Mengapa orang mentaati hukum
-
Upload
novita-ekasari -
Category
Documents
-
view
2.337 -
download
1
Transcript of Mengapa orang mentaati hukum
MENGAPA ORANG MENTAATI HUKUM
(Kritisi Terhadap Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe Ditinjau Dari Sisi Filsafat Hukum)
A. PENDAHULUAN
Pertanyaan tentang mengapa orang mentaati hukum merupakan contoh
pertanyaan yang bersifat mendasar yang menjadi salah satu pokok bahasan
filsafat hukum, oleh karena jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan
pertimbangan nilai-nilai dalam bentuk kaidah hukum yang masuk dalam tataran
dunia nilai, tataran sollen. Seperti kita ketahui, bahwa filsafat hukum menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum. Ketika ilmu
hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai
hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut.
Kedaulatan merupakan modal awal dalam sebuah pembentukan negara.
Semua warga disatukan oleh satu pemerintahan yang memiliki kedaulatan
hukum. Lalu bagaimana dengan kedaulatan masyarakat? Apakah kehendak dan
kedaulatan negara merupakan bagian dari kedaulatan masyarakatnya. Karena
itulah kita bertanya siapa sebenarnya yang berdaulat? Setiap bangsa tentu
membutuhkan kedaulatan agar dapat diakui secara de facto maupun de jure oleh
bangsa-bangsa lain di dunia. Hukum oleh karena itu menjadi alat terkuat dalam
rangka menjaga kedaulatan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan tentu berhadapan dengan
realitas yang lebih rumit daripada negara yang hanya memiliki batas daratan. Ini
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 1 ]
juga yang membuat Indonesia berulang kali ribut soal kepemilikan pulau, dan
sering pula Indonesia mengalami kekalahan. Sebagai penduduk Indonesia,
mungkin kita tidak tahu persis berapa jumlah pulau terluar (sebagian lagi
menyebutnya pulau terdepan) yang ada di barisan nusantara. Mungkin karena
informasi yang tidak lengkap, atau mungkin pula karena perbedaan kita antara
orang daratan dengan orang pesisir laut.
Konon, ada perbedaan dalam memperlakukan pulau antara orang daratan
dengan orang lautan. Mereka yang tinggal di pantai biasanya memiliki hubungan
–katakanlah hubungan spiritual– dengan laut mereka. Jangan artikan spiritual ini
dalam konotasi mistik atau gaib. Mereka karena lebih sering bersentuhan dengan
lautan, sering timbul identitas yang secara langsung laut tersebut mewakilinya.
Ungkapan ‘nenek moyangku seorang pelaut’ tentu bukan hanya karena nenek
moyang kita sering berlayar, tetapi lebih pada eksistensi identitas yang
menjadikan bangsa ini berada. Lalu, kalau ada orang bertanya “siapakah kita?”,
siapa yang dimaksud dengan “kita” itu. Orang yang tinggal di daratan maupun di
pegunungan tidak memiliki korelasi dengan kita yang dimaksud sebagai anak
cucu sang pelaut. Mungkin mereka lebih tepat sebagai anak cucu petani atau
pemburu.
Kedaulatan negara jika ditinjau dari kelautan tentu harus ditata kembali
dengan lebih menegaskan siapa kita ini dan mau ke mana kita. Wajarlah jika
orang-orang daratan tidak memiliki keterikatan batin dengan kelautan karena
memang tidak ada persentuhan antara dia dengan samudra yang luas.
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 2 ]
B. TEORY KEDAULATAN
Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas
kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara
tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara
bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi
yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan
tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara
terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada
warga negaranya. Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang
menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan
dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan
jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara
karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari
itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori
negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi
kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan
politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang
signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi
masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di
dalam pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani mengatakan
bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 3 ]
Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama
yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter. Negara
menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat,
negara terbentuk secara alamiah. Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan
terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato
mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang
filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di
dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir
gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan
tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas
Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut
sebagai kewajiban moral. Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk
pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh
kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan
anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan
hamba Tuhan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja
mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat
duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes.
Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia
hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan
keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 4 ]
lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada
ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu
manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara
tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut. Ketika perjajian itu
dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan
negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh
individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil
buahnya.
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa di
dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk
mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan
yang baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace,
good will, mutual assistance, and preservation”.
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang.
Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup
menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi
kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of
war). Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat
bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi
hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau
untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 5 ]
untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda
besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah
milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke
menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing)
dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi
tersebut. Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan
sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan
di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri
secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan
keadaan aman dan bahagia. Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam
pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah
manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi
mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu
perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan
menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan
melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing
menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang
individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan
seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan
tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap
anggotanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Peyerahan
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 6 ]
kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial
itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal
ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara
menyeluruh.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan
darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan
tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan
Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan
tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan
legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu
pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk
memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas
kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people
souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat
merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan
tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat
Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal
ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis
(democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 7 ]
(constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana
menurut Jimly Asshiddiqie.
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan
kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional
democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan
hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua
sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita
menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara Hukum yang
Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi
yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu
sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui sistem
perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory
mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung
dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil rakyat.
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 8 ]
C. KERANGKA PIKIR
Kedaulatan biasa diartikan ke dalam dua bagian, yakni kedaulatan ke
dalam dan kedaulatan ke luar. Yang pertama berkaitan dengan hak sebuah
negara untuk mengurus rumah tangganya tanpa ada campur negara lain, dan
yang kedua bermakna kebijakan dan hak pemerintah untuk mengadakan kerja
sama dengan negara lain.
Kedaulatan sering kali direduksi menjadi sebuah tugas sistem yang
diemban oleh lembaga yang sangat terbatas. Ketika berbicara masalah
kepulauan misalnya, TNI sering kali menjadi pionir utama dalam memegang
kendali tersebut. Kedaulatan dalam menjaga kepulauan tidak lagi menjadi
sebuah tugas warga negara yang menempati wilayah tersebut. Hal ini bukan soal
karena TNI adalah alat negara dan memiliki senjata, tetapi lebih pada bagaimana
mentransformasikan pemahaman kedaulatan dalam makna yang lebih bersifat
kebersamaan. Tentu menjadi miris ketika masyarakat, terutama yang hidup dekat
dengan laut bersikap acuh terhadap pulau-pulau yang ada di sekitar mereka.
Sedih juga kiranya setiap kedaulatan harus selesai di meja runding yang
memuakkan. Entah harus dengan cara apa agar masyarakat ikut merasakan
bahwa dirinya pun ikut berdaulat terhadap pulau-pulau yang ada di sekitar
mereka. Kerja sama dengan pihak asing pun kadang kala melepaskan
kedaulatan bersama. Yang ada hanyalah kedaulatan pemerintah. Tengok
penambangan emas yang dilakukan PT Freeport di Papua. Itu adalah bukti dari
kedaulatan pemerintah dalam mengadakan kerja sama eksploitasi. Bagaimana
dengan masyarakat Papua sendiri? Apakah mereka juga berdaulat terhadap
tanah yang sudah lama mereka tempati? Mestinya tanah yang kaya emas harus
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 9 ]
dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk Papua itu sendiri, bukan pihak
asing. Lalu siapa yang sebenarnya yang berdaulat atas tanah Papua ketika akan
melakukan kontrak kerja sama? Kembali lagi, dalam hal ini kita telah mereduksi
kedaulatan ke dalam bentuk sistem yang sempit, yakni sistem pemerintahan.
Kalau kita mau kembali pada hukum terbentuknya sebuah negara, yakni
harus ada rakyat, maka penduduk Papua lebih dulu ada ketimbang nusantara ini.
Di sinilah kita harus menata lagi tentang hukum kedaulatan dan jangan
terlampau kaku seperti dalam setiap surat keputusan atau undang-undang.
Analisis terhadap pertanyaan mengapa orang mentaati hukum, menggunakan
kerangka pikir dari Krabbe dengan teori kedaulatan hukumnya dimana dikatakan
bahwa kaidah hukum memperoleh daya mengikatnya karena nilai batinnya atau
nilai keadilannya sendiri.
Teori kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak
mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan
perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Sehingga oleh karenanya masyarakat
mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Undang-undang berlaku
berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma
didalamnya.
Teori kedaulatan hukum pada dasarnya tidak mengakui kekuasaan
seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima
kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas
kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 10 ]
pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut
peraturan-peraturan hukum. Hal yang paling penting bukanlah negara atau
pemerintah, melainkan hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya
dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintahlah yang memperoleh
kekuasaannya dari hukum.
Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia
memperoleh kekuatan mengikatnya? Hukum bertitik tolak pada perasaan hukum
dan mendapatkan otoritasnya dari kesesuaiannya dengan perasaan-perasaan
individu. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus tetap berfungsi
untuk mengendalikan kehendak individu itu sendiri yang berdasarkan pada
keyakinan hukum bersama.
Dalam tataran empiris, terjadinya kesamaan keyakinan hukum merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang
akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran
Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan
hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup dalam
masyarakat menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk
semua anggota masyarakat, sehingga kesamaan hukum merupakan suatu
conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur
masyarakat. Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus
memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum.
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 11 ]
Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut,
Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai
aksioma :”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum,
atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada
pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah
sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas
mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia tidak
mengakui kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan
kesadaran hukum orang terbanyak tersebut, sehingga menurutnya undang-
undang seperti ini, seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan oleh
karenanya harus dicabut oleh pemerintah. Oleh karenanya menurut Krabbe,
keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah hukum, karena
kaidah hukum merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat, sehingga
berdasarkan hal tersebut masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara
mentaatinya.
D. ANALISIS
Jika kita telaah lebih lanjut, maka melalui teorinya itu, Krabbe telah
melakukan suatu kesalahan (ad absurdum). Dalam keadaan seperti itu,
bagaimana nasib kepastian hukum serta perlindungan masyarakat terhadap
kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi.
Dan bagaimana halnya nasib kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan
aparatur pemerintah diperkenankan bahkan diserahi kewajiban untuk
menyampingkan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) dalam
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 12 ]
melakukan tugasnya jika menurut pertimbangan mereka, undang-undang
(termasuk undang-undang dasar) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari
rakyat terbanyak.
Kelemahan teori Krabbe tersebut terjadi oleh karena ia menyamakan
hukum dengan kesadaran hukum. Sehingga jika teori Krabbe dilaksanakan
secara konsekuen dalam implementasinya, dipastikan suatu ketika akan terjadi
suatu keadaan dimana seluruh hukum akan terhapus dengan alasan sudah tidak
sesuai dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat, yang berarti lumpuhnya
kewibawaan undang-undang.
Jika suatu tatanan masyarakat berkeinginan untuk menjadi lebih daripada
hanya sekedar tatanan kekuasaan belaka, maka konsekuensinya ia harus
memenuhi hal-hal yaitu merupakan suatu tatanan hukum serta harus memenuhi
kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi
pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang
baik dan adil. Didalam kedua hal tersebut, disitulah letaknya otoritas hukum yang
menyebabkan masyarakat mentaati hukum. Pada hakekatnya, hukum kebiasaan,
yaitu yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat adalah hukum yang dapat
memenuhi hal tersebut di atas. Hal ini sesuai pula dengan ucapan Paulus,
seorang ahli hukum Romawi, yang mengatakan bahwa penjelmaan hukum
terbaik adalah kebiasaan (optima iuris interpres consuetudo).
Sejak awal, hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia
sebagai suatu alat yang menjadi rambu-rambu antara perbuatan yang benar dan
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 13 ]
yang salah secara sempurna. Hukum yang bekerja terlalu kuat misalnya justru
malah menimbulkan ketidakadilan (summum ius summa iniuria). Kenyataan
seperti itu memperlihatkan adanya pertentangan antara rambu-rambu yang
dibuat oleh hukum di satu pihak dan fleksibilitas yang dituntut oleh hubungan
sosial di pihak lain. Gambaran mengenai kehidupan hukum yang seperti itu, akan
menjadi jelas jika dalam mengamatinya kita menggunakan kacamata hukum dan
masyarakat, yaitu yang melihat kehidupan hukum tersebut tidak hanya sebagai
fungsi dari peraturan, tetapi juga dari kebijakan (policy) pelaksanaannya serta
tingkah laku masyarakat.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian-uraian di atas, dan setelah memperkaya (encrichment) dan
melakukan elaborasi terhadap pendapat Krabbe tentang teori kedaulatan hukum,
maka sangat jelas bahwa orang/masyarakat mentaati hukum oleh karena
undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum
yang menjelma didalamnya. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah
menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum
dari rakyat. Terjadilah suatu keadaan keseimbangan (equilibrium) implementasi
kaidah hukum dalam masyarakat antara konsistensi penegakkan tatanan hukum,
pencerminan kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri dan
fleksibilitas kaidah hukum dalam melakukan pengaturan hubungan-hubungan
sosial.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang tidak
berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum. Jadi hukum
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 14 ]
bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya hukum itu pada hakikatnya
adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, membatasi ruang gerak dan memaksa.
Hukum adalah kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Akan tetapi karena adanya penguasa yang menyalahgunakan hukum serta
menciptakan hukum semata-mata untuk kepentingannya sendiri, maka
muncullah istilah rule of law. Rule of law artinya pengaturan oleh hukum. Jadi
yang mengatur, menguasai dan memaksa adalah hukum. Inilah yang dinamakan
supremasi hukum.
Berikut pengertian rule of law dari beberapa tokoh.
1. Menurut Dicey, rule of law mengandung tiga unsur, yaitu hak asasi
manusia yang dilindungi undang-undang, persamaan kedudukan di mata
hukum dan supremasi aturan-aturan hukum.
2. Menurut Julius Stahl, rule of law mengandung empat unsur, yaitu adanya
pengakuan hak asasi manusia, adanya pemisahan kekuatan,
pemerintahan berdasarkan peraturan dan adanya peradilan tata usaha
negara.
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan
badan legislatif dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan
kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-
undangan harus merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dari dan karena hal-
hal yang merupakan dasar-dasar pokok kesadaran rakyat. Keyakinan logis dari
suatu bangsa terhadap hukum yang memuat pandangan-pandangan kesusilaan
dan pandangan-pandangan hukum rakyat akan menciptakan suatu ketertiban,
membawa konsekuensi logis bahwa terhadap undang-undang bersangkutan,
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 15 ]
yaitu rakyat dengan sangat rela memberikan otoritas yang mengikat, sekalipun
juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak
sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat. Jika
suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut—bahwa keyakinan rakyat
adalah tatanan hukum—maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia
sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu hanya sebatas
sebagai tatanan otoritas.
Dalam tataran teoritis hubungan hukum dan kekuasaan saling
mempengaruhi, hukum ada karena dibuat penguasa yang sah dan sebaliknya
perbuatan penguasa diatur oleh hukum yang dibuatnya. Namun apabila terjadi
pertentangan maka energi sering kalah kuat dengan energi kekuasaan.
Akibatnya model hukum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam
kekuasaan yang bersifat otoriter akan melahirkan hukum yang bersifat
konservatif dan ortodok. Sebaliknya dalam kekuasaan yang demokratis akan
melahirkan hukum yang bersifat responsif dan populis.
Penegakan hukum dalam suatu pelanggaran merupakan monopoli
penguasa. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 16 ]
DAFTAR PUSTAKA
1. Bruggink, J.J.H., terjemahan Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra
Adtya Bakti, Bandung, 1999
2. d’ Entreves, A.P., terjemahan Wirasutisna Haksan, Pengantar Filsafat
Hukum, Bhratara, Jakarta 1963
3. Peters, A.A.G.; Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan
Sosial, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1987
4. Rahardjo, Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung,
1977
5. Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Sadino, Oetarid,
Noor Komala, Jakarta, 1962
6. Van Kan, J.; Beekhuis, J.H., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Masdoeki,
Moh O., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Mengapa Orang Mentaati Hukum [ 17 ]