Miftahul Bari -...
Transcript of Miftahul Bari -...
STUDI KRITIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF
ILMU LOGIKA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)
Oleh:
Miftahul Bari NIM: 207034000570
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
STUDI KRITIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF
ILMU LOGIKA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)
Oleh:
Miftahul Bari NIM: 207034000750
Pembimbing:
Dr.Isa H.A.Salam,MA
NIP:195312311986031010
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
i
KATA PENGANTAR
“Dengan menyebut nama Allah yang menciptakan akal dan hati”
Jalan hidup adalah pilihan manusia yang ditentukan Allah Swt. Rencana
manusia merupakan awal dari tujuan yang akan didapat, selama penulis menuntut
ilmu, tidak ada persediaan yang serius, hanya bermodal paksaan orang tua dan
kemauan beliau untuk mempunyai anak yang sholeh, penulis harus berpisah
dengan keluarga tercinta semenjak sekolah tingkat dasar kelas empat (MI). Pada
waktu itu, penulis tidak ada yang terbesit bagaimana memprogram diri
kedepanya? hanya dengan keinginan orang tua dan petunjuk sang guru (kiyai),
maka penulis harus mentaatinya, singkatnya penulis harus berada di lingkungan
pesantren kurang lebih delapan tahun lebih, secara tidak sadar, penulis telah
diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mendapatkan pengalaman yang
tidak pernah dialami oleh teman-teman sebaya penulis, akhirnya penulis sadar
bahwa arahan orang tua selama ini merupakan hal yang terbaik pada pada penulis.
Dengan sebab itulah penulis, ditakdirkan masuk di Fakultas Ushuludin
Jurusan Tafsir Hadis, disadari atau tidak, hal tersebut merupakan akumulasi dari
sebab akibat yang telah terjadi sebelumnya, jurusan itulah yang menghantarkan
penulis ke dunia pemahaman Rasionalisme Radikal. Maskipun pilihan penulis
terhadap Jurusan Tafsir Hadis sangat irasional yaitu hanya karena ingin bertemu
dengan guru besar Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Meskipun hingga sekrang ia
tidak pernah masuk kelas.
ii
Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa
kaum intelektual, dengan penuh keyakinan, penulis harus menyelesaikan
penelitian ini.
”Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Ilmu Logika”
Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setingi-tingginya kepada:
1. Drs. Rifqi Mukhtar, MA selaku Sekertaris Jurusan merangkap ketua
Jurusan Non-Reguler, Fakultas Ushuluddin, serta Harun Rasyid, MA,
selaku mantan ketua program Non.Reguler “Jazakum Allahu al-Khaira
al-Jaza’”
2. Pembimbing dan Seluruh Tim Penguji; Dr. Isa Salam, Dr. Syamsuri,
Harun Rasyid, MA, Maulana, M.Ag, Muslim, S.Th.I
3. Segenap Dosen serta Staf pengajar yang tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Penulis ucapkan terima kasih atas segala nasehat yang telah diberikannya
iringan do‟a selalu penulis persebahkan kepada ayah handa H.Syamsudin serta
ibunda tercinta Hj.Kiptiah,”Semoga ibunda dengan ayah selalu diberikan
kesehatan jasmani dan rohani dan panjang umur sehingga bunda-ayah bisa
menjalani aktifitas setiap hari, dibawa lindungan Allah Swt, Amin”.
Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan salam Takdzim kepada
Keluarga besar Pondok Pesanteren Al-Hamidiy Banyuanyar, PP. Islamic Center
Dar Al-Lughah Ust.Ghazali Salim,MA, PP.Al-Amien Madura, keluarga besar
BKPRMI. Madura, P.P Nurul Huda Madura.
iii
Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Rumah Zakat Bank
Indonesia (Razbi), Keluarga Besar Lubna El-Idrus, The Habebe Center, Badan
Amil Zakat Nasional, PT.Pertamina Peduli, PT.Takaful Indonesia Peduli, Semoga
Allah Swt selalu memberikan kesehatan dan tambahan limpahan Rahmat. Amin
Kepada temen-temen “Mastah” Reza, Wahid, M. Hasyim dan kawan-
kawan, serta sahabat Didik Surowardi, Asep, Majid, Baidlowi, Latifani Warda dan
temen-temen yang tidak bisa disebutkan satu persatu semoga sehat selalu.
Kepada Sahabat setia Penulis Arif Sabaruddin, Khairus Shaleh, Agus
Gunawan, Ummi Hani, Saipul Agna, Abdu Rahman Wahid, Shohep Hujjah,
Muhammad Risqi, dan anggota diskusi “Persatuan pesanteren Indonesia”, Forum
Komunikasi Islam Indonesia (Fikri), Komunitas Kita Jakarta, dan temen-temen
yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu, Dan temen yang
merasa tersakiti selama di perkuliahan, penulis mohon ma‟af atas segala keslahan
yang disengaja maupun tidak di sengaja,“Ana akhukum fillah”.
Akhirnya, Penulis menyadari banyak pihak yang telah mendorong
terselesainya sekripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Saya ucapkan
banyak terima kasih, mudah mudahan nama anda muncul di pengantar desertasi
saya. Terakhir, semoga Allah Swt membalasnya sebagai kebaikan.
Jakarta, 12 April 2011
Miftahul Bari
iv
ABSTRAK
Judul Skripsi: “Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Perspektif Ilmu
Logika”
Skripsi ini bersifat pembelaan dan penolakan terhadap hasil formulasi
definisi terdahulu, hal ini di lakukan untuk mengetahui relefansi beberapa definisi
Sunnah dan Hadis dengan Ilmu Mantik atau logika.
Terkait dengan jenis penelitian ini, termasuk dalam katagori penelitian
pustaka (library research) yang menggunakan pendekatan ilmu logika sebagai
perangkat analisis. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui standar
pendekatan yang di lakukan para ulama terdahulu dalam pembentukan definisi
sunnah dan hadits.
Sumber data penelitain ini di katagorikan menjadi dua jenis, yaitu
Pertama. Sumber primer, yaitu berupa pernyataan para ulama terdahulu yang
termuat dalam dalam berbagai leteratur ilmu hadis dan Qawaid al-Hadîts. Kedua,
sumber sekunder yang berupa data analisis seperti ilmu Mantiq atau logika
sebagai prangkat analisa dan kritik. Mengenai tehnik pengumpulan data,
penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu meneliti data-data tertulis
baik primer maupun sekunder. Selanjutnya, data yang terkumpul diolah dan di
analisa dengan cara dibandingkan, dan kritik, hingga terdapat kesimpulan yang
komprehensif.
Penelitian ini membuahkan kesimpulan, Pertama, definisi sunnah dan
hadits terdapat relevansi dengan ilmu mantik dan logika, karena tehnik pembuatan
definesi sebuah objek harus memenuhi kaidah-kaidah mantik. Kedua, sebagian
definisi sunnah dan hadis tidak memenuhi standar ilmu logika, namun sebgian
yang lain definesi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu logika.
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Yang bertandatangan di bawah ini,
Nama : Miftahul Bari
Alamat : Dasuk, Sumenep, Jawa timur
TTL : Semenep, 12 Agustus, 1986
Status : Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NIM : 207034000750
Menyatakan bahwa, karya skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri,
dan bila kelak terbukti hasil karya ini plagiat maka saya akan menerima segala
konsekuensi secara akademik.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat, dengan sebenar-benarnya dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
Jakarta, 12 April 2011
Penulis,
Miftahul Bari
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
q = ق z = ز a = أ
k = ك s = س b = ب
l = ل sy = ش t = ت
m = م s = ص ts = ث
n = ن d = ض j = ج
w = و t = ط h = ح
h = ه z = ظ kh = خ
„ = ء „ = ع d = د
y = ي gh = غ dz = ذ
f = ف r = ر
2. Vokal
Vokal (a) panjang = â, contoh: قال = Qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: قيل = Qîla
Vokal (u) panjang = û, contoh: دون = Dûna
3. Diftong
au = و
ai = ي
4. Syaddah
Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi
tanda tasydid. Misalnya madda.
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال.
Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.
viii
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-Badru,
al-Watan.
5. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /h/. Hal
yang sama juga berlaku bila ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at).
Namun, jika ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksrakan menjadi huruf /t/.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LatarBelakangMasalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi, PembatasandanPerumussanMasalah ................................ 4
1. IdentifikasiMasalah ........................................................................ 4
2. PembatasanMasalah ........................................................................ 4
3. PerumusanMasalah ......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
D. ManfaatPenelitian ................................................................................. 5
E. StudiTerdahulu yang Relevan .............................................................. 6
F. MetodologiPenelitian ........................................................................... 8
1. JenisPenelitian ............................................................................... 8
2. SifatPenelitian ............................................................................... 9
3. PendekatanPenelitian .................................................................... 9
4. Sumber Data .................................................................................. 10
G. SistematikaPenulisan ............................................................................ 12
BABII KAIDAH-KAIDAH PEMBUATAN DEFINISI DALAM
PERSPEKTIF ILMU LOGIKA ............................................................ 15
A. KaidahPengertian.................................................................................. 15
B. PengertianDefinisi ................................................................................ 17
C. TujuanDefinisi ...................................................................................... 18
D. Syarat-syaratPembentukanDefinisi ...................................................... 21
x
1. Syarat-syaratPositif ....................................................................... 21
2. Syarat-syaratNegatif ...................................................................... 22
E. PembentukanDefinisi ........................................................................... 23
F. TugasDefinisi ....................................................................................... 24
G. Macam-macamDefinisi ........................................................................ 24
BAB III DEFINISI SUNNAH DAN HADIS ..................................................... 26
A. Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis ......................................... 26
1. DefinisiSunnahdanHadisPerspektifKamus ..................................... 26
2. Pendapat Para UlamaMengenaiSunnahdanHadis ........................... 27
3. MaknaSunnahdanHadisdalam al-Qur‟an ........................................ 29
B. KajianTerminologiSunnahdanHadis .................................................... 40
1. DefinisiSunnahPerspektifUlamaSalafi ............................................ 40
2. DefinisiHadisPerspektifUlamaSalafi ............................................... 45
3. DefinisiSunnahPerspektifUlama Modern ........................................ 48
4. DefinisiHadisPerspektifUlama Modern ........................................... 50
BABIV STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF
ILMU LOGIKA ................................................................................ 51
A. StudiEtimologiSunnahdanHadis ........................................................... 51
1. PengertianSunnah ........................................................................... 51
2. PengertianHadis ............................................................................... 52
B. StudiTerminologiSunnahdanHadis ....................................................... 53
1. KajianDefinisiSunnah ..................................................................... 53
2. DefinisiUlamaUsulFikih ................................................................. 55
3. DefinisiUlamaFikih ........................................................................ 55
4. DefinisiUlamaHadis ....................................................................... 56
5. DefinisiUlama Modern ................................................................... 57
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 59
A.Kesimpulan ........................................................................................... 59
xi
B. KritikdanSaran ...................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sering dijumpai pada berbagai literatur, bahwa Islam merupakan agama
penyempurna dari agama sebelumnya. Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai
agama yang berlaku untuk semua umat manusia.1 Hal ini menunjukkan bahwa
Islam merupakan agama universal yang berlaku untuk semua kalangan manusia,
artinya ajaran Islam sangat tidak terkait dengan waktu dan tempat, Islam selalu
hadir kapan pun dan dimana pun dibutuhkan.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw diutus untuk semua mahluk di muka bumi
dan sebagai rahmat bagi segala ruang dan waktu.2 Karena beliau memiliki budi
pekerti yang paling luhur,3sehingga ia pantas menjadi tauladan semua mahluk. Di
sisi lain, Rasulullah Saw sebagai manusia biasa, mempunyai umur terbatas, oleh
karenanya beliau mewariskan dua perkara penting yaitu “Al-Qur’ân wa Al-
Sunnah” untuk dijadikan pedoman hidup manusia bagi generasi berikutnya,
dikarenakan tidak akan ada Rasul berikutnya.4:
1 Q.S. Al-Ma'idah (5) ayat: 3
2 Q.S. Al-Anbiyâ’ (21) ayat: 107
3 Lihat: Q.S. al-Qalam (68) ayat: 04. “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mempunyai
ahlaq (budi) yang paling sempurna”. Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Dar
as-Sunnah, 2002), h. 565 4 M.Suhudi Isma’il, Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al- Hadîts
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 3-
4.
2
“Rasulullah saw bersabda: wahai manusia sesungguhnya aku telah
meninggalkan dua perkara untuk kalian yaitu al-Qur’an dan Sunnah, jika
kalian berpegang teguh keduanya maka kalian tidak akan tersesat”
Mengingat keterangan di atas, bahwa mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah
wajib bagi kaum muslimin sebagai literatur hidup sehari-hari. Akan tetapi
mengetahui dua hal tersebut sangat sulit, terkecuali terdapat metodologi yang baik
dan benar, salah satunya adalah menentukan objek batasan (definisi) yang sesuai
dengan ilmu mantik.
Namun hingga saat ini sunnah belum ada definisi yang kongkrit, artinya
definisi yang ada masih terdapat ikhtilaf yang prinsipil, contohnya adalah
terminologi yang dirilis oleh ahli hadis dengan ahli usul fiqh, keduanya membatasi
sunnah dengan berbeda pandangan, hal ini dapat mengakibatkan hasil yang
berbeda pula, baik secara teoritis maupun praktis. Perbedaan hal tersebut juga
terjadi dikalangan ilmuan yang lain.
Dalam berbagai literatur, penulis menemukan beberapa perbedaan definisi
sunnah dan hadis,6 penulis sadar bahwa hal itu dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan atau pengetahuan yang dialaminya. Namun, yang menjadi persoalan
adalah mengapa harus berbeda, padahal tujuannya sama, yaitu menjadikan
pedoman hidup masyarakat dan mengetahui sunnah dan hadisdengan kongkrit.
5 Hampir semua praktisi hadis mengutip hadis ini, maskipun bentuk kalimatnya tidak
sama. Lihat: Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, Juz 10. (T.tp: Mauqiu al-
Islâmiah,T.th), h. 114. 6 Untang Ranuwijaya, Ilmu Hadîts (Jakarta: Gaya Media Press, 1996), h. 6
3
Persoalan yang tidak kalah penting adalah apakah definisi para ulama sebagai
terminologi yang mutlak adanya, artinya sebagai terminologi yang final.
Berdasarkan persoalan di atas, penulis mengingatkan pada sebuah
pernyataan.
“Bahwa orang Islam harus tahu perkembangan adat-istiadat atau budaya
setempat dimana ia tinggal, karena hal tersebut akan mempengaruhi
pemahaman makna teks keagamaan yang akan difahaminya. Artinya sebuah
makna teks benar dan relevan pada masanya dan tidak pada masa yang
lain.”Sedangkan ‘Masa’ akan selalu beruba setiap saat, sesuai dengan masa
sendiri dan perkembangan pikiran manusia.” 7
Dengan kata lain, makna yang ada pada teks hanya berlaku pada masa
tertentu, tapi tidak berlaku pada masa yang lain. Oleh karenanya, hal yang sangat
dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan yang membahas metode pemahaman sunnah
Nabi secara komprehensif. Salah satu metode memahami sunnah dan hadis
dengan baik dan benar adalah mengikuti standar ilmu logika, utamanya dalam hal
pembentukan definisi, karena benar tidaknya sebuah pemahaman, bila orang yang
memahami sebuah objek dapat memenuhi standar definisi dalam ilmu logika.
Inti dari persoalan ini adalah terdapat ketidak saling pahaman antara ulama
satu dengan yang lain, utamanya pada ulama fiqih dan ulama hadis dalam
mendefinisikan kata ”sunnah dan hadis” sebagai terminologi dalam Islam,
artinya mereka tidak mengikuti standar operasional definisi dalam logika.
7 M.Quraish Shihab, “Meningkatkan Pemahaman al-Qur’an di Era Globalisasi”, Kuliah
Umum di Institut Ilmu al-Qur’an, Jakarta. Hari selasa, 04 Mei 2011.
4
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap
“Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Ilmu Logika” layak untuk
diteruskan.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan untuk memperjelas alur
penelitian ini, penulis perlu mengidentifikasi beberapa masalah berikut untuk
kemudian diteliti lebih lanjut:
a. Apakah semua para ulama sepakat atas definisi sunnah dan hadis yang telah
ada?
b. Apakah definisi sunnah dan hadis yang ada telah memenuhi standar ilmu
logika?
c. Adakah relevansi kata sunnah dan hadis dalam al-Qur’an dengan
terminologi para ulama?
d. Apakah kata sunnah dan hadis dalam al-Qur’an sesuai dengan terminologi
para ulama?
e. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik?
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan difokuskan pada kajian definisi hadis dan sunnah yang
dirilis oleh para ahli: Ahli Hadis, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Fiqh, dan Ahli Tafsir
modern, karena beberapa pendapat yang lain (selain para ahli di atas) tidak jauh
berbeda dengan di atas. Artinya, definisi yang tidak disebutkan dalam penelitian
5
ini dapat dipastikan terwakili oleh definisi-definisi yang disebutkan dalam
penelitian ini.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:
a. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik?
b. Apakah definisi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu mantik?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka
tujuan penulis yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat penyelesain studi pada
program Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Jakarta.
b. Tujuan Non Akademis, yaitu penulis ingin memberikan dukungan atau
penolakan terhadap beberapa definisi hadis dan sunnah yang ada (masyhur).
Dengan kata lain, apabila “terminologi” tidak sesuai dengan standar
ilmu mantik maka penulis akan menolaknya, dan bila hal tersebut sesuai
dengan kaidah ilmu mantik maka penulis harus mendukungnya.
D. Manfaat Penelitian
Terkait dengan manfaat atau signifikasi yang terealisasi, penelitian ini
dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu secara teoritis dan praktis:
6
Pertama, Pada tatanan teoritis, masyarakat dapat memahami persoalan
sunnah dan hadissecara definitif dalam prespektif ilmu logika.
Kedua, Dalam tatanan praktis, hasil penelitian ini sangat diharapkan
memberikan sumbangan pemahaman yang lebih luas prihal sunnah dan hadis,
dalam prespektif ilmu logika.
E. Studi Terdahulu yang Relevan
Setelah penulis melacak hasil penelitian sebelumnya, baik di perpustakaan
maupun dibeberapa situs-situs internet, penulis tidak menemukan hasil penelitian
tentang persoalan ini, hampir semua literatur tidak mempertanyakan penetapan
definisi para ulama perihal sunnah dan hadis. Namun penulis menemukan tiga
literatur dari sekian banyak hasil penelitian yang ada:
Pertama, Buku “Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern” yang
ditulis oleh Daniel W. Brawn. Dalam buku ini menjelaskan bahwa sunnah dan
hadis mempunyai persoalan yang berbeda, sunnah lebih banyak berperan dalam
memberikan keterangan wahyu, sedangkan hadis hanya sebagai atau media untuk
menyampaikan sunnah.8
Kedua, Penulis menemukan sebuah buku yang di tulis oleh salah satu guru
besar STAIN Purwokerto. Buku terebut berjudul “Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan.9 Dalam buku ini menceritakan dual hal, Pertama, Ia
menceritakan sejarah perjalanan hadis. Kedua, Ia menceritakan bagaimana proses
8 Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah: Jaziar
Radianti.dkk. (Bandung: Mizan, 2000), h. 26
9 Muhammad Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Porwokerto:
Fajar Pustaka, 2010)
7
pembukuan hadis Rasulullah Saw. Pada bagian pertama penulis telah
memaparkan bukti kongkrit perbedaan sunnah dan hadis, namun ia tidak
memformulasikan secara spesifik mengenai dua kata tersebut.
Ketiga, berupa skripsi mahasiswa Tafsir Hadis Jakarta yang berhubungan
erat dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, hasil penelitian tersebut
adalah:
a. Penelitian yang ditulis dengan judul Otentitas Hadis Menurut Imam al-
Ghâzalî Studi Analitis,10
Beliau melakukan pembahasan tentang tata cara
memahami hadist menurut al-Ghâzalî, secara keseluruhan tidak banyak penulis
mendapatkan informasi penting prihal masalah definisi sunnah dan hadis, Namun
beliau hanya membedakan kedua definisi tersebut.
b. Penelitian yang berbeda, berjudul “Metode Pemahaman Hadis Tela’ah
Historis dan Semantik”.11
Dalam skripsi ini, penulisnya menjelaskan tentang cara
memahami hadis Rasulullah Saw. Dalam hal ini, penulis juga tidak banyak
mendapatkan informasi. Skripsi ini hanya membahas cara memahami hadis yang
benar, padahal untuk memahami sesuatu dengan benar maka harus memahami
persoalan definisi dengan benar pula, karena bila tidak demikian, maka dapat di
pastikan hasil pemahaman tersebut salah.
Dari beberapa hasil penelitian di atas, penulis tidak mendapatkan jawaban
yang memuaskan tentang sunnah dan hadis yang sedang penulis teliti, oleh
10 Kuswandi Yahdi, “Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis,” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009). 11
Nurul Huda, “Metode Pemahaman Hadis Tela’ah Historis dan Semantik,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002).
8
karenanya penulis harus melanjutkan penelitian ini, untuk menyempurnakan
pemahaman sunnah dan hadis.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi12
yang penulis gunakan dalam penelitian ini, adalah
metodologi kualitatif, yaitu Metode penelitian yang berlandaskan pada positifisme,
yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, dan hasil penelitian ini lebih
menekankan pada makna dari pada generalisasi.13
Metode dalam kajian ini mempunyai beberapa prosedur yang harus di
tempuh, sebagai sebuah rangkaian keabsahan penelitian sebuah objek.
Adapun Studi ini akan mengikuti prosedur penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini mengikuti prosedur yang menghasilkan data diskriptif
berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.14
atau dengan ungkapan lain yang menguraikan kata-kata dengan menganalisis satu
persatu yang menyangkut pokok permasalahan.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka15
(Library
Research). Setelah masalah dirumuskan, langkah yang dilakukan dalam mencari
12 Artinya adalah Ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat untuk menganalisa
sesuatu; penjelasan serta penerapan cara. Lihat, Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 2001), h. 461.
13
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif-kualitatif, (Bandung: al-Fabet, 2009), h. 9 14
Lexy J. Meleong,, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2004), h. 4 15
Adapun yang dimaksud dengan perpustakaan adalah koleksi pustaka; tempat koleksi
buku, (Perpustakaan adalah menggunakan buku-buku sebagai bahan penelitian, artinya tidak
memakai data eksperimen). Lihat, Pius A. Partanto.dkk. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola,1994), h. 590.
9
data tersedia, di mana terdapat hubungan yang ingin dipecahkan. Kerja mencari
bahan referensi di perpustakaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari.
2. Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifatnya, nama penelitian bersifat deskriptif-analistis16
komperatif,17
yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara
deskriptif,18
di samping itu, penelitian ini juga berupaya mengeksplorasi secara
mendalam yang berhubungan dengan permasalahan ketetapan definisi sunnah dan
hadis. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan pendekatan semantik.
3. Pendekatan Penelitian
Terkait dengan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kausal-
komperatif19
dengan tujuan untuk mengkomparasikan persoalan definisi klasik20
dengan kontemporer21
mengenai sunnah dan hadis dan masing-masing
pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan:
16
Adalah memberikan arti terhadap fenomena (wacana). Dalam prinsip analisis, semua
masalah harus dicari yang menyebabkan serta memecahkannya dengan menggunakan analisi
yang logis, fakta yang mendukung tidak dibiarrkan sebagaimana adanya, atau hanya dibuat
diskripsi saja, Akan tetapi, semua kejadian (di dalam teks) harus dicari sebab akibat dengan
menggunakan analisis yang tajam, Lihat: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h.
53. 17
Adapun yang dimaksud dengan komperatif adalah membandingkan satu variabel dan
sampel besar, Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji teori hingga ditemukan kesamaan dan
perbedaan. Lihat, Iskandar, Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial; Kualitatif dan
Kuantitatif, (Jakarta: GP Press. 2009), h. 62
18 Yaitu mendeskripsikan sesuatu secara sistematis faktual dan akurat terhadap populasi
atau keterangan tertentu, mengenai kerateristik, faktor-faktor, unsur-unsur tertentu; Lihat,
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, h. 36
19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h. 73
20 Yang dimaksud dengan definisi klasik adalah definisi yang di keluarkan pada awal
munculnya ilmu hadîts. Misalkan Imam Syafi’i. Lihat, Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi
Sunnah dalam Islam Moderen, Penerjemah. Jazair Radianti, dkk, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2000), h. 19 21
Yang dimaksud dengan definisi kontemporer adalah definisi yang di tetapkan pada era
reformasi yaitu masa kritik ilmu hadis, mulai abad delapan belas, tujuh belas hingga sekarang,
Lihat. Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi Sunnah, h. 37
10
Pertama, penulis mencari kemungkinan adanya sebab akibat yang
mendasari ulama yang mendefinisikan hadis dan sunnah. Pencarian kausal
tersebut tidak hanya terfokus pada perbandingan para ahli hadis melainkan para
Ulama yang lain, baik di Fuqaha maupun di Theologi, utamanya para Mufassir,
hal ini dilakukan guna bisa menangkap makna baru yang lebih komperehensif.
Kedua, Secara khusus penulis memberikan porsi yang cukup untuk
menyelesaikan persoalan ini, yaitu pendekatan kritik teks yang telah dilakukan
oleh banyak pakar ilmuan muslim mapun non-muslim, hal ini dilakukan sebagai
rangkaian analisis teks dari beberapa definisi masa lalu, dengan harapan bisa
memberikan kontribusi keyakinan yang rasional untuk menyeimbangkan antara
akal dan wahyu. Untuk mencapai kesempurnaan penelitian ini, penulis juga
menggunakan pendekatan ilmu logika (mantik).
4. Sumber Data
Adapun sumber penelitian ini terdapat dua macam: Pertama, Primer22
yaitu sumber utama yang menjadi pembahasa pokok dalam penelitian ini,23
Sumber tersebut diambil dari Ulum al-Hadîts, Mustâlah al-Hadîts, al-Amsthal al-
Hadîts, al-Qawâid al-Hadîts dan sumber-sumber dalam ilmu hadis lainnya.
Adapun referensi dari rujukan ilmu logika, penulis menggunakan Sidi Gazalba
Sistematika Filsafat, Ilmu Mantiq (Logika), Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir
Logik, dan Dasar-dasar Logika.
22 Pius A Parto, dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625
23 J.S. Badudu, dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan,
1996), h. 1089.
11
Kedua, Sekunder,24
yaitu sumber pendukung dari sumber primer,25
Sumber
tersebut diambil dari kamus-kamus ilmiah, antara lain: Kamus “Arab Indonesia”
hingga kamus “Bahasa Indonesia Ilmiah Populer” dan “Kamus Besar Bahasa
Indonesia” yang lain. Kemudian, Al-Qur’an serta artikel-artikel, Majalah, Buletin
yang berhubungan dengan penelitian ini.
a. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey kepustakaan
dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun data dari sejumlah
literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau dari tempat lain ke dalam sebuah
daftar pustaka. Sedangkan studi leteratur adalah mempelajari, menelaah dan
mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang sedang penulis
teliti.
b. Analisis Data
Analisis data26
dilakukan untuk mencari pola sistematika yang paling tepat
dan benar. Analisis ini bersifat induktif, yaitu suatu analisa berdasarkan suatu
yang diperoleh, selajutnya dikembangkan menjadi hipotesis, berdasarkan
hepotesis yang dirumuskan, kemudian dicarikan data lagi secara berulang-ulang
sehingga dapat disimpulkan berdasarkan data yang terkumpul, apakah hal tersebut
bisa diterima atau ditolak? dan bila hal tersebut diterima maka hipotesis tersebut
berkembang menjadi sebuah teori.27
24 Pius A Parto. dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625
25 J.S. Badudu. dkk. Kamus Bahasa Indonesia, h. 1246
26
Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa Analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil catatan, lapangan, dokumentasi. Lihat,
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 244.
27 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 245
12
Terkait dengan data yang ingin ditelaah dalam penelitian ini adalah, segala
hal yang terkait dengan pembentukan definisi, yang dalam hal ini digunakan teori
ilmu-ilmu maupun logika.28
Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis tunggal yang
fundamental, yaitu menggunakan kaidah ilmu mantik, dalam hal ini dilakukan
untuk mengetahui prosedur pembuatan definisi sunnah dan hadis dengan baik dan
benar.
Dengan demikian, pendekatan ini mempermudah proses analisis dalam
skripsi ini. Sedangkan dalam hal teknik penulisan, penulisan mengacu kepada
buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.29
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah
penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitkan yang erat antara pembahasan
pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab selanjutnya.
Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh
tentang isi penelitian ini, maka sekripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika
28 Ilmu mantiq adalah ilmu tentang kaidah-kaidah berfikir, yang dapat membimbing
manusia kearah berfikir secara benar, sehingga ia terhindar dari berfikir keliru yang menghasilkan
kesimpulan yang salah. Lihat, Baihaqi. A.k, Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpiki Logis (Jakarta:
Darul Ulum Press, 2007), h. 1. Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum
yang digunakanuntuk membedakan penalaran yang betul dengan penalaran yang salah. Lihat,
Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 2. Logika dan mantiq pada
dasarnya sama, namun logika ilmu tehnik berfikir yang bekerja secara umum, namun mantaq
adalah terjemahan dari ilmu logika barat yang disesuaikan dengan dasar-dasar agama Islam.
Lihat, Faris Pari, Ilmu Logika, (Jakarta: Pesantren Ciganjur), h. 2 29
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Sekripsi, Tesis dan Desertasi,
UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007)
13
pembahasan yang teratur. Adapun sistematika penulisan penelitian ini, penulis
telah membagi menjadi lima bab:
Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan di dalamnya menjelaskan latar
belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Kemudian permasalahan yang
muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi permasalahan
utama, serta arti penting dan mamfaat yang ingin penulis capai dalam penelitian
ini bagi masyarakat.
Pada pembahasan terakhir dalam bab pendahuluan ini, penjelasan
mengenai sistematika pembahasan ini. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga
bab, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Bab kedua, penulis menginformasikan beberapa metode pembentukan
definisi dari berbagai prespektif dalam ilmu logika. Teori inilah disajikan, sebagai
bentuk analisa beberapa definisi sunnah dan hadis. Bab ini meliputi pembahasan
metode pembentukan pengertian hingga kaidah-kaidah pembentukan definisi.
Bab ketiga, penulis menguraikan beberapa definisi sunnah dan hadis baik
secara etimologis maupun terminologis:
Dalam kajian etimologi, penulis ingin menguraikan dua hal: Pertama,
penulis menguraikan makna sunnah dan hadis yang terkandung dalam kamus.
Kedua, uraian tentang etimologi sunnah dan hadis yang telah diformulasikan para
ulama.
Adapun kajian sunnah dan hadis secara terminologi, penulis ingin
menguraikan beberapa pendapat yang meliputi: Prespektif ulama hadis, ushul
14
fiqh, dan ulama fiqh. Kemudian, penulis menguraikan beberapa pendapat dari
ulama kontemporer.
Bab keempat, Penulis menganalisis dari beberapa definisi yang diuraikan
dalam bab tiga, dengan metode analisa yang diuraikan para ilmuan, yang telah
dikutip dalam Bab ke dua.
Dengan demikian akan ditemukan sebuah kesimpulan yang akan
dipaparkan dalam bab lima yang juga merupakan bab penutup.
BAB II
KAIDAH-KAIDAH PEMBUATAN DEFINISI
DALAM PERSPEKTIF ILMU LOGIKA
A. Kaidah Pengertian
Keobjektifan makna teks akan ditentukan oleh pengertian yang benar,
sedangkan pengertian yang benar akan ditentukan oleh pembatasan (definisi) kata
yang benar pula,1 persoalannya adalah perkembangan kultur budaya saat ini yang
telah mempengaruhi teks-teks keagamaan, sehingga banyak definisi yang ada
terduga melanggar asas-asas ilmu logika. Hal ini pula dikhawatirkan terjadi pada
definisi sunnah dan hadis.
1. Definisi Pengertian
Pengertian2 adalah abstraksi sebuah objek yang divisualisasikan.
Pengertian merupakan kerangka pertama dalam ilmu logika atau asas logika.
Dalam pembicaraan sehari-hari sering sekali mempersoalkan pengertian,
manakala sesuatu objek tidak jelas, dirpertanyakan lah apa pengertian itu.
2. Metode Pembentukan Pengertian
Metode pembentukan pengertian adalah abstraksi, berarti gambaran,
dengan melalukan abstraksi terbentuklah sebuah pengertian, abstraksi tersebut di
peroleh dari kejadian khusus yang kongkret.
Kata abstrak berarti sebuah gambaran umum, menjadikan abstrak yaitu
memisahkan dalam pikiran, meninggalkan unsur-unsur aksidensi, sehingga yang
1Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu Pengetahuan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 47. 2 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 47-59.
16
tinggal adalah esensi, tidak mengindahkan ciri visual yaitu ciri yang dapat dilihat,
atau non visual.
Adapun yang dimaksud ciri aksiden: yaitu yang kebetulan, yang pokok,
yang khusus, yang ada pada individu. Dengan meninggalkan ciri-ciri yang bukan
pokok, khusus terbentuklah objek tersebut menurut hakikatnya yang disebut
esensi.
Contoh: Pohon, ia bersifat pribadi, berdiri sendiri, mempunyai kekhususan
dari masing-masing pohon, dan yang ada pada masing-masing pohon mempunyai
ciri keumuman: tinggi, gembuk, rendah, yang membedakan dengan yang lain,
maka hal itulah yang disebut ciri aksidensi3 (ciri umum). Di samping itu, pohon
mempunyai ciri khusus, tumbuh, berbatang, dan kalau tidak ada ciri tersebut, tidak
akan disebut pohon, contoh berakar, maka hal inilah yang disebut esensi
(hakikat4), dengan ciri inilah dibentuk oleh budi (tanggapan), dengan
meninggalkan ciri aksiden, hal itulah disebut pengertian.
Kesimpulannya adalah: subjek harus menentukan objek yang akan di
gambarkan, dan gambaran yang telah didapatkan akan ditransformasikan kepada
penentuan lambang yang bisa dikenal dengan “kata”, kemudian subjek
3 Ada sepuluh kategori ciri-ciri aksidensi, (Seekor) Jumlah, (kuda) Subtansi, (yang gagah)
Sifat, (punya ahmad) Hubungan, (sebagai lomba) Sikap, (kemarin) Waktu, (digelanggang bogor)
Tempat, (Ikut berpacu) Situasi, (Memperebutkan) Aksi, (Piala gubenur) Pasif.Lihat, Sidi Gazalba,
Sistematika Filsafat, h. 50-51 4 Esensi sebuah objek, menunjuk halnya sebuah objek tersebut, sedangkan ciri aksidensi
objek adalah sesuatu yang melekat pada hakikat, seperti jumalah, waktu. Subtansi menunjuk satu
hal, sedangkan aksidensi, sifat, aspek secara kebetulan melekat pada subtansi. Lihat, Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 50
17
menentuan unsur-unsur yang mengikat pada objek tersebut, dari sinilah subjek
menjadikan sebuah abstraksi yang disebut pengertian.
B. Pengertian Definisi
Pengertian5 merupakan kata yang tidak jelas batasnya, maka hal itu disebut
“Chaos of Ideas” (ide-ide yang tidak tersusun). Oleh karena itu, hal tersebut
harus didefinisikan. Definisi atau definisi secara lugawi adalah memperkenalkan,
memberitahu sampai jelas dan terang mengenai sesuatu.6 Secara logika definisi
adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya
diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan/diperkenalkan.
Definisi adalah pengetahuan yang dibutuhkan. Dalam kehidupan ilmiah
maupun kehidupan sehari-hari, seseorang banyak berurusan dengan definisi.
Sewaktu orang memasuki pembicaraan permulaan suatu ilmu, ia akan bertemu
dengan definisinya. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang diminta untuk
menjelaskan pengertian kata yang digunakan. Menjelaskan pengertian kata agar
tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penggunaannya merupakan tugas definisi.7
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi adalah suatu
cara dan alat untuk mengenal dan memahami tentang pengertian objek dan untuk
mendapatkan gambaran yang sejelas jelasnya terhadap objek tersebut. Artinya
mendefinisikan sesuatu adalah mengenalkan sesuatu menurut hakikatnya.8
5 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 60-63
6 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), h. 47
7 Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo,1994), h. 37
8 Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Mantiq (Yogyakarta: IKAPI, 1995), h. 57
18
C. Tujuan Definisi
Tujuan dari definisi secara umum adalah kemampuan untuk menyatakan
term-term sesuai dengan kebenaran yang dikandung di dalamnya, di sisi lain
untuk menghindarkan pemikiran sesat yang sering terjadi pada pola-pola
penalaran yang tidak logis.
Secara rinci dapat dirperjelas dengan beberapa bagian yaitu memperkaya
kosa kata, membatasi ambigusitas, menghilangkan makna yang kering,
membarikan penjelasan teoretis dan mempengaruhi perilaku.
1. Memperkaya Kosa Kata
Dalam percakapan atau dalam membaca, sering dijumpai kata yang masih
asing dan maknanya sulit dipahami, baik sebagai kata secara individual maupun
dalam konteksnya. Untuk memahami apa yang dikatakan orang lain atau yang
tertulis dalam sebuah teks, kiranya penting untuk diketahui maknanya yang benar
dan tepat, Di sini lah dibutuhkan definisi. Dengan definisi pula pada akhirnya
akan diperoleh tambahan perbendaharaan makna pada kata-kata yang sudah
dipergunakan.
2. Membatasi Ambiguitas
Sangat sering dijumpai bahwa terdapat suatu kata yang mempunyai lebih
dari satu makna. Hal tersebut tidak bisa terhindar dari kata tersebut karena itu
adalah kenyataan yang ada pada suatu kata. Keadaan seperti itu jelas akan
membingungkan seeorang ketika mendengar ataupun membaca kata tersebut,
apakah ia bermakna {a} atau bermakna {b} atau malah bermakna {c}. pada
akhirnya akan muncul suatu kerancuan makna.
19
Dalam keadaan seperti itu sangat perlu menyusun sebuah definisi atas kata
yang rancu tadi dengan maksud untuk memilah-milah makna yang berbeda-beda
yang terkandung di dalamnya.
Makna bahasa yang bermakna ambigu dapat membawa pada perdebatan
verbal, terutama yang berhubungan dengan penggunaan term. Sebagai contoh
adalah makna term aman dan terkendali. Term ini dapat mengundang makna
rancu, sebab apabila term-term tersebut diucapkan oleh seorang politisi, makna
ada kemungkinan akan timbul perbedaan dengan makna bila yang mengucapkan
itu adalah warga masyarakat biasa. Jadi, penyusunan definisi itu memang perlu
dengan maksud untuk mengatasi ambiguitas kata-kata atau term, frase atau
kalimat.
3. Menghilangkan Makna yang Kering
Maksud dari makna yang kering di sini adalah ada suatu kata yang bila
digabung dengan kalimat tertentu sangat sulit difahami, tidak semua orang bisa
paham maksud kata tersebut. Sedangkan orang yang tidak memahami terhadap
kata tersebut menganggap bahwa kata itu adalah kata yang bermakna kering.
Maka dari itu dibutuhkan definisi khusus untuk menjelaskan kata itu demi
pemahaman orang yang membaca atau mendengarkan.
Contohnya adalah mengembang terkendali yang dihubungkan dengan
kondisi ekonomi atau contoh lain pernyataan hak cipta dilindungi undang-undang
menjadi kering atau tidak bermakna jika ternyata banyak orang yang masih
memfotocopi karya tulis yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta.
20
4. Memberikan Penjelasan Teoretis
Selain penjelasan di atas, definisi juga bertujuan untuk merumuskan
karakteristik yang secara teoritis meyakinkan dan secara ilmiah berguna bagi
penjelasan atas objek-objek dimana definisi diterapkan. Sebagai contoh, definisi
keadilan sebagai kehendak objek untuk memberikan kepada orang lain apa saja
yang menjadi haknya. Definisi ini tidak memberikan pembendaharaan tambahan
perbendaharaan kata dan juga tidak membatasi ambiguitas sabab definisi ini
hanya dimaksudkan untuk menjelaskna hubungan yang ada diantara konsep adil
dengan konsep tentang hak yang dimiliki seseorang.
5. Mempengaruhi Perilaku
Salah satu dari tujuan definisi adalah untuk mengendalikan emosi orang.
Suatu contoh seorang telah mengajukan pembalaan atas diri teman yang dituduh
telah melakukan tindakan subversive melalui penjualan buku terlarang dengan
cara memaparkan netralitas definisi term penjualan dikaitkan dengan profesi
seseorang sebagai pedagang atau memaparkan batasan profesi seseorang
rohaniwan yang memiliki kewajiban moral membantu umat yang membutuhkan
perlindungan spriritual.9
6. Memperkenalkan Makna
Makna dari sebuah objek biasanya tidak tunggal, malainkan mempunyai
ragam makna, definisi memilih makna yang relevan untuk objek yang sedang
ingin di ketahui. Artinya definisi memperkenalkan makna yang relevan.10
9 E. Sumaryono, Dasar-Dasar Logika (Yogyakarta: IKAPI, 1999), h. 38-40
10 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq (Yogyakarta: IKAPI, 1995), h. 57
21
D. Syarat-syarat Pembentukan Definisi
a. Syarat-syarat Positif
Adapun syarat-syarat positif dari pembentukan definisi adalah sebagai
berikut:
1. Jami’, berarti mengumpulkan, artinya mengumpulkan semua satuan
yang di definisikan kedalam bentuk definisi.
2. Mani’ berarti mencegah, artinya melarang semua satuan hakikat lain
dari yang didefinisikan kedalam definisi.11
3. Ma’qul wa Mubin berarti masuk akal dan kongkrit, artinya definisi
harus dapat diterima oleh akal manusia, dan definisi harus lebih jelas dari
yang di definisikan.12
4. Harus sunyi dari kesalahan-kesalahan kata. Misalnya, menggunakan
kata kerja tanpa subjek, menggunkan sifat tanpa mausuf dan yang
dianggap salah oleh ahli bahasa.13
5. Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan.
Artinya, luas keduanya harus sama. Contohnya, hewan yang berakal budi
harus dapat dibolak-balikkan dengan manusia.
6. Definisi harus sama pengertiannya dengan yang didefinisikan.
Contohnya rokok adalah tembakau yang dibungkus dengan kertas yang
11 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 51
12 M.Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61
13 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 62
22
dibakar ujungnya untuk dihisap pada ujung yang lainya dan dihembuskan
sebagian asapnya.14
b. Syarat-syarat Negatif
Sedangkan untuk syarat-syarat negatif dari suatu pembentukan definisi
adalah sebagai berikut:
1. Definisi tidak boleh lebih luas maknanya dari yang definisikan.
Contohnya “Merpati adalah burung yang terbang cepat”.
2. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinsikan atau kata
yang berulang-ulang. Contoh “Kafir adalah orang yang ingkar”
3. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang negatif. Contoh “Benar
adalah sesuatu yang tidak salah”15
4. Ciri-ciri atau unsur yang akan dirumuskan tidak boleh lebih dan kurang
dan berlebihan. Contoh, agama Islam lahir di tanah Mekkah-Madinah yang
menyebar ke seluruh dunia, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
5. Definisi tidak boleh memakai kata yang terlalu umum. Contoh agama
adalah syari’ah.16
6. Definisi tidak boleh memakai kata majâz tanpa adanya qârinah yang
menentukan maksud dari kata yang didefinisikan. Definisi dapat
menggunakan kata majâz bila terdapat qârinah yang menentukan maksud
dari definisi. Contoh kata dâbbah berarti segala yang merayap di muka
bumi. Bila diistilahkan binatang yang mempunyai kaki empat.
14 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 52-53
15 Mundiri, Logika, h. 39-41
16 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61
23
7. Jangan menggunakan kata musytarak, kata yang mengandung makna
banyak tanpa ada qorinah yang menentukan salah satu dari makna yang
banyak tadi. Contohnya, kata ‘ain yang mengadung beberapa arti di
antaranya ialah matahari, mata air, mata manusia, mata uang atau hakikat
sesuatu.
8. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang garib artinya kata yang
tidak terang maknanya atas maksud yang dikehendaki, atau kata yang
mengandung arti yang tidak ada hubungannya dengan yang didefinisikan.
9. Definisi tidak boleh mengandung makna yang berakibat kemustahilan
atau tasalsul. Seperti berkumpulnya dua hal yang bertentangan.17
E. Pembentukan Definisi
Ilmu pengetahuan pembentukan definisi lazim-nya berpedoman sebagai
berikut; memasukkan objek yang didefinisikan ke dalam jenis yang berdekatan,
sambil menunjukkan ciri-cirinya khusus, yang membedakan dengan jenis lain.
Contoh: al-Qur’an adalah firman Allah Swt yang tercatat dalam bahasa Arab
dangan bahasa paling indah.18
Hal yang sama disebutkan pula bahwa mendefinisikan adalah menyebut
sekelompok kerakteristik suatu kata sehingga dapat mengetahui pengertiannya
serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk objek yang lain pula. Dan yang
dimaksud dengan kerakteristik adalah genera (jenis) dan defiferentia (sifat
pembeda), jadi mendefinsikan suatu objek adalah menganalisis jenis dan sifat
17 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61-63
18 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 63
24
pembeda yang dikandungnya,19
hal ini hanya sebagai penegasan dari pernyataan
sebelumnya.
Artinya, bila objek tidak dapat ditemukan genera dan defiferentia maka
objek tersebut tidak dapat didefinisikan, objek tersebut hanya berhenti
dipengertiannya saja.
F. Tugas Definisi
Tugas definisi secara global adalah menerangkan. Dengan definisi akan
diketahui atau dikenal sesuatu, yang tadinya memang belum diketahui atau
dikenal. Kalau ia tidak berhasil maka definisi tersebut gagal. Sebagai sebuah
contoh, Apa itu manusia? jawabannya adalah “manusia itu bukan hewan,” definisi
ini gagal menjalankan tugasnya, sebab masih belum diketahui apa yang
sesungguhnya. Karena yang bukan hewan selain manusia sangat banyak
ditemukan.20
G. Macam-macam Definisi
Definisi adalah rumusan pengertian, dan pengertian adalah definisi yang
belum selesai. Adapun macam-macam definisi sebagaimana berikut:
1. Definisi Persamaan Ungkapan
Kata yang diberikan definisi dengan kata sinonim atau kata terjemahan.
contoh: sunnah itu tuntunan, atau hadis adalah sabda.
19 Mundiri, Logika, h. 37.
20 Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat, h.62
25
2. Definisi Peragaan
Menerangkan sesuatu dengan cara memperagakan Contoh: anda melihat
guru mengajar geografi yang bertemakan pengetahuan peta Arab Saudi, beliau
sambil menunjuk sebuah peta bahwa kota Mekkah merupakan tempat kelahiran
Nabi Muhammad Saw.
3. Definisi Luas
Menerangkan sesuatu dengan memberikan contohnya sekali. Misalnya:
sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah Saw: seperti,
perkataannya, perbuatanya, sifatnya, rencana.
4. Definisi Uraian
Menerangkan sesuatu dengan menganalisa bagian-bagiannya satu persatu.
Contoh, Islam adalah agama yang paling akhir. Allah swt tidak memaksa
hambanya untuk masuk Islam, namun bila seorang hamba masuk Islam maka ia
harus mematuhi segala peraturan yang telah diatur dalam Islam.
5. Definisi Lukisan
Menerangkan sesuatu dengan melukiskan sifat-sifatnya. Contoh,
Muhammad Saw adalah rasul yang terakhir diutus sebagai pembawa syari’ah. Ia
manusia biasa, tampan dan kalau siang hari sinarnya melebihi matahari yang
sedang bersinar.21
Beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa kaidah kaidah definisi di
atas dapat berlaku pada semua disiplin ilmu yang dapat dikaji oleh manusia.
21 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 62
26
BAB III
DEFINISI SUNNAH DAN HADIS
A. Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis
1. Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Kamus
Sunnah berasal dari bahasa arab ( ) berarti mengasah atau
manajamkan. Namun, kata tersebut tidak hanya mempunyai makna tunggal,
melainkan memiliki makna yang sangat luas, ia sangat tergantung pada susunan
kalimatnya. Bila kata sunnah disandarkan pada kata (انطشيقح) maka ia berarti
“berjalan di jalan”, dan bila kata tersebut disandarkan pada manusia maka ia
berarti “Mengadakan sunnah untuk mereka,” dan bila kata tersebut diberi syiddah
( س-ض-سح maka ia berarti “jalan, tabi‟at, peri kehidupan.” Intinya adalah makna
kata sunnah sangat dipengaruhi oleh kalimat yang mengikutinya.1 Hal tersebut
didukung oleh penulis kamus yang lain seperti kamus al-Munawir,2 kamus Arab-
Kontemporer.3
Hal yang sama juga terjadi pada hadis, artinya kata hadis berasal dari bahasa
Arab, yaitu حذشا-يحذز-حذز berlaku, terjadi. ( حذاشح-يحذز-حذز berarti baru,
bilamana kata tersebut ber-syiddah, maka ia berarti menceritakan, memberikan.
1 Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 180
2Ahmad Warson Munawwar, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Jogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 670 3Ahmad Zuhdi Muhdior, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan
Ali Maksum, 1996), h. 1092
27
Apabila kata tersebut dirubah harkah menjadi ( احاديس-ض-حذيس berarti cerita,
berita, riwayat dari nabi Muhammad saw.4
2. Pendapat Para Ulama Mengenai Sunnah dan Hadis
a. Etimologi Sunnah
Kebanyakan para ulama dunia Islam menetapkan definisi sunnah secara
etimologis adalah:
انؼرادج حسح كاد قثحيحانسيشج انطشيقح
"Jejak dan jalan yang bersifat kebiasaan baik bagus maupun jelek"
حسح كاد قثحيحانسيشج"Jalan (yang dijalani) baik terpuji maupun tercelah.
5"
انسرقيح انطشيقح"Jalan yang lurus"atau jalan yang harus ditempuh.
6”
Ulama yang berbeda berpendapat, bahwa kata sunnah dapat diartikan
“politik” kata tersebut diambil dari bahasa Yunani „politeia‟ yang berarti
konstitusi atau repulik, secara filosofis ia mempunyai arti tentang keadilan,7
intinya adalah kesatuan negara dan masyarakat, politik merupakan aturan main
yang berada di dalamnya.8 Dalam hal ini Rasulullah.saw merupakan seorang
4 Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h.98
5 Nur al-Din 'Atar, Manhâj al-Nâqidi Fî Ulumu al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h.
27 6 Taqiyuddin al-Nabhani,Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah, Penerjemah.
Abu Amin,dkk (Jakarta: HTI Press, 2010), h. 122 7 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1997), h. 7-8
8 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia: Satu Model Pengantar (Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 1999), h. 2
28
Rasulullah yang merangkap sebagai presiden yang mengatur semua sistem
kehidupan masyarakat waktu itu.9
Berdasarkan etimologi di atas, penulis pahami bahwa kata sunnah
mempunyai dua unsur atau ciri khusus yaitu, jalan dan perjalanan atau jejak
(sejarah). Dua ciri tersebut harus disebutkan dalam terminologi.
b. Etimologi Hadis
Secara etimologi,10 kata hadis merupakan serapan dari bahasa arab, yang
aslinya berbunyi al-Hadîts. Dalam hal ini para ulama memberikan sikap yang
berbeda-beda, maskipun tidak terlalu tajam, artinya hal tersebut masih bisa
ditolerir: Berikut beberapa pendapat para ulama perihal etimologi hadis:
1. Menurut al-Fayumiy, telah mengartikan kata hadis dengan:
ذجذ د جد يا يرحذ ز ت يقم قشية
“Yang baru keberadaanya, apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan
dekat atau menjelang”11
2. Menurut Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, lebih
dikenal dengan penggilan Ibn Manzhur , mengartikan hadis sebagai berikut:
انجذيذ ي االشياءانخثش ياذ ػ انقهيم انكصيش
“Sesuatu yang baru berupa berita yang datang, baik sedikit atau banyak”
9Abd A‟la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 55 10
Penyelidikan mengenai asal-usul kata atau istilah serta pembahasannya, Lihat, Pius A
Partanto, dkk, Kamus Ilmiah Populer, h. 162 11
Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi
Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi‟iy (Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th), h. 135
29
Selanjutnya dikatakan bahwa kata jamak ialah hadis
sebagaimana kata
qata‟a –aqti‟ hanya saja kata jamak dengan model seperti ini adalah syadz dan
menyalahi qiyas.12
3. Badr al-Dîn Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah, Mengartikan:
ايا انحذيس فاصه ضذ انقذيى قذ اسرؼم ف قهيم انخثش كيصش
“Adapun asal makna kata al-Hadîts adalah lawan dari kata al-Qadim
(terdahulu), dan kadang dipakai untuk makna berita baik yang sedikit
maupun banyak”
Pakar ilmu hadis Rasulullah Saw, „Ajaj al-Khatib dalam dua bukunya,
dengan tegas mengartikan, kata hadis secara etimologi (al-Jadîd) yang baru, (al-
Qarib) dekat. Subhi Shaleh menambahkan bahwa makna hadis adalah (al-kalam)
pembicaraan,13 secara bahasa hal ini terlihat berseberangan dengan al-Qur‟an
yang bersifat (Al-Qadim) yang terdahulu.14
Pada literatur yang berbeda disebutkan, bahwa makna kata hadis sangat di
tentukan oleh kata yang mengikutinya, bila kata tersebut disandarkan pada Allah
Saw maka ia menjadi hadis qudsi.15 Apabila kata tersebut disandarkan pada kata
Nabi maka ia menjadi hadis nabawi.
3. Makna Sunnah dan Hadis dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur‟an penyebutan sunnah dan hadis tedapat dua macam;
Pertama, penyebutan secara langsung. Kedua, penyebutan secara tidak langsung.
Penyebutan sunnah secara langsung adalah:
12 Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Anshariy, Lisân al-Arab, Juz. 11, h. 437.
13 Subhi Shaleh. Ulum al-Hadîth wa Mustalahu, h. 3
14 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadîts‟Ulumuhu wa Mustalahuhu, h.26-27
15 M. Agus Solahuddin, dkk, Ulumul Hadis, (Bandung; Pustaka setia, 2009), h.25-26
30
a. Kata Sunnah dalam al-Qur‟an
Para ulama mengutip, kata sunnah dari al-Qur'an, mereka gunakan dalam
artian khusus yaitu: "Cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama: kata
Sunnah dalam awal periode Islam dikenal dengan arti tersebut.16
Kemudian, kata sunnah disebutkan diberbagai tempat, dengan tujuan yang
berbeda-beda. Penulis harus menguraikan hal ini, untuk mengetahui perubahan
makna sunnah dalam al-Qur‟an, sebagaimana berikut:
“Sebagai suatu sunnatullah (hukum Allah.swt yang telah ditetapkan) yang
berlaku, sebelum kamu, dan tiada akan menemukan perubahan bagi
Sunnahtullah tersebut.”17
“Kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap
Rasul-rasul Kami yang kami utus sebelumu, dan tiap-tiap ummat yang
mengusir Rasul, pasti akan di binasakan Allah.swt. Demikianlah Sunnah
(ketetapan Allah.swt) dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi
ketetapan kami itu”18
“Sebagai Sunnatullah yang berlaku atas orang-orang sebelum kamu, dan
kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sunnahtullah”19
16 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, h. 37
17Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Madinah al-Munawarah:
Mujama' al-Malik Fahd li Thibâ'at al-Mushaf, T.th.) Q.S.Al-Fath (48) ayat: 23. 18
Q.S. Al-Isrâ‟ (17) ayat: 77. 19
Q.S. Al-Ahzâb (33) ayat: 62.
31
“Maka Iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah
melihat siksa kami. Itulah Sunnahtullah yang telah berlaku terhadap
hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir”20
“Karena kebohongan mereka di bumi dan arena renacana mereka yang
jahat. Rencana itu tidak akan menimpa selain orang yang merencakannya
sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya)
Sunnah kepada orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi Sunnah Allah.swt dan sekali-kali tidak akan
menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah.swt itu”21
“Dan tidak ada satupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika
petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada
tuhannya, kecuali keinginan menanti datangnya hukum Allah.swt yang
telah berlaku pada umat-umat yang dahulu atau datannya adzab atas
mereka datangnya nyata”22
20 Q.S. Al-Mukmin (Ghafir) (40) ayat: 85
21 Q.S. Fâthir (35) ayat: 43.
22 Q.S. Al-Kahfi (18) ayat: 55.
32
“Mereka tidak beriman kepada al-Qur‟an dan sesungguhnya telah berlalu
Sunnatullah (membinasakan orang-orang yang mendustakan rasul)
terhadap orang-orang dahulu.23
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti
ingkar, niscaya Allah.swt akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang lalu; dan jika mereka kembali lagi(kembali memerangi
nabi), sesungguhnya akan berlaku kepada mereka Sunnahtullah orang-
orang terdahulu”24
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu Sunnah Allah.swt, yang
dimaksud dengan Sunnah Allah.swt di sini ialah hukuman-hukuman
Allah.swt yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada
orang-orang yang mendustakan Rasul. karena itu berjalanlah kamu dimuka
bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan(Rasul-rasul)”25
26
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (al-
Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya engkaulah yang maha
kuasa lagi maha bijaksana”27
23 Q.S. Al-Hijr (15) ayat: 13.
24 Q.S. Al-Anfâl (08) ayat: 38.
25 Q.S. Ali-Imrân (3) ayat: 137.
26 Q.S. Al-Baqarah (2) ayat: 129.
27 H. Muhammad Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, h. 42
33
Pada ayat terakhir disebutkan, bahwa yang dimaksud kata al-hikmah
adalah Sunnah, dalam tradisi filsafat, kata hikmah diartikan filsafat atau
kebenaran,28 para ahli hadis mengistilahkan bahwa kebenaran yang hakiki adalah
sunnah.29
Dalam pemaparan ayat-ayat di atas, dapat penulis pahami bahwa yang di
maksud dengan kata sunnah tidak berhubungan langsung dengan Rasulullah.saw,
melainkan berhubungan dengan Allah.swt yang telah berlaku, maupun yang akan
berlaku.
Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: Pertama,
Sunnatullâh, yaitu aturan yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak satupun yang bisa
menggugatnya. Kedua, Sunnah orang terdahulu (adat-istiadat sejarah). Ketiga,
Filsafat.
b. Kata Hadis dalam al-Qur‟an
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa kata hadis dalam al-Qur‟an
menempati beberapa tempat:
“Dan sesungguhnya Allah.swt telah menurunkan Al-Qur‟an bahwa apabila
kamu mendengar ayat-ayat Allah.swt diingkari dan diperolok-olokkan
oleh orang kafir, maka janganlah kamu duduk berserta mereka, sehingga
28 Aksin wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur‟an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis- Hermeneutis,
(Yogjakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009), h.71 29
Muhammad Dailamiy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan,..h.42
34
mereka mamasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
Allah.swt akan mengumpulkan semua orang-orang munafik di dalam
neraka”30
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat Kami,
maka tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan yang lain. Dan
menjadikan kamu lupa akan larangan ini, maka janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat akan larangan
tersebut”31
“Apakah mereka tidak mempertahatikan kerajaan langit-bumi dan segala
sesuatu yang di ciptakan Allah.swt dan kemungkinan telah dekatnya
kebinasaan mereka? maka kepada mereka? maka kepada berita manakah
mereka akan beriman selain kepada Al-Qur‟an tersebut”32
“Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telah menganugerahkan kapadaku
sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian Ta‟bir mimpi.
30 Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Asy-syarif Medinah
Munawarah. 9960): Q.S. al-Nisâ‟ (04) ayat: 140. 31
Q.S. Al-An‟âm (6) ayat: 68 32
Q.S. Al-A‟râf (7) Ayat: 185
35
Ya tuhan pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku didunia dan
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan islam dan gabungkanlah aku
dengan orang-orang yang saleh”33
“Dan orang mesir yang membelinya berkata kepada isterinya; berikanlah
kepadanya tempat dan layanan yang baik, boleh jadi dia bermamfaat
kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak,”Dan demikian pulalah kami
memberikan kedudukan yang baik kepada yusuf di muka bumi mesir, dan
agar kami ajarkan kepadanya ta‟bir mimipi. Dan Allah.swt berkuasa
terhadap urusannya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuianya”34
“Dan demikianlah tuhanmu, memilih kamu untuk menjadi Rasulullah.saw
dan di ajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta‟bir mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat kepadamu dan kepada keluarga yakqub,
sebagaimana dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang
bapakmu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan ishaq. Sesungguhnya tuhanmu
maha mengetahui lagi maha bijaksana”35
33 Q.S. Yusuf (12) ayat: 101
34 Q.S. Yusuf (12) ayat : 21
35 Q.S. Yusuf (12) ayat: 06
36
“Sesungguhnya kepada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an itu bukanlah cerita yang di
buat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.”36
“Dan ingatlah ketika Rasulullah.saw membicarakan secara rahasia kepada
salah seorang isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala
hafshah menceritakan kepada aisyah dan Allah.swt memberitahukan
pembicaraan kedua isteri rasul kepada Rasulullah.saw lalu beliau
memberitahukan sebagian yang lain kepada hafshah. Maka tatkala
Rasulullah.saw memberitahukan kepada kedua isterinya lalu hafsha
bertanya; siapakah yang telah member tahukan kepadamu?
Rasulullah.sawmenjawab; Allah.swt telah memberitahukan kepadaku yang
maha mengetahui”37
36 Q.S. Yusuf (12) ayat: 11
37 Q.S. At-Tahrim (66) ayat: 3
37
“Dimana saja kamu berada, kematian akan menghampirimu, kendatipun
kamu dalam benteng yang tinggih dan kokoh. Dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan; ”Ini adalah dari sisi
Allah.swt”, dan kalau mereka di timpa sesuatu bencana mereka
mengatakan” ini datangnya dari sisi kamu Muhammad.saw ”katakanlah”
semunya datang dari sisi Allah.swt“ maka mengapa orang-orang tersebut
munafik hampir tidak memahami sedikit pembicaraan”38
“Allah.swt telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang
kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.swt, Itulah petunjuk
Allah,swt dengan kitab itu, dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.
dan barangsiapa yang disesatkan Allah.swt niscaya tidak ada baginya
seorang pemimpinpun.” 39
“Pada hari itu orang kafir dan orang-orang yang mendurkahai rasul, ingin
selalu mensamaratakan dengan rata,dan mereka tidak dapat
menyembunyikan sesuatu kejadian apapun.”40
38 Q.S. Al-Nisâ‟(4) ayat: 78
39 Q.S. Al-Zumar (39) ayat: 23
40 Q.S. Al-Nisâ‟(4) ayat: 42
38
“Allah.swt tidak ada tuhan selain dia. Sesungguhnya dia akan
mengumpulkan kamu hari Qiamat, yang ada keraguan terjadinya. Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.swt.”41
“Itulah ayat-ayat Allah.swt yang kami membacakannya kepadamu dengan
sebenarnya; maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman
sesudah (kalam) Allah.swt dan keterangan-keterangan-Nya”42
-
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu
menetertawakan dan tidak menangis?” 43
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih
hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan ini”44
“Apakah kamu menganggap remeh saja al-Qur‟an ini?”45
41 Q.S. An-Nisâ‟(4), ayat: 87
42 Q.S. Al-Jâtsiyah (45) ayat: 6
43 Q.S. Al-Najm (53)ayat: 59-60
44 Q.S. Al-Kahfi (18) ayat: 6.
45 Q.S. Al-Wâqi‟ah (56) ayat: 81.
39
“Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian di
bawanya daging anak sapi gemuk”46
“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?”47
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran
itu jika mereka orang-orang yang benar”48
“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang?”49
“Apakah telah sampai kepadamu kisah musa?”50
“Maka serahkanlah (Ya Muhammad.saw) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan hadis ini (al-Quran). nanti kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui”
46 Q.S. Al-Dzâriyât (51) ayat: 24.
47 Q.S. Al-Ghasyiyah (88) ayat: 01.
48 Q.S. Al-thûr (52) ayat: 34.
49 Q.S. Al-Burûj (85) ayat: 17.
50 Q.S. Thâhâ (20) ayat: 9. Dengan ayat dan posisi yang sama, disebutkan dalam surah
(79) ayat: 15. 51
Q.S. Al-Qalâm:(68) ayat: 44
40
Kata hadis dalam al-Qur‟an mempunyai banyak makna, namun makna-
makna tersebut sangat konteras dengan temuan dari beberapa kamus sebelumnya.
Adapun makna hadis dalam al-Qur‟an adalah: “Berita-cerita atau komunikasi,
religius, kisah-risalah, dari masa lampau ataupun masa kini.52
Ta'bir mimpi,
kejadian atau peristiwa, keterangan, al-Qur‟an, diam-diam.
B. Kajian Terminologi Sunnah dan Hadis
1. Definisi Sunnah Prespektif Ulama Salafi
Ulama Salafi53
memandang teks, cenderung pada tekstualis atau leteralis,
bila mereka memutuskan sesuatu atau memberikan batasan pada sebuah objek
tertentu, maka yang menjadi rujukan adalah teks al-Qur'an dan hadis, bila
keduanya tidak ditemukan, mereka melakukan Ijtihad,54
a. Ahli Hadis mendefinisikan bahwa sunnah adalah:
كا كم يا ا شش ػ اانثي ي قل افؼم ا ذقشيش ا صفح خهقيح ا سييشج ساء
رنك قثم انثؼصح اتؼذ ا
“Segala yang bersumber dari Nabi.Muhammad.saw baik berupa perkataan,
perbuatan, pengakuan, Tabiat, Budi pekerti, atau Perjalanan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul,56
maupun sesudahnya.”
52 M.M. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literater, Terj.Meth Kieraha.
(Jakarta: Lentera, 2003), h. 21-23. 53
Kata salaf, berarti yang terdahulu, atau Jamaat yang berpendapat , bahwa seorang
bebas melakukan perbuatan yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. Lihat, Pius
Apartanto,dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 689 54
Sebagaimana disyariatkan oleh dalam agama islam, Lihat.Abu Dawud, Sulaiman bin
al-Asy'ats al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, Juz III, h. 412-413. Diperkuat oleh Shahih al-Bukhori
juz III, hal. 407 55
Abbas Mutawali Hamdah, As-sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-Tasyri'. Kairo:
Dar-al-Qaumiyah), h. 23
41
Bagi ulama muhaditsin yang menjadi objek peninjauannya adalah pribadi
Rasulullah.saw sebagai orang yang harus dicontoh. Oleh sebab itu ulama
menukilkan bahwa semua yang berhubungan dengan beliau, baik mewudkan
syara‟ mapun tidak.57
Adapun masa berlakunya sunnah mulai pra kerasulan
Muhammad saw hingga pasca kerasulannya, beliau dapat dijadikan suri tauladan
yang baik. Sebagaimana firman Allah swt:
.58
“Sesungguhnya telah ada untuk kalian, seorang diri Rasulullah.saw itu suri
tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah
swt dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.swt”
Dalam tafsir Zamakhsyari disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata
“Uswah Hasanah” terdapat dua makna: Pertama, Rasulullah.saw secara fisik
dapat di jadikan contoh. Kedua, Beliau secara Maqam (derajat) telah menempati
tempat yang paling sempurna, yaitu Maqam al-Hakiqi.59
Menurut penulis kata ”uswah” yang berarti contoh, hal ini tidak berarti
wajib diikuti, melainkan pula wajib ditinggalkan. Artinya mengikuti segala
sesuatu yang diperintah Rasulullah.saw dan meninggalkan segala hal yang
dilarang olehnya.
56 Maksud dari kata “Qabla al-Bi‟tsah,” seperti proses tahanuts-nya Nabi di Gua Hira,
kemulaan budi pekertinya, kebeikan perjalanan hidupnya. Lihat, Muhammad „Ajjaj Al-Khathib,
Ushul Al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr.1989), h.19 57
Muhammad Ajajj Al-Khatib, Usul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr.tth).Cet.3,h.19 58
Q.S. Al-ahzâb (33) ayat: 21 59
Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Ibn Ahmad Zamakhshari, Al-kasyaf, (Beirut: Dâr
al-Fikr, T.th), h. 318
42
Mengikuti jejak kehidupan Nabi Muhammad saw dari lahir hingga wafat
merupakan tindakan yang paling sempurna dan tidak akan pernah salah, karena
Allah swt telah memberikan beberapa Rekomendasi dalam firman-Nya:
. 60
“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Allah swt memuji Rasulullah saw memakai kata mukhatab dan tanpa
menggunakan durasi waktu, berapa lama dan mulai kapan Allah saw memuji
Rasulullah saw, artinya Rasulullah saw telah dijadikan figur semenjak ia tercipta
hingga ia wafat.61
. 62
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati
Allah.swt.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dalam ayat ini Allah swt menegaskan
bahwa seseorang yang telah mentaati Rasul maka ia berarti pula mantaati Allah
swt. Begitu pun sebaliknya,63
karena Rasulullah saw hanya menyampaikan segala
hal yang diperintahkan Allah swt.64
60 Q.S. Al-Qalâm (68) ayat: 04
61Abu al-Fidâ‟ Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimasqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhzim
(Damaskus: Dâr Thayyibah.1999) Juz VI, h.193 62
Q.S. Al-Nisâ (4), ayat: 80 63
Abu al-Fada‟ Ismail ibn Umar Ibn Katsir al-Dimasqî, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhzim, Juz
VIII, h. 442 64
Q.S. al-Nahl (16) ayat: 35
43
b. Ahli Ushul Fikih mendefinisikan Sunnah:
غيش انقشا انكشيى ي قل ا فؼم اذقش يش يا - ص و- كم يا صذ سػ انثي
ا يك دنييال نحكى ششػ يصهح
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi.Muhammad.saw selain al-
Qur'an al-karim yang berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan,
yang pantas untuk di Jadikan dalil hukum Syari'a”.
Definisi ini yang menjadi objek peninjauannya adalah Rasulullah.saw.,
tokoh yang harus ditaati, sebagai pengatur yang menetapkan hukum, maka ulama
mengambil semua hal yang ditetapkan oleh Rasulullah saw untuk melahirkan
formula hukum.66
Ulama ushul fikih memandang bahwa pribadi Rasulullah.saw adalah orang
yang menciptakan dasar-dasar Ijtihad yang datang sesudahnya. Oleh karenya
sunnah dibatasi dengan penetapan hukum Islam.67
Difinisi ini membatasi sunnah hanya pada suatu yang bersumber yaitu
Rasulullah.saw, yang mempunyai relevansi dengan hukum syara', artinya segala
sesuatu yang tidak ada relevansinya dengan hukum syara', maka hal tersebut tidak
disebut sunnah karena menurut mereka, sunnah terhitung semenjak pasca
kerasulan Muhammad saw. Hal tersebut didasarkan pada sebuah argumentasi
bahwa Rasulullah saw. pengatur undang-undang yang menerangkan pada manusia
perihal aturan hukum.68
65 Muhammad Ajjâj al-Khathib, Ushul al-Hadis: "Ulûmuhu wa Musthalahu" (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989), h.19 66
Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), h. 4. 67
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 2-10 68
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 8-9
44
c. Definisi Sunnah menurut Ahli fikih, ialah:
ذقاتم اناجة غيش ي .ي غيشافرشاض الجب-و-ص-يا شثد ػ انث
االحكاو انخسح
“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi.Muhammad.saw selain yang di-
Fardukan dan bukan pula yang di wajibkan, wajib dan sunnah termasuk
bagian dari hukum taklif yang lima”
Pada redaksi yang berbeda disebutkan:
نى يك ي تاب انفشض الاناجة-كم يا شثد ػ انث صهؼى70
“Setiap sesuatu yang telah ditetapkan dari Nabi Muhammad.saw yang
bukan dari bab fardu dan bukan pula dari bab wajib.”
Definisi kedua menguatkan definisi yang pertama, dan para ulama‟
menafsirkan bahwa sesuatu yang dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan bila di
tinggalkan tidak akan mendapatkan dosa.71
ulama fikih memandang bawah
pribadi dan kehidupan Rasulullah.saw mengandung hukum Syara‟72
yang harus
dicontoh dalam menjalani aktifitas kehidupan.
Dari sebab di atas, ulama fikih merangkai terminologi khusus untuk
kepentingan hukum syara‟ di masa yang akan datang.
69 Musthafa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-Islami, (Kairo: Dâr al-
Qaumiyah.1949), h. 54 70
Muhammad „Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h. 19 71
Racmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, h.60 72
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, h.2
45
2. Definisi Hadis Prespektif Ulama Salafi
Dalam berbagai literatur, banyak sekali yang menyamakan persoalan hadis
dengan sunnah, dengan kata lain, bahwa keduanya berbentuk sinonim,73
Namun
tidak sedikit pula yang yang membedakan keduanya, salah satunya adalah:
ي فل افؼم فقط ا ا خاص تانشفع فقط -صهؼى-يا اضيف ان انث
االقال االفؼال ي انث د ذقشيش الانصفاخ الاخاصح تاقال انصحاتح
. ف زا انشا74
“Hadis adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad.saw
hanya dari perkataan, pekerjaan saja, artinya dua komponen tersebut
khusus pada hadis Nabi atau hadis Mar‟fu‟, Adapun Taqrir dan Sifat tidak
termasuk bagian hadis Nabi melainkan khusus pada perkataan para
sahabat.”
Artinya sifat dan taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad saw dikeluarkan
oleh para sahabat, karena mereka yang menyaksikan langsung keadaan Rasulullah
saw. kalaupun dua komponen kata tersebut di masukkan dalam hadis maka
keduanya tersmasuk hadis mauquf.
Dalam redaksi yang berbeda, disebutkan bahwa:
قيم ف .ي قل ا فؼم ذقشيشا اصفح خهقييح ا خهقييح-صهى-يااضيف ان انث
صهى ا انصحاتح انراتؼي ي ي قل ا -رنك ػه انرسغ يااضيف ان انث
صف خهق ا خهق فؼم ذقشيشا ا75
73 Lihat, Abdul Majid Mahmud, Amtsal al-Hadits Ma‟taqdimatin Fi ulum al-Hadist,
(Cairo:Dâr al-Turas, T. th), h. 4 74
Musthafa Abu Sulaiman, Majmu‟ah risâlah, h.9 75
Musthafa Abu Sulaiman, Majmu‟ah Risâlah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, T.th), h. 8-
9
46
”Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik dari
pembicaraan, pekerjaan, persetujuan, sifat kepribadian maupun bentuk
Jasad Nabi.”
Sebagian ulama memperluas definisi tersebut sebagai berikut:
“Bahwa sunnah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad.saw,
para sahabat dan tabi‟in, baik dari pembiacaraan, pekerjaan, pengakuan,
sifat kepribadian, sifat bentuk jasad Nabi.”
Terminologi di atas sejalan dengan hasil penelitian Muhammad Suhudi
Ismail dalam disertasinya bahwa hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw maka ia disebut hadis marfu‟. Adapun hadis yang sandarkan kepada Sahabat
Nabi, maka ia disebut hadis mauquf. Sedangkan hadis yang disandarkan kepada
Tabi‟n, maka ia disebut hadis maqtu‟.76
Definisi sunnah di atas, sejalan dengan sebuah hadis dari Nabi
Muhammad.saw:
ت ػثذ انشح ػ يؼذا يزيذ حذش خانذ ت س ت أخثشا أت ػاصى أخثشا ش
ساسيح قال ػشتاض ت ش ػ : ػ ا سسل انه صالج - صه اهلل ػهي سهى-صه ن
ا انقهب ، فقال قائم جهد ي ا انؼي ػظح تهيغح ، رسفد ي ػظا ي : انفجش شى
صا دع فأ ػظح ي ا ي كأ انطاػح :فقال. يا سسل انه غ انس انه أصيكى ترق
كى تؼذ فسيش اخرالفا كصيشا ، يؼش ي ي ػثذا حثشيا ، فإ كا فؼهيكى تسر إ
اجز ا تان ، ػضا ػهي ذيي ان سح انخهفاء انشاشذي
76 M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 27. 77
Abdullah bin „Abd al-Rahman Abu Muhammad Ad-Darimiy, Sunan al-Darimi.
(Beirut: Dâr al-Kutûb,1407 H), h. 468
47
Maksud dari hadis ini dapat menggambarkan bahwa makna sunnah tidak di
dominasi oleh Rasulullah saw, malainkan pula pada para sahabat, artinya selain
sunnah Rasulullah.saw terdapat pula sunnah para Sahabat dan Tabi‟in.
نك اراطهق نفظ انحذيس اصشف ،قثم انثؼصح تؼذا-صهؼى-كم يا اشش ػ سسل اهلل
78ي قن فؼه اقشاس:تؼذ انث-في انغانة ان يا يش ػ انشسل اهلل
“Setiap sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw baik sebelum
menjadi Rasul hingga pasca ia menjadi Rasul, akan tetapi bila kata Sunnah
berdisi sendiri para ulama biasanya memberikan definisi segara sesuatu
yang di riwayatkan dari Nabi Muhammad saw pasca Kerasulan beliau.
Dari terminologi sunnah lebih umum dari hadis”
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa definisi para ulama salaf
terdapat perbedaan yang sangat tajam, tentunya disebabkan olah latar belakang
yang berbada-beda dalam melihat teks yang didefinisikan:
a. Pada mulanya para ulama hadis membahas perihal Rasulullah.saw yang
telah diberikan wahyu Allah.swt, mereka beralih pada terminologi yang lebih luas,
yaitu ”Setiap sesuatu yang berhubungan dengan jejak, penciptaan, unsur-unsur
individu, berita dan perkataan dan perbuatan, baik yang menjadi ketepan syara‟
ataupun tidak menjadi ketetapan Syara‟.”
b. Adapun ulama usul fiqh membahas tentang Rasulullah saw dari sudut
pandang syariahnya yang menjadi undang-undang bagi masyarakat dalam
menjalani aktifitas. Artinya adalah mereka memandang perkataan, perbuatan,
pengakuan yang telah ditetapkan sebagai hukum syara‟.
78 Muhammad „Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulûmuhu wa Musthalatuhu, h. 27
48
c. Sedangkan ulama fikih membahas tentang Rasulullah saw yang
menunjukkan pada pekerjaan yang berhubungan dengan hukum syara‟, Dan
mereka membagi tiga hal: Wajib, Sunnah, Mubah.79
Adapun Haram tidak
termasuk urutan bagian di atas, karena kata tersebut lawan dari kata Wajib.
3. Definisi Sunnah Prespektif Ulama Modern
Ilmuan modern80
tidak banyak berbeda pandangan dengan kaum salafi,
namun perbedaan yang sangat fundamental, tercatat tiga hal: Pertama, logika
berfikir yang lebih cenderung kontekstual. Kedua, al-Qur'an dan sunnah lebih
dijadikan sebuah metodologi pemahaman keagamaan dari pada dijadikan sumber
hukum masyarakat, karena mereka berfikir bahwa tidak lagi sezaman lagi dengan
Rasulullah saw. Fazlur Rahman dengan Muhammad saw Syahrur, merupakan dua
ulama modern terkemuka yang bisa mewakili para ilmuan yang lain, kerena
beberapa pendapat beliau sangat komperehensif dan universal yang telah diakui
dunia.
a. Muhammad Syahrur
Adapun sunnah menurut Syahrur berarti mudah. Sebab, kata Sunnah
berasal dari kata “Sanna” yang berarti mudah, sebagaimana dikatakan: "Air yang
mengalir dengan mudah dan lancar”. Menurutnya, pengertian ini sesuai dengan
79 Muhammad „Ajâjj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h. 18
80 Dalam kamus kata “Modern” berarti cara baru, bentuk baru, kreasi baru: Mutahir.
Lihat: Pius A.Partanto.dkk, Kamus Ilmiah Populer, h.476.Namun menurut Prof.Hamdani Anwar
kata modern terbagi menjadi dua, Pertama berdasarkan masa, artinnya orang-orang yang hidup
pada masa kini disebut masyarakat modern. Kedua, berdasarkan ideologi, artinya pemikiran
seseorang yang cemerlang, hal tersebut bermamfaat bagi masyarakat banyak baik masa lalu,masa
sekarang, maupun masa depan. orang tersebut modern. Adapun masyarakat klasik kebalikannya.
Sumber: mata kuliah pada tahun 2010-2011.
49
prinsip dasar ajaran Islam yaitu membawa kemudahan bagi umatnya sebagaimana
yang ditegaskan dalam firman Allah.swt :
“Allah swt menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah.swt atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”81
Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa Rasulullah.saw senantiasa memilih
yang mudah bagi umatnya dan meninggalkan yang sulit.82
b. Fazlur Rahman
Al-Qur'an tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan Rasulullah.saw, karena
beliau merupakan gambaran dari al-Qur'an. Pada awal datangnya Islam beliau
hidup sangat membutuhkan kitab sebagai pedoman masyarakat umum, yang
kemudian Allah.swt meresponnya dengan menurunkan kitab al-Qur'an, dan Allah
swt mengamanahkan pada Muhammad saw sebagai penyampai wahyu. Cara
tersebut dikenal dengan sunnah, Rasulullah saw tidak mempunyai sunnah ektra-
al-Qur'an, sunnah adalah rekam jejak Rasulullah saw yang terkonsep dalam hadis
Rasulullah saw.83
81 Q.S al-Baqarah (2) ayat: 185.
82 Muhammad Syahrur, Al-kitâb wa al-Qur'an: Qira'ah Mua'shirah, (Damaskus: al-Ahli,
1990), h. 546. 83
Fazlur Rahman, Islam Fazlur Rahman, h. 51.
50
4. Definisi Hadis Prespektif Ulama Modern
Menurut pandangan Islam modern, para ulama memberikan terminologi
sebuah objek lebih mengutamakan konteks yang bersifat humanistik, Utamanya
dalam hal sunnah dan hadits.
Salah satu contohnya adalah Nurcholish Majid, ia berkomentar dalam
pengantar hasil terjemahannya, bahwa Hadis adalah laporan tentang aktifitas
Rasulullah.saw.84
Hal ini sejalan dengan kutipan Fazlur Rahman, hadis adalah
sunnah yang terkonsep, atau konsep-konsep sunnah.85
Namun, pendapat Muhammad Syahrur tidak demikian, ia menjelaskan
bahwa hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad saw sebagai seorang Rasul
(pembawa berita) dan manusia dan manusia yang hidup di dunia nyata. Jadi,
Hadis menrupakan hasil interaksi dengan kejadian-kejadian tertentu dengan
situasi tertentu pula pada masa tertentu pula (prodak sejarah).86
Dari beberapa pembahasan di atas, penulis sengaja tidak meyebutkan
aneka macam definisi dari berbagai prespektif para ulama‟ pada definisi hadis
sebagaimana di sebutkan pada definisi sunnah, karena kebanyakan para ulama‟
beranggapan bahwa sunnah dan hadis merupakan kata yang sinonem. Sedangkan
penulis mengambil definisi para ulama yang menoritas, sebagai pertimbangan
akademik secara kualitatif.
84 Musthafa al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya Palam Penetapan Hukum Islam,
Penerjemah. Nurcholish Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. ix 85
Fazlur Rahman, Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 43 86
Muhammad Syahrur, Al-kitab wa al-Qur'an, h. 546
51
BAB IV
STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS
PERSPEKTIF ILMU LOGIKA
Definisi sunnah dan hadis mempunyai relevansi yang sangat kuat dengan
ilmu logika (mantik), ilmu mantik adalah metode tentang undang-undang berfikir
ilmiah.1 Adapun bagian dari hal tersebut adalah definisi atau ta’rif, hal ini untuk
para pekerja ilmu pengetahuan (para ilmuan),2 sedangkan definisi sunnah dan
hadis bagian dari cara kerja ilmiah yang wajib mengikuti standar prosedur ilmu
logika, untuk mendapatkan legitimasi kebenaran dari ilmu pengetahuan.
Mengacu pada pembahasan pada bab II, dalam bab ini penulis berupaya
menganalisis beberapa definisi sunnah dan hadis yang ada, dengan ilmu mantik
atau logika. Objek kajian tersebut meliputi kajian etimologi hingga pada
terminologi.
A. Studi Etimologi Sunnah dan Hadis
1. Pengertian Sunnah
Secara etimologi sunnah adalah sebagai berikut :
انعرادج حسح كاد قثحيحانسيشج انطشيقح
. حسح كاد قثحيحانسيشج3
. انسرقيحانطشيقح4
1 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq.(Jakarta;Widjaya.1995).h.16
2 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 63
3 Nur al-Din 'Atar, Manhaj al-Naqidi fi Ulmu al-Hadits, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 27
52
Mengacu pada kaidah-kaidah ilmu logika yang telah di sebutkan
sebelumnya, penulis melihat bahwa tiga definisi etimologi telah memenuhi
standar ilmu logika yang telah disepakati para ulama mantik. Karena telah
memenuhi dua kriteria yaitu. Pertama, Memenuhi tujuan definisi. Kedua,
Memenuhi seluruh persyaratan dalam ilmu logika.
2. Pengertian Hadis:
ذجذ د جد يا يرحذ ز ت يقم قشية5
Pada definisi secara kebahasaan tidak terdapat masalah, namun dalam
prespektif ilmu logika terdapat pelanggaran yang serius, yaitu pembuat definisi
menggunakan kata yang definisikan yaitu kata hadits, padahal kata itu sangat di
larang dalam aturan pembuatan definisi prespektif ilmu logika.
انجذيذ ي االشياءانخثش ياذ ع انقهيم انكصيش6
ايا انحذيس فاصه ضذ انقذيى قذ اسرعم ف قهيم انخثش كيصش7
Dua etimologi hadis ini tidak terdapat pelanggaran baik secara kebahasaan
maupun ilmu logika, artinya dua definisi ini cukup sempurna secara etimologis.
Dari beberapa definisi di atas sementara penulis simpulkan, bahwa secara ilmu
logika, etemologis sunnah dan hadis mayoritas telah memenuhi standar ilmu
logika terkecuali pada etemologi hadis yang pertama
4 Taqiyuddin al-Nabhani, Penuturan Hidup Dalam Islamidisi Mu'tamadah, Penerjemah:
Abu Amin, dkk. (Jakarta: HTI Press, 2010), h.122. 5 Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi Gharib
al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy (Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th, Juz 1), h. 135 6 Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan Al-‘Arab, (Dâr Li al-Ta’lif
wa al-Tarjamat, T.th), Juz II, h.437. 7 Muhammad ‘Ajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Dâr al-Fikr;
Beirut Libanon.1981), cek.I, h.20
53
B. Studi Terminologi Sunnah dan Hadis
1. Kajian Definisi Sunnah
Adapun definisi sunnah dapat disebut sebagai berikut:
كا كم يا ا شش ع اانثي ي قل افعم ا ذقشيش ا صفح خهقيح ا سييشج ساء
رنك قثم انثعصح ا تعذا
Secara bahasa penulis melihat dua kelemahan dalam definisi ini, yaitu
Pertama, kata ( kata lebih sempit dari kata Rasul, Nabi dan Rasul (ع انثي
merupakan dua kata yang berbeda, bila seseorang menyebut maka Nabi maka
tidak berarti ia bermakna Rasul, namun bila ia menyebut kata Rasul maka dapat
dipastikan bermakna Nabi.9
Kedua, kata taqrîr yang bermakna persetujuan, kata ini seharusnya tidak
disebutkan karena ia sudah termasuk kedalam makna (Qaul wa Fi’lun) yaitu
perkataan dan pekerjaan, artinya perkataan atau pekerjaan Rasulullah saw
mewujudkan sebuah persetujuan.10
Mengacu pada kaidah ilmu logika yang telah disebutkan dalam bab kedua,
penulis melihat bahwa definisi di atas bermasalah pada dua hal:
Pertama, Pembuat definisi ini menggunakan kata yang mutasil dan
Tasalsul, yaitu berkumpulnya dua makna kata yang berseberangan. Contohnya
kata taqrîr, kata tersebut merupakan masdar dari kata qarara, dalam kamus
8 Abbas Mutawali Hamdah, Al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makanatuh Fi al-Tasyri'.
(Kairo: Dâr al-Qaumiyah), h.23. 9 Syaik Ibrohim, Al-Bâjuri, (Surabaya: al-Hidayah, 1999), h. 15
10 M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis;Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 26.
54
bahasa arab, berarti penetapan, pengakuan, persetujuan.11
Dalam literatur yang
berbeda disebutkan bahwa kata taqrîr berarti ketetapan dan kenyataan. Sedangkan
kata yang berarti pengakuan adalah kata aqarra, yuqirru.12
Artinya, bila kata
taqrîr diartikan pengakuan, sangat tidak cocok, disebabkan berbeda wazan
meskipun dalam akar katanya sama.
Menurut penulis kata ‘pengakuan’ atau ‘persetujuan’ bahkan ‘penetapan’
harus melalui ucapan dari subjek atau seorang yang menyetujui, mengakui tentang
sesuatu. Contoh kasus:
Rasulullah saw bila ia diam terhadap sebuah peristiwa yang dilakukan
para sahabat, kemungkinan terbesar adalah belum turunnya wahyu, karena ia
tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa adanya wahyu13
dan penyampaian wahyu
harus dilakukan dengan lisan. Apabila para ulama menyatakan bahwa taqrîr yang
berarti persetujuan masuk dalam katagori hadis Rasulullah saw, hanya penafsiran
para sahabat pada sebuah peristiwa, yang menurut logika hal tersebut mustahil.
Kedua, sebagian para ulama menyatakan bahwa kata taqrîr, termasuk atau
bagian dari kata afa’l (pekerjaan) kata taqrîr dinyatakan secara eksplisit, maka
rumusan definisi akan menjadi gharu mani’.14
Artinya bilamana kata taqrîr
dipaksakan masuk kedalam unsur definisi maka ia definisi tersebut cacat secara
hukum logika. Karena hukum logika sebuah definisi harus mani’.
11
Muhammad bin Mukran bin Mansur, Lisan al-‘Arâb, (Mesir: Dâr Al-Misriyyah, T.th)
Juz VI, h. 394. 12
Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972), h. 334-
335. 13
Q.S. al-Najm:(53)2-3 14
M.Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 26
55
2. Definisi Ulama Usul Fikih
غيش انقشا انكشيى ي قل ا فعم اذقش يش يا - ص و- كم يا صذ سع انثي
ا يك دنييال نحكى ششع يصهح
Definisi yang ketiga di rilis oleh Ulama Usul Fikih, definisi ini secara
kebahasaan tidak bermasalah, Namun secara ilmu logika definisi ini mempunyai
persoalan yang sama dengan definisi sebelumnya, yaitu pada kata (taqrîr) yang
berarti sebuah persetujuan, persoalan ini telah dijelaskan sebelumnya.
3. Definisi Ulama Fikih
ذقاتم اناجة غيش ي .ي غيشافرشاض الجب-و-ص-يا شثد ع انث
االحكاو انخسح
نى يك ي تاب انفشض الاناجة-كم يا شثد ع انث صهعى17
Dari dua definisi di atas dapat dianalisa bahwa kalimat yang di gunakan
sangat relevan dengan ilmu bahasa maupun ilmu logika. Definisi kedua hanya
menguatkan definisi di atas. Namun secara keseluruhan definisi ini tidak ada
masalah dan hampir terbilang sempurna.
Namun secara ilmu logika dua definisi di atas tidak memenuhi standar ilmu
logika karena pembuat definisi telah melanggar persyaratan negatif yaitu tidak
boleh memakai kata nafi ‘tidak’ sedangkan kata di atas memakai kata tersebut
dalam struktur definisi.
15
Muhammad Ajjâj al-Khathib, Ushul al-Hadis, "Ulumuhu wa Musthalahu" (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989), h. 19. 16
Musthafa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makânatuha Fi al-Tasrî al-Islam (Kairo:Dâr al-
Qaumiyah, 1949), h.54 17
Muhammad ‘Ajâjj al-Khatib, Usul al-Hadits, h.19
56
4. Definisi Ulama Hadis
ي فل افعم فقط ا ا خاص تانشفع فقط -صهعى-يا اضيف ان انث
االقال االفعال ي انث د ذقشيش الانصفاخ الاخاصح تاقال انصحاتح ف
.زا انشا18
Definisi ini telah memberikan hal yang baru daripada sebelumnya,
maskipun dalam hal ini kembali menyinggung persoalan taqrîr, pembuat definisi
menegaskan bahwa taqrîr dikeluarkan oleh para sahabat, artinya hal ini masuk
dalam kategori hadis mauquf.
Secara ilmu logika penulis melihat bahwa definisi ini tidak bermasalah,
artinya telah memenuhi standar ilmu logika. Namun secara kebahasaan sedikit
bermasalah yaitu pada kata ‘يااضيف ’:
قيم ف .ي قل ا فعم ذقشيشا اصفح خهقييح ا خهقييح-صهى-يااضيف ان انث
صهى ا انصحاتح انراتعي ي ي قل ا -رنك عه انرسع يااضيف ان انث
صف خهق ا خهق فعم ذقشيشا ا19
Dua definisi di atas penulis pahami, bahwa terdapat dua kata yang
bermasalah penting secara bahasa: Pertama kata (اضيف) yang berarti disandarkan,
merupakan kata yang bermasalah, contohnya adalah A bersandar pada B, artinya
A tidak termasuk bagian dari B, Sesuatu yang bersandar dengan yang di
sandarkan merupakan dua hal yang berbeda.
18
Musthafa Abu Sulaiman, Majmu’ah risalah, h.9
19
Musthafa abu Sulaiman, Majmu’ah risalah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah.tth), h. 8-9
57
Menurut ilmu logika definisi di atas tidak bermasalah dengan dua hal:
Pertama, Pembuat definisi memberikan kata yang mengakibatkan kemustahilan
dalam pengertian. Kedua, Memasukkan unsur kata yang seharusnya tidak ada.
Kata tersebut adalah taqrîr dengan sifat, karena dua kata tesebut termasuk
hadis mauquf yaitu berita yang dikeluarkan oleh para sahabat, padahal dua hal
tersebut tidak boleh terwujud dalam definisi.
نك اراطهق نفظ انحذيس ,قثم انثعصح تعذا-صهعى-كم يا اشش ع سسل اهلل
ي قن فعه :تعذ انث-اصشف في انغانة ان يا يش ع انشسل اهلل
20اقشاس
Definisi ini secara kebahasaan maupun ilmu logika merupakan definisi
yang sempurna, maskipun terdapat kata ‘iqrar’ kata ini tidak termasuk kata
mustarak karena kata tersebut lebih kusus dari pada kata taqrîr.
5. Definisi Ulama Modern
Terdapat tiga ulama Modern yang penulis kutip dalam kajian ini, Pertama,
Muhammad Syahrur. Kedua, Fazlur Rahman. Ketiga, Nurcholish Majid Ketiga
ulama di atas dapat mewakili dari beberapa pendapat ulama yang lain.
Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sunnah adalah segala yang
mudah dan dimudahkan. Sedangkan hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad
saw sebagai seorang rasul pembawa berita Allah swt dan manusia yang hidup di
alam nyata.
Fazlur Rahman berpendapat bahwa sunnah adalah rekam jejak Nabi
Muhammad saw yang sebagian terkonsep oleh hadits. Sedangkan hadis adalah
20 Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h.27
58
hasil konsep sunnah, atau sunnah yang terkonsep. Nurcholish Majid berkomentar
sama dengan komentar Fazlur Rahman yaitu hadis adalah laporan tentang
aktifitas Rasulullah saw.
Menurut ilmu logika beberapa definisi yang dirilis oleh dua ulama modern
penulis tidak menemukan pelanggaran, artinya beberapa definisi di atas telah
memenuhi standar dalam ilmu logika, maskipun corak definisi tersebut terkesan
bersebrangan dengan ulama salaf.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan dua hal:
Pertama, Definisi sunnah merupakan prangkat ilmu pengetahuan yang
harus mematuhi aturan, yang telah ditetapkan dalam ilmu logika. Sedangkan ilmu
logika merupakan seperangkat aturan ilmiah yang dapat di gunakan pada semua
objek ilmu pengetahuan, utamanya pada persoalan definisi sunnah dan hadis.
Kedua, Definisi yang dikeluarkan oleh ulama hadis dan ushul fikih
menurut Jamhur ulama tidak memenuhi standar ilmu logika, karena mereka
mempersoalkan kata taqrîr dalam definisi tersebut. Hal yang sama terjadi pula
pada definisi sunnah dari ulama fikih, maskipun alasannya berbeda, pelanggaran
yang terjadi pada definisi tersebut adalah mereka memakai kata “nafi” yang
dalam ilmu logika sangat dilarang.
Ketiga, Sedangkan definisi hadis pertama dan ketiga dalam perspektif
Ilmu Mantik telah memenuhi standar sebagai sebuah definisi yang sempurna.
Namun definisi hadis yang kedua, terdapat persoalan sebagaimana yang di
persoalan pada definisi sunnah yaitu kata taqrîr.
B. Kritik dan Saran
Hasil penelitian ini hakikatnya hanya sebagai penegasan dan untuk
mengembalikan pada terminologi yang semestinya, penulis tidak bermaksud
untuk menyalahkan para ulama yang berbeda pendapat dengan hasil penelitian ini,
60
hanya saja penulis inginkan agar selalu berhati-hati dalam memahami teks agama,
sebab bila seseorang salah memahami teks keagamaan dapat dipastikan pula salah
dalam mengamalkan agama yang ia anut dan kesalahan terbanyak dalam
pemahaman teks keagamaan adalah pada kasus pengertian atau definisi.
Dari beberapa kesimpulan di atas, bahwa tulisan yang ada di tangan
pembaca ini, merupakan hasil dari sekian banyak penelitian yang ada. Penulis
sadari penelitian ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu
diperbaiki, baik dari sistematika penulisan maupun bentuk tulisan. Harapan
penulis agar pembaca bisa memberikan sumbangsih pemikiran baik kritik mapun
saran untuk kesempurnaan penelitian ini. Terus terang hal ini perlu penelitian
lanjutan agar memahami sunnah dan hadis secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Mu‟in, Taib Thahir. Ilmu Mantiq. Yogyakarta: IKAPI, 1995.
Abu Sulaiman, Musthafa. Majmu’âh Risâlah. Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, T.th.
al-Anshari, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram. Lisan Al-‘Arab. Dâr Li al-
Ta‟lifwa al-Tarjamat, T.th.
'Atar, Nur ad-Din. Manhaj an-Naqidi fi Ulumu al-Hadits. Beirut: Dâr al-
Fikr,1979.
Azami, M.M. Studies in Hadis Methodology and Literater. Terj. Meth Kieraha.
Jakarta: Lentera, 2003.
Badudu, J.S. dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustakan Sinar
Harapan, 1996.
Baihaqi. Ak. Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpikir Logis. Jakarta: Darul Ulum
Press, 2007.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah:
Jaziar Radianti. dkk. Bandung: Mizan, 2000.
al-Dailamy, Muhammad. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan.
Porwokerto: Fajar Pustaka, 2010.
al-Darimiy, Abdullah Bin „Abd al-Rahman Abu Muhammad. Sunan al-Darimi.
Juz 10. Beirut: Dâr al-Kutûb, 1407 H.
Depag RI. al-Quran dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra, 1996.
E. Sumaryono. Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: IKAPI, 1999.
Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press, 1994.
al-Fayyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy. al-Misbah al-Munir Fi
Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy. Juz 1.Saudi Arabia: Al-
Mamlakah, T.th.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hamdah, Abbas Mutawali. al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makânatuh Fi al-Tasyri'.
Kairo: Dâr al-Qaumiyah, T.th.
Huda, Nurul. “Metode Pemahaman Hadis Tela‟ah Historis dan Semantik.” Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002.
Ibn Katsir al-Damasqi, Abu al-Fida‟ Ismail ibn Umar. Tafsir al-Qur’an al-
‘Adhzim. Juz VI. Damaskus: Dâr-Thayyibah, 1999.
Ibrohim, Syaik. al-Bâjuri. Surabaya: al-Hidayah, 1999.
Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, juz 10. T.tp: Mauqiu al-
Islamiah, T.th.
Iskandar.Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial: Kualitatif dan Kuantitatif.
Jakarta: GP Press.2009.
Isma‟il, M. Suhudi. Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al-
Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal.
Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
-----------,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah.Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia: Satu model pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algesindo,1999.
Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an Dan Terjemahannya. Madinah al-Munawarah:
Mujama' al-Malik Fahd li Thiba'at al-Mush-Haf, T.th.
al-Khathib, Muhammad „Ajjaj. Usul Al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr,1989.
Mahmud, Abdul Majid. Amtsal al-Hadits Ma’taqdimatin Fi ulum al-Hadist.
Cairo: Dâr al-Turas, T.th.
al-Maududi, Abd. A‟la. Khalifah dan kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir.
Bandung: Mizan, 2007.
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2004
Muhdior,Ahmad Zuhdi.Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia. Yogjakarta:
Yayasan Ali Maksum, 1996.
Munawwar, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Jogjakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Mundiri. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
al-Nabhani, Taqiyuddin. Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah,
Penerjemah. Abu Amin, dkk. Jakarta: HTI Press, 2010.
Naisaburi, Muhammad „Ajjaj al-Qusyairi. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1981.
Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan
Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1997.
Pari, Faris. Ilmu Logika. Jakarta: Pesantren Ciganjur, 2009.
Partanto, Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 2001.
Rahman, Fazlur. Islam Fazlur Rahman. Bandung: Pustaka, 2000.
Ranuwijaya, Untang. Ilmu Hadîts. Jakarta: Gaya Media Press,1996.
al-Siba‟i,Musthafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam.
Penerjemah. Nurcholish Majid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
-----------,al-Sunnah wa Makânatuha Fi al-Tasyri al-Islâmi. Kairo: Dâr al-
Qaumiyah,1949.
Solahuddin, M. Agus. dkk.Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia, 2009.
Sugiono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: al-Fabet, 2009.
Syahrur, Muhammad. al-Kitâb Wa al-Qur'an: Qira'ah Mua'shirah. Damaskus: al-
Ahli, 1990.
Wijaya, Aksin. Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis
Hermeneutis. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009.
Yahdi, Kuswandi.“Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis.
”Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Ibn Ahmad. Tafsir Al-kasyaf.
Beirut: Dâr al-Fikr. T.th.