Migas

34
Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara. Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba. Pada umumnya sisa-sisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara. Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting. PENYUSUN BATUBARA Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll.

Transcript of Migas

Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan

organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara

terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu

daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut

yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang

kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.

Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan

juga bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal

ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba.

Pada  umumnya sisa-sisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan,

ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa.

Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara

tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama,

sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan

asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang

mempengaruhi kematangan suatu batubara.

Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi

tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut)

umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan

batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya

batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat

didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada,

mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi

berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi,

yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat

menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain

melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan

pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi

pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa

tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon,

alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari

mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.

 

PENYUSUN BATUBARA

Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan

ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam

penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik

yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari

polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan

penyusunnya.

Lignin

Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam

merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan

molekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya

dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis

tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai

susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan

polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol.

Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin

merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.

Karbohidrat

Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung

antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul

sebagai kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk

siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida,

ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun

batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak

mengandung  polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan

membentuk batubara.

Protein

Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu

hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada

umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida.

Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.

 

Material Organik Lain

Resin

Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka

pada batangnya.

Tanin

Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian

batangnya.

Alkaloida

Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun

batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul

dalam bentuk rantai.

Porphirin

Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole.

Porphirin biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat

cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur

porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai marker yang sangat

penting untuk mendeterminasi perkembangan dari proses coalifikasi.

Hidrokarbon

Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen

kartenoid. Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan

sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi

material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini menandakan bahwa

struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak adanya

perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.

Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)

Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya

material inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat

dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral

eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang berasal dari

tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam lapisan

batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa

dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun

bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.

 

PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA

Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa

material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama,

mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai

macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses

pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.

 

Pembentukan Lapisan Source

Teori Rawa Peat (Gambut) – Autocthon

Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi

sisa-sisa tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam

suatu area yang sama. Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu

geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara

yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut dengan

berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak

mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya

kandungan mineral dalam batubara.

Teori Transportasi – Allotocton

Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari

degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan

rawa peat, melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul

didalam lingkungan aqueous seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini

menjelaskan bahwa terjadi proses yang berbeda untuk setiap jenis batubara

yang berbeda pula.

Proses Geokimia dan Metamorfosis

Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam

proses. Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi

temperatur dan tekanan yang normal dan juga melibatkan proses biokimia.

Hasilnya adalah proses pembentukan batubara akan terjadi, dan bahkan akan

terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini adalah peat,

atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses biokimia

mendominasi, yang mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen. Setelah

tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya didominasi oleh proses

fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan tekanan.

Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan temperatur akan

mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan

menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme (temperatur dan

tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada suatu kedalaman

tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus didalam waktu

dalam skala waktu geologi.

HETEROATOM DALAM BATUBARA

Heteroatom dalam batubara  bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan)

dan berasal dari luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan.

Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 – 1,5 %

w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses

pembentukan batubara.

Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 % w/w terdapat pada lignit

atau 1,5 – 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material

penyusun tumbuhan yang terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen

yang terjadi pada saat kontak lapisan source dengan oksigen di udara terbuka

atau air pada saat terjadinya sedimentasi.

Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 % w/w yang

muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnya

muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal dari

berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah, sulfurnya

berasal material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara

dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut.

Proses Pemfosilan atau Fosilisasi beserta penjelasan TRACE FOSSIL

A.      Pengertian Fosil

Fosil, dari bahasa Latin fossa yang berarti "menggali keluar dari dalam tanah”. Fosil adalah semua sisa, jejak, ataupun cetakan dari manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang telah terawetkan dalam suatu endapan batuan dari masa geologis atau prasejarah yang telah berlalu.

Fosil mahluk hidup terbentuk ketika mahluk hidup pada zaman dahulu (lebih dari 11.000 tahun) terjebak dalam lumpur atau pasir dan kemudian jasadnya tertutup oleh endapan lumpur. Endapan lumpur tersebut akan mengeras menjadi batu di sekeliling mahluk hidup yang terkubur tersebut.

Dari fosil yang ditemukan, yang paling banyak jumlahnya adalah yang sangat lembut ukurannya seperti serbuk sari, misalnnya foraminifera, ostracoda dan radiolarian. Sedangkan, hewan yang besar biasanya hancur bercerai-cerai dan bagian tertentu yang ditemukan sebagai fosil.

Bentuk fosil ada dua macam yaitu fosil cetakan dan jejak fosil. Fosil cetakan terjadi jika kerangka mahluk hidup yang terjebak di endapan lumpur meninggalkan bekas (misalnya tulang) pada endapan tersebut yang membentuk cetakan. Jika cetakan tersebut berisi lagi dengan endapan lumpur maka akan terbentuk jejak fosil persis seperti kerangka aslinya.Berdasarkan ukurannya, jenis fosil dibagi menjadi :

a. Macrofossil (Fosil Besar) , dipelajari tanpa menggunakan alat bantu

b. Microfossil (Fosil Kecil), dipelajari dengan alat bantu mikroskop

c. Nannofossil  (Fosil Sangat kecil),  dipelajari menggunakan batuan mikroskop khusus (dengan pembesaran

hingga 1000x) 

Kegunaan Fosil :  Untuk mengidentifikasi unit-unit strartigrafi permukaan bumi, atau untuk mengidentifikasi umur relatif clan posisi

relatif batuan yang mengandung fosil. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan mempelajari fosil indeks. Persyaratan bagi sutau fosil untuk dapat dikategorikan sebagai fosil indeks adalah : (a). terdapat dalam jumlah

yang melimpah dan mudah diidentifikasi; dan (b). memiliki distribusi horizontal yang luas, tetapi dengan distribusi vertikal yang relatif pendek (kurang lebih 1 juta tahun).

  Menjadi dasar dalam mempelajari paleoekologi dan paleoklimatologi. Struktur dan distribusi fosil diasumsikan dapat mencerminkan kondisi lingkungan tempat tumbuhan tersebut tumbuh dan bereproduksi.

  Untuk mempelajari paleofloristik, atau kumpulan fosil tumbuhan dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Hal ini dapat memberikan gambaran mengenai distribusi populasi tumbuhan dan migrasinya, sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan masa lampau.

  Menjadi dasar dalam mempelajari evolusi tumbuhan yaitu dengan cara mempelajari perubahan suksesional tumbuhan dalam kurun waktu geologi.

Persyaratan terbentuknya fosil:

1.  adanya badan air

2.  adanya   sumber   sedimen   anorganik   dalam  bentuk   partikel   atau senyawa terlarut

3.  adanya bahan tumbuhan atau hewan (yang akan menjadi fosil)

B.      Proses Pemfosilan atau Fosilisasi

Fosilisasi merupakan proses penimbunan sisa-sisa hewan atau tumbuhan yang terakumulasi dalam

sedimen atau endapan-endapan baik yang mengalami pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun

jejaknya saja. Terdapat beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain:

         Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras

         Mengalami pengawetan

         Terbebas dari bakteri pembusuk

         Terjadi secara alamiah

         Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit

         Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

Kendala pemfosilan yaitu saat organism mati (bangkai) dimakan oleh organism lain atau terjadi

pembusukan oleh bakteri pengurai.

Suatu contoh tempat yang mendukung terjadinya proses fosilisasi adalah delta sungai, dasar danau,

atau danau tapal kuda (oxbow lake) yang terjadi dari putusnya suatu meander.

Bahan -bahan yang berperan dalam fosilisasi, diantaranya :

1.       Pertrifaksi, berubah menjadi batu oleh adanya bahan-bahan : silika, kalsiumkarbonat, FeO, MnO dan FeS.

Bahan itu masuk dan mengisi lubang serta pori dari hewan atau tumbuhan yang telah mati sehingga menjadi

keras/membatu menjadi fosil.

2.       Proses Destilasi, tumbuhan atau bahan organik lainnya yang telah mati dengan cepat tertutup oleh lapisan

tanah.

3.       Proses Kompresi, tumbuhan tertimbun dalam lapisan tanah, maka air dan gas yang terkandung dalam bahan

organic dari tumbuhan itu tertekan keluar oleh beratnya lapisan tanah yang menimbunnya. Akibatnya, karbon

dari tumbuhan itu tertinggal dan lama kelamaan akan menjadi batubara, lignit dan bahan bakar lainnya.

4.       Impresi, tanda fosil yang terdapat di dalam lapisan tanah sedangkan fosilnya sendiri hilang.

5.       Bekas gigi, kadang-kadang fosil tulang menunjukan bekas gigitan hewan carnivore atau hewan pengerat.

6.       Koprolit, bekas kotoran hewan yang menjadi fosil.

7.       Gastrolit, batu yang halus permukaannya ditemukan di dalam badan hewan yang telah menjadi fosil.

8.       Liang di dalam tanah, dapat terisi oleh batuan dan berubah sebagai fosil, merupakan cetakan.

9.       Pembentukan Kerak, hewan dan tumbuhan terbungkus oleh kalsiumkarbonat yang berasal dari travertine

ataupun talaktit.

10.   Pemfosilan di dalam Tuff, pemfosilan ini jarang terjadi kecuali di daerah yang berudara kering sehingga bakteri

pembusuk tidak dapat terjadi.

11.   Pemfosilan dengan cara pembekuan, hewan yang mati tertutup serta terlindung lapisan es dapat membeku

dengan segera. Oleh karena dinginnya es maka tidak ada bakteri pembusuk yang hidup dalam bangkai tersebut.C.      Fosil hidup

Istilah “fosil hidup” adalah istilah yang digunakan suatu spesies hidup yang menyerupai sebuah spesies yang hanya diketahui dari fosil. Beberapa fosil hidup antara lain ikan coelacanth dan pohon ginkgo. Fosil hidup juga dapat mengacu kepada sebuah spesies hidup yang tidak memiliki spesies dekat lainnya atau sebuah kelompok kecil spesies dekat yang tidak memiliki spesies dekat lainnya. Contoh dari kriteria terakhir ini adalah nautilus.

D.      Jenis Fosil

1.       Organisme itu sendiri (Fosil yang dihasilkan dari organisme itu sendiri)

                Tipe pertama ini adalah binatangnya itu sendiri yang terawetkan/tersimpan. Dapat beruba tulangnya,

daun-nya, cangkangnya, dan hampir semua yang tersimpan ini adalah bagian dari tubuhnya yang “keras”. Dapat

juga berupa binatangnya yang secara lengkap (utuh) tersipan. misalnya Fosil Mammoth yang terawetkan karena

es, ataupun serangga yang terjebak dalam amber (getah tumbuhan).

Petrified wood atau fosil kayu dan juga mammoths yang terbekukan, and juga mungkin anda pernah

lihat dalam filem berupa binatang serangga yang tersimpan dalam amber atau getah tumbuhan. Semua ini biasa

saja berupa asli binatang yang tersimpan.

2.       Sisa-sisa aktifitasnya (Trace Fossil)

Secara mudah pembentukan fosil ini dapat melalui beberapa jalan, antara lain seperti yang terlihat

dibawah ini. Fosil sisa aktifitasnya sering juga disebut dengan Trace Fosil (Fosil jejak), karena yang terlihat

hanyalah sisa-sisa aktifitasnya. Jadi ada kemungkinan fosil itu bukan bagian dari tubuh binatang atau tumbuhan

itu sendiri.

Penyimpanan atau pengawetan fosil cangkang ini dapat berupa cetakan. Namun cetakan tersebut

dapat pula berupa cetakan bagian dalam (internal mould) dicirikan bentuk permukaan yang halus, atau external

mould dengan ciri permukaan yang kasar. Keduanya bukan binatangnya yang tersiman, tetapi hanyalah cetakan

dari binatang atau organisme itu.

Trace fossil adalah suatu struktur berupa track, trall, burrow, tube, borring, yang terawaetkan sebagai

fosil organisme.

Kelebihan trace fossil dengan fosil kerangka :

1.       Trace fossil biasanya terawetkan pada lingkungan yang berlawanan dengan pengendapan fosil kerangka

misalnya perairan dangkal dengan energy tinggi, batu pasir laut dangkal dan batu lanau laut.

2.       Trace fossil tidak dipengaruhi oleh diagenesa bahkan diperjelas secara visual oleh proses diagenesa.

E.       PROSES YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA FOSIL

1.       Histometabasis, Penggantian sebagian tubuh fosil tumbuhan dengan pengisian mineral lain (cth : silika) dimana

fosil tersebut diendapkan

2.       Permineralisasi , Histometabasis pada binatang

3.       Rekristalisasi, Berubahnya seluruh/sebagian tubuh fosil akibat P & T yang tinggi, sehingga molekul-molekul

dari tubuh fosil (non-kristalin) akan mengikat agregat tubuh fosil itu sendiri menjadi kristalin

4.       Replacement/Mineralisasi/Petrifikasi, Penggantian seluruh bagian fosil dengan mineral lain

5.       Dehydrasi/Leaching/Pelarutan

6.       Mold/Depression, Fosil berongga dan terisi mineral lempung

7.       Trail & Track

                Trail : cetakan/jejak-jejak kehidupan binatang purba yang menimbulkan kenampakan yang lebih halus

                Track : sama dengan trail, namun ukurannya lebih besar

                Burrow :  lubang-lubang tempat tinggal yang ditinggalkan binatang purba.

Borring : lubang pemboran

Tube : struktur fosil berupa pipa     

Proses Pembentukkan MigasProses Pembentukan Minyak Bumi Dan Gas AlamMinyak bumi adalah hasil pelapukan fosil-fosil  tumbuhan dan hewan pada jutaan tahun yang lalu. Organisme-organisme tersebut ,membusuk oleh mikroorganisme dan kemudian terkubur dalam lapisan kulit bumi. Maka setelah jutaan tahun kemudian, material tersebut berubah menjadi minyak yang terkumpul dalam pori-pori batu kapur atau batu pasir karena tekanan dan suhu yang tinggi. Minyak Bumi terbentuk perlahan-lahan bergerak ke atas atau biasa disebut dengan prinsip kapilaritas, minyak bumi oleh karena pori-pori batu kapur bersifat kapiler. Proses terkumpulnya minyak bumi dalam suatu tempat dapat terjadi ketika gerakan tersebut terhalang oleh batuan yang tidak berpori.Teori proses terbentuknya minyak dan gas bumiTeori Biogenetik (Teori Organik)Menurut Teori Biogenitik (Organik), disebutkan bahwa minyak bumi dan gas alam terbentuk dari berbagai macam binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mati dan tertimbun di bawah endapan Lumpur. Arus sungai akan menghanyutkan endapan lumpur tersebut menuju laut. Endapan lumpur yang terbuat dari berbagai macam binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mati tadi mengendap dan terakumuliasi di dasar lautan dan tertutup lumpur dalam jangka waktu ribuan dan bahkan jutaan tahun. Maka binatang serta tumbuh-tumbuhan yang mati tersebut berubah menjadi bintik-bintik dan gelembung minyak atau gas akibat pengaruh waktu, temperatur tinggi, dan tekanan lapisan batuan di atasnya.Teori AnorganikMenurut Teori Anorganik, minyak bumi dan gas alam terbentuk akibat aktivitas bakteri. Unsur-unsur oksigen, belerang, dan nitrogen dari zat-zat organik yang terkubur akibat adanya aktivitas bakteri berubah menjadi zat seperti minyak yang berisi hidrokarbon.Teori DuplexTeori Duplex adalah gabungan dari Teori Biogenetik dan Teori Anorganik. Menurut Teori Duplex diperkirakan bahwa minyak bumi berasal dari materi organisme hewani dan gas bumi berasal dari materi organime nabati.Endapan Lumpur berubah menjadi batuan sedimen akibat pengaruh waktu, temperatur, dan tekanan. Batuan lunak yang berasal dari Lumpur yang mengandung bintik-bintik minyak dikenal

sebagai batuan induk (Source Rock). Minyak dan gas ini akan terakumulasi di tempat tertentu yang disebut dengan perangkap (Trap) yang bertekanan lebih rendah dari tempat sebelumnya.Dalam suatu perangkap (Trap) dapat mengandung Minyak, gas dan air. Karena perbedaan berat jenis, maka gas selalu berada di atas, minyak di tengah, dan air di bagian bawah. Jika gas terdapat bersama-sama dengan minyak bumi disebut dengan Associated Gas. Sedangkan jika gas terdapat sendiri dalam suatu perangkap disebut Non Associated Gas.Penggunaan Minyak Bumi Dan Gas Alam :Bahan bakar gasNaptha atau Petroleum eter, sebagai bahan pelarut.Gasolin (bensin), sebagai bahan bakar.Kerosin (minyak tanah), biasa sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga.Minyak solar atau minyak diesel, sebagai bahan bakar untuk mesin diesel.Minyak pelumas, sebagai lubrikasi mesin-mesin.Residu minyak bumiyang terdiri dari :

Parafin , digunakan dalam proses pembuatan obat-obatan, kosmetika, tutup botol, industri tenun menenun, korek api, lilin batik, dan lain-lain. Aspal , sebagai pengeras atau perekat.

PROSES PEMBENTUKAN MIGASAda tiga faktor utama dalam pembentukan minyak dan/atau gas bumi, yaitu :

Pertama, ada “bebatuan asal” (source rock) yang secara geologis memungkinkan terjadinya

pembentukan minyak dan gas bumi.

Kedua, adanya perpindahan (migrasi) hidrokarbon dari bebatuan asal menuju ke “bebatuan

reservoir” (reservoir rock), umumnyasandstone ataulimestone yang berpori-pori (porous)

dan ukurannya cukup untuk menampung hidrokarbon tersebut.

Ketiga, adanya jebakan (entrapment) geologis. Struktur geologis kulit bumi yang tidak

teratur bentuknya, akibat pergerakan dari bumi sendiri (misalnya gempa bumi dan erupsi

gunung api) dan erosi oleh air dan angin secara terus menerus, dapat menciptakan suatu

“ruangan” bawah tanah yang menjadi jebakan hidrokarbon. Kalau jebakan ini dilingkupi oleh

lapisan yangimpermeable, maka hidrokarbon tadi akan diam di tempat dan tidak bisa

bergerak kemana-mana lagi. Temperatur bawah tanah, yang semakin dalam semakin tinggi,

merupakan faktor penting lainnya dalam pembentukan hidrokarbon. Hidrokarbon jarang

terbentuk pada temperatur kurang dari 65°C dan umumnya terurai pada suhu di atas 260°C.

Hidrokarbon kebanyakan ditemukan pada suhu moderat, dari 107° ke 177°C.

Apa saja Komponen Pembentuk Minyak Bumi?

Minyak bumi merupakan campuran rumit dari ratusan rantai hidrokarbon, yang umumnya

tersusun atas 85% karbon (C) dan 15% hidrogen (H). Selain itu, juga terdapat bahan organik

dalam jumlah kecil dan mengandung oksigen (O), sulfur (S) atau nitrogen (N). Apakah ada

perbedaan dari jenis-jenis minyak bumi ?. Ya, ada 4 macam yang digolongkan menurut umur

dan letak kedalamannya, yaitu:young-shallow,old-shallow,young-deep danold-deep. Minyak

bumiyoung-shallow biasanya bersifat masam (sour), mengandung banyak bahan aromatik,

sangat kental dan kandungan sulfurnya tinggi. Minyakold-shallow biasanya kurang kental,

titik didih yang lebih rendah, dan rantai paraffin yang lebih pendek.Old-deep membutuhkan

waktu yang paling lama untuk pemrosesan, titik didihnya paling rendah dan juga

viskositasnya paling encer. Sulfur yang terkandung dapat teruraikan menjadi H2S yang

dapat lepas, sehinggaold-deep adalah minyak mentah yang dikatakan paling “sweet”.

Minyak semacam inilah yang paling diinginkan karena dapat menghasilkan bensin (gasoline)

yang paling banyak.

Berapa Lama Waktu yang Diperlukan untuk Membuat Minyak Bumi?

Sekitar 30-juta tahun di pertengahan jaman Cretaceous, pada akhir jaman dinosaurus, lebih

dari 50% dari cadangan minyak dunia yang sudah diketahui terbentuk. Cadangan lainnya

bahkan diperkirakan lebih tua lagi. Dari sebuah fosil yang diketemukan bersamaan dengan

minyak bumi dari jaman Cambrian, diperkirakan umurnya sekitar 544 sampai 505-juta tahun

yang lalu. Para geologis umumnya sependapat bahwa minyak bumi terbentuk selama jutaan

tahun dari organisme, tumbuhan dan hewan, berukuran sangat kecil yang hidup di lautan

purba. Begitu organisme laut ini mati, badannya terkubur di dasar lautan lalu tertimbun

pasir dan lumpur, membentuk lapisan yang kaya zat organik yang akhirnya akan menjadi

batuan endapan (sedimentary rock). Proses ini berulang terus, satu lapisan menutup lapisan

sebelumnya. Lalu selama jutaan tahun berikutnya, lautan di bumi ada yang menyusut atau

berpindah tempat. Deposit yang membentuk batuan endapan umumnya tidak cukup

mengandung oksigen untuk mendekomposisi material organik tadi secara komplit. Bakteri

mengurai zat ini, molekul demi molekul, menjadi material yang kaya hidrogen dan karbon.

Tekanan dan temperatur yang semakin tinggi dari lapisan bebatuan di atasnya kemudian

mendistilasi sisa-sisa bahan organik, lalu pelan-pelan mengubahnya menjadi minyak bumi

dan gas alam. Bebatuan yang mengandung minyak bumi tertua diketahui berumur lebih dari

600-juta tahun. Yang paling muda berumur sekitar 1-juta tahun. Secara umum bebatuan

dimana diketemukan minyak berumur antara 10-juta dan 270-juta tahun.

Bagaimana Caranya Menemukan Minyak Bumi?

Ada berbagai macam cara : observasi geologi, survei gravitasi, survei magnetik, survei

seismik, membor sumur uji, atau dengan educated guess dan faktor keberuntungan. 

Survei gravitasi : metode ini mengukur variasi medan gravitasi bumi yang disebabkan

perbedaan densitas material di struktur geologi kulit bumi. Survei magnetik : metode ini

mengukur variasi medan magnetik bumi yang disebabkan perbedaan properti magnetik dari

bebatuan di bawah permukaan. Kedua survei ini biasanya dilakukan di wilayah yang luas

seperti misalnya suatu cekungan (basin). Dari hasil pemetaan ini, baru metode seismik

umumnya dilakukan. Survei seismik menggunakan gelombang kejut (shock-wave) buatan

yang diarahkan untuk melalui bebatuan menuju target reservoir dan daerah sekitarnya. Oleh

berbagai lapisan material di bawah tanah, gelombang kejut ini akan dipantulkan ke

permukaan dan ditangkap oleh alatreceivers sebagai pulsa tekanan (olehhy dr ophone di

daerah perairan) atau sebagai percepatan (olehgeophone di darat). Sinyal pantulan ini lalu

diproses secara digital menjadi sebuah peta akustik bawah permukaan untuk kemudian

dapat diinterpretasikan.

Aplikasi Metode Seismik:

Tahap eksplorasi : untuk menentukan struktur dan stratigrafi endapan dimana sumur nanti akan digali.

Tahap penilaian dan pengembangan : untuk mengestimasi volume cadangan hidrokarbon dan untuk menyusun rencana pengembangan yang paling baik. 

Pada fase produksi : untuk memonitor kondisi reservoir, seperti menganalisis kontak antar fluida reservoir (gas-minyak-air), distribusi fluida dan perubahan tekanan reservoir.

Setelah mengevaluasi reservoir, selanjutnya tahap mengembangkan reservoir. Yang pertama

dilakukan adalah membangun sumur (well-construction) meliputi pemboran (drilling),

memasang tubular sumur (casing) dan penyemenan (cementing). Lalu prosescompletion

untuk membuat sumur siap digunakan. Proses ini meliputi perforasi yaitu pelubangan

dinding sumur; pemasangan seluruh pipa-pipa dan katup produksi beserta asesorinya untuk

mengalirkan minyak dan gas ke permukaan; pemasangan kepala sumur (wellhead atau

chrismast tree) di permukaan; pemasangan berbagai peralatan keselamatan, pemasangan

pompa kalau diperlukan, dsb. Jika dibutuhkan, metode stimulasi juga dilakukan dalam fase

ini. Selanjutnyawell-evaluation untuk mengevaluasi kondisi sumur dan formasi di dalam

sumur. Teknik yang paling umum dinamakanlogging yang dapat dilakukan pada saat sumur

masih dibor ataupun sumurnya sudah jadi.

Beberapa Macam Jenis Sumur:

Di dunia perminyakan umumnya dikenal tiga macam jenis sumur : Pertama, sumur eksplorasi

(sering disebut jugawildcat) yaitu sumur yang dibor untuk menentukan apakah terdapat

minyak atau gas di suatu tempat yang sama sekali baru. Jika sumur eksplorasi menemukan

minyak atau gas, maka beberapa sumur konfirmasi (confirmation well) akan dibor di

beberapa tempat yang berbeda di sekitarnya untuk memastikan apakah kandungan

hidrokarbonnya cukup untuk dikembangkan. Ketiga, sumur pengembangan (development

well) adalah sumur yang dibor di suatu lapangan minyak yang telah eksis. Tujuannya untuk

mengambil hidrokarbon semaksimal mungkin dari lapangan tersebut

Istilah persumuran lainnya :  Sumur produksi : sumur yang menghasilkan hidrokarbon, baik minyak, gas ataupun keduanya. Aliran fluida dari bawah ke atas. 

Sumur injeksi : sumur untuk menginjeksikan fluida tertentu ke dalam formasi (lihat Enhanced Oil Recovery di bagian akhir). Aliran fluida dari atas ke bawah. 

Sumur vertikal : sumur yang bentuknya lurus dan vertikal. 

Sumur berarah (deviated well, directional well) : sumur yang bentuk geometrinya tidak lurus vertikal, bisa berbentuk huruf S, J atau L. 

Sumur horisontal : sumur dimana ada bagiannya yang berbentuk horisontal. Merupakan bagian dari sumur berarah

Apa yang dimaksud dengan Rig? Apasaja Jenis2nya?

Rig adalah serangkaian peralatan khusus yang digunakan untuk membor sumur atau

mengakses sumur. Ciri utama rig adalah adanya menara yang terbuat dari baja yang

digunakan untuk menaik- turunkan pipa-pipa tubular sumur.

Umumnya, rig dikategorikan menjadi dua macam menurut tempat beroperasinya :  Rig darat (land-rig) : beroperasi di darat. 

Rig laut (offshore-rig) : beroperasi di atas permukaan air (laut, sungai, rawa-rawa, danau atau delta sungai).

PROSES FOSILISASI PADA MAHLUK HIDUP

Kamis, Februari 09, 2012  Evolusi  No comments

Batuan sedimen terbentuk dari lapisan mineral yang mengendap dan memisah dari air. Pasir dan endapan

lumpur yang sudah lapuk dan tererosi dari tanah dibawah ke sungai menuju ke laut atau rawa, di mana bagian

sedimen tersebut akan mengendap ke bagian dasar. Sedimen akan menumpuk dan menekan endapan yang

lebih tua untuk menjadi batu. Ketika ada kehidupan yang dia air atau organisme darat yang terbawa dari ke

lautan atau rawa itu mati, maka organisme tersebut akan terendapkan bersama-sama dengan sedimen dan akan

terawetkan menjadi fosil. Fosil berasal dari bahasa latin, yakni fossa yang artinya “menggali keluar dari dalam

tanah”. Sementara pengertian fosil dalam istilah paleontologi adalah sisa-sisa atau jejak-jeak makhluk hidup

yang terawetkan dari organisme di masa lampau yang berupa menjadi batu atau mineral, sehingga

menghasilkan dokumen biologis yang berupa catatan fosil – fossil record (Adamek, 2011; Campbell et al, 2009).

Catatan fosil merupakan susunan teratur di mana fosil mengendap dalam lapisan, atau strata, pada batuan

sedimen yang menandai berlalunya waktu geologis. Fossil record memiliki data yang tidak lengkap. Hal ini

dikarenakan banyaknya di periode masa lalu namun tidak diimbangi dengan proses sedimentasi (Futuyma,

2006). Fosil digunakan untuk mencari jejak kehidupan masa lalu. Fosil ini tidak hanya sisa-sisa organisme yang

sebenarnya, seperti gigi, tulang, kerang, dan daun (fosil tubuh), tetapi juga hasil dari aktivitas mereka, seperti

liang dan sidik jari kaki (jejak fosil), dan senyawa organik yang mereka hasilkan oleh proses biokimia (fosil kimia).

Bahkan kadang-kadang, struktur anorganik juga dihasilkan lewat jejak kehidupan, yang dikenal dengan

pseudofossils (Willis&Thomas, 2010).

PENENTUAN UMUR FOSIL

Salah satu penentuan umur fosil adalah dengan menggunakan metode radiometric dating. Metode ini paling

sering dipakai untuk menentukan fosil dengan cara menentukan umur batuan dan fosil pada skala waktu absolut.

Fosil mengandung isotop unsur yang terakumulasi dalam organisme ketika masih hidup. Karena setiap isotop

radioaktif memiliki laju peluruhan yang sudah tetap, isotop itu dapat digunakan untuk menentukan umur suatu

spesimen. Waktu paruh (half-life) suatu isotop, yaitu jumlah rentang waktu yang diperlukan untuk meluruhkan

50% dari sampel awal. Sebagai contoh karbon-14 memiliki waktu paruh sebesar 5600-5730 tahun, yang

merupakan suatu laju peluruhan yang efektif untuk menentukan umur fosil yang relatif muda. Sebagai contoh

ketika suatu organisme tersebut masih hidup, organisme tersebut mengasimilasi isotop yang berbeda , salah

satunya karbon-14. Setelah organisme tersebut mati maka karbon-14 tersebut tersimpan dan akan meluruh

sesuai dengan lama fosil tersebut (Gambar 1). Sementara untuk isotop yang lebih lama bisa menggunakan

uranium-238, yang memiliki waktu paruh 4,5 miliar tahun (Campbell et al, 2009; Erickson, 2000).

Gambar 1. Siklus karbon-14. Sinar kosmik menumbuk atmosfer dan

melepaskan neutron yang selanjutnya neutron tersebut akan menumbuk atom nitrogen untuk menghasilkan karbon-14 yang

selanjutnya akan diambil oleh organisme (Erickson, 2000).

MEKANISME FOSILISASI

Untuk memahami proses fosilisasi, maka salah satu ilmu yang mempelajari tentang proses fosilisasi disebut

dengan taphonomy. Ilmu ini memahami mekasnisme perubahan mulai dari kehidupan (life), kematian (death),

pengawetan (preservation), ketahanan (survival), dan penemuan (discovery) dari suatu organisme

(Fastovsky&Weishampel, 1996; Nedin, 1998). Dalam studi tentang mekanisme fosilisasi, maka proses tersebut

dimulai ketika organisme tersebut sudah mati dan akan terawetkan melalui sedimentasi (Gambar 2). Adapun

tipe-tipe pengawetan fosil adalah permineralization, recrystallization, replacement, unaltered, bioimmuration dan

carbonization (Gambar 3). Permineralization merupakan tipe pengawetan dimana setelah organisme terekubur,

maka bagian tubuhnya akan digantikan oleh mineral melalui ruang-ruang dalam organisme tersebut. Sementara

recrystallization merupakan pengawetan dimana bagian tubuhnya digantikan oleh kristal seperti hydroxy apatite,

aragonite, dan calcite. Tipe yang lain adalah replacement yang mana bagian dari tubuh organisme digantikan

oleh mineral lain. Unaltered merupakan tipe fosil yang mana bagian dari fosil tersebut masih menyisakan mineral

aslinya seperti tulang. Dan bioimmuration adalah tipe fosil dimana bahan yang akan mengisi bagian organisme

tersebut masih tercampur dengan bagian tubuh organisme tersebut seperti tulang atau cangkang. Dan

carbonization banyak ditemukan pada tanaman ketika tanaman tersebut banyak mengandung unsur karbon

seperti karbohidrat dan dalam bentuk fosil berwarna kehitaman akibat proses penguraian yang dilakukan bakteri

kekurangan oksigen dan berada pada tekanan yang tinggi (Fastovsky& Weishampel, 1996; Stearn et al., 1989;

Taylor, 1990).

Gambar 2. (a) Suatu perairan mengalami sedimentasi akibat erosi dari sungai. Dan ketika ada organisme yang mati (b) maka akan tersedimentasi dan membentuk fosil dan selanjutnya sedimentasi masih berlanjut sehingga ketika ada organisme yang mati lagi (c), maka akan tersedimentasi dan terbentuklah lapisan sedimen dengan berbgai macam jenis fosil yang bebeda umurnya (sumber: www.tutorvista.com).

Gambar 3. Gambar model pengawetan pada fosi(a) Fosil permineralization dari spesies trilobita; (b) Fosilrecrystallization dari

spesies Matmor scleractinian; (c) Fosil replacement dari Coral; (d) Fosil unaltered dari gigi geraham Mammoth;

(e) Fosil bioimmuration dari spesies Catellocaula; (f) Fosil carbonization dari spora Paku Trigonocarpus sp.

SYARAT TERJADINYA FOSILISASI

Untuk menjadi fosil, maka organisme harus mengalami beberapa persyatan antara lain:

1. Organisme yang mati harus segera terkubur agar terhindar dari kerusakan akibat pembusukan atau agen

pelapukan seperti angin atau perubahan suhu (McCarthy&Rubidge, 2005).

2. Organisme yang terkubur dalam keadaan anaerob agar bakteri aerobik tidak bisa membusukkan akibat

kekurangan oksigen seperti daerah rawa-rawa (Allison, 1988).

3. Mengandung bagian-bagian yang keras yang masih bisa dipertahankan (Martin, 1999).

TIPE-TIPE FOSIL

1.Fosil Amber

Amber adalah getah pohon atau resin yang telah membatu yang mengandung senyawa terpen yang mudah

menguap, sehingga ketika ada organisme yang terperangkap maka akan terawetkan dengan sempurna menjadi

fosil (Weitschat & Wichard, 2002).

2.Fosil Jejak (Ichnofossils)

Fosil jejak merupakan rekaman dari aktivitas suatu organisme. Fosil jejak merepresentasikan aktivitas yang

terjadi ketika organisme tersebut masih hidup. Fosil jejak dapat berupa tracks (tapak), trail (jejak tubuh), boring

(lubang), burrows (liang), eggshells (cangkang telur), nests (sarang burung), coprolites (fosil kotoran), dan

gastroliths (Lockley & Meyer, 2000; Prothero, 1998).

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Lantai hutan merupakan tempat terjadinya pembusukkan. Dekomposisi atau

pembusukkan adalah proses ketika makhluk-makhluk pembusuk seperti jamur dan

mikroorganisme pengurai tumbuhan dan hewan yang mati dan mendaur ulang

material-material serta nutrisi-nutrisi yang berguna. Kawasan hutan dengan serasah

yang menutupi tanah diareal itu berfungsi sebagai spons yang akan menahan air

hujan dan melepaskannya secara perlahan. Air hujan yang tertahan diserasah ini lalu

meresap kedalam tanah (Wikipedia, 2008).

            Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-

organisme yang telah mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan

yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi

(Arisandi, 2002). Dekomposisi serasah adalah salah satu dari tingkatan proses

terpenting daur biogeokimia dalam ekosistem hutan (Hardiwinoto dkk., 1994).

Menurut Wikipedia serasah yaitu tumpukan dedaunan kering, rerantingan dan

berbagai sisa vegetasi lainnya diatas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah

membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah) dan

akhirnya menjadi tanah.

            Tumbuhan Serasah dapat mempengaruhi pola regenerasi semai di hutan

hujan tropis melalui suatu jumlah proses yang mempengaruhi kedua lingkungan fisik

dan kimia (Facelli& Pickett, 1991 dalam Brearley et al., 2003). Di tingkat

perkecambahan benih, serasah dapat menahan cahaya, yang akan menghambat

perkecambahan dengan mengubah perbandingan red/far-red (Vazquez-Yanes et al.,

1990 dalam Brearley et al.,2003); hal itu dapat bertindak sebagai suatu penghalang

fisik untuk kemunculan semai (Molofsky& Augspurger, 1992 dalam Brearley et

al., 2003), terutama untuk jenis yang small-seeded yang tidak mempunyai suatu

persediaan sumber daya besar (Metcalfe& Turner, 1998 dalam Brearley et al., 2003),

dan dapat mencegah calon akar baru berkecambah mencapai tanah. Serasah dapat

juga mencegah pendeteksian benih oleh pemangsa benih, dengan demikian

meningkatkan kesempatan sukses perkecambahan (Cintra, 1997dalam Brearley et

al., 2003).

Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan

organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses

dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai

ekosistem mangrove dan sebagai sumber detritus bagi (Zamroni dan Immy, 2008).

tanaman pada tingkat semai, serasah dapat menciptakan lingkungan mikro

setempat berbeda dengan pelepasan nutrisi atau campuran phytotoxic selama

pembusukannya, mengurangi erosi lahan dan evapotranspiration (tetapi mungkin

juga menahan curah hujan) dan mengurangi temperatur tanah maksimum. Serasah

juga dapat bertindak sebagai suatu faktor mekanik, merusakkan atau membunuh

semai ketika gugur ke tanah. Disana dapat juga terjadi efek tidak langsung pada

serasah daun, sebagai contoh, kelembaban yang lebih tinggi di dalam lapisan

serasah dapat menunjang pertumbuhan jamur patogen yang dapat kemudian

menyerang semai.

Hutan hujan tropis tingkat serasah gugur sangat tinggi, dan merupakan jalan

siklus hara yang paling penting dalam ekosistem (Vitousek & Sanford, 1986;

Proctor,1987dalam Brearley et al., 2003). Disana dapat dipertimbangkan ruang dan

heterogenitas temporer pada gugur serasah (Burghouts et al,

1994 dalam Brearley et al., 2003) mungkin lebih lanjut ditekankan oleh faktor seperti

angin badai, pembukaan hutan dan pembagian hutan. Heterogenitas Serasah dapat

juga meningkat dengan tingkat pembusukan berbeda daun-daun dari jenis yang

berbeda. Heterogenitas serasah pada lantai hutan dapat menciptakan relung

regenerasi berbeda (sensu Grubb, 1977 dalam Brearley et al., 2003) dan karenanya

membantu menyumbangkan untuk keanekaragaman jenis yang begitu tinggi dalam

hutan hujan tropis.

Tujuan praktikum yaitu mengetahui kecepatan dekomposisi serasah daun

oleh konsorsia mikroba. Manfaat praktikum yaitu mengetahui proses terjadinya

dekomposisi oleh mikroorganisme, dan mengetahui perannya mikroorganisme

dalam proses dekomposisi.

MATERI DAN METODE

A. Materi

            Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol nescafe 5 unit,

oven, timbangan analitik, aluminium foil, pipet filler dan pinset. Sedangkan bahan

yang digunakan antara lain: daun sirsak yang dikeringkan, lumpur steril, lumpur

nonsteril, suspensi bakteri dan suspensi jamur.

B. Metode

            Cara kerja dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:

1.      Siapkan 5 unit botol nescafe, diisi lumpur dengan air (sehingga cukup basah), 4

botol disterilkan, 1 botol disterilkan terlebih dahulu, selanjutnya diberi lumpur (untuk

dekomposisi secara alami).

2.      Daun yang telah kering dimasukkan kedalam botol nescafe dan dibenamkan

kedalam lumpur, selajutnya 3 botol digunakan sebagai kontrol negatif, 1 botol

sebagai kontrol positif dan botol terakhir diberi suspensi J1J23.      Kelima botol tersebut diinkubasi selama 2 minggu, setiap minggu ditimbang berat

keringnya. Caranya daun dikeluarkan dari botol nescafe, dicuci bersih, selanjutnya

dikeringkan dan ditimbang. Daun yang sudah ditimbang, dikembalikan kedalam

botol nescafe dan dibenamkan ke dalam lumpur hingga seminggu berikutnya.

Dilakukan penimbangan kembali.   

HASIL DAN PEMBAHASAN

            Dekomposisi merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap bahan

organik (bahan-bahan hayati yang telah mati). Tanaman yang gugur akan

mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur seperti tanah dengan warna

coklat kehitaman. Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga tahapan: 

tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi seluruh proses, prosesnya sangat

pendek hal ini disebabkan karena jumlah oksigen yang terbatas, BOD tinggi hasil

sampah darat. Tahap kedua dari proses anerobik terjadi ketika jumlah populasi

bakteri methanoigenesis tinggi proses. Stevenson (1982)dalam Rahmawaty (2000),

menyatakan bahwa proses dekomposisi mempunyai tiga tahapan, yaitu:

1. fase perombakan bahan organik segar. Proses ini merubah ukuran bahan

menjadi lebih kecil.

2. fase perombakan lanjutan, pada proses ini melibatkan kegiatan enzim

mikroorganisme tanah. Fase perombakan terdiri menjadi beberapa tahapan

yaitu:

        tahapan awal, mempunyai ciri-cicri kehilangan secara cepat bahan-bahan yang

mudah terdekomposisi sebagai akibat pemanfaatan bahan organik sebagai sumber

karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri. Proses ini

menghasilkan sejumlah senyawa sampingan seperti NH3, H2S, CO2, asam organik dan

lain-lain.

        Tahapan tengah: terbentuk senyawa organik tengahan atau antara (intermediate

products dan biomassa baru sel organisme)

        Tahapan akhir: dicirikan oleh terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian

jaringan tanaman atau hewan yang lebih resisten (misal:lignin). Peran fungi dan

Actomycetes pada tahapan ini sangat dominan.

3. fase perombakan dan sintesis ulang senyawa –senyawa organik (humifikasi)

yang akan membentuk humus

Tabel 3.1

Sampel

daun

Isolat G0 (gr) G1 (gr) G2 (gr) V1 V2

1 Kontrol

Negatif

0,1728 0,1606 0,158

5

0,0017 0,0003

2 J1J2 0,1875 0,1888 0,187

2

-0,0002 0,0009

3 Kontorl

Positif

0,2026 0,2062 0,182

1

-0,0005 0,0034

4 Kontrol

Negatif

0,1639 0,1569 0,143

9

0,001 0,0019

5 Kontrol

Negatif

0,1930 1,2089 0,162

1

-0,0023 0,0067

                 

            Berdasarkan hasil perhitungan kecepatan dekomposisi serasah

menunjukkan bahwa V1 pada sampel daun 2, 3 dan 5 pada bobot daun penimbangan

ke-2 (G1) mengalami kenaikkan yang seharunya mengalami perununan bobot

sehingga menimbulkan nilai V1 menjadi negatif, hal ini dimungkin terjadi kesalahan

pada saat penimbangan. Hasil  V2 dari semua sampel daun menunjukan hasil yang

positif artinya proses dekomposisi berjalan karena bobot sampel daun mengalami

penurunan. Barges dan Raw (1976) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa

proses perombakan berawal dari perombakan yang besar oleh makrofauna dengan

meremah-remah substansi habitat yang telah mati, sehingga menghasilkan  butiran-

butiran feases. Butiran tersebut akan dimakan oleh mesofauna sperti cacing tanah

dan sama dengan hasil akhir butiran-butiran feases. Materi terakhir akan dirombak

oleh mikroorganisme khususnya bakteri dan jamur. Mekanisme dekomposisi serasah

daun oleh organisme dan mikroorganisme yaitu jamur dan bakteri yang memiliki

peranan penting dalam proses dekomposisi. Dekomposer seperti jamur dan bakteri

akan memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut. Kelembaban rendah

peran jamur dalam mendekomposisi lebih dominan daripada bakteri, sehingga

serasah yang mengalami dekomposisi akan berubah menjadi humus dan akhirnya

menjadi tanah.

Suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhkan serasah tumbuhan.

Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga

transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera

digugurkan (Salisbury, 1992 dalam Zamroni dan  Immy, 2008). Menurut Soeroyo

(2003) dalam Zamroni dan  Immy 2008, faktor lain yang mempengaruhi guguran

serasah adalah curah hujan.

Proses dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas (sifat fisika

dan kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor lingkungan

yang terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan kelembaban tempat

dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh terhadap proses

dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat fisika dan kimia).

Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan awal (initial

content) lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat dekomposisi

serasah daun  (Hardiwinoto dkk., 1994).

           Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah

berhubungan erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat

terdekomposisi maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama

(Hairiah et al., 2000). Laju dekomposisi serasah ditentukan oleh kualitas nisbah C:N,

kandungan lignin dan polyphenol. Serasah dikategorikan berkualitas tinggi apabila

nisbah C:N <25, kandungan lignin<15% dan polyphenol <3%, sehingga proses

pelapukan berlangsung cepat. Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik

ditentukan oleh kualitas bahan tersebut. Penepatan kualitas dilakukan dengan

menggunakan seperangkat tolak ukur, yang berbeda untuk tiap jenis unsur hara.

Kecepatan melapuk bahan organik ditentukan oleh berbagai faktor antara lain

kelembaban, suhu tanah, dan kualitas bahan organik. Bahan organik berkualitas

tinggi akan cepat dilapuk dan akibat unsur hara (misalkan N) dilepaskan dengan

cepat menjadi bentuk tersedia.

           

KESIMPULAN DAN SARAN

A.     Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagi

berikut:

1. Kemampuan konsorsia mikroba menunjukkan bahwa pada sampel daun sirsak

mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme jamur (J1J2).

B.     Saran

Perlu adanya ketelitian dalam penimbangan berat kering daun sehingga

dalam perhitungan kecepatan dekomposisi serasah daun tidak terjadi kesalahan.Sssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss

Tahapan dan Proses Terjadinya   Batubara

Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase

diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia.

Kedua adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut

sebagai tahap geokimia 

       Tahap/Fase Diagenesa (B

iokimia)

Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air dan tanahnya. Pada

lingkungan rawa, sirkulasi air  sangat minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini

mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa

tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –

bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.

Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi menjadi bahan lain yang

disebut dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa

yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik,

menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai tanaman

menjadi gel.

Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen, mampat dan memadat.

Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen

yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).

                         Fase

Metamorfosa (Geokimia)

Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan gambut menjadi batubara.

Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon

dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan

tetapi yang berperan adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti

adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,  ditandai dengan timbunan

sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter, mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang

cukup tinggi, hingga sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan hilang.

Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah prosentase unsur C (carbon) yang

terkandung dalam batubara. Semakin tinggi kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan

(coalifikasi) semakin baik, ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara

dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin tinggi.

Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau hidrotermal. Lapisan

gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu akan mendapat P dan T yang lebih tinggi

dibanding gambut dan batubara di tempat lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.

Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut (Sukandarrumidi, 1995) :

           5(C6H10O5)                              C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO

             cellulosa                                      lignit     gas metan

            5(C6H10O5)                             C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO

            cellulosa                                  bitumine   gas metan

Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat

terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk

melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.

Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat

ditemui dalam berbagai bentuk.

Analisis unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS

untuk antrasit.

Daftar isi

  [sembunyikan] 

1   Batu bara secara umum

o 1.1   Umur batu bara

o 1.2   Materi pembentuk batu bara

o 1.3   Penambangan

o 1.4   Kelas dan jenis batu bara

o 1.5   Pembentukan batu bara

2   Batu bara di Indonesia

o 2.1   Endapan batu bara Eosen

o 2.2   Endapan batu bara Miosen

o 2.3   Sumberdaya batu bara

3   Gasifikasi batu bara

4   Bagaimana membuat batu bara bersih

o 4.1   Membuang NOx dari batu bara

5   Cadangan batu bara dunia

6   Negara pengekspor batu bara utama

7   Lihat pula

8   Referensi

9   Pranala luar

Batu bara secara umum[sunting | sunting sumber]

Umur batu bara[sunting | sunting sumber]

Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu

sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl), adalah masa

pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batu bara (black coal) yang

ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.

Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batu bara yang ekonomis di

belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl)

di berbagai belahan bumi lain.

Materi pembentuk batu bara[sunting | sunting sumber]

Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara

dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu

bara dari perioda ini.

Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu

bara dari perioda ini.

Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur

Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan

spora dan tumbuh di iklim hangat.

Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan

heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi.

Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara

Permian seperti di Australia, India dan Afrika.

Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi

biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara

umum, kurang dapat terawetkan.

Penambangan[sunting | sunting sumber]

Tambang batu bara di Bihar, India.

Penambangan batu bara adalah penambangan batu bara dari bumi. Batu bara digunakan

sebagai bahan bakar. Batu bara juga dapat digunakan untuk membuat coke untuk pembuatan baja.[1]

Tambang batu bara tertua terletak di Tower Colliery di Inggris.

Kelas dan jenis batu bara[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara

umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik,

mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.

Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batu

bara yang paling banyak ditambang di Australia.

Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber

panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.

Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari

beratnya.

Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.

Pembentukan batu bara[sunting | sunting sumber]

Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah pembatu

baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:

Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit

terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi

dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi

material organik serta membentuk gambut.

Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya

antrasit.

Batu bara di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di

bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera danKalimantan), pada umumnya endapan batu

bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier

Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang

lalu menurut Skala waktu geologi.

Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip dengan

kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata

pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi dimana

mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu

bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada

batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur

tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta,

mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian

besar Kalimantan.[2]

Endapan batu bara Eosen[sunting | sunting sumber]

Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah atau

Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.

Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat Sulawesi,

Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang pernah ditemukan dapat

diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen Tengah. Pemekaran Tersier Bawah

yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang disebabkan

terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia.[3] Lingkungan pengendapan mula-mula pada

saat Paleogen itu non-marin, terutama fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.

Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi sekitar Eosen Tengah - Atas namun di

Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di Sumatera bagian tengah,

endapan fluvial yang terjadi pada fase awal kemudian ditutupi oleh endapan danau (non-marin).[3] Berbeda

dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara dimana endapan fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan

batu bara yang terjadi pada dataran pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh

sedimen marin berumur Eosen Atas.[4]

Endapan batu bara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan Asam-asam

(Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas (Kalimantan Tengah dan Timur),

Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatera Barat)

dan Sumatera Tengah (Riau).

Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Eosen di Indonesia.

Tambang Cekungan Perusahaan

Kadar

air

total

(%ar)

Kadar air

inheren

(%ad)

Kadar

abu

(%ad)

Zat

terbang

(%ad)

Belerang

(%ad)

Nilai energi

(kkal/kg)(ad)

SatuiAsam-

asam

PT Arutmin

Indonesia10.00 7.00 8.00 41.50 0.80 6800

Senakin PasirPT Arutmin

Indonesia9.00 4.00 15.00 39.50 0.70 6400

Petangis PasirPT BHP

Kendilo Coal11.00 4.40 12.00 40.50 0.80 6700

Ombilin OmbilinPT Bukit

Asam12.00 6.50 <8.00 36.50

0.50 -

0.606900

Parambahan OmbilinPT Allied

Indo Coal4.00 -

10.00

(ar)

37.30

(ar)0.50 (ar) 6900 (ar)

(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998

Endapan batu bara Miosen[sunting | sunting sumber]

Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah berakhir.

Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan yang luas dimana

terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen batugamping. Pengangkatan dan

kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik Neogen di Kalimantan maupun Sumatera.

Endapan batu bara Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai bagian bawah

(Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Batu

bara Miosen juga secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.

Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip dengan

daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama lainnya adalah kadar abu dan

belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batu bara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau

lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya

menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang tinggi seperti pada

Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan

Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.

Tabel dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Miosen di Indonesia.

Tambang Cekungan Perusahaan

Kadar

air total

(%ar)

Kadar air

inheren

(%ad)

Kadar

abu

(%ad)

Zat

terbang

(%ad)

Belerang

(%ad)

Nilai energi

(kkal/kg)(ad)

Prima KutaiPT Kaltim

Prima Coal9.00 - 4.00 39.00 0.50 6800 (ar)

Pinang KutaiPT Kaltim

Prima Coal13.00 - 7.00 37.50 0.40 6200 (ar)

Roto

SouthPasir

PT Kideco

Jaya Agung24.00 - 3.00 40.00 0.20 5200 (ar)

Binungan TarakanPT Berau

Coal18.00 14.00 4.20 40.10 0.50 6100 (ad)

Lati TarakanPT Berau

Coal24.60 16.00 4.30 37.80 0.90 5800 (ad)

Air Laya

Sumatera

bagian

selatan

PT Bukit

Asam24.00 - 5.30 34.60 0.49 5300 (ad)

Paringin Barito PT Adaro 24.00 18.00 4.00 40.00 0.10 5950 (ad)

(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998

Sumberdaya batu bara[sunting | sunting sumber]

Pengisian batu bara ke dalam kapal tongkang.

Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan

Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan

belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti diJawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi.

Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160 miliar ton cadangan batu bara yang

belum dieksplorasi. Cadangan tersebut sebagian besar berada di Kalimantan Timur dan Sumatera

Selatan. Namun upaya eksplorasi batu bara kerap terkendala status lahan tambang. Daerah-daerah

tempat cadangan batu bara sebagian besar berada di kawasan hutan konservasi.[5] Rata-rata produksi

pertambangan batu bara di Indonesia mencapai 300 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen

digunakan untuk kebutuhan energi dalam negeri, dan sebagian besar sisanya (90 persen lebih) diekspor

ke luar.

Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum

digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar,

dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp

0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter).

Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat

berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi

listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan

mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2,

NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.

Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi menjadi

migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan

dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batu bara.

Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara continue,

yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara pembakaran langsung

seperti: fixed grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai

kelebihan dan kelemahannya.

Gasifikasi batu bara[sunting | sunting sumber]

Coal gasification adalah sebuah proses untuk mengubah batu bara padat menjadi gas batu bara yang

mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas ini karbon

monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4), dan nitrogen (N2) – dapat digunakan

sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian

menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran

padat dan limbah terendah.

Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat di dalamnya adalah sulfur dan nitrogen,

bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia

ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk

bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai "hujan asam" “acid rain”. Disini juga ada noda mineral kecil,

termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batu bara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat

debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran combustion

gases bersama dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa partikel kecil ini adalah

sangat kecil setara dengan rambut manusia.

Bagaimana membuat batu bara bersih[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa cara. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia kekuningan yang ada sedikit di batu bara, pada

beberapa batu bara yang ditemukan di Ohio, Pennsylvania, West Virginia dan eastern states lainnya, sulfur

terdiri dari 3 sampai 10 % dari berat batu bara, beberapa batu bara yang ditemukan di Wyoming, Montana

dan negara-negara bagian sebelah barat lainnya sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih kecil dari 1%) dari

berat batu bara. Penting bahwa sebagian besar sulfur ini dibuang sbelum mencapai cerobong asap.

Satu cara untuk membersihkan batu bara adalah dengan cara mudah memecah batu bara ke bongkahan

yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut

sebagai "pyritic sulfur " karena ini dikombinasikan dengan besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal

sebagai "fool's gold” dapat dipisahkan dari batu bara. Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan

batu bara dimasukkan ke dalam tangki besar yang terisi air , batu bara mengambang ke permukaan ketika

kotoran sulfur tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal preparation plants" yang membersihkan

batu bara dari pengotor-pengotornya.

Tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada batu bara adalah secara

kimia benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini disebut "organic sulfur," dan pencucian

tak akan menghilangkannya. Beberapa proses telah dicoba untuk mencampur batu bara dengan bahan

kimia yang membebaskan sulfur pergi dari molekul batu bara, tetapi kebanyakan proses ini sudah terbukti

terlalu mahal, ilmuan masih bekerja untuk mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.

Kebanyakan pembangkit tenaga listrik modern dan semua fasilitas yang dibangun setelah 1978 — telah

diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang untuk membuang sulfur dari gas hasil

pembakaran batu bara sebelum gas ini naik menuju cerobong asap. Alat ini sebenarnya adalah "flue gas

desulfurization units," tetapi banyak orang menyebutnya "scrubbers" — karena mereka men-scrub

(menggosok) sulfur keluar dari asap yang dikeluarkan oleh tungku pembakar batu bara.

Membuang NOx dari batu bara[sunting | sunting sumber]

Nitrogen secara umum adalah bagian yang besar dari pada udara yang dihirup, pada kenyataannya 80%

dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom nitrogen mengambang terikat satu sama lainnya

seperti pasangan kimia, tetapi ketika udara dipanaskan seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C),

atom nitrogen ini terpecah dan terikat dengan oksigen, bentuk ini sebagai nitrogen oksida atau kadang kala

itu disebut sebagai NOx. NOx juga dapat dibentuk dari atom nitrogen yang terjebak di dalam batu bara.

Di udara, NOx adalah polutan yang dapat menyebabkan kabut coklat yang kabur yang kadang kala terlihat

di seputar kota besar, juga sebagai polusi yang membentuk “acid rain” (hujan asam), dan dapat membantu

terbentuknya sesuatu yang disebut “ground level ozone”, tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat

kotornya udara.

Salah satu cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah menghindari dari bentukan asalnya, beberapa cara

telah ditemukan untuk membakar batu bara di pemabakar dimana ada lebih banyak bahan bakar dari pada

udara di ruang pembakaran yang terpanas. Di bawah kondisi ini kebanyakan oksigen terkombinasikan

dengan bahan bakar daripada dengan nitrogen. Campuran pembakaran kemudian dikirim ke ruang

pembakaran yang kedua dimana terdapat proses yang mirip berulang-ulang sampai semua bahan bakar

habis terbakar. Konsep ini disebut "staged combustion" karena batu bara dibakar secara bertahap. Kadang

disebut juga sebagai "low-NOx burners" dan telah dikembangkan sehingga dapat mengurangi kangdungan

Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Ada juga teknologi baru yang bekerja seperti "scubbers"

yang membersihkan NOX dari flue gases (asap) dari boiler batu bara. Beberapa dari alat ini menggunakan

bahan kimia khusus yang disebut katalis yang mengurai bagian NOx menjadi gas yang tidak berpolusi,

walaupun alat ini lebih mahal dari "low-NOx burners," namun dapat menekan lebih dari 90% polusi Nox.

Cadangan batu bara dunia[sunting | sunting sumber]

Daerah batu bara di Amerika Serikat

Pada tahun 1996 diestimasikan terdapat sekitar satu exagram (1 × 1015 kg atau 1 trilyun ton) total batu

bara yang dapat ditambang menggunakan teknologi tambang saat ini, diperkirakan setengahnya

merupakan batu bara keras. Nilai energi dari semua batu bara dunia adalah 290 zettajoules.[6] Dengan

konsumsi global saat ini adalah 15 terawatt,[7] terdapat cukup batu bara untuk menyediakan energi bagi

seluruh dunia untuk 600 tahun.

British Petroleum, pada Laporan Tahunan 2006, memperkirakan pada akhir 2005, terdapat 909.064 juta

ton cadangan batu bara dunia yang terbukti (9,236 × 1014 kg), atau cukup untuk 155 tahun (cadangan ke

rasio produksi). Angka ini hanya cadangan yang diklasifikasikan terbukti, program bor eksplorasi oleh

perusahaan tambang, terutama sekali daerah yang di bawah eksplorasi, terus memberikan cadangan baru.

Departemen Energi Amerika Serikat memperkirakan cadangan batu bara di Amerika Serikat sekitar

1.081.279 juta ton (9,81 × 1014 kg), yang setara dengan 4.786 BBOE (billion barrels of oil equivalent).[8]

s