Maxilla Gerontik 1 Dn 2

111
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67 persen korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 – 50 tahun. Terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya, dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia 10-24 tahun.kecelakaan lalu lintas menelan korban jiwa sekitar 2,4 juta jiwa manusia setiap tahunnya.(WHO, 2011). Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan kelalaian manusia, menjadi faktor utama terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB 1

description

Maxilla

Transcript of Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Page 1: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health

Organization (WHO), tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67 persen korban

kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 – 50 tahun. Terdapat

sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya, dengan

rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan,

kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia,

dengan rentang usia 10-24 tahun.kecelakaan lalu lintas menelan korban jiwa sekitar

2,4 juta jiwa manusia setiap tahunnya.(WHO, 2011).

Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, Di Indonesia, jumlah

kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan kelalaian manusia,

menjadi faktor utama terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Data Kepolisian

RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban

meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi

sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan

Domestik Bruto/PDB Indonesia). Sedangkan pada 2011, terjadi kecelakaan

sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185 orang

(Sjamsuhidajat, 2014).

Namun dibandingkan dengan sebelumnya berdasarkan data Analisa dan

Evaluasi Korlantas Polri, jumlah tingkat kecelakaan dalam 4 tahun terakhir terus

menurun dalam setiap tahunnya.Pada tahun 2012 misalnya, tercatat sebanyak

128.312 kejadian kecelakaan lalu lintas.Sementara angka tersebut turun pada tahun

2013 dengan total 110.448 kejadian.Begitu pula dengan yang terjadi pada tahun

2014, angka kecelakaan menurun drastis dengan total 95.969 kejadian

(Sjamsuhidajat, 2014).

1

Page 2: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian atau insiden

fraktur tinggi, dan salah satu fraktur yang terjadi adalah fraktur maxilla atau trauma

pada wajah.

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,

penyebab terbanyak adalah kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif

juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur lebih sering terjadi pada

laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan umur di bawah 45 tahun.Pada

anak-anak prevalensi fraktur tulang wajah secara keseluruhan jauh lebih rendah

dibandingkan pada dewasa.Sekitar 5-15% dari keseluruhan fraktur wajah terjadi

pada anak.

Fraktur maxilla sebagian besar menyebabkan trauma pada tulang rahang.

Trauma pada tulang rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi,

mungkin akan menyebabkan komplikasi yang lebih parah, seperti pada pasien

dengan batas kesadaran yang menurun sampai tidak mampu melindungi jalan

pernafasan dari darah dan patahan gigi, serta bekas pendarahan di dalam gusi, gigi,

dan mulut sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas (Suardi,Fraktur Pada

Tulang Maksila 2012).

Hal ini menimbulkan masalah bagi penatalakasanaan anestesi, dimana

pasien datang dalam kondisi tulang maxilla yang sudah bergeser dan gigi yang

berantakan, serta bekas darah yang tersisa akibat pendarahan pasca kecelakaan,

dengan umur 8 tahun. Sehingga dibutuhkan keterampilan khusus, dalam melakukan

manajemen air way, karena pada pasien anak anatomi dan fisiologi pernafasannya

berbeda, rongga mulut yang kecil, lidah yang besar dan epiglotis yang masih

berbentuk v kecil. Selain itu seoranganestesi harus mampu menentukan keputusan

yang tepat dalam menentukan teknik dan tindakan anestesi yang tepat,serta

mengetahui cara penatalaksanaan menejemen nyeri.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengambil studi kasus “

Asuhan Keperawatan dan Penatalaksanaan Anestesi Umum pada Tn. A usia 65

2

Page 3: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

tahun dengan Fraktur Maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary

Fixation di RSUD kelas B Kabupaten Subang April 2015”

C. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Mampu memahami dan melakukan asuhan keperawatan dan penatalaksanaan

anestesi umum pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch

Ber Intermaxillary Fixation di RSUD kelas B

2. Tujuan Khusus

a) Mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan

pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.

b) Mampu menentukan diagnosa keperawatan Tn. A dengan fraktur maxillaris

dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi

umum.

c) Mampu mengidentifikasi rencana tindakan keperawatan pada Tn. A dengan

fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation

dengan anestesi umum.

d) Mampu mendiskripsikan tindakan dari Asuhan Keperawatan pada Tn. A

dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary

Fixation dengan anestesi umum..

e) Mampu melaksanakan evaluasi tindakan dari Asuhan Keperawatan yang

dilakukan pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch

Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.

f) Mampu mendokumentasikan Asuhan Keperawatan Perioperatif yang

dilakukan pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch

Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.

g) Mampu membuat penatalaksanaan anestesi pada Tn. A dengan fraktur

maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan

anestesi umum.

3

Page 4: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pembaca

Makalah Studi kasus ini di harapkan dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan dan

referensi kepada pembaca dalam menambah pengetahuan terhadap konsep dasar

penyakit dan penatalaksanaan anestesi umum pada Tn. A dangan fraktur

maxillaris yang menjalani pemasangan Arch Ber.

2. Bagi Rumah Sakit

Dengan makalah ini diharapkan dapat menambah referensi bagi RSUD kelas B

Kabupaten Subang sehingga semakin terdepan dalam memberikan pelayanan

yang sesuai standar operasional kepada masyarakat.

E. Metode Penulisan

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu penulis hanya

menggambarkan atau memaparkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa kini.

Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Wawancara

Penulis mengadakan wawancara langsung terhadap pasien, keluarga pasien,

perawat ruangan dan petugas kesehatan yang terlibat dalam kasus ini.

2. Observasi

Penulis melakukan pengumpulan data melalui hasil pengamatan secara

langsung terhadap kondisi pasien.

3. Pemeriksaan Fisik

Penulis melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan metode inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultrasi.

4. Studi Literatur

Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-buku

keperawatan dan buku-buku ilmiah lainnya yang menunjang kasus.

5. Studi Dokumentasi

Penulis melakukan pengumpulan data dengan memvalidasi data yang diperoleh

dari pengkajian dan data dari keluarga.

4

Page 5: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, rumusan masalah,

tujuan penulisan, Manfaat penulisan, metode penulisan, dan

sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Teori tentang Anestesi Umum, Fraktur Maxillaris, dan

pemasangan Arch Ber.

BAB III : Tinjauan kasus asuhan keperawatan perioperatif mulai dari

pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi serta

penatalaksanaan Anestesi Umum pada pasien Tn.A dengan fraktur

maxilla yang akan menjalani operasi pemasangan Arch Ber.

BAB IV : Kesimpulan dan saran.

BAB V : Penutup

5

Page 6: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR ANESTESI UMUM

1. Definisi Anestesi Umum

Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen

anestesi yang ideal terdiri : hipnotik, analgesia, relaksasi otot. (Leksana,Ery.

2007)

2. Jenis Anestesi Umum

Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu:

a. Anestesi Inhalasi

Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama

yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya.

Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut. 

Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar

Concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan

1 atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang

dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95%

pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan

seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan

zat dalam darah dan otak tempat kerja obat. Keterbatasan lain bahwa konsep

MAC hanya membandingkan tingkat anestesi saja dan tidak dapat

memperkirakan efek fisiologis pada sistem organ penting seperti fungsi

kardiovaskular dan ginjal, terutama pada pasien berpenyakit menahun.

Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh :

1) Konsentrasi inspirasi

2) Ventilasi alveolar

3) Koefisien gas / darah

4) Curah jantung atau aliran darah paru

5) Hubungan ventilasi – perfusi

6

Page 7: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru. Sebagian

lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa

metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal. Jenis-jenis obat

anestesi inhalasi yang digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Subang yaitu :

1) N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,

tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia

dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesi

lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian,

tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir

anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi

alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.

Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit. MAC

105,2 vol%.

2) Halotan

Halothan dapat digunakan untuk induksi dan juga untuk laringoskopi

intubasi. Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan

pada nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan

dengan respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,

meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik

anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah

otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus

simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,

depresi miokard dan inhibisi reflex baroreseptor. Pasca pemberian

halotan sering menyebabkan pasien menggigil.

3) Isofluran

Efek Isofluran terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,

sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak

digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan

7

Page 8: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan

kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat

menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat

dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

4) Sevofluran

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan

isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas,

sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan.

Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.

Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada

laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran

cepat dikeluarkan oleh badan.

b. Anestesi Intravena (Anestesi Parenteral)

Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang

perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap

tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi.

Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan

anestesi.

Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-

kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada

gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan

ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan

bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang

memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang

optimum.

Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,

induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis

pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada

beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik

misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total

8

Page 9: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

biasanya menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan

kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air

dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja

pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia,

disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah

dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau

sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh

farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping

(mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan

di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi

lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek

salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.

1) Hipnotik Sedative

a) Barbiturate

Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat

anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja

menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi

(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat

pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan

kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus

vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah

jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi

jantung terhadap katekolamin.

b) Propofol

Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat,

lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek

puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat

dimetabolisme, pemulihan cepat. Suntikan intravena sering

menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat

diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8 kali

9

Page 10: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal.

Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek

sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-amino

butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.

c) Ketamin

Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi

disosiatif yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien

tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien

tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat

baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23%

dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul

aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mekanisme kerja ketamin

berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), reseptor

opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarinik, dan

saluran voltage sensitive ion calcium. Daya larut dalam lemak tinggi

membuat transfer obat ini melewati sawar darah otak

danmenghasilkan anestesi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit

pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu

60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit.

d) Benzodiazepin

Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,

lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk

medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk

mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam

anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok

obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan

amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi

tidak berefek analgesic. Adapun golongan benzodiazepine yang

digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang adalah:

(1) Midazolam

10

Page 11: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan

anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya

cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan

sedasi dan induksi tidur. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-

30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma

maksimum dicapai dalam 30 menit. Kontraindikasi pemberian

pada pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi paru-paru akut,

depresi pernafasan, dan kehamilan 3 bulan pertama. Midazolam

menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari

diazepam. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan

metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre

medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi

0,1-0,4 mg/kgbb IV.

2) Muscle Relaxant

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia

umum inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan

pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan

depresi jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya.

Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan

sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot.

Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.

Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion

kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf.

Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-

kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi

depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan

ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa

oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi

asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.

11

Page 12: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Jenis obat golongan muscle relaxant yang digunakan di Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Subang adalah :

a) Atracurium

Merupakan benzilisoquinolinium bisquaternary OBNM non

depolarizing. Obat ini berkompetensi untuk reseptor kolinergik pada

motor end plate. Dengan OOA 3-5 menit dan DOA 30-45 menit serta

dosis 0,3-0,6 mg/KgBB.

b) Penawar Pelumpuh Otot

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada

sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja,

sehingga asetilkolin dapat bekerja. Asetilkolinesterase yang paling

sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan

edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-

oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4

mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg.

penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan

hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas

usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai

oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau

glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

Pemilihan Muscle Relaxant berdasarkan kasus:

a) Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium

b) Gangguan faal hati : atrakurium

c) Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10

atrakurium

d) Bedah singkat : atrakurium, rokuronium,

mivakuronium

e) Kasus obstetric : semua dapat digunakan, kecuali

gallamin

Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

12

Page 13: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

a) Cegukan (hiccup).

b) Dinding perut kaku.

c) Ada tahanan pada inflasi paru.

3) Analgetik Narkotik (OPIOID)

Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan

dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika

yang sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat

pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.

- Klasifikasi Opioid

Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat

(morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain

menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik

(heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,

fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

a) Morfin

Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid

lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).

Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan

stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan

emosi, hipoventilasi alveolar stimulasi termasuk stimulasi

parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal,

konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Terhadap Sistem

Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat

bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik

pada dewasa sehat normal tidur terlentang hampir tidak

mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan

hipotensi ortostatik. Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati,

karena morfin dapat melepaskan histamine, sehingga menyababkan

konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-kontrakan pada kasus

13

Page 14: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

asma dan bronchitis kronis. Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal,

morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat

retensio urin.

b) Petidin

Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya

sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan

efek samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin

sebagai berikut:

(1) Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin

yang lebih larut dalam air.

(2) Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan

normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.

Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat

konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah

berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan

dalam urin.

(3) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca

bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis

20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.

(4) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih

kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5

mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.

Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan

untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2

mg/kg BB.

c) Fentanil

Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan

100xmorfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan

menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan

intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama

14

Page 15: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama

melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan

hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek

depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3

ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena

itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk

pasca bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi

anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi

bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang

sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.

d) Tramadol

Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah

pada reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% dibanding

morfin. Tramadol dapat diberikan  dengan dosis maksimal 400 mg

per hari.

e) Antagonis

(1) Nalokson

Nalokson ialah antagonis murni opioid dan bekerja oada reseptor

mu, delta, kappa, dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien

setelah mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat,

kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan darah kalu

sebelumnya rendah akan meningkat. Nalokson biasanya

digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan

dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang

tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari

0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis

intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-

infus dosis 3-10ug/kgBB.

Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid

berikan nalokson 10 ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit.

15

Page 16: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml,

sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.

3. Persiapan dan Penilaian Praanestesi

a. Persiapan  Tindakan Anestesi

Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan

wawancara (anamnesis) seperti menanyakan apakah pernah mendapat

anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas,

dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan

gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.

Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan

penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit,

masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan

dengan status anestesi menurut The American Society Of

Anesthesiologist(ASA). Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan

darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ),

misalnya ASA IE atau IIE.

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi

lambung karena regurgutasi  atau muntah. Pada pembedahan elektif,

pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam,

bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat

dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu

menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium

trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus

dalam keadaan kosong sehingga perlu dipasang kateter. Sebelum pasien

masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah

memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).

16

Page 17: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

b. Penilaian Pra-Bedah

Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang

identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis

bagian tubuh yang akan dioperasi.

1) Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang

perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri

otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat

merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan merokok

sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang

mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk

mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk

mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus

dicurigai akan adanya penyakit hepar.

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative

besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu

tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi

semua sistem organ tubuh pasien.

3) Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,

misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan

masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada

anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.

4) Kebugaran untuk anestesi

17

Page 18: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan

agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito

penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

5) Klasifikasi Status Fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang ialah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko

anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari

dampak samping pembedahan.

ASA I Pasien dalam keadaan normal dan sehat, kecuali

penyakit bedahnya

ASA II Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang

baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.

Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang

terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan

lekositosis dan febris.

ASA III Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat

yang diakibatkan karena berbagai penyebab.

Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan

septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia

miokardium.

ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara

langsung mengancam kehidupannya. Contohnya :

Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

ASA V Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun

dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan

perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena

ruptur hepatik.

Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E.

18

Page 19: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Tujuan dari penggolongan pasien berdasarkan ASA adalah untuk

menentukan status fisik pasien tersebut dalam menjalani operasi

sehingga anestetis dapat menentukan teknik, obat, dan persiapan yang

diperlukan serta menentukan penyulit yang mungkin akan timbul pada

saat intra dan post operatif yang mana dapat ditanggulangi atau dicegah.

6) Masukan Oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien-pasien yang mengalami anesthesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan oral

(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia. Pada pasien

dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4

jam.  Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat

air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi

anesthesia.

c. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari

anesthesia diantaranya:

1) Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2) Memperlancar induksi anesthesia.

3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat

membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda

kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum

induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan

opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular.

19

Page 20: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis

asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis

reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine

(zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan

premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau

ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).

4. Intra Operatif dan Monitoring

a. Induksi

Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke

stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan untuk

membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan

dimulainya anesthesia dan pembedahan.

Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi

anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit

sebelum induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.

Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS

(Scope, Tubes, Airway, Tape, Introducer, Connector dan Suction).

Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute  :

1) Induksi Intravena 

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi

bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi

anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan

selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang

kooperatif.

2) Induksi Inhalasi

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau

sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum

terpasang jalur vena atau dewasa yang takut disuntik.

20

Page 21: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan

O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran

N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %

sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi

halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi

sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih

disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun langsung diberikan

dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan

konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran

jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi

lama.

3) Induksi Intramuskular

Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)

yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB

dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

4) Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau

midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu

mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

b. Teknik Anestesi Umum

1) Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

a) Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

b) Keadaan umum baik (ASA I – II)

c) Lambung harus kosong

2) Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=

endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi

lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

21

Page 22: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

3) Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien

dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x

permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa

nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.

a) Teknik sama dengan diatas

b) Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

c) Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

c. Rumatan Anestesi

Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan

cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika

konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya

jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang

dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu

diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman

anestesi.

Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara

intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan

campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada

trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia

cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan

relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur

dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh

otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi

pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama

dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan

ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan

udara+O2 atau N20+O2.

22

Page 23: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1

ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol%

atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,

dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai  :

1) Peningkatan tekanan darah.

2) Peningkatan frekuensi denyut jantung.

3) Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.

4) Terdapat pergerakan.

5) Berkeringat.

d Monitoring Intraoperatif

1) Kardiovaskuler

Fungsi jantung dapat diperkirakan dari hasil observasi nadi, bunyi

jantung melalui stetoskop precordium atau oesofagus, pemeiksaan EKG,

tekanan darah arteri, tekanan darah vena pusat, produksi urine dan

pengukuran tekanan darah langsung (intra arteri).

Melakukan monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dilakukan dengan

mudah misalnya dengan meraba A. temporalis, A. radialis, A. carotis

atau dengan mendengar langsung melalui stetoskop precordium.

Pemeriksaan EKG selama anestesi dilakukan untuk memonitoring

perubahan frekuensi dan ritme jantung, serta system konduksi jantung.

Perlu atau tidaknya pemeriksaan ini tergantung dari kelainan jantung

pasien dan sarana yang tersedia. Indikasi monitoring EKG selama

anestesi adalah :

a) Mendiagnosa adanya henti jantung

b) Mencari adanya aritmia

c) Diagnosis iskemik miokard

d) Dapat memberikan gambaran perubahan elektrolit seperti

hypokalemia dan sebagainya.

e) Observasi fungsi alat pacu jantung

23

Page 24: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Tekanan darah dihitung dengan satuan mmHg. Tekanan tertinggi disebut

sistole dan terendah diastole. MAP adalah tekanan darah arteri rata-rata

dengan nilai normal 65-110. Rumus MAP :

MAP = Tekanan sitole + 2 Tekanan Diastole

3

Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan tekanan darah :

a) Ventilasi : ventilasi kendali sedikit menurunkan tekanan darah.

b) Posisi : pada posisi berdiri tekanan darah di lengan lebih rendah dari

pada di kaki.

c) Usia : bayi mempunyai tekanan darah sistolik 60 mmHg, kemudian

makin meningkat dengan bertambahnya usia.

Produksi urin dalam anestesi dipengaruhi oleh zat anestetik, tekanan

darah, volume darah, hidrasi pasien dan faal ginjal sendiri. Jumlah urin

normal 1 mm/kg BB/ jam. Kalau urine di tamping dengan kateter, harus

dijaga sterilitas agar tidak terjadi infeksi, karena kateter sering dipasang

sampai beberapa hari. Selama anestesi dan pembedahan kita harus

mengawasi warna perdarahan, apakah merah tua, atau merah muda.

Selain itu jumlah perdarahn harus dihitung, baik dari botol penghisap

ataupun dari kasa operasi yang mengandung darah dan dari kain duk dan

jas bedah. Perhitungan jumlah perdarahan dari kasa yang di timbang di

perkirakan 1 gr darah dianggap sama dengan 1 ml darah, dengan

kesalahan 25%.

2) Respirasi

Pernafasan dinilai dari jenis pernafasan , apakah torakal atau abdominal,

apakah ada nafas paradoksial, apakah ada retraksi intercostal atau

pernafasan seperi spasme laring, ronki dan sebagainya. Perlu juga dinilai

freekuensi pernafasannya.

3) Suhu

Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu. Obat anestesi mendepresi

pusat pengaturan suhu (susunan saraf pusat), sehinnga mudah turun naik

dengan perubahan suhu lingkungan dan teknik anestesi yang di berikan.

24

Page 25: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Monitoring suhu jarang dilakukan kecuali pada bayi atau anak kecil,

pasien yang demam, teknik anestesi dengan hipotermi buatan. Dalam

keadaan anestesi, banyak hal yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh

antara lain :

a) Jenis sirkuit anestesi (sirkuit tertutup maka produksi panas

meningkat).

b) Tebal dan lebarnya kain penutup operasi.

c) Intensitas lampu operasi.

d) Suhu kamar operasi.

5. Pengakhiran Anestesi dan Monitoring Post Operatif

a. Pengakhiran Anestesia

1) Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi

berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah

kulit dijahit).

2) FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.

3) Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.

4) Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan

telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).

Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik dimasukkan ke

ruangan pasca-bedah.

b. Monitoring Post Operatif

Hampir sama dengan monitoring intra operasi, tetapi di dalam post op

terdapat penilaian pemulihan anestesi yang disebut Alderet Score.

TANDA KRITERIA NILAI

AKTIFITAS - Dapat menggerakkan ke 4

anggota badan sendiri/dengan

- Dapat menggerakkan ke 2

2

25

Page 26: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

anggota badan sendiri /dengan

perintah

- Tidak dapat menggerakkan

anggota badan

1

0

RESPIRASI - Dapat napas dalam &batuk bebas

- Dispnoe /napas terbatas

- Apnoe

2

1

0

SIRCULASI - TD ± 20% dari pre anestesi

- TD ± 20% -50 % dari pre anestesi

- TD ± 50% dari pre anestesi

2

1

0

KESADARAN - Sadar penuh

- Dapat di bangunkan bila di

panggil

- Tidak bereaksi

2

1

0

SATURASI

O2

- >90% dengan udara bebas

- Dengan O2 untuk menjaga SpO2

>90%

- SpO2 <90% dengan tambahan O2

2

1

0

TOTAL 10

Secara umum sama dengan moni

Keterangan : Jika nilai > 8 tanpa ada nilai 0 pasien boleh pindah keruangan,

jika nilai <7 klien pindah ke ICU

26

Page 27: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Indikasi

1. Operasi durasi lama2. Operasi daerah mulut dan wajah3. Operasi bagian tubuh umbilicas ke atas4. Operasi pada pasien puasa kurang5. Operasi yang membutuhkan relaxasasi otot

Menghambat neurotransmitter ScH ekstasi

Penurunan kesadaran

Ganguan pada aliran ion kalium dan klorida

Distribusi dalam pembuluh darah

Menempati resptor AcH

Non-depol tidak menempati reseptor tapi memblokade lansung din euro junction sehingga menghalangi ikatan AcH + reseptorSehingga tidak ada

ikatan antara AcH dengan resptornya

Obat masuk

Mendepresi sistem pengaktivasi retikuler di batang otak

Obat masuk

Berkaitan dengan resptor spesifik disepanjang SSP dengan jaringan lain

Depolarizing Non-depolarizing

Obat masuk

Obat masuk

Distribusi di pembuluh darah

TRIAS ANESTESI

Analgetik(penghambat nyeri)

Muscale Relaxan( relaksasi otot lurik )

Hipnotik(penurunan kesadaran)

6. Pathway Anestesi Umum

27

TIVA COMBAINT VIMA

Gangguan transmisi dari impuls nyeri

ANASTESI UMUM

Tidak ada gerak motorik

Tanda-tanda :

respon nyeri hilang

Tanda-tanda :

Tidak ada fasikulasi otot,tidak gerakan dada

Tidak ada pergerakan motorik karna tidak ada ikatan AcH+reseptor

Tanda-tanda :

Fasikulasi otot

Page 28: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

B. KONSEP DASAR FRAKTUR MAXILLA

1. Pengertian

28

Page 29: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh

(Grace and Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi

menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan

sepertiga bawah wajah . Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang

frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,

lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke

dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian

sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984).

2. Dasar Anatomi

Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding

penopang (buttress)vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang

lebih tebal yang menyokong unitfungsional wajah (otot, mata, oklusi dental,

airway) dalam relasi yang optimal dan menentukanbentuk wajah dengan cara

memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttressesterdiri dari

sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic

buttress,maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress,

pterygomaxillary buttress,dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.

Horizontal buttresses juga terdiri darisepasang maksilari tranversal atas (+ lantai

orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum),mandibular transversal atas dan

mandibular tranversal bawah.

Gambar 2: Kerangka wajah

29

Page 30: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang

berkontribusiterhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung,

dan palatum. Maksilaberlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah

bagi sinus maksila sehinggamembentuk bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral

cavity, dan sebagian besar palatum, nasalcavity, serta apertura piriformis. Maksila

terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal,zygomatic, palatina, adan alveolar.

Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Padamasa anak-anak,

ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar

danmenembus sebagian besar struktur sentral pada wajah.

3. Klasifikasi Fraktur Maxilla

a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.

b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang

palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam

pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan

juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar

sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di

sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena

fraktur.Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :

1) Le Fort I

Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan gigi pada rahang

atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah. Ketidaksetabilan

terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan gigi incisivus.

Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan

bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan

yang mungkin :

a) Prosesus arteroralis

b) Bagian dari sinus maksilaris

c) Palatum durum

30

Page 31: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

d) Bagian bawah lamina pterigoid

Gambar 3. Le fort 1

2) Le Fort II

Pada tipe dua terdapat  ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur

melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita,

pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris

juga kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga

fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena

sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating

maxilla (maksila yang melayang) ”

Gambar 4. Le Fort 2

3) Le Fort III

31

Page 32: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial komplit. Tipe fraktur

ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi atau dua sisi. Garis

Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction

melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita,

sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga

sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan

secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin

terjadi pada fraktur ini adalah keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid

dan lamina cribiformis.

Gambar 5. Fraktur Le Fort III

a) Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita,

rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat

depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat

meluas ke daerah wajah yang lain.

b) Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)

Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat

bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.

Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak

langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada

gigi insisif sentral  maksila karena berhubungan dengan posisinya yang

terekspos.

D. Etiologi

32

Page 33: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

1. Terjadinya fraktur pada daerah 1/3 tengah wajah adalah karena yang hebat,

tetapi kebanyakan oleh oleh karena kecelakaan lalu lintas.

2. Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau

penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau

diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya

bagian tulang (Fonseca, 2005).

3. Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor,

terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya.4 Untuk fraktur

maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan fraktur midface

lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey pada tahun

1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1. Beberapa studi

terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit-rumah sakit di beberapa

negara menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan

fraktur mandibula.2 Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1,

bahwa diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur

maksila.

E. Pathway

33

Page 34: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

G. Diagnosis dan Gambaran Klinis

34

Page 35: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.

Namun, kurangdari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila.

Gangguan oklusal biasanyabersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya

merupakan satu-satunya temuan fisik.Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III

dimana disrupsi periosteum tidak cukup untukmenimbulkan mobilitas maksila.

Anamnesis jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan

sebelum pasientiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme

cedera memungkinkan dokteruntuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera

primer. Waktu diantara cedera ataupenemuan korban dan inisiasi treatment

merupakan informasi yang amat berharga yangmempengaruhi resusitasi pasien.

Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :

1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau

tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas

2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan

rahangnya atau pada saat dilakukan

3. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan

4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah

fraktur.

5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung

tulang yang fraktur bila rahang digerakkan

6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

7. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

8. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.

9. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula

dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena

gangguan fungsi pengunyahan.

10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah

nervus alveolaris.

11. Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,

danhematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan

35

Page 36: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

belakangmengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.

12. Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada

suturazygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.

13. Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara

memegang dengankuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan

keempat jari lainnya, sedangkan tanganyang satunya menjaga agar kepala

pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akanterdengar suara

krepitasi jika terjadi fraktur.

14. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat

mengalamikebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus)

yang dapat dilihat padakanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial

tengah atau anterior biasanya terjadipada cedera yang parah. Hal tersebut dapat

dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.

15. Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan

dugaan kuatke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama

pola oklusal gigi sebelumnyaakan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi

ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masihdipertahankan, namun jika maksila

berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang danbawah akan terjadi

maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.

Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang tidak

menguntungkan karena dapat menyebabkan:

1. Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.

2. Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.

3. Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan

rhinorrhea

4. Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome

5. Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal

syndrome.

6. Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.

7. Duktus nasolakrimalis mungkin cedera

36

Page 37: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

G. Jenis Pemeriksaan

Pemeriksaan Radiologi,pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara

klinis,pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Pemeriksaan radiologi dapatberupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan

untuk pemeriksaan diagnostik. Teknikyang dipakai pada foto polos diantaranya;

waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.

Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan

kita dapat darifoto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus

maksila, pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah

nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihatfraktur pada lempeng pterigoid. Diantara

pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untukmenilai fraktur maksila adalah

dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapatdigunakan untuk

mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinusmaksila

bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.

Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort

I,II, danIII bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan

lateral di superior maupuninferior (perpotongan antara panah hitam dan putih).

Perlu dilakukan foto CT scan aksial untukmengkonfirmasi diagnosis dengan

mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttresspterigomaksilari.

Gambar 6. CT Scan Koronal

Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat

klasifikasi inicukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam

37

Page 38: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

mengklasifikasikan frakturmaksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.

Pertama, selalu memperhatikan prosesuspterigoid terutama pada foto CT scan

potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampirselalu mengindikasikan

bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur LeFort.

Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.

Kedua,untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur

tulang yang unikuntuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa

untuk Le Fort I, rima orbitainferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le

Fort III. Jika salah satu dari tulang inimasih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur

pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapatdieksklusi. Ke-tiga, jika salah

satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen uniktipe tersebut, maka

selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-

frakturkomponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.

Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le

Fort.Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami

fraktur, struktur initetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II,

rima orbita inferior (tanda panah)yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I

dan III. Pada Le Fort III, yang mengalamifraktur adalah zygomatic arch (tanda

panah) namun utuh pada Le Fort I dan II.

Gambar 7. Komponen Unik Masing-Masing Tipe Le Fort

C. KONSEP DASAR INTERMAXILARI FIXATION

38

Page 39: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Fiksasi intermaksilar umumnya menggunakan arch-bar yang dicekatkan pada

gigi geligi dengan bantuan kawat baja tahan karat.Akan tetapi, baik pasien maupun

operator beresiko terinfeksi akibat tertusuk kawat yaitu pada sarung tangan dan jari

operator.Banyaknya kawatyang diperlukan, membutuhkan banyakwaktu untuk

pemasangan, demikian pulauntuk pengangkatannya kemudian.Kawat-kawattersebut

juga menimbulkan rasatidak nyaman dan kesulitan memeliharakebersihan gigi dan

mulut serta menggangguestetika (Gambar 2).

( Sumber : Majalah Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.2 )

Pada tahun 1997, Karlis, menemukan inovasi desain baru system fiksasi

intermaksilar menggunakan screw kecil berdiameter 2 mm, panjang 8-12 mm, berupa

titanium-alloy bone screw. Pada kepala screw terdapat lubang, yang memungkinkan

akan menstabilkan fragmen fraktur dengancekat. Gambar 3 memperlihatkan kawat

cekat sebagaimana pada penggunaan arch-bardalam keadaan gigi geligi oklusi.Screw

39

Page 40: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

digunakan hanya untuk fiksasi intermaksilaris pada perawatan kasus frakturmandibula

tertentu saja,yaitu:

1) Fraktursederhana, tanpa pergeseran atau hanyamaloklusi ringan yang hanya

memerlukantraksi ringan.

2) Fraktur belum mengalamipenyatuan tulang atau masih fibrous union.

3) Lokasi fraktur terutama mandibular bagian yang bergigi atau disebut

toothbearingarea yaitu symphisis, parasymphisisdan corpus .

4) Penderita masihbergigi banyak atau lengkap. Bila pasientidak bergigi atau hanya

bergigi sedikit,pasien harus memiliki protesis, bila tidak,harus dibuatkan protesis

atau splint terlebihdahulu.

Kontra indikasi pemasangan screwadalah:

a) Osteoporosis pada mandibular dan maksila, karena diperlukan tulangyang

kompak untuk penjangkaran screw.

b) Fraktur berkeping-keping atau frakturdengan fragmen displaced yang

memerlukantraksi yang cukup besar.

c) Pasien allergimetal, karena screw titanium dipasang padarahang seperti implant.

d) Oklusi gigi asliataupun gigi palsu yang tidak stabil. Fiksasirahang harus dalam

keadaan gigi beroklusinormal.

e) Anak dengan gigi geligi susu/campuran, karena didalam rahang terdapatbenih gigi

permanen yang dapat tercederaioleh pemasangan screw. Bahan Titanium di dalam

tubuhsecara spontan membentuk lapisan tipisoksida setebal 10μm yang

melindunginyadari keasaman tubuh sehingga titaniummerupakan logam yang

paling tahan lama,tahan korosi dan tidak menimbulkan efekgalvanik.Titanium

aman ditanam dalamtulang, sebagai the preffered metal for boneappliances dan

telah digunakan secara luasseperti pada plate and screw osteosynthesisdan implan

gigi. Titanium merupakanbahan paling biocompatible, dan tidakditolak tubuh.

Berbeda dengan stainlesssteel (Fe-Cr-Ni alloy), yang merupakancorpus alienum,

dan memerlukan operasilagi untuk pengangkatannya. Titanium(CpTi) adalah

99,99% titanium murni yangbebas korosi.Gejala seperti nyeri, infeksi,

logamlonggar/berubah letak sangat jarang terjadisehingga dinyatakan sepanjang

asimtomatikatau tidak timbul keluhan, tidak diperlukanpengangkatan alat

40

Page 41: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

tersebut.Pemasangan screw yang tidak memerlukanpengeboran (drill-free/self-

tapping), akanmenghemat waktu dan menghilangkantahapan pengeboran dalam

pemasangannya.Keuntungan lain adalah terhindarnya cederapada nervus, gigi,

benih gigi atau nekrosistulang akibat putaran bor. Demikian pulaterhindar dari

kesalahan pada pengeboranmisalnya pemilihan diameter bor yang terlalu besar.

1. Bahan yang Diperlukan:

Screw titanium diameter 2 mm, panjang 8-12 mm, paling sedikit 2-4 buah.

Jumlah dan panjang screw disesuaikan dengan kebutuhan yang penjangkaran

dan stabilisasi screw yang maksimal. Selain itu diperlukan bor tulang diameter

1,5 mm, untuk membuat pilot hole, bila korteks sangat kompak.6-8 Diperlukan

pula beberapa buah kawat yang lunak diameter 0.5 mm panjang 10 cm yang

jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.

2. Prosedur Pemasangan Screw dan KawatFiksasi Intermaksilar.

Pada lokasi screw yang akan dipasang. Lokasi pemasangan screw

diperhitungkan pada daerah yang akan menghasilkan efek stabilisasi maksimal.

Secara anatomis, pemasangan harus dilakukan pada strukturtulang yang sehat

dan kompak.Harus dihindari struktur vital seperti apeks gigi, benih gigi, dan

kanalis mandibula karena didalamnya berjalan nervus, arteri dan vena alveolaris

inferior, serta mukosa nasal, dan sinus maksilaris. Pada maksila screw

ditempatkan di pyriform rim, di sebelah superior dan di antara apeks gigi. Pada

mandibula screw ditempatkan di regio symphisis antara foramen mentale kiri-

kanan, atau region corpus, di area inferior apeks gigi geligi dan kanalis

mandibula. Pada lokasi yang telah ditentukan, setelah diolesi larutan betadin

10%, dibuat insisi kurang lebih 2 mm pada mukosa mulut dan periosteum.Bila

diperlukan, dibuat lubangdengan bor pada korteks tulang tersebut.Pengeboran

dilakukan dalam kecepatan rendah sambil diteteskan larutan saline/ aquadest

steril untuk menghindari nekrosis tulang akibat panas. Selanjutnya

screwdipasangkan menggunakan screw driver.Permukaan screw titanium yang

kasar,memudahkannya berintegrasi maksimaldengan tulang (osseo-integrated).

Bagiankepala screw yang terletak dipermukaanmukosa, licin berkilat sehingga

41

Page 42: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

debris tidakmudah melekat. Setelah fragmen frakturdi reposisi, yang ditandai

dengan oklusinormal gigi atas dan bawah, selanjutnyaposisi tersebut

dipertahankan dengan kawatmelalui lubang yang terdapat pada screwdi

mandibula dihubungkan vertikal denganscrew pada maksila. Kemudian

keduanyadipuntir menggunakan wire-twister sampaiBila diperlukan traksi maka

digunakanrubber ligature (elastik) yang dilingkarkanpada kepala screw

lawannya.Sebagaimana pada penggunaan archbar.Screwdipertahankan sampai

terjadi konsolidasipenyatuan tulang yang sempurna secaraklinis. Selama 4

sampai 8 minggu, dilakukanpemeriksaan berkala seminggu sekali untukmenilai

oklusi, pengencangan kawat yanglonggar, atau penggantian rubber

ligaturedengan kawat.Setelah kurun waktu tersebut, bilaoklusi tetap baik dan

stabil, dilakukanpengangkatan screw. Luka pada mukosaakan menutup sendiri.

Pasien dimotivasiuntuk berlatih membuka lebar mulut danmembersihkan rongga

mulut denganseksama.

BAB III

42

Page 43: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA Tn.A

DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKOLUSKELETAL AKIBAT FRAKTUR

MAKSILA, AKAN DILAKUKAN TINDAKAN PEMASANGAN ARCH BER DI

IBS RUMAH SAKIT UMUM KELAS B KAB. SUBANG

I. PENGKAJIAN

Pre Operasi

A. Pengumpulan Data

1. Identitas Klien

Nama : Tn. A

Umur : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Limaratus 03/04 Sindangsari

Ruangan : Ruang Dahlia

DX. Medis : Fraktur Maxillaris

No. Reg : 15264506

Tanggal Masuk : 01 Agustus 2015 Jam 14.00 WIB

Tanggal Pengkajian : 01 Agustus 2015 Jam 14.30 WIB

Tanggal Operasi : 02 Agustus 2015 Jam 08.00 WIB

43

Page 44: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Jenis Pembedahan : Pemasangan Arch Ber

Dokter Bedah : dr. Y. Sp.BM

Dokter Anestesi : dr. A. Sp.An, KIC

Asisten Bedah : Br. M, Br. N

Asisten Anestesi : Sr. E

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ny. D

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Hubungan Keluarga : Istri Klien

Alamat : Limaratus 03/04 Sindangsari

B. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Nyeri pada mulut bagian atas (Maxillaris).

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien datang ke IGD tanggal 01 Agustus 2015 pukul 14.00 WIB karena

mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak mobil saat berjalan kaki

hendak menyebrang jalan. Saat kejadian Klien sadar, tidak muntah dan

terdapat kelainan berupa gusi depan sebelah kanan menjolor kebelakang

dan terlihat mau terlepas, luka lecet dibagian pipi sebelah kanan disertai

bengkak. Klien terlihat lemas dan pucat. Di IGD klien dipasang infus

pada tangan kanan dengan cairan RL, dan dipasang NGT. Setelah

dilakukan pemeriksaan Foto Rotgen dan Lab klien dinyatakan

44

Page 45: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

mengalami Fraktur Maxilla dan disiapkan untuk tindakan Arch Ber

Intermaxillaris Fixation. Setelah itu pada tanggal 02 Agustus 2015 klien

di kirim ke Instalasi Bedah Sentral jam 08 WIB untuk segera dilakukan

tindakan operasi.

c. Riwayat Kesehatan Pada Saat di kaji

Klien mengatakan nyeri pada bagian mulut atas. Nyeri dirasakan seperti

berdenyut-denyut. Nyeri dirasakan di mulut bagian atas. Skala nyeri

yang dirasakan klien 7 dari (0-10). Nyeri dirasakan pada saat bicara dan

menggerakan rongga mulut.

d. Riwayat Kesehatan Terdahulu

Keluarga klien mengatakan pasien belum pernah dioperasi dan

dianestesi sebelumnya dan klien tidak mempunyai riwayat alergi,

riwayat asma,tetapi pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak umur 40

tahun.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan kluarga klien belum pernah mengalami hal yang

sama yang terjadi pada klien. Tapi ayah klien memiliki riwayat

hipertensi.

f. Pola aktivitas sehari-hari

No Jenis Aktivitas Dirumah Di Rumah Sakit

1. Nutrisi

a. Makan

Frekuensi

Jenis

Porsi

Keluahan

Pantangan

b. Minum

Frekuensi

Jumlah

3x /hari

Nasi + sayur + lauk

1 porsi / piring

Tidak ada

Tidak ada

7-8 gelas / hari

1500 ml / hari

(Puasa)

Terpasang NGT dan IV

line

RL dan D5%

500 ml dan 500 ml/hr

(Puasa)

Terpasang NGT dan IV

45

Page 46: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Jenis

Keluhan

Air putih,teh manis

Tidak ada

Line

RL 500 ml dan D5%

500 ml

2. Eliminasi

a. BAB

Frekuensi

Konsistensi

Warna

Keluhan

b. BAK

Frekuensi

Jumlah

Warna

Keluhan

1 x /hari

Lembek

Kekuning-kuningan

Tidak ada

4-5 x / hari

1200-1500 ml

Kuning jernih

Tidak ada

1 x / hari

Lembek

Kekuning-kuningan

Tidak ada

Dipasang Kateter

1000-1500 ml

Kuning keruh

Tidak ada

3. Istirahat Tidur

Siang

Malam

Keluhan

2 Jam

6-7 Jam

Tidak ada

2-3 Jam

6-7 Jam

Tidak ada

4. Personal Hygiene

Mandi

Gosok Gigi

Keramas

Gunting

Kuku

2 x / hari

2 x / hari

3 hari sekali

1 x seminggu

1 x hari

1 x hari

2 hari ini dirawat 1 x

keramas

Belum gunting kuku

Karena sehari sebelum

masuk RS klien sudah

menggunting kukunya.

5. Aktivitas Aktivitas selama

dirumah dilakukan

klien secara mandiri

Aktivitas sedikit masih

dapat dilakukan sendiri

tetapi lebih banyak

46

Page 47: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

dibantu oleh keluarga

C. Pemeriksaan Fisik Singkat Prabedah

Keadaan Umum : Cukup

GCS : E : 4 M : 6 V :5, Compos Mentis

Tanda – Tanda Vital :

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nadi : 65 x/menit

Suhu : 37 0C

Respirasi : 20 x/menit

BB : 60 kg

Tinggi Badan : 170 cm

Status Malampati : 2

ASA : 3

Leo port : 3

Pemeriksaan fisik yang sempat dilakukan :

Pengkajian Fisik Persistem

a. Sistem Pengindraan

Mata (Penglihatan)

Bentuk mata bulat ( simetris ) , sclera putih , konjungtiva anemis,

pupil isokor

Hidung (penciuman)

Warna sawo matang ,bentuk simetris, secret (-), nyeri tekan

(+),fungsi penciuman masih berfungsi dengan baik dan dpat

membedakan maca-macam bau.

Telinga (Pendengaran)

Bentuk dan ukuran simetris,fungsi pendengaran baik dan fapat

membedakan suara.

Lidah (Pengecapan)

47

Page 48: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Bentuk dan ukuran lidah smetris,fungsi pengecapan berfungsi dengan

baik dan dapat membedakan macam-macam rasa ( manis,asin,asam

dan pahit )

b. Sistem Pernafasan

Hidung kurang simetris, Ada pengeluaran cairan darah dari

hidung,frekuensi nafas 20 x/mnt,ronchi (-),wheezing (-).

c. Sistem Cardiovaskuler

Bunyi jantung: S1 dan S2 terdengar, murmur(-), dan gallop(-)

TD 140/90 mmHg; N: 65 x/menit.

Capillary refill < 3 detik

Mukosa bibir tidak tampak sianosis, dan kulit pucat

Bunyi nafas vesikuler +/+, mengi -/-, stridor -/-.

d. Sistem Persarafan.

Tingkat kesadaran klien : Compos Mentis

Nilai GCS 15 ( E:5,M:6,V:5 )

N I = Nervus Olfactorius

Klien dapat membedakan bau

N II = Nervus Optikus

Klien dapat melihat dengan jelas

N III = Nervus Occulomotorius

Klien sulit dapat bergerak kesegala arah

N IV = Nervus Trochealis

Klien dapat menggerakan mata ke atas dan ke bawah

N V = Nervus Trigeminus

Klien tidak dapat menguyah dengan baik.

N VI = Nervus Abdusen

Bola mata klien dapat bergerak kearah samping

N VII = Nervus Fasialis

Raut wajah klien tidak simetris

N VIII = Nervus Auditorius

Klien dapat mendengarkan suara denting jam

48

Page 49: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

N IX = Nervus Glossopharingeus

Klien dapat merasakan sakit saat menelan .

N X = Nervus Vagus

Klien dapat menelan dengan baik meski nyeri

N XI = Nervus Asesorius

Klien dapat mengangkat bahu meskipun berat.

N XII = Nervus Hipoglossus

Klien susah menggerakkan lidah kesegala arah.

e. Sistem Pencernaan

Lesi pada gigi (+), Bentuk gigi tidak simetris , pembengkakan pada

daerah mulut (+),bentuk abdomen datar,dintensi abdomen (-),nyeri tekan

di perut kanan atas,tidak terjadi konstipasi,bising usus 8x/menit.

f. Sistem Muskoloskleletal.

Postur tubuh normal, ada pembekakan lebam di tubuh, sedangkan sendi

pada ekstremitas atas dan bawah tidak terjadi krepitasi,tidak terjadi

kelemahan otot lengan atas dan paha .

4 4

4 4

g. Sistem Urogenital

Klien terpasang kateter, jumlah urine 1000 ml/hari,warna urine kuning

keruh,bau khas urine,nyeri tekan daerah vesika urinaria (-),teraba massa

(-),

h. Sistem Reproduksi

Pembengkakan tidak ada,nyeri tekan (-), benjolan (-).

i. Sistem Integumen.

Kulit : Turgor kulit baik,kebersihan kurang,warna kulit sawo matang.

Kuku : keadaan kuku kotor, capirali refill time > 3 detik

49

Page 50: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Rambut : Distribusi rambut merata,rambut berwarna hitam dan

sedikit ada yang memutih ,kebersihan rambut baik .

j. Sistem Endokrin

Tidak terdapat benjolan dikelenjar tiroid.

D. Riwayat Psikologi.

a. Orang terdekat dengan klien adalah suami dan anak.

b. Interaksi dengan keluarga.

Pola Komunikasi : klien dapat berkomunikasi dengan baik

Pengambilan keputusan : keputusan klien dipertimbangkan kembali

oleh suami dan anak klien.

Kegiatan kemasyarakataan : Klien mengatakan semenjak klien sakit

kerabat dan tetangga klien sering mengunjunginya.

Dampak penyakit klien terhadap keluarga : Keluarga menjadi

khawatir keadaan klien saat ini.

Persepsi klien terhadap penyakinya.

a) Hal yang dipikirkan klien saat ini : klien mengatakan ingin

cepat sembuh dan pulang kerumah serta berkumpul kembali

dengan kelurga yang lain dirumah .

b) Harapan setelah menjalani penetalaksanaan :klien ingin cepat

sembuh dari penyakitnya.

c) Perubahan yang dirasakan setelah sakit : sedikit kesulitan

beraktifitas karena nyeri di perut kuadran atas.

E. Aspek kognitif klien dan keluarga

Klien mengatakan cemas menghadapi operasi .Tampak klien cemas

dan sering bertanya kepada perawat dan keluarga,klien tampak gelisah.

F. Pemeriksaan penunjang

50

Page 51: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Tabel 3.1

Hasil Lab Tanggal 01 agustus 2015

Rongent

Hasil ekspertise tanggal 01 agustus 2015: pasien mengalami fraktur maxilla.

II. ANALISA DATA

51

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal

Hematology

Waktu pendrahan (BT)

Waktu pembekuan (CT)

Hemoglobin

Hematokrit

Jumlah leukosit

Jumlah trombosit

1,30

3,30

9,8

31

8.000

378.000

1-3

1-7

P:12-16 L:14-18

P:35-45 L:4-50

Dewasa : 5.000-

7.000 Bayi:7.000-

17.000

150.000-350.000

Karbohidrat

Glukosa 109 100-110

Faal ginjal

Ureum

Kreatinin

14

0,79

15-45

P:0,5-0,9 L:0,7-

1,20

Faal hati/jantung

Bilirubin total

Bilirubin

Bilirubin

Alkalicstatase

Protein

Albumin

Globulin

0,60

0,20

0,40

145

9,27

5,11

4,16

0,1-1,20

< 0,20

98-279

6,6-8,3

3,5-5,0

Page 52: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1 PRE OPERATIF

DS:

- Klien mengeluh nyeri

pada rahang bagian atas

- Klien mengeluh nyeri

saat bicara.

DO

- Klien nampak meringis

- Terdapat nyeri pada

maxilla.

- Skala nyeri 7 (0-10)

TD : 140/90mmHg

R : 20x/menit

N : 65x/menit

S : 370C

Kecelakaan lalulintas

Trauma maxilla

Hemoragi intrakranial

cedera jaringan otak

TIK meningkat

Merangsang pembentukan zat

kimia : bradikinin, serotinin,

histamin, dan prostaglandin

Dihantarkan ke korteks cerebri

Gangguan rasa nyaman nyeri

Gangguan rasa

nyaman nyeri

2 PRE OPERATIF

DS:

- Klien merasa gugup

mengenai pembedahan

dan tindakan anestesi yg

Kurangnya

pengetahuan/imformasi

mengenai tindakan pembedahan

dan anestesi

Cemas

52

Page 53: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

akan dilakukan

- Klien mengatkan kurang

mengerti tentang operasi

yang akan dilakukan.

- Klien mengatakan

semakin cemas melihat

kondisi lingkungan di

ruang operasi.

DO:

- Klien sering

menanyakan tentang

operasi dan pembiusan,

klien terlihat gelisah,

keringat dingin.

Pada saat di lakukan

pemeriksaan TTV di

premedikasi

TD : 140/80 mmhg

N : 112 x/menit

R : 26 x/menit

S : 35,50C

Klien banyak bertanya kepada

perawat tentang proses

operasi/pembiusan

Stressor meningkat

Cemas

3 INTRA OPERATIF

DS :

-

DO :

- Nadi 109 X/menit

Tindakan pembedahan

luka insisi, puasa, IWL

perdarahan

Resiko terjadinya

kekurangan cairan

tubuh

53

Page 54: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

- tekanan darah 100/69

mmHg

- Cafirally refil time lebih

dari 2 detik

kekurangan volume cairan tubuh

4 POST OPERATIF

DS :

- Klien mengeluh nyeri

pada bagian rahang atas.

DO :

- Klien tampak meringis

- Keadaan Umum lemah

- Skala nyeri 5 dari (0-10)

TD : 130/74 mmhg

N : 86 x/menit

R : 24 x/menit

SPO2 : 99 %

Terputusnya kontinuitas jaringan

akibat proses pembedahan

Dihantarkan kesaraf tepi

Merangsang pembentukan zat

kimia : bradikinin, serotinin,

histamin, dan prostaglandin

Dihantarkan ke korteks cerebri

Nyeri dipersepsikan

Gangguan rasa

nyaman dan nyeri

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma maxilla

2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi mengenai

tindakan pembedahan dan anestesi

54

Page 55: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

3. Resiko terjadi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan tindakan

pembedahan dan pendarahan preoperatif

4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas

jaringan akibat proses pembedahan

55

Page 56: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

IV. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

tabel 3.4 Intervensi

56

Page 57: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

57

No DiagnosaPerencanaan

Tujuan Intervensi Rasional

1. PRE OPERATIF

Gangguan rasa nyaman

nyeri berhubungan

dengan trauma maxilla

DS:

- Klien mengeluh nyeri

pada rahang bagian

atas

- Klien mengeluh nyeri

saat bicara.

DO

- Klien nampak

meringis

- Terdapat nyeri pada

bagian maxilla.

- Skala nyeri 7 (0-10)

TD : 140/90mmHg

R : 20x/menit

N : 65x/menit

S : 370C

Tupan : nyeri

berkurang

Tupen : setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama

2x60 menit nyeri

berkurang dengan

kriteria hasil:

- klien tampak

tenang

- skala nyeri 0

- TTV kembali

normal

1. pantau tingkat nyeri pada wajah,

nyeri terlokalisasi/ menyebar

pada wajah.

2. ajarkan pada klien tentang

alternatif lain untuk mengatasi

dan mengurangi rasa nyerinya.

3. kolaborasi dengan dokter untuk

pemberian obat analgetik

1. untuk mengetahui

tingkat nyeri dari

ekspresi wajah klien

2. Alternatif lain untuk

mengatasi nyeri,

pengaturan posisi, dan

sebagainya

3. dengan pemberian obat

analgetik diharapkan

nyeri klien berkurang

2. Cemas berhubungan

dengan kurangnya

pengetahuan/informasi

mengenai tindakan

Tupan:klien sudah

tidak cemas lagi

Tupen: setelah

dilakukan tindakan

1. Kaji tingkat pengetauan pasien 1. mengetahui tingkat

pengetahuan pasien

terhadap tindakan

operasi yang akan

Page 58: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

V. IMPLEMENTASI

tabel 3.5 implementasi

Tanggal/Jam DP Implementasi Paraf

01 Agustus

2015

Jam 14.30

Jam 14.50

Jam 15.20

1 1. Memantau tingkat nyeri pada wajah, nyeri

terlokalisasi/ menyebar pada wajah.

Hasil:

- klien terlihat tenang

2. Mengajarkan pada klien tentang alternatif lain untuk

mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.

Hasil:

- klien mau mengikuti saran dari perawat dan mulai

mencoba dari hal yang kecil

3. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat

analgetik

hasil:

- klien tampak tenang dan istirahat yang cukup

- skala nyeri 4

58

Page 59: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

01 Agustus

2015

Jam 15.30

Jam 16.00

2 1. Mengkaji tingkat pengetahuan pasien

Hasil:

- klien tidak mengetahui tentang tindakan operasi yang

akan dilakukan

2. Memberikan penkes tentang fraktur maxilla yang

meliputi:

pengertian fraktur maxilla

perawatan fraktur maxilla

tindakan pembedahan pada fraktur maxilla

Hasil:

- klien mengerti dan mulai memahami tenang fraktur

maxilla dan tindakan operasi yang akan dilakukan

02 Agustus

2015

Jam 08.00

31. Memonitoring TTV

Hasil:

- TTV kembali normal: tensi 120/70 mmHg, nadi

90x/menit, SPO2 99%

2. Mengkaji intake output klien

Hasil:

- intake dan output klien normal

3. Mencukupi kebutuhan cairan pasien sesuai dengan

volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien.

Hasil :

- keadaan hemodinamik pasien mulai stabil

4. Observasi efek samping obat-obatan yang digunakan

Hasil:

- Tidak terjadi efek samping yang tidak diinginkan

dari obat-obatan yang digunakan

59

Page 60: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

02 Agustus

2015

Jam 09.00

4 1. Mengobservasi TTV

Hasil :

- TTV klien mulai stabil: tensi 130/70 mmHg, nadi

80x/menit, SPO2 99%

2. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti

nyeri

Hasil:

- nyeri klien berkurang dan klien terlihat tenang

- skala nyeri 2

60

Page 61: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

VI. EVALUASI SUMATIF

tabel 3.6 evaluasi

No

.

Tgl DP Evaluasi Paraf

1 01 Agustus

2015

Jam 17.20

1 S : Klien mengatakan nyeri Bagian rahang atas

O : skala nyeri 4

A : Masalah belum teratasi

P :

1. Kaji nyeri

2. lakukan tehnik distraksi nyeri

3. lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam

pemberian analgetik

I : melakukan intervensi

1. mengkaji nyeri dengan cara : melakukan

inpeksi dengan melihat ekspresi wajah klien

2. melakukan distraksi nyeri dengan

distraksi visual misalnya menonton TV

3. melakukan kolaborasi dengan tim medis

dalam pemberian analgetik

E : skala nyeri berkurang.

2 18 Agustus

2015

Jam 19.00

2 S : Klien mengatakan sudah mengerti tentang apa yang

telah dijelaskan oleh petugas kesehatan

O : klien terlihat lebih tenang

A : Masalah teratasi

61

Page 62: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

3 02 Agustus

2015

Jam 08.00

3 S : -

O : Tanda-Tanda vital mulai stabil dengan hasil :

tensi 120/70 mmHg, nadi 90x/menit, SPO2 99%

A : Masalah teratasi

4 02 Agustus

2015

Jam 09.00

4 S : Klien mengatakan masih terasa nyeri didaerah bekas

operasi

O:

- klien terlihat meringis kesakitan

- skala nyeri 2

A : Masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

I: - Observasi TTV

- kolaborasi dalam pemberian obat anti nyeri

- ajarkan klien teknik distraksi untuk mengurangi

nyeri

E: Masalah belum teratasi

5 01 Agustus

2015

Jam 22.00

1 S : Klien mengatakan nyeri berkurang

O : skala nyeri 0

A : Masalah teratasi

62

Page 63: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

6 02 Agustus

2015

Jam 22.00

4 S : Klien mengatakan nyeri berkurang

O:

- klien terlihat tenang

- skala nyeri 0

A : Masalah teratasi

63

Page 64: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

B. PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM

1. Preoperatif

a. Persiapan Pasien

Melakukan informed consent mengenai tindakan bedah dan anestesi. Pasien

serta keluarga telah menyetujui tindakan pembedahan dan pembiusan. Diruang

persiapan pasien ditanyakan kembali mengenai identitas, diagnosa, jenis

pembedahan,malampati, dan penilaian hal-hal yang dapat mempersulit

tindakan intubasi endotrakeal tube seperti leher pendek, gigi ompong,

kemampuan membuka mulut, dll. Menanyakan penyakit lain selain penyakit

bedah nya yang dapat memperberat resiko tindakan anestesi, berat badan, usia,

puasa atau makan dan minum terakhir, aktivitas dan kebiasaan buruk,

memastikan IV line pada tangan kanan berjalan lancar dan memeriksa kembali

hasil-hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain serta periksa

kembali tanda-tanda vital klien.

Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa klien tidak memiliki penyakit

penyerta, puasa klien cukup, makan minum terakhir jam 02.00 WIB melalui

NGT, tidak ada gigi palsu tetapi ada gigi yang goyang, tidak ada alergi obat-

obatan maupun makanan.

Di ruang persiapan pasien terpasang infuse di tangan kanan dengan cairan RL

yang di loading/guyur. Setelah itu klien di bawa ke dalam ruang operasi, klien

di posisikan supine diatas meja operasi, kemudian dipasang tensi, SPO2,

dengan hasil :Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 65 x/menit, saturasi 99%.

b. Persiapan Alat Anestesi

Peralatan yang harus disiapkan adalah STATICS, meliputi :

1) S : Scope (stetoscope dan laringoskop No 4)

2) T : Tube (endotracheal tube No 6.5,7, 7.5)

3) A: Airway (Orofaringeal airway No 4)

4) T: Tape (plester)

5) I: intoducer (stylet atau madrin)

6) C: conector (conector bentuk Y piece beserta face mask untuk anak - anak)

64

Page 65: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

7) S: Suction (mesin suction dan kanul suction)

8) Mesin anestesi dengan sumber gas N2O, O2 dan isoflurane sudah siap di

pakai serta monitor.

c. Persiapan Obat Anestesi

1) Volatile : Sevoflurane

2) Maintenance : Isoflurane 2 MAC

3) Obat opioid analgetik : Fentanyl 2 amp (1 amp = 100µg)

4) Obat sedatif-hipnotik : Propofol 1 amp (1amp = 200 mg)

5) Obat muscle relaxan : Atrakurium 1 amp (1 amp = 25 mg)

6) Obat nonopioid : Ketorolac 1 amp (1 amp = 30 mg)

7) Obat emergency

Sulfas Atropin : 2 amp (1 amp = 0,25 mg)

Epedrin : 1 amp (1 amp = 50 mg)

8) Obat antiemetic : Ondansentron 4 mg 1 amp

9) Obat kortikosteroid : Deksametason 5 mg 2 amp

10) Persiapan cairan

Cairan kristaloid : 3 labu ( RL2, Nacl 1)

Nutrisi : Dextrosa 5% 1 labu

6. Premedikasi

Untuk premedikasi klien diberikan dexametasone 5 mg

2. Intra Operatif

Metode anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik intubasi

nasofaringeal menggunakan ETT nomor 7. dilakukan intubasi nasal karena

lapangan operasi yang berebutan dengan daerah anestesi.

a. Induksi dan Intubasi

65

Page 66: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Klien naik ke meja operasi pada pukul 08.10 WIB. TTV klien setelah

dilakukan loading cairan yaitu, Nadi 76 x/menit,TD 140/90 x/menit, SPO2

99%. Sebelum induksi klien diberitahu untuk berdoa terlebih dahulu sesuai

dengan agama dan kepercayaannya, Induksi dimulai pukul 08.15 WIB.

Klien di berikan obat-obatan induksi melalui jalur intravena, obat pertama

yag diberikan adalah Fentanil 100 µg, kemudian propofol 100 mg, setelah

refleks bulu mata hilang klien diberikan O2 3 ltr/mnt dan N2O 3 ltr/mnt

melalui sungkup muka, sevoflurane dibuka dengan MAC 2 vol% kemudian

setelah 2-3x inspirasi MAC dinaikan 0,5 vol % sehingga mejadi 2,5 vol%

yang bertujuan untuk mencegah batuk agar induksi lancar. Perhatikan

pergerakan dada, kembang kempis balon, saturasi O2 dimonitor, setelah

jalan nafas dikuasai berikan atrakurium 20 mg IV dilakukan assist aspirasi

sampai terjadi apneu dan lakukan hiperventilasi sampai onset muscle

relaxan tercapai ± 3 menit. Tensi 90/70 mmHg, nadi 65 x/menit , saturasi

99%. Setelah onset tercapai lakukan laringoskopi dengan blade laringoskop

no 4 dan intubasi orofaringeal tube dengan ETT no 7 secara smooth dan hati

– hati sebab gigi pasien ada yang goyang. Setelah intubasi berhasil beri

udara pada balon ETT secukupnya, serta hubungkan ETT dengan conector

mesin anestesi, cek dan atur kedalaman serta kesamaan bunyi nafas

vesikuler antara paru-paru kanan dan kiri dengan menggunakan stetoskop,

setelah dipastikan sama fiksasi ETT dengan menggunakan plester. Jangan

lupa menutup mata klien dengan menggunakan kasa lembab. Setelah itu,

mempersilahkan operator untuk memulai tindakan pembedahan. Setelah

dilakukan intubasi tensi jadi 110/70 mmHg, nadi menjadi 68 x/menit dan

SPO2 99%. .Sebelum operator melakukan sayatan, matikan inhalasi

sevoflurane dan dalamkan anestesi inhalasi dengan menggunakan inhalasi

isoflurane dengan MAC 2 vol%. Operator mulai melakukan sayatan jam

08.20 WIB, setelah operator selesai melakukan sayatan turunkan kembali

MAC isoflurane menjadi 1,5 vol%.

b. Monitoring Intra Operatif

66

Page 67: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Tabel 3.2 Monitoring Intra Operatif

No.Tanggal Jam Nadi SPO2 TD Keterangan

1.

02

Agustus

2015

08.15 76x/menit 100 140/90 Induksi

2.

02

Agustus

2015

08.20 65x/menit 99 90/70 Intubasi

3.

02

Agustus

2015

08.30 75x/menit 99 110/78 Pembedahan

4.

02

Agustus

2015

08.45 74x/menit 99 117/68

5.

02

Agustus

2015

09.00 78x/menit 99 128/70

6.

02

Agustus

2015

09.15 74x/menit 99 120/73 Ekstubasi

9.

02

Agustus

2015

09.30 80x/menit 99 130/80 Pindah ke RR

c. Intake dan Output

Output :

Pendarahan Pre Op : = ± 50 cc

Perdarahan Intra Op:

Suction : 10cc

Duk : 5 cc

Kassa kecil : 5 cc

Urine : 100 cc

67

Page 68: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Jumlah Output: Pendarahan Pre Op + Pendarahan Intra Op + IWL + Puasa +

Urine = (50)cc+(20)cc+360cc+600cc+ 100 cc =1130cc

Intake :

glukosa : 500 cc

RL :500 cc

Total Cairan masuk :

Kristaloid = 1000 ml

Balans Cairan = Output – Intake = 1130 – 1000= 130 cc (deficit)

3. Post Operatif

1. Peangakhiran anestesi

Pembedahan selesai pada pukul 09.10 Setelah itu dilakukan hipoventilasi

pada ventilasi pasien guna merangsang nafas spontan, voletile diturunkan

MAC nya menjadi 1,5 vol%, N20 1,5 ltr/mnt dan O2 4,5 ltr/mnt. Sepuluh

menit kemudian nafas pasien sudah mulai spontan dan adekuat. Lalu N20

dihentikan pemakaiannya, isoflurane dinaikkan MAC nya jadi 2,0 vol%

dan O2 dinaikkan menjadi 6 ltr/mnt. Dilakukan suctioning guna

membersihkan airway dari slime. Setelah itu dilakukan ekstubasi pada

pukul 09.15, ekstubasi yang dilakukan adalah ekstubasi dalam dimana

refleks menelan klien sudah belum ada dan nafas pasien sudah spontan dan

adekuat. Setelah ekstubasi Pasien diberikan oksigenasi lagi sebanyak 6

liter menggunakan sungkup muka dan volatilenya di matikan. Lalu

dilakukan sedikit sucsioning karena masih terdapat banyak saliva pada

jalan nafas. Oksigenasi dilakukan sambil melihat respon apakah pasien

sudah benar-benar bangun atau belum. Pada pukul 09.25 pasien bangun

dan dapat membuka mata. Alat tensi dan pulse oxymetri dilepas kemudian

pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan dengan nadi akhir 80 x/menit,

tekanan darah 130/80mmHg dan saturasi 99%. Pukul 09.30 pasien masuk

Ruang Pemulihan, dilakukan tindakan keperawatan berupa pemberian O2

sebanyak 6 liter melalui oksigen sungkup. Tetesan infus diatur 20

68

Page 69: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

tetes/menit. Kesadaran dan aldrette score pasien dinilai dengan hasil GCS

15 (Compos Mentis) dan alderete Score 7. Setelah 15 menit kembali

diobservasi dengan hasil tensi 140/90 mmHg, nadi 70x/menit alderete

score kembali dinilai dan didapatkan hasil 8. Pada pukul 10.00 dilakukan

observasi terakhir sebelum pindah ke ruangan perawatan dengan hasil :

tensi 140/90mmHg, nadi 80x/menit, saturasi 99% dan Alderete Score 9.

2. Keaadaan Paska Bedah

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 130/80mmhg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 18x/menit

Oksigen : 3 liter/menit

SpO2 : 99%

Urine : 150 mililiter

Pasien di observasi selama : 10 menit

Selama di RR :tidak terjadi mual-muntah, tidak terjadi

perdarahan dari luka operasi.

3. Monitoring Post Operatif

NoTanggal Jam Nadi TD Keterangan

02

Agustus

2015

09.30 80x/menit

130/80mmHg

Pindah ke RR

2.

02

Agustus

2015

09.45 70x/menit

140/90mmHg

RR

02

Agustus

2015

10.00 80x/menit

140/90mmHg

Pindah ke Ruang Perawatan

Tabel 3.3 Monitoring Post Operatif

69

Page 70: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

4. Alderete Score

Tabel 3.4 Alderete Score

Tanda Kriteria Nilai

Saat

Pene

rima

an

Setelah

15 30 45 60

AKTIVIT

AS

- Dapat menggerakkan ke 4

anggota badan

sendiri/dengan perintah

- Dapat menggerakkan ke 2

anggota badan sendiri

/dengan perintah

- Tidak dapat menggerakkan

anggota badan

2

1

0

1 1 12 2

RESPIRA

SI

- Dapat napas dalam &batuk

bebas

- Dispnoe /napas terbatas

- Apnoe

2

1

0

1 2 2 22

SIRKUL

ASI

- TD ± 20% dari pre anestesi

- TD ± 20% -50 % dari pre

anestesi

- TD ± 50% dari pre anestesi

2

1

0 2 2 22 2

KESADA

RAN

- Sadar penuh (compos

mentis)

- Dapat di bangunkan bila di

2

1

1 1 2

70

Page 71: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

panggil (apatis)

- Tidak bereaksi 0

2 2

WARNA

KULIT

- >90% dengan udara bebas

- Dengan O2 untuk menjaga

SpO2 >90%

- SpO2 <90% dengan

tambahan O2

2

1

0

2 2 22 2

TOTAL 10 7 8 9 10 10

Keterangan : Jika nilai > 8 tanpa ada nilai 0 pasien boleh pndah keruangan,

jika nilai <7 klien pindah ke ICU

5. Instruksi Post Operasi

a. O2 2 - 3 liter / menit

b. IVFD : Dextrosa 5% + fentanil 50 µg 20 tpm

c. Observasi Tanda – tanda vital dan Perdarahan

d. Puasa sampai bising usus ( + )

BAB IV

MASALAH DAN PENYELESAIAN MASALAH

71

Page 72: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

A. Masalah

1. Gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi Pre-operatif.

2. Sulit induksi dan intubasi.

3. Kesulitan dalam menejemen airway.

B. Penyelesaian Masalah

1. Gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi Pre-operatif.

Pada pasien dengan fraktur atau terputusnya kontinuitas jaringan keras, seperti

pada kasus fraktur maxillaris membutuhkan penanganan segera, karena selain

tidak nyaman, menejemen airway yang terhambat, dan rasa sakit yang

berkelanjutan. Sehubungan dengan gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi

karena pasien orangtua, sulit untuk di infus, susah makan, dan gangguan rasa

nyaman nyeri. Maka dalam melakukan persiapan pre-operatif pertama libatkan

keluarga dalam melakukan tindakan, kedua pasang NGT sehubunngan dengan

kurangnya asupan nutrisi.

Karena terjadi pada pasien geriatrik dengan tingkat mortalitas dan morbiditas

yang tinggi dan dan disertai dengan penyakit penyerta maka dibutuhkan

persiapan yang optimal. Yang paling pertama harus di lihat adalah daerah

operasi dan hasil pemeriksaan penunjang berupa hasil lab. Karena pada pasien

dengan trauma ada daerah-daerah khusus yang harus lebih di perhatikan apalagi

pasien tersebut mempunyai riwayat penyakit hipertensi. Selain itu lapangan

pembedahan dengan anestesi yang bersamaan, terutama dalam melakukan

menejemen airway.

2. Sulit induksi dan intubasi.

Intubasi dilakukan oral atau nasal, guna memudahkan menjaga airway dan

mencegah terjadi aspirasi dan regurgitasi. Sebaiknya dilakukan intubasi nasal

karena lapangan operasi yang berebutan dengan daerah anestesi. Disebabkan

tidak tersedianya ETT non king-king maka dilakukan intubasi oral.

Monitoring dilakukan secara keseluruhan, tetapipada pediatrik yang paling

sering dilakukan adalah heart rate dan saturasi (SPO2), maka harus di pasang

saturasi dan stetoskop pada precordial.

72

Page 73: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

Pada pediatrik dengan tingkat kecemasan yang tinggi, rewel, takut, maka induksi

dilakukan di ruang persiapan, pada intra operatif harus di perhatikan pemberian

analgetik, hipnotik yang cukup. Pada pengaturan suhu harus di perhatikan

karena pediatrik mudah terjadi hipotermi dan hipertermi, maka dalam

pelaksanaan operasi hindari panas ataupun dingin yang berlebihan.

3. Kesulitan dalam menejemen airway.

a. Intra-operatif

Pada pasien ini dengan masalah yang komplek maka dibutuhkan persiapan

yang maksimal mulai dari alat maupun obat. Dan dibutuhkan keterampilan

yang mempuni, karena pediatrik bukan miniatur orang dewasa, anatomi dan

fisiologi yang berbeda,danadanya fraktur maxilla. Maka pertama harus

dilakuakan adalan intubasi, sebaiknya intubasi nasal. Karena tidak

tersedianya ETT non king-king maka dilakukan intubasi oral. pada saat

intubasi diusahakan memakai kasa pada gigi bagian atas supaya tidak

menambah trauma, siapkan suction untuk melihat slem atau darah yang

menyumbat, selanjutnya pakailah pack roll.

b. Post-operatif

Dilakukan ekstubasi dalam, karena geriatrik ini mempunyai riwayat

hipertensi sehingga harus diperhatikan saat ekstubasi jangan sampai tekanan

darah meningkat sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

73

Page 74: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan perioperatif pada Tn.A dengan

gangguan sistem muskoluskeletal akibat fraktur maksila, dan akan dilakukan tindakan

pemasangan arch ber di IBS Rumah Sakit Umum Kelas B kab. Subang dari tanggal 01 -

02 Agustus 2015, kemudian penulis melakukan analisa kesenjangan antara konsep teori

dengan praktek di lapangan. Setelah dilakukan pembahasan, penulis dapat menarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengkajian

Pada tahap pengkajian, penulis menemukan data subjektif diantaranya Klien

mengatakan nyeri pada bagian mulut atas. Nyeri dirasakan seperti berdenyut-

denyut. Nyeri dirasakan di mulut bagian atas. Skala nyeri yang dirasakan klien 7

dari (0-10). Nyeri dirasakan pada saat bicara dan menggerakan rongga mulut.

Tekanan Darah 140/90 mmHg, nadi 65 x/menit, dan respirasi 20 x/menit

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul berdasarkan prioritas masalah pada klien

Tn. A dengan gangguan sistem muskoluskeletal akibat fraktur maksila, antara

lain : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma maxilla, cemas

berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi mengenai tindakan

pembedahan dan anestesi, resiko terjadi kekurangan cairan tubuh berhubungan

dengan tindakan pembedahan dan pendarahan preoperatif, dan gangguan rasa

nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat

proses pembedahan.

3. Perencanaan

Rencana keperawatan yang telah ditetapkan disesuaikan dengan kemampuan,

kondisi, sarana dan kebutuhan klien serta melibatkan klien dan keluarga untuk

mengatasi masalah keperawatan yang aktual maupun potensial, yang meliputi :

ajarkan pada klien tentang alternatif lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa

nyerinya, berikan penkes tentang fraktur maxilla, cukupi kebutuhan cairan

pasien sesuai dengan volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien, dan

kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti nyeri.

74

Page 75: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

4. Pelaksanaan

Dalam proses pelaksanaan penulis tidak mengalami hambatan semua tindakan

dapat dilakukan sesuai dengan rencana, yang meliputi: memantau tingkat nyeri

pada wajah, nyeri terlokalisasi/ menyebar pada wajah; memberikan penkes

tentang fraktur maxilla dan pembedahannya; cukupi kebutuhan cairan pasien

sesuai dengan volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien, dan

berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti nyeri.

5. Evaluasi

Setelah dilakukan asuhan keperawatan, dari kelima diagnosa yang ditemukan

pada Tn. A antaralain gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma

maxilla, cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi

mengenai tindakan pembedahan dan anestesi, resiko terjadi kekurangan cairan

tubuh berhubungan dengan tindakan pembedahan dan pendarahan preoperatif,

dan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas

jaringan akibat proses pembedahan semua masalah teratasi.

6. Dookumentasi

Dokumentasi sebagai alat komunikasi antar perawat tidak hanya terbatas pada

status pasien, tetapi lembar observasi juga dapat dijadikan sebagai catatan

kondisi klien yang mempermudah dalam memonitor perkembangan klien.

B. Saran

1. RSUD kelas B kabupaten subang

Diharapkanmenjadi bahan kajian pada RSUD kelas B kabupaten subang dan

evaluasi pelaksanaan pelayanan dengan fraktur maxillaris.

2. Bagi Institusi dan Pendidikan

Studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi untuk menambah

ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai fraktur maxillaris.

DAFTAR PUSTAKA

75

Page 76: Maxilla Gerontik 1 Dn 2

John L. Triplane Fracture. Available from:

http://www.emedicine.com/sports-/TOPIC24.HTM

Manfra Marretta S, Schrader SC, Matthiesen DT. 1990. Problems associated with the

management and treatment of jaw fractures. Prob Vet Med (Dentistry) 2:220,

Reksoprodjo, S. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedoktran Universitas

Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.

Suardi, NPEP & AA GN Asmara Jaya. 2012. Fraktur Pada Tulang Maksila. Bagian

Ilmu Bedah RSUP Sanglah: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Utama, HSY, 2012. Available From:

http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/08/diagnosa-dan-

penatalaksanaan-fraktur.html?m=1

76