MENGEMBANGKAN PENGUASAAN KOSAKATA PADA ANAK …lib.unnes.ac.id/29945/1/1511413037.pdf · dengan...
Transcript of MENGEMBANGKAN PENGUASAAN KOSAKATA PADA ANAK …lib.unnes.ac.id/29945/1/1511413037.pdf · dengan...
MENGEMBANGKAN PENGUASAAN KOSAKATA
PADA ANAK TUNARUNGU
(STUDI KASUS MENGGUNAKAN MEDIA SWISHMAX)
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh
Puput Noviawati
1511413037
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
ii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis didalam skripsi ini dengan judul
“Mengembangkan Penguasaan Kosakata Pada Anak Tunarungu (Studi Kasus
Menggunakan Media Swishmax)” ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah.
Semarang, 19 September 2017
Yang Menyatakan,
Puput Noviawati
NIM. 1511413037
iii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Mengembangkan Penguasaan Kosakata Pada Anak
Tunarungu (Studi Kasus Menggunakan Media Swishmax)” ini telah dipertahankan
di hadapan sidang Panitia Penguji Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada hari Selasa, 19 September 2017.
Panitia Ujian Skripsi:
Ketua,
Dr. Drs. Edy Purwanto, M.Si
NIP.196301211987031001
Sekretaris,
Drs. Sugeng Hariyadi, S.Psi., M.S
NIP. 195701251985031001
Penguji I,
Moh. Iqbal Mabruri S.Psi., M.Si
NIP. 197503092008011008
Penguji II/Pembimbing I,
Anna Undarwati, S.Psi., MA
NIP. 198205202006042002
Penguji III/Pembimbing II,
Dr. Sri Maryati Deliana, M.Si
NIP.195406241982032001
iv
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur” (Qs. An-Nahl : 78)
“Orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian
mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan
yang terus ingin meraih kesuksesan ia sebagai climber” (Paul G.Stoltz)
Peruntukan
Skripsi ini penulis persembahkan
kepada :
1. Orang tua saya (Bapak Jayono
dan Ibu Sugiarti)
2. Kakak saya (Slamet Wiji
Setyawan dan Dodik Setya Budi)
3. Partner saya (Fatchul Munif)
4. Rekan-rekan organisasi dan
seperjuangan (GS2, FUMMI,
LSI, dan DYNAMIC )
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Syukur alhamdulillah atas segala nikmat yang
Allah berikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Mengembangkan Penguasaan Kosakata Pada Anak Tunarungu (Studi Kasus
Menggunakan Media Swishmax)” dapat diselesaikan dengan lancar.
Skripsi yang telah disusun ini merupakan salah satu syarat yang dijadikan
untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi. Penulis menyadari bahwa selama
penyusunan ini tidak lepas dari berbagai bantuan, motivasi, dan doa dari berbagai
pihak. Dengan rasa syukur dan kerendahan hati, penulis sampaikan ucapan
terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Fakhrudin, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang,
2. Drs. Sugeng Hariyadi, S.Psi., M.S, Ketua jurusan Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang,
3. Anna Undarwati S.Psi., M.A, selaku dosen pembimbing pertama yang
senantiasa tak kenal lelah untuk memberikan arahan, bimbingan, maupun
motivasi kepada penulis;
4. Dr. Sri Maryati Deliana M.Si, selaku dosen pembimbing kedua yang
senantiasa berkenan untuk membimbing penulis, dan senantiasa memberikan
ide-ide yang luar biasa untuk kelancaran dari proses pembuatan karya skripsi
ini;
vi
5. Dra. Tri Esti Budiningsih S.Psi., M.A, selaku dosen wali rombel 1, yang
senantiasa memberikan motivasi, perhatian dan kasih sayangnya kepada
penulis;
6. Ibu Suharni, wali kelas IV SLB N Ungaran Semarang, yang menginspirasi
penulis sehingga penulis mampu untuk melaksanakan penelitian ini dengan
baik;
7. Seluruh dosen jurusan psikologi Universitas Negeri Semarang, yang senantiasa
mendidik penulis dengan baik;
8. Ibu Sugiarti dan Bapak Jayono selaku orang tua saya, yang senantiasa
mendukung pendidikan saya hingga akhirnya mampu untuk menempuh
pendidikan di tingkat sarjana ini;
9. Mas Fatchul Munif sebagai partner hidup saya, yang senantiasa memberikan
semangat, dukungan, maupun doa;
10. Responden peneliti yaitu siswa kelas IV SLB N Ungaran Semarang, yang
sudah memberikan waktu dan kesediannya sehinga penelitian penulis dapat
berjalan dengan baik.
Dengan rendah hati, penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya
kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan.
Semarang, 19 September 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
Noviawati, Puput. 2017. Mengembangkan Penguasaan Kosakata Pada Anak
Tunarungu (Studi Kasus Menggunakan Media Swishmax). Skripsi. Jurusan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Dosen
Pembimbing : Anna Undarwati., S.Psi., M.A; dan Dr. Sri Maryati Deliana M.Si
Kata kunci : Anak Tunarungu, Media Swishmax, Penguasaan Kosakata;
Anak tunarungu mengalami disfungsional dalam indera pendengaran.
Keadaan tersebut menyebabkan anak tunarungu mengalami permasalahan
sosial, emosional, kognitif, perilaku, dan kesehatan mental. Permasalahan yang
terjadi pada anak tunarungu tersebut dikarenakan minimnya penguasaan
kosakata. Penelitian ini menggunakan media swishmax sebagai media
pembelajaran kosakata pada anak tunarungu. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengembangkan penguasaan kosakata pada anak tunarungu dengan
menggunakan media swishmax.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen, dengan
desain penelitiannya adalah time series design. Jumlah subjek penelitian ini
adalah 8 subjek tunarungu kelas IV. Alat ukur yang digunakan untuk pretest
dan posttest adalah peabody picture vocabulary test. Sedangkan teknik analisis
data menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian yang didapatkan adala media swsihmax mampu
mengembangkan penguasaan kosakata pada anak tunarungu di kelompok
eksperimen sebesar 4 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang menggunakan media konvensional. Hasil analisis Wilcoxon Signed Rank
Test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa
ada perbedaan kemampuan penguasaan kosakata antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol setelah tidak diberikan perlakuan lagi (p = 0,020; Z = -
2.323). hasil penelitian menunjukan bahwa metode pembelajaran kosakata
dengan menggunakan media swishmax lebih efektif dalam meningkatkan
penguasaan kosakata anak tunarungu dibandingkan dengan media
konvensional.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
PERNYATAAN............................................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN .................................................................... iv
KATA PENGANTAR..................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR. GAMBAR...................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xviii
BAB
1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 12
1.4.1 Manfaat Praktis........................................................................................ 12
1.4.2 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 13
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 14
2.1 Penguasaan Kosakata ................................................................................. 14
ix
2.1.1 Pengertian Penguasaan Kosakata ........................................................... 14
2.1.2 Jenis-jenis Kosakata ............................................................................... 16
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Bahasa
terhadap Penguasaan Kosakata ............................................................ 17
2.1.4 Hubungan Kata dengan Mental Lexicon ................................................ 19
2.2 Media Swishmax ........................................................................................ 20
2.2.1 Pengertian Media Pembelajaran ............................................................ 20
2.2.2 Fungsi Media Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu ................................ 22
2.2.3 Prinsip-prinsip Penggunaan Media Pembelajaran
Bagi Anak Tunarungu .............................................................................. 24
2.2.4 Jenis Media Pembelajaran bagi Anak Tunarungu ................................ 27
2.2.5 Swishmax Sebagai Media Pembelajaran ................................................ 28
2.2.6 Definisi Swishmax ................................................................................. 30
2.2.7 Manfaat Media Swishmax Bagi Anak Tunarungu ................................. 31
2.2.8 Pentingnya Pembelajaran Kosakata dengan Menggunakan
Media Swishmax Bagi Anak Tunarungu ............................................... 32
2.3 Tunarungu ................................................................................................. 34
2.3.1 Pengertian Tunarungu ............................................................................ 34
2.3.2 Karakteristik Anak Tunarungu ............................................................... 35
2.3.3. Klasifikasi Anak Tunarungu ................................................................. 36
2.3.4 Kemampuan Bahasa dan Bicara Anak Tunarungu ................................ 40
2.4 Kerangka Konseptual .................................................................................. 42
2.5 Hipotesis .................................................................................................... 48
x
3. METODE PENELITIAN ........................................................................... 49
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ......................................................................... 49
3.1.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 49
3.1.2 Desain Penelitian .................................................................................... 50
3.2 Variabel Penelitian ...................................................................................... 50
3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian ................................................................ 51
3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ............................................... 51
3.2.3 Hubungan Antar Variabel ...................................................................... 52
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 53
3.3.1 Populasi Penelitian ................................................................................... 53
3.3.2 Sampel Penelitian ..................................................................................... 53
3.4 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 54
3.5 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 56
3.6 Instrumen Penelitian .................................................................................. 57
3.7 Validitas dan reliabilitas Instrumen Penelitian .......................................... 60
3.8. Metode Analisis Data .............................................................................. 63
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 64
4.1 Persiapan Penelitian .................................................................................. 64
4.1.1 Orientasi kancah Penelitian .................................................................... 64
4.1.2 Proses Perizinan ..................................................................................... 66
4.1.3 Penentuan Subjek Penelitian .................................................................. 68
4.2 Penyusunan Instrumen .............................................................................. 70
4.2.1 Penyusunan Modul Penelitian ................................................................ 71
xi
4.2.2 Penyusunan Media Swishmax Sebagai Perlakuan
dalam Eksperimen ................................................................................. 72
4.2.3 Penyusunan Peabody Picture Vocabulary Test sebagai Alat Test
untuk Pretest dan Posttest ...................................................................... 74
4.3 Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 75
4.3.1 Pengambilan Data Penelitian ................................................................. 75
4.3.2 Pelaksanaan Skoring .............................................................................. 76
4.3.3 Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 76
4.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ........................................................... 77
4.4.1 Hasil Uji Validitas .................................................................................. 77
4.4.2 Hasil Uji Reliabilitas .............................................................................. 79
4.5 Hasil Penelitian ......................................................................................... 79
4.5.1 Data Hasil Penelitian Kelompok Eksperimen yang
Menggunakan Media Swishmax Sebagai Perlakuan ........................... 79
4.5.1.1 Penguasaan Kosakata Awal pada Kelompok Eksperimen .................. 79
4.5.1.2 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke-I
pada Kelompok Eksperimen ................................................................. 80
4.5.1.3 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke- II
pada Kelompok Eksperimen .................................................................. 82
4.5.1.4 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke-III
pada Kelompok Eksperimen .................................................................... 83
4.5.1.5 Penguasaan Kosakata Setelah tidak diberikan Perlakuan
pada Kelompok Eksperimen ..................................................................... 84
4.5.1.6 Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada Setiap Subjek
di Kelompok Eksperimen ....................................................................... 85
xii
4.5.2 Data Hasil Penelitian Kelompok Kontrol yang Menggunakan
Media Konvensional Sebagai Perlakuan ............................................... 86
4.5.2.1 Penguasaan Kosakata Awal pada Kelompok Kontrol ........................ 86
4.5.2.2 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke-I
pada Kelompok Kontrol ...................................................................... 87
4.5.2.3 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke- II
pada Kelompok Kontrol ...................................................................... 88
4.5.2.4 Penguasaan Kosakata Setelah diberikan Perlakuan ke-III
pada Kelompok Kontrol ...................................................................... 89
4.5.2.5 Penguasaan Kosakata Setelah tidak diberikan Perlakuan
pada Kelompok Kontrol ...................................................................... 90
4.5.2.6 Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada Setiap Subjek
di Kelompok Kontrol ........................................................................... 91
4.5.3 Grafik Skor Penguasaan Kosakata Pada Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol .................................................... 92
4.5.3.1 Grafik Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada
Setiap Subjek di Kelompok Eksperimen ............................................ 92
4.5.3.2 Grafik Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada
Setiap Subjek di Kelompok Kontrol .................................................. 93
4.5.3.3 Grafik Perbandingan Hasil Perlakuan antara
Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol ........................... 94
4.5.4 Uji Hipotesis ........................................................................................... 95
4.5.4.1 Hasil Uji Hipotesis Pretest Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol ............................................................................. 95
4.5.4.2 Hasil Uji Hipotesis Posttest(1) Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol ............................................................................... 96
xiii
4.5.4.3 Hasil Uji Hipotesis Posttest(2) Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol ............................................................................... 97
4.5.4.4 Hasil Uji Hipotesis Posttest(3) Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol ............................................................................... 98
4.5.4.5 Hasil Uji Hipotesis Posttest(4) Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol .................. ............................................................ 99
4.5.4.6 Hasil Uji Hipotesis Pretest-Posttest(1) Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol ....................................................................... 99
4.5.4.7 Hasil Uji Hipotesis Pretest-Posttest(2) Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol ...................................................................... 100
4.5.4.8 Hasil Uji Hipotesis Pretest-Posttest(3) Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol ....................................................................... 101
4.5.4.9 Hasil Uji Hipotesis Pretest-Posttest(4) Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol ...................................................................... 101
4.7 Pembahasan ............................................................................................... 102
4.8 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 109
5. PENUTUP .................................................................................................. 111
5.1 kesimpulan ................................................................................................ 111
5.2 Saran .......................................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 114
LAMPIRAN .................................................................................................... 119
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Klasifikasi Usia dalam Penyajian Tes Penguasaan Kosakata................. 59
3.2 Rangkuman Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Peabody Picture
Vocabulary Test Bentuk A .................................................................... 62
4.1 Pengaktegorian Nilai Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV
Tunarungu .............................................................................................. 68
4.2 Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen dan kelompok Kontrol ........ 70
4.3 Materi Kosakata ..................................................................................... 73
4.4 Jadwal Kegiatan Penelitian ..................................................................... 76
4.5 Rangkuman Pelaksanaan Penelitian ...................................................... 77
4.6 Uji Validitas Internal .............................................................................. 78
4.7 Uji Reliabilitas ........................................................................................ 79
4.8 Skor Pretest pada Kelompok Eksperimen .............................................. 80
4.9 Skor Postest(1) Kelompok Eksperimen ................................................... 81
4.10 Skor Posttest(2) Kelompok Eksperimen .................................................. 82
4.11 Skor Posttest(3) Kelompok Eksperimen .................................................. 83
4.12 Skor Posttest(4) Kelompok Eksperimen .................................................. 84
4.13 Perbandingan Skor Penguasaan Kosakata Kelompok Eksperimen......... 85
4.14 Skor Pretest Kelompok Kontrol ............................................................. 86
4.15 Skor Postest(1) Kelompok Kontrol .......................................................... 87
4.16 Skor Postest(2) Kelompok Kontrol .......................................................... 88
4.17 Skor Postest(3) Kelompok Kontrol .......................................................... 89
4.18 Skor Postest(4) Kelompok Kontrol .......................................................... 90
xv
4.19 Perbandingan Skor Penguasaan Kosakata Kelompok Kontrol .............. 91
4.20 Uji Hipotesis Pretest................................................................................ 95
4.21 Uji Hipotesis Posttest(1) .......................................................................... 96
4.22 Uji Hipotesis Posttest(2) .......................................................................... 97
4.23 Uji Hipotesis Posttest(3) .......................................................................... 98
4.24 Uji Hipotesis Posttest(4) .......................................................................... 99
4.25 Uji Hipotesis Pretest-Posttest(1) .............................................................. 99
4.26 Uji Hipotesis Pretest-Posttest(2) ............................................................. 100
4.27 Uji Hipotesis Pretest-Posttest(3) .............................................................. 101
4.28 Uji Hipotesis Pretest-Posttest(4) .............................................................. 101
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerucut Pengalaman ..................................................................... 33
2.2 Proses Penguasaan Bahasa Tunarungu............................................ 41
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
4.1 Grafik Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada Setiap Subjek
di Kelompok Eksperimen .................................................. 92
4.2 Grafik Perbandingan Penguasaan Kosakata Pada Setiap Subjek
di Kelompok Kontrol ....................................................... 93
4.3 Grafik Perbandingan Perbandingan Hasil Perlakuan antara
Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol.................. 94
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Modul Penelitian ............................................................................ 120
2 Foto Kegiatan ................................................................................... 127
3 Lembar Jawaban Peabody Picture Vocabulary Test ...................... 133
4 Contoh Gambar Peabody Picture Vocabulary Test ........................ 135
5 Contoh Gambar Kosakata pada Media Swishmax .......................... 137
6 Surat Izin Tryout dan Penelitian ....................................................... 139
7 Analisis Data dengan Software SPSS ............................................. 142
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendengaran merupakan salah satu dari lima alat indra yang dimiliki manusia.
Kelima alat indra tersebut saling berkoordinasi dan juga melengkapi satu sama
lain. Kehilangan salah satu fungsi dari alat indera tersebut dapat menyebabkan
hambatan bahkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Kehilangan
pendengaran dapat menimbulkan berbagai gangguan seperti gangguan psikologis
dan gangguan penyesuaian sosial. Gangguan – gangguan tersebut diantaranya
loneliness (kesepian), depression (depresi), dan social anxiety (kecemasan sosial)
(Knutson, 1990 : 656). Oleh karena itu, kehilangan kemampuan untuk mendengar
berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh terhadap peristiwa di
sekitarnya (Efendi, 2006 : 55). Sehingga,dalam hal ini indra pendengaran
merupakan salah satu alat indra yang berpengaruh pada kehidupan seseorang.
Tunarungu merupakan seseorang yang mengalami gangguan pendengaran.
Suatu keadaan kehilangan pendengaran ini menyebabkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya yang
menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan
sehari-hari (Somantri, 2012 : 93). Seseorang yang menyandang tunarungu dapat
dikenali ketika seseorang tersebut berbicara, hal ini dapat dicirikan seperti
2
berbicara tanpa suara atau kurang terdengar suaranya dan tidak jelas artikulasinya,
bahkan kemungkinan hanya dapat berisyarat (Munika, 2014). Hal ini
menyebabkan anak tunarungu dalam berkomunikasi dengan masyarakat
mengalami kesulitan karena kehilangan atau kekurangan kemampuan mendengar
baik sebagian maupun seluruh alat pendengaran (Pujiwati, 2012 : 142).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka yang dimaksud dengan tunarungu yaitu
seseorang yang mengalami gangguan pendengaran baik sebagian ataupun
keseluruhan yang dapat menyebabkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak dari adanya gangguan pendengaran pada anak tunarungu akan
menimbulkan beberapa permasalahan yang berpengaruh pada kehidupannya.
Beberapa permasalahan yang berpengaruh pada kehidupan anak tunarungu
diantaranya : 1) Permasalahan sosial, yaitu Permasalahan yang terjadi di
lingkungan sosial yang menimbulkan perilaku maladaptif pada anak tunarungu.
Permasalahan tersebut terjadi karena mereka seringkali cemas dan takut
menghadapi lingkungan yang beranekaragam komunikasinya. Apalagi anak
tunarungu mengalami gangguan pendengaran yang menyebabkan anak tunarungu
juga memiliki kosakata yang minim, sehingga akan mengalami hambatan ketika
berkomunikasi dengan orang lain (Landsberger, 2014 : 42); 2) Permasalahan
emosional, adalah permasalahan yang berkaitan dengan keadaan emosi anak
tunarungu. Keadaan emosi anak tunarungu selalu bergejolak karena diakibatkan
oleh kemiskinan bahasanya sehingga seringkali menyebabkan anak tunarungu
menafsirkan sesuatu secara negatif dan hal ini sering menjadi tekanan bagi
emosinya (Somantri, 2012 : 98); 3) Permasalahan kognitif, yaitu permasalahan
3
yang memberikan dampak pada tingkat inteligensi anak tunarungu yang
menyebabkan minimnya penguasaan kosakata dan kemampuan berbahasa. Rata-
rata secara inteligensi anak tunarungu tertinggal 6 tahun dengan anak normal yang
usianya sebaya (Fajrianto, 2012 : 2); 4) Permasalahan perilaku, seperti bersikap
agresif terhadap orang lain maupun menghindar dari orang lain. Hal ini
merupakan bentuk dari penyimpangan perilaku yang ditampilkan oleh anak
tunarungu pada kehidupan sosialnya (Somantri, 2012 : 100) ; 5) Permasalahan
kesehatan mental, yakni seseorang yang mengalami tunarungu akan memiliki
komunikasi yang buruk sehingga dapat terisolasi dalam kehidupan sosialnya, dan
hal tersebut berseiko lebih besar untuk menderita tekanan psikologis (Marschark,
1993, dalam Herman, 2009), dan memiliki lebih besar prevalensi keseluruhan
penyakit mental daripada populasi pada umumnya (Crocker & Edwards, 2004,
dalam Herman, 2009). Anak tunarungu mengalami 40% permasalahan kesehatan
mental, sedangkan anak normal mengalami 20% permasalahan kesehatan mental
(Cornes, 2015). Sehingga, dalam hal ini anak tunarungu memiliki permasalahan
kesehatan mental yang lebih besar dibandingkan dengan anak normal.
Berdasarkan penjabaran dari beberapa dampak yang terjadi pada anak
tunarungu, maka dapat dianalisis bahwa permasalahan yang terjadi pada anak
tunarungu pada umumnya disebabkan karena adanya hambatan dalam
perkembangan bahasanya. Sehingga anak tunarungu tidak mampu berkomunikasi
dengan baik, dikarenakan minimnya kosakata yang didapatkan oleh anak
tunarungu.
4
Kosakata maupun perbendaharaan kata sangat diperlukan dalam komunikasi
bahasa dengan orang lain. Kemampuan bahasa yang digunakan seseorang juga
terkait dengan banyak sedikitnya kosakata maupun perbendaharaan kata yang
dimilikinya. Seseorang yang tidak memiliki perbendaharaan kata yang cukup,
maka akan kesulitan dam melakukan komunikasi atau berbicara. Hubungan antara
keterampilan berbahasa dengan penguasaan kosakata memiliki peranan yang
sangat penting. Semakin banyak kosakata yang dimiliki seseorang, semakin baik
pula keterampilan berbahasanya (Hikmayana, 2013 : 38). Dengan demikian,
penguasaan kosakata yang baik dapat memperlancar komunikasi. Hal ini berbeda
dengan yang dialami oleh tunarungu, adanya hambatan dalam mendengar pada
anak tunarungu mengalami dampak terhadap hambatan dalam berbahasa.
Akibatnya anak tunarungu tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Pemerolehan kosakata dapat dipelajari mulai pada fase perkembangan
babling, yaitu pada usia 0 – 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian dari Gammon
dan Otomo (dalam Goswani, 2015) didapatkan hasil bahwa bunyi-bunyi
pembicaraan yang dilakukan bayi tunarungu dengan bayi normal pada saat
babling tidak berbeda sampai usia kurang lebih 6 bulan. Perbedaan baru muncul
di usia 7-10 bulan, dimana babling pada anak normal lebih kompleks sementara
anak-anak tunarungu lebih terbatas Selain itu, perbedaan pemerolehan kosakata
pada anak tunarungu dengan anak normal juga mengalami perbedaan dari segi
kuantitas. Berdasarkan hasil penelitian dari Fenson, dkk (1994) yang dikutip oleh
Goswani (2015 : 12), didapatkan sebuah hasil penelitian bahwasannya kosakata
bahasa inggris yang diberikan oleh subjeknya pada tunarungu dengan tingkatan
5
sedang, diperoleh hasil 55 kosakata yang dikuasai oleh anak usia 16 bulan; 225
kosakata untuk anak yang berusia 23 bulan; 573 kosakata untuk anak yang berusia
30 bulan; dan 6000 kosakata untuk anak yang berusia 6 tahun. Pengembangan
penguasaan kosakata anak normal dapat meningkat dari 0 hingga 500 kata setiap
rentang waktu 2 tahun. Sedangkan pada anak tunarungu pemerolehan kosakata
didapatkan dengan menggunakan bahasa isyarat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran kosakata menggunakan bahasa isyarat lebih
cepat ditangkap pada anak tunarungu dibandingkan dengan bahasa verbal. Mclntir
(1977, dalam Tomaszweski, 2001 : 68)) menyatakan bahwa pengembangan
kosakata pada anak tunarungu menjadi lebih cepat dengan bahasa isyarat, dan
hasil penelitian menunjukan bahwa anak tunarungu mampu menguasai sekitar 85
kosakata dengan menggunakan bahasa isyarat pada usia 13 bulan. Dengan
demikian, pemerolehan kosakata pada anak tunarungu memiliki perbedaan dengan
anak normal, yaitu 1) ditinjau dari tahap perkembangan, tahap babling anak
normal lebih kompleks dibandingkan dengan anak tunarungu; 2) dari segi
kuantitas pemerolehan kosakata, anak tunarungu lebih mampu menguasai
kosakata dengan bahasa isyarat, dibandingkan dengan anak normal yang mampu
menguasai kosakata dengan bahasa verbal.
Anak tunarungu memproses perolehan kosakata yang digunakan sebagai
bahasa mereka, dapat terjadi di area broca dan area wernacke. Area broca
berfungsi sebagai terlibat dalam produksi bahasa (language production), dan area
wernicke berfungsi sebagai terlibat dalam pemahaman bahasa (language
comprehension) (Solso, 2002 : 328). Intensitas pemrosesan di area broca dan area
6
wernicke akan meningkat seiring dengan meningkatnya kerumitan kata-kata yang
terbentuk menjadi kalimat (Solso, 2002 : 353). Jumlah kata yang diketahui oleh
seorang pengguna bahasa akan membentuk mental lexicon-nya. Ketika seseorang
menginternalisasikan pengetahuannya, maka dia akan menggunakan mental
leksikonnya dimana ia mengandalkan properti dari kata-kata tersebut. Mental
lexicon merupakan istilah yang sering dinamakan sebagai kamus mental, dan
mempunyai sistem yang memungkinkan untuk mengolah kembali kata-kata secara
cepat (Soenjono, 2003 : 162).
Proses pemerolehan informasi bahasa dimulai dari adanya input melalui
indera, baik itu melaui penglihatan, pendengaran maupun indera lainnya. Input
yang masuk kemudian diteruskan ke short term memory. Proses ini tentu sangat
bergantung pada tingkat kecerdasan, kesehatan, serta kesempurnaan indera
sebagai pintu masuknya informasi. Dari short term memory kemudian diteruskan
ke long term memory atau memori jangka panjang. Proses seperti ini lama
kelamaan akan tersimpan dan akhirnya dimengerti baik secara pengucapan atau
maknanya. Untuk anak tunarungu, proses pemerolehan informasi berbeda dengan
anak normal pada umumnya, dimana anak tunarungu memerlukan visualisasi dala
pemerolehan bahasa (Hermanto, 2011 : 41).
Pada anak tunarungu memiliki perbedaan dalam menerima kosakata karena
adanya hambatan-hambatan yang diakibatkan dari gangguan pendengaran.
Hambatan-hambatan yang ada pada anak tunarungu dapat diminimalkan dengan
cara anak tunarungu tersebut memperoleh pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Salah satu pelayanan yang mampu untuk memberikan kebutuhan
7
bagi anak tunarungu yaitu pembelajaran di Sekolah Luar Biasa. Pembelajaran di
lembaga pendidikan tersebut dapat dijadikan sebagai sarana anak tunarungu dalam
memperoleh kosakata yang dijadikan sebagai kebutuhan berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya.
Sekolah luar Biasa (SLB) Negeri Ungaran merupakan sekolah yang
diperuntukkan untuk pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, tak terkecuali
pada anak tunarungu. Pembelajaran di Sekolah Luar Biasa Negeri Ungaran sama
halnya dengan pembelajaran di sekolah pada umumnya, yaitu siswa diajarkan
berbagai macam materi pelajaran diantaranya Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Keterampilan, serta Olahraga.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang menjembatani
anak tunarungu dalam memperoleh kosakata. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai
alat komunikais tingkat nasional dan berpengaruh secara global. Hal ini juga telah
tercantum pada pendidikan di Indonesia dimana dalam kurikulum pendidikan
telah mencantumkan Bahasa Indonesia menjadi kurikulum wajib yang harus
dikuasai oleh siswa.
Selama ini sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang ada di Sekolah Luar
Biasa Negeri Ungaran Semarang masih bersifat konvensional yaitu guru hanya
mengajarkan bahasa pada anak tunarungu dengan menggunakan metode menulis
di papan tulis dan menghadirkan benda secara langsung dalam mengajarkan
kosakata pada anak tunarungu tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi pada guru SLB N Ungaran Semarang (12/01/2017), menyatakan bahwa
8
anak tunarungu yang menjadi anak didiknya pada umumnya mempunyai kosakata
bahasa yang sedikit dan maknanya masih bersifat sederhana. Hanya ada beberapa
anak tunarungu yang mampu menyerap dengan baik kosakata dalam pembelajaran
bahasa yang diajarkan oleh gurunya. Pembelajaran kosakata pada anak tunarungu
harus dipraktikan secara riil dan nyata, misanya ketika guru menerangkan nama
dari suatu benda dan gurupun harus menghadirkan benda tersebut, sehingga dalam
hal ini anak sedikit bisa memahami kosakata baru yang diberikan oleh guru.
Sebagai contoh pada studi kasus awal, ketika siswa tunarungu kelas IV
disuruh menunjukkan kosakata “guru”, dimana terdapat tiga pilihan yaitu pilihan
pertama (guru), pilihan kedua (tong sampah), pilihan ketiga (papan tulis). Dari 9
siswa tunarungu, 7 diantaranya memilih jawaban pilihan kedua yaitu tong
sampah. Sedangkan hanya ada 2 siswa yang menjawab benar. Hal ini
membuktikan bahwa kosakata konkrit yang ada di sekitar anak tunarungu tersebut
tidak mampu dikuasai oleh baik.
Hambatan yang terjadi pada pembelajaran kosakata untuk anak tunarungu
adalah ketika guru mengenalkan kosakata abstrak kepada anak tunarungu dan
guru tersebut tidak mampu menunjukkan benda riil tersebut, maka anak tunarungu
tersebut terkadang memberontak dan sulit untuk mengingat dari kosakata yang
diajarkan pada anak tunarungu tersebut. Selain itu, minimnya sarana media
pembelajaran untuk mengajarkan kosakata pada anak tunarungu juga
menyebabnya guru kesulitan dalam mengajarkan kosakata pada anak tunarungu,
apalagi kosakata tersebut berkaitan dengan kosakata abstrak.
9
Selain itu, di dalam kehidupan sosial anak tunarungu lebih cenderung pasif
dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh peneliti di SLB N Ungaran Semarang, ada beberapa perilaku
yang ditampilkan oleh anak tunarungu ketika berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya baik dengan anak normal maupun anak yang juga mengalami
tunarungu, diantaranya : 1) anak tunarungu akan cenderung minder jika ada
seseorang yang belum akrab dengannya untuk mendekatinya; 2) anak tunarungu
cenderung marah jika orang terdekatnya tidak mengerti dengan apa yang dia
inginkan; 3) anak tunarungu belum bisa membedakan ekspresi orang-orang di
sekitarnya ketika dalam keadaan sedih, senang, marah, maupun panik, ha ini dapat
diketahui ketika anak tunarungu seringkali salah mempersepsikan perilaku yang
diingkan seseorang kepada anak tunarungu tersebut. Perilaku-perilaku tersebut
merupakan perwujudan dari anak tunarungu belum memahami perasaan ataupun
perwujudan emosional dari seseorang. Sehingga, anak tunarungu perlu memahami
dan menguasai emotion vocabulary, yaitu kosakata yang memuat pembelajaran
mengenai perasaan maupun keadaan emosional seseorang (Glenn, 2007).
Berdasarkan fenomena yang ada di lapangan tersebut, pembelajaran dengan
menggunakan media konvensional dirasa belum efektif untuk mengajarkan
concrete vocabulary, abstract vocabulary, dan emotion vocabulary. Sehingga
diperlukan adanya sebuah strategi pembelajaran untuk membantu guru dalam
menyampaikan kosakata pada anak tunarungu. Pembelajaran pada anak tunarungu
dapat dilakukan melalui pendekatan secara visual, karena anak tunarungu
memiliki keterbatasan pada indra pendengaran maka anak tunarungu lebih
10
condong mengandalkan kemampuan visualnya dalam pemerolehan pengetahuan
mengenai kosakata. Somantri (2012 : 97) menyatakan bahwa anak tunarungu
yang terhambat perkembangan inteligensinya dapat diatasi dengan
memaksimalkan aspek lainnya yang potensial, seperti aspek yang bersumber dari
penglihatan maupun motorik.
Beberapa kelebihan dari pembelajaran melalui visual (Sensus, 2016)
diantaranya : 1) anak tunarungu mampu menangkap dengan mudah materi
pembelajaran karena mampu memvisualisasikannya; 2) Pembelajaran secara
visual mampu membantu anak tunarungu dalam memahami kata-kata yang
bersifat abstrak dengan mudah; 3) mampu untuk meningkatkan kemampuan
membaca dan kosakata.
Salah satu bentuk dari treatment pembelajaran visual adalah dengan
menggunakan media swishmax. Media swihmax merupakan media pembelajaran
yang mampu mengatasi hambatan pada anak tunarungu yang terkait dengan
disfungsi pada indera pendengarannya. Media pembelajaran dengan menggunakan
media swishmax ini merupakan salah satu media pembelajaran yang bersifat
multimedia. Beberapa penelitian yang menjelaskan keunggulan dari media
pembelajaran yang bersifat multimedia diantaranya: 1) Efektif untuk
meningkatkan kompetensi dan berbahasa (Lina, 2007); 2) dapat digunakan
sebagai prototype oleh guru preschool dalam mengembangkan kompetensi
berbahasa pada anak usia dini ( Muchlish & Suyono, 2009); 3) Mampu dijadikan
sebagai suplemen dalam meningkatkan dan memahami tentang materi
pembelajaran (Ambarwaty, 2012).
11
Belum banyak penelitian yang membahas mengenai media swishmax yang
digunakan untuk media pembelajaran, hal ini dikarenaan swishmax masih
tergolong sebagai multimedia yang baru sehingga para pendidik belum banyak
yang mengetahui tentang media swishmax. Memang belum ada penelitian
sebelumnya mengenai media swishmax yang ditujukan kepada anak tunarungu.
Akan tetapi, media swishmax ini sama dengan media adobe flash CS3 seperti
yang dilakukan oleh Asma’ulhusnah (2015). Hanya saja yang membedakan
adalah media swishmax mempunyai kelebihan yang mudah digunakan
dibandingkan dengan media adobe flash cs3, meskipun secara keseluruhan konten
dari aplikasi tersebut sama. Sehingga, media swishmax dalam hal ini dirasa
optimal dalam mengembangkan penguasaan kosakata pada anak tunarungu.
Media swishmax memiliki beberapa keunggulan diantaranya bersifat
interaktif, lebih mudah digunakan, dilengkapi dengan berbagai animasi yang
menarik dan mudah dalam penggunaannya. Sehingga media swishmax ini dapat
dijadikan sebagai media pembelajaran visual yang tepat untuk mengatasi
hambatan dari anak tunarungu. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Astuti (2010)
yang menyatakan bahwa media visual untuk anak tunarungu yang paling baik
adalah media visual yang bergerak seperti film dokumentasi, animasi, atau bisa
dikatakan media visual yang sifatnya bergerak dan mampu menjelaskan suatu
peristiwa dengan senyata mungkin. Berdasarkan hal tersebut, swishmax ini dirasa
mampu untuk dijadikan sebagai media pembelajaran pada anak tunarungu karena
termasuk dalam kategori media visual yang bergerak.
12
Adanya bukti penelitian sebelumnya mengenai manfaat media pembelajaran
dalam pengembangan kosakata, maka penting untuk diteliti bahwasannya media
swishmax dirasa mampu untuk mengembangkan penguasaan kosakata pada anak
tunarungu. Perbedaan peneliti dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti
menggunakan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia pada anak tunarungu
sebagai acuan untuk pengembangan penguasaan kosakata. Sedangkan alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peabody Picture Vocabulary Test.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka judul penelitian dari
peneliti adalah “Mengembangkan Penguasaan Kosakata pada Anak Tunarungu
(Studi Kasus menggunakan Media Swishmax)”.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini berusaha untuk menjawab suatu permasalahan penelitian yang
ada, yaitu : “Apakah media swishmax mampu untuk mengembangkan penguasaan
kosakata pada anak tunarungu?”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengembangkan penguasaan kosakata pada anak tunarungu melalui media
swishmax.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1. Dapat memberi kontribusi dalam pengembangan keilmuan psikologi
pendidikan, psikologi perkembangan, dan psikologi klinis, yang berkaitan
dengan mengembangkan penguasaan kosakata pada anak tunarungu yang
13
menggunakan media swishmax, dengan memberikan data-data hasil
penelitian ilmiah yang dilakukan oleh peneliti;
2. Dapat menambah pengetahuan bagi peneliti tentang cara mengembangkan
penguasaan kosakata pada anak tunarungu dengan menggunakan media
swishmax yang dirancang sendiri oleh peneliti;
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi pihak pengajar/guru; dapat dijadikan sebagai media dalam membantu
guru untuk mengajarkan pembelajaran kosakata pada anak tunarungu
dengan menggunakan media swishmax;
2. Bagi siswa tunarungu dan orangtua; dapat dimanfaatkan anak tunarungu
sebagai suatu cara atau metode dalam mempelajari, memahami, dan
memperkaya jumlah kosakata;
3. Praktisi psikologi pendidikan; media swishmax ini dapat dijadikan sebagai
rujukan dan alat bantu dalam pengajaran kosakata pada anak tunarungu
14
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penguasaan Kosakata
2.1.1 Pengertian Penguasaan Kosakata
Seseorang dapat berkomunikasi dengan baik dan benar terhadap lingkungan
sekitarnya apabila bisa menggunakan kata menjadi kalimat yang utuh dan
mempunyai makna. Oleh karena itu, persyaratan yang harus dipenuhi dalam
berkomunikasi yang baik adalah menguasai kosakata yang cukup sehingga dapat
diaplikasikan dalam berkomunikasi.
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan sebagai
perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran dalam berbahasa. Kata merupakan
satuan bahasa yang memiliki satu pengertian (Chaer, 2012 : 162). Clark (1993,
dalam Luckner, 2010 : 62) menyatakan bahwa words are the starting point. Jadi,
kata merupakan bagian awal yang menjadi titik utama untuk membentuk
kosakata.
Kosakata merupakan bagian dari beberapa unsur kata. Kosakata dapat pula
diartikan sebagai perbendaharaan kata, daftar kata, maupun leksikon
(Poerwaradarminta, 2007; Riwayadi & Anisyah, 2007; dalam Hikmayana 2013 :
40). Pengertian kosakata dikemukakan oleh beberapa para ahli. Definisi kosakata
yang dikemukakan oleh beberapa para ahli tersebut diantaranya : 1) Kosakata
merupakan semua kata yang terdapat dalam satu bahasa, atau dapat dikatakan
15
sebagai daftar sejumlah kata dari suatu bahasa yang disusun secara urut
berdasarkan pada huruf abjad yang disertai dengan kata keterangan (Hikmayana,
2013 : 40); 2) Kosakata juga diartikan sebagai semua kata yang dipahami oleh
seseorang dalam bahasa tertentu baik yang sifatnya reseptif maupun produktif
(hermanto, 2011 : 46); 3) Kosakata dapat diartikan sebagai beberapa pilihan kata
yang tepat, hal ini juga berkaitan dengan relevansi kata yang digunakan,
kemampuan menguraikan kata yang tepat, dan pemahaman kata untuk berbicara
dengan orang lain (Das, 2014 : 71); 4) Kosakata juga dapat didefinisikan sebagai
esensi dari sebuah kata yang memiliki kegunaan untuk komunikasi, membaca,
berfikir, dan belajar (Luckner & Coke, 2010, dalam Hamilton, 2012 : 3).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, pengertian dari kosakata merujuk
pada keterkaitan kata, pemaknaan kata, dan pengaplikasian suatu kata untuk
berbahasa.
Kemampuan dalam mengaplikasikan kata dalam berkomunikasi juga
berkaitan dengan penguasaan kosakata yang dimiliki individu. Menurut Zuchdi
(1995, dalam Ratih, 2015 : 79), penguasaan kosakata adalah kemampuan
seseorang untuk mengenal, memahami, dan menggunakan kata-kata dengan baik
dan benar, dengan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Mengenal kata
adalah memperoleh kata-kata baru dari hasil mendengarkan atau dari hasil
membaca. Penguasaan kosakata merupakan hal yang sangat penting dalam
mencapai penguasaan bahasa, semakin banyak kosakata yang dimiliki seseorang
maka semakin banyak pula ide dan gagasan yang dikuasai seseorang.
16
Dari pandangan diatas, penulis berpendapat bahwa penguasaan kosakata
merupakan kemampuan seseorang dalam memperoleh kata baru, memahami
keterkaitan kata, dan mampu mempergunakan kata-kata tersebut secara baik dan
benar dalam berkomunikasi.
2.1.2 Jenis – jenis kosakata
Penggunaan kosakata dapat dengan mudah dilakukan dengan cara
mengidentifikasi jenis kata-kata yang paling penting untuk dipelajari terlebih
dahulu. Ada beberapa penjabaran dari beberapa para ahli mengenai jenis-jenis
kosakata yang digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi setiap kata.
Pada anak normal, jenis-jenis kosataka yang dapat dikuasai oleh anak-anak
usia 6 – 13 tahun (Hurlock ,2009, dalam Pramesti, 2015 : 84), diantaranya adalah :
1) Kosakata Umum, mencakup kata-kata umum yang digunakan seseorang untuk
berkomunikasi, yakni kata kerja, kata benda, kata sifat, kata keterangan, kata
perangkai atau kata ganti orang; 2) Kosakata Khusus, merupakan kata-kata khusus
yang meliputi hal-hal tertentu seperti kosakata waktu, warna, uang, kosakata
rahasia, kosakata populer, dan kosakata makian.
Sedangkan pada anak tunarungu, jenis-jenis kosakata yang dipelajari
diantaranya : 1) Concrete Vocabulary, adalah kata-kata yang dapat digambarkan
secara lebih mudah dalam memvisualisasikannya secara nyata. Sebagai contoh
kelompok kata-kata ini adalah nama-nama benda, dan kata kerja, seperti bebek,
sapi, pohon, menulis, membaca, mencuci, dan sebagainya (Hermanto, 2012 : 46);
2) Abstract Vocabulary, adalah kelompok kata yang sulit untuk divisualisasikan
dengan gambar atau ditunjukkan dengan peragaan. Contoh kosakata yang
17
termasuk dalam kelompok abstrak adalah kosakata yang berhubungan dengan
keagamaan, sikap moral, atau budi pekerti (Hermanto, 2012 : 46); 3) Emotion
Vocabulary, merupakan kosakata yang menggambarkan tentang keadaan
emosional seseorang. Emotion vocabulary terbagi dalam 2 jenis yaitu a) positive
emotion, diantaranya happy, self esteem, self efficacy, etc; b) negative emotion,
diantaranya sad, angry, jealous, anxious, etc (Peterson & Siegal, 2000, dalam
Glenn 2007).
Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai jenis-jenis kosakata tersebut,
maka dalam penelitian ini jenis-jenis kosakata yang dijadikan acuan adalah jenis-
jenis kosakata untuk anak tunarungu, yaitu 1) concrete vocabulary; 2) abstract
vocabulary, dan 3) emotion vocabulary.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Bahasa terhadap
Penguasaan Kosakata
Bahasa merupakan media yang digunakan oleh seseorang untuk
menyampaikan informasi/ pesan yang ada di dalam pikirannya kepada orang lain.
Seseorang dapat berbahasa dengan baik dan benar apabila mampu menguasai
beberapa kosakata yang dapat diaplikaiskan untuk tujuan komunikasi, dan juga
mampu memaknai arti dari setiap kosakata
Bahasa merupakan lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi
diri. Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa, diantaranya : 1) Bahasa adalah sebuah
sistem; 2) berwujud lambang; 3) berupa bunyi; 4) bersifat arbiter, konvensional,
18
unik, universal, produktif, dan dinamis; 5) mempunyai makna; 6) mempunyai
berbagai macam variasi (Ahmadi, 2015 : 39),
Kemampuan berbahasa yang baik dipengaruhi oleh penerimaan kosakata
dari lingkungan sekitarnya dan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa yang
terjadi pada seseorang dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Hal ini berbeda
dengan permasalahan yang tejadi pada anak tunarungu, yaitu anak tunarungu
mengalami disfungsional pada indra pendengaran sehingga kosakata yang
didapatkan dari lingkungan sekitarnyapun tidak sebanyak yang didapatkan oleh
orang normal pada umumnya.
Musyarofah (2009, dalam Hermanto 2011) menjelaskan mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak tunarungu diantaranya :
1) Proses kematangan, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ -
organ suara / bicara sudah berfungsi) untuk berkata – kata;
2) Proses belajar yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara
lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru
ucapan / kata - kata yang didengar atau diperhatikannya.
Sejalan dengan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak tunarungu terjadi
pada proses kematangan pada perkembangan bahasanya, dan proses belajar dari
lingkungan sekitarnya, sehingga anak tunarungu mampu menguasai kosakata
dengan baik.
19
2.1.4 Hubungan Kata dengan Mental Lexicon
Istilah mental lexicon pertama kali diperkenalkan oleh R.C oldfied, dimana
mental lexicon merupakan bagian dari penelitian psikolinguistik. Istilah
psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku
psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh
Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat
(Othman, 2015).
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses – proses psikologi yang
berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya
pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh
oleh manusia (Slobin, 1974). Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik
adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara
psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan kata
lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan
bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu
memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya
psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada
masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran
membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan,
penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah – masalah
sosial lain yang menyangkut bahasa.
Mental lexicon adalah istilah yang mengacu kepada representasi yang
tersimpan di dalam otak mengenai apa yang seseorang ketahui tentang butir
20
leksikal dalam bahasanya. Sedangkan pengertian dari leksikon merupakan
rangkatan kata-kata yang ada di dalam bahasa. Mental lexicon adalah sebuah
mental dictionary yang berisikan informasi terhadap arti kata, pronunsiasi,
karakteristik syntax, dan sebagainya. Mental lexicon berbeda dengan lexicon
dimana lexicon adalah sebuah kumpulan dari kata-kata, akan tetapi mental lexicon
adalah bagaimana kata-kata diaktifkan, disimpan, dan dikembalikan oleh
pembicara.
Mental lexicon setiap orang berbeda-beda seiring berkembangnya
penguasaan kosa-kata yang dikuasai. Meskipun disebut sebagai mental dictionary,
tentu saja mereka tetap memiliki perbedaan karena otak manusia berbeda dengan
kamus dimana pada kamus tersusun rapi dengan alphabet. Susunan otak manusia
dan cara kerjanya lebih complex dalam hal mental lexicon (Soenjono : 162-166).
Dengan demikian, kosakata yang dipelajari pada anak tunarungu akan diproses di
dalam mental lexicon.
2.2 Media Swishmax
2.2.1 Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin “Medius” yang secara harfiah berarti
tengah, perantara, atau pengantar. Secara etimologi, kata media merupakan bentuk
jamak dari “medium”, yang berasal dari Bahasa Latin “medius” yang berarti
tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan
sebagai antara atau sedang. Istilah media juga digunakan dalam bidang pengajaran
atau pendidikan, sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media
pembelajaran (Sanjaya, 2006 : 163). Sehingga pengertian media dapat mengarah
21
pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber
(pemberi pesan) dan penerima pesan (Sensus, 2016 : 44).
Ada beberapa konsep atau definisi mengenai media pembelajaran,
diantarnya : 1) Sanjaya (2006 : 163) mengemukakan bahwa media pembelajaran
meliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware
adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projector, radio,
televisi, dan sebaganya. Sedangkan software adalah isi program yang
mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku
dan bahan-bahan cetakan lainnya, cerita yang terkandung dalam film, atau materi
yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, dan lain sebagainya;2) Efendi (2011
: 9) mendefinisikan beberapa pengertian dari media pembelajaran, diantaranya : a)
media pembelajaran digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi dalam
proses pembelajaran; b) media pembelajaran memiliki pengertian non-fisik yang
dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat
dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa
pada proses belajar, baik di dalam maupun di luar kelas; c) media memiliki
pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai (hardware), yaitu sesuatu benda
yang dapat dilihat, didengar atau diraba engan panca indera; d) media
pembelajaran dapat digunakan secara massal (misalnya radio, televisi), kelompok
besar dan kelompok kecil (misalnya : film, slide, video, OHP), atau perorangan
(misalnya : buku, komputer, radio tape, kaset, video recorder).
Definisi media pembelajaran untuk anak tunarungu adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran) sehingga
22
dapat merangsang perhatian, minat pikiran, dan perasaan pembelajar (siswa)
dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Media
pembelajaran memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai pembawa
informasi dan pencegah terjadinya hambatan proses pembelajaran, sehingga
informasi atau pesan dari komunikator dapat sampai kepada komunikan secara
efektif dan efisien. Selain itu, media pembelajaran merupakan unsur atau
komponen sistem pembelajaran maka media pembelajaran merupakan media
integral dari pembelajaran (Sensus, 2016 : 45).
Berdasarkan beberapa penjelasan dari para ahli diatas, maka penulis
menyimpulkan bahwa media pembelajaran yang digunakan untuk anak tunarungu
merupakan sebuah alat pembelajaran yang memiliki fungsi untuk pembawa
informasi dan pencegah terjadinya hambatan dalam proses pembelajaran.
2.2.2 Fungsi Media Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu
Beberapa fungsi media pembelajaran bagi anak tunarungu (Sensus, 2016 :
48 – 50), diantaranya adalah :
1. Memperjelas Konsep
Dengan menggunakan media, konsep yang abstrak dapat disajikan menjadi
kongkrit sehingga mudah dipahami.
2. Menyederhanakan materi pelajaran yang kompleks
Materi pelajaran yang kompleks susah untuk dipahami. Dengan
menggunakan media, materi pelajaran yang kompleks dapat disederhanakan.
3. Menampakdekatkan yang jauh, menampakjauhkan yang dekat
23
Obyek yang jauh maupun yang sangat dekat akan susah diamati. Dengan
menggunakan media, maka obyek yang jauh akan nampak dekat dan mudah
diamati. Misalnya penggunaan teropong bintang untuk mengamati bintang-
bintang di langit. Obyek yang terlalu dekat juga sulit diamati.
4. Menampakbesarkan yang kecil, menampakkecilkan yang besar
Obyek yang sangat kecil sulit diamati. Begitu pula obyek yang sangat besar.
Misalnya obyek yang besar seperti bangunan gedung bertingkat dan candi
Borobudur, sulit diamati secara menyeluruh. Dengan membuatkan model atau
miniature, maka obyek-obyek yang besar tersebut dapat diamati.
5. Menampakcepatkan dan menampaklambatkan proses
Dalam pembelajaran, pendidik akan mengalami kesulitan kalau harus
menjelaskan proses secara alami yang memakan waktu lama, misalnya
pertumbuhan tanaman. Untuk mempercepat pengamatan, maka digunakan media
video yang bisa menampakcepatkan proses (fast motion).
6. Obyek yang bergerak cepat sulit diamati gerakannya secara mendetail.
Dengan menggunakan video yang dapat memperlambat gerakan (slow
motion), maka gerakan obyek dapat diamati.
7. Menampakgerakkan yang statis, menampakstatiskan yang gerak.
Obyek yang mempunyai fungsi gerak, misalnya roda, gigi versnelling, zecker
pada mesin sepeda motor, agar diketahui bagaimana gerakannya dapat digunakan
media video. Sebaliknya, kuda balap yang sedang lari, dapat diamati dengan
membuat gambar video dalam keadaan berhenti (pause).
24
8. Menampilkan suara dan warna sesuai aslinya.
Dengan suara atau gambar yang disajikan oleh pendidikan belum tentu dapat
diperoleh suara dan warna yang jelas. Dengan menggunakan rekaman suara dan
potret berwarna maka suara dan warna dapat disajikan dengan jelas.
2.2.3 Prinsip-prinsip Penggunaan Media Pembelajaran Bagi Anak
Tunarungu
Ada beberapa prinsip dalam menggunakan media pembelajaran bagi Anak
Tunarungu (Sensus, 2016 : 52 – 56), diantaranya adalah :
1. Efektivitas Media Pembelajaran
Prinsip utama pemilihan media pembelajaran adalah efektivitas media
pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran serta efektivitasnya dalam
membantu siswa memahami materi pembelajaran yang akan disajikan. Guru harus
menimbang-nimbang apakah suatu media pembelajaran yang akan digunakan
lebih efektif bila dibandingkan dengan media yang lain.
2. Taraf Berfikir Siswa
Media pembelajaran juga harus dipilih berdasarkan prinsip taraf berpikir
siswa. Benda-benda yang bersifat konkret lebih baik digunakan sebagai media
pembelajaran bila dibandingkan media yang lebih abstrak. Demikian pula media
pembelajaran yang kompleks dari segi struktur atau tampilan akan lebih sulit
dipahami dibanding media pembelajaran yang sederhana.
3. Interaktivitas Media Pembelajaran
Makin interaktif media, makin bagus media pembelajaran itu karena lebih
mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam belajar. Bila siswa diberikan tontonan
25
video, tentunya interaksi yang terjadi antara siswa dengan media pembelajaran
hanya satu arah saja: dari media ke siswa. Sedangkan bila menggunakan media
pembelajaran berbentuk multimedia interaktif yang dioperasikan pada sebuah
komputer, maka interaksi siswa dengan media tentu lebih tinggi. Dalam hal ini,
maka media yang paling cocok untuk dipilih adalah media pembelajaran dalam
bentuk multimedia interaktif.
4. Ketersediaan Media Pembelajaran
Media yang dipilih saat merancang pembelajaran secara logis sudah tersedia
di sekolah, atau paling tidak bila tidak dimiliki masih dapat diperoleh dengan
mudah, misalnya dengan meminjam atau membuat sendiri. Jumlah media yang
akan digunakan juga harus diperhitungkan dengan jumlah siswa di kelas. Bila
media pembelajaran digunakan bukan secara klasikal, tetapi secara berkelompok
atau individual, maka jumlah media pembelajaran yang tersedia harus mencukupi.
5. Minat Siswa Terhadap Media Pembelajaran
Sebuah media pembelajaran sangat berpengaruh pada minat siswa. Ada
media-media pembelajaran yang dapat membangkitkan minat siswa jauh lebih
baik bila dibanding menggunakan media pembelajaran lain.
6. Kemampuan Guru Menggunakan Media Pembelajaran
Sebagus apapun media, misalnya media pembelajaran interaktif berbasis
komputer, tentu tidak akan efektif bila guru sendiri memiliki keterbatasan dalam
hal kemampuan menggunakannya. Media pembelajaran yang dipilih harus dapat
digunakan oleh guru dengan baik.
26
7. Alokasi Waktu
Penggunaan media pembelajaran yang notabene efektif untuk mencapai
tujuan pembelajaran, mempunyai relevansi yang baik dengan materi pelajaran,
dan berbagai kelebihan lainpun kadang-kadang terpaksa harus dikesampingkan
bilamana alokasi waktu menjadi pertimbangan yang penting. Akan tetapi
ketersediaan waktu seringkali bisa disiasati dengan berbagai cara berdasarkan
pengalaman yang telah dimiliki oleh guru.
8. Fleksibilitas Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang dipilih oleh guru untuk kegiatan belajar mengajar
di kelasnya seharusnya memiliki fleksibilitas yang baik. Media pembelajaran itu
dikatakan mempunyai fleksibilitas yang baik apabila dapat digunakan dalam
berbagai situasi.
9. Keamanan Penggunaan Media Pembelajaran
Bagi anak-anak tunarungu jenjang TK atau SD kadangkala guru harus hati-
hati memilih media pembelajaran. Media pembelajaran yang dipilih haruslah
media pembelajaran yang aman bagi mereka sehingga hal-hal yang tidak
diinginkan saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung tidak terjadi.
10. Kualitas Teknis Media Pembelajaran
Media pembelajaran, seringkali harus dirawat dengan dengan baik. Perawatan
media pembelajaran dapat mempengaruhi kualitas teknis media. Kualitas teknis
media pembelajaran juga dapat ditentukan oleh kualitas produksi media oleh suatu
produsen.
27
2.2.4 Jenis Media Pembelajaran bagi Anak Tunarungu
Ada berbagai media pembelajaran yang dapat digunakan dalam mendukung
pembelajaran bagi anak tunarungu. Penggunaan berbagai jenis media
pembelajaran tersebut, harus memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan media
pembelajaran yang adaptif bagi anak tunarungu. Jenis-jenis media pembelajaran
bagi anak tunarungu (Sensus, 2016 : 57-60), diantaranya :
1. Media Stimulus Visual
Media stimulus visual yang dapat digunakan dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut :
a. Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan feed back visual,
dengan melihat atau mengontrol gerakan organ artikulasi diri siswa itu
sendiri, maupun dengan menyamakan gerakan/posisi organ artikulasi dirinya
dengan posisi organ artikulasi guru.
b. Benda asli atau turunan
c. Gambar, baik gambar lepas atau tiruan.
d. Pias kata.
e. Gambar disertai tulisan.
2. Media Stimulus Auditori
Media stimulus auditoris yang dapat digunakan dalam pembelajaran antara
lain :
a. Speech trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih bicara anak
dengan hambatan sensori pendengaran.
28
b. Alat musik. Seperti drum, gong, suling, piano/organ/harmoni, rebana,
terompet, dan sebagainya.
c. Tape recorder untuk mendengarkan rekaman bunyi-bunyi latar belakang,
seperti: deru mobil, deru motor, bunyi klakson mobil, dan sebagainya.
d. Berbagai sumber bunyi lainnya: angin menderu, gemericik air hujan, suara
petir.
e. Suara binatang: kicauan burung, gonggongan anjing, auman harimau,
ringkikan kuda, dan sebagainya.
3. Media Stimulus Kinestetik
a. Media latihan meniup (pernapasan) seperti : Baling-baling kertas lilin,
gelembung air sabun, saluran kayu dengan bola pingpong, peluit, terompet,
harmonika, dan lain-lain
b. Spatel: untuk membantu kesadaran letak titik artikulasi yaitu melalui
manipulasi gerakan lidah dengan menggunakan spatel, sehingga posisi lidah
sesuai dengan pola pengucapan bunyi bahasa. Dengan kata lain spatel
digunakan untuk membentuk ucapan atau membetulkan pola pengucapan
yang salah.
c. Alat-alat untuk latihan pelemasan organ bicara : permen bertangkai, madu,
dan sebagainya.
2.2.5 Swishmax Sebagai Media Pembelajaran
Saat ini, jenis media pembelajaran di sekolah semakin beragam. Media
pembelajaran tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dari para peserta didik.
Selain itu, para pendidik juga bisa mudah mendapatkan konsep mengenai media
29
pembelajaran yang digunakan untuk mengajar peserta didik dengan
memanfaatkan teknologi. Namun, tidak semua media pembelaran yang digunakan
pendidik mampu untuk memaksimalkan pembelajaran pada peserta didik, hal ini
dikarenakan adanya hambatan-hambatan dari peserta didik.
Peserta didik yang mengalami hambatan diantaranya adalah siswa
tunarungu. Siswa tunarungu mengalami disfungsional pada indra pendengaran,
sehingga pendidik juga harus mampu menerapkan media pembelajaran yang
membantu anak tunarungu tersebut agar mampu menguasai materi pembelajarn
secara optimal. Media pembelajaran memiliki fungsi yang penting untuk
menunjng keoptimalan pembelajaran bagi siswa tunarungu. Sehingga, media
pembelajaran yang dibutuhkan oleh siswa tunarungu yaitu media pembelajaran
yang mampu mengatasi hambatan pada siswa tunarungu.
Pembelajaran bagi siswa tunarungu yang paling utama adalah pembelajaran
bahasa, dalam hal ini adalah kosakata. Sekolah yang di dalamnya terdapat anak
tunarungu, hendaknya memiliki ruang PKPBI (Pengembangan Komunikasi
Persepsi Bunyi dan Irama) sebagai pendukung dalam membelajarkan siswa
tunarungu dalam mengolah bahasanya (Sensus, 2016 : 45). Sehingga kemampuan
berbahasa siswa tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Akan
tetapi, tidak semua sekolah mempunyai fasilitas tersebut. sehingga para pendidik
juga harus dituntut untuk kreatif dalam menemukan media pembeljaran yang tepat
untuk anak tunarungu.
Media Swishmax merupakan salah satu media pembelajaran dalam bentuk
multimedia. Aplikasi multimedia pembelajaran yang digunakan dalam proses
30
pembelajaran dapat berfungsi untuk menyalurkan pesan (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap), serta dapat merangsang fikiran, perasaan, perhatian, dan
kemauan belajar sehingga secara sengaja pross belajar terjadi, bertujuan, dan
terkendali (Ardina, 2014). Media swishmax juga termasuk salah satu media
pembelajaran yang berbentuk audio visual, sehingga dalam hal ini swishmax
mampu untuk mengatasi hambatan pada anak tunarungu. Selain itu, media
swishmax ini juga termasuk dalam kategori media pembelajaran yang interaktif,
sehingga diharapkan dengan menggunakan media swishmax siswa tunarngu
mampu untuk melaukan pembelajaran bahasa, dalam hal ini berkaitan dengan
penguasaan kosakata.
2.2.6 Definisi Swishmax
Swishmax merupakan software untuk membuat animasi yang kompleks
dalam waktu cepat. Swishmax merupakan program pembuat animasi untuk
menghasilkan animasi Flash tanpa mengguAnakan Adobe Flash (Ardina, 2014).
Animasi yang bisa dihasilkan dari aplikasi ini adalah Flash, GIF, atau video
animasi. Selain itu, Wulandari (2015 : 76) mendefinisikan swishmax sebagai
software animasi flash yang dapat digunakan untuk keperluan pembuatan
presentasi, animasi, website serta bisa dijadikan tambahan untuk pembuatan video
editing tanpa menggunakan Adobe Flash. Aplikasi ini digunakan untuk membuat
animasi flash seperti halnya macromedia flash.
Hal yang menonjol dalam penggunaan swishmax yaitu : 1) Swishmax sangat
mudah dipelajari dan dapat membuat animasi dengan teks, gambar, grafik dan
suara dalam waktu singkat sehingga materi dapat disajikan lebih menarik dan
31
terstruktur; 2) dapat mempelajari materi berulang-ulang karena dapat dicopy (di
burning) pada CD dalam bentuk video; 3) hasil karya dapat dieksport ke dalam
format swf, yaitu format file yang digunakan oleh Macromedia Flash sehingga
animasi yang dibuat dapat dimainkan di setiap personal computer; 4) animasi
swishmax dapat disisipkan ke dalam dokumen Microsoft Power Point (Syarif,
2005 , dalam Wulandari, 2015 : 76).
2.2.7 Manfaat Media Swishmax Bagi Anak Tunarungu
Media swishmax merupakan media pembelajaran berbentuk audio-visual.
Dalam hal ini, swishmax memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan untuk
dijadikan sebagai media pembelajaran bagi anak tunarungu.
Secara umum, beberapa kelebihan swishmax (Wulandari, 2015 : 76) adalah :
1) Relatif lebih mudah digunakan dibandingkan dengan Macromedia Flash; 2)
Sudah dilengkapi dengan berbagai animasi yang menarik dan mudah dalam
penggunaannya; 3) Mampu menangani link antar objek maupun dokumen; 4)
Flash swishmax memungkinkan melakukan import file animasi seperti animasi
flash melakukan import file animasi seperti animasi flash dan dapat dipadukan
dengan beberapa aplikasi program lain, seperti Photoshop,atau Corel Draw; 5)
Animasi swishmax dapat diletakkan langsung dalam halaman web. Sedangkan
kekurangan swishmax (Wulandari, 2015 : 76), adalah : 1) Memerlukan peralatan
khusus dalam penyajian; 2) Memerlukan tenaga listrik; 3) Memerlukan
keterampilan khusus dan kerja tim dalam pembuatan.
Dalam pembelajaran dengan menggunakan media swishmax, yaitu media
audio-visual, akan memberikan manfaat bagi anak tunarungu, diantaranya : 1)
32
menarik dan memperbesar perhatian anak tunarungu terhadap materi pengajaran
yang disajikan; 2) membantu memberikan pengalaman belajar yang sulit
diperoleh dnegan cara yang lain; 3) membantu perkembangan pikiran anak
tunarungu secara teratur tentang hal yang mereka alami; 4) menumbuhkan
kemampuan berusaha sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan (Latuheru,
1988, dalam Sarwiasih, 2002 : 21).
2.2.8 Pentingnya Pembelajaran Kosakata dengan Pemanfaatan Media
Swishmax Bagi Anak Tunarungu
Anak tunarungu dalam memperoleh kosakata dapat dilakukan dengan
belajar. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku melalui pengalaman.
Alat yang dapat membantu proses belajar adalah media. Untuk memahami
peranan media dalam proses mendapatkan pengalaman belajar bagi siswa, Edger
Dale melukiskannya dalam sebuah kerucut pengalaman (cone of experience).
Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale memberikan gambaran
bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan
atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan
melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa (Sanjaya, 2006 :
165).
33
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman (Sanjaya, 2006)
Dari gambaran kerucut pengalaman tersebut, pengetahuan dapat diperoleh
oleh seseorang melalui pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung.
Berkaitan dengan hal tersebut, anak tunarungu juga melakukan proses
pembelajaran kosakata melalui pengalaman langsung dan pengalaman tidak
langsung. Pembelajaran kosakata konkrit dapat dipelajari melalui pengalaman
langsung dapat dipelajari yaitu dengan memanfaatkan benda-benda sekitar.
Sedangkan pembelajaran kosakata abstrak dapat dipelajari dengan menggunakan
pembelajaran tidak langsung yaitu dengan menggunakan media pembelajaran.
Media swishmax merupakan media audio visual. Media swishmax ini dapat
digunakan untuk anak tunarungu dalam melakukan pembelajaran kosakata melaui
pengalaman tidak langsung. Media audio visual mampu menimbulkan kesan
34
menarik dan memotivasi anak tunarungu untuk mempelajari materi lebih banyak.
Berkaitan dengan kerangka kerucut pengalaman, maka kedudukan media
swishmax memiliki fungsi yang sangat penting. Dalam hal ini, media swihsmax
dapat digunakan agar lebih memberikan pengetahuan kosakata yang konkrit dan
tepat serta mudah dipahami.
2.3 Tunarungu
2.3.1 Pengertian Tunarungu
Kelainan pendengaran diasumsikan sebagai orang tidak mendengar sama
sekali atau tuli (Efendi, 2006 : 57). Kelainan pendengaran dapat juga disebut
sebagai tunarungu. Beberapa definisi mengenai tunarungu menurut beberapa para
ahli diantaranya :
1) Tunarungu adalah mereka yang mengalami gangguan pada organ
pendengaran baik sebaian atau keseluruhan yang berdampa pada
kemampuan berkomunikasi, dan gangguan tersebut berada pada tingkatan-
tingkatan tertentu sesuai tingkatan kerusakan yang dialami oleh organ
pendengaran tersebut (Aswar, 2012 : 79).
2) Tunarungu adalah hilangnya fungsi pendengaran yang berdampak pada
individu yang bersangkutan. Tunarungu atau ketunarunguan (hearing
impairment) adalah istilah untuk menunjuk segala gangguan yang
berhubungan dengan daya dnegar, terlepas dari sifat, faktor pnyebab, dan
tingkat atau derajad ketunarunguan. Iatilah tunarungu dapat dikelompokkan
dalam 2 bagian yaitu 1) kelompok yang menderita kehilangan daya dengar
(hearing loss) untuk menunjuk pada segala gangguan dalam deteksi bunyi;
35
2) kelompok yang tergolong mengalami gangguan proses pendengaran
(auditory processing disorder), yaitu mereka yang mengalami gangguan
dalam menafsirkan bunyi karena adanya gangguan dalm mekanisme
pendengaran (Hermanto, 2011 : 123).
3) Anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi
sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus (Efendi, 2006)
Berdasarkan beberapa pengetian tunarungu menurut para ahli tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa tunarungu merupakan seseorang yang mengalami
gangguan pendengaran dan terdapat beberapa tingkatan pendengaran (db) untuk
menyatakan tingkat kerusakan gangguan pendengaran, dan membutuhkan
pelayanan pendidikan khusus dalam mengatasi gangguan pendengaran tersebut.
2.3.2 Karakteristik Anak Tunarungu
Beberapa karakteristik secara umum yang sering ditemukan pada anak
tunarungu (Somantri. 2012 : 97 – 99), diantaranya :
1. Dalam segi fisik: cara berjalannya kaku dan agak membungkuk, gerakan
matanya cepat, agak beringas, gerakan kaki dan tangannya sangat
cepat/lincah, pernafasannya pendek dan agak terganggu;
2. Dalam segi inteligensi: anak-anak tunarungu sukar dapat menangkap
pengertia yang abstrak, sebab untuk dapat menangkap pengertian abstrak
diperlukan pemahaman yang baik akan bahasa lisan maupun bahasa tulisan;
3. Dalam segi emosi: emosi anak tunarungu selalu bergolak, di satu fihak karena
kemiskinan bahasanya, dan di lain pihak karena pengaruhpemgaruh dari luar
yang diterimanya;
36
4. Dalam segi sosial: perasaan rendah diri, perasaan cemburu, dan kurang dapat
bergaul;
5. Dalam segi bahasa: miskin dalam kosa kata, sulit mengartikan ungkapan-
ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan, sulit mengartikan kata-kata
abstrak, kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
2.3.3 Klasifikasi Anak Tunarungu
Klasifikasi anak tunarungu dapat terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu 1)
ditinjau dari taraf ketunarunguan; 2) ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikan;
3) ditinjau dari lokasi terjadinya tunarungu.
Jika ditinjau dari taraf ketunarunguan (Somantri, 2012 : 95), ada 4
kelompok kategori tunarungu, diantaranya :
1. Taraf I : kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB,
penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara
khusus
2. Taraf II : kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,
penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus,
dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan
latihan berbicara secara khusus
3. Tingkat III : kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB
4. Tingkat IV : kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas
Jika ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya (Efendi, 2008 : 59 –
62), secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
1. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB (slight loss)
37
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain : a) Kemampuan mendengar masih baik karena berada id garis batas
antara pendengaran normal san kekurangan pendengaran taraf ringan; b) Tidak
mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa
dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru; c)
Dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemmapuan pendengarannya;
d) Perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan
bicara dan bahasanya tidak terhambat; e) Disarankan yang bersangkutan
menggunakan alat bantu dengar untuk meningkatkan ketajaman daya
pendengarannya; f) Untuk kepentingan pendidikannya pada anak tunarungu
kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemaaman
percakapan
2. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 – 40 dB (mild
losses)
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain : a) Dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat; b) Tidak
mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya; c) Tidak dapat
menangkap suatu percakapan yang lemah; d) Kesulitan menangkap isi
pembicaraan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak searah dengan
pandangannya; e) Untuk menghindari kesulitan bicara perlu mendapatkan
bimbingan yang baik dan intensif; f) Ada kemungkinan dapat mengikuti sekolah
biasa, namun untuk kelas – kelas permulaan sebaiknya dimasukkan dalam kelas
khusus; g) Disarankan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) untuk
38
menambah ketajaman daya pendengarannya; h) Kebutuhan layanan pendidikan
untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu : membaca bibir, latihan pendengaran,
latihan bicara, artikulasi serta latihan kosakata
3. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB (moderate
losses)
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain : a) Dapat mengerti percakapan keras dalam jarak dekat, kira-kira satu
meter, sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada jarak normal; b) Sering
terjadi mis-understanding terhadap lawan biacaranya, jika ia diajak bicara; c)
Mengalami kelainan bicara terutama pada huruf konsonan. Misalnya huruf
konsonan “K” atau “G” mungkin diucapkan menjadi “T” atau “D”; d) Kesulitan
menggunakan bahasa dengan benar dalam kecakapan; e) Perbendaharaan
kosakatanya sangat terbatas; f) Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak
tunarungu kelompok ini meliputi latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan
kosakata, serta perlu menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman
pendengarannya
4. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 – 75 dB (severe
losses)
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain : a) Kesulitan membedakan suara; b) Tidak memiliki kesadaran bahwa
benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki getaran suara; c) Kebutuhan anak
tunarungu kelompok ini yaitu perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir,
latihan pembentukan kosakata
39
5. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB keatas (profoundly
losses)
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain : a) Hanya dapat mendengar suara keras sekali pada jarak kira-kira 1
inchi atau sama sekali tidak mendengar; b) Kebutuhan layanan pendidikan untuk
anak tunarungu dalam kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan mendengar
untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan
menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus, seperti tactile kinestetic,
visualisasi yang dibantu dengan segenap kemampuan indranya yang tersisa
Jika ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan (Efendi, 2008 : 63-64),
klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
1. Tunarungu konduktif
Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ yang
berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar,seperti liang telinga,
selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus,incus, dan stapes) yang
terdapat di telinga bagian dalam dan dinding – dinding labirin mengalami
gangguan. Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara atau
bunyi ke organ yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu tersumbatnya liang
telinga oleh kotoran telinga (cerumen) atau kemauskan benda-benda asing lainnya
: mengeras, pecah, berlubang (perforasi) pada selaput gendang telinga dan ketiga
tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) sehingga efeknya dapat
menyebabkan hilangnya daya hantaran organ tersebut. gangguan pendengaran
40
yang terjadi pada organ – organ penghantra suara ini jarang sekali melebihi
rentangan antara 60 – 70 dB dari pemeriksaan audiometer.
2. Tunarungu Perseptif
Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ
pendnegaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam. Sebagaimana
diketahui organ telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari
gteraan suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belhan telinga
bagian luar dan tengah. Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara
yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf
pendnegaran, corti) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang
elektris, tidak dapat diteruskan ke pusat pendnegaran di otak.
3. Tunarungu campuran
Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa
pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai
penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga yang
tampa pada telinga tersebut telah terjadi campuran anatar ketunarunguan
konduktif dan ketunarunguan perspektif.
2.3.4 Kemampuan Bahasa dan Bicara Anak Tunarungu
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak
yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar. Pada anak yang normal pendengarannya, perkembangan
bahasa dan bicaranya secara kronologis akan melewati beberapa fase, diantaranya
: 1) fase reflexive vocalization (0 – 6 minggu); 2) fase babling ( 6 minggu – 6
41
bulan); 3) fase yargon (9 bulan – 12 bulan); 4) fase true speech (12 bulan – 18
bulan) (Efendi, 2008 : 75). Sedangkan pada anak tunarungu, tidak terjadi proses
peniruan suara setelah masa meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada
peniruan visual. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa, anak tunarungu
memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan
taraf ketunarunguan.
Myklebut (dalam Sarwiasih, 2003), menggambarkan proses penguasaan
bahasa anak tunarungu diantaranya sebagai berikut :
Gambar 2.2 Proses Penguasaan Bahasa Tunarungu (Sarwiasih, 2003)
Perkembangan bahasa anak tunarungu akan terwujud seperti gambar diatas
Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu terutama yang
tergolong tunarungu total tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan
bahasa melalui pendengarannya, melainkan harus melalui penglihatannya dan
memanfaatkan sisa pendengarannya (Somantri, 2012 : 96). Oleh sebab itu
42
komunikasi pada anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada
dirinya.
2.4 Kerangka Konseptual
Dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah,
tujuan, manfaat penelitian serta kajian teori diatas, maka penulis dapat menyusun
kerangka berfikir sebagai berikut:
Anak tunarungu mengalami disfungsional dalam indera pendengaran
sehingga menyebabkan anak tunarungu tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan stimulus dari luar. Dengan adanya disfungsional dalam indera
pendengaran tersebut, maka tak bisa dipungkiri bahwa anak tunarungu memiliki
berbagai problematika yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Problematika
tersebut diantaranya adalah 1) Permasalahan Sosial, diantaranya mengalami
kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi lingkungan yang beraneka ragam
komunikasinya sehingga cenderung berperilaku maladaptif (Landsberger, 2014);
2) Permasalahan Emosional, yakni emosi anak tunarungu seringkai begejola
karena cenderung menafsirkan sesuatu hal secara negatif sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya tekanan bagi emosinya (Somantri, 2012); 3)
Permasalahan Kognitif, yang berpengaruh pada tingkat inteligensinya, yaitu rata-
rata secara inteligensi anak tunarungu tertinggal 6 tahun dengan anak normal yang
usianya sebaya (Fajrianto, 2012); 4) Permasalahan Perilaku, seperti bersikap
agresif terhadap orang lain maupun menghindar dari orang lain (Herman, 2009);
5) Permasalahan Kesehatan Mental, seperti menderita tekanan psikologis
(Marschark, 1993), dan presentase penyakit mental anak tunarungu lebih besar
43
dibandingkan dengan anak normal (Corners, 2015; Crocker & Edward, 2004
dalam Hermsn, 2009). Berbagai problematika yang dialami oleh anak tunarungu
tersebut disebabkan oleh minimnya penguasaan kosakata atau perbendaharaan
kata.
Kosakata yang dipelajari oleh anak tunarungu terdiri dari 1) concrete
vocabulary, yaitu kosakata yang merujuk pada benda-benda nyata dan mudah
untuk divisualisasikan (Hermanto, 2012 : 46); 2) Abstract Vocabulary, yaitu
kosakata yang merujuk pada kata-kata abstrak dan sulit untuk divisualisasikan
(Hermanto, 2012 : 46); dan 3) Emotion Vocabulary, yaitu kosakata yang
menggambarkan keadaan emosional seseorang (Glenn, 2007). Dari ketiga
kosakata tersebut, anak tunarungu lebih mudah dalam mempelajari kosakata yang
sifatnya konkrit. Hal itu dikarenakan kosakata yang sifatnya konkrit lebih mudah
dipelajari karena ada benda-benda nyata di lingkungan sekitarnya. Sedangkan
untuk abstract vocabulary dan emotion vocabulary sulit untuk dikuasai oleh anak-
anak tunarungu, dikarenakan kosakata tersebut sulit untuk divisualisasikan secara
nyata. Sehingga, dari ketiga jenis kosakata tersebut anak tunarungu belum mampu
menguasai kosakata secara optimal, dikarenakan adanya hambatan dalam
pemerolehan kosakata.
Pembelajaran mengenai penguasaan kosakata dapat dilakukan dengan
menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran membantu anak
tunarungu untuk memahami dan menguasai kosakata secara lebih mudah. Akan
tetapi, tidak semua media pembelajaran mampu mengatasi dengan tepat hambatan
yang terjadi pada anak tunarungu. Sehingga hal ini diperlukan sebuah kreativitas
44
dalam membuat media pembelajaran agar mampu membantu anak tunarungu
dalam mengembangkan penguasaan kosakata.
Di SLB N Ungaran Semarang, guru mengajarkan kosakata pada anak
tunarungu menggunakan media konvensional, yaitu dengan menulis dan
menggambar benda di papan tulis serta menghadirkan benda secara langsung.
Berdasarkan media pembelajaran yang digunakan oleh guru tersebut, anak
tunarungu hanya mampu menguasai kosakata yang bersifat konkrit. Sedangkan
kosakata yang bersifat abstrak (abstract vocabulary) dan emotion vocabulary
belum bisa dipahami oleh anak tunarungu. Sehingga, media pembelajaran yang
diterapkan oleh guru tersebut dirasa kurang efektif.
Berbagai penelitian mengenai media pembelajaran telah dilakukan dalam
mengembangkan kosakata pada anak tunarungu, salah satunya adalah
menggunakan media pembelajaran berbasis multimedia. Beberapa penelitian yang
terkait dengan penggunaan multimedia untuk peningkatan penguasaan kosakata
pada anak tunarungu, diantaranya : 1) Penelitian dari Astuti (2010), yang berjudul
“Penggunaan Media Komputer untuk Meningkatkan Perbendaharaan Kata Anak
Tunarungu Wicara”, didapatkan hasil bahwa penggunaan media komputer
berhasil meningkatkan perbendaharaan kata anak tunarungu wicara kelas D1-B
SLB Negeri Salatiga; 2) Penelitian dari Supriyadi (2013), yang berjudul Media
Pembelaaran Sistem Komunikasi Tunarungu Menggunakan Macromedia Flash 8”,
didapatkan hasil bahwa aplikasi tersebut dapat digunakan untuk membantu siswa
tunarungu dalam proses pembelajaran komunikasi dan dapat membantu guru
dalam mempermudah menyampaikan materi; 3) Penelitian dari Asma’ulhusnah
45
(2015) yang berjudul “Pengaruh media pembelajaran berbasis multimedia
interaktif menggunakan adobe flash CS3 terhadap Perbendaharaan Kata Anak
Difabel Rungu”, di dapatkan hasil bahwa adobe flash CS3 mampu untuk
meningkatkan perbendaharaan kosakata anak tunarungu.
Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan media swishmax yang digunakan
dalam mengembangkan penguasaan kosakata. Belum banyak penelitian yang
membahas mengenai media swishmax yang digunakan untuk media pembelajaran,
hal ini dikarenaan swishmax masih tergolong sebagai multimedia yang baru
sehingga para pendidik belum banyak yang mengetahui tentang media swishmax.
Memang belum ada penelitian sebelumnya mengenai media swishmax yang
ditujukan kepada anak tunarungu. Akan tetapi, media swishmax ini sama dengan
media adobe flash CS3 seperti yang dilakukan oleh Asma’ulhusnah (2015).
Hanya saja yang membedakan adalah media swishmax mempunyai kelebihan
yang mudah digunakan dibandingkan dengan media adobe flash cs3, meskipun
secara keseluruhan konten dari aplikasi tersebut sama. Sehingga, media swishmax
dalam hal ini dirasa optimal dalam mengembangkan penguasaan kosakata pada
anak tunarungu.
Subjek pada penelitian ini adalah siswa tunarungu kelas IV, hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa subjek penelitian tersebut memiliki
permasalahan terkait dengan kosakata. Pada pembelajaran kosakata, guru
menggunakan media konvensional. Media tersebut belum efektif dalam
mengajarkan siswa terhadap kosakata, hal ini dikarenakan : 1) Anak tunarungu
masih minim daam menguasai kosakata; 2) Kurangnya motivasi siswa dalam
46
belajar kosakata; 3) guru mnegalami keuslitan daam mengajarkan koskata yang
sifatnya abstrak. Berdasarkan berbagai permasalahan di lapangan tersebut, maka
peneliti menggunakan media swishmax untk dijadikan sebagai media
pembelajaran dalam penguasaan kosakata. Media swishmax ini dirasa optimal
untuk dijadikan dalam mengembangkan penguasaan kosakata pada anak
tunarungu, hal ini dikarenakan media swishmax bersifat interaktif dan mudah
untuk digunakan. Oleh karena itu, dengan digunakannya media swishmax maka
dapat dihasilkan perubahan diantaranya : 1) Penguasaan Kosakata anak tunarungu
meningkat; 2) Menggugah motivasi anak tunarungu dam belajar kosakata
dikarenakan media swsihmax bersifat interaktif; 3) Guru mampu mengajarkan
kosakata yang sifatnya abstrak karena mampu divisualisasikan melalui media
swsihmax.
Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka berfikir dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
47
S
SEBELUM TREATMENT
Tunarungu (Disfungsional Indera Pendengaran)
Permasalahan Kesehatan Mental
(Herman, 2009)
Permasalahan Sosial
(Landsberger, 2014)
Permasalahan Emosional
(Somantri, 2012)
Permasalahan Kognitif
(Fajrianto, 2012)
Permasalahan Perilaku
(Herman, 2009)
Penguasaan Kosakata
Media Pembelajaran
Media Konvensional
Kurang Optimal
Media Swishmax
Optimal
SLB N UNGARAN SEMARANG
1. Concrete Vocabulary
2. Abstract Vocabulary
3. Emotion Vocabolary
1. Kosakata
Meningkat
2. Meningkatkan
motivasi anak
belajar kosakata
3. Membantu guru
mengajarkan
kosakata
1. Kosakata masih
minim
2. Motivasi
rendah
3. Guru sulit
mengajarkan
kosakata
abstrak
48
2.5 Hipotesis
Berdasarkan landasan teori diatas maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada perbedaan penguasaan kosakata pada anak tunarungu
sebelum dan sesudah pemberian perlakuan perbendaharaan kata dengan
menggunakan media swishmax
111
BAB 5
PENUTUP
.
5.1 Kesimpulan
Penguasaan kosakata anak tunarungu pada kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol sebelum diberikan perlakuan memiliki skor penguasaan
kosakata yang minim. Penguasaan kosakata pada kelompok eksperimen setelah
diberikan perlakuan dengan menggunakan media swishmax memiliki mean raw
score 4 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya
diberikan perlakuan dengan menggunakan media konvensional.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
media swishmax mampu untuk mengembangkan penguasaan kosakata pada anak
tunarungu, dalam hal ini ada perbedaan skor penguasaan kosakata yang signifikan
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan
yang berbeda.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran-saran yang
diajukan oleh peneliti diantaranya :
1. Bagi Guru yang mengajar Siswa Tunarungu,
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan metode
pembelajaran dalam mendidik siswa tunarungu untuk menguasai kosakata yang
beraneka ragam. Dengan adanya media swishmax ini diharapkan guru yang
112
mengajar siswa tunarungu dapat memanfaatkan media swishmax ini agar siswa
tunarungu mampu mengalami peningkatan dalam penguasaan kosakata;
2. Bagi Orangtua Siswa Tunarungu
Pengajaran kosakata kepada anak tunarungu tidak hanya dilakukan di sekolah,
melainkan di rumahpun dapat dilakukan pengajaran kosakata kepada anak
tunarungu. Diharapkan dengan adanya media swishmax ini, orang tua juga turut
memberikan pengajaran kosakata kepada anak tunarungu agar mampu menguasai
beberapa kosakata yang dijadikan sebagai dasar untuk berkomunikasi;
3. Bagi Siswa Tunarungu;
Bagi siswa tunarungu yang telah mendapatkan pengetahuan dalam
pembelajaran kosakata, sebaiknya terus melakukan pembelajaran kosakata dengan
cara terus belajar kosakata berulang kali dengan memanfaatkan media swsihmax;
4. Bagi Peneliti Selanjutnya;
Bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengembangkan penelitian yang
didaarkan dengan pengembangan penguasaan kosakata pada anak tunarungu
dengan menggunakan media swishmax. Sebagai contoh peneliti selanjutnya juga
mempertimbangkan inteligensi dari anak tunarungu, dan melakukan observasi
perubahan perilaku pada anak tunarungu setelah diberikan perlakuan apakah
kosakata yang dipelajari mampu untuk diaplikasikan dalam komunikasi sehari-
hari.
114
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A., & Jauhar, M. (2015). Dasar-dasar Psikolonguistik. Jakarta: Prestasi
Pustakarya.
Asma'ulhusnah. (2015). Pengaruh Media Pembelajaran Berbasis Multimedia
Interaktif Menggunakan Adobe Flash CS3 Terhadap Perbendaharaan Kata
Pada Anak Difabel Rungu. Skripsi. Yogyakarta : Universitas islam Negeri
Sunan Kalijaga
Ardina, V. (2014). Pengembangan Multimedia Interaktif Pembelajaran Bentuk
Molekul Menggunakan Software Swishmax 4 untuk Siswa Kelas Xi IPA
SMA N 1 Kota Sungai Penuh. Pendidikan Kimia FKIP Universitas Jambi,
1-10.
Aswar. (2012). Meningkatkan Perbendaharaan Kosakata Bahasa Inggris
Mahasiswa Tunarungu Melaui Media Kartu Kata (Flash Card). E-Jupekhu,
78-89.
Azwar, S. (2016). Konstruksi Tes Kemampuan Kognitif. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Azwar, S. (2016). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Batten, G., M, O. P., & Alexander, T. (2013). Factors Associated With Social
Interactions Between Deaf Children and Their Hearing Peers : A Systematic
Literature Review. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 1-18.
Bawono, Yudho. (2004). Penguasaan Perbendaharaan Kata Anak Usia Taman
Kanak-kanak Ditinjau dari Inteligensi dan Aktivitas Menonton Televisi.
Thesis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Birinci, F.G. (2014). The Effectiveness Visual Materials in Teaching Vocabulary
to Deaf Students of EFL. Thesis. Hacettepe University.
Chaer, A. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Cornes, D. A. (2015). Mental Health in Children and Young Deaf/HI People: A
Review of Current Research & Practice. UK: View Psychology Ltd.
Creswell, J. W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
115
Dardjowidjojo, S. (2010). Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Das, S., & Chakrabarti, A. (2014). Developing a Test for Measuring Oral
Competence in English of the Secondary Level Students in Bengali Medium
Schools of West Bengal. Indian Journal of Educational Research, 62-80.
Davenport, C. A., Alber-Morgan, S. R., Clancy, S. M., & Kranak, M. P. (2017).
Effects of a Picture Racetrack Game on the Expressive Vocabulary of Deaf
Preschoolers. Oxford, 326-335.
Davis, C. D. (2000). Foreign language instruction: Tips for accommodating hard-
of-hearing and deaf students. Washington, DC: Western Oregon University
Press
Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Sinar
Grafika Offset.
Fajrianto, R., & Irawan, A. H. (2012). Perancangan Media Pembelajaran Interaktif
Mata Pelajaran IPA untuk Siswa Kelas VIII SMPLB Tunarungu dengan
Materi Memahami Sistem dalam Tubuh Manusia. Jurnal Teknik Pomits, 1-
4.
Fauziah, Y., Yuwono, B., & D.W.P., C. (2012). Aplikasi Kamus Elektronik
Bahasa Isyarat. TELEMATIKA, 45-50.
Glenn, S. (2007). The Development of Theory of Mind in Deaf People. Inggris:
University of Sheffield.
Goswami, U. (2015). Children's Cognitive Development and Learning.
Cambridge: Cambridge Primary Review Trust.
Hamilton, H. (2012). The efficacy of dictionary use while reading for learning
new words. American Annals of the Deaf, 46.
Hardiyanto., E. (2009). Kejenuhan Belajar dan Cara Mengatasinya (Studi
Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran tarikh di SMP Muhammadiyah 3
Depok. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga
Herman, R., & Morgan, G. (2009). 7 Deafness, Language and Communication.
City University London, UK, 101 - 121.
Hermanto. (2009). Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berbahasa Ana Tunarungu Usia Dini. Jurusan Pendidikan
Luar Biasa FIP UNY, 39 - 50.
116
Hermanto. (2011). Penguasaan Kosakata Anak Tunarungu dalam Pembelajaran
Membaca Melalui Penerapan Metode Maternal. Majalah Ilmiah
Pembelajaran, 120-130.
Hikmayana, D. (2013). Meningkatkan Kosakata dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Melalui Permainan Ular Tangga. NOSI, 38-42.
Jumiatun. (2017). Peningkatan Kosakata Pada Ana Tunarungu Kelas Dasar I
Menggunakan Media Flashcard di SLB Wiyata Dharma 1 Sleman. Skripsi.
Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
Knutson, J. F., & Lansing, C. R. (1990). The Relationship Between
Communication Problems and Psychological Difficulties in Persons with
Profound Acquired Hearing Loss. Journal of Speech and Hearing Disorder,
656-664.
Kustandi, C., & Sutijpto, B. (2011). Media Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Landsberger, S. A., Diaz, D. R., Z.Spring, N., Sheward, J., & Sculley, C. (2014).
Psychiatric Diagnoses and Psychosocial Needs of Outpatient Deaf.
Springer, 42-51.
Luckner, J. L., & Cooke, C. (2010). A Summary of the Vocabulary Research With
Students Who Are Deaf or Hard of Hearing. American Annals of the Deaf,
37-67.
Luckner, J. L., Slike, S. B., & Johnson, H. (2012). Helping Students Who Are
Deaf or Hard of Hearing Succeed. Teaching Exceptional Children, 58-67.
Majid, S., & Saif, M. (2011). Classroom Social Behavior of Hearing Impaired
Children. Pakistan Journal of Education, 33-46.
Munika, S., Nasriah, S., A.W, L. D., & A., U. (2014). Penambahan Kosakata dan
Peningkatan Nilai Kehidupan Pada Anak. PELITA, 191-197.
Nodoushan, M. A. (2008). Language and Literacy Development in Prelingually
Deaf Children. i-manager's Journal on Educationa Psychology, 16-20.
Pariatin, Y., & Ashari, Y. Z. (2014). Perancangan Media Pembelajaran Interaktif
Mata Pelajaran PKN untuk Penyandang Tunarungu Berbasis Multimedia
(Studi Kasus di Kelas VII SMPLB Negeri Garut Kota). Jurnal Algoritma
Sekolah Tinggi Teknologi Garut, 1-9.
117
Pujiwati, S. (2012). Meningkatkan Kosakata Benda Anak Tunarungu Melalui
Metode Maternal Reflektif di Kelas D II B di SDLBN Tarantang Lima
Puluh Kota. E-Jupheku, 142-151.
Ratih, H., & Rini, R. A. (2015). Pengaruh Auditori Verbal Therapy Terhadap
Kemampuan Penguasaan Kosa Kata Pada Anak Yang Mengalami
Gangguan Pendengaran. Jurnal Psikologi Indonesia, 77-86.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sarwiasih. (2003). Pemanfaatan Media Visual untuk Meningkatkan Kemampuan
berbahasa Anak Tunarungu Kelas I. Jurnal Ilmiah Guru. hal. 19-25
Satapathy, S. (2018). Psychosocial And Demographic Correlates Of Academic
Performance of Hearing Impaired Adolescent. Asia Pacific Disability
Rehabilitation Journal, 63-75.
Seniati, L., Yulianto, A., & N.Setiadi, B. (2015). Psikologi Eksperimen. Jakarta:
PT INDEKS.
Sensus, A. I. (2016). Modul Guru Pembelajar SLB Tunarungu Kelompok
Kompetensi C. Bandung: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Bidang Taman Kanak-kanak & Pendidikan Luar
Biasa.
Solbi. (2016). Aplikasi Kamus Bahasa Isyarat Untuk Android Dan Komputer
Sebagai Media Komunikasi Dengan Tunarungu. Teknologi informasi
sebagai media dan sumber pembelajaran, hal. 1-12.
Solso, R. L., H.Maclin, O., & Maclin, M. (2007). Psikologi Kognitif Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2002). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Cv. Alfabeta.
Somantri. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
ALFABETA.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA.
The National Deaf Children’s Society (NDCS). (2003. Deaf Friendly
Teaching.Diamond Anniversary