metode pembelajaran bahasa daerah bali pada siswa dwibahasa ...
Transcript of metode pembelajaran bahasa daerah bali pada siswa dwibahasa ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa daerah Bali yang dilaksanakan di sekolah HighScope
merupakan salah satu wujud pembelajaran bahasa kedua dari siswa yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai B1 sebanyak 69%, menggunakan bahasa
Inggris sebagai B1 sebanyak 7,7%, bahasa Jawa sebagai B1 sebanyak 7,7%, dan
bahasa Jepang sebagai B1 sebanyak 7,7%. Siswa SLTP HighScope yang majemuk
dan multilingual menjadikan pembelajaran BDB sebagai pembelajaran bahasa kedua
di sekolah. Dalam dunia pendidikan BDB merupakan pelajaran muatan lokal yang
wajib diberikan di sekolah-sekolah SD--SMA yang ada di Bali. Pembelajaran BDB
memegang peranan penting dalam membangun serta memajukan bahasa dan
kebudayaan Bali. Dalam perkembangannya, pembelajaran BDB semakin redup
sejalan dengan semakin menurunnya minat generasi muda untuk belajar BDB. Hal ini
menandakan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran BDB di
tengah kehidupan masyarakat yang multilingual sehingga siswa tertarik untuk belajar
BDB.
Anonby (1999: 125) mengatakan pada kehidupan masyarakat jika ada dua
bahasa yang bersanding atau berdampingan dalam penggunaannya, maka kedua
bahasa tersebut dapat hidup berdampingan secara berkeseimbangan dan memiliki
kesetaraan. Kedua, salah satu bahasa menjadi lebih dominan digunakan siswa untuk
2
berkomunikasi. Sementara bahasa yang lain dikondisikan serba sebaliknya, bahkan
terancam menuju kepunahannya,“rapid change often occurs when there is extensive
bilingualism, which can lead to one language being lost altogether”. Kondisi ini
dapat terjadi jika minat generasi muda menurun untuk mempelajari BDB sehingga
diperlukan metode pembelajaran komunikatif dan kreatif.
Sekolah HighScope merupakan sekolah yang memiliki kemajemukan yang
tinggi di tengah-tengah kehidupan masyarakat multilingual. Siswa kelas VII berasal
daerah yang berbeda yaitu 42,3 % berasal dari Bali, 26,9% berasal dari Jakarta,
3,83% berasal dari Bandung, 3,83% berasal dari Surabaya, 3,83% berasal dari
Jember, 3,83% berasal dari Rote, 3,83% berasal dari Belgia, 3,83% berasal dari
Perancis, dan 7,7% berasal dari Jepang.
Sekolah HighScope menerapkan pembelajaran dwibahasa concurrent, yaitu
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara bergantian dalam
pembelajaran. Kemampuan siswa berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia sangat
berpengaruh terhadap pembelajaran BDB di sekolah. Siswa mengalami kesulitan
dalam pembelajaran BDB karena merupakan pembelajaran B2 dari siswa yang
menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, Jawa dan Jepang sebagai B1. Sehingga
muncul kendala–kendala berbahasa yang memengaruhi pembelajaran BDB.
Peran guru dalam proses pembelajaran tidak mendominasi, tetapi
membimbing dan mengarahkan siswa untuk aktif memperoleh pemahaman dari
segala sesuatu yang ditemukan di lingkungan pembelajaran. Sebab pengetahuan yang
3
diperoleh merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, akibatnya
pengetahuan itu tidak dapat diberikan kepada penerima yang pasif. Penggunaan
metode pembelajaran HighScope (plan, do, review) dalam pembelajaran BDB
digunakan untuk mengarahkan siswa aktif pada setiap aktifitas pembelajaran.
Pengalaman ini dapat diperoleh jika siswa aktif berinteraksi dengan lingkungan.
Pembelajaran BDB dengan menggunakan metode HigScope, mengharuskan guru
untuk menyajikan dan menyediakan materi pelajaran, tetapi siswa yang harus
mengolah dan mencerna sesuai kemampuan, minat serta bakat yang dimiliki.
Di sekolah dwibahasa yang muridnya aktif menggunakan bahasa Indonesia
dan Inggris dalam pembelajaran seperti SLUB Saraswati diketahui pembelajaran
BDB pada siswa kelas VII menggunakan metode ceramah ditandai dengan guru lebih
banyak mendominasi kegiatan pembelajaran, sehingga siswa sangat pasif hanya
mendengarkan dan mencatat. Pembelajaran BDB dengan sistem konvensional
pembelajaran BDB masih terfokus pada guru sedangkan siswa belum terlibat aktif
dalam pembelajaran, seharusnya untuk mempelajari ilmu bahasa siswa harus aktif
dalam pembelajaran terutama dalam berkomunikasi sehingga dapat mengembangkan
kemampuannya berbahasa.
Untuk menyelesaikan permasalahan mengenai pembelajaran BDB di atas,
dapat dipilih alternatif model pembelajaran BDB yang efektif. Salah satu model
pembelajaran kooperatif dan komunikatif adalah metode pembelajaran HighScope
(plan,do, review). HighScope (2013) mengatakan bahwa proses plan, do, review
4
adalah bagian unik dari kurikulum Highscope yang dapat membangun minat dan
motivasi intrinsik siswa dalam pembelajaran (HighScope, 1: 2013).
Pendekatan pembelajaran HighScope merupakan serangkaian siklus
pembelajaran dengan tahapan merencanakan, melakukan, dan mengulang atau
mengkaji kembali proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa sehingga dalam
pembelajaran BDB siswa aktif dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai
fasilitator yang memberikan penilaian kepada siswa melalui tahapan plan, do dan
review pada proses pembelajaran BDB.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk memberikan
kontribusi dalam penerapan teori linguistik terapan (sosiolinguistik). Terutama dalam
pembelajaran bahasa yang menawarkan sebuah metode pembelajaran BDB yang
nantinya dapat diterapkan dalam proses pembelajaran pada tingkat SLTP.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan
dalam pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini.
1) Faktor-faktor apa yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa kelas VII di sekolah HighScope Indonesia –Bali?
2) Kendala apa yang dihadapi siswa dwibahasa kelas VII dalam pembelajaran
BDB di sekolah HighScope Indonesia-Bali ?
5
3) Bagaimana metode pembelajaran BDB yang diterapkan pada siswa
dwibahasa kelas VII di sekolah HighScope Indonesia -Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi tujuan umum dan
tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan
pembelajaran BDB pada siswa SLTP. Lebih jauh penelitian mengenai pembelajaran
bahasa daerah pada siswa dwibahasa cukup berguna dalam pembelajaran BDB untuk
sekolah lanjutan tingkat pertama di daerah perkotaan pada umumnya yang
menggunakan bahasa daerah Bali sebagai B2.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pertama untuk
mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa kelas VII di Sekolah HighScope Indonesia–Bali. Kedua, menganalisis
kendala yang dihadapi siswa dwibahasa kelas VII dalam pembelajaran BDB. Ketiga,
menganalisis metode pembelajaran BDB yang diterapkan pada siswa dwibahasa kelas
VII di sekolah HighScope Indonesia–Bali.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan
kepraktisan dalam pembelajaran BDB di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis berkaitan dengan teori pembelajaran bahasa secara umum
dan menggunakan pendekatan pembelajaran bahasa pada siswa bilingual atau
dwibahasa. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
terhadap pengembangan teori pembelajaran BDB sehingga dapat disarankan teori
yang dapat digunakan dalam pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa. Tujuannya
agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh guru BDB
untuk meningkatkan kreativitas dalam pengajaran bahasa. Data hasil penelitian ini
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran BDB pada sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa untuk meningkatkan
minat dalam pembelajaran BDB. Di samping itu, untuk dapat membantu terjadinya
interaksi antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru dalam proses pembelajaran
7
BDB. Hal lainnya adalah memberikan masukan mengenai metode pembelajaran BDB
yang bisa diterapkan untuk mengajar siswa dwibahasa
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam suatu penelitian ruang lingkup penelitian berfungsi untuk memberikan
batasan dalam suatu analisis agar masalah yang dibahas tidak terlalu meluas dan tidak
terlalu sempit. Penelitian ini merupakan penelitian linguistik terapan dari pendekatan
sosiolinguistik. Dilihat dari keadaan siswa yang multilingual, di SLTP HighScope
siswa hanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi
di lingkungan sekolah sedangkan BDB memiliki kedudukan sebagai bahasa kedua di
tengah siswa yang multilingual.
Pembahasan berfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran
BDB pada siswa dwibahasa teori Asrori (2007: 125), kendala yang dihadapi dalam
pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa menggunakan teori Ovanda dan Callier
(1985) dalam Sudiarta (2005: 27), dan metode pembelajaran bahasa BDB yang
diterapkan dalam pembelajaran pada siswa dwibahasa menggunakan teori
pembelajaran HighScope (plan, do, review) oleh Morrison ( 2008: 156).
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka penelitian ini dijabarkan beberapa penelitian terdahulu
yang berhubungan dengan pembelajaran BDB di SLTP (sekolah lanjutan tingkat
pertama) dengan beragam isu yang terjadi. Ada beberapa studi yang digunakan
sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini. Berikut diuraikan beberapa referensi
yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian yang berhubungan dengan pembelajaran BDB, diantaranya
dilakukan oleh Sutama (2001). Sutama membahas loyalitas-bahasa penutur bahasa
daerah terhadap bahasanya yang mengalami penurunan, terutama pada ranah
keluarga. Keluarga merupakan tempat anak memperoleh bahasa, kondisi seperti ini
sangat memprihatinkan. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya melalui
pembelajaran. Alternatif pertama, dari TK sampai dengan kelas III SD, bahasa daerah
perlu dijadikan bahasa pengantar pembelajaran. Alternatif kedua, di dalam pengajaran
bahasa daerah perlu diterapkan pendekatan komunikatif dengan demikian akan
tercipta lingkungan baru penggunaan bahasa daerah sebagai pelengkap atau pengganti
lingkungan penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Lingkungan baru inilah
yang akan menciptakan input bagi siswa dan mendorong terciptanya output dari
9
siswa yang keduanya diperlukan dalam pembelajaran bahasa daerah. Untuk
melaksanakan upaya pertama, bahasa daerah perlu dikembangkan lebih lanjut. Untuk
melakukan upaya kedua, pembelajaran bahasa daerah perlu dibatasi. Di samping itu,
juga diperlukan peningkatan mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengadaan
guru bahasa daerah yang baru melalui pendidikan formal.
Menurut Sutama (2001), pengembangan pembelajaran bahasa daerah sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran
BDB melalui pendidikan formal untuk menyelamatkan bahasa daerah melalui
pembelajaran BDB. Secara umum penelitian yang dilakukan oleh Sutama
memaparkan upaya-upaya penyelamatan bahasa daerah melalui pembelajaran dilihat
dari lingkungan bahasa, pengaruh penggunaan bahasa, kondisi pemakaian BDB saat
ini, dan pilihan dalam mengajarkan BDB. Penelitian yang dilakukan Sutama memiliki
kesamaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu melihat faktor–faktor yang
memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa. Akan tetapi Sutama lebih
banyak memaparkan mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan
BDB secara umum kepada generasi muda. Di pihak lain, Sutama belum mampu
memaparkan secara jelas proses dalam penyelamatan BDB secara nyata dan
bagaimana teknik pembelajaran BDB yang tepat dalam meningkatkan keterampilan
siswa.
10
Menurut Dhanawaty (2006) dalam penelitiannya membahas pentingnya
motivasi dan upaya untuk meningkatkan kesuksesan dalam pembelajaran BDB.
Setiap siswa memiliki motivasi yang berbeda dalam belajar bahasa, sehingga seorang
guru harus memperoleh pengetahuan mengenai motivasi para pembelajar bahasa.
Berdasarkan pengetahuan tersebut maka guru dapat mengambil langkah-langkah
untuk meningkatkan motivasi sejak awal pembelajaran. Beberapa upaya dapat
dilakukan untuk menciptakan suasana kelas yang rekreatif dalam pembelajaran BDB
di sekolah dasar, baik melalui cerita, musik, dan lagu, maupun aktivitas kelompok
dalam permainan. Melalui aktivitas itu, maka dapat tercipta proses pembelajaran
rekreatif yang dapat menumbuhkan minat siswa dalam pembelajaran bahasa. Siswa
membutuhkan perubahan aktivitas dan merupakan tantangan bagi guru untuk
berkreasi menggali dan mengupayakan cerita yang menarik. Di samping itu, mencari
lagu yang sesuai dengan usia siswa dan permainan tradisional dari berbagai negara
yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran BDB. Guru dituntut untuk dapat
menciptakan suasana kelas yang santai dan menyenangkan bagi siswa tanpa
mengabaikan materi ajar yang harus disampaikan. Penelitian di atas hanya membahas
beberapa cara yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa
dalam pembelajaran BDB. Penelitian ini lebih berfokus pada pembelajaran BDB pada
siswa sekolah dasar yang multilingual. Dalam penelitian selanjutnya dijelaskan secara
spesifik mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB, kendala yang
dihadapi dalam pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa, dan metode pembelajaran
11
yang diterapkan pada siswa dwibahasa. Dengan demikian, pembelajaran BDB di
tingkat SLTP menjadi lebih menyenangkan tanpa mengabaikan materi ajar yang
harus disampaikan kepada siswa.
Nurjaya (2005) membahas sikap dan motivasi dalam pembelajaran BDB
dalam studi kasus pada siswa kelas VI di tiga sekolah dasar di Singaraja. Dalam
penelitian ini, Nurjaya membahas sikap dan motivasi siswa kelas VI SD dalam
pembelajaran BDB. Pembahasan ini penting karena adanya pernyataan bahwa sikap
dan motivasi akan memengaruhi proses pembelajaran. Pembahasan pada penelitian
Nurjana memfokuskan pada sikap siswa dalam pembelajaran BDB. Nurjana
melakukan penelitian terhadap tiga SD yang ada di kota Singaraja. Penelitian ini
ditujukan untuk mengungkapkan kebenaran asumi yang menyebutkan bahwa BDB
merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit. Dalam penelitian selanjutnya
dianalisis kendala-kendala berbahasa yang dihadapi siswa dalam pembelajaran BDB.
Tantra (2006: 4) membahas pengembangan bahasa, aksara, dan sastra Bali
dalam bidang pendidikan yang seharusnya dikembangkan sebagaimana layaknya
suatu bahasa aktif. Peletakan bahasa Indonesia dan bahasa asing hendaknya tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
Bahkan seharusnya dapat dikembangkan sebagai kompetensi linguistik nasional dan
internasional. BDB tidak hanya dijadikan materi pelajaran muatan lokal, tetapi juga
harus dikembangkan sebagai mata pelajaran wajib di semua satuan dan jenjang
pendidikan sehingga pencapaian standar kompetensi dan kemampuan dasar berbahasa
12
daerah dapat dioptimalkan. Tantra membahas model pembelajaran BDB yang
berorientasi konseptual dan pembelajaran aktif-kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Maryadi (2013) membahas mengenai penerapan model pembelajaran
HighScope untuk meningkatkan motivasi belajar siswa TK Rembulan di kota
Bandung. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai penerapan model
pembelajaran HighScope yang digunakan terhadap anak TK untuk meningkatkan
motivasi anak dalam belajar. Sumbangan penelitian ini adalah untuk memberikan
gambaran terhadap metode pembelajaran HighScope yang diterapkan dalam
pembelajaran BDB.
Tulisan di atas, terpilih sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini.
berdasarkan alasan masih adanya kedekatan (relevan) antara objek tulisan dan objek
penelitian ini. Hubungan antara keenam penelitian tersebut dapat menunjang dan
mengarahkan analisis penelitian selanjutnya. Kontribusi penelitian sebelumnya
diharapkan dapat memberikan gambaran dan pengetahuan mengetahui faktor yang
memengaruhi siswa dalam belajar BDB, kendala-kendala dalam pembelajaran BDB,
dan metode pembelajaran yang diterapkan pada siswa dwibahasa yang sangat
menunjang penelitian selanjutnya. Peneliti berharap agar uraian materi dalam kajian
pustaka di atas dapat memberikan kontribusi sebagai rujukan, dukungan penguat
pendapat, dan pengayaan terhadap penelitian yang dilaksanakan dalam pembelajaran
BDB pada siswa dwibahasa kelas VII di sekolah HighScope Indonesia- Bali.
13
2.2 Konsep dan Landasan Teori
Dalam penelitian ini dijelaskan beberapa konsep penelitian. Di samping itu
juga diuraikan landasan teori yang berkaitan dengan objek penelitian.
2.2.1 Konsep
Secara umum konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena, yang
digunakan untuk menggambarkan fenomena dan ciri khas yang sama. Dalam
penelitian ini terdapat beberapa konsep penting yang dijadikan sebagai acuan .
Ada beberapa konsep dasar yang digunakan dan perlu dijelaskan untuk
menyamakan persepsi terhadap istilah dalam penelitian ini.
(1) Pembelajaran
Pembelajaran bahasa merupakan salah satu cabang linguistik terapan (applied
linguistics) karena pengajaran bahasa merupakan aktivitas yang berfokus pada
aplikasi ilmu bahasa. Linguistik terapan berusaha menerapkan hasil penelitian
linguistik untuk keperluaan praktis atau dalam memecahkan persoalan praktis yang
berhubungan dengan bahasa yang dijadikan sebagai alat penelitian. Linguistik
membekali guru dengan kemampuan untuk menganalisis aspek-aspek bahasa yang
dapat digunakan untuk mengantisipasi segala hambatan yang dihadapi dalam proses
pembelajaran bahasa.
(2) Bahasa
Menurut Chaer (2010:13), bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk
menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa adalah
14
alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, dan konsep atau perasaan.
Wibowo (2001:3) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol bunyi yang
bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan
konvensional. Bahasa dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia
untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Tarigan (1989: 4) memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah
suatu sistem yang sistematis dan generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat
lambang manasuka atau simbol-simbol arbitrer.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa
adalah seperangkat lambang manasuka atau simbol-simbol arbitrer yang digunakan
untuk berkomunikasi. Dalam penelitian ini BDB menjadi bahasa yang diteliti karena
mengalami pergeseran dari bahasa pertama menjadi bahasa kedua dalam
pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa di daerah perkotaan yang multilingual.
(3) Dwibahasa
Secara harfiah, kata bilingual berarti dwibahasa atau dua bahasa. Sejalan
dengan perkembangan peradaban dan kebudayaaan manusia, bahasa berkembang
pesat dan memunculkan kebutuhan untuk menguasai bahasa lain di luar bahasa ibu.
Berdasarkan hal tersebut, lahirlah konsep dwibahasa seiring dengan perkembangan
teknologi transportasi, teknologi informasi, dan komunikasi information and
communication technology (ICT) yang mengakibatkan perpindahan manusia lintas
15
negara, transfer pengetahuan, komunikasi antarmanusia di dunia hingga munculnya
persaingan antarbangsa. Oleh karena itu, penguasaan bahasa selain bahasa ibu, yaitu
bahasa internasional seperti bahasa Inggris, menjadi tuntutan yang mendesak untuk
dipelajari Sudiarta (2005).
(4) Metode
Metode pembelajaran merupakan prosedur atau cara yang digunakan oleh guru
untuk mengimplementasikan rencana-rencana praktis guna mencapai tujuan
pembelajaran.
2.2.2 Landasan Teori
Landasan teori dalam suatu penelitian diperoleh dari simpulan atau pendapat
para ahli, kemudian dirumuskan dengan pendapat baru. Agar penelitian ini terarah
sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai sebagai syarat dalam
menganalisis data, maka digunakan suatu landasan teori yang sesuai dengan masalah
yang diteliti. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
2.2.2.1 Teori Pembelajaran Bahasa
Pengajaran bahasa merupakan cabang linguistik terapan (applied linguistics)
yang merupakan suatu aktivitas belajar bahasa yang berfokus pada aplikasi dari ilmu
bahasa. Pengajaran bahasa berupaya menerapkan hasil penelitian linguistik untuk
16
keperluan praktis dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan bahasa
dan menjadikan bahasa sebagai alat.
Pengajaran psikolinguistik dan sosiolinguistik membekali guru-guru tentang
teori hakikat bahasa, proses berbahasa, pemerolehan bahasa, dan penggunaan bahasa.
Hal inilah yang dijadikan panduan atau asumsi dasar dalam menentukan metode dan
teknik pembelajaran yang termasuk dalam pengorganisasian materi. Seorang tenaga
pengajar dengan kemampuannya menganalisis aspek-aspek bahasa akan menemukan
berbagai macam hambatan dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian,
pembelajaran bahasa bersifat komunikatif dan hanya menitikberatkan pada apa yang
dipelajari siswa pada saat belajar dan yang dilakukan siswa untuk dipelajari, bukan
apa yang harus dilakukan guru untuk mengajarkan materi pelajaran.
Acuan konkret dalam proses pembelajaran memegang peranan penting karena
bahan pembelajaran merupakan hal atau peristiwa yang benar-benar dapat dilihat,
didengar, atau dirasakan secara langsung dalam suatu pembicaraan atau komunikasi
dalam proses belajar mengajar. Adapun acuan konkret yaitu, (1) struktur dan kosakata
yang dipakai dalam berkomunikasi hendaknya telah dikuasai siswa (2) berorientasi
pada bahan yang bersifat “Here and now”, (3) struktur interaksi dalam berkomunikasi
harus dimodifikasi sedemikian rupa (Ellis, 1986: 157--158) dalam Chear ( 2010: 15).
Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil
pembelajaran nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik, yaitu hasil
pembelajaran yang bisa terjadi dan kemungkinan bukan merupakan hasil
17
pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena itu, teori belajar adalah deskriptif, yaitu
menggunakan struktur logis “Jika, maka, yang” sering dilakukan oleh guru dalam
proses belajar mengajar, (Landa dalam Budiningsih, 2005: 13).
De Porter, B. (2002: 3) mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran sejauh
mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan
pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar berlangsung. Dalam
pembelajaran diharapkan perhatian pembelajar dapat diarahkan dalam proses belajar
seumur hidup dan tak terlupakan. Hal ini sesuai dengan empat pilar pendidikan
seumur hidup, seperti yang ditetapkan UNESCO, yaitu (1) to learn to know (belajar
untuk berpengetahuan), (2) to learn to do (belajar untuk berbuat), (3) to learn to live
together (belajar untuk dapat hidup bersama), dan (4) to learn to be (belajar untuk
jati diri).
Untuk membangun ikatan emosianal dengan siswa, guru dapat
menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan
ancaman. Hal ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang baik karena proses pembelajaran menjadi bermakna di
samping itu, juga dapat menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika
pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah.
Seifert dalam buku Krasen dan Terrel (1986) berpendapat bahwa teori
pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu behaviourist
theories dan cognitive theories. Behaviourist theories adalah teori yang terkait dengan
18
rangsangan pembelajaran terdahulu yang dipengaruhi oleh lingkungan yang dikenal
dengan penguatan. Di pihak lain, cognitive theories adalah yang berhubungan
langsung melalui proses pembelajaran, yaitu memory, attention, insight, organzation
of ideas, dan information processing. Behaviourist berfokus pada hubungan langsung
antara pendidik dan siswa, yaitu bagaimana mereka merespon pada saat
pembelajaran. Guru diharapkan bisa mengatasi dengan bersikap subjektif bila siswa
mengalami kegagalan dalam pembelajaran. Sebagai contoh, teguran guru yang
kurang hati-hati menyebabkan siswa berbicara tanpa batas atau tidak sopan.
Sebaliknya, siswa dapat lebih giat belajar jika guru memberikan senyuman. Cognitive
berfokus pada pendidik, yaitu memberikan wawasan pada siswa untuk memahami
pembelajaran dan bisa belajar dari kesalahan terdahulu. Pemberian wawasan akan
membuat siswa berproses dalam berpikir dengan lebih terstruktur. Inti pembelajaran
kognitif adalah bentuk pemikiran secara alami dan berstruktur.
Teori penelitian ini juga didukung oleh Krashen dan Terrel tentang
pembelajaran bahasa melalui pendekatan natural yang merupakan dasar dari
pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua. Prosedur dalam pendekatan natural
adalah (1) aquisition/ learning hypothesis , merupakan dua cara yang berbeda dalam
kompetensi B2. (2) aquisition adalah pemerolehan dengan cara alami, proses
pembelajaran dipengaruhi oleh B1 melalui komunikasi. Learning adalah belajar
kaidah-kaidah bahasa dan kemampuan verbal bahasa, yang sering ditemukan
kesalahan dalam proses pembelajaran.
19
1.) Monitor hypotesis, pemerolehan ilmu bahasa dengan cara tuturan.
2) Natural order hypothesis, proses pemerolehan tata bahasa.
3) Input hypothesis, menjelaskan hubungan antara pemerolehan dan
pembelajaran
4) Affetive filter hypothesis, pengembangan pemerolehan B2 sesuai dengan
sifat-sifat.
Guru harus memahami pendekatan-pendekatan dan harus menentukan cara
yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran memerlukan rencana
dalam menyajikan materi pembelajaran berdasarkan pendekatan tertentu. Adapun
teori pembelajaran bahasa meliputi teori pembelajaran bahasa secara menyeluruh.
Konsep pembelajaran bahasa menyeluruh, diperkenalkan oleh Jerome Harrte dan
Carolyn Burke pada tahun 1977. Pada tahun 1978 Ken Goodman memperkenalkan
kaidah ini dengan nama ‘Whoel Language Comperhenssion Centered Reading
Program”. Pendekatan bahasa menyeluruh terkenal dalam pembelajaran bahasa. Hal
ini terjadi karena kaidah bahasa menyeluruh memiliki kelebihan, antara lain (1)
melibatkan lingkungan dan pengalaman nyata yang dialami anak, (2) penyampaian
secara menyeluruh dan melibatkan berbagai disiplin ilmu, (3)menggunakan
pendekatan tematik, programnya disusun berdasarkan pendekatan fungsional dan
memperhatikan perkembangan anak, baik perkembangan fisik, sosial emosi, maupun
mental intelektual. Materi pembelajaran yang diberikan harus memperhatikan
pembelajaran bahasa yang menyeluruh. Oleh karena itu, dalam merancang proses
pembelajaran guru sebaiknya memahami dan menganalisis terlebih dahulu materi
20
pokok yang akan diajarkan. Di samping itu, rencana dalam pembelajaran juga
memegang peranan sangat penting, yaitu harus mengintegrasikan seluruh
keterampilan berbahasa, baik membaca, menulis, menyimak, maupun berbicara
(Hermawan, 2005: 52).
Elis (Chaer, 2003: 242) menyebutkan dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal dalam kelas. Pertama, tipe naturalistik bersifat alamiah,
tanpa guru, dan tanpa kesengajaan pembelajaran berlangsung dalam lingkungan
kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat billingual dan multilingual tipe
naturalistik banyak dijumpai. Belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama
prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah,
sehingga pemerolehan bahasa yang dihasilkan antara anak-anak dan dewasa berbeda.
Kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi dan alat-
alat yang sudah dipersiapkan. Pembelajaan bahasa dalam tipe ini dilakukan dengan
sengaja atau sadar. Pembelajaran bahasa bersifat formal seharusnya lebih baik dari
pada pembelajaran yang dilakukan secara naturalistik, akan tetapi kenyataanya tidak
karena terdapat penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dalam proses
pembelajaran bahasa.
Guru bahasa harus memiliki kriteria yang wajib dipenuhi. Adapun kriteria
guru bahasa yaitu sebagai berikut.
a) menguasai lebih dari satu metode pembelajaram bahasa dan dapat
menerapkan metode itu dalam proses belajar mengajar.
b) menguasai materi yang diajarkan.
21
c) menguasai semua jenis dan prosedur penilaian.
d) menguasai semua tipe latihan ketrampilan berbahasa.
e) menguasai pengelolaan kelas
f) menguasai teknik pengajaran individual dan kelompok
g) dapat menentukan dan menguasai silabus pembelajaran
h) dapat memanfaatkan dan menggunakan media pengajaran
i) menguasai tujuan pengajaran bahasa dan aktivitas untuk mencapai tujuan.
Guru bahasa adalah seorang ahli bahasa, peneliti bahasa, dan penulis materi
pelajaran kebahasaan. Guru bahasa harus mendalami dan mengikuti perkembangan
ilmu yang diajarkannya sehingga dapat mengajarkan aspek bahasa kepada siswa
dengan mudah dan dapat menguasai materi yang diajarkan. Guru bahasa harus
menguasai fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan ilmu-ilmu sekerabat dengan
linguistik, misalnya sosiolinguistik dan psikolinguistik. Pengetahuan linguistik
seorang guru bahasa lebih bersifat praktis dalam arti membentengi dirinya agar dapat
menjelaskan gejala bahasa yang diajarkannya. Guru bahasa harus memahami
bagaimana kaidah bahasa yang dianalisis berdasarkan konsep linguistik sehingga
dapat menampakkan diri dalam pemakaian bahasa siswa. Hal itu penting karena guru
bahasa tidak mengajarkan siswa menjadi ahli bahasa, tetapi berusaha agar siswa
mahir berbahasa.
Basiran via (Janawati, 2013:5) tujuan pembelajaran bahasa adalah
keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks berkomunikasi. Kemampuan yang
22
dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan
mengekspresikan diri dengan berbahasa. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah
belajar komunikasi. Belajar bahasa erat kaitannya dengan belajar pendekatan dan
linguistik terapan. Pendekatan bahasa diterapkan dalam pengajaran bahasa dengan
tujuan siswa tuntas belajar berbahasa. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Hal
ini relevan karena kompetensi pembelajaran bahasa diarahkan dalam empat aspek,
yaitu membaca (reading), berbicara (speaking), menulis (writing), dan mendengarkan
(listening).
Bahasa pertama dan bahasa kedua sama-sama memiliki kepentingan dalam
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan istilah bahasa pertama
dan bahasa kedua perlu dibedakan dengan penggunaan bahasa ibu. Pembahasan
mengenai bahasa kedua tidak dapat lepas dari bahasa pertama. B2 diperoleh setelah
siswa menguasai B1. Penguasaan B1 melalui proses pemerolehan, sedangkan B2
melalui proses pembelajaran. Pembelajaran B2 dapat diperoleh melalui pendidikan
formal dan informal, dengan cara sengaja atau sadar (Chaer, 2003: 243).
Ellis (via Chaer, 2003: 243) menyebutkan ada dua tipe pembelajaran bahasa
yaitu tipe naturalistik yang bersifat alamiah dan tipe formal yang bersifat nonalamiah.
Tipe naturalistik adalah pembelajaran bahasa tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Tipe
ini ditemukan pada lingkungan multilingual. contoh siswa dari Jakarta bersekolah di
Bali, yaitu teman sekolah dan pedagang di sekitar, semuanya berbahasa daerah Bali.
23
Pada awalnya siswa kesulitan dalam mempelajari BDB, tetapi setelah sekian tahun
tinggal di Bali akhirnya bisa berbahasa Bali dengan aksen Bali. Hal ini jauh berbeda
dengan tipe formal dalam kelas yang sifatnya nonalamiah dengan guru, materi, dan
perangkat bantu lainnya, yang sengaja disiapkan sebagai pendukung dalam
pembelajaran.
Pembelajaran bahasa kedua sulit dilakukan jika siswa tidak memiliki faktor
pendukung dalam pembelajaran. Chaer (2003: 45) menyebutkan bahwa dalam
pembelajaran bahasa kedua terdapat lima faktor penentu yaitu (a) faktor motivasi, (b)
faktor usia, (c) faktor penyajian formal, (d) faktor bahasa pertama dan (e) faktor
lingkungan.
Dalam pembelajaran bahasa harus diketahui prinsip-prinsip belajar bahasa dan
pendekatan-pendekatan yang diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran, di samping
itu, juga menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan
pembelajaran.
a. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa
Seifert (1983) menyatakan bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah berupaya
mengembangkan komunikasi siswa, sehingga perhatian guru lebih dipusatkan kepada
penggunaan bahasa. Siswa dibimbing untuk menggunakan bahasa, tidak sekadar
mengetahui tentang bahasa. Pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif
diarahkan untuk membentuk kompetensi komunikatif.
24
b. Pendekatan Behavioristik
Kaum behavioris menyatakan bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah
masalah pembiasaan dan pembentukan kebiasaan. Dalam proses pembelajaran yang
penting adalah stimulus dan respons serta adanya penguatan. Pembelajaran bahasa
melahirkan pendekatan audiolingual yang banyak memberikan pengulangan. Artinya
jika belajar bahasa itu dilakukan dengan pengulangan, maka kompetensi berbahasa
dapat diperoleh.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini
kemudian berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan. Pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik dengan model hubungan stimulus-respon, mendudukkan siswa
yang belajar sebagai individu yang pasif.
Pateda, (1991: 98) mengatakan bahwa hal yang penting dalam teori belajar
behavioristik adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Stimulus berupa apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respons
berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Teori ini mengutamakan pengukuran sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku. Pendekatan ini
berpangkal dari pandangan penganut aliran struktural. Penganut pandangan ini
mengatakan bahwa ada hubungan antara rangsangan (stimulus) dan jawaban
25
(responce). Reaksi menjadi rangsangan pada pihak pendengar yang kemudian
menimbulkan reaksi pada pembicara.
Penganut pandangan ini berpendapat bahwa anak yang lahir belum memiliki
potensi bahasa. Bahasa dikuasai anak karena proses belajar. Anak menguasai bahasa
karena lingkungan yang memungkinkan proses pemerolehan bahasa. Anak-anak
belajar bahasa melalui peniruan. Artinya anak-anak meniru penggunaan bahasa yang
dilakukan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Peniruan ini biasaanya diikuti
oleh penguatan atau persetujuan dari orang yang ada di sekitarnya. Proses peniruan
yang diperkuat dengan pengukuhan oleh dunia sekitar anak itu kemudian menjadi
kebiasaan. Dalam penerapan pendekatan ini, tugas guru bahasa, yakni seperti di
bawah ini.
(1) memberikan kemungkinan kepada siswa untuk mengembangkan pengalamannya
guna meningkatkan keterampilan berbahasa.
(2) guru bahasa harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk
memeroleh pengalaman berbahasa yang pada gilirannya berakibat pada
perubahan tingkah laku berbahasa siswa.
(3) guru bahasa merencanakan pengajaran bahasa sedemikian rupa agar siswa
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan pengalamannya.
Stimulus yang tampak dalam pengajaran harus terstruktur dan diprogramkan agar
perubahan perilaku terjadi sesuai dengan tujuan pengajaran khusus yang ingin
dicapai.
26
(4) guru bahasa harus mempertimbangkan starategi, metode, dan teknik yang tepat
serta memungkinkan siswa menambah pengalamannya.
(5) guru bahasa harus memikirkan sumber dan alat bantu mengajar yang cocok agar
kegiatan menambah pengalaman berbahasa berjalan sesuai dengan tujuan yang
telah dirumuskan.
(6) guru bahasa harus menata lingkungan belajar sedemikian rupa agar siswa
berkeinginan menambah pengalaman sesuai dengn keinginannya dan tidak
bertentangan dengan tujuan khusus pengajaran yang hendak dicapai
c. Pendekatan Mentalistik
Teori belajar mentalistik dikatakan memiliki hubungan yang sangat erat dan
berasal dari teori psikologi. Aspek kognitifnya mempersoalkan masalah bagaimana
orang memeroleh bahasa. Menurut penganut pendekatan kognitif/ mentalistik, setiap
orang yang belajar bahasa tidak dikondisikan oleh proses yang sama, tetapi telah
memiliki potensi yang dibawanya sejak lahir. Penganut paham ini, berpendapat
bahwa bahasa sangat rumit. Aktivitas bahasa pada dasarnya adalah aktivitas mental.
Kaum mentalis berpendapat bahwa proses belajar manusia tidak boleh disamakan
dengan proses belajar yang terjadi pada binatang. Binatang dapat diberikan stimulus
tertentu untuk suatu reaksi yang diharapkan. Jadi bahasa sebagai fenomena sosial dan
keberadaan manusia tidak boleh dianggap sebagai aktivitas fisik, apalagi disamakan
dengan aktivitas binatang.
27
Tujuan teori belajar kognitif adalah untuk membentuk hubungan yang teruji,
dari tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka secara spesifik sesuai
dengan situasi psikologisnya. Teori kognitif menjelaskan bagaimana seseorang
mencapai pemahaman atas diri dan merupakan faktor-faktor yang saling tergantung
satu dan lainnya. Dalam penerapannya, pendekatan ini menitikberatkan pada hal-hal
berikut.
(1) Tugas guru bahasa, yakni melacak potensi yang ada, membimbing dan
mengembangkan potensi atau kapasitas yang dibawa sejak lahir itu agar
berkembang semaksimal mungkin.
(2) Tiap orang yang belajar bahasa tidak karena tersedianya kondisi dari luar,
tetapi karena pemerolehan bahasa yang telah dibawa sejak lahir.
d. Pendekatan Physical Response
Total physical response merupakan metode pendekatan pengajaran bahasa
yang diperkenalkan oleh James Asher Metode total physical response biasa juga
disebut dengan “the comprehension approach” karena dalam pendekatan ini banyak
diimplementasikan listening comprehension atau kemampuann mendengarkan. Ide
pendekatan ini muncul dari pengamatan tentang bagaimana seorang bayi dapat
menguasai bahasa ibu. Seorang bayi berbulan-bulan mendengarkan suara orang-orang
yang ada di sekitarnya sebelum dapat mengucapkan sebuah kata. Tidak ada yang
memerintahkan seorang anak untuk berbicara tetapi dia akan berbicara ketika sudah
siap.
28
Pada total physical response siswa mendengarkan dan merespon instruksi
lisan guru. Tujuan penggunaan metode pengajaran ini adalah untuk membuat para
siswa menikmati pengalaman berkomunikasi menggunakan bahasa asing.
Kenyataannya pendekatan ini dikembangkan untuk mengurangi perasaan stres ketika
mempelajari bahasa asing. Dalam metode ini ditekankan struktur tata bahasa dan
kosakata dibandingkan dengan aspek bahasa lainnya. Guru dapat mengukur tingkat
pemahaman seorang siswa dengan melihat aksi yang dilakukan oleh para siswa
dengan instruksi yang diberikan ketika belajar bahasa asing. Dalam metode ini
diharapkan agar siswa yang melakukan beberapa kesalahan ketika pertama kali
memulai untuk berbicara, guru yang menemukan kesalahan harus toleran dan hanya
mengoreksi kesalahan yang besar.
f. Pendekatan Natural
Pengajaran bahasa dikatakan sebagai sebuah proses yang diperoleh karena
mempunyai ciri bahwa bahasa aktif dalam otak bawah sadar (subconcious) dan
intuitif. Hal ini dapat diamati pada anak kecil yang dapat memahami dan mengetahui
bahasa ibu yang menjadi bahasa asing bagi kita. Hal tersebut dapat mereka alami
tanpa proses belajar secara sengaja, tetapi dari proses mengamati interaksi orang-
orang yang ada di sekitarnya dan hal tersebut dapat diketahui tanpa pengetahuan.
Kedua adalah hipotesis yang mengatakan bahwa bahasa merupakan sebuah proses
pembelajaran yang mustahil dikuasai tanpa mempelajari dan mengetahui aturan-
29
aturan dalam tata bahasa, dalam hal ini bahasa sebagai skill yang harus dipelajari
dalam otak sadar.
Nunan (1989; Budiningsih, 2005: 54) mengungkapkan bahwa peranan guru
dalam pendekatan ini adalah sebagai sumber utama yang memberikan masukan dan
menciptakan suasana kelas yang tidak gugup atau kaku. Oleh karena itu seorang guru
yang kreatif harus memilih dan menyusun aktivitas kelas yang membuat nyaman para
siswa untuk berinteraksi, sebagaimana ia berinteraksi secara alami dalam lingkungan
pergaulannya sehari-hari. Sebagai contoh aktivitas pendekatan natural approach
dalam pengajaran. Brown (1999) menyatakan bahwa metode pendekatan natural
approach meliputi hal-hal berikut.
1. Memperkenalkan diri dan orang lain.
2. Menukar informasi pribadi
3. Mengajarkan mengeja nama orang lain.
4. Memberikan perintah
5. Meminta maaf dan berterima kasih
6. Mengenali dan menggambarkan orang
7. Menanyakan sebuah informasi.
Hal unik yang dapat ditemukan dalam pembelajaran ini adalah berlatih
dengan teman sekelas, kelompok kerja interaktif, bermain peran, melatih tata bahasa
dan pronounciation. Di samping itu juga teknik gap-information, aktivitas internet,
dan latihan interaktif ekstra dalam kelas.
30
g. Pendekatan Pembelajaran HighScope
Pendekatan HighScope merupakan pendekatan yang berorientasi atau berpusat
pada siswa (student centered approach). Pendekatan HighScope pertama
dikembangkan oleh David Weikart. HighScope mulai digunakan tahun 1962. Studi
ini menyebutkan bahwa siswa memiliki hubungan sosial dan emosional yang baik.
Siswa sebagai pembelajar aktif yang diberikan kesempatan untuk memilih sendiri
aktivitas belajar. Pendekatan HighScope pada umumnya merupakan pendekatan yang
digunakan pada pembelajaran PAUD karena awal berdirinya HighScope dari PAUD
kemudian terus berkembang hingga tingkat SMU. Pendekatan pembelajaaran
HighScope digunakan pada pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa kelas VII
SLTP. Pendekatan pembelajaran HigScope merupakan pendekatan yang bertujuan
mengasah kreativitas siswa.
Morrison (2008:156) mengungkapkan bahwa program HighScope berdasarkan
teori Piaget, kontruktivisme, Dewey dan Vgotsky menyatakan bahwa pendekatan
HighScope merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan
memprioritaskan siswa untuk terlibat secara aktif, baik dalam perencanaan maupun
dalam proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang sesuai dengan minat
siswa sehingga penentuan kegiatan pembelajaran oleh guru dan siswa dilakukan
dengan cara yang seimbang.
Plan, do, review merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Dalam metode ini siswa diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
31
pembelajaran sesuai dengan minat dan keinginannya. Siswa belajar mulai dari
membuat perencanaan plan. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk melaksanakan kegiatan. Pada tahap do siswa melaksanakan atau
mengerjakan sesuatu sesuai dengan rencana secara berkelompok. Tahap terakhir
adalah review. Pada tahap ini siswa melaporkan kembali/mengkaji apa yang telah
dikerjakan dalam proses pembelajaran.
Pendekatan HighScope memiliki empat komponen penting dalam
pelaksanaannya sebagai berikut.
1. Siswa sebagai pembelajar aktif yang menggunakan sebagian besar waktunya
dalam pusat pembelajaran (learning center) yang beragam.
2. Merencanakan- melakukan-mengulang (plan-do-review)
3. Pengalaman kunci (key experience) merupakan pengalaman-pengalaman penting
siswa digunakan dalam pembelajaran.
4. Penggunaan catatan atau anekdot untuk mencatat kemajuan yang diperoleh siswa.
Pendekatan HighScope memiliki lima unsur yang mendukung pembelajaran
aktif siswa. Kelima unsur tersebut yaitu benda-benda yang dapat dieksplor siswa pada
saat belajar kosakata berbahasa Bali, manipulasi benda-benda oleh siswa. Siswa dapat
memilih apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran, bahasa siswa, dan dukungan
dari orang dewasa (guru).
Dalam penelitian ini teori pembelajaran bahasa yang digunakan berpedoman
pada pendapat Morrison (2008: 159). Menurut Morrison pendekatan pembelajaran
HighScope, merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak dan
memprioritaskan siswa untuk terlibat secara aktif dan menggunakan metode plan,do,
32
review baik dalam perencanaan maupun proses pembelajaran. Kegiatan ini dirancang
sesuai dengan minat siswa sehingga penentuan kegiatan pembelajaran oleh guru dan
siswa dilakukan dengan cara yang seimbang. Landasan teori ini dipakai untuk
meneliti metode pembelajaran BDB yang diterapkan pada siswa dwibahasa kelas VII
di Sekolah HighScope Indonesia-Bali.
Dalam pembelajaran bahasa sering dijumpai faktor-faktor yang dapat
menghambat pembelajaran bahasa. Asrori (2007: 125--127) berkembangnya ilmu
pengetahuan mengenai perilaku manusia, banyak membahas hasil belajar yang
efektif. Para pakar di bidang pendidikan dan psikologi mencoba mengidentifikasikan
faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran bahasa. Dengan diketahuinya faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar, guru atau siswa dapat memberikan
intervensi positif untuk meningkatkan hasil belajar yang diperoleh. Ada dua faktor
yang memengaruhi hasil belajar siswa, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal meliputi faktor fisiologis, yaitu kondisi jasmani dan keadaan
fungsi-fungsi fisiologis.
a) Faktor fisiologis sangat menunjang aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang
sehat dan kurang sehat akan berpengaruh pada aktivitas belajar. Jika siswa
kekurangan kadar makanan, keadaan jasmani akan lemah yang mengakibatkan
lekas mengantuk dan lelah.
33
b) Faktor psikologis, yaitu yang mendorong atau memotivasi belajar. Faktor-
faktor tersebut di antaranya adalah seperti berikut.
· Adanya keinginan untuk tahu
· Agar mendapatkan simpati dari orang lain.
· Untuk memperbaiki kegagalan
Selain beberapa faktor internal di atas, faktor yang memengaruhi hasil belajar
dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Minat
Seseorang yang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak akan berhasil
dengan baik. Kalau seseorang memiliki minat terhadap objek, maka mendapat
hasil yang baik. Guru harus selektif dalam menentukan atau memilih materi
pelajaran yang menarik siswa. Selain itu, harus dapat mengemas materi yang
dipilih dengan metode yang menarik. Guru juga perlu mengenali karakteristik
siswa, misalnya latar belakang sosial ekonomi, keyakinan, kemampuan, dan
lain-lain.
2. Kecerdasan
Kecerdasan memegang peranan penting dalam menentukan
keberhasilan siswa. Orang cerdas lebih mampu belajar daripada orang yang
kurang cerdas. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara
tingkat kecerdasan dan hasil belajar di sekolah.
34
3. Bakat
Bakat merupakan kemampuan bawaan sebagai potensi yang perlu
dilatih dan dikembangkan agar dapat terwujud. Bakat memerlukan latihan dan
pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan pada masa yang akan datang.
Selain kecerdasan, bakat merupakan faktor yang menentukan berhasil
tidaknya seseorang dalam belajar. Belajar pada bidang yang sesuai dengan
bakatnya akan memperbesar kemungkinan seseorang untuk berhasil.
4. Motivasi
Istilah motivasi berasal dari kata motif dalam bahasa Inggris motive
berasal dari kata motian yang diartikan gerakan atau sesuatu yang bergerak.
Istilah motivasi sangat erat kaitannya dengan gerak, yaitu gerak yang
dilakukan manusia yang lebih dikenal dengan istilah tingkah laku atau
perbuatan. Dalam ilmu psikologi istilah motivasi dikenal dengan istilah
rangsangan atau dorongan.
Motivasi yang dimiliki individu akan menentukan, baik kualitas perilaku yang
ditampilkannya, maupun dalam konteks belajar. Dalam dunia pendidikan motivasi
dikaitkan terutama dengan kepentingan upaya pencapaian prestasi seseorang.
Menurut Uno (2007:3), motivasi adalah kekuatan pergerakan yang
membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup yang menimbulkan sesuatu dan
mengarahkan pada tujuan tertentu. Teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli
yaitu sebagai berikut.
35
A. Teori Motivasi Abraham Maslow (1943--1970)
Abraham Maslow (1943--1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua
manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkan dalam lima tingkatan yang
berbentuk piramid, yaitu orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima
tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan herarki kebutuhan Maslow, dimulai
dari kebutuhan biologis dasar sampai dengan motif psikologis yang lebih kompleks;
yang penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi.
B. Teori Motivasi Herzberg (1966)
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang
untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua
faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor
intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan,
termasuk hubungan antarmanusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya
(faktor ekstrinsik). Di pihak lain, faktor motivator (instrinsik) memotivasi seseorang
untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk di dalamnya adalah achievement,
pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dan sebagainya.
C. Teori Motivasi Vroom (1964)
Teori Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan
mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang diyakini dan tidak dapat
melakukannya sekalipun hasil pekerjaan itu sangat diinginkan. Menurut Vroom,
36
tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu
(1) ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas, (2) instrumentalis, yaitu
penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas
(keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu). (3) valensi, yaitu respons
terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika
usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan dan motivasi rendah jika
usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan.
D. Teori Achievement Mc Clelland (1961)
Teori ini dikemukakan oleh Mc Clelland (1961). Ia menyatakan bahwa ada
tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu, seperti berikut.
• Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
• Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan
soscialneed Maslow)
• Need for Power (dorongan untuk mengatur).
Dr. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang
mendorong manusia untuk bergerak melakukan sesuatu. Ada beberapa macam jenis
motivasi yaitu sebagai berikut.
1. Motivasi berdasarkan terbentuknya motivasi itu sendiri. Berdasarkan hal
ini motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi bawaan
dan motivasi yang dipelajari. Motivasi bawaan adalah motivasi yang
dibawa sejak lahir dan tidak perlu dipelajari. Contoh makan, minum,
dorongan untuk bergerak, dan beristirahat. Sebaliknya motivasi yang
37
dipelajari adalah motivasi yang timbul karena dipelajari, misalnya
dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan atau dorongan
untuk mengejar suatu kedudukan dalam masyarakat.
2. Motivasi berdasarkan jalarannya. Dalam hal ini motivasi dibedakan
menjadi dua, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi
instrinsik timbul tidak memerlukan rangsangan dari luar karena sudah ada
dalam diri individu sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari luar
individu. Misalkan dalam bidang pendidikan terdapat minat yang positif
yang timbul karena ada manfaatnya.
Motivasi instrinsik harus lebih kuat daripada motivasi ekstrinsik. Seorang guru
harus dapat menimbulkan motivasi instrinsik untuk menumbuhkembangkan minat
belajar siswa terhadap mata pelajaran. Motivasi merupakan penggerak atau
penggugah seseorang untuk melakukan sesuatu agar dapat tercapai suatu keinginan.
Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat
instrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang
termotivasi. Orang mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut, bukan
karena rangsangan lain, seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan
seseorang melakukan hobinya. Sebaliknya motivasi ekstrinsik adalah manakala
elemen-elemen di luar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor
utama yang membuat seseorang termotivasi, seperti status ataupun kompensasi.
38
Motivasi sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang untuk
melakukan sesuatu termasuk dalam proses pembelajaran bahasa. Gardner dan
Lambert (1972) dalam Harmer (1983) dan Brown (2000) membedakan motivasi
menjadi dua, yaitu motivasi instrumental dan motivasi integratif. Motivasi
instrumental mengacu pada pemerolehan bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuan,
seperti karier dan tujuan yang bersifat akademik. Di pihak lain motivasi integrative,
yaitu motivasi yang terjadi akibat adanya dorongan atau keinginan untuk
mengintegrasikan diri dalam budaya kelompok penutur bahasa yang dipelajari dan
terlibat dalam budaya kelompok bersangkutan.
Brown (2000:165) berpendapat bahwa motivasi secara tipikal dapat dibedakan
atas motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Aktivitas-aktvitas yang termotivasi
secara intrinsik adalah aktivitas yang tidak ada imbalannya, kecuali aktivitas itu
sendiri atau adanya rasa puas dan prestasi dalam melakukannya. Sebaliknya, perilaku
yang termotivasi secara ekstrinsik dipakai untuk kepentingan atau imbalan dari luar
diri, seperti untuk mendapatkan uang, hadiah, pangkat, bahkan umpan balik tertentu
atau karena adanya tekanan dari pihak luar. seperti atasan dan lingkungan. Rangkaian
kedua motivasi ini dapat dipakai oleh semua kelas bahasa di seluruh dunia karena
saling melengkapi.
Dalam pembelajaran bahasa tidak semua siswa memiliki motivasi yang sama
dalam belajar bahasa. Sebelum proses belajar berlangsung, guru perlu memperoleh
pengetahuan tentang motivasi para pembelajar bahasa selain kemampuan dasar yang
39
telah dimiliki. Setelah itu guru dapat mengambil langkah-langkah untuk
meningkatkan motivasi sejak permulaan proses pembelajaran demi keberhasilan
proses pembelajaran (Harmer, 1983: 7--8; Budiarsa, 2006:3).
Motivasi dan sikap siswa penting dalam menentukan kesuksesan dan
kegagalan proses pembelajran. Wandia (1990: 105--106; Budiarsa, 2006: 5).
mengemukakan bahwa guru harus mengantisipasi dan mengakomodasikannya dengan
mengembangkan strategi pembelajar yang lebih aktif di dalam kelas, untuk mencapai
tujuan tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan guru. Pertama
mengembangkan kepiawaian dan pengetahuannya yang memungkinkan menjadi guru
yang baik. Kedua bertanggung jawab dan siap melakukan tugas sebagai fasilitator
dan mediator yang baik. Ketiga dapat memilih dan memakai materi ajar yang
komunikatif yang memungkinkan siswa aktif dalam kelas. Keempat menerapkan
langkah dan teknik pembelajaran yang bervariasi sehingga pembelajar tertarik untuk
mengikuti pelajaran. Kelima dapat mengembangkan kepercayaan diri pembelajar
dalam pengertian bahwa mereka hanya memerlukan sedikit bantuan dari luar dalam
hal ini guru. Jika siswa telah memiliki keinginan dan dorongan yang kuat untuk
belajar, maka akan tercipta suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Motivasi merupakan dorongan yang ada pada diri siswa untuk melakukan
suatu tindakan. Motivasi banyak dipengaruhi oleh kebutuhan individu yang ingin
dipenuhi (Suharsimi, 1993: 88; Budiarsa, 2006:10).
40
b. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal, yaitu faktor dari luar diri siswa yang ikut memengaruhi
belajar siswa. Faktor eksternal lainnya, misalnya berasal dari orang tua, sekolah, dan
masyarakat.
1) Faktor yang berasal dari orang tua
Faktor yang berasal dari orang tua terutama adalah sebagai cara mendidik
orang tua terhadap anaknya. Ada beberapa tanggapan mengenai faktor yang
memengaruhi belajar yang berasal dari orang tua. Tipe seperti ini mendidik
sesuai dengan kepemimpinan.
2) Faktor yang berasal dari sekolah
Faktor yang berasal dari sekolah dapat berasal dari guru, mata pelajaran
yang ditempuh, dan metode yang diterapkan. Faktor guru banyak menjadi
penyebab kegagalan belajar siswa yang menyangkut kepribadian guru dan
kemampuan mengajarnya. Di samping itu, minat terhadap mata pelajaran,
karena kebanyakan siswa memusatkan perhatian kepada pelajaran yang
diminati saja, sehingga mengakibatkan nilai yang diperolehnya tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Keterampilan, kemampuan, dan kemauan belajar
siswa tidak dapat dilepaskan dari pengaruh atau campur tangan orang lain. Oleh
karena itu, menjadi tugas guru untuk membimbing siswa dalam belajar.
41
3) Faktor yang berasal dari masyarakat
Siswa tidak lepas dari kehidupan masyarakat, bahkan faktor masyarakat
sangat kuat pengaruhnya terhadap pendidikan anak. Pengaruh masyarakat sulit
dikendalikan, baik mendukung maupun tidak mendukung perkembangan siswa,
masyarakat memiliki pengaruh terhadap pendidikan.
Selain faktor eksternal di atas, ada faktor eksternal yang dapat
memengaruhi pembelajaran bahasa yaitu.
a) Faktor Luar
Faktor luar yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat
memengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa faktor luar antara lain seperti di
bawah ini.
o Faktor Lingkungan, meliputi hal-hal berikut.
o Lingkungan alam, yaitu kondisi alam yang dapat berpengaruh terhadap
proses dan hasil belajar.
o Lingkungan sosial, baik yang berwujud manusia maupun yang lain, yang
langung dapat memengaruhi proses dan hasil belajar.
b) Faktor Instrumen
Faktor instrumen adalah faktor-faktor yang dalam penggunaannya dirancang
sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini meliputi hal-hal
berikut.
Kurikulum yang belum mantap dan sering mengalami perubahan dapat
mengganggu proses belajar.
42
Program yang jelas tujuan, sasaran, waktu dan mudah dilaksanakan akan
dapat membantu proses belajar.
Sarana dan Fasilitas, keadaan gedung dan tempat belajar, penerangan, ventilasi,
tempat duduk dapat memengaruhi keberhasilan belajar. Sarana
yang memadai akan membuat situasi yang kondusif untuk belajar.
Guru dan tenaga pengajar, kelengkapan jumlah guru, cara mengajar,
kemampuan, kedisiplinan yang dimiliki guru dapat memengaruhi proses dan
hasil belajar siswa. Guru yang profesional mengembangkan kemampuannya
melalui pendekatan. Pendekatan mampu menciptakan suasana aktif sehingga
tujuan yang direncanakan dalam pembelajaran dapat dicapai.
Dengan kemampuan pada suatu mata pelajaran, baik pengetahuan, keterampilan
maupun sikap yang mampu dikembangkan, siswa diharapkan dapat mengalihgunakan
kemampuan-kemampuan tersebut untuk mengahadapi masalah-masalah dalam
berbagai bidang pelajaran. Kemampuan bernalar, kemampuan memilih strategi yang
cocok dengan permasalahan, kemampuan menerima dan mengemukakan suatu
informasi secara tepat, dan cermat merupakan kemampuan umum yang dapat
digunakan dalam berbagai bidang.
43
2.2.2.2 Kedwibahasaan
Tantangan yang dihadapi bahasa daerah Bali adalah gencarnya pemakaian
bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya, sehingga masyarakat Bali sudah menjadi
dwibahasawan dan masyarakat multibahasa. Hal ini berdampak secara nyata pada
penutur dwibahasa, maka penutur akan mulai bergeser dalam menggunakan
bahasanya karena memiliki pilihan pemakaian bahasa lebih dari satu (Boloomfield,
1933: Chaer, 1995).
Ada beberapa tahapan usia dalam pemerolehan bahasa kedua yang
dikemukakan oleh Ovando dan Callier (1985: 65) dalam Tarigan (1988). Adapun
tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Kedwibahasaan Masa Kecil (Infant Bilingualism)
Pemerolehan bahasa pada masa kecil dimulai sejak bayi yaitu saat bayi
belum dapat mengucapkan suatu kata apa pun, pada saat itu bayi sudah mulai
belajar bahasa. Bayi yang secara langsung bergerak atau beranjak dari “tidak
berbicara sama sekali” menuju ke “berbicara dua bahasa”. Kasus-kasus
kedwibahasaan masa kecil memang perlu melibatkan atau mengikutsertakan
pemerolehan serentak (simultaneous acquesition) dari dua bahasa tersebut.
b. Kedwibahasaan Masa Kanak-Kanak (Child Bilingualism)
Kedwibahasaan masa anak-anak secara definisi mencakup
pemerolehan suksesif dua bahasa. Penyebab umum memperoleh suksesif ini
44
adalah perpindahan keluarga ke daerah atau negara lain. Hal ini mempunyai
hubungan erat dengan masa sulit adaptasi atau penyesuaian kehidupan anak
dan mencakup dalam belajar bahasa. Berdasarkan pengalaman telah diketahui
berulang-ulang bahwa siswa dalam situasi ini akan mempelajari bahasa kedua
dengan kecepatan yang mengagumkan. Bantuan yang diperoleh anak dari
guru dan teman-teman sekelas merupakan hal yang sangat penting.
c. Kedwibahasaan Masa Remaja (Adolescent Bilingualism)
Masa remaja dikatakan sebagai masa seorang anak mengalami
perubahan, baik dilihat dari segi fisik, psikis, suara, maupun bahasa.
Kedwibahasaan pada masa remaja atau adolescent bilingualism adalah suatu
istilah yang mengacu kepada orang-orang yang menjadi dwibahasawan
setelah masa pubertas. Dalam masa ini ada beberapa perbedaan dengan
pemerolehan bahasa kedua pada masa anak-anak. Hal ini terjadi sebab yang
diperoleh pada masa anak-anak dapat dihubungkan dengan ucapan pribumi
atau mirip pribumi (native accent).
d. Kedwibahasaan Orang Dewasa (Adult Bilinguyalism)
Remaja dan orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua akan
mengalami hal yang sama. Orang dewasa biasanya telah menguasai bahasa
pertama dengan maksimal. Pada waktu belajar dan berusaha untuk
memperoleh bahasa kedua akan mengalami kesulitan. Kesulitan ini akan
terasa bagi orang dewasa yang belum terbiasa sama sekali atau belum familiar
45
dengan bahasa yang sedang dipelajari, sehingga akan muncul lafal dengan
aksen yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertamanya. Oleh karena itu,
terlihat perbedaan yang cukup signifikan dengan belajar B2 pada masa anak-
anak. Apabila dihubungkan atau dikaitkan dengan aksennya, tampak dengan
aksen bukan pribumi (nonnative accent).
Teori kedwibahasaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Ovando dan Callier (1985: 65) dalam Tarigan (1988). Teori itu yang digunakan untuk
meneliti kendala-kendala kebahasaan yang terjadi pada siswa kelas VII dalam
pembelajaran BDB.
46
2.3 Model Penelitian
Secara garis besar model penelitian dapat dilihat pada bagan 2.3 berikut:
Bagan 2.3 Model Penelitian
3
Pembelajaran Bahasa
Bahasa Inggris
1.Faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB?
2.Kendala apa yang dihadapi dalam pembelajaran BDB?
3.Metode pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa?
Hasil Penelitian
Bahasa Indonesia Bahasa Daerah
Bali
Permasalahan
Metode dan teknik
pengumpulan data
Metode kualitatif dan kuantitatif, teknik
observasi, wawancara, dan kuisioner
Teori pembelajaran Bahasa
HighScope ( plan, do, review)
Morrison (2008 : 156)
Kendala berbahasa menggunakan teori
dwibahasa (Ovando dan
Callier (1985) dalam
Sudiarta (2005:27)
Teori Linguistik Terapan
47
Model penelitian merupakan alur penelitian yang dipakai oleh seorang peneliti
dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini. Objek penelitian yang dipakai
adalah siswa kelas VII sekolah HighScope Indonesia-Bali. Siswa kelas VII dipilih
sebagai objek penelitian karena merupakan siswa dwibahasa yang hidup dalam
masyarakat multilingual.
Dalam penelitian ini proses pembelajaran BDB diperoleh melalui observasi
terhadap siswa dalam proses pembelajaran yang dilakukan satu kali seminggu. Setiap
kali pertemuan memiliki waktu enam puluh menit. Dalam proses pembelajaran
dilakukan beberapa pendekatan, metode, dan penerapan teknik dalam pembelajaran
BDB.
Penelitian ini merupakan kajian linguistik terapan, yaitu sosiolinguistik yang
menganalisis pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa. Bahasa yang diteliti adalah
bahasa daerah Bali. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif dengan teknik observasi,
wawancara, rekaman, dan kuesioner. Dalam penelitian ini, data berupa hasil
observasi situasi kelas, hasil wawancara mengenai faktor–faktor yang memengaruhi
pembelajaran BDB, kendala yang dihadapi dalam pembelajaran BDB, dan metode
yang digunakan pada pembelajaran BDB.
Data dianalisis dengan metode kualitatif dan kuantitatif berdasarkan teori
yang relevan dengan pembahasan yaitu teori linguistik terapan. Adapun teori yang
dimaksud adalah sebagai berikut yaitu, pertama metode pembelajaran HighScope
48
oleh Morrison (2008: 156). Kedua teori dwibahasa (Ovando dan Callier, 1985) dalam
Sudiarta (2005:27) dan Asrori (2007: 125) sebagai acuan dalam menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB dan kendala berbahasa yang timbul
dalam pembelajaran BDB. Hasil penelitian disajikan secara formal, artinya hasil
analisis disajikan dengan table dan lambang-lambang. Di samping itu, hasil penelitian
juga disajikan secara informal, artinya bahwa hasil analisis data disajikan dengan
kata-kata atau kalimat secara deskriptif.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara yang ditempuh dalam penelitian. Arikunto
(2006: 22) menyatakan bahwa metode penelitian merupakan sesuatu yang penting
karena berhasil tidaknya dan tinggi rendahnya kualitas penelitian sangat ditentukan
oleh ketepatan dalam memilih metode penelitian. Metode penelitian meliputi (1)
rancangan penelitian, (2) subjek penelitian dan objek penelitian, (3) prosedur
penelitian, (4) metode pengumpulan data dan instrumen penelitian, dan (5) analisis
data. Berikut diuraikan metode penelitian tersebut.
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menerapkan metode deskriptif kualitatif.
Teknik analisis deskriptif kuantitatif merupakan teknik analisis data yang dilakukan
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah diperoleh untuk
selanjutnya dihitung berdasarkan statistik (angka) sesuai dengan indikator awal yang
telah ditetapkan. Deskriptif kualitatif merupakan teknik analisis data yang dilakukan
dengan cara menggambarkan data atau fenomena secara umum untuk disimpulkan.
Langkah-langkah penelitian ini meliputi penyusunan, rancangan penelitian,
penentuan lokasi penelitian, penentuan jenis dan sumber data, dan penyusunan
instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik
analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis.
50
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VII Sekolah HighScope Indonesia-Bali.
Dalam penelitian ini jumlah siswa kelas VII A sebanyak dua belas orang dan siswa
kelas VII B sebanyak empat belas orang siswa.
Tabel 3.1 Data Siswa Dwibahasa Kelas VII A
No Nama siswa Jenis kelamin Agama Asal
1 Putu Adistya Priyanka Surya Perempuan Hindu Bali
2 Putu Erin Indira Kayana Perempuan Hindu Bali
3 Keefe Jo Basyara Laki-laki Muslim Jakarta
4 Ben Dafyan Marthein Warouw Laki-laki Christian Jakarta
5 Jamie William Diyono Laki-laki Christian Jakarta
6 Haico Desitha Van Der Veken Perempuan Catolik Belgia
7 I Ketut Putra Purnawibawa Laki-laki Hindu Bali
8 Amelie Christabella Perempuan Cristian Jakarta
9 A.A. Ngurah Bagus Krishna Laki-laki Hindu Bali
10 Putu Budi Sukarya Putra P.O. Laki-laki Hindu Bali
11 Naufal Alif Imani Laki-laki Muslim Jember
12 Ester Caroline Yusuf Perempuan Christian Jakarta
Berdasarkan tabel di atas, data siswa dwibahasa kelas VIIA sebanyak dua
belas siswa. Lima siswa berjenis kelamin perempuan dan tujuh siswa laki-laki.
Berdasarkan agama ada lima siswa beragama Hindu, empat siswa beragama
Christian, satu siswa Katolik, dan dua siswa beragama Muslim yang dijadikan
sebagai subjek penelitian.
51
Tabel 3.2 Data Siswa Dwibahasa Kelas VII B
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat data siswa dwibahasa kelas VIIB
berdasarkan agama ada enam siswa beragama Hindu, lima siswa beragama Christian,
tiga siswa beragama Muslim yang dijadikan sebagai subjek penelitian.
Tabel 3.3 Persentase Daerah Asal Siswa
No Asal Jumlah Siswa Persentase
1 Bali 11 42,3%
2 Jakarta 7 26,9%
3 Bandung 1 3,85%
4 Surabaya 1 3,85%
5 Jember 1 3,85%
6 Rote 1 3,85%
7 Belgia 1 3,85%
8 Perancis 1 3,85%
9 Jepang 2 7,7%
No Nama siswa Jenis kelamin Agama Asal
1 Rin Hasegawa Laki-laki Christian Jepang
2 Putu Keysa Kerta Mahesa Laki-laki Hindu Bali
3 Marlon Sathya Verchere Laki-laki Muslim Perancis
4 Amelie Christasya Perempuan Christian Jakarta
5 IGA. Istri Raniastu Ista Sidanta Perempuan Hindu Bali
6 Hayato Hachiseko Laki-laki Christian Jepang
7 Putu Devika Putri Asha Sana Perempuan Hindu Jakarta
8 Luh Gede Diva Lilyasih A.M. Perempuan Himdu Bali
9 Yohan Candra Laki-laki Christian Bali
10 IB. Ram Kalpika Putra Mayun Laki-laki Hindu Bali
11 M. Naufal Raihansyah Z. Laki-laki Muslim Bandung
12 Auriga Namira Firmansyah Perempuan Muslim Surabaya
13 Gracela Michele John Mesach Perempuan Christian Rote
14 Ariantika Parawangsa P.P.G Laki-laki Hindu Bali
52
Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa jumlah siswa kelas VIIA dan VIIB
sebanyak 26 orang, 42,3% berasal dari Bali, 26,9% siswa berasal dari Jakarta, 3,85%
siswa berasal dari Bandung, 3,85% siswa berasal dari Surabaya, 3,85% siswa berasal
dari Jember, 3,85% siswa berasal dari Rote, 3,85% siswa berasal dari Perancis, dan
7,7% siswa berasal dari Jepang. Hal ini menunjukkan kemajemukan siswa kelas VIIA
dan VIIB merupakan siswa yang hidup dalam lingkungan multilingual sehingga BDB
merupakan pembelajaran bahasa kedua bagi siswa yang menggunakan bahasa Jepang,
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama.
42.30%
26.90%
3.85% 3.85% 3.85% 3.85% 3.85%7.70%
3.85%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Bali
Jakarta
Bandung
Surabaya
Jember
Rote
Belgia
Perancis
Jepang
Daerah Asal Siswa kelas VIIA dan VIIB
Grafik 3.1 Daerah Asal Siswa Kelas VIIA dan VIIB
Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa daerah asal siswa kelas VIIA dan
VIIB yang berjumlah 26 orang berasal dari enam daerah yang berbeda di Indonesia
dan tiga negara yang berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa
53
kelas VIIA dan VIIB merupakan siswa yang berasal dari negara dan daerah yang
majemuk sehingga siswa kelas VIIA dan VIIB menguasai lebih dari satu bahasa
untuk berkomunikasi.
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SLTP HighScope Indonesia Bali yang berlokasi di
Jalan Muding X No 9, Kerobokan Kaja, Kuta Utara. Lokasi sekolah berada pada
daerah perbatasan wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
3.4 Jenis dan Sumber Data
3.4.1 Jenis Data
Data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data ini
diperoleh dari siswa dwibahasa kelas VII SLTP HighScope Indonesia-Bali. Siswa
kelas VII A sebanyak dua belas orang dan siswa kelas VII B sebanyak empat belas
orang siswa. Selain itu, data diperoleh dari guru BDB yang mengajar di kelas VII.
3.4.1.1 Data Kualitatif
Data kualitatif merupakan data yang berbentuk kalimat verbal. Fungsi data
kualitatif adalah memberikan informasi mengenai suatu keadaan melalui pernyataan
atau kata-kata, tidak berbentuk nominal. Penelitian dengan menggunakan data
kualitatif merupakan penelitian yang tidak dapat memperoleh data secara langsung.
Data ini diperoleh melalui proses penelitian dan disajikan dalam bentuk kata-kata.
54
Data diperoleh melalui proses pengamatan, proses tanya jawab, dan penyebaran
angket.
Data kualitatif dalam penelitian ini berupa hasil dari catatan hasil observasi
interaksi guru dengan siswa yang terjadi di kelas, hasil wawancara, gambar hasil
pemotretan.
3.4.1.2 Data Kuantitatif
Data kuantitatif merupakan jenis data yang berupa angka dan dapat dihitung
atau diolah dengan menggunakan perhitungan matematika atau statistik untuk
menarik suatu simpulan. Fungsi data kuantitatif adalah untuk menggambarkan suatu
informasi atau keadaan dalam wujud angka-angka. Penelitian yang menggunakan
data kuantitatif dapat langsung memperoleh data yang dibutuhkan. Proses
pengumpulan data kuantitatif sangat mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu.
Data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan rumus sederhana.
Data kuantitatif dalam penelitian ini berupa hasil tes kemampuan berbahasa
Bali, jumlah siswa laki-laki dan perempuan, dan jumlah penggunaan BDB. Penyajian
hasil penelitian ini dipaparkan dalam bentuk nilai atau persentase dan grafik.
3.4.2 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.
Kedua jenis data tersebut diuraikan sebagai berikut.
55
3.4.2.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau objek
penelitian. Data primer berupa hasil kuesioner yang berisi unsur-unsur efektivitas
pembelajaran yang terjadi dalam proses pembelajaran, hasil wawancara, berupa hasil
observasi dalam pembelajaran BDB pada siswa kelas VII, dan tes yang diberikan
kepada siswa untuk mengetahui kemampuan BDB siswa.
3.4.2.2 Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui data yang telah diteliti
yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang diperoleh melalui studi pustaka.
Data sekunder berupa arsip-arsip, jurnal, artikel, dan hasil penelitian yang berkaitan
dengan pembelajaran BDB.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh data
yang diperlukan. Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa observasi di kelas
yang dilakukan oleh guru pengajar BDB. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif sehingga peneliti menjadi instrumen penelitian utama yang langsung
mengambil data dari pembelajaran BDB. Alat yang dipakai dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara (interview guide) yang dilengkapi dengan alat perekam.
Selain itu, digunakan alat pencatat lainnya yang diperlukan selama wawancara dan
observasi berlangsung. Ada beberapa instrumen yang dipakai dalam penelitian ini.
56
3.5.1 Pedoman Wawancara
Selain melakukan observasi, data primer juga diperoleh melalui hasil
wawancara dengan para informan, yaitu dengan pihak sekolah (baik guru maupun
siswa). Dalam kegiatan observasi dan wawancara, data yang digunakan terkait
dengan faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB, kendala-kendala dalam
pembelajaran BDB, metode pembelajaran BDB di sekolah HighScope Indonesia-
Bali, serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembelajaran BDB di
lingkungan sekolah.
3.5.2 Perekaman dan Dokumentasi
Alat perekam digunakan untuk mengumpulkan data melalui rekaman selama
proses pembelajaran berlangsung untuk mengetahui tindakan guru dan kreativitas
siswa dalam proses pembelajaran BDB. Dalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan dokumentasi terhadap data yang berkaitan dengan kebijakan
penyelenggaraan pembelajaran BDB pada kelas VII, seperti arsip kegiatan
pembelajaran di kelas yang meliputi kurikulum pendidikan, silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan kalender pendidikan.
Selanjutnya data kepustakaan lainnya berasal dari literatur yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pembelajaran BDB pada siswa SLTP. Hasil penelitian tentang
pembelajaran BDB yang memiliki relevansi dengan penyelenggaraan pembelajaran
BDB di SLTP dan jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian pembelajaran dan
pengajaran bahasa.
57
3.5.3 Catatan Harian
Catatan harian digunakan untuk mencatat hal-hal yang terjadi selama proses
pembelajaran BDB berupa hasil dari proses pembelajaran ataupun pencatatan data
yang dilakukan oleh peneliti berupa tuturan atau ujaran siswa. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui kesalahan berbahasa dalam pembelajaran BDB.
3.5.4 Kalender Pembelajaran (Silabus)
Penggunaan silabus sangat diperlukan untuk mengetahui rencana pembelajaran
guru yang dilaksanakan selama tiga bulan. Instrumen tersebut merupakan pedoman
mengajar bagi guru dalam menyampaikan materi. Silabus digunakan untuk mengukur
materi yang diberikan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
3.5.5 Rencana Proses Pembelajaran (RPP)
RPP digunakan untuk menunjang kelancaran dan keberhasilan selama proses
pembelajaran berlangsung. Instrumen ini merupakan pegangan pengajaran bagi guru
yang dapat digunakan untuk pengaturan kelas.
3.5.6 Skala Likert
Suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner, dan
merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Dalam
penelitian ini skala likert digunakan untuk mengukur pendapat siswa mengenai
motivasi dalam pembelajaran BDB. Dalam skala likert ini, ada lima pernyataan yang
58
berupa quesioner yang harus diisi oleh siswa mengenai motivasi yang mendorong
dalam pembelajaran BDB.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, kuisioner dan
identifikasi data. Peneliti berperan sebagai observer yang melakukan observasi
mengenai interaksi proses belajar mengajar di kelas yang dilakukan oleh guru dan
siswa. Peneliti mengamati pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa kelas VII.
Peneliti wawancarai siswa kelas VIIA dan VIIB untuk mengetahui faktor –faktor
yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa, kendala-kendala yang
dihadapi dalam pembelajaran bahasa, dan metode pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa kelas VII.
Wawancara juga dilakukan dengan guru BDB mengenai proses pembelajaran,
dan metode yang digunakan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Di
samping itu, diadakan wawancara dengan kepala sekolah berkaitan dengan kurikulum
dan informasi mengenai akademik yang digunakan dalam pembelajaran BDB di
sekolah. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut.
3.6.1 Kuesioner
Arikunto (2006:28) menyatakan bahwa kuesioner adalah sebuah daftar
pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur/responden. Kuesioner
adalah metode pengumpulan data melalui formulir-formulir yang berisi pertanyaan-
59
pertanyaan atau pernyataan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau
sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang
diperlukan oleh peneliti. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data pendapat
siswa mengenai faktor –faktor yang memengaruhi siswa dalam pembelajaran BDB
dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran BDB.
Tabel 3.4 Format Kuesioner Motivasi Siswa
No Pernyataan
Pendapat
SS
S
KS
TS
STS
1 Saya lebih bersemangat mengikuti
pelajaran bahasa Bali karena
termotivasi untuk dapat
berkomunikasi.
2 Guru selalu memberikan motivasi
dalam mempelajari bahasa Bali.
3 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali karena tuntutan nilai.
4 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali karena merupakan
pelajaran wajib.
5 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali untuk melestarikan
budaya daerah.
Data respons motivasi siswa dalam pembelajaran BDB menggunakan
kuesioner yang terdiri atas lima item. Tiap item mempunyai skor maksimal lima dan
skor minimal satu, dengan perincian:
Sangat setuju (SS) skor 5
Setuju (S) skor 4
60
Kurang setuju (KS) skor 3
Tidak setuju (TS) skor 2
Sangat tidak setuju (STS) skor 1
Total respons siswa di kelas
X100 %
Total respons tertinggi (jumlah siswa x 5)
Keterangan:
5= Nilai respons tertinggi
Explanation: Score Interpretation Criteria
0% -- 20% = sangat kurang positif
21% -- 40% = kurang positif
41% -- 60% = positif
61% -- 80% = cukup positif
81% -- 100% = sangat positif
Penelitian dianggap berhasil apabila jumlah siswa yang memberikan respons
positif lebih banyak daripada jumlah siswa yang memberikan respons negatif.
Dengan kata lain, penelitian dianggap berhasil apabila 50% ke atas dari jumlah siswa
memberikan respons positif.
3.6.2 Observasi
Secara harfiah observasi memiliki arti pengamatan. Dalam pengertian yang
lebih luas observasi merupakan suatu kegiatan pengumpulan data melalui mengamati
secara mendalam serta mencatat secara teliti dan sistematis segala hal yang dijadikan
objek atau sasaran pengamatan.
61
Observasi sebagai alat pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data
dalam proses belajar mengajar di sekolah. Observasi memegang peranan yang sangat
penting dalam rangka membuat prediksi sementara dan mengevaluasi kemajuan dan
perubahan-perubahan tingkah laku juga hasil belajar para siswa, yang mungkin tidak
dapat dijangkau oleh instrumen tes hasil belajar. Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui dan mendeteksi perkembangan
aspek-aspek fisik, intelektual, bahasa, emosi, moral, dan sosial seorang siswa.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang
jelas tentang penyelenggaraan pembelajaran BDB di SLTP HighScope. Metode
observasi yang digunakan adalah observasi nonpartisipan. Observasi nonpartisipan
adalah observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati perilaku tanpa ada
interaksi dengan subjek yang sedang diteliti. Format observasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah format observasi guru dan siswa.
Tabel 3.5 Format Observasi Kegiatan Guru
No Aspek yang Dinilai
Respons
Guru Ket
Ada Tidak
Ada
1. Guru menyampaikan salam kepada siswa dengan
menggunakan bahasa Bali
2. Guru memeriksa kesiapan siswa.
3. Guru menyampaikan SK, KD, indikator, dan tujuan
pembelajaran.
4. Guru mengecek pengetahuan siswa tentang materi yang
akan dijelaskan.
62
5. Guru menjelaskan materi dengan menggunakan bahasa
Bali.
6.
Jika ada siswa menyampaikan pemahamannya ke dalam
bahasa lain selain bahasa Bali guru akan mendorong anak
untuk mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Bali.
7.
Guru memberikan materi bahasa Bali yang integrasi
dengan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa inggris
yang sudah dipelajari di kelas.
8
Guru menggunakan banyak waktu di dalam kelas untuk
memacu siswa dapat berkomunikasi menggunakan
bahasa Bali.
9 Guru meminta siswa untuk menulis puisi Bali modern
10. Guru mencoba menerjemahkan bahasa Bali untuk siswa
yang kurang mengerti.
11. Meminta beberapa siswa untuk menyampaikan hasil
tulisannya di depan kelas.
12. Guru melakukan revisi terhadap hasil tulisan siswa.
13. Guru memberikan umpan balik, kepada siswa tentang
materi puisi Bali modern.
14.
Guru bersama-sama siswa menyimpulkan dan merefleksi
hasil tulisan yang sudah disampaikan oleh beberapa
siswa.
15. Memberikan kesempatan siswa untuk menanyakan hal-
hal yang belum dipahami.
Tabel 3.6 Format Observasi Kegiatan Siswa
No. Aspek yang dinilai
Respons
Siswa Ket
Ada Tidak
Ada
1. Siswa menyimak apersepsi yang disampaikan oleh guru.
2. Siswa antusias mengikuti pelajaran bahasa Bali.
3. Siswa menyimak SK, KD, indicator, dan tujuan
pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
4. Siswa mendengarkan pokok-pokok kegiatan
pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
5. Siswa mengajukan pertanyaan kepada guru.
63
6. Siswa aktif mengikuti pelajaran di kelas.
7. Siswa menulis puisi melalui tahapan menulis.
8. Siswa menggunakan bahasa tulis dalam pembelajaran
menulis puisi Bali modern berbahasa Bali.
9.
Siswa aktif dalam pembelajaran (mendengarkan
penjelasan guru) dan mengerjakan tugas guru sesuai
dengan petunjuk.
10. Ikut serta dalam merefleksi kegiatan pembelajaran.
11. Menyimpulkan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
12. Siswa aktif berkomunikasi menggunakan bahasa Bali
13. Siswa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris
3.6.3 Metode Wawancara
Metode wawancara adalah suatu cara memperoleh informasi atau keterangan-
keterangan terhadap suatu hal dari seseorang atau sekelompok orang dengan
memberikan pertanyaan lisan secara langsung. Wawancara sebagai alat penilai
digunakan untuk mengetahui pendapat, aspirasi, harapan, prestasi, keinginan,
keyakinan, dan lain-lain. Cara yang dilakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan
kepada siswa dengan beberapa cara. Dalam penelitian ini metode wawancara ini
digunakan untuk melengkapi data mengenai kendala eksternal dan internal yang
dihadapi siswa dalam belajar bahasa Bali. Wawancara dilakukan untuk mendukung
respons siswa yang telah dikumpulkan melalui angket/kuesioner. Pedoman
wawancara yang digunakan adalah pedoman wawancara terstruktur, yakni pedoman
wawancara yang telah disusun secara sistematis.
Menurut Aryana (dalam Suandi, 2008: 35), teknik ini digunakan jika di dalam
populasi terdapat kelompok-kelompok subjek dan antara satu kelompok dan
64
kelompok yang lain tampak adanya strata atau tingkatan. Pengambilan sampel dengan
teknik ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Melakukan stratifikasi, yaitu membagi subjek dalam populasi penelitian menjadi
beberapa subpopulasi.
b. Membuat daftar seluruh subjek yang menjadi anggota subpopulasi yang
bersangkutan.
c. Memilih sampel dari tiap-tiap subpopulasi dengan teknik random sederhana.
Penelitian ini mengambil sembilan orang siswa yang dijadikan subjek
wawancara. Tiga siswa berasal dari Bali, tiga siswa berasal dari luar Bali dan tiga
siswa berasal dari negara lain. Wawancara ini dilaksanakan pada jam istirahat.
Adapun instrumen wawancara yang digunakan adalah sebagai berikut.
PEDOMAN WAWANCARA
NAMA :
KELAS :
PERTANYAAN
1. Dari keempat keterampilan berbahasa Bali, keterampilan mana yang mudah
dipelajari, sebutkan alasannya?
2. Bahasa apa yang kalian gunakan untuk berkomunikasi di lingkungan
keluarga?
3. Bahasa apa yang kalian gunakan untuk berkomunikasi di lingkungan sekolah?
4. Di mana biasanya kalian berkomunikasi menggunakan bahasa Bali?
5. Seberapa sering kalian berkomunikasi menggunakan bahasa Bali?
65
6. Apa sajakah pengaruh positif yang ditimbulkan dalam pembelajaran bahasa
Bali yang menggunakan sistem dwibahasa?
7. Pengaruh negatif apa yang ditimbulkan dari penggunaan dwibahasa sebagai
bahasa pengantar dalam pembelajaran bahasa Bali?
8. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam belajar bahasa Bali?
9. Apakah suasana dan fasilitas di dalam kelas sudah mendukung keberhasilan
proses belajarmengajar bahasa Bali?
10. Langkah-langkah apa sajakah yang dilakukan oleh siswa untuk
meminimalkan kendala-kendala yang dihadapi dalam belajar bahasa Bali?
11. Bagaimanakah penguasaan materi, metode, dan teknik yang dilakukan oleh
guru ketika proses belajar mengajar pada mata pelajaran bahasa Bali
12. Apakah siswa di kelas VII merasa senang dengan penerapan metode
pengajaran bahasa Bali yang sekarang?
13. Motivasi apa yang mendorong kalian dalam belajar bahasa Bali?
3.6.4 Metode Tes
Metode tes berupa pertanyaan atau latihan dari alat lain yang digunakan untuk
mengukur keterampilan (Arikunto, 2006:150). Metode tes dalam penelitian ini
digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kemampuan berbahasa Bali siswa
dwibahasa, khususnya membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Data
keterampilan berbahasa Bali siswa dikumpulkan melalui tes penilaian instrument. Tes
yang digunakan adalah tes tulis, (Nurgiyantor, 2001:307).
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat
produktif. Keterampilan ini mengubah wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud
bunyi bahasa yang bermakna (Shihabudin, 2009: 195).
66
Suhendar (dalam Cahyani dan Hodijah, 2007: 64) mengemukakan bahwa
dalam menilai kemampuan berbicara seseorang sekurang-kurangnya perlu dipahami
aspek yaitu lafal, struktur bahasa, kosakata , isi pembicaraan, dan pemahaman.
Berikut pedoman yang digunakan untuk mengukur dan menilai keterampilan
berbahasa Bali yang meliputi keterampilan membaca, menulis, menyimak, dan
berbicara.
Tabel 3.7 Rubrik atau Pedoman Penilaian Bahasa daerah Bali kelas VII
Aspek yang
Dinilai
Skor
Tingkat
Pedoman Penilaian
MENULIS
Kualitas isi
18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Sesuai dengan isi, tema, dan lengkap,
amat terjabar, serta amat sesuai dengan
judul
Sesuai dengan isi, luas dan lengkap,
terjabar serta sesuai dengan judul
meskipun kurang terperinci
Sesuai dengan isi tapi belum lengkap
secara terbatas, kurang lengkap, kurang
terjabar, dan kurang terperinci
Tidak sesuai dengan isi, tidak mengenai,
dan tidak cukup untuk dinilai
Organisasi
dan penyajian
isi
27--30
22--26
17--21
Sangat baik
Baik
Sedang
Sangat teratur dan rapi, amat jelas, amat
kaya gagasan, urutan amat logis, dan
kohesi amat tinggi
Teratur dan rapi, jelas, banyak gagasan,
urutan logis, kohesi tinggi
Kurang teratur dan rapi, kurang jelas,
67
13--16
Kurang
kurang gagasan, urutan kurang logis dan
kohesi kurang tinggi.
Tidak teratur dan rapi, tidak jelas, kurang
gagasan, urutan kurang logis, tidak ada
kohesi, tidak cukup untuk dinilai
Bahasa 22--25
18--21
11--17
5--10
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Sangat menguasai bahasa, amat sedikit
kesalahan penggunaan dan penyusunan
kalimat dan kata-kata.
Penggunaan dan penyusunan kalimat
yang sederhana, sedikit kesalahan tata
bahasa yang mengaburkan makna
Kesulitan dalam penggunaan dan
penyusunan kalimat sederhana,
kesalahan yang mengaburkan makna.
Tidak menguasai penggunaan dan
penyusunan kalimat, tidak komunikatif,
tidak cukup untuk dinilai.
Kosakata 18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Penggunaan kosakata bahasa Bali yang
sangat luas, penggunaan amat efektif,
pemilihan kata amat tepat.
Menggunakan kosakata bahasa Bali
sangat luas, penggunaan efektif,
pemilihan kata tepat.
Penggunaan kosakata terbatas kurang
efektif, pemilihan kata kurang tepat.
Penggunaan kosakata seperti terjemahan,
kurang tepat untuk dinilai
68
MEMBACA
Intonasi
18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Mampu dan menguasai kaidah membaca
sesuai dengan intonasi dan pengucapan
dalam bahasa Bali
Menguasai kaidah dalam membaca kata,
ejaan, dan tanda baca dalam bahasa Bali
Kurang menguasai kaidah membaca
kata, ejaan, dan tanda baca dengan
banyak kesalahan.
Tidak menguasai kaidah membaca kata,
ejaan, tanda baca, sulit untuk dibaca, dan
tidak cukup untuk dinilai
Pilihan Kata 18--20
14-17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Mampu menguasai dan memahami
pilihan kata dalam membaca sesuai
dengan intonasi dan pengucapan dalam
bahasa Bali
Menguasai kaidah dalam membaca kata,
ejaan, dan tanda baca dalam bahasa Bali
Kurang menguasai kaidah membaca
kata, ejaan dan tanda baca dengan
banyak kesalahan.
Tidak menguasai kaidah membaca kata,
ejaan, tanda baca, sulit untuk dibaca dan
tidak cukup untuk dinilai.
Struktur
bahasa
18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Sangat menguasai struktur bahasa, amat
sedikit kesalahan penggunaan dan
penyusunan kalimat dan kata-kata dalam
kegiatan membaca.
Penggunaan dan penyusunan kalimat
yang sederhana, sedikit kesalahan tata
bahasa yang mengaburkan makna.
Kesulitan dalam penggunaan dan
penyusunan kalimat sederhana,
kesalahan yang mengaburkan makna.
Tidak menguasai penggunaan dan
penyusunan kalimat, tidak komunikatif,
tidak cukup untuk dinilai.
69
MENYIMAK
18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Mampu menguasai dan memahami
setiap informasi dalam bahasa Bali
dengan baik.
Memahami setiap informasi yang
disampaikan dalam bahasa Bali sesuai
dengan makna yang disampaikan
pembicara.
Kurang menguasai dan memahami
informasi yang disampaikan dalam
bahasa Bali sehingga banyak kesalahan
yang timbul dalam setiap kegiatan
menyimak.
Tidak menguasai dan memahami
informasi yang disampaikan dalam
bahasa Bali.
BERBICARA
Bahasa
18--20
14--17
10—13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Dapat berkomunikasi menggunakan
bahasa Bali sesuai dengan anggah-
ungguhin bahasa Bali.
Siswa mampu berkomunikasi dalam
setiap dialog dan interaksi sosial
menggunakan bahasa Bali.
Siswa mampu berkomunikasi dengan
bahasa Bali dalam bentuk kalimat
sederhana.
Masih belajar untuk berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali, siswa lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa
lain.
Struktur
bahasa
18--20
14--17
10--13
Sangat baik
Baik
Sedang
Sangat menguasai struktur bahasa, amat
sedikit kesalahan penggunaan dan
penyusunan kalimat dan kata-kata dalam
kegiatan berbicara.
Penggunaan dan penyusunan kalimat
yang sederhana, sedikit kesalahan tata
bahasa yang mengaburkan makna.
Kesulitan dalam penggunaan dan
penyusunan kalimat sederhana dalam
berbicara serta banyak kesalahan yang
mengaburkan makna.
70
Tabel 09. Rubrik atau Pedoman Penilaian Bahasa Daerah Bali kelas VII
Berdasarkan pedoman rubrik penilaian di atas, dapat dinyatakan bahwa skor
maksimal yang dapat diperoleh siswa dalam keterampilan BDB adalah 100 dan
7--9 Kurang Tidak menguasai penggunaan dan
penyusunan kalimat dalam berbicara
tidak komunikatif, tidak cukup untuk
dinilai.
Kosakata 18-20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Sangat menguasai bahasa, amat sedikit
kesalahan penggunaan dan penyusunan
kalimat dan kata-kata dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa
Bali.
Penggunaan dan penyusunan kalimat
yang sederhana, sedikit kesalahan tata
bahasa yang mengaburkan makna
Kesulitan dalam penggunaan dan
penyusunan kalimat sederhana,
kesalahan yang mengaburkan makna.
Tidak menguasai penggunaan dan
penyusunan kalimat, tidak komunikatif,
tidak cukup untuk dinilai.
Lafal 18--20
14--17
10--13
7--9
Sangat baik
Baik
Sedang
Kurang
Sangat menguasai pelafalan dalam
bahasa Bali, tekanan suara standar, tidak
tampak adanya pengaruh bahasa asing
dan terdengar seperti tuturan bahasa
lisan.
Menguasai pelafalan dalam bahasa Bali,
tidak tampak adanya pengaruh bahasa
asing.
Kesulitan dalam menguasai pelafalan
dalam bahasa Bali sehingga terdengar
seperti tuturan bahasa asing.
Tidak menguasai peklafalan dalam
bahasa bali, tidak komunikatif, tidak
cukup untuk dinilai.
71
standar minimalnya adalah 40. Secara individual, skor yang diperoleh siswa dapat
diperoleh melalui rumus berikut.
Ketuntasan Individu = 100maksimalskor
siswadiperolehyangskor
Untuk menghitung rata-rata (mean) hasil belajar digunakan rumus sebagai
berikut.
X = N
fX
Keterangan :
X = Nilai rata-rata (mean)
fX = Jumlah nilai seluruh siswa
N = Banyaknya siswa (Sudjana, 2004: 111)
Nilai yang diperoleh siswa dikonversikan ke dalam pedoman konversi skor
berikut (Nurkancana dan Sunartana, 1992: 95).
Tabel 3.8 Kategori Nilai Ketrampilan Bahasa Bali
No Rentangan Skor Kategori
1. 85--100 Baik sekali
2. 75--84 Baik
3. 65--74 Cukup
4. 55--64 Sedang
5. 45--54 Hampir sedang
6. 35--44 Kurang
7. 25--34 Kurang sekali
8. 15--24 Buruk
9. 0--14 Buruk sekali
72
Berdasarkan pedoman penilaian di atas, secara individual siswa dikatakan
tuntas apabila memperoleh nilai minimal 65. Secara klasikal, dikatakan tuntas apabila
75% dari jumlah siswa yang ada di kelas itu memperoleh nilai 65 ke atas. Apabila ini
dicapai, penelitian dapat dikatakan tuntas. Adapun rumus yang digunakan untuk
menghitung ketuntasan belajar sebagai berikut.
KB = %100xN
S
Keterangan:
KB = Ketuntasan belajar
S = Jumlah siswa yang mencapai ketuntasan
N = Jumlah siswa
Dari rumus tersebut, dapat diuraikan bahwa persentase siswa yang sudah
mencapai ketuntasan belajar dalam membaca, menulis, menyimak, dan berbicara
BDB dapat diketahui dengan cara membagi jumlah siswa yang memperoleh nilai 65
ke atas dengan jumlah seluruh siswa kemudian dikalikan 100%. Dengan demikian,
persentase siswa yang sudah tuntas dapat diketahui. Apabila 75% dari jumlah siswa
memperoleh nilai 65 ke atas, penelitian sudah dapat dikatakan tuntas.
73
3.6.5 Identifikasi Data
Setelah data diperoleh maka dilanjutkan dengan mengidentifikasi data yaitu data
yang diambil kemudian dilanjutkan dengan klarifikasi data artinya data-data yang
telah teridentifikasi kemudian dikelompokkan berdasarkan teori yang relevan dan
berkaitan dalam penelitian ini.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam
penelitian ini. Dalam kaitan ini analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif.
Pada tahapan ini semua data dikelompokkan dan dianalisis hingga menghasilkan hasil
penelitian yang sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah sebagai berikut.
1. Deskripsi data, yakni memaparkan data asli yang diperoleh melalui kegiatan
observasi dan wawancara pada siswa kelas VII SLTP yang menjadi tempat
penelitian ini.
2. Reduksi data, yakni kegiatan penelitian yang bersifat menggambarkan data yang
sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tentang implementasi
pembelajaran bahasa daerah Bali di kelas dwibahasa SLTP HighScope.
3. Interpretasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dalam bentuk analisis
kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan diolah berdasarkan prosedur yang
ada.
74
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara informal, yaitu dengan deskripsi
naratif dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, dan teks deskriptif yang dibantu dengan
cara formal, seperti penggunaan tabel, bagan, atau grafik. Paduan kedua cara ini
dianggap sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan kebutuhan penyajian hasil
penelitian yang kompleks dan multidisipliner serta berciri deskriptif-kualitatif seperti
dalam penelitian ini.
75
BAB IV
METODE PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH BALI
PADA SISWA DWIBAHASA KELAS VII SLTP DI SEKOLAH HIGHSCOPE
INDONESIA-BALI
Dalam bab ini diuraikan dan dibahas hasil penelitian sehubungan dengan
metode pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa di sekolah HighScope yang
diperoleh dari hasil wawancara, angket, observasi, dan hasil pembelajaran siswa yang
berkaitan dengan topik yang sedang dibahas. Selanjutnya dilaksanakan analisis guna
kepentingan dalam pembahasan. Pada bab ini dibahas (1) situasi pembelajaran BDB, 2)
faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa, 3)
kendala dalam pembelajaran BDB, 4) metode pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa.
4.1 Situasi Pembelajaran BDB
Kelas dwibahasa di sekolah HighScope memiliki lingkungan sekolah yang
nyaman. Fasilitas yang ada meliputi ruangan pegawai, ruangan kepala sekolah,
ruangan BK, UKS, perpustakaan, Lab bahasa, Lab IPA, Lab komputer, multimedia,
IT, OSIS, Aula (ruang serba guna), ruang makan guru dan siswa, ruang seni lukis,
seni tari, ruang agama Hindu, Muslim, Kristen, Katolik, Budha, Gudang, tempat
ibadah, kantin, pos jaga, bangsal kendaraan, kantin, lapangan basket, tempat bermain
siswa, lapangan upacara, lapangan sepak bola, kolam renang, dan ruang kelas. Ruang
76
kelas merupakan lingkungan belajar yang nyaman, tiap kelas berisi dua unit
computer, AC, LCD, dan projektor di tiap-tiap ruangan. Kelas diawasi oleh tiga orang
guru dalam pembelajaran. Pada dinding kelas terdapat poster hasil belajar siswa,
rubrik penilaian, peraturan kelas yang dibuat oleh siswa dan guru.
Situasi pembelajaran BDB di dukung oleh lingkungan kelas yang nyaman
lengkap dengan fasilitas yang ditawarkan yang dapat membantu dalam proses
pembelajaran. Sarana dan prasarana merupakan komponen pokok yang harus
dipersiapkan dalam kelas dwibahasa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa harus
direncanakan dan diupayakan dengan baik sehingga muncul kelas yang nyaman dan
membuat siswa senang belajar di kelas. Guru harus merencanakan dan menyediakan
bahan dan peralatan yang dapat mendukung perkembangan siswa. Adapun pusat–
pusat yang disediakan sebagai dekorasi kelas dwibahasa HighScope adalah sebagai
berikut.
a. Pusat Pertemuan
Pusat pertemuan merupakan tempat pertemuan siswa dan guru yang
digunakan sebagai tempat diskusi, mendengarkan pelajaran, dan
menyampaikan informasi yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Lihat
gambar 01.
b. Pojok Literatur
Pojok literatur merupakan bagian kelas yang berisi segala kebutuhan
dalam pembelajaran bahasa. Pojok Literatur memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mempersiapkan diri dalam proses membaca dan menulis, bahan-
77
bahan yang ada pada pojok ini meliputi buku-buku cerita fiksi dan nonfiksi
berbahasa Indonesia, Inggris, dan Bali. Selain itu berisi buku karya ilmiah
popular, majalah, buku cerita, kelengkapan alat menulis, kertas dan alat tulis
lainnya yang memungkinkan siswa untuk memilih sendiri kegiatannya. Lihat
gambar 02.
c. Sudut Teknologi
Sudut teknologi dapat digunakan untuk mencari keperluan dalam
pembelajaran bahasa. Siswa dapat menggunakan sudut teknologi untuk
mencari informasi yang berkaitan dengan pembelajaran. Sudut ini berisi dua
komputer lengkap dengan internet dan printer untuk membantu siswa dan
guru dalam proses pembelajaran. Lihat gambar 03.
Pusat pertemuan, pojok literatur, dan sudut teknologi merupakan bagian kelas
bahasa yang digunakan untuk menaruh barang sesuai dengan kebutuhan siswa dalam
pembelajaran bahasa. Situasi pembelajaran BDB yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang menunjang pembelajaran BDB meningkatkan keinginan siswa untuk
belajar BDB.
4.2 Faktor–Faktor yang Memengaruhi Pembelajaran Bahasa Daerah Bali
Pembelajaran merupakan suatu proses yang menimbulkan suatu perubahan
dalam individu siswa. Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi proses hasil
belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor
ini saling memengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil
78
belajar. Guru memiliki tugas untuk membelajarkan siswa sehingga siswa diharapkan
mampu belajar. Guru telah mengajar dengan baik. Ada siswa yang belajar dengan
giat, ada siswa yang belajar setengah hati, ada siswa berpura-pura belajar, bahkan ada
pula siswa yang tidak mau belajar. Ada siswa yang suka memusatkan perhatian
ketika belajar, bahkan ada siswa yang menganggap remeh suatu pelajaran tertentu.
Faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa penting
diketahui oleh guru untuk mencari metode yang tepat digunakan dalam pembelajaran.
Berikut hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB
pada siswa dwibahasa kelas VII.
4.2.1 Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu yang
dapat memengaruhi hasil belajar siswa. Adapun faktor internal yang memengaruhi
pembelajaran BDB adalah sebagai berikut.
4.2.1.1 Motivasi
Motivasi memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa. Dalam
penelitian ini pendapat siswa diukur menggunakan skala likert. Ada lima pernyataan
yang berupa kuesioner yang harus diisi oleh siswa mengenai motivasi dalam
pembelajaran BDB.
79
Dalam penelitian ini siswa kelas VIIA dan VIIB yang berjumlah 26 orang
mengisi kuesioner mengenai motivasi dalam pembelajaran BDB. Adapun hasil
penelitian dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 4.1 Motivasi Siswa Kelas VIIA
No Pernyataan
Pendapat
SS
(5)
S
(4)
KS
(3)
TS
(2)
STS
(1)
1 Saya lebih bersemangat mengikuti
pelajaran bahasa Bali karena
termotivasi untuk dapat berkomunikasi
16,66%
66.67%
16,66%
0% 0%
2 Guru selalu memberikan motivasi
dalam mempelajari bahasa Bali.
58,33%
25%
8,33%
0% 0%
3 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali karena tuntutan nilai.
50%
33.33% 25% 0% 0%
4 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali karena merupakan
pelajaran wajib.
16.6%
66,6%
16.6%
0% 0%
5 Saya termotivasi mengikuti pelajaran
bahasa Bali untuk melestarikan budaya
daerah.
41,66%
41,66%
16.6%
0% 0%
Tabel 4.2 Motivasi Siswa Kelas VII B
No Pernyataan
Pendapat
SS
(5)
S
(4)
KS
(3)
TS
(2)
ST
S
(1)
1 Saya lebih bersemangat mengikuti
pelajaran bahasa Bali karena
termotivasi untuk dapat
berkomunikasi.
64,28%
14,28%
7,14 %
14,28%
0%
2 Guru selalu memberikan motivasi
dalam mempelajari bahasa Bali.
57,14%
28,57%
14,28%
0% 0%
3 Saya termotivasi mengikuti
pelajaran bahasa Bali karena
tuntutan nilai
64,28%
14,2%
21,42%
0% 0%
80
4 Saya termotivasi mengikuti
pelajaran bahasa Bali karena
merupakan pelajaran wajib.
21,42%
57,14%
14,28%
7,14 %
0%
5 Saya termotivasi mengikuti
pelajaran bahasa Bali untuk
melestarikan budaya daerah.
28,57%
57,14%
14,28%
0% 0%
Total respons siswa di kelas
X100 %
Total respons tertinggi (Jumlah siswa x 5)
Keterangan:
5= Nilai respons tertinggi
Explanation: Score Interpretation Criteria
0% -- 20% = sangat kurang positif
21% -- 40% = kurang positif
41% --60% = positif
61% -- 80% = cukup positif
81% -- 100% = sangat positif
Tabel di atas menggambarkan hasil persentase pendapat siswa mengenai
motivasi siswa kelas VIIA dan VIIB dalam pembelajaran BDB. Adapun persentase
siswa tersebut dibagi menjadi beberapa respons siswa, yaitu sangat setuju, setuju,
kurang setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Di bawah ini, dipaparkan hasil
analisis data dan grafik persentasenya.
a. Pernyataan 1, “Saya lebih bersemangat mengikuti pelajaran bahasa Bali
karena termotivasi untuk dapat berkomunikasi”.
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, terlihat bahwa total persentase dari
pendapat siswa kelas VIIA 83,33% dan VIIB 78,56%, yaitu respons siswa cukup
positif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa siswa memberikan respons cukup positif
81
karena siswa ingin dapat berkomunikasi menggunakan BDB dalam pembelajaran
BDB. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut.
83.33%78.56%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kelas VIIA kelas VIIB
Kelas VIIA kelas VIIB
Grafik 4.1 Respons Siswa pada Pernyataan 1
b. Pernyataan II, “Guru selalu memberikan motivasi dalam mempelajari bahasa
Bali”.
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, terlihat bahwa total persentase pendapat
siswa kelas VIIA 83,33%, dan VIIB 85,71%. Dari data tersebut dapat disimpukan
bahwa siswa memberikan respons sangat positif mengenai motivasi yang diberikan
oleh guru dalam pembelajaran BDB. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut.
82
83.33% 85.71%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kelas VII A Kelas VII B
Kelas VII A
Kelas VII B
Grafik 4.2 Respons Siswa pada Pernyataan 2
c. Pernyataan III, “Saya termotivasi mengikuti pelajaran bahasa Bali karena
tuntutan nilai”.
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, terlihat bahwa total persentase pendapat
siswa kelas VIIA 83,33% dan VIIB 78,40 %. Jadi, dapat disimpulkan siswa memiliki
respons cukup positif. Siswa termotivasi mengikuti pelajaran BDB karena adanya
tuntutan nilai yang harus dipenuhi dalam pembelajaran. Artinya secara tidak langsung
siswa harus belajar bahasa daerah Bali agar mendapatkan nilai yang baik. Adapun
grafiknya adalah sebagai berikut.
83
83.33%78.40%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kelas VIIA Kelas VIIB
Kelas VIIA
Kelas VIIB
Grafik 4.3 Respons Siswa pada Pernyataan 3
d. Pernyataan IV, “Saya termotivasi mengikuti pelajaran bahasa Bali karena
merupakan pelajaran wajib”
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, terlihat bahwa total persentase pendapat
siswa kelas VIIA 83,2% memberikan respons yang sangat positif dan kelas VIIB
78,56%, memberikan respons yang cukup positif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar siswa memberikan respons positif mengenai motivasi yang
mendorong siswa belajar BDB karena pelajaran BDB merupakan pelajaran yang
wajib. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut.
84
83.20% 78.56%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Kelas VIIA Kelas VIIB
Kelas VIIA
Kelas VIIB
Grafik 4.4 Respons Siswa pada Pernyataan 4
e. Pernyataan V, “Saya termotivasi mengikuti pelajaran bahasa Bali untuk
melestarikan budaya daerah”
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, terlihat bahwa total persentase pendapat
siswa kelas VIIA 83,2% dan kelas VIIB 85,71%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
siswa kelas VIIA dan kelas VIIB memberikan respons yang sangat positif dalam
pembelajaran BDB. Siswa termotivasi untuk melestarikan kebudayaan Bali melalui
keinginan yang kuat untuk belajar BDB. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut.
83.20% 85.71%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
kelas VII A Kelas VII B
kelas VII A
Kelas VII B
Grafik 4.5 Respons Siswa pada Pernyataan 5
85
Data di atas didukung oleh data hasil wawancara terhadap empat siswa kelas
VIIA. Dari wawancara diperoleh hasil sebagai berikut. Abel berpendapat “motivasi
yang mendorong saya untuk belajar bahasa daerah Bali karena pelajaran ini
merupakan pelajaran wajib. Jadi harus diikuti untuk mendapatkan nilai yang baik”.
Adis berpendapat bahwa hal yang memotivasinya untuk belajar BDB “Karena saya
orang Bali sudah sepatutnya menguasai bahasa Bali, sangat memalukan jika orang
Bali, tetapi tidak bisa berbahasa Bali”. Dudik berpendapat bahwa hal yang
memotivasinya belajar BDB adalah ”Agar saya bisa berkomunikasi dengan teman di
kampong menggunakan bahasa Bali”. Ester berpendapat bahwa ”Saya belajar
bahasa Bali biar tahu banyak bahasa”.
Hasil wawancara terhadap siswa kelas VIIB, Yohan mengatakan yang
memotivasi dia untuk belajar BDB “Karena ingin mendapat nilai yang baik”. Naufal
berpendapat bahwa hal yang memotivasi dia untuk belajar bahasa Bali “Agar mampu
berkomunikasi dengan orang Bali. Grace berpendapat “Karena dia tinggal di Bali
jadi dia harus mengerti bahasa Bali”. Rin berpendapat “Belajar bahasa Bali biar
dapat nilai bagus”.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil wawancara siswa di atas, dapat
disimpulkan bahwa siswa termotivasi belajar karena BDB merupakan pelajaran wajib
yang harus dipelajari untuk mendapatkan nilai yang baik dalam pembelajaran. Di
samping itu, untuk dapat melestarikan bahasa dan kebudayaan Bali melalui
pembelajaran BDB. Guru dapat meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran
BDB dengan cara memotivasi siswa agar memiliki teman sebaya yang berasal dari
86
Bali dan aktif berkomunikasi menggunakan BDB. Tujuannya supaya siswa lebih
mudah belajar BDB menggunakan metode langsung. Guru harus memperkenalkan
ragam BDB setelah ragam bahasa formal. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa
agar merasakan langsung bahwa BDB yang dipelajari di kelas sangat bermanfaat bila
digunakan untuk berinteraksi di luar kelas dengan penutur asli atau masyarakat. Guru
selalu memberikan catatan budaya pada setiap tema. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu siswa menemukan budaya yang dimaksud di dalam kehidupan nyata
dalam masyarakat yang lebih bersifat nyata.
4.2.1.2 Minat
Minat merupakan kecenderungan yang tinggi atau keinginan yang besar
terhadap sesuatu. Minat memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas belajar.
Minat siswa dalam pembelajaran BDB sangat memengaruhi keberhasilan suatu
proses pembelajaran. Minat belajar tinggi untuk mempelajari sesuatu maka akan
memperoleh hasil yang baik. Sebaliknya, jika tidak berminat maka proses
pembelajaran akan kurang menarik dan tidak membangkitkan minat siswa untuk
tertarik terhadap materi pembelajaran BDB.
Dalam proses pembelajaran BDB, sikap siswa dapat memengaruhi
keberhasilan proses belajarnya. Sikap merupakan gejala internal yang berupa
kecenderungan untuk merespons peristiwa secara positif dan negatif. Sikap juga
merupakan kemampuan memberikan penilaian, adanya penilaian terhadap sesuatu
menimbulkan terjadinya penerimaan dan penolakan atau mengabaikan pelajaran
87
BDB. Sikap siswa dalam belajar bahasa dapat dipengaruhi oleh perasaan senang pada
pelajaran, senang pada guru, atau adanya pengaruh dari lingkungan sekitar untuk
mengantisipasi sikap negatif dalam pembelajaran BDB. Guru BDB harus berusaha
menjadi guru profesional dan bertanggung jawab. Seorang guru harus berusaha
memberikan yang terbaik bagi siswanya. Selain itu, berusaha mengembangkan
kepribadian sebagai seorang guru yang empati, sabar, dan tulus kepada siswanya.
Berikut tabel minat siswa dalam pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa di kelas
VIIA dan VIIB.
Tabel 4.3 Persentase Minat Siswa Kelas VIIA dan VIIB
No Interval Kelas VIIA Kelas VIIB
R % R %
1 Senang 8 66,6% 7 50%
2 Biasa 2 16,6% 4 28,71%
3 Tidak senang 2 16,6% 3 21.42%
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa 66,6% siswa kelas VIIA
senang mengikuti pelajaran BDB, 16,6% biasa, dan 16,6% tidak senang. Siswa kelas
VIIB 50% senang, 28,71% biasa, dan 21,42% tidak senang. Jadi, berdasarkan data di
atas dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VIIA dan VIIB memiliki minat yang
sangat positif terhadap pembelajaran BDB yang dilaksanakan di sekolah. Hal ini
terjadi karena dalam proses pembelajaran guru berusaha untuk menarik minat siswa
dalam belajar. Minat siswa dapat digambarkan dalam grafik di bawah ini.
88
66.60%
16.60% 16.60%
50%
28.71%21.42%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
senang biasa tidak senang
Kelas VIIA
kelas VIIB
Minat Siswa Belajar Bahasa Bali
Grafik 4.6 Minat Siswa Belajar Bahasa Bali
Data di atas didukung juga dengan hasil wawancara untuk mengetahui minat
siswa kelas VIIA dan VIIB di sekolah HighScope dalam pembelajaran BDB. Berikut
hasil wawancara siswa dwibahasa kelas VIIA dan VIIB. Hasil wawancara siswa kelas
VIIA, yaitu Ester mengatakan yang menarik minatnya untuk belajar BDB adalah
“Karena belajarnya bisa milih mau mengerjakan soal yang mana”. Tugus
menyatakan bahwa yang menarik minatnya untuk belajar BDB adalah “Ms kalau
ngajar banyak bawa benda-benda jadi kita bisa praktek langsung belajarnya”. Rin
kurang menyenangi pelajaran BDB karena kendala bahasa. Rin berpendapat, “Aku
gak ngerti bahasanya, tapi aksara Balinya suka”.
Hasil wawancara siswa kelas VIIB, yaitu Tasya berpendapat yang menarik
minatnya belajar BDB, ”Karena ingin belajar aksara Bali”. Jamie berpendapat “
Saya tidak suka belajar bahasa Bali karena bukan bahasa saya, jadi sulit mengerti
pelajarannya”. Erin berpendapat, ”Saya tidak berminat belajar bahasa Bali karena
89
tidak mengetahui bahasa Bali dan tidak pernah berkomunikasi menggunakan bahasa
Bali”.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap siswa kelas VIIA dan
VIIB dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VIIA lebih berminat belajar BDB
dibandingkan dengan siswa kelas VIIB. Minat siswa dalam belajar cukup besar
karena siswa merasa tertantang dalam belajar. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata
kemampuan berbahasa daerah Bali siswa kelas VIIA yaitu 73,91 % lebih besar jika
dibandingkan dengan siswa kelas VIIB, yaitu 69,5 %. Data tersebut membuktikan
bahwa siswa yang memiliki minat untuk belajar BDB akan berpengaruh terhadap
kemampuannya dalam pembelajaran BDB.
4.2.1.3 Kemampuan Berbahasa Bali
Chomsky (1965) menyatakan bahwa kemampuan adalah pengetahuan tentang
penguasaan yang umumnya disebut dengan istilah linguistic competence, yaitu
kemampuan dalam menggunakan bahasa secara memadai apabila dilihat dari sistem
bahasa. Dalam pembahasan ini kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk
menggunakan bahasa dengan tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Ada empat jenis kemampuan BDB yang diukur dalam penelitian ini, yaitu,
kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara.
90
Tabel 4.4 Skor Kemampuan Menulis Siswa kelas VIIA
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1 2 3 4 5
Putu Adistya Priyanka
Surya 18 25 20 18 3 84 baik
Putu Erin Indira Kayana 15 18 15 15 3 66 cukup
Keefe Jo Basyara 18 20 16 15 4 73 cukup
Ben Dafyan Marthein
Warouw 10 15 10 10 1 46
hampir
sedang
Jamie William Diyono 15 15 10 15 2 57 sedang
Haico Desitha Van Der
Veken 15 16 20 20 4 75 baik
I Ketut Putra Purnawibawa 15 18 15 16 3 67 cukup
Amelie Christabella 20 25 20 20 4 89 baik
sekali
Anak Agung Ngurah Bagus
Krishna 15 25 20 18 4 82 baik
Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka 18 25 25 18 4 90
baik
sekali
Naufal Alif Imani 18 25 20 18 4 85 baik
sekali
Ester Caroline Yusuf 15 18 20 16 4 73 cukup
Total Nilai 192 245 211 199 40 887
Rata-rata 16,00 20,41 17,58 16,58 3,4 73,91 baik
Keterangan :
I = Kualitas isi karangan (0--20)
2 = Organisasi karangan (0--30)
3 = Bahasa (0--25)
4 = Kosakata (0--20)
5 = Penulisan (0--5)
Nilai seluruh siswa = 887
Rata-rata kelas
%91,7312
887
91
1) Persentase kualitas isi karangan :
%80%10020
16X
2) Organisasi karangan :
%03,68%10030
41,20X
3) Bahasa :
%32,70%10025
58,17X
4) Kosakata :
%9,82%10020
58,16X
5) Penulisan :
%68%1005
4,3X
Tabel 4.5 Skor Kemampuan Menulis Siswa Kelas VIIB
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1 2 3 4 5
Rin Hasegawa 10 15 10 10 2 47 hampir
sedang
Putu Keysa Kerta
Mahesa 15 18 15 15 3 66 cukup
Marlon Sathya
Verchere 10 15 10 10 2 47
hampir
sedang
Amelie Christasya 20 25 15 20 4 84 baik
I Gusti Agung Istri
Raniastu Ista
Sidanta
15 15 10 15 4 59 sedang
Hayato Hachiseko 10 10 10 10 2 42 kurang
Putu Devika Putri
Asha Sana 15 18 15 16 3 67 cukup
Luh Gede Diva 20 25 20 20 4 89 baik sekali
92
Lilyasih Ananda
Muntra
Yohan Candra 15 25 20 18 4 82 baik
IB. Ram Kalpika 20 25 25 18 4 92 baik sekali
M. Naufal
Raihansyah
Zulkarnain
15 20 15 18 3 71 baik
Auriga Namira
Firmansyah 15 18 15 16 3 67 cukup
Gracela Michele
John Mesach 15 15 15 15 3 63 sedang
Ariantika
Parawangsa
Permana P. G.
20 28 24 20 5 97 baik sekali
Total Nilai 215 272 219 221 46 973
Rata-rata 15,35 19,42 15, 64 15,78 3,28 69,5 cukup
Keterangan :
1 = Kualitas isi karangan (0--20)
2 = Organisasi karangan (0--30)
3 = Bahasa (0--25)
4 = Kosakata (0--20)
5 = Penulisan (0--5)
Nilai seluruh siswa = 973
Rata-rata kelas
%5,6914
973
1) Persentase kualitas isi karangan :
%75,76%10020
35,15X
2) Organisasi karangan :
%73,64%10030
42,19X
93
3) Bahasa :
%13,52%10025
64,15X
4) Kosakata :
%9,78%10020
78,15X
5) Penulisan :
%6,65%1005
28,3X
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui kemampuan menulis siswa kelas
VIIA dan VIIB sebagai berikut. Kualitas isi karangan kelas VIIA 80%, organisasi
karangan 68,03%, bahasa 70,32%, kosakata 82,9% dan penulisan 68% dengan nilai
rata-rata kelas dari dua belas siswa 73,91%. Nilai persentase kualitas karangan kelas
VIIB 76,75%, organisasi karangan 64,73%, bahasa 52,13%, kosakata 78,9%, dan
penulisan 65,6% dengan nilai rata-tata kelas dari empat belas siswa adalah 69,5%.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa kelas VIIA dan VIIB baik
dan cukup dalam kemampuan menulis BDB terlihat dari kemampuan siswa dalam
proses menulis cerita berbahasa Bali memiliki nilai rata-rata 69,5%.
Tabel 4.6 Skor Kemampuan Membaca Siswa Kelas VIIA
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1 2 3
Putu Adistya Priyanka
Surya 20 30 30 80 baik
Putu Erin Indira Kayana 15 25 15 55 sedang
Keefe Jo Basyara 10 30 20 60 sedang
Ben Dafyan Marthein
Warouw 5 15 10 30
kurang
sekali
94
Jamie William Diyono 15 25 15 55 sedang
Haico Desitha Van Der V. 15 25 25 65 cukup
I Ketut Putra Purnawibawa 15 15 15 45 hampir
sedang
Amelie Christabella 20 20 25 65 cukup
Anak Agung Ngurah Bagus
Krishna 20 25 30 75 baik
Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka 25 25 25 75 baik
Naufal Alif Imani 20 20 25 60 sedang
Ester Caroline Yusuf 15 30 10 55 sedang
Total Nilai 195 285 245 725
Rata-rata 16,25 23,75 20,41 60,41 sedang
Keterangan :
1.Intonasi (0--20)
2. Pilihan Kata ( 0--30)
3. Struktur bahasa (0--30)
Nilai seluruh siswa = 725
Rata-rata kelas
%41,6012
725
1. Intonasi :
%25,81%10020
25,16X
2. Pilihan kata :
%16,79%10030
75,23X
3. Struktur bahasa :
%03,68%10030
41,20X
95
Tabel 4.7 Skor Kemampuan Membaca Siswa Kelas VIIB
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1 2 3
Rin Hasegawa 15 15 10 40 Kurang
Putu Keysa Kerta Mahesa 15 25 15 55 Sedang
Marlon Sathya Verchere 5 15 10 30 Kurang
sekali
Amelie Christasya 20 30 20 80 Baik
I Gusti Agung Istri
Raniastu Ista Sidanta 20 30 20 70 Cukup
Hayato Hachiseko 5 10 10 25 Buruk
Putu Devika Putri Asha
Sana 15 30 20 65 Cukup
Luh Gede Diva Lilyasih
Ananda Muntra 20 30 30 80 Baik
Yohan Candra 20 30 20 70 Cukup
Ida Bagus Ram Kalpika
Putra Mayun 20 25 25 70 Cukup
Mochamad Naufal
Raihansyah Zulkarnain 20 30 20 70 Cukup
Auriga Namira Firmansyah 15 25 20 60 Sedang
Gracela Michele John
Mesach 15 20 20 55 Sedang
Ariantika Parawangsa
Permana P. G. 20 30 30 80 Baik
Total Nilai 225 345 270 840
Rata-rata 16,07 26,64 19,28 60 Sedang
Nilai seluruh siswa = 840
Rata-rata kelas
%6014
840
1. Intonasi :
%35,80%10020
07,16X
96
2. Pilihan kata :
%8,88%10030
64,26X
3. Struktur bahasa :
%26,64%10030
28,19X
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui kemampuan membaca siswa kelas
VIIA dan VIIB sebagai berikut. Kelas VIIA intonasi 81,25%, pilihan kata 79,16 %,
struktur bahasa 68,03%, dengan nilai rata-tata kelas dari dua belas siswa 60,41%.
Kelas VIIB intonasi 80,35%, pilihan kata 88,8 %, struktur bahasa 64,26% dengan
nilai rata-tata kelas dari empat belas siswa 60%. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan membaca siswa kelas VIIA dan VIIB dikategorikan sedang karena
memiliki nilai kemampuan membaca sebesar 60%.
Tabel 4.8 Skor Kemampuan Menyimak Siswa Kelas VIIA
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1
Putu Adistya Priyanka
Surya 80 80 Baik
Putu Erin Indira Kayana 50 50 Hampir sedang
Keefe Jo Basyara 50 50 Hampir sedang
Ben Dafyan Marthein
Warouw 35 35 Kurang
Jamie William Diyono 45 45 Hampir sedang
Haico Desitha Van Der
Veken 45 45 Hampir sedang
I Ketut Putra Purnawibawa 50 50 Hampir sedang
Amelie Christabella 60 60 Sedang
A.A Ngurah Bagus Krishna 70 70 Cukup
97
Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka 70 70 Cukup
Naufal Alif Imani 50 50 Hampir sedang
Ester Caroline Yusuf 45 45 Hampir sedang
Total Nilai 650 650
Rata-rata 54,16 54,16 Hampir sedang
Keterangan :
1. Kemampuan menyimak ( 0--100)
Nilai seluruh siswa = 650
Rata-rata kelas
%16,5412
650
1. Kemampuan menyimak
%16,54%100100
16,54X
\
Tabel 4.9 Skor Kemampuan Menyimak Siswa Kelas VIIB
Nama Siswa
Aspek yang
Dinilai Nilai Kategori
1
Rin Hasegawa 50 50 Hampir sedang
Putu Keysa Kerta Mahesa 70 70 Cukup
Marlon Sathya Verchere 45 45 Hampir sedang
Amelie Christasya 80 80 Baik
I Gusti Agung Istri Raniastu Ista S. 80 80 Baik
Hayato Hachiseko 35 35 Kurang
Putu Devika Putri Asha Sana 60 60 Sedang
Luh Gede Diva Lilyasih Ananda M. 80 80 Baik
Yohan Candra 70 70 Cukup
IB. Ram Kalpika Putra Mayun 85 85 Baik sekali
Mochamad Naufal Raihansyah Z. 80 80 Baik
Auriga Namira Firmansyah 70 70 Cukup
98
Gracela Michele John Mesach 70 70 Cukup
Ariantika Parawangsa Permana P. G. 90 90 Baik sekali
Total Nilai 965 965
Rata-rata 68,92 68,92 Cukup
Keterangan :
1. Kemampuan menyimak ( 0--100)
Nilai seluruh siswa = 965
Rata-rata kelas
%92,6814
965
1. Kemampuan menyimak
%92,68%100100
92,68X
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui kemampuan menyimak siswa kelas
VIIA dan VIIB sebagai berikut yaitu kelas VIIA kemampuan menyimak 54,16% dan
rata-rata kelas dari dua belas siswa sebesar 54,16%. Kelas VIIB kemampuan
menyimak 68, 92% dan rata- rata kelas dari empat belas siswa sebesar 68,92%. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan menyimak siswa kelas VIIA dan VIIB
dikategorikan hampir sedang dan cukup dalam menyimak.
Tabel 4.10 Skor Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VIIA
Nama Siswa Aspek yang Dinilai Nilai Kategori
1 2 3 4
Putu Adistya Priyanka Surya 25 20 20 10 75 Baik
Putu Erin Indira Kayana 20 15 20 7 62 Sedang
Keefe Jo Basyara 20 15 15 7 57 Sedang
Ben Dafyan Marthein Warouw 10 10 10 7 37 Kurang
Jamie William Diyono 15 10 10 10 45 Hampir
99
sedang
Haico Desitha Van Der Veken 20 20 20 12 72 Cukup
I Ketut Putra Purnawibawa 15 15 15 10 55 Sedang
Amelie Christabella 15 20 20 12 67 Cukup
Anak Agung Ngurah Bagus Krishna 30 20 20 15 85 Baik
sekali
Putu Budi Sukarya Putra P.O. 30 20 20 15 85 Baik
sekali
Naufal Alif Imani 25 20 20 10 75 Baik
Ester Caroline Yusuf 15 15 12 10 52 Hampir
sedang
Total Nilai 240 200 202 125 767
Rata-rata 20 16,6 16,3 10,41 63,91 Sedang
Keterangan :
1. Bahasa : (0--30)
2. Struktur bahasa : (0--30)
3. Kosakata ( 0--25)
4. Lafal ( 0--15)
Nilai seluruh siswa = 767
Rata-rata kelas
%91,6312
767
1. Bahasa
%6,66%10030
20X
2. Struktur bahasa
%33,55%10030
6,16X
3. Kosakata
%2,65%10025
3,16X
4. Lafal
%4,69%10015
41,10X
100
Tabel 4.11 Skor Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VIIB
Nama Siswa Aspek yang Dinilai
Nilai Kategori 1 2 3 4
Rin Hasegawa 15 10 5 5 35 Kurang
Putu Keysa Kerta Mahesa 20 15 7 7 49 Hampir
sedang
Marlon Sathya Verchere 15 10 5 5 35 Kurang
Amelie Christasya 20 25 20 10 75 Baik
I Gusti Agung Istri Raniastu
Ista Sidanta 20 20 18 12 70 Cukup
Hayato Hachiseko 10 10 7 5 32 Kurang
sekali
Putu Devika Putri Asha Sana 20 15 18 10 63 Sedang
Luh Gede Diva Lilyasih A.M. 25 25 20 14 84 Baik
Yohan Candra 20 20 20 10 70 Cukup
IB. Ram Kalpika Putra M. 25 25 25 14 89 Baik
sekali
Mochamad Naufal
Raihansyah Zulkarnain 25 18 18 10 71 Cukup
Auriga Namira Firmansyah 20 14 10 7 51 Hampir
sedang
Gracela Michele John Mesach 20 15 12 8 55 Sedang
Ariantika Parawangsa
Permana P. G. 28 30 25 15 98
Baik
sekali
Total Nilai 283 252 210 132 877
Rata-rata 20,21 18 15 9,42 62,64 Sedang
Keterangan :
1. Bahasa : (0--30)
2. Struktur Bahasa : (0--30)
3. Kosakata ( 0--25)
4. lafal ( 0--15)
Nilai seluruh siswa = 877
101
Rata-rata kelas
%64,6214
877
1. Bahasa
%36,67%10030
21,20X
2. Struktur bahasa
%60%10030
18X
3. Kosakata
%60%10025
15X
4. Lafal
%8,62%10015
42,9X
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui kemampuan berbicara siswa kelas
VIIA dan VIIB sebagai berikut. Kelas VIIA kemampuan berbicara dari segi bahasa
sebesar 66,6%, struktur bahasa 55,33%, kosakata 65,2%, lafal 69,4% dan nilai rata-
rata kelas dari dua belas siswa sebesar 63,91%. Kelas VIIB kemampuan berbicara
dari segi bahasa sebesar 67,36%, struktur bahasa 60%, kosakata 60%, lafal 62,8%
dan nilai rata-rata kelas dari empat belas siswa sebesar 62,64%. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan berbicara siswa kelas VIIA dan VIIB dikategorikan sedang
dalam kemampuan berbicara BDB.
102
Tabel 4.12 Kemampuan Bahasa Bali Siswa Kelas VIIA dan VIIB
No Kemampuan Kelas Persentase Kategori
1 Menulis VIIA 73,91% Baik
VIIB 69,5% Cukup
2 Membaca VIIA 60,41% Sedang
VIIB 60% Sedang
3 Menyimak VIIA 54,16% Hampir sedang
VIIB 68,92% Cukup
4 Berbicara VIIA 63,91% Sedang
VIIB 62,64% Sedang
Berdasarkan tabel di atas, jadi dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
kemampuan BDB siswa kelas VIIA dan VIIB terlihat bahwa kemampuan menulis
siswa VIIA sebesar 73,91% dikategorikan baik, kemampuan membaca 60,41%
dikategorikan cukup, kemampuan menyimak 54,16% dikategorikan hampir sedang,
dan kemampuan berbicara 63,91% dikategorikan sedang. Di pihak lain kelas VIIB
kemampuan menulis 69,5% dikategorikan cukup, kemampuan membaca 60%
dikategorikan sedang, kemampuan menyimak 68,92% dikategorikan sedang, dan
kemampuan berbicara 62,64% dikategorikan sedang. Adapun grafik kemampuan
berbahasa daerah Bali siswa kelas VIIA dan VIIB ditampilkan sebagai berikut.
103
Grafik 4.7 Kemampuan Berbahasa Daerah Bali Siswa Kelas VIIA dan VIIB
4.1.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar siswa yang ikut
memengaruhi pembelajaran BDB. Faktor eksternal dapat berasal dari lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Syah (2003), faktor eksternal yang
memengaruhi pembelajaran bahasa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu lingkungan
sosial dan lingkungan nonsosial.
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara siswa kelas VIIA dan VIIB
diperoleh beberapa faktor eksternal yang memengaruhi pembelajaran BDB. Adapun
faktor eksternal tersebut dipaparkan sebagai berikut.
104
4.1.2.1 Lingkungan Sosial
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa di kelas VIIA dan VIIB. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
a. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga memiliki peran sangat penting yang dapat
memengaruhi pembelajaran BDB. Faktor lingkungan keluarga meliputi
bagaimana cara orang tua mendidik dan bahasa apa yang digunakan dalam
berkomunikasi di lingkungan keluarga. Siswa kelas VII memiliki kehidupan
keluarga yang majemuk siswa merupakan anak yang memiliki keluarga
campuran yaitu campuran Bali dengan Belgia, Bali dengan Jepang, Perancis
dengan Indonesia, dan beberapa anak yang berasal dari luar Bali. Berikut tabel
bahasa siswa pada lingkungan keluarga.
Tabel 4.13 Bahasa Siswa Kelas VIIA di Lingkungan Keluarga
No Nama siswa Asal Bahasa Pertama Bahasa yang
digunakan
berkomunikasi
1 Putu Adistya Priyanka
Surya
Bali bahasa Indonesia Indonesia
2 Putu Erin Indira Kayana Bali bahasa Indonesia Indonesia
3 Keefe Jo Basyara Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
4 Ben Dafyan Marthein
Warouw
Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
5 Jamie William Diyono Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
6 Haico Desitha Van Der
Veken
Belgia Bahasa Inggris Inggris
105
Tabel 4.14 Bahasa Siswa Kelas VIIB di Lingkungan Keluarga
7 I Ketut Putra
Purnawibawa
Bali bahasa Indonesia Indonesia
8 Amelie Christabella Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
9 Anak Agung Ngurah
Bagus Krishna
Bali bahasa Bali Indonesia dan Bali
10 Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka
Bali bahasa Indonesia Indonesia
11 Naufal Alif Imani Jember bahasa Jawa Indonesia dan Jawa
12 Ester Caroline Yusuf Jakarta bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
No Nama siswa Asal Bahasa
Pertama
Bahasa yang
digunakan
berkomunikasi
1 Rin Hasegawa
Jepang bahasa
Jepang
Jepang, Indonesia
2 Putu Keysa Kerta Mahesa
Bali bahasa Bali Indonesia
3 Marlon Sathya Verchere
Perancis bahasa
Inggris
Inggris
4 Amelie Christasya
Jakarta bahasa
Indonesia
Indonesia
5 I Gusti Agung Istri Raniastu
Ista Sidanta
Bali bahasa
Indonesia
Indonesia
6 Hayato Hachiseko
Jepang bahasa
Jepang
Jepang, Indonesia
7 Putu Devika Putri Asha Sana
Jakarta bahasa
Indonesia
Indonesia
8 Luh Gede Diva Lilyasih A.M.
Bali bahasa
Indonesia
Indonesia
9 Yohan Candra
Bali bahasa
Indonesia
Indonesia
10 Ida Bagus Ram Kalpika Putra
Mayun
Bali bahasa
Indonesia
Indonesia
11 Mochamad Naufal Raihansyah
Zulkarnain
Bandung bahasa
Indonesia
Indonesia
106
Tabel 4.15 Bahasa Siswa Kelas VIIA dan VIIB di Lingkungan Keluarga
No Bahasa Kelas VIIA dan VII B
Jumlah siswa %
1 Indonesia 18 69,23%
2 Inggris 2 7,7%
3 Indonesia dan Inggris 1 3,8%
4 Indonesia dan Bali 2 7,7%
5 Indonesia dan jepang 2 7,7%
6 Indonesia dan Jawa 1 3,8%
Jumlah 26 100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa siswa kelas VIIA dan VIIB
berjumlah 26 siswa. Penggunaan bahasa pertama di lingkungan keluarga
memengaruhi secara signifikan kemampuan siswa dalam pembelajaran BDB. Data
siswa yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia 69,23%, bahasa Inggris
7,7% bahasa Indonesia dan Inggris 3,8%, bahasa Indonesia dan Bali 7,7%, Indonesia
dan Jepang 7,7%, serta bahasa Indonesia dan Jawa 3,8 %. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa secara keseluruhan bahasa yang digunakan siswa kelas VIIA dan VIIB pada
lingkungan keluarga adalah bahasa Indonesia karena sebanyak 69,23% siswa
berkomunikasi di lingkungan keluarga menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
berarti bahwa siswa lebih sering berkomunikasi dalam lingkungan keluarga
menggunakan bahasa Indonesia. Siswa yang cenderung menggunakan bahasa
12 Auriga Namira Firmansyah
Surabaya bahasa
Indonesia
Indonesia
13 Gracela Michele John Mesach
Rote bahasa
Indonesia
Indonesia
14 Ariantika Parawangsa Permana
P. G.
Bali bahasa Bali Bali dan Indonesia
107
Indonesia sebagai bahasa pertama di lingkungan keluarga memiliki kemampuan
berbahasa Bali yang cukup dalam pembelajaran BDB. Sedangkan siswa yang
menggunakan BDB sebagai bahasa pertama memiliki kemampuan BDB yang lebih
baik. Adapun grafik bahasa yang digunakan siswa kelas VIIA dan VIIB untuk
berkomunikasi di lingkungan keluarga dapat ditampilkan sebagai berikut.
69.23%
7.70% 3.80% 7.70% 7.70% 3.80% 00%
10%
20%
30%
40%50%
60%
70%
80%
90%
100%
Bahasa di Lingkungan Keluarga
Indonesia
Inggris
Indonesia dan Inggris
Indonesia dan Bali
Indonesia dan Jepang
Indonesia dan Jawa
Grafik 4.8 Penggunaan Bahasa di Lingkungan Keluarga
Data di atas didukung dengan hasil wawancara. Adapun hasil wawancara
diuraikan sebagai berikut. Pendapat siswa kelas VIIA, yaitu Abel berkomentar,“Abel
berkomunikasi dengan keluarga menggunakan bahasa Indonesia’. Naufal
berkomentar “Karena saya berasal dari Jawa, di lingkungan keluarga berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia sehingga bahasa Bali sama sekali tidak
pernah digunakan dalam lingkungan keluarga”. Keefe berkomentar ”Dalam
108
berkomunikasi di lingkungan keluarga saya berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia, kadang pernah dicoba menggunakan bahasa Bali yang dipelajari di
sekolah untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga tetapi tidak ada yang mengerti
dengan apa yang dibicarakan”.
Siswa kelas VIIB Gus Ram berkomentar “Dalam lingkungan keluarga saya
berkomunikasi menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Bali
jadi bahasa Bali biasa digunakan untuk berkomunikasi pada lingkungan keluarga”.
Ari berkomentar “Saya berkomunikasi di dalam keluarga menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Bali”, sedangkan Rania berkomentar ”Saya menggunakan
bahasa Indonesia, tetapi saya mengerti jika mendengarkan orang berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali”. Siswa yang berasal dari Surabaya, yaitu Nara
berkomentar “Dalam lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya saya
jarang menemukan orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa Bali jadi
bahasa Bali merupakan bahasa asing, tetapi menarik untuk dipelajari karena saya
tinggal di Bali”. Yohan dari Jakarta berpendapat.”Di lingkungan keluarga saya
memang tidak pernah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bali tetapi saya
ingin belajar agar bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Bali”.
Berdasarkan pendapat hasil wawancara terhadap siswa kelas VIIA dan VIIB
dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VII dalam berkomunikasi di lingkungan
keluarga menggunakan bahasa Indonesia siswa cenderung memiliki kemampuan
berbahasa Bali yang cukup. Di pihak lain siswa yang menggunakan BDB sebagai
bahasa pertama memiliki kemampuan berbahasa Bali yang baik sekali.
109
b) Lingkungan Sekolah
Dalam pembelajaran BDB siswa berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Siswa di lingkungan sekolah memiliki hari berbahasa
yaitu, hari Senin, Rabu dan Jumat berbahasa Inggris sedangkan hari Selasa dan
Kamis berbahasa Indonesia. Pelajaran di kelas, pelajaran ilmu sosial, matematika,
pelajaran seni musik, seni rupa, dan olahraga menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar. Pada kelas ilmu alam, bahasa Indonesia dan agama menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pada pelajaran BDB digunakan bahasa
Bali sebagai bahasa pengantar. Berikut data penggunaan bahasa untuk berkomunikasi
siswa kelas VIIA dan VIIB di lingkungan sekolah.
Tabel 4.16 Bahasa Siswa Kelas VIIA di Lingkungan Sekolah
No Nama siswa Asal Bahasa
Pertama
Bahasa yang
digunakan
berkomunikasi
1 Putu Adistya Priyanka Surya Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
2 Putu Erin Indira Kayana Bali bahasa Indonesia Indonesia
3 Keefe Jo Basyara Jakarta bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
4 Ben Dafyan Marthein W. Jakarta bahasa Indonesia Inggris
5 Jamie William Diyono Jakarta bahasa Indonesia Inggris
6 Haico Desitha Van Der V. Belgia bahasa Inggris Inggris
7 I Ketut Putra Purnawibawa Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
8 Amelie Christabella Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
9 A.A Ngurah Bagus Krishna Bali bahasa Bali Indonesia dan Inggris
10 Putu Budi Sukarya Putra P.O. Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
11 Naufal Alif Imani Jember bahasa Jawa Indonesia
12 Ester Caroline Yusuf Jakarta bahasa Indonesia Inggris
110
Tabel 4.17 Bahasa Siswa Kelas VIIB di Lingkungan Sekolah
Tabel 4.18 Data Persentase Penggunaan Bahasa di Sekolah
No Bahasa Kelas VIIA dan VII B
Jumlah siswa %
1 Indonesia 5 19,23%
2 Inggris 5 19,23%
3 Indonesia dan Inggris 16 61,53%
Jumlah 26 100%
No Nama siswa Asal Bahasa Pertama Bahasa yang
digunakan
berkomunikasi
1 Rin Hasegawa Jepang bahasa Jepang Indonesia dan Inggris
2 Putu Keysa Kerta Mahesa Bali bahasa Bali Indonesia
3 Marlon Sathya Verchere Perancis bahasa Inggris Inggris
4 Amelie Christasya Jakarta bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
5 I G.A Istri Raniastu Ista S. Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
6 Hayato Hachiseko Jepang bahasa Jepang Indonesia
7 Putu Devika Putri Asha Sana Jakarta bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
8 Luh Gede Diva Lilyasih A.M Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
9 Yohan Candra Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
10 IB. Ram Kalpika Putra M. Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
11 Mochamad Naufal
Raihansyah Zulkarnain
Bandung bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
12 Auriga Namira Firmansyah Surabaya bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
13 Gracela Michele John Mesach Rote bahasa Indonesia Indonesia dan Inggris
14 Ariantika Parawangsa
Permana P. G.
Bali bahasa Bali Indonesia dan Inggris
111
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahasa yang digunakan siswa kelas
VIIA dan VIIB untuk berkomunikasi di lingkungan sekolah, yaitu 19,23%,
menggunakan bahasa Indonesia, 19,23% menggunakan bahasa Inggris, dan 61,53%.
menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar siswa kelas VIIA dan VIIB menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris untuk
berkomunikasi di lingkungan sekolah. Hal ini mengakibatkan cukup besar pengaruh
bahasa Indonesia dan Inggris terhadap pembelajaran BDB sehingga mengakibatkan
munculnya pengucapan yang salah dalam pembelajaran BDB. Adapun grafik bahasa
yang digunakan siswa kelas VIIA dan VIIB untuk berkomunikasi di lingkungan
sekolah dapat ditampilkan sebagai berikut.
19.23% 19.23%
61.53%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Indonesia Inggris Indonesia dan Inggris
Bahasa di Lingkungan Sekolah
Indonesia
Inggris
Indonesia dan Inggris
Grafik 4.9 Bahasa Siswa kelas VIIA dan VIIB di Lingkungan Sekolah
Grafik di atas menampilkan bahasa yang mendominasi komunikasi di
lingkungan sekolah adalah bahasa Indonesia dan Inggris. Hal ini menunjukkan
112
bahwa siswa dwibahasa kelas VIIA dan VIIB pada lingkungan sekolah
menggunakan dua bahasa untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris yang bersifat aktif dalam penggunaannya. Di pihak lain, BDB sebagai bahasa
kedua digunakan hanya pada saat pelajaran BDB. Hal ini dapat dilihat dari
kemampuan siswa kelas VIIA dan VIIB dalam keterampilan berbicara BDB. Siswa
memperoleh penilaian kemampuan berbicara kelas VIIA 63,91% dan VIIB 62,64%
yang dikategorikan sedang dalam ketrampilan berbicara.
Data di atas ditunjang dengan hasil wawancara terhadap siswa kelas VIIA
dan VIIB yang berasal dari daerah yang berbeda. Pendapat siswa yang berasal dari
Bali, yaitu Gus Ram dan Ari mengatakan bahwa dalam berkomunikasi di sekolah
mereka menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di pihak lain siswa
menggunakan BDB pada saat berkomunikasi dengan guru saat pelajaran. Jika
dengan teman, tidak ada yang mengerti. Erin juga memiliki pendapat yang sama
dalam berkomunikasi di lingkungan sekolah. Artinya, Erin tidak pernah
berkomunikasi menggunakan BDB, karena kosakata BDB yang dikuasainya sangat
sedikit sehingga sangat menyulitkan jika digunakan untuk berkomunikasi.
Siswa yang berasal dari Jakarta, yaitu Keefe, Abel, dan Sasha mengatakan
bahwa mereka lebih suka berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan Indonesia karena
lebih mudah dimengerti. Sebaliknya BDB baru mengetahui sedikit kosakata sehingga
susah digunakan untuk berkomunikasi.
Siswa yang berasal dari luar Bali, yaitu Hayato dan Rin yang berasal dari
Jepang, mengatakan bahwa dalam berkomunikasi di sekolah mereka terbiasa
113
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Pada saat pelajaran mereka
terkadang merasa asing dengan kosakata BDB yang didengarkan dari guru. Mereka
sering meminta guru untuk mengalihbahasakan BDB yang didengar ke dalam bahasa
Inggris. Di pihak lain, Haico siswa yang berasal dari Begia dalam berkomunikasi
lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris saat pelajaran BDB, tetapi pada saat
pelajaran BDB mencoba menggunakan kosakata BDB yang telah dipahami untuk
berkomunikasi
Berdasarkan hasil tabel 4.18 dan hasil wawancara siswa kelas VIIA dan VIIB.
Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VIIA dan VIIB dalam berkomunikasi di
lingkungan sekolah menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa
pertama siswa memberikan pengaruh yang berbeda pada kemampuan berbahasa Bali.
Siswa yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia dan Inggris cenderung memiliki
nilai membaca dan menulis yang cukup baik. Namun, secara keseluruhan siswa
dengan bahasa pertama BDB memiliki kemampuan berbahasa Bali yang baik sekali.
Pada grafik di atas tampak bahwa siswa yang berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris cenderung memengaruhi kemampuan dalam
keterampilan berbahasa Bali.
c) Lingkungan Tetangga
Masyarakat merupakan makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan satu
individu dengan individu lainnya. Lingkungan tetangga merupakan lingkungan
terdekat siswa untuk berkomunikasi dengan teman sebaya atau tetangga di
lingkungan tempat tinggal mereka. Lingkungan tetangga sangat berpengaruh terhadap
114
pembelajaran BDB. Dalam pembelajaran BDB harus diciptakan suasana lingkungan
tetangga yang positif. Berikut data tabel bahasa yang digunakan siswa untuk
berkomunikasi di lingkungan tetangga.
Tabel 4.19 Bahasa Siswa Kelas VIIA di Lingkungan Tetangga
No Nama Siswa Asal Bahasa
Pertama
Bahasa yang
Digunakan
Berkomunikasi
1 Putu Adistya Priyanka
Surya
Bali bahasa Indonesia Indonesia
2 Putu Erin Indira Kayana Bali bahasa Indonesia Indonesia
3 Keefe Jo Basyara Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
4 Ben Dafyan Marthein
Warouw
Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
5 Jamie William Diyono Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
6 Haico Desitha Van Der
Veken
Belgia bahasa Inggris Inggris
7 I Ketut Putra Purnawibawa
Bali bahasa Indonesia Indonesia dan Bali
8 Amelie Christabella Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
9 Anak Agung Ngurah
Bagus Krishna
Bali bahasa Bali Indonesia dan Bali
10 Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka
Bali bahasa Indonesia Indonesia
11 Naufal Alif Imani Jember bahasa Indonesia Indonesia
12 Ester Caroline Yusuf Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
115
Tabel 4.20 Bahasa Siswa Kelas VIIB di Lingkungan Tetangga
Tabel 4.21 Data Penggunaan Bahasa di Lingkungan Tetangga
No Bahasa Kelas VIIA dan VII B
Jumlah siswa %
1 Indonesia 20 76,9 %
2 Inggris 2 7,69 %
3 Indonesia Bali 3 11,53 %
4 Indonesia Jepang 1 3,8%
Jumlah 26 100%
No Nama Siswa Asal Bahasa Pertama Bahasa yang
Digunakan
Berkomunikasi
1 Rin Hasegawa
Jepang bahasa Jepang Indonesia dan
Jepang
2 Putu Keysa Kerta Mahesa Bali bahasa Bali Indonesia
3 Marlon Sathya Verchere Perancis bahasa Inggris Inggris
4 Amelie Christasya Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
5 I G.A Istri Raniastu Ista S. Bali bahasa Indonesia Indonesia
6 Hayato Hachiseko Jepang bahasa Jepang Indonesia
7 Putu Devika Putri Asha S. Jakarta bahasa Indonesia Indonesia
8 Luh Gede Diva Lilyasih A.M. Bali bahasa Indonesia Indonesia
9 Yohan Candra Bali bahasa Indonesia Indonesia
10 IB. Ram Kalpika Putra M. Bali bahasa Indonesia Indonesia
11 Mochamad Naufal
Raihansyah Zulkarnain
Bandung bahasa Indonesia Indonesia
12 Auriga Namira Firmansyah Surabaya bahasa Indonesia Indonesia
13 Gracela Michele John Mesach Rote bahasa Indonesia Indonesia
14 Ariantika Parawangsa Permana
P. G.
Bali bahasa Bali Indonesia dan Bali
116
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa bahasa yang digunakan
siswa kelas VIIA dan VIIB untuk berkomunikasi di lingkungan tetangga, yaitu 76,9%
menggunakan bahasa Indonesia, 7,69% bahasa Inggris, 11,53% bahasa Indonesia-
Bali, 3,85% menggunakan bahasa Indonesia-Jepang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
dalam lingkungan tetangga siswa kelas VIIA dan VIIB berkomunikasi 76,90%
menggunakan bahasa Indonesia. Di bawah ini dicantumkan grafik bahasa yang
digunakan siswa kelas VIIA dan VIIB pada lingkungan tetangga. Adapun grafik
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
76.90%
7.96% 11.53%3.80%
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
Indonesia Inggris Indonesia dan Inggris
Indonesia dan Jepang
Bahasa di Lingkungan Tetangga
Indonesia
Inggris
Indonesia dan Inggris
Indonesia dan Jepang
Grafik 4.10 Bahasa Siswa Kelas VIIA dan VIIB di Lingkungan Tetangga
Data di atas didukung oleh hasil wawancara terhadap respons siswa untuk
mengetahui keadaan lingkungan tetangga siswa yang dilakukan terhadap empat orang
siswa kelas VIIA. Wawancara pertama, Adis siswa yang berasal dari Bali
mengatakan bahwa “Dalam berkomunikasi ia menggunakan bahasa Indonesia
karena sebagian besar teman sepermainannya dirumah berkomunikasi menggunakan
117
bahasa Indonesia”. Tugus berkomentar bahwa “Dia berkomunikasi bersama teman-
temannya di lingkungan tetangga tempat tinggalnya berbahasa Indonesia”. Putra
berkomentar “Untuk berkomunikasi di lingkungan tetangga, Putra berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali, tetapi Putra selalu menjawab pertanyaan yang
disampaikan menggunakan bahasa Indonesia karena dia mengerti apa yang
dibicarakan, namun dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dengan
menggunakan bahasa Bali karena sedikitnya kosakata bahasa Bali yang dia miliki”.
Siswa yang berasal dari luar Bali, yaitu Abel berkomentar bahwa ”Dalam
berkomunikasi di lingkungan tetangga dia sama sekali tidak pernah menggunakan
bahasa Bali dan baru belajar bahasa Bali. Selama berada disekolah dan tetangga
saya yang orang Bali ngomongnya pakai bahasa Indonesia”. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa dalam berkomunikasi di lingkungan tetangga siswa kelas VIIA dan VIIB
berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Kuatnya pengaruh B1 yang
digunakan untuk berkomunikasi di lingkungan tetangga sangat memengaruhi
keterampilan siswa dalam Pembelajaran BDB. Terlihat dari kemampuan siswa dalam
keterampilan berbicara yang memiliki nilai rata-rata kelas VIIA 63,91% dan kelas
VIIB 62,64% yang dikategorikan sedang.
4.1.2.2 Lingkungan Nonsosial
Lingkungan nonsosial dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu faktor
instrumental dan materi pelajaran. Berikut dijelaskan kedua faktor tersebut.
Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan menjadi
dua macam, yaitu fasilitas belajar hardware, seperti sarana dan prasarana. Fasilitas
118
software, seperti kurikulum, peraturan sekolah, silabus, dan RPP. Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan pada lingkungan nonsosial siswa kelas VIIA dan VIIB
diketahui bahwa perangkat pembelajaran BDB yang dimiliki di sekolah HighScope
dirancang khusus oleh guru BDB yang dipakai sebagai pedoman dalam proses
pembelajaran dengan konsep pendekatan HighScope dengan metode (plan, do,
review) sehingga siswa aktif dalam proses pembelajaran (Active Learning).
Materi pelajaran meliputi bahan ajar yang digunakan untuk membantu siswa
dalam proses pembelajaran. Materi yang diberikan diambil dari buku paket “Pudak
Sari Bahasa Bali untuk Kelas VII SMP”. Dari buku paket yang digunakan materi
berintegrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Materi yang
sudah diajarkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris diajarkan kembali dalam
pembelajaran BDB. Dengan demikian, guru tidak banyak memberikan penjelasan
mengenai pelajaran yang diberikan karena sudah dijelaskan pada pelajaran bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia. Sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
pelajaran satu dengan pelajaran lainnya. Siswa yang menggunakan bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia sebagai B1, dapat memahami materi yang diberikan pada pelajaran
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga pada saat pembelajaran BDB siswa
lebih berkonsentrasi dan tidak kesulitan memahami materi yang diberikan.
Kemampuan berbahasa yang sudah diperoleh di bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
kemudian diaplikasikan dalam pembelajaran BDB. Pada saat guru menjelaskan
dengan menggunakan BDB guru mengaitkan pelajaran BDB dengan pelajaran bahasa
Indonesia dan Inggris yang telah dipelajari.
119
Guru memberikan materi pembelajaran tidak hanya menggunakan LKS atau
buku paket, Guru mengintegrasikan pelajaran BDB dengan pelajaran bahasa
Indonesia dan Inggris. Siswa belajar melalui lembar pekerjaan, sedangkan guru
membuat materi pelajaran BDB disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Di samping itu,
guru terlebih dahulu mengukur kesiapan siswa dalam belajar. Artinya materi dibuat
setelah guru memberikan tes untuk mengukur kemampuan siswa. Setelah
memperoleh tingkat kemampuan yang dimiliki siswa dalam pelajaran BDB, guru
merancang pembelajaran dan memberikan materi sesuai dengan kesiapan dan
keinginan siswa dalam belajar sehingga pembelajaran BDB mudah untuk dipahami.
Selain itu topik kosakata yang diberikan sesuai dengan pelajaran ilmu sosial dan ilmu
alam. Jadi siswa lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan tanpa harus
memahami kembali materi yang diberikan dalam bahasa yang berbeda.
Siswa yang memiliki kemampuan kurang dalam BDB dapat mengikuti
pelajaran dengan baik dan menyenangkan, sedangkan siswa yang memiliki
kemampuan lebih, dapat terus meningkatkan kemampuan BDB dan dapat berbagi
ilmu yang dimiliki kepada siswa yang masih kurang dalam pembelajaran BDB. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa faktor nonlingkungan sosial yang memengaruhi
pembelajaran BDB pada siswa kelas VIIA dan VIIB adalah faktor instrumental yang
meliputi perangkat pembelajaran yang dirancang sesuai dengan konsep Highscope
dan materi pelajaran yang digunakan berintegrasi dengan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris, untuk menumbuh kembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran
120
BDB sehingga membuat pembelajaran BDB dapat dipelajari oleh siswa dwibahasa
dengan baik.
4.2 Kendala dalam Pembelajaran Bahasa Daerah Bali
Konsep pendidikan bilingual atau lebih terkenal dengan istilah “Billingual
Education” atau pendidikan dwibahasa. Di Bali banyak terdapat sekolah berlabel plus
atau Sekolah SBI. Sekolah HighScope merupakan salah satu sekolah nasional plus
yang memakai konsep dwibahasa dalam proses pembelajaran. Sekolah HighScope
menerapkan pendekatan pembelajaran dwibahasa yaitu pendekatan concurrent,
artinya pendekatan yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara
bergantian dalam pelajaran. Kemampuan siswa berbahasa Inggris dan bahasa
Indonesia sangat berpengaruh terhadap masuknya pembelajaran BDB di sekolah.
Siswa mengalami kesulitan dalam belajar karena BDB merupakan B2 bagi siswa
kelas VII. Adapun kendala–kendala berbahasa yang timbul dalam pembelajaran BDB
meliputi kendala berbahasa dan nonberbahasa. Kendala-kendala tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
4.2.1 Kendala Berbahasa
Kendala berbahasa dapat terjadi pada tataran linguistik (kebahasaan). Guru
yang sudah berpengalaman pasti mengetahui kendala berbahasa yang dihadapi siswa
dalam mempelajari bahasa. Kendala berbahasa merupakan bagian dari proses
pembelajaran bahasa. Kendala berbahasa dari segi ilmu bahasa bisa berupa
121
kesalahan-kesalahan dalam berbahasa. Kendala berbahasa ini terjadi disebabkan oleh
tekanan B1 terhadap B2 atau akibat penyimpangan kaidah B2. BDB pada masa
sekarang seharusnya menjadi bahasa pertama tetapi berganti menjadi B2. Ketika
berada lingkungan keluarga atau berbicara dengan teman-temannya, siswa tidak lagi
menggunakan BDB sehingga kosakata BDB, pelafalan, susunan kata, pembetukan
kata dan susunan kalimat BDB bisa mengikuti aksen bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Hal tersebut dapat menimbulkan kendala-kendala dalam pembelajaran BDB.
Berikut dijelaskan kendala berbahasa dan nonbahasa yang ditemukan dalam
pembelajaran BDB pada siswa kelas VIIA dan VIIB.
4.2.1.1 Kendala Berbahasa Bali pada Tataran Fonologi
Kendala dalam tataran fonologi dalam pembelajaran BDB terjadi karena
adanya perubahan bunyi akibat adanya penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris dalam pembelajaran BDB. Bahasa Indonesia dan BDB dalam penelitian ini
mempunyai jumlah fonem yang berbeda. BDB memiliki enam fonem vokal dan delapan belas
fonem konsonan. Fonem vokal dan konsonan itu adalah sebagai berikut. (1) Fonem vokal: /i/, /e/,
/ə/, /a/, /o/, dan /u/, (2) sedangkan fonem konsonan: /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/,
/n/, /p/, /r/, /s/, /t/, /w/,/ŋ/, /y/, dan /ń/ (Anom dkk , 1988). Bahasa Indonesia memiliki enam
fonem vokal dan 24 fonem konsonan Fonem vokal /i/,/e/, ə/, /a/, /o/ dan /u/, sedangkan fonem
konsonan: /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /š/, /t/, /v/, /w/, /x/,
/ŋ/, /y/, /z/, dan /ń/.
Dari fonem-fonem di atas, diketahui terdapat perbedaan jumlah fonem antara
bahasa Indonesia dan BDB, yakni perbedaan jumlah fonem dan konsonan. Dalam
122
bahasa Indonesia terdapat 24 konsonan dan BDB terdapat delapan belas fonem
konsonan. Fonem-fonem konsonan yang tidak terdapat pada BDB adalah /š/, /q/, /f/,
/v/, /x/, dan /z/. Kendala berbahasa yang terjadi pada pembelajaran BDB yaitu pada
tataran fonologi adalah pada pengucapan fonem. Data pada tabel berikut diambil
dari 26 orang siswa kelas VIIA dan VIIB.
Tabel 4.22 Fonem Bahasa Bali Siswa Kelas VIIA dan VIIB
No Fonem Kata Yang
diucapkan
Yang benar
1 Bunyi /a/ pada posisi
akhir terbuka
dilafalkan [ə]
[bapə]
[kijə]
[marə]
[sepedə]
[sirə]
[matə]
/bapa/
/kija/
/mara/
/sepeda/
/sira/
/mata/
/bapə/
/kijə/
/marə/
/sepedə/
/sirə/
/matə/
2 Bunyi /e/ dilafalkan [ẻ] [lemari
[legu]
[pesan]
[kesed]
/lẻmari/
/lẻgu/
/pẻsan/
/kẻsẻd/
/lemari/
/legu/
/pesan/
/kesed/
3 Bunyi [ẻ] dilafalkan /e/ [madẻ]
[mẻ mẻ]
[b ẻ]
[gedẻ]
/made/
/meme/
/be/
/gede/
/madẻ/
/mẻ mẻ/
/b ẻ/
/gedẻ/
4 Bunyi [i] dilafalkan /ẻ/ [sing ]
[kaping]
[nulungin]
/Seng /
/kapeng/
/nulungen/
/sing /
/kaping/
/nulungin/
5 Bunyi [u] dilafalkan /o/ [tusing] /tosing/ /tusing/
6 Bunyi [p] dilafalkan /f/
atau /v/
[tipi]
[pilem]
[aktip]
/tivi/
/film/
/aktif/
/tipi/
/pilem/
/aktip/
Keterangan: Data-data pada temuan di atas diperoleh dari hasil observasi
(metode simak catat) dan wawancara terhadap pelafalan kosa
kata yang menjadi objek penelitian.
123
Tabel di atas menjelaskan keadaan fonologi BDB siswa kelas VIIA dan
VIIB yang dipengaruhi oleh bahasa Indonesia. Siswa sering mengalami kesulitan
dalam pengucapan bunyi /a/ BDB pada posisi akhir terbuka dilafalkan sebagai
[ə] contoh pada kata [bapə] siswa mengucapkan kata itu dengan ucapan /bapa/
seharusnya diucapkan /bapə/. Kendala fonologi ini sering dialami siswa karena
pengaruh bahasa Indonesia yang cukup kuat. Hal itu terjadi karena dalam
bahasa Indonesia tidak ada perbedaan bunyi /a/ yang diucapkan. Dengan
demikiandalam menyucapkan bunyi-bunyi BDB siswa sering melupakan
pengucapan bunyi /a/.
Kesulitan untuk membedakan bunyi [e] dengan [ẻ], yaitu keduanya
dibaca [e], dalam pembelajaran BDB siswa cenderung mengalami kesulitan
untuk membedakan vokal [e] dan vokal [ẻ]. Hal ini dipengaruhi oleh bahasa
Indonesia yang tidak ada perbedaan antara pengucapan vokal [e] dan [ẻ]. Contoh
[lemari] dilafalkan /lẻmari/ seharusnya /lemari/, [legu] dilafalkan /lẻgu/
seharusnya /legu/, kata [pesan] dilafalkan /pẻsan/ seharusnya /pesan/. Kendala
ini terlihat melalui ucapan siswa ketika membaca dan menulis bunyi [e] dan [ẻ]
dalam penulisan aksara Bali. Siswa bingung membedakan antara bunyi [e] dan
[ẻ]. Pada saat melafalkan bunyi [e] dan [ẻ], siswa sering bingung membedakan
fonem tersebut dan tidak sengaja menggunakan lafal bahasa Indonesia dalam
mengucapkan bunyi [e] dengan [ẻ].
Bunyi [ẻ] dilafalkan sebagai /e/. Siswa kesulitan membedakan bunyi [ẻ]
dan /e/. Pada kata [bẻ] dilafalkan /be/ seharusnya /bẻ/, [madẻ] dilafalkan /made/
124
seharusnya /madẻ/, [gedẻ] dilafalkan /gede/ seharusnya /gedẻ/. Siswa mengalami
kesulitan untuk membedakan bunyi [ẻ] dengan /e/, karena dalam bahasa
Indonesia tidak dibedakan bunyi [ẻ] dan /e/ keduanya diucapkan /e/ seharusnya
diucapkan / ẻ/.
Bunyi [i] dilafalkan /ẻ/, yaitu [sing ] dilafalkan /seng/ seharusnya /sing/,
[kaping] dilafalkan /kapeng/ seharusnya /kaping/, [nulungin] dilafalkan /nulungen/
seharusnya /nulungin/. Kesalahan ini terjadi karena pengaruh dari bahasa Inggris
yang dipelajari, sehingga ejaan dalam penulisan BDB menyesuaikan dengan ejaan
bahasa Inggris.
Bunyi [u] dilafalkan /o/ pada kata [tusing] dilafalkan /tosing/ seharusnya
/tusing/. Kesalahan pelafalan ini terjadi akibat pengaruh dari bahasa Indonesia
sehingga bunyi [u] dilafalkan sebagai /o/.
Bunyi [p] dilafalkan /f/ atau /v/ sebagai contoh [tipi] dilafalkan /tivi/
seharusnya /tipi/, [pilem] dilafalkan /film/ seharusnya diucapkan /pilem/. Bunyi [p]
dalam BDB dilafalkan sebagai /f/ atau /v/. Artinya bunyi tersebut dilafalkan sesuai
dengan pelafalan dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melafalkan
beberapa bunyi BDB siswa kelas VIIA dan VIIB masih dipengaruhi oleh bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris yang dikategorikan sebagai kesalahan interlingual.
Artinya kesalahan yang terjadi akibat pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
terhadap pembelajaran BDB. Ucapan atau pelafalan kosakata BDB yang terjadi
diakibatkan karena siswa mentransfer intonasi dialeknya berbicara yang diperoleh
125
dari kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sehingga ucapan atau pelafalan
dalam BDB diucapkan sama seperti pengucapan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
4.2.1.2 Kendala Berbahasaan Bali pada Tataran Morfologi
Data kendala berbahasa Bali pada tataran morfologi dalam penelitian ini
diperoleh dari tulisan siswa. Adapun kendala-kendala yang ditemukan dalam
pembelajaran BDB pada siswa kelas VIIA dan VIIB adalah kesalahan pada
penggunaan morfem. Kesalahan ini terjadi karena morfem-morfem dalam BDB
ditanggalkan atau diganti dengan morfem bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,
karena kuatnya pengaruh B1 (bahasa yang telah dikuasai siswa). Contoh kesalahan
morfologi yang ditemukan dalam pembelajaran BDB pada siswa kelas VII adalah
sebagai berikut.
Kesalahan penghilangan imbuhan ini tidak hanya terjadi pada saat belajar
bahasa kedua tetapi pada saat belajar bahasa pertamapun siswa melakukan hal yang
sama. Kesalahan penghilangan imbuhan yang dilakukan tidak terlalu mengganggu
jalannya komunikasi. Artinya, pembaca masih dapat memahami maksud kalimat
yang dituliskan sekalipun sudah diketahui terjadi kesalahan dalam strukturnya.
Kendala morfologi dalam penelitian ini meliputi pemaknaan morfem BDB
yang salah. Perbedaan morfologi (imbuhan) BDB dan bahasa Indoensia
menimbulkan perubahan fungsi dan makna kata. Sebagai contoh, awalan bahasa
Indonesia yaitu [me-] [membaca], sedangkan pada BDB awalan [ma-] dibaca [mə],
[məlaib]. Fungsi awalan [me-] [ma-] membentuk kata kerja, tetapi dapat
126
menghasilkan makna berbeda, jika dalam bahasa Indonesia [me-] [membaca]
‘membaca’, dalam BDB [ma], [məlaib] ‘berlari’. [ma] pada kata [mədagang] ‘berjualan’.
Dalam pemaknaannya awalan [ma] dalam BDB bermakna awalan [ber]
dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna yang terjadi dalam BDB di bidang
morfologi mengakibatkan siswa mengalami kesulitan menerjemahkan arti kata
berimbuhan. Hal itu terjadi karena siswa menganggap struktur imbuhan dalam BDB
sama dengan struktur imbuhan dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan data di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam tataran morfologi siswa menyamakan imbuhan BDB
dan bahasa Indonesia atau dianggap memiliki kesamaan.
Contoh:
1)“Sedek dina anu wenten anak sugih sane mepesengan Derp
(data 1, Dudik VIIA).
2) ”Nenten bisa mepikayun punapa-punapi”
(data 2, Diva VIIB)
Kalimat (1) dan kalimat (2) memperlihatkan siswa masih menggunakan
awalan [me-] bahasa Indonesia dalam menulis kalimat BDB. Hal ini terlihat karena
adanya penyamarataan imbuhan BDB dengan bahasa Indonesia. Pada kata
/mapesengan/ ditulis /mepesengan/ seharusnya /mapesengan/, kata /mapikayun/
ditulis /mepikayun/ seharusnya /mapikayun/. Hal ini sesuai dengan ejaan BDB yang
telah disempurnakan. Kendala morfologi dalam pembelajaran BDB pada siswa
dwibahasa kelas VIIA dan VIIB terjadi karena kuatnya pengaruh bahasa Indonesia
yang berdampak pada pembelajaran BDB.
127
4.2.1.3 Kendala Berbahasa Bali pada Tataran Sintaksis
BDB yang seharusnya menjadi bahasa pertama berganti kedudukan menjadi
bahasa kedua, sehingga kosakata yang dimiliki siswa kelas VIIA dan VIIB sangat
sedikit. Hal ini berdampak pada kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa dalam
ketrampilan menulis.
Kesalahan sintaksis adalah kategori kesalahan yang mencakup frasa nomina,
verba, konstruksi verba, runtutan kata, dan tipe transformasi. Kesalahan ini mencakup
kalimat, paragraf, dan wacana. Dari hasil pengolahan data terhadap penguasaan
kalimat berbahasa Bali siswa kelas VII, diketahui bahwa siswa kelas VIIA dan VIIB
masih kesulitan dalam menyusun kalimat berbahasa Bali yang gramatikal. Artinya
siswa kelas VIIA dan VIIB belum mampu membedakan struktur kalimat bahasa
Indonesia dan BDB. Hal tersebut terlihat dari susunan kalimat BDB yang kacau.
Contoh:
3) “Gumi adalah wadah tinggal kita”, pacang bucek yening biana
dijaga. Ageden praja , amerta disana, termasuk lingkungan alamnya”
(data 1, Keefe VIIA)
4) “Gumi wantah tongos iraga ngoyong, Gumi wantah tongos iraga
ngoyong, warna gadang nglangunin manah, warna gadang
ngangenin anak sane ningalin.
(data 2, Haico VIIA)
Bila dianalisis, kalimat (1) dan (2) menunjukkan struktur kalimat BDB yang
tidak sesuai dengan ejaan BDB yang telah disempurnakan. Struktur kalimat BDB
yang digunakan pada kalimat (1) dan (2) menggunakan struktur kalimat berbahasa
128
Indonesia, yaitu “Bumi adalah tempat tinggal kita” ditulis ke dalam BDB menjadi
‘Gumi adalah wadah tinggal kita” seharusnya siswa menulis “ Gumi tongos iraga
nongos”. Dari data kalimat di atas terlihat bahwa dalam proses menulis siswa
berusaha membuat pola kalimat dalam bahasa Indonesia dan kemudian
diterjemahkan ke dalam BDB.
Kalimat berikut memiliki struktur kalimat BDB yang merupakan interferensi
dari bahasa Indonesia.
3) Manusa ane nongosin gumi, jani suba ngentungan lulu di tongose,
unduk gumine, manusa suba gotong royong”ajak onyangan ngelah’
(data 3 Arjuna VIIB)
4)Surya, galang panes, nyinarin gumi, tongosne di gumi, surya pakaryan
Hyang Widhi (data 4 Nara VIIB)
Kalimat (3) dan (4) di atas merupakan interperensi dari bahasa Indonesia
sebab dalam bahasa Indonesia konstruksi kalimatnya S-P-O-K seperti “Manusia
yang tinggal di bumi, sekarang sudah membuang sampah pada tempatnya”. Jadi,
kalimat tersebut jika diterjemahkan dalam BDB menjadi ”Manusa sane nongos di
gumi, mangkin sampun ngutang leluu di tongosne”. Konstruksi bahasa Indonesia
hampir sama dengan BDB. Kebiasaan siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam
menulis kalimat berbahasa Bali kadang menimbulkan pengaruh terhadap penggunaan
BDB dalam pembelajaran. Selain itu, penguasaan kosakata BDB yang terbatas
membuat siswa pada saat menulis kalimat berbahasa Bali mengganti kata yang belum
diketahui dengan bahasa Indonesia.
129
Dalam kalimat berikut terlihat siswa memiliki kosakata BDB yang kurang
sehingga dalam menulis kalimat berbahasa Bali siswa mengganti kosakata yang
belum diketahui dengan bahasa Indonesia.
(5)“ Ia sampun mempersiapkan samian kebutuhannya.
(data 5 Adis, VIIA)
(6)‘Ipun luas tanggal roras Agustus lan ipun sampun menyiapkan
ajengan lan keperluan ipun”. (data 6 Sasha, VIIB)
Kalimat (5) dan (6) merupakan penggalan dari karangan siswa dalam
kemampuan menulis. Struktur kalimat (5) dan (6) memiliki percampuran kosakata
BDB dan bahasa Indonesia terlihat pada kalimat (5) pada kata /mempersiapkan/,
/kebutuhan/, dan /adalah/ seharusnya menggunakan kata /nyiapin/, /kaperluane/,
/wantah/ dalam menulis kalimat berbahasa Bali. Pada kalimat (6) terdapat kata /
menyiapkan/ seharusnya ditulis /nyiapin/ dalam BDB.
Selain kosakata yang masih minimal yang dimiliki siswa dalam BDB
kalimat (5) mengandung ketidakjelasan konstruksi. Ditinjau dari bentuk verbalnya
yakni ‘Sampun mempersiapkan samian kebutuhannya” Jika dilihat dari struktur
kalimatnya siswa ingin membuat kalimat aktif. Untuk membuat stuktur kalimat aktif
BDB seharusnya” Ia sampun nyiapin samian keperluane”. Kalimat (6) ditinjau dari
jenis kalimat tergolong kalimat pasif” “Ipun luas tanggal roras Agustus lan ipun
sampun menyiapkan ajengan lan keperluan ipun”. Terjemahannya,”Dia pergi
tanggal 11 Agustus dan dia sudah mempersiapkan makanan dan keperluannya”.
Kalimat aktif BDB seharusnya, ”Ipun sampun nyiapin ajengan lan keperluane,
130
sadurung luas tanggal 11 Agustus”, terjemahannya, “Dia Sudah mempersiapkan
keperluannya sebelum tanggal 11 Agustus”.
Berdasarkan data di atas , dapat disimpulkan bahwa pembelajaran BDB pada
tataran sintaksis pada siswa kelas VIIA dan VIIB mengalami kendala. Kendala itu
terjadi karena siswa sulit mengekspresikan kalimat menggunakan BDB dan kosakata
BDB yang dimiliki siswa masih kurang. BDB sebagai pembelajaran bahasa kedua
sehingga mendapat pengaruh yang sangat besar dari bahasa Indonesia dalam
pembelajaran. Konstruksi sintaksis seperti ini perlu mendapatkan perhatian dalam
pembelajaran BDB sehingga kesalahan dalam tataran sintaksis akibat pengaruh dari
bahasa pertama dapat dihindari dalam pembelajaran BDB.
4.2.1.4 Kendala Berbahasa Bali pada Tataran Semantik
Dalam penelitian ini terdapat kendala dalam bidang semantik karena adanya
pemilihan kata yang salah dalam penulisan kalimat berbahasa Bali. Kesalahan di
bidang leksikal mencakup kesalahan pemilihan kata, penambahan kosakata yang
tidak perlu, penghilangan kata, makna kata yang tidak logis, penggunaan kata tanya,
dan kesalahan penggunaan istilah asing,
Contoh:
1)”John macanda computer ring pojok” (data 1 Naufal VIIA)
2) “Meme tiang lakar dadi astronot lan magedi ka bulan ningalin
kelinci bulan’. (data 2, Dudik VIIA)
Kalimat (1) dan (2) merupakan kalimat yang memiliki struktur S-P-O-K yang
merupakan struktur untuk membentuk kalimat berbahasa Indonesia , dalam pilihan
131
kosakata BDB yang kurang tepat. Pada data (1) pemilihan kata macanda “bermain”,
tidak cocok. Pemilihan kata macanda pada kalimat ‘John macanda computer ring
pojok’ tidak sesuai karena memiliki arti John bercanda dengan computer di pojok”.
Kalimat data (1) seharusnya” John mapalian computer di bucu”. Data (2) ‘Meme
tiang lakar dadi astronot lan magedi ka bulan ningalin kelinci bulan’. Kalimat
tersebut diartikan “Ibu saya akan menjadi astronot dan pergi ke bulan melihat
kelinci bulan”. Kata “meme tiang” dalam kalimat tersebut memiliki makna ambigu,
bisa berarti “Ibu saya atau, saya yang menjadi astronot”, seharusnya ditulis “Meme,
tiang pacang dadi astronot, lan magedi ke bulan ningalin kelinci’. Berdasarkan data
di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa memiliki kendala dalam memilih kata yang
tepat dalam kalimat, Dengan demikian, kalimat BDB yang dihasilkan sering kali
memiliki makna ambigu bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia.
Perbedaan struktur BDB dan bahasa Indonesia beserta kesulitan dalam
pembelajaran BDB bersumber dari kesalahan berbahasa yang sering dilakukan siswa
dalam mempelajari BDB. Berdasarkan kendala berbahasa di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang mengakibatkan terjadinya kendala berbahasa dalam pembelajaran BDB
adalah hal-hal berikut.
(1) Adanya interferensi atau transfer yang dilakukan oleh siswa secara otomatis
dari bahasa pertama kepada B2 yang sedang dipelajari (interlanguage error).
Siswa membuat penyamarataan yang berlebihan (overgeneralisation) terhadap
struktur bahasa Indonesia dengan BDB.
132
(2) Kesalahan intralingual struktur BDB yang mengenal imbuhan untuk bentuk
pasif dan aktif membuat siswa kesulitan dalam menyusun kalimat.
(3) Aplikasi yang tidak sempurna terhadap kaidah-kaidah bahasa (incomplete
application rules). Struktur BDB yang cukup rumit belum dapat dipahami
oleh siswa secara sempurna mengingat BDB merupakan bahasa kedua bagi
siswa yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing sebagai bahasa
pertama.
(4) Kurangnya perbendaharaan kata BDB yang dimiliki oleh siswa. Hal ini
disebabkan oleh intensitas pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
yang lebih sering daripada BDB.
Berikut cara menanggulangi permasalahan dalam pembelajaran BDB. Guru
BDB dapat memilih cara mengajar dan bahan pengajaran yang tepat. Siswa
dwibahasa merupakan wadah tempat terjadinya kontak bahasa, semakin besar
jumlah siswa dwibahasa maka semakin intensif kontak bahasa yang terjadi. Kontak
bahasa menimbulkan saling memengaruhi antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
dengan BDB. Dalam pembelajaran BDB akibat dari B1 yang mendominasi dalam
pengajaran BDB. Siswa yang mempelajari BDB sudah mempunyai kebiasaan tertentu
dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kebiasaan tersebut harus
dibatasi agar tidak mengintervensi dalam pembelajaran BDB. Pembentukan kebiasaan
yang sesuai dengan penggunaan BDB dilakukan dengan penyajian bahan pengajaran
BDB yang menarik dan kreatif sehingga dapat menumbuhkan kebiasaan dalam
penggunaan BDB untuk berkomunikasi di lingkungan sekolah.
133
4.2.2 Kendala Nonkebahasaan
4.2.2.1. Daerah Asal Siswa
Kendala-kendala bahasa yang dialami siswa akibat adanya perbedaan tempat
tinggal sehingga menimbulkan perbedaan dalam berbahasa. Data siswa dwibahasa di
sekolah HighScope dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 4.23 Daerah Asal Siswa Kelas VII A dan VIIB
NO DAERAH ASAL JUMLAH PERSENTASE
1 Bali 11 siswa 42,3%
2 Jakarta 7 siswa 26%
3 Bandung 1 siswa 3,85%
4 Surabaya 1 siswa 3,85%
5 Jember 1 siswa 3,85%
6 Rote 1 siswa 3,85%
7 Belgia 1 siswa 3,85%
8 Perancis 1 siswa 3,85%
9 Jepang 2 siswa 7,7%
Dalam penelitian ini suku bangsa siswa terbagi menjadi sembilan kategori.
Suku bangsa tersebut, yaitu Bali, Jakarta, Bandung, Surabaya, Jember, Rote, Belgia,
Perancis, dan Jepang. Siswa kelas VIIA dan VIIB yang berasal dari Bali sebanyak
sebelas siswa (42,3%), Jakarta tujuh siswa ( 26%), Bandung satu siswa (3,85%),
Surabaya satu siswa (3,85%), Jember satu siswa (3,85%), Rote satu siswa (3,85%),
Belgia satu siswa (3,85%), Perancis satu siswa (3,85%), Jepang dua siswa (7,7%).
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa siswa dwibahasa kelas
VIIA dan VIIB yang mengalami kendala paling besar dalam pembelajaran BDB
134
berdasarkan daerah asalnya adalah siswa yang berasal dari Jepang, siswa yang
berasal dari Jepang kesulitan pada saat menerjemahkan kosakata BDB, karena BDB
merupakan pembelajaran bahasa kedua. Selain itu, banyak kosakata yang baru
dipelajari susah untuk diingat karena tidak digunakan untuk berkomunikasi. Akan
tetapi pada saat menulis aksara Bali mereka mampu menulis aksara Bali dengan baik.
Di bawah ini dicantumkan grafik asal siswa di kelas VIIA dan VIIB. Adapun
grafik tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
42.30%
26.90%
3.85% 3.85% 3.85% 3.85% 3.85% 7.70% 3.85%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Bali
Jakarta
Bandung
Surabaya
Jember
Rote
Belgia
Perancis
Jepang
Daerah Asal Siswa kelas VIIA dan VIIB
Grafik. 4.11 Daerah Asal Siswa
4.2.2.2 Bahasa Pertama
Kendala berbahasa dalam pembelajaran BDB pada siswa kelas VIIA dan VIIB
disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa pertama siswa. Berikut tabel data
bahasa pertama siswa kelas VIIA dan VIIB.
135
Tabel 4.24 Data Bahasa Pertama Siswa Kelas VIIA dan VIIB
Data di atas menggambarkan siswa kelas VIIA dan VIIB yang berjumlah 26
orang. Siswa yang menggunakan BDB sebagai bahasa pertama sebanyak 11,53%,
bahasa Jawa sebanyak 7,7%, bahasa Indonesia sebanyak 69,2%, bahasa Inggris
sebanyak 7,7%, dan bahasa Jepang sebanyak 7,7%. Jadi dapat disimpulkan bahwa
siswa kelas VIIA dan VIIB merupakan siswa multilingual yang menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Pengaruh bahasa pertama
cukup besar dalam pembelajaran BDB. Hal itu menyebabkan sering terjadi kesalahan
berbahasa dalam pembelajaran BDB. Pengaruh bahasa pertama mengakibatkan
terjadinya kesalahan intralingual, yaitu kesalahan yang terjadi akibat kesalahan
interferensi. Artinya, kesalahan yang bersumber dari pengaruh B1 terhadap B2.
Kesalahan intralingual merupakan kesalahan bahasa yang bersumber dari
penguasaan BDB yang belum memadai. Dari hasil analisis data di atas, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa pertama sangat
berpengaruh terhadap pembelajaran BDB di sekolah. Adapun grafik tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
No Bahasa Pertama Kelas VII
Jumlah Persentase
1 Bahasa Bali 3 orang 11,53 %
2 Bahasa Jawa 1 Orang 3,8%
3 Bahasa Indonesia 18 orang 69,2%
4 Bahasa Inggris 2 orang 7,7%
5 Bahasa Jepang 2 orang 7,7%
136
11.53%
3.80%
69.20%
7.70% 7.70%
0.%
10.%
20.%
30.%
40.%
50.%
60.%
70.%
80.%
90.%
100.%
Bahasa Bali
Bahasa Jawa
Bahasa Indonesia
bahasa Inggris
Bahasa jepang
Bahasa Bali
Bahasa Jawa
Bahasa Indonesia
bahasa Inggris
Bahasa jepang
Bahasa Pertama Siswa Kelas VIIA dan VIIB
Grafik 4.12 Bahasa Pertama Siswa Kelas VIIA dan VIIB
Dalam pembelajaran BDB ditemukan kendala-kendala bahasa yang dialami
oleh siswa kelas VIIA dan VIIB. Kendala bahasa ini disebabkan oleh adanya tekanan
dari bahasa pertama yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris terhadap BDB.
Kendala utama yang dihadapi, yaitu penyimpangan kaidah BDB. Hal ini terjadi
karena siswa ditemukan sering menggunakan struktur bahasa Indonesia dan Inggris
dalam kemampuan berbahasa Bali.
4.2.2.3 Jenis Kelamin
Siswa dwibahasa kelas VIIA dan VIIB dibedakan berdasarkan jenis kelamin
.Siswa yang berjenis kelamin perempuan sebanyak sebelas siswa (42,30%), dan laki-
laki sebanyak lima belas siswa (57,7%). Berdasarkan perbedaan jenis kelamin ada
137
beberapa kendala yang dialami siswa dalam pembelajaran BDB karena pengaruh
jenis kelamin.
Tabel 4.25 Jenis Kelamin Siswa VIIA dan VIIB
No Nama Siswa Kelas
VIIA
Jenis Kelamin Nama Siswa Kelas VIIB Jenis
Kelamin
1 Putu Adistya
Priyanka Surya
Perempuan
Rin Hasegawa
Laki-laki
2 Putu Erin Indira
Kayana
Perempuan Putu Keysa Kerta Mahesa
Laki-laki
3 Keefe Jo Basyara Laki-laki Marlon Sathya Verchere Laki-laki
4 Ben Dafyan
Marthein Warouw
Laki-laki Amelie Christasya
Perempuan
5 Jamie William
Diyono
Laki-laki I Gusti Agung Istri
Raniastu Ista Sidanta
Perempuan
6 Haico Desitha Van
Der Veken
Perempuan Hayato Hachiseko
Laki-laki
7 I Ketut Putra
Purnawibawa
Laki-laki Putu Devika Putri Asha
Sana
Perempuan
8 Amelie Christabella
Perempuan Luh Gede Diva Lilyasih
Ananda Muntra
Perempuan
9 Anak Agung Ngurah
Bagus Krishna
Laki-laki Yohan Candra
Laki-laki
10 Putu Budi Sukarya
Putra Purnawan Oka
Laki-laki Ida Bagus Ram Kalpika
Putra Mayun
Laki-laki
11 Naufal Alif Imani
Laki-laki Mochamad Naufal
Raihansyah Zulkarnain
Laki-laki
12 Ester Caroline Yusuf Perempuan Auriga Namira Firmansyah Perempuan
Jumlah siswa
perempuan
11 42,30% Gracela Michele John
Mesach
Perempuan
Jumlah siswa laki-
laki
15 57,7% Ariantika Parawangsa
Permana P. G.
Laki-laki
Data di atas menjelaskan jenis kelamin siswa, meskipun jenis kelamin tidak
memperlihatkan kendala dalam ketrampilan berbahasa Bali akan tetapi jika dianalis
secara lebih mendalam, jenis kelamin memberikan pengaruh terhadap pembelajaran
BDB pada siswa dwibahasa. Siswa yang berjenis kelamin perempuan sebanyak
138
42,30% cenderung lebih mudah belajar BDB. Di samping itu siswa perempuan di
kelas dwibahasa lebih tekun belajar dan berkonsentrasi dalam belajar sehingga dalam
pembelajaran BDB siswa perempuan lebih mudah menerima pelajaran yang
diberikan. Siswa laki-laki sebanyak 57,7% membuat suasana kelas menjadi ramai.
Siswa laki-laki kurang berkonsentrasi dalam belajar dan suka mencari perhatian
sehingga sulit menerima pelajaran yang diberikan di kelas. Oleh karena itu timbul
kesulitan dalam pembelajaran BDB.
Berdasarkan data di atas dan observasi yang dilakukan dalam proses
pembelajaran BDB, dapat disimpulkan bahwa siswa perempuan di kelas dwibahasa
lebih tekun belajar BDB dibandingkan dengan siswa laki-laki. Siswa perempuan
merasa lebih tertantang dalam memecahkan masalah, dapat mengikuti metode
pembelajaran plan, do review dengan baik dan perhatiannya tidak mudah teralihkan,
sedangkan siswa laki-laki mudah tergoda melakukan hal lain, gemar meluangkan
waktu untuk bermain ketika belajar dan sering mengabaikan tugas yang diberikan
oleh guru. Adapun grafik tersebut dipaparkan sebagai berikut
139
42.30%
57.70%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Perempuan Laki-laki
Jenis Kelamin Siswa VIIA dan VIIB
Perempuan
Laki-laki
Grafik 4.13 Jenis Kelamin Siswa VIIA dan VIIB
4.2.2.4 Usia Siswa
Masa remaja dikatakan sebagai masa di mana siswa mengalami perubahan,
baik dilihat dari segi fisik, psikis, suara, maupun bahasa. Kedwibahasaan pada masa
remaja (adolescent bilingualism) adalah suatu istilah yang mengacu kepada orang-
orang yang menjadi dwibahasawan setelah masa pubertas. Siswa kelas dwibahasa
VIIA dan VIIB berdasarkan tingkatan usia mengalami kendala kebahasaan. Berikut
tabel usia siswa dwibahasa kelas VIIA dan VIIB.
Tabel 4.26 Data Usia Siswa Kelas VIIA
No Nama Tanggal lahir Usia
1 Putu Adistya Priyanka Surya 31 Juli 2002 12 Tahun
2 Putu Erin Indira Kayana 20 Januari 2001 13 Tahun
3 Keefe Jo Basyara 24 Maret 2001 13 Tahun
4 Ben Dafyan Marthein Warouw 26 Desember 2001 13 Tahun
140
5 Jamie William Diyono 18 Oktober 2002 12 Tahun
6 Haico Desitha Van Der Veken 18 Februari 2002 12 Tahun
7 I Ketut Putra Purnawibawa 21 Juni 2001 13 Tahun
8 Amelie Christabella 24 November 2000 14 Tahun
9 Anak Agung Ngurah Bagus
Krishna
27 Juli 2001 13 Tahun
10 Putu Budi Sukarya Putra
Purnawan Oka
9 April 2001 13 Tahun
11 Naufal Alif Imani 26 Mei 2001 13 Tahun
12 Ester Caroline Yusuf 1 Desember 2000 14 Tahun
Tabel 4.27 Data Usia Siswa Kelas VIIB
No Nama Tanggal lahir Usia
1 Rin Hasegawa 21 November 2001 13 Tahun
2 Putu Keysa Kerta Mahesa 17 September 2001 13 Tahun
3 Marlon Sathya Verchere 24 Januari 2001 13 Tahun
4 Amelie Christasya 1 Maret 2002 12 Tahun
5 I Gusti Agung Istri Raniastu Ista
Sidanta
7 Mei 2002 12 Tahun
6 Hayato Hachiseko 22 Maret 2002 12 Tahun
7 Putu Devika Putri Asha Sana 16 Mei 2002 12 Tahun
8 Luh Gede Diva Lilyasih Ananda 11 Oktober 2001 13 Tahun
9 Yohan Candra 7 Juli 2001 13 Tahun
10 Ida Bagus Ram Kalpika Putra
Mayun
12 Februari 2001 13 Tahun
11 Mochamad Naufal Raihansyah
Zulkarnain
10 Oktober 2001 13 Tahun
12 Auriga Namira Firmansyah 23 Juli 2001 13 Tahun
13 Gracela Michele John Mesach 18 Juli 2001 13 Tahun
14 Ariantika Parawangsa Permana
P. G.
3 Maret 2001 13 Tahun
141
Tabel 4.28 Persentase Data Usia Siswa Kelas VIIA dan VIIB
No Usia Jumlah Persentase
1 12 Tahun 7 siswa 26,92%
2 13 Tahun 17 siswa 65,38%
3 14 Tahun 2 siswa 7,69%
Tabel di atas, menjelaskan usia siswa kelas VIIA dan VIIB. Dari 26 orang
siswa, siswa yang berusia dua belas tahun sebanyak tujuh orang (26,92%), siswa
yang berusia tiga belas tahun sebanyak tujuh belas orang (65,38%), dan siswa yang
berusia empat belas tahun sebanyak dua orang (7,69%). Berdasarkan data tersebut
terlihat bahwa siswa kelas VIIA dan VIIB berada pada masa remaja, yaitu masa siswa
mengalami perubahan, baik dilihat dari segi fisik, psikis, suara, maupun bahasa.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa ini ada
beberapa perbedaan yang muncul dalam pembelajaran BDB. Pada masa ini siswa
telah menguasai bahasa pertama (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) dengan
maksimal. Pada waktu belajar dan berusaha untuk memperoleh bahasa kedua siswa
mengalami kesulitan. Kesulitan ini terjadi bagi siswa yang belum terbiasa sama
sekali dengan bahasa yang sedang dipelajari, oleh karena itu akan muncul lafal
dengan aksen yang dipengaruhi oleh bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Adapun
grafik tersebut dipaparkan sebagai berikut.
142
26.92%
65.38%
7.69%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Usia 12 Tahun Usia 13 Tahun Usia 14 Tahun
Usia Siswa Kelas VIIA dan VIIB
Usia 12 Tahun
Usia 13 Tahun
Usia 14 Tahun
Grafik 4.14 Usia Siswa VIIA dan VIIB
4.3 Metode Pembelajaran Bahasa Daerah Bali
Pembelajaran BDB di sekolah HighScope berpedoman pada strategi
pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk mengakses berbagai informasi
dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas.
Dengan demikian, siswa memperoleh banyak pengalaman yang dapat meningkatkan
pemahaman dan kompetensinya dalam pembelajaran BDB. Selain itu pembelajaran
aktif memungkinkan siswa kelas VII dapat mengembangkan kemampuanya berpikir
tingkat tinggi.
Metode pembelajaran bahasa dalam penelitian ini didukung oleh pendekatan
HighScope yaitu suatu pendekatan yang dikembangkan oleh David Weikert.
Pendekatan ini pada mulanya digunakan pada anak jenjang PAUD. Karena
pembelajaran di sekolah HighScope yang berkesinambungan, pendekatan ini juga
143
digunakan untuk mengajar siswa hingga jenjang SLTP. Pendekatan ini menyebutkan
bahwa siswa memiliki hubungan sosial dan emosional yang kuat. Pendekatan ini
melibatkan siswa sebagai pembelajar aktif yang memberikan kesempatan pada siswa
lain untuk memilih sendiri aktivitas dalam pembelajaran. Pendekatan HighScope
bersumber pada siswa (student centered approach). Pendekatan HighScope memiliki
komponen penting yaitu sebagai berikut.
(1) Siswa sebagai pembelajar aktif yang menggunakan sebagian besar
waktunya di dalam learning center yang beragam.
(2) Merencanakan, melakukan, mengulang ( plan-do-rewiew)
guru membantu siswa untuk memilih apa yang akan lakukan setiap hari,
melaksanakan rencana, dan mengulang kembali apa yang telah dipelajari.
(3) Pengalaman sebagai kunci (key experience)
(4) Penggunaan catatan atau anecdotal note untuk mencatat proses siswa
dalam belajar.
Pendekatan HighScope memiliki lima unsur yang mendukung pembelajaran
aktif anak, yaitu benda-benda yang dieksplor siswa, manipulasi benda-benda oleh
siswa, pilihan bagi siswa tentang apa yang akan dilakukan siswa, bahasa siswa, dan
dukungan dari orang dewasa (guru dan orang tua).
Pembelajaran BDB pada siswa kelas VIIA dan VIIB menggunakan model
pembelajaran HighScope. Pendekatan ini merupakan penerapan model pembelajaran
HighScope memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut serta dalam
perencanaan pembelajaran dan siswa bebas memilih kegiatan pembelajaran sesuai
144
dengan minatnya. Kemudian siswa melaksanakan hasil perencanaanya dengan
melakukan aktivitas pembelajaran sesuai dengan tahapan kegiatan yang ditentukan.
Setelah melakukan aktivitas pembelajaran siswa mempresentasikan pekerjaannya di
depan kelas untuk menceritakan pengalamannya pada saat belajar BDB. Kegiatan ini
memiliki pengaruh yang sangat besar untuk menumbuhkan kemampuan siswa
berbicara BDB. Kegiatan ini melibatkan siswa untuk berpikir, berbuat, dan dapat
mengambil keputusan tentang apa yang telah dipelajari. Di samping itu, untuk
memupuk kemampuan siswa dalam pembelajaran BDB dan berkomunikasi dengan
menggunakan kosakata BDB yang telah dikuasai. Selama proses pembelajaran siswa
dapat berbagi mengenai apa yang mereka kerjakan. Adapun tahapan atau prosedur
pelaksanaannya dalam pembelajaran BDB yang menggunakan metode (plan, do,
review) dibedakan menjadi tiga sebagai berikut.
a) Plan (tahap merencanakan)
Pada tahap pembelajaran ini siswa kelas VIIA dan VIIB diberi
kesempatan untuk membuat rencana dari kegiatan yang akan mereka
lakukan. Dalam perencanaan ini siswa terdorong untuk lebih percaya diri
dalam pembelajaran BDB serta berkonsentrasi dalam proses
pembelajaran. Adapun langkah-langkah perencanaan yang dilakukan
siswa dalam pembelajaran BDB yaitu siswa menetapkan permasalah
yang akan dipecahkan atau tujuan yang ingin dicapai dalam
pembelajaran, membayangkan serta mengantisipasi kegiatan yang
dilakukan dalam pembelajaran BDB. Peran guru dalam proses
145
perencanaan memberikan topik yang disediakan, memberikan
dorongan motivasi siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
b) Do ( mengerjakan)
Pada tahap ini merupakan tahap bekerja. Siswa memecahkan permasalah
yang ditemukan dalam proses pembelajaran BDB. Siswa harus memiliki
inisiatif untuk melaksanakan, memodifikasi, dan dapat merubah rencana
mereka dalam membuat projek. Guru memberikan siswa motivasi
menyediakan ruang kerja, memberikan bimbingan, mendorong pemecahan
masalah, mencatat hasil pengamatan terhadap pembelajaran yang sedang
dilaksanakan dan siswa melaksanakan tahap bekerja hingga selesai.
c) Review (mengulas dan melaporkan kembali)
Pada tahap ini adalah tahap siswa untuk merefleksi dan mengemukakan
apa yang telah mereka lakukan dalam pembelajaran. Pada tahapan ini
siswa mengembangkan kemampuannya berbicara BDB, siswa memilih
pengalaman yang diungkapkan, membangun pengalaman siswa tentang
apa yang telah dilakukan, mengungkapkan hasil yang beragam terhadap
pembelajaran BDB yang telah dilakukan. Guru memeriksa kembali hasil
pekerjaan siswa, mengulas kembali hasil pekerjaan yang diperoleh,
mempersiapkan bahan dan pengalaman untuk menarik ketertarikan
siswa, bercakap-cakap dengan siswa tentang tahap yang telah dilakukan,
dan memberikan penilaian sejauh mana keberhasilan siswa dalam
pembelajaran BDB.
146
Penerapan model pembelajaran HighScope yang merupakan penerapan
serangkaian siklus dalam belajar bahasa yang mendorong siswa untuk lebih
termotivasi dalam pembelajaran BDB. Siswa tidak lagi memiliki respons negatif
terhadap pembelajaran BDB. Selain itu, siswa lebih nyaman belajar bahasa yang
dulu dianggap sebagai bahasa asing.
Aktivitas pembelajaran secara nyata dilakukan melalui permainan tradisional
yang membuat aktivitas belajar yang menyenangkan. Di samping itu, dapat membuat
siswa melihat secara nyata, bahwa siswa sedang belajar dalam lingkungan nyata yang
menyenangkan. Penerapan metode plan, do, review pada siswa dwibahasa dengan
menyediakan pusat-pusat kegiatan belajar minimal tiga aktivitas belajar di dalam
kelas. Aktivitas pembelajaran BDB yang dilakukan, sudah didiskusikan terlebih
dahulu dengan siswa. Hal ini meningkatkan keinginan siswa dalam pembelajaran
BDB. Sehingga terjadi keseimbangan antara guru dan siswa dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran bahasa terdapat beberapa dimensi yang perlu mendapat
perhatian, yaitu linguistik content, learning processes, objective, subjective, dan
situation. Linguistik content berkaitan dengan hakikat bahasa dan unsur-unsur bahasa
yang berkenaan dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Learning
process berkaitan dengan proses belajar siswa dalam mempelajari bahasa. Objective
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai. Subjective berkaitan dengan siswa
dengan segala kebutuhan dan minatnya. Situation menyangkut masalah kondisi atau
situasi dalam pembelajaran, yaitu siswa membutuhkan suasana yang
memungkinkan dan nyaman untuk belajar. Dekorasi kelas dwibahasa terdiri dari
147
beberapa pusat, dan pada setiap pusat berisi barang-barang sesuai dengan kebutuhan
siswa dalam proses pembelajaran BDB.
Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa suasana lingkungan kelas di
sekolah HighScope memiliki fasilitas yang sangat memadai. Pengaturan tempat
duduk dimulai dari proses pembelajaran. Siswa bersama guru duduk di pusat
pertemuan kemudian siswa dan guru berinteraksi dalam proses pembelajaran,
melakukan diskusi terhadap pelajaran yang sedang dibahas. Setelah pusat pertemuan
siswa dibagi ke dalam kelompok kecil. Pengaturan tempat duduk berdasarkan
kelompok. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan multiple intelegences
(kecerdasan majemuk siswa) yang terdiri atas kecerdasan logika, kecerdasan visual,
kinestetik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal. Siswa
dikelompokkan berdasarkan MI yang berbeda, hal ini dilakukan untuk memudahkan
interaksi siswa dalam berdiskusi dalam proses pembelajaran BDB.
Berikut tahap pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran
HighScope (plan, do, review) yang dilakukan oleh guru BDB. Tahap pertama
pemanasan dan apersepsi dilaksanakan oleh guru untuk mengetahui kesiapan siswa.
Apersepsi dilakukan dengan menyajikan materi BDB yang menarik untuk
mendorong siswa dapat mengetahui hal-hal baru mengenai BDB. Berikut observasi
kelas yang dilakukan pada siswa kelas VIIA dan VIIB berdasarkan RPP.
(1) Guru BDB memulai pelajaran BDB dengan memberikan salam“
Rahajeng semeng”. Guru menanyakan pengetahuan mengenai hal-hal
yang dipelajari siswa dan menanyakan pemahaman siswa terhadap
148
materi yang telah diberikan pada pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Setelah mengetahui tingkatan siswa, guru mengajarkan BDB
sesuai dengan MI siswa.
(2) Guru memotivasi siswa dalam belajar, memberikan materi yang menarik
dan berguna bagi kehidupan sehari-hari.
(3) Guru mengajak siswa agar tertarik dengan kosakata baru yang terdapat
dalam pembelajaran BDB.
4) Guru mengajak siswa untuk bermain kuis mengenai pelajaran yang
diberikan.
Tahap pengenalan merupakan kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan
materi yang akan diajarkan dan mengaitkannnya dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa. Tahapan pengenalan ini dilakukan guru BDB untuk memberikan
umpan kepada siswa selama proses pembelajaran. Pengenalan dilakukan dengan
langkah-langkah berikut.
(1) Guru untuk memperkenalkan materi BDB, standar dan kompetensi
dasar yang akan dipelajari siswa.
(2) Guru mengaitkan materi yang diberikan dengan sesuatu yang nyata
yang pernah dialami siswa dan mengaitkan dengan apa yang telah
dipelajari dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(3) Guru menggunakan metode yang tepat dan bervariasi untuk
meningkatkan penerimaan siswa terhadap materi pembelajaaran yang
diberikan.
149
Konsolidasi pembelajaran bahasa dilakukan dengan melaksanakan kegiatan
untuk membuat siswa lebih aktif dalam pembentukan kompetensi dan mengaitkan
kompetensi dengan kehidupan siswa. Konsolidasi dapat dilakukan sebagai berikut;
a) Guru melibatkan siswa secara aktif dalam memahami materi bahasa Bali
yang diberikan.
b) Guru menberikan permasalahan dalam pembelajaran, siswa mencoba
untuk memecahkan masalah yang sedang dibahas dalam diskusi.
c) Guru mengaitkan materi pelajaran dengan kompetensi baru melalui
berbagai aspek kegiatan dan kehidupan masyarakat.
d) Guru membentuk sikap dan perilaku siswa dalam pembelajaran BDB
dengan cara memberikan motivasi siswa untuk menerapkan konsep,
pengertian, dan kompetensi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam tahapan ini materi pelajaran yang diajarkan berkaitan dengan apa
yang dibahas dalam pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Tahap evaluasi merupakan proses yang digunakan untuk mengukur
kemampuan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi proses
selama siswa mengikuti pembelajaran BDB, yaitu meliputi keterampilan membaca,
menulis, menyimak, dan berbicara. Proses evaluasi dilakukan dari proses siswa
membuat rencana hingga siswa me-review kembali materi yang diberikan.
Penilaian kemampuan berbahasa Bali siswa kelas VIIA dan VIIB di sekolah
HighScope menggunakan penilaian sebagai berikut yaitu:
150
a) Penilaian hasil kerja (Penilaian Produk)
Penilaian ini merupakan penilaian kepada siswa untuk mengontrol proses
dan pemanfaatan atau penggunaan bahan untuk menghasilkan sesuatu dalam
kerja praktik yang dilakukaan siswa. Dalam pembelajaran BDB bentuk penilaian
produk yang dihasilkan siswa, di antaranya berupa menulis puisi, cerpen, drama,
atau alat peraga membaca bagi pemula.
b) Penilaian Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan hasil kerja siswa dalam satu periode.
Kumpulan karya itu menggambarkan taraf kemampuan dan kompetensi yang
telah dicapai siswa. Kumpulan karya siswa itu merupakan refleksi perkembangan
berbagai kompetensi dalam pembelajaran BDB. Berdasarkan fortofolio guru
melihat kelebihan dan kekurangan siswa melalui proses yang sudah berlangsung
dalam pembelajaran.
Berikut hasil observasi pembelajaran BDB dengan menggunakan metode
plan, do, review di kelas VIIA dan VIIB. Hasil observasi terhadap langkah-langkah
pembelajaran pada siswa dwibahasa kelas VIIA. Pada pukul 09.00 guru memasuki
kelas VIIA. Suasana kelas masih ramai karena siswa kelas delapan baru saja selesai
menggunakan kelas bahasa. Siswa kelas VIIA berdatangan masuk ke kelas bahasa.
Beberapa saat kemudian semua siswa sudah berada di kelas dan duduk di pusat
pertemuan. Setelah siswa siap belajar, pemimpin kelas menyampaikan salam
“Rahajeng Semeng Ms Astini”, Siswa menyapa guru dengan ramah dan sopan. Guru
memeriksa kesiapan siswa untuk belajar. Guru melakukan apersepsi terkait dengan
151
materi yang dijelaskan. Siswa diberikan kuis untuk mengingatkan kembali materi
minggu lalu. Siswa mengingat kembali pelajaran minggu lalu yaitu tentang menulis
puisi Bali Modern “Mangkin indayang lanturang malih puisi sane sampun
kakaryanin”. “Sira sane kayun nyatuayang ide napi sane kaange rikala nyurat puisi,
Tasya, “tiang pake ide untuk gumi Ms”. Setelah melakukan diskusi terhadap proses
menulis yang dilakukan siswa guru bertanya mengenai perkembangan proses
menulis puisi Bali modern yang dikerjakan oleh siswa. Siswa melanjutkan plan, do,
review dalam proses menulis puisi Bali modern. Siswa menulis draft puisi, hingga
tahap publikasi. Guru menilai proses siswa mengerjakan tahapan menulis hingga
menilai puisi yang telah dipublikasikan. Penilaian diberikan kepada siswa sesuai
dengan rubrik penilaian BDB. Rubrik BDB di tempel pada dinding kelas, agar siswa
mengetahui kriteria penilaian. Hal ini tujuannya untuk memotivasi siswa dalam
belajar, serta dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa untuk menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan kriteria yang diberikan.
Hasil observasi siswa kelas VIIB sebagai berikut. Pada pukul 09.00 guru
memasuki kelas VIIB. Suasana kelas sudah mulai tertib. Siswa kelas VIIB sudah
duduk di pusat pertemuan, setelah mereka siap belajar pemimpin kelas
menyampaikan salam ‘Rahajeng Semeng Ms Astini” Siswa menyapa guru dengan
ramah dan sopan. Guru memeriksa kesiapan siswa untuk belajar. Guru melakukan
apersepsi terkait dengan materi yang akan dijelaskan. Guru mengingatkan kembali
materi minggu lalu. Siswa mengingat kembali pelajaran minggu lalu yaitu tentang
menulis puisi Bali modern “Mangkin indayang lanturang malih nyurat puisi sane
152
sampun kakaryani”. Pada akhir pembelajaran atau di bagian penutup, guru bersama
siswa menyimpulkan pelajaran. Guru memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah
dan menjelaskan materi dipelajari minggu depan yakni melanjutkan proses menulis
puisi Bali modern. Selanjutnya guru bersama peneliti membagikan angket/kuesioner
mengenai respons siswa terhadap pembelajaran dengan metode plan, do, review
dalam pembelajaran menulis puisi Bali modern. Guru memberikan petunjuk tentang
tata cara pengisian angket. Guru membacakan pernyataan-pernyataan yang ada
dalam lembar angket agar perhatian siswa terpusat dan tidak asal-asalan dalam
mengisi angket. Siswa mengisi angket secara bersama-sama. Setelah semua
pernyataan dibacakan, guru memberitahu ketua kelas untuk mengumpulkannya.
Kemudian guru bersama siswa menutup pelajaran dengan mengucapkan salam
penutup “Parama santih, om santih, santih, santih, Om”. Selanjutnya guru
meninggalkan kelas.
Data hasil observasi di atas berisi hasil observasi peneliti terhadap
pembelajaran plan, do, review yang dilakukan di kelas VIIA dan VIIB dengan
menggunakan metode pembelajaran HighScope yang melaksanakan pembelajaran
BDB dengan menggunakan pendekatan plan, do, review. Metode pendekatan ini
mampu meningkatkan daya kreatif siswa dalam belajar bahasa dan membuat
pelajaran yang dilaksanakan dikelas lebih tertata dengan baik. Sehingga terlihat
proses siswa dalam belajar. Guru bukan merupakan pusat pembelajaran melainkan
siswa yang menjadi pusat pembelajaran. Sehingga peran guru sebagai motivator agar
siswa dapat menjadi pusat dalam pembelajaran BDB. Pembelajaran dikatakan efektif
153
jika mampu memberikan pengalaman baru bagi siswa dan mengantarkan mereka
untuk mendapatkan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran BDB. Proses
pembelajaran dikatakan efektif apabila guru melibatkan siswa secara langsung dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Seluruh siswa dilibatkan secara
penuh sehingga dapat menimbulkan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Berikut tabel hasil observasi peneliti pada siswa kelas VIIA dan VIIB.
Tabel 4.29 Format Observasi untuk Kegiatan Guru
No Aspek yang Dinilai
Respons Guru
Ket Ada
Tidak
Ada
1. Guru menyampaikan salam kepada siswa dengan
menggunakan bahasa Bali
2. Guru memeriksa kesiapan siswa.
3. Guru menyampaikan SK,KD, indikator dan tujuan
pembelajaran.
4. Guru mengecek pengetahuan siswa tentang materi
yang akan dijelaskan.
5. Guru menjelaskan materi dengan menggunakan
bahasa Bali
6.
Jika ada siswa menyampaikan pemahamannya ke
dalam bahasa lain selain bahasa Bali, guru akan
mendorong anak untuk mampu berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali.
7.
Guru memberikan materi bahasa Bali yang
integrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan
bahasa inggris yang sudah dipelajari di kelas.
8
Guru banyak menggunakan waktu di dalam kelas
untuk memacu siswa dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali.
9 Guru meminta siswa untuk menulis puisi Bali
modern.
10.
Guru mencoba menerjemahkan bahasa Bali untuk
siswa yang kurang mengerti.
154
11. Meminta beberapa siswa untuk menyampaikan
hasil tulisannya di depan kelas.
12. Guru melakukan revisi terhadap hasil tulisan
siswa.
13. Guru memberikan umpan balik kepada siswa
tentang materi yang dipelajari
14.
Guru bersama-sama siswa menyimpulkan dan
merefleksi hasil tulisan yang sudah disampaikan
oleh beberapa siswa.
15. Memberikan kesempatan siswa untuk
menanyakan hal-hal yang belum dipahami.
Berdasarkan tabel hasil observasi di atas, peneliti memberikan penilaian
observasi kepada guru yang mengajar BDB, dari hasil observasi ini terlihat Guru
memberikan respons terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung. Di samping itu
dalam penerapan metode pembelajaran dengan konsep HighScope terlihat guru
melaksanakan semua yang ada dalam lembar observasi, yaitu 93,3%, hanya 6,6%
pengamatan peneliti dalam pernyataan lima “Guru menjelaskan materi dengan
menggunakan BDB”. Pada saat observasi di kelas terlihat guru menggunakan BDB
dan bahasa Indonesia saat menjelaskan pelajaran.
Tabel 4.30 Format Observasi untuk Kegiatan Siswa
No. Aspek yang dinilai
Respons Siswa
Ket Ada
Tidak
Ada
1. Siswa menyimak apersepsi yang
disampaikan oleh guru.
2. Siswa antusias mengikuti pelajaran bahasa
Bali
3.
Siswa menyimak SK, KD, indikator, dan
tujuan pembelajaran yang disampaikan
oleh guru.
155
4.
Siswa mendengarkan pokok-pokok
kegiatan pembelajaran yang disampaikan
oleh guru.
5. Siswa mengajukan pertanyaan kepada
guru.
6. Siswa aktif mengikuti pelajaran di kelas.
7. Siswa menulis puisi melalui tahapan
menulis
8.
Siswa menggunakan bahasa tulis dalam
pembelajaran menulis puisi Bali modern
berbahasa Bali.
9.
Siswa aktif dalam pembelajaran
(mendengarkan penjelasan guru) dan
mengerjakan tugas guru sesuai dengan
petunjuk.
10. Ikut serta dalam merefleksi kegiatan
pembelajaran.
11. Menyimpulkan pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
12. Siswa aktif berkomunikasi menggunakan
bahasa Bali
13. Siswa berkomunikasi menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Berikut data respons siswa kelas VIIA dan VIIB terhadap metode
pembelajaran BDB yang digunakan dalam proses pembelajaran. Terlihat sebanyak
76,92% siswa memberikan respon dalam pembelajaran dan sebanyak 23,07% tidak
memberikan respons terhadap aspek yang dinilai dalam observasi pembelajaran BDB.
Berikut dijelaskan data respons siswa kelas VII terhadap metode pembelajaran bahasa
daerah Bali.
156
Tabel 4.31 Data Respons Siswa Kelas VII terhadap Metode Pembelajaran
Bahasa Daerah Bali yang digunakan
No Nama Skor kriteria
1 Gracela Michele John Mesach 43 positif
2 Putu Keysa Kerta Mahesa Pindah -
3 Ester Caroline Yusuf 42 positif
4 Anak Agung Ngurah Bagus Krishna
40 Cukup
Positif
5 Amelie Christabella
39 Cukup
positif
6 Yohan Candra 43 Positif
7 Ida Bagus Ram Kalpika Putra Mayun
45 Sangat
positif
8 Mochamad Naufal Raihansyah
Zulkarnain
42 Positif
9 Auriga Namira Firmansyah
39 Cukup
positif
10 Gracela Michele John Mesach 43 Positif
11 I Ketut Putra Punarwibawa
30 Cukup
positif
12 Ariantika Parawangsa Permana P. G.
46 Sangat
positif
13 I Gusti Agung Istri Raniastu Ista S. 43 positif
14 Hayato Hachiseko Tidak masuk
15 Putu Devika Putri Asha Sana
40 Cukup
positif
16 Luh Gede Diva Lilyasih Ananda
Muntra
33 Cukup
positif
17 Putu Adistya Priyanka Surya Pindah
18 Amelie Christasya
41 Cukup
positif
19 Naufal Alif Imani 36 positif
20 Haico Desitha Van Der Veken 37 positif
157
Respons cukup positif
%35%10020
7X
Respons positif
%40%10020
8X
Sangat positif
%10%10020
2X
Tabel 4.32 Hasil Konversi Pemerolehan Skor Respons Siswa
Skor Kriteria
X ≥ 45 Sangat positif
35 < X ≤ 45 Positif
25 < X ≤ 35 Cukup positif
15 < X ≤ 25 Kurang positif
X ≤ 15 Sangat kurang positif
Berdasarkan data di atas dapat diketahui pendapat siswa terhadap metode
pembelajaran BDB yang diterapkan di sekolah HighScope, yaitu sebagai berikut.
Siswa memberikan respons cukup positif sebanyak 35%, respons positif 40%, dan
respons sangat positif sebanyak 10%. Jadi, dapat disimpulkan dalam pembelajaran
BDB dengan menggunakan metode HighScope siswa memberikan respons positif
terhadap pembelajaran yang dilakukan. Pembelajaran BDB yang efektif dilakukan
agar siswa menjadi pusat kegiatan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, siswa
harus mendapatkan dorongan untuk menerima informasi yang diberikan oleh guru
yang dapat dilakukan melalui cara bertukar pikiran, berdiskusi, dan debat mengenai
materi yang diberikan. Pembelajaran efektif perlu ditunjang oleh suasana lingkungan
belajar yang memadai, artinya guru mampu mengelola tempat belajar, mengelola
158
siswa, materi pembelajaran sehingga menghasilkan sesuatu yang menyenangkan
dalam proses pembelajaran. Di samping itu, penguasaan materi, mencari sumber-
sumber belajar juga merupakan kewajiban guru untuk membuat siswa menjadi
kreatif. Hal itu dimaksudkan agar siswa tidak mempunyai perasaan terpaksa atau
tertekan dalam pembelajaran sehingga pembelajaran BDB menjadi menyenangkan
dan selalu ditunggu-tunggu siswa setiap minggu. Guru juga memposisikan diri
sebagai teman belajar bagi siswa. Semakin pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga
kemungkinan siswa lebih cepat mendapatkan informasi. Dengan demikian tidak ada
beban bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran BDB.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran
Highscope merupakan metode yang digunakan untuk mengajarkan BDB pada siswa
dwibahasa dengan perencanaan hingga tahap publikasi untuk membentuk karakter
siswa dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran BDB yang berinteraksi dengan
pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris membuat kemampuan BDB dapat
dipelajari dengan mudah dari konsep bahasa pertama. Dengan demikian masuknya
BDB sebagai bahasa kedua bagi siswa dwibahasa kelas VII dapat dipelajari dengan
baik dengan mengambil konsep dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga
siswa lebih mudah mempelajarinya. Selain itu, metode pembelajaran HighScope
yang diterapkan dalam penelitian ini dapat membantu guru untuk mencari metode
alternatif dalam mengajarkan BDB pada siswa dwibahasa
159
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dibahas dan dipaparkan
sebelumnya maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB yaitu faktor internal dan
eksternal (a) Faktor Internal meliputi (1) motivasi siswa dalam belajar
BDB yaitu siswa termotivasi karena BDB merupakan pelajaran wajib
yang harus dipelajari untuk mendapatkan nilai yang baik dalam belajar;
(2) minat siswa dalam belajar BDB, yaitu siswa merasa tertantang dalam
belajar, karena materi pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
siswa; (3) kemampuan BDB siswa meliputi kemampuan menulis kelas
VIIA dikategorikan baik dengan nilai rata-rata 73,91%, kelas VIIB
dikategorikan cukup dengan niai rata-rata 69,5 %, membaca kelas VIIA
dikatagorikan sedang dengan nilai rata-rata 60,41%, kelas VIIB sedang
dengan nilai rata-rata 60%, menyimak kelas VIIA kategori hampir sedang
dengan nilai rata-rata 54,6% dan VIIB dikategorikan cukup dengan nilai
rata-rata 68,92%, dan berbicara kelas VIIA dikategorikan sedang dengan
nilai rata-rata 63,92 %, kelas VIIB dikategorikan sedang dengan nilai rata-
rata 63,64% dalam pembelajaran BDB. (b) Faktor Eksternal meliputi
160
lingkungan sosial, seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
tetangga. Dalam lingkungan sosial siswa kelas VIIA dan VIIB
berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Siswa
hanya berkomunikasi menggunakan BDB pada saat pelajaran BDB.
Lingkungan nonsosial meliputi faktor instrumental dan materi pelajaran.
Materi BDB yang digunakan berinteraksi dengan pelajaran bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Sehingga siswa lebih mudah untuk
memahami keterampilan BDB berdasarkan bahasa yang telah dipahami
siswa. Materi pembelajaran BDB yang diberikan, disesuaikan dengan
tingkat kemampuan siswa dan multiple intelegences sehingga siswa lebih
mudah mengikuti pembelajaran BDB.
2. Kendala-kendala dalam pembelajaran BDB meliputi (1) Kendala
Kebahasaan yaitu kendala pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik. Kendala berbahasa pada pembelajaran BDB itu terjadi
disebabkan oleh kuatnya pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
sehingga siswa membuat penyamarataan pada tataran fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan BDB.
Di samping itu, kurangnya pembendaharaan kosakata BDB yang
disebabkan oleh kecenderungan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris dalam berkomunikasi lebih besar dibandingkan penggunaan BDB.
(2) Kendala Nonkebahasaan meliputi (a) daerah asal siswa kelas VII
yang majemuk, terdiri dari sembilan wilayah yang berbeda. Hal ini
161
mengakibatkan kendala dalam berkomunikasi menggunakan BDB. Siswa
yang multilingual dengan penguasaan bahasa yang beragam lebih nyaman
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi
sehingga BDB hanya digunakan untuk berkomunikasi pada saat pelajaran
BDB. (b) kendala berdasarkan jenis kelamin, kecenderungan siswa
perempuan lebih rajin belajar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga
kendala dalam pembelajaran BDB banyak ditemukan pada siswa laki-laki.
Artinya siswa laki-laki kurang konsentrasi dan termotivasi untuk belajar
BDB sehingga hasil pembelajaran yang diperoleh kurang maksimal. (c)
kendala berdasarkan faktor usia, siswa kelas VIIA dan VIIB berada pada
masa remaja. Pada masa ini ada beberapa perbedaan yang muncul dalam
pembelajaran BDB, yaitu siswa telah menguasai bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris dengan maksimal. Kesulitan ini terjadi karena siswa belum
terbiasa menggunakan BDB untuk berkomunikasi. Sehingga siswa yang
sedang beranjak remaja dengan penguasaan bahasa pertama yang
maksimal, untuk mempelajari BDB dalam berkomunikasi muncul lafal
dan aksen yang sangat dipengaruhi oleh bahasa yang sudah dikuasai.
3. Metode pembelajaran BDB yang diterapkan pada siswa dwibahasa kelas
VII adalah pendekatan HighScope, dengan metode pembelajaran yang
menerapkan konsep plan, do, review. Kelebihan metode plan, do, review
karena merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan
memprioritaskan siswa terlibat secara aktif dan kreatif. Metode ini
162
merupakan rangkaian siklus pembelajaran BDB yang dapat menciptakan
pembelajaran BDB yang berpusat pada siswa, guru dalam memberikan
penilaian tidak hanya berpedoman pada hasil tes siswa tetapi lebih melihat
proses siswa dalam pembelajaran. Kelemahannya adalah guru harus aktif
dan kreatif menyediakan pembelajaran BDB yang sesuai dengan minat
dan kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Kegiatan pembelajaran
dirancang sesuai dengan minat dan MI siswa sehingga penentuan kegiatan
dalam pembelajaran dilakukan oleh guru dan siswa secara seimbang,
artinya guru maupun siswa memiliki kedudukan yang seimbang dalam
pembelajaran BDB.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut.
Calon guru profesional harus mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi proses
belajar siswa terutama dalam pembelajaran BDB. Hal ini dimaksudkan agar dapat
memahami permasalahan yang dihadapi oleh siswa dan dapat memberikan solusi
pemecahannya. Guru hendaknya dapat memilih metode atau pendekatan yang efektif
dalam pembelajaran yang kreatif dan komunikatif sehingga siswa menyenangi
pelajaran yang diberikan.
Disarankan juga agar guru bahasa daerah Bali memperkenalkan banyak
kosakata baru sehingga jumlah perbendaharaan kata semakin bertambah. Selain itu,
perlu adanya penambahan alokasi waktu untuk materi menulis, sehingga siswa
163
terbiasa menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan. Guru perlu memberikan perbaikan
secara terus-menerus terhadap bahasa siswa baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Siswa kelas VII SLTP HighScope diharapkan dapat meningkatkan minat serta
ketertarikan terhadap pembelajaran BDB. Di samping itu, siswa hendaknya lebih
aktif berpartisipati dalam interaksi di kelas untuk mengasah keterampilan berbahasa
Bali sehingga dapat ikut melestarikan budaya melalui media bahasa.
Penelitian ini merupakan penelitian pembelajaran BDB pada siswa dwibahasa
yang lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran BDB,
kendala yang dihadapi dalam pembelajaran BDB dan metode yang digunakan dalam
pembelajaran BDB. Peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan permasalahan
sehingga tidak terfokus pada hal-hal itu saja. Selain itu, dapat mencari permasalahan
baru yang lebih menarik, yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa daerah Bali.
164
DAFTAR PUSTAKA
Anom, I Gusti Ketut. 1988. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Anonby, Stan J. 1999. “Reversing Language Shift: Can Kwak’wala Be Revived”
dalam Reyhner, Jon dkk. (Ed.). Revitalizing Indigenous Languages. Flagstaff,
AZ: Northern Arizona University.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi
Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.
Asrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Bloomfield, L. 1933. Language. New York: Holt, Rinehart, and Wiston.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. San
Francisco State University: Logman.
Budiarsa, Made. 2006. “Sosiologi Pembelajaran Bahasa dan Prinsip-Prinsipnya untuk
Meningkatkan Profesionalisme: Tinjauan Psikolinguistik”. Orasi Ilmiah
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Cahyani, Isah dan Hodijah 2005. Kemampuan Berbahasa Indonesia di SD. Bandung:
UPI Press.
Chear, Abdul. dkk. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chear, Abdul. dkk. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chomsky, Noam. 1964. Syntactic Structure. Netherlands: Mouton & Co. The
Hauga.
Cummins, Jim. 2003. Bilingual Children's Mother Tongue: Why Is It Important for
Education? Available from:http://www.iteachilearn.com/cummins/motehr.htm
165
Christian. D. and Genesee. F. 2001. Bilingual Education. Virginia: Teacher of
English to Speakers of Other Language Inc (TESOL).
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor.
De Porter, B. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang
Ruang Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Edisi 1. Cetakan ke-10. Bandung:
Kaifa.
Dhanawaty, Ni Made. 2006.”Perlunya Proses Pembelajaran Bahasa Bali yang Lebih
Rekreatif bagi Sekolah Dasar yang Multikultural dan Multilingual. Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Dulay, Heidi, Marina Burt and Stephen Krshen. 1982. Language Two, Terjemahan.
Oxford: Oxford University Press.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition Oxford: Oxford
University Press.
Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta : Bumi Aksara .
Harmer, Jeremy. 1983. The Practice of English Language Teaching. Londan and
New York: Logman.
Hermawan, Asep Heri dan N. Resmini. 2005. Pembelajaran Terpadu. Jakarta.
Universitas Terbuka.
HighScope. 2013. Plan-do-review in Action. Jakarta: HighScope Press.
Http://www.highscope.org/file/PDFs/PlanDoReviewDVD_guide.Pdf.Diunduh
tanggal 23 September 2014.
Janawati, Desak Putu Anom. 2013. Pengaruh Implementasi Pembelajran Kartu Kata
dalam Permainan Domino terhadap Peningkatan Kemampuan Membaca
Menulis Permulaan Siswa. Singaraja: Undiksa.
Krashen, S.D. 1980. “The Monitor Model for Adult Second performance “ Dalam
Reading on English as a Second Language. Ed. By Kenneth Croft.
Cambridge: Winthrop Publisher. Inc.
Krashen, S.D. 1986. Principles and Practice in Second Language Acquisition.
Oxford: Pergamon Press.
166
Krashen, S.D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language Learning.
California: Pergamon Press.
Lado, Robert. 1964. Language Teaching a Scientific Approach. New York: McGraw-
Hill, Inc.
Lee, William W. & Owens, Diana L. 2004. Multimedia-Based Instructional Design.
San Fransisco: Pfeiffer.
Maryadi, Bellanita. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran HighScope (Plan, do,
Review) Terhadap Motivasi Belajar Anak. Jakarta : Universitas Pendidikan
Indonesia.
Mila, Ni Made. 2010.”Peningkatan Ketrampilan Menulis Kalimat Passive Present
Progresssive Tense pada Siswa SMPN 1 Tegalalang dengan Pendekatan
Chain Card Game. Pasca sarjana Universitas Udayana.
Morrison, G. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD). Jakarta.:
Indeks.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta: BPFE.
Nurjana, I Gede. 2005. “Sikap dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Bali: Studi
Kasus pada Siswa Kelas VI, di Tiga Sekolah Dasar di Singaraja”. IKIP
Negeri Singaraja.
Nurkancana, I Wayan dan Sunartana. 1983. Evaluasi Pendidikan Cetakan Ke III.
Surabaya: Usaha Nasional.
Nurkancana, I Wayan dan Sunartana. 1983. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya : Usaha
Nasional.
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Yogyakarta: Kanisius
Purwanto, Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Seifert, Kelvin. 1983. Educational Psychology. Boston: University of Manitoba.
Shihabuddib, H. 2009. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta :
Universitas Terbuka.
167
Soriente, Antonia. 2007. “Cross-Linguistic and Cognitive Structures in the
Acquisition of WH-Questions in an Indonesian –Italian Bilingual Child”. In.
Kecskes, Istvan and Albertazzi, Liliana. Editor. Cognitive Aspects of
Bilingualism. Dordrecht: Springer. P. 325-362.
Suandi, I Nengah. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Bahasa. Singaraja:
Undiksha.
Sudiarta, P. 2005. Pengembangan Pendidikan Bilingual unuk Mencapai Kompetensi
Lulusan Bertaraf Internasional. Singaraja: Pusat Pengembangan dan
Peningkatan Aktivitas Pembelajaran (P3AI) IKIP Negeri Singaraja.
Sudijono, A. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sudjana, Nana. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sutama, I Made dan I Nengah Suandi. 2001. ”Loyalitas-Bahasa Penutur Bahasa Bali
terhadap Bahasanya”. Laporan Penelitian tidak Diterbitkan.
Tantra, Dewa Komang. 2006. ”Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Pendidikan.
dalam Konggres Bahasa Bali VI”. Denpasar: Fakultas Sastra.
Tarigan, Hendy Guntur dkk. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa
Tarigan, Hendy Guntur dkk. 1989. Membaca sebagai Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Uno, Hamzah B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Analisis dibidang
Pendidikan. Jakarta: Bumi Angkasa
168