Modul Pelatihan Alos-Palsar
Transcript of Modul Pelatihan Alos-Palsar
MODUL PELATIHAN
PENGGUNAAN ALOS‐PALSAR
DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
KERJASAMA:
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY
DAN
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
DAFTAR ISI
1. PERANAN DAN PROSPEK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENGURUSAN HUTAN (I Nengah Surati Jaya)
2. PENGOLAHAN CITRA DIJITAL DATA PENGINDRAAN JAUH (I Nengah Surati Jaya)
3. KOREKSI GEOMETRIK (Nining Puspaningsih)
4. IMAGE ENHANCEMENT (Lilik B. Prasetyo)
5. KLASIFIKASI CITRA (Lilik B. Prasetyo)
6. CITRA LANDSAT (Lilik B. Prasetyo)
7. CITRA RADAR (M. Buce Saleh)
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
PERANAN DAN PROSPEK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENGURUSAN HUTAN
I Nengah Surati Jaya
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 1 dari 11
PERANAN DAN PROSPEK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENGURUSAN HUTAN
I Nengah Surati Jaya
Gurubesar tetap Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Darmaga, Departemen Manajemen Hutan, Telp 0251‐8639106, ins‐[email protected] dan [email protected]
A. Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia
Teknologi informasi telah mengalami
perubahan p radigma di h mp semua
bidang, termasuk aplikasinya dalam
bidang pengelolaan hutan. Hal ini
merupakan dampak dari kemajuan
teknologi pendukungnya, dimana
ketersediaan perangkat keras
(hardware), perangkat lunak
(software) serta sumberdata dijital
yang murah semakin mudah diperoleh
sejak awal dekade 90‐an.
a a ir
Saat ini, dengan semakin murahnya
harga citra satelit, ketersediaan
teknologi GPS dan internet, pekerjaan‐
pekerjaan inventarisasi hutan di
lapangan dapat dilakukan dengan lebih
mudah dan murah. Dengan teknologi satelit, sebagian pengukuran terestris dapat digantikan
melalui pengukuran‐pengukuran laboratorium. Penggunaan GPS (Global Positioning System) saat
ini juga memungkinkan dilakukannya pengukuran lokasi geografis dengan ketelitian yang cukup
tinggi dan “real time” dengan ketelitian dalam kisaran lebih kecil dari 20 m. GPS dapat dengan
mudah dikoneksikan dengan komputer (PC maupun laptop) dan software pencatat jejak (track) yang
disurvei di lapangan. Dukungan internet yang semakin luas jangkauannya telah juga menumbuh
kembangkan penyediaan situs‐situs berbasis web (www: world wide web) untuk inventarisasi hutan
skala besar. Pada tahap survai, ketersediaan internet dapat digunakan untuk melakukan transfer
data di seluruh dunia.
Umpan balik
Penga‐wasan
Litbang ‐ Diklatluh
Pengelo-laan
Skenario pengelo‐laan
Peren‐canaan
SIG dan inderaja
Gambar 1. Kedudukan SIG dan Inderaja dalam pengurusan hutan
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Kemajuan teknologi penginderaan jauh (inderaja) yang dibarengi dengan kemajuan sistem informasi
geografis (SIG) telah menyebabkannya menjadi bagian yang sangat penting dalam kegiatan
pengurusan hutan, mulai dari perencanaan hutan sampai dengan pengawasan. Pada Gambar 1
disajikan kedudukan inventarisasi hutan dalam melakukan asesmen terhadap sumberdaya,
penyusunan skenario, penyusunan kebijakan dan perencanaan, pelaksanaan serta masukan
(feedback) yang diperoleh terhadap implementasi.
Teknologi penginderaan jauh (inderaja) telah mengalami kemajuan sangat pesat, yang dicirikan oleh
semakin banyaknya satelit sumberdaya alam yang yang merekam permukaan bumi ini. Di sektor
Kehutanan Indonesia, citra satelit yang telah dibuktikan mampu memberikan informasi sumberdaya
hutan baik untuk tingkat global maupun tingkat lokal. Inderaja telah digunakan sebagai salah satu
metode dasar untuk mengurangi pekerjaan lapang dalam rangka monitoring dan pendugaan hutan
untuk laporan perubahan iklim yang dikoordinasikan oleh FAO (Holmgren et al, 2007). Beberapa
citra satelit sumberdaya yang potensial untuk digunakan dalam bidang pengelolan sumberdaya alam
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Citra satelit sumberdaya alam
No Nama satelit dan sensor
Resolusi spasial (m)
Revisit (Resolusi Temporal)
Skala peta thematic yang dapat dihasilkan
Aplikasi
1 NOAA AVHRR 1000 12 jam 1:5.000.0002 SPOT VEGETATION 800 1:4.000.0003 ALOS PALSAR 200 1:1.000.000
Pemantauan biomasa vegetasi hijau pada
tingkal nasional atau regional (pulau)
4 MOS MESSR 100 expired 1:500.0005 ALOS PALSAR
MOSAICS 50 1:250.000
6 LANDSAT MSS 80 expired 1:400.0007 IRS 75 1:375.000
Pemantauan tutupan hutan atau kelas hutan pada level
propinsi atau kabupaten.
8 LANDSAT TM / ETM MS
30 16 hari (slc off) ‐
expired
1:150.000 Pemantauan vegetasi hutan pada tingkat unit pengelolaan. Saat ini sebagian besar data yang
dihasilkan mengandung
stripping (banding)9 LANDSAT ETM + PAN 15 16 hari (SLC
OFF) ‐expired
1:75.000
10
SPOT 2‐4 HRV XS 20 26 hari 1:100.000
11 SPOT 2‐4 HRV PAN 10 26 hari 1:50.000
Pemantauan vegetasi hutan atau kelas‐kelas hutan pada skala unit
pengelolaan
Hal: 2 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 3 dari 11
No Nama satelit dan sensor
Resolusi spasial (m)
Revisit (Resolusi Temporal)
Skala peta thematic yang dapat dihasilkan
Aplikasi
12 SPOT 5 HRV XS 10 26 hari 1:50.00013 SPOT 5 PAN 5 26 hari 1:25.00014 IRS 1C & 1D PAN 5,8 2‐4 hari 1:30.00014 SPOT 5 SUPERMODE 2,5 26 hari 1:12.50015 IKONOS MS 4 2‐3 hari 1:20.00016 IKONOS PAN 1 2‐3 hari 1:5.00017 QUICKBIRD MS 2,4 2‐3 hari 1:12.00018 QUICKBIRD PAN 0,6 2‐3 hari 1:3.00019 Potret udara 6 Tidak tentu 1:30.00020 ALOS AVNIR 12,5 1:67.50021 ALOS PRISM 5 1:25.000
Identifikasi kelas‐kelas tutupa hutan skala detail dan estimasi
potensi hutan
Saat ini penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (GIS) telah memberikan prospek yang luar
biasa dalam inventarisasi hutan, utamanya melalui pengujian terhadap sampel lapangan yang secara
statistika lebih efisien dibandingkan dengan terestris.
B. Kebutuhan Informasi Kehutanan
Beberapa penelitian menemukan adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara ketersediaan
data yang dibutuhkan dalam rangka memperbaiki dan mengimplementasikan kebijakan‐kebijakan
baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Oleh karena itu, ada suatu kebutuhan yang
mendesak dalam mengembangkan tehnik inventarisasi hutan pada tingkat nasional. FAO (2000)
mengemukakan bahwa hanya ada sedikit informasi tentang kehutanan tingkat nasional yang
tersedia di Negara‐negara berkembang, dan kalaupun tersedia memiliki keragaman yang cukup
kompleks.
C. Prospek penggunaan Penginderaan Jauh dan SIG
Kedatangan sebuah teknologi baru selalu membawa sejumlah peluang dan membangkitkan banyak
harapan. Demikian pula dengan kedatangan teknologi SIG yang banyak bersinergi dengan teknologi
inderajaDengan sudut pandang yang berbeda‐beda, maka penggunaan teknologi SIG dan inderaja ini
memberikan sejumlah prospek, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prospek teknologi
SIG adalah sebuah sistem yang komponennya di antaranya terdiri atas perangkat lunak
(software) dan perangkat keras (hardware). Oleh karena itu, aplikasi SIG dan inderaja ini
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
melibatkan sejumlah teknologi informasi yang maju yang mencakup analisis spasial, temporal
dan spektral. Dalam hal perangkat lunaknya, SIG memberikan sejumlah peluang untuk
mengembangkan perangkat‐perangkat lunak yang terkait dengan pengolahan data menjadi
informasi. Algoritma‐algoritma untuk mengolah data‐data spasial model vektor dan raster
secara efisien, cepat dan hemat “memory” akan menjadi sebuah peluang yang menjanjikan.
Dukungan teknologi elektronik (komputer) berkecepatan (processor) tinggi memberikan
kontribusi yang sangat signifikan dalam kajian data baik spasial maupun tabularnya.
Pengembangan teknologi informasi spasial juga memberikan harapan yang sangat prospektif
baik dalam hal teknologi perangkat kerasnya. Di bidang kehutanan dan lingkungan,
perkembangan teknologi SIG ini akan sangat membantu pengembangan Sistem Informasi
Kehutanan yang menjadi kebutuhan dasar untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari.
2. Prospek metodologi
SIG tidak semata‐mata sebagai alat pembuat peta tetapi kemampuan dasarnya justru sebagai
sebagai alat analisis (analytical tool), baik yang digunakan untuk melakukan penelusuran (query)
maupun untuk membuat suatu peramalan atau pemodelan spasial (spatial modelling). SIG
dapat menjawab berbagai pertanyaan generik yang terkait dengan keterhubungan (connectivity),
posisi bersebelahan antar fitur (adjacentcy/contiguity) dan luas (area definition). Untuk bidang‐
bidang kehutanan dan lingkungan, hampir semua permasalahan terkait dengan malasah‐masalah
spasial dan oleh karena itu maka pemecahannya memerlukan kajian‐kajian spasial menggunaan
SIG. Dalam hal ini, SIG memberikan prospek pengembangan metodologi pemecahan masalah.
Pada bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, pengembangan metode‐metode
kajian spasial sangat diperlukan mulai dari bidang perencanaan sampai dengan bidang
pengawasan.
3. Prospek Bisnis
Sebagai sebuah sistem yang baru, SIG dan inderaja membuka sebuah peluang bisnis. Komponen
utama SIG adalah software, hardware, brainware dan basisdata, dimana semua komponen
tersebut memberikan prospek untuk menjadi sebuah usaha. Disadari bahwa bottle neck dari SIG
ini adalah pengadaan atau pembangunan basisdata. Pengadaan data yang dilakukan secara
tersendiri akan menyebabkan biaya tinggi. Oleh karena itu, pembangunan “bank data” atau
“data suplier” yang mampu menyediakan data untuk kebutuhan analisis pengguna menjadi
sebuah peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Usaha yang juga dapat dikembangkan misalnya
pengadaan data dijital penginderaan jauh, peta tematik tutupan lahan multiwaktu, demografi
per satuan wilayah administratif, penggunaan lahan, sistem lahan dan sebagainya. Pada bidang
Hal: 4 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
kehutanan dan sumberdaya alam lainnya, hampir semua bidang penyelenggaraan pekerjaan
membutuhkan data spasial. Tidaklah salah kalau analis SIG sangat percaya pada semboyan
“Kapanpun dan dimanapun, informasi spasial sangat dibutuhkan”. Bidang lain dalam SIG yang
bisa dijadikan bisnis adalah pengadaan/pengembangan software, hardware dan pelayanan jasa
konsultasi kajian spasial. Dengan sentuhan “pemrograman” spasial yang unik untuk tujuan‐
tujuan tertentu, pengembangan perangkat lunak dapat menjadi bisnis yang sangat propektif.
4. Prospek profesi
Sejak awal tahun 2000‐an, SIG tidak hanya dipandang sebagai sebuah “sistem”, tetapi telah
berkembang menjadi sebuah sains (Geographical Information Science) untuk menjawab
pertanyaan‐pertanyaan yang bersifat filosofi (philosophical questins) serta pengembangan
metode pemecahan masalah (methods issues). Sejalan dengan perkembangan tersebut, saat ini
perkembangan SIG telah memunculkan sebuah profesi baru. Seorang analis SIG profesional,
memerlukan sebuah pengetahuan (knowledge) tentang prinsip‐prinsip dasar dan metode SIG,
yang didukung oleh keterampilan (skill) melakukan kajian‐kajian spasial serta mempunyai sikap
(attitude) yang memadai terutama dalam melakukan langkah‐langkah operasional. Beberapa
sebutan yang sering dicantumkan atau sebutkan sebagai profesi adalah “akhli SIG dan Remote
Sensing (GIS and Remote Sensing specialist), analis SIG (GIS analyst), analis remote sensing
(Remote Sensing Analyst). Sebagian analis sering juga mencantumkan bidang aplikasinya
misalnya Forestry Remote Sensing Analyst, GIS analyst for forestry dan sebagainya.
D. Aplikasi penggunaan inderaja dan SIG dalam pengurusan hutan
Ke depan penggunaan teknologi SIG dan inderaja dalam bidang pengurusan hutan akan banyak
digunakan secara luas. Jika kita cermati Undang‐undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
maka hampir semua bidang dalam pengurusan hutan terdiri atas 4 penyelenggaraan hutan
memerlukan teknologi SIG dan inderaja. Adapun bidang aplikasi yang sangat potensial dalam
penyelenggaraan hutan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan Hutan
2. Dengan teknologi SIG dan inderaja, beberapa kegiatan perencanaan hutan dapat diselesaikan
yang mencakup pelaksanaan inventarisasi hutan, penyusunan rencana kerja pengukuhan dan
penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan dan penyusunan rencana
kehutanan.
Hal: 5 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
3. Pengelolaan Hutan
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. SIG sangat berperan dalam
melakukan pembagian zonasi penggunaan kawasan dengan pertimbangan kondisi
ekosistem, tipe dan fungsi serta rencana pemanfaatan hutan. Pembagian blok‐blok dapat
berupa petak yang menjadi unit terkecil pengelolaan hutan. Hasil pembagian blok‐blok
atau petak ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar penyusunan rencana pengelolaan hutan
untuk jangka waktu tertent
b. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.
Dengan teknologi GIS dapat dilakukan pencarian (query) areal‐areal yang bisa dimanfaatkan
secara penuh, secara terbatas maupun yang perlu dilindungi sepertizone inti dan zona rimba
pada taman nasional. SIG juga digunakan dalam rangka penentuan kawasan lindung dan
konservasi lainnya.
c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
Untuk aktifitas rehabilitasi dan reklamasi hutan, SIG mempunyai peranan yang sangat
penting. Teknologi SIG mampu memberikan informasi tentang tingkat kekritisan lahan,
tingkat kerusakan (degradasi ) hutan dan lahan. Teknologi SIG menyediakan fungsi‐fungsi
yang mampu menyajikan informasi spasial yang berkaitan dengankekritisan lahan sehingga
dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam menentukan skala proritas rehabilitasi
dan reklamasi hutan. Bersama‐sama dengan inderaja, dan SIG mampu memberikan
informasi tentang kondisi tutupan lahan secara “real time” dan dalam bentuk “pictorial/real
image”. Agar rehabilitasi hutan tepat sasaran maka Kegiatan rehabilitasi hutan umumnya
sangat terkait dengan penggunaan data‐data spasial dalam rangka (a) inventarisasi lokasi
yang dilakukan dengan proses “query”, (b) penetapan lokasi yang dilakukan berdasarkan
analisis spasial kesesuaian lahan atau tingkat kekritisan areal dan (c) pelaksanaan reklamasi.
d. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
Penggunaan kawasan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan perlu dilakukan
reklamasi dan atau rehalitasi sebagaimana diatur oleh undang‐undang. Sebagai contoh,
reklamasi di areal pertambangan wajib dilakukan oleh pemegang ijin pertambangan sesuai
dengan tahapan kegiatan pertambangannya.
e. Perlindungan dan konservasi alam.
Untuk mengurangi kejadian pengerusakan serta memperkecil kemungkinan dampak yang
akan terjadi, pengelola hutan umunya memerlukan informasi spasial yang berkaitan dengan
Hal: 6 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
areal‐areal yang rawan atau rentan terhadap kebakaran hutan, rawan banjir/longsor yang
dapat diturunkan melalui analisis spasial dengan teknologi SIG dan data penginderaan jauh.
4. Pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan
Setiap profesional rimbawan ataupun praktisi kehutanan dan/ atau lingkungan perlu dibekali
pengetahuan tentang teknologi SIG dan inderaja. Dengan pengetahuan ini maka setiap
rimbawan akan mempunyai pengetahuan keruangan yang dapat menjadi motor untuk
menciptakan ide‐ide pemecahan masalah yang dikaitkan dengan keruangan.
5. Pengawasan
Untuk monitoring kegiatan yang dinamis maka sangat diperlukan pengetahuan tentang
penginderaan jauh. Sektor kehutanan adalah sektor yang secara umum memiliki karakter yang
unik, tidak aksesibel, arealnya luas, sulit dijangkau dan (untuk lahan kering topografinya relatif
berat). Dengan teknologi SIG dan inderaja maka pengawasan akan dapat dilakukan dengan
biaya yang rasional.
E. Paradigma Baru Pengelolaan Hutan Berbasis Teknologi SIG dan Penginderaan Jauh
Sejak diluncurkannya satelit sipil pertama pada 23 Juli, 1972 ERTS (Eearth Resources Technology
Satellite) yang selanjutnya disebut dengan Landsat‐1, teknologi satelit berkembang sangat pesat
(USGS, 2003). Pada awal peluncurannya citra satelit tersebut hanya memuat sensor yang mampu
merekam obyek dengan resolusi spasial 80 m x 80 m dan 4 band (green, red, NIR). Akan tetapi,
generasi sensor berikutnya sensor tersebut mampu memberikan obyek secara lebih detail dengan
variasi informasi yang lebih banyak. Sebagai contoh, pada tahun 1984, AS meluncurkan generasi
Landsat 4 yang membawa sensor TM dengan karakteristik resolusi spasial 30 m x 30 m dan resolusi
spektral 7 band yang mencakup seluruh panjang gelombang kasat mata (visible light), infra merah
dekat, infra merah sedang dan infra merah thermal. Negara lain seperti Perancis, Canada, India,
China dan Jepang kemudian menyusul langkah AS dalam meluncurkan satelit sumberdaya alam yang
mempunyai karakteristik khusus. Lompatan yang paling dirasakan adalah dengan diluncurkannya
satelit sumberdaya alam resolusi tinggi, seperti IRSD, IKONOS, Quickbird, SPOT 5 Supermode
sehingga memungkinkan dilakukannya deteksi per satuan pohon.
Lompatan teknologi satelit tersebut menjadi sangat lengkap dengan berkembangnya teknologi SIG
sejak dekade 90‐an. Pada saat ini, perangkat lunak SIG bukanlah barang mewah lagi. Aplikasi
Hal: 7 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
utama dari SIG dan inderaja di bidang kehutanan mencakup semua ilmu pengetahuan yang terkait
dengan pemantauan, survei sumberdaya dan lingkungan (Gomarasca, 2004 dalam Kohl et al, 2006),
yaitu (a) inventarisasi hutan, (b) Forest Health and nutrition, (c) forest sustainability dan (d) forest
growth. Kombinasi kemajuan teknologi SIG dan inderaja ini telah menyebabkan terjadinya
perubahan konsep, tata nilai dan metode atau praktek‐praktek pengurusan hutan berbasis inderaja
dan SIG. Inderaja dan SIG adalah sebuah kebutuhan dan menjadi elemen penting dalam sistem
pengurusan hutan. Beberapa kegiatan rutin penyelenggaraan hutan yang perlu mendapatkan
dukungan data inderaja serta sistem informasi geografis mulai dari perencanaan sampai dengan
pengawasan.
1. Perencanaan hutan
a. Kegiatan Inventarisasi hutan menyeluruh berkala merupakan sebuah keharusan yang perlu
dilakukan oleh setiap pemegang ijin pengusahaan hutan dan dilakukan setiap 10 tahun
sekali. Dalam prakteknya, proses penyusunan proposal sampai dengan laporan akhir
menggunakan teknologi SIG dan inderaja. Selain itu, Howard (1991) mencatat bahwa
aplikasi multistage sampling yang dibantu dengan stratifikasi hutan menggunakan citra
satelit dapat mengurangi kesalahan sampling dai 30% menjadi hanya 13%. Jaya et al (2006,
2007a dan 2007b) berhasil menggunakan citra satelit resolusi tinggi SPOT 5 Supermode
untuk menduga sediaan tegakan. Demikian pula Shiver dan Borders (1996) menyatakan
bahwa untuk optimalisasi biaya, maka kombinasi inventarisasi terestris dan penggunakan
inderaja menjadi sebuah penyelesain yang prospektif.
b. Pembuatan peta tutupan hutan dan lahan menjadi sebuah keharusan yang diperlukan dalam
mendukung Inventarisasi hutan dan dapat diturunkan dari berbagai citra sumberdaya alam.
Untuk skala pulau, dengan skala sekitar 1.000.000 ~ 1: 1.500.000, peta dapat diturunkan
dari citra dengan resolusi 200 m atau yang lebih kecil (misalnya 50 m, lihat Tabel 1). Selain
itu, untuk i skala daerah aliran sungai, peta dapat diturunkan dari citra resolusi sedang (20
m ~ 50 m). Selanjutnya, untuk inventarisasi pada tingkat unit manajemen dapat
menggunakan citra resolusi tinggi. Departemen kehutanan telah memanfaatkan citra
Landsat TM (resolusi sedang) secara rutin untuk memetakan kondisi tutupan hutan seluruh
Indonesia sejak tahun 1990‐an. J
c. Pengukuhan dan penatagunaan hutan, perlu menggunakan kombinasi SIG dan inderaja
d. Untuk menyusun suatu unit wilayah pengelolaan, melalui evaluasi tentang kondisi biofisik
dan sosial ekonomi di dalam dan di sekitar kawasan hutan perlu dukungan teknologi SIG dan
inderaja. Hampir 80% proses identifikasi dan delineasi memerlukan SIG dan inderaja
Hal: 8 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
melallui operasi tumpang susun (overlay). Beberapa layer yang sering diperlukan adalah
layer kelas slope, elevasi, batas administrasi, sediaan tegakan, sediaan permudaan, sosial
budaya, ekonomi, kondisi tapak, fungsi hutan, kondisi dan batas DAS, dan lain sebagainya.
Kondisi tutupan hutan dan lahan terkini perlu diturunkan dari data inderaja resolusi sedang
sampai dengan resolusi tinggi.
e. Penyusunan rencana kehutanan (RKU) mutlak diturunkan dari hasil inventarisasi yang
mempertimbangkan faktor‐faktor lingkungan dan kondisi masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan. Oleh karena itu, penggunaan SIG dan inderaja menjadi satu rangkaian
kegiatan dengan inventarisasi hutan. Rencana kehutanan ini biasanya disusun menurut
jangka waktu, skala geografis dan fungsi pokok kawasan.
2. Pengelolaan hutan
Pengelolaan hutan adalah penyelenggaraan kehutanan yang mencakup (a) tata hutan dan
penyusunan rencna pengelolaan, (b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan, (c)
Rehabilitasi dan reklamasi hutan dan (d) perlindungan dan konservasi. Semua bidang‐bidang
tersebut tidak terlepas dari penggunaan teknologi SIG dan inderaja. Dalam kegiatan penataan
hutan, hasil pembagian petak selanjutnya digunakan untuk menyusun rencana pengelolaan
hutan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat nilai budaya dan kondisi lingkungan.
Proses penyusunan priorias rehabilitasi, reklamasi, perlindungan dan konservasi juga
memerlukan kajian‐kajian spasial untuk menghasilkan informasi pola sebaran spasial, tingkat
kekritisan dan kelangkaan spesies. Dalam manual penyusunan KPHP (Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi), penggunaan teknologi SIG sangat dibutuhkan, khususnya dalam proses
identifikasi dan delineasi batas pengelolaan.
3. Pengawasan
Kegiatan pengawasan merupakan satu proses penting dalam rangka melakukan penilaian
terhadap pelaksanaan pengurusan hutan Pencermatan dan penelusuran yang terkait dengan
informasi spasial dapat dilakukan dengan mudah, murah dan relatif cepat melalui pemanfaatan
teknologi inderaja dan SIG. Pengawasan dapat dilakukan oleh aparat pemerintah yang
ditugaskan maupun oleh anggota masyarakat. Dalam pengurusan hutan, selain pengawasan
juga dilakukan kegiatan pemantauan (monitoring) untuk memberikan informasi tentang kondisi
hutan dalam periode waktu tertentu. Kegiatan monitoring ini adalah suatu cara yang dapat
digunakan untuk melihat sejauh mana implementasi dari pengurusan hutan telah dilaksanakan.
Hasil dari monitoring ini dapat dijadikan umpan balik untuk mengevaluasi kegiatan.
Hal: 9 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
F. Penutup
Dari uraian terdahulu, maka penulis dapat menyimpulkan dan merekomendasikan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Telah terjadi perubahan paradigma pengurusan hutan dari menggunakan data‐data
terestrial semata ke pengurusan hutan berbasis teknologi sistem informasi geografis dan
inderaja. Perubahan tersebut diperkirakan akan terus berlangsung sejalan dengan kemajuan
teknologi SIG dan inderaja.
2. Hampir semua kegiatan pengurusan hutan, mulai dari perencanaan hutan sampai dengan
pengawasan memerlukan teknologi SIG dan inderaja. Sebagian di antaranya telah
memanfaatkan teknologi ini baik dalam skala operasional rutin maupun yang bersifat sesaat
(baca proyek).
3. Guna penerapan teknologi SIG dan inderaja dalam bidang pengurusan hutan, diperlukan
adanya dukungan kelembagaan secara menyeluruh, serta menyelaraskan tata laksana
organisasi sesuai dengan tujuan penggunaan SIG dan inderaja. Perlu menyusun dan atau
mengembangkan prosedur operasi standar pemanfaatan teknologi SIG dan inderaja
sehingga terjadi pertukaran data dan informasi spasial yang diperlukan dalam pengurusan
hutan.
4. Saat ini Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah secara rutin mengadakan citra
satelit guna memetakan hutan di Indonesia menggunakan dana APBN. Agar data tersebut
dapat diberdayakan oleh segenap bangsa Indonesia baik untuk pengurusan hutan di luar
perencanaan maupun di luar sektor kehutanan maka perlu dikembangkan sistem linsensi
ganda (multi user), sehingga citra satelit yang telah dibeli dengan dana pemerintah dapat
dipergunakan oleh seluruh instansi pemerintah..
5. Dalam rangka memformulasikan kebijakan dan perencanaan strategis baik yang ada di
tingkat pusat maupun daerah, maka perlu segera mengidentifikasi kebutuhan dasar dan
menentukan skala prioritas kebutuhan informasi pada tingkat nasional/regional, kabupaten
maupun pada tingkat unit pengelolaan. Dalam waktu dekat, prioritas informasi spasial dapat
disusun sebagai berikut: (a) kondisi tutupan hutan dan sebarannya, (b) pemantauan
keberhasilan rehabilitasi, pembangunan hutan tanaman dan laju degradasi hutan (c)
estimasi sediaan tegakan (standing stock) per kelompok jenis dan kelas diameter serta
sebaran spasialnya, (d) penyusunan tabel sediaan tegakan, (e) estimasi pertumbuhan
tegakan (growing stock), (e) pengembangan zonasi kawasan hutan dalam rangka
menentukan sistem silvikultur yang akan direkomendasikan.
Hal: 10 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Holmgren, P., L‐G. Marklund, M. Saket and M.L. Wilkie, 2007. Forest Monitoring and Assessment for Climate Change Reporting: Partnership, Capacity Building and Delivery. Forestry Department, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Forest Resources Assessment Working Paper. (ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/k1276e/k1276e00.pdf)
Kohl, N., S.S Magnussen, and Marco Marchetti, 2006. Sampling Methods, Remote Sensing dan GIS multiresource Forest Inventory
Howard, J.A., 1991 Remote sensing of Forest Resources. Theory and Application. London. Chapman and Hall. 420 p
Jaya, I N.S, S. Sutarahardja, S. Hardjoprajitno, T. Lastini, L Mulyanto, 2006, Laporan Penaksiran Resolusi Tinggi untuk Pulau Kalimantan. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan PT Rasicipta Consultama. Tidak diterbitkan
Jaya, I N.S, S. Sutarahardja, S. Hardjoprajitno, T. Lastini, 2007a. Laporan Penaksiran Resolusi Tinggi untuk Pulau Sumatera. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan PT Rasicipta Consultama. Tidak diterbitkan
_____________________________________________, 2007b. Laporan Penaksiran Resolusi Tinggi untuk Pulau Sulawesi. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan PT Barista. Tidak diterbitkan
Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan.
U.S. Geological Survey (USGS), 2003. Landsat: A Global Land‐Observing Program. Fact Sheet 023‐03 (March 2003). ttp://egsc. usgs.gov /isb/pubs/ factsheets/ fs02303.html
Hal: 11 dari 11
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
PENGOLAHAN CITRA DIJITAL DATA PENGINDRAAN JAUH Prof Dr I Nengah Surati Jaya
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
PENGOLAHAN CITRA DIJITAL DATA PENGINDRAAN JAUH
Oleh: Prof Dr I Nengah Surati Jaya
Gurubesar tetap Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Darmaga, Departemen Manajemen Hutan,
Telp 0251‐8639106, ins‐[email protected] dan [email protected]
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
A. PENDAHULUAN
Pengolahan citra adalah sebuah proses mengolah piksel‐piksel input menjadi piksel‐piksel output, melalui proses‐proses tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, pengolahan citra merupakan kegiatan memproses citra untuk tujuan mengidentifikasi obyek dan menilai signifikansinya setelah proses pengolahan dilakukan. Pengolahan citra dapat dilakukan menggunakan proses operasi aritmatika sederhana sampai dengan operasi yang kompleks (multivariate analysis/peubah ganda). Dalam penginderaan jauh, pengolahan citra dimaksudkan untuk mendapatkan informasi akhir atau data antara yang diperlukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Analis dapat melalukan pengolahan data melalui proses logis dalam mendeteksi, mengidentifikasi, mengklasifikasi, mengukur dan menilai signifikansi fisik dan budaya/sifat obyek, polanya dan hubungan spasialnya. Dalam modul ini, diperkenalkan beberapa jenis pengolahan citra yang sering diperlukan dalam pengolahan dan analisis untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
1. Citra Dijital:
Citra dijital adalah citra yang secara fisik berbentuk file elektronik, terdiri atas sekumpulan piksel (picture element) yang mempunyai nilai tertentu yang disebut dengan dijital number (DN). Nilai DN ini mempresentasikan nilai kecerahan (brightness value) dari suatu obyek yang direkam. DN menyatakan rata‐rata radians dari suatu luasan yang relatif kecil dalam suatu citra. Kisaran nilai DN biasanya dinyatakan dalam bentuk bit (2 pangkat nilai bit). Secara umum, nilai DN biasanya 8 bit (28) yang mempunyai kisaran 0 ~ 255 (256 grey level).
2. Apa itu Teknik Analisis Citra Dijital?
Analisis diartikan sebagai kegiatan penguraian dan atau penelaahan data serta hubungan antar
komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai kecerahan (brightness value/BV) atau nilai dijital
(Digital Number/DN). Kegiatan analisis ini daat dilakukan setelah dilakukan kegiatan pengolahan
citra (image processing). Citra penginderaan jauh biasanya direkam dalam bentuk data dijital yang
kemudian diproses untuk tujuan interpretasi, tujuan klasifikasi atau tujuan lainnya
3. Apa itu Resolusi Citra?
Resolusi citra merupakan ukuran kemampuan dari suatu sistem pencitraan untuk merekam detail
obyek yang direkam sehingga dapat dibedakan dengan obyek lainnya. Pemahaman resolusi citra
merupakan hal penting dalam penginderaan jauh, baik untuk tujuan praktis maupun konseptual.
Sejalan dengan ketersediaan dan keberagaman spektral, maka merupakan kebutuhan yang sangat
penting untuk menentukan kesesuaian citra satelit tertentu untuk suatu aplikasi tertentu. Pada
umumnya instrumen penginderaan jauh bekerja pada rentang panjang gelombang yang mencakup
spektral kasat mata (visible) dan inframerah.
Hal: 1 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 2 dari 42
a. Resolusi Spasial
Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa
dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau yang ukurannya bisa diukur (Gambar 1).
Resolusi spasial pada citra non‐fotografik (yang tidak menggunakan film) ditentukan dengan
beberapa cara. Di antaranya yang paling umum digunakan adalah berdasarkan dimensi dari
instantaneous field of view (IFOV) yang diproyeksikan ke bumi. IFOV ini merupakan fungsi dari ukuran
detector, tinggi sensor dan optik. Pada sensor digital seperti generasi Landsat dan SPOT, sensor
merekam kecerahan (brightness) semua obyek yang ada di dalam IFOV. Brightness adalah jumlah
radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari permukaan bumi. Dengan kata lain, IFOV adalah suatu
areal pada suatu permukaan bumi dalam mana gabungan/campuran brightness suatu permukaan
diukur. Nilai kecerahan (brightness value) dari suatu piksel diperoleh dari BV‐nya IFOV. Akan tetapi
ukuran piksel bisa lebih kecil atau lebih besar dari ukuran IFOV, tergandung dari bagaimana BV
tersebut disampel (direkam) oleh sensor. Perlu diperhatikan bahwa resolusi spasial dari suatu sistem
cocok untuk suatu kepentingan sehingga obyek di permukaan bumi tidak hanya bisa dideteksi
(detectable) tapi juga bisa diidentifikasi (recognizable) dan dianalisis. Detectability adalah
kemampuan dari sistem penginderaan jauh untuk merekam keberadaan (eksistensi) suatu obyek
atau feature dalam suatu bentang alam (landscape). Sebagai contoh, jalan aspal yang walaupun
mempunyai ukuran lebih kecil dari resolusi spasialnya, tetapi dapat juga direkam oleh sensor karena
memberikan kontras (BV) yang tinggi. Recognizability adalah kemampuan dari seorang interpreter
(human interpreter) untuk mengidentifikasi (memberi nama) suatu obyek yang dideteksi oleh sensor.
Kemampuan ini merupakan fungsi dari pengalaman interpreter dan skala citra.
Pada potret udara, resolusi adalah fungsi dari ukuran grain film (jumlah pasangan garis yang bisa
dibedakan per mm) dan skala. Skala adalah fungsi dari panjang fokus dan tinggi terbang. Grain film
yang halus memberikan detail obyek lebih banyak (resolusi yang lebih tinggi) dibandingkan dengan
grain yang kasar. Demikian pula, skala yang lebih besar memberikan resolusi yang lebih tinggi .
Gambar 1. Skema resolusi spasial
TM 30 m x 30
SPOT 10 x 10 m
4 x 4 m
1 m x 1 m (CASI, IKONOS PAN, Qbird MS)
4 m x 4 m (IKONOS MS)
1 km x 1 km (NOAA) ?
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 3 dari 42
Gambar 2. Contoh resolusi spasial TM, SPOT, IKONOS dan CASI
Pada Gambar 2 diperlihatkan penampakan citra dari berbagai resolusi. Resolusi yang rendah akan
menampakkan bentuk‐bentuk piksel yang jelas jika citra tersebut diperbesar.
(a) TM resolusi 30 m x 30 (satu piksel)
(b) SPOT 5 resolusi 10 m x 10 m
(c) IKONOS resolusi 4 m x 4 m
(d) CASI resolusi 1 m x 1 m
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
b. Resolusi Spektral
Resolusi spektral diartikan sebagai dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif
terhadap sensor. Sebagai contoh, potret hitam‐putih mempunyai resolusi yang lebih rendah (0,4 μm
‐ 0,7 μm) dibandingkan dengan Landsat TM band 3 (0,63 μm ‐ 0,69 μm). Dengan jumlah band‐band
sempit yang banyak maka pemakai atau peneliti dapat memilih kombinasi yang terbaik sesuai
dengan tujuan dari analisis untuk mendapatkan hasil yang optimal. TM mempunyai 7 band dengan
lebar setiap bandnya yang sempit tetapi rentang band yang digunakan lebar (mulai band biru sampai
dengan band termal), sedangkan SPOT 5 mempunyai 4 band dengan rentang dari band hijau sama
dengan inframerah sedang, ini berarti bahwa TM mempunyai resolusi spektral yang lebih baik
dibandingkan dengan SPOT.
c. Resolusi Radiometrik
Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiant flux)
yang dipantulkan atau diemisikan dari suatu obyek permukaan bumi. Sebagai contoh, radian pada
panjang gelombang 0,6 ‐ 0,7 μm akan direkam oleh detektor MSS band 5 dalam bentuk voltage.
Kemudian analog voltage ini disampel setiap interval waktu tertentu (contoh untuk MSS adalah
9,958 x 10‐6 detik) dan selanjutnya dikonversi menjadi nilai integer yang disebut bit. MSS band 4, 5
dan 7 dikonversi ke dalam 7 bit (27=128), sehingga akan menghasilkan 128 nilai diskrit yang berkisar
dari 0 sampai dengan 127. MSS band 6 mempunyai resolusi radiometrik 6 bit (26=64), atau nilai
integer diskrit antara 0 ‐ 63. Generasi kedua data satelit seperti TM, SPOT dan MESSR mempunyai
resolusi radiometrik 8 bit (nilai integer 0 ‐ 255). Citra yang mempunyai resolusi radiometrik yang
lebih tinggi akan memberikan variasi informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra yang
mempunyai resolusi radiometrik yang lebih rendah.
d. Resolusi Temporal
Resolusi temporal adalah frekwensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama (revisit).
Sebagai contoh, Landsat TM mempunyai ulangan overpass 16 hari, SPOT 26 hari, JERS‐1 44 hari,
NOAA AVHHR 1hari dan IRS 22 hari (Tabel 1). Untuk areal yang luas dan interval waktu yang singkat,
citra inderaja dapat memberikan informasi yang sangat berharga. Ini sangat bermanfaat dalam
kegiatan pemonitoran jangka pendek maupun jangka panjang.
e. Kendala Resolusi
Meskipun benar bahwa resolusi yang tinggi akan memberikan data yang lebih banyak, tetapi itu tidak
sinonim dengan meningkatnya jumlah informasi yang diperoleh. Dari segi teknis, pemakai
dihadapkan pada pilihan untuk mengoptimalkan resolusi (spasial, temporal, spektral dan
radiometrik), biaya untuk mendapatkan data, dan pengolahan data tersebut. Meningkatnya resolusi
membawa konsekuensi meningkatnya jumlah data yang harus diperoleh. MSS yang mengkover 185
km x 170 km dengan resolusi 79 m x 79 m, 4 band dengan resolusi radiometrik 7 bit untuk band 4, 5
dan 7 serta 6 bit untuk band 6 membutuhkan ruang 24 MB, sementara TM yang mencakup areal
Hal: 4 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
yang sama, dengan resolusi 30 m x 30 m, 7 band dan 8 bit membutuhkan 227 MB. Berangkat dari hal
di atas, maka pemilihan resolusi perlu disesuaikan dengan obyek atau fenomena yang masalah yang
dihadapi serta biaya yang tersedia.
4. Bagaimana Memperbaiki Citra
Pengolahan citra dijital dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan metode pengolahan citra yang mencakup:
a) Pengolahan citra analog
b) Pengolahan citra dijital
Pengolahan citra analog diaplikasikan pada citra analog seperti potret atau print out. Analisis citra dalam teknik visual mengadopsi elemen interpretasi visual. Penggunaan elemen interpretasi tidak hanya tergantung pada area yang sedang dikaji, tetapi juga tergantung pada pengetahuan dari analis terhadap area yang bersangkutan.
Berikut ini adalah elemen penafsiran yang sering digunakan dalam analisis citra analog
Elemen interpretasi
Tone: hitam‐putih
Warna Elemen Utama (Primary Elements)
Paralaks stereoskopis
Ukuran / Size
Bentuk / Shape
Tekstur / Texture
Susunan spasial dari tone dan warna (Spatial Arrangement of Tone & Color)
Pola / Pattern
Tinggi / Height Berdasarkan analisis elemen Utama
Bayangan / Shadow
Lokasi / Site Elemen kontekstual
Asosiasi / Association
a) Pengolahan Citra Dijital adalah proses memanipulasi gambar digital menggunakan komputer. Data mentah dihasilkan dari rekaman sensor umumnya mempunyai beberapa keterbatasan sehingga citra tersebut masih mempunyai beberapa kekurangan. Untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan ini maka diperlukan sebuah pengolahan citra. Secara umum, pengolahan citra mencakup:Pra‐pengolahan citra
b) Penyajian dan penajaman/perbaikan citra
c) Ekstraksi informasi
Hal: 5 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
5. Pra pengolahan citra
Terdiri atas operasi untuk mempersiapkan data untuk analisis berikutnya, yang dilakukan dengan cara memperbaiki atau memberikan kompensasi terhadap kesalahan sistematik yang tejadi. Pra‐pengolahan citra ini dilakukan sebelum proses utama pengolahan citra dilakukan. Data mentah dari citra dijital pada umumnya memerlukan koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan atau atmosferik. Kesalahan‐kesalahan ini perlu dikoreksi sebelum digunakan lebih lanjut. Saat ini, beberapa citra telah mendapatkan koreksi geometrik dan atau koreksi radiometrik sebelum dijual. Para pengguna data tertentu dapat melakukan pre‐prosesing yang relevan dengan tujuan mendapatkan informasi tertentu dari citra. Dengan kata lain, pra‐pengolahan citra adalah suatu proses mengisolasi komponen‐komponen penting tertentu sebelum melakukan proses lebih lanjut dan menghilangkan aspek‐aspek yang kurang berguna misalnya “noise”, “haze”, kesalahan posisi (geometrik) dan sebagainya.
Pra‐pengolahan citra ini mencakup berbagai kegiatan, mulai dari proses yang sangat
sederhana sampai dengan proses proses yang kompleks dan abstraksi. Pra‐pengolahan citra mencakup:
a) Koreksi geometrik: dilakukan guna memperbaiki posisi piksel sehingga sesuai dengan posisi
geometrik yang sebenarnya di bumi. Posisi‐posisi piksel pada citra dijital sering mempunyai distorsi yang disebabkan karena pengaruh kelengkungan bumi, gravitasi bumi, pergerakan platform, relief dan pergerakan scanning yang tidak linear. Distorsi dapat dikelompokkan atas (a) distorsi tidak sistematik dan (b) distorsi sistematik. Distorsi yang tidak sistematis dapat disebabkan karena variasi variable peubah luar angkasa. Distorsi ini biasanya dilakukan secara otomatis karena kesalahan‐kesalahannya terukur pada sensor. Distorsi sistematik adalah distorsi yang sudah dapat diprediksi sebelumnya seperti scan skew, velocity variation/known mirror, cross track distortion.
Pada koreksi geometrik ini dikenal dengan istilah (a) rektifikasi dan (b) registrasi. Pada koreksi geometrik dilakukan 2 macam kegiatan utama yaitu (a) melakukan interpolasi spasial, menggunakan persamaan matematis yang dibuat (polinomial orde 1, 2 atau 3) dan (b) melakukan interpolasi intensitas, yang sering disebut dengan resampling (nearest neighbour/zero order, bilinear/first order, cubic convolution/second order).
b) Koreksi atmosferik: kecerahan dari setiap piksel yang terdapat pada citra sangat bergantung
pada energi elektromagnetik yang diterima oleh sensor pada saat melakukan perekaman. Energi yang sampai ke sensor telah mengalami perjalanan yang panjang melalui atmosfer, sehingga dalam proses perjalanannya mengalami pengurangan dan atau penambahan intensitas. Permasalahan akan terjadi jika kita menginginkan untuk mengukur sifat‐sifat radiasi atau refleksi sebenarnya dari suatu obyek pada permukaan bumi. Jika ditemukan adanya gangguan atmosfer maka dapat dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:
(1) Biarkan data apa adanya
(2) Lakukan pengukuran radiasi di lapangangan untuk mengukur suhu dan reflektansi dari obyek dengan sensor langsung ke lapangan
(3) Membuat model absorpsi dan pencaran untuk pengukuran komposisi dan profil suhu atmosfer
Hal: 6 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
(4) Menggunakan informasi tentang atmosfer yang umumnya terjadi pada data penginderaan jauh.
Cara mudah untuk melakukan koreksi atmosferik adalah dengan melalukan analisis rasio antara band biru (mudah kena pengaruh haze) dan inframerah (sedikit haze). Besarnya pergeseran yang tidak melewati DN =0 umumnya disebabkan karena pengaruh scattering atmosfer.
c) Koreksi radiometrik: dilakukan ketika citra mempunyai kesalahan (error) yang terjadi pada saat sensor melakukan perekaman citra. Kesalahan ini sering disebut dengan kesalahan radiometrik yang disebabkan karena gangguan (a) sensor pada saat merekam data dan (b efek atmosfer.
Koreksi radiometrik sederhana yang sering dilakukan adalah (a) Line‐dropouts, (b) De‐striping, (c) start‐line error dan (d) Random noise (salt and pepper).
d) Ekstraksi fitur : dapat berupa perbaikan citra yang mencakup perbaikan spektral (seperti
indeks vegetasi, analisis komponen utama dalam rangka mereduksi dimensi, fusi citra), perbaikan spasial dengan memperjelas tampilan baris atau batas melalui edge or line detection dan atau perbaikan radiometrik untuk meningkatkan interpretabilitas citra.
6. Perbaikan citra (Image enhancement)
Perbaikan citra adalah proses yang dilakukan untuk memperbaiki citra dalam rangka meningkatkan kemampuan citra untuk menyajikan informasi yang akan diturunkan dari citra tersebut atau menghilangkan fitur‐fitur tertentu yang mengganggu. Beberapa teknik perbaikan citra yang umum dilakukan mencakup: 1. Perbaikan radiometrik
a) Density slicing
b) Contrast Stretching (linear, logarithmic, piecewise contrast strectching)
c) Histogram equalization
d) Gaussian stretch
2. Perbaikan spasial
a) Filter konvolusi (low pass dan high pass)
b) Filter domain frekwensi (transformasi fourier, pemilihan fungsi transfer filter dan mengalikan elemen dari spektrum fourier, membentuk kebalikan transformasi fourier)
3. Perbaikan spektral
a) Operasi aritmatika citra (penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian)
b) Analisis komponen utama
c) Decorrelation stretch
Hal: 7 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
d) Canonical component
e) HIS
f) Fourier Transformation
7. Klasifikasi Citra
a. Supervised (MLM, Minimum distance, paralellepiped)
b. Unsupervised (Mahalanobis, Ecuclidean, Minkowsky)
B. KOREKSI GEOMETRIK
1. Pendahuluan
Data asli hasil rekaman senseor pada satelit maupun pesawat terbang merupakan representasi dari
bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Meskipun kelihatannya merupakan daerah yang
datar, tetapi area yang direkam sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan
oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri. Pada bagian ini akan diuraikan
secara ringkas tentang bagaimana cara melakukan koreksi geometrik, khususnya menggunakan
perangkat lunak ERDAS.
2. Kenapa perlu rektifikasi?
Koreksi geometrik merupakan proses yang mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan
atau ditumpangsusunkan dengan peta‐peta atau citra lainnya yang mempunyai sistem proyeksi peta.
Ada beberapa alasan atau pertimbangan, kenapa perlu melakukan rektifikasi, diantaranya adalah
untuk:
1. Membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu.
2. Membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial
3. Meletakkan lokasi‐lokasi pengambilan “training area” sebelum melakukan klasifikasi
4. Membuat peta dengan skala yang teliti
5. Melakukan overlai (tumpang susun) citra dengan data‐data spasial lainnya
6. Membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang berbeda.
7. Membuat mozaik citra
8. Melakukan analisis yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat.
Hal: 8 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
3. Proyeksi peta
Sebelum melakukan koreksi geometrik, analis harus memahami terlebih dahulu tentang sistem
proyeksi peta. Untuk menyajikan posisi planimetris ada sejumlah sistem proyeksi. Untuk Indonesia,
sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator) dengan
datum DGN‐95 (Datum geodesi Nasional). Untuk tingkat internasional, DGN‐95 sesungguhnya sama
dengan WGS84, sehingga penggunaan WGS84 sama dengan DGN‐95. Masing‐masing sistem proyeksi
sangat terkait dengan sistem koordinat peta.
4. Koreksi Geometrik (Rektifikasi)
Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan
suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada citra output tidak sama dengan posisi
piksel input (aslinya) maka piksel‐piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di‐
resmpling kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel‐
piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.
5. Registrasi
Dalam beberapa kasus, yang dibutuhkan adalah penyamaan posisi antara satu citra dengan citra
lainnya dengan mengabaikan sistem koordinat dari citra yang bersangkutan. Penyamaan posisi ini
kebanyakan dimaksudkan agar posisi piksel yang sama dapat dibandingkan. Dalam hal ini
penyamaan posisi citra satu dengan citra lainnya untuk lokasi yang sama sering disebut dengan
registrasi. Dibandingkan dengan rektifikasi, registrasi ini tidak melakukan transformasi ke suatu
koordinat sistem. Dengan kata lain, registrasi adalah suatu proses membuat suatu citra konform
dengan citra lainnya, tanpa melibatkan proses pemilihan sistem koordinat.
6. Georeferensi
Georeferensi adalah suatu proses memberikan koordiinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah
planimetris. Sebagai contoh, pemberian sistem koordinat suatu peta hasil dijitasi peta atau hasil
scanning citra. Hasil dijitasi atau hasil scanning tersebut yang langsung tersebut sesungguhnya sudah
datar (planimetri), hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini, koreksi
geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi sangat
terkait dengan koordinat peta.
Registrasi citra‐ke‐citra melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah digeoreferensi.
Oleh karena itu, georeferensi semata‐mata merubah sistem koordinat peta dalam file citra,
sedangkan grid dalam citra tidak berubah.
7. Titik Kontrol Lapangan (Ground Control Point/GCP)
Titik kontrol lapangan (GCP) adalah suatu titik‐titik yang letaknya pada suatu posisi piksel suatu citra
yang koordinat petanya (referensinya) diketahui. GCP terdiri atas sepasang koordinat x dan y, yang
Hal: 9 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
terdiri atas koordinat sumber dan koordinat referensi. Koordinat‐koordinat tersebut tidak dibatasi
oleh adanya koordinat peta. Secara teoretis, jumlah minimmu GCP yang harus dibuat adalah:
Jumlah minimum GCP = (t+1) (t+2)/2
8. Tahap‐tahap melakukan rektifikasi
Secara umum, tahapan melakukan rektifikasi adalah sebagai berikut:
1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground control point). GCP tersebut sedapat mungkin adalah
titik‐titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu lama misalnya belokan
jalan, tugu di persimpangan jalan dan atau sudut‐sudut gedung (bangunan). Hindari
menggunakan belokan sungai atau delta sungai karena mudah berubah dalam jangka waktu
tertentu. GCP juga harus tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi.
Gambar 1. Skema pemilihan GCP yang tampak pada citra dan peta
2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan interpolasi spasial.
Persamaan ini umumnya berupa persamaan polinomial baik orde 1, 2 maupun 3.
Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3 GCP):
p a a X a Yl b b X b Y
o
o
''= + += + +
1 2
1 2 Orde II: (memerlukan minimal 6 GCP)
p a a X a Y a XY a X a Yl b b X b Y b XY b X b Y
o
o
''= + + + + +
= + + + + +1 2 3 4
25
2
1 2 3 42
52
Orde III: (memerlukan minimal 10 GCP)
Hal: 10 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
p a a X a Y a XY a X a Y a X Y a XY a X a Yl b b X b Y b XY b X b Y b X Y b XY b X b Y
o
o
''= + + + + + + + + +
= + + + + + + + + +1 2 3 4
25
26
27
28
39
3
1 2 3 42
52
62
72
83
93
Koo
rdin
at e
stim
asi p
ada
data
acu
an
Koordinat pixel pada citra/data asli/orisinil
Orde I
Orde II
Orde III
Gambar 2. Diagram pencar GCP untuk mencari orde polinomial
3. Menghitung kesalahan (RMSE, root mean squared error) dari GCP yang terpilih. Umumnya tidak
boleh lebih besar dari 0,5 piksel. Kesalahan rata‐rata dari rektifikasi ini dihitung sebagai berikut:
Selanjutnya untuk masing‐masing GCP dapat dihitung sebagai berikut:
dimana :
Ri = RMSE untuk GCP ke‐i
XRi dan YRi = kesalahan ke arah X dan Y untuk GCP ke‐i
4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) dengan salah satu metode berikut, yaitu,
nearest neighbourhood, bilinear dan convolution, sekaligus membuat citra baru dengan sistem
koordinat yang ditentukan. Dalam proses ini juga menentukan ukuran piksel output, sesuai
dengan resolusi spasial yang dikehendaki, yang umumnya disesuaikan dengan ukuran resolusi
spasial data aslinya. Hanya untuk kasus‐kasus tertentu saja yang membuat ukuran spasial citra
baru yang berbeda dengan ukuran aslinya, misalnya untuk tujuan melakukan fusi antar
band/kanal.
Pada metode nearest neighbour (tetangga terdekat), nilai pikselnya tidak berubah karena
menggunakan nilai dari piksel yang terdekat, sedangkan metode bilinear dan cubic, nilai piksel yang
baru dihitung dengan rata‐rata tertimbang sebagai berikut:
Hal: 11 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
DNZ D
Dbaru
kk k
kk
= =
=
∑∑
/
( / )1
4 2
21
4 1
Zk= nilai DN dan Dk = jarak euclidean dari titik posisi hasil interpolasi ke lokasi piksel yang ada di
sekitarnya.
pixel
Citra terkoreksi
Data digital asli (belumterkoreksi
Pengisian peta dengan nilaikecerahan (DN)
X
Y
8
9 5
8 4
5 5
9 5
8 4
9
9
8
1
1
1
8 4 4 1
Resampling
CubicConvolution
BilinearInterpolation
Nearestneighbor
p'
l'
p'p'
l'
l'
Gambar 3. Skema metode resampling dengan nearest neighbour, bilinear interpolation dan cubic convolution.
C. PERBAIKAN RADIOMETRIK (RADIOMETRIC ENHANCEMENT)
1. Pengertian
Perbaikan radiometrik adalah teknik perbaikan atau penajaman kontras citra dengan memperbaiki
nilai dari individu‐individu piksel pada citra, ini berbeda dengan perbaikan spasial (spatial
enhancement) yang memperbaiki nilai suatu piksel berdasarkan piksel‐piksel yang ada di sekitarnya.
Perbaikan citra pada suatu band adalah sangat unik dan biasanya tidak cocok dengan band lainnya,
karena sangat tergantung pada nilai statistik dari piksel‐piksel yang terdapat pada setiap band.
Perbaikan radiometrik suatu citra komposit (multiband) biasanya dianggap sebagai serangkaian
perbaikan band‐band tunggal, sebanyak band yang akan diperbaiki.
Hal: 12 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 4. Kurva perbaikan kontras yang linear, npn‐linear dan piswais
Koreksi radiometrik ini tidak otomatis memperbaiki kontras semua piksel, ada kalanya sebagian
piksel bertambah besar kontrasnya, tetapi di bagian lain ada yang hilang.
2. Perbaikan Kontras
Sudah merupakan prosedur umum pada pengolahan citra bahwa untuk kegiatan interpretasi, citra
yang akan dicetak atau yang langsung diinterpretasi pada layar monitor perlu dilakukan penajaman
kontras. Sebagai contoh Look Up Table (LUT) citra dari nilai 30~40 dirubah menjadi 0 ~ 255 (lihat
Gambar 5).
Histogram setelah perentangan nilai minimum dan
maksimum ke 0 dan 255
Histogram setelah
perentangan nilai sebatas standar
deviasi
Histogram asal
Gambar 5. Peningkatan kontras citra dengan metode perentangan (stretching)
Hal: 13 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 6. Penajaman kontras secara linier
3. Macam‐macam perbaikan kontras
a) Perbaikan kontras secara linear (Linear contrast stretch)
adalah metode perbaikan yang paling sederhana untuk memperbaiki penampakan spektral dari
suatu citra. Ini dilakukan dengan memperlebar kisaran dari yang sempit ke kisaran 0 sampai 255.
b) Perbaikan kontras non‐linear (Nonlinear Contrast Stretch)
Perbaikan non‐linier adalah perbaikan yang meningkatkan atau menurun kontras secara gradual
dalam suatu kisaran nilai tertentu. Kalau pada perbaikan kontras secara linier, peningkatan
kontras secara konstan untuk kisaran tertentu. Pada perbaikan non linier ini umumnya
peningkatan kontras pada kisaran nilai tertentu sementara penurunan kontras pada kisaran
yang lain.
c) Perbaikan kontras dengan piswais (Piecewise Linear Contrast Stretch)
Pada metode ini, perbaikan kontras dilakukan pada bagian‐bagian kisaran kecerahan tertentu
dengan peningkatan atau penurunan kontras yang tertentu pula. Pada metode ini, penajaman
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kontras dapat dibuat dengan
berbagai macam tingkat kemiringan slope dan dapat disimulasikan menjadi suatu bentuk kurva.
Ini sangat berguna untuk meningkatkan kontras pada wilayah bayangan atau areal‐areal yang
mempunyai kontras rendah. Pada perbaikan dengan Piecewise ini umumnya mengikuti aturan
sebagai berikut:
[1] Nilai data dijitalnya kontinyu, sesungguhnya tidak ada patahan antara bagian yang mengalami kontras rendah, sedang maupun yang tinggi.
Hal: 14 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
[2] Nilai data dari setiap range hanya mempunyai slope yang positif (mendaki), tetapi tidak
diperkenankan dengan slope yang menurun.
Gambar 7. Kurva perbaikan kontras dengan metode piswais
d) Penyamaan Histogram (Histogram equalization)
Penyamaan Histogram adalah metode penajaman kontras yang tidak linier sehingga distribusi
histogram dari pikselnya mendekati uniform, atau menghasilkan histogram yang mendekati
datar. Kontras hasil penajaman ini akan menjadi merata di seluruh areal. Kontras meningkat
pada puncak‐puncak histogram dan menurun pada ujung‐ujung histogram.
D. PERBAIKAN SPEKTRAL
1. Pengertian
Perbaikan spektral (spectral enhancement) adalah teknik perbaikan citra menggunakan nilai piksel itu
sendiri serta nilai dari piksel lain dari band‐band yang berbeda, tetapi pada koordinat atau lokasi
piksel yang sama. Dengan demikian, perbaikan spektral ini memerlukan lebih dari satu band atau
kanal saja.
2. Kegunaan
Teknik perbaikan spektral ini sangat berguna dalam:
a) Menggabungkan (merge) resolusi. Menggabungkan keunggulan band yang satu dengan band
lainnya. Misalnya menggabungkan antara resolusi spasial tinggi yang umummnya terdapat pada
citra pankromatik (hitam puth) dengan citra yang mempunyai kemampuan spektral yang tinggi
yaitu band‐band multispektral.
Hal: 15 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
b) Melakukan kompresi atau mengurangi dimensi data, khususnya data‐data yang mempunyai
kemiripan atau kandungan informasi yag relatif sama. Band‐band yang terdapat pada satu
daerah panjang gelombang misalnya TM band 1, 2 dan 3 pada daerah kasat mata (visible band),
atau TM band 5 dan 7 pada infra merah sedang (middle infrared) umumnya mempunyai korelasi
yang relatif tinggi. Korelasi yang tinggi antar bandnya menunjukkan bahwa band‐band tersebut
mempunyai kemiripan informasi yang relatif tinggi juga.
c) Untuk membuat band baru yang lebih mudah diinterpretasi atau lebih sensitif terhadap mata
manusia sekaligus memuat informasi yang lebih dibutuhkan oleh analis.
d) Dapat digunakan untuk menerapkan fungsi‐fungsi matematis dan algoritma
e) Dapat memberikan informasi yang lebih variatif pada warna komposit yang ditampilkan dengan
RGB.
3. Macam‐macam Transformasi atau Perbaikan Spektral
Sesuai dengan tujuan penggunaannya, transformasi atau perbaikan spektral ini meliputi mencakup
beberapa transformasi, yaitu:
a) Transformasi dari RGB ke IHS atau dari IHS ke RGB. Transformasi ini umumnya digunakan untuk
melakukan merge atau penggabungan antara citra panromatik dengan achromatic
(multispektral). Kemampuan spasial yang tinggi dari band pankromatik dapat digabungkan
dengan kemampuan spektral yang tinggi pada band spektralnya. Teknik IHS ini hanya
memerlukan 3 input band. Teknik ini menghasilkan citra output yang cocok untuk interpretasi
visual sehingga akan sangat cocok untuk membuat peta citra.
b) Transformasi dengan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Analisis ini
sering digunakan sebagai teknik untuk melakukan kompresi data. Teknik ini, citra yang
mempunyai korelasi yang tinggi akan dikompresi menjadi beberapa komponen atau citra baru
saja. Citra baru yang diturunkan menggunakan nilai vector ciri (eigenvector) dari masing‐masing
komponennya. Selanjutnya besarnya tingkat kandungan informasinya (yang dilihat dari besarnya
variancenya) dapat dilihat dari nilai akar ciri (eigenvalue) yang dimiliki oleh masing‐masing
komponen yang baru. Selain untuk melakukan kompresi data yang cukup efektif, teknik ini
banyak digunakan untuk melakukan analisis multiwaktu guna mendeteksi perubahan suatu
tutupan lahan. Jaya dan Kobayashi (1996) dan Jaya (1995, 1998) banyak menggunakan teknik ini
untuk melakukan derivasi informasi yang menyatakan perubahan dan kestabilan kehijauan dan
atau kecerahan gambar (delta greenness, delta brightness, stable greenness dan stable
brightness). Untuk tujuan displai, teknik analisis komponen utama ini lebih baik dibandingkan
dengan IHS karena secara teoritis, jumlah band input pada metode analisis kompnen utama tidak
terbatas, sedangkan pada metode IHS maksimum 3 band saja.
c) Indeks Vegetasi. Dibidang ilmu‐ilmu pertanian teknik ini adalah teknik yang paling banyak
digunakan, misalnya untuk mengetahui kondisi kesehatan vegetasi, menghitung potensi bahan
bakar dan atau monitoring kondisi tanaman padi yang siap dipanen.
d) Transformasi Topi Kuncung (Tasselled Cap Transformasi). Teknik ini didisain oleh Kauth‐Thomas
untuk melakukan evaluasi terhadap pertumbuhan tanaman pertanian, mulai dari baru tumbuh,
Hal: 16 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
sampai dengan tanaman tersebut dewasa dan berdaun hijau, kemudian menguning sejalan
dengan menurunnya pigmen kehijauan pada daun vegetasi yang bersangkutan.
4. Citra Komponen Utama
Pada analisis citra dengan komponen utama, sumbu komponen utama kesatu (PC1) dibuat dengan
melakukan proses translasi dan rotasi dari sistem salib sumbu citra aslinya sehingga menghasilkan
keragaman (variance) yang tertinggi. Biasanya PC1 ini memuat informasi yang lebih besar dari 70%
dan bahkan untuk kebanyakan citra satelit mencapai lebih dari 90%. Komponen utama kedua (PC2)
umumnya mempunyai kandungan informasi (variance) yang terbesar kedua , demikian pula untuk
Komponen Utama yang ketiga (PC3) umumnya jauh dibawah komponen kesatu dan kedua. Secara
kumulatif, keragaman atau variance informasi dari PC1, PC2 dan PC3 dapat mencapai keragaman
yang mendekati 98%. Posisi antar PC biasanya selalu dibuat saling tegak lurus.
(a) (b)
Gambar 8. Diagram pencar dari piksel‐piksel yang mempunyai korelasi yang tinggi dan (b) komponen utama kesatu yang dbuat.
Gambar 9. Diagram sumbu Komponen Utama Kesatu dan Kedua hasil transformasi.
Hal: 17 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
5. Transformasi Topi Kuncung (Tasseled Cap)
Salah satu transformasi yang umum digunakan dalam evaluasi fase‐fase pertumbuhan dibidang
pertanian adalah transformasi yang dikembangkan oleh Kauth dan Thomas tahun 1976 (Richards,
1993). Pada awalnya, transformasi ini dibuat menggunakan citra MSS untuk membentuk beberapa
komponen atau citra baru yang menyatakan kecerahan (brightness), kehijauan (greenness),
kekuningan (yellowness) dan yang lainnya yang tidak terdefinisikan (non‐such). Kedatangan citra TM
yang mempunyai tambahan band inframerah sedang (middle infrared) menyebabkan citra ini dapat
membuat citra baru tambahan yang menyatakan tentang tingkat kebasahan (wetness) dan
keberadaan haze. Citra haze dapat digunakan untuk menghilangkan pengaruh haze pada citra.
Karakteristik Transformasi Tasselled Cap:
[1] Transformasi ini membangun Indeks vegetasi menggunakan beberapa band (saluran), yang
mengembangkan teknik deteksi pertumbuhan pada beberapa tahap pertumbuhan.
[2] Bentuk transformasinya menggunakan diagram berbentuk topi kerucut (tasseled cap), yang
disajikan dengan 3D.
[3] Transformasi ini adalah suatu teknik untuk melakukan optimisasi data untuk melihat studi‐studi
vegetasi.
Kauth‐Thomas melihat perkembangan transformasi linear akan bermanfaat dalam mengelompokkan
atau mengkelaskan hasil tanaman pertanian. Dari penelitian dihasilkan 3 sumbu struktur data yang
mendefinisikan tentang kandungan informasi vegetasi. Dengan Landsat MSS dapat dibuat beberapa
sumbu yaitu:
[1] Kecerahan (brightness), dicirikan oleh bobot yang seragam pada semua band (masing‐masing
band mempunyai koefisien yang relatif sama besar). Kecerahan ini didefinisikan pada arah
variasi utama dari reflektansi tanah.
[2] Kehijauan (greenness), mempunyai posisi yang tegak lurus dengan sumbu kecerahan, yang
merupakan kontras antara band inframerah dekat dengan sinar tampak. Ini sangat terkait
dengan jumlah vegetasi yang terdapat pada citra dan terkait dengan pertumbuhan vegetasi.
Perkembangan kehijauan terjadi tegak lurus dengan sumbu garis tanah (soil line). Disini akan
terlihat jelas perbedaan kontras antara gelombang merah dengan NIR dan band hijau‐biru
(green‐blue).
[3] Kekuningan (yellowness), terdapat pada bidang lainnya dari suatu kematangan hasil. Sumbu ini
tegak lurus terhadap sumbu kecerahan dan kehijauan (sumbu ketiga). Ini dapat menyatakan
vegetasi yang daunnya mulai menguning (senescing vegetation)
[4] Non‐such, mengandung informasi yang tidak terkait dengan kehijauan dan atau kecerahan.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, transformasi TC ini pada awalnya didisain menggunakan MSS,
tetapi selanjutnya dapat dimodifikasi menggunakan citra Landsat TM 4, TM 5 dan TM 7. Koefisien
menggunakan Landsat MSS adalah sebagai berikut (Richards, 1993):
Hal: 18 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
[1] Brightness = .433 G (CH4) + 0.632 R (CH5)+ 0.585 NIR (CH6)+ 0.264 NIR (CH7) [2] Greenness = ‐0.290 G (CH4) – 0.562 R (CH5)+ 0.600NIR (CH6)+ 0.491NIR (CH7) [3] Wetness = .‐0.829 G (CH4) + 0.522 R (CH5)+ 0.039 NIR (CH6)+ 0.194 NIR (CH7)
[4] Non‐such= 0.233 G (CH4) + 0.012 R (CH5)‐ 0.543 NIR (CH6)+ 0.810 NIR (CH7)
Koefisien TC menggunakan Landsat TM adalah sebagai berikut:
[1] Brightness = .3037(TM1) + .2793)(TM2) + .4743 (TM3) + .5585 (TM4) + .5082 (TM5) + .1863 (TM7)
[2] Greenness = ‐.2848 (TM1) ‐ .2435 (TM2) ‐ .5436 (TM3) + .7243 (TM4) + .0840 (TM5)‐ .1800 (TM7)
[3] Wetness = .1509 (TM1) + .1973 (TM2) + .3279 (TM3) + .3406 (TM4) ‐ .7112 (TM5)‐ .4572 (TM7)
[4] Haze = .8832 (TM1) ‐ .0819 (TM2) ‐ .4580 (TM3) ‐ .0032 (TM4) ‐ .0563 (TM5) + 0.0130 (TM7)
6. Intensitas, hue dan saturasi (Intensity, Hue dan Saturation/(IHS)
Teknik display citra yang umum digunakan adalah teknik mendisplai dengan RGB yang menggunakan
konsep warna aditif. Akan tetapi, juga memungkinkan untuk mendisplai citra dengan teknik lain
yaitu yang dikenal dengan istilah Intensitas, Hue dan Saturasi:
[1] Intensitas (intensity) adalah intensitas kecerahan pada suatu citra (mirip dengan PC1 pada
analisis komponen utama), yang mempunyai nilai antara 0 (hitam ) dan 1 (cerah/putih). Intensity
juga menyatakan kecerahan atau dullness dari suatu hue (gelap – terang)
[2] Saturasi (saturation) menyatakan derajat kemurnian (purity) dari suatu warna, yang juga berkisar
antara 0 (hitam‐putih) sampai dengan 1 (warna penuh /full color)
[3] Hue menyatakan panjang gelombang yang dominan dari suatu warna piksel. Ini bervariasi mulai
titik tengah gelombang merah (red) kemudian berputar menuju hijau dan biru dan kembali ke
titik tengah merah dengan putaran 360 derajat.
HIS: merumuskan warna secara matematis dengan sistem bola (spherical) atau silindris (cylindrical).
Apabila suatu posisi warna RGB yang digambarkan dalam bentuk kubus diproyeksikan ke suatu
bidang datar, maka akan menghasilkan suatu gradasi warna dalam bentuk hexagonal (hexagone).
Selanjutnya apabila heksagone tersebut mengarah pada suatu titik kerucut di titik nol dengan
intensitas yang mendekati nol maka akan terbentuk suatu kerucut segi enam (hexacone).
Keunggulan IHS
[1] Teknik ini merupakan metode yang efektif guna menggabungkan 2 set data yang warnanya dapat
diatur secara matematis dengan mudah.
[2] Nilai kecerahan dapat dirubah dengan merubah intensity tanpa merubah warna (hue).
[3] Warna dengan full color (saturasi maksimum) atau dengan hitam putih (saturasi minimum) dapat
disajikan tanpa merubah kombinasi band).
Konsep HIS
Secara skematis, komsep penyajian warna dengan metode HIS ini disajikan pada Gambar 10.
Kombinasi warna RGB yang disajikan dalam bentuk kubus yang diproyeksikan pada suatu bidang
datar akan menghasilkan kombinasi warna dalam bentuk heksagonal. Apabila ditambahkan dengan
Hal: 19 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
intensitas (intensity) yang mengarah ke suatu titik dibawahnya, maka akan terbentuklah kerucut segi
enam (hexacone). Pergeseran vertikal pada sumbu tengah kerucut tersebut menyatakan intansitas
atau kecerahan warna dari suatu citra. Sedangkan pergeseran ke arah tepi (dari sumbu intensitas)
akan menghasilkan derajat saturasi. Selanjutnya derajat hue, menyatakan warna yang dominan dari
suatu piksel. Titik awal dapat dimulai dari titik tengah panjang gelombang merah, kemudian ke hijau
dan biru dan kembali lagi ke titik tengah merah.
’’
Hue
Saturation
Hue
Saturation: GP”/GP
Intensity (pergeseran pada sumbu Z)
Gambar 10 Konsep penyajian warna dengan IHS
Hal: 20 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Kegunaan IHS:
[1] Melakukan fusi citra achromatic resolusi spasial tinggi dengan citra multispektral resolusi spasial
rendah
[2] IHS ini akan menghasilkan hasil yang baik apabila panjang gelombang achromatic (pankromatik)
yang digunakan mendekati citra multispektral yang digunakan (misal, SPOT Pan (0.51‐0.7 um
dengan SPOT XS1 (0.5‐0.59 um) dan XS2 (0.61‐0.68 um).
7. Aljabar Citra dan Indeks
Aljabar citra (image algebra) adalah istilah umum yang dimaksudkan untuk menggambarkan operasi
matematis yang menggunakan beberapa piksel. Sebagai contoh operasi pengurangan yang
sederhana DN Band NIR – DN band RED atau rasio NIR/RED akan menghasilkan suatu informasi yang
bermanfaat tentang keberadaan suatu vegetasi. Tasseled Cap juga merupakan kombinasi matematis
yang lebih kompleks menggunakan banyak band.
Indeks yang dimaksudkan disini adalah suatu nilai yang diperoleh dari operasi matematis
menggunakan piksel‐piksel yang berasal dari band‐band yang berbeda. Operasi matematis tersebut
sering disebut dengan aljabar citra. Indeks ini banyak digunakan untuk mempertajam atau
meningkatkan kontras dari berbagai macam kelas kerapatan tutupan vegetasi dan atau tipe‐tipe
batuan (rock type). Dengan operasi matematis, maka kelas‐kelas yang tadinya tidak mempunyai
kontras yang jelas akan menjadi lebih signifikan.
8. Indeks Vegetasi
Indeks vegetasi adalah suatu indeks yang dibentuk menggunakan operasi sederhana yaitu
pengurangan dan rasio antara band inframerah dekat dengan band merahnya. Pada Table berikut
ini dijelaskan tentang band‐band yang dimiliki oleh beberapa citra. Pada Tabel tersebut selanjutnya
dapat dilihat citra apa saja yang dapat digunakan untuk membuat indeks vegetasi.
Tabel 1. Contoh band inframerah dekat (NIR) dan merah (RED ) pada beberapa citra satelit
Sensor IR Band R Band
Landsat MSS 7 5
SPOT XS 3 2
Landsat TM 4 3
NOAA AVHRR 2 1
Secara matematis indeks vegetasi ini dibuat dengan operasi rasio dan atau gabungan antara
pengurangan, penjumlahan dan rasio. Citra rasio umumnya citra yang diturunkan dari rasio antara
band penyerap dengan band pemantul spektral dari suatu material. Penyerapan biasanya berbasis
pada bahan‐bahan kimia dari permukaan obyek. Oleh karena itu maka rasio ini akan menghasilkan
informasi yang terkait dengan komposisi vegetasi dari suatu obyek.
Hal: 21 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Beberapa rumus untuk mendapatkan nilai indeks vegetasi adalah sebagai berikut:
a) Simple Ratio Vegetation Index (SRVI)
Bentuk indeks vegetasi yang umum adalah menggunakan operasi rasio antara NIR dengan RED.
Dalam nilai rasio, maka rentang nilai akan menjadi sangat tinggi yaitu mulai dari nol sampai
dengan tidak terhingga. Oleh karena itu, dalam beberapa pendekatan hasil rasio tersebut (Root
simple ratio vegetation index) dapat juga diakarkan. Jika nilai indeks mendekati nol maka
tutupan lahannya adalah yang tidak bervegetasi (umumnya badan‐badan air), selanjutnya tanah
kosong, sampai dengan vegetasi lebat.
Dalam citra satelit, perekaman biasanya menghindari posisi matahari pada saat jam 12.00 siang
(noon) untuk menghindari adanya efek pantulan cermin (mirror like reflection), sehingga
kebanyakan citra direkam antara jam 10.00 sampai dengan 11.00 siang. Pada areal yang
bertopografi berat, perekaman ini akan menghasilkan suatu perekaman areal yang yang
menghadap matahari dan yang membelakangi matahari. Kecerahan untuk jenis yang sama dapat
berbeda jika terletak pada posisi lereng yang berbeda. Citra hasil rasio dapat mengurangi
pengaruh topografi (bayangan topografi) sehingga membantu mengurangi kesalahan klasifikasi
dan atau interpretasi. Pada posisi lereng yang berbeda, tutupan yang sama akan memberikan
nilai DN yang berbeda apabila terletak pada aspek (arah lereng) yang berbeda. Yang menghadap
matahari (sunlit) akan mempunyai nilai DN yang relatif lebih tinggi dibandingkan yang
mendapatkan bayangan topografi lihat skema Gambar 4). Dengan teknik rasio, maka pengaruh
ini akan dapat direduksi (Perhatikan Tabel 2).
Rumus dari SRVI dan RSRVI (Root Simple Ratio vegetation Index) adalah sebagai berikut
REDNIRSRVI = atau
REDNIRRSRVI =
Bayangan topografi (Shadow) S
inar matahari langsung (sunlit)
Gambar 11 Skema bayangan topografi.
Hal: 22 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Tabel 2. Ilustrasi Reduksi Pengaruh Bayangan Topografi pada transformasi citra dengan rasio.
Landcover R NIR Rasio
a. Conifers
• Sunlit 48 50 0.96
• Shadow 18 19 0.95
b. Hardwood
• Sunlit 31 45 0.69
• Shadow 11 16 0.69
b) Simple Difference Vegetation Index (SDVI).
Indeks ini mempunyai konsep yang sama dengan SRVI, hanya saja disini menggunakan selisih
antara NIR dengan RED. Hasil selisih tidak sesensitif nilai rasio, dengan kisaran nilai yang lebih
sempit. Secara teoretis, kisaran nilai yang mungkin terjadi adalah antara ‐255 sampai dengan
255. Nilai ‐255 menunjukkan tutupan air atau yang bukan vegetasi lainnya sedangkan nilai 255
menunjukkan tutupan vegetasi yang lebat. Rumus dari SDVI adalah sebagai berikut:
REDNIRSDVI −=
c) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Indeks ini menggunakan konsep berpikir yang sama, hanya saja dengan formula yang
merupakan penggabungan dari SRVI dan SDVI. Indeks vegetasi dengan pendekatan ini akan
menghasilkan nilai yang berkisar antara ‐1 dan +1. Tutupan vegetasi lebat cenderung
mempunyai nilai NDVI mendekati satu, sedangkan tutupan badan‐badan air umumnya
mempunyai nilai ‐1. Nilai lahan‐lahan kosong (tanah kosong) umumnya mempunyai nilai
mendekati nol. Besarnya nilai NDVI dari suatu kondisi tutupan vegetasi sangat bergantung pada
tutupan vegetasi itu sendiri serta kondisi permukaan tanah yang ada dibawah vegetasi yang
direkam. Formula dari indeks vegetasi ini adalah sebagai berikut:
REDNIRREDNIRNDVI
+−
=
d) Transformed Vegetation index (TVI)
Indeks ini merupakan turunan dari NDVI. Untuk menghindari bilangan imajiner (akar negatif)
maka nilai NDVI ditambahkan suatu konstanta yang besanya umumnya 0,5. Rumus dari TVI
adalah sebagai berikut.
2/1
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡+
+−
= CREDNIRREDNIRTVI
Hal: 23 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
9. Indeks Mineral
Dengan satelit tertentu, telah pula diuji cobakan membuat indeks‐indeks yang lain. Leica Geosystem
(2003) menyebutkan bahwa salah satu indeks yang sering digunakan oleh geologiawan/wati
(geologist) untuk melakukan interpretasi tentang tipe‐tipe mineral menggunakan citra Landsat.
Adapun indeks yang digunakan adalah sebagai berikut:
a) Clay minerals Index: TM 5/7
75
TMTMCMI =
b) Iron oxide Index: TM 3/1
13
TMTMIOI =
c) Ferrous Mineral index: TM5/4
45
TMTMFMI =
d) Mineral composite index: TM 5/7, 5/4, 3/1 berturut‐turun ada gun merah, hijau dan biru.
e) Hydrothermal composite index: TM 5/7, 3/1, 4/3
E. KLASIFIKASI TERBIMBING (Supervised Classification)
1. Pengertian
Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Kriteria
pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (kelas signature) yang diperoleh analis
melalui pembuatan “training area”. Ini berbeda dengan klasifikasi tidak terbimbing (klastering) yang
tidak perlu membuat “training area”, dan hampir semua proses diserahkan kepada komputer.
Klasifikasi juga dapat dilakukan dengan cara kombinasi antara ”unsupervised” dengan ”supervised”,
yang sering dikenal dengan istilah ”hybrid supervised‐unsupervised classification”. Jumlah klaster
yang terbentuk dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan kelas‐kelas dalam klasifikasi
terbimbing.
2. Penciri Kelas (Class Signature)
Dalam klasifikasi diperlukan suatu penciri kelas. Penciri kelas ini adalah satu set data yang diperoleh
dari suatu training area, ruang fitur (feature space) atau klaster. Penciri kelas (signature) ini
Hal: 24 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
diperlukan dalam proses klasifikasi. Masing‐masing aturan pengambilan keputusan (algoritma)
memerlukan suatu atribut sebagai input yang umumnya disimpan dalam suatu file signature.
a) Penciri kelas dapat berupa:
Yang berlaku untuk parametrik dan non‐parametrik:
1. Nama kelas, yang nantinya akan digunakan sebagai nama kelas atau kategori hasil akhir.
2. Warna, yang menyatakan warna dari setiap kelas yang dihasilkan.
3. Nilai dari setiap kelas output. Nilai ini harus dalam bentuk nilai integer positif.
b) Penciri kelas parametrik
Penciri kelas parametrik didasarkan pada parameter‐parameter statistik. Berikut ini adalah
atribut parametrik yang baku:
1. Jumlah band/kanal dalam citra input
2. Nilai minimum dan maksimum masing‐masing band dari suatu sampel training area atau
klaster (vektor minimum dan maksimum).
3. Nilai rata‐rata masing‐masing band masing‐masing kelas atau klaster
4. Nilai ragam‐peragam dari suatu kelas atau klaster
5. Jumlah piksel dalam setiap klaster.
c) Penciri kelas non‐parametrik
Penciri kelas ini berdasarkan pada AOI yang dibuat pada gambar feature space untuk citra yang
akan diklasifikasi. Metode non‐parametrik menggunakan penciri kelas non‐parametrik untuk
mengelompokkan pikselnya ke dalam suatu kelas berdasarkan lokasinya, baik di dalam maupun
di luar area feature space.
3. Training Area
Dalam klasifikasi terbimbing, analis perlu membuat kelas‐kelas yang diinginkan dan selanjutnya
membuat signature atau penciri yang sesuai dengan data yang digunakan. Dalam hal ini diperlukan
suatu cara untuk mendapatkan data‐data yang mewakili setiap kelas yang ingin diekstrak. Klasifikasi
ini sangat sesuai, jika ingin membuat kelas‐kelas yang jelas kita inginkan. Training area (area contoh)
diperlukan pada setiap kelas yang akan dibuat, dan diambil dari areal yang cukup homogen. Pada
saat pembuatan kelas yang selanjutnya diambil dari training area, analis harus bisa melihat secara
jelas perbedaan yang tampak pada citra. Jika perbedaan yang tampak tidak begitu jelas maka ada
kemungkinan kelas‐kelas yang dibuat akan mengalami konfusi (kesalahan klasifikasi) dengan kelas‐
kelas lainnya. Ini sangat berbeda dengan klasifikasi tidak terbimbing, dimana jumlah kelas yang
dibuat tidak perlu berdasarkan perbedaan‐perbedaan yang tampak pada citra, sehingga jumlah kelas
yang dibuat dapat relatif besar.
Dalam klasifikasi terbimbing, analisis harus membuat suatu ”training area” guna mendapatkan
penciri kelas (ragam‐peragam, mean, minimum, dan maximum). Masing‐masing atau sekelompok
training area mewakili satu kelas atau kategori tutupan lahan, misalnya hutan, sawah, badan air dan
atau tanah kosong. Secara teoritis jumlah piksel yang harus diambil per kelas adalah sebanyak jumlah
Hal: 25 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
band yang digunakan plus satu (N+1). Akann tetapi pada prakteknya, jumlah piksel yang harus
diambil dari setiap kelas biasanya 10 sampai 100 kali jumlah band yang digunakan (10N~100N).
4. Pemilihan Training Area
Pemilihan training area harus dilakukan secara teliti, kesalahan peletakan training area akan
mnyebabkan kesalahan hasil klasifikasi. Pada ERDAS, pembuatan training area dilakukan
menggunakan:
[1] Layer dari vektor [2] Membuat secara langsung pada citra, dengan Tools AOI
[3] Metode kesamaan spektral (seed piksel) dengan piksel‐piksel yang ada di sekitarnya
[4] Menggunakan batasan radius tertentu.
[5] Menggunakan hasil klastering
5. Evaluasi Training Area
Sebelum melakukan klasifikasi akhir, analis terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap training
area yang dibuat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan berdasarkan nilai ”Separabilitas” atau ”Matrik
kontingensi (Akurasi)”nya.
Gambar 12 Evaluasi Signature
6. Pembuatan Ruang Fitur Obyek (Feature Space Object)
Dengan perangkat lunak ERDAS, analis dapat secara mudah membuat ruang fitur (dari AOI) dalam
suatu ruang fitur citra. Ruang fitur citra (feature space image) adalah suatu diagram pencar
sederhana dari suatu band terhadap band lainnya yang ditampilkan dalam grafik 2 dimensi. Fitur ini
Hal: 26 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
mempunyai struktur data raster, sehingga dapat diperbesar atau diperkecil, slicing, pemodelan
spasial dan komposisi peta. Selanjutnya, fitur ini dapat disampling untuk dijadikan sampel dalam
melakukan klasifikasi.
7. Pembuatan penciri non‐parametrik
Dengan AOI, analis dapat membuat penciri non‐parametrik dari ruang fitur citra. ERDAS dapat
membuat AOI pada feature space Viewer, sehingga dapat memudahkan menentukan lokasi AOI pada
feature space dari citra. Training area yang dibuat dari ruang fitur dapat berfungsi sebagai penciri
non‐parametrik yang tidak bergantung kepada nilai statistik dari suatu piksel. Ini dapat digunakan
untuk membantu ketelitian, khususnya pada tutupan yang tidak normal misalnya wilayah perkotaan
atau lahan kosong berbatuan yang terbuka.
Citra komposit NIR‐R‐G
Fature space citra
Pembuatan AOI
Gambar 13 Pembuatan feature space (Leica Geosystem, 2003)
8. Metode Klasifikasi Terbimbing
Secara garis besarnya, metode yang umum digunakan dalam klasifikasi terbimbing terdiri atas:
[1] Metode Multilevelslice (Parallelepiped)
[2] Metode Decision‐tree (Knowledge classification)
[3] Metode Jarak Terdekat, dengan Metode Jarak Mahalanobis atau Euclidean)
[4] Metode Peluang Maksimum (Maximum Likelihood Classifier).
Metode klasifikasi terbimbing dapat dikelompokkan sebagai berikut: Setelah signature dibuat maka
piksel dari seluruh citra dikelompokkan berdasarkan signature menggunakan aturan pengambilan
keputusan dari masing‐masing algoritma. Aturan pengambilan keputusan (decision rule) adalah
algoritma matematik menggunakan data yang dalam signature, dan menentukan kelas‐kelas
pikselnya.
1. Parametric‐rule: dibuat dengan signature parametrik. Signature ini dibuat dengan rata dan
ragam‐peragam. Metode yang menggunakan aturan ini adalah:
Hal: 27 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
a. Metode klasifikasi Maximum Likelihood
b. Minimum Distance
c. Mahalanobis Distance
2. Non‐parametric rule: aturan ini tidak berdasarkan pada nilai statistik, ini terbebas dari sifat‐sifat
data. Jika piksel terdapat dalam batas dari signature non‐parametrik, maka signature ini akan
berfungsi dan mengkelaskan piksel ini. Prinsipnya non‐parametrik ini hanya menetapkan apakah
piksel yang diklasifikasi berada di dalam atau di luar wilayah (batas) signature. Metode yang
menggunakan aturan ini adalah:
a. Parallepiped
b. Feature space.
Pada aturan ini piksel yang tidak terklasifikasi (unclassified) dapat diproses lebih lanjut dengan:
a. Parametric rule
b. Tetap sebagai Unclassified.
Pada piksel‐piksel yang overlap, dapat dilakukan proses lebih lanjut:
a. Parametric rule
b. Diurutkan (by order)
c. Unclassified
9. Metode Parallelepiped
Aturan pengambilan keputusan dengan metode ini adalah penentuan piksel yang terletak diantara
ambang bawah dan ambang atas (threshold values). Batas ambang ini dapat berupa:
[1] Nilai minimum dan maksimum masing‐masing band dari setiap kelas
[2] Rata‐rata dikurangi atau ditambah proporsi simpangan bakunya dari setiap band
[3] Nilai yang ditetapkan oleh analis berdasarkan pengetahuannya sendiri atau yang diperoleh dari evaluasi signature‐nya
Gambar 14. Diagram pengambilan keputusan dengan metode parallelepiped
Hal: 28 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Daerah Overlap
Bagi piksel‐piksel yang terdapat pada daerah overlap maka dapat dilakukan proses sebagai berikut:
[1] Piksel tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan urut‐urutan letak kelas. Misalnya kelas Air
nomor 1 dan bayangan awan nomor 2, maka jika overlap terjadi antar kelas ini, maka piksel
dapat dikelaskan kedalam kelas air.
[2] Piksel tersebut diklasifikasi dengan aturan parametrik yang didefinisikan. Piksel yang
terdapat dievaluasi dengan parametrik. Jika piksel‐piksel tersebut tidak ada satupun yang
mengikuti kaidah parametrik maka piksel tersebut tetap sebagai ”Unclassified (tidak
terklasifikasi)”.
[3] Piksel tersebut tetap sebagai ”unclassified (tidak terklasifikasi)”
Piksel di Luar Ambang
Bagi piksel‐piksel yang ada di luar ambang, maka akan analis dapat membuat langkah sebagai
berikut:
[1] Tetap sebagai ”unclassified” [2] Dievaluasi secara parametrik. Jika tidak satupun penciri kelas termasuk parameterik maka,
kelas tersebut tetap sebagai kelas ”unclassified”
Aturan Pengambilan Keputusan
AtasAmbangXdanBawahAmbangXjikahanyadanjikaWX iic ≤≥∈
Jarak Terdekat (Minimum Distance)
Metode ini dilakukan dengan menghitung kemiripan spektral antar piksel yang tidak dikenali dengan
penciri kelas dari training area. Semakin mirip maka jarak spektralnya semakin dekat. Jarak terdekat
ini dapat dihitung menggunakan metode Jarak Euclidean.
2/1
2
1
)( ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−= ∑
=xyi
n
icixyc XD μ
Dimana:
n = jumlah band yang digunakan
i = nomor band yang digunakan
c = nomor kelas (kategori)
Xxyi = nilai piksel dari band i pada titik x,y
Uci = nilai rata‐rata piksel pada band ke‐i dan kelas c
Dxyc =Jarak spektral antar kelas c dengan piksel X pada posisi x,y
Pada klasifikasi dengan jarak Euclidean ini, oleh karena aturan pengambilan keputusannya
menggunakan nilai terkecil maka ada kalanya yang digunakan adalah kuadrat jarak, yang sering
disebut dengan ”Squared Euclidean Distance”
Hal: 29 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 15. Diagram klasifikasi piksel dengan metode jarak terdekat
Aturan Pengambilan Keputusan
terkecilDjikaWX xycc∈
Jarak Mahalanobis
Jarak mahalanobis juga termasuk metode jarak terdekat (jarak minimum), hanya saja dalam
algoritma penghitungan jaraknya memasukkan nilai matrik kebalikan dari ragam‐peragam setiap
kelas. Rumus menghitung jarak terdekatnya adalah sebagai berikut:
)()( 1cc
Tcxyc MXCovMXD −−= −
Dxyc = jarak Mahalanobis
C = kelas
X = vektor piksel pada posisi x,y
Mc = Vektor rata‐rata dari suatu set band untuk kelas c
Covc‐1 =Matrik kebalikan ragam‐peragam kelas c
T = Matrik transposisi
10. Metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Classifier)
Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan, dan ini biasanya merupakan metode
standar. Metode ini mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu
piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Peluang ini sering disebut dengan
Hal: 30 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
prior probabilty, dapat dihitung dengan menghitung prosentase tutupan pada citra yang akan
diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua
kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat). Aturan pengambilan keputusan ini disebut dengan Aturan
Keputusan Bayes (Bayesian Decision Rule). Secara matematis, fungsi kepekatan dari peubah ganda
adalah sebagai berikut:
)}()(2/1exp{)2(
1)( 12/12/
mxmxCov
xP tN
−Σ−−= −
π
Rumus tersebut dapat disederhanakan menjadi:
MDN
eCov
xP 2/12/12/)2(
1)( −=π
MDN eCovxP 2/12/12/)2()( −−−= π
Peluang suatu set piksel masuk kedalam kelas ωi adalah:
)()()/( xppxP ii ωω =
Jika rumus tersebut dijadikan logaritma natural, maka akan menjadi:
)()(ln)(ln)/(ln xgxppxP iii =+= ωω
Fungsi diskriminan dari masing‐masing kelas dapat ditulis sebagai berikut:
MDCovpxg iii 2/1ln2/12ln2/1)(ln)( −−−= πω
Jika peluang pendahuluannya diasumsikannya sama maka fungsi diskriminan dari masing‐masing
kelas‐i :
)()(2/1ln2/1)( 1 mxCovmxCovxg it
ii −−−−= −
Dimana:
P(x/ωi) = peluang suatu set piksel x masuk ke dalam kelas‐i
Ln (ωi) = logaritma natural dari peluang pendahuluan kelas‐i
x = vektor piksel pada posisi x,y
mi = Vektor rata‐rata dari suatu set band untuk kelas i
|Covi| =diterminan matrik ragam‐peragam kelas i
t = Matrik transposisi
Pada metode ini, dapat juga diberikan thresholding. Besarnya threshold adalah sebagai berikut:
)(lnln2/12/1 2iiai pT ωχ −Σ−−=
Aturan Pengambilan Keputusan
Thresholding
ii Txg >)(
it
ii Tmxmxp >−Σ−−Σ−− − )}()(2/1ln2/1)(ln{ 1ω
iii Tp >−Σ−− }2/1ln2/1)(ln{ 2αχω
}2/1ln2/1)(ln{ 2αχω −Σ−−= iii pT
Hal: 31 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Aturan pengambilan keputusannya adalah:
ciic TxgdanjisemuauntukxgxgjikaX >≠>∈ )()()(,ω
Klasifikasi Ahli (Expert Classification)
Dengan Erdas Imagine, klasifikasi dapat dilakukan pula dengan pendekatan klasifikasi ahli. Klasifikasi
ahli ini memberikan pendekatan terhadap klasifikasi multispektral, perbaikan paska klasifikasi,
pemodelan SIG. Pada pokoknya, klasifikasi dengan sistem ahli ini menggunakan sistem hirarki atau
pengambilan keputusan dengan sistem pohon (decision tree). Aturan pengambilan keputusannya
atau sejumlah pernyataan yang kondisional tentang variable data dan atau atribut yang menentukan
komponen informasi atau hipotetis.
Aturan ganda dan hipotesis dapat dikoneksikan kedalam suatu hirarki yang pada akhirnya
menggambarkan satu set final dari suatu target kelas. Nilai kepercayaan (confidence value) yang
terkait dengan masing‐masing kondisi juga dikombinasikan untuk memberikan citra yang bisa
dihandalkan yang terkait dengan citra output. Dalam ERDAS terdapat dua bagian, yaitu bagian
Knowledge Engineer dan Knowledge Classifier. Yang pertama khususnya untuk yang sudah ahli,
sedangkan yang kedua untuk pemula yang bukan ahli.
Klasifikasi Fuzzy
Metode klasifikasi fuzzy mempertimbangkan piksel‐piksel yang bercampur (mixed make‐up), dimana
suatu piksel tidak dapat dikelaskan secara definitif ke satu kelas. Jensen (1986) mengatakan bahwa
diperlukan suatu cara untuk membuat algoritma yang lebih sensitif terhadap sifat‐sifat fuzzy (kurang
teliti dari alam). Klasifikasi ini didisain untuk membantu suatu pekerjaan yang kemungkinan tidak
masuk secara tepat kesalah satu kategori (kelas). Klasifikasi ini bekerja dengan dengan suatu fungsi
keanggotaan, dimana piksel tersebut ditentukan apakah lebih dekat ke satu kelas atau ke kelas
lainnya. Metode klasifikasi ini tidak mempunyai batas‐batas yang jelas, dan masing‐masing piksel
dapat masuk ke beberapa kelas yang berbeda (Leica Geosystem, 2003). Sama halnya dengan metode
yang konvensional, metode dengan fuzzy ini juga memerlukan training area. Akan tetapi
perbedaannya yang besar adalah metode ini dapat juga memperoleh informasi pada berbagai
macam komponen/elemen kelas yang ditemukan dalam piksel yang tercampur (mixed). Dalam
metode ini, training area tidak diharuskan mempunyai piksel‐piksel yang persis sama. Sekali analis
sudah menetapkan menggunakan metode fuzzy, maka utilitynya akan membiarkan konfolusi dari
fuzzy akan membentuk suatu konvolusi jendela bergerak pada saat klasifikasi menggunakan
penetapan output berganda. Dengan klasifikasi multilayer dan file jarak, konvolusi akan membuat
klas output yang baru dengan menghitung total bobot (weighted) jarak untuk semua kelas dalam
jendela.
Hal: 32 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Klasifikasi dengan ERDAS
Klasifikasi dengan ERDAS dapat dilakukan dengan diagram alir sebagaimana disajikan pada Gambar
83. Dalam ERDAS klasifikasi dapat dilakukan tidak hanya dengan satu metode, atau dengan
kombinasi dari beberapa klasifikasi, misalnya dengan metode Parallelepiped selanjutnya dengan
metode Maximum likelihood atau Minimum distance.
Gambar 16. Diagram Klasifikasi Non‐parametrik dan parametrik (Leica Geosystem, 2003)
Akurasi Klasifikasi
Akurasi sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar
yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matrik ini juga sering disebut dengan ”error matrix”
atau ”confusion matrix”. Secara konvensional, akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan
persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang
digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang
digunakan. Akurasi tersebut sering disebut dengan overall accuracy (akurasi umum). Akan tetapi
akurasi ini umumnya terlalu ”over estimate” sehingga jarang digunakan sebagai indikator yang baik
untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel‐piksel yang terletak
pada diagonal suatu matrik kontingensi.
Hal: 33 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Saat ini, akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi menggunakan
semua elemen dalam matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
%1002
11
∑
∑∑
++
=++
=
−
−=
ii
r
iii
r
iii
XXN
XXXNκ
Dimana:
Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi bari ke‐i dan kolom ke‐i
X+i = jumlah piksel dalam kolom ke‐i
X i+ = jumlah piksel dalam baris ke‐i
N = banyaknya piksel dalam contoh
Lebih lanjut, simpangan baku dari Kappa ini dapat dihitung sebagai berikut:
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−−
+−
−−+
−−
=
22
224
21
32
32112
2
21
2
)1()4()1(
)1()2)(1(2
)1()1(
/1
φφφφ
φφφφφ
φφφ
σ N
dimana:
∑∑=
++
=
==r
i
iir
i
iiN
XXN
X1
21
1 ; φφ
∑=
++ +=r
i
iiiiN
XXX1
23)(φ
∑=
++ +=r
i
ijij
NXXX
124
)(φ
Uji sgnifikansi 2 nilai Kappa dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
96.122
21
21 >+
−=
σσκκz
Metode dengan akurasi Kappa lebih disukai karena dengan Kappa ini, perbedaan akurasi dapat diuji
secara statistik. Nilai akurasi Kappa dua buah klasifikasi dinyatakan berbeda apabila nila z‐nya lebih
besar dari 1,96.
Dalam matrik kontingensi ini, analis dapat juga menghitung besarnya akurasi pembuat (producer’s
accuracy) dan akurasi pengguna (user’s accuracy) dari setiap kelas. Akurasi pembuat adalah akurasi
yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel training area per kelas.
Pada akurasi ini akan terjadi kesalahan omisi, oleh karena itu akurasi pembuat ini juga dikenal
dengan istilah omission error. Sebaliknya, jika jumlah piksel yang benar dibagi dengan total piksel
Hal: 34 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 35 dari 42
dalam kolom akan menghasilkan akurasi pengguna (user’s accuracy), yang juga dikenal dengan
isitilah ”commission error” (Lihat Gambar 6). Secara matematis, rumus untuk menghitung akurasi
pengguna, pembuat dan akurasi umum (overall accuracy/OA) adalah sebagai berikut:
Akurasi pengguna = Xii/X+i (100%)
Akuras pembuat = Xii/X i+ (100%)
%1001
N
XOA
r
iii∑
==
Kelas referensi Dikelaskan ke kelas- Jumlah piksel
Akurasi pembuat
A B C Total piksel A X11 X12 X13 X1+ X11/ X1+ B X21 X22 X23 X2+ X22/ X2+ C X31 X32 X33 X3+ X33/ X3+ Total piksel X+1 X+2 X+3 N Akurasi pengguna X11/ X+1 X22/ X+2 X33/ X+3
Gambar 7.6. Skema penghitungan akurasi
Separabilitas
Separabilitas dari penciri kelas adalah ukuran statistik antar dua kelas. Separabilitas ini dapat
dihitung untuk setiap kombinasi band. Ukuran ini sekaligus digunakan untuk mengetahui kombinasi
band mana saja yang memberikan separabilitas yang terbaik. Ada beberapa ukuran separabilitas
yang umum digunakan, yaitu:
1. Divergence (D)
2. Transformed Divergence (TD)
3. Battacharya Distance (BD)
4. Jeffries‐Matusita Distance (JM)
Producer’s accuracy
Producer’s accuracy
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
F. KLASIFIKASI TIDAK TERBIMBING
1. Pengertian
Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses
mengelompokkan piksel ke dalam kelas‐kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah‐peubah yang
digunakan. Proses ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas yang dapat
berupa sesuatu yang terkait dengan fitur‐fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan
kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer. Citra yang telah dikelompokkan dapat terdiri atas
beberapa kelas tutupan lahan, seperti vegetasi, tanah kosong, padang rumput, wilayah permukiman,
wilayah lahan basah, permukaan lahan terbangun (built up) dsb.
Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi kuantitatif dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification) dan terbimbing (supervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing
adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas‐kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer.
Kelas‐kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu
sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel‐piksel berdasarkan kesamaan atau
kemiripan spektralnya. Kelas‐kelas ini tidak berhubungan secara langsung dengan watak‐watak
tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada citra (scene).
Pada klasifikasi tidak terbimbing ini hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didisain oleh
analis, misalnya jumlah kelas atau klaster yang akan dibuat, teknik yang akan digunakan, jumlah
iterasi dan band‐band atau kanal yang akan digunakan. Klasifikasi ini sering juga disebut dengan
klastering (clustering). Klastering dapat didefinisikan sebagai suatu teknik klasifikasi atau identifikasi
yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (yang dalam hal ini piksel)
kedalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun.
Dalam prosesnya, observasi yang mempunyai kemiripan akan dikelompokkan sebagai satu klaster.
Dalam suatu data yang multivariat, selalu diasumsikan bahwa data tersebut berasal dari populasi
yang homogen. Akan tetapi, faktanya bahwa sebagian piksel‐piksel tersebut berasal dari populasi
yang beragam, Klaster yang terbentuk terkadang mengandung gap. Calon‐calon klaster yaitu nilai
DN dari setiap band biasanya ditentukan secara acak oleh komputer. Selanjutnya komputer
melakukan iterasi dan menghitung atau mengelompokkan piksel‐piksel baru ke dalam kelasnya
berdasarkan kemiripan nilai DNnya. Campur tangan analis yang penting adalah dalam proses
pemberian nama (label) dari setiap kelas atau klaster yang terbentuk, serta mengevaluasi apakah
klaster tersebut perlu digabungkan atau dihilangkan.
Dalam aplikasinya di berbagai bidang ilmu, klastering ini dikenal dengan beberapa terminologi
sebagai berikut:
1. Taksonomi numerik (Numerical taxonomy), dalam bidang ilmu Life science (botani, biologi
dan atau ekologi)
2. Tipologi (Typology) , Ilmu‐ilmu sosial
3. Belajar tidak terbimbing (Unsupervised learning atau learning without teacher) dalam pattern
recognition, cybernetics, electrical egineering
Hal: 36 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
4. Klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised classification), dalam bidang ilmu penginderaan
jauh atau earth science
5. Clumping dalam ilmu informasi atau linguistik
6. Regionalization, dalam bidang ilmu geografi (regional science)
7. Partition, dalam bidang ilmu grafik (graph science)
8. Setiation dalam ilmu antropologi.
Elemen‐elemen analisis klaster :
Dalam analisis klaster ada beberapa elemen dasar yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Pemilihan unit data, dalam citra dijital adalah piksel
2. Memilih peubah yang akan digunakan: band‐band atau kanal yang akan digunakan dalam
analisis
3. Penentuan apa yang akan diklaster, dalam ilmu remote sensing atau citra dijital adalah nilai
kecerahan (brioghtness value) atau yag dikenal dengan istilah DN (digital number)
4. Menghomogenkan peubah
5. Ukuran‐ukuran kesamaan yang akan digunakan (dissimilarity) dengan jarak: Euclidean,
Standardized Eucludean Distance, Squared Euclidean Distance, Minkowsky Distance/City block
dan atau Mahalanobis (Hotelling) Distance.
6. Menentukan kriteria klastering
7. mengimplementasikan algoritma dan komputer
8. Menetapkan jumlah klaster.
Ukuran ketidak‐miripan (Dissimilarity measure)
1. Euclidean Distance:
2/1
1
2)( ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−= ∑
=
n
iikijjk xxD
dimana:
D= jarak antar klaster
I,j = klaster ke I dan ke‐j
k = peubah ke –k
n = jumlah peubah
2. Squqred Euclidean Distrance:
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−= ∑
=
n
iikijjk xxD
1
2)(
Hal: 37 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
3. Standardized Euclidean Distance:
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡ −= ∑
=
n
i i
ikijjk S
xxD
12
2)(
Si2= keragaman dari band ke –i
4. Minkowsky/City block: Ln
i
Likijjk xxD
/1
1
)( ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−= ∑
=
L = konstanta, jika L=2 maka D akan sama dengan jarak Euclidean sedangkan jika L=1
akan sama dengan city block atau Minkowsky distance.
5. Mahalanobis (Mahalanobis‐Hotelling) Distance:
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−= ∑
=
−n
iikij
tikijjk xxCovxxD
1
1 )()(
Cov‐1 = matrik kebalikan dari ragam‐peragam
Analisis Klaster
Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing‐
masing ukuran klaster yang digunakan, maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan
pengelompokkan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Kurva yang
menggambarkan pengelompokkan ini sering disebut dengan dendrogram. Teknik penggambaran
tersebut sering dikenal dengan istilah ”nested atau hierarchical classification”. Metode
penggambarannya terdiri atas:
1. Metode tetangga terdekat (nearest neighbour method): yaitu metode penggambaran klaster
berdasarkan pada jarak terdekat dari angota klaster. Metode ini sering disebut dengan metode
Single linkage.
2. Metode tetangga terjauh (Furthest neighbour method), metode penggambaran berdasarkan
jarak terjauh dari anggota klasternya. Metode ini disebut juga dengan metode Complete
linkage method.
Tujuan Klastering
Analisis klaster ini bertujuan untuk menemukan struktur kategori yang sesuai dengan observasi
(finding the natural group). Dengan derajat asosiasi alamiah yang tinggi maka dapat diketahui
tentang struktur kategori yang sesuai.
Hal: 38 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Kegunaan Klaster:
1. Untuk membuat Hipotesis tentang struktur klaster
2. membuat skema klasifikasi. Dalam biologi atau taksonomi ini akan sangat membantu dalam
membentuk taksonomi.
3. Pengembangan teori‐teori untuk mengembangkan teori generalisasi induktif
4. Menemukan kelas‐kelas alami.
2. Isodata
Klaster didefinisikan oleh suatu algoritma. Salah satunya yang terkenal disebut dengan metode
klastering ISODATA (Iterative Self‐Organizing Data Analysis Technique). Metode ini melakukan
klasifikasi secara iteratif berulang, menghitung statistiknya kembali, meredifinisikannya kembali
untuk masing‐masing kelas, mengklasifikasikannya kembali sehingga memperoleh jarak antar klaster
yang semakin besar. Self‐organizing dimaksudkan adalah suatu metode yang meminimumkan
campur tangan analis.
Parameter Klaster
Parameter yang perlu diberikan pada proses klaster ini adalah:
1. Jumlah klaster yang akan dibuat (N). Sebaiknya lebih besar dari jumlah kelas tutupan yang
mungkin atau yang ingin dibuat pada citra. Jika ingin membuat 12 kelas, maka dapat dibuat
klaster sebanyak 14 sampai 16 klaster. Klaster yang mempunyai piksel terlalu sedikit dapat
dihilangkan.
2. Besarnya ambang konvergensi (T), yang menyatakan persentase piksel yang nilai kelasnya
diperbolehkan tidak berubah pada saat iterasi.
3. Jumlah iterasi maksimum yang diperlukan.
Calon klaster
Calon klaster ditentukan pertama secara acak oleh komputer. Setelah melakukan iterasi maka rata‐
rata baru akan dihitung berdasarkan lokasi aktual piksel dalam klaster. Rata‐rata baru selanjutnya
digunakan untuk mendefinisikan klaster baru pada iterasi berikutnya. Proses penentuan rata‐rata
baru secara iteratif ini disebut dengan rata‐rata bergerak (migrating means) atau dikenal juga
dengan istilah K‐means Clustering. Spefifikasi dari metode ini adalah sebagai berikut:
• Membandingkan jarak masing‐masing nilai (observasi) vektor rata‐rata setiap klaster yang
berjumlah k ke dalam sampel yang berjumlah N
• Observasi atau nilai N dikelompokkan ke dalam klaster yang terdekat dengan nilai vektor rata‐rata
• Apabila ada penambahan anggota klaster, maka vektor rata‐rata dihitung kembali untuk
mendapatkan nilai rata‐rata yang baru (migrating means)
• Proses ini dilakukan sampai dengan semua observasi ada dalam klaster dengan jarak yang
minimum.
Calon klaster awal biasanya dipilih secara acak mulai dari piksel pertama pada citra raster, kemudian
bergerak ke kanan bawah sehingga terpilih sejumlah calon klaster. Rata‐rata baru dari calon klaster
awal kemudian dihitung berdasarkan jarak terdekatnya dengan piksel‐piksel yang terdekat.
Hal: 39 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 6.1. Ilustrasi calon klaster awal dan segmentasinya
Dalam proses iterasi, akan ditampilkan persentase piksel yang dinormalisasi yaitu piksel yang tidak
berubah sejak iterasi terakhir. Jika persentase ini mencapai nilai T (convergence threshold) maka
eksekusi program selesai. Tetapi ada kemungkinan persentase piksel yang tidak berubah tidak
pernah mencapai T. Oleh karena itu ada baiknya memonitor persentase atau menentukan
maksimum iterasi dlam proses klastering, sehingga program dapat berhenti.
Kelebihan dan Kekurangan Klastering
Kelebihan
• Oleh karena prosesnya iterasi maka klastering ini tidak berbias secara geografis terhadap nilai
piksel yang teratas dan terbawah dalam file citra
• Algoritma dengan ISODATA telah terbukti mampu menemukan klaster spektral yang memang
karena sifat‐sifatnya berbeda. Tidak pernah mempermasalahkan cara pengambilan klaster awal
(initial cluster).
• Klasifikasi dengan ISODATA ini akan memberikan layer raster hasil klasifikasi pendahuluan
sebelum melakukan klasifikasi yang sebenarnya.
Kelemahannya:
• Klastering ini memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibanddingakan dengan klasifikasi biasa,
karena ada proses iterasi
• Tidak mempertimbangkan kehomogenan dari piksel‐piksel yang diklasifikasi.
Hal: 40 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Beberapa fungsi perbaikan citra yang tersedia dalam modul perangkat lunak ERDAS
Function Description
SPATIAL ENHANCEMENT These functions enhance the image using the values of individual and surrounding pixels.
Convolution Uses a matrix to average small sets of pixels across an image.
Non‐directional Edge Averages the results from two orthogonal 1st derivative edge detectors.
Focal Analysis Enables you to perform one of several analyses on class values in an image file using a process similar to convolution filtering.
Texture Defines texture as a quantitative characteristic in an image.
Adaptive Filter Varies the contrast stretch for each pixel depending upon the DN values in the surrounding moving window.
Statistical Filter Produces the pixel output DN by averaging pixels within a moving window that fall within a statistically defined range.
Resolution Merge Merges imagery of differing spatial resolutions.
Crisp Sharpens the overall scene luminance without distorting the thematic content of the image.
RADIOMETRIC ENHANCEMENT
These functions enhance the image using the values of individual pixels within each band.
LUT (Lookup Table) Stretch
Creates an output image that contains the data values as modified by a lookup table.
Histogram Equalization Redistributes pixel values with a nonlinear contrast stretch so that there are approximately the same number of pixels with each value within a range.
Histogram Match Mathematically determines a lookup table that converts the histogram of one image to resemble the histogram of another.
Brightness Inversion Allows both linear and nonlinear reversal of the image intensity range.
Haze Reduction* Dehazes Landsat 4 and 5 TM data and panchromatic data.
Noise Reduction* Removes noise using an adaptive filter.
Destripe TM Data Removes striping from a raw TM4 or TM5 data file.
SPECTRAL ENHANCEMENT
These functions enhance the image by transforming the values of each pixel on a multiband basis.
Principal Compo‐nents Compresses redundant data values into fewer bands, which are often more interpretable than the source data.
Inverse Principal Components
Performs an inverse principal components analysis.
Decorrelation Stretch Applies a contrast stretch to the principal components of an image.
Tasseled Cap Rotates the data structure axes to optimize data viewing for vegetation studies.
RGB to IHS Transforms red, green, blue values to intensity, hue, saturation values.
Hal: 41 dari 42
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 42 dari 42
Function Description
IHS to RGB Transforms intensity, hue, saturation values to red, green, blue values.
Indices Performs band ratios that are commonly used in mineral and vegetation studies.
Natural Color Simulates natural color for TM data.
FOURIER ANALYSIS These functions enhance the image by applying a Fourier Transform to the data. NOTE: These functions are currently view only—no manipulation is allowed.
Fourier Transform* Enables you to utilize a highly efficient version of the Discrete Fourier Transform (DFT).
Fourier Transform Editor* Enables you to edit Fourier images using many interactive tools and filters.
Inverse Fourier Transform*
Computes the inverse two‐dimensional Fast Fourier Transform (FFT) of the spectrum stored.
Fourier Magnitude* Converts the Fourier Transform image into the more familiar Fourier Magnitude image.
Periodic Noise Removal* Automatically removes striping and other periodic noise from images.
Homomorphic Fil‐ter* Enhances imagery using an illumination/reflectance model.
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
KOREKSI GEOMETRIK
Nining Puspaningsih
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
KOREKSI GEOMETRIK
Nining Puspaningsih
Data penginderaan jauh pada umumnya mengandung distorsi, distorsi ini disebabkan antara lain
oleh pengaruh rotasi bumi pada waktu perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, adanya efek
panoramik atau sudut pandang pada waktu perekaman, pengaruh topografi, dan pengaruh grafitasi
bumi. Beberapa distorsi tersebut menyebabkan data penginderaan jauh mempunyai kesalahan
ukuran atau skala dan kesalahan posisi geometris.
Terdapat 2 macam distorsi geometris yaitu pertama distorsi yang dapat dikoreksi menngunakan data
platform pada saat peluncuran dan pengetahuan tentang distorsi sensor internal dan kedua adalah
distorsi yang dapat dikoreksi menggunakan sejumlah titik‐titik control lapangan (Ground Control
Point, GCP) yang cukup. GCP adalah suatu titik di permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik
pada citra (kolom dan baris) maupun pada peta ( lintang dan bujur) (Jaya 1997).
Distorsi yang dapat dikoreksi menggunakan sejumlah GCP dapat dilakukan dengan cara melakukan
rektifikasi atau registrasi untuk mendapatkan geometri citra sesuai dengan peta planimetris.
Selanjutnya yang dimaksud rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang
datar sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta planimetris. Proses rektifikasi ini
memerlukan peta atau citra terkoreksi yang akan digunakan sebagai peta atau citra dasar(base,
master).
Menurut Jaya (1997), dua operasi dasar yang dilakukan untuk merektifikasi data secara geometris
adalah sebagai berikut :
1. Interpolasi Spasial
Yaitu suatu proses untuk merektifikasi, merelokasi setiap pixel dalam citra input ke lokasinya
yang benar pada citra output. Untuk intrpolasi ini digunakan persamaan transformasi
koordinat geometris (affine transformation) orde 1 menggunakan 3 GCP, orde 2
menggunakan 6 GCP, dan orde 3 menggunakan 10 GCP.
2. Interpolasi Intensitas
Untuk interpolasi intensitas (resampling) diperlukan satu atau beberapa pixel. Karena pada
saat interpolasi, lokasi pixel tidak persis tepat pada kolom dan baris data input, maka
interpolasi dapat dilakukan dengan beberapa metode metode nearest neighbor (1 pixel),
bilinear interpolation (4 pixel), dan cubic convulation (16 pixel).
Hal: 1 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 2 dari 12
Tahapan proses koreksi geometric
1. Memilih titik control lapangan (GCP). Titik GCP harus menyebar merata mewakili seluruh
pada citra yang akan dikoreksi, titik – titik yang dipilih adalah obyek yang tidak berubah
dalam jangka waktu lama dan mudah dikenali di citra maupun di lapangan.
2. Membuat transformasi polynomial untuk melakukan interpolasi spasial. Persamaan yang
paling sederhana adalah orde 1, menggunakan 3 GCP :
p’ = a0 + a1 X + a2 Y
l’ = b0 + b1 X + b2 Y
3. Menghitung kesalahan ( RMSE, root mean square error) dari GCP yang dipilih. Umumnya
nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0.5 pixel, tetapi semakin kecil semakin baik. RMSE dihitung
menggunakan rumus :
RMSE =
Sedangkan untuk masing‐masing GCP dihitung menggunakan rumus :
Ri =
Keterangan :
Ri : RMSE untuk GCP ke i
XRi + YRi : Kesalahan kea rah X dan Y untuk GCP ke i
RMSE untuk seluruh GCP dihitung dengan menggunakan rumus :
Rx =
Ry =
T =
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Atau
T =
Di mana :
Rx = RMSE kearah X
Ry = RMSE kearah Y
XRi = kesalahan ke arah X dari GCP ke – i
YRi = kesalahan ke arah Y dari GCP ke – i
T = RMSE ke arah X dan Y
n = jumlah GCP
Kontribusi (Ei) masing‐masing GCP ke – I pada total RMSE adalah :
Ei =
4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) untuk membuat citra baru dengan system
koordinat yang ditentukan. Dalam proses ini juga menentukan ukuran pixel output, sesuai
dengan resolusi spasial yang dikehendaki, pada umumnya disesuaikan dengan ukuran
resolusi spasial data aslinya.
Praktek Koreksi Geometrik
Pada praktek koreksi geometric ini menggunakan Citra PALSAR asli yang belum dikoreksi resolusi
12.5 m dan citra PALSAR 50 m yang sudah dikoreksi. Koreksi menggunakan transformasi polynomial,
menggunakan persamaan affine ( 3 GCP), dan melakukan resampling dengan metode nearest
neighbor (1pixel). Software yang digunakan adalah ERDAS IMAGINE 9.1.
Tahap‐tahap melakukan koreksi geometric adalah :
1. Aktifkan software ERDAS IMAGINE 9.1.
Akan muncul gambar seperti Gambar 1
Hal: 3 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 1.
2. Tekan atau klik pada menu Viewer ( Gambar 2)
Gambar 2
3. Buka 2 jendela viewer dan pada jendela 1 pilih file citra yang akan dikoreksi dan pada jendela 2 pilih file citra yang akan dijadikan master ( citra yang sudah dikoreksi) (Gambar 3)
Hal: 4 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 3
4. Pada jendela 1 Klik pada ikon raster option dan akan muncul jendela Select layer to add. Pada jendela ini isikan layer yang dipilh pada warna, hijau dan biru. Setelah itu klik ok, Lakukan hal yang sama pada jendela 2. Tampilan gambar setelah proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Hal: 5 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 4.
5. Pada jendela satu Klik ikon Raster, kemudian pilih Geometric Corection (Gambar 5)
Gambar 5.
Hal: 6 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
6. Setelah muncul jendela Set Geometrik Model (Gamabr 6) pilih polynomial. Klik ok dan akan keluar jendela Polynolial Jendela properties ( Gambar 7), isikan pada menu polynomial order dengan 1 kemudian apply.
Gambar 6
Gambar 7.
Hal: 7 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
7. Setelah itu akan muncul jendela GCP tool reference setup (Gambar 8),dan pilih exiting viewer, dan klik ok. Akan muncul Gambar 9, Letakkan kursor pada citra master pada jendela 2 dan klik pada image nya dan akan keluar jendela Reference map information (Gambar 10). Anda pelajari informasi peta yang digunakan sebagai referensi (citra master) , apabila sudah benar klik ok dan akan muncul Gambar 11.
Gambar 8
Gambar 9
Hal: 8 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 10
8. Pelajari pada Gambar 11 , ada beberapa jendela informasi yang diberikan yaitu :
a. Jendela Zoom citra Budak
b. Ikon GCP
c. Ikon resampling
d. Jendela Zoom citra Master
e. Jendela Informasi GCP
9. Selanjutnya pilih titik‐titik GCP yang akan digunakan untuk koreksi geometric, dengan caraklik ikon GCP dan pilik titik GCP pada citra Master, dan pada citra budak. Lakukan cara yang sama untuk titik 2 dan 3.
Hal: 9 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 10 dari 12
Gambar 11
10. Lihat hasil perhitungan RMSE per titik dan RMSE total, apabila nilai RMSE masih cukup besar, ganti titik GCP yang digunakan (Gambar 12)
11. Apabila RMSE sudah bagus simpan koordinat input dan koordinat reference, dengan cara pada jendela GCP Tool klik File, klik save input as untuk menyimpan koordinat input, dan save reference as untuk menyimpan koordinat reference. Simpan dengan nama file dan pada kamar yang dipilih (Gambar 13).
Jendela Zoom citra Budak Ikon resampling Jendela Zoom
citra Master
Jendela Informasi GCP
Ikon GCP
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 12
RMSE total
RMSE per titik
Gambar 13
12. Tahap terakhir dari koreksi geometric adalah melakukan resampling, dengan cara klik ikon resampling dan akan muncul jendela resample (Gambar 14). Pada jendela resample isi nama file citra output hasil , nearest neighbor, masukan ukuran pixel yang diinginkan (sesuaikan dengan resolusi spasial citra yang dikoreksi), dan klik ok.
Hal: 11 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 14
Hal: 12 dari 12
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
IMAGE ENHANCEMENT
Lilik B. Prasetyo
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
IMAGE ENHANCEMENT Lilik B. Prasetyo
Image Enhancement dapat dibedakan menjadi Radiometri dan Spatial Enhancement. Perbedaan dari 2 teknik ini adalah : Radiometric enhancement merubah nilai individual pixel tanpa memperhitungkan nilai pixel di sekitarnya, sedangkan spatial enhancement memperhitungkan nilai pixel di sekitarnya.
Tujuan : untuk memudahkan memahami citra dan melakukan analisis visual
Mengapa perlu dilakukan image enhancement :
Pada saat pengadaan data, sebenarnya citra telah mengalami koreksi radiometri dan atmosfer, tetapi data citra biasanya belum dioptimumkan untuk interpretasi visual.
Sensor yang dipasang di satelit biasanya didisain untuk mampu mengambil data dengan kondisi yang beragam dari kondisi normal ke kondisi sangat ekstrim (misal pada rentang ekosistem kutub hingga padang pasir) sehingga tidak ada satu metoda enhancement umum yang bisa diaplikasikan pada seluruh kondisi tersebut. Hal ini menyebabkan setiap data masih memerlukan penyempurnaan.
SENSOR OPTIK
A. Radiometric Enhancement a. Histogram Match
Perbedaan waktu, musim, dan sudut matahari menyebabkan terjadi perbedaan luminance dari data citra sehingga menimbulkan permasalahan ketika data citra tersebut akan digabung. Untuk mengatasinya diperlukan perlakuan Histogra m Match.
Gambar 1. Sebelum dan sesudah Histogram match
Hal: 1 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Beberapa hal penting sebelum melakukan Histogram Match adalah :
Distribusi/keragaman land cover di dua image relative sama
Awan akan mengganggu proses histogram match, sehingga perlu dihilangkan
b. Dehaze
Haze adalah lapisan tipis partikel/awan yang menghalangi pengambilan data, sehingga data citra terlihat kabur (blurred). Tampilan data citra yang terganggu akan menyulitkan klasifikasi secara visual. Teknik image enhancement yang biasa digunakan adalah Haze reduction (Dehaze). Gambar dibawah merupakan ilustrasi data citra sebelum dan sesudah dehaze (Haze reduction).
Gambar 2. Sebelum dan sesudah pengurangan efek haze (dehaze)
Dari gambar tersebut tampak bahwa bagian yang tertutup awan yang cukup tebal (bagian di bawah awan tidak terlihat) tampak mengalami over corrected, sehingga menyulitkan klasifikasi.
c. Histogram Equalization
Histogram Equalization model adalah stretching data (merentangkan data) secara tidak linear. Hasilnya adalah histogram yang hampir flat di bagian tengah dan meningkatkan kontras di dekat puncak dan mengurangi nilai di awal dan akhir histogram.
Gambar 3. Konsep penyamaan Histogram (Histogram Equalization)
Hal: 2 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Data citra hasil dari Histogram Equalization secara default disajikan pada Gambar di bawah. Setelah dilakukan Histogram Equalization data citra tampak lebih kontras.
Gambar 4. Data citra sebelum dan sesudah Histogram Equalization
Di dalam Software ERDAS Histogram Equalization juga dapat diarahkan dengan menggunakan Area Of Interest (AOI), untuk menentukan daerah yang menjadi target untuk lebih ditajamkan kontrasnya. Misal untuk image pada gambar di bawah adalah hasil Histogram Equalization dengan meletakkan AOI pada penampakan hutan (hijau).
Gambar 5. Data citra sebelum dan sesudah Histogram Equalization dengan AOI pada penutupan
hutan
Pada proses dengan menggunakan AOI, tampak daerah yang mempunyai kontras tinggi terutama adalah daerah yang mempunyai nilai DN sama dengan yang di dalam AOI. Contoh berikut adalah HE dengan meletakkan AOI pada penutupan lahan rumput (pink). Hasilnya adalah kontras warna di dalam AOI naik namun diluar AOI kontras menurun. Keragaman warna di dalam AOI lebih terlihat dari pada data citra sebelumnya.
Hal: 3 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 6. Data citra sebelum dan sesudah Histogram Equalization dengan AOI pada penutupan rumput dan air
Histogram Equalization dengan meletakan AOI (dengan menekankan kontras pada daerah tertentu) biasa disebut juga contextual enhancement. Dalam menentukan AOI bisa juga berdasarkan kelas‐kelas nilai NDVI.
B. Spatial Enhancement a. Convolution Convolution adalah teknik membuat image baru dengan cara melakukan filtering, yaitu mengalikan image asli dengan berbagai matriks dengan berbagai ukuran. Misalnya sebuah image dikalikan dengan low pass filter berukuran 3 x 3, maka akan didapatkan data citra dengan tingkat kontras yang menurun.
Gambar 7. Citra sebelum dan sesudah convolution (3 x 3)
Hal: 4 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
b. Edge Enhancement
Aplikasi Edge enhancement akan meningkatkan kecerahan batas dari obyek‐obyek. Aplikasi ini akan mempermudah dalam identifikasi visual pattern tertentu seperti jalan, sungai, batas2 kebun dll.
Gambar 8. Citra sebelum dan sesudah penejaman tepi (edge enhancement)
c. Adaptive Filter (Wallis Adaptive Filter) Adaptive Filter akan meningkatkan local kontras, namun untuk total keseluruhan citra luminance yang terlalu terang akan berkurang sedangkan daerah yang gelap akan dinaikkan. Hasil adaptive filter akan lebih mudah diklasifikasikan secara visual.
Gambar 9. Citra sebelum dan sesudah Adaptive filter (wallis)
Hal: 5 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
d. Non‐Directional Edge enhancement
Aplikasi ini akan meningkatkan ketajaman edge. Hasil dari teknik filter ini akan membantu mendeleniasi jalan, dan obyek2 linear lain.
Gambar 10. Citra sebelum dan sesudah penajaman tepi (non directional edge enhancement)
C. Spectral Enhancement
a. Index Vegetasi (NDVI)
Index vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kehijauan atau untuk membedakan daerah
Gambar 11. Spektran obyek pada berbagai panjang gelombang/ band pada landsat
Hal: 6 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 7 dari 14
bervegetasi dan daerah yang tidak bervegetasi. Vegetasi ketika berfotosintesis membutuhkan cahaya dengan panjang gelombang berkisar antara 600 – 700 mikron (panjang gelombang ini identik dengan Band 3 pada Landsat), sehingga DN pada band 3 vegetasi lebih rendah dari lahan kosong (tanpa vegetasi), karena sebagian besar diabsorbsi oleh chlorophil (Gambar ). Namun pada band 4 (panjang gelombang 0.76 – 0.90 mikron/ Near Infra Red) vegetasi mempunyai DN yang lebih tinggi. Dengan menggunakan logika berfikir ini maka dibangun NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dengan formula seperti di bawah.
Berdasarkan formula tersebut, apabila nilai NDVI lebih dari dari 0 maka merupakan lahan bervegetasi dan apabila lebih kecil dari 0 maka non vegetasi.
b. Tasseled Cap
Tasseled Cap adalah teknik merotasikan DN dengan memberikan bobot berbeda pada tiap band nya, sehingga didapatkan data membedakan antara Brightness, Greeness dan Wetness. Citra baru lebih mudah membedakan antara daerah urban, pertanian, vegetasi dan air. Nilai pembobot disajikan pada Tabel dibawah. Image hasil tasseled cap disajikan pada Gambar 13.
Tabel 1. Bobot untuk perhitungan Tasseled Cap, untuk tiap Band/Channel
NDVI = (Band 4 – Band 3)/Band 4 + Band 3)
Image Asli NDVI (Grey scale, ‐1 sd 1) Thematic NDVI
Gambar 12. Citra NDVI (Grey scale & Tematik)
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 8 dari 14
Band 1 hasil dari Tasseled Cap menunjukkan daerah terbangun/terbuka, Band 2 menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi dan Band 3 menunjukkan daerah dengan tingkat wetness yang tinggi.
c. Principle Component
PCA digunakan untuk mereduksi jumlah variable dengan membentuk variable baru yang independent. Pada Penginderaan jauh metoda ini digunakan untuk mereduksi jumlah band yang digunakan pada analisis citra Hyperspectral, namun banyak juga yang digunakan untuk data citra Landsat.
Brightness
Greeness Wetness
R:G:B = Br : Gre : Wet
Gambar 13. Data citra yang menggunakan Tasselled cap
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
PC1
PC2 PC3
R:G:B = PC1:PC2:PC3
Gambar 13. Data citra yang menggunakan Principle Component
Hal: 9 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 10 dari 14
SENSOR RADAR
(a) Konsep Moving Windows
Pengolahan data radar banyak menggunakan “moving window” untuk melakukan filter spatial/ convolution.
Pada gambar adalah contoh moving window dengan ukuran 3 x 3. Setiap pixel di dalam window berisi angka sesuai dengan jenis filter yang dipakai. Window ini bergerak menyiam keseluruhan citra.
Ukuran window beragam 3 x 3, 5 x 5, dan 7 x 7. Semakin besar ukuran matriks semakin lama waktu yang digunakan.
Di bagian tengah adalah pixel yang menjadi target. Karakteristik pixel tersebut (texture, edge enhancement, speckle) ditentukan pilihan operasi/perhitungan oleh user.
b. Band Sintetis
Data citra radar pada sata dikembangkan untuk pertama kali hanya memiliki satu tipe polarisasi, sehingga pengolahan Citra Radar hanya mengandalkan satu tipe polarisasi. Pada perkembangannya Radar (misalnya ALOS PALSAR), memiliki 4 tipe polarisasi (HH, HV, VV,VH), sehingga pengolahan ALOS PALSAR dapat menggunakan kombinasi tipe polarisasi sebagai layer/band yang berbeda yang diperlakukan sebagai band Red, Green dan Blue. Pada beberapa penelitian, dari band tersebut juga dibuat sintetis band, berdasarkan band yang ada. Algoritme yang digunakan untuk membuat band sintetis sangat bervariasi, misalnya pengurangan antara HH dan HV (HH‐HV), rasio antara band HH dan HV (HH/HV) atau index Palsar (HH – HV/HH + HV).
R : Band HH G : Band HV B:HH‐HV/HH+HV R:G:B
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
A. Speckle Suppression
a. Lee‐ Sigma Filter
Lee‐Sigma filter menggunakan asumsi bahwa mean & varian dari pixel target (pixel of interest) adalah sama dengan mean & varian lokal di dalam moving window yang dipilih user.
Noise suppression filter dengan menggunakan Lee‐Sigma akan mengganti pixel of interest dengan nilai rata‐rata DN di dalam moving windows. Hasil dari teknik filter ini adalah data Radar yang lebih halus texturenya/lebih homogen.
b. Frost Filter
Hal: 11 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
c. Median Filter
B. Edge Enhancement
Teknik analisis yang ditujukan untuk mempertajam edge/tepi obyek pada image. Misalnya Prewit filter dan Robinson filter. Teknik filter ini dapat digunakan untuk mendeleniasi obyek yang berbentuk linear. Filter ini banyak digunakan untuk menemukan patahan/sesar yang merupaka informasi penting yang berkaitan dengan ilmu kebumian (gempa/pertambangan dll).
a. Prewit
Hal: 12 dari 14
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 13 dari 14
b. Robinson
C. Image Enhancement
a. Wallis Adaptive Filter
Aplikasi Wallis Adaptive filter dilakukan untuk merentangkan nilai DN, sehingga citra terlihat lebih terang dengan kontras yang lebih baik.
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 14 dari 14
b. Luminance Modification
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
KLASIFIKASI CITRA
Lilik B. Prasetyo
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
KLASIFIKASI CITRA Lilik B. Prasetyo
Klasifikasi citra pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2, yaitu klasifikasi secara dijital dan klasifikasi secara visual. Lebih jauh klasifikasi secara dijital dapat dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi tidak terbimbing dan terbimbing.
A. Klasifikasi Visual
Klasifikasi data citra secara visual adalah identifikasi berbagai obyek secara visual, obyek tersebut boleh jadi merupakan obyek‐obyek alami ataupun buatan yang memiliki beragam bentuk, ukuran, warna, pattern,dan asosiasinya. Kita tidak terbiasa membedaan obyek‐obyek tersebut karena harus dibedakan dalam skala 2 dimensi yang dilihat dari atas (foto udara/satelit). Cara pandang ini tidak sama dengan bila kita melihat di lapangan dengan mata telanjang secara horizontal. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan kunci identifikasi obyek dan pemahaman mengenai lokasi yang akan diinterpretasi/klasifikasi (ekosistem/lingkungan).
Faktor yang digunakan sebagai pertimbangan untuk klasifikasi visual dapat dibedakan mejadi beberapa order/tahapan (Tabel 1).
Order Fokus perhatian Elemen Interpretasi Keterangan Warna Warna feature/obyek
1 Warna Tone Tingkat gradasi warna tsb (gelap – terang)
Size Ukuran obyek : perbandingan relative antar obyek Rangkaian Geometri
(Geometric arrangement) Shape
Bentuk Obyek : bentuk alami biasanya tidak beraturan sedangkan buatan cenderung lurus
Texture Perubahan dan susunan dari Tone 2
Rangkaian (Spatial Arrangement) Pattern
Pola & bentuk obyek : warna,tone, dan texture yang berulang‐ulang dapat digunakan sbg pengenal obyek
Site Letak obyek dalam kaitannya dengan topografi, tanah, dan ekosistem
3
Locational Association
Keterkaitan dengan obyek lain di sekitarnya (jalan, sungai, laut, danau dll)
Ketinggian (Height) Ketinggian 4 Bayangan (Shadow) Bayangan
Sangat bermanfaat pada interpretasi foto udara
Hal: 1 dari 5
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Pertanyaan : a. Dimana Mangrove ? b. Dimana Hutan dataran
rendah ? c. Dimana sawit ? d. Dimana Lahan terbuka? e. Dimana Sungai/laut ? f. Dimana Jalan ? g. Dimana Awan ? h. Dimana Tambak ? i. Dimana Semak belukar ?
ALOS PALSAR (RGB: HH,HV,Index) LANDSAT ETM (RGB: 5,4,3)
Gambar 1. Exercise Pengenalan obyek secara Visual
B. Klasifikasi Dijital
a. Klasifikasi tidak terbimbing (clustering/Unsupervised Classification)
Di dalam klasifikasi tidak terbimbing komputer mengelompokkan piksel (berdasarkan nilai DN) berdasarkan kesamaan spektral menjadi berbagai kelas. Metoda klustering dapat menggunakan ISODATA (Iterative Self‐Organizing Data Analysis Technique) atau RGB. Pada teknik ISODATA semua band diperhitungkan dalam penentuan klaster, sedangkan untuk RGB hanya 3 band.
b. Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification)
Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan memberikan arahan/memilih piksel yang merepresentasikan obyek/penutupan lahan yang dikenali (Signature). Kemudian operator memberikan instruksi untuk memprosesnya berdasarkan signature2 tersebut. Pada prinsipnya ada dua teknik yang digunakan untuk menentukan signature pada klasifikasi terbimbing, yaitu Parametrik & Non Parametrik. Teknik Parametrik berdasarkan data statistik dari piksel yang berada pada area sample. Sedangkan signature non‐parametrik adalah berdasarkan area di dalam citra feature space Citra Feature space adalah grafik scatterplot nilai piksel dengan sumbu x dan y berupa dua band yang berbeda yang dipilih. Citra feature space adalah citra raster yang berwarna yang berasosiasi dengan setiap piksel di dalam data citra. Di dalam software Erdas, posisi setiap titik di Feature space dapat di link dengan posisinya di citra aslinya (Gambar 2).
Hal: 2 dari 5
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 3 dari 5
Supervised Classification dengan Signature Non Parametrik (feature space) Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan pada signature yang dibuat berdasarkan citra feature space. Klasifikasi menjadi tematik penutupan lahan didasarkan pada jarak (distance) di dalam feature space. Sebuah piksel akan menjadi kelas yang sama apabila berada di dalam lingkaran yang sama atau pada jarak tertentu yang didefinisikan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan training area (signature) di dalam feature space (FS). Hal ini memerlukan ketekunan karena harus tepat menempatkan signature, sehingga meminimalkan gap dan overlap antar signature. Gambar 2 dibawah menunjukkan ada beberapa signature yang overlap (warna merah). Setelah semua signature dibuat maka dapat dilanjutkan dengan klasifikasi terbimbing.
Apabila masih ada piksel yang belum terklasifikasi, dapat dibiarkan menjadi kelas unclassified atau dikelaskan berdasarkan Maximum Likelihood. Demikian juga piksel yang overlap dapat dikelaskan sebagai unclassified piksel atau dikelaskan berdasarkan Maximum Likelihood.
Lahan Terbangun
Hutan Sawit Air
Band 4
Band 3
Awan
Gambar 2. Link antara feature space & data citra
Gap
Overlap
Gambar 3. Gap & Overlap pada FS
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 4 dari 5
Supervised Classification dgn Signature Parametrik Teknik Klasifikasi ini dibuat berdasarkan distribusi nilai piksel/DN menggunakan algoritma klasifikasi/aturan parametrik yang beragam. Diantaranya aturan parametrik tersebut adalah maximum likelihood, minimum distance dan parallepiped classification (Gambar 4). Untuk mengarahkan komputer, dibuat signature training area pada setiap obyek (spektral kelas) yang berbeda. Semakin banyak diambil signature/sampling area untuk setiap kelas lebih baik. Pedoman umum yang bisa dipakai adalah bila menggunakan 6 band maka sebaiknya jumlah signature tiap kelas minimum yang dibuat adalah 6 + 1. Bahkan ada yang menganjurkan jumlah signature adalah 100 dikalikan jumlah band, jika dimungkinkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya matrix kovarian yang singular, yang menyebabkan matriks kebalikannya dalam perhitungan fungsi diskriminant tidak bisa dihitung. Maximum likelihood Classification
Maximum likelihood Classification adalah teknik pengambilan keputusan secara statistik untuk melakukan klasifikasi piksel berdasarkan nilai DN. Asumsi dasar dari teknik ini adalah bahwa setiap piksel pada setiap kelasnya menyebar secara normal dalam ruang multi dimensi (tergantung dari jumlah band). Dibandingkan dengan teknik perhitungan lain, teknik ini relatif lebih akurat.
Gambar 4. Tahapan analisis dijital
Gambar 5. Ilustrasi MaximumLikelihood
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 5 dari 5
Minimum distance Classification
Apabila ada permasalahan kekurang sample area/ nature, dianjurkan untuk memakai metoda Minimum Distance Classification. Metoda ini hanya memperhatikan Mean, tanpa melihat Standard deviasi ataupun covariance. Perhitungan dengan cara ini relatif lebih cepat dari Maximum Likelihood.
an sig
arallelepiped Classification
etoda ini dianjurkan pada kegiatan yang menghandel
elemahan dari metoda ini adalah adanya overlap dan
u ra .
P
Mdata yang besar. Secara statistik piksel akan dikelompokan berdasarkan nilai DN dengan jarak tertentu dari standard deviasinya. Kgam (daerah yang tidak terklasifikasi), sehingga memp nyai aku si yang rendah
Gambar 5. Ilustrasi Klasifikasi parallepiped
Gambar 6. Ilustrasi Minimum distance
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
CITRA LANDSAT Lilik B. Prasetyo
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 1 dari 7
CITRA LANDSAT Lilik B. Prasetyo
A. Sejarah Peluncuran Satelit Landsat
1. Landsat 1
Landsat 1 diluncurkan pada tanggal 23 July 1972, pada waktu itu dikenal dengan sebutan Earth Resources Technology Satellite (ERTS),yang merupakan Satelit pertama yang diluncurkan untuk memantau permukaan bumi. Untuk keperluan tersebut Landsat 1 diperlengkapi dengan 2 instrument yaitu Return Beam Vidicon (RBV),dan Multispectral Scanner System (MSS). Pada awalnya RBV yang akan digunakan sebagai alat perekam utama, namun akhirnya digantikan oleh MSSR yang sebenarnya waktu itu masih dalam taraf percobaan. RBV, bila dioperasikan akan menyebabkan LAndsat 1 kehilangan control posisinya. Sensor MSS merekam data dalam 4 spektral band yaitu : green, red, and two infrared bands.
Landsat 1 beroperasi hingga januari 1978, selama beroperasi Landsat 1 telah mengumpulkan 300 000 scene.
2. Landsat 2
Landsat 2 was diluncurkan pada 22 Januari 1975. Satelit ini juga masih dalam tahap penelitian yang dioperasikn oleh NASA. Landsat 2 membawa jenis sensor yang sama dengan Landsat 1. Pada Februari 1982, Landsat 2 mengakhiri operasinya.
3. Landsat 3.
Landsat 3 diluncurkan pada 5 Maret 1978, 3 tahun setelah Landsat 2. Landsat inipun masih dalam percobaan yang dioperasikan oleh NASA hingga tahun 1979. Setelah dinyatakan sukses maka sejak tahun 1979 kendali operasi dilakukan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Landsat 3 membawa sensor yang sama dengan pendahulunya, yaitu RBV dan MSS. Bedanya adalah bahwa RBV dari landsat 3 mempunyai resolusi 30 meter dan mampu mengambil data dalam satu spectral band yang lebar (0.505 – 0.750 mikron)
sedangkan pada pendahulunya rekaman data pada selang tersebut direkam di 3 band yang terpisah.
MSS mengambil data secara sistimatis menggunakan 4 bands, sebenarnya ada chanel ke 5 yaitu band thermal, namun chanel ini rusak beberapa saat setelah peluncuran. Pada Maret 1983, Landsat 3 berakhir operasinya.
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
4. Landsat 4.
Landsat 4 diluncurkan pada 16 July 1982. Landsat 4 selain mempunyai MSS juga membawa sensor Thematic Mapper ™ yang mempunyai resolusispatial dan spectral yang lebih baik.
Instrument Landsat 4 TM mepunyai 7 band spectral ( blue, green, red, near‐infrared, mid‐infrared (2 bands) dan thermal). Setahun setelah peluncuran Landsat 4 mangalami gangguan pengiriman data ke stasiun bumi. Masalah ini dapat diatasi, namun tahun 1987 mengalami permasalahan yang sama.
5. Landsat 5
Pada 1 Maret 1984, NASA meluncurkan Satelit Landsat 5. Satelit ini dibuat bersamaan dengan satelit Landsat 4 dan membawa instrument yang sama (the Multispectral Scanner System (MSS) and the Thematic Mapper (TM) instruments).
Tahun 1987 sistem transmisi Landsat 5 mangalami kerusakan, sehingga tidak memungkinkan mengirimkan data ke stasiun bumi di luar Amerika. Tahun 1995, instrument MSS dimatikan, namun TM masih terus beroperasi.
Tahun 2005, operasi Landsat 5 dihentikan setelah adanya masalah pada pembangkit tenaga suryanya. Masalah dapat diatasi dan Landsat 5 beroperasi lagi pada tanggal 30 Januari 2006.
6. Landsat 6
Landsat 6 gagal diluncurkan. Landsat 6 membawa Enhanced Thematic Mapper (ETM). Sensor ETM yang mempunyai resolusi spasial yang sama dengan landsat 4 dan 5 ditambah dengan chanel 8 dengan spasial resolusi 15 m. Band ke 8 ini disebut band panchromatic/sharpening band.
Hal: 2 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
7. Landsat 7.
Pada tanggal 15 April 1999, Landsat 7 berhasil diluncurkan. Satelit ini membawa sensor ETM+. Selain sensor yang dimuat sama dengan landsat 5, terdapar penambahan yaitu band panchromatic dengan resolusi spasial 15 m, dan thermal infra red dengan resolusi 60 m. Keunggulan Landsat 7 adalah bahwa satelit ini memiliki kalibrasi yang sangat akurat.
Pada tahun 2003, terdapat permasalahan pada Scan Line Corrector (SLC) sehingga mengganggu perekaman data. Data landsat 7 yang direkam setelah tahun 2003 mengalami kerusakan berupa 0 data pada lajur‐lajur tertentu. Upaya mengoreksi 0 data tersebut masih dilakukan sampai sekarang. Hal ini yang menyebabkan orang beralih
ke Landsat 5 lagi. Sejak 10 Januari 2010 Landsat 5 kembali beroperasi normal (http://landsat.gsfc.nasa.gov/news/news‐archive/news_0251.html).
B. Karakter LANDSAT TM
1. Resolusi Spektral
Jumlah band dan panjang gelombang yang digunakan oleh Landsat 5 dan Landsat 7 hampir sama, perbedaannya terletak pada kanal pankromatik .
ETM Bands
Hal: 3 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
2. Respon Obyek pada tiap kanal
Respon obyek (tanah, vegetasi dan air) pada tiap kenaikan panjang gelombang secara kontinyu disajikan pada Gambar di bawah (Gambar ).
Gambar 1. Pola reflektansi gelombang elektromagnetik pada tanah, vegetasi & air
Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa air, tanah dan vegetasi mempunyai perbedaan pola reflektansi. Pola reflektansi ini selain berkaitan dengan sifat fisik obyek juga berhubungan dengan proses ekofisiologi vegetasi.
Band 1: 0.45 ‐ 0.52 m (Blue). Sangat berguna untuk memetakan badan air,membedakan tanah dan vegetasi serta obyak‐obyek buatan (jalan & bangunan).
Band 2: 0.52 ‐ 0.60 m (Green).
Panjang gelombang ini berada di daerah serapan chlorophy a dan b (Gambar 2). Pada selang ini absorbsi energy oleh chlorophyl menurun, sehingga kecepatan fotosintesa juga turun (Gambar 3). Pada selang ini banyak porsi gelombang hijau yang dipantulkan oleh vegetasi. Band ini berguna untuk mengenali tipe2 vegetasi, menentukan tumbuhan yang sehat.
Gambar 2. Pola absorbsi chlorophyl
Hal: 4 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 3. Absorbsi cahaya dan kecepatan fotosintesis.
Band 3: 0.63 ‐ 0.69 m (Red). Selang panjang gelombang pada band ini terletak pada selang puncak absorbsi baik chlorophyll a dan b (Gambar 2). Pada selang ini kecepatan fotosintesa tinggi (Gambar 3). Sinar merah tampak merupakan sinar yang paling penting untuk membedakan tipe vegetasi
Band 4: 0.76 ‐ 0.90 m (Near infrared). Band ini responsive terhadap biomasa, sangat baik untuk identifikasi tanaman, membedakan antara tanah dan tanaman, serta untuk delineasi batas badan air.
Band 5: 1.55 ‐ 1.75 m (Mid‐Infrared). Band ini sensitive dengan turgidity (kandungan air dalam tumbuhan) sehingga band ini sangat penting untuk study kekeringan dan penelitian tentang vigor tumbuhan.
Band 6: 10.4 ‐ 12.5 m (Thermal infrared). Band ini mengukur flux panas yang dipantulkan oleh permukaan obyek. Berguna untuk studi kelembaban tanah, stress vegetasi dan suhu permukaan.
Band 7: 2.08 ‐ 2.35 m (Mid‐infrared). Band 7 berguna untuk membedakan tipe formasi batuan.
Secara ringkas respon obyek pada berbagai selang panjang gelombang (band/kanal) disajikan pada Gambar 4. Pemahaman mengenai berbagai pola tersebut sangat penting untuk strategi untuk membedakan berbagai obyek. Berdasarkan pemahaman tersebut dibangun berbagai index vegetasi, yang merupakan pembagian/penambahan/pengurangan dari berbagai kanal.
Diskusikan :
1. Apa yang dapat diidetifikasi dengan jelas bila menggunakan ratio kanal 3/Kanal 4 ? 2. Apa yang dapat diidentifikasi dengan jelas bila menggunakan ration kanal 4 dengan kanal 3 ?
Hal: 5 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 4. Pola reflektansi obyek pada berbagai kanal (selang panjang gelombang)
Ratio antara ? ? Landsat 5:4:3
TM3/TM4 : Ratio band ini akan membedakan sangat jelas lahan kosong & lahan terbangun, tapi tidak bisa membedakan hutan, perkebunan dan vegetasi yang lain. Badan air dapat dibedakan dengan menggunakan ratio ini. TM4/TM3: Ratio band ini dapat digunakan untuk membedakan vegetasi, badan air dan tanaman. Ratio band ini akan menonjolkan Hutan dan lahan terbuka. Karena hutan dan vegetasi mempunyai nilai reflektansi di band 4 yang tinggi namun akan menyeran pada band 3.
TM5/TM7: Ratio band ini dapat membedakan dengan jelas air dan lahan terbuka, karena lahan terbuka pada band 7 mempunyai nilai reflektansi rendah dan pada band 5 tinggi, sedangkan pada air nilai reflektansi band 5 dan band 7. Lahan terbuka akan terlihat lebih terang dibandingkan badan air.
Hal: 6 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
TM2/TM3: Ratio band ini dapat membedakan dengan jelas antara vegetasi/tanaman dengan lahan terbuka, namun tidak bisa membedakan hutan, tanaman dan badan air. Ratio ini tidak memperjelas perkotaan
TM3/TM2: Ratio band ini akan membedakan antara hutan dan tanaman, karena hutan akan mempunyai tone yang lebih gelap dibandingkan tanaman.
TM4/TM5: Ratio ini akan memperjelas badan air yang terlihat lebih gelap dari vegetasi, karena air mengabsorbsi band 4 dan memantulkan lebih besar pada band 5.
TM5/TM4: mampu membedakan lahan terbuka dengan vegetasi/tanaman, namun tidak bisa membedakan tipe2 vegetasi, dan antara hutan dan tanaman. Pada ratio ini hutan dan air terlihat gelap, sedangkan Lahan terbuka dan lahan kering terlihat lebih terang.
TM4 – TM3/TM4 + TM 3 : Ratio ini dikenal dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) . Sangat berguna untuk membedakan vegetasi dan non vegetasi. Vegetasi akan mempunyai nilai di atas 0 dan non vegetasi (lahan terbuka, badan air, awan, bayangan awan) akan bernilai negative. Vegetasi yang semakin aktif proses fotosintesisnya akan terlihat lebih terang (nilai NDVI nya lebih tinggi).
Gambar 5. Citra berbagai ratio kanal
Hal: 7 dari 7
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Bogor, 15 – 25 Februari 2010
CITRA RADAR M. Buce Saleh
Kerjasama :
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY FAKULTAS KEHUTANAN IPB
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
CITRA RADAR M. Buce Saleh
Penginderaan jauh mikrowave menggunakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 1 cm – 1 m. Panjang gelombang ini mampu menembus awan bahkan air hujan sehingga relatif lebih bebas dari gangguan atmosferik. Pada penginderaan jauh mikrowave dapat dioperasikan dengan menggunakan sensor pasif maupun aktif. Sensor pasif bekerja seperti sensor thermal yaitu mendeteksi emisi alami enersi microwave permukaan bumi, biasanya digunakan dalam kajian meteorologi, hidrologi dan oseanografi. Dalam sensor aktif, antenna sensor microwave akan memancarkan sinyal dan kemudian menangkap kembali pancaran balik dari permukaan bumi. Sensor aktif mempunyai beberapa keuntungan seperti:
- Dapat mengambil data setiap saat baik siang maupun malam.
- Karena sinyak dibuat sendiri sehingga karakter sinyal dapat diatur sedemikian rupa (misalnya panjang gelombang yang digunakan, polarisasi, sudut pandang dan lain‐lain) dan disesuaikan dengan kebutuhan penggunaannya.
Sensor aktif dibagi dua menjadi sensor pencitra dan non citra. Radar merupakan sensor mikrowave pencitra aktif berasal dari aplikasi militer.
Sistem radar terdiri dari komponen transmitter, receiver, antenna dan recorder. Transmiter digunakan untuk membangkitkan sinyal, dan ditransmisikan melalui antenna termasuk pancar baliknya dari permukaan bumi, kemudian sinyal balik tersebut diterima oleh receiver dan data sinyal pancar baliknya dicatat oleh recorder. Radar pencitra mengambil citra dimana setiap pikselnya berisi angka digital yang sesuai dengan kekuatan sinyal pancar baliknya dari permukaan bumi. Enersi balik dari setiap getaran radar dapat dirumuskan sebagai parameter fisik dan geometri iluminasi dengan rumus radar berikut:
Pr = G2λ2Ptσ/4л3R4
Dimana:
Pr adalah enersi yang diterima
G adalah besaran antenna (gain)
λ adalah panjang gelombang
Pt adalah enersi yang dipancarkan
σ adalah radar cross section merupakan fungsi dari karakter objek dan ukuran luas yang diiluminasi.
R adalah jarak dari radar ke objek.
Dari rumus diatas dapat dilihat bahwa terdapat tiga factor utama yang mempengaruhi nilai pancar balik (backscatter), yaitu:
- System radar: panjang gelombang, antenna, dan kekuatan transmisi
- Geometri citra radar: membatasi ukuran area yang diiluminasi yang dipengaruhi oleh lebar sinar, sudut pandang dan jaraknya.
- Karakter objek: kekasaran dan komposisi permukaan, topografi, orientasi
Apa sebenarnya yang diukur oleh system radar?
Hal: 1 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Untuk dapat melakukan penafsiran citra radar dengan benar, penting untuk difahami apa yang sebenarnya diukur oleh system radar. Transmitter menghasilkan sinyal microwave berupa getaran yang dipancarkan pada interval tertentu (Pulse Repetition Frequency=PRF) yang difokuskan oleh antenna menjadi sebuah sinar. Sinar ini berjalan melalui atmosfer kemudian mengiluminasi sebagian permukaan bumi, yang kemudian dipancarkan balik melalui atmosfer lagi dan mencapai antenna dimana intensitas sinyal diterima. Dari interval waktu, sinyal membutuhkan dua kali jarak antara objek dan antenna, pada kecepatan cahaya, jarak diantara keduanya dapat dihitung. Untuk membuat citra, sinyal balik sebuah getaran disample dan sample tersebut disimpan dalam sebuah garis citra. Sesuai dengan gerakan sensor, getaran emisi, citra dua dimensi (2D) dibuat (satu getaran menunjukkan satu garis). Oleh karena itu, sensor radar dapat mengukur jarak dan mendeteksi intensitas sinyal pancar balik.
1. Polarisasi
Polarisasi sebuah gelombang elektromagentik merupakan hal yang penting di bidang penginderaan jauh radar. Tergantung kepada gelombang transmisi dan yang dterima balik, polarisasi dapat menghasilkan penampakan citra yang berbeda. Polarisasi dapat dilakukan untuk arah horizontal dan vertical secara berlawanan disebut cross polarized (HV, VH) atau arah yang sama disebut polarized (HH, VV). Penggunaan polarisasi dan panjang gelombang yang berbeda dapat menggali informasi lebih beragam.
Gambar 1. Gelombang elektromagnetik menurut bidang listrik dan bidang magnetik
2. Geometri Radar
Wahana pembawa sensor radar bergerak sepanjang jalur terbangnya. Jalur terbang memanjang terletak pada nadir, sedangkan iluminasi radar pada permukaan bumi berupa lebar sapuan (swath) terletak menjauh dari nadir. Arah sepanjang jalur terbang disebut sebagai azimuth, sedangkan arah tegak lurusnya disebut Range.
Sensor radar merupakan instrument pengindera menyamping (side looking). Citra yang paling dekat dengan jalur nadir disebut near range, sedangkan yang terjauh disebut dengan far range.
Sudut pandang didefinisikan sebagai sudut antara sinar radar dengan garis vertical local. Dari near range sampai far range, sudut pandang ini akan meningkat. Perlu diperhatikan bahwa sudut pandang sensor dengan sudut pandang local, yang merupakan sudut yang terbentuk karena perbedaan topografi dan kelengkungan bumi yaitu sudut antara sinar radar dengan permukaan normal local. Sensor radar mengukur jarak antara objek dengan antenna, ini disebut sebagai slant range, sedangkan posisinya di muka bumi disebut ground range.
Hal: 2 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 2. Sudut pandang sensor dan sudut pandang local pada SAR.
Gambar 3. Slant range dan Ground range serta pembentukan foreshortening, layover, bayangan
2. Resolusi Spatial
Dalam penginderaan jauh radar, citra dibentuk dari sinyal transmisi dan backscattered. Apabilia sebuah getaran tunggal membentuk satu elemen dalam citra disebut Real Aperture Radar (RAR). Resolusi pada arah slant range dan azimuth didefinisikan oleh panjang gelombang dan lebar antenna. Karena resolusi spatial pada arah range dan azimuth ditentukan oleh parameter yang berbeda, maka besaran resolusi spatial pada kedua arah tersebut juga akan berbeda. Untuk keperluan pengolahan citra dan penafsiran biasanya data citra perlu di resample menjadi piksel yang sama besarannya di kedua arah tersebut, misalnya menjadi 50 m x 50 m atau 12.5 m x 12.5 m, tergantung parameter yang diatur dalam perangkat lunak pengolahannya.
4. Resolusi Slant range
Resolusi slant range didefinisikan sebagai jarak dua objek di muka bumi yang mempunyai dua getaran yang berbeda dari sinyal baliknya. Dengan perkataan lain, dua objek dapat dipisahkan pada arah range apabila mereka terpisah minimum setengah gelombang. Resolusi slant range tidak tergantung dengan jarak‐range, akan tetapi pada permukaan bumi resolusi ground range tergantung besaran sudut pandang.
Hal: 3 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
5. Resolusi Azimuth
Resolusi azimuth tergantung pada lebar sinar dan jarak‐range. Lebar sinar radar proporsional dengan panjang gelombang dan berbanding terbalik dengan lebar antena (aperture), dengan perkataan lain makin panjang antenna, makin focus sinarnya maka makin tinggi resolusi yang diperoleh.
6. Sintetik Aperture Radar
Terlihat bahwa panjang antenna‐aperture akan membatasi sensor radar yang harus dibawa dalam pesawat atau satelit. Disisi lain memperpendek panjang gelombang yang digunakan juga akan membatasi penembusan awan. Oleh karena itu digunakan pendekatan memperpanjang aperture secara sintetik bukan fisiknya diperpanjang, dikenal sebagai sintetik aperture radar (SAR). Sistem ini membuat sintetik panjang antenna dengan memanfaatkan pergerakan wahananya dan menggunakan beberapa sinyal backscatter dari objek yang sama untuk membangun seakan‐akan antenna yang sangat panjang.
7. Distorsi dalam citra radar
Oleh karena geometri side looking, citra radar mempunyai distorsi geometric dan radiometric yang besar, seperti adanya variasi skala (karena near range dan far range), foreshortening, layover, bayangan dan noise speckle.
a. Distorsi skala
Radar mengukur jarak objek pada jarak slant range dan bukan jarak horizontal pada permukaan bumi. Oleh karena itu, citranya akan memiliki skala yang berlainan dari arah near sampai far range. Hal ini berarti objek pada daerah near range akan mengerut, sedangkan pada far range akan mengembang. Untuk kebutuhan penafsiran, hal ini perlu dikoreksi dan ditranformasikan pada geometri ground range di permukaan bumi.
b. Distorsi karena Terain
Sama seperti halnya pada sensor yang melingkup permukaan bumi secara oblik, maka citra radar pun akan sangat dipengaruhi oleh relief displacement. Pada kasus citra radar bahkan sangat berat. Efek dari relief displacement ini dalam citra radar akan berupa foreshortening, layover dan bayangan.
c. Foreshortening
Radar mengukur jarak pada arah slant range. Maka area yang miring (slope) akan mengkerut dalam citranya. Tergantung sudut antara slope dengan sudut pandang sensor, makin besar slope makin pendek objek yang direkam. Distorsi maksimum akan dicapai apabila sinar radar tegak lurus terhadap slope. Foreshortening akan terlihat sangat cerah pada citra radar.
d. Shadow
Apabila slope membelakangi sensor, maka sinar radar tidak dapat mengiluminasi areanya. Oleh karena itu tidak ada enersi yang dipancarbalik sehingga area tersebut akan terlihat gelap. Bayangan dalam radar harus dibedakan dengan bayangan pada citra optic yang terjadi karena perbedaan iluminasi dari sinar matahari.
e. Distorsi radiometric
Akibat distorsi geometric seperti dijelaskan sebelumnya, maka hal tersebut juga akan mempengaruhi enersi yang diterima. Enersi pada daerah yang miring‐slope akan dipadatkan hanya beberapa piksel sehingga nilai digital yang terekam akan tinggi karena sebenarnya berasal dari sekian banyak objek. Efek ini sangat sulit dikoreksi, bahkan beberapa menyatakan tdiak dapat dikoreksi. Namun dengan
Hal: 4 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
demikian penampakan terrain atau topografi pada citra radar sangat jelas dan sangat membantu dalam melakukan penafsiran.
Efek lain adalah berupa noise atau speckle, yang penampakannya serupa dengan :salt and pepper”. Speckle diakibatkan oleh interaksi sinyal pancar balik yang beragam dari berbagai objek yang ada di area tersebut. Interaksi gelombang disebut dengan interferensia, yang akan membuat sinyal pancar balik tersebut menghilang atau malah diperkuat sehingga akan menghasilkan piksel yang cerah dan gelap bahkan untuk area yang homogeny sekalipun. Speckle akan menurunkan kualitas citra dan membuat penafsiran citra radar lebih sulit.
Gambar 4. Citra radar dengan speckle dan citra radar yang sudah difilter specklenya.
8. Pengolahan Multi‐look
Speckle dapat dikurangi dengan cara pengolahan multi‐look dan cara filtering spatial. Dalam pengolahan multi‐look, sinar radar akan dibagi menjadi sinar‐sinar yang lebih sempit. Setiap sinar tersebut berasal dari sebuah objek yang sama. Kemudian dengan menghitung rata‐ratanya, maka citranya dapat diperoleh. Pengolahan multi‐look akan mengurangi resolusi spatial yang diperoleh. Umumnya citra multi‐look yang dapat diperoleh adalah citra 3‐look.
9. Penafsiran citra radar
Kecerahan (brightness) objek dalam citra radar tergantung dari kekuatan sinyal pancar baliknya (backscattered). Dan jumlah enersi pancar balik sangat tergantung pada beberapa factor, pemahaman mengenai hal ini akan sangat membantu untuk melakukan penafsiran citra radar dengan baik.
Jumlah enersi pancar balik tergantung pada sinyal yang mengiluminasi (panjang gelombang, polarisasi, sudut pandang dan lain‐lain) dan sifat objek terhadap iluminasi (kekasaran, bentuk, orientasi, konstanta dielektrik dan lain‐lain).
Faktor yang mempengaruhi sinyal iluminasi:
Panjang gelombang radar mempengaruhi kedalaman penetrasi gelombang kedalam permukaan objek, berarti hal ini menentukan ukuran objek yang dapat berinteraksi dengan gelombang. Sebagai contoh, panjang gelombang microwave yang pendek mungkin hanya akan penetrasi daun di tajuk pohon (misalnya Band X=3 cm), sebaliknya panjang gelombang yang panjang (missal Band L=23cm) akan penetrasi kedalam tajuk. Polarisasi microwave mempunyai peranan penting dalam menafsir bentuk dan orientasi elemen scattering yang berasal dari permukaan objek. Sehingga penggunaan polarisasi yang berbeda akan menghasilkan citra dengan penampakan yang berbeda dan mungkin dapat digunakan untuk mengidentifikasi objeknya.
Hal: 5 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Faktor yang mempengaruhi permukaan objek:
Ukuran backscatter dari objek sama seperti reflectance dalam system optic adalah ratio antara sinyal emisi dengan sinyal yang diterima dan akan berlainan tergantung dari jenis objeknya. Nilai ini sering disebut sebagai nilai radar cross section (σ⁰) dan dinyatakan dalam besaran decibel (db). Besarnya nilai backscatter dari sebuah objek tergantung pada kekasaran permukaan (termasuk didalamnya pengaruh biomas), konstanta dielektrik (kelembaban), orientasinya, dan bentuknya. Sebagai bagian dari topografi, kekasaran permukaan adalah sifat terrain yang paling berpengaruh terhadap nilai pancar balik objek. Tergantung kepada panjang gelombang dan sudut pandang sensor, sebuah permukaan dapat “terlihat kasar” apabila perbedaan tinggi mendekati panjang gelombangnya. Dalam citra radar, permukaan halus akan terlihat gelap sedangkan permukaan kasar akan terlihat cerah, merupakan hasil perilaku scattering gelombang radar. Faktor lain yang penting adalah konstanta dielektrik. Objek dengan kelembaban tinggi akan mempunyai sifat mengantar listrik sehingga konstanta dielektriknya juga tinggi.
10. Pola Scattering
Radar mempunyai pola scattering yang beragam tergantung pada faktor‐faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Perubahan dalam sifat‐sifat kelistrikan objek akan mempengaruhi absorpsi, transmisi dan refleksi sinyal balik mikrowave. Jika objek itu basah maka akan terjadi surface scattering. Jenis refleksi dimulai dari spekular sampai dengan difuse dan double bounce, tergantung dari kekasaran objek, makin lembab maka makin tinggi kecerahannya.
a. Data Palsar resolusi spatial 12.5 m:
Data Palsar yang tersedia sebenarnya cukup beragam, antara lain data polarisasi penuh (L‐HH; L‐HV; L‐VV; L‐VH), data dual polarisasi (L‐HH dan L‐HV) pada beberapa resolusi spatial tertentu (200m, 50m dan 12.5 m). Data Palsar 12.5 m merupakan data yang memuat informasi cukup detail, namun biasanya data ini mengandung banyak noise berupa speckle. Baik untuk melakukan penafsiran visual maupun digital, speckle sangat mengganggu. Oleh karena itu biasanya perlu dilakukan pra pengolahan dengan cara filtering atau enhancement spatial. Penampakan citra Palsar 12.5 m dapat dilihat pada Gambar 5.
Dari Gambar itu terlihat bahwa speckle terlihat sangat banyak, sehingga menyulitkan untuk melakukan penafsiran bahkan untuk hanya identifikasi titik control. Pada band L‐HH terlihat perkotaan mempunyai tingkat kecerahan paling tinggi, dan vegetasi padat seperti terdapat di pulau kecil di tengah sungai mempunyai tingkat kecerahan lebih rendah. Sedangkan pada band L_HV perkotaan maupun vegetasi padat terlihat mempunyai kecerahan tertinggi.
Hal: 6 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
HH
HV
Gambar 5. Penampakan L‐HH dan L‐HV Palsar resolusi 12.5 m di daerah Perkotaan Banjarmasin (Sumber data: Jaxa MTI).
Hal: 7 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Berikut ini penampakan Palsar L‐HH dan L‐HV di daerah berhutan dan bergunung seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. Dari Gambar ini terlihat bahwa tingkat kecerahan vegetasi padat atau hutan lebih tinggi pada band L‐HV dibandingkan dengan band L‐HH. Namun juga terlihat pada lereng‐lereng tertentu nilai kecerahan di kedua band juga tinggi.
HH
HV
Gambar 6. Penampakan Palsar resolusi 12.5 m di daerah berhutan dan bergunung
Hal: 8 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Data Palsar resolusi 50 m:
Data Palsar resolusi 50 m lebih terlihat halus, bahkan tidak terlihat ada speckle didalamnya. Data ini diolah dari data multi‐look atau bahkan multi‐date, sehingga speckle berkurang bahkan tidak ada, namun resolusi spatialnya akan berkurang. Penampakan Palsar 50 m untuk dua daerah yang dijelaskan diatas dapat dilihat dalam Gambar 7.
HH HV
HH HV
Gambar 7. Penampakan Palsar 50 m di daerah perkotaan dan daerah berhutan.
Hal: 9 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Citra Berwarna Palsar:
Penampakan band tunggal L‐HH maupun L‐HV terlihat sulit untuk ditafsir secara lebih detail. bahkan pada resolusi 12.5 m karena adanya speckle. Oleh karena itu diperlukan citra berwarna karena mata dapat mengenali perbedaan warna lebih mudah ketimbang derajat keabuan, hal ini terutama apabila akan dilakukan penafsiran secara visual.
Untuk membuat citra berwarna dibutuhkan 3 set data yang bisa ditempatkan pada bidang warna R, G dan B seperti dijelaskan dalam teori pembentukan warna. Padahal set data Palsar yang dimiliki hanya dual polarisasi, L‐HH dan L‐HV.
Data radar yang mengandung unsur tone dan tekstur memungkinkan kita bisa membuat band sintetis, yaitu melalui dekomposisi polarisasi dan membuat karakter tekstur secara statistik. Pembuatan dekomposisi data radar dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan rumus aritmatik (penjumlahan dan perkalian) dan teknik principle component analysis (PCA) sebagai berikut:
1) HH/HV
2) HH‐HV
3) HH+HV
4) (HH‐HV)/(HH+HV)
5) PCA.
Dengan demikian akan diperoleh 7 band termasuk 2 band original. Kombinasi citra berwarna yang dapat dibuat dari 7 band adalah sebanyak 35 buah kombinasi. Sehingga perlu dilakukan pemilihan kombinasi yang paling sesuai. Untuk melakukan pemilihan kombinasi yang paling sesuai dapat menggunakan criteria OIF dan kemiripannya dengan citra warna alami Landsat TM band 5 4 3. Kriteria OIF merupakan ukuran keragaman data, artinya makin tinggi nilai OIF maka makin kaya warna yang terbentuk. Namun perlu diingat kemampuan visual mata dalam membedakan warna secara konsisten juga terbatas, sehingga perlu ukuran lain seperti kemiripannya dengan kombinasi Landsat TM 5 4 3 dimana kita telah terbiasa.
Hasil perhitungan nilai OIF untuk 6 lokasi yaitu Sumatera Utara, Halimun, Jogjakarta, Bali, Kalimantan Selatan dan Jayapura dapat dilihat dalam Tabel 1. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa nilai OIF tertinggi untuk setiap lokasi terdapat pada kombinasi RGB yang berlainan. Hal ini dapat terjadi karena nilai OIF ditentukan oleh keragaman penutupan lahan dan jenis penutupan lahannya.
Kombinasi 10 nilai OIF tertinggi kemudian didisplai, namun sekalipun kekayaan warnanya banyak akan tetapi penampakannya kurang dikenal. Sehingga seluruh kombinasi (35 buah) didisplai satu per satu dan dinilai penampakan, terutama kemiripannya dengan penampakan Landsat TM 5 4 3.
Hal: 10 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Tabel 1. Nilai OIF pada berbagai kombinasi RGB di beberapa lokasi
Halimun Jogja Papua Kalsel Sumut Bali RGB OIF RGB OIF RGB OIF RGB OIF RGB OIF RGB OIF 467 5579 146 5387 167 2943 467 3440 367 4866 136 4849 146 5272 467 5336 567 2648 136 3417 136 4849 146 4645 147 4978 136 5068 367 2577 146 3391 356 4774 164 4645 136 4924 367 5027 156 2571 367 3341 467 4663 173 4328 367 4876 147 4950 467 2557 137 3191 146 4645 137 4328 137 4662 456 4750 136 2515 147 3180 456 4562 147 4145 456 4126 356 4742 267 2495 356 2564 137 4328 174 4145 356 4125 137 4651 146 2493 456 2517 147 4145 153 4043 357 3754 457 4226 126 2432 357 2265 357 4130 135 4043 457 3731 357 4224 157 2274 457 2231 135 4043 145 3864 135 3697 135 4191 356 2233 135 2226 457 3947 154 3864 145 3459 145 4190 456 2201 145 2120 145 3864 167 3496 246 2938 346 3297 137 2183 346 1919 167 3496 176 3496 167 2884 246 3161 147 2161 246 1894 567 3224 156 3150 346 2857 167 3149 256 2151 236 1888 156 3150 165 3150 567 2784 236 3005 127 2148 167 1884 236 3149 623 3149 156 2739 134 2956 357 2106 567 1826 246 3022 624 3023 247 2712 567 2954 257 1853 156 1782 267 2949 162 2900 236 2664 156 2901 457 1841 347 1762 126 2900 126 2900 347 2657 347 2897 236 1836 134 1750 157 2814 157 2814 124 2598 124 2802 246 1832 123 1741 237 2691 175 2814 267 2521 247 2796 135 1787 247 1722 256 2664 723 2691 126 2520 267 2656 125 1780 237 1709 123 2647 123 2647 256 2520 123 2655 145 1757 124 1699 346 2638 132 2647 134 2495 237 2654 237 1519 256 1676 127 2591 172 2591 123 2479 126 2629 247 1514 267 1667 247 2581 127 2591 157 2471 157 2617 123 1452 126 1659 124 2537 724 2581 237 2451 256 2483 346 1452 157 1577 235 2354 124 2537 127 2308 127 2379 124 1446 127 1496 257 2328 142 2537 257 2261 235 2328 347 1126 257 1472 125 2261 523 2354 125 2234 245 2327 235 1122 125 1438 245 2248 152 2261 235 2061 257 2203 245 1111 235 1299 347 2160 125 2261 245 2037 125 2159 134 1057 245 1255 134 2120 524 2248 345 1369 345 2094 345 694 345 747 345 1773 134 2120 234 466 234 620 234 414 234 358 234 613 143 2120
Dari penilaian yang dilakukan secara bersama dengan beberapa interpreter diperoleh kesepakatan bahwa kombinasi yang dianggap memadai adalah kombinasi 1 2 4 (HH, HV, HH/HV). Beberapa contoh penampakan kombinasi warna Palsar dapat dilihat pada Gambar 8, 9 dan 10.
Hal: 11 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
HH, HV, HH/HV HH, HV, (HH‐HV)/(HH+HV)
HH, HV, (HH+HV) HH, HV, (HH‐HV)
HH, HV, PCA
Gambar 8. Kombinasi Warna Palsar di daerah Perkotaan
Hal: 12 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
HH, HV, HH/HV HH, HV, (HH‐HV)/(HH+HV)
HH, HV, (HH+HV) HH, HV, (HH‐HV)
HH, HV, PCA
Gambar 9. Kombinasi warna Palsar di daerah berhutan.
Hal: 13 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Gambar 10. Kombinasi warna Palsar di daerah datar, terbuka, pertanian.
Hal: 14 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam menafsir objek pada citra warna Palsar (HH, HV, HH/HV) dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam menafsir Citra warna Palsar HH, HV dan HH/HV.
Penutupan Lahan Penampakan pada Citra Palsar
Badan air mempunyai permukaan halus bagi radar, sehingga yang terjadi umumnya adalah surface scattering. Dengan perkataan lain nilai backscatter baik pada HH maupun HV rendah. Sehingga penampakan warnanya adalah biru‐kebiruan.
Daerah yang datar umumnya terjadi seperti badan air, hanya saja nilainya lebih tinggi. Sehingga penampakan warnanya akan mirip ungu
Daerah datar dengan kandungan air tinggi seperti sawah yang sedang dibajak akan mempunyai nilai backscatter lebih tinggi karena kemungkinan konstanta dielektriknya besar. Sehingga penampakan warnanya akan kemerahan
Daerah dengan undulasi akan memiliki nilai backscatter lebih tinggi. Sehingga penampakan warnanya akan merah‐pink‐kuning.
Daerah miring tergantung orientasinya terhadap sudut pandang sensor (Palsar melihat dari Barat ke timur) akan memiliki nilai backscatter tinggi karena dapat terjadi double bounce scattering. Sehingga penampakan warnanya akan kekuningan.
Daerah bervegetasi padat akan mengalami volume scattering, nilai backscatternya akan cukup tinggi. Sehingga penampakan warnanya akan kehijauan.
Daerah bervegetasi dengan diameter lebih kecil dan kurang padat akan mempunyai warna hijau yang lebih muda.
Daerah bervegetasi padat dan lantainya mengandung air akan memberikan nilai backscatter yang lebih tinggi, Penampakan warnanya akan hijau padat.
Daerah bervegetasi kurang padat dan lantainya berair akan mempunyai warna hijau muda.
Daerah bervegetasi padat dan mempunyai topografi bergelombang akan mempunyai nilai backscatter lebih tinggi. Penampakan warnanya hijau.
Hal: 15 dari 16
MODUL PELATIHAN PENGGUNAAN PALSAR DALAM PEMETAAN PENUTUPAN LAHAN/HUTAN
Hal: 16 dari 16
Penutupan Lahan Penampakan pada Citra Palsar
Daerah bervegetasi kurang padat pada daerah bergelombang akan mempunyai nilai backscatter tinggi. Penampakan warnanya hijau
Daerah dengan kemiringan dan bervegetasi padat akan mempunyai nilai backscatter lebih tinggi. Tergantung orientasi slopenya, penampakan warna hijau‐ kuning.
Daerah dengan kemiringan dan bervegetasi kurang padat akan mempunyai nilai backscatter lebih tinggi. Tergantung orientasi slopenya, penampakan warna hijau‐ kuning.
Daerah terbangun di dataran akan memiliki backscatter tinggi terutama pada band L‐HH, karena kemungkinan terjadi double bounce scattering. Penampakan warnanya kemerahan‐pink. Namun pada L‐HV pun kadang memiliki nilai backscatter tinggi. Sehingga dapat juga mempinyai warna hijau‐kuning
Daerah terbangun di daerah miring akan memiliki backscatter tinggi terutama pada band L‐HH, karena kemungkinan terjadi double bounce scattering. Penampakan warnanya kemerahan‐pink. Namun pada L‐HV pun kadang memiliki nilai backscatter tinggi. Sehingga dapat juga mempinyai warna hijau‐kuning