Microsoft Word - 5 Bab II Dudi
-
Upload
drsdudy-bagus-prasetyo-ap-ms -
Category
Documents
-
view
1.169 -
download
2
Transcript of Microsoft Word - 5 Bab II Dudi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pengembangan Masyarakat
Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility) adalah merupakan komitmen perusahaan untuk berperilaku etis
dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap
mengedepankan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya,
komunitas lokal dan masyarakat luas (Fajri, 2003). Menurut Schermerhorn
(1993 dalam Rahardjo, 2007), Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility) adalah sebuah kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak
dengan cara mereka sendiri, dalam melayani kepentingan organisasi dan
kepentingan publik.
Prinsip CSR menurut Emil Salim (2007 dalam Rahardjo, 2007)
menyebutkan bahwa perusahaan di masa sekarang dan ke depan harus
memperhatikan tiga prinsip keseimbangan, yakni profit perusahaan, kesejahteraan
masyarakat, dan keberlanjutan alam atau lingkungan hidup. Sementara Nuryana
(2005) berpendapat bahwa CSR adalah pendekatan dimana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka
dengan pemangku kepentingan berdasarkan kesukarelaan dan kemitraan.
Menurut Fox, et al. (2002 dalam Zaelani, 2007), definisi Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah “corporate social
responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and
contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at
large”, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi
10
berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan
tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara
keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas
kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota
masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat
menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan
yang ada sekaligus memelihara.
Sifat hakiki dari kegiatan pertambangan adalah membuka lahan, mengubah
bentang alam sehingga mempunyai potensi merubah tatanan ekosistem suatu
wilayah baik dari segi biologi, geologi dan fisik maupun tatanan sosio-ekonomi
dan budaya masyarakat setempat. Selain itu interaksi antara industri
pertambangan dengan masyarakat lokal sangatlah besar. Industri pertambangan
biasanya berada pada daerah terpencil (remote area) dengan masyarakat
tradisional dan terbelakang, sehingga selalu terjadi perbedaan pandangan
(Djajadiningrat, 2007). Dari sinilah pendekatan baru harus disertakan, yaitu
partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan. Dari sini dapat ditarik suatu alasan penting berkaitan
dengan partisipasi masyarakat lokal ini yaitu untuk menghasilkan masukan dan
persepsi yang berguna dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. Upaya pelibatan masyarakat lokal
dapat dijadikan sarana memahami budaya masyarakat yang tinggal di wilayah
yang akan dieksploitasi, mendiskripsikan hubungan antara masyarakat dengan
sumber daya alam yang dieksploitasi, antar masyarakat dengan masyarakat dan
pada akhirnya untuk mencari solusi kemungkinan pengembangan masyarakat
lokal (community development) (Luwihono, 2007).
11
Primahendra (2006) mengatakan bahwa aspek keterlibatan masyarakat,
praktek Community Development (CD) dikelompokkan ke dalam tiga bentuk,
yaitu :
• Development for community adalah bentuk Community Development (CD)
dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena
berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan
dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan
penelitian, melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat namun
apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar maka pada
dasarnya masyarakat tetap menjadi objek.
• Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola
kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil
merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari
kedua belah pihak.
• Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif,
perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.
Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini
lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan.
Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan
masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk
memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan
kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan
pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat
12
secara umum ruang lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan
kategori (Rudito dan Budimanta, 2003), sebagai berikut (1) community service ;
(2) community empowering, dan ; (3) community relation.
Saidi (2004) menjelaskan bahwa dengan mengacu pada kedermawanan
sosial perusahaan dapat disimpulkan bahwa pendekatan community development
lebih mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat. Tujuannya adalah
menolong masyarakat secara langsung mengatasi kesulitan hidupnya.
Orientasinya adalah jangka pendek kalau bukan malah keperluan sesaat.
Primahendra (2006) berpendapat bahwa agar community development (CD)
dapat dilaksanakan maka harus memenuhi beberapa aspek kunci, antara lain :
• Adalah sebuah proses "akar rumput"
CD merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan
di dalam konteks mereka. Community Development (CD) bukanlah proses
yang dapat didesain dan diproses dari atas.
• Menjadi lebih swadaya (self-reliance)
Banyak kegiatan yang dinamakan CD dalam kenyataan justru menumbuhkan
ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi,
maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan Community
Development (CD) karena CD pada dasarnya upaya menolong masyarakat agar
mereka dapat menolong dirinya sendiri, ringkasnya membuat masyarakat
menjadi swadaya.
• Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities)
13
Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari
pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul
dikemudian hari dan juga mampu memberdayakan diri mereka sendiri.
• Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan
Keberhasilan Community Development (CD) bukan sekedar bah-wa kegiatan
yang direncanakan telah dilaksanakan (ouput). Apapun kegiatannya dan oleh
siapa saja, CD hanya akan dianggap berhasil bila mampu mengurangi
kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat.
• Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan
Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian
besar kegiatan Community Development (CD) adalah sasaran yang menjadi
pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh.
• Menguatnya modal sosial
Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal finansial,
modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal
bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community
Development (CD) dilaksanakan pertama-tama dengan menggunakan modal
sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya.
• Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan
Primahendra (2006) juga berpendapat bahwa efektivitas pelaksanaan
program Community Development (CD) perlu didasarkan pada beberapa
pemahaman dasar, antara lain :
14
• Upaya jangka panjang. CD merupakan sebuah proses terus menerus (on-
going process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan
bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.
• Terbuka dan setara. CD adalah proses yang terbuka terhadap berbagai
masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melihat
berbagai stakeholder CD secara setara menjadi keharusan. Sikap ini
merupakan pra-syarat untuk mengembangkan partisipasi.
• Milik masyarakat. CD merupakan aktivitas yang dimiliki oleh masyarakat.
Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk
masyarakat lokal.
• Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang terbaik (best practices).
CD merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal, terutama dengan
perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal
positif yang dapat menjadi batu pijakan melaksanakan berbagai aktivitas
lainnya.
Pelaksanaan community development dapat dimaknai sebagai bentuk
pengejawantahan dari corporate social responsibility (tanggungjawab sosial
perusahaan) terhadap masyarakat sekitar. Diharapkan, pelaksanaan community
development menjadi sarana pembangunan masyarakat yang sesuai dengan
konsep suistanable development dan pengaturan hukum yang responsive
(Harahap, 2006).
Terlepas dari banyaknya nada-nada sumbang tentang wacana filantrofi
perusahaan-perusahaan swasta ini dan banyaknya motif-motif yang mendorong
sebuah perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, CSR
15
merupakan sebuah potensi besar dana non-pemerintah yang harus kita dukung
sebagai embrio transformasi menuju kemandirian masyarakat. CSR juga
bisa menjadi jembatan antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan
masyarakat. Sehingga hubungan perusahaan dengan masyarakat dan
lingkungannya bisa berjalan dengan lebih baik, lebih harmonis dan saling
menguntungkan (Zaelani, 2007).
Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Masyarakat
Pengertian partisipasi dalam pembangunan secara sederhana adalah
keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan yang
terbentuk akibat interaksi sosial. Dalam pembangunan, partisipasi masyarakat
merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggungjawab
masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki
mutu hidup mereka. Di lain pihak, tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan menunjukkan adanya kepercayaan dan
kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya untuk terlibat
secara aktif di dalam proses pembangunan (Mardikanto, 2003).
Partisipasi adalah suatu proses kegiatan termasuk didalamnya keikutsertaan
(sumbangan) tiap individu dalam suatu kelompok, tentang tanggungjawab dan
kosekuensi dari tugas-tugas yang bersifat umum sampai kepada tuga yang sifatnya
khusus (FAO, 2002). Soekamto (1983) menyebutkan bahwa partisipasi adalah
kegiatan nyata masyarakat secara aktif yang dilandasi sikap, kehendak dan
kesadaran untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
16
Mubyarto (1984) mendefenisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk
membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Keterlibatan kelompok atau
suatu kelompok dapat disebut partisipasi individual (Ndraha, 1987). Fairchild
(1977) menyebutkan partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke
dalam interaksi sosial dalam suatu kelompok, ia mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok tersebut melalui bermacam-macam sikap, yaitu berbaga nilai
tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama serta melalui
persahabatan pribadi.
Paul (1987, dalam Soemarwoto et.al., 2001) mengartikan partisipasi
sebagai suatu proses aktif yang memperlihatkan bagaimana pihak-pihak yang
mendapat manfaat ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek, bukan hanya
sekedar mendapat keuntungan dari proyek. Konsep partisipasi yang aktif dan
kreatif secara eksplisit dikemukakan Paulo (1970 dalam Cohen, 1980), sebagai
berikut : “participation refers to an active process whereby beneficiaries
influence the direction and excution of development projects rather than merely
receive a share of project benefits”. Definisi ini memandang keterlibatan
masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
penikmatan hasil evaluasi.
Dari sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai
suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok (elite dan non-elite). Dengan
kata lain, partisipasi masyarakat merupakan insentif moral sebagai “respon”
mereka untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi tempat dibuatnya
keputusan-keputusan yang menentukan kesejahteraan mereka (Goulet, 1989
dalam Arimbi, 1993).
17
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program
pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi lebel baru yang
harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam
perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang
dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan
arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling
memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah
anggota masyarakat (Ikbal, 2007).
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial
dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini,
pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada
rakyat (Paul, 1987). Pengertian partisipasi menurut FAO (1989b dalam
Mikkelsen, 1994) :
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut
serta dalam pengambilan keputusan.
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peta) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untul menanggapi proyek-
proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat dengan para staf yang
melakukan persiapan pelaksanaan, monitoringproyk agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan sendiri.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungan mereka.
18
Goulet (1989) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat
diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok ; Kelompok
yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-
elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).
Bahkan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan
suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan.
Gaventa dan Valderama (1999 dalam Aristo, 2004) mencatat ada tiga
tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan
masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik (Political Participation),
2) partisipasi sosial (Social Participation), dan 3) partisipasi warga (Citizen
Participation/ Citizenship). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada
”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga
pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan
itu sendiri.
2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai
keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau
pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan
keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi
kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi.
Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran
dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi
sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan
19
komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana
pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada
partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan
proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi
“dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’
menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga
dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai
gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda
dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada
agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena
kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.
Penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan
adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling
berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua
pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2)
terbinanya kebersamaan (Asngari, 2001), dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut
dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan (Slamet, 2003).
Lebih lanjut dikemukakan Goulet (1989) ; Widyatmaja (1992 dalam
Prijono (1996) bahwa berkaitan dengan adanya perbedaan pemahaman tentang
pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang ditinjau dari dua sudut pandang.
20
Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang dikehendaki adalah yang
lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat daripada hak rakyat
untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif
rakyat, partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman
partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi
praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin
dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama
dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987). Sementara itu, strategi pemberdayaan
meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap
kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja
sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi LSM,
termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat (Clarke, 1991 dalam
Papayungan, 2006).
Brudtland dalam Craig dan Mayo (1995) menyimpulkan bahwa jaminan
pembangunan berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat. Clarke (1991, dalam
Papayungan, 2006) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat
ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh
keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan
LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan.
Soetrisno (1995) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang
beredar di masyarakat yaitu :
21
Definisi pertama partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat
terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi
inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya
pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek
pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi diatas tidak
dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan
mobilisasi rakyat dalam pembangunan.
Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan
dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi
rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan
kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada
tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun
diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri
melestarikan hasil proyek itu.
Cormick (1979, dalam Luwihono, 2007) membedakan peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang
bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Partisipasi mendukung masyarakat
untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya
untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya.
Disamping persepsi yang dikemukakan (Canter (1977) ; Cormick (1979) ;
Goulet (1989) ; Wingert (1979 dalam Arimbi, et.al., 1993) merinci peran serta
masyarakat, sebagai berikut :
22
1. Partisipasi Masyarakat sebagai suatu Kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan
suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini
dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial
dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak
untuk dikonsultasikan (right to be consulted).
2. Partisipasi Masyarakat sebagai Strategi
Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan
strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (public support). Pendapat
ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki
akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada
pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik,
maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
3. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Komunikasi
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan
masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini
dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani
masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut
adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara
untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian
konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi
ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan
toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan
(biasess).
23
5. Partisipasi Masyarakat sebagai Terapi
Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk
"mengobati" masalah- masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan
ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan
bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Cohen (2001) membedakan partisipasi menjadi 4 (empat) tahapan, yakni :
1. Tahap pembuatan keputusan, dalam hal ini sejak awal masyarakat dilibatkan
dalam perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam membuat keputusan
yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kegiatan tersebut.
2. Tahap pelaksanaan (implementasi), keterlibatan masyarakat dalam
merencanakan dan merancang serta membuat keputusan tentang kegiatan,
dilanjutkan dengan melibatkan mereka dalam pelaksanaan kegiatan.
Masyarakat sekaligus dapat mengontrol bagaimana kegiatan yang
direncanakan dan diputuskan dilaksanakan oleh mereka bersama-sama dengan
pihak lain.
3. Tahap evaluasi. Pada tahap pelaksanaan biasanya dilakukan evaluasi yang
bersifat periodik maupun di akhir tahap pelaksanaan. Dalam konteks ini
keterlibatan masyarakat juga akan memberikan manfaat bagi keseluruhan
kegiatan apabila mereka dilibatkan dalam evaluasi yang dilakukan.
4. Partisipasi di dalam mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan.
Tingkat partisipasi masyarakat bervariasi. Amstein dalam Soemarwoto
(2001) mengemukakan tingkatan pencapaian partisipasi bervariasi dan bersifat
manipulasi, semisal masyarakat terdaftar namun sebenarnya mereka tidak
24
berpartisipasi hingga partisipasi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat
memiliki kewenangan untuk mengontrol kegiatan yang dilaksanakan. Sesuai
pendapat Tjokroamidjojo (1990) yang mengungkapkan bahwa bentuk partisipasi
diantaranya, sebagai berikut :
1. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, partisipasi ini disebut juga
partisipasi dalam pengambilan keputusan.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.
3. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan, disebut juga participation in benefits.
4. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam
menilai sejumlah pelaksanaan pembangunan sesuai rencana dan sejauhmana
hasilnya dengan membentuk kebutuhan masyarakat.
Perbaikan kondisi hidup masyarakat dan upaya memenuhi kebutuhan untuk
dapat menggerakkan partisipasi usaha yang dilakukan adalah disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang nyata, yaitu dijadikan stimulasi terhadap masyarakat
yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban atau respon yang dikehendaki. Ada
beberapa aspek yang sering memengaruhi masyarakat turut seta ikut berpartisipasi
dalam suatu kegiatan, baik aspek sosial maupun aspek ekonomi, yaitu kedudukan
seseorang di masyarakat dan kepemilikan faktor-faktor produksi (Poston dalam
Mardikanto, 1994).
Davis (1966) membedakan partisipasi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jenis
dan bentuknya. Partisipasi berdasarkan jenis diklasifikasikan ke dalam 5 (lima)
unsur, yaitu : tenaga, pikiran, keahlian, barang dan jasa. Sedangkan menurut
bentuknya, partisipasi dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : komunikasi,
25
sumbangan berupa uang atau barang,sumbangan dalam bentuk kerja yang
biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat, aksi massa / gotong-royong,
mengadakan pembangunan di kalangan keluarga dari masyarakat setempat dan
mendirikan proyek yang juga dibiayai oleh sumbangan dari luar lingkungan
masyarakat setempat.
Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau tidak
terorganisasi dan secara spontan serta sukarela. Partisipasi dikategorikan sebagai
partisipasi langsung apanila seseorang turut serta mengambil bagian pada
beberapa aktivitas tanpa adanya gagasan terlebih dahulu. Sebaliknya, ada
partisipasi tidak langsung, yaitu apabila seseorang dikerahkan karena adanya
gagasan dari atau juga seseorang dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif
dalam kegiatan lingkungan (Huntington dan Nelson, 1977).
Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian
dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus
terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan
hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan
pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara
komulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang,
semakin baik kemampuan berpartisipasinya.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu hal yang
mudah diucapkan tapi sulit untuk diimplemetasikan. Faktor budaya dan
sosial masyarakat mampu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
(Dwiyanti, 2005). Partisipasi dalam artian keterlibatan satu pihak terhadap pihak
26
lain dan yang berkaitan dengan masyarakat lokal berarti suatu keterlibatan
komunitas lokal terhadap suatu proses pembangunan masyarakat dalam suatu
wilayah mengacu pada sifat sosial dari masyarakat (Chambers, 1974). Tanpa
adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka pembangunan itu
bukanlah sebagai pembangunan masyarakat. Untuk itu, metode yang digunakan
dalam pelaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan kondisi fisiologis,
sosial, ekonomi dan budaya setempat (Sautoy, 1972 dalam Ndraha, 1990).
Ndraha (1990) menyatakan bahwa dalam menggerakkan perbaikan kondisi
dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus
dilakukan dengan usaha :
1. Perencanaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata
(felt need) ;
2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya
jawaban (response), dan ;
3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan
tingkah laku (behavior).
Dalam partisipasi ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Mikkelsen (2001) merinci rendahnya
partisipasi masyarakat disebabkan beberapa faktor, antara lain :
1. Adanya penolakan (secara internal) di kalangan anggota masyarakat itu dan
secara eksternal terhadap pemerintah ;
2. Karena kurangnya dana, dan ;
27
3. Terbatasnya pengetahuan atau pendidikan masyarakat. Kurang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Faktor Sosial Ekonomi
Salah-satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi
masyarakat adalah faktor sosial. Faktor ini diungkapkan oleh beberapa peneliti
yang banyak mengemukakan bahwa faktor sosial juga dominan mempengaruhi
keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pembangunan.
Partisipasi masyarakat mempunyai tujuan untuk menghasilkan masukan dan
persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan
(public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi (Canter, 1977
dalam Arimbi, 1993). Partisipasi masyarakat sendiri dipengaruhi oleh beberapa
faktor sosial. Hadi (1995 dalam Dwiyanti, 2005) mengemukakan bahwa faktor
penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia, antara lain :
1. Faktor Sosial, seperti : tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi.
2. Faktor Budaya, meliputi : sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat.
3. Faktor Politik, dan ;
4. Faktor Birokrasi para pengambil keputusan
Mikkelsen (1999) mengemukakan bahwa partisipasi dipengaruhi faktor-
faktor, seperti : (1) faktor sosial; (2) faktor budaya, dan ; (3) faktor politik. Lebih
lanjut Mikkelsen menjelaskan bahwa faktor sosial dilihat dari adanya
ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor budaya, yaitu adanya
kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap
suatu perubahan. Hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pendidikan dan
28
pengetahuannya masih muda, sehingga akan berimplikasi pada mudahnya
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sedangkan faktor politik, apabila
proses pembangunan yang dilaksanakan kurang melibatkan masyarakat dari awal
proses pembangunan hingga akhir dari pembangunan.
Soekanto (2003) mengatakan bahwa faktor sosial adalah berkenaan dengan
perilaku interpersonal atau yang berkaitan dengan proses sosial. Dikemukakan
King (1983) ; Isbal (1989 dalam Dwiyanti (2005) bahwa orang yang mempunyai
tingkat sosial ekonomi yang baik mempunyai kecenderungan untuk berpartisipasi
dibandingkan dengan orang yang tingkat sosial ekonominya masih kurang.
Inkeles (1969) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungan, antara lain : umur,
penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu mempunyai
tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi cenderung aktif untuk
berpartisipasi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya.
Sedangkan Djatmiko, Benyamin dan Lif (2003) mengatakan bahwa
partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan mereka untuk
berpartisipasi dalam program. Gaffar ; Abar (1989 dalam Dwiyanti, 2005) juga
menyatakan bahwa dari berbagai macam studi yang dilakukan ada hubungan yang
erat antara tingkat pendapatan dengan meningkatnya partisipasi.
Inkeles (1969) juga mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya pada masalah-masalah
kemasyarakatan. Faktor lama tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor
yang tidak kecil perannya dalam mempengaruhi partisipasi seseorang dalam
kegiatan yang ada di lingkungannya. Hal senada dikemukakan Suryani, et.al.
29
(1987) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Masalah pendapatan tentu ada kaitannya dengan
masalah ekonomi dalam suatu keluarga.
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh
anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994)
menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan
hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama
dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka.
Maedrie (1986) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan, umur,
kekosmopolitan dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan marupakan faktor
pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan
suatu kegiatan. Sedangkan Schon (1981) mengemukakan bahwa pendidikan
merupakan faktor yang mutlak perlu untuk pembangunan sosial ekonomi. Faktor
ini mempunyai pengaruh langsung atas diterimanya gagasan baru.
Tjokroamidjojo (1985) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara
tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi. Selain itu, Tjokroamidjojo
mengemukakan pula bahwa tingkat pendidikan memadai akan memberikan
kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarganegara dan memudahkan bagi
pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat
nasional. Tingkat pendidikan juga berarti tingkat kemampuan masyarakat untuk
menyelenggarakan pembangunan. Dilain pihak, sistem sosial budaya yang
beragam sebagai potensi dalam pembangunan masyarakat kurang dimanfaatkan
secara optimal, sehingga masyarakat cenderung kurang respons dan kreatif dalam
30
membangun dirinya atau mengalami ketidakberdayaan (powerless) dalam
menghadapi perubahan dan masalah sosial yang ditimbulkan akibat adanya krisis
ekonomi.
Faktor sosial yang juga penting agar terjadi partisipasi adalah komunikasi
(Dwiyanti, 2005). Liliweri (2002) mengemukakan bahwa kehidupan manusia
di masyarakat ditandai oleh dinamika komunikasi, kita bertukar informasi,
gagasan dan pikiran melalui komunikasi. Melalui akses informasi maka akan
meningkatkan partisipasi. Syamsi (1994 dalam Dwiyanti, 2005) juga
mengemukakan bahwa faktor komunikasi sebagai salah-satu cara untuk
menyampaikan informasi merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat. Karena, hasil dari proses komunikasi dapat merubah sikap dan
perubahan sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi
masyarakat terhadap pembangunan.
Seseorang yang mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan
baik, dalam hal ini mempunyai akses informasi maka akan meningkatkan
partisipasi (Dwiyanti, 2005). Hall dalam Liliweri (2003) mengungkapkan bahwa
setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi
yang masuk dan keluar dari da sekeliling mereka, mengatur proses pertukaran
informasi maupun kemasan informasi itu sendiri.
Faktor Budaya
Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur
(budaya) memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu
objek yang ditafsirkan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan
potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan
31
harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan
sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang
berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah
ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.
Untuk menggali makna budaya dalam pertisipasi masyarakat maka perlu
kita ketahui konsep budaya atau kebudayaan itu sendiri. Suparlan (1982, dalam
Budimanta, 2003) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat
ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk
memahami lingkungannya dan dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan.
Kebiasaan yang mencul merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda yang tampak pada
individu yang berinteraksi dan mengacu pada jati diri seseorang termasuk ke
dalam golongan sosial orang tersebut.
Taylor dalam Poerwanto (2000), kebudayaan sebagai keseluruhan yang
kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum moral dan adat
dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kroeber dan Kluchlohn (1953 dalam Poerwanto, 2000) yang
dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan
pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit. Sedangkan
Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Soekanto (1996), tata kelakukan yang kekal serta yang terintegrasi secara
kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan yang
32
mengikat menjadi adat-istiadat. Adat-istiadat erat hubungannya dalam
peningkatan partisipasi masyarakat karena anggota masyarakat yang melanggar
adat-istiadat akan menerima sanksi yang keras, yang kadang-kadang diberlakukan
secara tidak langsung.
Kebudayaan dalam perwujudannya terdapat tiga bentuk pengetahuan
budaya atau cultural knowledge, yaitu suatu nilai pengetahuan dan norma yang
dipakai untuk memahami lingkungan hidup manusia, dan hasil dari
penginterpretasian tersebut diwujudkan dalam tingkah laku sebagai tingkah laku
budaya atau cultural behaviour, dan hasil dari semua itu diwujudkan lagi dalam
bentuk benda-benda hasil budaya suatu masyarakat. Kesemua wujud budaya itu
merupakan rangkaian yang satu sebagai suatu kebudayaan (Budimanta, 2003).
Hal-hal yang berkaitan dengan budaya tidak akan segera tampak bagi orang
dari luar masyarakat yang bersangkutan, karena hal-hal yang bersifat budaya itu
lebih banyak berpusat pada alam pikiran (Poerwanto, 2000). Purwatiningsih,
et.al. . (2004) mengemukakan bahwa faktor nilai budaya menyangkut persepsi,
pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
Faktor kemampuan masyarakat yang berhubungan dengan tingkat
partisipasi adalah kemampuan bersikap dan bertindak, organisasi sosial
kemasyarakatan dan kemampuan mengorganisasikan diri dalam program.
Menurut Thurstone, Likert dan Osgood (dalam Azwar, 1995) bahwa sikap
adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu
obyek adalah perasaan mendukung (favorable) maupun perasaan yang tidak
memihak (unfavorable) pada obyek tersebut.
33
Watson (1984 dalam Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan)
dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu
maupun berasal dari sistem sosial :
a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan
(Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention),
ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung
membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya
diri (self-Distrust)
b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to
Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas
tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural
Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral
(The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of
Outsiders)
Uraian diatas juga menunjukkan bahwa sikap (attitude) dan perilaku
(behaviour) dari masyarakat berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam
pelaksanaan suatu kegiatan ataupun aktualisasi sebuah program. Tinggi rendahnya
partisipasi masyarakat dapat diukur berdasarkan etos kerja dari masyarakat itu
sendiri.
Etos Kerja
Defenisi etos kerja sudah banyak dikemukakan oleh para ahli namun
defenisi etos kerja tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yaitu:
Etos atau aslinya ethos adalah kata berasal dari bahasa yunani yang merupakan
34
asal kata “etika’’. Etos artinya watak kesusilaan atau adat. Dengan demikian etos
merupakan suatu tata nilai yang diyakini, yang menjadi aturan hidup atau (sila)
yang lebih baik. Etos kerja dengan demikian dapat dijabarkan sebagai tata nilai
yang diyakini, yang menjadi landasan semangat kerja. Untuk mendapatkan hasil
perikehidupan yang lebih baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),
etos kerja adalah pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial yang
didasarkan kepada sifat, nilai adat-istiadat yang memberi watak dalam
masyarakat.
Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang
mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan kerja,
menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan sebagai usaha
komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif
dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral.
Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah
diberikan oleh tuntutan religius (agama). Apabila mengintroduksi pendapat
Anoraga dan Suyati (1995), maka etos kerja diartikan sebagai pandangan dan
sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Sukriyanto (2000) memberikan pengertian bahwa etos kerja adalah suatu
semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik
guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia
yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan. Ia akan menentukan hasil-hasilnya. Ada
keterkaitan yang erat antara etos kerja dengan survivalitas (daya tahan hidup)
manusia di bidang ekonomi. Artinya, semakin progresif etos kerja suatu
masyarakat semakin baik hasil-hasil yang dicapai, baik secara kuantitatif maupun
35
kualitatif. Etos kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang
bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang
optimal (high performance) (Tasmara, 2002). Merujuk pada pengertian etos kerja
tersebut Geertz (2000) mengatakan bahwa etos kerja merupakan refleksi dari
sikap hidup yang mendasar yang bersumber dari nilai-nilai tersebut yang
diwujudkan dalam bentuk kegairahan kerja.
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah defenisi bahwa etos
kerja merupakan rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam
mengaktualisasikan diri dalam bentuk kerja. Rajutan nilai-nilai tersebut dapat
mencakup nilai sosial, agama, budaya serta lingkungan dimana anda selama ini
banyak melakukan interaksi hidup (Khasanah, 2004).
Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap,
maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek
evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian
terhadap kegiatan kerja. Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok
masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan
dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja
yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus
ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan
sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-
sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi
terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Nitisemito (1996) mengatakan
bahwa indikasi turun/ rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain :
36
1. Turun/ rendahnya produktivitas
2. Tingkat absensi yang naik/ rendah
3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi
4. Tingkat kerusuhan yang naik
5. Kegelisahan dimana-mana
6. Tuntutan yang sering terjadi
7. Pemogokan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja
adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa
mewarnai manfaat suatu pekerjaan. Dasar bagi gagasannya adalah bahwa faktor-
faktor yang memenuhi kebutuhan orang akan pertumbuhan psikologis, khususnya
tanggung jawab dan etos kerja untuk mencapai tujuan yang efektif. Herzberg
(1959 dalam Gibson (1989) menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan
organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat,
termasuk etos kerja.
Beberapa penelitian riset mendukung asumsi bahwa etos kerja merupakan
faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan
bertambahnya kepuasan. Ford menyatakan bahwa 17-18 percobaan di sebuah
organisasi memperlihatkan peningkatan yang positif sesudah adanya etos kerja.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa etos kerja memberikan prestasi yang lebih
baik dan kepuasan yang lebih baik pula.
Masyarakat ilmiah mempunyai pendapat dan batasan yang berbeda-beda
tentang etos kerja. Namun demikian, secara substansial mereka mempunyai
37
pengertian yang sama tentang etos kerja. Secara umum mereka membangun
pengertian bahwa yang dimaksud dengan etos kerja adalah semangat kerja yang
didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Seseorang yang dengan sadar
terlibat dalam aktivitas organisasi biasanya mempunyai latar belakang atau
motivasi tertentu (Prasetyo dan Wahyuddin, 2008). Seseorang cenderung
bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari
pekerjaannya (Hasibuan, 2003). Sinamo (2005) mengemukakan 8 (delapan) etos
kerja yang baik, antara lain :
1. Kerja adalah Rahmat, yaitu bekerja tulus penuh syukur.
2. Kerja adalah Amanah, yaitu bekerja benar penuh tanggung jawab
3. Kerja adalah Panggilan, yaitu bekerja tuntas penuh integritas.
4. Kerja adalah Aktualisasi, yaitu bekerja keras penuh semangat.
5. Kerja adalah Ibadah, yaitu bekerja serius penuh kecintaan.
6. Kerja adalah Seni, yaitu bekerja cerdas penuh kreativitas.
7. Kerja adalah Kehormatan, yaitu bekerja tekun penuh keunggulan.
8. Kerja adalah Pelayanan, yaitu bekerja paripurna penuh kerendahan hati.
Selain itu, Sinamo (2005) juga mengemukakan pendapat bahwa sifat-sifat
yang mencerminkan etos kerja yang baik itu antara lain : aktif, ceria, dinamis,
efektif, efisien, energik, fokus, gesit, ikhlas, interaktif, jeli, jujur, kerja keras, kerja
tim, konsisten, kreatif, lapang dada, membagi, menghargai, menghibur, optimis,
peka, rajin, ramah, sabar, semangat, tanggung jawab, tekun, teliti, tepat waktu,
teratur, terkendali, total, toleran, dan ulet.
38
Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu atau
kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila
menunjukkan tanda-tanda (Sukriyanto, 2000), sebagai berikut :
a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.
b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi
eksistensi manusia.
c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan
manusia.
d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan
sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki
etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;
a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,
d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan
menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi
kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan
dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam
kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada
manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh,
39
sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap
mutu atau kualitas yang semestinya. Untuk itu sifat-sifat etika yang harus
dikembangkan dalam etos kerja menurut Weber dalam Abdullah (1979), sebagai
berikut :
1. Sifat bertanggungjawab
2. Jujur dalam perbuatan
3. Kerja keras
4. Sifat hemat
5. Sifat menghargai waktu
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat etos kerja dapat
didefenisikan sebagai sikap mendasar yang baik sebelum, proses dan hasil yang
bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.