Masyarakat Kampung Naga
-
Upload
nuryandikhairunanda -
Category
Documents
-
view
102 -
download
8
Transcript of Masyarakat Kampung Naga
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA: ANTARA TRADISI
DAN PERUBAHAN
Oleh: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, [email protected]
Guru Besar Pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pengantar
Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah desa
Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya berada pada kilometer 27 dari kota
Tasikmalaya dan pada kilometer 30,5 dari kota Garut. Masyarakat
Kampung Naga masih dapat dikelompokan kedalam masyarakat
tradisional, yakni suatu kelompok masyarakat yang masih
mempertahankan tradisi leluhurnya sebagai suatu cara hidup
sehari-hari. Tradisi mereka yang hingga kini tetap dipertahankan
adalah bangunan rumah tradisional berupa rumah panggung
dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu (dalam bahasa
Sunda dinamakan bilik) dan atap dari ijuk yakni bagian tertentu
yang diambil dari pohon enau, sejenis pohon yang banyak tumbuh
di wilayah Jawa Barat. Disamping itu terdapat sejumlah aturan adat
yang disebut tabu (dalam bahasa Sunda disebut pamali), yakni
aturan yang melarang anggota masyarakat Kampung Naga untuk
memiliki atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang
menggunakan penerangan listrik, dilarang memiliki televise,
dilarang menanam padi hibrida, dan sebagainya (Budimansyah,
1991).
Para agen pembaruan yang berupaya memperkenalkan
unsur-unsur inovasi pada masyarakat Kampung Naga, dihadapkan
pula kepada beberapa kendala yang bersumber dari sifat anggota
masyarakat yang sangat konformis terhadap nilai-nilai tabu.
1
Kepada masyarakat Kampung Naga, seperti halnya kepada
masyarakat lainnya, telah diperkenalkan unsur-unsur inovasi
teknologi baik secara langsung dilakukan para agen pembaruan
maupun melalui kontak secara alamiah dengan masyarakat lain.
Akan tetapi hingga saat ini mereka pada umumnya masih menolak
bibit padi yang usianya relatif pendek (hibrida), sama sekali
menolak penerangan listrik, dan dalam bidang perumahan masih
mempertahankan pola lama baik dalam bentuk, bahan maupun
posisi. Demikian pula halnya beberapa jenis sarana komunikasi atau
hiburan seperti radio dan televisi belum di terima secaraluas
dalam masyarakat.
Pada hakekatnya mereka bukan tidak mengakui kelebihan
sistem baru tersebut jika dibandingkan dengan sistem tradisional,
penolakan mereka tidak terletak pada baik buruknya sistem secara
rasional. Setiap respons mereka selalu mengacu kepada kerangka
referensi yang telah dimilikinya secara turun temurun, yaitu
seperangkat nilai kehidupan tradisional yang berupa tabu.
Bagaimana mereka harus berpikir, merasakan dan bereaksi
terhadap rangsangan dari luar individu dan kelompoknya, selalu
didasarkan dan berorientasi pada nilai-nilai adat leluhurnya yang
mereka anggap sebagai papagon hirup (pegangan hidup) yang
bersifat proteksionistik.
Inilah kesenjangan yang terjadi dalam proses pembaruan
masyarakat tradisional, khususnya pada masyarakat Kampung
Naga. Di satu pihak program pembaruan masyarakat melalui
kegiatan pembangunan harus terus dilaksanakan di seluruh pelosok
tanah air dan harus menyentuh segenap lapisan masyarakat; di
pihak lain nilai-nilai tabu mengikat anggota masyarakat tradisional
untuk mempertahankan. status guo-nya. Posisi mereka lebih
2
mengarah pada usaha mewujudkan kenyataan apa adanya menjadi
cita-cita atau harapan (sein-sollen) dengan setumpuk pembenaran
diri, daripada mewujudkan cita-cita dalam kenyataan (sollen-sein}.
Yang menjadi persoalan adalah apakah kesenjangan
tersebut akan tetap dibiarkan ? Jika demikian apakah tidak
bertentangan dengan hakekat pembangunan nasional, yakni
penbangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia ? Jika tidak akan dibiarkan, apa upaya
selanjutnya yang dapat dilakukan ?
Sampai saat ini para agen pembaruan belum dapat berbuat
banyak dalam menghadapi masyarakat tradisional Kampung
Naga. Mereka hanya sampai pada keputusan, bahwa semua pihak
harus dapat memaklumi nilai-nilai tradisional masyarakat tersebut.
Hal ini mengandung arti ketiadaan mlternatif usaha dari para
petugas, yang sekurang-kurangya harus mengusahakan untuk
melonggarkan keterikatan mereka dari nilai tabu yang diyakininya
itu. Adanya kesenjangan tersebut, menggugah motivasi penulis
untuk mengungkapkan sejauh mana nilai-nilai tabu dijadikan dasar
argumentasi oleh anggota masyarakat dan migran asal Kampung
Naga (yakni anggota masyarakat Kampung Naga yang sudah
bermukim di luar kawasan kampung) untuk menolak beberapa
unsur lovasi teknologi.
Toleransi dari luar sebagai faktor penghambat perubahan
Orang luar amat memberikan toleransi terhadap kehidupan
masyarakat Kampung Naga atas kondisinya yang tetap
mempertahankan kesahajaan dan menolak terhadap berbagai
inovasi. Oleh karenanya tidaklah heran jika sampai saat ini mereka
3
masih belum menerima berbagai skema program pemerintah untuk
memperbaiki tarap hidup, utamanya daalam bidang inovasi
teknologi.
Adanya toleransi yang tinggi dari masyarakat lain terhadap
kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Naga tidak
melahirkan suatu bentuk proses sosial yang dapat
mempengaruhi nilai-nilai tradisional, misalnya (1) konflik, (2)
imitasi, dan (3) social pressure. Tanpa adanya proses-proses
semacam ini, maka nilai-nilai tradisional akan lebih terintegrasi
dengan masyarakatnya, dan resistensinya akan lebih kuat lagi.
Memang diakui bahwa faktor-faktor lingkungan luar bagi suatu
kelompok masyarakat dapat membuat pergeseran-pergeseran nilai
secara cepat, dan dapat pula sebaliknya, memperlambat
perubahan nilai pada pihak lain. Hal ini pun dikatakan oleh
Pitirim A. Sorokin dalam Soemardjan dan Soemardi (1964:
535) sebagai berikut.
The enviromental forces are not negligible, but their role consist essentialy in retardation or acceleration; facilitation or hindrance; reinforcement or weakening, of the realization of the immanent potentialities of the system. Sometimes they can crush the system and put an end to its existence; or stop the process of unfolding the immanent potentialities at one of the early phases.
Bila dilihat dari segi nilai-nilai tradisional Masyarakat
Kampung Naga, toleransi yang demikian besar dari pihak luar itu
sangat menguntungkan; akan tetapi bila dilihat dari proses
pembaruan masyarakat tersebut yang harus berlangsung, maka
bentuk toleransi demikian sangat tidak menguntungkan.
Perwujudan toleransi pihak luar kepada nilai-nilai tradisional
Masyarakat Kampung Naga hampir meliputi segala spek
kehidupan, termasuk pada segala macam tabu. Sebagai ontoh,
4
masyarakat yang tinggal di sekitar Kampung Naga yang bukan
keturunan masyarakat Kampung Naga (Seuweu-siwi Naga) hampir
semuanya mengikuti aturan perhitungan waktu sesuai dengan
perhitungan pada Masyarakat Kampung Naga. Mana waktu yang
baik untuk melakukan sesuatu pekerjaan, mana waktu yang jelek,
dan sebagainya. Jika berdasarkan perhitungan adat Masyarakat
Kampung Naga hari tertentu itu tidak baik untuk melakukan
sesuatu pekerjaan, seorang pun diantara mereka tidak akan ada
yang mau melanggarnya.
Bentuk toleransi yang paling tinggi adalah ditetapannya
Kampung Naga sebagai daerah wisata budaya oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Peristiwa ini walaupun dari aspek
pariwisata sangat menguntungkan, akan tetapi pengaruh bagi
masyarakat Kampung Naga ibarat mendapat angin untuk tetap
mempertahankan status quo-nya itu. Oleh karena itu keadaan
mereka akan sulit berubah sekalipun tingkat kosmopolit mengalami
peningkatan. Celakanya, para wisatawan itu, terutama wisatawan
asing berkunjung ke Kampung Naga umumnya hanya tertarik oleh
keadaan fisik kampung, terutama bangunan-bangunan rumah
dengan arsitektur tradisionalnya. Sedikit sekali yang tertarik pada
aspek-aspek lain yang bersifat nonfisik. Padahal dalam rangka
pariwisata tersebut masyarakat Kampung Naga telah membayar
mahal dengan tetap mempertahankan kesahajaan hidupnya bahkan
kesahajaan dalam pola berpikir yang sebe-narnya tidak perlu
terjadi.
Aspirasi dari dalam sebagai faktor pendorong perubahan
Walaupun demikian, ada secercah harapan untuk perbaikan
5
pada masa yang akan datang, yakni dengan adanya faktor
pendorong bagi adopsi inovasi teknologi. Faktor yang dimaksud
adalah aspirasi. Aspirasi sendiri merupakan salah satu faktor
perubahan sosial yang bersumber dari dalam. Sebagaimana
dimaklumi bahwa sumber perubahan suatu kelompok masyarakat
berasal dari dua faktor, yaitu (1) faktor internal, yaitu kekuatan-
kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri; (2) faktor
eksternal, yaitu kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar.
Kekuatan faktor internal dalam banyak hal tergantung pada adanya
potensi dinamis yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya adanya individu yang memiliki pribadi uggul yang selalu
tidak puas dengan keadaan yang ada, adanya kesediaan mental
untuk menerima perubahan, adanya kesamaan prinsip antara
beberapa nilai tradisional dengan usur-unsur inovasi, adanya
kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimiliki masyarakat bersangkutan .
Persoalannya sekarang adalah, bagaimanakah halnya
dengan Masyarakat Kampung Naga, adakah faktor-faktor seperti
yang disebutkan tadi? Seperti telah disinggung dalam deskripsi
mengenai aspirasi, peneliti berkesimpulan bahwa faktor-faktor
tersebut sebagian telah ada. Meningkatnya aspirasi dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, taraf hidup, dan status sosial menunjukkan
telah adanya potensi untuk maju dengan cara mengubah kondisi
yang ada menjadi lebih baik. Disamping itu kalangan generasi muda
yang umumnya lebih tinggi aspirasinya cepat atau lambat akan
menjadi faktor kekuatan "immanent" yang memba-va
masyarakatnya pada proses pembaruan dalam upaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
Masalahnya sekarang adalah, bagaimanakah mengupayakan
6
bentuk pendekatan agar potensi generasi muda itu dapat
dikembangkan tanpa mengalami banyak konflik dengan para orang
tua mereka. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan
penelitian, generasi muda Kampung Naga seolah-olah sedang
mengalami suatu proses sosial yang disebut social pressure, yakni
suatu bentuk tekanan sosial yang diciptakan oleh tokoh atau
kelompok tertentu dalam masyarakat, dengan tujuan
memantapkan proses sosialisasi terhadadap segala bentuk "talari
karuhun" (tradisi leluhur) yang terjadi secara ilami terhadap
kalangan muda masyarakat Kampung Naga.
Generasi muda masyarakat Kampung Naga pada khususnya
dan umumnya orang-orang yang tingkat aspirasinya tinggi,
pada saat ini sedang mengalami dilema. Mereka tengah berada
diantara dua pilihan yang sulit, apakah mereka lari dari belenggu
tradisi, sedangkan keterikatan pada keluarga amat kuat karena
sifatnya yang paternalistic. Untuk menanggulangi masalah ini
ternyata para tokoh pengaruh (significan others) pada masyarakat
Kampung Naga menerapkan manajemen konflik yang sangat baik
yakni menciptakan katup pengaman (safety valve institution)
berupa tidak dilarangnya bagi anggota masyarakat Kampung Naga
bergaul dengan siapa saja dan di mana saja. Mereka bebas
berkomunikasi dengan kelompok masyarakat mana pun, dan bebas
bepergian ke mana pun, asal identitas adat “Sa Naga" (identitas
kelompok) harus tetap dipertahankan, yakni kesederhanaan,
kepatuhan pada adat leluhur, dan rasa keterikatan pada kerabat
yang berasal dari cikal bakal atau leluhur yang sama. Hal ini pun
mempertegas jawaban mengapa tingkat kosmopolit tidak
berpengaruh signifikan baik terhadap usaha melonggarkan ikatan
pada nilai-nilai tabu maupun terhadap adopsi inovasi teknologi.
7
Mereka tetap menampilk:an sosok utuh sebagai Seuweu-siwi Putu
Naga (Keluarga Besar Kampung Naga) yang senantiasa selaras
dengan "talari karuhun" (adat istiadat).
Karuhun masyarakat adat "Sa Naga", sejak awal
kehidupan, telah menggariskan pola hidup sederhana, sebagaimana
tertuang dalam ungkapan: "teu saba-teu boga, teu banda-teu
raksa, teu weduk-teu bedas, teu gagah-teu pinter".
Rangkaian ungkapan tersebut jika diartikan secara garis besar
bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan apa-
apa. Kesederhanaan dalam hidup bagi masyarakat Kampung
Naga apabila ditelusuri ke masa lampau merupakan bentuk
peruwujudan dari pendekatan keamanan (security approach) yang
mereka terapkan sejak leluhur mereka raendiami Kampung Naga.
Sembah Dalen Singaparana, leluhur masyarakat adat "Sa Naga",
untuk melaksanakan amanat ayahandanya menyelamatkan Pusaka
Kerajaan, menerapkan pendekatan keamanan dengan jalan
"nyumput buni dinu caang" (bersembunyi di tempat yang terang).
Bentuk perwujudan pendekatan tersebut adalah kesahajaan hidup
dan pengabdian yang penuh kepada penguasa, seperti tersirat
dalam ungkapan: "Nyalindung na sihung Maung, diteker
nya mementeng ulah aya guan, sok nun eling noal luput
salamet". Artinya, diam di ujung taring Harimau, diusik dan dicela
jangan melawan, jika hal ini diperhatikan pasti akan tetap selamat.
Makna ungkapan ini ibarat ungkapan dalam bahasa Inggris "silent is
gold" (diam berarti emas). Ungkapan yang menunjukkan bentuk
pengabdian kepada penguasa adalah: "panyaur gancang
temonan, parentah gancang lakonan, pamenta gancang
caosan". Makna ungkapan ini adalah patuh dan taat kepada
penguasa. Jika diundang untuk menghadap cepat datang, jika
8
diperintahkan untuk melakukan sesuatu cepat kerjakan, jika diminta
sesuatu cepat berikan. Dengan jalan demikian mereka akan merasa
aman dan tenteram, dan memang itulah maksud leluhur mereka
untuk bersembunyi di tempat terang (bahasa Sunda: nyumput buni
dinu caang) itu. Dalam banyak hal, terutama jang berhubungan
dengan kewajiban masyarakat kepada negara, misalnya membayar
pajak, bergotong royong untuk kepentingan umum, partisipasi
dalam Program Keluarga Berencana, masyarakat adat "Sa Naga"
menunjukkan kelebihan jika tibandingkan dengan masyarakat lain.
Walaupun demikian pola kesahajaan hidup yang diterapkan
masyarakat Kampung Naga dalam banyak hal kurang
menguntungkan. Sebab dalam posisinya yang ekstrim sifat ini
mengarah pada sifat yang fatalistik. Di samping itu pola
kesahajaan hidup yang demikian itu memberikan kontribusi
:erhadap rendahnya motivasi untuk mengumpulkan kekayaan.
mereka tidak memerlukan rumah yang bagus, perabot rumah
tangga yang memadai, tidak memerlukan kendaraan, dan
sebagainya.
Dilihat dari pendapatan rata-rata tiap bulan dan tingkat
pendidikan yang dicapai anak-anak mereka yang rendah,
membuktikan bahwa mereka itu sangat bersahaja. rata-rata
pendapatan anggota masyarakat Kampung Naga tiap bulan kurang
dari Rp 100.000,00 (Budimansyah, 1994). Tingkat pendidikan
tertinggi yang dicapai anak pada masyarakat Kampung Naga
sebagian besar (78%) SD, bahkan sekitar 16% tidak tamat SD.
Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab kurang
responsifnya mereka terhadap inovasi teknologi. Mereka tidak
mempunyai motivasi yang kuat untuk hidup kaya, karena
"kesahajaanlah" yang menjadi tipe ideal mereka. Bukti yang
9
mendukung rendahnya motivasi tersebut, diperlihatkan pula oleh
sikapnya dalam bertani. Anggota masyarakat Kampung Naga dalam
berusaha tani lebih memilih pendekatan memaksimumkan
kepuasan ("utility maximization") daripada memaksimumkan
keuntungan ("profit maximization"). Hal ini didasarkan kepada
anggapan bahwa menanam "pare gede" (varietas padi yang berusia
relatif panjang 5-6 bulan) hasilnya lebih memuaskan. Disamping
nasinya lebih enak (harum dan "pulen"), mereka pun beranggapan
bahwa hasil panen "pare gede" lebih awet dibandingkan dengan
hasil panenan "segon" (padi varietas baru). Padi "segon" cenurut
anggapan mereka relatif lebih cepat habis, karena mudah dijual.
Kata "segon" sendiri oleh masyarakat setempat dianggap sebagai
kata kirata (diperkirakan agar nyata), yakni "sagala seg. lila-lila
ngalegon" (segala boleh, maksudnya dijual untuk memenuhi segala
kebutuhan, maka lama-lama tinggal sedikit (ngalegon) lalu habis.
Adapun "pare gede", yang pada saat dipanen t.idak dirontokkan
melainkan diikat dalam bentuk "eundanan" dan "geugeusan"
(Sunda), oleh masyarakat setempat tidak pernah dijual, hanya untuk
dikonsumsi sendiri (subsisten). Oleh karena itu relatif awet, tidak
cepat habis.
Konsep mereka dalam menambah keuntungan dilakukan
dengan cara menekan harga ("cost minimization") daripada
menempuh cara neaperbesar total peneriaaan ("profit maxi-
mization"). Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa jika men an
am padi varietas unggul yang usianya relatif pendek, yang berarti
dapat menanam tiga kali dalam setahun, walaupun hasilnya akan
lebih banyak (tiga kali panenan), tetapi biaya yang harus
dikeluarkannya pun akan lebih banyak pula (tiga kali
penggarapan). Oleh karena itu menurut logika penalaran mereka
10
mengapa harus memilih menanam padi tiga kali setahun jika
risikonya juga bertambah, sedangkan menanam “pare gede”
walaupun hanya dua kali dalam setahun, masih lebih
menguntungkan dilihat dari aspek waktu maupun risiko kegagalan
panen.
Cara berpikir yang digunakan masyarakat Kampung Naga
sebagaimana dijelaskan tadi memperlihatkan adanya logika
penalaran yang memperhitungkan untung-rugi (Cost-Benefit
Analysis') berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dan berapa
besar keuntungan yang akan diraih. Menanam padi yang berusia
relatif pendek tiga kali dalam satu tahun menurut perhitungan
mereka akan menelan ongkos tanam lebih besar dibandingkan
dengan keuntungan yang diperoleh. Keuntungan dari hasil panen tiga
kali dalam satu tahun tidak lebih besar dari risiko yang harus
mereka tanggung, baik risiko yang bersifat material, yakni biaya
penggarapan; maupun risiko yang bersifat spiritual, yakni perasaan
bersalah karena melanggar ketentuan adat. Sedangkan jika
menanam "pare gede" yang berarti hanya lercocok tanam dua kali
dalam satu tahun, menurut perhitungan mereka akan lebih
menguntungkan, terutama dari segi kepuasan batin karena tidak
melanggar ketentuan adat.
Adopsi inovasi rendah
Dari uraian di atas, nampak bahwa rendahnya tingkat adopsi
disebabkan oleh hal-hal berikut: (1) orientasi motivasional
anggota masyarakat sasaran masih didominasi oleh usaha
memperbesar kepuasan; (2) standard normatif masih tetap dominan
mengendalikan perilaku anggota masya-ikat sasaran (Parsons,
11
dalam Johnson, 1986: 114); (3) keperluan nyata terhadap inovasi
tidak tampak sebagai akiibat pola hidup yang bersahaja; (4) ciri-ciri
inovasi alam pengamatan penerima tidak menampakan keuntungan
relatif, sehingga kurang menarik anggota masyarakat sasaran
(Rogers & Shoemaker, 1987: 40); dan (5) peranan reference
group sebagai penarik minat dan pemberi keyakinan, maupun
sebagai sumber sikap bagi khalayak sasaran kurang menonjol
(Rogers, 1958; Soewardi, 1972).
Pentingnya peranan reference group dalam proses adopsi
inovasi teknologi pernah ditemukan Herman Soewardi 1972) dan
Frank Cancian (1984). Herman Soewardi dari hasil studinya di
Jawa Barat, menemukan bahwa proses adopsi inovasi teknologi
panca usaha berlangsung dari orang-orang yang memiliki
karakteristik lapisan atas, yaitu mereka yang memiliki daya tepa
selira, memiliki mot ivasi keberhasilan, dan memiliki motivasi untuk
menguasai masa depan; akan tetapi secara visual menyerupai
orang-orang lapisan bawah yang umumnya berstatus sosial
ekonomi rendah, dan bergaul akrab dengan mereka (tipe “Adeng”).
Sebaliknya ada anggota masyarakat dari lapisan atas sebagai
inovator yang cekatan terhadap kesempatan-kesempatan yang
ada, tekun bereksperimen dan memiliki berbagai jenis tanaman
(tipe "Wapi"). "Wapi" dengan pertanamannya itu merupakan
sumber "sikap" yang menunjang terhadap teknologi baru bagi
orang-orang desa. Peranannya saling melengkapi dengan "Adeng"
sebagai penarik "minat" dan pemberi "keyakinan".
Sejalan dengan Herman Soewardi, Frank Cancian
(1984) berdasarkan hasil studinya menjelaskan bahwa dalam
proses pengambilan keputusan adopsi para petani menunjukan
kecenderungan berikut.
12
When an innovation is introduced to a community of farmers from outside, some farmers adopt it immediately, and some adopt it in later years. Later adopters usually use the experience of early adopters to inform their decision. Thus, uncertainty is greater for the earlier adopters than it is for the later adopters. Risk remains fairly constant. This gives us a critical test in the form of two predictions. First, if uncertainty is meaningfully distinguished from risk, poor farmers should adopt more, relative to rich farmers, in the early stages of the spread of an innovation. Second, in later stages, the rich should be relatively faster adopters (dalam Barlet, 1984: 167-168).
Jika suatu inovasi diluncurkan dari luar kepada para petani,
sebagian petani akan cepat mengadopsi (early tcopter},
sedangkan yang lainnya akan mengadopsi kemudian setelah
mengetahui pengalaman yang dialami early adopter. Pada fase
pertama inovasi diluncurkan tatkala ketidakpastian relatif tinggi,
para petani dengan tingkat social ekonomi rendah lebih berani
menanggung risiko untuk mengadopsi inovasi tersebut sebagai early
adopter dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial
ekonominya lebih tinggi. Akan tetapi dalam fase kedua tatkala
ketidakpastian semakin menipis karena pengamalaman
keberhasilan para early adopter, para petani dengan tingkat sosial
ekonomi lebih tinggi akan mengadopsi lebih cepat jika
dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial ekonominya lebih
rendah.
Pada masyarakat Kampung Naga, ketiga tipe "reference
group" tersebut, baik tipe "Adeng", "Wapi", maupun "Cancian"
tidak muncul. Hal ini bukan karena tidak ada figur yang
menyerupai ketiga tipe tersebut. Tidak munculnya tipe-tipe
"reference group" tersebut, berdasarkan pengamatan penulis
disebabkan oleh dua hal: (1) keputusan adopsi selalu diambil
secara kolektif tidak individual, (2) keputusan kolektif tersebut
selalu mengacu dan didominasi oleh pemegang otoritas
13
lingkungan pengaruh adat. Adanya kenyataan demikian maka jika
keputusan adat nenolak kehadiran suatu inovasi, kecil
kemungkinan di intara anggota masyarakat melakukan keputusan
adopsi. Keputusan adopsi baru terjadi jika adat menerima
kehadiran inovasi tersebut. Contoh inovasi yang diterima melalui
prosedur ini adalah televisi, kursi tamu, dan kaca/nako. Walaupun
demikian, terdapat pola lain yang menyimpang dari prosedur tadi,
misalnya diadopsinya "petromak” untuk menggantikan lampu
temple. Inovasi ini secara diam-diam diadopsi oleh anggota
masyarakat pengrajin anyaman yang biasa bekerja pada malam
hari. Sekalipun tidak melalui keputusan kolektif, petromak yang
secara riil memang mereka perlukan sangat cepat diadopsi. Para
pemegang otoritas lingkungan pengaruh adat pun tidak dapat
berbuat banyak, sehingga dengan sendirinya petromak terhapus
dari katalog adat sebagai benda yang ditabukan.
Jika menyimak proses adopsi yang terjadi pada
nisyarakat Kampung Naga sebagaimana diuraikan tadi, dapat
dibedakan ke dalam pola adopsi dari atas (pola adat) dan pola
adopsi dari bawah (pola umat). Jika menelusuri proses adopsi yang
terjadi pada masa sebelumnya, kedua pola tersebut dapat
dipandang sebagai pola umum. Melalui kedua pola inilah beberapa
unsur inovasi teknologi masuk ke lingkungan masyarakat Kampung
Naga.
Dewasa ini masyarakat Kampung Naga sedang mengalami
perubahan sebagai akibat dari diadopsinya beberapa unsur inovasi
teknologi yang sebelumnya termasuk dalam katalog adat sebagai
sesuatu yang ditabukan. Pada hakekatnya diadopsinya beberapa
unsur inovasi teknologi dimungkinkan oleh meningkatnya aspirasi
dan melonggarnya konformitas pada nilai-nilai tabu. Temuan ini
14
mempekuat proposisi teori Barikade yang dipergunakan sebagai
"teoretical background" dalam tulisan ini yaitu adopsi inovasi akan
terjadi ketika barikade itu menua dan melemah, dan akhirnya
mulai sedikit-demi sedikit tumbang atau barikade itu kehilangan
semangat dan pegangan dan kemudian menyerah (Davis, 1987: 232;
Suwarsono & So, 1991: 73-74). Di samping itu, senada juga
dengan pemikiran bahwa kepribadian manusia adalah sebuah
sistem yang terbuka ("open system"), sehingga tidak sepenuhnya
dapat dikendalikan dari dalam ataupun dari luar. Betapa pun
konsevatifnya lingkungan sosial bagi seseorang, namun ia sendiri
tetap akan "menyimpang" dari imperatif-imperatif kultural yang
telah disosialisasikan terhadapnya, karena ia pun hidup di dalam
masyarakat yang juga merupakan sistem yang terbuka (Nimpoeno,
1992: 43).
Walaupun demikian, segala bentuk perubahan yang terjadi
selalu dikendalikan melalui mekanisrae kontrol sibernetika
(Parsons dalam Johnson, 1986: 133). Subsistem budaya yang
berupa seperangkat nilai kehidupan tradisional, termasuk segala
bentuk tabu, dilembagakan dalam sistem sosial dan
diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya.
Struktur kepribadian yang telah terinternalisasi dalam segala bentuk
nilai tradisional tersebut rengontrol peran-peran individu dalam
berperilaku sehari-hari. Pada akhirnya perilaku individu pun akan
selalu diarahkan untuk mempertahankan pola-pola yang sudah
baku dalam subsistem budaya. Inilah mekanisme kontrol sibernetika
yang diterapkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem
kehidupan pada masyarakat Kampung Naga dalam baying-bayang
pengaruh nilai-nilai kontemporer.
Proses yang sedang berlangsung pada masyarakat
15
Kampung Naga pun mengikuti pola pemikiran tersebut di atas.
Mereka pada saat ini tengah berada pada dua sisi pilihan yang satu
sama lain harus dilewaati, yakni sisi tradisi dan perubahan. Di satu
sisi mereka harus tetap mempertahankan tradisi, di sisi yang lain
tuntutan kehidupan menghendaki perubahan. Strategi untuk
memadukan dua kepentingan tersebut dilakukan dengan mengubah
beberapa bentuk nilai instrumental yang disesuaikan dengan tuntutan
keh.idupan, dengan tetap mempertahankan nilai fundamentalnya. Upaya
tersebut dimaksudkan agar dapat mencegah arus migrasi ke luar,
terutama kalangan generasi muda, dan meredam konflik, baik
konflik antar pribadi dan yang terpenting adalah konflik dalam batin
masing-masing pribadi anggota masyarakat.
Beberapa bentuk perubahan nilai tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut.
(1) Kursi tamu dahulu termasuk dalam katalog adat sebagai benda
yang ditabukan karena dipandang sebagai simbol kemewahan.
Pada saat ini benda tersebut sudah dianggap "profan" yang dapat
dimiliki oleh siapa saja asal mampu. Mengapa hal ini terjadi,
tampaknya pada masyarakat Kampung Naga telah terjadi
perubahan standard hidup, khususnya bagi ukuran kemewahan.
Kursi tamu dewasa ini bukan lagi merupakan barang mewah,
oleh karena itu tidak lagi tercantum dalam katalog adat sebagai
benda yang ditabukan.
2) Bibit padi unggul yang usianya relatif pendek ("pare hawara")
pun menurut pandangan anggota masyarakat Kampung Naga,
dewasa ini boleh ditanam jika masyarakat menghendakinya,
asal "pare gede" pun sebagai bibit padi warisan "karuhun" juga
ditanam secara berdampingan. Praktek ini umumnya dilakukan
oleh mereka yang memiliki lahan agak luas pada lokasi yang
16
berbeda, pada sawah yang satu misalnya ditanam "pare gede"
dan pada sawah yang lainnya ditanam "pare hawara". Peristiwa
ini sebenarnya cukup logis, sebab dengan meningkatnya aspirasi,
kebutuhan mereka pun bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut diperlukan sejumlah uang. Dengan menanam "pare
hawara" bagi mereka ada peluang untuk mendapatkan sejumlah
uang itu dengan jalan menjual hasil panen ke bandar. Adapun
"pare gede" umumnya tidak diperjual-belikan, mereka
mengkonsumsinya sendiri. Sayangnya, pandangan tersebut baru
diaktualisasikan oleh sebagian kecil saja dari mereka.
3) Demikian pula halnya televisi dan pesawat radio transistor
dewasa ini sudah menjadi barang yang profan yang dapat
dimiliki oleh siapa saja asal mampu untuk membelinya.
Perubahan ini merupakan salah satu starategi yang dilakukan
kalangan "sesepuh adat" untuk menghindari arus migrasi ke luar
yang meningkat terus, terutama generasi muda. Sebagaimana
dimaklumi bahwa adat mereka memberi peluang seluas-luasnya
bagi yang ingin menikmati kehidupan yang lebih baik asal di luar
lingkungan Kampung Naga. Peluang adat ini memang
dimanfaatkan terutama oleh pasangan muda yang melakukan
migrasi ke luar. Akan tetapi akhirnya timbul masalah karena
dengan adanya migrasi ke luar yang demikian banyak dari
tahun ke tahun penduduk Kampung Naga terus berkurang.
Untuk menanggulangi hal itu, demikian juga untuk menghindari
terjadinya konflik batin pada golongan masyarakat yang telah
meningkat aspirasinya, ditempuhlah kebijakan untuk mengadopsi
televisi dan radio sebagai salah satu sarana hiburan yang
diharapkan dapat mengerem arus migrasi ke luar.
Demikianlah gambaran masyarakat Kampung Naga, dan
17
umumnya seluruh "Seuweu-siwi Naga" yang tengah menjalani
proses perubahan. Sekalipun disadari bahwa dengan diadopsinya
inovasi teknologi akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana
bagi khidupan masyarakat Kampung Naga, termasuk kemungkinan
menimbulkan dampak negatif, akan tetapi teknologi walau
bagaimana pun sangat penting kehadirannya sebagai pendorong
perubahan. Lauer (1989: 220) menjelaskan bahwa mengapa
teknologi dipandang sebagai mekanisme perubahan sosial,
terutama bagaimana cara teknologi mendorong perubahan.
Pertama. teknologi meningkatkan alternative kita. Teknologi baru
membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai kedalam
alam kemungkinan. Teknologi dapat nengubah kesukaran relatif
dan memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Jadi dengan
inovasi teknologi berarti masyarakat berhadapan dengan sejumlah
besar alternatif dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai
perubahan besar di berbagai bidang. Kedua. teknologi mengubah
pola-pola interaksi. Segera setelah teknologi diterima, mungkin
akan terjadi pergeseran penting tertentu dalam pola interaksii,
pergeseran yang dituntut oleh teknologi itu sendiri. Ketiga. mengapa
teknologi mempengaruhi perubahan, terletak dalam
kecenderungan perkembangan teknologi menimbulkan nasalah
sosial baru. Adanya masalah ini menimbulkan semacam tanggapan
yang dapat mengakibatkan berbagai perubahan untuk
menyelesaikannya.
Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. memperoleh gelar S1 (Drs) pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia 1987; jenjang S2 (M.Si) diraihnya pada 1994 di Universitas Padjadjaran dalam Kajian Utama Sosiologi dan Antropologi; gelar doctor (Dr) diraihnya pada 2001 pada universiytas yang sama dalam bidang ilmu socsal. Sejak 2007 sampai sekarang menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung Indonesia. Untuk keperluan akademik dapat dihubngi pada [email protected].
18
Daftar Rujukan
Budimansyah, D. (1994) Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi, Suatu Kajian Tentang Tradisi dan Perubahan Pada Masyarakat dan Migran Asal kampong Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tesis yang tidak diterbitkan, Bandung: Universitas Padjajaran.
19