Matematika Humanistik

download Matematika Humanistik

If you can't read please download the document

description

matematika humanistik

Transcript of Matematika Humanistik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Perkembangan globalisasi komunikasi dan teknologi yang sangat cepat menyebabkan manusia cenderung makin bersikap individualistis. Mereka gemar dengan teknologi,1 larut dan terpesona dengan penemuan barang-barang baru yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosial dirinya. Perasaan antipati dan tidak peduli terhadap lingkungannya juga semakin meningkat. Persoalan ini jelas menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di sisi lain kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan atau sekolah (bullying) masih sering kita dengar, kekerasan tersebut bukan hanya bersifat fisik seperti pemukulan tetapi juga cemoohon dan hinaan. Persoalan bullying harus menjadi perhatian kita bersama khususnya para guru. Sebab, efeknya bisa mengakibatkan penurunan nilai akademis siswa, perubahan perilaku jadi negatif atau negatif agresif. Hal ini juga akan mereduksi potensi siswa sehingga tumbuh kembang tak maksimal. Penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) dan Plan Indonesia menunjukkan 67 % siswa SMP dan SMA mengalami tindakan bullying di sekolah. Tindakan bullying bisa dilakukan oleh teman sendiri dan guru. Repotnya bullying tidak dipedulikan, bahkan cenderung diwariskan dari waktu ke waktu. Tindakan ini dianggap wajar dan merupakan bagian dari hidup bermasyarakat (Suara Merdeka). Budiningsih

2

(2005:1-2) mengatakan, jika hal ini terus berlanjut maka kita akan bertemu dengan siswa yang cenderung bertindak dengan kekerasan, pemaksaan kehendak, dan pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih jauh Budiningsih (2004:1) mengatakan, tindakan-tindakan kekerasan yang sudah menjurus kriminal ini sangat memprihatinkan masyarakat dan kondisi ini diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Persoalan lain yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan

pengajaran adalah standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sentralisasi standar mutu dalam ujian nasional. Praksis pendidikan lebih mengutamakan kognitif sementara afektif dan psikomotorik terabaikan. Ini akan mengakibatkan masyarakat terjerumus pada keyakinan bahwa hasil ujian nasional adalah satu-satunya ukuran keberhasilan siswa dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Hasil ujian nasional menentukan ranking mutu sekolah, tanpa memperhatikan banyak aspek lain yang mungkin diperoleh oleh siswa atau lembaga sekolah yang ada. Sistem evaluasi dan ujian nasional yang diselenggarakan relatif masih mengukur satu aspek kecerdasan dan

mengkerdilkan makna siswa sebagai suatu pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan (Margono 2005:65). Setiap pribadi manusia memiliki potensi dan talenta dalam dirinya, tugas pendidikan yang sejati adalah membantu siswa untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa:

3

Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan dan pembelajaran di sekolah hendaknya diperbaiki dan

diperbaharui sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah semestinya harus dapat mengembangkan potensi siswa secara optimal sehingga bermanfaat baginya, bagi masyarakat dan dalam kehidupan bermasyarakat. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah mempunyai multi fungsi, matematika dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat juga digunakan untuk melayani berbagai disiplin ilmu. Dengan mempelajari matematika siswa diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang cukup handal untuk menghadapi berbagai macam masalah yang timbul di dalam kehidupan nyata. Menurut Soedjadi (dalam Suyitno 2000:12) tujuan

pendidikan matematika untuk masa depan haruslah memperhatikan (1) tujuan yang bersifat formal, yaitu penataan nalar serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material, yaitu penerapan matematika serta keterampilan matematika. Berfikir logis dan kritis juga merupakan tujuan dari pendidikan matematika di sekolah. Johnson (2008:186) mengatakan proses berfikir kritis

4

mengharuskan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan kesabaran . Chapman (2008:4) mengatakan ada tujuh ciri dari orang yang penuh kasih yaitu: (1)Kebaikan (2) Kesabaran (3) Pengampunan (4) Kerendahan hati (5) Kesopanan (6) Kemurahan (7) Kejujuran. Ketujuh karakter ini adalah kebiasaan yang perlu dipraktekkan ketika kita memutuskan menjadi orang yang penuh kasih. Karakter ini jelas sangat berguna dalam berinteraksi di kehidupan sosial kemasyarakatan. Pembelajaran matematika yang efektif sangat memerlukan pemahaman dari para guru tentang apa yang siswa ketahui, apa yang perlu dipelajari dan memberi tantangan serta dukungan terhadap siswa untuk mempelajarinya dengan baik. Ini poin ketiga dari prinsip dalam Principal and standards for School Mathematics (NCTM,2000) yang tertulis Teaching : Effective mathematics teaching requires understanding what student know and need to learn and challenging and supporting them to learn it well (Dossey 2008:11). Dalam mengajarkan matematika di sekolah, guru cenderung kurang memahami kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Guru lebih menekankan aspek kognitif saja, sedangkan aspek lain tidak terlalu diperhatikan sehingga di khawatirkan lambat laun pembelajaran matematika akan menjadi jauh dari konteks kehidupan bermasyarakat. Suyanto dan Hisyam (dalam Margono 2005:64) mengemukakan bahwa selama ini pendidikan matematika di Indonesia masih sangat menitikberatkan ranah kognitif dalam arti pembelajaran masih bersifat mekanik dan drill. Banyak anggapan bahwa jika aspek kognitif sudah dikembangkan secara benar maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif pula. Menurut mereka asumsi ini jelas-jelas merupakan kesalahan yang

5

sangat besar. Pembentukan moralitas siswa bukan hanya menjadi tanggungjawab guru agama saja. Jika ini yang terjadi maka moralitas yang tumbuh hanya sebatas hafalan terhadap doktrin-doktrin agama. Pengetahuan tentang doktrin-doktrin agama tidak menjamin tumbuhnya moralitas yang diandalkan. Oleh karenanya semua guru bidang studi disekolah harus bertanggungjawab dalam pembentukan moralitas ini. Pengajaran matematika di sekolah juga harus bertanggungjawab dalam pembentukan moralitas siswa (Budiningsih 2004:2). Siswa yang memiliki moralitas yang baik tentu saja akan menghargai nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa diajarkan , mereka harus dibangkitkan dalam diri siswa. Kesalahan dimasa lampau adalah ketika guru mengajarkan moralitas, etika, nilainilai, karakter yang baik sebagai mata pelajaran. Siswa bisa menghapal itu dan bisa lulus ujian, tetapi mereka gagal menerapkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari (Ayudhya 2008:18). Menghargai nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan adalah aspek penting dalam pengajaran yang beraliran humanistik. Nuansa belajar beraliran humanistik dalam pembelajaran matematika di sekolah akan berakibat pada pembelajaran matematika tersebut dapat memberikan dorongan hati (impulse) kepada siswa sehingga dapat menyentuh dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Dalam konsep belajar humanistik, belajar adalah pengembangan kualitas kognitif, afektif dan psikomotorik. Baharuddin dan Wahyuni (2008:142-143) menyatakan, Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekadar

6

pengembangan kualitas kognitif saja,.... Pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa.... Pendidikan humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan dari pendidikan beraliran humanistik akan tercapai jika pembelajaran berusaha mengaitkan topik dengan konteks yang ada dalam kehidupan nyata siswa sehari-hari. Aliran humanistik akan sangat membantu pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang luas, sehingga pencapaian tujuan pembelajaran akan diarahkan dan dilakukan dengan pembelajaran kontekstual (Budingsih 2005:76). Konsep pengajaran matematika yang humanistik di sekolah, tidak hanya berkaitan dengan berbagai pandangan pengajaran yang mungkin dari matematika dan hubungannya dengan logika semata tetapi juga berkaitan dengan dorongan mengaitkan pengajaran matematika dengan pengalaman dan emosi terdalam dari diri manusia. Brown (1996 :1316) mengatakan, In seeking to elaborate upon the concept of humanistic mathematics education, we have used the helpful heuristic of seeking alternatives to the view of mathematics as driven by logic alone.... A significant humanistic agenda might begin with an impulse to connect mathematics curriculum with the deepest of human experience and emotions. Pelajaran matematika secara humanistik berarti menempatkan matematika sebagai bagian dari kehidupan nyata manusia. Proses pembelajarannya juga menempatkan pelajar bukan sebagai obyek, melainkan subyek yang bebas menemukan pemahaman berdasarkan pengalamannya sehari-hari (Susilo, 2008).

7

Agar pembelajaran matematika lebih berhasil dilaksanakan disekolah, guru biasanya menggunakan bermacam-macam model pembelajaran. Di antara berbagai model pembelajaran yang ada, model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan salah satu alternatifnya. Model pembelajaran ini sudah mendapat rekomendasi dari Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah dan KTSP ( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pembelajaran dengan pendekatan kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarnya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Trianto 2007:103). Implementasi pendekatan kontekstual pada mata pelajaran matematika di sekolah akan meningkatkan prestasi belajar matematika (Gita 2007:26). Berdasarkan informasi dari guru-guru matematika SMP Negeri I Tanggungharjo Kabupaten Grobogan, para siswa kelas VII memilki prestasi

belajar yang belum memuaskan. Selain itu juga kemampuan matematika mereka masih kurang baik termasuk diantaranya prestasi belajar materi ajar aritmatika sosial. Kondisi ini yang menyebabakan ditetapkannya nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekolah sebesar 60. Diperoleh juga data bahwa sikap saling menghargai, menghormati sesama teman, sikap saling membantu juga sudah mulai jarang terlihat dalam pergaulan siswa sehari-hari. Aritmatika Sosial adalah salah satu materi matematika yang diajarkan di kelas VII. Topik ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan nyata siswa sehari-

8

hari yang bersifat kontekstual sehingga dimungkinkan untuk membawa nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pembelajarannya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka judul yang dipilih dalam tesis ini adalah Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Beraliran Humanistik Berparadigma Pendekatan Kontekstual pada materi Aritmatika Sosial Kelas VII. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Selama ini pembelajaran matematika di sekolah lebih menekankan aspek kognitif siswa saja, aspek afektif kurang diperhatikan. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi akan berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi kesulitan dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang termasuk didalamya kehidupan bermasyarakat. 2. Mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, perlu reformasi paradigma dalam pembelajaran matematika, yaitu dari peran guru sebagai pemberi informasi (tranfer of knowledge) ke peran guru sebagai pendorong belajar (stimulation of learning). Guru dituntut untuk memberi kesempatan pada siswa agar mereka mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dipelajari. Aktivitas siswa dirancang sehingga dapat menghasilkan perubahan sikap atau tingkah laku siswa dalam proses pembelajaran dan relasi dengan

9

sesamanya, tidak hanya mencakup aktivitas yang bersifat fisik tetapi juga aktivitas mentalnya. 3. Konsep pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat, sebaiknya dilaksanakan guru di dalam kelas. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja, mengalami dan merefleksi, bukan hanya mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. 4. Pembelajaran matematika di sekolah yang berparadigma pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan/nilai-nilai kehidupan kedalam materi pelajaran sehingga akan dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Siswa dibawa ke dalam masalah kontekstual sehingga bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan sehingga menggugah munculnya nilai-nilai kemanusiaan/nilai-nilai kehidupan dalam dirinya meskipun pengaruh tersebut tidak dapat diaplikasikan dalam seketika. 5. Sehubungan dengan hal di atas diperlukan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, yang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan mereka sebagai individu dan kelompok masyarakat , yang melibatkan siswa secara aktif, yang menyebabkan mereka menghargai dan memaknai nilai-nilai

10

kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan mereka, yakni pembelajaran beraliran humanistik berparadigma kontekstual 1.3 1. Rumusan Masalah Bagaimanakah pengembangan perangkat pembelajaran matematika

beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII yang valid? 2. Bagaimanakah hasil penggunaan perangkat pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII yang baik? i.Apakah prestasi belajar siswa pada materi Aritmatika Sosial dengan pembelajaran matematika beraliran humanistik

berparadigma pendekatan kontekstual lebih dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)? 4. Apakah prestasi belajar siswa pada materi Aritmatika Sosial dengan pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual lebih baik dari pada dengan pembelajaran ekspositori?

1.4 1.

Batasan Masalah Kajian dalam penelitian ini terbatas pada materi Aritmatika Sosial dengan satu standar kompetensi yaitu: menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan masalah dan hanya satu kompetensi dasar yaitu: menggunakan konsep aljabar dalam pemecahan masalah Aritmatika Sosial yang

11

sederhana. 2. Subjek pada penelitian pengembangan perangkat pembelajaran ini

melibatkan siswa sebanyak tiga kelas (satu kelas eksperimen, satu kelas kontrol dan satu kelas ujicoba) dari tujuh kelas VII di SMP Negeri 1 Tanggungharjo Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2008/2009. 3. Nilai-nilai yang diamati meliputi: kerjasama, rasa hormat, memecahkan masalah/mencari jawaban, berbagi dan memberi, dan mencintai sesama 1.5 1. Tujuan Penelitian Menghasilkan perangkat pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII yang valid 2. Mendeskripsikan hasil penggunaan perangkat pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII, yang terdiri dari: a) Mendeskripsikan aktivitas siswa selama pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII. b) Mendeskripsikan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII. c) Menganalisis respon peserta didik terhadap pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada

12

materi Aritmatika Sosial kelas VII. 3. Untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa pada materi Aritmatika Sosial dengan pembelajaran matematika beraliran humanistik

berparadigma pendekatan kontekstual lebih dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 4. Untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa pada materi Aritmatika Sosial dengan pembelajaran matematika beraliran humanistik

berparadigma pendekatan kontekstual pembelajaran ekspositori. 1.6 1. Manfaat Penelitian

lebih baik dari pada dengan

Pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual dapat digunakan guru sebagai alternatif pengajaran untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan prestasi belajar matematika siswa. 2. Siswa dapat menyelesaikan masalah matematika dengan pendekatan kontekstual sekaligus menjadi pendorong untuk memahami akan

pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan sehingga bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakatnya. 3. Penerapan pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual di sekolah diharapakan dapat memberikan kontribusi perbaikan proses pembelajaran dan iklim sekolah dengan azas saling menghargai antar warga sekolah.

13

4.

Dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat.

1.7

Penegasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran, maka diperlukan penjelasan dalam penegasan istilah sebagai berikut: 1. Pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian pada penelitian ini adalah suatu proses untuk menghasilkan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang valid/baik. 2. Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang digunakan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Perangkat

pembelajaran meliputi: (1) buku guru, (2) buku siswa, (3) RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), (4) tes prestasi belajar dan panduannya. 3. Instrumen penelitian yang digunakan meliputi : (1) lembar validasi rencana pelaksanaan pembelajaran; (2) lembar validasi buku guru; (3) lembar validasi buku siswa; (4) lembar validasi tes prestasi belajar (5) lembar pengamatan aktivitas siswa; (6) lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran; (7) angket respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan kegiatan pembelajaran. 4. Pengembangan perangkat pembelajaran yang valid adalah proses untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran matematika berdasarkan prosedur pengembangan perangkat pembelajaran yang telah

14

melalui tahap validasi ahli. 5. Hasil penggunaan perangkat pembelajaran yang baik ditinjau dengan kriteria: (1) kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif; (2) aktivitas siswa tergolong aktif; (3) respon siswa tergolong positif. 6. Pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang dirancang berkaitan dengan masalah nyata di sekitar siswa yang dapat diamati atau dipahami oleh siswa lewat membayangkan. 7. Pembelajaran menurut aliran humanistik adalah untuk memanusiakan manusia dimana siswa memahami dirinya dan mampu menempatkan diri dengan baik dalam lingkungannya. 8. Pembelajaran pendekatan matematika beraliran humanistik berparadigma

kontekstual adalah suatu model pembelajaran yang

berorientasi pada siswa, dimana nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan diintegrasikan kedalam materi pelajaran. Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa yang dapat diamati atau dapat dipahami siswa lewat membayangkan. Mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan matematika yang dimilikinya dan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika sebagai anggota dengan penerapannya dalam kehidupan mereka keluarga dan masyarakat. Dengan menerapkan

pembelajaran ini di kelas diharapkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilainilai kehidupan tumbuh dan berkembang dalam diri siswa sehingga dapat diaplikasikan dalam masalah kehidupan sehari-hari.

15

9. Pembelajaran ekspositori adalah pengajaran yang berpusat pada guru saja. Guru menjelaskan, memberikan contoh dan drill. Memberikan sedikit pertanyaan lisan. Siswa mendengarkan dan mencatat dan menjawab pertanyaan 10. Aktivitas siswa adalah keikutsertaan atau keterlibatan yang dilakukan siswa selama pembelajaran di kelas berlangsung dan pengamatan nilainilai yang tampak pada saat pembelajaran berlangsung. Aktivitas siswa diukur dengan menggunakan instrumen penelitian lembar pengamatan aktivitas siswa. 11. Nilai-nilai adalah tingkah laku yang diamati selama pembelajaran berlangsung, meliputi: kerjasama, rasa hormat, memecahkan masalah, berbagi dan memberi, dan mencintai sesama. 12. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran adalah ketrampilan guru dalam menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran pada kegiatan pembelajaran. Kemampuan guru diukur dengan instrumen penelitian lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran 13. Respon siswa adalah tanggapan siswa terhadap perangkat pembelajaran matematika beraliran humanistik berparadigma pendekatan kontekstual pada materi Aritmatika Sosial kelas VII yang meliputi buku siswa, minat siswa mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran yang sama pada pembelajaran berikutnya serta keyakinan siswa tentang nilai-nilai. Respon siswa diukur dengan menggunakan instrumen penelitian respon siswa.

16

14. Prestasi belajar siswa adalah tingkat pencapaian kompentensi belajar materi Aritmatika Sosial, yang diukur dengan tes prestasi belajar. 15. Tes Prestasi belajar merupakan butir tes yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan belajar

mengajar. Tes prestasi belajar yang baik diukur dengan validitas, dan reliabilitas. Tes prestasi belajar mengukur pencapaian tujuan dari segi ketuntasan belajar. 16. Ketuntasan belajar adalah pencapaian suatu tingkat penguasaan minimal dalam tujuan pembelajaran pada setiap satuan pelajaran. Ketuntasan belajar dapat dilihat dari membandingkan prestasi belajar siswa melalui tes dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). KKM pada SMP Negeri 1 Tanggungharjo yakni 60. Jika prestasi belajar lebih dari atau sama dengan KKM maka siswa disebut mencapai ketuntasan belajar. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal adalah apabila 75 % siswa mencapai KKM.