modul 2

34
Akad Tabaru Akad tabarru’adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan. Dalam Akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah Swt bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dll. (Karim : 2006,70) Pada hakikatnya, akada tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah swt semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan mencari keuntungan komersil. WAKALAH Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah didapati dalam firman Alloh pada surat Al- Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: . ...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah

description

akad tabaru

Transcript of modul 2

 Akad Tabaru 

Akad tabarru’adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non profit transaction  (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. 

Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan. 

Dalam Akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah Swt bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.Contoh akad-akad tabarru adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dll. (Karim : 2006,70)

            Pada hakikatnya, akada tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah swt semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan mencari keuntungan komersil.

WAKALAH

Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah didapati dalam firman Alloh pada surat Al-Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: .

...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.

Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.

Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan”.

Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga. Federal Rserve “ negeri Mesir.

Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang artinya :

“Bahwasanya Rosululloh SAW mewakilkan kepada Abu Rafii dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.

Dalam kehidupan sehari-hari Rosululloh saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan, seperti membayar utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain.

Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan dengan ijma ulama dan bahkan ada ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan karena hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.

Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan listrik atau perusahaan telpon

 QARD al-Qardul Hasan

Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.

Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.

 AKAD TIJARI

Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.

Akad Tijarah

menjelaskan bahwa akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Kemudian berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yakni :

· Natural Uncertainty Contract

Dalam Natural Uncertainty Contract, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real asset maupun financial asset) menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama-sama. Contoh-contoh transaksi ini adalah Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, Mukhabarah)

· Natural Certainty Contract

Dalam Natural Certainty Contract,kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti baik jumlah, mutu, kualitas, harga dan waktu penyerahannya. Jadi kontrak-kontrak ini secara sunnatullah menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak jual beli (Al Bai’ naqdan, al Bai’ Muajjal, al Bai’ Taqsith, Salam, Istishna), sewa-menyewa (Ijarah dan Ijarah Muntahia bittamlik).

MUDHOROBAH

Secara teknis Mudhorobah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqoroh ayat 198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.

Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.

Sedangkan mudhorobah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhorobah muthlaqoh. Si mudhorib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

1. 7. MUSYAROKAH

Musyarokah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

Musyarokah ada dua jenis; pertama musyarokah pemilikan dan kedua musyarokah akad (kontrak). Musyarokah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

A Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis).

B. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH DALAM SISTIM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA 

B.     Al-Mudharabah 

1. Pengertian Mudharabah

Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20)1[1]. Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.2[2]  

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak, yaitu pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian mengelola keuangan dari pengelola. 

Transaksi jenis mudharabah, tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal  dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan,  mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maaldiharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

2. Jenis-Jenis mudharabah

a.  Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah Mutlaqah, yaitu pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). Misalnya Mudharib membuka warung Tegal dan bisa juga membuka warung padang atau usaha lainnya

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah, yaitu pemilik modal (shahibul maal) menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Misalnya Mudharib membuka usaha warung Tegal berdasarkan kemauan pemilik modal (shahibul maal). Hal itu berarti tidak bisa membuka warung padang

1

2

3.   Karakteristik Mudharabah

Karakteristik Mudharabah berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko dikemukakan sebagai berikut.

a. Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya pada pelaksanaan akad

b. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana; sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

c. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Hal dimaksud, dikemukakan contoh Praktik Mudharabah dalam Perbankan Syariah

skema mudharabah bank syariah

Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil atau pembiayaan  mudharabah kepada bank syariah. Selanjutnya,  Bank bertindak selaku shahibul maal; Sedangkan pihak nasabah bertindak selaku pengelola (mudharib), dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan dimuka dan apabila rugi ditanggung oleh sahibul maal. Sebaliknya, bila kerugian itu terjadi dari akibat kelalaian mudharib maka kerugian itu ditanggung oleh mudharib. Misalnya. Mudharib membuka warung kopi. Warung kopi dimaksud, dibuka pada jam 10.00 pagi karena ia bangun jam 08.00  pagi. Padahal  banyak peminum kopi antara jam 07.00-09.30. Akibat kerlambatan warung kopi dibuka pada setiap hari mengakibatkan kerugian pengelola dana (mudharib). Lain halnya, bila kerugian itu diakibatkan oleh bencana alam. Misalnya terjadi hujan disertai angin putih beliung yang mengakibatkan warung kopi itu ditimpa pohon sehingga alat-alat warung kopi hancur sehingga terjadi kerugian. Kerugian dimaksud, ditanggung oleh pemilik dana  (sahibul maal)

4.   Dasar Hukum pembiayaan Mudharabah 

Dasar hukum pembiayaan Mudharabah dalam hukum Islam dikemukakan sebagai berikut.

a. Al Qur’an

1)  Surat Al baqorah ayat 273

Lilfuqoroo’il ladzina uhshiru fi sabilillahi la yastathi’u na dharban fil ardhi “ (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi,......” (Al Baqorah : 273).3[3] Kalimah : Dharban fil ardhi Penafsiran Ibnu Katsir : Maksudnya berjalan untuk berdagang dalam mencari penghidupan.4[4] Penafsiran Abu Bakr Jabir Al Jazaa’iri : Berjalan di bumi untuk mencari rezki dengan berdagang dan lainnya, berjalan di bumi untuk mengepung (memblokade) musuh orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.5[5]

3

4

2) Surat Ali Imron ayat 156

Ya ayyuhallazina amanu la takunu kalladzina kafaru wa qolu li’ikhwanihim idza dharabu fil ardhi “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir(orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi......( Ali Imran : 156).6[6]

Penafsiran Ibnu Katsir : Mereka berpergian untuk berdagang dan lainnya.7[7] Penafsiran Abu Bakr Jabir Al Jazaa’iri : Berjalan di bumi dengan jalan kaki dan terkadang berjalan untuk kebaikan orang-orang muslim.8[8] Di antara ayat-ayat Al Qur’an dimaksud, terdapat kata yang di jadikan oleh sebagian besar ulama fiqh adalah kata dharaba fil ardhi menunjukkan arti perjalanan atau berjalan di bumi yang di maksud perjalanan untuk tujuan dagang.9[9]

b. Al Hadits

Sementara dalam hadits di katakan bahwa Nabi dan beberapa sahabat pun terlibat dalam perseroan mudharabah.10[10] Hal ini tampak dalam beberapa hadits yang artinya sebagai berikut :

1)       Hadits yang pertama yang artinya: “Diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdull Mutholib, jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasululloh SAW dan Rosululloh pun membolehkannya.” ( HR Thabrani).

2)       Hadits yang kedua yang artinya: “Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rosulloh SAW bersabda,” Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqoradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah No 2280, Kitab At-Tijarah).

        c. Literatur Fiqh

Di dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) tidak ditemukan istilah mudharabah. Istilah mudharabah ini dipakai oleh madzhab Hanafi, Hambali, dan Zaydi (syi’ah), sedang dalam madzhab Maliki dan As-Syafi’i dipakai istilah Qiradh.11[11] Menurut para ulama fiqh perbedaan itu 

5

6

7

8

9

10

11

terletak dalam hal kebiasaan penyebutan dari tiap-tiap daerah Islam.12[12] Jadi tidak di salahkan bahwa waktu pertama didirikan Bank Islam di Indonesia banyak masyarakat dan ulama yang menentang dan ragu di karenakan pengetahuan mereka dalam bidang fiqh muamalah kurang menguasai dan di binggungkan dengan istilah dan dogma fanatik madzhab, yaitu mayoritas Muslim Indonesia yang mereka ketahui hukum Islam adalah fiqh Syafi’iyyah.

Keraguan dan penentangan masyarakat dan ulama atau fuqaha ( ahli hukum) sebenarnya telah terjadi masa-masa eksperimen awal untuk perbankan Islam berlangsung di Melayu pada pertengahan tahun 1940 an, di Pakistan pada akhir 1950 an, melaui Jama’at Islami pada 1969, Egypt’s Mit Ghamr Saving Bank(1963-1967),dan Nasser social Bank (1997).13[13] Satu-satunya institusi Islam yang bertahan pada periode awal ini adalah Nasser Social Bank(Mesir) dan Tabungan Haji (Malasyia).14[14] Hukum Mudharabah adalah boleh (ja’iz) menurut ijma(konsensus).’15[15] Ja’iz adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan (akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda misalnya makanan di sebut halal (bukan ja’iz).16[16] Mudharabah oleh ijma’ dihukumi boleh atau jaiz karena berdasar pada kaidah Fiqh “ Al Masyaqqoh tajlibu at taisir “ artinya Kesulitan akan mendorong kemudahan, Lafadz masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat,dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab,ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam al Qur’an terdapat lafadz yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana terdapat dalam surat al-Nahl ayat 7.17[17] Seperti halnya musaqah, qiradl (mudharabah) juga tetap di perbolehkan,walaupun mengandung gharar, karena adanya hajat atau kebutuhan umum masyarakat yang sudah mendekati kadar dlarurat.18[18] Gharar adalah sesuatu yang masih kabur atau tidak jelas akibatnya namun biasanya menimbulkan kerugian.19[19] d.  Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)

Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Dewan syari’ah Nasional secara resmi didirikan sebagai lembaga syari’ah yang bertugas mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas perekonomian Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS). Selain itu juga untukmenampung berbagai masalah/ kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penangganannya oleh masing-masing LKS.20[20] DSN sebagai sebuah lembaga yang di 

12

13

14

15

16

17

18

19

20

bentuk oleh MUI secara struktural berada di bawah MUI. Sementara kelembagaan DSN sendiri belum secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

C.     Al-Musyarakah 

1.      Pengertian al-musyarakah   

a.  Undang-Undang  No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Akad musyarakah adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan; sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.21[21]

b.  Muhammad Syafi’i Antonio

Pembiayaan musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keutungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.22

[22] 

c.   Jefril Khalil 

Pembiayaan musyarakah adalah akad antara dua orang atau lebih dengan menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang disepakati.23[23]

Berdasarkan beberapa pengertian pembiayaan musyarakah di atas, penulis berpendapat bahwa pembiayaan musyarakah adalah penggabungan modal dari dua orang atau lebih untuk membiayai suatu proyek/usaha, keuntungan akan di bagi berdasarkan proporsi modal; sedangkan bila terjadi kerugian maka akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang tertuang dalam akad/kontrak perjanjian. 

Bila mengamati pembiayaan mudharabah dan musyarakah dalam masyarakat berdasarkan prinsip syariah, maka ditemukan beberapa contoh instrumen pembiayaan syariah yang sangat applicable dengan semangat modal ventura yang sesungguhnya dengan masih mengkaitkan ketiga instrumen pembiayaan modal ventura Indonesia yang ada sekarang. Instrumen pembiayaan syariah tersebut antara lain: Al Musyarakah untuk pendirian usaha atau proyek (dapat disejajarkan dengan instrumen pembiayaan saham), yaitu mencampurkan dana untuk mendirikan usaha atau kontrak proyek dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pemilik modal dalam musyarakah ini adalah dua pihak atau lebih (misalnya venture capital company, pengusaha dan silent partner). Keuntungan atau kerugian usaha atau kontrak proyek dinikmati atau ditanggung bersama-sama sesuai dengan porsi modal atau profit/loss sharing yang ditetapkan dalam kesepakatan/perjanjian awal.

21

22

23

 Produk perbankan syariah berkenaan pembiayaan musyarakah mempunyai implementasi spesifik dalam bentuk saham. Saham dalam pasar modal syariah adalah suatu bukti penyertaan modal dalam suatu perusahaan sampai perusahaan ditutup / dilikuidasi. Adapun prinsip dasar saham secara syariah adalah: (a) bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara private; (b) bersifat mudharabah jika saham ditawarkan pada public; (c) tidak boleh ada pembedaan jenis saham karena risiko harus ditanggung oleh semua pihak; (d) seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan dibagi rugi setelah dilikuidasi; (e) investasi pada saham tidak dapat dicairkan dari usaha atau proyek yang bersangkutan kecuali dalam keadaan bangkrut atau dialihkan lewat jual beli investasi.

Ketentuan umum pembiayaan musyarakah dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.  Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek pembiyaan musyarakah syirkatul milk dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:

1)         Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.

2)         Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.

3)         Memberi pinjaman kepada pihak lain.

4)         Setiap  pemilik  modal   dapat   mengalihkan   penyertaan   atau digantikan oleh pihak lain.

5)         Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila :

a)      Menarik diri dari perserikatan.

b)      Meninggal dunia.

c)      Menjadi tidak cakap hukum.

b.      Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.

c. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank.24[24]

Melalui kontrak musyarakah, dua pihak atau lebih (termasuk Bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah al-inan)25[25] sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya.

24

25

Untuk pembagian keuntungan setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang te!ah ditentukan sebelumnya, sedangkan bila perusahaan merugi, maka kerugian tersebut juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal.

2.   Dasar Hukum Musyarakah

a.      Al-Qur’an

Al-Qur’an, Surah Annisa: 12; Surah  Shaad:24 sebagai berikut.

الثلث شركاءف فهم

 Terjemahnya:

…maka mereka berserikat pada sepertiga…(an-nisa : 12)

Terjemahnya:

“Dan, sesungguhnya kabanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.”(Shaad:24)

Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan  dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surah an-nisa: 12 perkosian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris; Sedangkan dalam surah Shaad: 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari)

b.  Al-hadis 

     Hadis yang diriwayatkan oleh  abu hurairah yang artinya: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfiman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satuhnya tidak mengkhianati lainnya.” (HR Abu Dawud no 2936, dalam kitab al;buyu, dan hakim)

Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya yang melakukan perkongsian selama saling menjujung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.

c. Ijma 

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mugni26[26] telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”

3.      Jenis-jenis al-musyarakah 

Al-musyarakah ada dua jenis: (a) musyarakah pemilikan; dan (b) musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau 

26

lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut; Lain halnya musyarakah akad yang tercipta dengan cara kesepakatan, yaitu dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Musyarakah akad terbagi menjadi: al-inan, al-mufawadah, al-amaal, al-wujuh.

a.       Syirkah al-inan 

Syirkah al-inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.27[27]    

b.  Syirkah Mufawadoh 

Syirkah Mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan bebang utang dibagi oleh masing-masingpihak.28[28]

c. Syirkah A’maal

Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerja sama dua orang penjahit untuk untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-musyarakah abdan atau sanaa’i.29[29] 

d. Syirkah Wujuh 

Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra 30[30] jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai mustarakah piutang .

4.      Aplikasi dalam Pembiayaan Musyarakah   

27

28

29

30

Sebuah usaha dagang membutuhkan modal bernilai Rp 500.000.000. Usaha dimaksud, 3 (tiga) orang  berserikat bermohon ke Bank syariah  untuk mendapatkan modal pembiayaan. Ketiga orang dimaksud, disetujui oleh pihak Bank. Dua orang mendapat pembiayaan masing-masing sehingga menyetor modal Rp 200.000.000 dan seorang lagi mndapat pembiayaan sehingga menyetor uang Rp 100.000.000. Uang dimaksud dijadikan modal untuk berdagang beras. Hasil dagangan dimaksud, selama 6 (enam) bulan mendapatkan keuntungan Rp 10..000.000. Hasil keuntungan dimaksud, dibagi berdasarkan forsi modal, yaitu 2 (dua) orang masing-masing mendapat keuntungan Rp 2.000.000 dan seorang lagi mendapat keuntungan Rp 1.000.000; sedangkan pihak bank (shahibul mal) mendapatkan keuntungan Rp 5.000.000 berdasarkan kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak pengelola dana (mudharib). Hal inilah yang dijadikan contoh musyarakah di satu pihak dan pihak lainnya dapat dijadikan contoh mudharabah

5.      Manfaat al-musyarakah

Manfaat musyarakah dalam pembiayaan sistim perbankan, di antaranya sebagai berikut.

a.       Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat

b.       Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan /hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

c.       Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

d.      Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan mengutungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

e.       Prinsip bagi hasil dalam mudharabah / musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan  sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

SISTEM OPERASIONAL ASURANSI SYARIAH

Didalam ekonomi syariah (muamalah syariah) selain kita mengenal Bank Syariah , Asuransi Syariahpun merupakan bagian daripada muamalah. Asuransi adalah perlindungan suatu nilai ekonomi, nilai ekonomi disini bisa dilihat dari manusia sebagai sumber ekonomi yang dapat menghasilkan uang atau bisa juga barang atau benda yang mempunyai nilai ekonomi seperti rumah, mobil dan lain-lain. Perbedaan mendasar mengapa asuransi syariah sangat disarankan bagi setiap muslim dibandingkan dengan suransi konvensional salah satunya secara substansial asuransi syariah lebih memudahkan dan menguntungkan bagi peserta asuransi . Pada asuransi konvensional akad utamanya adalah jual beli, bila Anda tidak menclaim sampai waktu habis ( jatuh tempo ) maka premi Anda akan hangus . Dari awal akad, ketika premi diserahkan kepada perusahaan asuransi konvensional, maka perusahaan akan mencatatnya sebagai sebuah pendapatan yang akan menjadi penambah keuntungan (laba) pada laporan laba rugi perusahaan asuransi syariah. Premi yang Anda serahkan kepada perusahaan asuransi konvensional sebagai dana penjagaan untuk kejadian tidak

terduga yang mengandung resiko besar untuk hidup Anda bukanlah milik anda tetapi milik perusahaan. Bila kita bayangkan sistem ini mirip seperti tabungan, hanya kalau tabungan kapanpun bisa di ambil, sedangkan premi yang dibayarkan kepada asuransi syariah tidak akan dapat cair sebelum ada claim, tentusaja claim harus sejalan dengan kebenaran akan kejadian yang telah diasuransikan.

Pada Asuransi Syariah akad utamanya adalah tolong menolong. Kita sebagai umat manusia diwajibkan untuk saling tolong menolong atau saling membantu. Hal ini sangat jelas tersurat dalam Qs Al Maidah:2 “…dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”. Ketika ada premi yang dibayarkan, maka peserta telah mengamanahkan perusahaan asuransi syariah untuk mengelola resiko. Atas pengelolaan resiko tersebut maka perusahaan hanya akan mendapatkan fee (ujroh). Premi yang Anda bayar adalah milik Anda, tidak langsung dicatat sebagai pendapatan pada laporan laba/rugi perusahaan asuransi syariah tetapi sebagai dana tabarru ( milik peserta asuransi syariah). Apabila terdapat claim, maka peserta berhak mendapatkan dana tabarru. Karena premi yang dibayarkan akad utamanya adalah tolong menolong maka premi tersebut diakui oleh perusahaan tidak sebagai pendapatan tetapi akan masuk pada Laporan Surplus Defisit Underwriting (LSDU), tidak masuk pada laporan laba/rugi perusahaan. Didalam premi tersebut ada hak (fee) untuk perusahaan maka hak (fee) tersebut akan dicatat sebagai pengurang dana tabarru (beban ujroh). Dan yang masuk dalam laporan laba/rugi perusahaan asuransi syariah adalah pendapatan ujrohnya yang sudah dikurangkan dari premi. Berikut adalah sumber pendapatan Perusahaan Asuransi syariah :

1. Ujroh(fee)

2. Bagi hasil investasi

3. Surplus (premi 1 periode lebih besar dari claim peserta)

4. Modal sendiri

Apabila dana tabarru tersebut tidak mencukupi claim yang diajukan para peserta asuransi syariah maka cara yang pertama adalah dibayarkan dari dana cadangan tabarru periode sebelumnya, apabila masih belum mencukupi maka akan ditalangkan oleh perusahaan asuransi syariah dengan Akaq Qord ( pinjaman tanpa return) dan nantinya akan dikembalikan oleh poeserta dari premi-premi selanjutnya.

Fatwa Umum tentang Asuransi Syariah

Pertama : Ketentuan Umum

1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru‘.

2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;

b. cara dan waktu pembayaran premi;

c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagaimudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal(pemegang polis);

2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi

1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru‘.

2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.

3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru‘ dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

4. Klaim atas akad tabarru‘, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.

2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : ReasuransiAsuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari’ah.

Kesepuluh : Pengelolaan

1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan

1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Mengapa Berasuransi Syariah..?

Menurut Dewan Syariah Nasional, definisi ASURANSI SYARIAH (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta meng-infaq-kan/menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional asuransi dan investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.

Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :

“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”.

Penerapan Wakalah bil Ujroh dalam Perekonomian a.

Wakalah dalam Jual Beli

Dalam praktek jual beli, terkadang pihak penjual maupun pembeli tidak mampu untuk menjual atau membeli sebuah barang sendiri dengan sebab adanya uzur atau halangan tertentu sehingga ia mewakilkannya kepada orang lain yang ia percaya. Seseorang yang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayarannya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil (yang mewakili) tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja. Dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya sehingga dapat terhindar dari adanya ghubun (kecurangan), kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Jika perwakilan bersifat terkait, wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya, kecuali kelebihannya diberikan kepada orang yang mewakilkan. Apabila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut bathil menurut pandangan madzhab Syafi’i. Menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang

yang mewakilkan. Jika yang mewakilkan membolehkannya, maka menjadi sah, bila tidak meridhainya, maka menjadi batal.

Wakalah dalam Asuransi

Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad

Wakalah bil Ujrah

. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad

Wakalah bil Ujrah

ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan.

Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai

Al-Wakil dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil.

(2010). Dalam skema berikut dijelaskan bahwa wakalah bil ujroh dalam dunia perbankan, seorang nasabah dan investor menempati posisi sebagai orang yang mewakilkan (

muwakkil

). Mereka memberikan kepercayaan kepada bank untuk melakukan beberapa transaksi, seperti; transfer uang, pengelola dana, pembiayaan, dan pengelola L/C. Sehingga dalam posisi ini bank menempati kedudukan sebagai

wakil

yang mewakili nasabah dalam mengelola dana dan membantu dalam beberapa pelayanan transaksi keuangan. Beberapa transaksi dalam perbankan yang berkaitan dengan akad

Wakalah dalam Transfer Uang

Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad

Wakalah

, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai

Al-Muwakkil

terhadap bank sebagai

Al-Wakil

untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke

rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini :

a)

Wesel Pos

Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari

Al- Muwakkil

kepada

Al-Wakil

, dan

Al-Wakil

memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju.

b)

Transfer uang melalui cabang suatu bank

INVESTOR MUWAKKIL BANK WAKIL

Dalam proses ini,

Al-Muwakkil

memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan

Al-Wakil

, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut.

c)

Transfer melalui ATM

Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari

Al-Muwakkil

kepada bank sebagai

Al-Wakil

. Dalam model ini, Nasabah

Al-Muwakkil

meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.

2)

Wakalah dalam

Letter of Credit

Impor dan Ekspor Syari’ah

Akad untuk transaksi

Letter of Credit Import Syariah

ini menggunakan akad

Wakalah Bil Ujrah

. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad

Wakalah bil Ujrah

ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. Akad

Wakalah bil Ujrah

dengan ketentuan:a)

Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.

b)

Importir dan Bank melakukan akad

Wakalah bil Ujrah

untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.

c)

Besar

ujrah

harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

Akad

Wakalah bil Ujrah

dan

Qardh

dengan ketentuan:

a)

Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.

b)

Importir dan Bank melakukan akad

Wakalah bil Ujrah

untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.

c)

Besar

ujrah

harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

d)

Bank memberikan dana talangan (

qardh

) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.

Akad

Wakalah bil Ujrah

dan

Mudharabah

, dengan ketentuan:

a)

Nasabah melakukan akad

wakalah bil ujrah

kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.

b)

Bank dan importir melakukan akad

Mudharabah

, dimana bank bertindak selaku

shahibul mal

menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.

Akad

Wakalah bil Ujrah

dan

Hiwalah

, dengan ketentuan:

a)

Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.

b)

Importir dan Bank melakukan akad

Wakalah

untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.

c)

Besar

ujrah

harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.

d)

Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor.

Mengapa Berasuransi Syariah..?

Menurut Dewan Syariah Nasional, definisi ASURANSI SYARIAH (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta meng-infaq-kan/menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional asuransi dan investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.

Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :

“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”

MENGAPA HARUS ASURANSI SYARIAH?

Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (konvensional) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukimnya.

Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang asuransi non syariah (konvensional) yang disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :

1. Pada transaksi asuransi konvensional terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.

2. Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang membeli polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasi’ah.

3. Asuransi ini termasuk jenis perjudian (maysir), karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.

Melihat ketiga hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi konvensional yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh Islam. Asuransi syari’ah dengan prinsip ta’awunnya, dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini.

Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan serta aqad yang sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut juga dengan dana tabarru’) akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar’i dengan berlandaskan prinsip syariah.

Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru’) nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syari’ah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari’ah.

PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL

Ada beberapa perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

Perbedaan tersebut adalah:

1. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari MUI yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.

2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli

3. Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan Wakallah bil Ujrah dan terbebas dari Riba. Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai bagian penempatan investasinya

4. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.

5. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.

6. Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

ASURANSI YANG DIBOLEHKANAssalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Meski sudah memasyarakat dan lazim digunakan orang di seluruh dunia, namun kalau kita mau jujur dengan hati nurani, sebenarnya ada banyak kelemahan dalam asuransi konvensional yang kita kenal. Di antaranya adalah:

a. Asuransi Konvensional Mengandung Unsur-unsur Tidak PastiKetidakpastian yang dimaksud adalah antara peserta dengan perusahaan sama-sama tidak tahu, berapa yang harus dikeluarkan dan berapa yang akan didapat. Bisa jadi seorang peserta asuransi berharap akan bisa mendapat banyak dari klaim, tapi bisa juga tidak mendapat apa-apa.Akad ini berarti mengandung jahalah yang diharamkan dalam agama. Di mana penjual dengan pembeli sama-sama tidak tahu keuntungan dan kerugian masing-masing. Karena masih sangat bergantung dengan banyak kejadian.

b. Premi Diputar dalam Investasi dengan Sistem RibawiPerusahaan asuransi konvensional membenamkan dananya dengan sistem ribawi. Uang premi yang terkumpul dari peserta akan diinvestasikan dengan cara haram. Karena itu hasilnya pun merupakan uang riba yang haram juga.Bila peserta asuransi mengajukan klaim, tentu saja uang hasil klaim itu bersumber dari investasi ribawi.

c. Asuransi konvensional termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai

d. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir AllahSehingga dengan segala kekurangan ini, banyak ulama yang mengharamkan kesertaan kita dalam perusahaan asuransi konvensional. Sebab asuransi yang begini lebih dekat kepada sebuah perjudian.

Sebagai alternatif dan solusi yang jitu, cerdas dan sesuai syariah, sebaiknya kita mengikuti program asuransi yang resmi menggunakan sistem syariah. Sebab asuransi syariah ini sudah dikaji secara mendalam oleh para ulama, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta sudah difatwakan kehalalannya.Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama:1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sehingga tidak mengenal premi melainkan infaq atau sumbangan. Dan sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali.Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudhorobah bukan riba.2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).3. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba. Sebab perusahaan asuransi diharamkan berinvestasi dengan cara konvensional yang ribawi. Hanya boleh menggunakan sistem syariah, yaitu bagi hasil.Selain itu jenis usahanya pun harus dipilih yang halal, tidak boleh misalnya untuk pabrik minuman keras, rokok, usah hiburan maksiat dan sebagainya.4. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.