MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS ...
Transcript of MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS ...
i
MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI:
STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG
BERIBADAH DI GEREJA MAL
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Norita Novalina Sembiring
NIM: 086322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Norita Novalina Sembiring
Nomor Mahasiswa : 086322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS
PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 25 November 2010
Yang menyatakan
(Norita Novalina Sembiring)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “MENGGEREJA DALAM
MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG
BERIBADAH DI GEREJA MAL merupakan hasil karya dan penelitian saya
sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian karya-karya
sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah
sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 28 Oktober 2010
Norita Novalina Sembiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
MOTTO
Seorang ilmuwan dari India, Manmohan Singh,
pernah bertutur :
“ Tuhan menganugerahiku ketenangan
untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah,
keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah,
dan kebajikan untuk mengetahui perbedaannya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERSEMBAHAN
Untuk masa dan asa
yang memproses tiap
langkah menjadi penuh
arti…
Terurai kata
T e r i m a k a s i h …
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Hidup ibarat perjalanan panjang yang ditempuh dari satu titik ke titik lain.
Katanya dalam perjalanan itu ada tiga tahap yang biasanya dialami, yaitu start, dead
point dan second wind. Dengan penuh semangat kita memulai perjalanan itu. Namun,
setelah jauh berjalan kita mulai merasa kelelahan. Kita menatap ke belakang dan
mengukur berapa jauh kita sudah berjalan. Akan tetapi, perjalanan itu belum selesai.
Kita masih setengah jalan, atau bahkan masih seperempat jalan. Oleh karena itu,
timbullah kejenuhan. Dalam kejenuhan ini kita bisa saja menjadi putus asa dan hilang
harapan. Tahap ini disebut dead point. Kalau kita membiarkan diri berada pada tahap
ini, maka sirnalah sudah impian untuk sampai pada garis finish. Lalu, bagaimana
supaya kita tidak jatuh pada tahap ini? Ada yang bilang segeralah bangkit, lalu
berjalanlah. Ingatlah bahwa perjalanan ini harus diselesaikan. Tahap ini disebut tahap
second wind, ibarat mendapatkan angin segar, kita kembali bergairah untuk
menuntaskan perjalanan panjang ini.
Bagi saya, studi di Magister Program Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Sanata
Dharma, ibarat perjalanan panjang mengalami tiga tahap tadi. Awal masuk di kampus
ini, semangat saya begitu membara, mengindam-idamkan “Santapan Harian” yang
disuguhkan oleh dosen-dosen di sini. Di perjalanan itu, ternyata proses
menyelesaikan tesis adalah bagian terberat. Katanya, menyelesaikan tesis perlu
kedisiplinan, ketekunan, dan juga ketenangan. Akan tetapi, rasa jenuh, bosan, malas
mulai menggerayangi semangat yang membara tadi. Saya tidak punya kekuatan yang
cukup untuk menjaga konsistensi semangat dan daya. Namun, sampai kapan harus
begini? Akhirnya, angin segar itu datang menghampiri saya dan memberikan
kekuatan baru untuk menuntaskan semuanya. Bagian kitab dari Mazmur menuturkan,
“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan
jiwaku”. Akhirnya, saya menuntaskan proses penulisan tesis ini. Wah, lega sekali
rasanya. Terimakasih untuk Sang Pengirim angin segar ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Saya sangat bersyukur memiliki orangtua yang mendukung saya dalam proses
“petualangan ilmu” di IRB. Terimakasih untuk Mamak dan Bapak yang selalu
mengerti dan mendukung saya. Semua dukungan itu tentu tak pernah bisa
terbalaskan. Karena memang semua pengorbanan Mamak dan bapak tak ternilai oleh
apapun juga.
Proses “meramu” dan “memasak” setiap teori yang didapat di IRB juga tak
lepas dari kepiawaian tiap dosen yang mengampu mata kuliah menurut bidangnya
masing-masing. Rasa terimakasih ini khususnya juga dialamatkan pada dosen
pembimbing saya, Dr. St. Sunardi, yang telah memperkenalkan fenomena-fenomena
sosial yang sangat menarik untuk dicermati dan diteliti dalam perkembangan
masyarakat. Tips “memasak” data berdasarkan kerangka konseptual yang dipilih
menjadi bagian yang paling mendebarkan untuk dikerjakan. Terimakasih untuk
kesediaan Bapak berbagi tips itu. Terimakasih juga untuk Mbak Henkie yang setia
mengurus keperluan mahasiswa. Tak lupa untuk Mba Devi, yang dengan cermat
mengomentari kesalahan teknis dan logika kalimat dalam tesis ini.
Saya juga mengucapkan terimakasih untuk gereja saya, Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP), khususnya yang ada di Yogyakarta dan Semarang. Dua gereja ini
telah menjadi lokus saya bertumbuh dan berkembang dalam panggilan pelayanan,
sementara saya kuliah di Yogyakarta. Pengalaman berjemaat di dua tempat ini telah
memberikan pengalaman baru bagi saya memaknai setiap panggilan Tri Tugas
Gereja.
Dua tahun di Yogyakarta telah pula menambah khazanah pertemanan saya.
Gak kebayang sebelumnya akan bertemu dengan teman-teman IRB 2008 yang “asoy
geboy”. Monik [thanx untuk persahabatan kita, yuks lembur bareng, hehe], Tika
[teman kenalan pertama di IRB, hidup Lekra!!!], Aik [wualahh diet kita piye iki?],
Doan [ingat ya, kronothesis, hehe], Mbak Rini [kapan aku diajarin Yoga?], Hikmah
[argumentasinya setajam silet], Herlina [lama tak bersua, kemana dirimu?], Bang
Inyiak [thanx ya udah mau jadi “dosen wali” di luar perkuliahan resmi], Son [thanx
untuk wacana pendidikan ala anak PeJaBati], Mas Danang [ibu pendeti ini pergi dulu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ya, heheh], Mas Wahyu [sebenarnya gimananya sih mas, kog aku gak ngerti?], Hadid
[diam-diam tapi paper selalu jadi duluan], Manda [ketemu di Medan ajalah kita ya].
Kalian semua telah memberi warna dalam memaknai arti hidup dalam keberagamaan.
Jangan lupa update milis ya, hehehe.
Pertemanan ini juga semakin kaya dengan interaksi bersama teman-teman
Permata di Jogya: Cobra (Wansa, Tinus, Thomas, Sanusi, Charlie, Eme, Citra, Tere),
bujur melala ya dek untuk setiap cerita yang terjalin di dalam kebersamaan kita.
Semoga kita bisa bertemu dalam event-event lainnya (walahhh cem betol aja,
hehehe). Kelto (Kelompok Teologi Karo), terimakasih untuk diskusi-diskusi kita
tentang arti pelayanan yang sesungguhnya, meskipun kakak hanya bisa datang dua
kali saja dalam pertemuan Kelto. Secara keseluruhan, terimakasih untuk semua teman
Permata GBKP Rg. Yogyakarta, khususnya Pengurus Permata, bujur untuk
rekomendasinya ya. It means a lot gie.
Memaknai arti pertemanan yang sesunguhnya, tak akan pernah lengkap
sebelum mengucapkan satu nama ini, Sony Tarigan. Terimakasih untuk semuanya.
Untuk kam, gak ada kata yang cukup untuk mengungkapnya. Rasa terimakasih yang
mendalam juga saya ucapkan pada mereka, yang selalu bertanya, “Ta, kapan
pulang?” yang ternyata mampu menumbuhkan semangat dan motivasi untuk suatu
pertemuan yang sangat dirindu dan didamba.
Proses penulisan ini bisa rampung oleh karena dukungan mereka, orang-orang
yang saya hormati, hargai, dan sayangi yang hadir dalam “nuansanya” masing-
masing. Selamat membaca karya ini. Selamat bertamasya dalam fenomena ibadah
dan belanja yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi. Kiranya tulisan ini
bisa bermanfaat bagi kita yang hidup dalam produksi budaya yang berkembang dari
waktu ke waktu.
Akhir Oktober 2010
Norita Novalina Sembiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
MOTTO vi
PERSEMBAHAN vii
KATA PENGANTAR viii
ABSTRAK xi
DAFTAR ISI xv
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Rumusan Masalah 8
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
4. Tinjauan Pustaka 10
5. Kerangka Teori 14
6. Metode Penelitian 22
7. Sistematika Penulisan 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB II GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI
DI INDONESIA 28
1. Gereja dan Pasar 29
2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia 30
3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet 35
4. Kesimpulan 42
BAB III IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN
DAN BELANJA YANG MENGGAIRAHKAN 45
1. Mal sebagai One Stop Service 46
2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa 50
2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda 51
2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda 57
2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta 62
3. Pola Ibadah di Gereja Mal 65
4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal 73
5. Kesimpulan 80
BAB IV REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA
DI GEREJA MAL 82
1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal 83
1.1 Bahasa Tubuh 84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
1.2 LCD dan Alkitab Elektronik 93
1.3 Bahasa Roh 95
1.4 Gaya Berpakaian 102
1.5 Belanja di Mal 103
2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu 108
2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik 111
2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD 115
2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya 119
2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona 120
3. Kesimpulan 128
BAB V PENUTUP 132
DAFTAR PUSTAKA 137
LAMPIRAN
Transkripsi Wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
ABSTRAK
Selama ini gereja dan pasar sering ditempatkan dalam posisi antagonistik.
Kini, posisi itu tampaknya sudah bergeser: tidak antagonistik lagi melainkan malah
berduet dengan harmonis. Penelitian ini mengkaji fenomena pergeseran tersebut.
Gereja dan pasar, dua hal yang dipahami secara berbeda, dalam kenyataannya
sekarang ini bergabung menjadi satu. Sadar atau tidak sadar manusia tidak bebas
memilih apa yang diinginkannya, melainkan mensintesakan pilihan-pilihan tersebut.
Dalam penelitian ini, pilihan tersebut adalah soal ibadah dan belanja.
Untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena di atas, ada beberapa
masalah yang akan dijawab, yaitu bagaimana proses pembentukan gereja di mal,
sejauh mana model bergereja di mal menyerupai model konsumsi, dan realitas sosial
seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja di mal? Melalui dinamika ibadah
dan konsumsi di gereja mal kita akan melihat budaya massa yang berkembang saat ini
sebagai ciri dari masyarakat konsumsi.
Untuk mendukung pencarian jawaban atas fenomena di atas, penulis
melakukan penelitian lapangan di Jakarta dan Yogyakarta. Data empirik sangat
penting untuk mengetahui pengalaman orang-orang yang selama ini belum terjangkau
oleh konsep-konsep tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Melalui
metode ini, penulis akan menemukan bagaimana kegairahan ibadah dan belanja
dalam pesona mal. Data yang diperoleh dalam penelitian lapangan akan diolah
dengan bantuan dari kerangka teoretis yang diambil dari Interaksionisme Simbolik
karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi Jean Baudrillard.
Akhirnya, penelitian ini menemukan beberapa temuan yang menarik untuk
dicermati. Temuan-temuan itu antara lain: adanya kemiripan dalam pola beribadah
dan pola berkonsumsi di gereja mal. Kemiripan itu tampak lewat besarnya hasrat
beribadah dan pemuasan yang diperoleh dalam beribadah di gereja mal serta
kepuasan hasrat belanja dalam konsumsi barang-barang yang dipamerkan di toko-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
toko yang terdapat di mal. Gereja mal juga melahirkan suatu realitas sosial baru bagi
cara menggereja (ekklesiologi) umat yang datang ke sana, jika dibandingkan dengan
gereja-gereja arus utama. Orang terhisap masuk menjadi bagian dari komunitas bukan
hanya berdasarkan keimanan atau kebutuhan, melainkan berdasarkan interaksi
simbolis dan nilai tanda konsumsi yang ditafsirkan dalam pola-pola hubungan
seorang dengan yang lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
ABSTRACT
During times, the church and the marketplace are often placed in antagonistic
positions. Now, that position seems to have shifted: no longer antagonistic but even a
duet with harmony. This research examines the shifting phenomenon. Church and
market, two things that were understood differently, in fact now joined into one.
Conscious or not, human beings are not free to choose what they want, but
synthesizes these choices. In this research, the choice is a matter of worship and
shopping.
There are several issues to be answered to know about the phenomenon: the
process of establishing the church at the mall, the extent of the in-mall church model
resembles the model of consumption, and the kind of social life realities that was
born through the in-mall church pattern. Through the dynamics of in-mall church
worship and culture of consumption, we will see a mass culture that was growing as a
hallmark of consumptive society today.
To support the search for answers to this phenomenon, I conducted field
research in Jakarta and Yogyakarta. I believe that empirical data is very important to
know people experiences that so far have not been answered by certain concepts.
Therefore, in this research, I use interviews and observations directly in the field as
methods. Through this method, I will find people excitement and how they got
enchanted by the way of worship and shopping malls. The data which was obtained
in field will be processed with the help of a theoretical framework drawn from the
theory of symbolic interactionism by George Herbert Mead and the Sociology of
Consumption by Jean Baudrillard.
Finally, this research found some interesting findings to be observed. The
findings include: the similar pattern of in-mall church worship and consumption in
mall. Similarities were looked from the desire and satisfaction gained within the
worship in an in-mall church as well as satisfaction and desire in the consumption of
goods that were displayed in stores within shopping malls. In-mall church also gave
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
birth to a new social reality of how people go to in-mall church (ecclesiology)
compares to the main stream churches. People who get into a part of the community
were not based on faith or needs only, but by the symbolic interaction and sign of
consumption values that were interpreted in patterns of relationship one with the
other.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Apa yang terbersit dalam pikiran kita jika mendengar kata “gereja”?
Mungkin kita akan menjawab, gedung atau bangunan, rumah ibadah, dan Kristen.
Gereja identik dengan suatu bangunan, besar, kecil atau sedang yang terbuat dari
beton atau setengah papan yang terletak di lahan tertentu dan biasanya dekat
dengan pemukiman penduduk. Di bagian depan biasanya ada papan penanda
nama gereja dan denominasinya (alirannya), serta lambang salib di atasnya.
Karena terletak di lahan tertentu, beberapa gereja memiliki halaman yang cukup
luas yang bisa dipakai untuk tempat parkir, untuk acara kebersamaan umat, atau
sebagai tempat berjualan untuk mencari dana. Tak hanya identik dengan gedung
atau bangunan, gereja juga identik dengan kumpulan orang, khususnya kumpulan
orang-orang Kristen yang bertemu satu dengan lainnya dalam satu kesempatan
yang dimaknai sebagai Dominggos, Hari Tuhan atau hari Minggu. Memaknai
gereja sebagai suatu tempat pertemuan yang membahas tentang Tuhan, maka
gereja mengartikulasikan banyak kegiatannya pada persoalan Yang Kudus di
dalam ibadahnya.
Gereja umumnya berada di wilayah tertentu dan dekat dengan pemukiman
penduduk. Namun, pada kenyataannya, kini gereja berada di tempat-tempat lain,
misalnya di hotel, aula perkantoran, Rumah Toko (RuKo), juga di mal. Yang
terakhir, menjadi fenomena yang sangat menarik untuk diteliti karena mal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
merupakan pasar modern, adalah suatu tempat yang secara sadar dipahami sangat
bertolak belakang dengan hakekat “kekudusan” gereja. Gereja yang terhisap
dalam geliat pasar modern ini agaknya melahirkan karakteristik gereja yang baru,
yang dalam penelitian ini, penulis mencoba memberi nama atas fenomena
tersebut. Gereja dan pasar yang pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak
mungkin digabungkan, kini malah bergabung dan menjual daya pikat kepada
orang yang mengunjunginya. Ada gaya baru yang ditawarkan lewat munculnya
gereja di mal, kendatipun kita tidak dapat menangkis kenyataan soal sulitnya
memperoleh ijin untuk mendirikan rumah ibadah di tempat “yang umum” tadi.
Kedudukan ibadah dalam gereja menjadi bagian yang sangat penting
karena untuk itulah orang datang ke gereja. Dalam ibadah inilah makna
kebersamaan dan perkumpulan umat Kristen diartikulasikan. Ibadah adalah
perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.1 Secara etimologis,
ibadah berasal dari kata Arab abdi (`i-ba-dah), yang pengertiannya sama dengan
pelayanan. Sementara itu, leitourgia dalam kata Yunani di dalam Alkitab
Perjanjian Baru adalah terjemahan dari kata Ibrani `abodah, yang menunjukkan
peng-abdi-an atau pe-layan-an. Ibadah/liturgi/bakti sebenarnya mempunyai
pengertian luas yang meliputi seluruh hidup, yaitu bagaimana sikap dan tingkah
laku kita di hadapan Tuhan.2 Umat menggunakan kata ibadah dengan pengertian
yang sangat sederhana, yaitu pergi ke gereja. Di gereja, yang bertugas melayani
1 Dedy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 565. 2 H.A Van Doop, ”Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT
Jakarta ke-75, 27 September 2009 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
umat adalah kaum klerus, pendeta, penatua, diaken.3 Dalam pemaparan di bab-bab
selanjutnya poin ibadah akan dijelaskan lebih detil karena menyangkut respons
umat terhadap pola-pola ibadah yang dinamis dan statis. Hal ini berhubungan
dengan daya tarik ibadah yang dianggap mampu menyentuh kedalaman batin
umat. Pola ini pulalah yang dilihat dalam ibadah di gereja mal.
Ada beberapa unsur dalam ibadah. Pertama, kesadaran akan Allah. 4
Pada
bagian ini orang yang datang beribadah diajak untuk menyadari tentang
kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan Allah. Kesadaran ini memampukan
manusia untuk menghayati hakekat Tuhan yang dipercayainya dalam pergumulan
hidupnya sehari-hari. Tuhan menjadi kekuatan yang memampukannya menjalani
berbagai realitas sosial yang dihadapinya.
Kedua, kesadaran diri, di mana manusia yang tadinya mengagungkan
Tuhan dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, balik
memandang dirinya yang serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa. Cara
pandang ini membuat manusia menaruh kepercayaannya pada Tuhan yang lebih
3 Pendeta, penatua dan diaken merupakan jabatan gerejawi, di mana ketiganya saling
bekerjasama untuk mengatur dan mengurus kegiatan-kegiatan gereja, salah satunya adalah
menyiapkan ibadah. 4 Beberapa istilah teknis untuk mengungkapkan hal ini adalah votum, salam, introitus.
Tahbisan atau Votum, yaitu ucapan, “Dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”. Artinya,
dengan demikian dinyatakan bahwa kebaktian kita tidaklah sama saja dengan suatu persidangan
yang biasa. Gereja adalah himpunan orang-orang yang dipanggil, sehingga mereka datang bukan
atas kehendaknya sendiri, melainkan oleh karena mereka dipanggil oleh Tuhan. Kita berkumpul
sebagai jemaat Kristus, kesatuan kita ada di dalam Kristus. Itulah sebabnya gereja berkumpul
dalam nama Tuhan, sehingga kita yakin bahwa Kristus berada di tengah-tengah warga jemaat.
Salam, pada masa dahulu salam-menyalam berarti saling memohonkan berkat. Oleh karena warga
jemaat bersama-sama berkumpul di dalam nama Tuhan, lalu mereka saling salam-menyalami.
Biasanya pemimpin kebaktian menyampaikan, “Sejahteralah kamu”, dan dijawab, “Dengan roh-
mu pun”. Introitus, yaitu ayat pembimbing, yang dipilih dari Alkitab berhubung dengan waktu
tahun gereja. Maksudnya supaya mulai dari awal, pikiran kita telah diarahkan kepada pokok-pusat
yang khusus pada kebaktian itu. Kutipan dari B. J. Boland, Percakapan tentang Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1951), h. 138-141.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berkuasa dalam hidupnya. Ketiga, pengakuan dosa. Umat yang menyadari
kekuatan Tuhan dan kekuatan dirinya, menyadari bahwa sebagai makhluk yang
bertaqwa, kerapkali ia tidak taat dalam aturan Tuhannya. Oleh karena itu umat
melihat dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari
Tuhan semata. Keempat, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya
adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang
mengaku dosanya.
Orang yang telah berekonsiliasi dengan Sang Kudus yang disembahnya itu
akhirnya menjadi pribadi yang siap menerima pelayanan firman atau khotbah.
Itulah unsur kelima. Umat diberikan petunjuk hidup baru melalui firman Tuhan
yang dikhotbahkan oleh pendeta. Setelah itu, individu tadi memiliki komitmen
(respon) terhadap firman Tuhan, dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya.
Ini adalah unsur keenam. Umat yang telah semakin mantap dan dibaharui
imannya ini akhirnya diberikan suatu tugas pengutusan. Umat diutus keluar
sebagai manusia yang terus bergumul dalam kesehariannya dengan tetap
berpegang pada firman Tuhan. Dalam menjalankan serangkaian aktifitasnya umat
diberkati sebagai orang-orang yang mengandalkan hidupnya pada Tuhan yang
disembahnya dalam ibadah tadi. Dan ini adalah unsur yang terakhir.
Keseluruhan unsur inilah yang dikemas secara berbeda oleh gereja-gereja.
Ada yang mengemasnya dengan suasana tenang, syahdu, dan impresif. Akan
tetapi, ada pula yang mengemasnya dengan suasana meriah dan ekspresif.
Kemasan meriah dan ekspresif inilah yang ditampilkan dalam ibadah-ibadah di
gereja mal, sebagaimana nilai tanda mal yang merupakan tempat untuk menikmati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
kemeriahan dan kemewahan. Penulis memakai istilah gereja mal untuk
membedakannya dengan gereja arus utama. Gereja mal adalah suatu gereja yang
berada di mal dan memanfaatkan “barang-barang” mal untuk mengemas
ibadahnya dengan menarik dan menggairahkan.
Menurut pengamatan penulis, menggereja di gereja mal memang memiliki
sense yang berbeda tatkala saya menggereja di gereja saya sendiri, yang beraliran
arus utama5. Ada beberapa hal menarik di gereja mal, antara lain: orang datang
secara berombongan, muda-mudi, orangtua, sampai anak-anak yang hadir di sana
umumnya tidak datang sendirian, minimal mereka datang berdua. Pilihan waktu
ibadah juga beragam, mulai dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Biasanya
dibagi menjadi empat atau lima kali jam ibadah. Jumlah yang datang ibadah ke
gereja mal tidak kecil, pastinya lebih dari ratusan orang. Pola ibadah yang
dihadirkan juga sangat wah dan glamour dibantu oleh musik dengan full band dan
keterlibatan anak-anak muda yang energik dan piawai bermain musik.
Ada yang mengatakan bahwa model ibadahnya lebih nge-roh, rame.6
Sekelompok pemusik, beberapa penyanyi (singer), dancer, serta seorang WL
(Worship Leader)7 menambah meriahnya ibadah di sana. Kelompok musik ini
sangat pandai mengatur suasana. Seorang Worship Leader dengan cakap
menyemarakkan dan meneduhkan suasana. Ia tahu betul di mana moment orang
harus menari, melompat, dan bertepuk saat bernyanyi, serta di mana moment
5 Beberapa contoh gereja arus utama adalah GKJ, HKBP, GBKP, GKI, GPIB, GKPS.
Gereja-gereja ini umumnya tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). 6 Pengakuan IS, seorang Worship Leader (WL) di gereja mal,wawancara tanggal 25 Mei
2009 di Yogyakarta. 7 Worship Leader (WL) adalah seorang pemandu ibadah, biasanya menyapa umat pada
bagian awal dan mengajak umat menyanyikan lagu-lagu pujian dalam ibadah. Seorang WL
biasanya juga dibantu oleh beberapa orang penyanyi (singer) dan penari (dancer).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
orang harus khusyuk, merenung, bahkan setengah menangis saat bernyanyi.
Kesemarakan ini semakin bertambah dengan tarian beberapa nona-nona manis
yang memakai gaun panjang dengan memegang tamborin di tangannya dan
menghentakkannya ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang. Suara
gemerincing tamborin menambah manisnya suasana ibadah di sana. Singkatnya,
“ibadah di sana lebih hidup, gak bikin ngantuk”.8
Tempat duduk umat juga fleksibel, tidak ada aturan sebelah kiri tempat
duduk khusus laki-laki dan sebelah kanan khusus tempat duduk perempuan (jika
membandingkannya dengan posisi duduk di gereja suku tertentu). Ruangan ber-
AC dan modern menambah kesan mewah dalam ibadah di gereja mal. Mereka
yang datang berpakaian lebih santai, sebenarnya lebih mirip pakaian untuk jalan-
jalan daripada pakaian ke gereja. Balutan kaos dan celana jeans, stelan blouse dan
celana legging, menambah kesan simple, trendy dan modis.
Mal punya daya tarik sendiri karena segala kebutuhan nyaris ada di sana.
Mulai dari bumbu dapur sampai barang elektronik ada di sana. Oleh karena itu,
orang tidak perlu repot-repot lagi berbelanja di tempat lain. Kenyamanan belanja
semakin nikmat dengan suasana ruangan yang sejuk dan desain yang modern.
Kalau pun orang harus berdesak-desakan memilih barang yang sedang discount
besar-besaran, pengunjung tetap menikmati suasana belanja. Apalagi jika barang
yang ditawarkan edisi terbatas, maka berlomba cepat orang akan membeli barang
itu.
8 Pengakuan beberapa orang pemuda gereja arus utama yang sering beribadah di gereja
mal dalam obrolan santai dengan penulis di Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji hadirnya gereja dalam ruang
konsumsi. Gereja yang hadir di mal umumnya beraliran gereja kharismatik. Oleh
karena itu untuk membedakannya dengan gereja yang lain, penulis memakai
istilah gereja arus utama (mainstream) atau konvensional untuk merujuk pada
gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang umumnya tidak
berada di mal dan istilah gereja mal untuk merujuk pada gereja-gereja yang ada
di mal.
Dalam kajian budaya penelitian ini bisa masuk ke dalam ranah politik
identitas. Bagaimana identitas religius orang-orang yang beribadah di gereja mal?
Selain itu penulis menelusuri realitas sosial seperti apa yang terlahir dalam
fenomena gereja mal? Bisa dipastikan mereka yang beribadah di sana berasal dari
kelompok sosial tertentu, yaitu kelas menengah atas yang memiliki pergumulan
hidup sekitar dunia kerja dan bisnisnya. Cara berpakaiannya, sarana transportasi
yang digunakannya, golongan usianya menjadi penanda (signifier) identitasnya.
Faktor-faktor apa saja yang mendukungnya hadir? Di manakah letak hubungan
antara gereja dan mal? Seberapa besar pengaruh ruang konsumsi terhadap
motivasi beribadah dan sekuat apa pula bentuk ibadah di gereja mal memberi daya
tarik pada orang yang datang? Penulis ingin menelusuri desire apa yang dijawab
lewat kehadiran gereja mal? Apakah pola ibadah dan pola konsumsi memiliki
kemiripan? Persoalan seperti inilah yang hendak penulis kaji dalam tesis ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembentukan gereja di mal?
2. Sejauh mana model menggereja di mal menyerupai model
mengonsumsi?
3. Realitas sosial seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja
di mal?
Pertanyaan pertama ingin menggali muncul dan berkembangnya kehadiran
gereja-gereja di mal di Indonesia. Dari penelusuran yang mendalam tentang latar
belakang gereja di mal kita bisa tahu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
gereja hadir di mal. Sejauh mana alasan birokrasi administrasi mempengaruhinya,
sejauh mana pula modernisasi menjadi aspek yang penting dalam kemunculan
gereja di mal, serta sebesar apa desire umat yang mau dijawab lewat kehadiran
gereja di mal.
Rumusan masalah kedua menganalisis bagaimana pola-pola ibadah dan
pola-pola konsumsi memiliki kemiripan satu sama lain. Bagaimana hasrat belanja
yang tak pernah terpuaskan memiliki kemiripan dengan kerinduan orang untuk
mencari dan bertemu dengan Yang Kudus. Ibadah yang didominasi dengan
fasilitas modern, isi khotbah tentang kesuksesan dan kemakmuran, serta
kesaksian orang-orang yang telah menerima “dasyatnya” khotbah itu dalam
hidupnya. Penulis ingin menggali bagaimana hasrat berkonsumsi orang-orang
dalam pesona belanja yang menggairahkan di mal. Dari sana, penulis mencoba
menemukan sosialitas yang terbentuk di gereja mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Sementara itu, rumusan masalah yang terakhir ingin mengamati realitas
sosial seperti apa yang muncul pada orang-orang yang menggereja di gereja mal.
Apakah interaksi antar umat mewujudkan suatu bentuk persekutuan yang kuat dan
mendalam di gereja ini? Adakah persekutuan di sana mencerminkan keakraban
dan kehangatan antar umat? Atau umat hanya peduli pada kepuasan pribadi dalam
ibadah saja.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Dengan menelusuri pembentukan gereja di mal melalui literatur atau
wawancara, maka penulis bisa mengetahui dengan lebih jelas apa situasi
sosial, ekonomi, dan budaya di balik terbentuknya gereja di mal. Data
historis ini memberi manfaat bagi gereja-gereja untuk melihat wacana
kehadiran gereja yang semakin banyak mengambil ruang publik sebagai
tempat utama ibadahnya.
2. Dengan menganalisis pola ibadah dan pola konsumsi dalam praktik
menggereja di mal, penulis berusaha menemukan budaya yang
berkembang dalam masyarakat konsumsi saat ini. Bagaimana hubungan
gereja dan budaya konsumsi yang semakin tidak bisa dihindarkan dalam
kenyataan hidup manusia saat ini. Lalu, sensasi ibadah dan belanja seperti
apa yang dirasakan manakala aktivitas hidup manusia bisa dilakukan
dengan one-stop service.
3. Mendeskripsikan pengalaman orang beribadah di gereja mal. Kajian ini
akan mewarnai wacana konsumsi yang selama ini dipahami sebagai gaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
hidup modern dan kapitalistis, dengan mengetengahkan persoalan
konsumsi spiritual yang terjadi di gereja mal. Dalam wilayah teologi,
kajian ini ingin memperlihatkan wilayah-wilayah psiko-spiritual manusia
dalam memaknai ruang menggereja. Untuk studi agama kajian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap hubungan
gereja dan konsumsi. Tidak hanya alergi atau gelisah dengan hadirnya mal
sebagai “produk dunia” yang berdosa, namun melihatnya dengan lebih
jujur dalam memproduksi budaya warga jemaatnya.
4. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang gereja di mal sejauh ini cenderung terfokus pada masalah
teologi praktis. Gereja-gereja yang ada di mal umumnya berasal dari aliran neo-
pentakostal atau kharismatik. Oleh karena itu para peneliti menempatkan gereja
mal dalam payung besar konsep gereja kharismatik, yang memiliki perbedaan
yang sangat mencolok dengan gereja arus utama dalam cara beribadah, bernyanyi,
berdoa, pakaian dan isi khotbah pendeta, sakramen perjamuan kudus, dan
fasilitas-fasilitas modern yang mendukung ibadah. Melihat perbedaan yang
mencolok inilah, beberapa peneliti umumnya terfokus pada kajian mendalam
tentang konsep ibadah gereja kharismatik dan konsep ibadah gereja konvensional,
lalu menawarkan dialog di antara keduanya (Lihat Wilfred J. Samuel, 2007;
Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, 2007). Dalam hal ini, Samuel
menangkap “kebingungan” warga jemaat yang bertanya, “Dalam ibadah,
haruskah kita bertepuk tangan atau duduk tenang? Haruskah kita mengangkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
tangan ke atas atau mengatupkan tangan di depan dada ketika mendengar firman
Tuhan?”9 Pertanyaan-pertanyaan “klasik” seperti ini sering dihadapi oleh warga
jemaat ketika berhadapan dengan teologi, pengalaman, dan kebiasaan yang
berbeda di gereja arus utama. Ia menganalisis, mengapresiasi, membandingkan,
sekaligus mengkritik kedua tradisi gereja, baik tradisi gereja kharismatik maupun
tradisi gereja konvensional. Akhirnya ia memberi arah baru bagi interaksi positif
antara kelompok Kristen tradisional dan kelompok Kristen kharismatik.10
Kehadiran gereja-gereja kharismatik ini juga menimbulkan reaksi antipati
dari kalangan gereja-gereja arus utama. Pendeta-pendeta gereja arus utama [ada
yang] menaruh curiga terhadap perkembangan gereja kharismatik. Hal inilah yang
diamati oleh van Kooij dan Tsalatsa.11
Dalam penelitian kedua orang ini mereka
menemukan bahwa terdapat warga jemaat gereja arus utama yang menjadi warga
jemaat “simpatisan” di gereja kharismatik. Menurut pengakuan para simpatisan
ini kebutuhan batin mereka lebih terjawab dalam ibadah di gereja kharismatik.
Ibadah yang ekspresif di gereja kharismatik tampaknya menjawab “kehausan
spiritual” warga jemaat. Oleh karena itu mereka mengusulkan supaya ada dialog
9Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca-
Kharismatik,( terj.Liem Siem Kie ) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007). 10
Awalnya disebut sebagai Gerakan Kharismatik atau Gerakan Pentakosta Baru.
Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang mempunyai ciri: tidak
begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan persekutuan yang
diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan membentuk jaringan
dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama “injili”, tidak
menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan sebagai
konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan menggugah emosi
(Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah
Ekklesiologi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 11
Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, Bermain dengan Api (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
antara pendeta-pendeta gereja kharismatik dengan pendeta-pendeta gereja arus
utama.
Penelitian yang mulai menelisik relasi ekonomi dan agama, antara lain
dengan melihat kekuatan pasar dan media yang mewarnai gaya hidup posmodern
(Lihat Vincent J. Miller, 2003: Pradip Thomas, 2009; Steinar Kvale, 2003; Eka
Darmaputera, 1998.). Miller dalam penelitiannya berfokus pada sebuah topik
bagaimana kebiasaan konsumsi mengubah hubungan kita dengan kepercayaan
religius yang kita anut. Analisis tentang pembawa kebiasaan-kebiasaan ini ke
dalam praktik religius membutuhkan sebuah pertimbangan yang lebih jauh
tentang asal-usul dan ciri-ciri masyarakat konsumsi-tinggi. Analisis landasan dari
penelitiannya adalah soal komodifikasi, sebuah cerita tentang kemerosotan dan
kehilangan. Ketika kita menganggap tradisi-tradisi kultural dan religius sebagai
komodifikasi, tradisi-tradisi tersebut kehilangan kuasa untuk mempengaruhi
praktik hidup yang konkrit. Cerita tentang cara-cara dalam mana kepercayaan,
narasi, simbol, dan praktik religius ini dilucuti dalam budaya kapitalisme maju
tidak serta-merta mempradugakan bahwa ada sebuah masa ketika unsur-unsur
tradisi religius ini secara langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari.12
Thomas mengetengahkan hubungan antara pasar, komoditi, dan agama
dalam budaya pop dengan politik ekonomi. Dalam hal ini ia menyoroti bagaimana
gereja-gereja dari kelompok Pentakostal dan Neo-Pentakostal menggunakan
produk multi media dalam penginjilannya.13
Kvale melihat aspek psikologis yang
12
Vincent J. Miller,Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a
Consumer Culture (New York ∙ London: Continuum, 2003.). 13
Pradip Thomas, “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual Markets
and the Media” (Global Media and Communication 2009; 5; 57, SAGE publication) “To celebrate
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
berperan dalam pembentukan pola-pola hidup manusia di tiga wilayah, yaitu
gereja, industri (pabrik), dan pasar. Ia melihat bagaimana agama, konsumsi, dan
industri saling kena-mengena dalam psikologis manusia.14
Darmaputera dalam
judul tulisannya Altar dan Pasar melihat bahwa dalam memasuki millenium
ketiga, ekonomi dan agama hadir sebagai dua kekuatan yang paling menentukan
pola pikir, pola sikap, dan pola tindak umat manusia, baik individual maupun
relasional. Ia menyimpulkan tiga hal tentang relasi antara ekonomi dan agama
yaitu isolasi, kolusi, dan saling menantang. Ia tidak memberi kesimpulan
bagaimana keduanya bisa berelasi. Ia justru menyisakan pertanyaan bagaimana
menghubungkan dengan benar, secara dinamis dan dialektis, antara pasar dan
altar. 15
Dari pemetaan tinjauan kepustakaan di atas, penulis belum melihat kajian
yang spesifik tentang kehadiran gereja mal di Indonesia dan bagaimana kekuatan
konsumsi masuk ke dalam pemaknaan aktifitas agama manusia zaman modern
saat ini. Kajian yang ada selama ini masih bergerak pada masalah teologi dan
ekspresi iman manusia yang bergumul dengan sejuta persoalan hidupnya yang
terjawab lewat “sentuhan” dekorasi ritual ibadah dan fisik bangunannya. Dalam
penelitian ini penulis ingin mencari tahu apa duduk perkara maraknya
kemunculan gereja di ruang konsumsi.
„religious‟ signifying processes and the „rumours of God‟ in „irreligious‟ spaces at the expense of
understanding the relationship between politics, economics, power and religion in the 21st
century, an era imprinted by close correspondences between fundamentalist religion, economics
and politics, remains a significant oversight in contemporary studies of religion and/as media”. 14
Steinar Kvale, “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in a
Postmodern Age” (Theory Psychology 2003; 13; 579, SAGE publication). 15
Eka Darmaputera,”Altar dan Pasar: Sebuah Telaah Reflektif Mengenai Relasi Agama
dan Ekonomi” dalam Gereja dan Kontekstualisasi, Sularso Sopater, et all (ed), (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
5. Kerangka Teori
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang sudah diuraikan di atas,
penelitian ini menggunakan kerangka konseptual yang dipinjam dari
Interaksionisme Simbolik karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi
dari Jean Baudrillard. Interaksionisme Simbolik diharapkan bisa membantu untuk
melihat jenis interaksi yang ada di gereja mal. Sementara itu Sosiologi Konsumsi
Baudrillard diharapkan bisa membantu melihat pengalaman orang yang
menggereja di dalam masyarakat konsumsi. Dua teori ini memiliki hubungan satu
dengan yang lain dan berfaedah untuk membantu penulis mencermati penelitian
ini.
Kedua teori ini dipilih karena tema ini didekati dari perspektif sosiologis
yang menempatkan individu dalam pembentukan struktur sosial. Peran individu
merupakan bagian penting dalam penelitian ini. Dengan sengaja saya juga tidak
memakai teori tentang agama, meskipun tema tesis ini tentang gereja. Saya
berusaha bersikap netral agar tidak terjebak pada penilaian hitam putih atas
fenomena gereja di mal.
Interaksionisme Simbolik adalah suatu teori yang diterapkan dalam
sosiologi. Teori ini mau menjawab bagaimana masyarakat itu terbentuk dan ingin
mengatasi pandangan lain yang cenderung menganggap individu semata-mata
hanya dibentuk oleh struktur sosial saja. Interaksionisme Simbolik mau memberi
tempat pada individu. Ada beberapa konsep penting dalam teori Mead ini antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
lain tentang : perbuatan, gestur, sombol-simbol signifikan, pikiran, konsep diri
dan masyarakat.16
Dalam teori interaksi simbol, kenyataan sosial muncul melalui proses
interaksi. Teori ini berhubungan dengan media simbol di mana interaksi terjadi.
Dalam karya Mead, khususnya, teori ini meliputi analisa mengenai kemampuan
manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Interaksionisme
simbol memusatkan perhatiannya terutama pada tingkat interaksi antar pribadi
secara mikro.17
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di
belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek
yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain.18
Interaksionisme Simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada
pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri
dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-
perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari
individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga
16
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (terj.Nurhadi) (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, cet. Ke-5, 2010), h. 380-391. 17
Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
4.
18 Cuplikan dari buku Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi
Modern (Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2001).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah
sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah,
yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk
sepenuhnya.19
Mead melihat realitas sosial yang terjadi di masyarakat lewat bahasa
simbol yang ditafsirkan. Bagi Mead, realitas sosial muncul karena interaksi lewat
simbol antar anggota masyarakat. Beberapa perhatian utama dalam teori interaksi
simbol adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan
yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman kelompok
kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran individu dan pola-pola
interaksi dalam skala kecil.20
Apabila seseorang bertatap muka atau berbicara
dengan orang lain dalam suatu kelompok, orang lain bisa menafsirkan arti tatapan
dan bicara saya. Begitu juga sebaliknya sesuai dengan norma-norma bersama
yang berlaku dalam kelompok itu. Dalam dunia anak-anak, hal ini sangat kentara.
Anak-anak dalam permainannya bisa saling mengerti dan memahami arti-arti
simbol yang mereka mainkan, misalnya sisi-sisi tersembunyi di ruang tamu
ditafsirkan sebagai gua persembunyian.
Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling
sederhana dan yang paling pokok dalam komunikasi, tetapi manusia tidak terbatas
pada komunikasi ini. Manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam
perilakunya dari sudut pandangan orang lain. Sebagai akibatnya mereka dapat
mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe
19
Ibid. 20
Jhonson, Op.cit., h. 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
respons tertentu dari orang lain.21
Sebuah isyarat yang menghasilkan respons yang
sama pada orang yang sedang melakukannya seperti terjadi pada orang ke mana
isyarat itu diarahkan merupakan sebuah isyarat yang berarti. Respons yang sama
ini merupakan arti isyarat, dan munculnya arti-arti bersama ini memungkinkan
komunikasi simbol (symbolic communication). Karakteristik khusus dari
komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyarat-syarat
fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang
mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar. Dalam ibadah di gereja mal
faktor isyarat dan suara menjadi simbol yang sangat menentukan tipe interaksi
yang terjadi di antara umat. Bagi Mead, dunia di mana manusia hidup bukanlah
sekedar dunia fisik saja: dunia itu juga merupakan suatu dunia simbol yang
dikonstruksikan. Komunikasi simbol memampukan manusia memahami suatu
maksud dengan cara-cara yang lebih mendalam, menyadari respons orang lain
terhadap suatu rangsangan.
Menurut Mead, pikiran atau kesadaran muncul dari proses penggunaan
simbol secara tak kelihatan (covert), khususnya simbol-simbol bahasa. Dengan
kata lain pikiran adalah proses penggunaan simbol internal atau yang bersifat
tidak kelihatan. Reaksi seseorang terhadap suatu rangsangan lingkungan akan
berbeda-beda tergantung pada kebutuhan tertentu atau dorongan yang penting
pada waktu itu serta hakikat kegiatan yang sedang berlangsung di mana individu
terlibat.22
Ketika kita berpikir sesungguhnya kita sedang mencari jalan keluar atas
hambatan-hambatan yang terjadi di dalam hidup kita dan memperhitungkan
21
Ibid., h. 11. 22
Ibid., h. 15-16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
respons-respons orang lain dalam cara berpikir yang sedang kita laksanakan.
Seorang pemimpin ibadah (pendeta atau Worship Leader) dalam proses
berpikirnya mempertimbangkan pula bagaimana umat merespons cara bicaranya,
isi khotbahnya dalam usaha merumuskan jalan keluar dari persoalan hidup yang
dihadapi umat secara keseluruhan.
Mead mengemukakan bahwa konsep diri terdiri dari kesadaran individu
mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang
sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Kesadaran
diri ini merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan di mana
individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari
titik pandangan orang lain dengan siapa individu itu berhubungan. Ia
mencontohkan tindakan seorang sersan dalam tugas militer mungkin tidak senang
hanya supaya perintah-perintahnya ditaati, sebaliknya nada dan gema suaranya
dan sikap umumnya akan dibuat sedemikian rupa untuk meyakinkan bahwa
mereka yang ada di bawah dia tidak hanya taat, tetapi juga takut kepadanya dan
mengakuinya sebagai seorang sersan yang kuat.23
Hal yang kurang lebih sama
juga berlaku dalam tindakan-tindakan di gereja dalam suatu ibadah. Seorang
pendeta dalam khotbahnya “harus” bicara dengan suara yang keras dan
menggelegar, setidaknya mampu membuat seluruh umat diam mendengarkannya
dan “meng-amin-kan” suara Tuhan yang sedang berbicara lewat si pendeta
tersebut. Suara yang tenang umumnya membuat umat mengantuk dan malah
bercakap-cakap satu dengan yang lain.
23
Ibid., h. 17-18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Interaksionisme Simbolik dalam perkembangan selanjutnya dipakai dalam
cultural studies yang memusatkan perhatiannya pada tiga masalah yang terkait
satu sama lain : produksi makna kultural, analisis tekstual makna-makna dan studi
kebudayaan yang dijalani dan pengalaman yang dijalani.24
Kedudukan teori ini ingin menjawab konteks individu dalam pembentukan
interaksi sosial di gereja mal. Konsep ini mau dipakai untuk membantu menjawab
bagaimana gereja mal berkembang menjadi sebuah komunitas, semacam entitas
sosial gereja. Aspek pembentukan sosial menurut Mead ini mau dipakai untuk
menjawab aspek pembentukan entitas sosial di gereja. Iteraksi yang terjadi di
kalangan umat gereja mal dilihat berdasarkan beberapa karakteristik yang dipakai
Mead, sehingga kita bisa melihat bagaimana pembentukan komunitas sosial dalam
interaksi di gereja mal.
Kerangka konseptual yang kedua yang dipakai adalah Sosiologi Konsumsi
Baudrillard. Teori ini mau dipakai untuk membantu mengenali jenis komunitas
gereja yang baru saja terbentuk dalam konteks masyarakat konsumsi. Baudrillard
menunjukkan bahwa dalam masyarakat konsumsi, interaksi individu dengan
individu lainnya sangat ditentukan oleh apa yang dipakai, yang dikonsumsi.
Artinya, barang-barang yang dipakai sama dengan bahasa individu. Mengonsumsi
sejajar dengan interaksi yang dimaksudkan oleh Mead. Pada dasarnya Sosiologi
Konsumsi Baudrillard mirip dengan Interaksionisme Simbolik Mead.
Konsumsi yang mempunyai nilai sosial ini mengasumsikan bahwa
pertama-tama barang-barang yang dikonsumsi bukan berdasarkan nilai gunanya,
24
Norman K. Denzin, Simbolic Interactionism And Cultural Studies: The Politics of
Interpretation (Oxford UK dan Cambridge: Blackwell, 2003), h. 34.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
melainkan nilai tandanya atau nilai simboliknya, menurut Mead. Yang agak
berbeda dari Baudrillard dibandingkan Mead adalah dalam konsumsi zaman
sekarang (kapitalisme), orang tidak akan pernah mendapatkan kepuasan.
Teori Baudrillard penting untuk menjelaskan masyarakat konsumsi di
gereja mal. Klaim sentral Baudrillard adalah bahwa objek-objek menjadi tanda
(sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Objek, dalam masalah
objek konsumsi adalah bagian dari sistem tanda. Ketika kita mengonsumsi objek,
maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan
diri. Melalui objek setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat
masing-masing pada sebuah tatanan. Masyarakat merupakan apa yang mereka
konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi.
Apa yang kita konsumsi bukan banyakya objek, tapi tanda. Konsumsi merupakan
sebuah sistem aksi dari manipulasi tanda, supaya menjadi objek konsumsi, objek
harus menjadi tanda. Mengonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara
tidak sadar), bahwa kita sama dengan orang yang mengonsumsi objek tersebut
dan kita berbeda dari siapa yang mengonsumsi objek lain. 25
Kerangka konseptual
ini dipakai untuk melihat tanda-tanda apa yang dihadirkan lewat pola beribadah
dan berkonsumsi di mal.
Dalam masyarakat konsumsi yang dikontrol oleh kode, hubungan manusia
ditransformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama konsumsi objek.
Objek-objek tersebut tidak lagi memiliki makna karena kegunaan atau
keperluannya. Agaknya makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan
25 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h. 137-
138. (bdk. Baudrillard, Mayarakat Konsumsi, terj.Wahyunto, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
hubungannya dengan, dan atau objek lain. Apa yang kita perlukan dalam
kapitalisme bukanlah objek tertentu, tetapi kita lebih berusaha berbeda, dan
melalui perbedaan itu kita memiliki status sosial dan makna sosial.26
Baudrillard menegaskan bahwa orang bisa membeli banyak sekali barang
bukan karena nilai gunanya, melainkan karena nilai tandanya – yang bisa
dibandingkan dengan barang kepunyaan orang lain. Dalam hal ini terjadi fetisisme
tanda. Tanda yang ada pada barang tertentu akhirnya difetiskan oleh orang yang
mengonsumsinya. Kerangka konseptual inilah yang dipakai untuk melihat sensasi
ibadah di gereja mal yang banyak mengandung nilai tanda dalam kerinduan akan
Yang Ilahi.
Nilai tanda atau nilai simbolik diproduksi oleh pasar. Pasarlah yang
membuat tanda itu pada akhirnya difetiskan. Pasar memproduksi cara orang
berinteraksi dalam tanda. Barang memaksa orang untuk berinteraksi sesuai
dengan kemauan tanda dari barang itu. Pasar modern, dalam hal ini mal juga
merupakan tempat memproduksi tanda. Menurut Baudrillard, mal mengeliminasi
ruang pembatasan dengan menjual barang-barang dalam partai besar yang berasal
dari berbagai tempat di dunia. Ia mengikhtisarkan, “Di sinilah kita berada dalam
jantung konsumsi sebagai organisasi total dari kehidupan sehari-hari, sebagai
homogenisasi yang sempurna … shopping yang terus menerus … pusat shopping
yang hebat, tempat ibadah baru kita, neraka kita, terus menyampaikan semuanya
pada tuhan-tuhan, atau iblis-iblis konsumsi.”27
26
Ibid., h. 139-140. 27
Ibid., h. 143.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Teori konsumsi dari Baudrillard ini mau dipakai untuk melihat hasrat
konsumsi dan hasrat ibadah. Agaknya pengalaman tak terpuaskan ini mirip
dengan kerinduan orang yang tak pernah terpuaskan untuk menemukan Yang
Ilahi. Dalam situasi seperti ini agaknya bukan hanya beribadat yang mengambil
model konsumsi, melainkan konsumsi pun mengambil model orang ibadah.
Pencarian orang akan barang-barang konsumsi itu mirip dengan orang yang
mencari Tuhan. Sebaliknya orang yang mencari Tuhan ada kemiripannya dengan
mencari barang konsumsi. Kedudukan teori ini dipakai untuk melihat lingkungan
masyarakat konsumsi dalam gereja di mal.
6. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif interpretatif dan
observasi partisipatoris. Subjek penelitian penulis adalah komunitas gereja mal.
Penulis memilih tiga buah gereja, dua di Jakarta dan satu di Yogyakarta. Dua
gereja mal yang di Jakarta adalah gereja yang berada pada mal yang sama.
Namun, kedua gereja tersebut memiliki perbedaan yang mencolok, misalnya
jumlah umat yang hadir dan sosialitas yang terbentuk. Sementara itu, gereja mal
yang berada di Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri, yaitu berada di mal yang
relatif tidak terlalu menarik perhatian, namun gereja di sana tetap mampu
memikat umat.
Periode waktu penelitian sejak Mei 2009 - Februari 2010. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara menemui tokoh-tokoh utama yang
berperan besar dalam ibadah di gereja mal (misalnya, pendeta, Worship Leader,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
pemusik). Penulis mengikuti prosesi ibadat di lokasi penelitian. Dalam hal ini,
data berupa dokumen yang berisi sejarah lahirnya gereja di mal atau pengalaman
informan selama terlibat aktif di gereja mal. Informan lainnya yang penulis
wawancarai adalah pihak pengelola mal. Mengapa gereja diperbolehkan menyewa
ruangan di mal? Apakah gereja dan usaha-usaha lainnya, seperti toko pakaian,
counter handphone, supermarket, memiliki kategori yang sama bagi pihak
pengelola mal, yaitu sebagai “penghidup” suasana mal?
Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan umat yang
mengikuti ibadah di gereja mal. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pengalaman mereka beribadah di sana (apa daya tarik ibadah di gereja
mal jika dilihat dari musik, pelayan ibadah, fasilitas ibadah, dan lain-lain). Lalu
bagaimana pula umat mengekspresikan hasrat belanja di mal pasca ibadah.
Sumber data penelitian ini adalah wawancara dan rekaman prosesi ibadah yang
penulis ikuti dalam beberapa kali kebaktian Minggu di gereja mal. Berikut ini
adalah bagan pengolahan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Bagan pengolahan data
Keterangan bagan:
Objek penelitian penulis adalah gereja mal. Data-data yang dikumpulkan tentang
latar belakang kemunculan gereja tersebut (wawancara dan literatur), pengalaman
mengikuti prosesi ibadah dan sensasi belanja (wawancara dan pengamatan
langsung). Data ini dianalisis dengan bantuan dua kerangka konseptual, yaitu dari
George Herbert Mead dan Jean Baudrillard. Kerangka konseptual Mead tentang
interaksionisme simbolik membantu untuk melihat bahasa simbolik baru yang
muncul dalam interaksi umat di gereja mal. Kerangka konseptual kedua adalah
sosiologi konsumsi dari Jean Baudrillard. Teori ini membantu untuk melihat
Data : 1. Hasil Wawancara: munculnya gereja di mal, pengalaman orang beribadah di gereja mal. 2. Prosesi ibadah 3. Sensasi belanja
Sosiologi konsumsi
dari Jean Baudrillard:
nilai tanda, hasrat
konsumsi.
Analisis
Interaksionisme Simbolik dari Mead: konsep diri, isyarat tubuh, suara.
Hasil penelitian: 1. Munculnya gereja mal 2. Pola ibadah dan pola konsumsi 3. Masyarakat konsumsi dalam komunitas umat di gereja mal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
hasrat konsumsi dalam nilai tanda dan hasrat bertemu Yang Ilahi. Lalu penulis
menunjukkan beberapa temuan dari hasil analisis atas fenomena bergabungnya
gereja dan pasar yang menciptakan msyarakat konsumsi dalam komunitas gereja
mal.
7. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Pada bagian ini penulis memaparkan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab I merupakan gambaran
mengapa topik ini penting untuk dibahas. Di sini penulis memperlihatkan
bagaimanakah konsep ibadah yang dilakukan oleh gereja pada umumnya, dalam
hal ini gereja konvensional atau arus utama. Dengan memaparkan beberapa unsur
ibadah dan paham tentang ibadah, penulis membandingkannya dengan pola
ibadah di gereja mal. Lalu, topik ini dipertajam dengan beberapa rumusan
masalah yang dianalisis melalui beberapa kerangka teori yang paling signifikan.
Dari sana diharapkan kajian ini memberikan sumbangsih yang positif dalam
perkembangan kajian budaya dan agama-agama.
Bab II: Gereja dalam Pusaran Masyarakat Konsumsi di Indonesia
Pada bagian ini dipaparkan sejarah lahirnya konsumerisme, khususnya di
Indonesia. Sejak kapan orang menangkap gejala konsumerisme di Indonesia serta
apa reaksi orang banyak soal fenomena ini. Penelusuran sejarah ini
memperlihatkan pergeseran paradigma orang tentang arti konsumsi di pasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dengan corak penggabungan gereja dan pasar yang semakin marak belakangan ini.
Di bagian ini penulis membahas bagaimana pola gereja mal mengkombinasikan
dirinya dengan mal yang sarat dengan aktivitas belanja.
Bab III: Ibadah dan Konsumsi: Pengalaman Iman dan Belanja yang
Menggairahkan
Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsumerisme itu senyatanya tak
pernah mati, namun terus hadir dalam bentuk pasar yang lebih modern, misalnya
di mal. Bagian awal bab ini menguraikan latar belakang munculnya gereja di mal.
Penulis memaparkan situasi-situasi sosial seperti apakah yang menyebabkan
adanya peluang membuka gereja di mal. Bagian selanjutnya penulis menguraikan
tentang ekstatik ibadah dan ekstatik belanja di mal. Bagaimana pengalaman
psiko-spiritual yang terjadi dalam peribadatan dan perbelanjaan di mal.
Bab IV: Realitas Sosial Orang-orang yang Menggereja di Gereja Mal.
Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu: menarasikan secara analitik dan
menafsirkan secara mendalam realitas sosial yang tercipta di gereja mal. Lalu,
bagaimana orang-orang yang menggereja di mal mengidentifikasikan dirinya
dengan pola konsumsi di mal itu sendiri? Bagian ini terdiri dari dua bagian besar,
yaitu temuan penulis tentang simbol-simbol baru dalam pola ibadah di gereja mal
dan tafsiran penulis tentang simbol-simbol yang terbentuk sehingga menciptakan
makna tersendiri bagi komunitas umat yang menggereja di mal. Realitas sosial
semacam apa yang terbentuk dari fenomena gereja di mal dalam budaya
masyarakat konsumsi saat ini?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Bab V : Penutup
Bagian ini berisi kesimpulan, mulai dari awal perhatian penelitian ini, data
yang diperoleh di lapangan dan literatur, serta hasil analisis tentang fenomena
menggereja dalam masyarakat konsumsi. Di bab ini penulis memberikan beberapa
penilaian terhadap berduetnya pesona mal dan sakralnya ibadah di gereja. Dalam
bab ini penulis merekomendasikan beberapa kemungkinan bagi peneliti lain, baik
itu dari kalangan teologi maupun sosiologi untuk meneruskan penelitian dengan
tema-tema sekitar agama dan budaya konsumsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab II
GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI
DI INDONESIA
Setiap umat beragama menyakini bahwa rumah ibadah merupakan suatu
tempat yang sakral. Keyakinan ini timbul karena aktivitas yang berlangsung di
dalamnya sarat dengan hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati yang
diyakininya menguasai eksistensi hidupnya di dunia. Begitu pula halnya dengan
gereja. Orang pergi ke gereja dengan sadar mengekspresikan kesakralan lewat
penampakan luar (fisik) maupun dalam (hati). Misalnya: penampilan fisik bisa
terlihat dari cara berpakaian yang sopan dan rapi (tidak seronok) dan barang-
barang yang dibawa (Alkitab, buku nyanyian rohani, atau buku catatan kecil).
Ekspresi penampilan hati (meskipun hal ini tidak terlalu terukur), misalnya,
seseorang datang ke gereja dengan sukacita dan perdamaian, karena ia akan siap
“bertemu” dengan Tuhan dan menerima pemberitaan firman juga bertemu dengan
sesamanya manusia. Intinya, aktivitas menggereja dipisahkan pemaknaannya
dengan aktivitas di tempat lain, khususnya pasar.
Ketika kita mendatangi suatu tempat yang bernama pasar, kesan pertama
yang muncul di pikiran kita adalah proses jual-beli. Proses ini pasti jauh dari
kesan kudus dan rohani, karena yang bermain adalah soal untung-rugi dan
pemuasan nafsu jasmani. Kehidupan di pasar memproduksi budaya konsumsi.
Orang-orang yang datang untuk berkonsumsi tentu saja harus memiliki modal
keuangan yang cukup guna memenuhi hasrat membeli di pasar. Jika tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mempunyai cukup uang, orang-orang itu cukup berpuas diri hanya dengan
melihat-lihat saja.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan wacana hubungan antara pasar
dan gereja. Bagaimanakah wajah gereja dan pasar yang membentuk pola
penghayatan iman manusia yang hidup dalam perkembangan zaman yang terus
berubah di balik kekuatan kapitalisme pasar.
1. Gereja dan Pasar
Secara singkat di bagian awal penulis telah menyingggung tentang
perbedaan prinsip antara gereja dan pasar. Gereja dan pasar adalah dua hal yang
saling berlawanan. Gereja adalah suatu lembaga yang sakral, sedangkan pasar
adalah hal yang profan. Karena ke-sakral-an gereja, kegiatan di dalamnya juga
sarat dengan kekudusan. Misalnya: kebaktian yang berlangsung umumnya tenang
dan teduh karena ini “rumah Tuhan”, kita harus datang dengan penuh rasa hormat.
Jika sebelum ibadah dimulai banyak orang bercakap-cakap, sehingga
menimbulkan suasana yang berisik, maka petugas ibadah biasanya mengingatkan
umat untuk menjaga ketenangan, “Ssstt, ini bukan pasar”. Contoh lain, ketika
menyusun program pelayanan gereja dan anggaran belanjanya, maka kerapkali
diingatkan bahwa ini adalah pelayanan, jadi jangan mencari keuntungan di
dalamnya. Ini uang Tuhan.
Sementara itu pandangan orang tentang pasar adalah suatu tempat di mana
interaksi transaksional terjadi, yang tidak mungkin tidak melibatkan keuntungan
material di sana. Di dalamnya sarat dengan suara “gaduh” orang yang beradu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
menawarkan barang dagangannya. Dengan lihai dan daya tarik persuasif penjual
membujuk pembeli supaya singgah di tokonya dan akhirnya membeli barang yang
dipamerkan tersebut. Akhirnya orang berbondong-bondong datang, berdesak-
desakan, rela antri berjam-jam demi mendapatkan barang yang sayang kalau
dilewatkan.
Pasar identik dengan dunia persaingan. Setiap orang berusaha sekuat
tenaga mencari keuntungan, daya juangnya keras, sehingga gaya hidup orang di
pasar juga bisa ditebak dari gaya bicaranya, misalnya dalam ungkapan “Huhh
pasaran sekali gaya bicaranya”. Artinya, kurang sopan dan bernada kasar. Daya
tarik pasar begitu kuat karena menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia
sehari-hari. Setiap orang bebas berkonsumsi asal memiliki modal yang kuat.
Apalagi sejak era konsumsi semakin berkembang, manusia dihadapkan pada
pilihan-pilihan hidup yang menggoda hasrat konsumsi manusia.
Bagian berikut kita akan melihat bagaimana dan kapan menguatnya
masyarakat konsumsi, khususnya di Indonesia. Apa yang digarisbawahi pada isu
ini ketika mulai muncul dan berkembang sedemikian jauh hingga saat ini, dan
akhirnya menjadi topik yang menarik untuk dibahas.
2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia
Pada masa pemerintahan Orde Baru ketika situasi perekonomian Indonesia
sulit, dikeluarkanlah Undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967
untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan ini menyebabkan datangnya ahli-ahli
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
periklanan dari luar negeri untuk memperkenalkan produknya.1 Tidak bisa
disangkal bahwa iklan akan memprovokasi orang untuk membeli dan tentu saja
akan memberi keuntungan pada pihak pemodal.
Tahun 1980-an isu tentang konsumerisme semakin merebak. Pada masa itu
konsumerisme merupakan istilah baru. Istilah ini pernah menjadi judul ceramah
tentang hak dan tanggung jawab konsumen tentang lingkungan hidup yang sehat
dan bersih (dalam tulisan Emil Salim tahun 1981). Namun istilah ini belum
termuat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta,
1986). Istilah ini baru masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdikbud, 1988:458) dengan pengertian: konsumerisme adalah gaya hidup
yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan
sebagainya; -- jangan sampai ditumbuhkan di dalam masyarakat.2 Definisi
dengan contoh yang moralistik ini mengingatkan kita akan pengertian populer
“konsumtif” dan “materialistik” yang diartikan sebagai gaya hidup boros dan
berlebihan. Dalam tulisannya ini, Hardjana mengutip beberapa berita dari koran:
Di balik semakin mantapnya keserasian masyarakat, masih ditemukan adanya
gejala negatif yang menghinggapi sebagian masyarakat kita – demikian siaran
pers Ketua DPA. Sifat yang jauh dari sifat dan semangat keadilan sosial yang
bernafaskan persamaan dan pemerataan sebagaimana tercantum dalam P4 itu,
antara lain sikap konsumerisme, eksklusifisme, egosentrisme, menipisnya
solidaritas sosial, serta melemahnya kepekaan dan kepedulian terhadap
kepentingan bersama seluruh bangsa. (Kompas 19 Maret 1991).
1 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Konsumerisme dalam Tinjauan Sejarah” dalam
MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 7. 2 Andre Hardjana, “Konsumerisme dalam Era Globalisasi” dalam BASIS, No
7/XLI/Juli/1992 (Yogyakarta: Yayasan B. P. BASIS, 1992), h. 243.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Selain itu, Soedharmono, Wakil Presiden, saat membuka kongres ISKI (Ikatan
Sarjana Komunikasi Indonesia) di Surabaya menugasi organisasi ahli-ahli tersebut
demikian:
Pelajari dampak teknologi dan komunikasi.... (karena sebagai akibat dari
perkembangan dan kemajuan di bidang tersebut) .... kita menyaksikan persaingan
yang makin ketat, pemasangan iklan yang semakin merangsang semangat
konsumerisme, pemuatan berita-berita yang melanggar nilai-nilai moral dan
kepribadian, dan sebagainya (Kompas 8 Maret 1991).
Dari kedua kutipan tersebut jelas terlihat bahwa “sikap konsumerisme” dan
“semangat konsumerisme” dinyatakan masuk ke dalam kategori “tidak sesuai
dengan P4 (Pancasila) dan bertentangan dengan nilai-nilai moral maupun
kepribadian bangsa.3 Dari sini kita dapat melihat betapa konsumerisme mendapat
penilaian yang sangat negatif dan masyarakat harus menjaga diri dari “virus”
ekonomi ini. Untuk menanggulangi masalah ini pemerintah pada masa itu,
khususnya Presiden Soeharto, menetapkan dua buah peraturan pemerintah yang
berkaitan denga pola hidup sederhana.4 Pola hidup konsumtif yang berakibat
pada semakin jelasnya jurang pemisah antara kaya dan miskin diatasi dengan
ajakan untuk menahan diri dan hidup sederhana.
Karena hal mengonsumsi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh iklan, pada
tahun 1981, tepatnya tanggal 1 April, pemerintah mengumumkan bahwa sejak
saat itu iklan-iklan di TVRI dihapuskan penyiarannya. Mendadak hubungan
antara konsumerisme dan iklan menjadi isu di masyarakat. Menurut Sardono W.
Kusumo dalam tulisannya “Gadis Disco dan Petani Tengger di Hari Keramat”
3 Ibid., h. 243-244.
4 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Menahan Laju Konsumerisme” dalam
MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dalam Kompas 3 Maret 1980 dalam observasinya mengungkapkan bahwa betapa
daya perusaknya suatu gaya hidup apabila segala sesuatunya telah dijadikan
sebagai barang dagangan: termasuk juga agama dan kebudayaan manusia. Banyak
hal dijadikan barang dagangan; upacara-upacara keagamaan, perkawinan,
pemakaman dan tari-tarian hanya dijadikan sekedar paket pariwisata. Gaya hidup
ini nyaris menjadi semacam mesin raksasa, dengan segala sarana komunikasi
massa yang perkasa mampu menyeret orang sedemikian rupa, sehingga orang itu
tak mampu lagi menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya sendiri. Gaya hidup
ini adalah konsumerisme, dan bentuk media komunikasi massa yang
digunakannya adalah iklan, baik iklan surat kabar, majalah, radio, maupun
televisi.5
Beberapa opini masyarakat tentang konsumerisme, salah satunya datang
dari Ny. Suwardi Salyo, SH, yang menyebutkan bahwa orang merasa terdorong
untuk mengikuti gaya hidup modern. Gaya hidup ini dijajakan sebagai semacam
commodity untuk dikonsumsi dengan segala periklanannya. Dalam iklan juga
dikatakan bahwa barang ini atau barang itu adalah “bagian dari gaya hidup Anda”
... setiap hari kita dihadapkan kepada segala macam penjajaan (display) barang-
barang konsumsi dan jasa-jasa yang menarik, dan semua itu “perlu untuk rasa diri
kita”, “harga diri kita”, dan “kebahagiaan kita”.6 Opini lain mengatakan bahwa
iklim umum di tanah air kita makin memperlihatkan sifat-sifat masyarakat
konsumsi. Lewat iklan-iklan di surat kabar, radio dan televisi kita digiurkan untuk
5 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Opini Masyarakat tentang Konsumerisme”
dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 10. 6 Ibid., h. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
membeli macam-macam barang mewah, untuk mengeruk kantong kita sendiri
sehingga barang-barang itu dapat kita peroleh.7 Opini lain yang lebih tajam
dikemukakan dari kalangan pesantren yang mengungkapkan bahwa
konsumerisme yang berarti semangat belanja yang berlebihan yang mengarah
pada pola hidup mewah, telah terjadi hampir di seluruh lapisan masyarakat.
Dengan kegemaran seperti itu berarti masyarakat tidak suka menabung atau
menyimpan investasi. Hal ini dapat berindikasi pada terhambatnya program
pembangunan di negara kita dan sangat tidak sesuai dengan pidato presiden
tentang hidup sederhana. Kebiasaan ini bisa sangat merugikan.8
Dari argumen-argumen yang dikemukakan oleh beberapa orang di atas,
menurut penulis pendangan orang tentang konsumerisme di Indonesia pada akhir
abad ke-20 sangat negatif. Konsumerisme adalah budaya yang harus diwaspadai
karena akan semakin membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain
dalam kelas sosialnya. Dalam kenyataannya toh konsumerisme tidak ada matinya.
Penulis setuju dengan pendapat Hardjana, bahwa sebagai anak kandung
industrialisme, konsumerisme tampil sebagai kekuatan global yang menjangkau
dan membangkitkan berbagai reaksi di dunia-dunia ketiga. Di negara-negara
dunia ketiga konsumerisme akhir-akhir ini berkembang bersamaan dengan
semakin derasnya arus globalisasi bisnis dalam konteks global village.9
Konsumerisme terus berkembang dengan semakin banyaknya pemilik
modal yang ingin “meng-anak-kan” keuntungannya dalam perguliran uang di
pasar. Masyarakat semakin “dibuai” dengan iklan yang nyatanya tidak pernah
7 Ibid.
8 Ibid., h. 12.
9 Hardjana, op. Cit., h. 242.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
terlalu jujur menceritakan produknya. Penulis setuju dengan pendapat Arif
Budiman bahwa konsumerisme semakin memperluas pasar. Orang menjadi
membeli barang-barang yang diproduksi. Oleh karena itu produsen berusaha
mendorong konsumerisme. Alat untuk melakukan proses ini adalah iklan. Iklan
merupakan sesuatu yang sangat hakiki bagi perkembangan kapitalisme.10
Iklan
dan pasar merupakan dua unsur yang sangat berpengaruh terhadap budaya
konsumsi masyarakat.
Dalam bagian selanjutnya kita akan melihat bagaimana gaya hidup
konsumtif (pasar) yang tadinya sangat dibedakan dalam gaya hidup ibadat, kini
tidak lagi ber-duel, namun ber-duet. Fenomena keagamaan yang banyak muncul
di mal atau hotel, misalnya: Kebaktian Minggu, Kebaktian Kebangkitan Rohani
(KKR)11
, buka puasa bareng, pengajian, dan lain sebagainya. Namun, dalam
penelitian ini penulis membatasi diri pada kajian gereja di mal.
3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet12
Gereja-gereja yang ada di mal umumnya beraliran kharismatik13
, suatu
aliran gereja yang berasal dari Amerika. Aliran kharismatik cukup berbeda dari
10
Arief Budiman, Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern dalam
“Jangan Tangisi Tradisi: kumpulan Karangan” ed. Johanes Mardimin (Yogyakarta:1994), h.98. 11
Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) adalah suatu jenis kebaktian yang besar dan
wah, dihadiri oleh ribuan orang dengan melibatkan artis-artis Kristen. Tujuan kebaktian ini
biasanya untuk membangun iman umat. Oleh karena itu pendeta pengkhotbah juga dipilih yang
terkenal dan bisa memukau umat. Pelibatan artis dan pengkhotbah terkenal merupakan daya tarik
untuk memikat orang hadir di KKR ini. Biasanya dalam KKR ada aksi penyembuhan ilahi dengan
memakai media minyak urapan, sehingga banyak orang yang tertarik mengikuti ibadah ini. 12
Frase Duet dan Duel diambil dari judul Buku Duet atau Duel? Teologi dan Sains
dalam Dunia Posmodern: kuliah John Albert Hall, karya J. Wentzel van Huyssteen, terj. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000) 13
Aliran kharismatik awalnya disebut sebagai gerakan kharismatik atau gerakan
pentakosta baru. Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
aliran lain, khususnya arus utama. Gerakan kharismatik menginginkan supaya
umat Kristen membuka diri untuk pekerjaan roh kudus seperti dahulu kala secara
penuh dan lengkap. Sangat dirasakan bahwa gereja dengan tradisinya yang
dogmatis, yang terlalu rasional dan ketat serta penuh dengan peraturan-peraturan
yang mematikan itu, sekarang ini sangat membutuhkan api yakni api roh kudus.14
Saya akan memaparkan secara singkat latar belakang aliran/gerakan kharismatik.
Gerakan kharismatik sering juga disebut sebagai gerakan pentakostal baru.
Secara etimologis istilah kharismatik berasal dari kata Yunani charisma (bentuk
jamaknya charismata), yang berarti karunia [-karunia] Roh, misalnya berbahasa
lidah atau berkata-kata dalam bahasa asing, bernubuat, melakukan mujizat,
dan/atau menyembuhkan.15
Dalam perjalanan sejarah gereja karunia Roh seperti
ini semakin kurang diperhatikan dan difungsikan, sementara itu gerakan
pentakostal dan kharismatik menggabungkan semangat kesucian dan karunia Roh
dalam ajaran mereka, sehingga seolah-olah yang menjadi ciri khas gerakan ini
adalah hal-hal tentang Roh. Dalam bab selanjutnya akan sangat jelas bagaimana
pengelola gereja mal “membungkus” ajaran ini dalam kemasan yang menarik
perhatian orang-orang yang datang ke sana.
mempunyai ciri: tidak begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan
persekutuan yang diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan
membentuk jaringan dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama
“injili”, tidak menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan
sebagai konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan
menggugah emosi (Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang dalam Apa dan Bagaimana Gereja:
Pengantar Sejarah Ekklesiologi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 14
L. Sugiri,Dkk, Gerakan kharismatik Apakah Itu?( Jakarta : BPK Gunung Mulia,cet. Ke -4,
1991)h.106. 15
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995), h. 197.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Jangkauan kalangan kharismatik yang melampaui batas-batas gereja
Pentakostal yang resmi menjadi semakin nyata terungkap melalui organisasi The
Full Gospel Business Men’s Fellowship International (FGBMFI) yang dibentuk
oleh Demos Shakarian. Shakarian adalah seorang milyuner, pengusaha peternakan
di California, yang berasal dari keluarga imigran Armenia yang pada tahun 1905
mengungsi ke daerah itu. Di negeri asalnya mereka sudah mengenal praktik
bahasa lidah.16
Pada konferensi nasionalnya tahun 1953, FGBMFI menyebut diri
sebagai organisasi pebisnis yang dipenuhi Roh Kudus dan terpanggil
melaksanakan penginjilan dan kesaksian kepada umat bukan Pentakostal.
Kegiatannya diselenggarakan lewat doa bersama pada waktu sarapan atau makan
malam dalam suasana santai di restoran atau hotel bergengsi, sedangkan di tingkat
regional dan nasional dilakukan lewat serangkaian konferensi. Semua ini
kemudian didukung oleh majalahnya, Voice (semula bertiras 5000 exp., kemudian
berkembang sampai 700.000 dan tersebar di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia).17
Hingga tahun 1980-an FGBMFI telah berhasil membentuk sekitar
2.500 cabang atau kelompok yang aktif yang tersebar di seluruh dunia. Sebagian
besar anggotanya terdiri dari kalangan menengah ke atas: direktur-direktur
perusahaan, pengacara, dokter, kontraktor, pedagang besar dan sebagainya di
samping sejumlah pendeta dari gereja-gereja Pentakostal maupun arus utama
(belakangan juga kaum muda dan mahasiswa). Tema-tema kemakmuran dan
kesuksesan sering diangkat dalam pertemuan mereka18
.
16
Ibid., h. 198. 17
Ibid., h. 199. 18
Ibid., h. 199-200.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Di Indonesia gerakan kharismatik mulai masuk pada bagian kedua tahun
1960-an melalui penginjil-penginjil dari Amerika Serikat dan Eropa, tetapi
pengaruhnya baru menonjol pada dasawarsa berikutnya. Latar belakangnya adalah
kenyataan gereja-gereja yang kurang tanggap terhadap kebutuhan rohani warga
jemaat yang terkait dengan perkembangan masyarakat.19
Beberapa kekosongan
rohani yang dirasakan umat pada masa-masa, khususnya setelah G30S adalah
sikap pemerintah dalam pembangunan ekonomi dan kontrol politik yang ketat dari
pihak militer, serta ketegangan antara Islam dan Kristen. Faktor lain adalah
kurangnya jumlah dan mutu tenaga-tenaga pelayan gereja, masalah keuangan
gereja, dan kurang relevannya pemahaman Injil dengan masalah-masalah yang
sedang dihadapi umat.
Oleh karena itu menurut penulis kekosongan rohani yang terjadi pada
masa itulah yang menyebabkan model persekutuan doa, yang menjadi ciri gerakan
kharismatik, banyak diminati oleh umat. Model ini lebih bersifat kelompok kecil
dan tidak kaku layaknya ibadah di gereja. Sebagai tempat berdoa, kelompok-
kelompok ini bisa menggunakan tempat seperti aula kantor, rumah-rumah, hotel,
ruangan di mal. Tempat-tempat ini tentu sifatnya lebih santai untuk melakukan
kegiatan sharing iman. Dengan demikian berkembangnya konsumerisme dan
iman menjadi fenomena yang tidak asing lagi dijumpai di tempat-tempat umum
ini.
Yasraf Amir Piliang, mengatakan bahwa gejala ini disebut
postspiritualitas, yaitu suatu kondisi bercampuraduknya nilai-nilai spiritual
19
Ibid., h. 214.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang ilahi,
bersimpangsiurnya yang transenden dengan yang imanen, bertumpangtindihnya
hasrat rendah dengan kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi
kabur.20
Tulisan Piliang ini sangat jelas memperlihatkan sikapnya yang
memandang fenomena duet ini sebagai gejala yang kurang baik. Menurutnya
wacana postspiritualitas adalah simbiosis dua kekuatan bertentangan menjadi satu
kekuatan kontradiktif: ketuhanan/konsumerisme, transeden/imanen,
kesucian/kedangkalan. 21
Namun dalam kenyataannya dalam pengamatan penulis
di gereja mal, orang-orang yang datang beribadah di sana dengan jujur
mengungkapkan bahwa ada sensasi lain dirasakan oleh mereka lewat berduetnya
gereja dan pasar. Sensasi yang beda dan luar biasa ini akan tampak dalam bab-bab
selanjutnya.
Menurut pengakuan beberapa orang penjual makanan22
di sebuah mal
tempat penulis meneliti, hari Minggu adalah hari yang paling ramai pengunjung,
“Kalau hari biasa begini gak terlalu ramai mbak, apalagi setelah makan siang,
foodcourt di sini pasti sepi, tapi hari Minggu ramai sekali, kan ada gereja di
lantai lima”. Jelas saja ada hubungan simbiosis mutualisme antara pengunjung
20
Yasraf Amir Piliang, Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed. Alfathri
Adlin) (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 320. 21
Ibid., h. 334... lebih jauh disebutkannya bahwa di dalam wacana postspiritualitas
beroperasi dua kekuatan yang bertentangan satu sama lainnya, yaitu kekuatan spirit ketuhanan dan
spirit konsumerisme. Spirit ketuhanan adalah spirit pengendalian hasrat, sementara spirit
konsumerisme adalah spirit pembebasan hasrat. Keberadaan wacana spiritualitas di tengah
masyarakat konsumer telah menciptakan situasi beroperasinya hutan rimba materialisme,
pelepasan hasrat, kelimpahruahan citra, dan ekstrimitas di dalam wacana kezuhudan, kefakiran,
kesederhanaan; dunia kecepatan pergantian tanda, citra, gaya, dan gaya hidup, di tengah-tengah
ruang perenungan dan refleksi; kolonialisasi dunia materi, komoditi dan prestise di dalam rumah-
rumah suci; penularan spirit ketidakacuhan, pengingkaran dan patologi sosial di antara pencerahan
spiritualitas; ekspresi tamasya hasrat di antara tamasya spiritualitas; beroperasinya prinsip apapun
boleh, di antara cahaya spiritualitas. 22
Wawancara tanggal 16 Januari 2010 di mal Piazza Calda dengan penjual makanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
mal dan pedagang di sana. Setiap minggunya ada lebih dari tiga kali jadwal
ibadah yang dilangsungkan, di mana setiap jadwal dipadati tidak kurang dari
seribu orang yang beribadah di sana. Umat yang tadinya beribadah tentunya
menjadi konsumen yang potensial untuk membelanjakan uangnya di mal tersebut.
Ini terbukti melalui pengakuan seorang informan 23
yang mengatakan bahwa sejak
berdirinya gereja di mal Piazza Calda24
pada tahun 1992 dan semakin berkembang
pesat dari tahun ke tahun, maka mal ini yang dulu sepi kini jadi ramai, “Wah
kalau sudah hari Minggu, cari tempat parkir susahnya bukan main,” katanya.
Fenomena ini menunjukkan betapa laju postspiritualitas, semakin
berkembang. Jika diamati, fenomena ini telah memproduksi budaya instan.
Orang-orang zaman sekarang, dengan semboyan time is money, tidak perlu repot
melakukan pekerjaan berbeda di tempat yang berbeda, jika pada satu tempat-pun
semuanya bisa dilakukan dengan cash and carry. Mal menjadi salah satu tempat
produksi budaya tersebut.
Gereja lain yang penulis amati adalah gereja yang dulunya dipakai sebagai
restoran pada tahun 1990-an. Namun ketika restoran ini berpindah lokasi pada
tahun 2005, pemilik restoran memberikan gedung restoran dipakai dengan cuma-
cuma untuk tempat ibadah di sana.25
Dalam pengamatan penulis saat mengikuti
ibadah di sana, dekorasi ruangan dan fasilitas ruangan kurang lebih mirip suasana
restoran daripada gereja. Perasaan yang muncul dalam diri saya saat itu adalah
saya sedang mengunjungi resepsi pernikahan atau pergi ke gereja ya? Artinya,
23
Wawancara dengan ES, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja
arus utama, wawancara di Sekolah PSKD 21 Januari 2010. 24
Penulis memakai nama samaran untuk merujuk pada nama mal. Mal ini nantinya
merupakan tempat penelitian penulis di mana ada dua gereja yang melakukan ibadahnya di sana. 25
Wawancara dengan Pdt. RK, pendeta gereja Casa Nera di Jakarta, tanggal 17 Januari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
suasana ibadah yang tercipta sangat santai. Singkatnya menurut pendeta yang
bertanggung jawab di gereja ini:
Dibikin simple aja cara ibadahnya. Jemaat ini kan sudah capek bekerja salama satu
minggu. Intinya kita mau memberikan “kenyamanan” beribadah pada jemaat dengan
fasilitas-fasilitas yang ada, kalo di tempat lain, gedungnya gerah. Karena kami ada di mal
kadang ada aja yang kebetulan lewat, lagi belanja di mal ehh mampir untuk kebaktian.
Makanya selalu ada perkenalan siapa aja jemaat yang pertama kali datang.26
Ungkapan pendeta ini bagi penulis merupakan suatu pengakuan bahwa
keberadaan gereja di mal merupakan suatu beribadah gaya baru yang serius tapi
santai (SerSan). Serius karena ini adalah ibadah yang menyangkut hubungan iman
dengan Tuhan, namun santai karena ini dibuat di mal, sambil lewat-pun bisa
singgah sebentar untuk beribadah. Kalau begitu menurut saya, gereja ini tak
ubahnya toko-toko lain yang memamerkan barang dagangannya untuk ditengok,
dinilai, lalu kalau cocok dibeli.
Menurut pengakuan salah seorang pendeta muda 27
(biasa disingkat Pdm)
dari gereja aliran kharismatik, kehadiran mal yang semakin marak di Indonesia,
dianggap sebagai peluang. Dengan dasar bahwa firman Allah tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu maka menurutnya:
Ketika ada mal yang mungkin aula-nya belum terpakai atau sudah tua, dan kemungkinan
ini dilihat oleh gembala Tuhan tersebut sebagai opportunity untuk dibuka, ya dia buka
gereja di sana. Dari mal-nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai lagi, karena apa?
Kan setiap minggunya banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal yang membuat gereja
bertumbuh, itu apportunity saja. Jadi karena ada yang kosong dan mereka mau sewain
buat gereja, ya udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum). Ide pertamanya gitu.
Sebelum tahun 2000-an sudah mulai banyak. Ketika maraknya mal-mal, dia bikin aula,
lalu karena gereja itu mempertimbangkan berapa nampung? Kapasitasnya paling sedikit
kan kurang lebih 500. Lalu kalo boleh ini disewa oleh gereja dan owner nya bilang gak
ada masalah. Dia kan tahu boleh gak ini disewain karena ada kegiatan gereja, ya kalau
owner nya menginjinkan, kita gak ada masalah, gereja di sini juga gak masalah. Tentu
pasti dalam pelaksanaannya tergantung kepada lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu
26
Ke-simple-an ibadah di gereja-gereja seperti ini akan dibahas dalam bab berikutnya.
27
Wawancara dengan SL, tanggal 14 Januari 2010 di kantor sekretariat gereja Bethel di
Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
ya you boleh pakai untuk ibadah tapi jangan pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh
pakai nama, paling ada spanduk di belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah
turunin lagi.
Lagi-lagi pendeta mengakui bahwa mal adalah sebuah peluang untuk kehidupan
peribadahan umat. Semakin jelas bagi penulis bahwa beberapa gereja memang
melihat bahwa kehadiran mal sebagai “pembawa pesan ilahi” untuk membangun
iman umat di tengah-tengah kehidupan yang semakin berkembang dari zaman ke
zaman.
Lalu, ketika penulis melakukan wawancara dengan salah seorang
pengelola mal28
, ia mengatakan bahwa pada prinsipnya developer membangun
gedung ini (mal) sebagaimana bentuk yang telah dirancangkan oleh ahlinya. Lalu
owner yang berminat untuk membelinya dan memiliki modal yang cukup, dengan
bebas menyewakan atau menjual kembali ruangan yang telah dibelinya kepada
pihak lain, jika tidak ingin pakai sendiri, “Ya, pokoknya itu terserah owner-lah,
gak ada hubungan lagi dengan pihak developer. Mau dipakai untuk gereja atau
counter belanja ya terserah saja”. Artinya, pihak pengelola mal sendiri tidak
(atau sengaja pura-pura tidak) mempersoalkan ruangan-ruangan dalam mal itu
mau dipakai sebagai tempat kegiatan apa.
4. Kesimpulan
Ibadah dan pasar, dua kata yang maknanya sangat berbeda, kini tidak lagi
dinilai secara antagonistik, setidaknya bagi umat yang menggereja di gereja mal,
meskipun dari kalangan pemimpin agama, khususnya gereja arus utama, masih
28
Wawancara dengan SY, pengelola mal, tanggal 12 Januari 2010 di kantor pengelola
mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
menilai miring fenomena ini. Konsumerisme yang dulu dinilai dengan sangat
negatif sekitar tahun 80-an, kini tidak lagi terlalu bermakna peyoratif.
Konsumerisme yang geliatnya sangat terasa di mal justru bisa menjadi daya tarik
orang beribadah di sana. Orang tidak terlalu mempersoalkan lagi kemewahan ala
“anak dunia” dalam ibadah di mal. Dekorasi ruangan ibadah di gereja mal pun
diisi dengan fasilitas modern dan mahal bercirikan modern dan mewah.
Penggabungan keduanya membuat terciptanya suatu budaya beriman dan belanja
yang berbeda dibandingkan dengan gereja-gereja arus utama.
Simbol-simbol agama banyak disulap sedemikian rupa menjadi komoditi
yang ditawarkan kepada konsumen sebagai tanda keimanannya. Dengan alasan-
alasan praktis tadi dan ketidakpuasan dengan gereja asalnya, pendiri gereja mal
melihat kehadiran mal sebagai kesempatan untuk mendirikan atau melaksanakan
peribadahan di sana. Gereja yang dianggap sebagai lembaga yang sakral karena
identik dengan firman keselamatan dan berbagai ritus kudusnya telah beralih ke
ruang publik. Namun, dalam kenyataannya, saat ini gereja-gereja seperti inilah
yang tumbuh subur dan sangat diminati oleh umat.
Gereja di mal menjadi menu “paket lengkap” gaya hidup manusia zaman
sekarang. Ibarat peribahasa sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui,
sekali berkunjung ke mal, banyak urusan, baik rohani maupun jasmani terpenuhi.
Orang bahkan tidak hanya bisa belanja, tetapi juga membayar listrik, air, telepon
di sana. Tanggung jawab iman pergi ke gereja pada hari Minggu dapat dilakukan
di mal bersamaan dengan tanggungjawab kebutuhan hidup sehari-hari. Suasana
berbelanja pun rasanya lebih imani, karena berbelanja di tempat yang sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dengan tempat menyembah Tuhan. Yang sakral hadir bersama dengan yang
profan. Gereja dan pasar saling membumbui. Bumbu yang menurut pengalaman
orang-orang yang beribadah di sana menumbuhkan iman. Apakah bumbu itu
dapat dirasakan oleh orang lain, yang berada di lingkungan luar gereja? Kritik
terhadap gereja mal akan terlihat dalam bab-bab berikutnya. Selanjutnya kita akan
melihat bagaimana sensasi ibadah dan belanja dalam pengalaman menggereja di
gereja mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN DAN BELANJA
YANG MENGGAIRAHKAN
Dalam bab sebelumnya kita telah melihat bagaimana perkembangan
konsumerisme muncul di Indonesia. Konsumerisme yang pada awal-awal
perkembangannya dinilai dengan sangat negatif, kini tampaknya dianggap lebih
bersahabat. Ketika berbicara soal konsumerisme, perhatian orang lebih banyak
terarah pada gaya hidup modern. Bahkan status sosial seseorang bisa diukur dari
tingkat dan jenis barang yang dikonsumsinya. Hal ini terbukti dengan semakin
maraknya perkembangan mal. Mal sebagai wujud dari pasar modern menjadi
salah satu indikator menilai status sosial seseorang, karena mal-mal tertentu
diperuntukkan bagi kalangan menengah atas.
Bab ini akan membicarakan pesona mal dalam gairah ibadah dan belanja.
Oleh karena itu terlebih dahulu akan dipaparkan tentang pesona mal dan latar
belakang kehadiran gereja mal. Setelah itu akan diuraikan pola ibadah yang
berlangsung di gereja mal, yang mampu menyentuh aspek psiko-spiritual umat
yang datang ke sana. Lalu pola ibadah di gereja mal tersebut akan dibandingkan
dan dilihat kedekataannya dengan pola berbelanja di mal, yang tidak kurang
menggairahkannya.
Seperti yang sudah direncanakan sejak awal, maka di bab ini data-data
yang akan dimasukkan berupa latar belakang kemunculan gereja di mal. Sampel
gereja yang dipilih ada tiga. Dua di antaranya berada di mal yang sama, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
sisanya di mal yang lain. Selain itu, data berupa wawancara langsung dengan
umat yang beribadah di gereja mal juga akan dipakai untuk mengetahui
bagaimana pengalaman umat menikmati suasana ibadah dan belanja di mal.
1. Mal sebagai One Stop Service
Pasar sebagai tempat terjadinya transaksi konsumsi, kini hadir dalam
wujud yang semakin modern. Mal, dalam hal ini adalah bentuk dari pasar modern
yang semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Mal menyajikan nyaris
semua kebutuhan hidup manusia. Mal adalah ruang belanja yang besar dengan
penjagaan yang sangat ketat. Di pintu masuk, pengunjung terlebih dahulu akan
diperiksa oleh beberapa petugas security. Mereka memakai alat metal detector
yang diusap-usapkan ke badan tas dan badan pengunjung untuk mengecek apakah
ada barang-barang berbahaya yang dibawa masuk pengunjung. Jika ada (misalnya
benda tajam), maka metal detector akan berbunyi tiiitttttttt dan pengunjung
tersebut tidak diperkenankan masuk ke dalam mal sebelum benda itu
ditinggalkannya karena bisa membahayakan orang lain.
Setelah lolos dari pemeriksaan pertama, maka nuansa dekorasi modern dan
tata letak ruang-ruang di mal akan menjadi pemandangan yang elok dipandang
mata. Sejuknya ruangan yang ber-AC menambah kenyamanan orang berjalan
menyusuri lorong demi lorong, lantai demi lantai, dan memasuki toko demi toko.
Di toko-toko ada berbagai jenis barang yang dipamerkan, mulai dari barang-
barang dengan merk terkenal yang harganya mahal, sampai barang yang tidak ber-
merk dan cukup terjangkau. Barang-barang itu berbentuk macam-macam, ada tas,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
baju, sepatu, perlengkapan kamar tidur, jam, barang-barang elektronik, bumbu
dapur, dan lain sebagainya.
Ada banyak motivasi pengunjung memasuki toko-toko yang menawarkan
barang-barang dagangannya itu, bisa jadi pengunjung datang sekedar untuk “cuci
mata”, karena penasaran dengan produk yang dijual. Namun, bisa juga
pengunjung akhirnya tertarik untuk membeli dan memiliki barang-barang
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa mal dapat dikatakan merupakan
sanctuarium para penikmat konsumerisme (a temple of consumerism), di mana,
secara sadar, pengalaman berbelanja berlanjut hingga masuk wilayah hiburan.1
Secara sepintas penulis setuju dengan pernyataan ini, karena mal juga dijadikan
sebagai tempat rekreasi dan bersantai. Namun, tidak semua orang beranggapan
bahwa mal menjadi surga-nya, karena ada kalanya orang justru tidak terlalu
tertarik pada desain modern dan mewah, melainkan pada konsep sederhana dan
natural.
Aktivitas belanja menjadi menyenangkan karena ada suatu hasrat yang
terpenuhi dan perasaan beruntung manakala memanfaatkan promosi harga yang
ditawarkan. Kesenangan demi kesenangan yang didapatkan di sana, pada akhirnya
menciptakan suatu habitus dalam diri seseorang. Pengalaman menggairahkan
dalam pesona mal menjadi bagian dari gaya hidupnya. Orang yang belanja barang
tertentu di tempat tertentu kadang ditandakan oleh member card. Dengan menjadi
member toko tertentu, maka pengunjung akan mendapatkan beberapa keuntungan,
1 Mal tidak hanya merupakan tempat di mana konsumen bebas memilih dan juga
merupakan pusat ekonomi pasar, melainkan secara aktif membentuk imaji mengenai kehidupan
“yang seharusnya”. Di dalam sebuah mal perbelanjaan, kita menjadi bagian dari komunitas
konsumerisme [bdk. Haryanto Soedjatmiko, Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi
dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 53-55.]
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
misalnya pemotongan harga, atau pengumpulan poin yang bisa ditukar dengan
hadiah-hadiah menarik. Misalnya: ketika saya berbelanja di Matahari Department
Store, di kasir saya ditanya, apakah saya punya Kartu Matahari? Dengan nada
persuasif kasir akan memberi penjelasan singkat bahwa jika menjadi member
Matahari, maka bonus belanja akan bertambah, dan dalam waktu mendatang bisa
ditukar dengan hadiah tertentu atau mendapatkan potongan harga dari barang lain
yang dibeli. Justru ada yang merasa beruntung dengan mendapatkan kesempatan
penukaran poin dengan hadiah tertentu dan pemotongan harga dalam hasrat
belanja yang agaknya memang tidak dapat terpuaskan.
Pesona toko-toko di dalam mal itu semakin memikat hati pengunjung
dengan promosi bertuliskan, discount up to 70 %, hanya di hari ini diharga’in
segini, beli dua gratis satu, dan lain-lain. Meskipun seringkali yang bertuliskan
diskon besar-besaran itu adalah barang yang kurang menarik dan kurang diminati,
sementara barang lainnya harganya normal. Namun tulisan “discount up to 70 %”
telah berhasil memikat konsumen untuk masuk ke dalam toko itu. Angka ini
ternyata hanya mengiming-imingi calon pembeli, dan ternyata berhasil juga
karena pengunjung toko akan berbondong-bondong ke sana. Secara formal
mereka (pemilik toko) tidak berbohong, tetapi jika berpikir sedikit kritis banyak
konsumen merasa diperdayakan juga. Cara promosi seperti ini agaknya
merupakan gaya promosi yang biasa bagi bisnis modern.2 Meski pengunjung
sering kecewa dengan promosi ini, namun tidak menyurutkan keinginan
pengunjung untuk “memburu” barang-barang murah di mal.
2 K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual (Yogyakarta: Kanisius,
2001), h. 165.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Hadirnya mal sebagai pusat perbelanjaan menyediakan sarana guna
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang beragam. Di dalam mal kita
dapat melakukan one stop shopping, yakni berbelanja barang-barang kebutuhan
rumah tangga di super market, makan di kafetaria, membeli pakaian di butik,
obat-obatan di apotek, dan seterusnya.3 Ciri ini menjadikan mal menjadi tempat
yang tepat untuk dikunjungi demi efisiensi waktu dan kenyamanan belanja,
karena menyediakan hampir segala jenis kebutuhan hidup manusia.
Semakin menggeliatnya hasrat konsumsi manusia di pasar modern ini
turut membentuk identitas orang pengkonsumsi produk-produk tertentu. Menurut
Baudrillard ketika kita mengonsumsi objek, kita sedang mendefinisikan diri kita,
kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. Masyarakat
merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain
berdasarkan atas objek konsumsi. Sedihnya apa yang kita konsumsi bukan
banyaknya objek, tetapi tanda.4 Penulis setuju dengan konsep ini mengingat
komunitas umat yang menggereja di mal pun pada akhirnya menciptakan nilai
tanda tertentu dalam penghayatan imannya. Penelitian ini melihat segi-segi mana
saja dalam ibadah memiliki kedekatan dengan pola konsumsi. Bagaimana
pengelola gereja mal mengemas ibadahnya sehingga sanggup menarik perhatian
ribuan orang untuk beribadat ke sana setiap minggunya. Pemikiran Baudrillard
dipakai untuk mengulas pesona mal dalam ibadah dan belanja yang
menggairahkan di mal. Pemikiran George Herbert Mead dipakai untuk melihat
simbol-simbol interaksi dalam komunitas umat di gereja mal.
3 Soedjatmiko, op. Cit., h. 5.
4 George Ritzer, Teori Sosial Posmodern (terj.Muhammad Taufik) (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009), h. 137-138.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
(Gambar 1) Situasi di dalam sebuah mal
(Sumber http://www.destination360/middle-east
United-arab-emirates/mall.com)
2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa
Gereja di mal? Bagaimana bisa? Begitulah beberapa reaksi orang
menanggapi fenomena baru ini. Beberapa orang menganggap fenomena ini adalah
bersatunya “yang duniawi” dan “yang ilahi”. Beberapa orang yang ekstrim
mengganggap hal ini sebagai pengkaburan pesan Injil dalam nuansa hidup
beriman yang mengusung nilai-nilai kesederhanaan. Namun, di pihak lain, bagi
pengunjung gereja ini, gereja di mal merupakan jawaban atas arus modernisasi
yang semakin berkembang. Pada kenyataannya, sebagai seorang pendeta jemaat,
saya mau berkata jujur bahwa gereja dengan pesona mal ini lebih diminati oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
umat saat ini. Jumlah umat yang beribadah ribuan orang setiap minggunya.
Gereja-gereja arus utama “ketinggalan jauh”, karena terlalu mempertahankan
tradisi, sehingga terkesan kuno dan kaku.
Penulis memilih tiga sampel gereja mal di dua tempat yang berbeda. Dua
gereja berlokasi di Jakarta dan di mal yang sama dan satu gereja berlokasi di
Yogyakarta. Alasan penulis memilih dua gereja di mal yang sama, karena
meskipun berada di mal yang sama, jumlah orang yang datang beribadah di sana
sangat berbeda jauh. Gereja Casa Rosa5 misalnya, bisa dipadati ribuan orang,
tetapi gereja Casa Nera dengan pola yang sama hanya dihadiri ratusan orang saja.
Selain itu, penulis juga memiliki keterbatasan waktu untuk menilik gereja mal
yang lainnya, mengingat jarak tempuh dan macetnya jalan di Jakarta tentu akan
menguras banyak waktu. Sampel ketiga dipilih di Yogyakarta, gereja yang juga
perkembangannya sangat signifikan dati tahun ke tahun, padahal pesona mal-nya
tidak semenarik mal-mal lain.
2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda6
Gereja Casa Rosa berdiri pada tahun 1992. Nama gereja Casa Rosa
diambil dari lokasi mal yang berada di sekitar kantor kedutaan. Sumber yang tidak
ingin diketahui namanya menceritakan bahwa sebenarnya dulu mal ini tidak
terlalu ramai, cukup sepi, tetapi sekarang menjadi sangat ramai karena ada “kita”.
Berikut ini penuturannya tentang latar belakang gereja Casa Rosa:7
5 Nama-nama gereja disamarkan menjadi Casa Rosa, Casa Nera, dan Casa Piccola.
6 Penulis memakai nama samaran untuk merujuk nama gereja dan mal yang diteliti.
7 SM, seorang konselor di gereja Casa Rosa. Wawancara pada tanggal 20 Januari 2010 di
salah satu ruangan gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Historisnya begini, Pak Iw8 itu dulunya adalah salah seorang anggota dari GKI
9. Ia adalah
anggota gereja kita10
. Tapi sebagaimana yang kita tahu bahwa gereja kita ini masalah
yang berhubungan dengan Roh Kudus dalam arti, Bahasa Roh, terus nubuatan, usir setan
kurang dijelaskan. Kita percaya Roh Kudus, tapi cara kerjanya kita pahami berbeda. Nah,
jadi beliau ini rupanya dia merasakan ada suatu. Katakan di dalam hatinya, yang saya
tahu ya dia pernah cerita, ada gerakan di dalam hatinya bahwa ketika gereja-gereja GKI
itu, sejenis gereja GKI merasakan bahwa bahasa roh, waktu itu ekstrim sekali mereka
mencap itu sesat, sesat, sesat. Nah sampai akhirnya beliau, karena dia punya karunia
seperti itu itu, dia merasa seperti itu, itu ditunjukkan juga ketika dia di rumahnya. Dia
sedang belajar, lalu pembantunya kerasukan gitu lho, dia jerit, dia jerit. Dia sedang
belajar, dia dengar, itu dia masih muda itu. Lalu setelah itu dia pergi ke belakang, dia
ambil air satu gelas, dia doakan dalam nama Yesus dan (ehhh: tertawa) itu orang sembuh.
Itu dia jadi punya. Nah kalau selanjutnya beliau ini (Pak Iw), sebetulnya dia ini seorang
pengusaha, dia tidak sekolah teologia memang, dia tidak sekolah teologi, dia seorang
pengusaha, tetapi karena dia punya kerinduan untuk menampung, katakanlah membentuk
suatu gereja, persekutuan di mana yang bersifat itu tadi bisa (diakomodasi). Maka dia
membentuklah gereja di ----- (menyebut nama Mal), di mal ini, persekutuan. Jauh dari
pemikiran bahwa dia mau jadi pendeta, gak, tapi dia adalah yang memanggil orang.
Gereja ini kecil, lalu memang ehh satu dia bilang gini suatu kali dalam ibadah, dia menata
ibadah itu sedemikian rupa, yaitu begitu mulai ibadah malah dikatakan WL yang ada di
belakangnya itu lebih banyak daripada jemaat. WL nya ada, singernya ada, pemainnya
ada. Malah pemain band-nya itu lebih banyak dari orang yang hadir, tapi dia melihat
suatu penglihatan, dia dengar bahwa saat bernyanyi itu dia melihat ke belakang sedikit
sekali orang, tetapi saat memuji itu dia merasakan ada ribuan orang di belakang dan dia
nyanyi bersama. Itu dia merasakan seperti itu.
Itulah latar belakang hadirnya gereja Casa Rosa di mal Piazza Calda. Menurut
penuturan informan ini diketahui bahwa jumlah awal umat di gereja Casa Rosa
bentukan Pak Iw awalnya hanya berkisar 20-an orang saja, yang merupakan
keluarga-keluarga terdekat. Keluarga-keluarga dekat yang umumnya memang
pengusaha ini memilih mal sebagai tempat pertemuan mereka. Ketika saya
bertanya soal usaha apa yang digeluti oleh pendiri gereja ini, informan saya agak
enggan menjelaskannya. Dengan hati-hati ia mengatakan:
8 Iw adalah inisial yang penulis pakai untuk melindungi identitas seseorang. Pak Iw
adalah pendiri gereja Casa Rosa yang kemudian disebut sebagai Bapak Gembala Sidang. 9 GKI singkatan dari Gereja Kristen Indonesia, gereja arus utama yang beraliran
Calvinisme. 10
“Kita” yang dimaksudkan oleh beliau adalah gereja arus utama (gereja saya dan gereja
beliau dulu), karena beliau dulunya adalah seorang pelayan gereja tertentu aliran arus utama,
sebelum aktif sebagai pelayan di gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Ehh beliau ini eh (agak enggan) udah, udah kelas atas sebenarnya bisnisnya, udah ke luar
negeri ya. Dia gerak di batubara dulu, trus sebenarnya ada juga dulu dia kerjasama
dengan tentara republik Indonesia ini, seragam. Bayangkan se Indonesia. Sampai
sekarang itu.... ehhh (enggan lagi) off the record ya, jadi sampai sekarang itu geluti
batubara, tapi dengar-dengar saya gak tau apa naik ke atas apa turun? Tapi ya kurang
lebih begitulah. Ya pokoknya usaha luar negerilah, urusan senjata dengan luar negeri
juga..... ya begitu.... Nah jadi ini berkembang (mengalihkan pembicaraan ke soal gereja).
Ada kesaksian-kesaksian iman bagi dia dulu itu waktu kita ada di ruangan yang pertama
kita mulai itu sewa. Saat sewa itu kita diusir, itu di ruangan sekretariat kita itu, yang kita
ada di situ (sambil menunjuk ruang sekretariat di depan). Gak dikasi sama pengelola, cari
tempat yang lain, tapi beliau tetap berdoa, saya merasa bahwa ini milik ---- (menyebut
nama gereja). Jadi, dengan iman, begitu, sampai pada akhirnya pengelola suruh
mengajukan permohonannya apa? Nanti akan disidang, sampai akhirnya persidangan itu,
OK you dikasi dan ditanya mau tambah berapa? You butuh berapa? Akhirnya kita ada
seperti ini. Lalu, penuh, trus ada tawaran lagi.Tapi intinya pertama kecil, lalu mendapat
tantangan, justru diberi lebih lebar dan lebih besar lagi.
Dengan latar belakang pengusaha, tentu tidak terlalu sulit bagi Pak Iw, sebagai
pendiri gereja Casa Rosa untuk menyokong dana, meskipun awalnya jemaatnya
tidak banyak. Lebih lanjut informan saya mengatakan:
Iya, kalau dari awal karena kebetulan Pak Iw kan pengusaha besar, uangnya banyak,
akhirnya kalau penyelenggaraan ibadah pertama dengan singer, diberi bekal, diberi
makan, itu gak cukuplah kalo dari gereja, persembahan atau apa ya nggak cukup, kalau
tidak ada donatur di balik itu. Nah, makanya dipilih mal karena dia sudah bisa
memperhitungkan semua itu. Kalau dibilang jemaat yang datang, ya jemaat yang datang
umumnya pengusaha. Saya tahu orang-orang awal di sini memang bos-bos gitu. Karena
kalau kita lihat ada orang kasih sumbangan 1 Miliar, itu kan luar biasa, waktu pembelian
sebelah sana (menunjuk ke arah gedung gereja sekarang).
Dari sini saya menyimpulkan bahwa awal lahirnya gereja Casa Rosa adalah
ketidakpuasan akan ajaran di gereja asalnya. Lalu, dengan adanya pengalaman-
pengalaman iman yang “berbeda” namun mengesankan itu, seseorang yang
mempunyai modal cukup untuk membiayai kebutuhan gereja bisa mendirikan
gereja. Saya belum bisa memastikan apakah naluri bisnis Pak Iw turut
mempengaruhi kepiawaiannya memperhitungkan jauh ke depan bahwa tatkala
gereja yang ia dirikan di mal Piazza Calda akan membuat gereja dan mal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
seiring sejalan berkembang dengan pesat. Namun, beberapa aspek tadi saya kira
menjadi faktor yang mendukung lahirnya gereja Casa Rosa di mal.
(Gambar 2) Gedung awal yang dimiliki oleh gereja Casa Rosa pada tahun 1992.
Sekarang dipakai untuk ibadah anak
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
(Gambar 3) Gedung kebaktian sekarang yang lebih luas.
Berada di lantai lima mal Piazza Calda (Tampak depan)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 4) Keadaan di dalam gedung gereja
Casa Rosa Saat Natal tahun 2009
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
(Gambar 5) Pintu masuk umat untuk memulai ibadah
di gereja Casa Rosa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 6) pintu keluar untuk umat yang selesai
Beribadah di gereja Casa Rosa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda
Gereja lain yang berada di mal Piazza Calda berada tepat dua lantai di
bawah gereja Casa Rosa. Dari jumlah umat yang mengikuti ibadah di gereja Casa
Nera, sangat kontras situasinya dibanding dengan gereja Casa Rosa Jumlah umat
yang hadir di gereja Casa Rosa hanya sekitar 150-200 orang. Gereja ini juga
hanya melaksanakan ibadah minggu satu kali saja, karena gereja ini adalah
cabang. Jumlah yang tidak terlalu banyak ini menyebabkan setiap orang baru bisa
langsung dikenali. Saat penulis pertama kali datang beribadah ke gereja ini,
penerima tamu di depan langsung bertanya, “Oh, mbak baru pertama kali datang
ya?”. Lalu saya diminta untuk menuliskan nama saya, dan pada saat warta jemaat
nama saya dibacakan dan diminta berdiri di tempat. Umat yang lainnya
menyambut dengan hangat dan tepuk tangan, lalu petugas penerima tamu yang
tadi berdiri menyambut tamu di pintu masuk, langsung memberikan agenda gereja
ini dalam bentuk buletin dan VCD yang berisi khotbah pendeta pendiri gereja ini.
Menurut pengakuan pendeta di gereja Casa Nera ini, gereja ini awalnya
adalah restoran dengan merk Black Steer yang dipakai sejak tahun 1990-an.
Namun ketika restoran ini berpindah lokasi pada tahun 2005, maka pemilik
restoran ini, yang adalah seorang pelayan gereja ini, memberikan restoran ini
untuk dipakai dengan cuma-cuma sebagai tempat ibadah. Gereja Casa Nera
merupakan gereja wilayah/cabang, sedangkan pusatnya berada di mal yang lain.
Menurut penuturan pendeta di gereja ini:11
Untuk bisa mendirikan gedung gereja susah dapat ijin bangunan, syarat-syarat ijin
masyarakat setempat repot. Itulah sebabnya ketika restoran Blacksteer ini kosong, dan
pemilik memberikannya untuk kami, kami langsung pakai untuk tempat kebaktian.
11
Pdt. Rk, pendeta pelayan di gereja Casa Nera. Wawancara tanggal 17 Januari 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Awalnya ada juga pihak-pihak yang keberatan ketika ruangan ini mau dipakai untuk
kebaktian, tapi akhirnya bisa diatasi. Karena sifatnya pemakaian untuk fungsi tertentu.
Gak ada bedanya dengan fungsi-fungsi yang lain, misalnya counter-counter handphone
yang berfungsi untuk transaksi jual-beli hp.
Sampai saat ini (tahun 2010) ibadah di gereja Casa Nera terus berlangsung. Model
ibadah gereja Casa Nera tidak terlalu berbeda dengan gereja Casa Rosa. Dekorasi
ruangan dan fasilitas ruangan kurang lebih sama. Ruangannya ber-AC, musik
yang dipakai full band, ada LCD yang menampilkan lagu-lagu yang dinyanyikan.
Umat juga bernyanyi dengan luapan ekspresi bahagia, seperti bertepuk tangan,
melambaikan tangan, dan bergoyang. Sebagaimana pengakuan pendeta gereja ini
di bab II tentang upaya menghadirkan suasana ibadah yang nyaman, maka dalam
pelaksanaan ibadahnya petugas ibadah berusaha memberikan yang terbaik, mulai
dari sambutan di pintu masuk, musik, dan khotbah.
Pendeta ini mengakui bahwa 70 % umatnya datang beribadah dengan
menggunakan mobil pribadi. Sekilas dari penampilan umat yang datang ke gereja
ini menunjukkan mereka dari kelas menengah atas. Bapak-bapak umumnya
memakai stelan jas, ibu-ibu berpakaian gaun modis dan juga seksi dengan rambut
yang diwarnai. Saya menyimpulkan bahwa kelas sosial dari mana umat ini berasal
membuat gereja pun harus mampu menyiapkan fasilitas-fasilitas yang nyaman
menurut orang dari kalangan ini, salah satunya ruangan yang tidak gerah, menurut
pendeta tadi.
Menurut pendeta ini jumlah yang tidak terlalu mencolok dalam gereja ini
membuat ikatan kekeluargaan umat lebih dekat. Setiap orang saling kenal satu
sama lain. Kekeluargaan di gereja Casa Nera lebih akrab daripada di gereja Sasa
Rosa. Penulis dapat melihatnya dengan jelas saat ibadah telah selesai, umat tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
langsung bubar. Akan tetapi, umat saling berbincang-bincang satu dengan yang
lainnya. Pendeta gereja ini juga tahu siapa saja umatnya yang datang dan tidak
datang. Ini terbukti saat kesempatan bersalam-salaman dengan pendeta, ia
menanyakan seorang Opa, “Lho, Oma kog gak ikut Opa?”.
(Gambar 7) Gereja Casa Nera tampak dari depan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
(Gambar 8) Tampak depan penanda restoran ini
lewat dua buah tanduk banteng.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 9) Plang tanda restaurant dulu
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(Gambar 10) Bentuk kursi dan tatanannya di dalam
ruang ibadah gereja Casa Nera
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
Bisa dikatakan bahwa kehadiran di gereja Casa Nera di mal ini adalah
suatu kebetulan. Kebetulan restoran kosong, mengapa tidak dimanfaatkan untuk
kegiatan ibadah? Sulitnya izin membangun rumah ibadah di lahan pemukiman
penduduk juga menjadi alasan pihak gereja memanfaatkan ruangan di mal.
Menarik untuk diperhatikan pernyataan pendeta ini tatkala ada masalah soal izin
memakai ruangan, maka alasan yang digunakan adalah bahwa ruang restoran yang
dipakai sebagai tempat ibadah ini tak ubahnya seperti toko-toko lain yang
berjualan di mal itu. Sengaja atau tidak sengaja, tetapi pernyataan ini menyiratkan
pemaknaan tempat ibadah yang tidak terlalu berbeda dengan tempat konsumsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta
Gereja Casa Piccola telah mengalami banyak perpindahan dari satu tempat
ke tempat lain dalam tahun-tahun perkembangannya. Akhirnya pada akhir tahun
2007, gereja Casa Piccola menempati salah satu ruangan di mal yang tidak terlalu
wah di Yogyakarta dengan kapasitas sekitar 1500 tempat duduk. Gedung ini dibeli
bukan disewa.12
Pemakaian gedung yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
tak lain karena izin bangunan gedung gereja yang sulit diperoleh. Oleh karena itu
ketika pihak pemilik mal bersedia menjual beberapa ruangan di mal itu, pihak
gereja membelinya, meskipun tidak dengan harga yang murah. Selain karena
pemiliknya adalah orang Kristen, di lantai bawah mal itu terdapat supermarket
yang menjual banyak kebutuhan rumah tangga. Jika sudah selesai ibadah dan
lelah berbelanja, maka umat bisa menikmati makan siang di foodcourt yang
tersedia di mal.13
Setali tiga uang, jumlah umat yang datang beribadah di gereja
ini merupakan konsumen potensial yang akan membelanjakan uangnya di mal
tersebut.
12
Bunga rampai yang disiapkan oleh panitia perayaan 10 tahun ulang tahun gereja Casa
Piccola, Yogyakarta (diparafrase oleh penulis) 13
Wawancara dengan IS, salah seorang WL (Worship Leader) di gereja Casa Piccola
pada tanggal 25 Mei 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
(Gambar 11) Beberapa pemuda yang terlibat
dalam pelayanan ibadah di gereja Casa Piccola
(Sumber: Dokumentasi Gereja Casa Piccola)
Gereja Casa Piccola berpindah lokasi ibadah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapat izin membangun rumah
ibadah. Lalu, ketika peluang untuk menyewa atau memiliki ruangan di mal
terbuka, maka pihak gereja memanfaatkan kesempatan ini. Hasilnya,
perkembangan jumlah umat selama mengadakan ibadah di mal lebih tinggi
daripada di tempat yang ada selama ini. Gereja yang berada di Yogyakarta ini
mampu menarik perhatian banyak anak muda, khususnya mahasiswa lewat
suasana ibadah yang bersemangat dan bergaya modern. Meski, mal tempat gereja
ini berada tidak terlalu mewah, tapi foodcourt dan supermarket tetap menarik
perhatian pengunjung. Ketika saya mengamati aktivitas pasca ibadah di sini, maka
saya melihat bahwa umat tidak langsung pulang, namun berkeliling (belanja atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
makan) di mal terlebih dahulu. Kekuatan konsumsi agaknyapun menjadi salah
satu faktor daya tarik gereja ini.
Pada kesempatan yang lain penulis melakukan wawancara dengan salah
seorang pendeta muda (biasa disingkat Pdm)14
dari gereja aliran kharismatik, yang
kebanyakan berada di mal. Menurutnya manakala kehadiran mal di Indonesia
semakin marak, maka gereja-gereja melihat situasi ini sebagai peluang. Baginya,
firman Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, maka di manapun gereja berada
itu tidak menjadi soal. Katanya:
“Jawaban yang paling gamblang dan paling mudah sih sebetulnya karena gak punya
gereja yang sesuai apa kata orang tentang gedung gereja, karena GBI-GBI secara khusus
ataupun gereja aliran Pentakosta ini memiliki kesulitan untuk: satu, lahan dan gedung
gereja selayaknya seperti gereja-gereja Protestan atau gereja Katolik zaman dulu. Karena
tergusur-tergusur terus dan ada mal yang mungkin aula-nya belum terpakai atau sudah
tua, dan kemungkinan ini dilihat oleh gembala Tuhan tersebut sebagai opportunity untuk
dibuka, ya dia buka, karena liturginya tidak akan berubah oleh sebab bangunan. Dari mal-
nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai lagi, karena apa? Kan setiap minggunya
banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal yang membuat gereja bertumbuh, itu
opportunity saja. Jadi karena ada yang kosong dan mereka mau sewain buat gereja, ya
udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum). Ide pertamanya gitu. Sebelum tahun 2000-
an sudah mulai banyak. Ketika maraknya mal-mal, dia bikin aula, lalu karena gereja itu
mempertimbangkan berapa nampung? Kapasitasnya paling sedikit kan kurang lebih 500.
Lalu kalo boleh ini disewa oleh gereja dan owner nya bilang gak ada masalah. Dia kan
tahu boleh gak ini disewain karena ada kegiatan gereja, ya kalau owner nya mengijinkan,
kita gak ada masalah, gereja di sini juga gak masalah. Tentu pasti dalam pelaksanaannya
tergantung kepada lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu ya you boleh pakai untuk
ibadah tapi jangan pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh pakai nama, paling ada
spanduk di belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah turunin lagi.
Mal dilihat sebagai suatu peluang dan kesempatan bagi “pemberitaan Injil”. Di
sisi lain, kehadiran gereja juga dianggap sebagai penggerak massa untuk datang
ke mal. Memang, ada kesepakatan-kesepakatan tertentu antara pihak pengelola
mal dengan pihak gereja untuk membuat ibadah di dalam mal itu sendiri,
misalnya tanda-tanda fisik gereja mal. Namun, bagi pihak gereja, kesepakatan itu
14
Wawancara dengan SL, seorang pendeta muda gereja beraliran kharismatik pada
tanggal 14 Januari 2010 di kantor sekretariat gereja, di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
bukanlah hal yang terlalu mendasar selama owner gedung yang dipakai untuk
ibadah itu setuju dengan biaya penyewaan atau kalau memungkinkan dibeli untuk
menjadi milik gereja.
Itulah beberapa latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal. Ibadah
yang umumnya dijauhkan dari pasar, kini hadir di dalam pasar, khususnya pasar
dengan gaya modern, yaitu mal. Mal dengan pesona belanja yang menggairahkan
nyatanya turut pula menggairahkan pola beribadah umat. Selanjutnya akan
dipaparkan pola ibadah gereja di mal yang menimbulkan pengalaman psiko-
spiritualitas yang menggetarkan dalam prosesi ibadah di sana.
3. Pola Ibadah di Gereja Mal
Ibadah sebagai suatu kesempatan bertemu dengan Yang Kudus merupakan
aktivitas yang sentral dalam kehidupan beragama umat. Dalam ibadah ada
beberapa unsur yang diartikulasikan melalui setiap kesempatan dari awal sampai
akhir berlangsungnya ibadah. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab I tentang
unsur ibadah yang diambil dari bagian kitab Yesaya 6:1-8, maka ibadah pada
dasarnya adalah ungkapan kesadaran manusia tentang dirinya, sesama dan
Tuhannya. Pada bagian awal ibadah, umat diajak untuk menyadari tentang Tuhan
yang disembahnya dalam kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan-Nya. Lalu,
umat menatap dirinya sebagai manusia yang sedianya mengagungkan Tuhan
dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, ternyata adalah
manusia yang berdosa, serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa.
Akhirnya, terjadilah pengakuan dosa umat. Umat menyadari bahwa ia sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
tidak taat dalam menjalankan kehendak Tuhana. Oleh karena itu umat melihat
dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari Tuhan
semata. Unsur selanjutnya, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya
adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang
mengaku dosanya.
Orang yang telah berdamai dengan Sang Kudus, yang telah dibaharui itu
kini menjadi pribadi yang siap menerima “siraman rohani” yang akan
disampaikan lewat khotbah pendeta. Isi khotbah akan menjadi pegangan hidup
menjalani pergumulannya hari lepas hari. Berkat dan penyertaan Tuhan menjadi
jaminan keselamatan bagi orang yang menaruh kepercayaannya pada pertolongan
Tuhan. Ini adalah unsur-unsur pokok yang biasanya berlangsung dalam ibadah.
Namun, tiap-tiap gereja punya cara sendiri untuk mengemas unsur ini secara
kreatif dan lebih hidup. Lain di gereja arus utama, lain di gereja mal. Berikut ini
adalah prosesi ibadah yang berlangsung dalam ibadah di gereja mal dalam
pengamatan penulis.15
1. Sambutan di depan pintu masuk oleh empat orang berpakaian rapi yang
memakai stelan jas dan blazer hitam. Penerima tamu biasa disebut Usher.
Mereka terdiri dari tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki. Lalu tiap
umat yang masuk diberikan sebuah buletin Mingguan, satu amplop
persembahan yang lux (dari karton tebal) dan amplop janji iman.
15
Pengamatan Pertama di Casa Piccola pada ibadah minggu tanggal 19 April 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
2. Ibadah dimulai. Pada saat ini lampu mulai diredupkan dan lampu sorot
dimainkan. Menurut penulis suasana ruangan yang remang-remang ini agak
mirip dengan lighting lampu di café. Pada saat ini ada beberapa hal yang terjadi:
a. Worship Leader masuk dengan enam orang singer, delapan orang muda-
mudi sebagai peraga gerak, dan 4-6 orang penari tamborin.
b. Lalu, Worship Leader menyapa umat secara keseluruhan (greeting), dan
memimpin pujian dengan lagu-lagu yang bertempo pelan dan cepat
berulang-ulang16
sekitar 30 menit, sementara jemaat berdiri.
3. Setelah itu ada sambutan dari petugas ibadah (WL, konselor, pendeta muda)
kepada jemaat yang baru pertama kali hadir, diminta berdiri atau mengangkat
tangan supaya diketahui oleh umat yang lain, dan disambut dengan
menyanyikan lagu “Selamat Datang”. Nanti usai kebaktian dipersilahkan masuk
ke dalam ruang “Jiwa Baru”, dan malamnya ada jamuan makan malam bersama
pendeta.
4. Persembahan (kolekte). Hanya satu kantong saja yang diedarkan. Sementara
kantong persembahan diedarkan, warta jemaat “disiarkan” melalui LCD oleh
seorang host, bukan dibacakan seperti gereja arus utama pada umumnya. Cara
mewartakannya mirip seperti iklan di TV, seorang host cantik dengan penuh
percaya diri mengumumkan beberapa kegiatan gereja dan beberapa lowongan
pekerjaan, misalnya lowongan divisi web.
16
Nyanyian berulang-uang ini agak berbeda dengan kebiasaan bernyanyi umat di gereja
arus utama yang umumnya dinyanyikan sekali, terdiri dari 3 atau empat bait. Dalam gereja mal
satu buah lagu bisa dinyanyikan berulang-ulang sampai empat atau lima kali. WL akan
memenggal-menggal labu, misalnya reff diulang dua kali, lalu diulangi lagi dari awal, dan syair
terakhir bisa diulangi sebanyak tiga kali untuk mengakhiri lagu tersebut. Itulah sebabnya satu
nyanyian bisa dinyanyikan tidak kurang dari 5-7 menit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
5. Pendeta pengkhotbah masuk – lalu “kebetulan” ada acara penyerahan anak – di
mana anak-anak kecil dibawa ke depan altar oleh orang tuanya untuk didoakan
oleh pendeta. Sambil didoakan dan diiringi nyanyian, berlangsunglah aktivitas
bahasa roh17
sekitar 30 menit, sementara jemaat tetap berdiri. Uniknya setiap
usai berdoa, bernyanyi, atau mengucapkan satu kata-kata penguatan, seorang
Worship Leader atau pendeta mengajak umat bertepuk tangan seraya berkata,
“Mari beri kemuliaan buat Tuhan kita”.
6. Khotbah
a. Sama sekali tidak membuka Alkitab (mungkin kebetulan, karena di
cabang yang lain pada gereja yang sama, pendetanya membuka Alkitab
sebelum pelayanan firman). Di layar langsung ditampilkan beberapa
gambar yang menjadi judul khotbah minggu ini atau bahkan isi dari nas
yang menjadi sumber bacaan khotbah.
b. Tidak menguraikan suatu perikop/bahan ayat tertentu, melainkan
meloncat-loncat dari perikop yang satu ke perikop yang lain, dan
mengambil ayat-ayat tertentu untuk mendukung topik yang dibicarakan.
c. Pendeta tidak memakai pakaian jabatan gerejawi (misalnya jubah
dengan stola atau dasi putih), hanya memakai stelan jas saja. Ternyata
Pendeta yang bersangkutan melayani lima kali jadwal kebaktian di
gereja yang sama.
17
Pada masa jemaat mula-mula, tak sedikit orang Kristen diberi Tuhan rupa-rupa
“karunia Roh” atau “karunia oleh Roh Allah”, sepertikarunia menyembuhkan orang sakit,
mengadakan mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan Bahasa Roh (glosolalia),
yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak, tetapi yang
perlu diterangkan maknanya (terdapat dalam bagian kitab 1 Korintus 12:10), dalam H. Berkhoof
dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 8. (Bdk. Sugiri,
Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? h. 93-94.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
d. Pendeta memakai kata “Judul”, bukan “Tema”. Pada minggu ini yang
menjadi judulnya adalah “Berpacu dalam Kegerakan”.
e. Inti khotbah: konsep kepuasan hidup sangat dikedepankan. Isi khotbah
sarat dengan teologi sukses/kemakmuran. Menurut Pendeta, orang yang
maju adalah orang yang bergerak (sebagai contoh: Careffour itu adalah
bentuk dari kemajuan, sementara pasar tradisional sudah ketinggalan
zaman, mimbar yang modern inipun kelak harus diganti mengikuti
kemajuan zaman)
f. Aplikasi khotbah. Umat diharapkan dapat memakai khotbah dalam
kegerakan di tengah-tengah keluarga, dalam bisnis dan dalam kehidupan
rohaninya dengan mengikuti program-program gereja, seperti CGM,
Cell Group Movement)
g. Durasi khotbah kurang lebih 50 menit
7. Selesai khotbah, ada satu nyanyian yang dinyanyikan bersama, lalu doa
pengutusan – dan akhirnya pulang sambil bersalam-salaman.
Kurang lebih pola ini hampir sama di setiap gereja-gereja yang ada di mal.
Ibadah berlangsung selama kurang lebih dua jam. Setelah itu akan masuk jam
ibadah selanjutnya. Biasanya umat yang akan masuk pada ibadah berikutnya
sudah antri berdiri di depan pintu masuk. Agaknya umat yang datang tidak mau
terlambat. Mereka rela berdesak-desakan antri menunggu giliran masuk
berikutnya. Di gereja yang lain pintu masuk dan pintu keluar umat dibedakan
mengingat ribuan umat yang akan keluar-masuk setiap pergantian jam ibadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Menurut pengamatan penulis, pada dasarnya unsur-unsur ibadah di gereja mal
tidak terlalu jauh berbeda dengan unsur ibadah yang berlaku di gereja arus utama.
Perbedaan yang mencolok adalah pada istilah-istilah teknis, seperti votum, salam,
introitus, pengucapan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli, yang jarang
(bahkan tidak pernah) disebutkan dalam ibadah di gereja mal.
Umat merasakan “pengalaman iman” yang baru dalam pola beribadah di
gereja mal. Nyanyian yang ekspresif ditambah gerak dan goyang yang girang
membuat umat merasa keluar dari „kungkungan‟ ibadah yang adem-ayem, yang
bahkan melarang tepuk tangan saat ibadah berlangsung – yang selama ini mereka
alami dalam ibadah di gereja asalnya. Khotbah pendeta juga menjadi pusat
perhatian umat. Secara umum isi khotbah berkisah soal kemakmuran, bagaimana
menjadi sukses di dalam Tuhan? Bagaimana menjadi orang yang diberkati Tuhan
dalam usaha yang sedang dijalankan? Bagaimana kita bisa memuji Tuhan lewat
BB (Blackberry)? Yang terakhir penulis dengar dalam khotbah seorang pendeta
dalam ibadah Youth, yang biasanya dilangsungkan setiap malam minggu. Bahkan
dalam salah satu khotbahnya seorang pendeta gereja ini mengatakan dengan tegas
bahwa Yesus bukan orang miskin, Ia adalah orang kaya, dan kita sebagai orang
yang diberkati Tuhan tentu akan menjadi orang kaya pula. Kalau sudah menjadi
sukses di dalam Tuhan, umat juga diingatkan agar tidak lupa memberi
persembahan kepada Tuhan. Cara berkhotbah yang “menggelegar” dan
meyakinkan umat dengan ucapan, “Ada amin?”, Lalu umat menjawab serempak,
“Amin”, rasanya semakin menambah klop-nya khotbah pendeta tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Kadangkala dalam khotbah, pendeta meminta beberapa orang untuk
memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. Misalnya: dalam kasus hukum
tabur-tuai menurut Alkitab, seorang pengusaha muda bersaksi, “Ketika saya
menomorsatukan Tuhan dalam hidup saya, saya memberikan persembahan
kepada Tuhan, meskipun saya hanya makan tempe, berjalan kaki ke sana ke sini,
namun apa yang saya tabur itu menuai hasil yang luar biasa. Dalam setahun gaji
saya naik lima kali, kini kami punya dua buah rumah besar yang harganya tak
kurang dari ratusan juta rupiah. Ditambah mobil mewah”. Kesaksian ini
disambut dengan tepuk tangan meriah dan takjub oleh umat. Kesaksian-kesaksian
seperti ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh umat dan terang saja
mampu menggugah dan memotivasi umat yang lain. Setidaknya itulah yang
dungkapkan beberapa informan saya tentang efek dari kesaksian orang dalam
ibadah (lih. Transkripsi wawancara 1).
Gereja ini juga tidak jarang menghadirkan pengkhotbah dari luar negeri,
misalnya dari Amerika, Singapore, atau Malaysia. Beberapa kali saya mengikuti
ibadah, pengkhotbahnya berbahasa Inggris karena berasal dari luar negeri. Tentu
saja seorang penerjemah diperlukan supaya umat mengerti isi khotbah yang
disampaikannya. Menariknya, seorang penerjemah memiliki semangat yang sama
persis dengan pengkhotbah, baik itu intonasi, mimik wajah, bahkan guyonannya.
Saya pikir situasi inipun menambah kesan wah lainnya dalam mengikuti proses
ibadah di gereja mal. Saya merasa tidak hanya sedang beribadah di Jakarta, tetapi
di Singapore, di mana kemampuan bahasa Inggris saya sedang dilatih juga. Saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
tentu tidak mau terkesan tidak mengerti isi khotbah pendeta tersebut atau
ketinggalan tertawa, meskipun ada penerjemah.
Kesemarakan ibadah di gereja mal sangat dipengaruhi oleh peran serta
semua pelayan/petugas ibadah, mulai dari penerima tamu, Worship Leader,
singer, dancer, cameraman, tim musik, tim LCD, pengkhotbah. Menurut salah
seorang informan18
, mereka yang terlibat aktif sebagai pelayan/petugas di gereja
mal ini, diapresiasi dengan sangat baik. Setiap persiapan yang mereka lakukan
untuk memberikan yang terbaik dalam ibadah dianggap sebagai pekerjaan
professional. Penerima tamu (usher) di depan pintu pun mendapatkan amplop
ucapan syukur. Worship Leader, singer, dancer dianggap sangat layak untuk
dihargai sesuai kontribusi mereka. Bahkan, konon pendeta yang berkhotbah pun
memiliki tarif-tarif tertentu, yang diukur dengan tingkat “bintang berapa”.
Misalnya: pendeta dengan popularitas bintang lima dihargai senilai Rp. 1,5 juta
sekali berkhotbah, pendeta bintang tiga dihargai senilai Rp. 1 juta (lih. Transkripsi
wawancara 2).
Di pihak lain, pihak gereja mal tampaknya sangat mengakomodasi
kemajuan teknologi. Untuk mendukung ibadah, gereja ini sudah terbiasa
menggunakan LCD, TV-flat, AC, peralatan band, lampu sorot/disco, smoked,
kursi satuan merk Chitose, sound system merk Marshal dan Laney. Alat-alat ini
menambah kesan mewah dalam ibadah. Amplop persembahan-pun sangat lux,
bukan amplop merk Air Mail biasa, tetapi dari karton tebal dan colourfull, selain
itu ada juga amplop janji iman.
18
Pengakuan SM dalam wawancara pada tanggal yang sama seperti di atas. (Lih.
Transkrip wawancara 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
(Gambar 12) Amplop persembahan di Gereja Casa Piccola
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal
Dari pengamatan saya, umat yang beribadah di gereja mal pada umumnya
berasal dari kelas menengah atas. Memang akan sulit untuk mengetahui kondisi
ekonomi seseorang apabila hanya melihat tampilan luarnya saja, tanpa
berinteraksi langsung dengan mereka. Namun, penulis berani memastikan mereka
berasal dari kelas menengah atas berdasarkan penampilan (cara berpakaian) yang
mirip eksekutif muda dan mobil yang dipakai. Kelompok ini tentu mempunyai
pergumulan yang berbeda dengan kelompok lain, katakanlah kelas menengah
bawah. Umumnya kelompok ini merupakan golongan usia produktif bekerja atau
paling tidak orang yang telah berpengalaman dalam dunia bisnis.
Kondisi psikologis kelas menengah seperti ini bisa dipastikan memiliki
tingkat kepenatan yang cukup tinggi dalam tuntutan kerja mereka. Situasi kerja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
dari hari Senin sampai Jumat, atau kadang-kadang sampai hari Sabtu, ditambah
kemacetan jalanan di Jakarta menambah kepenatan demi kepenatan. Dari
beberapa informan penulis, agaknya situasi seperti inilah yang ditangkap oleh
pihak pengelola gereja di mal. Orang-orang seperti ini membutuhkan saat santai
dan refreshing yang efektif dan efesien di akhir pekannya. Sementara itu, gereja
Casa Piccola yang berada di Yogyakarta sanggup menjawab kebutuhan anak
muda yang umumnya kuliah di kota ini dalam gairah masa muda lewat pola
ibadahnya. Gereja di mal dan pola ibadah yang ekpresif mampu memberikan
tempat bagi situasi ini.
Menurut saya ada beberapa hal yang membuat orang rutin beribadah di
gereja mal tanpa harus menjadi anggota tetap di sana. Pertama sambutan dan
sapaan ramah oleh penerima tamu (usher) entah mereka datang terlambat ataupun
tidak. Mereka merasa diterima meskipun bukan jemaat asli gereja tersebut. Para
usher yang berpakaian rapi itu menambah kesan elegan memasuki ruang ibadah.
Ada perasaan spesial manakala usher mempersilahkan masuk, bahkan mencarikan
tempat duduk. Belum lagi ketika mereka pertama kali datang beribadah di gereja
tersebut mereka di perkenalkan dan diberikan sambutan oleh seluruh jemaat, dan
kadang-kadang diberikan kenang-kenangan seadanya. Saya sendiri pernah
merasakannya saat melakukan penelitian ini. Bisa dibayangkan betapa perlakuan
ini menumbuhkan rasa diterima dan dihargai.
Pola ibadah yang ekspresif lewat tepuk tangan, menari, melompat,
bergoyang bisa menjadi sarana melepaskan emosi dan kepenatan mereka. Umat
dengan bebas mengekspresikan kediriannya setelah sepekan lelah bekerja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Semangat umat “dibakar” oleh situasi ibadah yang semarak dan fasilitas ibadah
yang modern. Ketika umat melompat-lompat, lampu sorot ikut bermain,
menciptakan warna-warni yang indah di dalam ruangan itu. Umat bebas
bergoyang karena lampu di ruangan agak diredupkan. Jadi, tidakperlu malu akan
dilihat oleh orang lain. Semuanya bebas bergerak dalam bahasa tubuh yang
menandakan suatu makna tertentu dalam pengalaman psiko-spiritual umat.
Karena gereja seperti ini umumnya berada di kota-kota besar, tak jarang
umat bertemu dengan artis-artis rohani Kristen yang mengisi pujian/nyanyian atau
memberi kesaksian iman dalam ibadah di gereja tersebut. Kesaksian iman artis-
artis tersebut mampu menggugah iman umat yang hadir (lih. transkripsi
wawancara 1). Seperti beberapa waktu lalu ketika penulis melakukan pengamatan
di acara Natal Kaum Ibu salah satu gereja mal, bintang tamunya yang memberi
kesaksian adalah seorang penyanyi non Kristen yang saat ini sedang belajar
agama Kristen (akan melakukan konversi). Beratnya persoalan rumah tangga yang
dihadapinya, membuat ia ingin belajar mengenal Kristus. Kristus yang maha baik
dan pengasih agaknya menjadi jawaban dalam masalahnya. Ibu-ibu yang hadir di
situ begitu terkesima dengan kesaksian penyanyi tersebut. Mereka memperhatikan
dengan seksama kesaksian si artis. Mereka ikut terharu mendengar beratnya
persoalan rumah tangga si artis dan mereka bertepuk tangan mengapresiasi
pilihan si artis, meskipun si artis tidak menunggu acara Natal sampai usai, karena
sebelum khotbah mulai, toh artis sudah pulang dengan pengawalnya.
Sensasi yang lain adalah khotbah pendeta. Seorang informan
mengungkapkan bahwa khotbah di gereja mal ini lain dengan gereja biasa, “Kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
tidak diajar tentang sejarah-sejarah yang akhh membosankan, belum lagi
pendetanya gak semangat, tapi khotbahnya mengena di hati. Kita ditantang
sebagai orang Kristen apa yang kita berikan untuk Tuhan, pokoknya enak
didengar deh”, begitu pengakuan salah seorang informan yang berstatus jemaat
simpatisan.19
Umat mendapatkan semangat baru dari pesan khotbah yang
disampaikan. Memang secara umum pengkhotbah gereja mal menyampaikan
khotbahnya dengan bersemangat, berapi-api dan sering membuat lelucon yang
menyegarkan. Kadang-kadang pendeta berkhotbah turun dari mimbar dan berjalan
ke sana-sini. Pergerakan ini memang lebih mudah karena mereka tidak memakai
jubah panjang, tetapi umumnya memakai stelan jas. Tak jarang pengkhotbah
untuk ibadah pemuda malah memakai jeans dan kemeja pressbody. Khotbah
mereka juga sangat interaktif dan komunikatif. Umat diajak berdialog dengan
pendeta tentang isi khotbahnya.
Yang tak kalah penting adalah isi khotbah. Isi khotbah umumnya tentang
kemakmuran dan kesuksesan. Dalam khotbah seorang pendeta, sangat jarang
(hampir tidak pernah) menyinggung tentang kemiskinan, penderitaan sosial,
tindak pidana korupsi yang merugikan banyak orang, dan lain-lain. Tak jarang
umat sengaja mencari jadwal pendeta yang khotbahnya lucu-lucu dan
menyegarkan. Oleh karena itu kesan saya mereka merasa “aman dari khotbah
yang menegur”. Hal ini juga terlihat dari pendapat informan berikut ini.
Dia (seorang pendeta) ngaku di sebuah wawancara di koran, bahwa dia tidak
akan mengatakan yang jelek-jelek dan negatif, tentang dosa dan sebagainya
karena itu tidak disukai oleh jemaat-jemaatnya. Iya, dalam hal ini, dia
19
ES, seorang guru SD Kristen di Jakarta, wawancara tanggal 21 Januari 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
mengkhotbahkan yang enak-enak aja dan itu yang banyak dicerca oleh gereja
lain, tapi saya kira itu bukan Injil yang sebenarnya”20
Dengan demikian wajarlah jika kelompok kelas menengah yang bergumul dengan
bisnisnya, menyukai isi khotbah yang memotivasi seperti ini. Tingkat kesuksesan
seseorang bahkan dapat menjadi tolok ukur tingkat keimanannya. Umat
disemangati supaya menjadi anak-anak Tuhan yang berprestasi dan mengingat
pertolongan Tuhan dalam hidupnya lewat persembahan yang diberikan ke gereja.
Hal lain tentang ibadah di gereja mal adalah prestise. Ketika mereka
beribadah di gereja mal, mereka bertemu dengan realitas tampilan “kemewahan,
kemegahan dan keistimewaan”. Cara berpakaian umat yang santai tetapi tetap
mewah, kendaraan pribadi yang membuat padat tempat parkir, sistem pemberian
persembahan atau persepuluhan via rekening bank entah disadari atau tidak
membuat mereka merasa menjadi bagian dari realitas itu dan bangga dengannya.
Belum lagi ada tokoh terkenal atau populer seperti pejabat pemerintah dan artis
yang hadir dalam ibadah itu atau yang memang rutin beribadah di gereja tersebut
tentu makin menambah faktor prestise ini.
Kesan saya, umat menemukan cara menggereja yang baru lewat beribadah
di gereja mal. Umat telah merasa bosan dengan pola ibadah yang kaku dan terlalu
menjaga tradisi, sehingga tertutup dengan pembaharuan. Kesan ini juga yang
dirasakan oleh seorang Pendeta Muda, informan saya, khususnya di kalangan
pemuda (lih. transkripsi wawancara 4). Mereka tidak perlu malu karena umat yang
hadir belum tentu saling kenal satu sama lain, tidak akan ada gosip-gosip seputar
20
SS, seorang dosen teologi di Jakarta, wawancara tanggal 15 Januari 2010 di Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
kehidupan umat yang bisa beredar (hal ini biasanya sangat rentan dalam gereja
kesukuan). Yang penting khotbahnya enak, membangun iman, berikan kolekte
sesuai kepuasan yang didapat, lalu pasca ibadah masih bisa bersantai “cuci mata”
di mal. Gereja di mal agaknya menjadi tren pemenuhan spiritualitas yang bisa
menyentuh kebutuhan psikologis orang-orang dari kelas ini. Pengelola gereja mal
bisa menangkap kegelisahan mereka.
Hal lain yang dirasakan sangat menggugah iman dan membuat hati plong
adalah saat Altar Call. Bagian ini sangat menarik, umat ditantang untuk
menunjukkan responsnya atas khotbah yang telah disampaikan. Biasanya
tantangan ini berkaitan dengan keterikatan seseorang dengan roh jahat atau dosa-
dosa keturunan yang membuat hidupnya belum juga damai atau masih menderita
sapai saat ini. Mereka yang dipanggil ke depan altar didoakan dan
ditumpangtangan oleh pendeta. Beberapa pelayan ibadah yang lain juga turut
berdiri mendampingi umat yang maju ke depan tadi. Pendeta berdoa dengan suara
yang lantang, sementara itu ibadah menyambung-nyambung doanya tersebut.
Terciptalah suasana doa yang ramai karena mereka berdoa dengan suara yang
keras, “Shhhsssss, pergi kau iblis, kami tengking21
di dalam nama Tuhan Yesus”.
Doa ini berkali-kali diulangi, berganti-gantian dengan ucapan, yang menurut
mereka adalah karunia bahasa roh, “Sylabalaba, bababaabbab, lalallaallalal”
semakin lama semakin kencang, pelan lagi, kencang lagi. Kesan saya terhadap
situasi ini adalah timbul semacam perasaan magis, karena sedang terjadi
“pertempuran” antara roh jahat dan roh Tuhan dalam diri seseorang.
21
Kata “tengking” merupakan kata yang sangat sering dipakai oleh gereja ini untuk
memperlihatkan proses mengeluarkan roh-roh jahat dari dalam diri seseorang. Agaknya kata
tengking memiliki kedekatan arti dengan enyahkan, keluarkan, hancurkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Satu gelombang Altar Call bisa berlangsung selama setengah jam. Umat
yang tadinya berdiri kadang kala ada yang terjatuh ke lantai dan pingsan.
Biasanya peristiwa ini dipahami sebagai keluarnya roh jahat dari dalam tubuh
seseorang. Namun, di pihak lain, informan saya pernah mengatakan bahwa ia
terjatuh karena posisi badan yang tidak seimbang. Saat matanya terpejam,
kepalanya disentuh, pundaknya dipegang, lalu didoakan dengan suara keras, maka
pertahanannya limbung dan ia terjatuh. Umat merasakan ada sensasi magis yang
terjadi di sana atas bantuan Roh Kudus melalui pendeta yang diurapi itu. Ada
kelegaan tersendiri, ketika beban batinnya didoakan oleh pengkhotbah dengan
cara yang memang tidak terlalu umum di gereja-gereja konvensional. Menurut
pengamatan saya acara ini sifatnya sangat teatrikal.
(Gambar 13) Suasana Altar Call: pengkhotbah memanggil beberapa orang
maju ke depan sambil diiringi nyanyian oleh singer.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kegiatan pasca ibadah tidak kalah penting. Setelah ibadah biasanya
mereka berkumpul bersama teman atau anggota keluarga yang juga beribadah di
gereja tersebut sambil makan bersama. Selain makan bersama mereka juga dapat
sekalian berbelanja atau paling tidak “mejeng di mal”.
Sensasi belanja dan suasana foodcourt semakin menambah lengkap pesona
mal sebagai one stop service. Jika mau belanja kebutuhan sehari-hari, ada
supermarket atau hypermarket yang siap menjual mulai dari bumbu dapur sampai
alat elektronik. Apabila bepergian dengan keluarga, anak-anak kecil bisa dibawa
ke arena bermain anak. Semuanya bisa dilakukan dengan one stop service di mal.
5. Kesimpulan
Ada berbagai alasan dan latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal.
Pihak pengelola gereja sebenarnya memiliki keinginan untuk membangun gereja
di wilayah pemukiman penduduk dan di lahan tertentu, sebagaimana gereja-gereja
pada umumnya. Namun, dalam kenyataannya, izin untuk membangun rumah
ibadah agak sulit diperoleh. Keinginan yang kurang didukung oleh ketatnya
aturan pemerintah dan masyarakat inilah yang agaknya membuat pihak pengelola
gereja mencari alternatif lain.
Akhirnya, kehadiran mal dianggap sebagai peluang untuk mengadakan
ibadah di sana. Meskipun tidak sebebas gereja-gereja arus utama yang memberi
tanda-tanda Kristen pada fisik gerejanya, misalnya salib di depan gereja, namun
gairah mengadakan ibadah tetap berkobar. Hasilnya, malah luar biasa. Mal yang
awalnya sepi, justru “dihidupi” oleh umat yang datang beribadah di gereja mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Justru gereja mal mempunyai daya tarik tersendiri bagi umat. Setiap hari Minggu
ada ribuan umat yang potensial membelanjakan uangnya di mal setelah mereka
mengikuti ibadah di gereja tersebut. Fenomena ini menjadikan adanya simbiosis
mutualisme yang terjadi antara pengelola gereja dan pengelola mal, meskipun
ketika ditanyakan, pihak pengelola mal seolah-olah tidak terlalu peduli dengan
simbiosis mutualisme ini, karena yang terpenting gedungnya laku disewa.
Yang terjadi kemudian adalah ibadah dan belanja berduet dalam atmosfer
pesona mal. Jika dulu orang memiliki kesan tentang gereja yang kudus dan pasar
yang kurang kudus, kini orang tidak terlalu mempersoalkan pemaknaan keduanya.
Yang terpenting saat ini adalah penggabungan keduanya. Ada pola-pola yang
hampir mirip ketika orang bicara soal hasrat beribadah dan hasrat berbelanja.
Hasrat belanja yang tidak pernah terpuaskan ada miripnya dengan hasrat mencari
Yang Ilahi yang selalu dirindukan sentuhannya.
Masuk ke ruang ibadah kita disambut senyum hangat dan bersahabat para
penerima tamu. Setelah itu, ibadah yang dilangsungkan di dalam gereja sangat
ekspresif dan “lepas”. Konon, pendeta-pendeta yang berkhotbah adalah pendeta
yang telah tersohor namanya dengan khotbah yang menggelegar dan sedap
didengar karena bicara soal “Bagaimana menjadi sukses di dalam Tuhan?”.
Belum lagi kesaksian beberapa orang yang meng-amin-kan pesan khotbah, karena
kekayaan dan kesuksesan yang dimilikinya sekarang disebabkan oleh berkat
Tuhan yang luar biasa dalam hidupnya. Bentuk promosi seperti diskon, iklan dan
sense of space dalam pesona mal melahirkan suatu pengalaman iman dan belanja
yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA
DI GEREJA MAL
Salah satu sifat manusia adalah berhubungan dengan manusia lainnya.
Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan
keinginannya masing-masing. Dalam proses berhubungan inilah tercipta interaksi
sosial dalam kehidupan manusia. Interaksi terjadi apabila satu individu melakukan
tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain. Bentuk
interaksi itu bermacam-macam, salah satunya yang akan penulis pakai untuk
menganalisis tema menggereja di mal adalah interaksionisme simbolis yang
dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead melihat realitas sosial yang terjadi di
masyarakat lewat bahasa simbol yang ditafsirkan. Bagi Mead realitas sosial muncul
karena interaksi lewat simbol antar anggota masyarakat. Perhatian utama dalam teori
interaksionisme simbolis adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling
ketergantungan yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman
kelompok kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran individu dan
pola-pola interaksi dalam skala kecil.1
Bab ini akan menganalisis dan menafsirkan secara mendalam realitas sosial
seperti apa yang dilahirkan oleh orang-orang yang beribadah di gereja mal. Lalu,
bagaimana orang-orang yang menggereja di mal mengidentifikasikan dirinya dengan
1 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
pola konsumsi mal itu sendiri? Teori konsumsi dari Baudrillard akan dipakai untuk
melihat bagaimana barang-barang menjadi sarana komunikasi dan interaksi orang
dalam masyarakat konsumsi. Untuk menguraikan tema-tema ini, penulis akan
menempuh dua langkah, yaitu menguraikan temuan penulis tentang simbol-simbol
baru dalam pola ibadah di gereja mal, lalu mencermatinya secara analatik lewat
penafsiran simbol-simbol yang ada, sehingga terbentuklah komunitas gereja dalam
masyarakat konsumsi.
1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal
Gereja mal menciptakan berbagai jenis interaksi simbol di dalamnya. Dari dua
kata yang membentuknya, yaitu gereja dan mal, maka yang secara langsung muncul
di pikiran orang adalah hal tentang gereja yang berada di mal dan gereja yang
memakai fasilitas di mal sebagai ornamen-ornamen ibadatnya. Oleh karena itu, bisa
dipastikan bahwa simbol-simbol interaksi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mead
tercipta dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan simbol-simbol
interaksi dalam gereja konvensional. Ada banyak simbol yang tercipta di gereja mal,
namun penulis memilih beberapa simbol yang dianggap penting yang cukup berbeda
dengan konsep gereja konvensional ataupun gereja sealiran yang tidak berada di mal.
Konsep Mead tentang bahasa isyarat, suara, dan konsep diri akan dipakai sebagai
kerangka teori untuk mengetahui kekuatan simbolik apa yang terdapat dalam
interaksionisme simbolis yang berlangsung dalam kehidupan umat yang menggereja
di mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
1.1 Bahasa Tubuh
Sebagaimana setiap orang terhisab dalam komunitasnya dan memahami
konsep-konsep simbol yang berlaku di komunitasnya tersebut, maka umat di gereja
mal dengan sadar mengekspresikan gerak tubuhnya dalam ibadah yang berlangsung.
Gerak tubuh ini menjadi isyarat yang ditafsirkan oleh anggota dalam komunitas itu
dan tentu saja memberi efek yang mendalam pada diri orang yang memakainya.
Beberapa gerak tubuh itu antara lain:
i. Mengangkat tangan (satu atau dua tangan) ke atas
Gerakan ini umumnya dilakukan pada saat menyanyikan lagu. Saat
menyanyikan sebuah lagu umat terhanyut dalam suasana girang dan sendu, sehingga
dengan refleks mengangkat tangannya. Namun, kadangkala ajakan tersebut datang
dari Worship Leader yang memimpin berlangsungnya ibadah. Ada beberapa gerakan
dalam mengangkat tangan, antara lain: mengangkat kedua tangan ke atas dengan
telapak tangan terbuka, mengangkat satu tangan ke atas sementara dengan posisi
telapak tangan terbuka dan tangan lain diletakkan di dada dengan posisi telapak
tangan mengusap dada atau mengepalkan tangan di dada, mengangkat kedua tangan
ke atas dengan mengepalkan kedua telapak tangan. Kedua tangan yang terangkat ke
atas dengan posisi telapak tangan terbuka dan diayun ke kanan dan kiri membawa
seseorang masuk ke dalam suasana gembira berada dalam komunitas. Sementara
tangan yang dikepalkan menyiratkan suatu kebulatan tekad dan kepastian dalam diri
umat, misalnya dalam lirik lagu, “Ku mau menyenangkan-Mu Yesus,” tangan kanan
dikepalkan dengan kencang sebagai pernyataan kebulatan tekad seseorang untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
menyenangkan Yesus. Umat dalam komunitas di tempat itu mengkomunikasikan
pesan bahwa dirinya yang sedang mengangkat tangan dan mengepalkan tangan
adalah seorang beriman yang ingin menyenangkan Yesus dalam kehidupannya. Ada
pesan “iman” yang dikirim umat dalam gereja itu dalam bahasa simbol yang mereka
lakukan lewat gerakan tangan ini.
Gerakan lain yang juga sering dilakukan oleh umat pada saat menyanyi adalah
memejamkan mata, seakan membiarkan lagu itu masuk ke relung hatinya yang paling
dalam. Mata yang terpejam umumnya membantu seseorang berkonsentrasi dalam
melakukan suatu tindakan. Sementara mulutnya terus bernyanyi, tangannya diangkat
ke atas, matanya terpejam, umat berada dalam suasana riang nan syahdu yang
diciptakan dengan sangat baik oleh tim musik dan Worship Leader yang bertugas.
Gerakan ini memiliki kekuatan yang mendalam pada diri umat karena berkaitan
dengan pemaknaan akan sesuatu yang “berkuasa” di dalam dirinya. Tentu tidak
mudah bagi seorang Worship Leader untuk menciptakan suasana seperti ini. Ia perlu
latihan untuk menyesuaikan jenis musik dengan pesan yang akan disampaikannya,
memenggal lagu dan mengulanginya, mengisi jeda di lagu dengan kata-kata motivasi,
dll. Ini terbukti lewat wawancara penulis dengan salah seorang tokoh (tangan kanan
gembala sidang)2 ketika penulis hendak meminta wawancara dengan tim musik:
“Oh tidak bisa wawancara, mereka (tim musik) sangat sibuk. Kalau kamu mau
datang lihat latihannya di hari Sabtu silahkan saja, tetapi saya tidak jamin mereka
mau diwawancarai karena mereka sangat sibuk”
2 Seorang ibu tangan kanan gembala sidang, wawancara tanggal 20 Desember 2009 di ruang
sebelah sekretariat Gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Kepiawaian tim musik menciptakan suasana yang mengagumkan ini terbukti pada
saat ibadah hari Minggu nyaris mereka tampil tanpa cacat dan membuat umat yang
hadir mampu menghayati setiap kesempatan dengan ekpresi mengangakat tangan atau
memejamkan mata. Saat pertama kali saya datang ke gereja ini, saya merasa agak
canggung mengikuti gerakan tubuh seperti ini karena tidak terbiasa dilakukan di
gereja saya. Namun bagi mereka yang sudah rutin beribadah di gereja ini, aksi
mengangkat tangan adalah hal yang lazim. Bahkan jika tidak mengangkat tangan
malah mungkin merasa tidak enak karena biasanya akan diperhatikan oleh atau dilihat
oleh beberapa orang (petugas ibadah) yang berdiri di ruas-ruas tempat duduk umat.
Tentang hal ini akan lebih jelas dibahas pada bagian analisis mengenai beberapa
motivasi orang melakukan suatu tindakan yang menjadi komunikasi simbol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
(Gambar 1) Mengangkat tangan dalam ibadah menjadi ciri gereja ini,
ekspresi mendalam saat bernyanyi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
ii. Tepuk tangan
Tepuk tangan adalah suatu cara memberi apresiasi pada suatu hal yang
dianggap baik. Tepuk tangan dalam ibadah di gereja ini tidak terbatas pada tepuk
tangan biasa(di depan dada). Kadang-kadang tepuk tangan dilakukan dalam posisi
diatas kepala. Cara ini menjadi suatu kekuatan simbol yang menandakan bahwa
seseorang sedang bersemangat dan bergembira mengikuti prosesi ibadah itu. Pesan
yang dikirim oleh Worship Leader kepada umat dan pesan yang dikirim antar umat
adalah ekspresi bahagia dan sukacita. Ungkapan yang sering dipergunakan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
khususnya setelah mengakhiri suatu lagu, Worship Leader akan mengucapkan, “Beri
tepuk tangan bagi Tuhan kita”, dan umat dengan serempak memberikan tepuk tangan
yang meriah. Luapan kegembiaraan yang dirasakan oleh semua umat dikirim lewat
pesan tepuk tangan mengakhiri lagu. Bagi saya yang baru pertama kali datang,
tindakan ini pasti agak menganggu karena di gereja-gereja arus utama, umumnya
sangat jarang bertepuk tangan dalam ibadah, khususnya ibadah minggu karena
dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah. Gerakan-gerakan yang biasanya
dilakukan dalam ibadah di gereja konvensional agak terbatas pada aksi duduk dan
berdiri saja.
iii. Melompat dan Menari
Melompat dan menari merupakan aksi yang cukup sering dilakukan dalam
ibadah di gereja mal. Pada bagian ini lagu yang dinyanyikan biasanya bertempo
cepat. Seseorang yang melakukan hal ini bisa mengirimkan pesan pada orang lain
yang ada di sekitarnya bahwa dirinya sedang bersukacita, bergembira dan
bersemangat. Gerak dan goyang ini dilakukan tanpa sungkan atau malu-malu,
ditambah pemandu gerak di depan mimbar juga dengan sangat ekpresif
mencontohkan gerak demi gerak yang sesuai dengan kata-kata di dalam lagu tersebut,
misalnya lirik lagu, “Dari utara ke selatan, nama Yesus disanjung tinggi, dari barat
sampai ke timur … dari lembah-lembah, sungai-sungai, gunung-gunung yang
tinggi… Allahku dahyat, perkasa, seluruh bumi tunduk menyembah …”. Umat tidak
akan sungkan mengangkat tangannya menunjuk kiri, kanan, muka dan belakang,
bergoyang ke kanan dan ke kiri, lalu melompat ketika ada pernyataan kedahsyatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Allah. Ekspresi ini diungkapkan dengan sangat terbuka. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan gereja lain, yang dalam kebaktiannya jarang sekali bertepuk tangan, menari
dan melompat. Tiap orang yang menggereja di gereja mal sudah tahu bahwa di gereja
ini ibadahnya tampil sangat ekspresif. Setidaknya begitulah pengakuan informan
penulis saat melakukan wawancara:
“Yang membuat aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya,
lagu-lagunya. Padahal lagu-lagunya kadang memakai Kidung Jemaat
juga, tetapi cara menyanyikannya yang berbeda, lebih
semangat dan ekspresiflah”3
Suasana yang berbeda yang ditemukan di gereja mal ini membuat beberapa umat
yang meskipun telah memiliki keanggotaan di gereja lain, merasa tertarik beribadah
di sana. Ada semacam “kebosanan” tersendiri dengan pola ibadah di gereja asalnya
yang kelihatannya agak kaku dan tidak terlalu memberi tempat pada aksi-aksi yang
lebih semarak, misalnya tepuk tangan atau menari. Pengakuan ini juga terlontar oleh
informan yang lain:
“Kita tu dibawa masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana
sih, ekspresif aja, gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita,
tenaga kita, energi kita untuk Tuhan, fokuslah.”4
Agaknya para informan ini berani bertaruh bahwa pertumbuhan iman mereka di
gereja mal jauh lebih dinamis dibandingkan di gereja asal mereka. Ha ini juga
terbukti dari mimik wajah dan antusiasme para informan ketika penulis mewawancari
3 Wawancara dengan ES, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu digereja arus
utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD. 4 Wawancara dengan RS, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus
utama. wawancara tanggal 21 Januari 2010di Sekolah PSKD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
mereka tentang ibadah di gereja mal ini. Dengan bersemangat mereka menceritakan
pengalaman mereka beribadah di sana dan terpesona dengan pola ibadah yang
ditampilkan.
(Gambar 2) Kelompok penari Tamborin yang ikut menyemarakkan
Lagu-lagu yang dinyanyikan dengan tarian mereka
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
iv. Munundukkan kepala, memukul dada, dan menangis
Setelah sekitar 30 menit umat diajak dalam suasana “sorak-sorai bergembira”
pada bagian awal ibadah, maka umat yang tadinya bersemarak dengan luapan
kegembiraannya, kini digiring ke dalam suasana teduh nan syahdu, yaitu saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
pengakuan dosa. Jenis lagu dan tempo lagu yang dimainkan langsung berbeda. Pada
bagian ini lagu yang dinyanyikan lebih pelan dan menyayat hati, misalnya pada lirik
lagu, “… walau dosaku merah bak kain kesumba, Engkau menjadikanku putih,
seputih bulu domba…”. Dengan lugas layar di LCD dan TV-TV flat yang ada di
sekitar ruangan ibadah menampilkan gambar-gambar orang yang berlutut, yang
mengakui kesalahannya dan gambar Tuhan yang mengampuni manusia yang tentu
saja mampu menggugah perasaan umat. Worship Leader kembali menggiring umat
masuk dalam penghayatan pengakuan dosa ini. Menurut pengakuan seorang
informan:
“Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita dibawa. Nah kita merasa kuat dan
plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang saya rasa’in di gereja ini”5
Dengan jujur informan mengakui bahwa ada perasaan lega manakala umat menangis
sekaligus merasakan bahwa ada “sentuhan ilahi” yang memasuki hidupya yang
berdosa dan berbeban berat itu. Penulis sendiri merasakan hal yang kurang lebih
serupa. Di bagian ini tim musik mampu menghasilkan suasana syahdu yang
melibatkan emosi umat. Itulah sebabnya tak jarang ada umat yang menitikkan air
mata atau terisak-isak di dalam doa pengakuannya. Umumnya posisi tangan yang saat
berdoa berada di depan dada. Sambil menunduk sedih umat hanyut dalam refleksi
perasaan dosa dan bersalah yang dilakukannya mungkin dalam sepekan ini. Umat
tidak malu-malu jika dalam penghayatan keberdosaannya ini ia sampai menangis,
lagipula bukankah tidak banyak orang yang dikenalnya di dalam ibadah tersebut.
5 Pengakuan RS wawancara tanggal 21 Januari di Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Simbol ini memberikan suatu pernyataan kesadaran dan penyesalan yang mendalam
atas dosa-dosanya, serta pemaknaan akan besarnya kasih Allah yang senantiasa
mengampuni orang yang menyesali dosanya. Di sini kebesaran Allah yang diagung-
agungkan pada bagian awal ibadah tadi menjadi semakin tampak tatkala ada
pengampunan yang diberikan-Nya pada orang yang mengaku bersalah. Desire umat
tentang Yang Kudus “berjumpa” dalam jangkauan perasaan yang ditimbulkan pada
bagian ini.
Beberapa hal di atas umumnya berlangsung selama tigapuluh sampai empat
puluh lima menit. Bagian pertama dalam rangkaian ibadah ini disebut dengan bagian
Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship). Inilah saat di mana umat diajak
masuk dalam suasana menyembah Tuhan yang luar biasa kuasa-Nya yang mampu
memberikan berkat berlipat ganda dalam hidup umat. Setiap isyarat simbol menjadi
alat komunikasi yang ditafsirkan oleh setiap umat yang hadir baik lewat bahasa
tubuh, suara, atau nyanyian. Ungkapan kegembiraan, kebulatan tekad, ekspresi
kesedihan, lompatan, tarian, tepuk tangan, dan memukul dada tanda penyesalan
menciptakan suatu pembacaan akan kualitas beriman seseorang. Tentu saja dalam
melakukan semua kegiatan ini umat tidak perlu terlalu takut, canggung atau malu-
malu, karena mereka tidak ada hubungan apa-apa dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Mereka tidak saling kenal karena jumlah umat yang mencapai ribuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
orang dalam satu kali ibadah. Menurut pengakuan salah seorang umat yang penulis
wawancarai:6
“ Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu
kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in,
padahal gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian
jemaat yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan
terdekat saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-
sekali saja ke gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah”
Individu dikenali dari ekspresi simbolis yang terjadi, yang mereka lakonkan
selama ibadah itu berlangsung. Melalui gerak tubuh ini terciptalah suatu komunitas
simbolik yang saling menafsirkan gerakan satu sama lain dalam berlangsungnya
ibadah di gereja mal.
1.2 LCD dan Alkitab Elektronik
Salah satu simbol baru yang juga sangat mencolok dalam gereja mal adalah
memanfaatkan kemajuan tekhnologi dalam berlangsungnya ibadah di sana. Sebagian
umat memang masih ada yang datang membawa Alkitab, tetapi tak jarang umat yang
datang mengandalkan kemajuan tekhnologi yang dipakai oleh gereja ini, khususnya
menampilkan ayat-ayat Alkitab di layar besar yang ada di depan. Umat tidak perlu
repot membawa Alkitab di tasnya, karena fasilitas Alkitab elektronik disediakan oleh
gereja. Selain itu dengan kemajuan tehnologi saat ini, program Alkitab juga sudah
ada aplikasinya di layanan telepon seluler (handphone). Dengan demikian, umat
dengan mudahnya membuka Alkitab lewat HP-nya saja.
6 Pengakuan ES wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Dalam khotbah-khotbahnya, para pendeta gereja mal banyak mengutip ayat-
ayat Alkitab. Jika tidak terbiasa membuka Alkitab pastilah kita akan megalami sedikit
kesulitan membuka kitab demi kitab. Akan tetapi, gereja ini banyak memanfaatkan
kemajuan tekhnologi, sehingga ketika baru saja pendeta mengucapkan, “bersama-
sama kita baca di dalam kitab Keluaran pasal 3 ayat 29”, layar monitor yang ada di
bagian depan atau TV flat yang ada di sudut-sudut atau samping-samping kursi secara
langsung akan menampilkan isi teks yang dimaksudkan oleh pendeta, sehingga umat
bisa langsung membacanya. Jelas saja hal ini sangat memudahkan umat menjangkau
teks-teks Alkitab yang diuraikan oleh pendeta dalam khotbahnya. Kadangkala teks
Alkitab dibaca secara berbalasan, misalnya ayat ganjil dibacakan oleh pendeta,
sementara ayat genap oleh umat, tentu saja umat yang tidak membawa Alkitab
sekalipun bisa ambil bagian karena teks Alkitab yang dimaksud sudah terpampang di
hadapan mereka. Umat tidak perlu menunggu lama, sekali klik saja, ayat-ayat itu
sudah terpampang. Umat yang membawa Alkitab justru memakan waktu yang lebih
lama mencari-cari teks yang dimaksud di dalam Alkitabnya.
Masing-masing umat sudah mengetahui bagian ini, sehingga ketika giliran
pendeta menyampaikan khotbah mereka sudah bersiap-siap menatap ke layar monitor
yang paling dekat dengan dirinya. Terang saja umat yang menggereja di sini tidak
gaptek (gagap tekhnologi). Mereka menjadi biasa dengan adanya layar besar, TV flat,
LCD yang dengan sangat mudah dan cepat menampilkan kebutuhan yang berkaitan
dengan teks-teks “siraman rohani”. Pastilah suasana ini sangat berbeda dengan
gereja-gereja lain yang umumnya fasilitas yang dimilikinya hanyalah organ dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
papan tulis kecil yang tergantung di sudut-sudut dinding berisi nomor-nomor lagu
yang akan dinyanyikan dan teks Alkitab yang akan dibaca pada minggu itu. Selain
itu, aplikasi Alkitab Elektronik yang dipergunakan dalam membaca teks khotbah juga
memberi kesan elegan. Orang kini bisa terlihat modern namun tetap rohani dengan
adanya aplikasi tersebut. Ada semacam “rasa wah” tertentu yang tercipta dengan
pemanfaatan tekhnologi tersebut. Rasanya segala sesuatunya menjadi mudah dalam
ibadah di sini.
1.3 Bahasa Roh
Bahasa Roh atau glosolalia merupakan peristiwa pada saat keduabelas rasul
dihinggapi lidah-lidah api. Dalam peristiwa itu para rasul mampu mengucapkan kata-
kata yang bukan dalam bahasanya, sehingga banyak orang yang berkumpul pada saat
itu yang berasal dari berbagai suku, mengerti apa yang diucapkan oleh para rasul. Isi
pengajaran para rasul tersebut bisa dipahami oleh orang banyak dan membuat mereka
takjub dengan situasi turunnya Roh Kudus. Namun, dalam tradisi bahasa roh di gereja
mal, agaknya definisi tentang bahasa roh mengalami pergeseran makna dari
pengalaman awal para rasul dan orang-orang yang berkumpul pada saat itu. Umat
yang hadir dalam ibadah – yang nyatanya mampu mengucapkan Bahasa Roh – tidak
mengerti apa yang diucapkannya. Informan penulis yang terlibat aktif melayani di
gereja mal mengatakan bahwa “Saya gak ngerti bahasa roh itu apa, karena itu kan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
bahasa malaikat, tapi saya bisa mengucapkannya”7. Ada pergeseran makna dan
konsep tentang Bahasa Roh itu sendiri.
Sementara itu dalam obrolan santai saya dengan seorang teman yang pernah
pula berdiskusi dengan dosennya yang “bisa berbahasa roh”, menurut pengakuan
sang dosen, “Saya mendapatkan kemampuan ini pada saat saya di Amerika dan
mengikuti ibadah gereja kharismatik. Bahasa roh itu adalah cara roh berdoa pada
Tuhan mewakili pergumulan hidup manusia yang berat.” Menurut pengakuan teman
saya tadi, pernah suatu kali saat mereka mengadakan retreat di daerah Kaliurang,
sang dosen mendengar bahwa di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat retreat
mereka, ada sekelompok orang yang sedang melakukan retreat juga dan si dosen bisa
mendengar dan menangkap bahwa di tempat komunitas itu mereka sedang berbahasa
roh dan ia bisa memastikan bahwa ada banyak masalah dan pergumulan orang-orang
yang mengikuti retreat tersebut, terbukti dari isi bahasa roh yang diucapkan di sana.8
Jadi ada beberapa konsep tentang bahasa roh yang berkembang dalam pemikiran
umat. Bagi saya sendiri, bahasa roh diucapkan jika ada orang yang mampu
menafsirkannya, sehingga pesan pengajaran dari bahasa roh itu membangun iman
orang yang mendengarkannya.
Lafal dari bahasa roh yang dikeluarkan oleh umat pada saat ibadah di gereja
mal misalnya: syalabalaba, syikilabalaba atau syakarakara, biasanya diucapkan
secara serempak, mirip orang yang sedang tahlilan (dalam tradisi Muslim). Saat-saat
7 Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal, wawancara tanggal 24 Juli
2009. 8 Wawancara dengan FS, mahasiswa teologi, wawancara tanggal 17 Agustus 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
akan mengucapkan bahasa roh biasanya diiringi oleh sebuah lagu. Lagu mempunyai
kekuatan yang sangat penting menggiring umat dalam berbagai situasi ekstatik
Bahasa Roh ini. Pada saat ini Worship Leader yang berada di bagian depan stage
mengajak umat mengulang-ulang sebuah lagu dan memberikan tekanan pada lirik-
lirik tertentu, “…mujizat terjadi, mujizat terjadi saat datang di altar-Nya”. Lalu,
mulailah suara desisan syikilabalabalaba yang awalnya diucapkan oleh Worship
Leader dan umat mulai mengikutinya.
Di tengah-tengah suasana riuh rendah pelafalan syikilabalabalaba atau
syakarakarakara, Worship Leader kadangkala menambahkan satu lagu lagi untuk
dinyanyikan yang pesannya hampir mirip dengan lagu pertama tadi, misalnya “Besar
anugerah-Mu……,”, dan umat yang mengetahui lagu ini dengan spontan umat
menyanyikan lirik lagu ini dan meneruskannya, “Melimpah kasih-Mu, semakin hari
semakin bertambah besar anugerah-Mu”. Untuk sementara ucapan syikilabalabalaba
terpotong dengan lagu ini. Lagu ini juga dinyanyikan berkali-kali dengan penekanan
lirik yang diucapkan dengan lantang oleh Worship Leader, “Ya memanglah besar
angugerah-Mu, Tuhan….. Setiap hari dalam hidup kami Kau tambahkan…”
sementara umat terus bernyanyi dan sebagian mengucapkan bahasa roh.
Ketika lagu kedua selesai dinyanyikan, sementara musik terus mengalun,
Worship Leader kembali berucap syalabalabalabala, dari lembut, makin keras,
sangat keras, dan umat serta merta ikut mengucapkan syalabalalbalabala. Di sela-
sela suara gemuruh umat, Worship Leader berucap “Mari sembah Dia, sembah Dia”
dan mengulangi lagi, syikirabarabarabaraba. Umat terus mengucapkan hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
sama, sedikit bergetar mengucapkan kalimat-kalimat bahasa roh, kadang-kadang
seperti menggemakan babababbababa dengan suara yang keras dan semakin keras.
Lalu Worship Leader kembali mengucapkan peenyataan-pernyataan tentang
kebesaran Tuhan, “Kau yang layak kami puji Tuhan, Kaulah Allah kami, Kau yang
berkuasa, Engkau yang bekerja dalam hidup kami, mari Tuhan lihat kami yang ada di
tempat ini”. Suasana begitu riuh rendah dan untaian kata-kata yang diucapkan secara
serempak. Lalu Worship Leader bernyanyi lagi, “Selama ku menyembahMu, ku
percaya bahwa mujizat pasti terjadi, selama Kau besertaku, kupastikan ada mujizat
setiap hari….”, seolah menjadi pertanda bahwa Bahasa Roh telah selesai dan akan
segera ditutup oleh lagu ini. Kekuatan simbolik ini berada pada penekanan-penekanan
yang berulang-ulang dari lagu yang dinyanyikan dan kekuatan penegasan kata-kata
dalam lirik lagu yang dikutip oleh Worship Leader. Nyatanya umat yang sudah
terbiasa dengan gereja ini hanyut ke dalam “situasi magis” yang terjadi beberapa
menit itu.
Bahasa roh kadang juga dilakukan ketika diadakan Altar Call, di mana umat
ditantang maju ke depan untuk didoakan, untuk dibaharui oleh Roh Kudus. Itulah
sebabnya disebut dengan Altar Call. Biasanya orang yang didoakan atau ditumpang
tangan oleh pendeta pada saat Altar Call terjatuh dan kadang pula pingsan. Penulis
tidak mengetahui dengan jelas apa sebenarnya yang menyebabkan orang terjatuh
dalam Altar Call tatkala pendeta mendoakannya dengan suara yang keras. Bisa jadi
ini adalah ungkapan penyesalan yang mendalam atas dosa-dosanya atau hanya ikut-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
ikutan karena orang lain yang sudah “dilepaskan” dari roh jahat selalu jatuh setelah
didoakan.
Menurut salah seorang informan yang dulunya aktif melayani di gereja seperti
ini, aksi jatuhnya tersebut tak lain karena mengikuti “skrip” yang diatur oleh pihak
gereja:
Mereka kelihatan sekali menekankan kesucian dibandingkan gereja-gereja
mainstream. Di hadapan jemaat didoakan sampai jatuh jatuh, harus jatuh. Waktu itu
saya belum baca skenarionya dan tidak jatuh, makanya dimarahi. Ada skripnya dan
biasanya bahasa-bahasa yang digunakan untuk mengingatkan skrip itu “jangan
keraskan hatimu”. Ingat lho skrip tadi. Dan itu rahasia umum, tim musik dan jemaat
[bukan jemaat simpatisan] biasanya tahu. Ada skenario besar, yang mengaku dosa di
setiap tempat ibadah yang berbeda-beda itu orang yang sama, yang angkat tangan,
yang menangis ke depan dan yang angkat tangan itu orang yang sama. Lama-lama
melayani di situ sambil-sambil cari tahu mana yang benar, bosan juga akhirnya.9
Pengakuan informan ini agak mengejutkan saya, khususnya tentang skrip itu. Dalam
wawancara ini beberapa orang yang berkumpul sempat pula menanyakan apakah
pendeta yang memimpin acara ini juga tahu kepura-puraan ini? Akan tetapi, ternyata
ada alasan tersendiri yang menyebabkan kadang-kadang orang ikut dalam skrip ini,
sebagaimana lanjutan wawancara di bawah ini:
Bisa berbahasa roh itu tandanya mereka sudah layak melayani. Di kalangan kita
[baca:anggota gereja] banyak yang gak tahu bahasa roh itu apa, tapi banyak yang
meniru-niru. Saya punya teman baik, satu group band, dan dia tidak tahu bahasa roh.
Terus tiba-tiba pas satu kali kesempatan saya kaget karena dia bisa berbahasa roh.
Wah ini kog bisa bahasa roh, emang loe bisa? Enggak akh, gua buat-buat aja.
Kenapa? Saya tertekan!! Dia itu personel lama dan personel lama itu sudah ada suatu
keharusan mencapai level rohani seperti itu. Sama mereka yang gak tahu rahasia ini,
wuihh keren ya, kita harus seperti mereka. Terus dia cerita juga sama saya, kayak
teman yang di sana, dia juga gak bisa, dia pernah cerita, dia pura-pura. Apalagi di
antara pemusik, rahasia itu mulai terbongkar. Saya anggota paling muda dan paling
9 Wawancara dengan SIW, mahasiswa teologi yang dulunya pernah bergabung dengan tim
musik di salah satu gereja aliran kharismatik. SIW pemain gitar dan keyboard. Wawancara tanggal 20
Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
baru, dan kalau dibuat-buat saya juga bisa. Tapi mereka men-cap saya paling tidak
rohani. Saya diblacklist, karena kebetulan saat itu merokok dan mereka selalu
mendoakan saya supaya tidak merokok. Pernah suatu ketika saya disuruh maju ke
depan trus teman-teman saya juga. Yang berdosa, yang berzinah semua disuruh maju
ke depan, trus saya kaget lho kog drummer ini juga ikutan, padahal tadi malam kami
baru minum bear terus didoakan dia jatuh. Lho ini kenapa jatuh? Saya kaget, padahal
fisiknya lebih kuat dari gua kan, lebih kekar, ikut fitness lagi. Ini sesi khusus sebelum
ibadah dimulai. Kami dipanggil untuk disucikan. Trus pas giliran saya, teman-teman
lihat saya wah ini si Papua pasti jatuh sebentar lagi. Trus didoakan lama banget, tapi
gak jatuh-jatuh, trus didoakan dan dibilang “Jangan keraskan hatimu, jangan
keraskan hatimu,” sambil ditendang-tendang kakiku sama temenku, dia singer, dia
dari belakang. Dia mendoakan dari belakang dan ada yang mendoakan dari depan.
Dalam hatiku berisik banget sih ini. Lama-lama karena ada yang nendang gua dari
belakang, akhirnya saya pasang kuda-kuda, saya jadi tambah kuat. Akhirnya
dibilang, ya sudah ambilkan kursi, suruh dia duduk saja. Diambil kursi, saya disuruh
duduk. Yang lain jatuh, saya doang yang duduk.10
Ada beberapa kata kunci yang bisa dilihat dalam peristiwa ini. Yang pertama, umat
tidak merasakan apa-apa, artinya biasa saja dengan peristiwa bahasa roh itu. Kedua,
ikut-ikutan karena malu atau tertekan jika belum juga mencapai level rohani mampu
berbahasa roh. Yang menarik lagi adalah adanya skrip yang mengatur jalannya
suasana teatrikal tersebut. Hal yang kurang lebih sama juga pernah dialami oleh
informan berikut ini:
Aku juga pernah, dulu kan aku ikut kharismatik gitu. Aku ikut gracia-gracia gitu pas
SMP. Trus ceritanya gini pas pengurapan pakai minyak urapan, lho kog teman-
temanku pada nge-gebrak ke belakang? Trus pas bagian aku digini’in (dipegang
kepalanya atau ditumpangtangankan oleh pendeta) aku biasa aja. Trus digini’in lagi,
didorong ke belakang, akhirnya aku jatuh juga karena didorong. Trus aku nanya
temenku, kamu ngerasa apa kog kamu jatuh? Kog aku gak ngerasa apa-apa ya? Apa
gua yang gak beriman? Terus dia bilang begini sama gua. Enggak, gua juga gak
ngerasakan apa-apa kog. Cuma kan malu aja kalau semuanya jatuh kita gak jatuh jadi
ya jatuh aja (hahahhaha, sambil tertawa). O, jadi mungkin semuanya juga pura-pura
jatuh.11
10
Pengakuan SIW dalam wawancara tanggal 20 Januari 2010 di Jakarta. 11
Wawancara dengan SS, mahasiswa teologi. Wawancara tanggal Wawancara tanggal 20
Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Dari sini bisa dipastikan bahwa interaksi simbolik yang sedang terjadi sangat
dipengaruhi oleh tindakan anggota dalam suatu komunitas itu. Inilah yang disebutkan
oleh Mead tentang konsep diri, di mana adanya kesadaran individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung dalam suatu komunitas yang terorganisir. Dalam kasus jatuhnya
seseorang dalam Altar Call pada saat didoakan ia melihat tindakan pribadinya dari
titik pandangan orang lain dengan siapa ia berhubungan, dalam hal ini pemimpin
(pelayan gereja) atau yang lebih kecil adalah pandangan dari teman-teman yang
tergabung dalam satu tim musik. Bisa dikatakan bahwa peristiwa jatuh tadi memiliki
makna komunikasi sosiologis.
Jatuhnya seseorang menyiratkan bahwa ia adalah orang yang lembut hatinya,
yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang dengan kata lain, tingkat imannya lebih baik
dari orang yang belum jatuh. Padahal belum tentu. Jika peristiwa jatuhnya itu
hanyalah karena ikut-ikutan, malu diliatin orang atau petugas, maka peristiwa jatuh
agaknya bukanlah tindakan iman. Bisa jadi tafsiran ini pula yang menyebabkan setiap
minggu semakin banyak orang yang jatuh dalam Altar Call untuk menunjukkan
orang dalam level iman bagaimanakah dirinya. Meskipun demikian, bagi beberapa
orang menyadari bahwa suara orang yang berbahasa roh bukanlah sesuatu yang
dibuat-buat, tetapi datangnya dari Tuhan semata dalam cara-cara yang manusia tidak
pahami arti dan maksudnya. Isyarat suara dalam hal ini menjadi simbol interaksi yang
cukup membedakannya dengan pola ibadah gereja-gereja lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
1.4 Gaya Berpakaian
Gereja di mal agaknya juga membentuk kode pakaian sendiri. Umumnya cara
berpakaian orang ke gereja rapi, sopan, dan sederhana. Ibu-ibu yang berumur 40
tahun ke atas di gereja-gereja konvensional umumnya memakai kebaya atau stelan
blouse dan rok. Sementara itu gadis-gadis yang masih muda atau ABG (Anak Baru
Gede) sedikit lebih modis, dengan model pakaian yang lebih ketat di badan, namun
tidak berlebihan. Artinya perempuan memakai rok atau celana bahan, dengan paduan
kemeja. Ibu-ibu tak jarang memakai celana ¾ ketat dengan baju atasan kaos. Gadis-
gadis memakai celana jeans dan kaos yang ketat. Pemandangan model pakaian di
gereja mal agak sedikit berbeda dengan cara berpakaian di gereja-gereja
konvensional.
Hal ini berbeda dengan gaya berpakaian di gereja konvensional yang lebih
mengutamakan kesederhanaan. Di gereja konvensional orang berpakaian lebih sopan.
Sementara itu di gereja mal cara berpakaian rasanya lebih bebas. Menurut saya
kebebasan ini juga dikarenakan budaya cuek karena tidak saling kenal. Perempuan
yang khususnya beribadah di sana terkesan modis dan trendi.
Hal ini bisa dipahami mengingat setelah ibadah, umat masih akan
melanjutkan aktivitasnya dengan kegiatan berbelanja. Seandainya saja seorang ibu
yang berumur 50 tahun memakai kebaya lengkap dengan kondenya ke gereja mal,
bisa dipastikan ia tidak percaya diri untuk menyusuri mal untuk berbelanja ini-itu.
Memang yang paling mencolok adalah cara berpakain perempuan, sementara bagi
laki-laki cara berpakaiannnya tidak terlalu mencolok perbedaannya dengan gereja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
konvensional. Orang tentu tidak ingin saltum (salah kostum) berbelanja di mal,
karena image yang diberikan mal adalah sebagai tempat belanja yang elegan dan wah.
1.5 Belanja di Mal
Memasuki mal, ruang besar tempat gereja berada, mau tidak mau kita
berjumpa dengan banyak etalase yang men-display beragam kebutuhan manusia,
mulai dari kebutuhan bayi yang baru lahir hingga kebutuhan lansia. Belanja menjadi
hal yang menyenangkan karena segala kebutuhan bisa dipenuhi di gedung besar ini,
dan tentu saja desain modern dan sejuknya Air Conditioning menambah nyaman
berbelanja di sini. Bagi umat yang ke gereja mal, dua kebutuhan mendasar manusia
bisa langsung terpenuhi, rohani dan jasmani. Aktivitas bisa dilakukan kapan saja. Jika
sudah tidak sabar, maka sebelum masuk ke gereja, adakalanya umat terlebih dahulu
menyempatkan diri melihat-lihat barang-barang yang menarik perhatiannya. Kalau
cocok dengan harganya bisa langsung membelinya. Akan tetapi kebanyakan orang
berbelanja setelah ibadah, karena tidak akan terburu-buru waktu. Orang masih punya
banyak waktu untuk sekedar melihat-lihat atau memutuskan membeli barang tertentu
sebelum akhirnya memutuskan pulang ke rumahnya.
Setelah ibadah yang berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat segera
keluar menuruni eskalator yang berdesak-desakan karena jumlah yang beribadah
sangat banyak. Sebenarnya di sudut gereja disediakan snack serta minuman berupa
teh atau kopi untuk dinikmati bersama setelah ibadah selesai. Akan tetapi, tidak
semua umat menyempatkan dirinya menikmati snack, kopi atau teh yang disediakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Bahkan yang terlihat adalah orang terburu-buru keluar untuk menghindari antri yang
panjang turun ke lantai bawah. Mungkin hanya beberapa orang yang memang adalah
jemaat tetap yang saling kenal masih berbincang-bincang satu dengan yang lain.
Sementara itu ada juga umat yang tidak mau ambil pusing berkenalan ke sana-sini.
Hal ini saya yakini karena dari ribuan umat yang hadir hanya sedikit yang mengarah
ke ruang snack, sementara yang lainnya, termasuk saya dan teman-teman langsung
berdesak-desakan keluar dari pintu keluar yang telah disediakan. Perasaan saya saat
itu tak ubahnya seperti mengingat saat-saat saya keluar dari bioskop. Tidak ada
obrolan santai, tidak ada upaya untuk saling kenal dengan yang lain. Bahkan
penerima tamu yang tadinya sangat ramah saat ibadah akan dimulai, kini memilih
berbincang-bincang dengan sesama petugas di sudut-sudut ruangan.
Dari sini penulis menyadari bahwa dalam gereja dengan jumlah umat sangat
besar ini, hubungan antar umat menjadi kurang akrab. Dari pengakuan informan di
bagian awal tadi, baginya tidak soal kelonggaran hubungan ini, yang penting khotbah
pendetanya mengena di hati. Setelah ibadah selesai dengan sangat mudah umat
menemukan tempat untuk makan, minum, bercengkrama atau bersenda gurau dengan
kerabat yang gereja bersama.
Menuruni lantai lima tempat gereja berada, tidak sulit bagi umat mencari toko
makanan, yang letaknya persis satu lantai di bawah gedung kebaktian. Setelah turun
dari eskalator, persis di sisi sebelah kanan tangga, ada restoran Hoka-hoka Bento.
Para pramuniaga yang berdiri tepat di depan pintu masuk menyapa dan
mempersilahkan pengunjung untuk makan di restoran itu. Secara tidak disadari tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
kita akan langsung berbelok ke kanan dan pemandangan restoran ini sungguh
menarik hati. Tidak sedikit umat yang singgah makan di restoran itu. Saya bisa
mengenali mereka dari brosur warta jemaat gereja yang dipegangnya. Selebihnya
mungkin ada yang mencari tempat makan yang lain atau mungkin saja memilih untuk
berbelanja di Carefour yang berada di lantai dasar. Beberapa umat yang tadi
beribadah langsung memadati foodcourt untuk makan bersama keluarga atau teman
akrab. Peristiwa ini gampang dikenali karena beberapa orang itu tadinya adalah umat
yang duduk di dekat saya. Namun, kami pun tidak saling tegur karena memang tidak
kenal satu sama lain.
Selesai makan, agak jarang orang langsung pulang. Kebanyakan dari umat
melanjutkan “perjalanannya” dengan mengelilingi mal, memasuki toko yang satu ke
toko yang lain untuk sekedar cuci mata atau memang berencana untuk membeli. ITC
yang berada persis di sebelah mal menjadi tempat yang menyenangkan untuk
meneruskan kegiatan berbelanja, misalnya belanja pakaian, tas atau sepatu. Sekarang
mereka adalah konsumen yang potensial membelanjakan uangnya di mal tersebut.
Barang-barang yang dipamerkan dengan sangat menarik dan menawan, serta godaan
discount besar-besaran yang terpampang di etalase toko menjadi daya tarik tersendiri
menggereja di mal. Realitas sosial yang terjadi berikutnya adalah adanya hubungan
ekonomis antara umat yang tadinya beribadah dengan para penjual yang berada di
dalam mal. Hal ini diakui oleh beberapa penjual yang penulis wawancarai. Menurut
pengakuan mereka, mal ini menjadi sangat ramai pada saat hari minggu karena ada
ibadah di lantai atas. Pengunjung yang paling ramai adalah saat jam makan siang dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
sore menjelang makan malam. “Kami bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan
pada hari itu”, aku seorang penjual makanan di foodcourt yang berada di lantai tiga.12
Dalam hubungan simbiosis ini sesuatu yang awalnya tidak masuk akal, kini
telah terjadi lewat hubungan antara beribadat di mal dan shopping di mal. Bisa jadi
hubungan ini terjadi begitu saja, tanpa kesadaran bahwa ada kekuatan konsumsi yang
melatarbelakangi aktivitas ibadah tersebut. Misalnya, ketika pada awalnya pihak
pemilik mal bersedia menyewakan beberapa ruangannya untuk kegiatan ibadah
karena di lantai dasar mal itu ada swalayan miliknya, seperti ungkapan informan
saya, “Selama ini gereja kami pindah-pindah terus kak, sampai akhirnya kami boleh
menyewa ruangan di mal ini. Soalnya ada pemilik saham yang Kristen dan dia juga
yang punya Gold13
di bawah. Jadi kan selesai gereja kita bisa belanja di bawah.”14
Gold adalah swalayan yang menyediakan kebutuhan pokok rumah tangga yang
berada di lantai dasar mal Yogyakarta. Memang kebanyakan umat datang ke tempat
ini untuk berbelanja setelah ibadah selesai. Saat saya mengikuti pengunjung
memasuki Gold, ada rasa nyaman lain, yaitu lagu-lagu yang dimainkan di Gold
adalah lagu-lagu rohani Kristen.
Umat merasa beruntung karena tidak perlu repot-repot mencari tempat makan
atau tempat belanja kebutuhan pokok rumah tangga, karena saat ini semuanya bisa
dilakukan sekaligus di dalam tempat yang bernama mal, yang menyajikan segala
12
Wawancara dengan PL, seorang penjual makanan di foodcourt mal. Wawancara tanggal 14
Januari 2010. 13
Penulis memakai kata Gold untuk menyamarkan nama swalayan yang terdapat di mal, di
Yogyakarta. 14
Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal. Wawancara tanggal 25 Mei
2010 di Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
jenis kebutuhan hidup manusia, mulai dari yang jasmani sampai yang rohani. Dulu,
pandangan orang tentang dunia mal adalah sesuatu yang berbau pemborosan, gaya
hidup foya-foya, dan kelas atas, karena barang-barang yang dijual di sana pasti mahal
dan kena pajak, sementara itu ajaran gereja yang umumnya disampaikan dalam
khotbah-khotbah pendeta menekankan hidup sederhana dan menghindari gaya hidup
konsumerisme. Dua hal yang dulu mustahil dijadikan satu, kini malah bergabung
dalam dunia gaya hidup posmodern saat ini. Dan orang tidak ambil pusing dengan
penggabungan itu, karena yang terpenting adalah kebutuhan hidupnya terpenuhi
dengan cara-cara yang lebih cepat dan efisien.
“Ya ada sekalian ibadah, dan ya seperti yang tadi aku bilang, bisa sekalian belanja
atau jalan-jalan.”15
Mal menjadi tempat rekreasi yang menjawab segala kebutuhan, rohani dan jasmani.
Hari Minggu bisa dimanfaatkan sebagai hari berkumpul keluarga sambil refreshing
setelah satu minggu beraktivitas. Saat refreshing itu pun menjadi saat yang tepat
untuk mendengar siraman rohani yang umumnya bicara soal kesuksesan atau
kemakmuran hidup. Meskipun demikian ada juga informan yang merasa bahwa pihak
gereja sendiri selalu mengingatkan umat tentang bahaya hidup berfoya-foya:
Kita kan juga diingetin sama orang gerejanya, eh jangan mata lapar eh lapar mata,
jangan mentang-mentang gereja ini dekat mal atau dekat ini, jangan langsung ngabis-
ngabisin uang, gitu. Kita juga diingetin, oh iya ya, tujuan kita ke sini kan bukan
untuk belanja, walaupun di mal. Jadi kita terfokus aja, ya seperlunya aja belanja di
sana. Enak sih, tapi gak jadi lapar matalah kita.16
15
Pengakuan ES dalam wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta. 16
Wawancara dengan RK, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus
utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Informan ini bersikap lebih bijaksana tentang kemungkinan orang membelanjakan
uangnya di mal. Ia tetap menekankan bahwa yang terutama tujuan ke gereja adalah
beribadah, bukan hanya menikmati kegiatan belanja. Bahkan dalam pendapatnya
kemudian ia menyebutkan bahwa setelah selesai dari ibadah, ia dan teman-temannya
kerapkali membahas khotbah pendeta dalam obrolan makan siang di foodcourt. Tentu
ada beberapa pemaknaan ibadah di gereja mal. Namun, bagi penulis satu hal yang
tidak mungkin terhindarkan oleh umat yang menggereja di mal adalah kegiatan
belanja yang dengan segala bahasa persuasinya, iklan diskon besar-besaran dan
keuntungan menjadi pembeli pertama dari suatu produk, yang diumumkan dengan
besar-besaran oleh pemilik toko di sana.
2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu
Di bagian pertama pada bab ini saya telah memaparkan data-data secara
naratif. Simbol-simbol yang dipakai dalam prosesi ibadah di gereja mal telah
diklasifikasikan menurut sifatnya, misalnya bahasa tubuh, tekhnologi, gaya
bapakaian, dan belanja. Lalu, pada bagian kedua ini saya ingin membuatnya sedikit
lebih analitik dan reflektif. Di bagian inilah kerangka konseptual dari Mead dan
Baudrillard akan dipakai menurut porsinya masing-masing dalam mengkaji fenomena
gereja di mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Altar dan pasar17
adalah dua kata yang berbeda dan bertolak belakang. Namun
dalam kenyataannya keduanya saat ini hadir bersama dalam satu ruangan, yang
disebut mal. Kini pemadupadanan dua hal yang tidak lazim menjadi semakin
popular, bahkan menyentuh dunia spiritualitas. Gereja, yang dulunya dianggap
sebagai suatu hal yang teramat kudus dan khusyuk, kini hadir di tempat yang umum
dan ramai, yakni pasar, yang sangat jauh dari pesan kekudusan. Pasar, dalam hal ini
mal, menjadi kekuatan yang ternyata sanggup mempesona umat. Umat terpesona
dengan daya tarik kenyamanan belanja dan keanekaragaman barang yang ditawarkan.
Umat terpesona dengan pola ibadah gereja mal yang menuntun umat pada “jalan yang
benar” di tengah pergumulan hidupnya. Berduetnya pasar dan altar dalam temuan-
temuan penulis akan dianalisis dan ditafsirkan satu per satu dalam bagian ini.
Pergi ke gereja menjadi satu ciri kehidupan orang Kristen. Hari Minggu yang
dianggap sebagai hari-Nya Tuhan, dikhususkan dan dikuduskan untuk beribadah pada
Sang Khalik. Hal beribadah tidak bisa dilepaskan dari perkumpulan, persekutuan atau
komunitas. Menggereja adalah berinteraksi dengan orang lain. Karena menggereja
adalah hal berkumpul, saya teringat dengan satu lagu anak Sekolah Minggu tentang
gereja, “Aku gereja, kau pun gereja kita sama-sama gereja, dan mengikut Yesus di
seluruh dunia, kita sama-sama gereja. Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula
menaranya.Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya”. Dari lirik
lagu ini menarik untuk diperhatikan bahwa sejak dini anak-anak sudah diajarkan
17
Frase Altar dan Pasar adalah judul artikel tulisan Eka Darmaputera “Altar dan Pasar”
tentang Gereja dan Ekonomi dalam buku penghormatan untuk HUT ke-70 Radius Prawiro (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
tentang konsep gereja. Konsep yang paling sederhana adalah menyatakan bahwa
gereja adalah orang, tepatnya sekumpulan orang. Jika bicara tentang sekumpulan
orang, tentunya berkaitan pula dengan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.
Interaksi itu menciptakan realitas sosial dalam perkumpulan tersebut.
Kualitas sosialitas umat di gereja diukur dari tingkat partisipasinya dalam
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh gereja. Pada prinsipnya hubungan itu
setara. Umat dan pelayan gereja adalah orang-orang yang saling mendukung satu
sama lain. Di gereja setiap orang merasa diterima dengan hangat. Itulah sebabnya
setiap ada umat yang baru pertama kali datang beribadah di suatu gereja, ia akan
diminta untuk memperkenalkan diri, supaya umat yang lain dapat mengenalnya, dan
biasanya pelayan gereja itu akan membimbing dan memperkenalkan tentang gereja
tersebut. Perkenalan yang mendalam antara umat dengan umat lainnya, umat dengan
pendeta, umat dengan gereja akan semakin menumbuhkan kedekatan dan rasa saling
memiliki dalam komunitas orang di gereja.
Sosialitas di gereja juga terbentuk lewat berbagai kegiatan yang berlangsung
bukan saja di hari Minggu, melainkan juga lewat kebaktian rumah tangga, doa
lingkungan, pertemuan PA (Penelaahan Alkitab) kaum bapak, kaum ibu, kaum anak
dan pemuda, di mana setiap orang berdasarkan kategorinya bisa bersama-sama
mendalami pemahamannya akan firman Tuhan dan mempererat hubungannya satu
dengan yang lainnya. Bahkan ada juga yang melanjutkan keakrabannya dalam hobby
yang sama, misalnya dalam bentuk olahraga bareng, bermain badminton atau bola
volley, dan dalam bentuk ketrampilan, misalnya memasak bareng. Kehangatan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kedalaman hubungan inilah yang membuat gereja semakin “hidup” dalam pesan-
pesan kenabian yang disampaikannya tidak hanya intern gereja, tetapi juga ekstern
gereja, yakni lingkungan sosialnya. Namun, bagaimanakah sosialitas itu bisa
terbangun dalam konteks berduetnya gereja dan pasar dalam fenomena gereja mal?
Kita akan melihatnya lewat uraian si bawah ini.
Saya akan membahas kategori-kategori yang sudah dijelaskan di atas bagian
per bagian. Sub-sub judul berikut ini mengikuti bagian-bagian data yang telah saya
narasikan pada bagian awal. Dari pemaparan secara analitik dan reflektif berikut ini,
kita dapat melihat bagaimana realitas sosial yang tercipta dalam masyarakat konsumsi
di gereja mal.
2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik
Sebagaimana dipaparkan pada bagian pertama tentang bahasa tubuh umat
yang beribadah di gereja mal, maka secara umum bahasa tubuh mereka memiliki arti
sosiologis. Melompat, menari, dan bertepuk tangan mengkomunikasikan pesan
tertentu pada orang-orang yang berkumpul di sana. Saya sedang bergembira dan
bersukacita sebagaimana yang diinginkan oleh petugas gereja (tim musik) dalam
ibadah. Dalam menciptakan respons ini besar sekali peran tim musik dan kepiawaian
seorang Worship Leader. Bahkan bisa dikatakan peran seorang Worship Leader jauh
lebih besar daripada peran pendeta pengkhotbah. Worship Leader-lah yang berperan
“membakar” semangat umat yang hadir. Tentu ia juga dibantu oleh orang lain.
Kemahiran orang-orang yang tergabung dalam tim musik dan pemandu gerak yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
disebut dancer tidak bisa dikecilkan perannya menciptakan suasana ibadah yang
menurut pengakuan beberapa orang sangat ekspresif, tidak kaku, dan tak berbatas.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mead bahwa dinamika proses
komunikasi dapat digambarkan dalam “percakapan isyarat” yang akhirnya
merangsang orang lain untuk menyesuaikan perilakunya sendiri, maka isyarat-isyarat
yang “dimainkan” oleh tim musik menyebabkan umat berlaku sebagaimana yang
diharapkan oleh mereka. Misalnya: gerakan dancer yang mengangkat tangannya ke
atas, atau gerakan Worship Leader yang mengepalkan tangan kanannya
mengkomunikasikan suatu pesan bahwa ibadah ini dimulai untuk menyembah Tuhan.
Umat yang hadir “digerakkan” untuk mengikuti pesan yang disampaikan lewat
bahasa isyarat tersebut. Oleh karena itu menurut penulis ibadah yang berlangsung di
gereja mal ini terletak pada kehandalan tim musik menggiring umat merespons
isyaratnya. Dan kenyataannya umat melakukan gerakan-gerakan sebagaimana yang
diinginkan oleh tim yang bertugas di depan.
Namun, saya belum bisa memastikan apakah bahasa tubuh yang tampil lewat
gerakan-gerakan tadi merupakan ungkapan iman umat atau malah hanya merupakan
reaksi ikut-ikutan saja. Pada aksi jatuh, misalnya: beberapa informan menyebutkan
bahwa jatuhnya mereka sebagai wujud dari ikut-ikutan saja. Ada perasaan tidak
nyaman jika tidak jatuh, karena itu mengasumsikan bahwa dirinya adalah orang yang
hatinya masih keras dan dikuasai oleh roh jahat. Konsep diri seorang tim musik yang
seharusnya sudah sampai pada level rohani yang baik yang ditandakan oleh suatu
kemampuan berbahasa roh, “memaksanya” untuk terjatuh saat didoakan oleh pendeta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Justru aksi ini lahir dari ketertekanan yang mendalam karena level imannya yang
tidak sama dengan orang lain “se-angkatan”-nya. Akhirnya kekhawatiran atas cap
kurang beriman membuat seseorang ikut-ikutan dalam aksi jatuh ini, setidaknya
itulah yang dipahami oleh Siska, seorang informan, saat proses pengurapan, “Apa
gua yang gak beriman ya, makanya gak jatuh saat didoakan?”, padahal dirinya
sama sekali tidak ada perasaan yang berbeda, begitu juga teman-temannya yang
terjatuh saat didoakan. Menurut saya, paling tidak hal “terjatuh” ini dilakukan untuk
menunjukkan bahwa orang yang terjatuh itu masuk dalam komunitas, khususnya
komunitas orang beriman. Ini adalah bentuk dari interaksi simbolik.
Mead juga mengungkapkan bahwa komunikasi simbol manusia adalah bahwa
dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata
yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar.18
Alunan suara dalam lafal bahasa roh syikirabarabaraba atau syalabalabalabalaba
yang diucapkan perlahan-lahan, semakin keras, dan sangat keras serta diulang-ulang
menciptakan suasana hipnose, sehingga banyak umat yang “bergabung”
mengucapkannya, yang walaupun mereka sendiri tidak tahu apa artinya. Namun,
kemampuan untuk menggunakan simbol suara ini memungkinkan umat untuk melihat
dirinya sendiri menurut perspektif orang lain, setidaknya petugas yang berdiri di ruas
tempat duduknya yang mengamati umat selama proses ini.
Kecenderungan yang ikut-ikutan ini mirip dengan pola konsumsi di mana
seseorang membeli sesuatu bukan hanya karena membutuhkannya, melainkan karena
18
Doyle Paul Johnson, op.cit., h. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
ada sign value dalam proses mengkonsumsi itu. Sebut saja seseorang yang tergiur
membelanjakan uangnya untuk membeli baju merk Armani, bukan karena ia sudah
tidak memiliki baju, melainkan karena orang lain dari kelas tertentu memakai baju
merk Armani. Jadi, aksi membeli barang tertentu dengan merk tertentu menciptakan
konsep diri tertentu pada diri seseorang bahwa ia adalah orang dari kelas pemakai
baju merk Armani.
Barang-barang yang dikonsumsi telah diberi pemaknaan yang lebih luas dari
arti barang itu sendiri, sehingga orang mengonsumsi barang tersebut atas pencitraan
yang diciptakan oleh sistem promosinya. 19
Penulis setuju dengan pendapat
Baudrillard yang mengatakan bahwa orang tidak pernah mengonsumsi objek itu
sendiri (dalam nilai gunanya) – objek selalu dimanipulasi (dalam makna yang lebih
luas) sebagai tanda yang membedakan seseoang, baik kepada dirinya sendiri yang
berafiliasi dengan kelompok dirinya sendiri, yang mengacu pada kelompok status
yang lebih tinggi.20
Bahasa tubuh yang terbuai dan terhanyut dalam aktivitas di gereja mal – yang
menunjukkan terhisabnya seseorang pada “komunitas beriman” – juga terbangun
19
Proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:
1. Sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana
praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan
sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa.
2. Sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana objek-objek atau tanda-tanda
ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai
nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.
Dalam Jean P Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (terj. Wahyunto ), (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2009), h. 60-61. 20
Ibid., h. 76.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
karena adanya pencitraan yang diciptakan oleh pendeta atau Worship Leader yang
memimpin jalannya peribadatan di sana. Akhirnya, ketika seseorang mengangkat
tangannya, tidak bisa dipastikan secara gamblang bahwa ia memang sedang
mengikuti irama “sukacita” pujian dan penyembahan yang tercipta dalam suasana
ibadah, melainkan atas godaan “takut beda sendiri” di tengah-tengah komunitas yang
sedang terbuai alunan musik itu. Aksi-aksi yang timbul agaknya pun merupakan nilai
tanda, bukan nilai guna yang teresapi dalam bahasa tubuh tersebut.
Pada kenyataannya ribuan orang tertarik dengan pesona ibadah di gereja mal.
Umat merasakan sensasi yang berbeda dengan pola beribadah di gereja yang selama
ini diikutinya. Dengan mengikuti gerakan-gerakan tubuh yang ekspresif ini, umat
telah menjadi bagian “kelompok penyembah” yang berbeda dengan umat di gereja
lain. Menurut Baudrillard individu tertentu menjadi bagian dari kelompok tertentu,
karena individu tersebut mengonsumsi barang-barang tertentu, dan individu
mengonsumsi barang tertentu karena ia bagian dari kelompok tertentu.21
Itulah yang
terjadi dalam proses menggereja dan mengonsumsi dalam prosesi ibadah dan belanja
di gereja mal.
2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD
Rasa yang ditimbulkan oleh pemanfaatan teknologi modern seperti LCD dan
Alkitab elektronik tentu berbeda dengan rasa ibadah di gereja konvensional. Menurut
saya bagi umat yang mengikuti ibadah di gereja mal dengan fasilitas modern
21
Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
menciptakan suatu perasaan komunitas yang gaul tetapi tetap beriman. Dalam
khotbah di ibadah pemuda akhir tahun 2009, suatu kali pengkhotbahnya mengatakan
bahwa kita bisa memuji Tuhan lewat Blackberry. Kita bisa BB-BB-an dengan saling
mengirimkan ayat-ayat firman Tuhan, begitu ungkapnya. Saya yang tidak akrab
dengan BB agak bingung menangkap pesan yang dimaksudkan oleh pengkhotbah.
Ternyata BB adalah jenis telepon seluler terbaru yang keluar sekitar tahun 2009 yang
memiliki aplikasi yang lengkap, dan memiliki nilai tanda yang wah, karena umumnya
digunakan oleh kalangan atas. Dengan aplikasi dan fitur-fitur yang lengkap, tentu
mudah sekali untuk menambahkan aplikasi Alkitab Elektronik di dalamnya.
Pemanfaatan tekhnologi dalam ibadah di gereja mal sedikit banyak
mempengaruhi ketertarikan umat. Jika umat berasal dari gereja suku yang tidak
terlalu terbiasa menggunakan LCD, maka situasi ini merupakan pengalaman iman
yang modern. Mengapa disebut modern? Gereja-gereja arus utama, khususnya yang
berada di pedalaman, dalam ibadahnya biasanya hanya diiringi oleh sebuah organ
saja. Bahkan masih ada gereja yang tidak memiliki organ dan tidak memakai
microphone dalam ibadahnya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana pemuda-
pemuda yang datang dari kampung untuk kuliah di Pulau Jawa, merasakan sensasi
yang sangat berbeda dengan kemajuan tekhnologi dalam pola ibadah di gereja mal.
Umat jadi lebih terbiasa menekan tombol-tombol di telepon selulernya
daripada membuka lembaran demi lembaran Alkitab untuk mencari teks khotbah.
Padahal saat di Sekolah Minggu, anak-anak diajarkan untuk menghafal urutan-urutan
bagian kitab dalam Alkitab mulai dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Kini,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
dengan adanya aplikasi Alkitab di telepon seluler, semuanya dipermudah. Bagian
kitab yang jarang dibaca dan dikhotbahkan, dengan sangat gampang dicari di telepon
seluler. Misalnya, ketika pendeta mengatakan bahwa teks khotbah minggu ini diambil
dari kitab Yehezkiel, umat tidak perlu menebak-nebak apakah kitab Yehezkial berada
di bagian Perjanjian Baru atau Perjanjian Lama. Akan tetapi, orang tinggal ketik
Yehezkiel, maka di layar telepon seluler langsung muncul bagian kitab tersebut.
Selain itu, layar LCD yang juga langsung menampilkan dengan cepat ayat-
ayat Alkitab yang menjadi teks khotbah, semakin memudahkan umat untuk
mengetahui isi teks. Jika harus membaca secara berbalasan antara pendeta dan umat,
maka umat yang tidak membawa Alkitab-pun bisa terlibat aktif. Bagi saya, hal ini
mengimplikasikan dua sikap, pertama, positif, karena umat bisa terlibat dalam ibadah,
khususnya membaca teks Alkitab. Kedua, negatif, karena kemudahan ini bisa
membuat umat tidak perlu membawa Alkitab lagi ke gereja. Akhirnya sikap terhadap
kebiasaan pergi ke gereja bergeser dengan adanya tekhnologi canggih di gereja.
LCD juga membantu umat melihat teks lagu yang dinyanyikan saat ibadah.
Umat jadi merasa lebih efesian menatap layar LCD daripada membuka buku
nyanyian. Pola ibadah yang ekspresif, di mana umat diajak “berjingkrak-jingkrak” ke
kanan dan ke kiri, memang semakin dipermudah jika lagu-lagu tinggal dibaca di layar
LCD. Bagaimana mungkin bergerak bebas, jika tangan kanan saya memegang buku
nyanyian rohani, sementara Worship Leader mengajak saya melompat dan bertepuk
tangan? Tekhnologi ini membuat segalanya menjadi lebih cepat, mudah dan modern.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Pada akhirnya umat terhisab dalam suatu komunitas ibadat yang akrab dengan
kemajuan-kemajuan zaman.
Secara tidak langsung pemanfaatan barang-barang teknologi di gereja mal
sekaligus mempromosikan barang-barang tersebut. LCD, TV flat, Hp merupakan
barang-barang yang juga menjadi komoditas yang dijual di mal tersebut. Turun ke
lantai empat, etalase-etalase yang menjual telepon seluler baru dan setengah pakai
berjejer di sisi kanan dan kiri. Masuk ke toko elektronik lainnya, televisi dengan
berbagai ukuran layar datar terpajang manis dengan rayuan diskon besar, seolah
pembeli adalah orang yang paling beruntung jika memanfaatkan harga diskon
tersebut. Duet altar dan pasar semakin tak terelakkan.
(Gambar 3) TV-flat yang dipakai untuk menyiarkan khotbah dalam Ibadah Youth
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya
Mal sebagai tempat hang out mencipatakan gaya berbusana tersendiri. Orang
bisa membedakan pakaian ke kantor dan pakaian ke mal. Orang lebih memilih
pakaian santai ke mal daripada pakaian formal, misalnya jas. Orang memakai pakaian
santai karena kegiatan berbelanja di sana sifatnya santai, tidak harus terburu-buru,
dan juga modis, karena mal biasanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas.
Barang-barang dengan merk mahal dan terkenal menjadi sajian yang akan
memanjakan pembeli yang berkunjung ke dalamnya. Orang pergi ke mal biasanya
memakai kaos/T-shirt dan celana jeans. Celana yang digunakan kadang celana
panjang atau pendek, yang penting memudahkan pergerakan belanja ke sana dan ke
sini. Perempuan jarang menggunakan rok karena akan menyulitkan pergerakannya,
apalagi untuk naik-turun elevator menuju lantai yang satu ke lantai yang lain.
Sementara itu orang pergi ke gereja dengan pakaian yang formal, sedikitnya
kemeja dan celana/rok. Dari model berpakaian ini saja bisa dilihat bahwa komunitas
di gereja mal pada akhirnya menciptakan kode berpakaian sendiri jika dibandingkan
dengan gereja-gereja arus utama. Di gereja mal jarang dijumpai ibu-ibu yang
memakai kebaya. Pakaian ibu-ibu sangat modis dengan balutan celana ketat dan baju
kaos yang agak panjang. Atau terusan dress setinggi paha atau lutut dengan tambahan
legging di bagian bawah, supaya terlihat tetap sopan namun trendy. Pakaian ABG
atau perempuan muda lainnya juga lebih trendy. Nyaris tidak bisa dibedakan lagi
mereka ingin ke gereja atau ingin mejeng di mal. Tak jarang para ABG memaki baju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
yang sangat terbuka di bagian atas dan sangat mini di bagian bawah. Bagi saya
sendiri model pakaian di gereja mal agak kurang sopan. Namun, kembali ke masalah
keakraban antar umat. Mungkin saja mereka yang memakai pakaian agak terbuka
tetap leluasa mengenakannya karena tidak harus malu atau sungkan dengan orang
yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya mereka tidak saling kenal. Belum tentu
minggu depan akan bertemu dengan orang yang sama, jadi cuek aja. Budaya cuek dan
masa bodo’ pun bisa dipastikan berkembang di antara umat.
Baju-baju dengan berbagai ukuran dan model sangat mudah didapatkan di
mal dan di ITC sebelah mal itu berada. Jadi, jika kita tertarik dengan model
berpakaian orang yang ke gereja mal, kita bisa juga mencarinya di mal. Beragam
jenis pakaian dengan embel-embel harga murah ramai dipamerkan di etalase-etalase
mal tersebut. Mode pakaian yang sedang trendy delam pergaulan anak muda saat ini
bisa dibeli dengan mudah dan murah di mal. Pengalaman ini tentunya menimbulkan
suatu perasaan “lain” karena saat belanja sekaligus menjadi saat ibadah. Baju belanja
sekaligus baju ibadah.
2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona
Sistem kebutuhan adalah produk dari sistem produksi. Melalui sistem
kebutuhan kita mengerti bahwa kebutuhan tidak dibuat satu per satu dalam hubungan
dengan objek-objek lain tetapi dibuat produksi sebagai kekuatan konsumtif sebagai
kesediaan secara global dalam lingkup yang lebih umum dari kekuatan-kekuatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
produktif.22
ITC di sebelah mal menjadi bukti dari sistem produksi yang berusaha
membuat orang merasa “membutuhkan” barang-barang yang dipamerkan. Kebutuhan
inipun menjadi seragam dengan peredaran musim yang sedang berlangsung,
misalnya: tas yang sedang trend saat ini adalah tas sandang kecil, maka perempuan-
perempuan muda akhirnya merasa membutuhkan tas sandang tersebut. Contoh lain
beberapa waktu yang lalu yang sedang musim adalah baju atau jilbab Manohara
(berkaitan dengan hangatnya isu pelecehan seksual yang diderita artis Manohara di
Malaysia), maka ibu-ibu pun berbondong-bondong mencari baju dan jilbab Manohara
di pusat-pusat perbelanjaan.
Geliat konsumsi ini menjadi sesuatu yang secara tidak sadar mempengaruhi
konsumen menentukan kebutuhannya. Hal ini semakin menguatkan pendapat
Baudrillard bahwa konsumsi adalah sebuah prilaku aktif dan kolektif, ia merupakan
sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah
keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi integrasi kelompok dan
integrasi kontrol sosial. Masyarakat konsumsi juga merupakan masyarakat
pembelajaran konsumsi, pelatihan sosial dalam konsumsi – artinya sebuah cara baru
dan spesifik bersosialisasi dalam hubungannya dengan munculnya kekuatan-kekuatan
produktif baru dan restrukturisasi monopolistik sistem ekonomi pada produktivitas
yang tinggi.23
Dengan hadirnya gereja di mal maka secara tidak langsung terbentuk
pulalah masyarakat konsumsi atau umat yang berkonsumsi. Pola ibadah di gereja mal
22
Ibid., h. 81-82. 23
Ibid., h. 90-91.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
sedikit banyak memiliki kemiripan dengan pola konsumsi. Umat yang awalnya
datang untuk konsumsi spiritual di gereja, kini merupakan konsumen yang aktif
potensial membeli barang-barang yang dijual di mal.
Sebagaimana konsumsi meliputi pembelian barang-barang yang dijual
berdasarkan pencitraannya, bukan lagi pada nilai gunanya, maka orang beribadah di
gereja mal pun agaknya mendasarkan ibadahnya pada pola konsumsi. Seseorang
mendengarkan khotbah ibarat membeli sesuatu. Jika khotbahnya menarik dan
mengena dalam kehidupannya, maka umat yang terkesan dengan khotbah tersebut
tidak segan-segan memberikan uang persembahan yang besar. Menurut pengakuan
informan:
Di sini memang persembahannya tidak terlalu merata, tetapi yang “kakap-kakapnya”
kalo kasih persembahan besar, mereka senang dengan khotbah pendetanya. Makanya
kami pun mencari pendeta pengkhotbah yang hebat yang memang bisa menggugah
jemaat.24
Ekstase ibadah yang dirasakan umat ada kemiripannya dengan ekstase
belanja. Orang yang puas dengan produk tertentu tidak akan sayang menghabiskan
uang dalam jumlah yang besar jika produk yang dibelinya memenuhi keinginannya.
Pola ibadah di gereja mal tampaknya sangat banyak memberikan kepuasan, mulai
dari bagian awal nyanyian dan penyembahan yang semarak, hentakan atas rasa salah
diri dan keberdosaan umat, masuknya Roh Kudus dalam diri umat yang berbeban
berat, dan janji-janji kemakmuran dalam khotbah pendeta. Semua unsur ini menjadi
24
Wawancara dengan Pak SM, tenaga konseling di gereja Casa Rosa, pada tanggal 16 Januari
2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
daya tarik menggereja di mal ditambah manisnya janji-janji “keselamatan” produk-
produk yang ditawarkan di mal.
(Gambar 4) Aktivitas belanja di mal
(Sumber: http : // eshape. blogspot.com/)
Dari uraian analitik tentang fenomena bergabungnya altar dan pasar, sikap
saya ada dua. Pertama, hubungan budaya konsumsi dengan gereja atau peribadahan
tidak bisa dihindarkan. Lingkungan orang menggereja saat ini adalah masyarakat
konsumsi. Fenomena ini bahkan telah berimplikasi pada gereja-gereja arus utama
yang juga mulai menilik pola-pola ibadah di gereja mal. Kedua, jika fenomena ini
dikaitkan dengan hakekat gereja yang menyampaikan kabar gembira, maka saya
memiliki pandangan yang positif dan negatif. Pada satu sisi, bahasa gereja yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
menyampaikan kabar baik dengan cara mengabsorsi bahasa budaya konsumsi,
membuat ibadah lebih komunikatif dan sanggup menyentuh kedalaman batin umat.
Ini adalah budaya pop dalam komunitas masyarakat konsumsi di gereja mal.
Fenomena ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari inkulturasi menggereja zaman
sekarang. Saya sepakat dengan pembaharuan ini. Namun, pada sisi lain, tanggung
jawab gereja yang idealnya menyentuh aspek hidup manusia secara holistis (inklusif,
tidak diskriminatif, mengedepankan nilai-nilai keadilan, pro kemiskinan, dan lain
sebagainya) belum nyata dalam gereja mal. Gereja sebagai perwujudan kabar gembira
yang hanya menyentuh golongan tertentu, bukanlah gereja, melainkan hanya
merupakan komunitas budaya pop dengan lifestyle tertentu tanpa tanggung jawab
moral dan etis. Gereja seperti ini pada akhirnya berakhir pada eksklusivisme dan
manipulasi. Oleh karena itu, dengan tegas saya masih menuntut pembaharuan sosial
gereja dari gereja-gereja seperti ini.
Bagi banyak orang sosialitas di dalam gereja menumbuhkan rasa saling
memiliki dan menghargai satu sama lain. Gereja sebagai tempat bersekutunya umat
merupakan suatu wadah untuk saling mengenal serta menumbuhkan belas kasih yang
mendalam dalam interaksi sosial umat, sebagaimana cara hidup jemaat mula-mula
dalam tradisi Kristen yang merupakan komunitas rumahan. Cara hidup jemaat yang
pertama ini dicatat dalam bagian kitab Kisah Para Rasul 2: 41-47 yang menyebutkan
bahwa mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan, mereka
selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, segala kepunyaan mereka
adalah kepunyaan bersama, selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya lalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
membagi-bagikannya dengan semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.25
Situasi ini menyiratkan suatu keadaan persekutuan yang akrab dan dekat di mana
setiap orang berperan aktif untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan mau
berkorban untuk yang lainnya.
Oleh karena itu, situasi jemaat mula-mula memang pantas menjadi landasan
hubungan di gereja sepanjang masa. Gereja harus tetap menjaga sosialitas yang akrab
dalam pelayanannya. Namun, dalam kenyataannya sekarang, ketika jumlah umat di
suatu gereja mencapai ribuan jiwa, maka realitas sosial yang terlahir pun menjadi
berbeda. Gereja mal dengan jumlah umat yang sangat besar menciptakan realitas
sosial yang berbeda dengan gereja-gereja arus utama. Orang tidak terlalu
mementingkan hubungan mendalam dengan orang lain, melainkan kepuasan pribadi.
Sekarang orang dihadapkan pada banyak pilihan, tetapi sayangnya orang tidak
bisa memilih. Yang malah terjadi adalah orang mempunyai cara sendiri untuk
menggunakan semuanya, yakni dengan cara menggabungkan atau mensintesakannya.
Salah satu contoh orang yang tidak bisa memilih adalah kenyataan tentang kegairahan
orang beribadah dan berbelanja di mal. Penggabungan aktivitas menggereja dan
berbelanja ini merupakan wujud dari logika hidup manusia zaman sekarang pada
level sintagmatik.26
25
Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007). 26
The logic of life manusia zaman sekarang banyak bermain-main pada level sintagmatik.
Hubungan sintagmatik adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan dengan tanda lain sejauh tanda-
tanda itu memiliki fungsi satu sama lain. Oleh karena itulah hubungan sintagmatik juga disebut
hubungan fungsional. Hubungan ini tampak paling jelas dalam sebuah sintagma yang ditata mengikuti
sintaks tertentu. Hubungan sintagmatik sifatnya linear (tidak mungkin kita bicara dua kata bersamaan),
in praesentia (ada, tertulis, terucapkan, hadir bersamaan), kombinasi (paduan unit-unit yang dipilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Sebagaimana mal yang menjanjikan kemewahan, ke-elegan-an, keuntungan,
dan kenyamanan, siapa yang tidak tertarik dengan isi khotbah yang menjanjikan
kesuksesan dan kekayaan atas nama Tuhan? Penyampaian khotbah yang
bersemangat, berapi-api dan disertai lelucon nyatanya mampu menguatkan dan
menyegarkan pendengar khotbah. Namun, menurut saya, itu tidaklah cukup. Khotbah
tidak hanya bersifat untuk menghibur pendengarnya, tetapi ia sekaligus berfungsi
untuk mengoreksi hidup umat. Sebuah khotbah juga harus berani menyatakan
kebenaran di tengah-tengah maraknya ketidakadilan, kekerasan, penindasan, dan
penderitaan.
Gereja di mal tampaknya melahirkan komunitas yang eksklusif. Hal ini
terlihat dari kehomogenan umat yang beribadah di sana, yang kebanyakan datang dari
kelas menengah atas yang “terberkati”. Mereka “mengiklankan” berkat Tuhan dalam
kesuksesan dan kekayaan yang diraihnya lewat bisnis, usaha, dan kerjanya. Namun,
pertanyaan saya, di manakah tempat orang miskin dalam komunitas di gereja mal?
Beranikah mereka beriklan tentang kebaikan Tuhan jika hidup mereka belum juga
sesukses dan sekaya kakap-kakap lainnya? Jangan-jangan di gereja ini, kemiskinan
dan penderitaan dianggap sebagai kutukan dari Tuhan. Kalau sudah seperti ini, maka
panggilan beriman umat patut juga dipertanyakan. Konon, gereja ini juga kurang
begitu tanggap dengan masalah-masalah sosial. Jumlah kas yang besar itu banyak
dari sebuah paradigma secara beraturan dari tanda-tanda yang berinteraksi membentuk keseluruhan
yang bermakna. Contoh yang paling mencolok dalam hubungan sintagmatik adalah dalam dunia
fashion (peragaan busana), ada kalanya sang model menghadirkan rok dan celana panjang sekaligus
dalam peragaan busana, dalam St. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
dipakai untuk keperluan biaya rumah tangga gereja, seperti gaji pendeta, gaji petugas
ibadah yang lain, peningkatan fasilitas, dan sangat jarang dialokasikan untuk bantuan
bencana. Bukankah gereja harusnya “keluar”? Ia tidak cukup hanya memikirkan
kepuasan orang yang beribadah di sana, tetapi hadir bagi orang di luar gereja yang
menderita.
Saya sangat terkesan dengan pola ibadah yang ekspresif di gereja mal.
Kekuatan musik dan kepiawaian petugas-petugas ibadah patut diacungi jempol. Tidak
diragukan lagi jika mereka berlatih dengan serius untuk menyiapkan ibadah pada hari
Minggu. Bagi gereja arus utama, pola ibadah ini harusnya dilihat dengan bijaksana
karena nyatanya mampu menyentuh kedalaman batin umat dalam pengalaman
psikospiritualnya. Gereja arus utama harus berani keluar dari kekakuan pola ibadah
yang berlangsung selama ini. Namun, jika ibadah segaja diatur oleh sebuah skrip
yang menentukan kapan seseorang jatuh, menangis, dan berjalan ke depan altar untuk
didoakan, tentu itu bukanlah ibadah yang murni. Ibadah yang direkayasa seperti ini
sama sekali bukan ibadah yang sejati. Ibadah ini telah dipakai sebagai alat untuk
melanggengkan pesona gereja saja, bukan lagi pada penghayatan iman yang
sesungguhnya.
Gereja arus utama dan gereja mal sama-sama memiliki kelemahan. Gereja
arus utama yang terlalu ketat dengan dogma dan tradisi dianggap kurang menjangkau
kebutuhan umat. Namun, di sisi lain, gereja yang terlalu memikirkan hasrat umat dan
menjadi eksklusif, bisa kehilangan suara kenabiannya. Fenomena bergabungnya altar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
dan pasar sekali lagi tidak bisa ditolak, hanya saja kita perlu menyikapinya dengan
bijaksana, kritis, dan bertanggungjawab.
3. Kesimpulan
Gereja di mal adalah suatu fenomena ibadah yang berbeda dengan gereja-
gereja arus utama. Interaksi simbolis yang terjadi di antara umat dalam gereja ini
menjadi realitas sosial yang baru dalam cara menggereja umat (ekklesiologi) lewat
bahasa isyarat, suara dan komunikasi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi
semacam itu, bagi mereka yang beribadah di sana, sangat menyentuh kedalaman hati
individu yang sedang bergumul dengan masalah hidupnya. Namun, umat memang
bisa terjebak pada kepuasan pribadi belaka. Hasil penggabungan (sintesa) dua unsur
yang selama ini bertolak belakang, ternyata memproduksi budaya massa yang
semakin memikat hati, namun harus tetap diwaspadai karena bisa jatuh pada
penghayatan iman yang ekskusif.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ciri gereja yang super besar membuat
pola hubungan dan interaksi umat jadi terbatas dan agak longgar. Umat tidak
mempunyai cukup banyak waktu untuk sekedar ngobrol sambil nge-teh, berkenalan
secara mendalam. Karakteristik umat ibarat orang yang berbelanja, masuk ke dalam
toko, lihat-lihat, pilih yang cocok, pergi ke kasir, bayar, lalu keluar. Begitu pula
halnya dengan beribadah, masuk, duduk, mengapresiasi ibadah dengan mengikuti
acara demi acara, mendengar khotbah, jika menyentuh berikan uang persembahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
seharga kepuasan khotbah, lalu pulang. Akibatnya, keakraban dan kedekatan umat
yang satu dengan lainnya sangat dangkal di gereja ini.
Adanya jenis keanggotaan simpatisan dalam aturan rumah tangga gereja mal,
semakin menambah longgarnya interaksi umat dengan umat. Pelayan di gereja ini
mengakui bahwa umat simpatisan yang beribadah di gereja ini sangat banyak.
Dengan menjadi umat simpatisan seseorang tidak harus meninggalkan gereja asalnya.
Siraman rohani yang didapatkan di gereja mal menjadi penambah “kenikmatan cara
beriman” yang selama ini tidak diperolehnya di gereja asalnya. Agaknya “rasa”
ibadah di gereja mal lebih spesial dan mengena dalam pengalaman psiko-spiritual
umat dibandingkan dengan pengalaman di gereja asalnya. Singkatnya, ibadah di
gereja mal merupakan bentuk spiritualitas yang baru. Kekuatan bahasa simbolik yang
berlangsung dalam prosesi ibadah dan aktivitas belanja pasca ibadah sungguh
mempesona. Apakah setelah itu (setelah keluar dari gereja atau mal) umat menjadi
semakin saleh, setia, dan beriman, itu masih perlu diuji. Apakah menggereja di mal
pada akhirnya mengarahkan umat pada nilai tanda bukan nilai gunanya? Bisa saja
terjadi.
Realitas lain yang muncul adalah adanya simbiosis mutualisme antara umat
dan pedagang di mal tersebut lewat cara berkonsumsi umat setelah dan sebelum
ibadah dimulai. Tanpa disadari ada setting-an interaksi manusia yang terbentuk lewat
hadirnya gereja-gereja di mal. Setelah urusan “rohani” selesai dalam ibadah yang
berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat selanjutnya bisa menyelesaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
urusan “jasmani”nya dengan sekedar “cuci mata” di mal atau akhirnya memutuskan
untuk membeli sesuatu.
Sadar atau tidak sadar posisi toko elektronik, foodcourt, arena bermain anak,
dan supermarket menciptakan interaksi simbolis umat setelah keluar dari gereja.
Umumnya gereja berada di lantai paling atas, lalu satu lantai di bawahnya arena
bermain anak atau foodcourt. Artinya, setelah ibadah umat perlu bersantai dengan
membawa anak-anak ke arena bermain atau mengisi tenaga yang tadi telah terpakai
selama ibadah, dengan mengunjungi foodcourt, memesan dan menikmati menu
makanan yang beragam, sesuai selera. Biasanya lokasi foodcourt cukup berdekatan
dengan gereja.
Lalu setelah tenaga terkumpul dan situasi pikiran lebih segar, orang akan
semakin nikmat menyusuri toko-toko pakaian, tas, sepatu, atau alat-alat elektronik
yang berada di lantai selanjutnya. Sebelum memutuskan pulang, sekali lagi konsumen
bisa singgah ke supermarket yang umumnya berada di lantai bawah. Posisi ini tentu
bukan tanpa tujuan tertentu. Pada bagian akhir “petualangannya” di mal, orang
diingatkan lagi soal kebutuhan sehari-harinya, mulai dari bumbu dapur, sayur mayur,
peralatan mandi, perlengkapan kebersihan rumah tangga, keperluan sekolah, dll.
Aktivitas belanja di tempat ini lebih baik dilakukan terakhir, supaya tidak berat-berat
membawa barang belanjaan ke sana ke mari. Setelah meyelesaikan aktivitas belanja
di supermarket ini, pintu keluar dan jalan menuju tempat parkir sudah tidak jauh lagi.
Dengan demikian, semua kebutuhan hidup yang diperlukan sudah didapatkan di
tempat yang bernama mal. Sintesa antara gereja dan mal ini berlangsung dalam gerak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
perkembangan ekonomis dan religiositas dalam gaya hidup posmodern manusia
zaman sekarang.
Akhirnya, di bab ini saya menyimpulkan bahwa pola ibadah dan pola
konsumsi memiliki kemiripan dalam banyak hal. Hubungan menggereja dan
mengonsumsi saling mempengaruhi satu sama lain. Kita tidak bisa menolaknya, ini
adalah fenomena bergabungnya altar dan pasar dalam perkembangan budaya
masyarakat saat ini. Namun, meskipun fenomena ini tidak dapat ditolak, saya tetap
mempunyai sikap kritis, hakekat gereja sebagai penyampai kabar baik, yang
diartikulasikan dalam ibadah di gereja mal berimplikasi pada dua hal, pertama ia
sanggup menggunakan bahasa budaya konsumsi dalam penghayatan beriman umat,
kedua, ia bisa terjebak pada pesona glamour ibadah dan eksklusivisme tanpa
memperdulikan tanggung jawab moral dan etis sosialnya.
Nilai tanda yang tercipta dalam aktivitas ibadah dan aktivitas belanja memiliki
karakteristik yang kurang lebih saling mendukung. Gereja di mal akhirnya
melahirkan realitas sosial baru bagi “jemaat diaspora” masa kini. Umat yang semakin
tersebar ke dalam pola dan model ibadah serta ruang menggereja masa kini,
sebenarnya sedang tidak bisa membuat pilihan sendiri atas “hasrat dirinya”.
Kapitalisme dan globalisasi telah memproduksi budaya baru dalam penghayatan
beriman manusia yang hidup dalam modernitas zaman saat ini. Inilah pengalaman
beriman dan berbelanja dalam pesona mal. Prosesi duet ini menciptakan komunitas
masyarakat konsumsi di gereja mal, yang masih harus dipertanyakan tanggung jawab
moralnya terhadap situasi sosial masyarakat pada umumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
PENUTUP
Gereja di Mal: Pola Beribadah dalam Budaya Konsumsi
Sejak awal tesis ini mengarahkan seluruh perhatiannya pada fenomena
bergabungnya gereja dan pasar. Penggabungan keduanya bisa dilihat lewat fenomena
gereja-gereja yang mengadakan ibadahnya di mal. Gereja yang mewartakan nilai-
nilai sakral keselamatan hadir bersama dengan pasar yang menawarkan nilai-nilai
kenikmatan dan kepuasan konsumsi. Saat ini situasi ibadah sangat bervariasi, yang
paling mencolok adalah perbedaan pola ibadah di gereja aliran arus utama dan gereja
aliran kharismatik. Pada prinsipnya ibadah di gereja bertujuan untuk mengantar umat
pada pertemuan dengan Sang Kudus dan menyampaikan kabar gembira. Akan tetapi,
kemasan yang membungkus pesan ibadah tadi disiapkan dan ditampilkan dengan cara
yang berbeda-beda.
Penelitian ini menggali praktik menggereja di mal dalam konteks budaya
konsumsi, di mana gaya hidup manusia semakin banyak berada pada level
sintagmatik, hadirnya dua hal yang tidak lazim secara bersamaan. Penelitian ini
dilakukan untuk menjawab: pertama, apa yang menyebabkan gereja bisa hadir di
ruang publik, dalam arti pasar, khususnya mal? Kedua, sejauh mana model
menggereja di mal menyerupai model mengonsumsi? Ketiga, realitas sosial seperti
apa yang terbentuk dalam masyarakat konsumsi di gereja di mal? Dengan menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
ketiga pertanyaan ini, fenomena gereja di mal akan dilihat pesonanya dalam gaya
hidup budaya manusia zaman sekarang.
Penulis melakukan penelitian baik empirik maupun kepustakaan selama
kurang lebih satu tahun. Penelitian empirik dilakukan dengan wawancara dan
mengikuti ibadah di gereja mal. Berdasarkan pengamatan awal di lapangan, penulis
merumuskan hipotesis penelitian: adanya kemiripan pola beribadah dan pola
berkonsumsi di gereja mal. Paradigma ini muncul setelah penulis menemukan
beberapa simbol-simbol atau bahasa-bahasa baru dalam pola beribadah di gereja mal.
Bergesernya ruang ibadah dari wilayah tertentu ke ruang konsumsi memproduksi
budaya baru dalam masyarakat. Pesona mal mampu mengakomodasi (nyaris) semua
kebutuhan hidup manusia dengan semboyan cepat, tepat dan efesien. Dari sini saya
melihat bahwa senyatanya hubungan gereja dan budaya konsumsi tidak bisa
dihindarkan. Keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain dalam
kegairahan beriman dan berbelanja sekarang ini.
Dinamika pergeseran paradigma ruang ibadah ini diteliti dengan
mempertimbangkan beberapa alasan. Pertama, penelusuran tersebut ditempatkan
sebagai sebuah tinjauan teoretis yang memperkaya pembahasan tentang fenomena
gereja-gereja di mal dan situasi bergereja di gereja-gereja arus utama. Kedua,
kerangka analisis dalam penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik
dan sosiologi konsumsi dari Baudrillard. Kedua kerangka konseptual ini dipakai
untuk menganalisis jenis-jenis interaksi umat di gereja mal yang melahirkan realitas
sosial yang baru dalam bahasa komunikasi konsumsi yang baru. Ketiga, wacana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
fenomena di gereja mal tidak dimaksudkan untuk menilai benar-salah praktik
beribadah umat Kristen, melainkan ditempatkan sebagai pembanding atas pola
beribadah di gereja-gereja arus utama yang sadar atau tidak sadar semakin “kurang
diminati” umat. Namun, beberapa sikap kritis saya terhadap pola ibadah di gereja mal
tetap diketengahkan. Oleh karena itu mau tak mau gereja arus utama harus berbenah
diri menyiapkan dan “menyajikan” kemasan istimewa dalam pola ibadahnya yang
selama ini agaknya mengalami “kekeringan”. Namun, di sisi lain, gereja di mal juga
harus tetap menunjukkan pembaharuan sosial menggereja yang inklusif. Penelitian
tesis ini berusaha didekati dari perspektif sosiologis dan wajah identitas komunitas
dalam budaya posmodern.
Melalui proses analisa atas ketiga pertanyaan penelitian dan menempatkannya
dalam pergeseran pemaknaan ruang ibadah, maka penulis menemukan tiga
pandangan dalam gemerlapnya dunia mal dan sakralnya dunia gereja: Pertama,
kehadiran gereja di mal secara tidak sengaja disebabkan oleh susahnya birokrasi
administrasi izin pembangunan rumah ibadah, serta adanya kebosanan umat dengan
pola ibadah gereja arus utama yang terjadi selama ini. Pemimpin gereja arus utama
dianggap kurang mampu membuka diri terhadap perkembangan zaman. Pola ibadah
di gereja mal dianggap sebagai trend baru yang lebih mampu memberi “kepuasaan”
atas dahaga spiritualitas selama ini. Umat merasakan sensasi psiko-spiritual yang
berbeda dengan pola ibadah di gereja arus utama karena ornamen-ornamen yang
digunakan dalam ibadah lebih fresh dan mengikuti perkembangan arus zaman.
Singkatnya ibadah di gereja mal menghantar umat pada “rasa ibadah yang modern
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
dan gaul”. Kedua, mal sebagai sanctuarium para penikmat konsumerisme telah
melahirkan kegairahan beribadah dan berbelanja. Keduanya kini berduet harmonis
dalam budaya yang berkembang di masyarakat. Ketiga, fenomena bergabungnya
gereja dan pasar menciptakan realitas sosial yang baru. Sosialitas dan interaksi sosial
antar umat bukan hal yang utama di gereja ini karena yang lebih diutamakan adalah
kepuasan pribadi (personal salvation). Kepuasan pribadi yang dirasakan ini mirip
dengan pola orang berkonsumsi. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa pola
menggereja dan pola mengonsumsi yang terjadi di gereja mal hadir bersama sebagai
sebuah mekanisme pasar dalam budaya konsumsi saat ini. Apakah fenomena seperti
ini merupakan pengalaman religius atau bukan? Itu di luar skope dari tesis ini.
Artinya tesis ini bukan penelitian teologis. Tesis ini dibatasi pada interaksi dan relasi
atas sentuhan lembaga gereja dan lembaga konsumsi. Namun, jika dikaitkan dengan
hakekat gereja yang menyampaikan kabar baik, maka fenomena gereja di mal bisa
ditempatkan sebagai: inkulturasi menggereja yang baru dalam budaya konsumsi dan
eksklusivisme menggereja yang cenderung berpihak pada golongan masyarakat
tertentu saja.
Saya menyadari bahwa dalam penelitian ini belum semua data terekam,
terwakili dan dieksplorasi dalam analisis. Apa yang dilakukan tesis ini hanya
merumuskan mekanisme praksis ibadah dan pasar. Bagaimana praksis gereja yang
sakral berkomunikasi dengan praksis pasar yang profan melalui beragam jenis produk
mal yang diakomodasi sebagai penunjang kenikmatan ibadah. Oleh karena itu saya
menyebut tesis ini sebagai pembuka bagi penelitian lain yang hendak memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
agama dalam masyarakat konsumsi. Kajian yang lebih mendalam yang berkaitan
dengan tesis ini masih sangat perlu dikembangkan, misalnya gereja dan bisnis, atau
tema seperti eksklusivisme gereja mal di tengah-tengah wacana pluralisme dan
lingkungan sosial.
Zaman terus berubah. Ini berarti setiap perubahan memproduksi suatu budaya
baru di tengah-tengah masyarakat. Ketidakmampuan manusia membuat pilihan-
pilihan dalam hidupnya atas munculnya fenomena penggabungan unsur-unsur yang
berbeda (Yang Kudus dan yang profan), membuat manusia mensintesakan keduanya.
Namun, gereja sebagai sebuah institusi agama hendaknya melihat fenomena ini
dengan cakap dan bijak. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan betapa gairah
menggereja umat hingga saat ini masih antusias. Umat mencari dan terus mencari
pola-pola ibadah yang paling menjawab kebutuhannya saat ini. Lalu, yang menjadi
tantangan gereja adalah, apakah gereja atau pemimpin gereja mampu menangkap
gairah ini? Artinya, bagaimanakah hubungan jemaat dan pemimpin gereja menjawab
setiap hasrat umat terhadap berbagai kecenderungan yang terlahir dalam budaya
konsumsi kapitalisme akhir? Namun, dalam proses mencari jawab ini setiap pihak
harus mawas diri terhadap berbagai kecenderungan yang mampu membuat gereja
kehilangan suara kenabiannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995.
Baudrillard, Jean P. Masyarakat Konsumsi.(terj. Wahyunto). Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009.
Bellah, Robert N. Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta:
Paramadina, 2000.
Bertens, K. Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Boland, B. J. Percakapan tentang Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1951.
Darmaputera, Eka. Gereja dan Ekonomi dalam “Gereja dan Kontekstualisasi”.
Sularso Sopater, et all (ed). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
de Jonge, Chr dan Aritonang, Jan S. Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah
Ekklesiologi. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989.
Denzin, Norman K. Symbolic Interactionism And Cultural Studies: The Politics Of
Interpretation. Oxford UK and Cambridge USA : Blackwell, 2003.
Featherstone, Mike. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terj. M. Z. Lawang).
Jakarta: Gramedia, 1986.
Lee, Martyn J. Budaya Konsumen Terlahir Kembali: Arah Baru Modernitas dalam
Kajian Modal Konsumsi dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.
Lury, Celia. Budaya Konsumen. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Miller, Vincent J. Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a
Consumer Culture. New York ∙ London: Continuum, 2003.
Piliang,Yasraf Amir. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed.
Alfathri Aldin). Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. (terj. Nurhadi) Yogyakarta:
Kreasi Wacana Offset, 2010.
_______. Teori Sosial Posmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Samuel, Wilfred J. Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan
Pasca-Kharismatik .(terj.Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Soedjatmiko, Haryanto. Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan
Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Solomon, Michael R. Consumer Behavior: Buying, Having, Being. New Jersey:
Prentice Hall, 1996.
Steinberg, Shirley R dan Kinchheloe, Joe L. Christotainment: Selling Jesus Through
Popular Culture. Boulder: Westview Press, 2009.
Sugiri, L, dkk. Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991.
Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik, 2006.
van Kooij, Rijnardus dan Yam’ah, Tsalatsa. Bermain dengan Api. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Artikel, Jurnal
Budiman, Arif. “Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern” dalam
Jangan Tangisi Tradisi: kumpulan Karangan. (ed. Johanes Mardimin)
Yogyakarta:1994.
Hardjana, Andre. “Konsumerisme dalam Era Globalisasi” dalam BASIS,
No.7/XLI/Juli/1992. Yogyakarta: Yayasan P. P. BASIS, 1992.
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Opini Masyarakat
tentang Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No.
3/Tahun IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Konsumerisme dalam
Tinjauan Sejarah” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun
IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Menahan Laju
Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun
IV/Juli/198. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
Kvale, Steinar. “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in
a Postmodern Age” dalam Theory Psychology. SAGE publication, 2003.
Thomas, Pradip. “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual
Markets and the Media” dalam Global Media and Communication. SAGE
publication, 2009.
Van Doop, H. A. “Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT
Jakarta ke-75. Jakarta: 2009.
Kamus dan Alkitab
Sugono, Dedy, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Alkitab. Jakarta: LAI, 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
Transkripsi Wawancara 1
Pewawancara (P) : Norita
Informan : ES, RS, dan RK (Umat simpatisan di gereja mal)
Pekerjaan : Guru SD Kristen di Jakarta
Tanggal wawancara : 21 Januari 2010
P: Selamat siang Miss, sebelumnya saya berterimakasih karena Miss berdua sudah
menyediakan waktu untuk wawancara siang ini. Begini Miss, saya tertarik mengamati
gereja yang ada di mal. Nah, saya mau tahu nih, bagaimana pengalaman beribadah
yang Miss berdua rasakan di gereja Casa Rosa ini? Kenapa sih memilih gereja Casa
Rosa?
ES: Mmmmm, sebenarnya saya melayani juga di gerejaku (menyebutkan salah satu
nama gereja Batak). Saya juga Guru Sekolah Minggu. Bentuk ibadah di gerejaku dan
di gereja Casa Rosa sama aja sih, tetap sakral kog dua-duanya. Tapi, yang membuat
aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya, lagu-lagunya. Padahal lagu-
lagunya kadang memakai Kidung Jemaat juga, tetapi cara menyanyikannya yang
berbeda, lebih semangat dan ekspresiflah, interest gitu. Kalau di gerejaku kan lagu-
lagunya dalam bahasa Batak gitu kan, jujur aku gak terlalu ngerti. Sebenarnya saya
partisipan di gereja Casa Rosa sudah lama, sejak tahun 1998. Dulu, masih zaman-
zamannya di mal Piazza Calda itu belum ada ITC. Jemaatnya juga masih kecil, bentuk
fisiknya juga belum sepanjang itu, baru beberapa inilah (menggerakkan tangannya
membuat bentuk kotak bangunan). Saya timbul tenggelam lah di sana. Mulai tahun
2000an lah saya mulaif. Mungkin cara pemujiannya itu yang lebih bersemangat, lebih
ekspresif lah. Cuma kalau dibilang pembaruan iman, bisa juga dibilang pembaruan iman
di gereja ini. Karena kan terkadang kita mau ke gereja bukan cuma mau datang saja, tapi
mengerti juga. Nah kalau bahasanya aja gak dimengerti, kan kurang dapat makna
ibadahnya. Memang kadang-kadang sekalian ibadah, ya bisa juga belanja (sambil
tersenyum).
P: Artinya ibadah di gereja itu sangat tergantung dengan fasilitas untuk
menghidupkan suasana ya? Khususnya cara bernyanyi ya?
ES: Oh iya, itu sangat mempengaruhi ibadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
P: Kalau Miss RS sejak kapan mulai ikut gereja di Casa Rosa? Kenapa di sana?
RS: Kalau aku sejak tahun 2006-lah. Tahun 2003 aku tadinya gereja di Gereja
Oikumene Imanuel karena aku tinggal sama sepupuku yang rumahnya dekat situ.
Kadang juga aku gereja di GKI. Nyobain gitu. Trus diajak teman ke GPIB.
Sebenarnya aku udah ngerasa nyaman juga, bahkan sempat mau melayani juga, mau
ngajar sekolah minggu. Tapi gak tau kenapa teman kita, guru di sini juga, miss RK,
bilang ada tuh di gereja Casa Rosa, enak deh. Sebenarnya ibadahnya ya gak jauh
beda, ibadahnya masih mirip-miriplah dengan gereja yang biasa kuikuti. Cuma
ibadahnya full band, nah itu yang paling membedakannya dengan gereja-gereja,
kayak GKI, gak terlalu kaku-lah.
ES: Kalau di GKI dan HKBP kan musiknya lebih ke piano.
RS: Ya udah kita cobain, kita kaget juga. Kita wagu, di sini kita tepuk tangan. Pas
dengar firman, pendetanya itu bagus. Di gereja Casa Rosa itu kan fokusnya ke
firman. Kalau pas firman bisa sampai 1,5 ke 2 jam. Gak tau kenapa tapi aku gak
bosan, lucu juga sih pendetanya. Trus besok-besoknya, kita coba lagi yuk. Eh
dapetnya pendeta yang enak-enak. Pendetanya pintar, gak cuma diajar firman, tapi
pujian juga, misalnya setelah pendetanya ngucapin kalimat apa, eh terus disambung
sama lagu yang cocok. Jadi nyentuh banget deh. Kita diajak, “Keluarkan ini-mu”
(sambil memainkan gerakan tangan menyimbolkan suatu “beban”). Kita itu dibawa
masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana sih, ekspresif aja,
gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita, tenaga kita, energi
kita untuk Tuhan, fokuslah. Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita
dibawa. Nah kita merasa kuat dan plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang
saya rasa’in di gereja ini. Kalau saya bukan suasana mal-nya yang membuat saya
senang ke gereja ini, tapi ya suasana ibadahnya, soalnya saya lebih suka gereja di
cabangnya, bukan di mal ini.
P: Suasana ibadahnya yang menarik ya. Kalau soal khotbah, ukurannya yang enak
gimana sih?
RS: Kalau aku sih firman itu pokoknya dia (pendeta) tahu, jangan dianalisa begini-
begitu. Kita kan gak menyelami itu (maksudnya soal teologi). Trus biasanya pendeta
di sana pakai kehidupan sehari-harinya dia. Dia bersaksi. Kalau dia udah bersaksi,
berarti kan dia sudah memakai firman itu. Terus dari kesaksiannya itu, kita kan juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
jadi berpikir, “Oh iya ya”, terus kita flashback-lah hidup kita. Dia bisa berubah,
kenapa kita gak? Dia menceritakan kenyataan dirinya. Kalau orang sudah merasakan,
kan bisa berpengaruh ke orang lain. Kalau belum dirasain kan gak dapat feel-nya.
Misalnya kalau pendeta bilang, “Serahkanlah khawatirmu kepada Tuhan”. Itu kan
cuma ngomong doang. Tapi kalau dia ngomong dia punya pergumulan terus dapat
jalan keluar saat dia berserah pada Tuhan, nah kita kan percaya dan kita jadi
dikuatkan.
ES: kalau di gereja Casa Rosa ada keterbukaan dalam alur cerita, firman. Pendeta itu
apa adanya kog. Akhirnya, membuat kita berpikir bahwa memang benar yang
dikatakan firman ini. Firman itu gak mengada-ada, Dalam kehidupan sehari-harinya
mereka (pendeta) praktekkan itu, kesaksian mereka blak-blakan Kadang ada satu
pendeta yang berani buka aibnya. Dia buka karena dia mau ngasitau gini lho
kehidupanku dulu, tapi sekarang saya ikut Tuhan. Jadi, kita bisa tahu perubahan
hidupnya. Ada satu lagi kelebihan di gereja ini, kalau ada jemaat yang baru pertama
kali datang, disambut, jadi kita gak merasa terasing. Song leader-nya akan
menanyakan siapa jemaat baru. Sampai-sampai gembala sidangnya pun menyalami
kita. Itu juga daya tarik untuk menjaring jemaat. Enak gitu, welcome. Trus disalami
lalu dinyanyikan lagu selamat datang,”Kukasihi kau...”. Kita senang kan meskipun
gak saling kenal.
ES: Bukan hanya di kebaktian minggu, tetapi di kebaktian muda-mudi juga seperti itu
kog. Ditanyain juga siapa yang baru pertama kali datang.
P: Nah selain ibadah, biasanya ngapain aja di mal?
ES: Aku biasanya setelah ibadah ya terkadang makan, keliling-keliling, kalau gak ya
langsung pulang.
RS: Kalau pertama-tama ya makan, setelah itu mungkin belanja. Tapi gak tiap
minggu juga kan kita belanja.
ES: Kalau belanja ya tergantunglah, tapi kalau makan sih, itu sudah pasti ya.
RS: Kalau hari Minggu foodcourt penuh lho. Kita tahu kog kalau pengunjung
foodcourt itu orang yang baru pulang gereja, bajunya bagus-bagus, kadang pegang
Alkitab, atau brosur warta jemaat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
ES: Kalau di-flasback lagi ke belakang, secara tidak langsung gereja Casa Rosa telah
membawa berkat bagi pedagang-pedangan di sekitarnya. Tadinya toko-toko di Mal
Piazza Calda gak terlalu banyak. Bahkan, meskipun ada diskon besar-besaran, belum
tentu ramai orang yang datang. Tapi, sejak adanya gereja Casa Rosa berdiri di sini,
makin banyak jemaat yang datang. Nah, otomatis kan orang belanja-belanja juga,
lihat-lihat juga. Gak mungkin cuma lewat-lewat aja.
P: Kira-kira sejak tahun berapa gereja Casa Rosa semakin ramai pengunjungnya?
ES: Sekitar tahun 2000-an lah jemaatnya semakin banyak. Bahkan sekarang gereja ini
buka cabang juga di perkantoran BIP yang dekat SCTV dan di Wisma Pelangi,
Tangerang.
P: Apa bedanya gereja Casa Rosa yang di mal dan yang di aula kantor?
RS: Kalau yang di aula kantor jemaat yang hadir gak sebanyak yang di mal. Coba
yang di mal, mau masuk aja kita udah antri panjang. Mau masuk aja rebutan banget
kan. Kalo di BIP gak terlalu banyak. Kapasitasnya sekitar ratusan lah. Gedungnya
lebih kecil memang, tapi ramai juga. Cuma kendalanya di BIP, letaknya gak strategis
Jalur angkotnya ke sana susah.
ES: Kalau di mal kan letaknya strategis. Mau dari Kuningan, Manggarai, Kampung
Melayu atau Sudirman, kayak kita-kita yang naik angkot, gampanglah, mudah
dicapai.
P: Artinya lokasi gereja pun sangat penting ya?
ES dan RS: Iya, bahkan kalau yang di Wisma Pelangi juga agak sepi, karena jauh.
Kayaknya yang di sana dialokasikan untuk orang yang dekat ke situ, misalnya daerah
Tangerang.
P: Kalau hari Minggu di mal ini ramai sekali berarti ya? Susah gak ya cari parkiran?
ES: iya, apalagi sejak sudah ada ITC. Kadang orang yang ke ITC pun parkirnya di
mal ini. Padahal dulu sebelum ada ITC masih sepi. Sekarang jadi makin ramai.
Sekarang walah mau jalan di escalator aja padat banget. Apalagi kalau ada event
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Paskah, kan biasanya digabung semua cabang-cabang gereja. Wah penuh banget deh
gereja ini.
P: Trus sejauh mana kita bisa saling kenal dengan jemaat yang lain? Gimana
kedekaatan kita dengan umat yang lain dalam jumlah yang ribuan itu?
ES: Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu
kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in, padahal
gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian jemaat
yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan terdekat
saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-sekali saja ke
gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah. Paling kalau
kenal jemaat yang lain, juga hanya sebatas hari itu saja. Minggu depan belum tentu
ketemu lagi dengannya kan?
RS: Yah, kita sebatas senyum ajalah. Dari senyum kdang-kadang kita bertegur sapa,
“Eh apa kabar?” Atau kalau ketemu di mal kadang ada yang nanya, “Mau ibadah
ya?” Iya, “Oh kalau aku udah tadi”. Kalau yang rutin datang biasanya bisa kenal juga
kog. Tapi kalau yang cuma datang sekali-sekali aja ya kita gak kenal.
P: Selain datang pada kebaktian Minggu, apakah miss datang juga di ibadah yang
diselenggarakan di hari lain?
RS: Kalau aku sih suka juga pada kebaktian hari Kamis, khusus untuk karyawan.
Biasanya fokusnya banyak tentang kesaksian. Dan bukan jemaat aja lho yang
kesaksian, tapi kadang-kadang ada artris jga. Jadi, kit akan perlu banget kesaksian.
Masuk ke hati kita dan melekat. Jadi di gereja ioni itu yang menyenangkan banget.
Kalau di gereja biasa kan di kebaktian minggu, jarang bisa ada kesaksian
P: Oiya, katanya sering datang artis-artis juga ya? Siapa sih artis yang biasanya suka
datang dan mengisi kebaktian? Trus tanggapan miss gimana?
ES: Ya Joy Tobing atau Lea Simanjuntak?
RS: Kalau aku sih biasa aja, aku sih liat firmannya. Ada Joy Tobing atau enggak, bagi
aku ya gak ngaruh bangetlah. Aku gak akan bela-belain untuk nunggu Joy Tobing.
Pokoknya firman itulah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
P: Apakan lihat-lihat jadwal pendetanya juga? Siapa nih pendeta yang paling OK?
RS: Awal-awalnya sih iya, tapi sekarang semua pendetanya bagus-bagus sih.
Khususnya karena kesaksian itu lho, meskipun kadang teksnya gak nyambung, tapi
kesaksiannya menguatkan.
ES: dasarnya memang mal ini kan usher-nya (penerima tamu) dulu memang artis-
artis rohani, Jacklin Salose, itu gemblengannya Pdt. Iw. Kebanyakan artis-artis
rohani. Tapi aku sih biasa ajalah. Tapi ada sisi menariknya jugalah, Aku bisa tahu
kehidupan artis ini. Kalau di entertainment kan bisa aja gini, tapi kalau kesaksian kan
gak mungkin berdusta. Yah menarik juga sih kalau ada artis.
P: Kalau ibadah Kamis atau Sabtu rame juga gak?
RS dan ES: ya 100-an oranglah..
RS: Terus banyak kesaksian, misalnya pengusaha yang bangkrut, trus kesaksian. Eh
bisa bangkit lagi. Terus kan kita mikir, wah dia aja bisa bangkit. Aku bagaimana nih?
Kita jadi termotivasi.
P: Beriman dan bergaul kayaknya jalan berbarengan sekarang ini. Gimana pendapat
Miss berdua? Pengalaman seperti ini ditemui gak?
RS: Ada juga sih pendeta yang gaul, tapi kita gak lihat ininya, tapi firman yang bisa
bikin kita bertumbuh. Di mal kita bisa diskusi tentang ayat firman. Bagus donk, kita
bisa kumpul di sini, sambil minum Capuccino atau juice, terus kita bisa sharing
tentang firman. Boleh juga kan kita bergaul tapi ngomongin firman Tuhan. Tapi
setelah itu, eh baju yang itu bagus ya. Tapi kita awalnya kan udah ngomong tentang
firman. Misalnya kalau datang Youth hari Sabtu, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu trus
bisa saling sharing.
P: Berarti saat makan, kita gak semata-mata ngomongin soal belanja aja ya?
ES: itu sih kebetulan aja ya. Karena gereja itu ada di mal, jadi kita sekalian bisa
belanja. Misalnya di foodcourt, di sana kita bisa ngobrol tentang firman. Ada
tempatnya gitulah. Kalau di gereja lain, masak duduk di depan-depan itu, kan gak
nyaman. Kalau di mal kan sampai jam 9 malam kita bisa nongkrong.. Mal
memfasilitasi berdirinya gerejalah. Yah… kita bisa sharinglah, misalnya: waktu aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
berbeban berat. Di gereja Casa Rosa begitu turun, langsung fasilitas itu ada. Ibadah
dan pergaulan memang ada pertumbuhannya.
RS: karena perkembangan ya. Zaman dulu, opung-opung kita,pulang gereja langsung
pulang. Kalau di mal ada gereja ya kan bisa sekaligus. Tapi masih bisa kog berjalan.
Memang kog di mal sih? Memang kenapa? Ini dunia kita, kita menyembahm memuji,
kita dengar firma Tuhan. Mau ada perang sekalipun kalau kita mau ibadah kan bisa
aja. Makanay akalau di mal ya kenapa gak?
ES: Konteks orang kan mal tempat shopping, tapi datang ke mal gak cuma untuk
belanja kan, tapi ada yang bisa didapat.
RS: Meski ijinnya susah, ya kita kan mau ibadah, di mal di buka ya kalau bisa,
kenapa enggak. Di mal gampang bukanya, cuma ngontrak. Kayaknya yang di ruko-
ruko juga begitu tuh. Kalau masyarakat gak ngebolehin bangun gereja, ya udah
nyewa ruko aja.
P: berarti ini berkaitan juga ya dengan soal perijinan ya.
RS: begitulah, yah kalau memang hatimu sudah Ok mau di mana pun bisa ibadah.
ES: walaupun keberadaannya di mal, tata ibadahnya sama kog. Memang gak ada
buku liturginya, tapi kita udah tahu kog urutan-urutannya.
P: oiya misalnya kita tahu 30 menit pertama pujian dan penyembahan, begitu ya?
RS: oh iya, meskipun awalnya kita ngantuk pas datang, tapi setelah itu malah jadi
bersemangat (tersenyum).
P: Terimakasih atas pengalaman2 Miss ES dan RS. Yang penting apakah iman kita
bertumbuh ya.
Di ruangan yang berbeda, setelah wawancara di atas, penulis mewawancarai
informan yang lain:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
P: mau nanya nih, bagaimana pengalaman miss selama beribadah di gereja Casa
Rosa? Bagaimana ibadahnya dan bagaimana suasana di luar gereja, misalnya belanja
di mal.
RK: saya gak ingat sejak kapan saya di gereja Casa Rosa. Kurang lebih sudah tiga
tahunan lah kayaknya. Tiap minggu saya datang ke sana. Saya suka ikut kebaktian
yang jam 11.00 WIB dan jam 13.00 WIB. Biasanya kalau saya ke sana sehabis gereja
saya semula. Saya ke sana karena di gereja semula (gak usah disebutin ya), saya
merasa kurang bertumbuh. Sekali saya ke sana, terus lama kelamaan asyik.
Sebenarnya gerejanya itu gak resmi ya? Saya juga gak tahu ya, soalnya gak ada Doa
Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli. Tapi kiblatnya kan sama ya. Saya ngerasa
saya banyak diingetin di gereja ini. Kalau mengenai musiknya memang dari dulu saya
suka musik yang gak kaku banget. Kalau di gereja saya (menyebutkan salah satu
nama gereja Batak) musiknya kan kaku. Karena bahasa Batak, saya juga gak begitu
mengerti. Kalo sore memang bahasa Indonesia, tetapi banyak anak muda, ABG dan
gak seumuran lagi sama saya. Jadi susah, mau gereja pagi ibu2 dan bahasa Batak,
sore anak-anak. Selain itu, di gereja Casa Rosa itu firmannya bikin kita diisilah.
Misalnya: ditemukan rangka perahu nuh, o gitu ya, kit ajadi tahu informasi,
P: Kalau suasana belanja-belanjanya gimana tuh miss?
RK: Kalau saya niatnya kan gak macam-macam. Kalau ada yang dibeli ya dibeli.
Kadang teman-teman ngajak, “Eh belanja yuk” Kita kan juga diingetin sama orang
gerejanya, eh jangan mata lapar eh lapar mata, jangan mentang-mentang gereja ini
dekat mal atau dekat ini, jangan langsung ngabis-ngabisin uang, gitu. Kita juga
diingetin, oh iya ya, tujuan kita ke sini kan bukan untuk belanja, walaupun di mal.
Jadi kita terfokus aja, ya seperlunya aja belanja di sana. Enak sih, tapi gak jadi lapar
matalah kita.
P: berarti ke sana karena gerejanya ya bukan karena malnya ya?
RK: Iya sih, karena gerejanya yang asyik. Kadang-kadang saat kita makan, bisa
ngobrol-ngobrol juga kan. Khususnya dengan, RS, kami lumayan dekat dan kita suka
sharing. Misalnya soal penemuan bahtera Nuh itu, ya dia juga bilang, “Oh gitu ya,
iya gua juga cari di internet beritanya”. Kalau teman yang satunya lagi ya ngomongin
hal lain lagi. Tapi kalau saya nge-gosip setelah kebaktian, saya jadi ingat pesan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
pendeta. Jangan sucinya di dalam gereja aja. Jangan di luar gereja malah nge-gosipin
orang. Jadi saya teringat.
P: Saling kenal gak ya dengan umat yang lain di gereja Casa Rosa? Apalagi segitu
ramenya orang yang datang?
RK: Kalau saya sih ya cuma kenal MC nya aja, WL nya aja. Tertarik aja sama dia,
WL yang laki-laki, terus sama pemain musiknya. Ya lumayan jadi semangat deh,
tadinya yang gak semangat jadi semangat. Tapi tergantung kita juga sih. Kadang
kalau dia suruh lompat-lompat, pas saya gak mood, ya saya gak ikut. Tapi diingetin
terus kog sama pendetanya, “Kalau ke rumah Tuhan tuh harus semangat”. Kalau
dengan umat lain, karena saya jemaat kunjungan, saya gak anggota di sana. Ya saya
gak terlalu kenal. Tapi ya biasa ajalah. Mau ada yang kaya, sombong, biasa cuma pas
ibadah disuruh salaman, ya udah kita salaman.
P: Terus gimana tanggapan miss dengan gaya berpakaian di gereja mal? Apakah ada
kesan gaya dan gaul ala anak Tuhan gitu?
R: Kalau saya berpakaian sih karena paginya saya ngajar dulu di gereja saya, ya saya
biasa. Tapi pakaian di sana heboh-heboh lho. Ada yang pake rok mini, baju u can see.
Tapi diingatin sama pendetanya bahwa kalau datang kerumah Tuhan kita harus
datang ke pakain yang sopan, bukan berarti harus mahal kan. Kalau saya tuh tetap
memandang di situ tuh ada gereja yang harus saya hormati.
P: Berarti pergi ke gereja itu karena ibadahnya yang lebih menarik ya dibandingkan
di gereja asal ya? Kalau sama umat yang lain, seadanya aja donk ya interaksi kita.
Dan belanja pun sesuai kebutuhan saja ya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Transkripsi Wawancara 2
Pewawancara (P) : Norita
Informan : SM
Pekerjaan : Konselor di Gereja Casa Rosa
Tanggal wawancara : 20 Januari 2010
P: Jadi, sebagaimana yang udah kita omongin dulu di awal-awal, soal latar belakang
dan mengapa saya mengambil topik gereja-gereja yang ada di mal, karena
ketertarikan saya belajar dari gereja ini dan kenyataannya adalah memang sudah
semakin marak gereja hadir di tempat yang tidak biasa, artinya gereja selama ini kan
berada di wilayah tertentu gitu ya pak. Dari informasi yang saya ketahui ternyata
gereja Casa Rosa termasuk gereja yang sangat pesat perkembangannya dari waktu ke
waktu, yang katanya sejak tahun 1992 ya berdirinya. Says ingin tahu bagaimana
proses pembentukan gereja Casa Rosa di mal ini pak? Mengapa memilih di mal kog
gak di tempat lain?
SM: Oke, jadi barangkali karena ini wawancara kita, saya belum siap memberikan
jawaban yang pasti tentang itu, tetapi biarlah saya menyampaikan dulu tentang apa
yang saya tahu. Soalnya buku tentang sejarahnya belum ada, padahal sudah diminta
oleh bapak gembala sidang. Historisnya begini, Pak Iw itu dulunya adalah salah
seorang anggota dari GKI. Ia adalah anggota gereja kita. Tapi sebagaimana yang kita
tahu bahwa gereja kita ini masalah yang berhubungan dengan Roh Kudus dalam arti,
Bahasa Roh, terus nubuatan, usir setan kurang dijelaskan. Kita percaya Roh Kudus,
tapi cara kerjanya kita pahami berbeda. Nah, jadi beliau ini rupanya dia merasakan
ada suatu. Katakan di dalam hatinya, yang saya tahu ya dia pernah cerita, ada gerakan
di dalam hatinya bahwa ketika gereja-gereja GKI itu, sejenis gereja GKI merasakan
bahwa bahasa roh, waktu itu ekstrim sekali mereka mencap itu sesat, sesat, sesat. Nah
sampai akhirnya beliau, karena dia punya karunia seperti itu itu, dia merasa seperti
itu, itu ditunjukkan juga ketika dia di rumahnya. Dia sedang belajar, lalu
pembantunya kerasukan gitu lho, dia jerit, dia jerit. Dia sedang belajar, dia dengar, itu
dia masih muda itu. Lalu setelah itu dia pergi ke belakang, dia ambil air satu gelas,
dia doakan dalam nama Yesus dan (ehhh: tertawa) itu orang sembuh. Itu dia jadi
punya. Nah kalau selanjutnya beliau ini (Pak Iw), sebetulnya dia ini seorang
pengusaha, dia tidak sekolah teologia memang, dia tidak sekolah teologi, dia seorang
pengusaha, tetapi karena dia punya kerinduan untuk menampung, katakanlah
membentuk suatu gereja, persekutuan di mana yang bersifat itu tadi bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
(diakomodasi). Maka dia membentuklah gereja di ----- (menyebut nama Mal), di mal
ini, persekutuan. Jauh dari pemikiran bahwa dia mau jadi pendeta, gak, tapi dia
adalah yang memanggil orang. Gereja ini kecil, lalu memang ehh satu dia bilang gini
suatu kali dalam ibadah, dia menata ibadah itu sedemikian rupa, yaitu begitu mulai
ibadah malah dikatakan WL yang ada di belakangnya itu lebih banyak daripada
jemaat. WL nya ada, singernya ada, pemainnya ada. Malah pemain band-nya itu lebih
banyak dari orang yang hadir, tapi dia melihat suatu penglihatan, dia dengar bahwa
saat bernyanyi itu dia melihat ke belakang sedikit sekali orang, tetapi saat memuji itu
dia merasakan ada ribuan orang di belakang dan dia nyanyi bersama. Itu dia
merasakan seperti itu.
P: Berarti awalnya sekitar berapa jemaat di gereja ini pak?
SM: Awalnya sekitar 20an orang aja kog, itupun keluarga dekat saja. Jadi, memang
beliau mengambil, katakanlah dari awal direncanakan atau ditangkap bahwa memang
singer, pemusik, WL itu adalah orang-orang yang dipilih dan beliau itu selalu
berbicara tentang kalau lakukan apa-apa selalu persiapkan dengan baik. Bahkan kalau
sampai sekarang kami ditugaskan melayani, disuruh keluar, selalu kata dia persiapkan
dengan baik. Dan beliau itu tahu kalau belum mempersiapkan dengan baik. Sehingga
dari awal dia membentuk itu selalu persiapan. Nah, sehingga selanjutnya berkembang
itu adalah karena persiapan yang baik. Dia persiapkan dengan baik, dan juga dalam
mencari pembicara juga dia persiapkan dengan baik.
P: Karena Pak Iw itu pengusaha, mungkin link-nya juga banyak ya pak.
SM: Nah, itu, itu juga satu, dia adalah pengusaha.
P: Kalau boleh tahu pengusaha apa ya pak?
SM: Ehh beliau ini eh (agak enggan) udah, udah kelas atas sebenarnya bisnisnya,
udah ke luar negeri ya. Dia gerak di batubara dulu, trus sebenarnya ada juga dulu dia
kerjasama dengan tentara republik Indonesia ini, seragam. Bayangkan se Indonesia.
Sampai sekarang itu.... ehhh (enggan lagi) off the record ya, jadi sampai sekarang itu
geluti batubara, tapi dengar-dengar saya gak tau apa naik ke atas apa turun? Tapi ya
kurang lebih begitulah. Ya pokoknya usaha luar negerilah, urusan senjata dengan luar
negeri juga..... ya begitu.... Nah jadi ini berkembang (mengalihkan pembicaraan ke
soal gereja). Ada kesaksian-kesaksian iman bagi dia dulu itu waktu kita ada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
ruangan yang pertama kita mulai itu sewa. Saat sewa itu kita diusir, itu di ruangan
sekretariat kita itu, yang kita ada di situ (sambil menunjuk ruang sekretariat di depan).
Gak dikasi sama pengelola, cari tempat yang lain, tapi beliau tetap berdoa, saya
merasa bahwa ini milik ---- (menyebut nama gereja). Jadi, dengan iman, begitu,
sampai pada akhirnya pengelola suruh mengajukan permohonannya apa? Nanti akan
disidang, sampai akhirnya persidangan itu, OK you dikasi dan ditanya mau tambah
berapa? You butuh berapa? Akhirnya kita ada seperti ini. Lalu, penuh, trus ada
tawaran lagi.Tapi intinya pertama kecil, lalu mendapat tantangan, justru diberi lebih
lebar dan lebih besar lagi.
P: Soal penamaan nama gereja ini terinsipasi oleh apa pak?
SM: Oh ya gereja ini kan terletak di kawasan kedutaan, banyak kantor juga. Jadi
terinspirasi dari sana bahwa kita, gereja kita adalah duta Injil.
P: Jadi sebenarnya bukan karena kesulitan mendapat izin bangunan ya pak?
SM: Oh gak, gak, kalau gereja kita tidak
P: Karena latar belakang sosial keluarga dekat yang 20 orang itu dari kelas menengah
atas, mungkin juga mereka mencari tempat berkumpul di mal ya, bukan cuma di
warung makan biasa ya?
SM: Iya, kalau dari awal karena kebetulan Pak Iswara kan pengusaha besar, uangnya
banyak, akhirnya kalau penyelenggaraan ibadah pertama dengan singer, diberi bekal,
diberi makan, itu gak cukuplah kalo dari gereja, persembahan atau apa ya nggak
cukup, kalau tidak ada donatur di balik itu. Nah, makanya dipilih mal karena dia
sudah bisa memperhitungkan semua itu. Kalau dibilang jemaat yang datang, ya
jemaat yang datang umumnya pengusaha. Saya tahu orang-orang awal di sini
memang bos-bos gitu. Karena kalau kita lihat ada orang kasih sumbangan 1 Miliar,
itu kan luar biasa, waktu pembelian sebelah sana (menunjuk ke arah gedung gereja
sekarang).
P: Kalau gedung yang sekarang ini sudah jadi hak milik atau masih sewa pak?
SM: Udah hak milik itu, udah hak milik. Saya kurang tau berapa ukurannya kalau
sekarang, tapi saya ingat berkali-kali diceritakan ada seorang ibu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
menghadiahkan itu, memberi sumbangan, ketika ditanya siapa yang tergerak, lalu dia
panggil BPH-nya istilahnya, ya ada, tolong dibantu itu jual rumah saya itu, berapa itu,
minimal setiap ini, ini, dijual langsung bulat-bulat kasih ke gereja.
P: Kalau Bapak sendiri bergabung di gereja ini sejak kapan?
SM: Saya tahun… (sambil berpikir), sekarang tahun 2010 ya, 2009… ya, udah 1,5
tahun, hampir 2 tahun saya, berarti sejak 2008 saya bergabung di sini
P: Hmm, sejak tahun 2008 ya Pak? Berarti gereja ini sudah besar ya Pak?
SM: Oh, udah, udah besar duluan. Udah terkenal, sehingga kalau orang bilang juga
kalau saya masuk di sini semua orang lihat bahwa saya punya potensi yang luar biasa
sehingga bisa diterima di tempat ini. Jadi orang menganggap begitu, padahal biasa-
biasa aja.
P: Kalau boleh tahu, sebelum di sini, Bapak bekerja di mana?
SM: Mmmm (agak enggan), memang saya sebenarnya sudah pendeta di gereja
Kristus. Awalnya, saya ini kan kepala sekolah di BPK Penabur, Bogor. Saya juga
sudah 12 tahun menjadi guru di sana penabur, enam tahun saya menjabat sebagai
kepala sekolah. Setelah itu saya ke jemaat, gereja Kristus di Purwakarta. Nah, udah
enam tahun di situ baru kemudian sebenarnya saya mau mutasi ke Lampung. Pada
saat yang bersamaan, bulan yang bersamaan, minggu yang bersamaan ada teman
yang memberitahukan bahwa ada di sini (maksudnya di gereja sekarang)
membutuhkan tenaga, mau gak?
Jadi saya tergiur, tertarik, lebih memutuskan memilih di sini. Jadi saya tidak tahu itu
salah atau tidak, itu keputusan saya sudah memilih. Jadi maksudnya begini, kalau
orang masuk gereja Casa Rosa itu gereja besar, jemaat besar, udah dikatakan di
lingkungan kharismatik itu disegani. Sehingga kalau nanti pendeta ditarik ke dalam
situ wah, hebat sekali ya gabung juga?
P: Oh begitu. Mungkin karena Bapak seorang kepala sekolah Kristen, orang jadi
banyak kenal Bapak ya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
SM: Oh, begini, mereka baru tahu saya setelah saya kirim lamaran dan kita
wawancara gitu. Lewat wawancara, dan itu pun sebenarnya gak mudah juga ya,
karena saya latar belakang saya lulusan STT Jakarta. STT jakarta waktu itu beliau
Tanya, “Kamu lulus tahun berapa?” “Tahun 90”, saya bilang. Lalu beliau bilang, “Oh
iya kalau begitu. Ya udah, gak apa-apalah belum ini”. Kalau saya mau katakan juga
bahwa lingkungan gereja ini, STT jakarta itu jelek, dianggap dengan sinis, dianggap
miring juga, sesat juga. Mungkin karena liberalnya itu. Nah, kalau itu saya bicara di
sini sebenarnya kejutan. Kok bisa, kok bisa di situ? Loh apa yang menggerakkan anda
ke situ, gitu lho.
Nah, itu kalau saya dari Agustus, sudah hampir dua tahun mengabdi di tempat ini.
P: Hmm, tentu orang yang memanggil bapak dan memberi tahu ada kesempatan di
sini juga tentu kenal betul gereja di sini, jadi begitu ya pak?
SM: Oh benar, karena kebetulan orang yang memanggil saya adalah orang
Purwakarta. Dia orang gereja kharismatik, tapi mamanya anggota gereja kami, dia
tahu bahwa kami mau mutasi itu, dia pikir di lingkungan gereja mereka itu kalau
pendeta mutasi berarti dipecat. Itu pemikiran dia dipecat, padahal di kita itu terjadi
pemecatan pendeta itu oh aduh terjadi kiamat dulu baru dipecat gitu. Mutasi ya iya
gitu lho.
P: Lalu Bapak bergabung di gereja ini sebagai apa?
SM: Ya, kalau istilah kami di sini adalah, ya tenaga tim penggembalaan, konselor ya.
Di sini istilah tim penggembalaan di sini ya konselor itu betul. Dalam ibadah, tim
penggembalaan juga bisa menyatakan berkat
P: Kalau begitu kembali ke pertanyaan awal tadi itu pak, artinya soal ya oke bapak
sudah di sini 2 tahun udah mengenal gereja ini besar, lalu pertanyaannya adalah
sekarang apa sih yang menggerakkan orang tertarik beribadah di sini? Karena mal-
nya atau karena gerejanya? Bagaimana pak melihatnya?
SM: Kalau mau jujur mal ini sebenarnya nyaris mati, sepi. Itu saat krisis pertama di
Indonesia, kira-kira tahun 1996 atau 1998, pokoknya mal ini mau mati. Sebenarnya
ada lima gereja dulu di mal ini, tapi gereja kami yang paling berkembang dan masih
eksis. Saya bilang waktu itu gak ada yang buka toko disini gak ada yang nyewa, tapi
jujur pengelola mal akhirnya mengamati bahwa kehadiran gereja yang membuat mal
ini akhirnya ramai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
P: Menurut Bapak apa sih yang membuat umat merasa berbeda beribadah di gereja
ini?
SM: Pertama kalau kita melihat itu dipuaskan dalam hal ibadah yang diselenggarakan
itu dilihat dari segi pertumbuhannya, perkembangannya. Karena kami mencatat
bukan hanya 1000 jemaat atau 3000 anggota jemaat tapi puluhan ribu yang tercatat.
Nah itu berarti bahwa ada banyak peminat jadi kalau dia dah mendaftar, terus datang
lagi, menjadi peminat tetap, berarti dia senang, dia puas itu. Kalau kita melihat sejauh
mana tapi melalui sisi itu komentar-komentar jemaat yang kami tanya meskipun Casa
Rosa ini beda walaupun sama dengan gereja kharismatik lain, tapi katanya Casa Rosa
lebih baik dibanding yang lain, lebih teratur
R: Di mana terlihat lebih teraturnya pak?
SM: Jadi begini mungkin dari yang memimpin pujian, pemain musiknya lebih teratur
jadi gak sembarangan atau beginilah atau mungkin di kalangan tertentu yang bisa
melihat itu, tapi di Casa Rosa ini pujiannya yang sangat kuat
P: Misalnya 30 menit pertama dalam ibadah sesi pujian dan penyembahan ya pak?
SM: Iya, maksudnya begini WL nya juga gak sembarangan, talentanya udah di situ.
P: Apa gak difasilitasi dulu ikut SOM (Sekolah Orientasi Melayani) atau apa gitu
Pak?
SM: Gak, begini rupanya salah satu yang saya dengar ada lulusan theologia juga di
sini, tapi sebagian yang lain adalah dari bakat dan talenta, dan sering ikut latihan, jadi
akhirnya terbiasa
P: Efeknya luar biasa terhadap kepuasan jemaat yang datang ya pak?
SM: Ya, saya kira begitu. Saya pertama kali ikut KKR di gereja ini, ya terasa ada
hadirat Tuhan hadir. Jadi yang kita lihat dari kepuasan itu pertama dulu memang
ibadah di sini itu menjawab kebutuhan, menyentuh kebutuhan jemaat. Saya gak tahu
itu salah atau gak tapi setidaknya itu dulu banyak dibicarakan jemaat masalah-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
masalah penyakit, masalah kekuatiran, keuangan atau masalah apa jadi kalau di
gereja kita hadirkan pembicara yang mengerti hal itu, kita pilih orang-orang yang
model gitu itu yang hadir disini sehingga mengatakan hal setelah itu wah berarti
cukup baguslah menjawab kebutuhan dari sisi aktual jadi kalau masalah dendam itu
setelah beberapa bulan itu tuntas jadi saya melihat itu luar biasa, sangat bagus jadi
punya karunia yang hebat.
P: Jadi muatan khotbahnya itu banyak mengakomodasi kebutuhan jemaat soal
bagaimana hubungan relasi dengan yang lain dendam, kesehatan, keuangannya begitu
ya pak?
SM: Iya begitu. Betul tapi saya takut juga kalau semuanya berjalan baik karena kalau
saya lihat ada kalanya kurang sehat juga khotbah itu. Kalau yang didengar yang enak
terus, bisa-bisa jemaat bosan dan kalau mau yang enak terus nanti jemaat jadi gak
dewasa
P: Jadi setiap pengkhotbah menentukan sendiri tema apa yang dia khotbahkan?
SM: Tentukan sendiri. Tapi begini juga seperti yang saya katakan bahkan pembicara
yang top yang mengulang judul itu terus. Ada jemaat yang bertanya kenapa hanya
judul itu aja yang disampaikan? Jadi seperti pembicara hebat yang kita hadirkan yang
bisa mengundang banyak jemaat tapi kalau seperti itu dikritik juga oleh jemaat atau
kalau gak jemaatnya bilang ganti pendeta yang lain kenapa? Ya itu tadi orang nya
begitu-begitu terus jadi hanya memikirkan yang enak aja.
P: Jadi jemaat mulai berpikir memasukkan dimensi lain dalam khotbah ya Pak?
SM: Nah waktu pertama-tama jemaat menganggap ini wah dan asyik, tapi lama-lama
orang bisa eneg juga melihat begini-begini terus. Jadi ada juga jemaat yang keluar
karena jenuh, ikatan kekeluargaannya kurang, dan tema khotbah yang itu-itu saja.
P: Gimana dengan pengkhotbah yang didatangkan dari luar negeri Pak?
SM: Kalau masalah dana sih kita gak masalah. Soalnya ada pendeta luar yang
mengerti tentang pengurapan Roh Kudus dan teknik berbahasa Roh. Jadi kami rasa
perlu mendatangkan mereka untuk pemahaman jemaat, ya supaya jemaat dibekali
dengan bahasa Roh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
P: Bagaimana dengan cara penyajian ibadah di sini Pak?
SM: Begini, ibadah di sini kan sangat antusias, digerakkan penuh dengan urapan.
Inilah ibadah yang dahsyat. Kenapa kita katakan gitu karena itu ibadah yang kita ikuti
selama ini, ya kayak di gereja dulu kan hanya membaca liturgi tetapi tidak
menyanyikan pujian dengan semangat. Jadinya kaku. Jadi penyembahan lagu itu
hanya formalitas aja atau dalam menyanyikan itu rohnya gak ada.
P: Kenapa satu lagu bisa dinyanyikan berulang-ulang Pak?
SM: Jadi waktu itu ada yang bertanya memang, “Kenapa lagu-lagu ini diulang-
ulang?” Ya, karena di dalam lagu-lagu itu adalah pujian penyembahan kepada Tuhan.
P: Gimana dengan WL, singer atau pemain musiknya Pak? Maaf sebelumnya Pak,
apakah ada sekedar tali kasih untuk mereka?
SM: Jadi satu hal yang saya lihat hal positifnya karena mereka bekerja professional
seperti singer dan pelayan lain itu biasanya ada PK (Persembahan Kasih). Jadi
seperti pemain musik atau WL itu persembahan kasihnya lumayanlah itu saya kira
sama kalau seperti saya khotbah di gereja kita. Artinya, hakekat amplopnya itu sama
(sambil tersenyum)
P: Kalau untuk pendeta yang khotbah bagaimana Pak?
SM: Ooo iya. Ada yang mulai dari Rp. 800 ribu, Rp.1 juta kalau bintang empat, kalau
bintang 5 itu bisa Rp.1,5 juta sekali tampil dalam khotbah.
P: Apa syaratnya untuk naik bintang?
SM: Saya kurang tahu
P: Bagaimana dengan database jemaat Pak?
SM: Cukup banyak. Kalau melihat database paling sekitar 1500 orang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Tapi kalau yang hadir kebaktian setiap hari minggu bisa banyak sekali. Khususnya
kebaktian yang jam 09.00 WIB pagi sampai jam 14.00 WIB ramai sekali, dan mereka
semua kan kasih persembahan.
P: Apakah selain mengikuti ibadah Minggu dan memberi persembahan yang banyak,
mereka mash sempat mengikuti ibadah-ibadah lain di tengah minggu, seperti
perkumpulan pemuda, ibu-ibu, atau komisi bapak?
SM: Kalau kebaktian pemuda ada, ibu-ibu juga ada. Tapi memang yang hadir tidak
sebanyak kebaktian di hari Minggu. Hari kamis juga ada ibadah khusus untuk
karyawan. Di hari Jumat juga ada ibadah jam 12.00 WIB dan hari Sabtu kebaktian
remaja dan pemuda
P: Apakah lewat kegiatan-kegiatan ibadah ini jemaat jadi saling kenal Pak? Termasuk
jemaat simpatisan atau jemaat tetap?
SM: Saya rasa gak. Jemaat di sini gak terlalu saling kenal satu sama lain. Misalnya
saja yang kelas “kakapnya”, memang mereka kasih persembahan besar, tapi kadang
habis ambil snack dan minum, langsung turun ke bawah. Saya kira sangat terbatas
waktu untuk bisa bercakap-cakap. Tapi saya serius ada satu kelemahan juga. Kalau di
gereja-gereja dulu liturgi itu sangat formal, sementara kelemahan di sini, kan
pendeta-pendeta jam terbangnya tinggi. Mereka melayani sekitar dua jam saja di
gereja ini, lalu pergi ke gereja lain. Jadi kadang gak ada kesempatan bersalaman
dengan pendeta, karena dia mengejar kebaktian di tempat lain.
P: Oiya bagaimana dengan warta jemaat Pak? Artinya, biasanya kan diumumkan
berapa orang yang hadir, berapa jumlah persembahan, ibadah keluarga selanjutnya di
rumah ini, kunjungan diakonia orang sakit begini. Yang seperti ini ada gak Pak?
SM: Gak ada. Tapi saya kira untuk persembahan atau bantuan bencana ada
alokasinya masing-masinglah. Tapi yang saya tahu pendeta pengkhotbah itu ada
yang dapet Rp. 800ribu, Rp.1 juta, Rp. 1,5. Bintang satu sekian, bintang tiga sekian,
bintang lima sekian… Ya saya kira begitulah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
Transkripsi Wawancara 3
Pewawancara (P) : Norita
Informan : IS (seorang Worship Leader di gereja mal)
Pekerjaan : Mahasiswi
Tanggal wawancara : 25 Mei 2009
P: Selamat pagi dek, sebelumnya terimakasih ya untuk waktu dan kesediaannya. Oiya
kakak mau nanya tentang gereja Casa Rosa, di mana selama ini kamu terlibat aktif di
dalamnya.
IS: Gereja Casa Rosa sebenarnya adalah bagian dari GBI (Gereja Bethel Indonesia).
Cabang-cabang GBI itu kan bersifat otonom. Ada banyak cabangnya, di Yogyakarta
saja misalnya selain Gereja Casa Rosa ada juga Gereja Aletheia. Gereja Casa Rosa
sendiri adalah satelit (sebutan untuk cabang) dari gereja pusat yang ada di Solo.
P: Gereja Casa Rosa ini sudah berdiri berapa tahun sih?
IS: Gereja ini sudah berumur sekitar 9-10 tahunlah kak. Gereja ini kan pindah-pindah
kak. Pernah memakai gedung RRI, Hotel Jayakarta, Rumah Makan Adem-Ayem,
Lippo Bank, Gedung Pelita, dan yang terakhir adalah Impact Center yang di Saphir
Squere, kalau gak salah sih sejak tahun 2008.
P: Bearti berpindah-pindah terus ya hingga akhirnya menetap di mal ini. Gimana
ceritanya kog akhirnya gereja Casa Rosa ini bisa berada di mal ini?
IS: Ya, memang sih selama ini kita berpindah-pindah terus kak, sampai akhirnya
boleh menyewa gedung di Saphir Squere ini. Soalnya ada pemilik saham di mal ini
yang beragama Kristen dan dia juga yang punya swalayan yang berada di lantai
bawah mal ini. Logikanya aja, jadi kan kalau selesai gereja kita bisa belanja di bawah.
Kebayang kan kak berapa banyak orang yang datang ke gereja dan kemungkinan
besar belanja di situ. Tapi, pemakaian gedung yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain, kalau aku gak salah ya kak, tak lain karena izin bangunan gedung
gereja yang sulit diperoleh. Oleh karena itu ketika pihak pemilik mal bersedia
menjual atau menyewakan beberapa bagian bangunannya, gereja Casa Rosa
membelinya. Kalau aku gak salah ingat mungkin biaya membeli gedung tempat
ibadah itu seharga Rp.40 M.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
P: Boleh tahu jumlah anggota jemaatnya dan kebanyakan dari golongan mana?
IS: Kalau gak salah sih jumlah anggotanya yang terdaftar saat ini sekitar 6000-7000
jiwa, yang awalnya hanya berkisar 2000-an jiwa. Kan visi gereja ini untuk tahun 2009
sebenarnya menjangkau 10.000 jiwa. 50%-70% anggotanya adalah anak muda,
selebihnya orangtua dan kebanyakan pengusaha. Salah satu cara menjangkau
anggotanya adalah dengan cara cell group (satu orang menjadi kakak rohani, lalu ada
sekitar 4-5 orang adik rohaninya dalam satu kelompok, begitu selanjutnya, adik
rohani akan menjadi kakak rohani dan mempunyai adik rohani lain). Ya, seperti
perkembangbiakan sel gitulah kak.
P: Apa tanggapan kamu tentang ibadah di sana? Ya termasuk fasilitas musik yang
dipakai.
IS: Wah, model ibadah di sini beda banget kak dengan ibadah di gereja-gereja suku.
Di sini ibadahnya semangat banget, ya lebih nge-roh lah, rame dan semarak. Soalnya
fasilitasnya juga kan mendukung banget. Ada sound system yang bagus, lampu sorot,
smoked, mike yang bagus dan mahal, LCD besar, musik yang fullband. Semua
fasilitas ini betul-betul dirawat kak. Ada bagian khusus yang menjaganya. Mike
untuk singer saja harganya itu berkisar Rp.1,5 juta, sementara mike untuk Worship
Leader dan Pendeta seharga Rp.3 jt. Artinya, gereja ini memang mau memberika
yang terbaik, termasuk lewat fasilitas-fasilitasnya.
P: Kalau soal persembahannya gimana di sini dek?
IS: Oiya selain ada amplop persembahan, ada juga amplop “Janji Iman” yang
biasanya dipakai untuk biaya pelebaran gereja. Ya, kalau mau jujur, jumlah
persembahan memang cukup besar di gereja ini. Mungkin dalam satu minggu bisa
berkisar Rp.100 jt), mereka yang memberikan persembahan biasanya jumlahnya
besar, anak Sekolah Minggu saja ada yang memberikan persembahan Rp.20.000-
50.000 kak. Beda banget kan dengan di gereja suku, misalnya.
P: Wah, berarti tidak ada masalah ya dengan keuangan.
IS: Aku rasa sih gitu kak. Bahkan kalau ada acara-acara spesial, misalnya HUT gereja
atau Natal, pengisi acara biasanya juga disubsidi untuk membeli baju atau peralatan
make-up dan biasanya itu semua menjadi hak milik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
P: Oh gitu, berarti pengisi ibadah benar-benar dipersiapkan untuk penampilan yang
terbaik ya?
IS: Iya begitulah. Soalnya mulai dari pengisi acara yang ada di depan mimbar utama
yang menhadap jemaat, kita juga kan harus tampil sebaik dan serapi mungkin. Ya
intinya kita mau memberikan yang terbaik aja sih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
Transkripsi Wawancara 4
Pewawancara (P) : Norita
Informan : SL
Pekerjaan : Pendeta Muda (Pdm) di gereja aliran kharismatik
Tanggal wawancara : 14 Januari 2010
P: Selamat pagi ibu, langsung saja ya. Saya mau tahu bagaimana proses terbentuknya
gereja-gereja yang ada di mal? Apalagi umumnya ya seperti yang kita ketahui
kebanyakan beraliran kharismatik?
SL: “Jawaban yang paling gamblang dan paling mudah sih sebetulnya karena gak
punya gereja yang sesuai apa kata orang tentang gedung gereja, karena GBI-GBI
secara khusus ataupun gereja aliran Pentakosta ini memiliki kesulitan untuk: satu,
lahan dan gedung gereja selayaknya seperti gereja-gereja Protestan atau gereja
Khatolik zaman dulu. Karena tergusur-tergurus terus dan ada mal yang mungkin aula-
nya belum terpakai atau sudah tua, dan kemungkinan ini dilihat oleh gembala Tuhan
tersebut sebagai opportunity untuk dibuka, ya dia buka, karena liturginya tidak akan
berubah oleh sebab bangunan. Dari mal-nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai
lagi, karena apa? Kan setiap minggunya banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal
yang membuat gereja bertumbuh, itu opportunity saja. Jadi karena ada yang kosong
dan mereka mau sewain buat gereja, ya udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum).
Ide pertamanya gitu. Sebelum tahun 2000-an sudah mulai banyak. Ketika maraknya
mal-mal, dia bikin aula, lalu karena gereja itu mempertimbangkan berapa nampung?
Kapasitasnya paling sedikit kan kurang lebih 500. Lalu kalo boleh ini disewa oleh
gereja dan owner nya bilang gak ada masalah. Dia kan tahu boleh gak ini disewaim
karena ada kegiatan gereja, ya kalau owner nya menginjinkan, kita gak ada masalah,
gereja di sini juga gak masalah. Tentu pasti dalam pelaksanaannya tergantung kepada
lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu ya you boleh pakai untuk ibadah tapi jangan
pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh pakai nama, paling ada spanduk di
belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah turunin lagi.
P: Kalau pola ibadah di gereja yang umumnya beraliran pentakosta atau kharismatik
bagaimana sih buk?
SL: Kalau bicara soal tata ibadah pentakosta ini gak beda jauh ya.. Sederhana aja sih
sebenarnya, dan lebih fleksibellah. Alurnya ya praise and worship, khotbah,
kemudian tantangan doa ke depan, lalu doa syafaat, dan terakhir doa berkat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
P: Bagaimana mempersiapkan semuanya agar tampil menarik dan menggugah hati
jemaat Bu?
SL: Biasa aja kog, jadi begini di gereja pentakosta itu sudah diatur divisi-divisi
pelayanannya. Misalnya: WL dan singer itu ada divisinya, pemain musik full band
juga ada divisinya. Kecuali Ibadah kecil seperti di rumah ada acara syukuran itu
hanya ada pemain keyboard. Kalau di gereja pentakosta itu full band, di protestan itu
hanya keyboard.
P: Jadi memang sudah disiapkan sedemikian rupa ya.
SL: Sudah ada divisi-divisinya dan biasanya mereka latihan minimal 1 kali seminggu
gitu juga dengan multimedianya sudah disiapkan 3 hari sebelum ibadah. Juga dengan
sound system-nya.
P: Peran seorang WL sangat besar sekali dalam ibadah ya Bu?
SL: Oh iya, dia yang mengajak umat menyanyikan lagu sesuai pesan lagu dan
suasana pujian. Umumnya mereka hafal lagu-lagunya, tapi kalau gak ya tinggal lihat
di slide aja. Tapi jangan salah lho, waktu saya buat KKR di Tanah Pinem, di daerah
Karo justru mereka ada yang mahir juga lho jadi WL.
P: Oiya Buk, kalau semua dipersiapkan dengan baik dengan waktu latihan yang
lumayan banyak, setidaknya apakah ada uang transport-lah untuk mereka yang
terlibat dalam pelayanan ini?
SL: Sebenarnya ka nada yang melayani penuh waktu dan paruh waktu. Tentu ada
uang transport yang disediakan, hanya saja itu kan sesuai dengan kebijakan gereja
masing-masing.
P: Yang saya perhatikan anak muda yang terlibat di dalam ibadah itu bersukacita
sekali ya?
SL: Mungkin itulah yang harus kita perhatikan. Namanya juga kan anak muda,
mereka kan kreatif jadi kalau banyak orang tua yang mengikat liturgisnya membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
anak muda malas dan akhirnya pergi ke gereja yang memiliki cara mengembangkan
kreatifitas mereka.
P: Dalam hal ini gereja kharismatik untuk menjangkau kebutuhan pemuda dalam
aktivitasnya, maksudnya?
SL: Iya makanya pemuda punya ibadah sendiri dalam mereka punya kegiatan dan
kelompok komisi anak dan pemuda. Komisi ini harus memikirkan konteks kawula
muda, nah kalau liturgi anak muda ini dicampur dengan orangtua, bisa kita
bayangkan suatu saat mereka gak akan betah, gerah gitu kan, walaupun diwajibkan
ibadah pada hari Minggu yang suatu saat dia akan bosan dan keluar. Artinya, tiap
kebutuhan golongan usia haruslah diperhatikan.
P: Selain pertemuan dalam kebaktian minggu, apa saja kegiatan di tengah minggu
Bu?
SL: Ada yang komsel, komsel ini di rumah-rumah atau di tempat hamba Tuhan. Nah
itu membina hubungan jadi kayak maintenance. Firman udah ditabur jadi harus di-
maintenance, membahas masalah-masalah hidup kitalah. Dan biasanya setiap
kelompok ada leader-nya yang terlebih dahulu sudah dibekali firman. Lalu di
kelompok itulah mereka bisa sharing.
P: Konsep Komsel itu bagaimana Buk?
SL: Kalau komsel itu gak boleh lebih dari 12 orang dalam satu kelompok.
P: Berarti lewat Komsel inilah diharapkan tingkat kedekatan dan keakraban umat bisa
terjalin ya?
SL: Iya, misalnya saja ada satu orang stress karena di pekerjaan ada masalah atau
karena apalah, terus dibantu sama anggota dan teman-teman lain dalam kelompoknya
itu, lalu didoakan bersama.Yang paling bagus itu sebenarnya homogen bapak dengan
bapak , ibu dengan ibu, anak muda dengan anak muda, dokter dengan dokter, insinyur
dengan insinyur, yang punya “bahasa” dan pergumulan yang sama, namun
kenyataannya sulit membuat kategori homogeny seperti ini.
P: Oh begitu ya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
SL: Sharing gak harus di rumah, tapi bisa jadi di cafe, yang penting kan bisa
membahas firman Tuhan. Bahkan bisa saja mereka sudah janji ketemunya di tempat
lain sambil makan bak mie, misalnya, itu gak apa-apa yang dilihat kan tujuannya.
P: Jadi fleksibel sifatnya ya bu?
SL: Sangat fleksibel karena yang dilihat itu tadi tujuannya
P: Lalu mereka ada kolektenya
SL: Ada
P: Itu disetorkan ke gereja?
SL: Ada yang punya peraturan demikian ada yang setengahnya disetorkan ada yang
dibuat untuk kegiatan besarnya, juga tidak disetor karena untuk kegiatan di rumah itu.
Misal untuk buat kue atau untuk menolong teman yang lagi kesusahan, sakit, nah itu
tergantung dari porsi pemimpin paling atas kembali lagi dari gembala. Tapi kalau
gembala serahkan kepada pemimpin di bawahnya itu terserah boleh aja tergantung
gereja masing-masing punya aturan main dilakukan, tapi kalau sudah dilakukan ntar
seragam semua
P: Tetap ada aturannya lah ya?
SL: Ada aturan tapi gak baku dilihat dari kebutuhan. Jadi itulah yang dibuat oleh
gereja aliran pentakosta atau kharismatik, mencoba menjawab kebutuhan dari masa
ke masa. Mungkin berubah juga sih nantinya. DI sini tidak ada batasan-batasan
karena aliran pentakosta mempunyai aliran sendiri, itu gak di atur sama sinode. Kalau
gereja yang lama bahkan khotbahnya diatur. Padahal khotbah yang diinginkan sesuai
kebutuhan jemaat. Jadi kebutuhan itu gak gampang memenuhinya, gak bisa 100%
tapi paling tidak kita mengerti bahwa tiap manusia punya masalah. Tiap kali kita
lempar satu firman paling tidak beberapa persen itu terjamah dari mana kita tahu
mereka terjamah dari jemaat yang tetap hadir kalau 10 tahun dia gak pernah ibadah
dan gak pernah terjamah maka dia cari yang lain. Saat firman ditabur pada hari
minggu, pada Komsel itulah kita menjamah atau kepada pelayanan konseling atau
acara yang ada di gereja. Kita kan punya layanan konseling 24 jam. Kebanyakan sih
ada yang datang jadi ada yang telepon. Pernah ada yang datang konsultasi ke saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
katanya sudah 5 tahun gak punya anak saya antar aja ke sini terus didoain. Nah
setelah itu dia gak pernah berobat lagi, sebelumnya dia berobat ke singapura, tahu-
tahu hamil, sekarang udah melahirkan. Nah kedua di sini ada formulir doa itu juga
yang pernah dibaca para majelis di sini didoakan.
P: Jadi boleh datang langsung, via telepon atau menulisnya di kertas ya?
SL: Iya tiap hari minggu siapa yang mau didoakan itu ditulis, nah para pendoa syafaat
akan mendoakan terus. Jadi dari segala bidang pelayanan diadopsi, segala kebutuhan
diupayakan dijawab. Kami percaya bahwa healing yang menyembuhkan itu bukan
karena pendetanya kog, tapi karena kuasa Tuhan dan ia (orang itu) beriman. Kita
cuma alat Tuhan aja. Sebenarnya bukan tempatnya. Ini kita punya healing aja kita
pindah-pindah terus kog. Jadi mau di mal atau gak, sebenarnya gak masalah juga kan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Transkripsi Wawancara 5
Pewawancara (P) : Norita
Informan : SS
Pekerjaan : Dosen Teologi di Jakarta
Tanggal wawancara : 15 Januari 2010
P: Langsung saja ya Pak. Jadi apa tanggapan bapak tentang ibadah gereja-gereja yang
ada di mal yang semakin marak saat ini?
SS: Ya memang saya pikir ada kecenderungan di kalangan gereja karismatik
membuat ibadah yang bersifat entertainment. Kalau di Amerika saya lihat tata ibadah
gereja reform mereka sebut open community future sifatnya ya entertainment, kita
seperti nonton aja gitu, seperti layar terbuka, paduan suara yang banyak, permainan
lampu. Jadi itu menarik banyak pengunjung dan itu membuat orang tertarik dan
terhibur. Kita lihat misalnya mega church dengan pengkhotbah-pengkhotbah Joel
Oestien yang sering kita lihat, dia membeli 10-15 ribuan stadion base ball dan dia
ubah menjadi gereja. Dia ngaku di sebuah wawancara di koran, bahwa dia tidak akan
mengatakan yang jelek-jelek dan negatif, tentang dosa dan sebagainya karena itu
tidak disukai oleh jemaat-jemaatnya.
P: O berarti isi khotbah menjadi hal yang sangat penting diperhatikan dalam corak
gereja mal ya pak?
SS: Iya, dalam hal ini dia mengkhotbahkan yang enak-enak aja dan itu yang banyak
dicerca oleh gereja lain, tapi saya kira itu bukan Injil yang sebenarnya.
P: tapi banyak orang yang suka itu karena mereka bilang kalau senin-sabtu itu dapat
berita jelek, kenapa minggu harus dapat berita jelek lagi, gitu. Di hari minggu itu ya
dapat kekuatan dari firman Tuhan.
SS: Ya, saya kira-kira begitu
P: Menurut bapak apa namanya fenomena ini?
SS: Iya saya kira agama dijadikan sebagai sebuah komoditi yang tidak ada bedanya
dengan apa yang dijual di mal lainnya. Apa lagi dengan setting-nya mal tu sendiri. Ya
saya kira pesan dalam khotbah sangat juga sangat menarik hati banyak orang.
Sebenarnya kan banyak ibadah yang baik tapi yang penting ditekankan disini adalah
spesifikasi pesan dalam ibadah, seperti di mal, dipaket dalam bentuk indah, menarik.
Saya pikir sama aja seperti sebuah etalase yang dibuat untuk menarik pengunjung.
P : Jadi, pola belanja dan pola ibadah hampir sama
SS: Iya memang polanya disesuaikan seperti pola belanja. Saya akan bicara tentang
gereja saya, GKI. Pernah salah satu anggota jemaat ditawari oleh seseorang untuk
membangun gereja di mal dan memang tujuannya adalah menarik orang-orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
selama ini keluar dari gereja-gereja dan kemudian mencari gereja mal, dan saya
katakan oke, kita bisa ke sana dan saya setuju tapi kita mengkompromikan isi pesan
Dalam khotbah, model ibadah memang bisa kita buat lebih rileks atau membuat
musik band tapi tetap isi pesan khotbah tidak bisa kita ubah. Kita tidak bisa
sampaikan pesan yang bagus-bagus aja, yang sedap didengar. Bagaimana pun juga
pesan kenabian harus ada.
SS: Tapi bukan hanya khotbah, sebenarnya unsur liturgi juga. Misalnya lagu-lagunya.
Kalau teman saya di Amerika bilang lagu di gereja-gereja seperti itu ya, seven
eleven-lah. Tau gak istilah seven eleven itu? sepeti circle K yang menjual minuman,
makanan kecil, koran dalam 24 jam
P: Apakah yang bapak maksudkan soal muatan teologis dalam lagu yang dinyanyikan
di gereja-gereja tersebut?
SS: lagu itu seven eleven words time, kata-kata nya hanya tujuh kata, tetapi
dinyanyikan berulang-ulang sebanyak sebelas kali.
P : Berarti menurut bapak lagunya easy listening dan gampang mengikutinya,
ditambah kita tidak perlu belajar notnya ya? (sambil tersenyum)
SS : Ya, begitulah
P: Kalau soal persembahannya gimana Pak? Karena katanya persembahan umat di
sana besar, apalagi jika khotbahnya mengena.
SS: sepengetahuan saya ya persembahannya memang besar, tapi tidak ada kejelasan
atau pertanggungjawabannya ini kemana itu kemana. Wartanya aja gak ada kan,
selesai kebaktian kan langsung bubar. Itulah memang betul-betul dagang, orang
dagang kan tidak pernah menjelaskan berapa keuntungan
P: Kira-kira aspek mana yang dijawab oleh ibadah di gereja mal itu Pak?
SS: Saya pikir ini adalah model jajan yang sama halnya saya makan burger perut
saya kenyang dan udah saya pulang, pemuasan-pemuasan kebutuhan sesaat yang
dilakukan dengan segera dan cepat tapi di pihak lain kita bisa bertanya apa sih
misinya? Itu yang jadi persoalan dan mereka nggak peduli dengan itu. Gizi buat kita
itu kan harus utama, sering kali mereka tidak bicara soal keadilan. Itu kan pesan-
pesan kenabian yang harus disampaikan. Bagaimana kita adil membela orang miskin
dan tertindas dan saya nggak tau karena saya nggak pernah hadir di situ. Pernah gak
mereka mengkhotbahkan bagaimana sikap kita terhadap masalah, katakanlah KPK,
itu nggak pernah disinggung, korupsi dan hal-hal yang bersifat moralitas: jangan
main judi, mabuk-mabukan, jangan memukuli istri, anak harus taat orang tua, ya
seperti itu moralitas-moralitas yang sangat terbatas saya pikir itu penting.
P: Apa tanggapan Bapak tentang bintang tamu yang sering hadir dalam ibadah di
gereja mal?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
SS: Ya menurut saya, kita itu jadi kayak melihat suatu pertunjukkan-pertunjukaan
seperti show dengan bintang tamu. Itu kan daya tariknya sendiri. Bahkan kadang-
kadang bukan hanya hanya artis lokal, tapi dari luar negeri juga. Dan kayaknya ada
simbiosis mutualisme juga. Katakanlah sewaktu Joy Tobing belum terlalu terkenal
dan dia ikut Indonesian Idol. Dengan mengisi acara di kebaktian tentu di asekaligus
mempromosikan diri kan, cari dukungan lewat sms. Yah begitulah.
P: Kalau simbiosis mutualisme antara pihak gereja dan pihak pengelola mal
bagaimana Pak?
SS: Ooo, iya jelas kan, kalau dia bisa mendatangkan 1000 orang ke gereja itu akan
ada 1000 potential costumer di mal itu, sebab habis dari gereja mereka mau ngapain?
Masak langsung pulang? Ya mereka makan dululah di mal atau belanja dulu, ngapain
juga langsung pulang? Jelas kan, karena itu pengelola mal sangat tertarik
mengadirkan gereja di tempat mereka.
P: Mungkin gak Pak pola ibadah di gereja mal itu diadopsi oleh gereja arus utama,
seperti GKI atau GBKP? Kita datangkan Worship Leader yang terkenal, kita lengkapi
peralatan band untuk menarik minat pemuda. Gimana menurut Bapak?
SS: Kalau dulu Pak Eka pernah bilang bahwa kita gak bisa menghadirkan tiruan,
tiruan itu akan ketahuan bahwa itu bohong, bukan yang asli. Jadi tampilah sesuai jati
dirimu. Saya pernah di gereja presbiterian di Amerika, saya ikut di pertemuan raya
pemuda selama beberapa hari bisa 3000an orang ke situ dan ibadahnya itu full band.
Begitu saya datang ke ibadah itu, dengan latar belakang dari gereja tradisional, saya
lihat lho gereja di Amerika pun masih memakai cara-cara tradisional juga rupanya,
sampai di situ saya sempat kaget juga. Saya gak bisa menikmati kebaktian seperti itu
(seperti yang di gereja mal). Tapi barangkali itu yang sering terjadi, kita lihat aja PKJ
(Pelengkap Kidung Jemaat) sudah memasukkan lagu-lagu mereka dan akhirnya
memang kita gak bisa membendung lagi. Yang bisa kita lakukan hanya menyeleksi
menilai teologis lagu-lagu yang sehat.
P: Yah seperti yang kita ketahui Pak bahwa anak muda kan maunya nyanyian yang
gembira dan bersemangat dan dilengkapi dengan alat musik yang memadai, gak cuma
organ. Gimana menurut Bapak?
SS: Barangkali di sini kita harus melihat apakah kita gagal megembangkan lagu-lagu
yang memenuhi selera mereka. Saya lihat PKJ misalnya, saya gak puas dengan PKJ.
Sebagian lagunya kacau misalnya, “Aku bawa persembahanMu”. Bait keduanya
mengatakan begini, “Kita mengenal orang susah supaya kita kuat…” lho apa itu?
Motivasinya jadi egoisme dong.
P: Jadi menurut Bapak yang terpenting dalam suatu lagu apanya Pak?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
SS: Saya pikir banyak sekali penulis lagu yang sudah punya kata-kata yang baik.
Saya melihat lagu dari Amerika Latin yang mengatakan, “Kami tetap benyanyi, kami
tetap memohon kami tetap bermimpi…” atau “Kita tetap berharap bahwa keadilan
akan terjadi”. Nah ini lagu yang sangat kontekstual terhadap kondisi masyarakat
Amerika Latin yang hidup dengan diktatorisme yang menuntut keadilan. Ada lagi
satu,”Karena roh-Mu mempersatukan kami, karena Dia adalah kehidupan, sehingga
kami masih bisa bernyanyi. Meskipun ada intimidasi, kami masih tetap bernyanyi dan
mengharapkan kedatangan kerajaaan Allah karena Roh Kudus akan menyertai”. Satu
lagi dari Tanah Karo, “Sayur kubi jatuh harga”. Nah, itu lagu yang sangat bagus, tapi
berapa kali kita menyanyikannya? Kita kadang-kadang gak serius menganggap lagu
itu, padahal untuk petani lagu-lagu itu sangat menyentuh di hati.
P: Jadi kalau untuk lagu-lagu yang diminati saat ini bobot teologisnya yang
bagaimana sih Pak?Yang sedap didengar?
SS: misalnya, “Kami memujiMu, Engkau Allah yang dahsyat”, kenapa dahsyat?
Pertanyaan seperti itu memang yang patut kita curigai atau kita apakan terhadap
teman-teman yang datang ke sana. Misalnya korupsi yang sering terjadi. Itu ngasih
persembahan berjuta-juta, itu dilakukan hanya untuk menutupi penghapusan dosa
atau apa? Banyak nilai teologis yang salah saya kira.
P: Menurut Bapak keakraban di gereja mal itu bagaimana?
SS: Ya memang gak ada kan kalau kita omongin gereja di mal, orang kan gak saling
kenal dan ngerasa gak kenal karena belum tentu dia ada lagi kan. Kalau saya
memikirkan berapa pengunjung tetap dan sulit bagi kita untuk mengetahui
databasenya. Yang perlu kita curigai gak banyak pengunjung tetapnya. Kebanyakan
mungkin hanya jemaat simpatisan yang datang ke sana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI