METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …
Transcript of METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …
471
METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA
MAULIDUL BARZANJI
(Tinjauan Psikologi Sastra Perspektif Abraham Maslow)
Himatul Istiqomah
CV. Pustaka Abadi Jember - Penerbit Misykat Indonesia Malang
SMP Plus Cordova Banyuwangi
Abstrak: Humanistik merupakan kategori kepribadian yang dipengaruhi oleh
motivasi internal, berupa meta kebutuhan alami pada manusia nyata ataupun yang
tergambarkan dalam karya sastra. Melalui teori Maslow, peneliti berupaya
memaparkan jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dan bagaimana
pemuasannya dalam Maulidul Barzanji (karya Ja‟far bin Hasan al-Barzanji (w. 1763
M)), guna menelisik pesan moralnya. Tujuan tersebut dinyatakan dengan pendekatan
kualitatif deskriptif, menggunakan analisis teks berbasis Psikosastra milik
Endraswara. Terdapat lima jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dalam
Maulidul Barzanji secara sempurna, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial,
penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk pemuasannya; pertama, melalui pemenuhan
kebutuhan pangan, papan, dan ekonomi; kedua, melalui perlindungan pengasuh dan
nasehat Ahlul Kitab; ketiga, melalui rumah tangga sakinah dan solidaritas kesukuan;
keempat, melalui posisinya sebagai al-Amiin; dan kelima, melalui prosesi bi‟tsah. Hal
ini menunjukkan adanya serangkaian proses yang dilalui Muhammad Saw sebelum
dan saat mencapai posisi puncaknya, sebagai nabi dan rasul Allah. Adanya
kompleksitas metamorfosa di sinilah yang dapat diteladani oleh setiap manusia, agar
tidak lekas putus asa dalam memuaskan kebutuhan motivatifnya, hingga mencapai
posisi puncak sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kata Kunci: Metamorfosa Kerasulan, Muhammad Saw, Prosa Maulidul Barzanji,
Psikologi Sastra, dan Abraham Maslow.
Pendahuluan Setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing. Sebagai identitas diri,
kepribadian sering kali menjadi sorotan yang menentukan nilai dan posisi seseorang di
tengah masyarakat. Kepribadian dilatari oleh banyak hal, salah satunya adalah
kehadiran motivasi dalam diri seseorang. Motivasi merupakan dorongan yang timbul
pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan
tujuan tertentu (KBBI, 2005: 759). Abraham Maslow, seorang pakar Psikologi
Kepribadian Humanistik (Mazhab Ketiga) memandang motivasi berasal dari kebutuhan-
kebutuhan dasar manusia yang dianggapnya berlaku universal (Wilcox, 2013: 154).
Terdapat lima klasifikasi dalam hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow, yaitu
kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta dan memiliki, penghargaan, dan aktualisasi
diri (Minderop, 2011: 49).
Dalam pendekatan Mazhab Ketiga ini, karya sastra memberikan kontribusinya
sebagai bingkai yang tampil dengan gayanya yang khas dan unik. Sebab, karya sastra
tak luput dari perbincangan terkait kepribadian tokoh yang diusung oleh pengarang.
Selanjutnya, ia hadir memberikan beberapa pesan dan nilai yang mendidik, di samping
fungsinya memberikan hiburan atau wisata jiwa. Horace menyebutnya dengan dulce at
utile (Wellek dan Warren, 1989: 25). Penyair Sutarji C. Bachri pun menegaskan bahwa
karya sastra dapat memberikan hikmah (Fakhrudin, 2015). Di antaranya, yaitu: nilai
religius, nilai moral, nilai optimis, nilai kreatif, nilai kesadaran, nilai sosial, dan nilai
kebebasan, yang oleh Ali Syari‟ati disebut dengan nilai humanisme (Istiqomah, 2015).
472
Salah satu karya sastra yang mashur bagi kaum Muslim di berbagai belahan dunia,
yang dipilih untuk merealisasikan tujuan penelitian ini yakni Prosa Maulidul Barzanji,
berisi ringkasan perjalanan hidup Muhammad SAW sejak sebelum lahir hingga masa
kerasulan. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa karya ini ditulis oleh Sayyid
Ja‟far bin Hasan al-Barzanji, seorang ulama besar keturunan Nabi SAW dari keluarga
Sadah al-Barzanji, daerah Barzanj di Irak (Isa, 2008).
Dengan teori milik Maslow, peneliti berupaya menganalisis teks Maulidul Barzanji
guna menyajikan serangkaian perilaku Muhammad SAW yang dianggapnya sebagai
bagian dari proses menuju kenabian dan kerasulannya. Predikat nabi dan rasul tidak
semata-semata diberikan oleh Allah SWT secara tiba-tiba. Tapi, ini merupakan
kombinasi antara hadiah dari Allah SWT dan pengasahan kepribadian yang telah
dijalani oleh Muhammad SAW secara istiqomah (kontinyu). Artinya, dia telah terlebih
dulu menjalani serangkaian proses panjang dan sangat kompleks yang mengasah
kepribadiannya layaknya proses metamorfosa, sehingga dapat diteladani seluruh umat.
Muhammad SAW yang notabene juga manusia biasa menjadi contoh riil dalam setiap
proses yang berlangsung dalam kehidupan, termasuk proses kenabian dan kerasulan,
yang mana bagi seluruh manusia berarti proses kekhalifahan. Karena, semua manusia
pada dasarnya memiliki energi nubuwwah dan risalah, meski tidak setingkat
Muhammad SAW (Nawawi, 2000: 187). Karena itulah, di sini peneliti menggunakan
bahasa Metamorfosa Kerasulan Muhammad SAWdalam Prosa Maulidul Barzanji.
Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirasah nushusiyah).
Untuk memperoleh pemahaman mendalam terkait Prosa Maulidul Barzanji dan
jawaban dari rumusan masalah yang telah disampaikan, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif guna
mendeskripsikan isi kandungan teks yang diteliti secara kritis.
Sumber data primer dalam penelitian ini berupa teks Prosa Maulidul Barzanji yang
terdapat dalam buku Maulidul Barzanji. Untaian karya sastra milik Sayyid Ja‟far bin
Hasan al-Barzanji yang kemudian ditahqiq olehBassam Muhammad Baaruud dan
diterbitkan di Abu Dabi: Ishdaaraah As-Saahatul Khuzrajiyyah tahun 2008.Sedangkan
sumber data sekunder berupa penelitian terdahulu terhadap Natsr Maulidul Barzanji,
buku terjemahan Natsr Maulidul Barzanji, Syarhu Maulidul Barzanji, Sirah
Nabawiyah, sejumlahpenelitian terdahulu, dan rujukan yang menjelaskan teori
kepribadian humanistik Abraham Maslow.
Pengumpulan data di sini dilakukan dengan metode library research. Untuk
mencapai hasil penelitian yang objektif, peneliti menggunakan TeoriMotivasi Persektif
Abraham Maslow guna menguak aneka kebutuhan motivatif Muhammad Saw secara
hierarki (Maslow, 1998) dalam prosa tersebut melalui teknik analisis teks berbasis
Psikosastra milik Endraswara (Endraswara, 2013: 97).
Metamorfosa Kerasulan Muhammad Saw
Berdasarkan penelitian yang dilangsungkan, peneliti akan memaparkan kelima
macam kebutuhan motivatif Muhammad SAW yang tertera dalam Prosa Maulidul
Barzanji, sebagai berikut.
473
Kebutuhan Fisiologis (Al-Haajatul Fiisiyuuluujiyyah)
Sebagai kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, kebutuhan
fisiologis berupa makan, minum, seks, tidur (Knight, 2005: 333), tempat tinggal yang
layak, dan ekonomi.
A. ASI Esklusif
ه أياما ﴿فـ . ﴾.901: 7وأرضعته أم
“Ibunya telah menyusuinya (bayi Muhamad SAW) selama beberapa hari”
(Pasal 7: 109).
Kalimat di atas menjelaskan pemenuhan kebutuhan fisiologis Muhammad SAW
yang berupa pemberian ASI esklusif oleh ibu kandungnya, Aminah. Hal tersebut dalam
pandangan psikologi tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan nutrisi, tapi juga upaya
pemenuhan kebutuhan seksual bayi Muhammad SAW pada fase oral.Saat proses
menyusui, ibu berlaku sebagai objek cinta pertama bayi secara natural. Fokus pada
kebutuhan dan perasaan cinta kasih akan menumbuhkan kelekatan hubungan antar ibu
dan anak (Ervika, 2000). Dengan demikian, terbangunlah pribadi yang penuh kasih
sayang sejak Muhammad SAW masih kecil.
﴾.901: 7﴿فـ . ثم أرضعته الفتاة حليمت السعديت أرضعته ثويبت السلميت ۞ ثم
“Kemudian dia (bayi Muhammad SAW) disusui oleh Tsuwaybah dari klan
Aslam. Kemudian disusui oleh seorang wanita, Halimah dari klan Sa‟di”
(Pasal 7: 109).
Kalimat di atas menjelaskan pemenuhan ASI esklusif bayi Muhammad Saw tidak
hanya diperoleh dari ibu kandungnya, tapi juga dari Tsuwaybah, budak yang
dimerdekakan oleh Abu Lahab1 sebagai hadiah karena menyampaikan kabar kelahiran
Muhammad SAW, dan Halimah binti Abi Dzu‟aib Abdullah Al-Harts, seorang wanita
dari klan Sa‟di (Ahmad, 2010: 23-24) hingga berusia dua tahun.
Menurut hasil diskusi penulis dengan Syekh Muhammad Nursamad Kamba, sudah
menjadi salah satu tradisi dan budaya bangsa Arab perihal menyusukan putra-putrinya
kepada wanita dusun yang dianggap tepat, bercitra baik atau berkualitas. Sebab,
lingkungan pedesaan merupakan bagian alam yang masih segar dan bagus untuk
pertumbuhan fisik anak, dan cenderung memelihara penggunaan bahasa Arab baku
(fusha). Sehingga, tradisi ini diharapkan dapat membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak menjadi sosok yang sehat, baik fisik maupun kepribadiannya, serta
mampu berbahasa Arab baku dengan baik dan tepat. Demikian pula yang berlaku pada
bayi Muhammad SAW melalui tangan Aminah, Tsuwaybah, dan Halimah.
Urgensitas pemenuhan ASI esklusif bagi bayi bahkan mendapat perhatian besar
dalam ajaran Islam, sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT.
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. ... Apabila dia hendak menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan dari keduanya (orangtua dan bayi), tidak
ada dosa bagi keduanya. Apabila kamu sekalian hendak menyusukan (kepada
orang lain) anak-anakmu, tidak ada dosa bagimu jika kamu menyerahkan (upah)
dengan ma‟ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).
Melalui ayat di atas, Allah SWT mengisyaratkan kurun waktu maksimal dua tahun
untuk memenuhi kebutuhan ASI esklusif bagi bayi, baik oleh ibu kandungnya sendiri
1Abu lahab adalah kunyah yang diberikan kepada orang yang bernama asli Abdul Uzza (Abdurrahim,
1903: 31), sebab kecaman yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya dalam surat Al-Lahab, ketika dia
menolak terang-terangan dakwah Islam dengan bahasa yang tidak santun dan perilaku yang tidak sopan.
474
maupun wanita lain yang dianggap layak, dengan ketentuan yang telah
disepakati.Dalam tinjauan medis, ASI mengandung kolostrum dan kaya akan protein
yang mendukung pertumbuhan anak dan menguatkan daya tahan tubuhnya (Abid, 2007:
137). Kealamiahan ASI tersebut sangatlah berkualitas dibandingkan dengan susu
formula, apalagi jika si ibu memiliki inisiasi menyusui sejak dini. Perilaku ini dapat
mempererat relasi dan rasa kepercayaan seorang anak terhadap ibunya, sehingga
menimbulkan rasa aman ketika berinteraksi dengan ibu dan keluarganya. Setelah
kemandirian ini terbentuk, anak tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan
oranglain. Karena kebutuhan pribadinya sudah terpenuhi, anak tidak memiliki alasan
untuk melakukan perilaku parasitnya.
Adapun pemenuhan ASI yang tidak tercukupi dengan baik, secara psikologi
berdampak pada pembentukan karakter anak, bahkan hingga dia dewasa. Di antaranya,
dia akan mudah ditipu, mudah menelan semua yang dikatakan orang, suka berdebat, dan
suka mengritik orang lain. Selain itu, akan terbentuk pribadi yang penakut, merasa tidak
aman, haus akan perhatian, iri, agresif, mudah membenci sesuatu, dan merasa kesepian
(Istiqomah, 2016).
B. Penghidupan Layak Papan atau tempat tinggal merupakan bagian penting dari kebutuhan pokok bagi
setiap manusia. Tempat tinggal tidak harus berarti yang mewah, tapi cukup yang
sederhana, asalkan memberikan keteduhan, baik dari terik mentari maupun guyuran
hujan, udara yang dingin, maupun keteduhan bagi jiwa penghuninya.
ه ى زقي
عله وأ
يه وزق ل
ه إل م
ض
لب ف
ط
ه عبد ال ى جد
ه عل
ت
ل
دخ
م ۞ وأ
ك ول
ش
ت
ل في صباه جىعا و
سه
ف ه
ط
ا ق
ش
۞عط
ت بي
ثيرا ما ال
داوك
ي بما غ
د
ت
اغ
زواه ف
بعه وأ
ش
أ
مصم ف
بى ۞ ء شه أ ه عم
ل
ف
ك
بيه عبد الله ﴿فـ . قيق أ
الب ش
﴾. 111: 9ط
“Ummu Aiman membawa Muhammad SAW kepada kakeknya, Abdul Muththalib,
kemudian dipeluk dan digendong oleh kakeknya. Sedari kecil Muhammad SAW
belum pernah mengeluhkan rasa lapar dan dahaga kepada kakeknya. Dia sering
tidak makan dan hanya meneguk air zam-zam untuk
mengenyangkannya.Muhammad SAW diasuh oleh Abu Thalib, saudara kandung
ayahnya, Abdullah” (Pasal 9: 111).
Dalam kasus ini, Muhammad SAW sepeninggal Aminah diasuh oleh kakeknya,
Abdul Muththalib, kemudian pamannya, Abu Thalib. Dari merekalah kebutuhan akan
tempat tinggal yang layak, makan, minum, dan semua urusannya secara tidak langsung
juga terpenuhi.
Selain papan, yang termasuk kebutuhan primer bagi kelangsungan hidup manusia
yaitu pangan dan sandang. Oleh karena itu, memiliki kemandirian dalam pemenuhannya
sangat penting ketika seseorang sudah beranjak dewasa.
يه ى الله عل
حل به صل ز
س سنت
ني عش
اث
غ
ـا بل
ت ول امي
د الش
بل
ى ال
ه إل م عم
﴾.111: 9﴿فـ . وسل
“Ketika Muhammad SAW mencapai usia 12 tahun, dia bepergian ke negeri Syam
(Suriah) bersama pamannya” (Pasal 9: 112).
Muhammad SAW, pada usianya yang ke-12 tahun sudah diperkenalkan dengan
dunia wirausaha di bidang perdagangan oleh pamannya, Abu Thalib. Dia tidak lagi
sekedar mempelajari cara-cara pamannya dalam berwirausaha seperti sebelumnya (pada
475
usia 9 tahun), malah sudah mulai mengambil tanggungjawab sebagai tulang punggung
keluarga pamannya (Ahmad, 2010: 31).
Pertumbuhan Muhammad SAW di bawah asuhan pamannya ini menjadikannya
sosok wirausahawan yang mandiri. Bahkan, ketika pamannya bangkrut saat dia hampir
dewasa, dia tetap mampu berdiri melalui perdagangan yang dilakonkannya di Makkah.
Muhammad SAW adalah pedagang keliling yang rajin, terampil, ulet, dan penuh
dedikasi dalam menekuni profesinya. Disebutkan dalam pengantar Dr. Laode
Kamaluddin, kecerdasan, kejujuran, dan kesetiaannya memegang janji adalah dasar
etika wirausaha yang sangat modern. Dari sifat-sifatnya inilah, berbagai pinjaman
komersial yang tersedia di Makkah membuka peluang kemitraan antara Muhammad
SAW dengan pemilik modal (Afzalurrahman, 1997: viii).
Perihal pentingnya urusan ekonomi sebagaipenunjang kahidupan, Allah SWT
mengisyaratkan dalam firmanNya akan larangan meninggalkan anak turunnya dalam
keadaan yg susah.
“Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mengkhawatirkan terhadap
(kesejahteraan) keturunannya itu” (QS. An-Nisaa:9).
Pada kebutuhan pertama (fisiologis) ini, pemenuhannya harus dilakukan berulang-
ulang menggunakan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang. Artinya,
seperti kebutuhan terhadap pangan, papan, sandang, tidur, seks, dll pun harus dipenuhi
oleh Muhammad SAW selama hidupnya. Seiring bertambahnya usia, kebutuhan ini
bukan lagi menjadi prioritas, melainkan sebagai pendukung. Setelah semua kebutuhan
pada tahap ini terpenuhi, Muhammad SAW secara psikologis akan termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan pada tingkat berikutnya, yakni kebutuhan akan rasa aman.
Kebutuhan Akan Rasa Aman (Al-Haajah ilal Amn) Pada tahap kedua, kebutuhan ini berupa perlindungan diri dari sesuatu yang
dianggap berbahaya, meliputi: jaminan, stabilitas, ketertiban, bebas dari ketakutan dan
kecemasan (Minderop, 2011: 283).
A. Perlindungan Pengasuh
م ه ث
ت ت ۞ زد ير سخي
ه، وهي به غ م
ى أ
م إل
يه وسل
ى الله عل
ن يصاب بمصاب حادث صل
زا من أ
حر
اه ﴿فـ .
ش
خ ﴾.111: 8 ت
“Kemudian Halimah mengembalikan Muhammad SAW ke (pangkuan) ibunya
dengan berat hati, kerena khawatir terjadi sesuatu yang menakutkan (yang
menimpa Muhammad SAW)” (Pasal 8: 110).
Selama dalam asuhan Halimah, keamanan Muhammad SAW sangat terjamin
dengan baik. Halimah memperlakukannya sebagaimana anak sendiri. Muhammad SAW
juga senang bergaul dan bermain bersama dengan anak-anak Halimah. Dia senang
menemani Abdullah menggembalakan kambing-kambing di padang pasir (Chalil, 1969:
100). Setelah mendengar kabar bahwa Muhammad SAW telah dibelah dadanya, dengan
penuh kekhawatiran Halimah bergegas mengembalikan Muhammad SAW ke pangkuan
ibunya, Aminah. Meskipun sebenarnya Halimah sangat berat hati melakukannya.
لب ط
ه عبد ال ى جد
ته عل
ل
دخ
بيه عبد الله - وأ
قيق أ
الب ش
بى ط
ه أ ه عم
ل
ف
ام -ك
ق
ته ف
ال
ف
بعصم بك
ت ۞ حمي ت و هم ىي ومه ق د
اه ﴿فـ . وك وزب
بنين
س وال
ف
ى الن
﴾.111: 9عل
476
“Ummu Aiman membawa Muhammad SAW kepada kakeknya, Abdul Muththalib -
Muhammad SAW di asuh oleh Abu Thalib, saudara kandung ayahnya, Abdullah -
Abu Thalib merawatnya dengan perlindungan penuh dan menjadi prioritas.
Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan Muhammad SAW daripada putera-
puteranya sendiri dan mengasuhnya (sepenuh hati)” (Pasal 9: 111).
Adanya perpindahan hak asuh atas Muhammad SAW ini pun terkategorikan dalam
pemenuhan kebutuhan akan rasa aman. Sebab, untuk melindungi dirinya dari segala
sesuatu yang mengancam keselamatannya, Muhammad SAW kecil masih
membutuhkan tangan-tangan lain, seperti kakek dan pamannya.
B. Nasehat Ahlul Kitab
ة وحىاه ۞ بى صف الن اهب بحيراء بما حاشه من و ه السمس وعسف
ه وأ ه عم ىبسد
إل
ت
يه من مك
ا عل
ف ى
خ
ت
ت يهىدن ال هل د
﴾.111: 9﴿فـ . أ
“Pendeta Buhaira mengetahui tanda-tanda kenabian yang ada pada diri
Muhammad SAW. Dia pun memerintahkan Abu Thalib agar membawanya pulang
ke Makkah, karena takut jika hal itu diketahui oleh kaum Yahudi” (Pasal 9: 112).
Kebutuhan kedua ini tidak hanya dipenuhi melalui tangan-tangan keluarga
Muhammad SAW, tapi juga dari orang lain. Terbukti dengan adanya anjuran Buhaira,
seorang pendeta Yahudi, agar pamannya membawa Muhammad SAW kembali ke
Makkah. Buhaira khawatir jika sampai ada orang Yahudi lain yang mengetahui hal itu.
Sebab, orang Yahudi tidak berkenan jika ada nabi yang lahir tidak dari golongannya,
sehingga kemungkinan mereka akan menjadi ancaman atas keselamatan Muhammad
SAW jika megetahui tanda-tanda itu.
يسسة لال ل
وآواه ۞ وك
ىازف
ها ال
يه ظل
مال إل
اهب إذ ه الس
عسف
ف
ف
ه ت
حسن ازك عه بصدق عصم و ن م
وك
ت ﴿ف ىي ﴾.111-111: 11ـ . ط
“Pendeta (Nasrani) mengetahui tiba-tiba dedaunan yang lebat menunduk dan
menaunginya (sebagai tanda Muhammad SAW adalah nabi). Dia pun berkata
kepada Maisarah, “Jangan sampai kau meninggalkannya dan sertailah dia dengan
hati yang lapang!” (Pasal 10: 112-113).
Selain Buhaira, ada pula perlindungan yang diberikan oleh seorang pendeta
Nasrani. Dia menganjurkan kepada Maisarah (kolega Muhammad SAW) agar
senantiasa bersamanya dan tidak meninggalkannya, karena khawatir sesuatu yang buruk
akan terjadi pada dirinya jika sampai kaum Nasrani lain mengetahui hal ini.
Perihal keamanan, Nabi Ibrahim A.s. memprioritaskannya melalui doanya kepada
Allah SWT.
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman sentosa, dan rizkikanlah buah-buahan
kepada pendudukanya yang beriman kepada Allah dan hari akhir”(QS. Al-
Baqarah: 126).
Pada tahap kedua ini, pemenuhan kebutuhan Muhammad SAW akan rasa aman
didapatkan melalui keluarganya, termasuk ibu susunya, dan orang-orang yang di
sekitarnya, seperti dua pendeta yang telah disebutkan di atas. Maslow menuturkan,
apabila seorang anak dapat merasakan keamanan dan keselamatan dari orang-orang di
477
sekelilingnya di tahun-tahun awal pertumbuhannya, ia akan menjadi sosok yang kuat
dan mampu berpikir serta bertindak positif menghadapi segala kemungkinan buruk yang
akan terjadi di masa depannya.
Sementara itu, seorang anak yang diabaikan oleh orang-orang di sekelilingnya,
terlebih orangtuanya, ia akan berusaha mencari perhatian, pujian, dan kasih sayang
dengan cara yang kekanak-kanakan. Efek jangka panjangnya, anak yang demikian dapat
mengalami gangguan mental (Goble, 1987: 115-116) dan merasakan dirinya dalam
belenggu ketakutan, was-was, dan khawatir tanpa alasan yang jelas.
Setelah Muhammad SAW terpenuhi kebutuhan tahap keduanya ini, dia pun
termotivasi untuk memenuhi level berikutnya, yakni kebutuhan akan cinta dan rasa
memiliki.
Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki (Al-Haajatul Ijtimaa’iyyah) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki ini disebut juga dengan kebutuhan sosial.
Pada tahap ketiga, kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan jalan bergabung dengan suatu
kelompok atau berorganisasi, memiliki solidaritas, dan membina hubungan kekerabatan
dengan orang-orang pada umumnya. Dalam hal ini, sama pentingnya antara memberi
dan menerima cinta (Minderop, 2011: 283).
A. Rumah Tangga Sakinah
ىها لسابق سعادتها
خها وقيل أ بىها وقيل عم
م أ
يه وسل
ى الله عل
ه صل
جها من صو
ت۞ف لي
ش ال
م يه وسل
ى الله عل
ده صل
ول
ل أ
دها ك
ول
اه ﴿فـ . وأ ليل سم
خ
ري باسم ال
ال
﴾.111-111: 11إل
“Kemudian Muhammad SAW dinikahkan dengan Khadijah oleh ayahnya
(beberapa pendapat mengatakan pamannya; saudara kandungnya) berdasarkan
suratan takdir yang membahagiakan. Semua putera Khadijah adalah puteranya
bersama Muhammad SAW, kecuali yang bernama Ibrahim” (Pasal 10: 113-114).
Ketika masa kanak-kanak dan remaja Muhammad SAW telah purna, tibalah
saatnya dia mencapai masa dewasa. Jika semula semua pemenuhan kebutuhan dasarnya
masih bergantung pada orang-orang di sekitarnya, sekarang justru Muhammad SAW lah
yang berlaku sebagai subjek, yang aktif menjalankan peranannya. Pada tahap ini,
kebutuhan cinta dan rasa memiliki dalam pribadi Muhammad SAW, selain terpenuhi
oleh keluarganya, juga terpenuhi melalui pernikahannya dengan Khadijah Binti
Khuwaylid Al-Kubra, dengan mas kawin sebanyak 20 ekor unta betina (Hamid, 1379 H:
179). Bersama Khadijah, Muhammad SAW melabuhkan segenap cinta dan kasih
sayangnya sebagai sepasang kekasih. Memberi dan menerima, saling memiliki, serta
saling mengisi kekurangan pasangan, sehingga terwujud rumah tangga yang sakinah,
penuh mawaddah dan rahmah. Dalam berkeluarga, keduanya dikaruniai 2 putera, yakni
Qasim dan Abdullah. Namun, mereka meninggal saat masih bayi. Muhammad SAW
bersama Khadijah juga dikaruniai 4 puteri, yakni: Ummu Kultsum, Ruqayyah, Zainab,
dan Fatimah Az-Zahra. Selain Fatimah, ketiganya telah menikah dan meninggal
sebelum memiliki keturunan pada tahun 630 M (Raji dan Lamya, 1998: 157). Kemudian
ditambah lagi seorang putera bernama Ibrahim, yang dilahirkan dari istri yang bernama
Mariyah dari klan Qibti. Meski dibilang putera Muhammad SAW cukup banyak, tapi dia mampu
menciptakan kehidupan keluarganya senantiasa hangat oleh cinta. Sebagai kepala rumah
tangga, Muhammad SAW sangat bagus dalam bergaul bersama istri-istri dan
478
keluarganya, menyantuni mereka, bergurau dengan mereka, dan menuangkan segenap
cinta tanpa pamrih dan tanpa pilih kasih (Ibnu Majah, tt: 636; J. 1).
Dalam kasus ini, pernikahan adalah solusi indah yang diajukan Islam untuk
memenuhi kebutuhan seksual pada tingkat lanjut, yakni hubungan antara dua lawan
jenis. Melalui Muhammad SAW, Islam mencontohkan bagaimana seharusnya membina
sebuah keluarga melalui pernikahan, yang menjadi tempat melabuhkan segenap cinta
dan rasa memiliki yang manusiawi. Pernikahan menjadi sesuatu yang suci yang dalam
ajaran Islam memiliki kurikulum tersendiri, sebagai upaya preventif terhadap
kemungkinan terjadinya perzinaan sekaligus perlindungan terhadap nasab (keturunan).
“Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan
olehNya di antaramu rasa kagum dan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian
itu benar-benar merupakan tanda (kekuasaanNya) bagi kaum orang-orang
berfikir” (QS. Ar-Ruum: 21).
Pada ayat di atas, penggunaan bentuk fi‟il mudhari‟ yang didahului oleh lam amar2
pada kata litaskunuu mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan sarana yang
dikaruniakan oleh Allah SWT sebagai upaya manusia agar dapat mencapai ketentraman
(sakinah). Artinya, sakinah pada konteks ini merupakan proses panjang yang mengiringi
pernikahan.
B. Solidaritas Kesukuan
س ه وه
بل
ق
ا ه
ن
ل
مين وك
ا ال
ىا: هر
ال
ق
ل داخل، ف و
م أ
يه وسل
ى الله عل
بي صل
الن
ان
ك
اه ۞ ف
بروه ض
خ
أ
ف
ه ﴿فـ . لم وولي ا ال
م في هر
حك
صاحب ال
ىن
ك
ن
هم زضىه أ ن
﴾.111: 11بأ
“Muhammad SAW lah orang yang pertama masuk (pintu Masjidul Haram).
Semuanya berkata, “Inilah Al-Amiin (orang yang dapat dipercaya)” dan semuanya
pun menerimanya. Mereka menyatakan bersedia dan rela jika Muhammad SAW
menjadi penegak hukum dalam perkara ini” (Pasal 11: 114).
Kalimat di atas menggambarkan bahwa Muhammad SAW memiliki kedekatan
dalam bergaul dengan sesamanya, khususnya bangsa Arab. Tidak mungkin muncul
pengakuan Muhammad SAW sebagai Al-Amiin tanpa sebelumnya mereka memahami
betul siapa dia dalam kesehariannya. Kejujurannya, budi pekertinya yang sopan, tutur
yang santun, dan selalu setia dengan janji-janji yang dibuat bersamanya adalah karakter
positif yang sebenarnya telah dikenal oleh bangsa Arab pada sosok Muhammad SAW
sejak lama. Sehingga, tidak ada alasan bagi mereka untuk meragukannya sebagai
penengah dalam permasalahan yang genting, yang mengancam integritas antar suku di
Arab, yakni perebutan posisi untuk meletakkan Hajar Aswad kembali di atas Ka‟bah.
Pada tahap ketiga ini, Muhammad SAW memperoleh pemenuhannya dari hampir
semua orang yang ada di sekelilingnya, baik dari pihak keluarga dekat yang satu klan,
bahkan orang-orang daripihak luar. Keberhasilan Muhammad SAW menjadi bagian dari
masyarakat Quraisy dan membina keluarga sangatlah besar pengaruhnya, tidak untuk
pribadi Muhammad SAW saja, tapi juga untuk pihak-pihak yang bersinggungan
dengannya. Setelah semua pemenuhan ini, Muhammad SAW pun terdorong untuk
memenuhi kebutuhan berikutnya, yakni kebutuhan akan penghargaan.
2Huruf lam yang memiliki fungsi membentuk kalimat perintah.
479
Kebutuhan Akan Penghargaan (Al-Haajah ilat Taqdiir)
Pada tahap keempat, kebutuhan ini berupa penghargaanatau harga diri. Maslow
mengelompokkan penghargaan ini ke dalam dua jenis, yakni penghargaan yang
diperoleh dari orang lain dan penghargaan yang berasal dari diri sendiri. Penghargaan
dari orang lain adalah yang utama, seperti penghargaan berdasarkan reputasi,
kekaguman, status, popularitas, prestise atau keberhasilan dalam masyarakat, dan semua
sikap serta pandangan masyarakat terhadap diri seseorang (Minderop, 2011: 284).
Al-Amiin
س ه وه
بل
ق
ا ه
ن
ل
مين وك
ا ال
ىا: هر
ال
ق
ل داخل، ف و
م أ
يه وسل
ى الله عل
بي صل
الن
ان
ك
اه ۞ ف
بروه ض
خ
أ
ف
ه ﴿فـ . لم وولي ا ال
م في هر
حك
صاحب ال
ىن
ك
ن
هم زضىه أ ن
﴾.111: 11بأ
“Muhammad SAW lah orang yang pertama masuk (pintu Masjidul Haram).
Semuanya berkata, “Inilah Al-Amiin (orang yang dapat dipercaya)” dan semuanya
pun menerimanya. Mereka menyatakan bersedia dan rela jika Muhammad SAW
menjadi penegak hukum dalam perkara ini”(Pasal 11: 114).
Di sela cerita banjir yang mnimpa Ka‟bah, kemenangan Muhammad SAW sebagai
orang pertama yang memasuki pintu Masjidul Haram telah menyebarkan salah satu sifat
terpujinya, yakni Al-Amiin, dapat dipercaya. Sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Hisyam,
penyebutan Al-Amiin atas diri Muhammad SAW menggunakan redaksi, “Inilah Al-
Amiin (yang dapat dipercaya), kami merelakannya. Inilah Muhammad SAW (yang
terpuji)” (Abdussalam, 2010: 14). Ini menunjukkan bahwa antara Muhammad SAW
dengan suku-suku yang hadir merenovasi Ka‟bah memiliki hubungan yang karib dan
saling mengenal karakter satu sama lain. Artinya, ke-amiin-annya tidak hanya karena
peristiwa ini saja. Bahkan, jauh sebelum peristiwa ini terjadi, Muhammad SAW sudah
dikenal sebagai Amiin, baik dalam pergaulan keseharian sbagai kturunan suku Quraisy
maupun dalam transaksi perdagangan. Hanya, pengukuhan yang spontanitas dan
disepakati banyak orang di sinilah yang kemudian semakin menguatkan bukti ke-amiin-
annya. Tidak hanya itu, tindakan Muhammad SAW sebagai hakim dalam memutuskan
perkara ini menunjukkan bahwa jiwa leadership sudah melekat pada kepribadiannya,
bahkan jauh sebelum bi‟tsah. Kemudian, setelah pengukuhannya sebagai nabi dan rasul,
Muhammad SAW tidak kehilangan jiwa leadership-nya, justru semakin terasah dan
menunjukkan kesejatiannya sebagai pemimpin sejati yang patut diteladani (Istiqomah
dan Sholeh, 2016).
Pada tahap keempat ini, kebutuhan akan penghargaan pada diri Muhammad SAW
telah dipenuhi melalui statusnya sebagai klan Hasyim yang notabene diinduki oleh suku
Quraisy dan karena sifat-sifat terpujinya dalam kehidupan sosial dan bisnis. Kesemua
pemenuhan kebutuhan pada tahap ini memotivasi Muhammad SAW untuk meneruskan
langkahnya mencapai kebutuhan berikutnya, yakni aktualisasi diri.
Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri (Al-Haajah ilaa Tahqiiqidz Dzaat)
Pada tahap kelima, kebutuhan ini berupa aktualisasi diri. Ini merupakan kebutuhan
motivasi teratas pada hierarki kebutuhan yang digagas oleh Abraham Maslow.
Seseorang tidak akan dapat sampai pada level ini tanpa terlebih dahulu memenuhi
keempat kebutuhan lain pada tahap sebelumnya, secara sempurna. Sehingga,
terpenuhinya semua kebutuhan tersebut menjadi modal utama Muhammad SAW untuk
480
selanjutnya melangkah memenuhi kebutuhannya akan aktualisasi diri, dimulai dari
pengangkatannya sebagai nabi dan rasul Allah SWT.
Prosesi Bi’tsah
ت ي
عالوي ال
ىال لر
ق
ق ال
وف
ى أ
عل
ت
سن
زبعىن
م أ
يه وسل
ى الله عل
ه صل
مل ل
ا ك
ى ول
عال
ه الله ت
۞ بعث
هم بسحماه ﴿فـ . عمسا ف ر
ه بشيرا و
ين
عال
﴾.111: 11لل
“Ketika (usia) Muhammad SAW telah sempurna 40 tahun, menurut qaul yang
paling shahih, Allah SWT mengutusnya sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, sekiranya seluruh alam memperoleh rahmatnya” (Pasal 12:
115).
Menjelang usianya yang ke-40 tahun, Muhammad SAW cenderung pada pencarian
kebenaran sejati. Dia merasa gundah, resah, dan gelisah menyaksikan kondisi kaumnya,
khususnya suku Quraisy, yang semakin menjauh dari nilai-nilai luhur. Mereka
terperangkap oleh pesolek harta dunia yang tertumpuk, sehingga melupakan hak-hak
fakir-miskin yang seharusnya mereka penuhi. Mereka mengalami degradasi moral yang
luar biasa dan degradasi agama serta kepercayaan yang semakin memudar bak
terbenamnya mentari di kala senja. Karena itu, Muhammad berusaha mencarikan solusi
baru agar kaumnya dapat kembali pada jalan kebenaran, sebagaimana mestinya.
۞ ت د
عد
يالي ال
د بحساء الل عب
ت
ان
ك
ء ف
لا
خ
يه ال
ب إل اه ۞ وحب
حق وواف
اه فيه صسيح ال
ت
أ
ن
ى أ
إل
ىم لك في ت ﴿فـ . وذ دزي
ق
ت ال
يل
هس الل
من ش
ت
ل
خ
ت
يل
ل
سة
ين لسبع عش
ن
ث
﴾.111: 11ال
“Muhammad SAW senang menyendiri dan beribadah di gua Hira selama beberapa
malam, hingga dia didatangi kebenaran (wahyu) yang jelas. Peristiwa itu terjadi
pada hari Senin, 17 Ramadhan” (Pasal 12: 115).
Berkat kesungguhannya dalam mencari jalan kebenaran yang telah sekian lama dia
rindukan, Muhammad SAW, pada hari Senin, tanggal 17 Ramadhan sekitar 611 M,
telah resmi dikukuhkan oleh Allah SWT sebagai nabi Allah, penutup para nabi yang
kemudian dilantik menjadi rasul Allah, penebar rahmat untuk seluruh alam semesta.
Artinya, dia bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang berhubungan dengan
upaya perubahan rekontruksi moral bangsa Arab, khususnya Quraisy dan seluruh umat
manusia, umumnya, dari kerusakan menuju jalan kebenaran yang menjadi ketetapan
Allah SWT. Ini seperti Muhammad SAW telah lebih dulu menyiapkan modal yang
maksimal (pada fase sebelumnya), sehingga dia (pada fase ini) siap membelanjakan
modal tersebut sesuai kebutuhan dan untuk memberikan kebermanfaatan seluas-
luasnya, yakni mengajak manusia kembali kepada kebenaran sejati.
Sebagaimana teori Maslow, kebutuhan akan aktualisasi merupakan puncak teratas
dari semua kebutuhan yang memotivasi manusia dan menjadi bagian dari alasan kenapa
dan untuk apa manusia diciptakan. Keberhasilan Muhammad SAW memenuhi keempat
kebutuhan sebelumnya dan ketidakterlenaannya oleh popularitas dan eksistensi yang
diperolehnya pada tahap keempat telah mengantarkannya menuju gerbang aktualisasi
diri, yakni sebagai sejatinya khalifah Allah SWT di muka bumi pada maqam nabi dan
rasul di usianya yang mencapai kepala empat.
“Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,
dia berdoa, "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan (tunjukilah aku) supaya
481
dapat berbuat kesalehan yang Engkau ridhai; jadikanlah kesalehan untukku dalam
(kesalehan) anak-cucuku. Sesungguhnya aku kembali kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-
Ahqaaf: 15).
Merujuk pada kalimat pertanyaan, kenapa 40 tahun? Ada apa dengan 40 tahun?
Menurut penulis, ayat di atas mengisyaratkan adanya kecenderungan seseorang pada
pencarian kebenaran sejati di usianya yang menjelang 40 tahunan. Dengan demikian,
nominal 40 tahun merupakan patokan untuk mengetahui tingkat kualitas seseorang. Jika
pada usia ini seseorang sudah mampu memenuhi semua kebutuhan motivasinya dari
yang pertama hingga keempat dan bersiap untuk memenuhi kebutuhan teratasnya, dia
termasuk golongan orang-orang yang menemukan jalan kembali kepada Allah SWT dan
orang yang selamat karena telah berserah diri kepadaNya. Sebaliknya, seseorang yang
belum bersiap untuk memenuhi kebutuhan teratasnya, yakni aktualisasi diri, atau masih
terjebak oleh popularitas pada level sebelumnya, dialah orang yang menjauhkan diri
dari jalan kembali menuju Allah SWT dan menghindar dari golongan orang-orang yang
selamat, karena belum siap menyerahkan diri kepadaNya.
Pada tahap teratas ini, yakni kebutuhan akan aktualisasi diri, Muhammad SAW
tidak cukup berhenti pada bi‟tsah, tapi dia menjadikan bi‟tsah sebagai langkah awal
untuk memulai misinya; mengajak manusia kembali ke jalan yang diridhai Allah SWT
melalui berbagai bentuk strategi dakwahnya. Dengan demikian, tahap demi tahap
kebutuhan Muhammad SAW telah terpenuhi dengan sempurna, yang mana pada titik
puncak ini dia mampu menjaga konsistensinya sebagai nabi dan rasul yang menjadi
teladan bagi seluruh umat sepanjang zaman. Sebagai manusia biasa, sejatinya
Muhammad SAW telah mencapai titik puncaknya, yakni menjadi khalifah Allah di
bumi: menciptakan stabilitas, perdamaian, persaudaraan, keadilan, dan kerukunan serta
menepis dusta dan keangkuhan yang dapat membawa pada kerusakan. Pada bagian
akhirnya, Muhammad SAW telah menyelesaikan misinya menyampaikan risalah Allah
SWT, yang mana dia berperan menunjukkan shirathal mustaqim, jalan lurus menuju
Allah SWT bagi selurh umat manusia. Meskipun, Allah SWT lah yang menentukan
hasil akhirnya.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat lima jenis kebutuhan motivatif Muhammad
SAW dalam ProsaMaulidul Barzanji secara sempurna, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa
aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk pemuasannya; pertama, melalui
pemenuhan kebutuhan pangan, papan, dan ekonomi; kedua, melalui perlindungan
pengasuh dan nasehat Ahlul Kitab; ketiga, melalui rumah tangga sakinah dan solidaritas
kesukuan; keempat, melalui posisinya sebagai al-Amin; dan kelima, melalui prosesi
bi‟tsah. Hal ini menunjukkan adanya serangkaian proses yang dilalui Muhammad Saw
sebelum dan saat mencapai posisi puncaknya, sebagai nabi dan rasul Allah. Adanya
kompleksitas metamorfosa di sinilah yang dapat diteladani oleh setiap manusia, agar
tidak lekas putus asa dalam memuaskan kebutuhan motivatifnya, hingga mencapai
posisi puncak sebagai khalifah Allah di muka bumi.
482
Daftar Rujukan
Abdussalam, Muhammad Mushthafa. 2010. “As-Siiratun Nabawiyyah bainal Atsaaril
Marwiyyah wal Ayaatil Qur‟aaniyyah – Diraasah Nashshiyyah Muqaaranah”.
Disertasi. Tk: tp.
Abid, Manshur Ar-Rifa‟i. 2000. Al-Mar‟ah Maadhiyyuhaa wa Haadhiruhaa. Beirut-
Lebanon: Qusyraqiyah.
Afzalurrahman. 1997. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Dewi Nur Julianti
(Terj.). Jakarta Pusat: Yayasan Swarna Bhumy.
Ahmad, Muhammad Ibn „Aliisy al-Maliki. 2010. Al-Qawlul Munji alaa Maulidil
Barzanji. Beirut – Lebanon: Daarul Kutub al-Ilmiyah.
Chalil, Moenawar. 1969. Kelengkapan Tarich Nabi Muhammad Saw I. Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Quran dan Terjemahnya; Al-Jumaanatul „Aali.
Bandung: J-Art.
Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI. 2005. KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat.
Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS Universitas Yogyakarta.
Ervika, Eka. 2000. “Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak”.
Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Goble, Frank G.. 1987. Madzhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow. A.
Supratiknya (Terj.). Yogyakarta: Kanisius.
Hamid, As-Sayyid Abdul Az-Zahrawi. 1379 H. Tokoh Wanita Sebelum dan Sesudah
Islam. Drs. Ali Ahmad Zen, Dkk. (Terj.). Bandung: PT. Al-Ma‟arif Offset.
Ibnu Majah (Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazwiniy). Tt. Sunan Ibnu
Majah. Muhammad Fuad Abdul Baqi (muhaqqiq). Tk: Daaru Ihyaail Kutub Al-
Arabiyah.
Isa Ibn Abdullah Ibn Man‟aa Al-Humairiy. 2008. “Mawlidul Barzanjiy”. Fii Majmuu‟il
Mawlid al-Mubaarakah. Dubai: Darul Faaqih.
Istiqomah, Himatul dan Muh. Ihsan Sholeh. 2016. Nilai Pendidikan Karakter dalam
Tembang Ilir-ilir Karya Sunan Kalijaga. Diseminarkan di Seminar Nasional
Bahasa Ibu IX pada tanggal 27 Februari 2016. Denpasar: Universitas Udayana.
Istiqomah, Himatul. 2015. Ali Syari‟ati‟s Perspective of Humanisme Value in Footnote
Created by Lena Maria. Diseminarkan di International Social Science Conference
pada tanggal 25 November 2015.Tidak diterbitkan. Lombok: University of
Mataram.
Istiqomah, Himatul. 2016. Pendidikan Karakter Anak dalam Surat Al-Baqarah Ayat
233. Dipresentasikan di Halaqah Ilmiah Edisi 21 Januari 2016. Tidak Diterbitkan.
Malang: Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.
Knight, Vicki. Dkk. 2005. Introduction to Psycology 7th
Edition. Tk: San Diego State
University – Rod Plotnik.
Maslow, Abraham. 1998. Maslow On Management. New York: John Wiley and
Sons.Inc.
Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nawawi, Rifaat Syauqi. 2000. Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
483
Raji, Ismail Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam;
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.).
Jakarta: PT. Gramedia.