memerintahkan
buruh untuk menjalankan kegiatan kerja.
Persoalannya, kegiatan kerja bukanlah hubungan pertukaran, melainkan
berlangsung dalam hubungan produksi, yaitu pemberian tambahan nilai terhadap
bahan atau barang yang dikerjakannya. Karena itu, dalam hubungan produksi,
buruh tidak mendapatkan apa-apa selain lelah dan tenaganya yang terkuras.
72 Magnis-Suseno, Franz, Op. Cit.
42
Seluruh hasil produksi sepenuhnya menjadi milik pengusaha. Hanya dalam
hubungan pertukaran, buruh mendapatkan upah. Dengan demikian, hubungan
antara pengusaha dan buruh terdapat dua tingkatan hubungan ekonomi: hubungan
pertukaran dan produksi. Dalam hubungan pertukaran, buruh mendapatkan upah.
Akan tetapi dalam hubungan produksi hanya mendapatkan lelah dan tenaganya
yang terkuras, tenaganya diperas oleh pengusaha73.
Kedua, dalam hal jual beli barang, antara penjual dan pembeli terdapat
kesetaraan posisi baik secara yuridis maupun sosiologis. Sementara dalam
hubungan kerja, walaupun terdapat kesetaraan secara yuridis, namun tidak ada
kesetaraan posisi secara sosiologis.
Yuridis buruh adalah memang bebas […] Sosiologis buruh adalah tidakbebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripadatenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilahyang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.
Tenaga buruh yang terutama menjadi kepentingan majikan, merupakansesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh ituselalu harus mengikuti tenaganya ke tempat dan pada saat majikanmemerlukannya serta mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu.Dengan demikian maka buruh juga jasmaniah dan rohaniah tidak bebas.74
Untuk lebih memperjelas ketidaksetaraan posisi antara buruh dengan
kalangan pemilik modal, dan hubungannnya dengan soal di seputar kebebasan
berkontrak, perlu kiranya menyimak pendapat Engels yang mengemukakan:
[…] upah-upah dan hari-hari kerja ditetapkan oleh persaingan, makakelayakan tampaknya menuntut bahwa kedua belah pihak mesti mempunyaiawalan yang sama layaknya secara sama-derajat. Tetapi kenyataannyatidaklah demikian. Si Kapitalis, jika ia tidak dapat sepakat dengan si Pekerja,dapat saja menunggu, dan hidup dari modalnya. Si Pekerja tidak
73 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.74 Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta,
halaman 7.
43
berkemampuan begitu. Baginya hanya ada upah-upah itu untuk hidup, danoleh karenanya mesti menerima pekerjaan kapan saja, di mana saja, dandengan syarat-syarat apa saja yang dapat diperolehnya. Si Pekerja tidakmenikmati/memiliki awalan yang layak. Ia sangat dirundung ketakutan akankelaparan. Namun begitu, menurut ekonomi politik klas Kapitalis, demikianitulah warna sebenarnya dari kelayakan itu.75
Dari uraian yang dikemukakan oleh Engels tersebut, nampak jelas bahwa
sedari awal posisi buruh dengan pemilik modal adalah tidak setara. Sehingga
dengan demikian penerapan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak secara total dan
konsisten di dalam hubungan kerja lebih banyak mengakibatkan eksploitasi
terhadap kaum buruh oleh pemilik modal.
Penindasan dan eksploitasi yang dialami terus menerus oleh kaum buruh
pada waktu berikutnya membangkitkan kesadaran kaum buruh tentang perlunya
perlawanan. Kesadaran terhadap kenyataan bahwa susunan masyarakat dan relasi
antara golongan-golongan yang terdapat didalamnya ditentukan mode produksi
yang diterapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, yang mana hal itu (mode
produksi) dapat berubah setiap periode waktu, memberikan semacam penalaran
kepada kaum buruh bahwa untuk memperbaiki kehidupannya, belas kasihan dari
dan kepekaan sosial yang berwujud tindakan karitatif dari kaum pemilik modal
bukanlah jawaban dari persoalan tersebut.
a. Fase-fase Gerakan Serikat Buruh
Di tengah relasi antar golongan masyarakat yang berwatak eksploitatif
terhadap kaum buruh dan tindakan-tindakan karitatif tidak dapat banyak
membantu, karena semua itu terjadi disebabkan oleh struktur yang berkembang,
maka mempertarungkan kepentingan secara terbuka dengan golongan-golongan
75 Engels, Friederich, 1881, Loc. Cit.
44
lapisan masyarakat lainnya merupakan sesuatu yang menjadi keharusan bagi
kaum buruh apabila kaum buruh hendak memperbaiki taraf kehidupannya. Di
samping itu juga terdapat kesadaran lain di kalangan kelas pekerja, yaitu
perlawanan secara individual yang sporadis tidak efektif di dalam struktur yang
timpang. Artinya pada tataran ini kaum buruh menginsafi bahwa berjuang melalui
kekuatan kolektif atau aksi-aksi komunal merupakan satu-satunya cara untuk
mendesakkan kepentingan buruh dalam konfigurasi kepentingan sosial yang luas.
Menurut Weber, aksi komunal didefinisikan sebagai aksi yang “menunjuk pada
tindakan yang ditujukan pada perasaan para aktor bahwa mereka adalah satu”.76
Lingkungan pabrik di satu sisi telah membawa dampak tercerabutnya kaum
buruh dari akar kehidupan sosial masyarakat. Karena desakan kebutuhan ekonomi
yang tidak dapat ditunda, membuat kaum buruh rela bekerja dengan jam-jam kerja
yang panjang dan sangat menguras tenaga maupun mental, sehingga buruh hampir
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan
masyarakat yang lebih luas secara layak. Akan tetapi di sisi lainnya, lingkungan
pabrik tempat bekerja telah memberikan kesempatan bagi terhimpunnya buruh
sebagai individu pada satu tempat yang sama, yang mana hal ini selanjutnya
menghadirkan situasi kebersamaan diantara buruh dan pada gilirannya mendorong
terbentuknya situasi kelas tertentu (yaitu kelas buruh). Dari situasi semacam inilah
kemudian menjadi benih-benih organisasi buruh muncul, sebagaimana dikatakan
oleh Suroto:
76 Weber, Max, Loc. Cit.
45
Lingkungan pemerintahan, pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaanmerupakan tempat terhimpunnya tenaga kerja atau buruh sebagai individukarena kepentingan yang sama. Lingkungan itu menciptakan situasikebersamaan secara tetap yang mendorong ke terbentuknya situasikelompok sosial. Di dalamnya tumbuh perasaan senasib dansepenanggungan […] Selanjutnya rasa kebersamaan ini munculmemanifestasikan diri dalam organisasi sebagai wadah mereka dapatmembicarakan keadaan, masalah dan kepentingan bersama, ataumenyelenggarakan pertemuan sosial di antara mereka.77
Pada tahapan awal penyusunan kekuatan kolektif ini bentuknya bukanlah
organisasi modern sebagaimana yang dikenal pada waktu berikutnya, melainkan
hanya sebatas perkumpulan-perkumpulan yang tidak permanen. Belum terdapat
keterikatan yang sifatnya organisasional dan rasional di antara kaum buruh,
kecuali keterikatan emosional karena perasaan senasib. Lebih dari itu, persatuan
di antara mereka terjadi ketika terdapat seruan ataupun ajakan dari beberapa orang
dari golongan mereka sendiri yang kebetulan mempunyai kharisma dan pengaruh.
Bangkitnya kesadaran untuk menyusun kekuatan kolektif dengan bentuk yang
modern dimulai ketika pemimpin-pemimpin tradisional buruh tersebut saat
memimpin aksi perlawanan ditangkap dan dihukum, yang mana hal tersebut
berujung pada terjadinya kevakuman kepemimpinan dan berimbas lemahnya
gerakan perlawanan.
Penyusunan kekuatan kolektif kaum buruh dalam perjalanannya bukan tanpa
rintangan. Kalangan pemilik modal mempunyai resistensi yang sangat besar
terhadap keberadaan persatuan buruh. Sebagai hasil dari kekuatan modal dalam
aktivitas perekonomian, pemilik modal mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap pemerintahan dan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkannya,
77 Suroto, Suri, Op. Cit. halaman 27.
46
sehingga tidak mengherankan apabila kemudian di Eropa timbul fenomena seperti
yang terjadi di Inggris di mana hingga tahun 1825 berlaku Undang-Undang
Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap semua aksi kolektif sebagai
perbuatan ilegal.78
Menurut Siregar 79 , secara umum gerakan buruh berserikat dapat
dikategorikan ke dalam tiga fase, yaitu pertama, gerakan yang dikembangkan
tanpa menggunakan kerangka kerja ideologi tertentu, selain ideologi perlawanan
itu sendiri. Pada masa ini gerakan buruh berserikat tidak menggunakan platform
yang jelas, melainkan lebih bersifat reaksioner terhadap tindakan-tindakan sepihak
kaum pemilik modal dan dilandasi romantisme masa lalu. “Dalam masa ini buruh
meninjau ke zaman yang lampau, di mana mereka di atas sebidang tanah dapat
hidup dengan leluasa”.80 Dengan kata lain, pada masa ini kaum buruh belum dapat
menerima kapitalisme dan gejala industrialisasi sebagai mode produksi baru
masyarakat.
Fase kedua, yang dimulai dari tahun 1848 sampai tahun 1880, dalam
kenyataannya kaum buruh telah menyesuaikan diri dengan kapitalisme dan
mengakui bahwa industrialisasi sebagai dasar sosial. Perlawanan terhadap
kepentingan modal yang mana telah menyubordinasi kepentingan buruh dilakukan
dengan membentuk organisasi yang bercorak modern. Akan tetapi orientasi dari
perjuangan buruh pada masa ini tetap terfokus pada masalah-masalah sektoral
78 Sinaga, Marsen, Op. Cit. halaman 13.79 Siregar, A. MAdjid, Op. Cit. halaman 17-18.80 Ibid.
47
perburuhan semata sebagaimana pada masa-masa sebelumnya, seperti perbaikan
upah dan kesejahteraan serta syarat dan kondisi kerja.
Serikat buruh yang muncul pada tingkat awal kapitalisme adalah sebuahorganisasi yang menghimpun massa kaum buruh untuk perbaikan nasib.Sebagai gerakan yang berada di dalam masyarakat yang bersendikankapitalisme, jangkauan serikat buruh pada dasarnya tidak melampaui batasperbaikan kepentingan ekonomi dan sosial kaum buruh.81
Pasca tahun 1880 kaum buruh telah memasuki fase ketiga. Pada fase ini
organisasi buruh berkembang dengan baik. Selain itu juga program dan agenda
serikat buruh banyak diwarnai dengan ideologi sosialisme dan komunisme,
sehingga gerakan buruh pun menyentuh level politik. Teori dan pemikiran yang
dikembangkan Karl Marx dan Friedrich Engels banyak memberikan arah,
kerangka kerja dan harapan yang lebih luas bagi perjuangan buruh, terlebih lagi
setelah terjadi Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917.
Pembagian fase-fase gerakan serikat buruh ke dalam beberapa tingkatan di
atas sifatnya tidak kaku. Fase-fase gerakan serikat buruh tersebut lebih ditandai
dengan hadirnya sebuah pemikiran dan konsepsi yang cenderung dianut. Hal ini
karena penampakan gerakan serikat buruh pada masa-masa tertentu tidak
semuanya mencerminkan karakter sebagaimana yang terdapat dalam fase-fase
yang tersebut di atas. Artinya pengklasifikasian gerakan serikat buruh ke dalam
beberapa fase tersebut sifatnya tidak terbatas pada waktu tertentu. Di dalam kurun
waktu fase kedua misalnya, ada juga gerakan serikat buruh yang mempunyai
karakter sebagaimana karakter gerakan serikat buruh pada fase pertama. Hal yang
serupa juga terjadi dalam kurun waktu selanjutnya, yang berada di luar kerangka
81 Soegiri D. S., “Gerakan Serikat Buruh”, dalam H.D. Oey (editor), 2003, Gerakan SerikatBuruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, Hasta Mitra, Jakarta, halaman 3.
48
waktu fase di atas, seperti pada masa dewasa ini misalnya. Penggolongan tersebut
hanya bertujuan untuk memberikan pengantar dan memudahkan dalam
memahami dinamika kebangkitan gerakan serikat buruh.
Dari uraian yang tersebut di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa kebangkitan gerakan berserikat dilatarbelakangi oleh ketertindasan dan
buruknya taraf kehidupan buruh di dalam hubungan industrial dan sistem produksi
pada umumnya. Kepentingan dan kesejahteraan buruh berada di bawah
kepentingan modal dan agenda pengerukan keuntungan sebesar-besarnya. Selain
itu, perkembangan gerakan serikat buruh tidak lepas dari dinamika kondisi sosial
politik yang berlaku di setiap waktunya. Akan tetapi, hal tersebut tidak selalu
berlaku bagi setiap kebangkitan gerakan berserikat. Sejarah mencatat, di Indonesia
awal kebangkitan gerakan serikat buruh tidak didasari karena masalah
kesejahteraan dan kondisi kehidupan buruh yang buruk.
b. Sejarah Serikat Buruh Di Indonesia
1). Masa Pra-Kemerdekaan
Dalam konteks kewilayahan yang saat ini menjadi bagian dari Republik
Indonesia, keberadaan serikat buruh mempunyai catatan sejarah yang panjang.
Perjalanan gerakan serikat buruh di Indonesia mulai dari ketika Indonesia masih
di bawah kolonialisme Belanda, di mana pada masa itu sistem kerja upahan mulai
diperkenalkan.82 Gerakan serikat buruh di Indonesia sifatnya fluktuatif, dari masa
82 Bekerja untuk mendapatkan upah atau memburuh merupakan kegiatan produktif yangtidak lazim dalam masyarakat Indonesia sekitar 1800-an, khususnya di pedesaan. Kerja upah mulaidiperkenalkan sejak VOC diganti oleh Pemerintah Hindia Belanda, terutama masa GubernurJenderal Charles Stamford Raffles yang secara berangsur-angsur meninggalkan lembaga kerjawajib dan menggantinya dengan sistem kerja upah.
49
ke masa mengalami pasang-surut. Selain itu, sebagaimana gerakan-gerakan buruh
berserikat di berbagai belahan dunia lainnya, gerakan serikat buruh dan gerakan
buruh pada umumnya di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik
yang berlaku pada masing-masing zamannya.
Serikat buruh lahir pertama kali pada masa ketika wilayah Indonesia masih
berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya akhir abad ke sembilan
belas. Adalah Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch (NIOG) serikat
buruh yang lahir pertama kali. Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch
dibentuk oleh orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia sebagai guru
pegawai pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1897. 83 Latar belakang
berdirinya serikat guru-guru bangsa Belanda tersebut memberikan ciri tersendiri
bagi gerakan buruh di Indonesia di dalam semesta gerakan serikat buruh di dunia.
Pada kenyataannya, kemunculan pertama kali gerakan buruh berserikat ternyata
tidak selalu semata-mata dilandasi oleh masalah dan kepentingan sosial ekonomi.
Sebetulnya jauh sebelum Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch
berdiri telah ada organisasi buruh, akan tetapi organisasi ini dalam kenyataannya
lebih dikenal sebagai organisasi majikan ketimbang sebagai organisasi buruh.
Organisasi tersebut ialah Deli Planters Vereniging yang berdiri pada tahun 1879.
Anggota Deli Planters Vereniging ialah para pengurus perkebunan yang terdapat
di Deli, Sumatera (Utara). Karena para pengurus perkebunan pada dasarnya
adalah buruh, sebab mereka bertanggung jawab kepada pemilik modal dari
perusahaan perkebunan yang mereka urusi. Dengan kata lain, pengkategorian
(Suroto, Suri, Op. Cit. halaman 26).83 Sandra, 1961, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakyat, Jakarta, halaman 7.
50
pengurus perkebunan sebagai yang termasuk buruh, didasarkan pada asumsi dan
pengertian bahwa yang dimaksud “buruh” adalah orang yang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah, di mana dalam hubungan kerja tersebut, yang
bersangkutan melakukan pekerjaan sesuai perintah yang diberikan oleh pemberi
kerja (dalam hal ini adalah pemilik modal dari industri perkebunan).
Dalam prakteknya, organisasi ini pernah digunakan untuk melakukan
negosiasi dengan para pemilik perkebunan soal kesejahteraan dan tunjangan
pensiun para pengurus perkebunan.84 Akan tetapi, sebagai wakil dari pemilik
untuk mengurusi perkebunan, para pengurus mempunyai kekuasaan untuk
merencanakan, mengorganisasikan kegiatan-kegiatan produksi dalam
menjalankan atau mengoperasikan perkebunan yang berada di bawah kendalinya.
Sehingga kemudian organisasi pengurus ini pada waktu-waktu berikutnya lebih
dikonotasikan sebagai organisasi majikan.85
Jika di negara-negara lain kemunculan serikat buruh karena dilatarbelakangi
oleh keadaan di dalam hubungan kerja yang buruk, maka tidak demikian halnya
dengan di wilayah Hindia Belanda. Selain itu, perintis berdirinya serikat buruh di
Hindia Belanda adalah para pegawai negeri dari golongan pimpinan yang mana
kondisi sosial ekonomi mereka relatif tidak ada masalah yang berarti.
Kesejahteraan yang mereka dapatkan lebih dari cukup untuk membiayai
kebutuhan-kebutuhan hidup yang serba berkecukupan. Bahkan cukup memadai
untuk hidup mewah.
84 Lihat: Soepomo, Iman, Op. Cit. halaman 38; Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 6385 Siregar, A. Madjid, Loc.Cit.
51
Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch lahir bukan karena
disebabkan oleh kondisi dan syarat-syarat kerja yang buruk, sebab masalah
kesejahteraan dan kondisi kerja serta perlakuan yang diterima bukan jadi soal.
Penyebab kemunculan serikat pegawai-pegawai pemerintah kolonial tersebut
melainkan lebih disebabkan atau merupakan imbas dari fenomena berkembangnya
gerakan serikat buruh di negeri Belanda.
Berdirinya serikat sekerja dari golongan bangsa Belanda itu padahakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan kejadian yang berlaku dinegerinya sendiri. Pada sekitar tahun 1860-1870, di Nederland pada saat itusedang mengalami pertumbuhan pergerakan buruh, dan sejak tahun 1878atas pengaruh pergerakan sosial-demokrat, maka perkembangan selanjutnyatelah menimbulkan berdirinya National Arbeids Secretariaat (NAS) sebagaiinduk organisasi. Paham dan pengaruh yang mulai mendapat tanah yangsubur di negerinya sendiri ini dibawanya oleh sementara pegawai Belandayang datang kemari untuk mendirikan serikat sekerja yang pertama diIndonesia, walaupun terbatas hanya dalam lingkungan golongan bangsanyasendiri.86
Walaupun demikian, perjalanan gerakan buruh melalui metode berserikat
pun kemudian tidak luput dari berbagai macam rintangan yang sebagian besar
berasal dari kebijakan pemerintah. Hal ini tidak lain karena gerakan serikat buruh
yang diawali oleh orang-orang Belanda tersebut pada gilirannya memberikan
pengaruh kepada buruh-buruh pribumi untuk membuat gerakan serupa. Dan, hal
itu dipandang oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai sebuah pertanda tidak
baik87.
86 Sandra, Op. Cit. halaman 8-9.87 Dalam kenyataannya, gerakan serikat buruh yang dibangun oleh buruh-buruh pribumi
tidak hanya bergerak dalam ranah sosial-ekonomi, atau tuntutan kesejahteraan. Lebih dari itu,gerakan serikat buruh pribumi juga mulai mempersoalkan dan menyebarkan wacana tentang anti-kolonialisme. Dengan kata lain, gerakan serikat buruh yang dikembangkan oleh buruh-buruhpribumi selain menyentuh persoalan sosial-ekonmi dan hal-hal yang berkaitan dengan tuntutankesejahteraan, juga menyentuh soal politik-kebangsaan. Pemogokan dan bentuk aksi-aksi lainyang dilancarkan oleh serikat buruh bukan saja dilakukan untuk menuntut perbaikan kesejahteraan
52
Dalam bidang hukum, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan Artikel
161 Bis yang menyatakan bahwa pemogokan merupakan tindakan melanggar
hukum. Pasal 161 bis ini dimasukkan ke dalam KUHPidana pada tahun 1926 dan
secara khusus dimaksudkan untuk menanggulangi pemogokan buruh perkebunan
tebu, pabrik gula dan kereta api.88 Akan tetapi pemberlakuan Artikel 161 Bis
bukan instrumen yang ampuh untuk menanggulangi pemogokan buruh. 89
Sehingga kemudian pemerintah kolonial Belanda menerbitkan peraturan baru
guna mendukung dan melengkapi Artikel 161 Bis tersebut, yaitu Artikel No. 153
Bis dan 153 TER yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1926.90
Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga menerapkan kebijakan yang
membatasi kebebasan berkumpul dan melakukan rapat. Larangan dan tindakan
yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda ini sedemikian ketatnya, bahkan
kaum buruh semata (economic strike), melainkan dilakukan juga dalam kerangka untukmenyerang imperialisme dan kolonialisme Belanda (political strike).
88 Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Program Pascasarjana FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 30; Cahyono, Edy, “Perburuhan dari Masa keMasa: Jaman Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru (Indonesia – 1998)”, dalam Oey, H.D.(editor), 2003, Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, HastaMitra, Jakarta, halaman 120.
89 Kenyataannya pasca penerapan Artikel 161 Bis masih saja terjadi pemogokan. Diantaranyaadalah pemogokan di perusahaan percetakan di Semarang yang terjadi pada 21 Juli 1925,kemudian disusul pemogokan di C.B.Z pada 1 Agustus 1925, pemogokan di Stoomboot enPrauwenveer yang diikuti oleh sekitar 1.000 orang buruh yang berakhir pada September 1925,pemogokan di perusahaan percetakan Van Dorp di Surabaya pada tanggal 1 September 1925,pemogokan di pabrik mesin N.I Industrie dan Braat pada kurun waktu 5 Oktober sampai 9Desember 1925, dan pemogokan yang dilancarkan oleh Serikat Buruh Bengkel dan Elektris(SBBE) pada 14 Desember 1925 yang mencakup tujuh pabrik mesin dan bengkel yang disulut olehpenolakan Vereeniging van Machinefabrieken (perusahaan yang membawahi tujuh pabrik mesindan bengkel tersebut) terhadap SBBE.
(Lihat: Cahyono, Edy, Ibid.).90 Ibid. halaman 121.
53
setiap naskah pidato yang hendak diucapkan dalam sebuah rapat pun harus
diketahui terlebih dahulu oleh pemerintah.91
Dengan kata lain, sebagai bentuk penyikapan untuk mematahkan gerakan
serikat buruh yang radikal, pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah-
langkah yang represif, yaitu: a). memecat buruh-buruh yang turut serta di dalam
suatu pemogokan; b). melarang serikat buruh melakukan pemogokan dan
pertemuan-pertemuan, yang mana larangan ini disertai ancaman pidana; c).
penangkapan, penahanan dan pemenjaraan terhadap pimpinan-pimpinan serikat
buruh yang radikal tanpa melalui proses peradilan.
2). Masa Pasca Kemerdekaan
Sejarah serikat buruh pada masa di Indonesia pasca kemerdekaan
mempunyai corak pasang surut seiring dengan rezim yang berkuasa. Pada era
Orde Lama, yaitu di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, gerakan serikat
buruh di Indonesia berlangsung dalam suasana yang dinamis. Hal ini terjadi
karena pemerintahan Soekarno memberikan keluasan ruang gerak yang relatif
besar kepada buruh dan serikat buruh untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
menjadi kepentingannya, termasuk dalam soal politik.
Keadaan kebebasan berserikat dan menjalankan kegiatan berorganisasi bagi
kaum buruh ini menjadi semakin kuat ketika pada tahun 1950 Indonesia menjadi
anggota International Labour Organization dan pada tahun 1956 meratifikasi
Konvensi ILO No. 98 Tentang Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan Hak
91 Sandra, Op. Cit, halaman 8.
54
Berunding Bersama melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Ratifikasi ini
memperkuat legitimasi serikat buruh sebagai alat perjuangan kaum buruh dan juga
hak untuk melakukan perundingan kolektif.
Pada masa Orde Lama gerakan serikat buruh benar-benar dalam kondisi
yang dinamis. Serikat buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam hal
membangun dan mengarahkan kesadaran kaum buruh agar tidak terjebak pada
soal-soal sosial-ekonomi yang sifatnya sektoral. Hasilnya, kaum buruh melalui
organisasi serikatnya tampil menjadi salah satu kekuatan sosial dan politik yang
mempunyai pengaruh cukup luas, mampu memberikan warna di dalam kehidupan
politik nasional secara signifikan. Baik dengan cara mendirikan partai politik
tersendiri, yaitu partai buruh, berafiliasi atau membangun aliansi dengan salah
satu partai politik yang sudah ada, maupun berdiri sendiri.
Kendati terdapat larangan mogok kerja di perusahaan-perusahaan ataupun
lembaga dan badan yang dianggap vital yang dikeluarkan oleh pemerintahan
Presiden Soekarno, akan tetapi hal itu secara umum tidak mengurangi
demokratisasi di sektor perburuhan. Selain itu, rezim Orde Lama juga
mengimbangi larangan mogok tersebut dengan kebijakan-kebijakan maupun
regulasi yang pro-buruh. Pemerintah bahkan mengeluarkan kebijakan memberi
bantuan keuangan kepada serikat buruh. Untuk ini, pemerintah mewajibkan
serikat buruh untuk mendaftarkan diri kepada Kementerian Perburuhan. Akan
tetapi, kewajiban pendaftaran ini tidak berlaku total dalam segala hal, sebab dalam
kenyataannya serikat buruh yang tidak terdaftar pun masih tetap dianggap
55
mempunyai kecakapan mewakili buruh dalam suatu hubungan kerja dengan
perusahaan atau majikan.
Berbeda halnya ketika Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru, kondisi
yang dialami oleh buruh dan gerakan serikat buruh bertolak belakang dengan
situasi ketika masih di bawah Orde Lama. Pada era Orde Baru, buruh dan gerakan
serikat buruh mendapatkan represi dari negara. Orientasi pembangunan yang lebih
mengedepankan pembangunan sektor ekonomi, tepatnya mengejar pertumbuhan
ekonomi, yang diterapkan oleh Orde Baru membawa konsekuensi segala sumber
daya yang ada diarahkan untuk mendukung program tersebut.
Untuk memancing dan menarik masuk investasi asing ke Indonesia,
pemerintahan rezim Orde Baru mengeluarkan beberapa kebijakan. Antara lain
ialah diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing―yang direvisi dengan UU No. 11 Tahun 1970, UU No. 5 Tahun 1968
Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warganegara Asing
Mengenai Penanaman Modal, UU No. 6 Tahun 1968―yang direvisi dengan UU
No. 12 Tahun 1970, dan disertai kebijakan di sektor perburuhan.
Untuk menjamin kelancaran dan keamanan operasi modal asing yang
beroperasi di Indonesia dari gejolak perburuhan, pemerintah mengeluarkan
serangkaian kebijakan yang pada intinya membatasi bahkan mematikan gerakan
buruh yang radikal. Hak-hak buruh yang diakui secara universal sebagai hak dasar
buruh, dikebiri oleh rezim Orde Baru. Buruh sama sekali tidak mempunyai
kebebasan berorganisasi dan berserikat. Serikat buruh dijadikan unitaris, hanya
satu serikat buruh saja yang diakui oleh pemerintah sebagai organisasi buruh yang
56
sah dan legal, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia―yang kemudian berubah
nama menjadi “Serikat Pekerja Seluruh Indonesia” (SPSI)―beserta 13 serikat
buruh sektoralnya.
Tidak mudah bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya dengan
cara berorganisasi, karena tidak mudah bagi buruh untuk mendirikan serikat
buruh. Jika ingin mendirikan serikat buruh, maka harus berafiliasi dengan SPSI,
dan buruh harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak pengusaha.
Menyikapi keadaan yang demikian ini, SPSI sebagai induk organisasi jika
mengikuti logika politik organisasi massa seharusnya membantu buruh yang
hendak mendirikan serikat buruh basis yang akan menjadi bagian dari SPSI, yaitu
unit kerja SPSI, menentang campur tangan pengusaha. Akan tetapi logika berjalan
terbalik, kenyataannya Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang telah
terkooptasi oleh kepentingan dan agenda penguasa membuat kebijakan: dalam
proses pembentukan serikat buruh ditingkat perusahaan, buruh harus berkonsultasi
dengan pengusaha.92
Pemerintah yang mempunyai agenda menciptakan industrial peace,
terpeliharanya ketenangan dalam perusahaan serta ketenangan dalam hubungan
industrial dan proses produksi, mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh
FSPSI tersebut. Untuk memberikan legalisasi, pemerintah menerbitkan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. 1109 Tahun 1986 yang memberikan legitimasi kepada
pengusaha untuk melakukan campur tangan dalam pendirian serikat buruh yang
92 Rudiono, Danu, “Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak”, Prisma, No. 1, TahunXXI Januari, 1992, halaman 63.
57
akan dibentuk oleh buruh-buruhnya93. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah
tersebut menentukan pembentukan serikat pekerja―unit kerja SPSI―pada sebuah
pabrik ditentukan harus mendapatkan persetujuan pihak pengusaha terlebih
dahulu, dan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pengusaha, serikat buruh
yang bersangkutan dianggap ilegal. Selain itu, pemerintah juga menerapkan check
off systems, pemungutan iuran bagi serikat buruh melalui pengusaha, yaitu melalui
93 Dalam keputusan ini antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:
1). Inisiatif pembentukan serikat pekerja dapat muncul dari buruh sendiri atau dariperangkat SPSI di atas Unit Kerja, sedangkan pengusaha/perusahaan dapatmenyarankan kepada buruh untuk membentuk Unit Kerja SPSI;
2). dalam rangka persiapan pembentukan itu, penyuluhan diselenggarakan bersama olehpemerintah, SPSI serta pengusaha/Apindo/Kadin, dengan materi penyuluhan antaralain adalah P4, HIP serta fungsi dan tujuan organisasi serikat pekerja;
3). Pembentukan panitia pelaksana dilakukan oleh pengaju inisiatif di lingkunganperusahaan, yang keberadaannya harus mendapat pengukuhan dari DPC SPSIsetempat, dan tugas panitia pembentukan ini antara lain melakukan konsultasi denganpihak pengusaha dan DPC SPSI dalam rangka kerja sama menciptakan iklim yangbaik untuk terbentuknya Unit Kerja SPSI di perusahaan yang bersangkutan;
4). Panitia pelaksana bersama pengusaha menganjurkan agar para pekerja menjadianggota serikat pekerja;
5). Syarat-syarat bagi Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI antara lain: berpendidikan cukuptinggi dan mempunyai masa kerja cukup lama;
6). Pelaksanaan pemilihan PUK SPSI dilakukan di bawah pengawasan DPC SPSIdengan disaksikan oleh pimpinan perusahaan/Apindo/Kadin;
7). Permohonan pengukuhan PUK yang terpilih diajukan secara tertulis kepada DPCSPSI dengan tembusan kepada pimpinan perusahaan dan Kantor Departemen TenagaKerja setempat.
Sementara itu dalam bagian pendahuluan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.1109 Tahun 1986 tersebut, peran dan fungsi Unit Kerja SPSI dirumuskan sebagai “mitrakerja pengusaha dalam membina para pekerja menjadi pekerja yang rajin, jujur,berdisiplin tinggi dan produktif”. Sedangkan fungsi, peran dan tugas pokok serikatpekerja dirumuskan lebih rinci sebagai:
1). Penyalur aspirasi para anggota dalam masalah-masalah yang menyangkutpelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai pekerja;
2). Memberikan perlindungan serta memperjuangkan hak-hak dan kepentingan anggotadalam meningkatkan keadaan sosial ekonomi;
3). Meningkatkan keterampilan dan pengabdian para anggota;
4). Meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab dalam pelaksanaan HIP, menyusunKKB, lembaga bipartit/tripartit, serta penyelesaian perselisihan industrial.
(Ibid., halaman 68)
58
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 197794 yang kemudian direvisi
dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05 Tahun 198495. Padahal secara
formal hak berserikat tetap dijamin sejumlah perundangan dan peraturan, seperti
Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1969,
yang secara tegas menjamin prinsip-prinsip pembentukan serikat buruh secara
bebas tanpa campur tangan pihak lain.
Mogok kerja yang sebenarnya sebuah keniscayaan sebagai hak buruh,
merupakan tindakan yang terlarang. Jika dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1957 hak mogok diakui sebagai salah satu cara untuk menekan pihak pengusaha
(majikan) supaya berunding atau memenuhi tuntutan serikat buruh, maka pada
masa Orde Baru, tepatnya awal 1980-an, pemogokan dianggap anarkhi96.
Melalui konsep Hubungan Industrial Pancasila―akan penulis bahas pada
Bab III―disebutkan bahwa kepentingan buruh dan pengusaha dalam hubungan
industrial tidak bersifat kontradiktif, sehingga satu-satunya cara penyelesaian yang
dibenarkan dalam setiap perselisihan atau konflik adalah melalui meja
perundingan yang disebut musayawarah untuk mufakat. Konsekuensinya, buruh
dan pengusaha tidak dibenarkan menggunakan sumber dayanya untuk saling
menekan. Karena itu mogok tidak diperbolehkan.
Bahwa mogok merupakan sesuatu yang dilarang hal itu tampak dari
diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 120 Tahun 1988 tentang
94 Pada Pasal 7 ditentukan bahwa serikat buruh wajib mempertanggungjawabkan keuanganorganisasi di tingkat basis (unit kerja) pabrik kepada Mennakertranskop.
95 Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja ini diatur bahwa pengusaha, atas kuasa buruhyang bersangkutan dapat langsung memotong upah buruh sesuai dengan prosentase yang sudahditentukan.
96 Ibid., halaman 62.
59
Pedoman Penuntun Perilaku dalam Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, yang pada Bab IV bagian A (umum) menyatakan: “[…] hal
penting yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang berselisih adalah tidak bisa
diterimanya tindakan pihak-pihak yang berselisih mengadakan suatu aksi yang
bertujuan menekan pihak lainnya, seperti lock out, mogok, slow down, dan
intimidasi-intimidasi”. Keputusan menteri ini secara langsung bertentangan
dengan UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 14 Tahun 1969 yang mengakui dan
menjamin hak mogok bagi buruh dan lock out bagi majikan sebagai salah satu
cara dalam menyampaikan pendapat dan mendesakkan kepentingan di dalam
hubungan industrial.
Selain itu, kebijakan politik perburuhan Orde Baru yang demikian itu
menafikan kesadaran yang berwujud pemahaman oleh buruh dan pengusaha atas
relasi yang terjadi antara mereka. Aksi protes yang dilakukan oleh buruh dan lock
out oleh perusahaan merupakan wajud kesadaran akibat pelanggaran atau tuntutan
yang berlebihan dari masing-masing pihak. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Susetiawan:
[…] wujud kesadaran hanya dapat dilihat dalam tindakan yang berhubungandengan manusia lain. Seorang pekerja atau buruh sadar akan dirinya karenamereka sadar ada pihak lain yang disebut pemilik kapital atau majikan.Seorang majikan tidak mungkin akan ada dan dapat mengakumulasikanmodalnya jika para pekerja yang bekerja padanya tidak pernah ada. Denganpaham seperti ini, terminologi buruh–majikan dipahami secara dialektis.Oleh karenanya baik buruh dan majikan memiliki kedudukan yang sama,saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Wujud tindakan daripemahaman seperti ini adalah mempertahankan hak-hak mereka jika adapelanggaran hak dari salah satu pihak dalam hubungan produksi. Aksi protesyang dilakukan oleh buruh atau lock out oleh perusahaan misalnya, hal itu
60
merupakan wujud kesadaran akibat pelanggaran atau tuntutan yangberlebihan dari masing-masing pihak.97
Sebagaimana telah menjadi salah satu karakter rezim Orde Baru yang dalam
setiap usaha pemecahan masalah yang ada selalu menggunakan pendekatan
keamanan (security approach), penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang timbul hampir selalu melibatkan aparat keamanan, yaitu komando teritorial
militer setempat 98 , sehingga dalam setiap konflik hubungan industrial selalu
diwarnai tindak kekerasan dan penangkapan terhadap buruh. Sedangkan pokok
persoalan yang menyebabkan aksi-aksi buruh, atau yang menjadi tuntutan buruh,
sebagian besar tidak diselesaikan secara tuntas.
Colin Fenwick membagi kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru ke
dalam beberapa fase, yaitu fase pertama pada kurun waktu antara tahun 1966
sampai akhir 1970-an kebijakan yang diambil adalah larangan serikat pekerja;
fase kedua (akhir 1970-an sampai awal 1990-an) kebijakan yang diterapkan
adalah pengambilalihan serikat pekerja; sedangkan fase ketiga (awal 1990-an
97 Susetiawan, ”Kesadaran Politik dan Perubahan Politik”, dalam Wibawa, Aris,(penyunting), 1998, Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik, Lapera Yogyakarta & FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, halaman 114.
98 Komando Rayon Militer (Koramil, komando teritorial militer ditingkat kecamatan),Komando Distrik Militer (Kodim) yang berada ditingkat kabupaten, Komando Resort Militer(Korem) yang membawahi beberapa kabupaten, dan Komando Daerah Militer (Kodam) yangmembawahi satu atau beberapa provinsi.
Campur tangan militer dalam penyelesaian kasus-kasus hubungan industrial pada eraOrde Baru merupakan sesuatau yang “legal”. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342 Tahun1986, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 62 Tahun 1993 dan Keputusan Menteri Tenaga KerjaNo. 15A Tahun 1994 memberikan legitimasi bagi militer untuk turut campur tangan dalampenyelesaian kasus-kasus perselisihan hubungan industrial.
(Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 33)
61
sampai dengan tumbangnya rezim Orde Baru) yang terjadi adalah menggunakan
pasar sebagai kedok.99
2. Pengertian Serikat Buruh
Sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-
Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan
peraturan hukum yang pertama kali dengan level undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang Serikat Buruh beserta aspek-aspek yang meliputinya.
Sebelumnya, sejak dari zaman kolonial Hindia Belanda sampai masa Orde Baru,
tidak ada satu pun peraturan setingkat undang-undang yang mengatur secara
khusus dan memberikan perlindungan hukum terhadap kebebasan berserikat bagi
kaum buruh. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 merupakan buah dari
pergantian kekuasaan di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi atas nama yang dilekatkan oleh pembuat undang-
undang terhadap UU No. 21 Tahun 2001100, yang jelas keberadaan peraturan
hukum tersebut merupakan langkah progresif yang berhasil ditempuh oleh bangsa
Indonesia. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 memberikan definisi dan juga
99 Fenwick, Colin et all, 2002, Reformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan DiIndonesia (Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), ILO Kantor Indonesia, Jakarta.
100 Kontroversi itu menyangkut penggunaan tanda garis miring dalam nama yang diberikankepada UU No. 21 Tahun 2000. Penggunaan tanda garis miring tersebut terkait dengan perdebatansoal istilah “buruh” dan “pekerja”. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Sinaga, “undang-undangini merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang memakai judul kompromis yangditandai dengan tanda garis miring yang berarti ‘atau’. Judul kompromis itu mencerminkan bahwaperdebatan ideologis tentang pengertian istilah ‘buruh’ dan ‘pekerja’ tidak mengalami titik temudan dibiarkan terbuka.”
(Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritisatas Undang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh Yogyakarta dan Semarak CerlangNusa CREST, halaman 4)
62
menjelaskan cakupan pengertian Serikat Buruh. Hal-hal yang terkait dengan
Serikat Buruh yang sebelumnya masih mengambang, seperti soal hak mogok,
ruang lingkup dan perlindungan hukum atas kegiatan-kegiatan keserikatburuhan
serta perlindungan hukum bagi pengurus serikat buruh untuk menjalankan
kegiatan serikat, melalui UU No. 21 Tahun 2000, semua hal tersebut mendapat
penegasan.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000, Serikat Buruh didefinisikan
sebagai:
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan,membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh sertameningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Unsur-unsur dari definisi tersebut mendapat penegasan di dalam beberapa
pasal lainnya, yaitu Pasal 3 dan Pasal 9. Pasal 3 menyebutkan, “Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab”.
Sedangkan Pasal 9 memuat ketentuan, “Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas
pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai
politik, dan pihak manapun”.
Sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab pada
serikat buruh, menurut Penjelasan UU No. 21 Tahun 2000, masing-masing
mempunyai arti sebagai berikut:
63
a). Sifat bebas adalah serikat buruh sebagai organisasi dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya tidak di bawah pengaruh atau
tekanan pihak lain.
b). sifat terbuka menunjuk pada suatu keadaan bahwa dalam menerima
anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak
membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.
c). Sifat mandiri berarti dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak
dikendalikan oleh pihak atau kekuatan lain di luar organisasi.
d). Sifat demokratis mempunyai arti bahwa dalam pembentukan
organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan
hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip
demokratis.
e). Sedangkan makna sifat bertanggung jawab adalah dalam mencapai
tujuan dan melaksanakan hak dan kewajiban, serikat buruh/serikat
pekerja bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat dan negara.
Pemaknaan yang diberikan tentang serikat buruh oleh UU No. 21 Tahun
2000 cukup progresif karena juga memberi perhatian kepada nasib keluarga
buruh. Selain itu, dengan diaturnya unsur-unsur dari definisi serikat buruh ke
dalam beberapa pasal lainnya menjadikan definisi yang diberikan oleh UU No. 21
Tahun 2000 tersebut bukan sekedar penjabaran makna ke dalam bentuk sebuah
rangkaian kata. Melainkan lebih dari itu, definisi serikat buruh tersebut
merupakan materi ketentuan hukum.
64
Definisi yang diberikan tersebut mencerminkan bahwa makna kebebasan
berserikat bagi buruh mencakup kebebasan untuk membentuk organisasi (serikat)
yang bebas dari intervensi maupun pengaruh dari majikan dan bahkan juga
negara. Hal ini tampak dari ditekankannya pengertian bahwa hanya yang dibentuk
dan dikendalikan oleh kaum buruh sendiri-lah yang disebut oleh serikat buruh di
dalam pasal-pasal tersendiri. Selain itu, definisi tersebut tidak membatasi dan
menempatkan serikat buruh hanya semata sebagai alat perjuangan dibidang sosial
ekonomi.
Serikat buruh merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan untuk buruh,
demikian yang ditegaskan oleh UU No. 21 Tahun 2000 sebagaimana disebutkan
di muka. Serikat buruh merupakan alat bagi buruh untuk mempertahankan hak
dan memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi bahkan politik buruh dalam
kerangka kehidupan sosial yang lebih luas.
Di dalam UU No. 21 Tahun 2000, serikat buruh dikualifikasikan sebagai
organisasi yang berbentuk badan hukum. Hal ini terlihat dari ketentuan bahwa
agar dapat terlibat dalam urusan-urusan dibidang hubungan industrial dalam
rangka mewakili anggotanya, sebuah serikat buruh harus terdaftar dan tercatat di
kantor/instansi yang bertanggung jawab mengurusi masalah ketenagakerjaan di
tempat kedudukan serikat buruh yang bersangkutan. Pasal 25 ayat (1) UU No. 21
Tahun 2000 menyatakan:
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikatpekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatanberhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
65
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubunganindustrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan denganusaha meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidakbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, ketentuan di dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000
tersebut apabila ditafsirkan dengan metode argumentum a contrario101 , maka
serikat buruh yang tidak tercatat pada instansi pemerintah yang mengurusi
masalah ketenagakerjaan tidak merupakan subyek hukum dan tidak dapat menjadi
pihak dalam pembuatan perjanjian dibidang hubungan industrial (perjanjian kerja
bersama), atau berhak mewakili anggotanya dalam urusan hubungan industrial.
Sedangkan agar dapat dicatat pada kantor/instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, serikat buruh harus
memberitahukan kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dengan melampirkan daftar nama anggota pembentuk, anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga serta susunan pengurus. Selain hal itu, serikat
buruh yang bersangkutan secara organisasional harus:
a). Merupakan organisasi yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab memperjuangkan hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta memperjuangkan peningkatan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
101 Apabila peraturan perundang-undangan menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwatertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu tersebut, dan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya
(Lihat: Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, PenerbitLiberty, Yogyakarta, halaman 165).
66
b). Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari
keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya102.
c). Mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang di
dalamnya setidaknya memuat: nama dan lambang; dasar negara, asas
dan tujuan; tanggal pendirian; tempat kedudukan; keanggotaan dan
kepengurusan; sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
ketentuan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.103
d). Bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
Meskipun materi Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tidak ada yang secara
tegas menyatakan bahwa serikat buruh mempunyai status sebagai badan hukum,
akan tetapi di dalam ketentuan-ketentuan pengaturan tentang serikat buruh jika
dibandingkan dengan konsep dan teori badan hukum, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa serikat buruh dikonsepkan sebagai badan hukum. Pemikiran
ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata yang pada intinya
menyatakan suatu perkumpulan walaupun tidak secara tegas disebutkan sebagai
badan hukum, tetapi dengan peraturan sedemikian rupa organisasi yang
bersangkutan adalah mempunyai status badan hukum.104
102 Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.103 Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.104 Lihat: Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, halaman 80.
67
Menurut teori dan doktrin tentang badan hukum, suatu perkumpulan
(organisasi) yang mempunyai status badan hukum harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu:
a). adanya harta kekayaan terpisah
b). mempunyai tujuan tertentu
c). mempunyai kepentingan sendiri
d). adanya organisasi teratur
Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi serikat buruh agar dapat tercatat
pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, jika
dibandingkan dengan syarat-syarat badan hukum menurut doktrin dan teori badan
hukum, menunjukkan bahwa serikat buruh telah memenuhi syarat untuk
mempunyai status badan hukum.
Bahwa serikat buruh menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dapat
digolongkan sebagai organisasi yang mempunyai status badan hukum, juga
diungkapkan oleh Djumadi yang menyatakan105:
Dengan memperhatikan ketentuan syarat-syarat tersebut, dapat dikatakanbahwa organisasi buruh, sesuai konsepsi yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, telah memenuhi syarat-syarat dan doktrintentang teori badan hukum dan dapat diklasifikasikan sebagai suatu badanhukum, dengan alasannya sebagai berikut:
1. adanya harta kekayaan terpisah
Serikat pekerja/serikat buruh mempunyai harta kekayaan yang terpisah,terutama berasal dari iuran dari para anggota serta pihak ketiga yangtidak mengikat.
2. Organisasi tersebut mempunyai tujuan tertentu
105 Djumadi, 2005, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh Di Indonesia, Rajawali Press,Jakarta, halaman 90.
68
Sebagai wakil buruh/pekerja dalam membuat perjanjian perburuhan(perjanjian kerja bersama) dan tindakan hukum lainnya.
3. Organisasi tersebut mempunyai kepentingan tersendiri
Organisasi buruh memperjuangkan peningkatan kesejahteraanburuh/pekerja dan keluarganya.
4. Adanya organisasi yang teratur
Ketentuan tersebut secara tegas ditentukan pada anggaran dasar dananggaran rumah tangga, susunan dan nama pengurus sebagai lampirandalam permohonan pencatatan organisasi buruh.
Kendati ada perbedaan paradigma dan afiliasi ideologi pada serikat-serikat
buruh yang ada, akan tetapi di antara mereka pada tataran tertentu terdapat suatu
kesamaan. Ada suatu aspek yang dimiliki oleh serikat buruh yang sifatnya
“universal” dalam konteks perburuhan, yaitu bertujuan untuk memperbaiki nasib
buruh yang menjadi anggota-anggotanya maupun kaum buruh secara umum.
Terlepas dari apakah perbaikan nasib buruh merupakan tujuan akhir atau hanya
sebatas sebagai titik tolak untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas.106
Oleh karena itu kemudian dalam banyak hal, terlepas dari paradigma yang
dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing serikat buruh, pengertian dan
definisi yang diberikan kepada serikat buruh selalu dikaitkan dengan tujuan untuk
melindungi, memperjuangkan kepentingan serta meningkatkan atau memperbaiki
taraf kesejahteraan kaum buruh. Dengan kata lain, serikat buruh sebagai
organisasi kaum kelas pekerja, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
manifestasi kepentingan buruh. Serikat buruh adalah “perjuangan aktif pekerja
106 Hal ini tidak lain karena dalam prakteknya ada serikat buruh yang menempatkanperbaikan upah, syarat dan kondisi kerja sebagai bagian dari upaya memperkuat persiapan buruhuntuk mengambil alih kepenguasaan atas alat-alat produksi maupun kepemimpinan politik.
69
untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan
hak-hak lainnya”.107
N Barou sebagaimana dikutip Siregar108, memberikan definisi serikat buruh
sebagai:
suatu persekutuan kekal yang dibentuk secara sukarela oleh kaum kelaspekerja yang menerima upah, gaji, honorarium dengan tujuan:
2. memelihara dan memperbaiki syarat-syarat perburuhan dengan jalanmengatur hubungan kerja dengan pihak pengusaha.
3. mengatur hubungan kerja antara pemerintah dan pekerja yang menerimaupah, gaji tentang hal-hal yang meliputi kepentingan kedua belah pihak.
4. mengusahakan agar pekerja-pekerja yang menerima upah dan gaji,sebagai suatu golongan tersusun turut serta dalam penghidupan bangsa.
Selain definisi dari Barou, Siregar juga mencatat definisi dan ruang lingkup
pengertian serikat buruh yang diberikan oleh pihak dan tokoh lainnya, diantaranya
yaitu:
1. “Suatu persekutuan kekal antara pekerja-pekerja yang menerima upah
(wage-earners) yang bertujuan memperbaiki syarat-syarat kerja”
(Sidney dan Beatrice Webb).
2. “Suatu organisasi defensif dan ofensif guna memelihara dan
memperbaiki syarat-syarat perburuhan dan yang bertujuan
mempengaruhi dan merubah ‘dunia industri’ sesuai dengan cita-cita
kaum buruh pada umumnya” (Encyclopaedia Britannica).
3. Svernik yang mengemukakan bahwa organisasi atau serikat buruh
bukan semata bertujuan untuk mengatur hubungan kerja dengan
107 Ruspriyanto, Adi, (penerjemah), 2004, Bagaimana Membangung Serikat Pekerja?(Pengalaman dari Philipina), Young Image Book , Yogyakarta, halaman 2.
108 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 8.
70
majikan, tetapi lebih dari itu juga mempunyai tujuan-tujuan lain seperti
jaminan sosial, pendidikan dan lain sebagainya.
Dari beragam definisi yang diberikan untuk serikat buruh tersebut
menampakkan bahwa sesungguhnya serikat buruh sebagai organisasi kaum buruh,
bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya sebagai alat untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh. “Sebuah serikat adalah basis
organisasi pekerja dalam kerangka hubungan pekerja berhadapan dengan
pemodal”.109
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang bagaimana
serikat buruh atau serikat pekerja yang sesungguhnya, yaitu serikat buruh yang
memiliki karakter110:
1. Menyadari bahwa perbaikan nasib kehidupan kaum buruh didapatkan
hanya melalui perjuangan;
2. Mengakui dan menegaskan bahwa antara pekerja dengan pemilik modal
atau majikan mempunyai kepentingan yang berbeda. Konflik dan
pertentangan kepentingan antara pekerja dan pemodal merupakan suatu
keniscayaan;
3. Menyandarkan kekuatan perjuangan pada persatuan, kesadaran, tindakan
tegas dan keteguhan kaum buruh untuk memenangkan tuntutan-
tuntutannya.
Sedangkan serikat buruh yang mengidentifikasi bahwa kepentingan buruh sama
dengan kepentingan pemodal, bukanlah serikat buruh yang sesungguhnya, sebab
109 Ruspriyanto, Adi, Op. Cit. halaman 1.110 Ibid., halaman 4-5.
71
pandangan seperti ini hanya akan mensubordinasikan kepentingan buruh di bawah
kepentingan modal dan melanggengkan penindasan serta eksploitasi terhadap
buruh.
3. Kebebasan Berserikat Bagi Buruh
Kebebasan berserikat bagi buruh pada era dewasa ini secara universal diakui
sebagai hak yang melekat pada diri buruh. Di negara-negara yang menganut
paham demokrasi, atau negara-negara yang hendak menjalankan agenda
demokratisasi, kehadiran serikat buruh menjadi semacam salah satu komponen
penting yang diperlukan. Akan tetapi masing-masing negara mempunyai
perbedaan terkait dengan kebijakan penerapan kebebasan berserikat, baik dari segi
bentuk kebebasan berserikat yang dijalankan maupun segi waktu penerapannya.
Semuanya seringkali bergantung atau ditentukan oleh rezim yang berkuasa di
suatu negara.
Di Indonesia, kebebasan berserikat dan berorganisasi bagi buruh sebenarnya
telah lama dijamin oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh SMERU yang
menyatakan:
Kehidupan berserikat maupun berorganisasi di Indonesia telah lama dijaminoleh Undang-Undang. Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak 1950.Pada tahun 1956, melalui UU No. 18 Tahun 1956 pemerintah melakukanratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Dasar-dasarHak Berorganisasi dan Berunding Bersama.111
Akan tetapi sebelum tahun 2000, di Indonesia belum terdapat suatu undang-
undang yang secara khusus mengatur tentang organisasi buruh/pekerja. Peraturan
111 SMERU, 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada EraKebebasan Berserikat (Laporan Penelitian), halaman 23.
72
perundang-undangan yang ada pada periode sebelumnya hanya setingkat
peraturan perundang-undangan yang sifatnya peraturan pelaksana. Ratifikasi
Konvensi ILO No. 98 Tentang Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan Hak
Berunding Bersama melalui UU No. 18 Tahun 1956, pada kenyataannya tidak
diikuti implementasi yang memadai secara meluas. Sebut saja misalnya ratifikasi
yang telah dilakukan pada dekade 1950-an tersebut hingga tahun sebelum tahun
2000 tidak diikuti penjabaran dan pengaturan dalam sebuah undang-undang
tersendiri yang secara tegas mengakui dan mengatur kebebasan berorganisasi
sebagai hak asasi buruh. Padahal maksud Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949
tersebut ialah112:
1. menjamin kebebasan buruh untuk masuk atau tidak masuk Serikat
Buruh;
2. melindungi buruh terhadap campur tangan majikan dalam soal ini;
3. melindungi Serikat Buruh terhadap campur tangan majikan dalam
mendirikan, cara bekerja serta cara mengurus organisasinya, khususnya
mendirikan organisasi di bawah pengaruh majikan atau yang disokong
dengan uang atau cara lain oleh majikan;
4. menjamin penghargaan hak berorganisasi;
5. menjamin perkembangan serta penggunaan badan perundingan sukarela
untuk mengatur syarat-syarat dan keadaan-keadaan kerja dengan
perjanjian perburuhan.
112 Memori Penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Ratifikasi KonvensiILO No. 98 tentang Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak Untuk Berorganisasi dan BerundingBersama.
73
Selain itu makna hak berorganisasi dan berunding bersama yang dibawa
oleh Konvensi ILO No. 98 tampaknya diartikan secara sempit pragmatis.
Terutama pada era pemerintahan Orde Baru di mana organisasi buruh dipandang
sebagai kekuatan yang mempunyai potensi negatif terhadap kekuasaan, sehingga
keberadaan serikat buruh dan tradisi keserikatburuhan di kalangan buruh berusaha
untuk disingkirkan. Akan tetapi karena Indonesia sudah terlanjur meratifikasi
Konvensi ILO yang menyangkut hak berorganisasi bagi buruh, rejim yang
berkuasa tidak dapat menjalankan agendanya secara bersih dan tuntas, melainkan
harus tetap memberikan ruang bagi hadirnya serikat buruh, oleh karena itu siasat
yang digunakan adalah dengan ”bermain” pada tataran regulasi.
Lebih jelasnya, untuk tetap mendukung agenda rejim dalam hal
meminggirkan eksistensi serikat buruh, peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang keberadaan organisasi buruh ditujukan untuk menghambat
terbentuknya organisasi buruh yang sejati. Artinya regulasi tentang organisasi
buruh yang ada dibuat lebih berspektif kekuasaan. Akibatnya peraturan
perundang-undangan yang ada dilihat dari segi bentuknya dalam politik
perundang-undangan, materi atau substansinya tidak lebih sebagai manifestasi
kepentingan politik serta ekonomi penguasa, dan bukan sebagai bentuk kompromi
atau hasil pertarungan politik dari elemen-elemen riil masyarakat.
Bahwa konfigurasi kehidupan politik dan setiap pengambilan keputusan di
suatu negara memang hasil dari persaingan kekuatan sosial yang saling bersaing.
Suatu keputusan atau kebijakan yang diterapkan tidak diambil dalam suatu ruang
yang bebas nilai dengan melibatkan cara-cara tertentu yang sifatnya teknokratis,
74
melainkan hasil pertarungan antara kepentingan yang bersaing atau hasil dari
koalisi kepentingan. 113 Akan tetapi jika dilihat dalam skala yang lebih luas,
terpinggirkannya kepentingan buruh dan ketidakmampuan buruh mendesakkan
kepentingan mereka lebih disebabkan oleh persoalan struktur yang menindas.
Pasca tragedi politik tahun 1965, praktis tradisi berorganisasi dan politik
rakyat, termasuk di dalamnya ialah tradisi keserikatburuhan di kalangan kelas
pekerja, hampir sama sekali tidak mempunyai tempat dalam atmosfer politik yang
berkembang pada masa-masa berikutnya. Penciptaan kondisi ”harmonis” dalam
bidang hubungan industrial antara buruh di satu sisi dan pengusaha atau modal di
sisi lainnya yang dipaksakan, menelurkan kebijakan yang pada intinya anti serikat
buruh. Serikat buruh yang dibangun dan dikembangkan pada masa ini bukan
serikat yang sesuai dengan cita-cita buruh.
Hak dan kepentingan buruh akan kebebasan berserikat untuk sebagai alat
perjuangan, pada era pemerintahan Orde Baru benar-benar terpasung, ”ciri yang
menandai masa tersebut adalah ketiadaan kebebasan berserikat”114. Melalui sistem
hubungan industrial yang diberi nama ”Hubungan Perburuhan Pancasila
(HPP)” 115 , pembatasan terhadap kekuatan serikat pekerja dan prinsip-prinsip
demokrasi dalam hubungan industrial dibatasi secara ketat. Federasi Serikat
113 Hadiz, Vedi R., “Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara”, SEDANE Volume 3 No. 2Tahun 2005.
114 Kelly, Peggy, 2002, Menegakan Demokrasi dan Perdamaian Melalui Dialog Sosial:Kajian tentang Lembaga-lembaga dan Proses Dialog Sosial di Indonesia, International LabourOffice, Jenewa, halaman 14.
115 Konsep hubungan industrial yang diklaim sebagai suatu sistem yang paling cocok danideal diterapkan di Indonesia karena didasarkan pada filsafat negara, kemudian diubah namanyamenjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
75
Pekerja Seluruh Indonesia (F-SPSI) 116 beserta 13 serikat buruh sektoralnya 117
merupakan satu-satunya serikat pekerja yang legal menurut pemerintah.
Baru pada era kekuasaan pemerintahan Soeharto tumbang di pertengahan
tahun 1998, yang kemudian diikuti penerapan kebijakan multipartai, telah
memberikan arah bagi terciptanya iklim kebebasan berpolitik dan berorganisasi
yang sesungguhnya di kalangan rakyat. Proses demokratisasi dibidang politik
pasca kejatuhan rejim Orde Baru telah memberikan keleluasaan pada buruh yang
sebelumnya ditindas dan dibungkam untuk menyerukan kepentingan-
kepentingannya melalui berbagai macam cara. Diantaranya melalui aktivitas
organisasi semacam perhimpunan-perhimpunan buruh yang sebelumnya telah
mulai dibangun oleh kaum buruh bersama kekuatan pro-demokrasi lainnya—yang
pada masa rejim Orde Baru berusaha dihancurkan. Sehingga dengan demikian
dapat dikatakan bahwa demokratisasi politik turut memberikan kontribusi bagi
demokratisasi di lapangan perburuhan, yang mana hal itu secara nyata telah
mendorong pemerintahan suksesor meratifikasi beberapa Konvensi ILO sekaligus
yang salah satunya ialah Konvensi ILO No. 87.
Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 pada intinya mengatur ”para
pekerja/buruh dan pengusaha berhak mendirikan dan bergabung dalam organisasi
116 Sebelumnya organisasi ini bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) danmemiliki struktur unitaris yang sentralistis. Pada tahun 1995 SPSI diubah menjadi FSPSI, yangmenandai pula perubahan didalam struktur organisasinya menjadi sebuah federasi yangdesentralistis.
117 Tiga belas sektor industri yang dimilikinya didaftarkan sebagai serikat buruh nasionalyang terpisah, meskipun FSPSI adalah satu-satunya federasi serikat buruh yang diakui olehDepnaker. Hal ini tidak lain karena kebijakan yang diterapkan pada waktu itu adalah setiap serikatburuh yang terbentuk harus berafiliasi dengan F-SPSI, jika tidak maka serikat buruh yangbersangkutan dianggap sebagai organisasi ilegal dan pemerintah berhak membubarkannya.
76
lain atas pilihannya sendiri, dan organisasi tersebut tidak boleh dibubarkan atau
dilarang kegiatannya oleh penguasa administratif”.118
Pasal 2 Konvensi menyebutkan, ”Workers and employers, without
distinction whatsoever, shall have the right to establish and, subject only to the
rules of the organisation concerned, to join organisations of their own choosing
without previous authorization”119
Ketentuan pada Pasal 2 tersebut dipertegas dengan ketentuan yang terdapat
pada Pasal 3 dan 4. Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan, ”Workers and employers;
organizations shall have the right to draw up their Constitutions and rules, to
elect their representatives in full freedom, to organize their administration and
activities and to formulate their programmes”120.
Pasal 3 ayat (2) berbunyi, ”The public authorities shall refrain from any
interference which would restrict this right or impede the lawful exercise
thereof” 121 . Sedangkan Pasal 4 menyatakan, ”Workers' and employers'
organisations shall not be liable to be dissolved or suspended by administrative
authority”122.
118 SMERU, 2002, Loc. Cit.119 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Pekerja dan pengusaha tanpa perbedaan
apapun mempunyai hak untuk mendirikan dan tunduk hanya pada peraturan-peraturan organisasiyang bersangkutan, untuk bergabung pada organisasi-organisasi pilihan mereka sendiri tanpaotorisasi sebelumnya”.
120 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “organisasi pekerja dan pengusaha berhakuntuk membuat anggaran dasar dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya,mengelola administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program”
121 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Penguasa yang berwenang harus mencegahadanya campur tangan yang dapat membatasi hak-hak ini atau menghambat praktek-praktekhukum yang berlaku”.
122 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Organisasi pekerja dan pengusaha tidak bolehdibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh ‘penguasa administratif”.
77
Konvensi ILO No. 87 juga dengan tegas dan jelas mengatur bahwa
kebebasan berserikat tetap tunduk pada hukum nasional negara yang meratifikasi,
sedangkan hukum nasional tersebut tidak boleh memperlemah atau mengurangi
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi.
Seperti tampak pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi, “In
exercising the rights provided for in this Convention workers and employers and
their respective organisations, like other persons or organised collectivities, shall
respect the law of the land”,
Dan Pasal 8 ayat (2), “The law of the land shall not be such as to impair, nor
shall it be so applied as to impair, the guarantees provided for in this
Convention”.
Diratifikasinya Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi pada
tahun 1998 oleh pemerintahan Presiden Habibie, terbuka harapan bagi kalangan
kelas pekerja Indonesia bahwa tidak lama lagi kebebasan untuk mendirikan
organisasi buruh alternatif diluar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) akan
segera menjadi kenyataan. Harapan ini muncul seiring dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 Tahun 1998, tentang pendaftaran serikat
buruh. Terbitnya Permennaker No. 5 Tahun 1998 ini sekaligus mengakhiri era
serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI. Berikutnya harapan kaum buruh akan
kebebasan berserikat makin menjadi nyata ketika pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun
78
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menandai telah
hadirnya era kebebasan berserikat bagi kelas pekerja Indonesia.
Implikasi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 sebagai
implementasi ratifikasi Konvensi ILO No. 87 pada 5 Juni 1998 melalui Keppres
No. 83 Tahun 1998, kegiatan serikat buruh/serikat pekerja meningkat secara
signifikan. Keberadaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ditinjau dari
ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi Indonesia bahwa setiap warga negara
mempunyai hak untuk berserikat dan menyampaikan pendapat merupakan salah
satu bentuk implementasi dari hak-hak yang diberikan konstitusi tersebut.
Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan terbitnya Undang-Undang No. 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan hasil dari
konsistensi tuntutan dan perjuangan kaum buruh beserta segenap elemen gerakan
pro-demokrasi Indonesia yang mempunyai perhatian terhadap nasib buruh akan
kebebasan berserikat dan berorganisasi. Tuntutan tersebut lahir karena satu-
satunya organisasi buruh yang ada pada waktu itu 123 , yaitu Federasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (F-SPSI), tidak mampu merepresentasikan dan
memperjuangkan kepentingan buruh. Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
tidak lebih sebagai alat penguasa untuk menundukkan dan memobilisasi buruh di
dalam agenda-agenda pemerintah.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 secara nyata mempertegas bahwa
serikat buruh adalah organisasi yang berfokus pada kepentingan buruh, hal ini
tampak pada pengertian yang diberikannya. Dengan demikian pada dasarnya
123 Sebenarnya pada waktu itu terdapat beberapa serikat buruh alternative di luar SPSI, akantetapi hanya SPSI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi buruh yang sah dan legal.
79
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 sebagai implementasi ratifikasi Konvensi
ILO No. 87 secara definitif mengakui dan menegaskan bahwa berserikat dan
berorganisasi termasuk hak buruh buruh yang mendasar, serta mendasarkan diri
pada pandangan bahwa kekuatan modal beserta kepentingan-kepentingan yang
mengikutinya hanya dapat dihadapi secara efektif oleh kaum kelas pekerja dengan
kekuatan kolektif. Artinya perlawanan terhadap kekuatan dan penetrasi
kepentingan modal yang secara konkrit bersifat kontradiktif dengan kepentingan
buruh harus dibangun melalui kekuatan serikat. Di luar perspektif dan kerangka
itu, hampir mustahil bagi buruh untuk melawan kekuatan yang
mensubordinasikan kepentingan buruh ke dalam kepentingan modal.
Konsekuensi yuridis dalam hal kebebasan berserikat ialah syarat-syarat serta
segala sesuatu yang terkait aspek pendirian serikat buruh atau serikat pekerja yang
legal dipermudah. Menurut undang-undang ini, pendirian atau pembentukan
serikat buruh/serikat pekerja sudah dapat dilakukan hanya oleh 10 (sepuluh) orang
buruh, sehingga sangat terbuka kemungkinan bahwa di dalam satu perusahaan
bisa terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja. Selain dipermudahnya
syarat-syarat pembentukan serikat, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 juga
melindungi serikat buruh dari segala macam intervensi yang berasal dari luar
kekuatan buruh sendiri yang dapat mempengaruhi kegiatan berserikat. Secara
organisasional hal ini terlihat dari diletakkannya prinsip-prinsip demokrasi
sebagai dasar pijakan dalam membangun dan mengembangkan serikat buruh.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 bukan saja berbicara tentang
kebebasan berserikat bagi buruh, lebih dari itu, undang-undang ini juga turut
80
memberikan arah bagi buruh dalam mengembangkan serikat. Serikat buruh adalah
”satu-satunya alat yang sah secara moral dan secara legal bagi buruh untuk
memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya”124, oleh karena itu agar dalam
perjalanannya tidak mengalami distorsi harus diberikan arah tentang bagaimana
sesungguhnya fungsi dan tugas yang semestinya diemban oleh sebuah serikat,
sehingga serikat buruh sebagai bentuk organisasi buruh tetap mempunyai karakter
dan watak yang berbeda dengan organisasi-organisasi massa lainnya. Dalam hal
ini pemberian arah oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dilakukan dengan
secara tegas mencantumkan fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang
diemban oleh sebuah serikat buruh.
Kewajiban serta fungsi sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang disebutkan
oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tersebut mengaitkan kepentingan buruh
dengan aspek-aspek yang terdapat sebagaimana wajarnya kehidupan bernegara.
Akan tetapi kesemuanya itu tetap berfokus pada kepentingan buruh, hal ini wajar
saja karena dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 21
Tahun 2000 sendiri, tugas utama serikat pekerja adalah melindungi dan membela
hak serta memperjuangkan kepentingan buruh (dan keluarganya) dalam konteks
kesejahteraan.
124 Pontianak Post, Loc. Cit.
81
4. Jenis-jenis Serikat Buruh/Serikat Pekerja menurut Paradigma dan
Pola Gerakannya
Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa jika ditarik dalam sebuah
wujud garis besar sejarah gerakan buruh, di dalam kenyataannya kemunculan
serikat buruh beserta gerakannya mempunyai fase-fase tertentu yang dipengaruhi
oleh pembacaan atas perkembangan sosial dan mode produksi yang ada di
masyarakat sehingga mencerminkan ragam dan pola gerakan yang berbeda pada
setiap kurun waktu. Akan tetapi, pengkategorian ke dalam fase-fase tersebut
sifatnya tidak strict dan berlaku terhadap keseluruhan organisasi maupun gerakan
buruh, sebab masih ada juga organisasi buruh yang hanya berkutat pada soal-soal
di seputar tempat kerja disaat paham sosialis dan komunis yang notabene
merupakan antagoni dari paham kapitalisme meluas pengaruhnya dalam gerakan
buruh. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya serikat-serikat buruh dapat
dikelompokkan ke dalam tiga aliran, yaitu:
1. serikat buruh “asli”, yaitu serikat buruh yang model gerakannya
mencerminkan gerakan awal serikat buruh pada tingkat awal
kapitalisme. Serikat buruh yang hanya berkutat pada soal-soal
kepentingan ekonomi buruh dalam konteks hubungan kerja (seperti
masalah upah, kesehatan dan keselamatan kerja, tunjangan-tunjangan,
hari libur, dsb) dengan menggunakan cara-cara konvensional. Oleh
Hadiz, serikat buruh yang demikian ini disebutkan sebagai serikat buruh
82
“pluralis-liberal”.125 Serikat buruh yang beraliran ini menganggap bahwa
serikat buruh merupakan badan yang semata-mata bersifat dan
mempunyai skup profesional; tugasnya hanya bersangkutan dengan
masalah-masalah ekonomi yang mempengaruhi kaum buruh
sebagaimana tersebut di atas. Sedangkan masalah-masalah pekerja di
dalam pabrik dalam kerangka hubungan kerja adalah terpisah dan tidak
mempunyai keterkaitan dengan masalah-masalah nasional. Bagi serikat
buruh aliran ini, konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah
persaingan kelas antara kelas proletar dengan kelas borjuis, sehingga
perjuangan kelas bukanlah sebagai hal yang fundamental bagi politik
perburuhan.126
2. serikat buruh yang bertujuan memperjuangkan kepentingan ekonomi
buruh, akan tetapi dalam usaha mencapai tujuannya, gerakannya juga
menyentuh soal-soal politik. Bagi serikat buruh aliran ini, persoalan
perburuhan merupakan produk politik dari kekuasaan, sehingga dalam
hal ini serikat buruh yang bersangkutan menghadirkan diri sebagai salah
satu kekuatan politik riil di dalam kehidupan politik suatu masyarakat
dan negara, baik dengan cara membangun aliansi dan afiliasi dengan
partai politik maupun dengan cara mengandalkan aksi-aksi massa atau
ekstra-parlementer. Akan tetapi paradigma yang dipakai oleh serikat
buruh aliran ini sama seperti aliran serikat buruh “asli”, yaitu
125 Hadiz, Vedi R, “Politik Gerakan Buruh Di Asia Tenggara”, SEDANE Volume 3 No.2,2005, halaman 50.
126 ICFTU, Op. Cit., halaman 6.
83
menganggap bahwa perjuangan kelas bukanlah hal yang sifatnya sangat
mendasar bagi pembebasan buruh dari ketertindasan. Aksi-aksi dan
gerakan yang dilakukan serikat buruh aliran ini kendati kadangkala
memuat tuntutan perubahan pemerintahan atau pergantian suatu
peraturan perundang-undangan, tetapi aksi yang dilakukan tersebut sama
sekali tidak menyentuh tema tentang perlunya merubah sistem
masyarakat yang kapitalis. Artinya gerakan beserta aksi dan tuntutan
mereka tidak keluar dari batas hubungan produksi kapitalis.
3. serikat buruh “merah”, yaitu yang dalam menyikapi ketertindasan buruh
mendasarkan gerakannya pada pemahaman bahwa sejarah masyarakat
adalah sejarah pertentangan kelas. Oleh karena itu, berbeda dengan
aliran-aliran sebelumnya yang tidak meletakkan perjuangan kelas
sebagai sesuatu yang esensial, serikat buruh “merah” justru
menempatkan perjuangan kelas sebagai sesuatu yang sifatnya
fundamental. Serikat buruh aliran ini berpandangan bahwa untuk
membebaskan buruh dari ketertindasan, penghancuran sistem
kapitalisme adalah mutlak dan merupakan cara yang paling efektif untuk
membela kepentingan kelas buruh pada umumnya.
5. Bentuk-bentuk Serikat Buruh
Sudah menjadi realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing
serikat buruh mempunyai aliran politik, ideologi, paradigma dan konsepsi yang
berbeda tentang tujuan gerakan buruh. Konsekuensi atas hal tersebut secara
84
teoritis konseptual mendorong pengelompokan serikat-serikat buruh yang ada ke
dalam beberapa kategori sebagaimana telah tereksposisi di muka.
Bentuk serikat buruh itu sendiri, jika dilihat dari prakteknya selama ini dari
sudut pandang keanggotaan, menurut Siregar setidaknya dapat dibagi menjadi127:
1. Serikat sekerja (craft-union), yaitu serikat buruh yang mana
anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang melakukan atau
mempunyai pekerjaan yang sama. Contoh dari serikat sekerja yang
dapat dijumpai di Indonesia adalah misalnya serikat sopir, serikat
buruh bongkar muat pelabuhan.
2. Serikat buruh umum (general labour union), yaitu serikat buruh
anggota-anggotanya tidak terbatas pada orang-orang yang bekerja
dibidang pekerjaan tertentu dan/atau disuatu industri tertentu,
melainkan menampung anggota yang berangkat dari segala jenis
pekerjaan. Dalam konteks sekarang, contoh dari serikat buruh
umum yang dapat dijumpai di dalam masyarakat, antara lain ialah:
Serikat Pekerja Nasional, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia
(Sarbumusi), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Front
Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).
3. Industrial Union, yaitu serikat buruh yang anggota-anggotanya
terdiri dari orang-orang buruh yang bekerja di satu perusahaan. Di
Indonesia misalnya adalah Serikat Pekerja PT. PLN, Serikat
127 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 8-9.
85
Pekerja PT. Telkom, Serikat Pekerja PT. Kereta Api Indonesia,
Serikat Pekerja PT. Dirgantara Indonesia, dan lain sebagainya.
Sedangkan jika dilihat cara pembentukannya, menurut SMERU128, terdapat
dua macam serikat buruh/serikat pekerja. Pertama, serikat buruh yang dibentuk
sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan dan
aspirasi-aspirasi mereka kepada perusahaan. Serikat buruh jenis ini mempunyai
misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya baik.
Aktivitas dan gerakan dari serikat buruh macam ini lebih dititikberatkan pada
soal-soal yang sifatnya lokalistik wilayah pabrik. Sehingga dengan demikian
sebenarnya serikat buruh macam ini mendekati konsep serikat buruh “asli”
sebagaimana telah disebutkan di muka. Sedangkan serikat buruh macam kedua
ialah serikat buruh yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-
pekerja/buruh yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan
pekerja/buruh.
6. Fungsi dan Kewajiban Serikat Buruh
Sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan buruh akan kesejahteraan
yang lebih baik dan hak-hak sosial-ekonomi lainnya, serikat buruh secara umum
mempunyai peran sebagai berikut:
1. melindungi atau mengupayakan agar anggota-anggotanya mempunyai
keamanan kelangsungan kerja (job security) atas pekerjaan yang
sekarang ini sudah dipegangnya. Sehingga pada konteks ini, konsepsi
128 SMERU, 2002, Op. Cit., halaman vi.
86
fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility) merupakan
sesuatu yang harus ditentang oleh serikat buruh karena telah
menimbulkan ketidakpastian kerja bagi buruh.
2. mengupayakan dan memperjuangkan upah yang layak dan sistem
pengupahan yang adil bagi buruh.
3. memperjuangkan perbaikan syarat-syarat kerja, seperti jam kerja,
kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial bagi buruh dan
anggota keluarganya.
4. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertujuan
meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas serta
kapabilitas anggota-anggotanya dan kaum buruh pada umumnya,
sehingga dengan demikian buruh mempunyai kemampuan bersikap
kritis atas keadaan dan persoalan yang dihadapinya sekaligus mampu
merumuskan strategi dan langkah-langkah efektif yang dapat ditempuh
untuk memecahkan persoalan.
5. mendorong agar anggota-anggotanya turut bertanggung jawab dan
berpartisipasi secara aktif terhadap program-program, agenda dan
kegiatan-kegiatan organisasi. Hal ini dimaksudkan agar gagasan-
gagasan yang diperjuangkan secara kolektif dan kegiatan-kegiatan
serikat yang dijalankan merupakan hasil dari kesadaran masing-masing
anggota, bukan berasal dari segelintir elite serikat buruh yang
bersangkutan.
87
6. memperkuat soliditas dan meningkatkan solidaritas antar buruh, baik
yang menjadi anggota-anggotanya maupun kaum buruh secara umum
serta masyarakat secara luas.
Sejumlah peran yang dipegang oleh serikat buruh tersebut meliputi
kewajiban dan fungsi serikat buruh di dalam melayani kepentingan buruh. Jika
dijabarkan secara sedikit lebih mendetail, maka di dalam peran yang diemban oleh
serikat buruh akan dijumpai hal sebagai berikut ini.
a. Kewajiban Serikat Buruh
Untuk membedakan serikat buruh dari organisasi-organisasi lainnya, hal
yang dapat dijadikan rujukan adalah terletak pada fungsi, tugas dan kewajiban
yang diemban oleh serikat buruh dalam rangka memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh. Kewajiban dasar yang dipikul oleh sebuah serikat buruh
adalah:
a). Kewajiban yang sifatnya internal, yaitu kewajiban terhadap anggota,
meliputi:
1). melindungi, mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak
sosial ekonomi dibidang hubungan industrial para anggotanya;
2). membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan
memperjuangkan kepentingan anggotanya dalam konteks
hubungan industrial;
3). memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarga anggotanya;
88
4). ciri utama dari serikat buruh, sebagaimana dikatakan oleh banyak
pakar, adalah merupakan organisasi yang sifatnya demokratis.
Maka kewajiban berikutnya dari serikat buruh adalah
mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada seluruh
anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga organisasi yang bersangkutan.
b). Kewajiban yang sifatnya eksternal, yaitu kewajiban serikat buruh
terkait keberadaannya ditengah masyarakat dan negara. Kewajiban
pada konteks ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga129;
2). Menerima Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945
sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia130;
3). Asas organisasi yang digunakan tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945131;
4). Setiap serikat buruh, khususnya yang baru berdiri, wajib
memberitahukan keberadaannya kepada instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan untuk dicatat
dengan melampirkan132:
(a) Daftar nama para pendiri;
(b) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
129 Pasal 11 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000130 Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000131 Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 38 ayat (1) huruf a UU No. 21 Tahun 2000132 Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2000
89
(c) Susunan dan nama pengurus.
5). Tidak terlibat dalam tindak kejahatan terhadap keamanan
negara133.
b. Fungsi Serikat Buruh
Tugas utama serikat buruh adalah membela dan memperjuangkan hak-hak
sosial ekonomi kaum buruh dalam konteks hubungan industrial, serta berusaha
meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Tugas tersebut mempunyai
aspek-aspek atau dimensi yang luas cakupannya. Serikat buruh sebagai organisasi
untuk menghimpun kekuatan secara kolektif bukanlah tujuan akhir, melainkan
hanya merupakan alat bagi kaum buruh untuk memperjuangkan hak dan
kepentingannnya terurama dibidang sosial ekonomi. Oleh karenanya di dalam
tubuh serikat buruh melekat kewajiban-kewajiban tertentu yang menjadi bagian
integral serikat buruh terkait dengan fungsinya sebagai alat perjuangan bagi kaum
buruh.
Sejauh mana keberhasilan dan efektivitas sebuah serikat buruh dalam
memperjuangkan kepentingan dan hak-hak buruh, semuanya bergantung pada
profesionalisme serikat buruh yang bersangkutan. Hal ini secara langsung dan
lebih lanjut berkaitan dengan kemampuan serikat buruh dalam hal melakukan
pengorganisasian, mengartikulasikan kebutuhan buruh serta kemampuan
mengolah keadaan yang ada untuk memperkuat posisi tawar dan menguntungkan
buruh ketika bernegosiasi dengan kalangan majikan.
133 Lihat: Pasal 38 ayat (1) huruf b UU No. 21 Tahun 2000
90
Efektivitas dan profesionalisme suatu Serikat Pekerja/Serikat Buruhtergantung pada tingkat kemampuan mereka dalam mengorganisasikan danmerekrut anggotanya, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsidan peraturan yang ada, maupun seberapa baik mereka dapatmengkomunikasikan kebutuhan para pekerja, kemampuan bernegosiasi danmenyelesaikan perselisihan.134
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam UU No. 21 Tahun 2000 ditegaskan
bahwa serikat buruh mempunyai fungsi tertentu yang sifatnya khas. Adapun
fungsi serikat buruh menurut Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000, setidaknya
meliputi:
a) Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
b) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang
ketenagakerjaan, yaitu Lembaga Kerja Sama Bipartit, Lembaga Kerja
Sama Tripartit, Dewan Pengupahan dan lembaga-lembaga lain yang
sifatnya tripartit seperti Dewan Keselamatan Kerja, Dewan Pelatihan
Kerja, dan lain sebagainya.
c) Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
d) Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya135;
134 SMERU, 2002, Op. Cit., halaman iv.135 Fungsi sebagai sarana penyalur aspirasi ini tidak hanya berlaku dalam situasi yang
sifatnya lokalistik terbatas pada lingkungan pabrik atau tempat kerja, melainkan juga dalam halberhadapan dengan kebijakan-kebijakan negara dibidang perburuhan. Dalam hal ini termasuk jugapengartikulasian tuntutan dan penyikapan terhadap situasi yang ada.
91
e) Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan
saham dalam perusahaan.
Fungsi serikat buruh yang terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2000, berbeda
dengan konsepsi fungsi serikat buruh yang berlaku pada era rezim Orde Baru.
Hasil pengamatan dan analisis yang ada tentang fungsi serikat buruh pada masa
Orde Baru menunjukkan bahwa serikat buruh, secara konseptual dan empiris,
adalah berfungsi untuk menjaga stabilitas dan kelancaran aktivitas produksi.
Serikat buruh menjadi alat untuk mobilisasi kaum buruh agar tunduk pada agenda
kekuasaan.
Praktek pada era Orde Baru tentang gagasan fungsi serikat buruh tersebut
sangat jauh dari fungsi serikat buruh yang sebenarnya yang sudah diakui secara
universal, yaitu merupakan alat perjuangan kaum buruh untuk mempertahankan
dan melaksanakan hak-hak sosial ekonominya. Gagasan atas fungsi serikat buruh
pada masa kekuasaan Orde Baru mengingkari kenyataan bahwa antara buruh
dengan pengusaha mempunyai perbedaan kepentingan yang sifatnya saling
bertolak belakang. Sedangkan konsepsi yang dikembangkan oleh UU No. 21
Tahun 2001 di dasarkan pada konsep universal tentang fungsi serikat buruh.136
136 Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 merupakanimplementasi dari diratifikasinya Konvensi ILO No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat danBerorganisasi pada 5 Juni 1998
92
7. Fungsi Serikat Buruh dalam Penentuan dan Penetapan Upah
Minimum
Kaum buruh menggantungkan keberlangsungan hidupnya dari upah yang
diterimanya dari menjual tenaga kepada pemilik modal dan alat-alat produksi.
Sedangkan upah yang diterima tersebut bergantung pada hasil negosisasi dengan
“pembeli” tenaganya. Sementara proses dan hasil negosiasi itu sendiri sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Ditinjau dari
perspektif sosial ekonomi –dan juga politik, kalangan pengusaha mempunyai
posisi tawar yang lebih kuat dibanding dengan kaum buruh. Sehingga
implikasinya adalah kaum buruh tidak memiliki banyak kesempatan dan kekuatan
untuk menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya memperoleh upah yang
dirasanya layak dan adil.
Hidup sejahtera merupakan impian setiap manusia selama hidup di dunia,
termasuk juga kaum buruh. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
kenyataannya tidak semua orang hidup dengan kesejahteraan yang memadai.
Kaum buruh sebagai golongan manusia yang mendasarkan keberlangsungan
memenuhi kebutuhan hidupnya dari menjual tenaga kepada pihak pemilik modal
dan alat produksi, merupakan golongan yang sangat rentan kemampuannya untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Sehingga kaum buruh secara
umum didefinisikan sebagai salah satu golongan yang tidak memiliki jaminan
untuk menjalani hidup dengan kesejahteraan yang memadai.
Serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan
memperjuangkan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi
93
buruh dan keluarganya. Demikian wacana dan konsepsi umum yang berkembang
tentang eksistensi serikat buruh sejak awal mulanya. Hal ini juga ditegaskan
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 yang menyatakan,
“Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya”.
Upaya memperjuangkan kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan kaum
buruh dilakukan oleh serikat buruh dalam konteks hubungan kerja, diantaranya
adalah dengan jalan membuat perjanjian kerja bersama dengan pihak pengusaha.
Fungsi mewakili kaum buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama bukan
hanya dalam arti formal belaka, melainkan juga menyentuh aspek material.
Artinya serikat buruh harus benar-benar melakukan negosiasi dengan pihak
pengusaha terkait dengan kepentingan kaum buruh. Dalam hal ini, serikat buruh
mengupayakan agar hal-hal yang merupakan kepentingan kaum buruh, akan tetapi
belum diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan, dimasukkan sebagai
bagian dari isi perjanjian kerja bersama. Apabila suatu kepentingan buruh berhasil
dimasukkan menjadi bagian dari perjanjian kerja bersama, maka sesuatu tersebut
secara hukum berubah menjadi hak buruh.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebenarnya mempunyai posisi yang
strategis untuk memperjuangkan peningkatan kondisi kehidupan dan
kesejahteraan buruh karena akan mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan
buruh, serta mampu mengakomodasi semua kepentingan buruh di segala tingkatan
sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan setempat. Melalui PKB, hak
94
dan kewajiban pengusaha dan buruh akan dapat diatur dengan cara-cara yang
demokratis, berkeadilan, dan mampu mendorong peningkatan produktivitas.137
Dalam soal pengupahan, keberadaan PKB dapat menjadi sarana bagi terciptanya
mekanisme pengupahan yang berbasiskan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi
apabila serikat pekerja di perusahaan yang bersangkutan merupakan organisasi
yang kuat138.
Selain menjadi wakil buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama,
pelaksanaan tugas untuk memperjuangkan (peningkatan) kesejahteraan kaum
buruh ialah menjadi wakil buruh di institusi pengupahan dalam rangka penentuan
besaran upah minimum yang berlaku di suatu daerah.
Kebijakan penetapan upah minimum secara umum mempunyai pengaruh
yang besar terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan kaum buruh. Bagi
buruh yang menjadi korban penerapan upah minimum sebagai “upah
maksimum”139, kenaikan upah minimum akan berdampak pada kemampuannya
137 Wirahyoso, Bambang, “Upah Minimum Bagi Buruh dan Strategi Perjuangan SerikatPekerja/Serikat Buruh”, Analisis Sosial, Volume 7 No. 1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA,Bandung, halaman 87.
138 Sebagaimana diketahui, sistem penetapan upah dapat dibagi dalam lima kategori, yaitu:
1). Secara sepihak yang merupakan Kebijakan Perusahaan;2). Secara sepihak tetapi dengan meminta persetujuan pemerintah yang biasanya
melalui Peraturan Perusahaan;3). Berdasarkan ketentuan pemerintah melalui Upah Minimum;4). Dengan persetujuan pekerja secara perorangan melalui Kontrak Kerja; dan5). Dengan kesepakatan serikat pekerja/serikat buruh melalui Perjanjian Kerja
Bersama.
(Wirahyoso, Bambang, Ibid., halaman 92)139 Secara normatif kebijakan upah minimum ditujukan untuk melindungi buruh yang baru
masuk bekerja (masa kerjanya kurang dari satu tahun), berpendidikan rendah, tidak mempunyaipengalaman dan lajang. Akan tetapi dalam prakteknya tidak jarang terjadi salah penafsiranterhadap ketentuan upah minimum, yaitu ditafsirkannya ketentuan upah minimum sebagai upahyang standar. Akibatnya ketentuan upah minimum tersebut diberlakukan kepada semua golongan
95
beradaptasi terhadap kondisi ekonomi (misalnya, fluktuasi harga barang-barang
kebutuhan pokok yang cenderung terus mengalami kenaikan) dalam hal
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan bagi buruh yang perusahaan
tempat kerjanya menerapkan sistem pengupahan dengan skala melalui
penggolongan buruh berdasarkan masa kerja, yaitu besarnya upah tergantung pada
masa kerja yang telah dijalani oleh masing-masing buruh (semakin lama masa
kerjanya, upah yang diterima semakin besar), maka kenaikan upah minimum akan
turut mendorong kenaikan upah buruh di atasnya140.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) menyebutkan, “setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”. Sedangkan pada Pasal 88 ayat (2) dinyatakan, “Untuk
mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh”. Kebijakan yang menjadi
kewajiban dan kewenangan pemerintah tersebut salah satunya adalah kebijakan
upah minimum.
Perumusan dan penetapan besaran ketentuan upah minimum, berdasar
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003, adalah merupakan kewenangan pemerintah141. Akan tetapi dalam hal ini
buruh (masa kerjanya lebih dari satu tahun, telah berkeluarga dan sebagainya) yang bekerja diperusahaan yang bersangkutan.
140 Fenomena yang lazim disebut sebagai ‘upah sundulan’.141 Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 226
Tahun 2000 (Tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 21Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999), yang berwenang menetapkan upahminimum adalah gubernur.
96
kewenangan tersebut tidak mutlak sifatnya. Di dalam menerapkan kebijakan upah
minimum, pemerintah terikat pada prosedur dan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menegaskan,
pemerintah diwajibkan untuk mendasarkan pada kebutuhan hidup layak dengan
memperhatikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain,
ketentuan upah minimum yang berlaku diarahkan pada pencapaian kebutuhan
hidup layak (Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Jumlah
angka kebutuhan hidup layak tersebut didapat dari rekomendasi Dewan
Pengupahan setelah melakukan survei lapangan atas harga barang-barang
konsumsi yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.
Akan tetapi karena Dewan Pengupahan merupakan lembaga kerja sama
tripartit yang mana komposisi keanggotaannya terdiri dari unsur buruh, pengusaha
dan pemerintah 142 ―dan antara buruh dengan pengusaha jelas-jelas terdapat
pertentangan kepentingan―sehingga penentuan hasil survei di Dewan
Pengupahan sendiri pun tidak luput dari perdebatan oleh masing-masing
pihak/unsur yang terdapat di dalamnya.143 Pada tahapan inilah perumusan dan
142 Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan,Dewan Pengupahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) adalah suatu lembaga non-strukturalyang bersifat tripartit. Keberadaan unsur pemerintah di dalam hal ini secara normatif adalah untukmengimbangi dan menjadi penengah antara kekuatan buruh dan pengusaha serta mewakilikepentingan masyarakat luas.
143 Karena di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentangkomponen-komponen upah beberapa hal tidak dijelaskan secara detail soal kualitas suatu barangyang disurvei, sedangkan di dalam pasar barang konsumsi tersebut tersedia dengan beberapamacam jenis dan kualitas, maka dalam praktek survei, wakil dari buruh cenderung mencatat hargabarang tertinggi, sementara wakil dari pengusaha mencatat harga barang terendah (kualitas yangpaling rendah). Hal ini pada gilirannya memunculkan perdebatan antara pihak buruh dan pihakpengusaha, dan bahkan pihak pemerintah juga, terhadap item barang yang dijadikan patokanusulan nilai KHL yang akan direkomendasikan.
97
penentuan upah minimum diwarnai oleh perdebatan yang pada dasarnya
merupakan manifestasi pertarungan kepentingan.
Selain itu, penentuan hasil survei nilai KHL yang seringkali menggunakan
mekanisme pemungutan suara (voting) 144 menunjukkan bahwa nilai KHL dan
komponen-komponennya yang disebutkan di dalam peraturan perundang-
undangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005) tidak merupakan
nilai baku dan standar. Jika komponen-komponen dan nilai upah yang dimaksud
layak yang dibawa oleh peraturan perundang-undangan telah memuat kejelasan
secara detail, tentu tidak akan mengimplikasikan terjadinya pemungutan suara di
dalam penentuan hasil survei nilai KHL yang akan direkomendasikan kepada
bupati/walikota dan gubernur.
Perdebatan berapa nilai upah yang layak tidak hanya berhenti sampai pada
tahapan penentuan hasil survei, melainkan masih tetap dapat terus berlanjut.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 memberikan ruang adanya perbedaan penafsiran tentang berapa
sebenarnya dan apa ukurannya untuk mencapai kebutuhan hidup layak antara para
pihak yang berkepentingan, yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah. Pemerintah
sebagai pemangku kewenangan dan pembuat regulasi, dalam kenyataannya tidak
setiap tindakan yang diambilnya mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
144 Di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, sejak berlakunya UUNo. 21 Tahun 2000 dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan bahwa penentuan hasil survei nilaiKHL di dapat melalui kesepakatan dan pemungutan suara.
(Dewi P., Maria Dona, 2004, Insitusi Pengupahan Kabupaten/Kota: Studi Kasus Cilacap,Sidoarjo, Gresik,Working Paper AKATIGA No. 20, Yayasan AKATIGA, Bandung).
98
Nilai nominal ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah
(dalam hal ini gubernur) pun besarannya seringkali lebih kecil dari nilai KHL
yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan. Hal ini tidak lain karena di
dalam menetapkan jumlah upah minimum yang berlaku, selain berpatokan pada
nilai kebutuhan hidup layak, pemerintah juga harus memperhatikan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi setempat. Persoalannya, produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi lebih sering dijadikan determinan dari jumlah upah
minimum yang diberlakukan daripada kebutuhan riil buruh untuk dapat hidup
yang layak secara kemanusiaan.
Pada konteks ini keberadaan serikat buruh untuk mewakili kaum buruh
dalam menyuarakan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan terhadap upah yang
layak mendapatkan momentumnya terkait dengan tugas dan kewajibannya sebagai
alat untuk memperjuangkan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan kaum
buruh dan keluarganya. Serikat buruh mempunyai nilai positif untuk
mendesakkan aspirasi dan kepentingan buruh apabila antara buruh dengan
pengusaha terdapat perbedaan penafsiran atau perbedaan persepsi tentang maksud
dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa penelitian yang diadakan oleh AKATIGA tentang peran
serikat pekerja di dalam proses penentuan upah minimum di beberapa daerah di
Indonesia menunjukkan bahwa sejak dibukanya era kebebasan berserikat melalui
berlakunya UU No. 21 Tahun 2000, kemampuan unsur buruh di dalam penentuan
upah minimum mengalami peningkatan. Unsur buruh di dalam Dewan
Pengupahan dapat mengimbangi kedudukan unsur perwakilan pihak pengusaha.
99
Fenomena deadlock di dalam Dewan Pengupahan pada beberapa kasus
penentuan upah minimum diberbagai daerah adalah bukti nyata bahwa unsur
buruh yang diwakili oleh serikat buruh telah mampu menampilkan kekuatan dan
menggelar dibukanya ruang ‘dialog’ yang lebih luas. Situasi ini berbeda dengan
ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, di mana hanya ada serikat buruh tunggal.
Pada masa Orde Baru, penentuan upah minimum terjadi dalam situasi yang
‘harmonis’ karena keterlibatan serikat buruh yang ada, yaitu SPSI, sifatnya hanya
formalitas belaka dan alat legitimasi kebijakan pengupahan yang melayani
kepentingan modal145.
Situasi deadlock dalam perundingan di lembaga tripartit, khususnya didalam institusi yang merumuskan upah minimum atau Dewan Pengupahan,dan gugat menggugat keputusan pemerintah, dalam hal ini gubernur ataubupati dan walikota mengenai perubahan besaran upah minimum, sangatberkaitan dengan dibukanya iklim kebebasan berserikat melalui UU No. 21Tahun 2000 yang berimplikasi pada perubahan komposisi keterwakilanunsur tripartit, khususnya keterlibatan lebih dari satu serikat buruh di dalamlembaga tersebut.146
Segi positif yang dipunyai serikat buruh untuk memperjuangkan
kepentingan buruh dalam soal upah minimum tersebut tidak lain karena serikat
buruh adalah kekuatan bersama yang nyata, sebagaimana diungkapkan oleh
Popon Anarita sebagai berikut:
145 Sebagaimana telah menjadi fakta sejarah yang telah diketahui secara luas bahwa SPSIpada masa Orde Baru tidak pernah mewakili kepentingan buruh karena elite pengurusnya yangtelah terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang lebih mengakomodasi kepentingan modal.Fungsi dan peran serikat buruh sebagai anggota terdistorsi dengan hanya menjadi alatpengendalian buruh demi kelancaran produksi. Keanggotaan serikat buruh pada masa Orde Barulebih merupakan mobilisasi yang secara politis untuk memperlancar agenda-agenda kekuasaanrezim yang memerintah.
(Lihat: Anarita, Popon, “Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh Dalam MemperjuangkanUpah Minimum Di Dalam Institusi Dewan Pengupahan”, Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No. 1Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 67).
146 Ibid. halaman 68.
100
Setiap serikat buruh secara faktual mempunyai potensi kekuatan dari jumlahanggota yang dimilikinya. Potensi ini bisa menjadi kekuatan nyata melaluimobilisasi anggota dalam suatu pemogokan atau demonstrasi untukmembantu menekan penolakan terhadap pihak lain yang mengeluarkankebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi buruh.147
Kekuatan dari aksi-aksi massa buruh terbukti, dalam konteks penetapan
upah minimum atau berkaitan dengan persoalan upah minimum, mampu
mengubah kebijakan gubernur di beberapa daerah dalam kasus kenaikan upah
minimum. Ini membuktikan bahwa serikat buruh sudah mempunyai embrio untuk
menjadi alat perjuangan yang efektif bagi buruh.
Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2000, disebutkan bahwa salah satu
fungsi serikat buruh adalah sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab
pemogokan. Penegasan Undang-Undang No 21 Tahun 2000 terkait soal
pemogokan tersebut, ditinjau dari berbagai aspek, merupakan langkah maju yang
diambil oleh pemerintah Indonesia. Dengan pemberian dasar legalitas atas
pelaksanaan mogok kerja, artinya pemerintah telah memberikan perlindungan
hukum yang lebih luas kepada kaum buruh dalam memperjuangkan hak,
kepentingan dan kesejahteraannya beserta keluarganya.
Kaum buruh pada era modern sekarang sejatinya menempati posisi yang
strategis. Perekonomian dunia dan dinamikanya dewasa ini berkembang dengan
berpijak pada industrialisasi. Sedangkan industri itu sendiri, walaupun didukung
dengan teknologi yang paling canggih pun, dalam kenyataannya masih tetap
membutuhkan tenaga kaum buruh untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sejak
dahulu kala, tenaga manusia adalah salah satu faktor produksi yang harus tersedia
147 Ibid. halaman 73.
101
dalam melakukan aktivitas proses produksi barang dan jasa. Disinilah letak
relevansi kaum buruh menempati posisi yang vital dan strategis.
Ironinya, keadaan sebagian besar kaum kelas pekerja tidaklah bernasib baik.
Berhadapan dengan kalangan pemilik modal dan alat produksi, kepentingan kaum
buruh seringkali terpinggirkan. Secara sosial, ekonomi dan politik posisi tawar
yang dimiliki oleh kaum kelas pekerja lebih lemah dibanding dengan yang
dimiliki oleh kalangan pengusaha. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki oleh kaum
buruh adalah kekuatan fisik (tenaga) yang melekat pada dirinya, sehingga hak
untuk dapat melakukan mogok kerja merupakan sesuatu yang sifatnya esensial
untuk memperkuat kedudukan kaum buruh dalam hal memperjuangkan
kepentingannya ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang memiliki
sumber daya lebih besar ketimbang yang dipunyai kaum buruh, yaitu negara dan
modal. Apabila hak mogok tidak dimiliki oleh kaum buruh, maka kaum buruh
telah kehilangan kedaulatan atas dirinya sebagai salah satu pelaku kegiatan
ekonomi maupun sebagai manusia secara umum yang berkepentingan
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya untuk memperbaiki kehidupannya.
B. Tinjauan Umum tentang Mogok Kerja
1. Pengertian Mogok Kerja
Definisi yang paling sederhana tentang mogok kerja adalah penghentian
pelaksanaan pekerjaan oleh kaum buruh. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka 23 memberikan definisi mogok
kerja sebagai “tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
102
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan
atau memperlambat pekerjaan”.
Pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1997, mogok di definisikan sebagai
“tindakan yang secara kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya
pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud
untuk menekan supaya pengusaha menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja
atau kondisi ketenagakerjaan”.
Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, edisi ke tujuh, pengertian
strike (mogok) adalah: “The act of quitting work by a body of workers for the
purpose of coercing their employer to accede to some demand they have made
upon him, and which he has refused”148.
Sementara Yunus Shamad mendefinisikan mogok kerja sebagai tindakan
yang dilakukan oleh pekerja yang ditujukan terhadap pengusaha dengan tujuan
menekan pengusaha atau perusahaan untuk memenuhi tuntutannya atau sebagai
tindakan solidaritas untuk teman sekerja lainnya149.
Dari definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tersebut di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 3 unsur dalam definisi mogok yang
diatur dalam undang-undang itu, yaitu:
a. Tindakan pekerja/buruh.
148 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “tindakan menghentikan pekerjaan secara fisikoleh buruh/pekerja dengan tujuan memaksa majikan mereka untuk menerima permintaan/tuntutanmereka yang sebelumnya ditolak olehnya (majikan)”.
149 Shamad, Yunus, 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Bina Sumber Daya Manusia,Jakarta, halaman 227.
103
Sebuah tindakan akan dianggap sebagai mogok apabila dilakukan
oleh buruh, buruh adalah orang yang bekerja dan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Maka apabila aksi serupa dilakukan oleh
mahasiswa atau preman atau pihak-pihak lain yang tidak termasuk
dalam definisi buruh tidak dapat disebut sebagai mogok.
b. Direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama.
Pemogokkan harus direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama. Maksud dari bersama-sama adalah perencanaan
dilakukan oleh lebih dari satu buruh, atau perencanaan dapat juga
dilakukan oleh serikat buruh.
c. Untuk menghentikan dan memperlambat pekerjaan.
Menurut ketentuan undang-undang, mogok haruslah
menghentikan atau memperlambat pekerjaan karena pada dasarnya
mogok bertujuan untuk memaksa majikan mendengarkan tuntutan
serikat buruh dengan cara menghentikan atau memperlambat proses
produksi.
Penyebab pemogokan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
c. Dilihat dari tuntutannya, pemogokan dapat terjadi karena tuntutan
normatif dan non-normatif;
d. Di saat skill pekerja sudah tinggi maka seringkali tuntutannya tidak
hanya sebatas persoalan upah dan kesejahteraan, tetapi seringkali juga
masalah manajerial, sehingga dengan demikian pemogokan dapat
terjadi karena soal manajerial dan non-manajerial;
104
e. Pemogokan dapat dipicu oleh perselisihan hak dan perselisihan
kepentingan. Yang dimaksud perselisihan hak yaitu perselisihan yang
berakar dari belum atau tidak dipenuhinya hak-hak pekerja
sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perusahaan. Sedangkan yang
dimaksud perselisihan kepentingan adalah konflik yang berasal dari
perbedaan penafsiran atas suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan, klausula di dalam perjanjian kerja bersama, dan peraturan
perusahaan antara buruh dengan pengusaha.
Mogok kerja pada awalnya dikategorikan sebagai perbuatan pidana. 150
Setiap bentuk atau jenis penghentian pekerjaan yang didasari pada suatu tuntutan
tertentu yang dilakukan oleh buruh mendapatkan ancaman pidana. Buruh yang
melakukan pemogokan dianggap melakukan tindakan pembangkangan dan
hendak berniat mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat karena dapat
menyebabkan terganggunya aktivitas perekonomian. Pada waktu berikutnya
mogok kerja kemudian bukan lagi dikategorikan sebagai perbuatan pidana,
melainkan digolongkan sebagai tindakan bebas yang berbasiskan kebebasan
individu yang dimiliki oleh kaum buruh151.
Kini seiring dengan perkembangan situasi sosial ekonomi dan politik
masyarakat, mogok kerja merupakan sebuah hak. Meskipun peraturan mogok di
150 Penggolongan mogok kerja sebagai perbuatan pidana juga pernah terjadi di Indonesia.Pada masa kolonial Belanda, melalui pemberlakuan Artikel 161 Bis (yang dimasukkan sebagaisalah satu ketentuan Strafrecht Wetbook dan kemudian dilengkapi dengan pemberlakuan Artikel153 Bis dan 153 TER), tidak peduli apa pun alas an yang menjadi latar belakang terjadinyamogok, mogok kerja tetap merupakan perbuatan pidana.
151 Uwiyono, Aloysius, Op. Cit. halaman 14.
105
masing-masing negara berbeda-beda dan tingkat kebebasan untuk mogok kerja
juga bermacam-macam tingkatannya, namun semuanya pada dasarnya memberi
pengakuan bahwa mogok kerja sebagai hak buruh. Dengan kata lain mogok kerja
telah diterima dan diakui secara universal sebagai hak kaum buruh. International
Labour Organization mengakui mogok kerja sebagai hak dasar buruh untuk
mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan sosial
ekonominya dalam berhadapan dengan kekuatan modal.
Sebagai hak fundamental kaum buruh, secara yuiridis hak mogok adalah
suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Selain di dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, keberadaan hak mogok
dapat dilihat dari berbagai Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun
Konvensi ILO. Dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Rights 1948
menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya dan
mengekspresikannya. Selain itu hak mogok juga diatur secara eksplisit dalam
konvensi ILO nomor 105 tahun 1957 tentang Abolition of Forced Labour pasal 1
huruf d yang menyatakan bahwa negara anggota ILO yang meratifikasi konvensi
ini menyetujui untuk tidak menggunakan bentuk paksaan hukuman terhadap
buruh yang berpartisipasi dalam mogok.
2. Kebebasan Berserikat dan Hak Mogok
Antara hak mogok dengan kebebasan berserikat bagi buruh terdapat
pertautan yang erat. Artinya saat membincangkan kebebasan berserikat, eksistensi
serikat buruh serta bagaimana peran kebebasan berserikat serikat buruh dan
106
serikat buruh itu sendiri sebagai alat perjuangan buruh memperjuangkan dan
mempertahankan hak dan kepentingannya, tidak dapat melupakan soal tentang
mogok kerja dan hak mogok serta pengaturannya di dalam praktek masyarakat.
Di muka telah disebutkan bahwa pada era dewasa ini tuntutan akan
kebebasan berserikat di kalangan buruh bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu.
Bahkan lebih dari itu, kebebasan berserikat dan mendirikan organisasi bagi buruh
kemudian diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya pengembangan
peradaban manusia. Sehingga pada tataran praksis membawa konsekuensi
diakuinya kebebasan berserikat dan mendirikan organisasi sekerja sebagai salah
satu hak buruh yang harus dihormati.
Buruh sebagai manusia tentu mempunyai suatu kepentingan terhadap
kesejahteraan diri pribadi dan keluarganya. Mengingat bahwa makna
“kesejahteraan” dalam hukum di Indonesia bukan hanya menyangkut soal
pemenuhan kebutuhan jasmaniah yang sifatnya material, melainkan juga
pemenuhan kebutuhan rohaniah152, maka membicarakan tuntutan kesejahteraan
berarti membicarakan pula hal-hal yang sifatnya abstrak. Berpendapat,
menyuarakan aspirasi dan menyampaikan buah pikiran merupakan salah satu
bentuk kebutuhan dan kepentingan buruh dari segi rohaniah. Apalagi jika aspirasi
tersebut menyangkut kepentingan pemenuhan kebutuhan jasmaniah.
Buruh secara fundamental mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan
agar kebutuhan akan kesejahteraan dapat dipenuhi dengan baik. Kekuatan fisik,
152 Tentang “kesejahteraan”, Pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003memberikan definisi sebagai berikut: “Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhankebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luarhubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerjadalam lingkungan kerja yang aman dan sehat”.
107
tenaga dan pikiran yang diperlukan dalam proses produksi, serta jumlah besar
massa buruh merupakan inti potensi kekuatan buruh untuk meningkatkan
kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai
manusia.
Akan tetapi kekuatan yang dimiliki oleh kaum buruh tersebut tidak
memberikan sumbangan yang signifikan bagi buruh dalam berhadapan dengan
kekuatan modal apabila kebebasan berserikat merupakan sesuatu yang dilarang.
Mogok kerja yang dilakukan oleh seorang buruh tidak mempunyai makna bagi
buruh yang bersangkutan karena tidak akan mampu memberikan tekanan kepada
pihak majikan. Majikan dapat dengan mudah mengganti tenaga seorang buruh
yang sedang melakukan mogok dengan tenaga lainnya. Demikian juga wildcat
strike action, yaitu mogok kerja oleh banyak buruh yang dilakukan dengan
sporadis, sifatnya perorangan dan tidak terorganisir serta tidak terpimpin, karena
mogok semacam itu akan mudah dipatahkan.
Untuk memperoleh proses produksi yang efisien, sebagian besar industri
dewasa ini menerapkan pengorganisasian kerja yang ketat dalam aktivitas
produksi. Proses produksi dijalankan dengan menggunakan metode pembagian
kerja ke dalam unit-unit kecil (memecah belah proses produksi ke dalam bagian-
bagian kecil). Pelaksanaan metode kerja seperti itu menurut Braverman,
sebagaimana dikutip Ratna Saptari, antara lain adalah melalui penggunaan
teknologi atau mesin yang memakai prinsip ‘ban berjalan’ di mana buruh tinggal
108
memasang setiap bagian kecil dari produk dan tidak mengetahui apa yang terjadi
dengan produk tersebut setelah lepas dari tangannya.153
Akibat yang ditimbulkan dari penggunaan metode ini adalah para buruh
pelaksana proses produksi tersebut tersebar mengikuti jumlah unit-unit kecil
proses produksi. Implikasinya interaksi dan komunikasi antar sesama buruh
menjadi minim, dan buruh tidak bisa memupuk solidaritas antar mereka. Sehingga
apabila ada buruh yang mendapat masalah (konflik) dengan pihak perusahaan
(majikan) atau buruh mempunyai aspirasi tertentu yang hendak ditujukan kepada
majikan, tidak ada keberanian dikalangan buruh yang bersangkutan untuk
memperjuangkannya. Jika pun ada keberanian, buruh yang bersangkutan akan
memperjuangkannya secara sendiri-sendiri, dan apabila tuntutan tersebut tidak
ditanggapi oleh pihak majikan, dalam situasi seperti ini penggunaan mogok kerja
untuk menekan perusahaan/majikan, hampir mustahil merupakan strategi yang
efektif.
Kehadiran serikat buruh dalam situasi semacam itu berpotensi memberikan
kontribusi yang signifikan bagi buruh untuk mengurangi dampak melemahnya
posisi buruh. “Posisi serikat buruh kuat saat berhadapan dengan majikan karena
ada permintaan bersama yang diajukan kepada majikan (collective demand), dan
ada kekuatan bersama (collective strength).”154 Kemampuan serikat buruh untuk
memberikan kontribusi bagi buruh dalam hal memperjuangkan kepentingan
153 Saptari, Ratna, “Diferensiasi Buruh dalam Industri Rokok Kretek”, Prisma, No. 1, TahunXXI Januari, 1992, halaman 4.
154 Anarita, Popon, Loc. Cit.
109
kepada majikan maupun kepada pemerintah disebabkan karena serikat buruh
menghimpun kekuatan buruh perorangan menjadi kekuatan kolektif.
Akan tetapi, potensi dan kekuatan serikat buruh sebagai kekuatan kolektif
kaum massa buruh tidak akan mempunyai arti apabila serikat buruh dilarang
untuk menyelenggarakan dan mengorganisisasikan pemogokan. Seperti pada
masa pemerintahan Orde Baru, di mana serikat buruh diperbolehkan berdiri
walaupun dengan sangat terbatas dan ketat, serikat buruh diarahkan untuk
menghapus praktek mogok kerja kaum buruh―walaupun ini tidak sepenuhnya
berhasil. Melalui Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang dipercaya sebagai
konsep ideal hubungan industrial dan koridor bagi gerakan serikat buruh,
eksistensi serikat buruh dibangun dalam kerangka untuk ‘memudahkan dialog’
antara buruh dengan pengusaha dan pemerintah sehingga menghasilkan situasi
hubungan industrial yang harmonis.
Walaupun menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan buruh diperbolehkan melaksanakan mogok
kerja untuk memperjuangkan kepentingannnya dalam suatu perselisihan hubungan
industrial 155 , namun sejak konsep HIP diberlakukan hak mogok kerja secara
praktis ditiadakan. Dengan demikian konsekuensinya adalah serikat buruh
dilarang untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemogokan buruh. Padahal
hak untuk dapat melancarkan pemogokan di dalam suatu perselisihan hubungan
industrial dalam kaitannya dengan keberadaan serikat buruh, merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan. International Labour Organization (ILO) menyatakan, “the
155 Lihat: Pasal 1 ayat (1) huruf d angka 2 UU No. 22 Tahun 1957.
110
right to strike in an intrinsic corollary of the right to organize protected by
Convention No. 87” 156 (hak mogok adalah bagian tidak terpisahkan dari hak
berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87).
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Undang-Undang No. 21 Tahun
2000, yang merupakan implementasi dari ratifikasi Konvensi ILO No. 87,
mengatur bahwa serikat buruh salah satu fungsinya adalah sebagai perencana,
pelaksana dan penanggung jawab pemogokan. Artinya di sini buruh diberi
kebebasan dan hak untuk membuat suatu pemogokan yang terorganisasi baik
karena suatu perselisihan di dalam hubungan industrial, maupun untuk
memperjuangkan hak dan kepentingannya.
Pertentangan antara kepentingan modal dan kepentingan buruh cenderung
menghasilkan marjinalisasi buruh dibidang sosial, politik dan utamanya bidang
ekonomi. Sedangkan keberadaan serikat buruh sendiri adalah sebagai alat untuk
memperjuangkan serta melindungi hak-hak dan kepentingan buruh beserta
keluarganya, oleh karena itu, pemberian hak mogok sebagai suatu cara yang sah
untuk memperjuangkan kepentingan buruh adalah sesuatu yang esensial bagi
serikat agar dapat menjalankan tugas dan fungsi sesungguhnya. Kebebasan
berserikat tanpa didukung oleh adanya pemberian hak mogok kepada buruh, sama
halnya seperti tentara yang tidak dipersenjatai. Oleh ILO, hak mogok dikatakan
sebagai sesuatu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berserikat.157
156 ILO, 1994, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on The Application of Conventions and Recommendation, halaman 66-67.
(Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 halaman 13).157 Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 27.
111
Komite Ahli ILO berpendapat:
The right to strike is one of essential means available to workers and theirorganization for the promotion and protection of their economic and socialinterest. These interest not only have to do with obtaining better workingconditions and pursuing collective demands of an occupational nature, butalso with seeking solutions to economic and social policy questions and tolabor problems of any kind which are of direct concern to the workers.158
Terjemahan bebas:
Hak mogok adalah salah satu yang esensial bagi buruh dan organisasinyauntuk memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialburuh. Kepentingan-kepentingan ini bukan hanya memperoleh perbaikankondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan kerja, tetapi jugatermasuk kepentingan buruh menuntut perbaikan kebijakan sosial danekonomi yang berpengaruh pada kondisi buruh.
Negara-negara yang meletakkan dasar perekonomiannya pada sektor
industri―baik yang masih dalam tahapan awal industrialisasi (seperti Vietnam
dan China), maupun yang sudah memasuki masa senja (Eropa Barat dan Amerika
Serikat)―menghadapi dilema terkait dengan mogok kerja. Mogok kerja, di satu
sisi dapat menyebabkan aktivitas produksi dan perekonomian secara umum serta
kehidupan publik lainnya lumpuh159, bahkan dalam beberapa kasus, pemogokan
dipandang dapat mengancam pertahanan dan keamanan sebuah negara160. Akan
158 ILO, 1983, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations (Report III (4B)69th Session).
159 Sebagai contoh adalah dampak dari mogok kerja yang dilakukan oleh buruh kereta api diPerancis dan Jerman yang terjadi pada pertengahan November 2007 ini telah melumpuhkan sistemtransportasi dan aktivitas publik secara umum.
160 Sebagai contoh ialah kasus yang ada di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.Pada masa Orde Lama, bahwa pemogokan buruh dipandang dapat mengancam pertahanan dankeamanan negara dapat dilihat dari alasan yang menjadi latar belakang terbitnya PeraturanKekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951 tentang Peraturan Penyelesaian Pertikaian Perburuhan(yang kemudian di cabut keberlakuannya oleh UU No. 16 Tahun 1951). Peraturan KekuasaanMiliter Pusat No. 1/1951 berisi larangan terhadap mogok kerja.
Timbulnya Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1/1951 ini dilatarbelakangi olehpandangan pemerintah terhadap pemogokan yang marak terjadi pada masa itu bukan lagi sebagai
112
tetapi di sisi yang lainnya mogok kerja tetap perlu diberikan sebagai hak kepada
kaum buruh untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingannya
ketika berhadapan dengan kekuatan modal yang secara struktural lebih unggul
dibanding kaum buruh.
Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya gagasan yang
dikembangkan tentang mogok adalah tetap dikonsepsikan sebagai hak dasar yang
dimiliki oleh kaum buruh, akan tetapi pelaksanaannya harus mendapatkan
pengaturan sedemikian rupa sehingga mogok kerja yang dilancarkan oleh serikat
buruh tidak mengganggu ketertiban dan ketentraman umum masyarakat, namun
tetap efektif untuk memperkuat kedudukan buruh. Artinya di sini pengaturan
mogok tersebut tidak sampai mengurangi bahkan menghilangkan esensi mogok
kerja itu sendiri.
Kewajiban umum yang dibebankan kepada serikat buruh dalam melakukan
pemogokan adalah serikat buruh tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 137 menyebutkan, “Mogok kerja
sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Gagalnya
perundingan yang dimaksudkan dalam ketentuan pasal ini adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
soal perselisihan perburuhan semata, melainkan sudah menjadi persoalan sosial ekonomi. Selainitu pemogokan dipandang berpotensi menimbulkan akibat-akibat yang dapat mengganggukeamanan dan ketertiban sehingga membahayakan negara. Sedangkan pada masa Orde Baru,pemogokan dipandang dapat mengganngu ketertiban dan ketentraman masyarakat sertamenghambat pelaksnaan agenda-agenda pembangunan negara, oleh karena itu dikualifikasikansebagai gerakan-gerakan yang menjadi musuh pemerintah dan negara karena membahayakannegara.
113
disebabkan oleh salah satu pihak tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan menemui jalan buntu161.
Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan,
“Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung
dilakukan dengan tidak melanggar hukum.” Dalam hal ini serikat buruh harus
memenuhi syarat-syarat yang sifatnya administratif dan ketentuan-ketentuan
hukum publik yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan terkait dengan
akan dilaksanakannya mogok kerja162.
Hak mogok sangat penting bagi buruh dan serikat untuk memperkuat posisi
tawarnya dalam berhadapan dengan kekuatan modal yang mana hampir di segala
aspek lebih unggul dibanding kekuatan yang dipunyai buruh. Dengan kata lain,
pengakuan hak mogok kerja sebagai hak mendasar buruh yang berkaitan erat
dengan hak berorganisasi merupakan suatu cara untuk memperkecil
ketidaksetaraan posisi antara buruh dengan kekuatan modal. Akan tetapi
161 Menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, gagalnyaperundingan diartikan sebagai:
Tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapatdisebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikatpekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihakdalam risalah perundingan.
162 Ketentuan-ketentuan hukum tersebut tidak boleh mengurangi dari makna tujuandiberikannya hak mogok itu sendiri. Hal ini apabila mengingat penegasan ILO bahwa hak mogokmerupakan bagian tidak terpisahkan dari hak berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87,serta ketentuan di dalam Konvensi ILO sendiri yang menyatakan bahwa kebebasan berserikatbeserta segala aktivitas-aktivtasnya tunduk pada hukum negara peratifikasi yang berlaku akantetapi hukum nasional tersebut tidak boleh mengurangi esensi atau memperlemah ketentuan-ketentuan dalam Konvensi.
114
sayangnya hingga saat ini di Indonesia belum terdapat undang-undang tersendiri
yang mengatur pemogokan.
Masalah pemogokan sekarang ini diatur di dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan sebagian lagi diatur dalam peraturan
menteri tenaga kerja. Mogok kerja merupakan suatu tindakan yang legal. Hal ini
sebagaimana pengakuan hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia bahwa
mogok kerja merupakan hak dasar buruh.
3. Klasifikasi Mogok Kerja Di Indonesia
Seperti telah disebutkan di atas, kendati merupakan tindakan yang legal dan
menjadi hak dasar bagi buruh, namun buruh tidak dapat menggunakan hak
tersebut dengan ‘semena-mena’. Tidak semua pemogokan mendapatkan
perlindungan hukum. Sebagaimana telah disebut di muka bahwa untuk dapat
melaksanakan mogok kerja, buruh harus memenuhi sejumlah persyaratan
administratif dan telah melalui suatu kondisi tertentu.
Konsekuensinya, mogok dibagi menjadi dua. Pertama, mogok kerja sah.
Mogok kerja yang sah menurut hukum adalah mogok kerja yang mengusung
tuntutan hak normatif dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut,
mogok kerja yang dilakukan merupakan mogok kerja tidak sah.
Terhadap mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai, berdasar
pasal 145 UUK, pengusaha dilarang melakukan tindakan balasan kepada buruh
yang melakukan mogok. Di samping itu, apabila mogok kerja dilakukan secara
115
sah dan damai karena adanya hak-hak normatif buruh yang sungguh-sungguh
dilanggar oleh pengusaha, buruh berhak mendapatkan upah selama melakukan
aksi mogok kerja.
Kedua, mogok kerja tidak sah, yaitu mogok kerja yang tidak memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan, baik mengenai prosedur maupun
mengenai alasan yang menjadi latar belakang mogok. Mogok kerja yang termasuk
tidak sah adalah:
1. Bukan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 3 huruf a Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).
2. Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan (Pasal 3 huruf b Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).
3. Dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan
mogok kerja (Pasal 3 huruf c Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232
Tahun 2003).
4. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2)
huruf a, b, c, dan d UU No. 13 Tahun 2003 (Pasal 3 huruf d Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).
5. Mogok kerja yang dilakukan pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas (Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 232 Tahun 2003).
116
Konsekuensi hukum bagi buruh yang mogok kerja tidak sah, menurut Pasal
6 dan 7 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, adalah
dikategorikan sebagai perbuatan mangkir kerja. Oleh karena itu, buruh yang
melakukan mogok kerja tidak sah, selama melakukan mogok, tidak mendapatkan
upah. Apabila buruh pelaku mogok kerja tidak sah setelah diberikan 2 (dua) kali
pemanggilan untuk kembali bekerja berturut-turut dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari secara patut dalam bentuk tertulis, tetap tidak juga kembali bekerja, maka
buruh yang bersangkutan dapat dianggap mengundurkan diri. Sedangkan bagi
pelaku mogok kerja tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa
manusia, seperti rumah sakit, maka apabila mogok kerja mengakibatkan hilangnya
nyawa manusia yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaan buruh
yang bersangkutan, dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
4. Mogok Kerja Sebagai Hak Dibidang Sosial-Ekonomi dan Hak Dibidang
Politik
Dalam prakteknya, pemogokan yang dilakukan kaum buruh selama ini
terbagi menjadi dua, yaitu apa yang disebut sebagai economical strike,
pemogokan yang dilakukan dengan tuntutan-tuntutan ekonomi, utamanya
perbaikan kesejahteraan buruh, dan political strike, pemogokan yang dilakukan
dengan tuntutan-tuntutan yang sifatnya politis. Oleh beberapa pakar, pemogokan
yang disebut sebagai political strike adalah apabila yang dibawa oleh aksi mogok
tersebut tuntutan seperti agar diperbolehkan untuk memilih, menempatkan wakil
117
buruh dalam suatu lembaga politik dan badan pemerintahan, mendukung
pencalonan seseorang sebagai kandidat atas suatu jabatan politik (misalnya
presiden, perdana menteri, dsb), dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
praktek politik praktis. Sedangkan untuk economical strike, ialah apabila aksi
pemogokan membawa tuntutan akan perbaikan syarat-syarat kerja dan perbaikan
kondisi kesejahteraan, serta hal-hal lain yang sifatnya economic interest.
Akan tetapi hingga saat ini sebenarnya belum terdapat kesesuaian pendapat
tentang definisi masing-masing pemogokan berdasar sifatnya tersebut. Jika
merujuk pendapat Huntington163 maupun Almond164 yang menyatakan bahwa apa
yang dinamakan partisipasi politik bukan hanya dalam bentuk turut serta
berkontribusi pada program-program politik praktis semata seperti memberikan
suara dalam pemilu, melainkan juga meliputi hal-hal lainnya yang bertujuan untuk
mempengaruhi keputusan dan kebijakan pemerintah, maka jelas bahwa
pemogokan yang sifatnya political strike bukan hanya dalam rangka kegiatan
politik praktis.
Walaupun demikian, baik pemogokan yang sifatnya economical strike
maupun pemogokan yang sifatnya political strike, seringkali sulit untuk
dibedakan secara detail dan tegas, karena pada dasarnya dalam kedua sifat
pemogokan tersebut dilandasi oleh tuntutan, atau setidaknya harapan buruh akan
perbaikan kesejahteraan.
163 Huntington dan Nelson, 1990, Partisipasi Politik di Negara Berkembang [No EasyChoice: Political Participation In Developing Countries], terjemahan Sahat Simamora, RinekaCipta, Jakarta.
164 Almond, Gabriel A., “Sosialisasi, Kebudayaan, dan Partisipasi Politik”, dalam MochtarMas’oed dan Colin MacAndrews, 1987, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta.
118
a. Hak Dibidang Sosial-Ekonomi
Hubungan industrial secara nyata merupakan bagian dari bidang sosial-
ekonomi. Di dalamnya terdapat urusan yang sifatnya sosial dan ekonomik. Oleh
karena itu, wajar apabila kemudian persoalan perburuhan dikualifikasikan masuk
ranah sosial-ekonomi. Demikian juga soal mogok kerja yang diterjemahkan
sebagai hak buruh dibidang sosial ekonomi.
Hak mogok kerja yang dipunyai buruh tidak dapat dipungkiri hal tersebut
ditujukan sebagai alat untuk mengimbangi kekuatan pengusaha yang secara
struktural lebih kuat dibanding buruh. Ditengah sistem ekonomi yang kapitalistik,
tuntutan akan akumulasi modal dan keuntungan merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan apabila suatu industri atau perusahaan ingin tetap eksis. Dalam pada itu
kepentingan buruh amat mungkin tersubordinasi oleh penetrasi kepentingan
modal, urusan kesejahteraan dan tingkat kualitas hidup buruh menjadi urusan
nomor sekian dibelakang kepentingan mengeruk laba dan akumulasi modal
sebesar-besarnya. Dan, hal tersebut hanya dapat dihadapi oleh buruh melalui
kekuatan kolektif dan adanya kebebasan melaksanakan mogok kerja untuk
memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya dari dominasi kepentingan
modal.
b. Hak Dibidang Politik
Kebebasan dalam mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
119
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Kemudian lebih lanjut lagi dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. Hak mogok buruh merupakan bagian dari hak atas
kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hal ini dapat kita lihat dalam pasal 25
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum, termasuk hak mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pendapat Komite Ahli ILO yang menyatakan bahwa mogok bukan hanya
untuk memperoleh perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu
hubungan kerja, tetapi juga termasuk kepentingan buruh menuntut perbaikan
kebijakan sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada kondisi buruh, memberikan
penegasan adanya aspek politik di dalam hak mogok yang dipunyai buruh.
Pendapat Komite Ahli ILO tersebut mempunyai arti buruh mempunyai
kedaulatan untuk mendefinisikan sendiri kepentingan dan kebutuhannya, sehingga
dapat menuntut perbaikan kebijakan sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada
kondisi buruh kepada pemerintah di semua level. Komite Ahli ILO tersebut
memandang bahwa urusan kesejahteraan buruh bukan hanya terbatas sebagai
urusan hubungan kerja yang tercipta antara buruh dan pengusaha, melainkan
pemerintah pun mempunyai andil dan peran melalui kebijakan-kebijakannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik sebuah logika bahwa hak
mogok yang dipunyai oleh buruh tidak hanya digunakan untuk memperkuat posisi
120
tawar dalam berhadapan dengan kepentingan pengusaha (majikan), atau hanya
untuk mengajukan tuntutan-tuntutan perbaikan kesejahteraan kepada pengusaha,
akan tetapi juga dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah.
121
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG UPAH, KEBIJAKAN UPAH MINIMUM,
MEKANISME PENETAPAN UPAH DAN KONFLIK KEPENTINGAN
DALAM PENENTUAN UPAH MINIMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Upah
1. Konsepsi Upah dalam Mode Produksi Kapitalis
Walaupun Indonesia menolak disebut sebagai negara yang menerapkan
sistem ekonomi liberal, dan mengklaim diri sebagai negara yang mempunyai
sistem ekonomi sendiri, yakni sistem ekonomi Pancasila, dengan karakteristik
yang berbeda dengan sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi sosialis,
akan tetapi dalam kenyataannya, praktek sistem ekonomi Indonesia cenderung
berafiliasi dengan sistem ekonomi liberal. Hal ini dapat dilihat dari semakin
diperluasnya peran swasta, dan mulai diizinkannya swasta-asing memasuki
sektor-sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang
sebelumnya tertutup bagi swasta-asing165 . Selain itu, di dalam melihat setiap
persoalan ekonomi, indikator dan variabel yang lebih banyak digunakan bukanlah
165 Menurut Konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945, sektor-sektor yang menyangkut hajathidup orang banyak harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Contohdari sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak antara lain adalah perairan,kehutanan, pertambangan, kesehatan serta pendidikan.
Kondisi yang demikian ini terjadi karena Indonesia merupakan bagian dari komunitasmasyarakat internasional, dan sedang berusaha menyatukan diri dengan sistem ekonomi globalyang menganut paham liberal. Pada kondisi seperti ini, Indonesia sering mendapatkan tekanan darinegara-negara lain, atau lembaga-lembaga (organisasi) internasional di mana Indonesia turutmenjadi anggota di dalamnya, yang menginginkan agar Indonesia membuka sektor-sektor yangmasih tertutup bagi swasta-asing. Contoh paling nyata dari tekanan internasional adalah privatisasiBUMN dan sejumlah industri strategis lainnya serta pembukaan sektor-sektor yang masih tertutupbagi swasta-asing melalui program-program yang “disarankan” oleh International MonetaryFunding (IMF) dan World Bank.
122
kepentingan rakyat, melainkan pasar. Oleh karenanya, penulis secara eksplisit
membahas konsep upah dalam mode produksi kapitalis.
Jika dilihat dari perspektif sejarah, usia perjuangan buruh dalam
mendapatkan upah yang layak sudah setua dengan hadirnya sistem kerja upahan
di muka bumi ini. Hanya saja perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak ini
mempunyai ritme pasang surut dan terkait konteks ruang dan waktu. Namun
demikian, semangat dari perjuangan menuntut upah yang layak ini senantiasa
hadir dalam kehidupan kelas pekerja, sehingga tuntutan upah yang layak hampir
menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem produksi kapitalis. Untuk mengetahui
mengapa tuntutan buruh industri untuk mendapatkan upah yang layak selalu saja
menghiasi sistem produksi kapitalis, penting kiranya menguraikan terlebih dahulu
atas seluk-beluk kapitalisme itu sendiri.
Sistem ekonomi liberal yang bersandarkan pada paham kapitalisme, pada
intinya bertumpu pada kebebasan; segala sesuatu yang terkait aspek
perekonomian semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam perspektif
teori ekonomi, pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh
manusia dalam mengatasi problem ekonomi: produksi, konsumsi dan distribusi.166
Alokasi dan distribusi barang, jasa dan faktor-faktor produksi di dalam
masyarakat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar; permintaan dan
penawaran diserahkan kepada masing-masing individu dengan campur tangan
negara sekecil mungkin.
166 Perdana, Ari A., 2001, “Peranan ‘Kepentingan’ Dalam Mekanisme Pasar dan PenentuanKebijakan Ekonomi di Indonesia”, http://www.csis.or.id, diakses pada 12 Maret 2003.
123
Prinsip yang dianut dalam sistem ekonomi kapitalis adalah pasar bebas, di
mana individu-individu merupakan aktor yang bebas dalam bertindak di lapangan
ekonomi. Masing-masing individu mempunyai kebebasan untuk menentukan apa
yang menjadi kebutuhan ekonominya dan bagaimana cara untuk memenuhinya.
Fungsi negara dalam sistem ekonomi liberal/kapitalis adalah sekedar “penjaga
malam” yang mengusahakan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
Negara dibenarkan untuk melakukan intervensi apabila dilakukan dalam kerangka
mengembalikan kemurnian pasar atau dalam rangka menuju ekonomi pasar. Oleh
karena itu, sistem ekonomi kapitalis juga dijuluki sebagai sistem ekonomi pasar.
Menurut para penganutnya, sistem ekonomi berbasiskan ekonomi pasar
diyakini akan menghasilkan distribusi yang adil atas kemakmuran. Hal ini didasari
tradisi pandangan ekonomi klasik dan neo-klasik bahwa sistem ekonomi pasar
mengimplikasikan adanya persaingan terbuka antar individu yang ada dalam
masyarakat dalam hal mencari keuntungan. Dengan kata lain, sistem ekonomi
pasar membawa konsekuensi: masing-masing individu anggota masyarakat
dituntut bekerja sekeras-kerasnya untuk mengejar kesejahteraannya masing-
masing. Karena kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas dan kesejahteraan itu
sendiri tidak mempunyai batasan yang jelas, sedangkan barang ekonomi yang
menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan jumlahnya terbatas, maka keadaan
selanjutnya adalah adanya tuntutan akan kompetisi dan persaingan yang terbuka
antar individu. Dengan persaingan yang berlangsung terbuka, keuntungan yang
diperoleh tiap pelaku secara individu hanya akan terjadi dalam tingkat minimal.
Sebaliknya, tanpa adanya persaingan, tiap-tiap individu bisa memperoleh
124
keuntungan yang besar (supernormal profit).167 Atas dasar inilah sistem ekonomi
pasar dipercaya akan memunculkan distribusi yang adil atas kekayaan dan
kemakmuran.
Di sisi yang lain, persaingan terbuka antar individu yang diimplikasikan oleh
mekanisme pasar akan memacu individu-individu yang ada untuk berusaha
menyediakan barang-barang yang mengartikulasikan kebutuhan dengan tujuan
memperoleh keuntungan dan dengan demikian juga akan memperbesar potensinya
untuk dapat mengejar kesejahteraannya sendiri. Para individu yang berusaha
menyediakan barang-barang atau jasa ini kemudian disebut dengan pelaku
ekonomi. Selanjutnya, antar pelaku ekonomi pun kemudian terlibat suatu
persaingan dan kompetisi untuk memperebutkan pasar. menurut paham
kapitalisme menurut paham kapitalisme, kompetisi dan persaingan antar pelaku
ekonomi menjadi kunci dari keberhasilan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan kompetisi dan persaingan antar pelaku ekonomi, efisiensi dan
efektivitas ekonomi akan terwujud, harga barang akan menjadi murah. Di
samping itu, efisiensi akan menghasilkan keuntungan yang optimal.
Dalam sistem ekonomi pasar ini ‘hukum’ yang berlaku adalah bagaimana
dengan modal sekecil-kecilnya seseorang dapat menghasilkan keuntungan atau
manfaat sebesar-besarnya. Artinya, untuk dapat menghasilkan laba yang optimal,
maka biaya produksi haruslah ditekan serendah mungkin. Pada konteks ini, upah
buruh sebagai bagian dari biaya produksi juga harus serendah-rendahnya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila terdapat pendapat yang menyatakan
167 Ibid.
125
bahwa mekanisme pasar juga telah menempatkan negara sebagai tak lebih dari
pelayan kepentingan pemilik modal dan dunia internasional untuk mengambil
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi kaum pekerja dan
rakyat secara umum.
Hal ini dapat dimengerti karena dalam sistem ekonomi liberal (pasar), titik
berat kegiatan ekonomi, khususnya produksi adalah terciptanya akumulasi modal
yang digunakan untuk investasi berikutnya dan sama sekali tidak berbicara
tentang kondisi kehidupan ekonomi buruh. Walaupun demikian bukan berarti
bahwa ekonomi pasar memang menghendaki para buruh kelaparan sehingga tidak
mampu menjual tenaganya, atau bahkan mati. Sebaliknya, para pemilik modal dan
alat produksi dalam sistem ekonomi pasar berkepentingan agar para buruh tetap
mampu menyediakan tenaganya untuk kegiatan produksi sehingga aktivitas
pengakumulasian modal dapat tetap terus berjalan. Hanya saja mereka (kaum
buruh) tidak dikehendaki untuk mendapatkan yang lebih dari sekedar cukup untuk
bertahan hidup dan tidak mati. Dengan kata lain, kesejahteraan buruh dalam
sistem ekonomi pasar tidak diartikulasikan sebagai hak buruh. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Eric Hobsbawm:
[…] inti perkaranya bukanlah bahwa ekonomi liberal tidak peduli jika paraburuh kelaparan, apalagi menginginkan mereka mati. Sebaliknya, ekonomimodel ini bersikeras dengan kukuh bahwa mekanisme pencipta laba lewathukum pasar akan membuat semua orang senantiasa bertambah sejahtera.Tetapi inti masalahnya terletak dalam fakta bahwa ekonomi liberal tidakdapat dan tidak mau mengungkapkan aspirasi kaum buruh dalam bentukhak-hak.168
168 Hobsbawm, Eric, 1984, Workers: Worlds of Labour, Pantheon, New York, USA,halaman 307.
126
Dalam mode produksi pada sistem ekonomi kapitalis sebagaimana yang
berlaku di sebagian besar belahan dunia sekarang ini, hubungan antara pelaku
ekonomi dan buruh adalah hubungan transaksional dengan obyek tenaga buruh.
Buruh dikonsepsikan menjual tenaganya kepada pelaku ekonomi untuk
melakukan suatu pekerjaan dibidang produksi atas komoditas perdagangan.
Berapa besar upah yang diterimanya bergantung pada negosiasi antara buruh
dengan pelaku ekonomi (pemilik modal atau pemilik alat produksi) yang
memperkerjakannya. Besaran upah yang diterima buruh merupakan nilai jual atas
tenaga yang dikeluarkannya untuk mengerjakan produksi.
Sekilas terkesan bahwa antara buruh dengan pengusaha mempunyai posisi
tawar yang sama. Namun tidak selalu demikian keadaan sesungguhnya. Seringkali
kesepakatan besaran upah terjadi dengan keterpaksaan dari pihak buruh.
Keterpaksaan tersebut lahir bukan dengan ancaman fisik, melainkan dari kondisi
riil atas posisi tawar yang tidak seimbang. Keterpaksaan lahir karena akibat dari
tidak tersedianya lapangan pekerjaan alternatif yang dapat dijalani buruh, 169
sehingga tidak ada pilihan lain bagi buruh selain menerima jumlah yang
ditawarkan. Bagaimana mungkin dapat dikatakan tanpa ada unsur keterpaksaan
(Sandyawan et al, “Beberapa Catatan Kecil Untuk Arah dan Strategi Masa Depan ForumSolidaritas Untuk Buruh”, makalah dalam diskusi Pencarian Arah dan Strategi Masa DepanForum Solidaritas Untuk Buruh, Jakarta, 8 Desember 1994.)
169 Era industrialisasi kapitalis yang di awali dengan Revolusi Industri, telah menyebabkanperubahan struktur sosial ekonomi masyarakat dan perubahan fungsi lahan secara besar-besaran.Pada akhir abad ke XVIII sejumlah besar penduduk Inggris kehilangan kemerdekaan ekonominyasebagai akibat dari program pemerintah mengenai politik agraria, yaitu dengan mengubah tanahpertanian menjadi lapangan tempat memelihara hewan guna menopang keberadaan industri tekstil.Oleh karena kehilangan mata pencaharian lama, sejumlah besar penduduk Inggris kemudianberalih menjadi buruh.
(lihat: Siregar, A. Madjid, Op. Cit. Halaman 15-16).
127
dari buruh apabila mereka (buruh) tidak menerima syarat-syarat kerja beserta
upah yang ditawarkan oleh pengusaha tidak dapat bekerja sehingga berujung pada
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan
dan papan. Sedangkan pemilik modal atau pemilik alat produksi, hampir tidak
terpengaruh apabila seorang buruh menolak tawaran yang diberikan. Pemilik
modal masih dapat mencari tenaga kerja lainnya untuk menjalankan kegiatan
produksinya.
Hal yang demikian itu juga pernah berlaku di Indonesia. Di Indonesia,
kondisi seperti ini dapat dilacak dengan memperhatikan sejumlah pasal yang
terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersebut,
hubungan industrial atau hubungan perburuhan dikategorikan termasuk ranah
privat; dikonsepsikan sebagai salah satu bentuk perikatan yang lahir dari
perjanjian antar perorangan. Dapat antar natuurlijkpersoon (manusia) dan atau
antara natuurlijkpersoon (manusia) dengan rechtspersoon (badan hukum).
Dengan demikian tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan.
Dalam hal ini, berlaku ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian―yang diatur
dalam Pasal 1320―dan asas-asas dari perjanjian, yakni asas konsensualisme170,
170 Asas konsensualisme ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yangberbunyi:
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak”. Makna yangtekandung dalam pasal tersebut yaitu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secaraformal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, maksudnya adalahdalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuatperjanjian itu.
128
asas kebebasan berkontrak 171 , asas pacta sun servanda dan asas itikad baik.
Artinya sebagai bagian dari perikatan yang lahir dari perjanjian, keberlakuan dari
hubungan hukum antara buruh dengan pengusaha didasarkan pada kesepakatan
yang dibuat oleh buruh dan pengusaha sendiri.
Pada tataran ini yang menjadi persoalan adalah implementasi dari asas
kebebasan berkontrak yang kental dengan nuansa paham liberal. Asas kebebasan
berkontrak mengandung pengertian: para pihak bebas untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, bebas menentukan isi dan substansi perjanjian, bebas
menentukan bentuk perjanjian dan cara berlakunya. Dengan berakar pada
pemikiran filsafat liberal dan mengesampingkan adanya perbedaan posisi tawar
secara ekonomi dan politik, ketentuan tersebut cenderung merugikan kepentingan
buruh. Dalam hal ini adalah masalah kondisi dan syarat-syarat kerja, serta upah
yang diterima buruh. Memang asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal
1337 KUHPerdata yang menentukan bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan,
atau ketertiban umum”. Namun pembatasan yang sangat terbatas dan umum
tersebut tidak cukup memadai untuk diterapkan dalam soal pengupahan pada
suatu hubungan kerja.
Pemaknaan atas upah sebagai nilai hasil transaksi antara pengusaha dan
buruh dengan obyek kerja (tenaga) buruh jika dikaitkan dengan praksisnya,
terdapat beberapa kelemahan. Kerja bukanlah komoditi sebagaimana komoditi
171 Asas kebebasan berkontrak ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yangmenentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya”.
129
perdagangan yang terdapat dalam toko-toko di pasar. Kerja merupakan aktualisasi
secara konkrit atas segenap kemampuan yang dimiliki manusia. Kerja yang
dijalani buruh dalam proses produksi telah memberikan tambahan nilai pada
produk yang dihasilkan. Sehingga jikapun kerja dianggap sebagai obyek transaksi
antara buruh dengan pengusaha, maka upah seharusnya setara dengan
keterampilan dan nilai yang dihasilkan dari kerja itu sendiri. Namun tidak
demikian pada prakteknya, yang terjadi adalah upah yang ada dibayarkan hanya
sebatas sebagai pengganti tenaga yang dikeluarkan dan hanya cukup untuk
bertahan hidup.
2. Pergeseran dari Ranah Privat Menjadi Publik
Masalah di seputar hubungan industrial pada masa sekarang ini telah
mengalami pergeseran. Masalah perburuhan bukan lagi sebatas sebagai masalah
yang sifatnya individual dan hanya merupakan urusan internal antara buruh
dengan orang yang memperkerjakannya —sebagaimana pandangan yang kembali
dianut oleh rezim global saat ini, akan tetapi lebih merupakan persoalan yang
berkaitan dengan struktur-struktur yang terdapat dalam masyarakat. Selain itu,
hampir semua aspek kehidupan manusia dewasa ini mempunyai saling keterkaitan
yang erat antara yang satu dengan yang lainnya. Melalui produk dan aktivitasnya,
industri telah menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap
keberlangsungan aktivitas manusia sehari-hari. Bahkan dalam perkembangannya,
industri turut juga memberikan pengaruh terhadap kekuatan dan masalah-masalah
social, ekonomi dan politik suatu negara. Sehingga menjadi masuk akal apabila
130
pada gilirannya diperlukan keterlibatan pihak ketiga dalam hubungan industrial,
dalam hal ini pihak ketiga tersebut tidak lain adalah negara. Kondisi yang terjadi
di Eropa, khususnya Inggris, pada masa lalu dapat dijadikan cermin.
Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah bahwa Revolusi Industri di Inggris
yang ditandai dengan penemuan mesin, telah membawa konsekuensi perubahan
struktur dan tatanan masyarakat. Dari masyarakat agraris menjadi masyarakat
industri; dari sistem masyarakat feodal menjadi sistem kapitalis. Mesin-mesin
yang baru ditemukan tersebut menggantikan tenaga manusia dalam aktivitas
produksi industri tekstil 172 . Loncatan besar dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi ini segera diikuti kebijakan konversi pemanfaatan lahan secara besar-
besaran dari lahan pertanian menjadi tempat pemeliharaan hewan oleh Pemerintah
Inggris.173 Sehingga penemuan dan pemanfaatan mesin telah membuat aktivitas
produksi dalam skala besar-besaran dan massal pada industri tekstil menjadi
murah dan mudah. Namun, hanya segelintir orang saja yang mampu membeli atau
memiliki mesin-mesin tersebut, yakni kaum pedagang. Dengan demikian, manfaat
dan keuntungan atas penemuan mesin hanya dinikmati secara optimal oleh kaum
pedagang yang kemudian menjelma menjadi kelas baru yang mempunyai
pengaruh cukup besar dalam sistem sosial dan politik serta mampu melakukan
intervensi dalam pengambilan beragam kebijakan oleh pemerintah.
Meskipun pada dasarnya bentuk dan kondisi hubungan industrial tetap
bergantung pada pihak buruh dan pengusaha. Akan tetapi, kehadiran kekuatan
172 Mesin yang pertama kali ditemukan atau diciptakan adalah mesin pemintalan benang,sehingga pada masa itu hanya sebatas industri tekstil yang mengalami perubahan teknik produksidan “menikmati” penemuan mesin.
173 Siregar, A. Madjid, Ibid. Halaman 57.
131
negara juga tetap mempunyai pengaruh baik untuk mencegah eksploitasi buruh
lebih dalam, atau menjembatani kepentingan buruh dan pengusaha walaupun
mungkin dalam taraf tertentu tidak signifikan, atau bisa jadi malah kian
mempertajam praktek-praktek eksploitasi terhadap buruh.
Pada persoalan di sekitar pengupahan, hal yang menjadi cukup berarti
adalah kekuatan dari serikat buruh/serikat pekerja. Fluktuasi naik turun tingkat
upah di samping ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi suatu negara, juga
dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan organisasi buruh. 174 Naiknya
tingkat upah, perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja di sejumlah negara,
terutama negara maju, disebabkan oleh meningkatnya peran dan kemampuan serta
independensi serikat buruh dalam mengelola dan memperjuangkan kepentingan
anggotanya. Begitu juga soal menurunnya tingkat upah dan kesejahteraan buruh
secara umum, seringkali dilatarbelakangi oleh melemahnya serikat buruh baik
secara organisatoris maupun politik. Serikat buruh yang kuat secara politis,
mampu membuat afiliasi politik dengan partai-partai politik yang mempunyai
wakil di parlemen sehingga mempunyai kekuatan yang efektif untuk menekan
pemerintah guna memenuhi aspirasi kaum buruh dan meningkatkan kesejahteraan
kaum buruh.175 Dengan demikian, pada tataran tertentu, tuntutan buruh berubah
menjadi tuntutan politik.
Pada suatu kondisi di mana antara kekuatan buruh dan pengusaha seimbang;
organisasi buruh mampu menandingi posisi tawar yang dimiliki oleh para pemilik
174 Lihat: Markam, Roekmono, 1981, Masalah Pengupahan Di Dalam HubunganPerburuhan, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, halaman 1.
175 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. Halaman 68.
132
modal, terdapat dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, konfigurasi
hubungan industrial yang ada mencerminkan hubungan industrial yang
demokratis, antara buruh dan pengusaha dapat menciptakan kompromi yang
didasari tawar-menawar yang rasional, sehingga memungkinkan terciptanya dasar
bagi industrialisasi yang tangguh. Kedua, konflik hubungan industrial akan
menajam, sehingga di satu sisi bisa jadi akan menyebabkan larinya modal atau
investasi dari suatu negara ke negara lainnya. Namun demikian, kedua skenario
tersebut tidak selalu terjadi pada semua tempat (negara). Dari pengalaman sejarah
selama ini, skenario yang pertama, cenderung hanya terjadi pada negara-negara
industri maju, sedangkan skenario kedua cenderung terjadi pada negara-negara
dunia ketiga.
Dari pengalaman sejarah itulah Indonesia dan negara-negara dunia ketiga
lainnya, yang saat ini masih memasuki tahap awal industrialisasi, kebanyakan
menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang pada intinya adalah bertujuan untuk
mencegah dan meredam radikalisasi gerakan buruh. Di Indonesia, terutama pada
masa Orde Baru, terdapat banyak kebijakan yang berwatak anti-buruh, yang
sebagian telah penulis sebutkan pada Bab II, dan diantaranya adalah:
a. Kebijakan organisasi tunggal bagi buruh. Hanya Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI) yang kemudian berubah nama menjadi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI) pada tanggal 11 Maret 1974 dikukuhkan
sebagai satu-satunya organisasi buruh yang sah dan legal.176 Sejak 1970-
176 Pada saat itu, penunggalan organisasi buruh masih dalam proses, hal ini disebabkankarena masih adanya Peraturan Menteri Perburuhan No. 90/1955 Tentang Pendaftaran Serikat-serikat Buruh. Baru pada tahun 1975, peraturan menteri tersebut dicabut dengan menerbitkanPeraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01/1975 Tentang Pendaftaran
133
an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh
dihambat oleh sistem korporatis yang sangat otoriter yang hanya
memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh sah bikinan
pemerintah, dan yang secara maya (virtual) melarang aksi industrial atas
nama kesatuan dan persatuan nasional.
Serikat pekerja, yang pada masa awal kekuasaan Orde Baru, secara
efektif dilarang, akhirnya dibangkitkan kembali dengan paradigma yang
baru, yang sesuai dengan keinginan rezim penguasa. Dari sudut pandang
ini, keberadaan serikat buruh ibarat kepingan uang logam yang memiliki
dua sisi yang kontradiktif; bersifat berbahaya dan perlu. Dianggap
berbahaya karena serikat buruh dikhawatirkan dapat melahirkan gerakan
buruh yang kuat, menghasilkan upah dan kondisi pekerjaan yang lebih
baik. Namun demikian, serikat buruh tetap diperlukan oleh karena bisa
menjadi suatu struktur efektif untuk mengorganisasikan buruh dalam
kerangka untuk membatasi kenaikan upah.177 Dengan kata lain, serikat
Serikat Buruh. Namun demikian, sebenarnya pada masa Orde Baru, tidak terdapat larangan bagiburuh untuk mendirikan organisasi buruh diluar SPSI, namun tetap saja organisasi buruh selainSPSI seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), tidak dapat menjadi organisasi buruh yangsah dan legal. Hal ini tidak lain karena untuk menjadi serikat buruh yang sah dan legal, harusmemenuhi sejumlah persyaratan yang hampir mustahil untuk dilaksanakan. PeraturanMennakertrans dan Koperasi No. 01/1975 menentukan bahwa organisasi buruh yang dapatmendaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi ialah organisasi buruh yangberbentuk gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 propinsidan mempunyai anggota sekurang-kurangnya 15 serikat buruh. Jikalau ada organisasi buruhalternatif yang berpotensi mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan, makasegera akan mendapatkan tindakan-tindakan tertentu dari pemerintah supaya organisasi yangbersangkutan tidak dapat memenuhi seluruh persyaratan. Dengan kata lain, secara de factopemerintah menganut paham organisasi tunggal dan menerapkan upaya-upaya sistematis melaluikolaborasi instrumen hukum dengan tindakan-tindakan inkonstitusional untuk menghalangilahirnya organisasi/serikat buruh alternatif.
177 Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 3-13.
134
buruh digunakan untuk memanipulasi kaum buruh untuk terciptanya
sistem yang dapat menjamin praktek kebijakan upah rendah dan kondisi
ketenagekerjaan yang dapat dikendalikan. Keputusan Menteri Tenaga
Kerja No. 3/1993 merupakan salah satu contoh perangkat hukum produk
pemerintahan Orde Baru yang mengatur serikat buruh agar selalu dapat
dikendalikan sesuai agenda kepentingan pemerintah.
b. Pelibatan angkatan bersenjata/militer dalam setiap permasalahan yang
menyangkut buruh dan hubungan industrial. Instrumen hukum seperti
Kepmennaker No. 342/1986, Permennaker No. 62/1993 dan
Kepmennaker No. 15A/1994, telah memberikan peluang dan keleluasaan
penggunaan cara-cara dan melibatkan militer dalam menyelesaikan
masalah hubungan industrial dan mensubordinasikan buruh ke dalam
modal. Keterlibatan militer ini dalam beragam bentuk, tetapi yang paling
utama adalah tindakan represif, teror dan intimidasi kepada kaum buruh.
Khusus soal represi dan koersi aparat negara dalam masalah perburuhan,
sebenarnya bukan watak khas yang hanya dimiliki oleh Orde Baru atau
rezim-rezim otoriter di negeri-negeri yang pernah menjadi negeri
jajahan, yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan industrialisasi.
Pada masa lampau, buruh-buruh di Eropa juga mengalami hal yang
sama, yaitu menghadapi berbagai bentuk represi yang dilancarkan oleh
polisi dan militer, dalam memperjuangkan hak-hak yang sekarang ini
relatif mereka nikmati, yakni kebebasan dan demokrasi di tingkat pabrik,
135
upah dan kondisi kerja yang layak, serta kesejahteraan yang memadai
bagi pelaksanaan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.178
c. Memberikan stigma “komunis” kepada setiap pihak baik organisasi
maupun perseorangan yang bersimpati dan mempunyai keberpihakan
kepada buruh. 179 Pemberian stigma “komunis” merupakan awal dari
tindakan pembungkaman yang “legal”; pemerintah seakan mempunyai
mandat dan wewenang untuk bertindak apapun terhadap seseorang yang
berideologi komunis.
d. Penggunaan instrumen hukum pidana yang ditujukan kepada buruh
sebagai bagian dari upaya mematahkan aksi-aksi gerakan buruh.
Terhadap aksi buruh menuntut hak-hak normatif, seringkali pemerintah
melalui aparatusnya memberikan bermacam tuduhan sehingga
memungkinkan untuk diproses secara pidana. Tuduhan tersebut biasanya
adalah tindakan subversif; perbuatan yang mengganggu ketertiban dan
ketentraman umum.180
178 Laporan Khusus Prisma No. 4 tahun XXIII, April 1994, “Pasang Naik GelombangPemogokan dan Politik Perburuhan”, LP3ES, Jakarta, halaman 48.
179 Salah satu contoh pihak (organisasi) yang mendapatkan perlakuan stigmatisasi “komunis”adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dalam manifesto politiknya menyebutkan secarajelas dan tegas bahwa PRD adalah organisasi massa yang berorientasi dan berbasiskan massaburuh.
180 Kasus yang menimpa Mochtar Pakpahan pada tahun 1994 yang dikenal dengan istilah“kasus medan” bisa menjadi salah satu contoh konkrit penggunaan instrumen hukum pidana dalambidang hubungan industrial. Fenomena penggunaan instrumen hukum pidana ini masih terusberlangsung meski rezim Orde Baru telah tumbang. Kasus “sandal bolong” yang menimpa seorangburuh perusahaan milik investor asal Korea Selatan, ditengarai banyak pihak sebagai penggunaaninstrumen hukum pidana untuk menyelesaikan masalah di dalam hubungan industrial.Sebagaimana diberitakan luas oleh sejumlah media massa pada tahun 2000 buruh-buruh PT OsagaMas Utama, perusahaan asal Korea Selatan melakukan mogok kerja yang menuntut perusahaanagar melaksanakan kewajiban menurut paraturan perundang-undangan, yaitu jaminan kesehatanpekerja/buruh. Pada saat mogok sedang berlangsung, tepatnya 4 September 2000, seorang buruhyang bernama Hamdani ditahan dan dituduh mencuri sepasang sandal milik perusahaan yang telah
136
Kebijakan-kebijakan tersebut di atas merupakan strategi yang dijalankan
guna menjaga gerak roda program industrialisasi nasional. Pada kenyataannya,
penerapan kebijakan yang anti-buruh dan didukung dengan beragam fasilitas
insentif pemerintah telah berhasil menarik masuk investasi dalam jumlah yang
besar. Berikutnya program industrialisasi dan akumulasi modal pun mencapai
kemajuan (tapi semu) dan menempati posisi yang strategis dalam dinamika
perekonomian.
3. Kebijakan Upah Murah dan Industrialisasi Kapitalis
Dari beragam kebijakan yang memarjinalkan dan menindas buruh,
kesemuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu memperlemah posisi dan daya tawar
buruh sehingga pada akhirnya mewujudkan tenaga kerja murah. Kebijakan politik
upah murah diterapkan sebagai strategi untuk menampung kepentingan negara-
negara kaya dan maju memupuk pertumbuhan ekonominya. Di dalam upaya
mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya, negara-negara
maju melakukan perambahan ke negara-negara berkembang di dunia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Michael P Todaro yang menyatakan:
[…] kecenderungan negara-negara kaya untuk secara terus menerusberusaha merambah dan merentangkan sayapnya ke negara-negara lainnya,yaitu negara-negara miskin dan negara-negara berkembang di dunia gunamemperoleh sumber pasokan produk primer dan bahan baku, tenaga kerjayang murah untuk kegiatan produksi […]181
usang dan bolong ketika meminjam sandal tersebut untuk menjalankan sholat Jum’at. Hamdanibermaksud memakai sandal tersebut sebagai pengganti alas kaki sepatu yang kondisinya jauh lebihbagus dibanding sandal yang “dicurinya” untuk wudlu.
(selengkapnya baca: Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 28-33)181 Todaro dan Smith, 2003, Economic Development (Eight Edition), terjemahan Haris
Munandar dan Puji A. L., Penerbit Erlangga, Jakarta, halaman 104.
137
Kepentingan negara-negara maju tersebut sejalan dengan kebutuhan negara-
negara berkembang akan aliran modal dari negara-negara kaya. Negara-negara
berkembang membuka keran perekonomian terhadap pihak luar guna
mendatangkan investasi dan aliran masuk modal untuk menggerakkan roda
pembangunan dalam negeri. Disaat yang bersamaan, untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonominya, negara-negara maju melakukan ekspansi finance
capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang
karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor
produktif dalam negerinya masing-masing.182
Politik upah murah dan lunaknya perlindungan terhadap buruh menjadi
keunggulan komparatif yang ditawarkan Indonesia kepada negara-negara maju
dalam bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya untuk memperebutkan
aliran modal dan investasi dari negara-negara maju. Negara-negara berkembang
terdorong untuk melakukan industrialisasi disebabkan ambisi untuk menciptakan
perkembangan ekonomi dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara industri
maju. Pada era modern dewasa ini, industri menempati posisi yang strategis dan
sekaligus menentukan gerak dinamika perekonomian. Tak ada satu pun negara,
kecuali beberapa negara kecil, yang mampu mencapai tahap kematangan ekonomi
tanpa keberhasilan memperkuat sektor industrinya terlebih dahulu.183
182 Oktavianus, Dominggus, “Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran”,www.indoprogress.blogspot.com., diakses pada 20 Mei 2007.
183 Basri, Faisal, “Kemelut Industri dan Langkah Penanganannya”, Kompas, edisi 17 Maret2003.
138
3.1 Perubahan Teori Pembangunan “International Division of Labor”
Dorongan untuk melaksanakan program industrialisasi oleh negara-negara
dunia ketiga, diakibatkan berakhirnya “rezim” teori pembangunan: Internastional
Division Labor atau yang lazim dijuluki teori Pembagian Kerja Internasional.
Teori Pembagian Kerja Internasional yang didasarkan pada konsepsi keunggulan
komparatif memberikan kerangka pemikiran untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dengan menekankan kepada masing-masing negara agar melakukan
spesialisasi produk berdasarkan pada kondisi alam masing-masing. Untuk negara
beriklim tropis, yang cocok untuk pertanian, ditekankan untuk melakukan
spesialisasi pada produk pertanian. Sedangkan untuk negara non-tropis,
spesialisasi produknya adalah hasil industri. Hal ini sebagaimana ungkapan Arief
Budiman:
Kalau negara-negara utara bergerak dibidang pertanian, sedangkan negara-negara yang terletak di khatulistiwa bergerak dibidang industri, ongkosproduksinya akan lebih mahal. Hal ini disebabkan karena dibutuhkaninvestasi dibidang industri bagi negara-negara di khatulistiwa, dandibutuhkan investasi untuk menyuburkan tanah dan melawan musim dinginbagi negara-negara utara.184
Menurut Teori Pembagian Kerja Internasional ini, dengan adanya
spesialisasi pada masing-masing negara, perdagangan internasional akan saling
menguntungkan masing-masing negara. Negara-negara non-tropis (negara-negara
utara) akan mendapatkan produk pertanian secara lebih murah daripada
memproduksi sendiri, begitu juga negara-negara tropis (negara-negara yang
berada di sekitar garis khatulistiwa), akan dapat membeli barang-barang industri
184 Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, halaman 16
139
secara lebih murah. 185 Sehingga pada akhirnya, kesejahteraan akan tercapai,
karena rakyat pada masing-masing negara tersebut dapat menikmati barang-
barang dengan harga relatif murah.
Namun, asumsi yang dibangun oleh Teori Pembagian Kerja Internasional
tersebut didasarkan pada sebuah kondisi di mana perdagangan bebas terjadi.
Sehingga apabila ditinjau dari neraca perdagangan antara negara industri dan
negara pertanian, kenyataan yang dilahirkan dari teori tersebut kemudian adalah
penampakan menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri dibidang
industri; negara-negara yang menspesialisasikan pada bidang industri
meninggalkan negara-negara pertanian.
Terhadap kenyataan ini, banyak tokoh dan teori yang dikembangkan
kemudian yang berusaha menjelaskan mengapa Teori Pembagian Kerja
Internasional gagal menjawab persoalan dan menyebabkan negara-negara
pertanian tertinggal dengan negara-negara industri. Salah satu teori yang berusaha
memberi penjelasan atas fenomena ketertinggalan negara pertanian dengan negara
industri adalah Teori Ketergantungan dengan Raul Prebisch 186 sebagai salah
seorang pemikirnya.
Menurut Prebisch, sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman, kegagalan
konsepsi yang dibangun dalam teori pembagian kerja internasional untuk
185 Ibid.186 Raul Prebisch dianggap sebagai pencetus pertama Teori Ketergantungan melalui
karyanya yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal Problemsyang diterbitkan pada tahun 1950 dan kemudian dikenal sebagai Manifesto ECLA. Raul Prebischmembagi negara-negara di dunia ke dalam dua kategori: negara–negara pusat, yaitu negara-negaraspesialisasi industri, dan negara-negara pinggiran, yaitu negara-negara yang mempunyaispesialisasi bidang pertanian.
(lihat: Ibid. halaman 44-45)
140
mewujudkan perdagangan antar negara yang saling menguntungkan antara negara
industri dan negara pertanian, adalah karena tidak memperhitungkan atau
memprediksikan penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap barang-
barang produk industri187. Oleh Prebisch, penurunan nilai tukar hasil pertanian
terhadap produk industri dijelaskan sebagai akibat dari: permintaan terhadap
produk pertanian tidak elastis. Dalam hal ini teori yang dibangun Engels mampu
memberi penjelasan yang memadai dengan menyatakan bahwa pendapatan yang
meningkat menyebabkan prosentase konsumsi makanan terhadap pendapatan
justru menurun; pendapatan yang naik bukan menaikkan tingkat konsumsi untuk
makanan, melainkan menaikkan konsumsi produk industri.188
Konsekuensi ekonomis yang ada dari faktor ini kemudian adalah anggaran
yang digunakan untuk mengimpor barang produk industri oleh negara-negara
pertanian akan semakin besar, sedangkan pendapatan dari hasil ekspor kepada
negara-negara industri relatif tetap dan bahkan menurun. Penurunan pendapatan
ekspor negara-negara pertanian diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang dicapai oleh negara-negara industri, telah memudahkan negara
yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas sektor pertanian dalam negeri
mereka.
Atas dasar analisisnya ini, Raul Prebisch kemudian melontarkan pendapat
bahwa negara-negara pertanian dan negara-negara dunia ketiga lainnya harus
melakukan industrialisasi apabila mau membangun dirinya dan mengejar
187 Ibid.188 Ibid.
141
ketertinggalannya dengan negara-negara maju.189 Namun tentu tidak mudah bagi
negara-negara pertanian untuk beralih pada bidang industri. Banyak kendala yang
sifatnya kultural maupun struktural dalam rangka menuju industrialisasi. Pada
tataran ini, kecenderungan atas pilihan yang diambil oleh negara-negara pertanian,
yang kini umumnya disebut sebagai negara-negara berkembang atau negara-
negara dunia ketiga, adalah mengandalkan modal dan investasi yang berasal dari
negara-negara industri maju.
Pilihan alternatif selain dari menggabungkan diri dengan gerak kapitalis
internasional―kapitalis yang berasal dari negara-negara industri maju, yaitu
membangun kekuatan produksi (industrialisasi) sendiri, meskipun secara teoritis
memungkinkan, namun hal itu sangat sukar untuk dikembangkan. Kendala utama
yang dihadapi apabila hendak membangun kekuatan produksi sendiri bagi negara-
negara dunia ketiga adalah membutuhkan modal yang sangat besar dan teknologi
yang memadai serta harus berjuang keras untuk mendapatkan pangsa pasar dunia
pada saat pasar dunia sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional190
yang berasal dari negara-negara maju.
Dengan demikian, bagi negara-negara berkembang dan negara-negara dunia
ketiga lainnya, hal yang memungkinkan untuk diambil dalam rangka
menggerakkan roda pembangunan dalam negeri adalah melakukan perubahan
kebijakan dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian terbuka. Serta
melakukan deregulasi pada sektor finansial guna menampung aliran modal dari
negara-negara maju yang masuk dalam bentuk utang dan penanaman investasi.
189 Ibid.190 Ibid.
142
Sedangkan pada tataran praksisnya ialah mengaitkan sektor ekonomi dengan
operasi modal asing melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan
multinasional (Multi National Corporations―MNCs) dan perusahaan-perusahaan
trans-nasional (Trans National Corporations―TNCs).191
Sebagai konsekuensi atas bergantungnya pada modal asing, industri-industri
yang dikembangkan melalui program industrialisasi tidak memiliki landasan
kemandirian. Sebagai akibatnya, pemerintah dari negara-negara dunia ketiga
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dan menjaga
kelangsungan operasi modal asing di negara yang bersangkutan. Dengan
demikian, gerak modal internasional yang fleksibel telah menempatkan modal
memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik ketika berhadapan dengan negara
yang tidak bergerak dan tenaga kerja nasional yang statis.192
Dengan menggunakan analisis yang dikembangkan oleh Fred Block,
seorang intelektual penganut teori struktural yang memberi perhatian tentang
eksistensi negara dan keterkaitannya dengan kapitalisme, yang menyatakan,
sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman, bahwa negara dalam sistem kapitalisme
hanya bisa membiayai program-program dan kebijakan-kebijakannya kalau ada
pemasukan yang cukup dari pajak yang terutama di dapat dari sebagian laba yang
diciptakan oleh kaum borjuis. 193 Maka dalam kondisi seperti ini, negara
disyaratkan mampu menciptakan suasana bisnis yang baik (business confidence),
yang salah satunya adalah kondisi di mana upah buruh dapat ditekan serendah
191 Ibid.192 Hadiz, Vedi R., Op. Cit.193 Budiman, Arief, Op. Cit.
143
mungkin tetapi tidak mengakibatkan pemogokan atau bentuk-bentuk resistensi
buruh lainnya yang dapat menghambat produksi194. Alat untuk mencapai salah
satu diantara beberapa prasyarat terwujudnya kondisi perburuhan yang
menguntungkan bagi terciptanya business confidence adalah melalui penerapan
kebijakan upah minimum.
3.2 New International Division of Labor
Dari situasi semacam itu, pelaku perdagangan internasional berubah dari
perdagangan antar negara menjadi perdagangan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan multinasional dan trans-nasional. Pandangan lama yang menyatakan
bahwa persaingan perdagangan internasional merupakan persaingan antar negara,
telah mengalami pergeseran. Bergesernya pelaku persaingan dalam perdagangan
internasional dari negara menjadi perusahaan-perusahaan multinasional dan
perusahaan trans-nasional, membawa implikasi tertentu. Faktor produksi yang
semula dilakukan secara terintegrasi pada suatu negara, berkembang dan tersebar
diseluruh dunia, melewati batas-batas negara guna mencapai efisiensi dan
keuntungan yang maksimal. Globalisasi produksi kemudian menjadi sesuatu yang
tidak terelakkan.
Globalisasi produksi mencakup penyebaran kegiatan produksi ke lokasi-
lokasi yang dianggap paling menguntungkan di seluruh dunia dengan tetap dapat
mengendalikan proses produksi dari suatu tempat pengendalian. Sehingga negara-
negara berkembang pun muncul menjadi pusat-pusat produksi dalam
194 Lihat: Budiman, Arief, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi), GramediaPustaka Utama, Jakarta, halaman 68-69
144
industrialisasi dewasa ini, menggantikan sebagian peran dari negara-negara
industri maju pada periode sebelumnya. Penyebab utama negara berkembang
menjadi pusat produksi baru adalah tersedianya tenaga kerja yang melimpah
dengan upah yang rendah serta bersedia melakukan pekerjaan dalam kondisi
apapun.195
Globalisasi produksi ini salah satunya dipicu oleh perkembangan teknologi
yang berhasil dicapai manusia. Penemuan dan inovasi baru dibidang teknologi,
terutama teknologi komunikasi, telah memberi kemudahan kepada para pelaku
ekonomi internasional untuk melakukan koordinasi dalam hal melakukan kegiatan
ekonomi dan produksi yang berada pada wilayah lain.
Kendati negara-negara berkembang menggantikan peran yang sebelumnya
dipegang oleh negara-negara industri maju, yaitu sebagai basis produksi, akan
tetapi kegiatan produksi tersebut tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh negara
tempat produksi dilakukan. Kontrol terhadap kegiatan produksi tetap dipegang
sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan trans-nasional yang
tetap menempatkan induk perusahaannya di negara-negara maju.
Demikian juga terhadap keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan produksi
di negara-negara berkembang, sebagian besar laba yang diperoleh dibawa oleh
perusahaan yang besangkutan kembali ke negara-negara maju tempat induk
perusahaan multinasional atau trans-nasional berdomisili. Sehingga pada
kenyataannya, kondisi umum dan kesejahteraan masyarakat negara-negara
berkembang yang menjadi tempat basis produksi tidak mengalami perbaikan yang
195 Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., “Modal Bergerak, Serikat Terserak:Perubahan Situasi Perburuhan dan Tantangan Gerakan Buruh di Indonesia”, Jurnal AnalisisSosial, Volume 10 No. 1 Juni 2005, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 72.
145
berarti. Jikapun mengalami perbaikan, hal itu sifatnya semu, karena semuanya
bergantung pada kehendak dari perusahaan-perusahaan multinasional dan trans-
nasional yang memiliki pabrik atau memberikan order produksi kepada
perusahaan-perusahaan domestik negara-negara berkembang.
Fenomena ini sebenarnya terjadi tidak dapat dilepaskan dari diperbaruinya
konsep atau model pembagian kerja internasional. Jika pada teori model
pembagian kerja internasional lama untuk menghasilkan produk yang murah
produksi harus dilakukan secara spesialisasi menurut kondisi geografisnya
(keadaan alam), maka pada masa sekarang ini tidak demikian konsepsi yang
dianut. Hal yang berlaku adalah produksi harus dilakukan di daerah (negara) yang
secara perhitungan matematis-bisnis biaya produksinya rendah, yaitu daerah
surplus tenaga kerja di mana persaingan antar buruh maupun antara buruh dan
para pencari kerja tajam sehingga tingkat upah dapat ditekan serendah mungkin,
organisasi buruh tidak terlalu kuat, gerakan konsumen dan gerakan lingkungan
masih lemah. 196 Oleh karena itu disebut dengan model pembagian kerja
internasional baru (new international division of labor).
Perubahan dalam hal restruktuisasi dan reorganisasi produksi yang sedang
terjadi sekarang pada intinya untuk tetap menjaga tercapainya elemen-elemen
kunci kapitalisme, yakni tujuan keuntungan, akumulasi, perluasan produksi,
sirkulasi hingga akhirnya perluasan pasar.197 Dalam kerangka kerja kapitalisme,
196 Thamrin, Juni, “Upah, Tingkat Hidup dan Kondisi Kerja Buruh Industri Manufaktur PadaMasa Orde Baru”, dalam: Wibawa, Aris (penyunting), 1998, Menuju Hubungan PerburuhanDemokratik, Lapera-Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, halaman 44.
197 Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., Op. Cit. halaman 71-72
146
modal ditujukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Gerak
modal dan investasi akan selalu menuju pada wilayah atau daerah yang paling
cepat dan paling menguntungkan untuk mendulang laba sebanyak-banyaknya.
Sehingga tidak mengherankan apabila perusahaan-perusahaan multinasional
mempunyai tempat atau basis produksi di banyak tempat. Dengan membuka
pabrik di negara-negara berkembang, perusahaan-perusahaan multinasional dan
trans-nasional berikhtiar membuka dan merebut pasar di negara yang
bersangkutan dan negara-negara sekelilingnya serta pasar internasional secara
umum.
Konsep New International Division of Labor menjelaskan berbagai cara
pengorganisasian proses produksi secara global, yang melahirkan pembagian
peran negara-negara kaya sebagai pemilik modal dan negara-negara miskin
sebagai penyedia tenaga kerja murah. 198 Selain itu, konsep Pembagian Kerja
Internasional Baru semakin menegaskan bahwa kelangsungan hidup dan
kemampuan perusahaan untuk mencapai akumulasi modal serta mencapai
keuntungan dalam sistem ekonomi pasar hanya dapat dijamin melalui relokasi
produksi ke lokasi industri baru yang buruhnya murah, melimpah dan mudah
diatur.199 Dengan demikian, konsep ataupun model Pembagian Kerja Internasional
Baru pada dasarnya semakin membuktikan bahwa watak pelaku ekonomi dalam
sistem ekonomi pasar tidak pernah berubah, yaitu mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dan memperkecil resiko.200
198 Ibid. halaman 72.199 Ibid. halaman 73.200 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 94.
147
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Upah Minimum
1. Tujuan Kebijakan Upah Minimum
Intervensi negara yang berwujud aneka kebijakan tidak lain adalah bentuk
campur tangan secara langsung dalam struktur maupun mekanisme pasar tenaga
kerja. 201 Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka
intervensi langsung terhadap pasar tenaga kerja dan hubungan industrial, secara
formal-normatif bertujuan untuk melindungi buruh dari eksploitasi yang
berlebihan serta untuk mengangkat kesejahteraan buruh. Demikian juga dalam hal
diterapkannya kebijakan upah minimum.
Upah minimum merupakan salah satu materi yang penuh muatan politis
dalam kebijakan tenaga kerja. Di banyak negara, kebijakan upah minimum
digunakan oleh pemerintah setempat untuk tujuan-tujuan membuat kebijakan
ekonomi dan kebijakan sosial.
Upah minimum dianggap sebagai salah satu alat kebijakan sosial pentingdan dampak-dampak potensialnya terhadap pengentasan kemiskinan ataupengurangan jumlah penduduk miskin dan ketidakseragaman dalampembayaran upah seringkali disebut-sebut sebagai alasan-alasan pentingbagi pemberlakuan kebijakan ketentuan upah minimum dan penerapannyasecara efektif.202
Sebagai sebuah kebijakan sosial-ekonomi, kebijakan upah minimum
setidaknya mempunyai 4 (empat) peranan dasar, yaitu:
a. Memberikan perlindungan bagi sejumlah kecil pekerja/buruh
berpenghasilan rendah yang dianggap rentan dalam pasar kerja;
201 Thamrin, Juni, Op. Cit.202 Das, Maitreyi Bordia, 2004, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Pasar Tenaga
Kerja: Kasus Timor-Leste Dalam Perspektif Komparatif, Bank Dunia-Timor Leste, Dili, hal 9.
148
b. Menjamin pembayaran upah yang dianggap wajar, yang tidak terbatas
pada kategori pembayaran upah terendah;
c. Memberikan perlindungan dasar pada struktur upah sehingga merupakan
jaring pengaman terhadap upah yang terlalu rendah;
d. Sebagai instrumen kebijakan makro-ekonomis untuk mencapai tujuan
nasional berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, serta pemerataan
penghasilan.
Dari berbagai praktek penerapan kebijakan upah minimum di negara-negara
di dunia, terdapat 4 (empat) pola dasar mekanisme dan prosedur yang digunakan
untuk menetapkan ketentuan upah minimum, yaitu203:
a. Mekanisme di mana keputusan kunci dilakukan oleh legislator; tingkat
upah minimum ditetapkan melalui proses legislasi, yaitu dicantumkan
dalam UU.
b. Keputusan pemerintah (eksekutif).
Dalam hal ini pemerintah (eksekutif) berdasar suatu peraturan hukum
(undang-undang) diberi kekuasaan untuk menetapkan tingkat upah
minimum & ruang lingkupnya. Upah minimum ditetapkan melalui
instruksi, peraturan, atau keputusan. Pada prakteknya seringkali
pemerintah berkewajiban melakukan konsultasi lebih dahulu dengan
lembaga konsultatif Tripartit.
203 ILO, Op. Cit., halaman 77-81; Rachman, Hassanudin, “Kebijakan Penetapan UMP DKIJakarta Sebagai Sarana Terciptanya Stabilitas Dalam Hubungan Industrial Sesuai KemampuanPerusahaan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta”, makalah pada seminar Pengaruh PengupahanSebagai Langkah Strategi Stabilitas Dalam Hubungan Industrial, Jakarta, 7 April 2005.
149
c. Keputusan oleh suatu dewan dengan kekuasaan memberi rekomendasi
dan/atau mendelegasikan tugas persiapan ketentuan upah minimum
kepada lembaga-lembaga yang dibentuk, yang berfungsi:
1) Merekomendasi tingkat upah minimum yang akan diputuskan
pemerintah;
2) Menetapkan tingkat upah minimum yang dapat dimodifikasi
pemerintah;
3) Pemerintah tidak bisa mengubah usulan ketentuan besaran upah
minimum yang dibuat oleh dewan, melainkan hanya bisa menerima
atau menolak usulan dewan tersebut.
4) Dewan di beri wewenang mengeluarkan keputusan upah minimum,
sambil menunggu pengesahan pemerintah.
d. Keputusan oleh dewan dengan kewenangan pembuatan keputusan final.
Dewan diberi tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk
mempersiapkan proposal upah minimum serta menetapkan tingkat
minimum, dan aspek-aspek lain dari kebijakan pengupahan.
Dari 4 (empat) pola dasar mekanisme dan prosedur yang digunakan untuk
menetapkan ketentuan upah minimum tersebut di atas, Indonesia menggunakan
mekanisme pengambilan keputusan oleh eksekutif (pemerintah) dengan tambahan
bahwa di dalam menetapkan upah minimum harus mempertimbangkan usulan dari
lembaga non-struktural yang sifatnya tripartit. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 89
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
150
menyebutkan, “Upah Minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota”
2. Kebijakan Upah Minimum Sebagai Sarana Politik Upah Murah
Menurut Pemerintah Indonesia, pelaksanaan dan penerapan ketentuan upah
minimum dalam bidang kebijakan pengupahan di sektor hubungan industrial
bertujuan untuk:
1). untuk menghindari dan/atau mengurangi persaingan yang tidak sehat
antar karyawan/pekerja;
2). untuk menghindari atau mengurangi eksploitasi terhadap buruh oleh
pengusaha;
3). Sebagai jaring pengaman sosial (safety net) untuk menjamin
terpenuhinya kebutuhan hidup;
4). Untuk menghindari atau mengurangi kemiskinan dan kesenjangan
penghasilan;
5). Untuk mendorong peningkatan produktivitas dan motivasi kerja;
6). Untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja; dan
7). Untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih aman dan
harmonis.
Pelaksanaan kebijakan upah minimum di Indonesia memang sedikit
menolong kaum buruh dari eksploitasi yang berlebihan oleh para pemilik modal
dan alat produksi. Namun demikian, sisi lain dari kebijakan upah minimum
151
tersebut tetap berada dalam kerangka politik upah murah. Kebijakan upah
minimum diterapkan untuk memperhalus praktek-praktek eksploitasi terhadap
buruh secara vulgar dan sistematis serta diharapkan dapat meredam resistensi
buruh. Pengalaman sejarah yang terjadi di Eropa dan negara-negara maju lainnya
memberikan kesadaran kepada Indonesia bahwa pesatnya proses industrialisasi
yang dicapai Indonesia dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara
dalam beberapa dasawarsa lalu, mempunyai potensi menyediakan banyak kondisi
yang potensial bagi tumbuhnya kelas buruh beserta organisasi buruh radikal, yang
mana hal itu dapat mengancam stabilitas sosial politik dan mengancam
kepentingan penguasa.
Apabila kebijakan upah minimum tidak diterapkan, dikhawatirkan dapat
melahirkan gerakan buruh yang radikal dan kuat sehingga akan mendorong
terwujudnya upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Dan, jika hal ini sampai
terjadi dikhawatirkan akan dapat menghambat masuknya investasi. Melalui
kebijakan upah minimum, upah buruh tetap dapat dikontrol dan dibatasi. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memperhatikan kondisi ekonomi politik secara
keseluruhan dan kenyataan tidak diikutsertakannya buruh secara partisipatoris
yang sungguh-sungguh partisipatif dalam penentuan upah minimum.
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa hampir tiap tahun di semua daerah,
penetapan upah minimum selalu diwarnai penolakan oleh kalangan buruh.
Fenomena ini adalah bukti bahwa dalam penentuan upah minimum mekanisme
yang tersedia tidak memberikan ruang partisipasi yang luas untuk kalangan buruh.
Penetapan besaran upah minimum merupakan kewenangan pemerintah yang pada
152
praksisnya lebih mengakomodasi kepentingan dan aspirasi para pemilik modal
serta miskin partisipasi yang sungguh-sungguh dari pihak buruh.
3. Kebijakan Upah Minimum di Era Kebebasan Berserikat: Lanjutan
dari Politik Upah Murah
Kebijakan upah minimum sebagai alat politik upah murah masih tetap
berlaku hingga masa sekarang. Meskipun telah lahir kebijakan kebebasan
berserikat yang mengakomodasi eksistensi serikat buruh/serikat pekerja baru,
yang salah satunya bertujuan agar buruh dapat memperjuangkan peningkatan
kesejahteraan, tidak otomatis terbuka ruang bagi serikat buruh/serikat pekerja
untuk terlibat dalam institusi pengupahan pada konteks perumusan besaran upah
minimum.204
Sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa tumbangnya rezim Orde Baru
melalui gerakan reformasi yang kemudian diikuti dengan demokratisasi politik,
turut membawa dampak dalam bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Berakhirnya rezim Orde Baru dibarengi dengan menguatnya tuntutan buruh atas
kebebasan berserikat, sehingga politik organisasi buruh tunggal diakhiri pada
tahun 2000 dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Buruh/Pekerja. Akan tetapi, kebebasan berserikat yang baru muncul ini tidak
dibarengi dengan perubahan dalam tataran regulasi mengenai penetapan upah
minimum. Kebebasan berserikat yang diikuti munculnya banyak serikat buruh di
luar SPSI, tidak disertai dengan mekanisme yang memberi kebebasan yang lebih
204 Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, Op. Cit., halaman 16.
153
luas bagi buruh untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Penetapan upah
minimum hingga sekarang ini masih tetap menjadi kewenangan pemerintah,
hanya saja tidak dilakukan oleh menteri seperti halnya pada era Orde Baru, tetapi
menjadi kewenangan gubernur.
Kebebasan buruh untuk berserikat dan mendirikan serikat buruh baru, tidak
secara langsung memberikan kesempatan kepada buruh untuk turut memberikan
andil secara partisipatif dalam hal atau urusan yang berkaitan dengan
kesejahteraan buruh sendiri. Dari beberapa studi empiris yang ada tentang
keterlibatan serikat buruh baru di luar SPSI dalam soal pembuatan rekomendasi
besaran upah minimum di dewan pengupahan daerah memberikan petunjuk
bahwa adanya kebebasan bagi buruh untuk membentuk serikat buruh di luar SPSI
yang dituangkan dalam peraturan perundangan tidak serta merta membuka
peluang bagi serikat buruh baru tersebut untuk membuktikan eksistensinya.
Dengan kata lain, meskipun negara telah mengatur kebebasan berserikat bagi
buruh dan komposisi tripartit yang disyaratkan dalam institusi pengupahan tidak
otomatis memberikan kesempatan kepada unsur serikat buruh selain SPSI untuk
menempatkan perwakilannya dalam institusi pengupahan.205
Dalam hal serikat buruh di luar SPSI ingin melibatkan diri dalam institusi
pengupahan, dalam banyak kasus, serikat buruh tersebut harus mengajukan
tuntutan terlebih dahulu kepada gubernur dan/atau bupati/walikota. Selain itu,
karena institusi pengupahan merupakan salah satu lembaga hubungan industrial,
maka serikat buruh yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan yang
205 Ibid.
154
ditentukan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tentang
Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, yaitu harus telah melalui
dan lolos verifikasi oleh Disnaker sebagaimana diatur oleh pasal 18.
Persoalannya, kewajiban untuk memenuhi persyaratan tersebut, yaitu harus
melalui dan lolos proses verifikasi terlebih dahulu, yang dibebankan kepada
serikat buruh yang hendak dan ingin terlibat dalam institusi pengupahan, secara
tidak langsung merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berserikat itu
sendiri. Selain itu, ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut
mengandung ketidakadilan, yaitu yang menurut Puspitaningrum 206 antara lain
ialah:
a. Apabila persyaratan yang diberlakukan kepada serikat buruh tersebut
diperbandingkan dengan persyaratan yang berlaku bagi organisasi
pengusaha, terlihat bahwa pemerintah lebih memberikan kelonggaran
kepada organisasi pengusaha untuk dapat duduk dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial.
Menurut Kepmennakertrans No. 201 Tahun 2001, untuk dapat duduk
dalam Kelembagaan Hubungan Industrial:
1) Tingkat kabupaten/kota, sebuah serikat buruh harus:
a). mempunyai sekurang-kurangnya 10 unit kerja/serikat
buruh/serikat pekerja di kabupaten/kota setempat (Pasal 3
huruf a); atau
206 Ibid.
155
b). mempunyai sekurang-kurangnya 2500 anggota pekerja/buruh
di kabupaten/kota yang setempat (Pasal 3 huruf b).
Sedangkan bagi organisasi pengusaha, harus mempunyai jumlah
anggota sekurang-kurangnya 10 perusahaan di kabupaten/kota yang
bersangkutan (Pasal 10).
2) Sementara itu, untuk dapat duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial tingkat propinsi, serikat buruh harus:
a). mempunyai jumlah kepengurusan kabupaten/kota sekurang-
kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada di
propinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi
yang bersangkutan (Pasal 4 huruf a); atau
b). mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit kerja/serikat
pekerja/serikat buruh di propinsi yang bersangkutan (Pasal 4
huruf b); atau
c). mempunyai sekurang-kurangnya 5.000 peserta/buruh di
propinsi yang bersangkutan (Pasal 4 huruf c).
Sedangkan untuk organisasi pengusaha, persyaratan yang
dibebankan ialah harus:
a). mempunyai jumlah kepengurusan kabupaten/kota sekurang-
kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada di
propinsi dan salah satunya berkedudukan di ibukota propinsi
yang bersangkutan (Pasal 11 huruf a); atau
156
b). mempunyai anggota sekurang-kurangnya 100 perusahaan di
propinsi yang bersangkutan (Pasal 11 huruf b).
Dari uraian di atas nampak bahwa persyaratan yang berlaku bagi
organisasi pengusaha lebih longgar, yaitu untuk dapat duduk dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat kabupaten/kota organisasi
pengusaha cukup dengan memiliki anggota minimal 10 perusahaan tanpa
harus memperhitungkan batas minimal jumlah buruh yang dipekerjakan
oleh perusahaan tersebut.
b. Persyaratan memiliki jumlah anggota minimal 2500 buruh atau setara
dengan 10 serikat buruh dalam satu kabupaten/kota, merupakan bentuk
tersendiri dari perlakuan yang tidak adil kepada buruh.
Ketentuan pasal 3 Kepmennakertrans No. 201 Tahun 2001 yang
mewajibkan serikat buruh untuk memiliki anggota minimal 2500 buruh
atau setara dengan 10 serikat buruh dalam satu kabupaten/kota, jika
dikaitkan dengan ketentuan pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 01 Tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226
Tahun 2000, memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai
rasionalisasi yang kuat atas penetapan angka dari jumlah anggota yang
harus dimiliki oleh serikat buruh untuk dapat menempatkan wakilnya
dalam institusi pengupahan.
Ketidakadilan dalam konteks ini ialah rasio beban yang diberikan
pemerintah kepada buruh (organisasi/serikat buruh) untuk dapat
menempatkan wakilnya dalam institusi pengupahan dengan kewajiban
157
yang diberikan kepada pengusaha yang mempekerjakan buruh sampai
dengan 100 (seratus) orang apabila tidak mampu memenuhi ketentuan
upah minimum.
Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 jo.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 menyebutkan
bahwa pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan upah
minimum dan mempekerjakan buruh sampai dengan 100 (seratus) orang,
dalam hal mengajukan penangguhan upah minimum pengusaha yang
bersangkutan:
1) Tidak diwajibkan untuk menyertakan salinan akta pendirian
perusahaan; dan
2) Tidak diwajibkan untuk menyertakan laporan keuangan perusahaan
yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-
penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
3) Dibebaskan dari audit yang dilakukan oleh akuntan publik terhadap
keadaan keuangan perusahaan.
Pada pasal ini terlihat dengan jelas bahwa pemerintah memberikan
kelonggaran kepada pengusaha yang mempekerjakan buruh sampai
dengan jumlah 100 (seratus) orang untuk tidak memenuhi persyaratan
yang secara normatif diperlukan dalam hal mengajukan permohonan
penangguhan upah minimum. Padahal apabila melihat ketentuan pasal 10
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, yang mana tidak
memberikan batasan tentang jumlah pekerja yang harus dimiliki oleh suatu
158
perusahaan agar dapat ikut dalam organisasi pengusaha yang dapat duduk
dalam institusi pengupahan, pengusaha atau perusahaan yang dimaksud
dalam pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun
1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 dapat saja
duduk dalam institusi pengupahan
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi
sebagian besar hanya menyangkut atau menyentuh tataran luar yang sifatnya
parsial dalam soal hubungan industrial dan tidak menyangkut perubahan nasib
buruh yang substansial dalam hubungan industrial. Buruh tetap menjadi subyek
eksploitasi.
3.1 “Negara Bonapartis”
Fenomena kebebasan berserikat dalam keterkaitannya dengan keberadaan
praktek-praktek eksploitasi terhadap buruh, mungkin dapat dipahami dengan
sedikit lebih jelas menggunakan pembahasan Karl Marx tentang konflik antara
kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum buruh yang terjadi di Perancis sewaktu di
bawah Napoleon Bonaparte. Pembahasan Karl Marx di dalam tulisannya berjudul
asli Der Achtzente Brumaire des Louis Bonaparte yang diterbitkan pada tahun
1885, dan oleh Frederick Angels kemudian diterjemahkan dengan judul The
Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, pada masa berikutnya lebih dikenal
dengan istilah “Negara Bonapartis”.
Perancis pada saat itu sudah merupakan sebuah negara kapitalis di mana
kelas borjuis merupakan kelas yang dominan dalam masyarakat, namun pada
159
waktu konflik tersebut meletus, negara mengeluarkan keputusan-keputusan yang
menguntungkan kaum buruh. Dalam sistem dan logika kapitalisme, fenomena ini
bisa jadi merupakan anti-tesis.
Kondisi yang terjadi di Perancis tersebut, menurut Marx, disebabkan oleh
perbedaan keadaan yang telah dilalui oleh antara kaum buruh dan kaum borjuis.
Kaum buruh pada waktu itu sudah berhasil mengorganisir diri dengan baik dan
solid, sedangkan kaum borjuis sebaliknya, yaitu masih lemah.207 Kalau pada saat
konflik antara kaum buruh dan kaum borjuis tersebut meletus, negara mengambil
kebijakan yang berpihak kepada kaum borjuis, ada kemungkinan terjadi revolusi
sosial yang dapat membahayakan kehidupan negara dan sistem kapitalis di
Perancis pada masa-masa kemudian. Agar negara kapitalis beserta sistemnya
dapat dipertahankan untuk jangka waktu ke depan, tidak ada pilihan alternatif
selain mengabulkan tuntutan kaum buruh dan melakukan moratorium kepentingan
kaum borjuis, demi kepentingan jangka panjang untuk menyelamatkan sistem
kapitalis itu sendiri. 208 Dengan kalimat lain, persoalan akan fenomena negara
kapitalis yang kemudian mau berpihak kepada kaum buruh, oleh Marx dijelaskan
sebagai strategi negara untuk mempertahankan kapitalisme dalam jangka panjang
ke depan.
Oleh karena itu, dengan mengingat bahwa kaum buruh tetap menjadi subyek
yang tereksploitasi, maka terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dapat
dibaca sebagai tindakan antisipasi dari kalangan yang berpaham kapitalisme untuk
menyelamatkan model negara korporatis. Sebagaimana telah jamak diketahui,
207 Budiman, Arief, 1996, Op. Cit., halaman 49.208 Ibid.
160
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 merupakan salah satu dari tiga paket undang-
undang reformasi perburuhan lainnya, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 jika dilihat dari substansi materi yang
dimuatnya, memang mencerminkan langkah yang progresif. Akan tetapi jika
dikaitkan dengan sejumlah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka akan terlihat bahwa
ketentuan di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 sukar untuk
diimplementasikan secara konsisten. Hak-hak yang dipunyai serikat buruh
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dikebiri.
Bahkan lebih dari itu, oleh sebagian pihak keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 di
antara UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004 dicurigai berpotensi
melemahkan kekuatan buruh, karena menyebabkan fragmentasi kekuatan buruh.
Sebagai contoh ialah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. 201/Kep-Men/2001 Tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial merupakan peraturan yang tidak realistik dan cenderung mereduksi
kebebasan berserikat. Menurut Makinuddin, peraturan menteri ini mempunyai
beberapa implikasi sebagaimana berikut ini:
Pertama, peraturan menteri ini mempunyai indikasi kuat mereduksisubstansi UU No. 21 Tahun 2000 yang menjamin kebebasan berserikat danberorganisasi. Syarat yang terdapat dalam peraturan menteri tersebut adalahsuatu keadaan yang sulit diusahakan oleh serikat buruh yang relatif baruberdiri. Serikat buruh yang tidak dapat memenuhi syarat keterwakilan dilembaga tripartit bukan saja akan kehilangan eksistensinya sebagaiorganisasi buruh, tetapi bukan tidak mungkin akan ditinggalkan buruh.Buruh akan (cenderung) memilih organisasi yang mempunyai wakil di
161
lembaga tripartit karena dengan begitu aspirasi mereka dapat didengar.Situasi ini hanya akan menguntungkan serikat buruh yang telah berdiri sejakOrde Baru berkuasa dan “membunuh” serikat buruh yang relatif barudidirikan.
Kedua, bagi gerakan buruh, peraturan ini tentu saja tidak menguntungkan.Polarisasi buruh yang cenderung tajam dan gagasan keterwakilan dengansyarat yang tidak masuk akal tersebut bukan tidak mungkin akan membuatgerakan buruh terperosok dalam fragmentasi akut. Polarisasi buruh yangberakar dari variasi ideologi, orientasi, kepentingan, dan partisipasi politikakan semakin tajam dalam persaingan memperebutkan massa buruh. Kesankuat yang ditampilkan fenomena ini adalah upaya menekan munculnyasoliditas dan progresifitas gerakan buruh yang potensial dibawa serikatburuh baru209.
Gencarnya gerakan reformasi yang diikuti oleh tumbangnya rezim
diktatorial-otoritarian Orde Baru pada tahun 1998, dipandang mempunyai potensi
membangkitkan buruh―yang selama kurang lebih tiga dekade mengalami
penindasan dan eksploitasi yang massif dan sistematis dalam skala besar-besaran
hampir disemua sisi hubungan industrial―untuk mengadakan gerakan yang
radikal. Gerakan buruh yang radikal dapat membahayakan keberlangsungan gerak
kapitalisme dan program industrialisasi kapitalis di Indonesia. Oleh karenanya,
keadaan yang memberikan peluang munculnya radikalisasi gerakan buruh harus
diantisipasi sedemikian rupa melalui kebijakan yang pro-buruh, tetapi tetap juga
mampu melayani kepentingan borjuasi, agar potensi tersebut tidak menjadi
kenyataan.
Selain itu keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 itu sendiri, menurut Indrasari
Tjandraningsih, merupakan kebijakan yang ditujukan sebagai alat promosi bahwa
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk
209 Al-Hambra, Makinnuddin, “Polarisasi (Gerakan) Buruh: Momentum Negara untukMenekan Upah”, Jurnal Analisis Sosial, Volumen 7, No. 1 Februari 2002, AKATIGA Bandung,halaman 45-46.
162
mewujudkan demokratisasi. Hal ini terjadi karena pada masa diterbitkannya UU
No. 21 Tahun 2000, Indonesia banyak mendapatkan sorotan terkait masalah
demokrasi dan tuntutan agar segera memperluas demokratisasi diberbagai
sektor210.
Bagi kalangan borjuasi di Indonesia, dibukanya keran kebebasan berserikat
melalui UU No. 21 Tahun 2000, sebelumnya sudah diperhitungkan bahwa dalam
jangka waktu yang pendek tidak akan mampu melahirkan gerakan buruh yang
radikal dan terorganisasi, bahkan sebaliknya, justru dapat menghambat
radikalisasi gerakan buruh. Sebagaimana diketahui, pada masa kekuasaan Orde
Baru, tradisi politik keserikatburuhan berusaha dihancurkan dan dikubur dalam-
dalam sebagai buntut dari penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1965. Sehingga jika pun kemudian kebebasan berserikat diatur dan
dilindungi secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetap tidak mudah
bagi buruh untuk membangun tradisi keserikatburuhan yang selama ini “hilang”
atau melahirkan serikat buruh yang kuat.
Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menangah kota,juga kepentingan kaum pemilik tanah kota dan desa setelah tahun 1965mengakibatkan lenyapnya tradisi politik keserikatburuhan, dan warisan initerus menghambat buruh terorganisasi di Indonesia.211
Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat keadaan di lapangan selama ini di
mana bertambahnya jumlah serikat-serikat buruh yang lahir setelah terbitnya UU
No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, telah memperluas fragmentasi
210 Tjandraningsih, Indrasari, “Serikat Buruh/Serikat Pekerja Di Indonesia: Sebuah PotretPasca Reformasi”, www.indoprogress.blogspot.com\serikat-buruhserikat-pekerja-di.html., diaksespada tanggal 21 November 2007.
211 Hadiz, Vedi R., Op. Cit.
163
kekuatan dikalangan kaum buruh. Antar serikat buruh justru malah sering terdapat
konflik dan rivalitas yang bersumber dari ego organisasi. Ditambah lagi serikat
buruh yang sudah berdiri sering dilanda perpecahan yang lebih disebabkan oleh
hal-hal yang sifatnya pragmatis daripada hal-hal yang prinsipil, dan perpecahan
yang terjadi ditubuh sebuah serikat buruh umumnya diikuti perebutan anggota.212
Dengan persyaratan yang mudah untuk mendirikan sebuah serikat buruh,
yakni cukup 10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh, muncul serikat-
serikat buruh baru. Akan tetapi kemunculan banyak serikat-serikat buruh baru
tersebut tidak berbanding lurus dengan bertambahnya keseluruhan jumlah buruh
yang terorganisir oleh serikat buruh. Hal ini sekali lagi disebabkan oleh
kecenderungan yang dimiliki oleh serikat-serikat buruh tersebut untuk merekrut
anggota yang pada saat yang sama sudah menjadi anggota serikat buruh lain.
Dengan kata lain, serikat-serikat buruh tersebut tidak mengorganisir buruh-buruh
yang belum menjadi atau belum mengenal serikat buruh.213
Selain oleh sebab-sebab di atas, dimulainya era kebebasan berserikat sangat
bertolak belakang dengan kondisi obyektif situasi ketenagakerjaan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa krisis ekonomi telah meluncurkan deretan panjang
jumlah pengangguran (karena PHK) dan beberapa saat kemudian situasi tersebut
diikuti dengan penerapan praktik fleksibilisasi pasar kerja di Indonesia. Praktek
fleksibilitas pasar kerja yang berimplikasi terjadinya pergeseran sistem hubungan
kerja dari hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap sangat efektif menggerogoti
kekuatan basis anggota serikat buruh.
212 Tjandraningsih, Indrasari, Op. Cit.213 Ibid.
164
[...] Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguranyang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasartenaga kerja dan fleksibilitas produksi. Rezim ini dengan sangat efektifmenggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseranstatus hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidakmengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitashubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangkapendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematisbagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitastelah menciptakan kondisi di mana bekerja dan berserikat tak bisa lagidipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikatburuh.214
Dari uraian di muka secara umum dapat dikatakan bahwa hadirnya banyak
serikat buruh tidak berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan dan taraf
kehidupan buruh beserta keluarganya. Serikat buruh yang banyak ternyata belum
dapat mengangkat nasib dan kesejahteraan kaum buruh secara keseluruhan ke
taraf yang lebih baik, hal ini membuktikan bahwa terbitnya era kebebasan
berserikat tidak melahirkan serikat buruh yang kuat dan terpercaya.
Kebebasan berserikat bagi kaum buruh yang dibawa oleh UU No. 21 Tahun
2000 ternyata tidak memberikan jaminan terhadap serikat buruh untuk dapat
berunding bersama dalam rangka melakukan dan memperkuat bargaining
position, sehingga makna kebebasan berserikat seakan menjadi tidak ada
artinya.215 Bahkan oleh beberapa pihak yang concern dengan isu-isu perburuhan,
kebebasan berserikat tersebut justru dimanfaatkan kaum pemilik modal dan alat
214 Ibid.215 Iskandar, A Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin (Simpang Kepentingan Buruh-
Negara-Modal di tengah Arus Kapitalisme Global), Yayasan Wahyu Sosial, Semarang, hal 84.
165
produksi untuk memecah belah kekuatan buruh dengan cara mendirikan ‘serikat
buruh’ tandingan yang dapat membawa kepentingan pengusaha.216
Dalam kaitannya dengan soal upah minimum, fragmentasi dan polarisasi
kekuatan maupun gerakan buruh membawa implikasi yang serius. Kebijakan upah
minimum yang berdasar konsep lokalisasi; terkotak-kotak pada level provinsi dan
kabupaten/kota, membuat isu upah minimum menjadi semacam isu lokal dan
semata merupakan urusan gerakan buruh di daerah setempat. Apabila di suatu
daerah terdapat gejolak terkait ketentuan upah minimum, buruh daerah dan
provinsi lain seringkali merasa tidak mempunyai kepentingan terhadap persoalan
upah yang terjadi di daerah lain tersebut. Inilah yang dimaksud implikasi serius
tersebut. Dengan kata lain, akibat kekuatan dan gerakan buruh yang
terfragmentasi dan terpolarisasi, “menjadikan gerakan buruh tidak sensitif
terhadap isu-isu strategis untuk mewujudkan kesejahteraan bersama”217.
4. Implikasi Pelaksanaan Kebijakan Upah Minimum yang Konsisten
Kembali pada soal upah minimum, sebenarnya jika mau dikerjakan dengan
sungguh-sungguh kebijakan upah minimum dapat mendorong kemajuan
perusahaan dan industri. Perusahaan dan industri akan terdorong untuk melakukan
efisiensi produksi dan melatih kemampuan perusahaan dan industri untuk
menciptakan produk dengan keunggulan kompetitif dalam bersaing dengan
industri-industri dan perusahaan-perusahaan dari negara-negara lainnya. Di
samping itu, jika kebijakan upah minimum dilakukan untuk mengurangi
216 Ibid.217 Al-Hambra, Makinnuddin, Op. Cit. halaman 47.
166
eksploitasi atas buruh, maka upah minimum dapat mampu membangun harapan
buruh akan kesejahteraan.
Apabila dikaitkan dengan agenda pengentasan atau pengurangan angka
kemiskinan, sebenarnya kebijakan upah minimum yang diterapkan dengan
konsisten mengikuti kebutuhan riil dapat menjadi peretas terciptanya
kesejahteraan masyarakat secara umum. Sehingga pada akhirnya juga akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Logikanya, pendapatan yang layak bagi buruh akan memberikan daya beli
kepada buruh yang lebih besar dan dengan demikian dapat memberikan suatu
landasan bagi perluasan consumer markets. Sedangkan consumer markets yang
makin luas diperlukan untuk menampung volume penjualan dan kapasitas
produksi yang kian besar sebagai akibat dari perluasan output.218
Padahal sebagai negara berpenduduk paling besar kelima di dunia, mencapai
sekitar 250 juta jiwa, Indonesia mempunyai potensi pasar yang sangat besar, yang
mana artinya adalah apabila potensi ini dikelola dengan sungguh-sungguh, dapat
turut serta memperkuat industrialisasi nasional. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila hal ini seringkali menjadi salah satu pertimbangan investor
asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, potensi ini hanya akan
tinggal potensi apabila daya beli masyarakat rendah.
Semua ini tentunya dapat menjadi kenyataan apabila terdapat konsistensi
dalam pelaksanaan kebijakan upah minimum. Namun tampaknya hal itu masih
jauh dari harapan. Perwujudan kesejahteraan yang layak bagi kemanusiaan, di
218 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 10.
167
mana dalam hal ini akan membawa implikasi positif dalam hal perluasan
consumer markets guna menampung volume produksi yang semakin besar,
hampir mustahil tercapai untuk saat ini. Ketentuan UMP atau UMK yang pada
dasarnya hanya diberlakukan bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu
tahun―adapun upah bagi pekerja lama diserahkan sepenuhnya kepada tawar-
menawar antara pekerja dan majikan―dalam pelaksanaannya di lapangan malah
justru seakan menjadi ‘upah maksimum’.
Praksis yang ada dalam kenyataan dari penerapan kebijakan upah minimum
selama ini ialah kecenderungan pengusaha seakan merasa sudah menyejahterakan
buruh apabila telah membayar upah buruhnya sesuai dengan besaran upah
minimum yang telah ditentukan. Pengusaha sama sekali tidak membahas adanya
kemungkinan bahwa besaran upah yang telah ditetapkan sebenarnya jauh dari
mencukupi kebutuhan sehari-hari buruh untuk dapat hidup secara layak. Atau
dengan kata lain kalangan pengusaha cenderung hanya memperhatikan jumlah
nominal upah minimum tetapi tidak memperhatikan kondisi upah riil buruh.
Sehingga dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan upah
minimum selalu mengundang kontroversi dan perdebatan terus-menerus karena
dua alasan utama, yaitu: pertama, cara penetapan upah minimum dianggap
seringkali hanya didasarkan pada asumsi-asumsi maya tentang kebutuhan hidup
buruh dan mengabaikan situasi riil. Kedua, walaupun upah minimum sudah
ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah, masih banyak ditemukan kasus-
168
kasus di mana pengusaha mengabaikan ketentuan upah minimum yang berlaku
dan memberikan upah pokok di bawah ketentuan upah minimum.219
Selain masih menyimpan persoalan yang telah disebutkan tadi, kontroversi
yang masih menyelimuti kebijakan upah minimum hingga kini ialah kaitan
kenaikan upah minimum terhadap prospek penyerapan tenaga kerja disektor
formal. Dengan adanya kebijakan upah minimum, besaran upah yang dibayarkan
kepada buruh harus mengacu pada besaran upah minimum yang ditetapkan oleh
pemerintah. Maka dalam hal ini, yang menjadi kontroversi adalah adanya dua
pendapat yang menyoroti hubungan kenaikan upah dengan kemampuan
penyerapan tenaga kerja.
Pendapat yang pertama menyatakan bahwa kenaikan upah (minimum)
membawa dampak berkurangnya penyerapan tenaga kerja, sehingga
pengangguran dalam jumlah besar yang selama ini menjadi persoalan akut, tidak
mendapat pemecahan. Pendapat ini memperoleh justifikasi dengan adanya
fenomena setiap kenaikan upah minimum, selalu timbul ancaman dari pihak
pengusaha akan adanya PHK besar-besaran. Bagi pengusaha, setiap kenaikan
upah minimum, betapa pun kecilnya, tetap dianggap memberatkan dunia usaha.
Dari pengalaman yang ada selama ini, kalangan pengusaha selalu meneriakkan
bahwa industri akan tutup kalau ditekan terus dengan kenaikan upah minimum.
Namun terlepas dari benar tidaknya sinyalemen yang dilontarkan oleh kalangan
pengusaha tersebut, yang jelas secara teoritis kenaikan upah minimum
memperkecil penyerapan tenaga kerja, hanya terjadi pada pasar kerja kompetitif,
219 Setiawan dan Tambunan, Op. Cit.
169
yaitu pasar yang dicirikan oleh keseimbangan kekuatan antara permintaan dengan
penawaran serta kesempurnaan informasi pasar.220
Sedangkan pendapat yang kedua sebaliknya menyatakan bahwa kenaikan
upah tidak membawa dampak yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Pendapat ini didasarkan pada suatu kondisi di mana jumlah pembeli (pengusaha)
jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah penjual (tenaga kerja) –yang dikenal
dengan istilah pasar kerja monopsonistik. Dalam kondisi ini (pasar kerja
monopsonistik), upah yang dibayarkan kepada buruh lebih rendah dari
produktivitas buruh.221
Secara teoritis, sebenarnya kontroversi diseputar keterkaitan antara upah dan
penyerapan tenaga kerja, sudah dapat dibilang berakhir. Masing-masing fenomena
telah dijelaskan syarat masing-masing, yakni kenaikan upah mengurangi
penyerapan tenaga kerja terjadi pada pasar kerja kompetitif; sedangkan pada pasar
kerja monopsonistik, tidak demikian halnya.
Namun mengapa dalam kasus Indonesia kontroversi dan perdebatan
mengenai hubungan kenaikan upah dan penyerapan tenaga kerja masih saja terjadi
hingga kini? Jawabnya adalah karena tidak mudah untuk menentukan apakah
pasar kerja di Indonesia merupakan pasar kompetitif ataukah monopsonistik. Hal
ini terbukti dari beberapa penelitian tentang keterkaitan kenaikan upah minimum
dengan tingkat penyerapan tenaga kerja, yang hasilnya saling bertolak belakang.
220 Lihat: Priyono, Edy, “Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis TerhadapKebijakan Upah Minimum”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No.1 Februari 2002, YayasanAKATIGA, Bandung, halaman 6-9.
221 Ibid.
170
Di antara beberapa penelitian tersebut adalah penelitian oleh M Rama pada
tahun 1996 yang menemukan bahwa dampak upah minimum terhadap pasar
tenaga kerja tidak signifikan; kenaikan upah minimum dalam paruh pertama
1990-an mendorong kenaikan upah riil rata-rata sebesar 5% – 15% dan
menurunkan penyerapan tenaga kerja di daerah perkotaan sebesar 0% – 5%.
Namun temuan ini disanggah oleh Islam dan S. Nazara yang berpendapat bahwa
kenaikan upah minimum tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat penyerapan
tenaga kerja di Indonesia. Menurut Islam dan Nazara, tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum telah mengurangi tingkat
keuntungan perusahaan-perusahaan berskala besar dan menengah. Selain itu,
masih menurut Islam dan Nazara, jika Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi
4% per tahun, maka upah minimum riil dapat dinaikkan sebesar 24% per tahun
tanpa mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja.222
Kontroversi ini terkait dengan berbagai paham, teori dan pemikiran yang
terdapat dalam ilmu ekonomi pembangunan serta metode yang digunakan untuk
melakukan penilaian terhadap kondisi perekonomian dan kesejahteraan suatu
negara. Sebagai contoh, menurut pemikiran dan teori ekonomi yang berspektif
ekonomi industri, kenaikan upah buruh disuatu negara dapat menyebabkan
penurunan penyerapan tenaga kerja pada industri-industri di negara yang
bersangkutan.
222 Suryahadi et al, “Upah dan Kesempatan Kerja (Dampak Kebijakan Upah Minimumterhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal Perkotaan)”, dalam Jurnal Analisis Sosial,Volume 7 No.1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 20.
171
Namun bagaimana sesungguhnya dampak yang dihasilkan oleh kenaikan
upah buruh suatu negara, semuanya itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi
empirik yang sedang berlaku negara yang bersangkutan.
Menurut hasil penelitian Philip di Inggris―yang kemudian dikenal dengan
istilah ‘Kurva Philip’, kenaikan upah dapat menurunkan pengangguran. Hasil
penelitian Philip ini merupakan manifestasi dari keadaan negara telah
menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang konsisten dan kokoh sehingga
industri tidak terlalu terbebani dengan resiko sosial yang dapat mempengaruhi
biaya produksi. Logikanya kalau upah naik, maka para penganggur sukarela
memilih bekerja daripada menerima asuransi sosial.223 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bagaimana dampak kenaikan upah terhadap prospek
penyerapan tenaga kerja pada suatu negara selalu bergantung pada kondisi
obyektif-empirik dari negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk
menentukan bagaimana bentuk pasar tenaga kerja suatu negara, diperlukan suatu
penelitian yang komprehensif dan empirik dengan mengaitkan kepada segala
kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dari negara yang bersangkutan.224
C. Tinjauan Mengenai Mekanisme Perumusan dan Penetapan Upah
Minimum
Penetapan upah minimum di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui
proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang mana di
223 Ritonga, Jhon Tafbu , “Mencermati Dilema Upah Minimum”, www.waspada-online.com.,diakses 27 Februari 2007.
224 Priyono, Edy, Op. Cit. Halaman 11.
172
dalamnya terdapat unsur pemerintah, pengusaha dan buruh serta akademisi
mengadakan rapat, membentuk tim survei dan turun ke lapangan mencari tahu
harga sejumlah barang yang merupakan kebutuhan pokok. Setelah survei di
sejumlah kota yang dianggap representatif, diperoleh angka kebutuhan hidup
layak (KHL) yang dulu disebut kebutuhan hidup minimum (KHM). Berdasarkan
KHL, DPD mengusulkan upah minimum provinsi (UMP) kepada Gubernur.
Terhadap mekanisme dan wewenang untuk menetapkan upah minimum,
terdapat perubahan yang cukup strategis. Pada masa sebelum berlakunya
Keputusan Menteri No. 226 Tahun 2000, yaitu ketika masih menggunakan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999, mekanisme penetapan upah
minimum sifatnya sentralistik. Penetapan upah minimum merupakan kewenangan
pemerintah pusat, yang dalam hal ini adalah menteri tenaga kerja225. Akan tetapi
setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah di dalam sistem pemerintahan
Indonesia, ketentuan tentang mekanisme dan wewenang menetapkan upah
minimum juga turut berubah.
Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 pada tanggal 6
Mei 2000, yang kemudian diikuti penerbitan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. 226 Tahun 2000 pada tanggal 5 Oktober 2000, ditentukan bahwa penetapan
upah minimum merupakan wewenang gubernur 226 . Ketentuan ini kemudian
225 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 Tentang UpahMinimum.
226 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, pada Pasal 3 ayat (5) butir 8,menentukan bahwa kewenangan provinsi sebagai daerah otonom antara lain adalah menetapkanpedoman jaminan kesejahteraan purnakerja, dan penetapan serta pengawasan atas pelaksanaanupah minimum.
173
diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang di dalam
Pasal 89 ayat (3) secara eksplisit menyebutkan bahwa upah minimum ditetapkan
oleh gubernur.
Setelah lahirnya kebijakan desentralisasi penetapan upah minimum, dikenal
istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Angkanya merupakan hasil
perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK) atas sejumlah item yang
termasuk sebagai komponen upah. Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan
hasil survei KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan rekomendasi
UMK oleh bupati/walikota kepada gubernur.
Secara teoritis, kebijakan desentralisasi dalam hal penetapan besaran upah
minimum kepada daerah, dimaksudkan agar upah yang ada sesuai dengan kondisi
obyektif riil kemampuan ekonomi masing-masing daerah. Konkritnya, masing-
masing daerah kabupaten/kota pada satu provinsi menetapkan upah minimum
yang berbeda. Upah Minimum Kabupaten/Kota terkecil dari seluruh
kabupaten/kota kemudian ditetapkan sebagai Upah Minimum Provinsi. Oleh
sebab itu, karena UMP berlaku menyeluruh di seluruh provinsi, maka DPD tidak
pernah mendengar usul buruh supaya UMP dibuat lebih tinggi, misalnya sesuai
KHL kota besar seperti Surabaya. Seandainya UMP ditetapkan Rp1,5 juta, maka
UMK di Pacitan pun harus sama atau lebih tinggi daripada UMP Rp1,5 juta.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang upah minimum, secara garis besar dapat
diketahui pedoman-pedoman yang harus dipegang dalam menetapkan upah
minimum, yaitu:
174
a. Gubernur menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK)
b. Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota lebih besar dari Upah
Minimum Provinsi (UMP). Tentang berapa persen keharusan nilai Upah
Minimum Kabupaten/Kota lebih besar dari Upah Minimum Provinsi tidak
ditetapkan secara tegas. Konsekuensinya adalah Gubernur dan alat
kelengkapan untuk menetapkan upah minimum diberi keleluasaan dalam
merumuskan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota maupun Upah
Minimum Provinsi.
c. Gubernur dalam menetapkan upah minimum tersebut berdasarkan usulan
dan rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Pengupahan Daerah dan/atau
bupati/walikota.227
d. Dewan Pengupahan Daerah (Depeprov maupun Depekab/Depeko) dalam
merumuskan usulan dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang
dipandang perlu seperti Badan Pusat Statistik, misalnya.
e. Usulan Dewan Pengupahan Daerah disampaikan kepada gubernur melalui
instansi/lembaga yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di
provinsi setempat.
f. Waktu penetapan upah minimum selambat-lambatnya adalah:
1). 60 (enam puluh) hari sebelum tanggal pemberlakuan untuk Upah
Minimum Provinsi, dan
227 Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000, ‘Dewan PengupahanDaerah’ disebutkan sebagai ‘Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial DewanKetenagakerjaan Daerah’.
175
2). 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal pemberlakuan untuk Upah
Minimum Kabupaten/Kota.
g. Peninjauan upah minimum (UMP dan UMK) dilakukan 1 (satu) tahun
sekali oleh gubernur.
1. Perdebatan Seputar Penetapan Upah Minimum
Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini, konsepsi upah masih
menyimpan persoalan yang sifatnya mendasar dan selalu mengundang perdebatan.
Persoalan itu menyangkut ukuran atas upah yang seharusnya diterima buruh
sebagai kompensasi atas tenaga yang dikeluarkannya untuk melakukan kegiatan
produksi. Meliputi hal-hal apa sajakah atau harus berdasarkan variabel apa saja
untuk menentukan kompensasi atas tenaga dan waktu yang dikeluarkan oleh
buruh untuk menghasilkan nilai atas suatu barang dan/atau berapakah semestinya
jumlah upah yang harus dibayar oleh majikan kepada buruhnya.
Di Indonesia, kualifikasi apa saja yang menjadi hak buruh sebagai bentuk
kompensasi atas tenaga yang dikeluarkannya, dari waktu ke waktu cenderung
mengalami pergeseran ke arah yang sifatnya degradatif. Untuk menilai tentang
apa yang seharusnya menjadi hak buruh, semua harus dilakukan dalam kerangka
pemikiran yang melihat kenyataan bahwa dalam konteks hubungan industrial
buruh merupakan salah satu faktor produksi yang turut memberikan andil atas
keuntungan yang diperoleh para pemilik modal atau pemilik alat produksi.
Buruh telah memberikan pengorbanan yang begitu besar meliputi tenaga,
waktu dan bahkan perhatian terhadap keluarganya untuk bekerja menghasilkan
176
nilai suatu barang sehingga menghasilkan keuntungan bagi para pengusaha dan
mengantarkan para pemilik modal kepada kesejahteraan. Tanpa buruh dan kerja-
kerja yang telah dilakoninya, perusahaan tidak akan mencapai produktivitas yang
diinginkan, 228 dan dengan demikian artinya tanpa kerja-kerja yang dilakukan
buruh, pengusaha tidak akan menikmati kemakmuran. Dari uraian tersebut di atas,
terlihat bahwa sudah seharusnya buruh mendapatkan kompensasi yang seimbang
dengan perannya yang turut menyumbang kemakmuran dan kesejahteraan yang
lebih bagi pemilik modal.
Realitas ini sebenarnya telah dapat ditangkap oleh para pendiri negara
Republik Indonesia, sehingga di dalam UUD 1945 yang merupakan konstitusi RI
disebutkan secara tegas bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)). Namun sayangnya
dalam tataran praksis, implementasi dari gagasan tersebut masih jauh dari yang
diharapkan. Bahkan sebagian dari penyebab belum terimplementasinya ketentuan
dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tersebut bersumber dari kebijakan negara juga.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan negara dibidang perburuhan pada
umumnya, dan dibidang pengupahan pada khususnya.
Konstitusi sebagai hukum dasar, untuk dapat bekerja diperlukan peraturan
hukum yang menjadi peraturan pelaksana. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
berupa produk-produk hukum dan dalam bentuk-bentuk lainnya, sudah sepatutnya
apabila disesuaikan dengan amanat konstitusi. Namun tidak demikian
keadaannya.
228 Gaharpung, Marianus, “Kebutuhan Hidup Layak, Hanyalah Impian”, www.surya-online.com, diakses pada tanggal 30 April 2007.
177
Dibidang perburuhan, produk hukum dan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dari tiap masa bukannya makin mendekati apa yang
diamanatkan konstitusi, melainkan malah mempunyai kecenderungan kian
menjauh. Penafsiran atas ketentuan konstitusi dilakukan dalam kerangka
paradigma paham kapitalisme, sehingga yang terjadi kemudian adalah tidak
terjaminnya keberadaan pekerjaan dan penghidupan yang layak secara
kemanusiaan bagi rakyat. Legalisasi sistem kerja kontrak dan outsourcing yang
mengancam kelangsungan kerja yang telah didapat buruh, di dalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 cukup untuk membuktikan bahwa kebijakan negara
saat ini mempunyai jarak yang lebar dengan konstitusi.
Secara umum, dari kenyataan yang dialami buruh selama ini mencerminkan
bahwa kepentingan modal akan akumulasi dan fleksibilitas mensubordinasi
kepentingan buruh akan keamanan atas kelangsungan kerja dan kesejahteraan
yang memadai untuk menyelenggarakan kehidupan yang layak. Pengorbanan
buruh hanya dilihat dari tenaga yang dikeluarkannya untuk menghasilkan nilai
suatu barang atau jasa. Sedangkan pengorbanan buruh atas aspek dan sisi-sisi
kemanusiaannya hampir sama sekali dinafikkan. Akibatnya, kompensasi yang
diterima buruh pun hanya senilai tenaga fisik yang dikeluarkannya dan bahkan
seringkali jumlah upah yang diterima pun tidak mampu menjawab kebutuhan
minimum yang diperlukan buruh secara perseorangan.
Kalau sebelum tahun 1996, dalam pengaturan ketentuan upah minimum,
pemerintah secara resmi menyandarkan rumusannya pada ukuran Kebutuhan Fisik
178
Minimum (KFM)229 masing-masing provinsi, maka sejak berlakunya Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 1995, rumusan ketentuan upah minimum
disandarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Apabila konsep KFM dan
KHM diperbandingkan, memang konsep KHM mempunyai kelebihan diantaranya
yaitu KHM akan selalu berubah nilainya seiring perubahan harga di pasar. Di
samping itu, perhitungan KHM menjamin terpenuhinya kebutuhan akan
komponen-komponen yang ada dalam komponen KFM dan KHM itu sendiri.230
Penentuan upah minimum yang bersandarkan penghitungan Kebutuhan
Hidup Minimum hanya berlangsung sekitar satu dasawarsa. Sekarang penentuan
upah minimum yang bersandar pada KHM sudah tidak berlaku lagi. Melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 yang menggantikan
Kepmennaker No. 81 Tahun 1995, ketentuan upah minimum di dasarkan pada
Kebutuhan Hidup Layak.
Apabila diperbandingkan antara beberapa peraturan pengupahan yang
berlaku pada masa lalu dengan peraturan yang berlaku sekarang, hasil yang
didapati akan mencerminkan terjadinya penurunan nilai upah minimum secara
umum-konseptual. Unsur-unsur atau komponen yang dikategorikan termasuk
sebagai bagian dari upah minimum kian bertambah.
Konsepsi tentang upah minimum yang berlaku sekarang jika dibandingkan
dengan konsep upah minimum yang dibawa Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
5 Tahun 1989 terlihat mengalami degradasi. Dalam Peraturan Menteri Tenaga
229 Kebutuhan Fisik Minimum dibuat pada jaman Kabinet Juanda di tahun 1956.230 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 99.
179
Kerja No. 5 Tahun 1989, upah minimum dinyatakan sebagai upah pokok terendah
yang belum termasuk tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada buruh.
Pengertian upah yang diberikan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5
Tahun 1989 setidaknya memberi keuntungan bagi buruh, karena tunjangan-
tunjangan―baik tunjangan tetap maupun tunjangan tidak tetap―harus tetap
dibayarkan kepada buruh diluar besaran nominal upah minimum yang telah
ditetapkan. Sedangkan upah minimum yang berlaku sekarang ini, secara
konseptual meliputi upah pokok dan termasuk tunjangan tetap, yaitu tunjangan
yang diberikan secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak
dikaitkan dengan kehadiran pekerja ataupun pencapaian prestasi kerja tertentu.
Celakanya lagi, degradasi atau penurunan konsep upah minimum tersebut
kerapkali dalam kenyataannya diikuti distorsi. Upah minimum yang secara
normatif ditujukan untuk buruh yang masa kerjanya kurang dari satu tahun, akan
tetapi dalam prakteknya seringkali tidak demikian. Upah minimum tersebut
diterapkan juga untuk buruh yang sudah bekerja selama bertahun-tahun pada
perusahaan yang sama. Dengan demikian, upah minimum yang berlaku dalam
realisasinya mengalami pergeseran makna menjadi ‘upah maksimum’. Pengusaha
merasa sudah benar dan mensejahterakan buruhnya apabila membayar upah buruh
sebesar jumlah nominal upah minimum yang berlaku.
Oleh karena itu, mengingat bahwa posisi tawar yang dimiliki oleh buruh
tidak sebanding dengan pengusaha akan menyebabkan mandulnya kemampuan
buruh untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan. Sehingga akan membuat
buruh tetap menjadi obyek eksploitasi dari praktek-praktek korporatisme. Maka
180
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dengan cara mengembalikan
masalah hubungan industrial, khususnya soal upah, kepada tawar-menawar antara
buruh dan pengusaha melalui penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja
merupakan kebijakan yang tidak tepat. Sebaliknya, kebijakan dan regulasi
mengenai upah minimum yang dijalankan secara konsisten mutlak diperlukan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Markam Roekmono berikut ini:
Seperti yang kita ketahui, upah adalah suatu produk dari kekuatan-kekuatanekonomi yang didukung oleh pengaruh dari tawar-menawar, penengahan,dan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, selama masih terdapatbanyak orang dari golongan berpenghasilan sangat rendah di bawah standarhidup minimum dengan lapangan kerja yang terus berlangsung, maka setiapundang-undang yang menjamin mereka suatu tingkat hidup yang layaksangat diperlukan.231
2. Kebutuhan Hidup Layak sebagai Prinsip Penentuan Besaran Upah
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2),
secara tegas menyebutkan bahwa hak atas pengupahan yang layak merupakan hak
dasar dari setiap warga negara dan bangsa Indonesia. Ketentuan di dalam
konstitusi ini diterjemahkan ke dalam materi sejumlah peraturan undang-undang,
diantaranya yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pengaturan mengenai bahwa upah yang layak merupakan hak dari setiap warga
negara tersebut terdapat dalam Pasal 40 UU No. 39/1999 yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Ketentuan di dalam UU No. 39 tahun 1999 tersebut berlaku bagi setiap
orang, termasuk juga buruh. Untuk dapat menjalani hidup dan tumbuh serta
berkembang secara layak, setidaknya syarat yang harus dipenuhi adalah
231 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 38.
181
tercukupinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (pangan, kesehatan, perumahan
dan pendidikan) secara memadai.232 Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
di dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa “Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”.
Untuk mewujudkan penghasilan buruh yang layak bagi kemanusiaan,
pemerintah berkewajiban menetapkan dan menerapkan kebijakan pengupahan
yang melindungi buruh. Kebijakan-kebijakan dibidang pengupahan untuk
mewujudkan penghasilan yang layak secara kemanusiaan bagi buruh tersebut,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, ialah:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
232 Lihat Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999.
182
Berdasar ketentuan dalam Pasal 88 ayat (3) tersebut di atas, terlihat bahwa
kebijakan upah minimum hanya merupakan salah satu instrumen kebijakan untuk
mewujudkan penghasilan buruh yang layak secara kemanusiaan. Sebagai bagian
dari upaya mewujudkan penghasilan yang layak, maka artinya penetapan upah
minimum harus diarahkan menuju pencapaian penghasilan yang layak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
yang menyatakan bahwa pemerintah dalam menetapkan upah minimum tersebut
diwajibkan untuk bersandar pada Kebutuhan Hidup Layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam menetapkan upah
minimum, persoalan yang hadir kemudian adalah terkait dengan parameter dari
kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan. Artikulasi dan penerjemahan
rangkaian kata dan kalimat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
tersebut di atas dalam kenyataannya tidaklah mudah. Bagaimana keadaan
sesungguhnya dan batasan-batasan tentang yang dimaksud sebagai ‘hidup yang
layak bagi kemanusiaan’ sampai saat ini belum mampu dirumuskan secara
komprehensif dan tuntas. Upaya mewujudkan gagasan tentang ‘hidup yang layak
secara kemanusiaan’ bagi buruh dalam praksisnya mengalami distorsi dan
intervensi yang sifatnya politis.
Melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 Tentang
Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak,
pemerintah mencoba menginisiasikan kebijakan pengupahan yang lebih
‘manusiawi’. Dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005,
183
pemerintah mengubah sandaran ketentuan upah minimum dari Kebutuhan Fisik
Minimum menjadi Kebutuhan Hidup Layak.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 yang mencoba
menghadirkan kerangka usaha mewujudkan upah yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup secara layak pun tidak lepas dari perdebatan. Secara normatif
yuridis politik perundang-undangan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17
tahun 2005 merupakan peraturan yang menegasikan berlakunya konsepsi upah
minimum yang berbasis KHM yang diusung oleh Keputusan Menteri Tenaga
Kerja No. 81 tahun 1995. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut, secara substansial
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tidak sepenuhnya mengusung
paradigma yang baru dibidang pengupahan dan bahkan justru malah lebih buruk
dibanding aturan sebelumnya (Kepmennaker No. 81 tahun 1995) sebagaimana
dikatakan oleh R Herlambang Perdana:
Komponen standar KHL yang digunakan saat ini secara kuantitas dankualitas lebih buruk dari aturan sebelumnya. Berdasarkan KeputusanMennaker 81 Tahun 1995, komponen untuk tempat tinggal buruh adalahsewa rumah tipe 21 dengan jumlah kebutuhan dihitung setengah bulan. Kinidengan standar KHL justru komponen tempat tinggal melorot ke sewakamar sederhana dengan jumlah kebutuhan dihitung tiap bulan.233
Secara substansial, jumlah komponen konsumsi di dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 memang mengalami pertambahan dibanding
dengan komponen-komponen upah dalam konsep KHM. Akan tetapi, jika dilihat
dari segi kualitas, beberapa komponen justru mengalami penurunan. Komponen-
komponen yang mengalami penurunan tersebut adalah:
233 Perdana, R. Herlambang, “Perlu Penentuan UMK Yang Progresif Dan Terbuka”,Kompas, edisi 02 Oktober 2006.
184
a. Beras mengalami penurunan jumlah sebanyak 2 Kg. Menurut KHM,
jumlah beras yang diperhitungkan adalah 12 Kg/bulan. Sedangkan
menurut Permennaker 17/2005 jumlah beras yang diperhitungkan adalah
sebesar 10 Kg/bulan.
b. Tempat tinggal dari sewa rumah tipe 21 menurut KHM, menurun
menjadi hanya sekelas sewa kamar untuk 2 orang.
c. Potong rambut dari sekali dalam satu bulan, menjadi sekali dalam dua
bulan menurut Permennaker No. 17/2005.
Persoalan lainnya yang terkait dengan eksistensi Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 17 Tahun 2005 dalam hal pengupahan adalah tidak memperhitungkan
keluarga buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tersebut
hanya memuat perhitungan upah untuk buruh lajang. Apabila mengingat
penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang memberikan definisi
penghasilan yang layak secara kemanusiaan sebagai:
jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannyasehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dankeluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang,perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menentukan
bahwa cakupan upah layak adalah upah yang dapat menjamin kelangsungan hidup
seseorang beserta keluarganya, maka standar yang dibawa Peraturan Menteri
tentang KHL ini sesungguhnya masih jauh dari apa yang disebut dengan kualitas
manusia yang hidup layak.234 Dengan demikian, konsepsi upah layak dalam dalam
peraturan menteri ini pada dasarnya tidak mencerminkan amanat dalam Pasal 88
234 Ibid.
185
ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa buruh
berhak atas upah yang layak secara kemanusiaan.
Lebih jelasnya, penggunaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, menjadi alat legitimasi ampuh bagi
kolaborasi pemerintah pengusaha untuk mempertahankan kebijakan upah murah.
Peraturan Menteri tentang KHL ini memiliki pasal-pasal yang sangat merugikan
kaum buruh, diantaranya :
a. Pengertian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada pasal 1 yang diartikan
sebagai standard kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja
/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secar fisik, non fisik dan sosial
untuk kebutuhan 1 bulan. Padahal dalam UU No. 13 Tahun 2003 jelas
KHL tidak dimaksudkan dengan lajang saja tetapi juga termasuk keluarga
seorang buruh.
b. Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum dilaksanakan secara
bertahap. Pasal ini membuka peluang bagai pemerintah untuk tidak
melaksanakan KHL yang telah diajukan oleh Dewan Pengupahan Daerah.
c. Survei Komponen KHL menurut Peraturan ini sebenarnya tidak
menunjukkan harga riil karena harga komponen tersebut selalu dirata-
ratakan. Adapun haraga komponen yang dirata-ratakan :
1) Komponen Daging, yang harus dirata-ratakan antara daging ayam
dan daging sapi sehingga harganya tentu saja berada dibawah
186
daging sapi sebenarnya, contoh : Sapi Rp. 50.000 /kg + Ayam Rp.
15.000/kg = Rp. 65.000 : 2 = Rp.32.500
2) Sayur-sayuran
3) Buah-buahan
4) Celana Panjang dengan rok
5) Kemeja lengan pendek/blus
6) Kaos Oblong/BH
7) Celana dalam pria dan wanita
8) Sarung/kain panjang
9) Sepatu pria dan wanita
10) Perlengkapan ibadah
11) Potong rambut
12) Pembalut dan alat cukur
3. Faktor-Faktor Yang Dijadikan Pedoman Dalam Perumusan Dan
Penentuan Besaran Upah Minimum
International Labor Organization mencatat bahwa kebanyakan kriteria yang
telah dirumuskan secara internasional untuk menetapkan tingkat upah minimum
adalah varian-varian dari empat konsep berikut yang mewakili kepentingan-
kepentingan sektoral para pekerja, para majikan dan keprihatinan makroekonomi
para pejabat, yaitu235:
a) Kebutuhan-kebutuhan para pekerja;
235 Das, Maitreyi Bordia, Op. Cit., halaman 16-17.
187
b) Kemampuan para majikan untuk membayar;
c) Upah-upah dan pendapatan-pendapat yang dapat dibandingkan; dan
d) Tuntutan-tuntutan pembangunan perekonomian
Terhadap kecenderungan negara-negara di dunia untuk menerapkan
ketentuan upah minimum sebagai bagian dari kebijakan ekonomi dan kebijakan
sosial yang lebih luas, ILO telah menerbitkan kebijakan tersendiri yang diuraikan
melalui sejumlah konvensi dan rekomendasi-rekomendasi, diantaranya ialah
melalui Konvensi ILO No. 131. Menurut Pasal 3 Konvensi ILO No. 131
(Konvensi Upah Minimum) kriteria yang harus dipertimbangkan untuk
menentukan tingkat upah minimum, antara lain ialah:
1. kebutuhan-kebutuhan para pekerja beserta keluarga-keluarga mereka,
dengan mempertimbang-kan tingkat upah-upah umum di negara itu,
biaya hidup, manfaat-manfaat kemanan sosial, dan standar hidup
relatif dari kelompok sosial yang lain;
2. faktor-faktor ekonomi, seperti tuntutan-tuntutan pembangunan
ekonomi, tingkat produktivitas dan keinginan untuk mencapai dan
mempertahankan suatu tingkat yang tinggi dalam lapangan kerja.
Sedangkan menurut Pasal 6 Permennaker No. 01 Tahun 1999 (tentang Upah
Minimum), upah minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan:
188
1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) – yang melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 diubah menjadi Kebutuhan Hidup
Layak236;
2. Indeks Harga Konsumen (IHK);
3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah;
5. Kondisi pasar kerja;
6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
Sementara menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun
2005, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan meliputi:
1. Kebutuhan Hidup Layak (KHL)237
2. Produktivitas (jumlah Produk Domestik Regional Bruto/PDRB :
jumlah tenaga kerja pada periode yang sama) 238
3. pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan nilai PDRB) 239
4. Usaha yang paling tidak mampu (marginal)
Dengan berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa perumusan dan
penetapan upah minimum tidak dapat dilakukan sekehendak hati begitu saja atau
dianggap sebagai sesuatu yang sudah begitu adanya, melainkan harus berdasarkan
hal-hal tertentu seperti nilai Kebutuhan Hidup Layak dengan dikaitkan pada hal-
236 Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakanpeningkatan dari kebutuhan hidup minimum (Pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 Tahun 2005)
237 Pasal 88 ayat 4 UU No. 13/2003.238 Ibid.239 Ibid.
189
hal lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003. Keenam variabel menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun
1999, yang kemudian dijadikan empat oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
17 Tahun 2005 tersebut harus menjadi faktor determinan dalam penentuan
besaran upah minimum.
Kendati besaran upah minimum yang ditetapkan secara normatif pada
dasarnya harus mengacu pada keenam variabel tadi, namun dalam prakteknya
variabel yang dominan diperhitungkan adalah tingkat kemampuan, perkembangan
dan kelangsungan perusahaan. 240 Dengan kata lain, kemampuan dan
perkembangan serta kelangsungan usaha ke depannya menjadi prioritas utama
yang dipertimbangkan. Artinya, kondisi keuangan perusahaan dijadikan patokan
dalam hal menentukan jumlah upah kepada buruh. Hal ini terlihat dari sikap dan
pandangan pemerintah dalam hal apabila upah minimum yang ditetapkan dan juga
soal kebijakan yang menyangkut kesejahteraan buruh mendapatkan tentangan dari
masyarakat. Seringkali pendapat yang dilontarkan oleh pemerintah adalah
mengatakan “apa artinya upah naik apabila buruh kemudian kehilangan pekerjaan
akibat di-PHK karena perusahaan bangkrut dan tutup.”
Meskipun pendapat atau argumentasi yang disampaikan pemerintah ini
sekilas nampak ‘membela’ kepentingan buruh, namun sesungguhnya disampaikan
tanpa dasar perhitungan yang rasional. Selain itu, pendapat pemerintah yang
demikian merupakan wujud nyata dari lebih diakomodasinya suara para pemilik
modal dan pengusaha. Sebagaimana telah disampaikan pada awal-awal tulisan ini
240 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 98.
190
bahwa dalam setiap momentum kenaikan upah minimum, kalangan pengusaha
dengan berbagai dalih selalu mengeluh bahwa hal itu memberatkan perusahaan;
tidak kondusif bagi dunia usaha, serta ‘mengancam’ akan melakukan PHK besar-
besaran.
Oleh sebagian pihak, tingkah laku kalangan pelaku usaha ini dipandang
tidak beralasan karena upah buruh hanya mempunyai porsi sekitar 10-35 persen
dari total biaya produksi.241 Sehingga kenaikan upah buruh yang hanya beberapa
persen tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bertambahnya
biaya produksi. Selain itu, pendapat yang dilontarkan oleh pemerintah dan
kalangan pengusaha ini tidak mengungkapkan persoalan yang sebenarnya
menyebabkan high cost economy dan keuangan perusahaan tidak efisien.
Persoalan tersebut ialah besarnya pungutan―yang tidak ada kaitannya dengan
biaya produksi yang menjadi hitungan bisnis―yang harus dibayar pengusaha
untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Meskipun kemampuan perusahaan secara formal hanya menjadi salah satu
faktor, namun dalam prakteknya cenderung menjadi bahan pertimbangan utama.
Hal ini tentu kurang menguntungkan dan bahkan tidak adil bagi buruh. Makna
kemampuan perusahaan untuk membayar lebih sering diasosiasikan dengan
kondisi di mana perusahaan tidak memperoleh laba atau mengalami kerugian.
Artinya, pembayaran upah yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan
seringkali diterapkan ketika perusahaan mengalami kerugian atau keuntungan
yang diperoleh perusahaan tidak sesuai target. Sedangkan sebaliknya ketika
241 Lihat misalnya: Kompas, edisi 9 Januari 1995; Maryoto, Andreas, “Aksi Buruh vsInvestor Hengkang”, dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0106/24/nasional/aksi28.htm.
191
perusahaan memperoleh keuntungan yang sesuai target atau lebih, buruk tidak
ikut menikmati atas keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut.
Selain itu, penentuan jumlah upah yang didasarkan pada kondisi keuangan
dan kemampuan perusahaan mengandung banyak persoalan. Menurut Roekmono
Markam, sejumlah persoalan tersebut antara lain adalah242:
a. pembayaran dan kenaikan upah atas dasar kemampuan atau kondisikeuangan perusahaan akan mengacaukan struktur upah. Setiap usahauntuk mendasarkan pengupahan pada kemampuan perusahaan untukmembayar akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yangsangat tajam di dalam hubungan antara tingkat upah dengan biayaproduksi, pola pertumbuhan ekonomi, tipe tenaga kerja yang dibutuhkan,sifat kegiatan dan operasional perusahaan, dan sebagainya.
b. Tingkat upah yang ditetapkan atas dasar ability to pay oleh suatuperusahaan atau industri pada tahun-tahun yang luar biasamenguntungkan akan menghalangi atau memblokir turunnya biaya danharga jika tahun-tahun yang baik tersebt kemudian disusul oleh tahun-tahun yang suram.
c. Tingkat upah yang didasarkan kepada kemampuan membayar,khususnya jika ini dikaitkan dengan laba yang diperoleh perusahaan,akhirnya akan menghilangkan fungsi laba bagi perusahaan.Undistributed profits perusahaan akan menjadi berkurang, padahal untukitu adalah sumber yang terpenting untuk mengadakan reinvestasi danperluasan usaha. Lagi pula produksi datangnya tidak otomatis,melainkan harus induced. Bagi investor, laba atau profit inilah yangmerupakan factor perangsang untuk memulai atau memperluasproduksinya. Jika produksi berkurang atau berhenti maka lapangan kerjaakan berkurang pula dengan sendirinya.
d. Jika dikaitkan dengan laba, pembayaran dan kenaikan upah yangdidasarkan pada kemampuan perusahaan akan mudah menyebabkaninflasi karena profit mark-up dinaikkan lagi oleh produsen.
e. Jika suatu perusahaan atau industri tertentu dapat membayar upah yanglebih tinggi atas dasar kemampuan perusahaan untuk membayardibanding perusahaan atau industri lainnya, maka industri atauperusahaan yang berani membayar upah yang lebih tinggi itu akan dapatmenarik pekerja-pekerja yang cakap dan efisien dari perusahaan-perusahaan dan industri yang tidak dapat membayar upah tinggi. Dengandemikian maka akan mudah timbul rasa iri hati di kalangan buruh yangberupah rendah, dan mereka akan menyalahkan managemen sebagai
242 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 34.
192
tidak cakap dan tidak efisien. Akibatnya buruh yang terampil akan laridari perusahaan dan industri yang menurut pandangan mereka dapatbekerja lebih efisien, mendapat laba banyak dan sanggup membayarupah tinggi.
D. Tinjauan Mengenai Konflik Kepentingan dalam Penentuan dan
Penetapan Upah Minimum
1. Hubungan Industrial Pancasila
Antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal, terdapat perbedaan
kepentingan yang bahkan saling bertolak belakang dan berpotensi melahirkan
konflik di dalam sebuah hubungan industrial. Konflik yang terjadi di dalam
hubungan industrial dalam skala tertentu dapat mengganggu pelaksanaan
program-program pembangunan yang telah diagendakan, utamanya dibidang
ekonomi. Atas dasar pemikiran yang demikian ini, Indonesia kemudian berusaha
mengembangkan serangkaian kebijakan yang berpijak pada klaim ideologi yang
dianut oleh Indonesia yang ditujukan untuk menciptakan suatu hubungan
industrial yang harmonis dan meminimalisir konflik.
Kebijakan-kebijakan tersebut pada dasarnya dikembangkan dan dijalankan
dengan berangkat dari sutau gagasan tentang sistem hubungan industrial yang
berpola menghindari konflik sebagai satu hal yang prinsipil karena dianggap tidak
sesuai dengan nilai budaya Indonesia.243 Sistem hubungan industrial dengan pola
menghindari konflik ini kemudian dikenal dengan istilah Hubungan Industrial
Pancasila (HIP).
243 Hadiz, Vedi R, Op. Cit., halaman 49
193
Gagasan HIP pada awalnya diberi nama Hubungan Perburuhan Pancasila
(HPP) pertama kali dilontarkan pada tahun 1966 oleh menteri perburuhan pada
masa itu244 dan mulai gencar disosialisasikan pada waktu seminar nasional tentang
HPP pada tanggal 4-7 Desember 1974 di Jakarta. Konsep HPP yang kemudian
pada tahun 1985 berubah nama menjadi HIP (Hubungan Industrial Pancasila)
dirumuskan sebagai hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan jasa yang didasarkan pada nilai yang merupakan manifestasi Pancasila dan
UUD 1945 serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional
Indonesia. Hubungan Industrial Pancasila diatur dan diperinci dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. 645 Tahun 1985 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Hubungan Industrial Pancasila.
Berbeda dari sistem liberal maupun sistem sosialis yang berakar dari
pemikiran Marx, menurut konsep HIP secara teoritis kedudukan buruh bukan
merupakan faktor produksi yang tersubordinasi, melainkan merupakan mitra
(partner) yang setara dengan pengusaha. Hubungan buruh dengan majikan
bersifat partnership (kemitraan), di mana buruh dan majikan merupakan mitra
dalam produksi, dalam keuntungan dan dalam tanggung jawab. Mekanisme yang
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan industrial
adalah komunikasi, perundingan dan musyawarah dalam suasana kerjasama antara
perusahaan dan buruh.245
244 Cahyono, Edy dan Soegiri D. S., 2003, Gerakan Serikat Buruh; Jaman Kolonial HindiaBelanda Hingga Orde Baru (1998), Hasta Mitra, Jakarta, halaman 150.
245 Suroto, Ari, Op. Cit., halaman 32.
194
Hubungan Perburuhan (Industrial) Pancasila di dasari tiga prinsip yang
menjadi kerangka dalam implementasinya. Ketiga prinsip tersebut adalah:
1). Prinsip rumongso handarbeni, yaitu prinsip merasa ikut memiliki
(partner in profit and partner in production);
2). Prinsip melu harungkebi, yaitu prinsip bahwa buruh mempunyai
tanggung jawab bersama dengan pengusaha untuk mempertahankan dan
memajukan produksi; dan
3) Prinsip prinsip sarira hangroso wani, yaitu prinsip keberanian untuk
mawas diri. Dengan kata lain, konsepsi HPP/HIP merupakan sebuah
reaksi dan kontra-gagasan terhadap model dan sistem hubungan
industrial yang dikembangkan pada era sebelum tahun 1966 yang
dianggap terlalu radikal.
Di dalam konsep HIP, buruh dan pengusaha digolongkan sebagai “satu
keluarga” dan mempunyai kepentingan yang sama. Oleh karena itu, buruh
berkewajiban meningkatkan produksi terus menerus demi kemajuan perusahaan;
pengusaha berkewajiban membagi keuntungan demi peningkatan kesejahteraan
buruh dan keluarganya. Tanggungjawab bersama buruh dan pengusaha dalam
proses produksi sekaligus juga diartikan sebagai tanggungjawab kepada
masyarakat, kepentingan negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan Industrial Pancasila secara keseluruhan dioperasikan institusi
tripartit antara organisasi buruh yang berada dibawah kontrol dan hegemoni
negara, yaitu SPSI, organisasi pengusaha, yakni APINDO, dan unsur pemerintah
(Departemen Tenaga Kerja). Kegiatan melaksanakan konsepsi HIP oleh lembaga
195
tripartit kemudian didukung dan di-back-up oleh komando teritorial institusi
militer (Kodam, Korem, Kodim dan Koramil).
Pada kenyataannya, HPP/HIP dengan didukung pendekatan keamanan yang
ketat, telah mampu menjadi penopang ketenangan gerak industrialisasi, tetapi
belum mampu menjadi sebuah kekuatan dan mekanisme efektif untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh.246 Hal ini terbuktikan dari
pengalaman sejarah selama konsepsi HPP/HIP diaplikasikan dalam hubungan
industrial. Tatkala mekanisme yang disediakan dalam konsep HPP/HIP digunakan
untuk menyelesaikan persoalan hubungan industrial yang muncul, hasilnya dilihat
dari segi kepentingan buruh banyak tidak memuaskan.247
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1995memberikan analisis bahwa rezim Orde Baru melalui konsep HIP sebagaiideologi hubungan industrial di Indonesia, perangkat hukum yang adamemperkenalkan dan menekankan model korporatis dan paksaan dengangaya ‘komando’ represif. Konsep HIP telah menghias peraturan perundang-undangan secara marginal supaya memberikan kesan legal danmemperindah aspek-aspek yang lebih brutal.248
2. Kepentingan pengusaha
Apa yang menjadi kepentingan pengusaha dalam konteks pengupahan
dewasa ini, tidak berbeda dengan kepentingan pengusaha pada beberapa abad
yang lalu. Kepentingan tersebut adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya
dari kegiatan ekonomi yang dilakoninya. Keuntungan tersebut dapat diperoleh
246 Wibawanto et all, 1998, Siasat Buruh Dibawah Represi, Lapera Pustaka Utama,Yogyakarta, halaman 23.
247 Suroto, Ari, Op. Cit. halaman 33.248 Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 10-13.
196
secara optimal apabila supply and demand setidaknya dalam keadaan seimbang.
Terlebih lagi apabila permintaan pasar (demand) lebih besar daripada persediaan
barang yang menjadi komoditas. Hal ini tentunya mensyaratkan kegiatan produksi
yang efisien.
Bagi pengusaha, upah yang ideal adalah upah yang mampu mendukung
kegiatan produksi yang efisien, yaitu mencerminkan ciri-ciri sebagai berikut249:
a. Adil (Internally Equitable)
Artinya seorang pegawai dibagian tertentu dibayar relatif sama denganpegawai departemen lainnya jika mereka melakukan pekerjaan yangsetara meskipun dengan latar belakang profesi yang berbeda;
b. Bersaing (Externally Competitive)
Sistem pengupahan suatu perusahaan seyogyanya juga memperhatikanperusahaan-perusahaan lainnya terutama saingannya, agar supaya tidakketinggalan.
c. Sederhana (Administratively Efficient)
Suatu sistem pengupahan seyogyanya bersifat sederhana sehinggamudah dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mengelola pengupahan;
d. Terjangkau (Affordable)
Perusahaan dalam menyusun sistem pengupahannya haruslahmempertimbangkan kemampuannya. Suatu sistem pengupahan yangbagus tetapi tidak terjangkau oleh perusahaan akan menjadi bumerang.
e. Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan (Defensible)
Di negara manapun juga pemerintah selalu ikut campur dalam masalahpengupahan ini dengan mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah.
f. Di mengerti oleh Karyawan (Explainable)
Suatu sistem pengupahan yang baik haruslah mudah dijelaskan agarsupaya bisa dimengerti dan di terima oleh pegawai.
g. Menunjang Keberhasilan Perusahaan (Goal Oriented)
Suatu sistem pengupahan haruslah pararel dengan strategi perusahaansehingga merupakan faktor pembantu atau penunjang bagi perusahaanuntuk mencapai objektifnya.
249 Rachman, Hassanudin, Loc. Cit.
197
Upah sebagai bagian dari biaya produksi dan merupakan pengeluaran
dibidang penyediaan faktor produksi, harus ditekan serendah mungkin untuk
mendapatkan efisiensi produksi. Secara yuridis normatif, upah minimum yang
ditetapkan pemerintah yang pada dasarnya ditujukan untuk pekerja yang
mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun, maka apabila mengalami kenaikan
akan menyebabkan ‘upah sundulan’ mengalami kenaikan juga. Kendati untuk
kenaikan upah sundulan besarannya ditentukan oleh hasil perundingan bipartit
antara pekerja dengan perusahaan secara langsung, namun tidak urung kenaikan
upah minimum tetap akan memberikan dorongan bagi kenaikan upah sundulan.
Di tengah sistem perdagangan dunia yang sudah mengarah pada
perdagangan bebas dan menyebabkan persaingan yang ketat antar industri, maka
hanya perusahaan yang mampu melakukan efisiensi produksi dengan optimal
yang akan mampu merebut dan bertahan dalam pasar.
Di sisi lainnya, bagi perusahaan sub-kontrak atau perusahaan pemborong
pekerjaan yang mana keberlangsungannya mengandalkan kontrak-kontrak
produksi dari perusahaan-perusahaan dari luar negeri, kenaikan upah minimum
akan menyebabkan melemahnya daya saing dengan perusahaan-perusahaan sub-
kontrak dari negara lainnya untuk memperebutkan kontrak-kontrak produksi.
Selain itu, banyaknya jenis pungutan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
perhitungan biaya produksi secara bisnis yang harus dibayarkan oleh pengusaha
untuk menjalankan kegiatan usahanya menyebabkan biaya operasional perusahaan
secara keseluruhan membengkak dan tidak mencerminkan efisiensi. Oleh karena
itu, jika upah buruh tidak ditekan serendah mungkin, maka perusahaan tidak akan
198
mampu bersaing dalam pasar akibat tingginya ongkos yang harus dikeluarkan
untuk memproduksi barang dan/atau jasa.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia
memerlukan biaya tinggi (high cost economy) karena untuk dapat menjalankan
kegiatan usaha di Indonesia dengan lancar, para pelaku usaha harus membayar
berbagai macam pungutan yang apabila diakumulasikan didapati jumlah yang
besar. Pungutan yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha sebagian tidak dapat
diketahui atau diprediksi sebelumnya serta tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional maupun legal. Banyak faktor dan sebab yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.
Pertama, birokrasi di Indonesia berbelit-belit sehingga urusan birokrasi
menjadi rumit. Hal ini sudah menjadi keluhan yang umum dilontarkan oleh
kalangan pelaku industri dan usaha yang beroperasi di Indonesia. Rumitnya
perizinan dan berbelitnya struktur birokrasi mempunyai konsekuensi
diperlukannya waktu yang lama untuk mengurus segala sesuatu yang sifatnya
administratif.
Saat ini, untuk perizinan baru wajib amdal (analisis mengenai dampak
lingkungan), investasi yang berasal dari modal dalam negeri membutuhkan 27 izin
dengan waktu yang dibutuhkan secara normatif adalah 482 hari. Sementara untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) membutuhkan 28 izin dengan waktu 489 hari.
Sedangkan untuk usaha yang tidak wajib amdal, perizinan yang dibutuhkan
PMDN mencapai 28 jenis yang memakan waktu normatif 527 hari dan 29 jenis
perizinan dengan waktu 534 hari untuk PMA. Akan tetapi, berdasar pengalaman
199
yang ada selama ini untuk mendapatkan semua izin yang diperlukan dalam hal
usaha wajib amdal waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 1.400 hari dan usaha
yang tidak wajib amdal mencapai 1.200 hari. 250 Hal ini bertentangan dengan
karakter kegiatan usaha yang cenderung untuk melakukan sesuatu dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya. Kondisi yang demikian ini telah memberikan peluang
terjadinya praktek suap-menyuap atau ‘pungutan liar’ yang melibatkan oknum-
oknum yang duduk di jajaran birokrasi―mulai dari yang duduk di level atas
sampai yang bawah―apabila urusan administratif ingin lancar dan cepat.
Kedua, pemahaman yang keliru tentang kebijakan otonomi daerah oleh
pemerintah daerah. Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah diberi
keleluasaan untuk merencanakan program-program pembangunan yang sesuai
dengan potensi dan keadaan riil daerah masing-masing. Artinya, penerapan
kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat membuat potensi daerah tergarap
secara optimal. Sehingga akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan pembangunan nasional secara umum dapat memperoleh hasil yang optimal
dan tepat sasaran karena berbasiskan kondisi empiris.
Otonomi daerah adalah kebijakan yang pada dasarnya dilandasi hasrat untuk
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memotong rantai birokrasi yang
terlalu panjang serta untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat.
Inti dari kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi dan dekonsentrasi.
Urusan-urusan yang dapat di-cover daerah tidak lagi dikerjakan oleh pemerintah
pusat. Dengan demikian pelayanan publik dalam bidang administratif dapat
250 Jawa Pos, edisi 7 Mei 2007.
200
didekatkan kepada masyarakat. Implikasi yang diharapkan dengan mendekatkan
pelayanan yang sifatnya publik kepada masyarakat adalah menjadi katalisator bagi
terbangunnya suasana yang kondusif untuk investasi dan kegiatan perekonomian.
Akan tetapi dalam prakteknya selama ini otonomi daerah cenderung
dipahami sebagai program untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)
sebesar-besarnya. Pemerintah daerah justru mengeluarkan berbagai kebijakan dan
beragam peraturan daerah (Perda) untuk melegalisasi pungutan-pungutan (pajak
dan retribusi) guna menambah PAD.
Pada beberapa kasus, pungutan pajak atau retribusi kabupaten/kota tumpang
tindih dengan pajak atau retribusi yang diambil oleh propinsi. Pemerintah propinsi
telah memungut pajak, namun pemerintah kabupaten/kota pun menarik pajak lagi
atas obyek yang sama, sehingga masyarakat umum dan para pelaku usaha
mengalami pungutan rangkap.
Ketiga, buruknya infrastruktur fisik seperti jalan raya, misalnya, telah
menyebabkan pengiriman barang dari satu daerah ke daerah lainnya, atau proses
pengiriman barang dari gudang pabrik menuju pelabuhan memakan waktu yang
lama. Kondisi jalan yang buruk juga telah memberikan peluang munculnya
praktek-praktek premanisme dan tindak kriminal lainnya serta pungutan liar dari
aparat keamanan. Akibatnya, ongkos pengangkutan menjadi mahal.
Di luar ketiga faktor tadi sebenarnya masih banyak penyebab ekonomi biaya
tinggi. Akan tetapi, ketiga faktor itu-lah yang paling nyata menyumbangkan
ekonomi biaya tinggi.
3. Kepentingan Negara
201
Berbicara mengenai buruh tentu tidak dapat dilepaskan dengan yang
namanya industri, sedangkan membahas tentang masalah-masalah di sekitar
sektor perburuhan pada konteks Indonesia, tidak akan menemukan akar
masalahnya apabila tidak menyangkut pembahasan soal program industrialisasi
nasional. Program industrialisasi nasional dikembangkan dengan membawa cita-
cita menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan
barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang
layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang maju secara adil dan merata.251
Pasar kerja di Indonesia merupakan cerminan suatu perekonomian dualistik
yang ditandai oleh lapangan kerja di sektor modern (formal) yang relatif kecil dan
sektor tradisional atau informal yang sangat besar, yang mencerminkan adanya
‘surplus’ tenaga kerja.252 Sampai saat ini, kegiatan-kegiatan ekonomi agraris yang
berciri subsistensi masih mendominasi struktur ekonomi Indonesia. Kegiatan
ekonomi subsistensi ini masih mendominasi sehingga berbagai sektor masih
didominasi oleh lapangan kerja di pedesaan dan kegiatan ekonomi informal di
perkotaan.253
Kegiatan pembangunan dibidang ekonomi serta berbagai upaya menarik
investasi dilakukan dalam kerangka untuk mentransformasikan pekerja disektor
251 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.252 Bappenas, 2003, ringkasan eksekutif Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan
Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja.253 Iryanti, Rahma, “Kualitas Tenaga Kerja: Mengantisipasi Perubahan Dalam Pasar Kerja”,
makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial UntukMemperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16 September 2003.
202
informal dan tradisional ke pekerjaan-pekerjaan sektor modern (formal). Makna
praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern,
dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. 254 Sehingga program yang
dikerjakan adalah dalam rangka memfasilitasi perpindahan atau transformasi dari
sektor informal yang produktivitas dan tingkat kesejahteraannya rendah menuju
sektor formal yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi.255
Maksud dari transformasi pekerja informal menjadi pekerja formal ialah dengan
menjadi pekerja formal, pekerja dapat lebih diproteksi dan kesejahteraannya pun
akan dapat lebih dijamin.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa program industrialisasi
berhadapan dengan masalah modal. Ketidakmampuan negara menyediakan modal
yang dibutuhkan membuat negara menginsafi bahwa tidak akan mampu
mengerjakan program-program pembangunan―termasuk didalamnya adalah
program industrialisasi―untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengurangi jumlah penduduk yang miskin, tanpa keterlibatan swasta domestik
maupun asing. Sebagai contoh, untuk menekan jumlah penduduk miskin dari 36
juta jiwa menjadi 17 juta penduduk, setidaknya ekonomi harus tumbuh 6,6 persen,
dan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu dibutuhkan investasi
langsung minimal US $ 426 miliar atau Rp. 3.834 triliun per tahun. Akan tetapi,
pemerintah hanya bisa memenuhi sekitar US $ 68 miliar.256
254 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.255 Bappenas, 2003, Op. Cit.256 Jawa Pos, 11 Juli 2007.
203
Akan tetapi, dalam konteks industrialisasi, arti ‘swasta’ disini lebih
bermakna investor dan modal yang berasal dari luar negeri (asing). Hal ini tidak
lain karena terbatasnya jumlah swasta domestik yang mempunyai kapabilitas dan
kapasitas untuk membangun industri. 257 Di samping itu, faktor lain yang
mempengaruhinya adalah rendahnya tingkat penguasaan teknologi, padahal
penguasaan teknologi merupakan salah satu determinan dalam hal pengembangan
industri. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan
oleh kemampuan pembiayaan (kemampuan menyediakan modal), dukungan
sumber daya manusia dan tingkat penguasaan teknologi.
Dengan adanya operasi modal asing di dalam wilayahnya, suatu negara akan
lebih mudah untuk mengerjakan program industrialisasi dan menciptakan
lapangan kerja bagi rakyatnya. Selain itu, suatu negara sekaligus juga lebih mudah
mendapatkan pangsa pasar di dunia dibanding dengan cara mengusahakannya
sendiri. 258 Sehingga dalam kerangka memacu pertumbuhan ekonomi,
menggabungkan diri dengan operasi modal internasional relatif lebih
menguntungkan suatu negara dalam hal mengembangkan perekonomiannya.
Pada tataran ini, konsekuensi yang dipikul oleh negara adalah timbulnya
watak ketergantungan kepada swasta menjadi begitu dominan. Sehingga yang
terjadi selanjutnya adalah, akibat ketidakmampuan dalam hal menyediakan modal,
mendorong negara mengadakan berbagai macam cara untuk membuat agar
257 Lihat: Razif, “Pengalaman Kelas Buruh dan Industri Manufaktur di Indonesia”, dalamWibawa, Aris (penyunting), Op. Cit., halaman 15.
258 Ibid.
204
investor betah menanamkan investasinya dan untuk menarik penanaman modal
yang lebih besar di Indonesia. Intinya, negara berusaha mengakomodasi seoptimal
mungkin apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan pemilik modal (investor).
Kebijakan-kebijakan yang diambil negara, meskipun mungkin bertolak dari ide
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun kebijakan dan program-
program tersebut dibuat dan dikembangkan dalam perspektif dan dengan tolok
ukur kepentingan modal. Lebih jelasnya, negara mempunyai kepentingan menjaga
kondisi ekonomi makro agar tetap kondusif dan menarik bagi penanaman
investasi.
Negara sangat mengkhawatirkan terjadinya suatu kondisi yang membuat
investor tidak tertarik untuk menanamkan atau mempertahankan investasi yang
telah ditanamkan. Namun sayangnya, tindakan yang ditempuh untuk menghindari
agar Indonesia tidak terjebak dalam suatu kondisi yang tidak kondusif bagi
investasi, selama ini sifatnya cenderung parsial dan kadangkala justru mendistorsi
usaha menciptakan kesejahteraan rakyat.
Fenomena relokasi industri dan hengkangnya modal dari Indonesia ke
negara-negara berkembang lainnya belakangan ini, yang ditanggapi dengan sikap
pesimisme dan menghamba, menunjukkan bahwa pada dasarnya bangunan
perekonomian secara umum dan arsitektur industrialisasi nasional tidak
mempunyai struktur yang kuat.
Dalam kaitannya dengan masalah perburuhan, jika pada masa sebelum krisis
kebijakan-kebijakan yang cenderung anti-buruh dibuat dengan tujuan untuk
menarik investasi sebesar-besarnya, maka sejak krisis ekonomi hingga pada masa
205
sekarang ini tujuan penerapan kebijakan yang anti-buruh dimaksudkan untuk
menghindari hengkangnya modal dan relokasi industri dari Indonesia.
Kepentingan pemerintah untuk menahan laju peningkatan upah buruh kearah yang
lebih baik dan layak secara manusiawi adalah untuk mempertahankan keadaan
‘bersahabatnya’ sektor ketenagekerjaan Indonesia terhadap investasi. Kenaikan
upah minimum yang tinggi dan berlangsung dalam beberapa tahun mulai
berdampak pada keunggulan komparatif Indonesia di industri-industri padat karya
yang dimasa lalu sangat berperan dalam menyumbang kinerja ekonomi Indonesia
secara umum.
Sejak dihantam krisis ekonomi pada tahun 1997, GDP Indonesia menurun
drastis jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum krisis. Selain itu, arus
investasi asing yang masuk ke Indonesia pun tidak sebanding dengan arus modal
yang keluar dari Indonesia. Sehingga akibatnya pertumbuhan ekonomi berjalan
sangat lambat. Atas fenomena ini dan kejadian relokasi industri serta
hengkangnya beberapa investasi dari Indonesia, sektor perburuhan dituding
sebagai penyebabnya.
Oleh sebagian investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia,
hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia (UU No. 14 tahun 1969 Tentang
Pokok-pokok Perburuhan) dipandang terlalu melindungi buruh serta kurang
mendukung investasi dan gerak modal. Agaknya pemerintah Indonesia
mengakomodasi keluhan ini, sehingga pada tahun 2003, dikeluarkanlah UU No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti dari UU No. 14 tahun
206
1969.259 Secara substansial, materi yang dibawa oleh UU No. 13 Tahun 2003
memberi pengaturan yang lebih luwes jika dibandingkan dengan materi di dalam
Undang-Undang No. 14 tahun 1969.
Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 merupakan jawaban dari
kebutuhan pemilik modal atas struktur ketenegakerjaan yang fleksibel. Legalisasi
sistem kerja kontrak dan diperkenalkannya sistem outsourcing oleh Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 merupakan upaya untuk mewujudkan fleksibilitas
pasar tenaga kerja di Indonesia.
Bagi pemerintah, dengan mengakomodasi apa yang diingini oleh investor,
diharapkan peristiwa pelarian modal dari Indonesia dapat ditekan dan bahkan
mampu menarik minat penanaman modal di Indonesia. Sehingga pada akhirnya
diharapkan kinerja ekonomi Indonesia dapat kembali pulih seperti saat sebelum
krisis pada tahun 1997.
Dalam banyak kajian tentang realitas perburuhan dan pasar kerja, yang
selalu menjadi tolok ukur keberhasilan adalah banyaknya investasi yang masuk.260
259 Sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 diterbitkan, sebagai respon atas tuntutaninvestor asing dan lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF, World Bank, dan AsianDevelopment Bank agar pemerintah Indonesia memperbarui peraturan ketenegakerjaan untukdisesuaikan dengan perkembangan yang ada, pemerintah telah berusaha memberlakukan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1969. Namun karenamendapat tentangan dan resistensi yang keras dari kalangan buruh, akhirnya pemerintah menundapemberlakuan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tersebut.
Baru pada era pemerintahan Habiebie Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 diberlakukan.Walaupun mendapat sambutan yang negatif dan resistensi yang kencang dari buruh, undang-undang tersebut tetap diberlakukan. Akan tetapi pemberlakuan Undang-Undang No. 25 Tahun1997 tidak bertahan lama. Pada era pemerintahan Gus Dur, melalui Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2000, Undang-Undang No. 25 Tahun 1997dicabut keberlakuannya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000sekaligus memberlakukan kembali Undang-Undang No. 14 tahun 1969.
260 Ulum, Bachrul, “Keberpihakan Pada Buruh Melalui Kebijakan Tentang PenyelesaianPerselisihan Industrial”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan HubunganIndustrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16 September 2003.
207
Namun di sisi lainnya, tenaga kerja dan buruh yang merupakan entitas serta faktor
penting dalam mengundang investasi tidak diberi perhatian yang memadai.
Padahal tanpa buruh, investasi yang masuk tidak mempunyai arti apa-apa dalam
pembangunan dan upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegagalan dari pembangunan
ekonomi akibat dari kebijakan dan program serta perencanaan yang tidak tepat
dibebankan kepada buruh. Kaum buruh kembali dipaksa untuk menjadi korban
dan tumbal guna menarik gerbong perekonomian yang sedang seret dalam rangka
mewujudkan obsesi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di sini, kaum buruh tidak
ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dibanding
pemilik modal dan alat produksi yang bisa leluasa mengeruk untung sebesar-
besarnya.261
Pemerintah memang hingga saat ini masih terfokus penciptaan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan belum berbicara soal distribusi serta pemerataan
pendapatan. Pertumbuhan ekonomi merupakan jawaban dari segala persoalan
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa masalah tingginya
jumlah pengangguran pada masa sekarang ini merupakan persoalan besar yang
dihadapi Indonesia dan sebagian besar negara-negara lainnya. Ledakan penduduk
dalam jumlah besar yang tidak diiringi ketersediaan lapangan pekerjaan,
merupakan ancaman sosial yang nyata. Bagi pemerintah, dengan adanya
pertumbuhan ekonomi, akan tercipta lapangan kerja sehingga masalah
261 Mahfud, Choirul, “Aksi Buruh dan Perbaikan Nasib”, www.surya-online.com, diaksespada tanggal 21 Februari 2007.
208
pengangguran akan dapat di atasi. Oleh karenanya secara tidak langsung juga
akan memecahkan masalah kemiskinan secara luas.
Sejak krisis ekonomi 1997-1998, sudah banyak perusahaan asing yang
menutup pabriknya di Indonesia, mengurangi produksi, memindahkan fasilitas
produksinya ataupun mengalihkan ordernya ke negara lain.262 Akibatnya terjadi
PHK besar-besaran yang menyebabkan jutaan orang buruh kehilangan pekerjaan
dan beralih pada sektor ekonomi informal. Bagi pemerintah, ini merupakan gejala
yang tidak baik dalam hal pertumbuhan pendapatan nasional. Sektor ekonomi
informal selama ini dipandang mempunyai produktivitas yang rendah dan hanya
sebatas menjadi ‘katup’ pengaman sosial yang menampung tenaga kerja tidak
terampil sehingga tidak banyak memberikan andil terhadap pertumbuhan
pendapatan nasional.
Di tengah suasana liberalisasi investasi yang makin menguat, yang mana
mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan
kebutuhan pembangunan jangka panjang, 263 telah mengakibatkan pemerintah
semakin cemas akan kondisi perekonomian nasional. Namun disisi lainnya,
pemerintah juga mempunyai harapan dari liberalisasi investasi tersebut.
Diilhami pengalaman pada tahun 1980-an yang mana Indonesia mampu
menjaga daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga lainnya
262 Perusahaan-perusahaan asing yang merelokasi pabriknya, mengurangi kapasitas produksiatau mengalihkan order produksi ke negara lain antara lain adalah PT. Sony Elektrik Indonesia(perusahaan asal Jepang yang memproduksi barang-barang dan peralatan elektronik dengan merek‘SONY’) yang mengalihkan pabriknya ke Vietnam, PT. Kyung Dong (perusahaan asal KoreaSelatan yang memproduksi barang-barang peralatan rumah tangga dan kitchen set), produsensepatu merek Reebok yang mengalihkan order produksinya juga ke Vietnam, dan perusahaan-perusahaan lainnya.
263 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.
209
karena tingkat upah buruh yang rendah, tetapi daya saing ini kemudian menurun
seiring dengan kenaikan upah minimum sejak awal dekade 1990-an.264 Maka,
dengan menekan kenaikan upah minimum yang disertai penerapan kebijakan
pasar tenaga kerja yang fleksibel serta peraturan ketenagakerjaan yang longgar,
Pemerintah Indonesia berharap dapat mempertahankan politik upah murah
sebagai daya tarik sehingga liberalisasi akan membawa masuk investasi pada
sektor riil sehingga akan mampu menyerap surplus tenaga kerja. Selain itu, lebih
jauh lagi pemerintah berharap bahwa investasi yang masuk akan membawa
teknologi sehingga akan mempercepat transfer teknologi dan pada akhirnya akan
meningkatkan daya saing di pasar global.265
4. Kepentingan Buruh
Sebagaimana manusia pada umumnya, dengan bekerja, buruh pun tentu
berharap dapat menjalani hidup secara layak dan kecukupan. Pada dasarnya buruh
tidak berbeda dengan manusia yang berasal dari kelompok lainnya, yakni agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja. Hanya saja kondisi
yang dihadapi buruh mempunyai karakter tertentu sehingga menempatkan buruh
sebagai kelompok dengan karakter yang spesifik dibanding dengan kelompok
warga masyarakat lainnya seperti petani atau pedagang.
264 Asian Development Bank, 2005, Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki Iklim Investasidi Indonesia, halaman 7.
265 Ibid.
210
Bagi buruh, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup hampir
sepenuhnya ditentukan oleh upah yang diterima hasil dari menjual tenaga, waktu
dan perhatiannya kepada pemilik modal. Dengan jam kerja yang menghabiskan
sebagian besar waktu dan tenaga yang dimiliki buruh, membuat buruh hampir
tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghasilan sampingan di luar
upah untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga upah kemudian menjadi satu-
satunya penopang kehidupan buruh. Apalagi ditengah himpitan ekonomi yang
semakin deras dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus melonjak,
upah menjadi begitu berarti.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar aksi-aksi protes
buruh yang ada selama ini sebagian besar berkaitan dengan masalah upah dan
kesejahteraan. Sebenarnya, tuntutan buruh atas kenaikan upah dan kesejahteraan
merupakan hal yang realistis dan sekaligus juga menguntungkan dunia usaha.
Upah yang layak akan meningkatkan daya beli buruh terhadap produk-produk
industri, sehingga memperluas pasar produk industri. Sebagaimana telah
dikemukakan oleh Engels bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan
persentase konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Dengan kata
lain, kenaikan pendapatan tidak akan menaikkan konsumsi untuk makanan,
melainkan konsumsi barang-barang produk industri.266
Keyakinan yang melekat dalam benak buruh adalah buruh melalui tetesan
keringat dan bahkan darahnya telah turut memberikan sumbangan atas
266 Budiman, Arief, 1995, Op. Cit. halaman 46.
211
keuntungan yang diperoleh perusahaan.267 Oleh karena itu buruh merasa wajar
apabila menuntut agar tingkat kesejahteraan dirinya dan keluarganya harus juga
mendapatkan perhatian yang proporsional. Dalam hal ini, setidaknya buruh dan
keluarganya mampu menjalani hidup secara layak menurut ukuran kemanusiaan
dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang oleh Eggi Sudjana kebutuhan
dasar disebutkan terdiri dari empat kebutuhan, yaitu268:
a. kebutuhan dasar untuk hidup, meliputi pangan, sandang, papan, air,udara, bahan baker, dan lain-lainnya;
b. kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat danmeningkatkan kapasitas/produktivitas individu, meliputi pendidikan,pelayanan kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaansosial, kebebasan berpendapat, tersedianya pasar, dan lain-lainnya;
c. kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu)terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi, meliputi tanah, air,vegetasi, modal (termasuk teknologi), peluang bekerja, danberpenghasilan layak;
d. kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuatkeputusan, meliputi penghargaan atas HAM, partisipasi dalam politik,keamanan sosial, pertahanan sosial dan peraturan yang adil bagi semualapisan masyarakat.
Dalam konteks upah, jumlah upah yang diterima buruh setidaknya, menurut
Mochtar Pakpahan, harus memadai untuk memenuhi269:
1. sandang, pangan, papan dan pelayanan kesehatan;2. biaya cuti tahunan; dan3. biaya pendidikan anak pekerja/buruh sampai ke jenjang perguruan
tinggi.
Bagi buruh, kebijakan negara yang menerapkan upah murah sebagai
keunggulan komparatif untuk menarik investasi sudah tidak relevan lagi. Upah
267 Gaharpung, Marianus, Loc. Cit.268 Khakim, Abdul, 2006, Aspek Hukum Pengupahan (Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun
2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 4.269 Ibid., halaman 5.
212
buruh yang murah bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat arus
masuk investasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita yang terdapat di beberapa
negara di mana upah buruh di sana jauh lebih tinggi daripada upah buruh
Indonesia, akan tetapi negara-negara tersebut justru mampu menarik masuk
investasi lebih besar dibanding Indonesia. Sebagai contoh, Brunei Darussalam dan
Singapura, dua negara tetangga Indonesia yang mana upah buruhnya jauh lebih
tinggi dibanding upah buruh Indonesia, merupakan negara-negara yang masuk
peringkat sepuluh besar dalam urutan negara tujuan investasi dunia. Sedangkan
India dan Indonesia justru menduduki peringkat bawah dari urutan negara tujuan
investasi. 270
Tabel 1
Negara tujuan investasi dan upah buruh per jam271
No. Negara tujuan investasi dunia No urut Upah buruh/jam
1 Philipina 96 42 cents2 China 37 31 cents3 Indonesia 139 29 cents4 Vietnam 38 13 hingga 19 cents5 India 114 11 cents
Dari tabel di atas tersedia penjelasan yang menerangkan bahwa tidak
terdapat korelasi langsung antara upah buruh murah dengan tingginya arus
investasi asing yang masuk ke suatu negara.
270 Upah buruh di Malaysia sudah mencapai US $ 400 dan Thailand US $ 450, sedangkanIndonesia hanya berkisar US $ 100. (Kompas, edisi 11 Maret 2004)
271 diadopsi dari Setiawan dan Tambunan, Op. Cit.
213
BAB IV
STUDI KASUS JAWA TIMUR
214
A. Deskripsi Kasus Jawa Timur
1. Mekanisme Penetapan Upah Minimum di Provinsi Jawa Timur
Mekanisme penetapan upah minimum yang berlaku di Jawa Timur pada
dasarnya tidak berbeda dengan yang berlaku di wilayah provinsi lainnya. Jawa
Timur adalah sebuah provinsi yang menjadi bagian integral dari Indonesia. Secara
geografis, karakter topografi, kemajuan perekonomian maupun kultur
masyarakatnya dapat berbeda dengan wilayah atau provinsi lainnya. Akan tetapi
untuk soal hukum, segala peraturan hukum yang berlaku secara nasional, juga
berlaku di Jawa Timur. Dalam hal ini termasuk juga peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan kebijakan upah minimum beserta mekanisme
penetapan upah minimum yang telah ditetapkan secara nasional.
Mekanisme dan prosedur yang sifatnya teknis di dalam penetapan upah
minimum di Jawa Timur mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum, yang
disempurnakan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP-226/MEN/2000, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Di dalam melakukan penghitungan atas nilai upah minimum yang hendak
direkomendasikan kepada gubernur, rumus yang dipakai Dewan Pengupahan
Provinsi adalah penjumlahan laju pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tenaga
kerja dikalikan dengan KHL. Hasilnya kemudian ditambahkan dengan nilai
nominal upah minimum periode sebelumnya.
215
Pada Bab III telah dijelaskan bahwa pertimbangan penetapan upah
minimum menurut Pasal 6 Permennaker No. 01 Tahun 1999 terdiri dari:
1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) – yang melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 diubah menjadi Kebutuhan Hidup
Layak272;
2. Indeks Harga Konsumen (IHK);
3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar
daerah;
5. Kondisi pasar kerja;
6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
Sementara menurut Pasal 4 Permenaker 17/2005 faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum terdiri dari:
1. Kebutuhan Hidup Layak (KHL)273
2. Produktivitas (jumlah Produk Domestik Regional Bruto/PDRB:
jumlah tenaga kerja pada periode yang sama) 274
3. pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan nilai PDRB) 275
4. Usaha yang paling tidak mampu (marginal)
272 Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakanpeningkatan dari kebutuhan hidup minimum (Pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 Tahun 2005)
273 Pasal 88 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003.274 ibid.
275 ibid.
216
Upah minimum berlaku sejak tanggal 1 Januari tahun berjalan dan
ditetapkan 60 hari sebelumnya (untuk UMP) dan 40 hari sebelumnya (untuk
UMK).
a. Kebutuhan Hidup Layak
Survei atas harga komponen-komponen KHL dilakukan oleh tim tripartit
yang terdiri dari unsur pemerintah, perwakilan pengusaha, dan perwakilan buruh.
Untuk pemerintah diwakili oleh Badan Pusat Statistik (BPS), perwakilan
pengusaha oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan perwakilan buruh
oleh perwakilan SP/SB dan dilakukan pada minggu pertama setiap bulannya.276
Hasil dari survei setiap bulan lalu diadakan rekapitulasi dan lalu dilakukan
perhitungan akhir nilai KHL. Nilai KHL akhir akan ditetapkan oleh Dewan
Pengupahan dan direkomendasikan kepada Bupati/Walikota setempat (untuk
UMK) ataupun kepada Gubernur (untuk UMP).
Survei KHL dilakukan sesuai dengan perhitungan komponen KHL dalam
Lampiran II Permenakertrans No.17 tahun 2005. Dikeluarkannya Permenakertrans
No. 17/2005 tersebut sesuai dengan pasal 89 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003.
Permenakertans mengenai KHL ini untuk menyempurnakan komponen
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang hanya 43 indikator menjadi 46
indikator.
b. Survei dan Penghitungan Nilai Kebutuhan Hidup Layak
276 Lampiran II Permenaker No.17 tahun 2005.
217
Seperti yang telah diuraikan di muka, KHL terdiri atas 46 indikator yang
terbagi dalam VII bagian. Hal tersebut diuraikan dalam Lampiran II Permenaker
No. 17 tahun 2005. Di bawah ini tersaji uraian dalam bentuk tabel sesuai
Permenaker tersebut serta standar kualitas yang diatur dalam Permenaker dan
jumlah kebutuhannya.
Tabel 2Komponen Upah Menurut Permennaker No. 17 Tahun 2005
NO KOMPONEN KUALITAS/KALORI JML KEB SATUAN
I MAKANAN DAN MINUMAN
1. Beras Sedang(mentik) 10 kg
2. Sumber protein:
a. daging : daging / ayam sedang 0.75 kg
b. ikan segar : Bandeng/ Kembung/ Mujair
baik 1.2 kg
c. telur ayam telur ayam ras 1 kg
3. kacang-kacangan: tempe/tahu baik 4.5 kg
4. susu bubuk sedang 0.9 kg
5. Gula pasir sedang 3 kg
6. Minyak goremg curah 2 kg
7. sayuran : bayam / kangkung /
kol/ sawi / kacang panjang baik 7.2 kg
8. buah-buahan :pisang/pepaya baik 7.5 kg
9. karbohidrat lain(setara tepung terigu)
sedang 3 kg
10. a. teh celup 1 dus isi 25
b. kopi Sachet (Kapal ApiSpesial 100 gr)
4 75 gr
11. bumbu-bumbuan (nilai 1s/d 10) 15 %
II sandang
12. celana panjang / rok katun sedang 0.5 potong
13. kemeja lengan pendek/blus setara katun 0.5 potong
14. kaos oblong/BH sedang 0.5 potong
15. celana dalam sedang 0.5 potong
218
16. sarung/ kain panjang sedang 0.083 helai
17. sepatu kulit sintetis 0.167 pasang
18. sandal jepit karet 0.167 pasang
19. handuk mandi 100 cm x 60 cm 0.083 potong
20. perlengkapan ibadah Sajadah, mukenah, dll 0.083 paket
III perumahan
21. sewa kamar sederhana 1 1 bulan
22. dipan/tempat tidur (90x200) No 3 polos* 0.021 buah
23. kasur dan bantal busa 0.021 buah
24. sprei dan sarung bantal katun sedang 0.167 set
25. meja dan kursi : plastik / kayu 1 meja/4 kursi 0.021 set
26. lemari pakaian kayu sedang 0.021 buah
27. Sapu ijuk sedang 0.167 buah
28. perlengkapan makan
a. piring makan polos 0.25 buah
b. gelas minum polos 0.25 buah
c. sendok dan garpu sedang 0.25 pasang
29. ceret aluminium ukuran 25 cm 0.042 buah
30. wajan aluminium ukuran 32 cm 0.042 buah
31. panci aluminium ukuran 32 cm 0.167 buah
32. sendok masak aluminium 0.083 buah
33. kompor minyak tanah 16 sumbu 0.042 buah
34. minyak tanah eceran 10 liter
35. ember plastik isi 20 liter 0.167 buah
36. listrik 450 watt 1 bulan
37. bola lampu : pijar/neon 25 watt/15 watt 0.5 buah
38. air bersih Standar PDAM* 2meterkubik
39. sabun cuci cream/deterjen 1.5 kg
IV pendidikan
40. bacaan/radio tabloid/4 band 4 eks
jumlah
V kesehatan
41. sarana kesehatan
a. pasta gigi 80 gram 1 tube
b. sabun mandi 80 gram 2 buah
c. sikat gigi produk lokal 0.25 buah
219
d. shampo produk lokal 1 btl 100 ml
e. pembalut / alat cukur isi 10 1 dus
42. obat anti nyamuk bakar 3 dus
43. potong rambut salon/tkg cukur 0.5 kali
jumlah
VI transportasi
44. transport kerja dan lainnya angkutan 30 hari (PP)
jumlah
VII rekreasi dan tabungan
45. rekreasi daerah sekitar 0.167 kali
jumlah 1 s/d 45
46. tabungan
(2% dari nilai 1 s/d
45)
Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005
Dari indikator-indikator tersebut lalu diadakanlah survei KHL yang
dilakukan oleh tim tripartit yang tergabung dalam Dewan Pengupahan di mana
untuk pemerintah diwakili oleh Badan Pusat Statistik (BPS), perwakilan
pengusaha & perwakilan SP/SB dengan perbandingan 2:1:1 dan dilakukan setiap
bulannya. Dewan Pengupahan tersebut menggunakan kuesioner survei KHL dan
mendatangi pasar-pasar besar yang telah ditetapkan sebagai pasar tempat survei
dengan kriteria pasar yang merupakan pasar tradisional yang menjual barang
secara eceran bukan pasar induk atau pasar swalayan dan sejenisnya. Kriteria
pasar tempat survei harga adalah:
a. bangunan fisik pasar relatif besar
b. terletak di daerah kota
c. komoditas yang dijual beragam
d. banyak pembeli
e. waktu keramaian berbelanja relatif panjang
220
Setelah mengadakan survei harga KHL dengan menayakan kepada 3 (tiga)
responden di setiap pasarnya, tim tripartit mengolah data harga tersebut. Dari
ketiga responden diambil harga rata-rata. Juga terhadap indikator yang memiliki
pilihan seperti ikan yang terdiri dari ikan kembung, mujair atau bandeng diambil
harga rata-rata ikan. Dari harga rata-rata tersebut lalu disesuaikan dengan jumlah
kebutuhan dan satuan dalam sebulan yang telah ditentukan. Dan kemudian untuk
indikator yang terdiri dari beberapa macam, harus dihitung menurut rata-ratanya.
Contoh dalam sumber protein, setelah bagian daging dirata-rata, ikan dirata-rata,
maka sumber protein yang terdiri dari daging, ikan dan telur pun kembali dirata-
rata. Dari situ terdapatlah hasil akhir setiap indikator yang akhirnya semua hasil
akhir indikator dijumlahkan sesuai rumusan yang telah ditetapkan dan akhirnya
menghasilkan nilai KHL277.
Bahwa indikator komponen upah yang terdapat di dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tidak memuat kejelasan standar yang memadai,
merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Ketidakjelasan standar indikator
komponen upah di dalam praktek menimbulkan masalah yang berpotensi
menghambat survei dan penentuan nilai KHL. Oleh karenanya, untuk
menghindari masalah akibat ketidakjelasan standar atas indikator komponen upah
tersebut, setiap tahun Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran Gubenur
Jawa Timur No. 560/10459/031/006 tentang Penetapan Upah Minimum
Kabupaten Kota tahun 2007 di Jawa Timur, yang berisi petunjuk tentang standar
indikator komponen upah yang akan disurvei. Tujuannya tidak lain adalah agar
277 Tjandra, et all, Loc. Cit.
221
pelaksanaan survei dan penentuan nilai KHL tidak menemui kendala yang
berpangkal dari perbedaan penafsiran masing-masing unsur di dalam Dewan
Pengupahan, sehingga pelaksanaan survei, penentuan KHL dan penetapan upah
minimum dapat berlangsung dengan lancar tepat pada waktunya.
c. Penetapan Upah Minimum
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tim tripartit yang tergabung dalam
Dewan Pengupahan melakukan survei KHL setiap bulannya. Hasil survei KHL
tersebut dijadikan acuan untuk menentukan besaran UMK/UMP dari masing-
masing wilayah. Dewan Pengupahan ini adalah lembaga non struktural yang
bersifat tripartit dan terbentuk sesuai Pasal 98 UU No. 13 tahun 2003. Dewan
Pengupahan bertugas untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan
kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan nasional. Pengaturan khusus mengenai Dewan
Pengupahan diatur dalam Keputusan Presiden No. 107 tahun 2004. Menurut
keputusan presiden tersebut, Dewan Pengupahan terbagi menjadi tiga, yaitu
Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dewan Pengupahan Nasional dibentuk oleh Presiden atas usul Menteri dan
bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan
nasional. Sedangkan Dewan Pengupahan Provinsi diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat (PSOP) Daerah
Provinsi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Tugas Dewan
222
Pengupahan Provinsi adalah untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
Gubernur dalam rangka penetapan UMP dan UMK serta Upah Minimum Sektoral
dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Sedangkan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh
Bupati/Walikota atas usul PSOP Daerah Kabupaten/kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada Bupati/Walikota dalam rangka pengusulan UMK dan atau UMSK serta
penerapan sistem pengupahan di tingkat kabupaten/kota dan menyiapkan bahan
perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Dewan Pengupahan Kabupaten/kota tersebut melakukan survei setiap
bulannya dan dari rekapitulasi hasil survei kemudian dihasilkan nilai KHL yang
telah disepakati dan diajukan sebagai usulan pertimbangan upah minimum kepada
Bupati/Walikota. Bupati/Walikota lalu merekomendasikan UMK kepada
Gubernur di mana Gubernur lalu menetapkan Upah Minimum Kabupaten dan
setelah menerima saran serta pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi,
Gubernur juga menetapkan Upah Minimum Provinsi yang kemudian dilaporkan
kepada Menakertrans. Berikut ini mekanisme penetapan Upah Minimum
Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Provinsi278.
Tabel 3
278 Ibid.
223
Skema Proses Penentuan dan Penetapan Upah Minimum
Sumber: Forum Buruh Surabaya.
2. Peran Serikat Buruh Dalam Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah
Minimum Di Jawa Timur
a. Peran Serikat Buruh Dalam Penentuan Upah Minimum
Hal yang relatif baru yang dibawa oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
adalah penegasan atas ketentuan yang sebelumnya dimuat oleh Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000, yaitu bahwa di dalam menetapkan upah
minimum gubernur harus memperhatikan rekomendasi yang disampaikan oleh
Laporan
Usulan
Penyampaian rumusan/(usulan)
DewanPengupahanKab/Kota(Perumusan)
Bupati/Walikota(Rekomendasi)
MENAKERTRANS
DewanPengupahan Prov.(Perumusan)
Dinas tenaga kerjaKab/Kota
Gubernur(PenetapanUMK/UMP)
Survei pasar & pengumpulan databahan perumusan upah minimum
Pelaporan setiap bulan
Saran & pertimbangan
224
Dewan Pengupahan279. Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
menentukan, ”upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota”.
Jalur formal yang tersedia bagi serikat buruh untuk dapat berperan atau
memberikan kontribusi dalam penentuan upah minimum adalah melalui Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota 280 .
Keterlibatan pada Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota merupakan satu-satunya cara yang tersedia dan sah menurut
peraturan perundang-undangan bagi serikat buruh/serikat pekerja untuk dapat
melaksanakan fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewajiban yang diembannya
untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan kaum buruh pada
umumnya melalui kerangka salah satu dari sekian kebijakan pengupahan, yaitu
kebijakan upah minimum.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, yakni menurut Pasal 21 Keputusan
Presiden No. 107 Tahun 2004, tugas Dewan Pengupahan Provinsi diantaranya
adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur dalam rangka
penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan penetapan Upah Minimum
279 Sebelumnya Dewan Pengupahan bernama Komisi Penelitian Pengupahan dan JaminanSosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
280 Menurut Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan, DewanPengupahan terdiri dari:
a). Dewan Pengupahan Nasional (Depenas);b). Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov); danc). Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/ko),
Masing-masing level Dewan Pengupahan mempunyai ruang lingkup tugas yang berbeda. Untuksoal yang berkaitan dengan upah minimum, Dewan Pengupahan yang berkompeten adalah DewanPengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
225
Kabupaten/Kota (UMK). Sebagai lembaga non-struktural yang sifatnya tripartit,
di dalam Dewan Pengupahan tentu saja terdapat unsur dari buruh.
Untuk dapat menempatkan wakilnya di dalam Dewan Pengupahan, sebuah
serikat buruh harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tentang Keterwakilan dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial.
Sebagaimana telah penulis sebutkan pada Bab II, bahwa untuk dapat
menempatkan wakilnya di lembaga hubungan industrial tingkat kabupaten/kota,
sebuah atau gabungan serikat buruh harus: mempunyai sekurang-kurangnya 10
unit kerja/serikat buruh/serikat pekerja di kabupaten/kota setempat; atau
mempunyai sekurang-kurangnya 2500 anggota pekerja/buruh di kabupaten/kota
yang setempat281.
Sementara untuk dapat duduk dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
tingkat provinsi, serikat buruh harus mempunyai jumlah kepengurusan
kabupaten/kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada
di provinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Provinsi yang
bersangkutan; atau mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit kerja/serikat
pekerja/serikat buruh di provinsi yang bersangkutan; atau mempunyai sekurang-
kurangnya 5.000 peserta/buruh di provinsi yang bersangkutan282.
Subyek atau individu yang berasal dari serikat buruh di dalam Dewan
Pengupahan adalah mewakili buruh, dan mempunyai hak yang sama dengan
anggota Dewan Pengupahan yang berasal dari unsur lain. Hanya saja tidak bisa
281 Pasal 3 huruf a dan b Kepmennaker No. 201 Tahun 2001282 Pasal 4 huruf a, b dan c Kepmennaker No. 201 Tahun 2001
226
menduduki posisi pimpinan. Akan tetapi wakil dari serikat buruh tersebut berhak
terlibat dan turut memberikan kontribusi untuk kegiatan atau aktivitas lainnya
yang diselenggarakan dan menjadi tanggung jawab Dewan Pengupahan di dalam
proses penetapan upah minimum.
b. Serikat Buruh dan Pengorganisasian Protes Buruh Terhadap
Ketentuan Upah Minimum
Walaupun di dalam konsep yang baru tentang Dewan Pengupahan
keberadaan unsur serikat buruh jumlahnya seimbang dengan dengan unsur
pengusaha, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa persoalan penentuan upah
minimum yang berdasarkan pada aspirasi konkrit telah tercapai. Buktinya, setelah
penetapan upah minimum dilakukan, banyak mendapat protes dari kaum buruh.
Protes kaum buruh tersebut hampir keseluruhannya digalang oleh serikat
buruh. Tidak terkecuali oleh serikat buruh yang mempunyai perwakilan di dalam
Dewan Pengupahan.
Jika diperhatikan secara sekilas, keterlibatan serikat buruh yang mempunyai
wakil pada Dewan Pengupahan di dalam penggalangan aksi massa merupakan
sesuatu yang inkonsisten, sebab serikat buruh yang bersangkutan sebelumnya
secara tidak langsung juga turut memberikan kontribusi atas berapa jumlah nilai
KHL yang direkomendasikan kepada gubernur untuk digunakan sebagai
pertimbangan di dalam menetapkan besaran upah minimum.
Selain itu, sikap dan tindakan yang ditempuh oleh serikat buruh yang
menolak ketetapan pemerintah atas upah minimum dengan cara melakukan aksi
227
massa dan pemogokan, dapat dinilai sebagai bentuk arogansi dan pemaksaan
kehendak kepada pihak lainnya, yaitu pemerintah dan pengusaha.
Akan tetapi pandangan seperti di atas mungkin tidak akan berlaku apabila
gerak serikat buruh tersebut dibaca dalam kerangka: serikat buruh merupakan alat
perjuangan bagi buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam berhadapan
dengan modal. Ketika menyaksikan bahwa ada suatu kebijakan yang tidak sesuai
atau jauh dari aspirasi kaum buruh, sudah sewajarnya jika serikat buruh
berkewajiban untuk membela aspirasi kaum buruh. Sudah merupakan hal yang
seharusnya dan wajar serta merupakan kewajiban serikat buruh untuk selalu
memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan serta meningkatkan
kesejahteraan buruh, baik yang menjadi anggotanya maupun buruh secara umum
keseluruhan.
Persoalan mengapa ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh
pemerintah walaupun telah melibatkan buruh di dalamnya tetap saja mengundang
resistensi buruh pada dasarnya disebabkan oleh ”ketidakberdayaan” Dewan
Pengupahan. Wewenang yang dipunyai oleh Dewan Pengupahan hanyalah sebatas
memberikan rekomendasi. Sedangkan keterlibatan buruh di dalam penentuan upah
minimum hanya pada proses di dalam Dewan Pengupahan itu sendiri.
Terbatasnya wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pengupahan inilah
kemudian menyebabkan Dewan Pengupahan seringkali dituding bertanggung
jawab terhadap rendahnya ketentuan upah minimum yang ditetapkan.
Dewan Pengupahan selama ini dituding bertanggung jawab terhadapkebijakan Upah Murah karena dinilai gagal membuat usulan UMK/UMPyang layak. Dimulai dari pembentukan Dewan Pengupahan yang saratmasalah dan rumit dengan persyaratan pendidikan D3 ataupun S1 serta
228
kinerja yang dinilai buruk terutama dalam melaksanakan survei sehinggahasil survei KHL yang didapat jauh dari layak juga Dewan Pengupahandinilai tidak demokratis mengingat tidak adanya transparansi dalammenunjukkan hasil survei KHL dan penetapan nilai KHL untuk usulanUMK. Walaupun terdapat wakil buruh yang duduk dalam DewanPengupahan tetapi wakil buruh tersebut kerap kali gagal memperjuangkanhak buruh dan malah justru melegitimasi hasil survei KHL maupun usulanUMK dari Bupati/Walikota.283
Selain soal wewenang yang terbatas, tudingan bahwa Dewan Pengupahan
merupakan salah satu sumber masalah bukan tanpa alasan. Dalam kasus di Jawa
Timur tersebut, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur mempunyai track
record kinerja yang buruk dan menghasilkan rekomendasi upah minimum yang
rendah. Dimulai dari pembentukannya yang tanpa sepengetahuan publik, alias
diam-diam, keanggotaan yang bermasalah, dan melakukan survei KHL yang asal-
asalan284.
Bukan hanya Dewan Pengupahan di tingkat provinsi yang bermasalah,
melainkan juga Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota di sejumlah kabupaten/kota.
Menurut data dan catatan Trade Union Rights Centre Jakarta, setidaknya terdapat
283 Soraya, Yasmine M. S., 2007, Upah Minimum: Advokasi Kebijakan dan Penetapan UpahMinimum, TURC Jakarta.
284 Proses penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur diawali denganpembentukan Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 26 September 2005 melaluiSurat Keputusan No. 188/246/KPTS/013/2005 dan tanpa sepengetahuan publik. Keanggotaan yangbermasalah menunjuk pada penentuan wakil buruh yang duduk di dalam Dewan Pengupahan tidakberdasarkan data verifikasi langsung anggota Serikat Buruh di kabupaten/kota, sehingga tidakmemenuhi ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001. Selain itu adaanggota Dewan Pengupahan dari unsur buruh yang terpilih, yang pada saat itu merupakan anggotaDPRD Jawa Timur. Padahal dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah disebutkan DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, dan dalam Pasal 54 ayat (1)disebutkan “anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakimpada badan peradilan, PNS, TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD dan atau badan lain yanganggarannya bersumber dari APBN/APBD”.
(Tjandra, et all, Op. Cit., halaman 61-69)
229
beberapa persoalan di dalam Dewan Pengupahan sejumlah kabupaten/kota yang
sempat mencuat ke publik, yaitu285:
1. Lambannya pembentukan Dewan Pengupahan walaupun proses
verifikasi serikat buruh yang dijadikan salah satu pijakan dalam
pembentukan Dewan Pengupahan telah lama selesai. Lambannya
pembentukan Dewan Pengupahan ini dalam kenyataannya diwarnai
praktek ”politik dagang sapi”, terutama dalam menentukan perwakilan
dari unsur serikat buruh. Persoalan ini setidaknya terjadi pada proses
pembentukan Dewan Pengupahan Kota Surabaya.
2. Pembentukan Dewan Pengupahan yang tidak sesuai dengan jadwal
waktu yang seharusnya tersebut membawa dampak proses penentuan
UMK terlambat dari jadwal yang semestinya seperti tahapan pelaksanan
survei KHL dan penyampaian usulan dari bupati/walikota ke gubernur.
Hasilnya, proses pembahasan di Dewan Pengupahan Provinsi Jawa
Timur menjadi terhambat serta penetapan upah minimum menjadi
mundur.
3. Pelaksanaan survei KHL yang bermasalah, yaitu survei dilakukan
secara asal-asalaan di mana dalam proses survei seharusnya bertanya
kepada minimal tiga pedagang, akan tetapi dalam kenyataannya hanya
bertanya kepada satu pedagang.
4. Kinerja Dewan Pengupahan yang tidak transparan. Sebagai contoh
adalah Dewan Pengupahan Kota Surabaya. Walaupun saat survei KHL
285 Ibid.
230
dapat diawasi namun hasil survei dan proses penghitungan tidak
disampaikan secara terbuka ke publik. Bahkan ketika DPRD Kota
Surabaya menuntut transparansi hasil survei, Dewan Pengupahan tidak
mau memberikan dengan alasan hal tersebut bersifat rahasia dan hanya
Walikota (Surabaya) yang berwenang untuk membeberkan.
5. Pelaksanaan survei nilai KHL yang metodenya jauh dari untuk disebut
ilmiah.
Fakta tersebut membawa kaum buruh dan para aktivis serikat buruh sampai
pada pandangan bahwa diperluasnya keran partisipasi buruh di dalam proses
penentuan upah minimum, yaitu melalui Dewan Pengupahan, tidak terlalu
membawa dampak positif bagi perjuangan buruh untuk mewujudkan
kesejahteraan yang layak. Skema besaran upah yang dihasilkan dari proses yang
mengikuti prosedur dan mekanisme yang ada hampir sama sekali tidak bergeser
dari kerangka kebijakan upah murah. Keterlibatan unsur buruh di dalam proses
penentuan upah minimum hanya menjadi semacam alat legitimasi atas besaran
upah yang pada dasarnya di disain untuk tidak keluar dari politik upah murah.
Jamaludin, Sekretaris Jenderal Forum Buruh Surabaya yang juga merupakan
salah seorang inisiator dan perangkat Aliansi Buruh Jawa Timur Menggugat,
mengungkapkan, ”penetapan upah minimum di Jawa Timur mengacu pada
peraturan yang ada, tetapi dalam penentuan terjadi tindakan manipulasi dengan
menekan angka UMK menjadi cenderung rendah”286. Selain standar KHL yang
286 Hasil wawancara penulis dengan Jamaludin
231
palsu, tahapan survei KHL oleh Dewan Pengupahan Kab/Kota banyak diwarnai
penyimpangan dengan modus survei KHL yang dilakukan tidak valid.
Pemahaman atas realitas yang terdapat di dalam proses penetapan upah
minimum tersebut kemudian membawa buruh pada pemikiran dan pendefinisian
posisi, yaitu buruh telah berada pada posisi mau tidak mau harus melawan.
Sumber daya yang tersisa di kalangan buruh untuk memperjuangkan kepentingan
dan aspirasinya adalah kekuatan tenaga fisik yang dimilikinya. Sehingga bentuk
perlawanan yang dikembangkan kemudian adalah aksi massa berupa demonstrasi
dan mogok kerja.
Alasan yang mendasari perlawanan terhadap ketentuan upah minimum yang
ditetapkan adalah besaran nominal upah yang jauh dari kemampuan untuk
mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Ukuran yang
digunakan untuk menilai ketidaklayakan ketentuan upah minimum tersebut adalah
peraturan tentang upah minimum yang berlaku, terutama Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005. Kaum buruh menilai bahwa ketentuan upah
minimum yang baru saja diputuskan tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut. Penilaian dan kesimpulan
tersebut didapat dari hasil survei tandingan yang dilakukan oleh aliansi serikat
buruh dalam waktu yang bersamaan dengan pelaksanaan survei oleh Dewan
Pengupahan.
Perlu dipaparkan di sini bahwa untuk memperjuangkan upah minimum yang
layak, salah satu bagian dari strategi yang dikembangkan oleh serikat buruh dalam
hal ini adalah mengawal dan mengawasi kinerja Dewan Pengupahan dengan cara,
232
salah satunya, melakukan survei pasar dengan memakai standar yang diterapkan
oleh dewan pengupahan. Melalui cara ini, aliansi serikat buruh dapat melakukan
perbandingan dan penilaian terhadap hasil survei dan nilai KHL yang ditetapkan
oleh Dewan Pengupahan.
Hasil survei tandingan yang memakai sama persis standar indikator
komponen upah Dewan Pengupahan dipakai sebagai rujukan untuk menilai usulan
nilai KHL yang diajukan oleh Dewan Pengupahan, dan juga mengukur besaran
upah minimum yang ditetapkan kemudian.
Memang, sebagaimana telah disebutkan di muka, KHL bukan merupakan
satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan di dalam menetapkan besaran
upah minimum. Ketiadaan penjelasan yang memadai tentang seberapa besar bobot
masing-masing faktor sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan upah
minimum menjadikan proses penentuan upah minimum tidak transparan.
Ketentuan ini dipandang oleh kaum buruh sebagai celah yang sedari awal sengaja
didisain agar kebijakan upah murah tetap dapat dijalankan, dan merupakan jalan
untuk mengebiri hak buruh secara legal, yaitu hak untuk mendapatkan upah yang
layak sesuai dengan nilai KHL. Apabila proses perumusan nilai KHL telah
berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan dan dalam suasana demokratis
yang mampu mengakomodasi aspirasi buruh, keberadaan ketentuan tersebut
secara langsung telah menegasikan itu semua.
Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat saat itu memandang bahwa
nilai KHL yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan pada dasarnya tidak
mencerminkan kondisi obyektif pasar. Akan tetapi, nilai KHL tersebut
233
sesungguhnya masih berada dalam batas kemampuan dunia usaha. Hal ini karena
nilai KHL tersebut merupakan hasil kompromi antara kepentingan pihak buruh
dan pengusaha. Dengan demikian rekomendasi Dewan Pengupahan pada dasarnya
sudah merupakan jumlah yang minimal, dan seharusnya diposisikan sebagai nilai
yang sudah jadi.
Akan tetapi realitas proses yang terdapat pada Dewan Pengupahan saat
perumusan rekomendasi nampaknya tidak ditangkap oleh pemerintah. Nilai yang
direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan pun dihitung sebagai nilai KHL yang
utuh dan sesuai dengan situasi pasar, sehingga nilai KHL yang direkomendasikan
oleh Dewan Pengupahan diposisikan sebagai variabel yang masih harus
disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya. Hasilnya, besaran upah minimum yang
ditetapkan kemudian jumlahnya jauh dari kemampuan untuk menopang
kelangsungan hidup buruh secara layak.
Jamaludin lebih lanjut menyatakan, ”kemiskinan dan kesulitan mencukupi
kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan buruh resisten dengan ketentuan upah
minimum yang baru”287. Di tengah kemiskinan dan tekanan keadaan ekonomi
sehari-hari yang terus menghimpit, menyebabkan keputusan gubernur tentang
upah minimum tersebut disambut dengan penolakan yang keras dan kemudian
diikuti aksi massa selama beberapa pekan yang melibatkan kalangan buruh dari
sejumlah daerah (kabupaten/kota) di Jawa Timur. Kaum buruh menuntut
ketentuan upah minimum setidaknya sesuai dengan nilai KHL setelah dilakukan
survei ulang.
287 Hasil wawancara penulis dengan Jamaludin
234
Melihat realitas bahwa ketentuan upah minimum yang baru jauh dari
harapan buruh, yang mana hal itu menimbulkan rasa tidak puas dikalangan buruh,
dan menyadari bahwa serikat buruh tidak lain adalah wadah dan alat perjuangan
buruh untuk mempertahankan hak, maka serikat buruh mempunyai kewajiban
untuk mengorganisasikan dan merumuskan bentuk perlawanan menentang produk
kebijakan yang merugikan serta melanggar hak buruh.
c. Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum
Tidak memadainya penjelasan tentang standar atas indikator komponen
KHL di dalam peraturan perundang-undangan, dan kenyataan bahwa menurut
ketentuan yang berlaku KHL bukan merupakan satu-satunya faktor di dalam
penetapan upah minimum oleh gubernur, serta tidak adanya ukuran yang pasti
tentang berapa bobot masing-masing faktor di dalam pembentukan ketentuan upah
minimum, menimbulkan kesulitan bagi buruh ketika mempersoalkan bahwa
keputusan upah minimum tersebut melanggar hak buruh. Hal itu juga berlaku
ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan288.
Secara yuridis-formal memang tersedia jalan untuk mempersoalkan
keputusan gubernur tentang upah minimum apabila keputusan tersebut dipandang
288 Sebagaimana dituturkan oleh Jamaludin dan hasil pengamatan TURC, penetapan upahminimum kabupaten/kota di Jawa Timur diwarnai oleh penyimpangan-penyimpangan terhadapketentuan peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut diawali dengan pembentukanDewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur yang tertutup dan penuh rekayasa (bertentangan denganKeputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001), penetapan ketentuan upah minimum yangtidak tepat waktu sebagaimana mestinya, keputusan upah minimum kabupaten/kota yangmengabaikan nilai KHL hasil survei yang sudah dilakukan asal-asalan, dan revisi UMK yangdidasarkan pada nilai Kebutuhan Hidup Minimum.
(Tjandra et all, Op. Cit., halaman 59-83)
235
memuat kesalahan, yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi,
ketidakjelasan ukuran yang terdapat di tingkatan regulasi, menyebabkan buruh
mengalami kesulitan untuk melakukan pembuktian bahwa ketentuan upah
minimum yang berlaku tidak sesuai dengan yang semestinya.
Akibatnya, buruh memandang tidak ada mekanisme hukum yang efektif
untuk mempersoalkan dan membatalkan ketetapan upah minimum, sehingga
kemudian menjadikan mogok kerja sebagai pilihan yang dianggap efektif untuk
menuntut gubernur agar merevisi ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan
dan akan diberlakukan untuk tahun berikutnya.
Penilaian buruh bahwa ketentuan upah minimum yang ada tidak sesuai
dengan yang semestinya, atau bertentangan dengan kewajiban negara itu sendiri,
merupakan pendapat yang berhak dikemukakan di muka umum. Dalam hal ini,
upaya-upaya yang dilakukan untuk menyuarakan aspirasinya agar didengar dan
diwujudkan tuntutannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk melalui
mogok, merupakan bagian dari hak asasi buruh sebagai manusia selama tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
yang menyatakan, “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas
menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; serta
menurut Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyebutkan,
236
“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk
hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sendiri pun dengan tegas dinyatakan
bahwa mogok kerja merupakan hak dasar buruh.
Oleh karenanya kaum buruh dan para pengurus serikat buruh yang ada di
Jawa Timur kemudian memutuskan membentuk aliansi yang sifatnya strategis dan
taktis untuk menentang keputusan gubernur tentang upah minimum tersebut. Dan,
akhirnya aliansi yang terbentuk kemudian memilih melakukan aksi massa dalam
bentuk demonstrasi di Kantor Gubernur Jawa Timur dengan jangka waktu sampai
dipenuhinya tuntutan, yaitu revisi atas Surat Keputusan Gubernur No.
188/286/KPTS/013/2005. Bagi serikat buruh yang tergabung dalam aliansi ini,
pilihan melakukan aksi massa dalam rangka menentang keputusan gubernur
merupakan bentuk implementasi sebagian dari tugas, fungsi dan kewajiban serikat
buruh.
d. Ancaman Dikriminalkan Dan Digugat Secara Perdata
Sebagaimana telah penulis singgung pada Bab I, kalangan pengusaha sedikit
banyak mempunyai ketakutan dan kekhawatiran terhadap aksi mogok kerja.
Ketakutan dan kekhawatiran itu lebih terkait dengan persoalan kehilangan laba
dan klaim dari partner bisnis akibat dari terhentinya aktivitas produksi yang
disebabkan oleh mogok kerja buruh-buruhnya. Sehingga seringkali pihak
pengusaha berusaha menggunakan segala daya dan upaya untuk menggagalkan
237
aksi mogok kerja, baik yang masih dalam tahap rencana, maupun yang sedang
dilaksanakan oleh buruh.
Hal yang sama dialami oleh kalangan serikat buruh yang turut menggalang
aksi massa dalam rangka menolak ketentuan upah minimum yang dipandang jauh
dari aspirasi buruh. Pada saat “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat”
menggelar aksi demonstrasi menentang SK Gubernur No. 188/286/KPTS/013/2005
tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur, sejumlah pengusaha dan APINDO
mengancam akan memperkarakan secara pidana dan menggugat secara perdata
kepada pengurus serikat buruh yang tergabung dalam aliansi, serta
mengkualifikasikan “mangkir” terhadap buruh yang menjadi peserta aksi.
Kalangan pengusaha menilai bahwa aksi massa dan mogok kerja yang
dilancarkan oleh “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat” merupakan
perbuatan yang tidak sah, karena aksi mogok tersebut bukan sebagai akibat dari
gagalnya perundingan. Selain itu, mogok tersebut dipandang tidak beralasan sama
sekali karena sebelumnya antara perusahaan dan buruh tidak terdapat konflik
hubungan industrial.
Khusus untuk ancaman menggugat secara perdata yang dilontarkan oleh
kalangan pengusaha dan APINDO tersebut, nampaknya di dasari oleh konsepsi
wanprestasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat digunakan oleh kalangan pengusaha, yaitu
Pasal 1236, 1239, 1365 dan 1366 KUHPerdata 289.
289 Pasal 1236 KUHPerdata berbunyi, “Si berutang [debitur ―pen] adalah wajibmemberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang [kreditur ―pen], apabila ia telahmembawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah telahtidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”; Pasal 1239 berbunyi, “tiap-tiap perikatanuntuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang [debitur ―pen] tidak
238
Tindakan pengusaha yang menggunakan kerangka berpikir dari KUHPerdata
tersebut dilandasi oleh karena pengusaha tidak memungkinkan menggunakan
ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sebagaimana diketahui,
beberapa pasal dan ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang merugikan buruh
dan memuat ancaman pidana serta gugatan perdata terkait dengan mogok kerja
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 26 Oktober
2004290.
Walaupun kemudian ancaman tersebut tidak jelas ujung akhirnya, akan tetapi
hal tersebut menorehkan catatan tersendiri betapa kalangan pengusaha phobia dengan
buruh yang bersikap kritis, apalagi yang berlanjut pada aksi demonstrasi dan mogok
kerja.
3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum Oleh
Serikat Buruh
Konsekuensi nyata yang diterima oleh buruh dan serikat buruh yang turut
mengorganisasikan mogok kerja yang tergabung di “Koalisi Buruh Rakyat Jawa
Timur Menggugat” dalam menentang ketetapan upah minimum adalah
memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikanpenggantian biaya, rugi dan bunga”; Pasal 1365 menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum,yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnyamenerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”; Pasal 1366 menyebutkan, “setiap orangbertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untukkerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
(Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-33, Pradnya Paramita, Jakarta)
290 Beberapa pasal dan ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang dibatalkankeberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi RI adalah Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1)sepanjang mengenai anak kalimat “… bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjangmenyangkut anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”.
239
dikualifikasikannya sebagai mogok kerja tidak sah, dan dikategorikan sebagai
perbuatan mangkir kerja. Dikualifikasikannya sebagai mogok kerja tidak sah
sehingga dianggap sebagai perbuatan mangkir merupakan akibat tidak dapat
dipenuhinya ketentuan dan syarat-syarat administratif atau prosedur melaksanakan
mogok oleh serikat buruh.
Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan, “Mogok kerja
sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Anak kalimat
“… sebagai akibat gagalnya perundingan” merupakan rangkaian dan menjadi
bagian langsung dari bunyi ketentuan Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003. Ketentuan tersebut diperjelas oleh peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja
Tidak Sah291, yang menyebutkan bahwa mogok kerja tidak sah apabila dilakukan
bukan akibat gagalnya perundingan292.
Materi ketentuan di kedua peraturan tersebut tidak memungkinkan dipenuhi
oleh serikat buruh yang hendak melaksanakan mogok kerja untuk menentang
ketetapan upah minimum yang merugikan dan melanggar hak buruh. Situasi dan
kondisi konflik dan mogok kerja yang diasumsikan dan diatur oleh kedua
peraturan tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar dengan mogok kerja di
dalam ranah penetapan upah minimum. Perbedaan tersebut terletak pada soal
291 Peraturan menteri tersebut pada dasarnya adalah berbentuk “Keputusan Menteri”, tetapimengingat bahwa menurut UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan segala keputusan yang sifatnya mengatur harus dibaca sebagai “peraturan”, sedangkanKeputusan Menteri No. 232 Tahun 2003 tersebut sifatnya mengatur, maka penulis memilihmenggunakan kata “peraturan menteri”.
292 Pasal 3 huruf a
240
prosedur yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapat melakukan mogok
secara sah.
Adanya ketentuan yang memberi syarat bahwa mogok kerja yang sah adalah
sebagai akibat dari gagalnya perundingan, merupakan penyebab utama aksi
mogok buruh di dalam menentang ketetapan upah minimum dikategorikan
sebagai mogok tidak sah. Dalam konteks mogok menentang penetapan upah
minimum, syarat “akibat gagalnya perundingan” tidak mungkin dipenuhi oleh
buruh dan serikat buruh yang hendak melancarkan mogok. Penafsiran terhadap
ketentuan “sebagai akibat gagalnya perundingan” memberi pengertian dan
gagasan bahwa hal tersebut memuat syarat adanya konflik hubungan industrial
yang sifatnya bipartit; konflik antara perusahaan dan buruh. Padahal dalam soal
penetapan upah minimum, konflik yang terjadi bukan melibatkan pengusaha dan
buruh secara berlawanan, melainkan antara buruh dan kebijakan negara.
Pengkualifikasian sebagai perbuatan mangkir kerja terhadap buruh yang
melakukan mogok kerja tidak sah sebenarnya secara tidak langsung merupakan
bentuk ancaman pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan kepada buruh. Hal
ini karena di dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003,
buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah dikualifikasikan mangkir dan dapat
dianggap mengundurkan diri apabila setelah pihak pengusaha melakukan
pemanggilan dua kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari tetap melakukan
mogok kerja.
241
B. Pembahasan
1. Persoalan di Seputar Penetapan Upah Minimum
Sebagaimana fenomena yang terjadi selama ini, penetapan upah minimum
oleh pemerintah selalu mengundang kontroversi. Baik dari kalangan pengusaha
dan terutama dari kalangan buruh. Selain itu, proses penetapan upah minimum
kabupaten/kota di Jawa Timur yang diwarnai penyimpangan-penyimpangan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku hal ini menunjukkan bahwa
konsepsi kebijakan upah minimum beserta mekanisme yang disediakan di
dalamnya masih menyimpan persoalan yang belum terbahas dan terpecahkan
secara tuntas.
Persoalan-persoalan tersebut meliputi antara lain:
a. Indikator Komponen yang Tidak Memadai
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sejak berlakunya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 susunan dan variabel
yang menjadi komponen upah mengalami perubahan dari yang berlaku
sebelumnya. Tetapi persoalannya, setiap perubahan yang diklaim sebagai
langkah perbaikan, tidak selalu menghasilkan suatu keadaan yang lebih baik.
Dalam konteks hadirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun
2005, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah apakah komponen
KHL sendiri sudah cukup memadai memenuhi kebutuhan minimum buruh?
Jika dicermati atau diambil kesimpulan dari pengalaman praktek di
lapangan, indikator yang diatur dalam Permenakertrans tersebut tidaklah
cukup memadai. Satu komponen yang bisa diambil contoh misalnya dalam
242
indikator daging disebutkan pemakaian kata ”atau” untuk macam-macam
daging di mana pilihannya adalah daging sapi, daging kerbau, daging ayam
atau daging kambing. Dengan adanya pemakaian kata ”atau”, implikasi yang
muncul adalah pembelian daging bagi buruh dalam sebulan hanyalah salah
satu macam dari keempat daging tersebut.
Contoh lainnya adalah tidak adanya indikator TV dan buku-buku
sebagai indikator pendidikan dalam KHL. Untuk pendidikan, indikator
penghitungan KHL yang dipakai hanyalah melalui Radio dan majalah
sebanyak 4 eksemplar. Hal ini merendahkan dan merugikan buruh serta
menghambat buruh untuk mengembangkan kualitas dirinya. Komponen
indikator KHL sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 tahun 2005
pun apabila dibandingkan dengan peraturan komponen indikator KHM yang
diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81 tahun 1995
mengalami penurunan dan hal ini sangat merugikan buruh. Sehingga tidak
mengejutkan apabila kaum buruh mengatakan bahwa standar KHL yang
berlaku saat ini merupakan ”standar KHL palsu”, sebagaimana diungkapkan
oleh Jamaludin293.
Ketiadaan standar yang jelas atas indikator komponen nilai KHL
menjadikan konsepsi KHL di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17
Tahun 2005 sukar untuk dibedakan dengan konsepsi Kebutuhan Hidup
Minimum yang terdapat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81
tahun 1995. Jelasnya, kehadiran konsepsi KHL yang dibawa Peraturan
293 Hasil wawancara dengan Sekjend Forum Buruh Surabaya, Jamaludin.
243
Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 secara umum tidak memberikan
nilai positif bagi peningkatan kesejahteraan buruh beserta keluarganya.
Berikut ini data perbandingan komponen indikator KHM dan KHL
dalam Kepmenaker No. 81 tahun 1995 dan Permenaker No 17 tahun
2005.294
Tabel 3
Perbandingan KHM dan KHL
KUALITAS JML KEBUTUHANNO KOMPONEN
KEP.81/1995 PER.17/2005 KEP.81/1995 PER.17/2005
1. Beras Sedang Sedang 12 Kg 10 Kg
2. Karbohidrat - Sedang 6 Kg 3 Kg
3. Handuk mandi Sedang 100x60 cm 2/12 1/12
4. Sewa kamar/rumah Tipe 21 Kmr sederhana ½ 1/bln
5. Dipan/tempat tidur No.3 polos No.3 polos 1/36 1/48
6. Kasur&bantal Kain strip Busa 1/24 1/48
7. Meja kursi 1 set 1 set 1/36 1/48
8. Pendidikan:bacaan/radio
- - - 1/48
9.Kesehatan:pasta gigi
dll- - -
10. Transportasi - - - Min 30 hari PP
Sumber: Forum Buruh Surabaya
Selain indikator yang tidak cukup memadai di atas, indikator KHL
tidak memiliki standar yang jelas sehingga dalam penentuan indikator,
terkadang buruh, pemerintah dan pengusaha hanya memanfaatkan
kesepakatan di mana dalam kesepakatan tersebut buruh menginginkan yang
294 data masukan dari Forum Buruh Surabaya.
244
terbaik dan pengusaha menginginkan yang termurah. Contohnya seperti
dalam indikator beras. Hanya disebutkan bahwa kualitas beras sedang yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Standar tersebut tidak jelas
akan beras yang bagaimana. Buruh ingin penghitungan dengan kualitas
beras yang baik sedangkan pengusaha ingin dengan beras yang murah.
Contoh lain adalah mengenai pakaian dalam. Merk apa yang akan digunakan
sebagai standar tidak jelas. Buruh ingin dengan kualitas yang baik
sedangkan pengusaha ingin yang termurah tanpa merk ternama295.
Akibat ketidakjelasan indikator pada tataran regulasi atas komponen-
komponen upah, di dalam praktek hal yang terjadi adalah penerapan
penilaian standar yang berdasarkan kesepakatan utamanya oleh unsur buruh
dan pengusaha. Standar berdasarkan kesepakatan ini jika dilihat dari sudut
sosial-ekonomi merugikan pihak buruh di mana kekuatan posisi tawar buruh
masih lemah dan dibutuhkannya keadilan pemerintah yaitu dengan
mengadakan standar yang jelas atas indikator tersebut.
Walaupun dalam kasus Jawa Timur telah terdapat kebijakan Gubernur
Jawa Timur, yaitu dalam hal ini mengeluarkan Surat Edaran296 mengenai
penetapan upah minimum di Jawa Timur yang telah mengatur standar
indikator KHL yang akan digunakan, akan tetapi Surat Edaran Gubernur
tersebut jika dilihat dari sudut politik perundang-undangan mempunyai
posisi yang lemah. Dengan bentuknya yang hanya sebagai ”surat edaran”,
295 Soraya, Yasmine M. S., Op. Cit.296 Surat Edaran Gubenur Jawa Timur No. 560/10459/031/006 tentang Penetapan Upah
Minimum Kabupaten Kota tahun 2007 di Jawa Timur.
245
artinya Surat Edaran Gubernur Jawa Timur tersebut tidak lebih semacam
himbauan dan tidak mempunyai kekuatan terlalu mengikat.
Kendati masih mempunyai kelemahan yang cukup mendasar, akan
tetapi kebijakan Gubernur Jawa Timur tersebut patut diapresiasi karena
berusaha memecah kebuntuan akibat ketidakjelasan indikator komponen
atau item barang yang menjadi variabel di dalam penentuan nilai KHL.
Sayangnya hal ini sepanjang hasil penelusuran penulis baru hanya dilakukan
di Jawa Timur saja. Daerah-daerah lainnya masih belum diatur standar
indikator KHL dan hanya mengandalkan kesepakatan pemerintah, buruh dan
pengusaha saja.
b. Survei Harga Barang
Dari praktek di lapangan selama ini, di dalam survei Kebutuhan Hidup
Layak masih terdapat pro kontra antar pihak pengusaha dan buruh mengenai
metode dan kriteria serta waktu survei yang diadakan. Metode survei yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja adalah melakukan tawar-
menawar dengan menanyakan harga seolah-olah mau membeli barang dan
mencapai harga yang sebenarnya terhadap tiga orang responden
(pedagang/penjual).
Dalam hal ini, yang dimaksud terdapat perdebatan antara buruh dengan
pengusaha ialah buruh menginginkan harga barang tetap tinggi sehingga
penghitungan nilai KHL untuk upah minimum pun tinggi, tetapi pihak
246
pengusaha menginginkan harga yang termurah sehingga nilai KHL menjadi
kecil dan upah minimum menjadi murah.
Waktu survei yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpengaruh perubahan harga
akibat kondisi pasar. Hal ini menimbulkan pro dan kontra selain apakah
dilakukan dalam menjelang hari-hari besar juga dalam waktu survei dimulai
pukul berapa dan hari apa. Karena bagi buruh, semakin pagi waktu survei,
harga-harga di pasar masih mahal mengingat kondisi barang-barang masih
segar dan baru. Sedangkan pihak pengusaha ingin waktu survei agak siang
sedikit di mana barang-barang telah murah dan layu. Hal ini masih
menimbulkan pro dan kontra yang tidak ada habis-habisnya297.
Survei harga untuk menentukan nilai KHL merupakan salah satu aspek
penting dalam penentuan upah minimum karena hasil survei menjadi bahan
perumusan dan penetapan besaran upah minimum, baik Upah Minimum
Kabupaten/Kota maupun Upah Minimum Provinsi.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa sebelum ditetapkan
seberapa besar jumlah nominal upah minimum yang akan berlaku, terlebih
dahulu dilakukan survei lapangan untuk mengetahui harga barang-barang
konsumsi. Survei ini dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari unsur
tripartit yang dibentuk oleh Ketua Dewan Pengupahan (baik kabupaten/kota,
maupun provinsi)298 atau oleh tim yang dibentuk oleh bupati/walikota dalam
hal di kabupaten/kota yang bersangkutan belum terbentuk dewan
297 Tjandra et all, Op. Cit.298 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.
247
pengupahan 299 . Oleh tim yang terbentuk, survei dikerjakan dengan
melakukan pengecekan langsung harga barang di pasar―tradisional―dalam
rangka mendapatkan nilai Kebutuhan Hidup Layak. Berdasarkan hasil survei
harga tersebut, Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau bupati/walikota
setempat menetapkan nilai KHL300 yang mana nilai KHL tersebut kemudian
menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penetapan upah minimum301.
Persoalannya, hasil survei yang dilakukan oleh tim yang dibentuk
ketua dewan pengupahan maupun bupati/walikota tidak mencerminkan nilai
KHL yang sesungguhnya atau harga barang hasil survei bukan merupakan
harga barang kebutuhan pokok yang siap konsumsi. Hal ini tidak lain karena
survei harga dilakukan di pasar-pasar di daerah setempat, sedangkan pasar
yang menjadi tempat survei tersebut belum tentu jaraknya dekat dengan
pabrik atau tempat pemukiman buruh yang biasanya berlokasi disekitar
pabrik.
Dengan pendapatan yang relatif pas-pasan dan bahkan mungkin
kurang, belanja atas barang-barang yang dikonsumsi biasanya dilakukan
secara eceran dan disesuaikan dengan waktu kebutuhannya. Selain itu, buruh
sebagai manusia juga terikat atau setidaknya tidak dapat dilepaskan dari
tradisi dan budaya daerah tempat ia berasal maupun tempat ia bermukim
serta nilai-nilai yang berlaku secara umum dalam konteks kemanusiaan,
yang mana kadangkala semuanya itu juga membutuhkan biaya. Padahal,
299 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.300 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.301 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.
248
upah yang diterima buruh perhitungannya hanya meliputi kebutuhan
konsumsi buruh. Sehingga dapat dipahami apabila pola belanja buruh dalam
hal untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya berlangsung demikian.
Dengan kata lain, pola yang demikian ini terjadi karena pendapatan yang
diterima buruh dari upah, selain untuk konsumsi juga untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lain yang sifatnya darurat tetapi tidak termasuk
menjadi perhitungan dalam struktur dan komponen upah302.
Dengan pola belanja konsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
yang demikian tadi, dipandang tidak menguntungkan apabila belanja di
pasar sedangkan antara pasar dan tempat tinggalnya terpaut jarak yang
cukup jauh. Jika belanja di pasar, setidaknya buruh harus mengeluarkan
uang transport. Selain itu, ditengah jam-jam kerja yang panjang, buruh
hampir tidak mempunyai waktu apabila harus belanja ke pasar yang sedikit
banyak akan memakan waktu. Sehingga pilihan praktis bagi sebagian buruh
untuk belanja memenuhi barang-barang kebutuhannya bukanlah di pasar-
pasar tempat survei harga, melainkan di toko-toko sekitar tempat tinggal
buruh. Sedangkan antara harga di toko dengan harga di pasar tentunya
terdapat selisih harga. Selisih harga ini, walaupun entah seberapa kecil akan
tetapi akumulasi jumlah dari selisih harga barang antara di toko dengan di
pasar tetap mempunyai arti bagi pendapatan buruh.
Di samping masalah lokasi, persoalan lainnya ialah pada proses
pelaksanaan survei, para pihak atau unsur yang terdapat dalam institusi
302 Seperti biaya untuk pengobatan dan/atau biaya perjalanan pulang apabila orang tua atausaudara sakit, iuran kampung atau iuran untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya tradisi.
249
pengupahan mencatat harga yang berbeda sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Lebih jelasnya, pada saat survei, wakil dari kalangan
pengusaha cenderung untuk mencatat harga terendah, unsur dari pemerintah
cenderung mencatat harga menengah dan unsur dari buruh cenderung
mencatat harga tertinggi. Adanya persoalan ini dalam proses pelaksanaan
survei karena disebabkan oleh tidak jelasnya kualitas barang yang
dimaksudkan sebagai bagian dari komponen-komponen KHL di tingkat
peraturan.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan
pada tahapan survei lebih menyangkut metode pelaksanaan survei yang
berkaitan dengan pemilihan lokasi survei, cara pencarian data, hingga
pemilihan petugas survei.
c. Penetapan Harga dan Nilai KHL Didasarkan pada Kesepakatan
Setelah tim survei selesai melaksanakan survei di lapangan, tahapan
kerja selanjutnya adalah menghitung hasil survei. Pada tahapan ini, yang
sering terjadi adalah perdebatan antara pihak wakil buruh dengan wakil
pengusaha mengenai harga barang yang di dapat dari survei lapangan.
Munculnya perdebatan ini dipicu oleh usul dari pihak pengusaha yang
cenderung menghitung hasil survei dengan menggunakan harga terendah
sedangkan dari unsur serikat buruh menggunakan harga tertinggi.
Di muka telah dijelaskan bahwa survei dilaksanakan dengan
menanyakan kepada 3 (tiga) responden di setiap pasarnya. Kemudian dari
250
ketiga responden tersebut diambil harga rata-rata. Komponen atau item yang
memiliki pilihan seperti ikan yang terdiri dari ikan kembung, mujair atau
bandeng, nilainya juga diambil harga rata-rata ikan. Dari harga rata-rata
tersebut lalu disesuaikan dengan jumlah kebutuhan dan satuan dalam
sebulan yang telah ditentukan. Sementara untuk indikator yang terdiri dari
beberapa macam, harus dihitung menurut rata-ratanya. Dari situ terdapatlah
hasil akhir setiap indikator yang akhirnya semua hasil akhir indikator
dijumlahkan sesuai rumusan yang telah ditetapkan dan akhirnya
menghasilkan nilai KHL.
Sebagaimana telah disebut di atas, akibat indikator KHL di dalam
peraturan perundang-udangan tidak memiliki standar yang jelas, indikator
seringkali hanya di dasarkan pada kesepakatan unsur-unsur tripartit. Artinya
apabila tidak terdapat kesepakatan dalam hal penentuan indikator, maka
yang terjadi di dalam prakteknya kemudian adalah masing-masing pihak
akan melakukan survei dengan standar masing-masing. Konsekuensinya
survei akan memberikan hasil yang berbeda-beda karena ketidaksamaan
standar yang diacu. Kondisi seperti ini sekilas memang menunjukkan bahwa
unsur dari buruh relatif mempunyai independensi, akan tetapi hal itu tidak
sepenuhnya benar karena mengingat bahwa pertimbangan yang dikeluarkan
oleh dewan pengupahan nantinya hanya satu rekomendasi nilai tertentu
tanpa ada alternatif nilai lainnya, maka yang terjadi kemudian adalah hasil
survei ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
251
Jelasnya, nilai KHL tidak tunduk pada hasil survei yang dilakukan
dengan sebenarnya, tetapi tunduk pada kompromi yang terjadi di dalam
Dewan Pengupahan303. Akibatnya, hasil survei yang di tetapkan pun jauh
dari kebutuhan riil buruh atas KHL. Sebagaimana diungkapkan oleh
Yasmine;
Metode rata-rata seperti ini menimbulkan kontroversi bagi buruh dimana nilai KHL bukanlah nilai riil kebutuhan hidup yang layakmelainkan merupakan nilai rata-rata. Nilai KHL pun hanya merupakansalah satu bahan pertimbangan saja dalam menentukan besaran upah(selain pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan usaha yang palingtidak mampu/marginal) maka dari itu nilaian KHL sering tidaksepenuhnya ditetapkan sebagai upah minimum.304
Lebih lanjut Yasmine menjelaskan bahwa pertimbangan Upah
Minimum setelah disesuaikan dengan KHL dan faktor lainnya seringkali
berubah menjadi lebih kecil dari nilai KHL. Belum ada catatan sejarahnya
bahwa upah minimum lebih besar dari nilai KHL yang telah
direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan.
Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa dalam konteks kebijakan
upah minimum selama ini pihak buruh senantiasa berada pada pihak yang
dirugikan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang ditetapkan di
bawah nilai KHL, benar-benar merugikan buruh karena ada beberapa persen
kebutuhan bulanan pekerja/buruh yang harus dikurangi baik kuantitas
maupun kualitasnya diganti menjadi yang kurang baik. Kondisi ini juga
mempengaruhi kesehatan serta mental para pekerja/buruh yang juga dapat
303 Tjandra et all, Op. Cit., halaman 67.304 Soraya, Yasmine M. S., Op. Cit.
252
mempengaruhi produktivitas kerja yang secara jangka panjang berdampak
pada kualitas kerja serta nilai jual untuk perusahaan.
d. Keanggotaan Dewan Pengupahan
Persoalan di seputar penetapan upah minimum sehingga seringkali
masih mendapatkan resistensi dari buruh, salah satu sebabnya menyangkut
keanggotaan Dewan Pengupahan. Wujud konkret persoalan tersebut ialah
terletak pada syarat dan mekanisme yang harus ditempuh untuk dapat
menempatkan wakil di Dewan Pengupahan.
Apabila dicermati lebih lanjut tentang keterlibatan serikat buruh di
dalam Dewan Pengupahan, sebenarnya terdapat beberapa hal yang perlu
dikritisi. Pertama adalah kedudukan wakil dari serikat buruh yang
dikonsepsikan sebagai mewakili unsur buruh secara keseluruhan.
Sebenarnya ini tidak menjadi soal apabila duduknya individu yang berasal
dari serikat buruh, yang kemudian dianggap sebagai personifikasi pihak
buruh secara utuh, berlangsung dalam suasana demokratis.
Faktanya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak
semua serikat buruh boleh menempatkan wakilnya di dalam Dewan
Pengupahan. Tidak semua serikat buruh dapat memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Serikat buruh-serikat buruh kecil yang sifatnya lokal dan dalam ruang
lingkup terbatas, atau yang hanya berdiri di satu pabrik (Industrial Union),
tidak mempunyai peluang untuk mendudukkan wakilnya di dalam Dewan
253
Pengupahan. Langkah yang bisa ditempuh oleh serikat buruh-serikat buruh
kecil agar dapat turut memberikan kontribusi di dalam proses penetapan
upah minimum ialah bergabung dengan serikat buruh lainnya, atau
berafiliasi dengan federasi serikat buruh yang ada. Konsekuensinya serikat
buruh kecil yang bergabung dengan federasi serikat buruh tidak bisa begitu
saja langsung mengajukan calon yang dikehendakinya. Calon yang mewakili
tentunya bergantung pada kebijakan organisasi federasi dan mekanisme
yang terdapat di dalamnya.
Jikapun membuat pilihan tidak berafiliasi dengan federasi serikat
buruh yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan, melainkan memilih membangun aliansi dengan sesama serikat
buruh kecil lainnya, tetap saja situasi yang berlaku adalah seperti jika
berafiliasi dengan sebuah federasi serikat buruh.
Meskipun tidak masing-masing serikat buruh menempatkan setiap
serikat buruh lainnya sebagai rival, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
diantara beberapa serikat buruh mempunyai karakter menempatkan serikat
buruh diluar dirinya sebagai rival atau pesaing.
Adanya ketentuan ini di satu sisi sebenarnya dapat memaksa serikat
buruh-serikat buruh yang ada untuk memperkuat soliditas dan mempererat
kerjasama. Sedangkan di sisi lainnya aturan ini dapat membawa dampak
serikat buruh yang mempunyai basis massa riil dan terpercaya, tetapi tidak
memenuhi persyaratan, tidak dapat turut secara langsung memperjuangkan
upah minimum yang layak melalui mekanisme formal yang tersedia.
254
Di atas telah dijelaskan bahwa pada kasus Jawa Timur di dalam
pembentukan Dewan Pengupahan, baik Dewan Pengupahan tingkat provinsi
maupun tingkat kabupaten/kota, dari awal sudah diwarnai oleh masalah-
masalah penyimpangan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti
penunjukan anggota Dewan Pengupahan Jawa Timur dari unsur serikat
buruh yang tanpa melalui proses verifikasi terlebih dahulu merupakan
bentuk pelanggaran paling nyata. Selain itu, terjadinya kasus ini sebenarnya
mencerminkan dampak buruk dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201
Tahun 2001.
Penunjukan langsung anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jawa
Timur tanpa melalui proses verifikasi sebagaimana yang ditentukan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, jelas didasari
pemikiran dan asumsi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang berakar
pada keberadaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 itu
sendiri. Sejumlah anggota Dewan Pengupahan dari unsur serikat buruh yang
ditunjuk langsung tersebut berasal dari (federasi dan/atau konfederasi)
serikat buruh yang telah lama berdiri dan mempunyai cabang maupun basis
yang banyak, sehingga pemerintah provinsi sepertinya beranggapan bahwa
tanpa melalui verifikasi pun tidak masalah karena jika melalui verifikasi
kemungkinan besar mereka juga tetap lolos 305 . Sebuah pola pikir yang
pragmatis nan sesat.
305 Selain alasan di atas, sepertinya penunjukan langsung tersebut juga didasari alasan yangsifatnya politis. Seperti diketahui, sebagian dari beberapa orang yang ditunjuk langsung tersebutberasal dari serikat buruh yang merupakan underbouw, atau setidaknya berafiliasi dengan salahsatu organisasi massa keagamaan yang mempunyai basis massa terbesar di Jawa Timur. Serikat
255
Diakui atau tidak, dari peristiwa tersebut tampak bahwa Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tersebut lebih menguntungkan
serikat buruh yang besar dan mapan yang telah lama berdiri, yang
mempunyai karakter sebagai “serikat buruh kuning”. Jelasnya keputusan
menteri ini hadir dengan tujuan utama memberikan ruang kepada serikat
buruh yang pada masa sebelumnya terbukti mudah dikooptasi dan kooperatif
dengan agenda-agenda kekuasaan dan kepentingan modal.
d.1. Bukti “Negara Bonapartis”
Pada pertengahan Bab III penulis telah mengetengahkan apa yang
dimaksud “negara bonapartis” dan mengindikasikan bahwa situasi yang
terjadi di Indonesia adalah menyerupai atau setidaknya mendekati situasi
yang terdapat dalam “negara bonapartis” tersebut.
Perpecahan dikalangan aliansi serikat buruh dalam kasus krisis
penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur adalah akibat
dari konspirasi antara pemerintah, kepentingan modal dan serikat buruh
“kuning” sehingga menyebabkan upah minimum, baik sebelum revisi
maupun sesudah revisi, tetap jauh dari kemampuan untuk mendukung buruh
agar dapat hidup layak. Bahwa loyalitas dan konsistensi bergantung pada
mental dan watak individu, itu adalah satu soal. Akan tetapi
terfragmentasinya kekuatan buruh ke dalam beberapa bagian merupakan
buruh tersebut adalah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi). Dengan melibatkanSarbumusi melalui cara “khusus”, pemerintah provinsi berasumsi bahwa penetapan upah minimumyang rendah (di bawah KHL) dan bertujuan sebagai sarana represi upah tidak akan mengalamigejolak dan tentangan yang berarti dari buruh. Jikapun terdapat gejolak, pemerintah beranggapanhal tersebut akan mudah untuk diredam.
256
dampak dari keberadaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun
2001 juga tidak dapat dipungkiri. Walaupun pada awalnya yang terjadi
adalah penyimpangan terhadap ketentuan di dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, namun pada waktu berikutnya persoalan
yang terdapat dikalangan buruh merupakan dampak dari keberadaan dan
pemberlakuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 itu
sendiri.
Dari uraian di atas mengenai fenomena yang terjadi dikalangan buruh
menunjukkan bahwa penerapan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201
Tahun 2001 di tengah kebijakan kebebasan berserikat bagi buruh di
Indonesia mempunyai arti untuk memperlemah gerakan buruh yang radikal
sehingga tidak dapat melawan agenda politik upah murah. Pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan terhadap upah murah sudah membaca bahwa
diantara pengurus serikat buruh yang ada terdapat orang-orang yang
mempunyai mental dapat dikooptasi dan kooperatif. Sehingga pemberlakuan
kebijakan kebebasan berserikat yang diiringi terbitnya Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001―ketentuan yang sifatnya reduksionis
terhadap kebebasan berserikat itu sendiri―tidak mempengaruhi pelaksanaan
agenda politik upah murah. Artinya di sini kebijakan kebebasan berserikat
yang diterapkan pada dasarnya bukan untuk buruh, melainkan untuk
keberhasilan penetrasi kepentingan modal di Indonesia.
257
2. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Penetapan Upah
Minimum
Dari paparan hasil penelitian lapangan di atas nampak bahwa serikat buruh
memegang peranan penting dalam mengorganisasikan perlawanan terhadap
ketentuan upah minimum yang cenderung merugikan dan melanggar hak-hak
buruh. Mogok kerja yang digalang dan dilancarkan oleh serikat buruh dalam
konteks di atas, ditinjau dari sudut pandang peraturan mogok kerja di bidang
hubungan industrial yang berlaku, memperlihatkan adanya ketidaksesuaian
dengan ketentuan dari regulasi yang ada. Akan tetapi persoalannya adalah tidak
semua tindakan yang dilakukan oleh serikat buruh tersebut yang bertentangan
dengan peraturan mogok kerja dibidang hubungan industrial mempunyai arti
bahwa aksi tersebut melanggar hukum sepenuhnya. Artinya, pelanggaran terhadap
ketentuan mogok di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak selalu
menjadikan setiap mogok kerja oleh buruh dalam menyikapi kebijakan
perburuhan yang merugikan buruh merupakan perbuatan yang tidak sah
sepenuhnya.
a. Pemogokan Memrotes Ketentuan Upah Minimum Oleh Serikat Buruh:
Bentuk Usaha Mempertahankan dan Memperjuangkan Hak
Konstitusional Serta Pelaksanaan Kewajiban Serikat
Terkait dengan persoalan pada mekanisme penentuan dan penetapan upah
minimum yang hampir setiap penetapan oleh gubernur selalu mengundang
resistensi dari kaum buruh, jika dilihat dari prakteknya di lapangan, sekilas
258
nampak bahwa titik persoalan terletak pada tata cara yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, terlalu
sederhana bila melihat persoalan tersebut hanya dalam konteks regulasi.
Persoalan upah merupakan bagian dari persoalan ekonomi, sehingga secara
tidak langsung pun juga menjadi bagian dari persoalan politik. Oleh karenanya,
persoalan upah minimum pada dasarnya bukan hanya persoalan kebijakan hukum,
melainkan melibatkan pula konteks persoalan politik dan paradigma ekonomi-
politik yang diterapkan.
Jika dibaca dari sudut filsafat hukum, salah satu fungsi hukum adalah
sebagai alat perekayasa sosial. Maka terkait dengan persoalan di seputar
penetapan upah minimum, hal yang seharusnya disoroti adalah semangat yang
mendasari terbitnya peraturan perundang-undangan. Hukum dan segala
instrumennya hadir bukan semata sebagai suatu entitas yang ada begitu saja,
melainkan dilandasi dengan tujuan dan semangat, bahkan ideologi tertentu.
Antara hukum dengan kebijakan yang diambil oleh negara, terdapat
hubungan yang amat erat. Kebijakan sebagai serangkaian keputusan yang saling
berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor politik atau suatu kelompok politik
berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut di
dalam suatu situasi tertentu, yakni situasi di mana keputusan-keputusan itu dibuat
dalam kekuasaan aktor atau kelompok tersebut. 306 Hukum merupakan produk
kebijakan, atau seringkali disebut sebagai produk politik, tetapi hukum juga
306 Safitri dan Ghafur, “Perspektif Antropologi Hukum Dalam Kajian Kebijakan”, makalahseminar Membangun Kembali Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika: Menuju MasyarakatMultikural, Jakarta, 16-19 Juli 2002.
259
memberi bentuk pada kebijakan itu sendiri, sehingga dapat berjalan dan
dilaksanakan di dalam masyarakat.
Peraturan perburuhan yang berlaku sekarang ini dibuat pada saat Indonesia
masih terikat dengan Structural Adjustment Program (SAP) yang dibawa
International Monetary Funding (IMF) dan Bank Dunia307. Salah satu bagian dari
SAP IMF tersebut adalah penghapusan atau pengurangan hal-hal yang dapat
menghambat masuknya investasi, seperti reformasi peraturan perundang-
undangan yang memberikan proteksi pada buruh secara ketat termasuk soal
kepastian kerja dan kesejahteraan 308 . Sehingga tidak mengherankan apabila
kemudian fakta-fakta yang tersaji atas praktek kebijakan upah minimum selama
ini menunjukkan bahwa persoalan penetapan upah minimum merupakan hasil
disain yang amat rapi. Mulai dari tingkatan regulasi sampai suasana yang timbul
saat implementasinya, sebelumnya telah diperhitungkan dan diarahkan. Sehingga,
keberadaan regulasi itu sendiri pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi
kebijakan politik upah murah, atau represi upah. Seperti dikatakan oleh
Herlambang Perdana di bawah ini:
Meskipun pada mekanisme penetapan upah minimum terdapat unsur buruhdi dalamnya, serta partisipasi publik untuk memantaunya, namun skemabesaran upah tidak akan banyak bergeser jauh dari tekanan proponen neo-liberal, yang memang menghendaki proteksi buruh dilemahkan, termasukdalam kebijakan pengupahan. Sehingga, dengan demikian “regulasi” sendirisudah menjadi sasaran awal untuk menfasilitasi kebijakan politik tersebut,
307 Pada tanggal 16 Januari 1998, Pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent(L.o.I) yang dibawa oleh IMF.
308 Bentuk program dari pengurangan semaksimal mungkin atas proteksi terhadap buruhantara lain adalah liberalisasi pasar kerja dan pembuatan serangkaian kebijakan untuk menekanupah buruh menjadi serendah mungkin.
260
sementara politik gerakan buruh belum cukup kuat berhadapan atauberpengaruh kuat terhadap realitas sistem politik liberal.309
Sebagaimana telah diketahui, dalam era globalisasi perdagangan, hukum
yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah
menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar. Konsep
yang demikian ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan di mana peranan
serikat pekerja dan pengusaha akan sangat berpengaruh dalam menetapkan syarat-
syarat kerja atau peraturan perusahaan yang diatur dalam perjanjian Kesepakatan
Kerja Bersama, seperti diungkapkan oleh Aloysius Uwiyono sebagai berikut;
Dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukumpasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakinberkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar. Hukum ini berlakujuga untuk bidang ketenagakerjaan di mana peranan serikat pekerja danpengusaha akan sangat berpengaruh dalam menetapkan syarat-syarat kerjaatau peraturan perusahaan yang diatur dalam perjanjian Kesepakatan KerjaBersama310.
Konsepsi tentang hukum dalam era globalisasi perdagangan yang
dikehendaki oleh para kapitalis tidak lain bertujuan untuk mendapatkan efisiensi
sehingga dapat melakukan pengerukan laba dan akumulasi modal sebesar-
besarnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an konsepsi yang demikian tidak dapat
diterapkan di Indonesia yang menerapkan sistem hukum sipil (civil law), yaitu
sistem hukum yang mempunyai karakter memberikan kedudukan dan peran
sebagai regulator lebih besar kepada pemerintah dibandingkan pihak swasta.
309 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana, staf pengajar FH Universitas Airlanggadan anggota Dewan Penasehat Forum Buruh Surabaya, pada tanggal 09 Februari 2008.
310 Uwiyono, Aloysius, “Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA”, JurnalHukum Bisnis, Vol. 22, Januari-Februari 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta,halaman 41.
261
Indonesia yang telah menyatukan diri dalam sistem ekonomi pasar bebas
dan mengharapkan masuknya investasi asing, tidak dapat melepaskan diri dari
pengaruh dan tekanan-tekanan dari para kapitalis internasional tersebut. Sehingga
metode yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia agar tujuan dari konsepsi
tentang hukum yang disuarakan oleh kapitalis internasional tetap dapat terlaksana
tanpa berbenturan dengan sistem hukum yang diterapkan Indonesia adalah
memfasilitasi efisiensi produksi, pengerukan untung dan akumulasi modal
sebesar-besarnya melalui peraturan perundang-undangan.
Surya Tjandra saat wawancara dengan penulis juga mengungkapkan hal
yang serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Herlambang. Surya Tjandra
mengatakan;
Regulasi perburuhan, termasuk di dalamnya aturan tentang kebijakanpengupahan didisain untuk memarjinalkan buruh. Selain untuk memfasilitasipolitik upah murah, kebijakan dan regulasi dibidang perburuhan ditujukanuntuk membatasi, mencegah dan meredam sikap serta tindakan kritis buruh,seperti melalui kriminalisasi terhadap aksi-aksi buruh.
“Hukum itu seharusnya dibuat untuk melindungi komponen masyarakat
yang lemah dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih kuat, termasuk pula
dalam hal ini adalah pemilik modal dan negara”, demikian diungkapkan oleh
Herlambang Perdana 311 . Apabila hal ini dihubungkan dengan situasi hukum
sebagaimana penulis paparkan di atas, dalam kaitannya dengan aksi massa oleh
serikat buruh, maka dapat dipahami bahwa tindakan penggalangan aksi yang
dilakukan oleh kaum buruh dan serikat buruh hakikatnya adalah suatu usaha yang
legal. Lebih dari itu, aksi yang digalang oleh kaum buruh dan serikat buruh dalam
311 Hasil wawancara penulis dengan Herlambang Perdana
262
konteks menolak penetapan upah minimum yang tidak sesuai dengan kebutuhan
hidup layak adalah bagian dari upaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-
hak konstitusionalnya312.
Penetapan upah minimum dengan mekanisme sekarang justru bertentangandengan UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan UU HAM.Penetapan sekarang tidak berbasis pada hitungan kelayakan upah bagi hidup“buruh dan keluarganya”, melainkan hanya “buruh lajang”. Artinya,kebijakan upah yang tidak sesuai dengan mandat Konstitusi dan UU HAMmerupakan bentuk kasar nan secara sistematik perbuatan melanggar hukumoleh negara (onrecht matige overheid daad).313
Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan buruh melakukan pekerjaan adalah
untuk mendapat penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya bersama
dengan keluarga secara layak dan sejahtera. Sedangkan standar minimum
penghasilan yang dianut di Indonesia adalah upah minimum. Akan tetapi secara
faktual upah minimum yang diatur saat ini tidaklah cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan hidup bahkan bagi kebutuhan minimum seorang buruh
lajang sekalipun. Dari hasil pengamatan dan penelitian lapangan yang dilakukan
oleh Yasmine314 menunjukkan hal tersebut disebabkan setidaknya oleh 3 (tiga)
faktor, yaitu:
a). Kebijakan upah minimum itu sendiri yang masih banyak mengandung
kekurangan-kekurangan dalam standar penghitungan upah minimum
serta dalam kebijakan penetapan upah minimum yang dirasa ganjil.
312 Lihat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhakatas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
313 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana pada tanggal 09 Februari 2008.314 Soraya, Op. Cit
263
b). Di dalam pelaksanaan proses penetapan upah minimum masih banyak
terjadi pelanggaran-pelanggaran sehingga upah minimum yang
dihasilkan setiap tahunnya tidaklah maksimal atau tidak sesuai dengan
standar hidup layak yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-
undangan dan konstitusi.
c). Para aktor (stakeholder) yang berwenang dan berkaitan dengan upah
minimum tidak menjalankan peran masing-masing dengan optimal
sehingga masih terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan upah minimum.
Peraturan mengenai upah minimum telah berkali-kali mengalami perubahan.
Perubahan tersebut dimaknai sebagai perbaikan karena ditujukan agar kebijakan
upah minimum lebih dapat membawa buruh pada tingkat kesejahteraan yang
memadai, akan tetapi kenyataannya sampai hari ini upah minimum yang
ditetapkan masih saja jauh dari kebutuhan hidup layak, atau setidaknya mampu
meningkatkan kesejahteraan buruh ke taraf yang lebih baik. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan upah minimum dengan segala atributnya pada dasarnya bergerak
dan didisain agar tetap dalam kerangka politik upah murah dan menandai bahwa
represi terhadap upah buruh masih tetap berlangsung.
Dengan demikian jelas bahwa ketentuan upah minimum yang tidak
mencerminkan pemenuhan kebutuhan hidup layak adalah pelanggaran hak buruh
untuk hidup secara layak bersama keluarganya yang mana hak tersebut telah
dijamin oleh Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, dan juga
Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa yang di
264
adopsi oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia315 dan UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya316.
Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 kebijakan upah minimum
dijelaskan sebagai kebijakan yang diarahkan untuk pencapaian kehidupan yang
layak317. Ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tersebut jika
dihubungkan dengan ketentuan di dalam sejumlah undang-undang lainnya,
misalnya seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, memuat arti bahwa
ketentuan upah minimum harus memuat perbaikan kondisi hidup buruh secara
terus menerus setiap tahunnya. Perbaikan tersebut bukan hanya meliputi
penyesuaian terhadap kondisi perekonomian semata, tetapi peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan buruh.
Pada Bab II penulis telah menjelaskan latar belakang munculnya buruh
industri dengan segala persoalannya. Dari pemaparan yang penulis ungkapkan
pada bab tersebut terlihat bahwa buruh bukan merupakan entitas alamiah,
melainkan hasil atau dampak dari perubahan mode produksi masyarakat. Artinya
seseorang yang kebetulan menjadi buruh bukan hanya sebagai tenaga kerja
315 Pasal 38 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap orang, baik pria maupunwanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atasupah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupankeluarganya”, sedangkan Pasal 40 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggalserta berkehidupan yang layak”.
316 Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budayamenyatakan, “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupanyang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atasperbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yangmemadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasamainternasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela”.
317 Oleh pemerintah, bunyi ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut diartikanketentuan upah minimum tidak harus secara persis sesuai dengan kebutuhan hidup layak.
265
upahan semata, tetapi secara nyata dalam dirinya tetaplah merupakan manusia.
Sebagai manusia, secara riil buruh tentunya mempunyai kepentingan sosial.
Sedangkan sebagai buruh, ia mempunyai kepentingan ekonomi. Dari penalaran
yang demikian ini di dapat sebuah kenyataan bahwa jika dilihat dari perspektif
sosial-ekonomi, dalam diri buruh sejatinya terdapat hak ekonomi dan hak sosial.
Merujuk pada pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo yang menyatakan
bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum318, maka hak ekonomi
buruh dapat didefinisikan sebagai “kepentingan seorang individu mendapat
penghasilan atau tunjangan bagi diri dan keluarganya yang cukup untuk hidup
secara jasmaniah (sandang, pangan, perumahan, pelayanan kesehatan) dan sosial
(pengetahuan dasar untuk bertahan hidup dalam suatu sistem sosial, tidak
terisolasi” 319 . Sedangkan hak sosial adalah “kepentingan seseorang tidak
disingkirkan dari institusi dan jaringan sosial yang berguna bagi kehidupannya,
dan mendapatkan pengetahuan yang membuatnya tidak tersingkir dari sistem yang
ada”320.
Mengingat bahwa di dalam diri buruh terdapat kepentingan ekonomi dan
kepentingan sosial, serta dari definisi tersebut di atas, maka kelayakan atau
ketidaklayakan suatu besaran nominal upah minimum dinilai dari kemampuan
nominal upah tersebut mencakup perhitungan biaya ekonomi dari kebutuhan
sosial, yaitu:
318 Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit., halaman 43.319 Tim Studi ELSAM, tanpa tahun, Analisa Dampak Proyek Terhadap Hak Asasi Manusia:
Kasus Perkebunan Inti Rakyat dan Perburuhan.320 Ibid.
266
a. Membuat pergaulan dengan kelompok yang dipilihnya. Konsekuensinyajuga meliputi keadaan di mana seorang buruh tidak harus bekerja mati-matian hingga kehabisan waktu dan tenaga untuk memenuhi kebutuhandasarnya.
b. Mendapatkan pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk tidaktersingkir dari sistem yang ada321.
Sehingga dari uraian ini dapat dikatakan bahwa ketentuan upah minimum
yang tidak mencakup perhitungan biaya ekonomi atas kebutuhan sosial buruh,
bertentangan dengan kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana yang tercantum
di dalam peraturan perundang-undangan.
b. Pengorganisasian Mogok Kerja Sebagai Bentuk Pelaksanaan Fungsi
dan Kewajiban Serikat
Pada Bab II penulis telah menjelaskan fungsi dan kewajiban sebuah serikat
buruh. Fungsi, tugas dan kewajiban serikat buruh sebagaimana dijelaskan pada
bab tersebut bukan hanya karena ditentukan atau didefinisikan oleh sebuah rezim
hukum yang berlaku. Melainkan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Menjadi
semacam panggilan sejarah yang kemudian diatur oleh peraturan perundang-
undangan, di mana untuk konteks keindonesiaan ditegaskan melalui Undang-
Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.
Pada konteks mogok kerja yang terjadi di Jawa Timur tersebut, serikat buruh
bergerak tidak lebih selain dalam kerangka melaksanakan dan menunaikan fungsi
dan kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan hak-
hak sosial-ekonomi buruh. Perbedaan penafsiran terhadap suatu fenomena dan
aturan hukum merupakan sesuatu yang lumrah di negara yang menganut paham
321 Ibid.
267
demokrasi, dan karenanya suatu tindakan yang bertujuan untuk menyuarakan
aspirasi oleh suatu kelompok harus dipahami sebagai pengejewantahan prinsip-
prinsip demokrasi itu sendiri. Apabila terdapat dua atau lebih ketentuan aturan
yang mengatur obyek yang sama, dan dalam taraf tertentu terlihat saling
bertentangan―antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain karena
perbedaan penafsiran yang dilatarbelakangi oleh perbedaan paradigma, maka
sudah semestinya untuk menilai suatu persoalan yang sedang berkembang apabila
kemudian peraturan-peraturan tersebut ditafsirkan secara sistematis322.
Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 pada Pasal 1 angka 1
disebutkan,
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, danuntuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yangbersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab gunamemperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerjadan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pada pasal lainnya, masih di dalam undang-undang yang sama, dijelaskan
bahwa pada diri serikat buruh dilekatkan peran dan kewenangan untuk
mengorganisasikan pemogokan sebagai alat untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh 323 . Sedangkan pada bagian peraturan perundang-undangan
yang lainnya, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan sejumlah peraturan
pelaksananya, mogok kerja diberi batasan-batasan dan dikategorisasikan.
Pembatasan dan pengkategorian mogok kerja ke dalam dua kualifikasi tersebut
322 Penafsiran sistematis adalah “menafsirkan undang-undang sebagai bagian darikeseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undanglainnya”
(Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit., halaman 157)
323 Pasal 4 ayat (2) huruf e UU No. 21 Tahun 2000.
268
pada tingkat tertentu dapat mereduksi makna serikat buruh dan mogok kerja itu
sendiri. Artinya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dengan penafsiran
yang sempit berpotensi menghilangkan, atau setidaknya menghalangi kemampuan
serikat buruh untuk memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan hak serta
usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan buruh.
Jika ketentuan di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dihubungkan
dengan ketentuan lain seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 dan Kovensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, fungsi dan tugas serikat
buruh untuk memperjuangkan kepentingan buruh bukan hanya berada dalam
konteks hubungan industrial atau ketika berhadapan dengan pengusaha saja.
Melainkan juga dalam bentuk pengartikulasian hak-hak politik ekonomi untuk
menyuarakan aspirasi ketika berhadapan dengan kebijakan negara yang
mempunyai dampak terhadap kehidupan buruh beserta keluarganya.
Dari uraian di atas tersebut dapat dipahami dan disimpulkan bahwa mogok
kerja yang dilaksanakan oleh serikat buruh dalam menentang ketetapan upah
minimum, yang merupakan produk kebijakan pemerintah, merupakan bentuk
pelaksanaan fungsi, tugas dan kewajiban yang melekat pada serikat buruh sebagai
alat perjuangan buruh.
c. Mogok sebagai Hak Politik
Buruh secara nyata bukan hanya makhluk yang berada pada ranah sosial-
ekonomi. Sebagai manusia dan warga negara, buruh juga merupakan makhluk
269
politik yang mempunyai hak-hak politik sebagaimana dipunyai oleh elemen
masyarakat lainnya. Secara substantif, hak politik mempunyai makna adanya
“kesempatan bersuara dalam pengalokasian sumber daya masyarakat serta
pengaturan hubungan-hubungan sosial”324. Dan hak-hak politik tersebut bukan
sebatas wacana, tetapi suatu hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku di
Indonesia.
Sebagai pemangku hak politik, buruh dilindungi oleh hukum yang menjamin
kebebasannya untuk melakukan aktivitas politik, menyuarakan pendapat dan
aspirasinya, serta mengajukan kepentingan dan tuntutan kepada pihak-pihak yang
berkompeten. Termasuk menyebarluaskannya kepada publik masyarakat luas
dengan melalui beberapa tindakan yang oleh hukum dilegalkan.
Menyuarakan aspirasi dan mengajukan kepentingan melalui tindakan mogok
atau melalui beragam aksi massa lain, di Indonesia dikonsepkan sebagai bentuk
hak politik menyampaikan pendapat di muka umum yang dilindungi oleh hukum.
Sebagaimana telah penulis sebutkan pada Bab II penulisan hukum ini, kebebasan
dalam mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang menyatakan
bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian
lebih lanjut lagi dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.
324 Tim Studi ELSAM, Op. Cit.
270
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa hak mogok buruh merupakan
bagian dari hak politik; hak atas kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang
menyebutkan, ”setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Ketentuan di dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tersebut,
jika dilihat dengan memperhatikan bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
dibentuk sebagai umbrella act atas peraturan-peraturan yang ditujukan untuk
penghormatan dan perlindungan serta penegakan HAM yang berangkat dari nilai-
nilai universal, memberikan penafsiran bahwa ketentuan “[…] sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” yang terdapat dalam pasal tersebut
bukan dimaksudkan menunjuk ketentuan mogok di dalam peraturan perundang-
undangan dibidang perburuhan.
Di Indonesia, pengaturan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat di
muka umum di atur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Pada Pasal 2 dari
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 disebutkan:
(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebasmenyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawabberdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, danbernegara.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai denganketentuan Undang-undang ini.
271
Berdasar bunyi pada Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tersebut,
maka jelas bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 menunjuk pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
Untuk memahami bagaimana konstruksi hukum atas situasi saat aksi massa
yang dilakukan oleh Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat, perhatikan
contoh berikut. Sebagai contoh misalnya ialah aksi massa yang sering dilakukan
oleh sebuah partai politik untuk menyuarakan dan menyerukan solidaritas bagi
rakyat Timur-Tengah tentu bukan dalam jangkauan peraturan perundang-
undangan sektor perburuhan. Seandainya sebagian dari peserta aksi tersebut
adalah massa buruh, aksi massa tersebut secara an sich tidak berada dalam rezim
hukum perburuhan, tetapi tunduk pada peraturan hukum yang mengatur tentang
tata tertib umum. Walaupun begitu, bukan berarti dalam konteks contoh kasus ini
hukum perburuhan tidak mempunyai kekuasaan sama sekali.
Secara sederhana persoalan ini dapat digambarkan demikian, seorang buruh
yang sedang terlibat aksi massa―seperti dalam contoh―tunduk pada dua rezim
peraturan, yaitu untuk keikutsertaannya pada aksi massa, ia tunduk pada peraturan
yang mengatur tentang tata tertib umum dan aturan mengenai tata cara
penyampaian pendapat di muka umum―yakni, Undang-Undang No. 9 Tahun
1998; sedangkan apabila karena mengikuti aksi massa tersebut buruh yang
bersangkutan meninggalkan pekerjaannya, itu tunduk pada rezim hukum
perburuhan.
Dengan demikian soal mogok secara riil bukan hanya ada dalam konteks
hubungan industrial, atau hanya berada dalam konteks yang sedikit lebih luas,
272
yakni ranah sosial-ekonomi. Mogok di Indonesia berada di dua ranah yang
berbeda, yaitu ranah sosial-ekonomi dan sosial-politik. Artinya hak mogok yang
dimiliki oleh kaum buruh merupakan hak dibidang sosial-ekonomi dan juga hak
dibidang sosial-politik.
Pelaksanaan mogok kerja dalam menentang kebijakan pemerintah yang
merugikan buruh, dalam kasus ini ialah menentang ketetapan upah minimum,
merupakan hak politik. Sebagai hak dan tindakan politik, bukan berarti tidak
mempunyai hubungan sama sekali dengan ranah sosial-ekonomi. Antara hak
politik dengan hak sosial-ekonomi, keduanya mempunyai hubungan dan
keterkaitan seperti yang penulis sebutkan dalam contoh di atas. Akan tetapi
keduanya sebenarnya dua hal yang berbeda. Sebagai hak politik, pada tingkatan
tertentu terpisah dari persoalan hubungan kerja yang hanya melibatkan buruh dan
pengusaha semata.
Hak secara nyata bukan hanya sebagaimana yang disebutkan pada kalimat
dalam hukum positif yang sedang berlaku. Segala sesuatu yang menjadi hak
belum tentu semuanya diatur oleh hukum positif yang berlaku, atau sesuatu hal
yang pada kurun waktu tertentu dikategorikan sebagai hak yang diakui oleh
hukum (positif) yang berlaku pada kurun waktu tersebut tetapi tidak disebutkan
secara detail. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan materi hukum yang
terjadi pada waktu berikutnya, sangat mungkin sesuatu yang belum disebutkan
sebagai hak kemudian dikualifikasikan sebagai hak, atau suatu hak yang belum
diatur secara detail kemudian ditegaskan serta diperjelas secara rinci. Tuntutan
agar sesuatu hak―yang belum tercantum dalam hukum positif―dimasukkan dan
273
disebutkan serta diatur secara jelas di dalam hukum merupakan suatu tindakan
atau aksi politik.
Dalam konteks konflik di penetapan upah minimum, mogok kerja yang
dilancarkan oleh buruh adalah untuk menuntut dan memperjuangkan hak, yaitu
hak untuk mendapatkan upah yang layak. Akan tetapi, “upah yang layak” itu
sendiri masih belum jelas bentuknya, sehingga “hak mendapatkan upah yang
layak” itu sendiri juga belum mendapatkan bagaimana bentuk sebenarnya, atau
berapa nilai pasti dari yang dimaksud “upah yang layak”. Dan agar “upah yang
layak” tersebut mempunyai kejelasan yang memadai sehingga dapat
diaplikasikan, diperlukan pemberian bentuk kepadanya.
Pada titik itulah, yakni pada kurun waktu dan ruang di dalam upaya
pemberian bentuk tersebut, terjadi pertarungan kepentingan, masing-masing pihak
yang terlibat di dalamnya mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, dan
segala tindakan yang diambil pada saat yang demikian ini dikategorikan sebagai
aksi politik. Apa yang dilakukan oleh “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur
Menggugat” melalui aksi massa dan mogok berada dalam kerangka seperti ini,
yakni merupakan aksi politik berupa penyampaian pendapat di muka umum
melalui unjuk rasa (demonstrasi)325.
Aksi buruh yang tergabung dalam Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur
Menggugat merupakan hasil dari kesadaran politik massa buruh. Bahwa aksi
325 Menurut Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998, bentuk penyampaian pendapat di mukaumum dapat berupa:
a.) unjuk rasa atau demonstrasi;b.) pawai;c.) rapat umum; dan ataud.) mimbar bebas
274
terebut berlangsung dalam skala massif dan luas hal itu tidak lain merupakan
wujud dari kesadaran politik kolektif yang diorganisasikan oleh serikat buruh.
Makna kesadaran politik dalam hal ini lebih mengacu pada tindakan untuk
mengaktualisasikan diri karena hak dan kepentingannya dilanggar oleh pihak lain.
d. Kategori Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum oleh
Serikat Buruh
Terhadap pemogokan yang dilakukan untuk menekan pemerintah agar
merubah ketetapan upah minimum yang merugikan buruh, yang berarti tidak
mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan pengusaha, ada dua skenario yang
berlaku, yaitu: pertama, dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal; dan kedua,
mogok kerja tersebut merupakan mogok kerja yang sah. Berikut pembahasan
mengenai kedua skenario dan ruang lingkupnya masing-masing.
1). Sebagai Mogok Kerja Tidak Sah
Jika dilihat dari penafsiran hukum yang sifatnya yuridis normatif,
pemogokan yang tidak ada kaitan langsung dengan kebijakan pengusaha bisa
digolongkan sebagai tindakan yang ilegal. Mogok kerja yang dilancarkan oleh
buruh dalam kasus menentang ketentuan upah minimum di Jawa Timur
dikategorikan sebagai perbuatan mogok yang tidak sah dilihat dari sudut pandang:
mogok kerja sebagai hak dibidang sosial-ekonomi.
Sebagaimana telah diungkapkan penulis pada Bab I, peraturan yang
mengatur tentang pemogokan hanya merumuskan dua tipe pemogokan, yaitu
275
pemogokan yang mempermasalahkan soal-soal normatif, dan pemogokan yang
bersumber dari perselisihan yang sifatnya non-normatif. Akan tetapi kedua jenis
kategori tersebut berspektif bipartit; hanya mendasarkan pada perselisihan yang
timbul dalam hubungan antara pengusaha dan buruh.
Pada bagian lain, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 memberikan pengaturan, “mogok
kerja dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya
perundingan”. Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun
2003 menyebutkan mogok kerja tidak sah salah satunya disebabkan bukan akibat
gagalnya perundingan. Yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan oleh salah satu pihak tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan menemui jalan buntu. Disinilah titik kruisialnya326.
Dalam konteks penetapan upah minimum, pihak yang terlibat mencakup tiga
pihak, yaitu buruh, pengusaha dan negara (pemerintah). Sehingga jikapun terdapat
konflik, maka jelas konflik tersebut melibatkan tiga pihak yang ada. Akan tetapi
Kenyataan ini tidak dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada, yang
mengatur tentang pemogokan. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
hanya menggunakan asumsi dan logika bahwa perselisihan hubungan industrial
326 Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 menyebutkan;
Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidaktercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapatdisebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikatpekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihakdalam risalah perundingan
276
selalu hanya menyangkut pihak buruh dan pengusaha semata. Konsekuensinya,
perundingan yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut adalah perundingan
yang berakar dari konflik antara pengusaha dan buruh. Sedangkan posisi
pemerintah di dalam perundingan adalah sebagai mediator yang menjembatani
dan memfasilitasi perundingan tersebut.
Wujud utama persoalannya ialah agar mogok kerja tidak masuk kategori
tidak sah, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah mogok kerja tersebut
merupakan akibat gagalnya perundingan. Syarat ini hampir mustahil dipenuhi jika
berada dalam kerangka konflik saat penetapan upah minimum. Pola konflik di
dalam konteks penetapan upah minimum berbeda dengan konflik yang hanya
melibatkan buruh dan pengusaha semata.
Perundingan yang dimaksud oleh sejumlah peraturan tersebut di atas
dilatarbelakangi oleh keberadaan konflik terkait hubungan kerja antara buruh dan
pengusaha yang telah ada terlebih dahulu. Sedangkan konflik pada soal penetapan
upah minimum bukanlah konflik yang berlandaskan hubungan kerja—yang
sifatnya bipartit—antara buruh dan pengusaha. Sehingga dalam soal penetapan
upah minimum, apabila terdapat konflik—seperti pada kasus Jawa Timur yang
penulis angkat, mekanisme penyelesaian tidak melalui prosedur sebagaimana
yang diatur oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 maupun Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003. Akibatnya, mengingat bahwa mogok kerja
yang sah menurut peraturan perundang-undangan adalah sebagai sebab dari
gagalnya perundingan, maka pemogokan yang dilakukan oleh pihak buruh dalam
rangka menolak ketentuan upah minimum yang jauh dari kemampuan memenuhi
277
kebutuhan hidup layak secara yuridis formal digolongkan sebagai mogok kerja
yang tidak sah.
2). Terkategorikan Sebagai Mogok Kerja Sah
Menyikapi kondisi perburuhan di Indonesia, Herlambang Perdana
menyatakan;
[…] bila dilihat dari dimensi politik ekonomi, di mana buruh senantiasaberposisi sangat lemah dalam perebutan pengaruh kebijakan yang pro-buruh,maka tindakan buruh itu bisa disebut sebagai “in kauf nehmen”, apa bolehbuat karena tidak ada pilihan hukum bagi buruh untuk bertahan atau resistenatas legalisasi pengaturan yang melemahkan proteksi buruh (legalizedviolation of human rights)327.
Artinya apabila perspektif hukum yang sifatnya legal-formal sudah tidak
dapat menjangkaunya, maka fenomena yang ada, yakni tindakan mogok kerja
yang dilakukan oleh buruh, harus dilihat dalam kerangka perspektif yang lebih
luas, yaitu bahwa di alam demokrasi setiap manusia mempunyai kebebasan untuk
berkumpul, berserikat dan mengemukakan serta menyampaikan pendapat.
Sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, setiap orang berhak mengemukakan
pendapatnya di muka umum dan menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak
tertentu agar kepentingannya dapat diwujudkan.
Pembahasan yang menyangkutkan aksi mogok buruh dengan soal
demokrasi, tetap juga menyentuh aspek hukum, atau bukan hanya bergerak dalam
dimensi politik semata. Hanya saja pendekatan yang diterapkan berbeda dengan
ketika menggunakan perspektif legal-formal. Melalui pendekatan seperti ini,
peraturan hukum dibidang perburuhan dilihat sebagai bagian dari sistem hukum
327 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana.
278
secara utuh; dihubungkan dan dibandingkan dengan peraturan-peraturan lainnya
yang pada saat bersamaan juga mempunyai status sebagai hukum positif yang
masih berlaku mengikat.
Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam sistem hukum Indonesia
terdapat sejumlah peraturan yang menyebutkan setiap manusia mempunyai hak
untuk mendapatkan penghasilan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya secara layak termasuk bersama keluarganya. Antara lain adalah seperti
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 38 ayat
(4)); Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Hak-
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, dan
bahkan UUD 1945 sendiri.
Dari ketentuan yang terdapat pada beberapa peraturan tersebut di atas dapat
ditarik sebuah pemahaman bahwa tindakan buruh melakukan mogok kerja
menuntut upah minimum yang layak bukan merupakan semata-mata sebagai aksi
yang sifatnya politis, melainkan tindakan hukum karena berusaha
mempertahankan dan memperjuangkan hak yang dijamin oleh hukum.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”; Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang menyatakan, “Setiap warga negara,
secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; serta menurut Pasal 25 Undang-
279
Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk
menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka aksi massa yang
digalang oleh Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat merupakan aksi yang
berada dalam kerangka pelaksanaan suatu hak.
Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 memang disebutkan bahwa
pencapaian penghasilan yang layak secara kemanusiaan bagi buruh ditempuh
melalui penerapan serangkaian kebijakan pengupahan seperti pengaturan upah
lembur dan sebagainya, dan bukan hanya melalui kebijakan upah minimum
semata―sehingga kebijakan upah minimum menurut Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 dikonsepsikan sebagai instrumen yang diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari keseluruhan kaum
buruh hanya mempunyai sumber penghasilan dari upah sebesar ketentuan upah
minimum kabupaten/kota setempat yang berlaku. Misalnya adalah buruh yang
sistem kerjanya borongan, atau buruh outsource, yang mana karena profil
pekerjaannya sifatnya statis—seperti bagian cleaning-service—mereka tidak
mengenal kerja lembur, sehingga penghasilan mereka hanya bersumber dari upah
yang mereka terima tiap bulan sebesar ketentuan upah minimum.
Artinya sebagian buruh tersebut mengandalkan kelangsungan dan kualitas
hidupnya pada sejumlah upah yang mereka terima. Apabila upah yang mereka
terima sesuai dengan kondisi riil kebutuhan hidup layak; mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak, maka mereka dapat menjalani dan
280
menikmati hidup yang layak. Sebaliknya, apabila upah yang mereka tidak
mencerminkan kebutuhan hidup layak, tentunya mereka amat susah untuk dapat
menjalani hidup secara layak.
Disinilah pentingnya merumuskan dan menerapkan kebijakan upah
minimum sebagai salah satu alat untuk mengaplikasikan ketentuan di dalam
Konstitusi dan juga di dalam Deklarasi HAM Universal oleh PBB —yang mana
telah diadobsi oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999— yang menegaskan
bahwa setiap manusia berhak atas penghasilan yang layak menurut kemanusiaan.
Artinya, ketentuan upah minimum yang ditetapkan sudah semestinya merupakan
instrumen pemenuhan hak buruh untuk memperoleh penghasilan yang layak
secara kemanusiaan.
Memang terhadap segala sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
diberikan sebagai hak, subyek pemangku hak tersebut tidak berarti dapat
menggunakan segala cara untuk mempertahankan hak yang bersangkutan. Untuk
dapat mempertahankan hak tersebut, haruslah menggunakan tata cara yang telah
disediakan oleh hukum. Demikian logika yang berlaku di dalam hukum.
Akan tetapi pemahaman akan logika hukum formal tersebut jangan sampai
melupakan bahwa ketika hukum memberikan hak, pada dasarnya hukum
menjamin dan melindungi kekuasaan untuk melaksanakan hak yang bersangkutan.
Sebagaimana diungkapkan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan:
Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkankepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkanuntuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yangdijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya328.
328 Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit. Halaman 43.
281
Keabsahan aksi buruh dalam hal ini tidak dinilai dari sisi prosedural,
melainkan lebih pada sisi substansi muatan hak mogok yang dimiliki oleh buruh.
Memang secara logika hukum yang formalistik, dipenuhi atau tidaknya suatu
prosedur memberikan pengaruh pada tingkat keabsahan suatu tindakan. Jika
prosedur yang disyaratkan tidak dipenuhi, maka tindakan yang ada merupakan
tindakan yang tidak sah. Akan tetapi persoalannya, bagaimana jika ketentuan
prosedur yang disyaratkan tidak mungkin dipenuhi karena perbedaan konstruksi
kasus yang menyentuh ranah substansi?
Prosedur dapat diartikan sebagai bagian dari tata cara pelaksanaan suatu
tindakan, baik yang menjadi hak maupun tindakan yang merupakan sebuah
kewajiban. Dalam konteks prosedur untuk pelaksanaan suatu tindakan yang
menjadi hak, bagaimana jika prosedur yang ada tersebut justru dapat membawa
dampak tereduksinya hak itu sendiri? Prosedur memang merupakan sesuatu yang
penting, akan tetapi hak merupakan sesuatu yang lebih utama yang harus
dilindungi.
Keabsahan aksi buruh di dalam proses penentuan upah minimum terletak
pada aksi buruh sebagai pelaksanaan hak politik yang dipunyai oleh buruh. Tidak
terpenuhinya ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 oleh aksi
buruh di dalam penentuan upah minimum adalah karena ketentuan tersebut dibuat
dengan mengabaikan hak mogok buruh sebagai bagian dari hak politik yang
dipunyai buruh. Sedangkan hak mogok sebagai bagian dari hak politik, telah
ditegaskan oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11
Tahun 2005. Dengan demikian, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 137
282
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebabkan oleh tidak mungkin dipenuhinya
syarat-syarat yang terdapat di dalamnya oleh buruh.
3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum
Sebagaimana telah disinggung di muka, menyikapi aksi mogok kerja dan
demonstrasi yang dilakukan oleh buruh, kalangan pengusaha mengeluarkan
ancaman kepada perangkat aksi aliansi dan pengurus serikat buruh yang
bergabung di dalam aliansi, serta kepada peserta aksi biasa. Pada intinya, seluruh
lapisan aliansi tersebut tidak ada yang luput dari ancaman pihak pengusaha dan
APINDO.
Jika dicermati dan dianalisis lebih lanjut, maka hasil yang muncul kemudian
adalah ancaman pihak pengusaha tersebut tidak lebih sebagai bentuk reaksi
spontan yang bingung menghadapi aksi massa buruh yang massif. Dari ketiga
bentuk ancaman tersebut, yang memungkinkan untuk dijalankan ialah
mengkualifikasikan sebagai tindakan mangkir kerja. Sedangkan untuk soal pidana
dan gugatan perdata, pihak pengusaha tidak mempunyai alasan yang kuat.
a. Diperkarakan Secara Pidana Oleh Pengusaha
Pidana merupakan instrumen hukum di mana pihak yang diharuskan
mempunyai inisiatif beracara adalah pihak penguasa atau pemerintah negara yang
bersangkutan. Hukum pidana bersifat strict atau tertutup. Seseorang hanya dapat
dijatuhi hukuman pidana apabila sebelumnya telah ada peraturan atau ketentuan
hukum yang menyatakan bahwa tindakan atau perbuatan tertentu yang dilakukan
283
oleh seseorang tersebut adalah sebagai perbuatan pidana. Apabila seseorang
melakukan pencurian, sedangkan pencurian itu sendiri misalnya tidak
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, maka sesorang yang mencuri tersebut
tidak dapat diproses dan dilakukan pemidanaan. Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali, itulah prinsip dasar yang berlaku di dalam hukum pidana
yang umum disebut sebagai asas legalitas, yang tercantum dalam Pasal 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mogok kerja dan melakukan demonstrasi bukanlah tindakan pidana apabila
dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya hal
ini diperoleh dari ketentuan di dalam Konstitusi Republik Indonesia, dan Pasal 25
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
menyampaikan pendapat dan aspirasinya di muka umum, termasuk menggunakan
mogok sebagai alat untuk menyuarakan aspirasinya selama tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku.
Penjelasan mengenai mogok kerja dan demonstrasi bukan merupakan suatu
tindak pidana di dapat dari ketentuan di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebagaimana
telah disebutkan di atas. Bahkan menurut undang-undang ini, seseorang atau
kelompok yang menyampaikan pendapatnya di muka umum dengan tanpa
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) mendapatkan perlindungan hukum329.
Ketentuan di dalam Pasal 186 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang
mengkualifikasikan mogok kerja yang tidak sesuai dengan Pasal 137 dan Pasal
329 Pasal 5 huruf b UU No. 9 Tahun 1998.
284
138 ayat (1) sebagai perbuatan pidana pun sudah tidak dapat diberlakukan lagi
akibat dibatalkan oleh Mahkamah Kosntitusi pada tanggal 26 Oktober 2004.
Terkait dengan ancaman pihak pengusaha yang akan memperkarakan secara
pidana, memang di dalam hukum pidana ada beberapa pasal atau ketentuan yang
mengatur bahwa suatu tindak pidana tertentu hanya dapat diproses apabila ada
aduan atau laporan terlebih dahulu—hal yang kemudian umum disebut sebagai
delik aduan. Akan tetapi, pasal-pasal dan ketentuan yang mengatur tentang delik
aduan sama sekali tidak ada yang mengkategorikan mogok dan aksi demonstrasi
sebagai perbuatan pidana delik aduan, sehingga dengan demikian pihak
pengusaha tidak mempunyai legal standing.
b. Digugat Perdata
Selain mengancam akan memperkarakan secara pidana, pengusaha yang
tergabung dalam APINDO juga berniat menggugat secara perdata kepada buruh
dan serikat buruh yang melakukan aksi demonstrasi menentang ketentuan upah
minimum. Seperti telah penulis sebutkan di atas, aksi demonstrasi dan mogok
kerja yang dilancarkan oleh kaum buruh, walaupun dilakukan bukan dengan
maksud menekan dan mendesakkan kepentingannya kepada pihak pengusaha,
melainkan kepada pemerintah, akan tetapi hal tersebut telah mengganggu
kelancaran aktivitas produksi.
Terhambatnya aktivitas produksi, bagi pengusaha merupakan sebuah
peristiwa yang menyebabkan kerugian, atau setidaknya menghilangkan
kesempatan meraih keuntungan. Selain itu, untuk beberapa perusahaan atau
285
pengusaha yang kebetulan pada masa-masa itu sedang dikejar target memenuhi
pesanan, terhambatnya atau terhentinya aktivitas produksi memunculkan potensi
perusahaan yang bersangkutan mengalami tuntutan klaim dari mitra bisnisnya
karena tidak mampu memenuhi pesanan tepat pada waktunya sebagaimana yang
dijanjikan akibat buruh-buruhnya melakukan mogok kerja.
Bahwa pengusaha melontarkan ancaman akan menggugat serikat buruh
secara perdata diilhami oleh konsepsi berpikir tentang perjanjian dan wanprestasi
di dalam hukum perdata yang berakar pada KUHPerdata. Buruh mogok kerja dan
meninggalkan pekerjaan yang menjadi kewajibannya, dikualifikasikan oleh
kalangan pengusaha sebagai bentuk wanprestasi atas perjanjian kerja, sehingga
apabila kemudian perusahaan mengalami kerugian atau tuntutan klaim ganti rugi
dari mitra bisnisnya, buruh dituding sebagai penyebab semuanya dan dianggap
turut mempunyai kewajiban menanggung kerugian dan/atau klaim yang diderita
perusahaan.
Penggunaan beberapa pasal ketentuan di dalam KUHPerdata sebagai
kerangka berpikir untuk mengajukan gugatan ganti rugi perdata kepada buruh,
menurut penulis, merupakan seseuatu yang tidak tepat. Argumentasinya ialah:
pertama, persoalan hubungan kerja pada masa sekarang ini telah diatur secara
tersendiri melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Undang-Undang No. 21
Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Di dalam ilmu hukum
dikenal asas lex speciali derogat lex generali, peraturan yang khusus
mengesampingkan peraturan yang umum. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
286
adalah peraturan yang secara khusus mengatur tentang hubungan industrial,
sehingga berdasar asas lex speciali derogat lex generali mengesampingkan
ketentuan-ketentuan mengenai hubungan kerja yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, termasuk KUHPerdata. Sehingga apabila terdapat
suatu masalah atau konflik hubungan industrial, upaya penyelesaiannya haruslah
menggunakan kerangka instrumen hukum perburuhan tersebut.
Kedua, ketentuan tentang perikatan dan perjanjian di dalam KUHPerdata
sifatnya adalah fakultatif atau pelengkap. Kaedah hukum di dalam KUHPerdata
tersebut tidak secara a priori mengikat. Artinya ketentuan di dalam KUHPerdata
tersebut dapat disimpangi oleh para pihak yang akan dan/atau sedang mengadakan
hubungan hukum. Pada konteks ini, perjanjian kerja yang dibuat oleh buruh dan
pengusaha bisa saja menyimpangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata,
sehingga―sebagaimana menurut asas pacta sunt servanda, semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya―yang berlaku adalah klausula perjanjian kerja yang dibuat antara
buruh dan pengusaha. Untuk itu, apabila pengusaha berniat menggugat buruh
dengan menggunakan keempat pasal sebagaimana tersebut di atas, maka
setidaknya pengusaha harus menggunakan dasar klausula perjanjian yang dibuat
antara pengusaha dan buruh. Sedangkan klausula perjanjian kerja itu sendiri tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan
yang berlaku.
Ketiga, jikapun memungkinkan menggunakan ketentuan di dalam
KUHPerdata sebagai dasar gugatan kepada buruh dan serikat buruh yang
287
menggalang dan mengorganisasikan aksi mogok, penggunaan ketentuan Pasal
1365 dan 1366 adalah kurang tepat. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata
menyebutkan, “majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di
dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”330. Bunyi
ketentuan di dalam Pasal 1367 ayat (3) tersebut menunjukkan ancaman gugatan
perdata yang dilontarkan oleh pengusaha tidaklah mempunyai dasar.
c. Dikualifikasikan Sebagai Mangkir Kerja
Dari beberapa jenis “ancaman” yang dilontarkan oleh pengusaha,
mengkualifikasikan buruh yang mengikuti aksi menentang ketetapan upah
minimum sebagai perbuatan mangkir kerja, merupakan hal yang paling mungkin
dilaksanakan. Dapat diterapkannya kualifikasi mangkir kerja terhadap buruh yang
mengikuti aksi demonstrasi menentang upah minimum bukan berarti
membuktikan bahwa buruh yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum
sepenuhnya.
Perbedaan substansi antara mogok yang dilaksanakan dalam rangka
menentang ketentuan upah minimum dengan konsepsi mogok yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan sektor perburuhan telah menempatkan buruh
sebagai “pelaku pelanggaran”. Peraturan tentang mogok di dalam hukum
perburuhan tidak memberikan ruang bagi pemogokan yang menyikapi kebijakan
330 Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., Op. Cit.
288
negara. Mogok kerja di tingkatan peraturan perburuhan hanya dimaknai berada
dalam konteks hubungan kerja antara perusahaan dan buruh.
Secara langsung peraturan mogok kerja hanya memuat konsepsi tuntutan
kesejahteraan buruh terbatas pada perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif
dalam suatu hubungan kerja. Pemahaman yang demikian ini menafikan peran
negara yang dapat menerbitkan kebijakan yang mempunyai implikasi terhadap
kehidupan buruh. Mengingat standar kondisi kerja dalam suatu hubungan
industrial secara formal harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, konsepsi yang dibawa oleh peraturan mogok mengindikasikan bahwa
standar yang diterapkan oleh pemerintah seolah telah mengakomodasi
kesejahteraan buruh. Padahal dalam banyak kasus tidaklah demikian
kenyataannya. Banyak regulasi tentang perburuhan yang tidak mencerminkan
standar kesejahteraan buruh yang layak. Dengan kata lain, ada sejumlah peraturan
yang keberadaannya sudah menjadi persoalan tersendiri331.
Pengkualifikasian sebagai mangkir kerja pada dasarnya tidak menjadi soal
apabila hal tersebut tidak mengancam keamanan kelangsungan kerja buruh yang
bersangkutan. Akan tetapi mengingat bahwa di dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003, kualifikasi “mangkir kerja”
331 Sebagai contoh misalnya adalah ketentuan tentang sistem kerja kontrak dan outsourcingdi dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang menciptakan ketidakpastian kelangsungan kerja bagi buruh,apakah hal ini sudah memuat dan mengakomodasi tuntutan kesejahteraan buruh? Tentu tidak.Makna kesejahteraan bukan hanya menyangkut besaran upah, melainkan lebih dari itu, termasukdijaminnya keamanan kelangsungan kerja buruh sehingga buruh mampu merencanakankehidupannya dan keluarganya secara terukur.
289
dapat membawa konsekuensi dianggap mengundurkan diri, hal tersebut sangat
merugikan buruh332.
Ancaman yang diberikan oleh ketentuan Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, menurut penulis,
merupakan hal yang sangat berlebihan. Sebenarnya tanpa pencantuman dan
penerapan sanksi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, telah ada suatu ketentuan yang relatif adil
untuk menyikapi mogok kerja yang dikategorikan sebagai mogok kerja tidak sah,
yaitu asas no work no pay, tidak bekerja tidak mendapatkan upah.
Jika terhadap mogok kerja yang sah pengusaha mempunyai kewajiban
membayar upah kepada buruh yang melakukan mogok kerja, maka adalah logis
dan rasional apabila buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah cukup diberi
sanksi tidak mendapatkan upah sesuai jumlah hari kerja yang ditinggalkannya.
Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, mogok kerja yang tidak memenuhi
ketentuan mogok di dalam peraturan perundang-undangan perburuhan, bukan
berarti melanggar hukum sepenuhnya karena mogok merupakan salah satu hak
politik yang dimiliki oleh buruh.
332 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003 menyatakan,“Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentukpemanggilan secara patut dan tertulis”.
Sedangkan Pasal 6 ayat (3) berbunyi, “Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilansebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri”.
290
4. Konsekuensi Kualifikasi Mangkir Kerja Menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 sebagai Bentuk Dehumanisasi
Terhadap Buruh
Menurut logika hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia sekarang
dan penalaran hukum yang sifatnya yuridis-normatif, mogok kerja yang
dilaksanakan tidak menurut ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
2003, mulai dari Pasal 137 sampai pada Pasal 140, dikategorikan sebagai mogok
kerja tidak sah. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003. Dan, terhadap pelaku dan peserta mogok kerja tidak sah,
pengusaha dapat memutus hubungan kerja apabila pengusaha telah melakukan
pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok selama 2 kali berturut-
turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut
dan tertulis, buruh yang bersangkutan tetap melakukan mogok kerja. Buruh yang
demikian ini dianggap mengundurkan diri, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 6
ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003.
Dengan pemberlakuan ketentuan pada Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 232 Tahun 2003, negara dan pengusaha sejatinya telah mengingkari dan
mereduksi sebagian dari hak buruh, yaitu hak politik buruh. Manusia yang
kebetulan menjadi buruh dikonstruksikan sebagai entitas yang hanya berada pada
ranah sosial-ekonomi semata, bahkan hanya dianggap berada dalam kegiatan
produksi. Artinya, dengan adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun
2003 telah terjadi proses dehumanisasi terhadap buruh melalui pengingkaran
sebagian hak buruh sebagai manusia yang dijamin oleh peraturan perundang-
291
undangan lainnya, instrumen hukum internasional dan Konstitusi Indonesia
sendiri. Selain itu, keberadaan ketentuan tersebut semakin memperjelas dan
menegaskan bahwa peraturan perburuhan pada dasarnya di disain untuk
memudahkan mobilisasi buruh dalam aktivitas produksi demi kepentingan modal
melakukan akumulasi keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKUAli, Chidir, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Binawan, Al Andang L., dan A. Prastyantoko (editor), 2004, Keadilan Sosial: UpayaMencari Makna Kesejahteraan Bersama Di Indonesia, Kompas, Jakarta.
Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
_____________, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi), GramediaPustaka Utama, Jakarta.
Das, Maitreyi Bordia, 2004, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap PasarTenaga Kerja: Kasus Timor-Leste Dalam Perspektif Komparatif, Bank
Dunia-Timor Leste, Dili, Republik Timor Leste.
Djumadi, 2005, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh Di Indonesia, Rajawali Press,Jakarta.
Fenwick, Colin, dan Lindsey, Tim, dan Arnold, Luke, 2002, Reformasi PenyelesaianPerselisihan Perburuhan Di Indonesia (Pedoman terhadap Kebijakan danMasalah Hukum sekitar Rancangan Undang-Undang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial), ILO Kantor Indonesia, Jakarta.
H.D. Oey (editor), 2003, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia BelandaHingga Orde Baru, Hasta Mitra, Jakarta.
Huntington, Samuel P., dan Joan M. Nelson, 1990, Partisipasi Politik di NegaraBerkembang [No Easy Choice: Political Participation In DevelopingCountries], terjemahan Sahat Simamora, Rineka Cipta, Jakarta.
ICFTU, tanpa tahun, Sejarah Ringkas Gerakan Serikat Buruh Internasional.
ILO, 2003, Perundingan Bersama Serta Keterampilan Negosiasi (Pedoman PelatihanUntuk Serikat Pekerja), ILO Indonesia, Jakarta.
Iskandar, A. Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin (Simpang KepentinganBuruh-Negara-Modal di Tengah Arus Kapitalisme Global), Yayasan WahyuSosial, Semarang.
Kelly, Peggy, 2002, Menegakan Demokrasi dan Perdamaian Melalui Dialog Sosial:Kajian tentang Lembaga-lembaga dan Proses Dialog Sosial di Indonesia,International Labour Office, Jenewa, Swiss.
Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung.
______________, 2006, Aspek Hukum Pengupahan (Berdasarkan Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Labour Education Center, 2001, Organisasi Serikat Buruh, LEC, Bandung.
Markam, Roekmono, 1981, Masalah Pengupahan Di Dalam Hubungan Perburuhan,Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Marx, Karl, 1887, Capital (Volume I, II, III), English Edition (1958), ForeignLanguages Publishing House, Moscow.
Mas’oed, Mochtar, dan Colin MacAndrews, 1987, Perbandingan Sistem Politik,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,Yogyakarta.
Najih, M., dan Sugianto, I (editor), 2005, Munir dan Gerakan Perlawanan Buruh:Catatan Pikiran dan Pengalaman Pemberdayaan Buruh (Sebelum tahun1995), InTrans Press, Malang.
Ruspriyanto, Adi, (penerjemah), 2004, Bagaimana Membangun Serikat Pekerja?(Pengalaman dari Philipina), Young Image Book , Yogyakarta.
Samuelson dan Nordhaus, W., 2001, Ilmu Mikroekonomi (Edisi 17), terjemahan NurRosyidah, Anna Elly dan Bosco Carvallo, Media Global Edukasi, Jakarta.
Sandra, 1961, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakyat, Jakarta.
Shamad, Yunus, 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Bina Sumber DayaManusia, Jakarta.
Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritisatas Undang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta.
Siregar, A. Madjid, 1953, Perkembangan Serikat Buruh di Beberapa Negara,Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakyat N.V., Jakarta.
Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Soraya, Yasmine M. S., 2007, Upah Minimum: Advokasi Kebijakan dan PenetapanUpah Minimum, TURC Jakarta.
Suseno, Franz Magnis, 2001, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________________, 2001, Pemikiran Karl Marx (Dari Utopis Sampai Revisionis),Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(terjemahan Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta.
Tjandra, Surya, dan Soraya, Yasmine MS, dan Jamaludin, 2007, AdvokasiPengupahan Di Daerah (Strategi Serikat Buruh di Era Otonomi Daerah),TURC, Jakarta.
Ungpakorn, Ji Giles, 1999, Perjuangan Kelas Di Tengah Krisis Ekonomi: BelajarDari Perjuangan Buruh Thailand�, YLBHI, Jakarta.
Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Weber, Max, 2006, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wibawanto, Agung, dan Imam Baskara, dan Jirnadra, 1998, Siasat Buruh DibawahRepresi, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Wibawa, Aris, (penyunting), 1998, Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik,Lapera Yogyakarta & Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas AtmaJaya Yogyakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan Antara SerikatBuruh Dan Majikan
Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Berlakunya Dasar Dasar Daripada HakUntuk Berorganisasi Dan Berunding Bersama
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 Tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan PendapatDi Muka Umum
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah danKewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 87
Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 Tentang Upah Minimum
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 Tentang Perubahan Pasal 1,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 Dan Pasal 21 Peraturan MenteriTenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 201Tahun 2001 Tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum MogokKerja Tidak Sah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 tahun 2005 tentang Komponen danPelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
MAKALAH, ARTIKEL, SURAT KABAR, MAJALAH, JURNAL
Asian Development Bank, 2005, Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki IklimInvestasi di Indonesia.
Bappenas, 2003, Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial UntukMemperluas Kesempatan Kerja.
________, 2005, Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan.
Billah, M.M., “Analisis Sosial dan Pemberdayaan Buruh”, Makalah dalam diskusi
KBB Bandung Masalah Perburuhan, Bandung 31 Agustus 1996.
Irwan, Alexander, tanpa tahun, Perkembangan Modal dan Gerakan Buruh DiIndonesia.
Iryanti, Rahma, “Kualitas Tenaga Kerja: Mengantisipasi Perubahan Dalam PasarKerja”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja danHubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16September 2003.
ILO, 1983, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on the Application of Conventions andRecommendations (Report III (4B) 69th Session). Jawa Pos, edisi 07 Mei 2007.
________, edisi 11 Juli 2007.
Jurnal “Analisis Sosial”, Vol. 7, No. 1 Februari 2002, Upah Minimum danKesejahteraan Buruh: Peluang dan Tantangan bagi Serikat Buruh, Akatiga,Bandung.
___________________, Vol. 8, No. 3 Desember 2003, Antara Informalisasi,Jaminan Sosial, dan Pengorganisasian Buruh, Akatiga, Bandung.
___________________, Vol. 10, No. 1, Juni 2005, Perdebatan Konseptual TentangKaum Marginal, Akatiga, Bandung.
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Januari-Februari 2003, Yayasan PengembanganHukum Bisnis, Jakarta.
Jurnal Kajian Perburuhan “SEDANE”, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2004, Buruh danDemokrasi, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, Bogor.
Kompas, edisi 09 Januari 1995.
______, edisi 17 Maret 2003.
______, edisi 11 Maret 2004.
______, edisi 20 Desember 2005.
______, edisi 02 Oktober 2006.
LBH Bandung, tanpa tahun, Kertas Kerja Perburuhan: Membangun PerspektifGerakan Buruh Dalam Aktivitas Bantuan Hukum. Media Indonesia, edisi 27Februari 2006.
Radjab, Suryadi A., tanpa tahun, Buruh Dalam Formasi Sosial Kapitalis
Safitri, Myrna A., dan Ghafur, A. Hanief Saha, “Perspektif Antropologi HukumDalam Kajian Kebijakan”, makalah seminar Membangun Kembali Indonesiayang Bhineka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikural, Jakarta, 16-19Juli 2002.
Sandyawan, dan Herry, dan Adil, dkk, “Beberapa Catatan Kecil Untuk Arah danStrategi Masa Depan Forum Solidaritas Untuk Buruh”, makalah dalamdiskusi Pencarian Arah dan Strategi Masa Depan Forum Solidaritas UntukBuruh, Jakarta, 8 Desember 1994.
Setiawan, Asep, dan Tambunan, Rita Olivia, “Upah Murah Dan Kebijakan EkonomiNeoliberal (Analisis Terhadap Kebijakan Upah Minimum 2005)”, DiscussionPaper Trade Union Rights Centre (TURC), Jakarta, April 2005
Suara Merdeka, Edisi 04 Agustus 2005
Prisma, No. 1. Tahun XI, Januari 1982, Ideologi Ekonomi (Bung Hatta, PergiBersama Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
______, No. 11 Tahun 1985, LP3ES, Jakarta.
______, No. 5 Tahun XVIII, 1989, Transformasi Tenaga Kerja: Mencari Pilihan,LP3ES, Jakarta.
______, No. 1, Tahun XXI Januari, 1992, Kerja Upahan: Gerak Ke Industrialisasi,LP3ES, Jakarta.
______, No. 4 tahun XXIII, April 1994, Pasang Naik Gelombang Pemogokan danPolitik Perburuhan, LP3ES, Jakarta.
Pontianak Pos, edisi 19 Februari 2007
Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, Working Paper AKATIGA No. 20: InstitusiPengupahan Kabupaten/Kota: Studi Kasus Cilacap, Sidoarjo, Gresik,Akatiga, Bandung.
Rachman, Hassanudin, “Kebijakan Penetapan UMP DKI Jakarta Sebagai SaranaTerciptanya Stabilitas Dalam Hubungan Industrial Sesuai KemampuanPerusahaan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta”, makalah pada seminarPengaruh Pengupahan Sebagai Langkah Strategi Stabilitas Dalam HubunganIndustrial, Jakarta, 7 April 2005
SMERU, 2001, Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah danPenyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan.
_______, 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada EraKebebasan Berserikat
Thamrin, Juni, tanpa tahun, Perubahan Struktural Dalam Hubungan Industrial:Distorsi Dan Inkonsistensi Kebijakan Perburuhan Di Indonesia.
Tim Studi ELSAM, tanpa tahun, Analisa Dampak Proyek Terhadap Hak AsasiManusia: Kasus Perkebunan Inti Rakyat dan Perburuhan.
Ulum, Bachrul, “Keberpihakan Pada Buruh Melalui Kebijakan Tentang PenyelesaianPerselisihan Industrial”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar TenagaKerja dan Hubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja,Surabaya 16 September 2003.
INTERNET
www.perhimpunan-rakyat-pekerja.org
www.marxist.org
www.rumahkiri.com
www.csis.or.id
www.indoprogress.blogspot.com
www.kompas.com
www.surya-online.com.
www.apindo.com
www.turc.or.id
www.hukumonline.com