MANDAT LIGA BANGSA-BANGSA : KEGAGALAN PALESTINA...
Transcript of MANDAT LIGA BANGSA-BANGSA : KEGAGALAN PALESTINA...
MANDAT LIGA BANGSA-BANGSA :
KEGAGALAN PALESTINA MENJADI NEGARA MERDEKA
(1920-1948)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
HANAFI WIBOWO
(111002200002)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
i
ii
iii
DEDIKASI
Didedikasikan kepada seluruh rakyat Palestina yang sedang berjuang
menciptakan sebuah negara merdeka yang berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah dengan negara lainnya
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi
Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari jalan yang gelap
gulita menuju jalan yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan
Palestina Menjadi Negara Merdeka (1920-1948)” merupakan salah satu syarat
untuk mencapai gelar sarjana Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya
skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Duta Besar Palestina, Bapak Fariz al Mehdawi. Sebagai narasumber
utama, beliau telah menyediakan waktu untuk berbagi cerita mengenai
perjuangan rakyat Palestina, membagi sumber sumber tertulis sebagai
bahan rujukan utama skripsi ini, memberikan nasihat nasihat bagaimana
seharusnya seorang lelaki mencapai cita citanya, dan berbaik hati
mengajak penulis makan malam di kediamannya.
2. Bapak Drs. H. M. Ma'ruf Misbah MA selaku Ketua jurusan Sejarah &
Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu dalam proses
terlaksananya skripsi ini
3. Ibu Sholikatus Sa'diyah, M.Pd selaku Sekretaris jurusan Sejarah &
Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu memproses skripsi ini
v
4. Bapak Dr.Fuad Jabali,MA selaku Dosen Pembimbing I yang selalu
memberikan tantangan untuk mencari sumber-sumber sejarah yang
Orisinil, memotivasi untuk terus bekerja keras, mengajarkan cara membuat
argument yang baik dan menginspirasi agar jangan membatas imajinasi.
5. Bapak Dr.Saiful Umam,MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah
mengoreksi halaman demi halaman skripsi ini selama dalam masa
bimbingan serta mengajarkan Penulis untuk lebih teliti.
6. Bapak Prof.Dr.H.Didin Saipuddin,MA selaku Dosen Penguji I, yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk menguji Skripsi ini dengan sangat
Adil dan Objektif
7. Ibu Dr.Amelia Fauzia,MA selaku Dosen Penguji II, yang telah
menyisihkan waktunya guna menguji skripsi ini dengan sangat antusias,
serta karena selalu mendorong penulis dan teman teman sekelas untuk
menggunakan sumber-sumber online semaksimal mungkin.
8. Bapak Dr.Saidun Derani,MA selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
telah membantu dalam proses pembuatan Proposal Skripsi.
9. Uwak tercinta, Farhan Sunyoto Mukadi, yang telah mengajarkan penulis
dengan sabar, bagaimana cara membuat tulisan ilmiah yang baik dan benar
10. Uwak tercinta, Suhaenah “Enna” Hartono-Mukadi, yang selalu mendoakan
penulis dan membantu pencetakan skripsi ini.
11. Mbah tercinta, Tubagus Syamsuddin Suriakusuma, yang selalu
memberikan kasih sayang pada penulis dan juga memberikan pengetahuan
pada penulis mengenai sejarah keluarga besar.
vi
12. Eyang tercinta, (Alm).Ngakan Ngurah Sutedja Gedong Artha dan Artiniati
Sutedja Arba‟i yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungannya
agar penulis menjadi orang yang berguna di masyaralat
13. Ayahanda Tercinta, Abdul Radja Sutjahjo Mukadi, yang telah
menunjukkan “Jalan Keilmuwan” bagi Penulis dan merupakan Rekan
Diskusi Utama bagi Penulis
14. Ibunda tercinta, Retno Sandrawati, yang telah melahirkan, membesarkan,
mengasuh, menyayangi dan membentuk pribadi Penulis
15. Seluruh Keluarga Besar Raden Mas Mukadi (Cirebon) & Ratu Siti Chawa
(Banten), yang namanya tak dapat saya sebutkan satu persatu namun
semuanya sangat berarti bagi penulis.
16. Seluruh Kawan Kawan SKI angkatan 2010
17. Serta seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas
kebaikan-kebaikan mereka dengan setimpal. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan
dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran kami hargai demi penyempurnaan
penulisan serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang
membutuhkan.
vii
ABSTRAK
Hanafi Wibowo
Mandat Liga Bangsa-Bangsa : Kegagalan Palestina Mendirikan Negara
Merdeka (1920-1948)
Studi ini mengkaji Palestina pada masa Mandat Inggris melalui Metode
Historis dengan Pendekatan Politik. Pasca Perang Dunia Pertama (1914-1918),
Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa Bangsa untuk mengelola administrasi
bekas wilayah wilayah Arab yang sebelumnya adalah bekas wilayah Turki
Usmani. Di dalam proses pengelolaan ini, terjadi permasalahan dimana muncul
dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu Zionis Yahudi sebagai pendatang
baru dan rakyat Palestina sebagai penduduk asli.
Keinginan Liga Bangsa Bangsa yang menugaskan Inggris untuk
memberikan masing masing kedua bangsa itu sebuah negara yang merdeka
mendapat penolakan baik dari pihak Palestina maupun dari pihak Yahudi itu
sendiri. Studi ini juga mempelajari dampak dari keberhasilan orang Yahudi
mendirikan Israel diatas penderitaan rakyat Palestina karena rasa kehilangan dan
harus menerima keadaan sebagai sebuah bangsa yang terdzalimi. Studi ini ingin
menjelaskan mengapa Palestina mengalami kegagalan dalam mendirikan sebuah
negara merdeka yang penulis dapatkan dari pelbagai sumber dan data-data
tertulis.
Menurut penelahaan penulis, era Mandat Inggris adalah akar dan awal
kegagalan Palestina mendirikan negara merdeka, selain itu terdapat dua faktor
penting penyebab kegagalan tersebut. Pertama, adalah faktor internal dari rakyat
yang saat itu berupa adanya kesalahan strategi dari elit dan rakyat Palestina
sendiri. Kedua yaitu faktor eksternal adalah campur tangan negara-negara Arab
tetangga yang memecah Palestina demi kepentingannya serta keinginan pihak
Zionis Yahudi yang bersikap oportunis demi menciptakan negara Yahudi di
Palestina
Kata Kunci: Mandat Inggris, Palestina, Nasionalisme Arab
viii
KATA PENGANTAR
Timur Tengah merupakan entitas wilayah yang secara politis merupakan
tempat lahirnya peradaban. Di masa lalu, Bangsa Mesir Kuno pernah membangun
Piramida yang menjulang megah, Bangsa Phoenicia memperluas Imperium
Maritim, Bangsa Mesopotamia menciptakan negara negara kota yang makmur.
Namun ada satu wilayah di Timur Tengah yang selalu menjadi pusat perhatian
seluruh dunia hingga hari ini, yaitu Palestina.
Kawasan Palestina bukan hanya subur karena terletak di ujung barat dari
Daratan Bulan Sabit yang Subur (The Fertile Crescent), namun juga, memiliki
posisi yang strategis karena merupakan penghubung dua benua, yaitu Asia, dan
Afrika, serta menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah. Wilayah
Palestina berbatasan langsung dengan Syria, Lebanon, Jordania dan Mesir; yang
artinya menghubungkan negara-negara berbahasa Arab di kawasan Benua Asia
dengan negara-negara berbahasa Arab di Benua Afrika.
Kesuburan tanah dan letak yang strategis, menjadi daya tarik bagi berbagai
suku & bangsa untuk mendiami atau menguasai daerah tersebut. Kesuburan suatu
daerah, merupakan suatu aspek penting penunjang tumbuh kembangnya budaya
dan ekonomi bagi manusia yang tinggal di tempat itu sekaligus juga kerugiannya
akan memancing bangsa bangsa lain untuk datang selain berniaga disana juga
menguasai dan menjajahnya.
Terlepas dari hal di atas, studi kali ini, mengambil topik kajian salah satu
periode dalam Sejarah Palestina berjudul Mandat Liga Bangsa-Bangsa :
Kegagalan Palestina Mendirikan Negara Merdeka (1920-1948).
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... I
DEDIKASI ........................................................................................................ IIIII
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. IV
ABSTRAK ..................................................................................................... VIVII
KATA PENGANTAR ................................................................................ VIIVIII
DAFTAR ISI ..................................................................................................... IXX
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. PERMASALAHAN............................................................................. 6
1.Identifikasi Masalah ................................................................... 6
2.Pembatasan Masalah .................................................................. 6
3.Rumusan Masalah ...................................................................... 7
C. TUJUAN & MANFAAT PENELITIAN .................................................. 7
D. KAJIAN PENDAHULUAN .................................................................. 9
E. METODE PENELITIAN & PENDEKATAN PENELITIAN ........................ 9
1.Pendekatan Penelitian ................................................................ 9
2.Metode Penelitian..................................................................... 10
F. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................. 13
BAB II NEGARA BANGSA & NASIONALISME PALESTINA ................ 15
A. TEORI TERBENTUKNYA NEGARA ................................................... 15
B. MUNCULNYA NASIONALISME PALESTINA ..................................... 16
BAB III AWAL KEKUASAAN INGGRIS & KEBIJAKANNYA ................ 30
A. LAHIRNYA MANDAT INGGRIS ........................................................ 30
B. KEBIJAKAN MENGENAI IMIGRASI YAHUDI (ALIYAH) ..................... 37
BAB IV RESPON PALESTINA TERHADAP KEKUASAAN INGGRIS ... 44
A. KERUSUHAN TAHUN 1929 ............................................................ 44
B. PEMBERONTAKAN ARAB PALESTINA 1936-1939 ........................... 53
C. KOLABORASI DENGAN NAZI JERMAN ............................................ 69
BAB V AKHIR KEKUASAAN INGGRIS & TATANAN DUNIA BARU .. 74
A. PEMBAGIAN PALESTINA & BERDIRINYA ISRAEL ............................ 74
B. PERANG ARAB-ISRAEL 1948 ......................................................... 88
C. PENGAMBILALIHAN HAK-HAK PALESTINA OLEH NEGARA ARAB
TETANGGA ............................................................................................. 95
x
BAB VI KESIMPULAN .................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 102
LAMPIRAN & GAMBAR-GAMBAR ............................................................ 115
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1517 hingga 1917, Palestina dikuasai oleh Turki Usmani yang
menempatkan Wilayah Palestina yang Mencakup Muttasharifate Jerusalem
(Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota Kota di Sekitarnya seperti Jaffa,Hebron &
Betlehem ke dalam Wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria) 1
Saat itu kekuatan militer Turki Utsmani sangatlah lemah sehingga tidak
berminat ikut serta dalam konflik militer apapun. Namun Sultan Utsmani saat itu,
Mehmed V Reşad tidak lebih dari boneka menggantikan Abdülhamid II, yang
digulingkan pada tahun 1908 dan digantikan dengan pemerintahan militer yang
dipimpin oleh Enver Pasha dan Talat Pasha. Akhirnya, Pada tanggal 22 Juli 1914,
Turki Usmani mengajukan tawaran Aliansi kepada Jerman. Wilhelm II, German
Emperor & King of Prussia menerima tawaran itu pada tanggal 2 Agustus 1914.
Maka Turki Usmani resmi bergabung dengan Blok Sentral.2
Salah satu strategi Inggris melawan Aliansi German-Usmani adalah
mengajak Bangsa Arab untuk melawan Usmani. Mereka menemukan pembantu
yang siap dan bersedia melakukan hal itu di Hijaz, yaitu Sharif Hussein bin Ali,
yakni Emir dari Mekkah yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah
Inggris untuk memberontak melawan Imperium Utsmani.Pada tahun 1915 mereka
1Dror Zeevi, An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State
University of New York Press, 1996), h. 121. 2H.S.W Corrigan, “German-Turkish Relations and the Outbreak of War in 1914: Re-
Assessment”, Past and Present, Vol. 0, h.144-152
2
melakukan korespondensi yang membahas tentang rencana yang akan dilakukan
Inggris terhadap wilayah Arab yang dulu dikuasai oleh Usmani.3
Inggris berjanji kepadanya bahwa setelah perang, dia akan diberi kerajaan
Arab tersendiri yang akan mencakup seluruh Semenanjung Arab, termasuk Syria
dan Irak. Surat-surat di mana kedua belah pihak menegosiasikan dan membahas
pemberontakan ini dikenal sebagai Korespondensi McMahon – Hussein, saat
Sharif Hussein berkomunikasi dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir
Henry McMahon.4
Perang Dunia Pertama pun pecah, Pada pertempuran di dekat Terusan
Suez pada Tahun 1915 dan 1916, pasukan gabungan Turki-Jerman berhasil
dikalahkan dalam pertempuran di Desa Romani oleh pasukan dari Divisi Infanteri
daratan ke 52. Setelah kemenangan ini, Inggris semakin maju melintasi Gurun
Sinai, mendorong pasukan Usmani pada Pertempuran Rafah di perbatasan Gurun
Sinai dan masuk ke Palestina pada bulan januari 1917.5
Sementara itu di Semenanjung Arabia, Pemberontakan melawan Turki
Usmani atau yang disebut dengan “Great Arab Revolt” dimulai pada bulan Juni
1916, dipimpin oleh Sharif Hussein dari Makah dan dibantu oleh T.E. Lawrence
dari Pasukan Inggris. Pasukan Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund
Allenby, merebut Jerusalem pada tanggal 9 Desember 1917 dan menduduki
3Randall Baker, King Hussain & Kingdom of Hejaz. (Cambridge : Oleander Press,
t.t.),h.64-65 4Hussein-McMahon Correspondence, dari Jewish Virtual Library.
5David Fromkin. A peace to end all peace : the fall of the ottoman empire and the
creation of modern middle east, (New York : Owl Books, t.t.), h.119
3
seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki di Palestina pada Pertempuran
Megiddo pada bulan September 1918.6
Sebelum Revolusi Arab dimulai dan bahkan sebelum Sharif Hussein bisa
menciptakan kerajaan Arabnya, Inggris dan Perancis sudah punya rencana lain.
Pada musim dingin tahun 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari
Inggris dan François Georges Pycot dari Perancis diam-diam bertemu untuk
memutuskan nasib dunia Arab pasca Utsmani7.
Menurut Perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Perancis sepakat untuk
membagi dunia Arab diantara mereka berdua. Prancis mendapat wilayah Levant
sedangkan Inggris memperoleh Vilayet Iraq, Transjordan dan Palestina. Perjanjian
ini jelas bertentangan dengan janji Inggris yang dibuat bagi Sherif Hussein.
Namun, hal ini tidak menjadi satu-satunya yang bersifat kontradiktif yang dibuat
oleh Inggris.8
Inggris menyatakan bahwa semua wilayah yang akan dikembalikan tidak
termasuk Palestina. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah yang bukan
murni Arab (Cannot be said to be purely Arab) tidak termasuk dalam perjanjian
itu. Inggris menganggap bahwa penduduk Palestina bukanlah murni Bangsa Arab.
Pada tahun 1918 perang berakhir dengan kemenangan Sekutu yang segera
menghancurkan Turki Usmani lewat Perjanjian Sevres, bersamaan dengan itu
Wilayah Timur Tengah dibagi-bagi oleh Sekutu yaitu Prancis dan Inggris yang
sejak awal sudah merencanakannya.
6Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin
Press, 1969),h.122-138 7 Sykes-Picott Agreement, Avalon Project
8Matthew Hughes, Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-1919,(London :
Taylor & Francis,1999), h.122-124
4
Sebagai dampak langsung dari Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (yang
merupakan cikal bakal PBB) didirikan. Salah satu pekerjaannya adalah untuk
memecah Provinsi-Provinsi Utsmani yang ditaklukan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
menyusun “mandat” bagi dunia Arab. Setiap mandat dikuasai oleh Inggris atau
Perancis “sampai saat mereka mampu berdiri sendiri. ”Sesuai yang telah
disepakati dalam Perjanjian Sykes-Pycott maka Inggris juga menerima wilayah
Palestina.
Namun, pada tahun 1917, Inggris sudah terlebih dahulu memberikan janji
pada kelompok Zionis untuk mendukung berdirinya Jewish national Homeland di
Palestina.
Menurut Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al
Mehdawi, Inggris seperti suami yang memiliki dua isteri, di satu sisi berjanji akan
memerdekakan bangsa Arab namun di sisi lain berjanji untuk mendirikan Jewish
National Homeland, hal tersebut sangat kontradiktif dan sangat mungkin Inggris
mendapat Mandat atas Palestina untuk mempermudah pelaksanaan janji pada
kelompok Zionis9.
Palestina merupakan wilayah yang amat strategis bagi kepentingan Inggris
di Timur Tengah, karena bisa berperan sebagai “zona penyangga” antara koloni
Inggris di Mesir dan koloni Prancis di Levant, oleh karena itu Inggris perlu
menjamin berdirinya negara di wilayah itu kelak; selain itu Terusan Suez tidak
akan dapat dipertahankan bila tidak menguasai Palestina, jika Terusan Suez tidak
lagi dapat dipertahankan, dengan menguasai Palestina, Yordania, dan Irak, pihak
Inggris tetap dapat berhubungan dengan Asia melalui Laut Tengah dan Teluk
9 Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi,
Jakarta 4 Juli 2014.
5
Persia. Kelak, pipa-pipa minyak dari Irak ke Laut Tengah bisa melewati wilayah
Palestina, di pelabuhan Haifa.
Pada 24 April, Mandat Inggris atas Palestina dikonfirmasikan lewat
Perjanjian San Remo10
dan dipimpin oleh Herbert Samuel, yang merupakan
Komisaris Besar Inggris untuk Palestina yang pertama. Pada masa
kepemimpinannya, ia mengampuni Amin Al- Husayni yang dijebloskan kedalam
penjara karena ikut serta dalam “Pemberontakan Festival Nabi Musa”. Setelah
bebas, Al- Husayni menjadi Mufti Palestina, menggantikan Kamil Al-Husayni
yang wafat. Selain itu, ia juga mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Moslem
Supreme Council) yang mengatur dan menjaga segala lembaga dan komunitas
Islam di Palestina11
. Herbert Samuel juga mendirikan Jewish Agency, organisasi
yang serupa dengan Dewan Tinggi Muslim tapi untuk para Imigran Yahudi.
Dengan keputusan tersebut maka kepentingan orang Arab Palestina
maupun orang Yahudi seharusnya tercover dengan baik, namun konflik yang akan
terjadi di masa mendatang di Palestina membuat Inggris gagal membentuk dua
negara bagi masing masing etnis.
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk
diteliti, yaitu posisi Palestina yang strategis di Mata Inggris, namun Pemerintah
Inggris masih mencoba mengikuti instruksi Liga Bangsa Bangsa untuk
mempersiapkan Palestina menjadi Negara Merdeka bagi Etnis di dalamnya, yaitu
rakyat Arab selaku penduduk asli dan Yahudi sebagai pendatang. Namun
Akhirnya hanya Israel yang bisa berdiri sedangkan Palestina gagal.
10
Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine,"
Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972 11
Baruch Kimmerling & Joe S Migda. The Palestinian People. (Massachusets : Harvard
University Press,2003), h.86
6
Dipilihnya Palestina sebagai Objek Kajian dikarenakan Palestina nota bene
sebagai tempat yang sangat penting baik secara praktis maupun simbolis. Dari
zaman ke zaman, puluhan imperium memperebutkan Palestina dan kota suci di
dalamnya demi tujuan indroktinasi agama maupun legitimasi Kekuasaan.
Adapun dipilihnya Mandat Inggris sebagai Objek Kajian, karena Penulis
memiliki akses terhadap Sumber Sumber Tertulis terutama Arsip dalam bahasa
Inggris mengenai Kebijakan Inggris di Palestina dan Reaksi Perlawanan Bangsa
Arab. Selain itu, dari Sumber Sumber Tertulis, penulis menelaah bahwasanya
Periode Mandat Inggris merupakan awal dan akar kegagalan Palestina Menjadi
Negara Merdeka yang menyebabkan konflik berkepanjangan hingga hari ini.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari Penelaahan diatas, penulis menemukan bahwa kegagalan Palestina untuk
mendirikan negara merdeka sesuai dengan tujuan Mandat Inggris (1920-1948)
disebabkan karena kesalahan strategi Bangsa Arab Palestina, perbuatan kelompok
Zionis Yahudi yang datang sebagai imigran dan campur tangan Negara Arab
tetangga. Hal tersebut masih kita temukan sampai saat ini. Jadi, Penulis
menganggap hal itu masih merupakan hal yang aktual dan menarik untuk dibahas.
2. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan tema dan studi yang dipilih, penulis merasa perlu untuk
memberikan batasan kajian dan merumuskan terlebih dahulu masalah yang akan
dibahas agar arah, tujuan dan sasaran yang hendak disampaikan akan lebih jelas
dan terarah.Hal ini untuk menjaga agar tulisan tetap fokus pada permasalahan dan
juga untuk menghindari bias pada hasil yang akan di sajikan. Dengan demikian
7
penelitian ini difokuskan pada Wilayah Palestina pada Masa kekuasaan Inggris
pada tahun 1920-1948, dari awal kedatangan Inggris di Palestina hingga tahun
1948, yaitu masa berakhirnya kekuasaan Inggris dan berdirinya negara Israel serta
pembagian wilayah Palestina oleh Mesir serta Jordania. Adapun dalam Objek
penelitian tersebut Mencakup juga kebijakan Inggris dan respon rakyat Palestina,
peran Zionis Yahudi serta Fakor Faktor yang menyebabkan Kegagalan Bangsa
Arab.
3. Rumusan Masalah
Masalah pokok dalam penelitian ini adalah, Mengapa Palestina gagal
menjadi negara merdeka ?
Adapun sub masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Pemerintah Inggris Inggris, Zionis Yahudi dan
Bangsa Palestina dalam kegagalan tersebut ?
2. Apa saja faktor faktor yang menyebabkan kegagalan Palestina dalam
mendirikan negara nerdeka ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan sejumlah permasalahan di atas, tujuan skripsi ini ingin
menjelaskan kenapa Palestina gagal menjadi negara merdeka lewat sumber-
sumber tertulis.
Karena pada dasarnya, Sejarah selalu akan menyajikan manfaat atau akan
memberikan pencerahan yang positif bagi pembaca sejarah pada masa kini dan
pada masa mendatang, maka manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara edukatif, Dapat memberikan pelajaran bagi Penduduk Arab Palestina
pada khususnya dan bangsa Arab diluar Palestina pada umumnya bahwa
8
Persatuan demi mencapai tujuan bersama, dan percenaaan yang matang jauh
lebih penting dibanding sikap Tribal-Sentris.
2. Sebagai cermin bagi Bangsa-Bangsa lain, Bahwa untuk mencapai suatu tujuan
yang mulia seperti mendirikan sebuah negara atau mempertahankan eksistensi
suatu negara, perlu rasa kebersamaan yang kuat, cita cita yang telah lama
berakar, dan rasa solidaritas senasib sepenanggungan.
D. Kajian Pendahuluan
Adapun Buku buku yang dijadikan sebagai acuan data dalam studi ini,
adalah :
1. Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine, 1948: The
Diary of Sir Henry Gurney. Buku harian yang ditulis ulang, menceritakan
mengenai Kekuasaan Inggris di Palestina pada hari-hari terakhir, dilihat
dari sudut pandang Pejabat Inggris. Untuk mengetahui kenapa Palestina
gagal mendirikan Negara merdeka, Buku ini merupakan sumber yang
perlu diutamakan.
2. Mandated Landscape: British Imperial Rule in Palestine 1929-1948
karangan Roza el Alini, seorang Peneliti Asli dari palestina. Buku ini
dipilih agar penulis tidak teralu bias berpatok pada sumber dari satu pihak
saja. Buku ini sangat kaya akan Ilustrasi , Peta dan Data serta menjelaskan
aspek penting bahwa mengurus Palestina dengan Baik adalah Tanggung
Jawab Pemerintah Inggris. Dan bahwa orang Kulit Putih memiliki beban
moral untuk memajukan bangsa yang tak mau, dengan kata lain, buku ini
Pro-Inggris.
9
3. Rashid Khalidi, Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. Adalah
Sumber utama yang membahas mengenai Perjuangan Bangsa Palestina
pada masa kekuasaan Inggris sampai perang Arab-Israel 1948. Buku ini
ditulis oleh seorang Aristokrat Palestina dari Keluarga Khalidi yang
menetap di Amerika pasca Peristiwa Nakba. Beliau berargumen bahwa
pemerintahan Inggris melakukan kesalahan dengan hanya melakukan
negosiasi dengan kalangan elit Palestina, bukannya dengan rakyat
kebanyakan. Penulis memilih tak menggunakan argument ini, karena di
Indonesia sekalipun, kolonialis Asing memilih bernegosiasi dengan para
elit seperti Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir. Argument penulis yang
menurut peneliti sejalan dengan kesimpulan akhir dalam studi ini adalah
mengenai pemberontakan Palestina 1936-1939 yang disebut oleh Penulis
merupakan tindakan yang teralu dini dan membuat hilangnya momentum
yang berharga untuk memerdekakan diri.
4. Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. Penulis adalah
seorang Pemikir Marxis asal palestina, sealiran dengan Gilbert Achcar dari
Lebanon. Ia berargumen bahwa penyebab kegagalan perjuangan Palestina
bukan hanya karena Pemerintah Inggris maupun Zionis Yahudi sebagai
factor eksternal, namun juga karena rakyat Palestina dieksploitasi oleh elit-
elitnya yang berasal dari golongan borjuis.
E. Metode & Pendekatan Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
10
Menurut Sartono Kartodirdjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat
tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi
mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain
sebagainya12
Mengingat penjelasan dari Sartono Kartodirdjo tersebut, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan Pendekatan Politik dalam Studi ini.
Pendekatan politik adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui
bermacam-macam kegiatan dalam sebuah sistem negara maupun politik.Menurut
Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah suatu pendekatan yang mengarah
pada struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan politik
adalah pendekatan dan lain sebagainya. Pendekatan ini digunakan dalam kajian
Kepemimpinan dan perpecahan Fraksi di Tubuh Palestina yang bertentangan
dengan sistem Mandat yang berusaha memenuhi Tanggung Jawabnya
menciptakan Negara Bagi Kedua Bangsa tersebut.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian Sejarah yang penulis gunakan adalah metode analisis –
deskriptif. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau yang berupa teks tertulis. Lalu, poin-poin
penting yang telah dianalisa, kemudian ditulis atau dipaparkan sesuai dengan
bentuk, kejadian, suasana danmasa berlangsungnya topik peneltian sejarah yang
berkaitan.13
12
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.4. 13
Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto. (Jakarta: UI
Press.1983), h. 3.
11
Dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat tahapan-tahapan yang biasanya
dilakukan oleh peneliti sejarah14
dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah
ada. Adapun, tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber (dokumen).15
Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan
dan melakukan penelitian (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-
sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini,. Dalam hal ini
penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan
Universitas Indonesia dan juga Internet sebagai sumber rujukan online. Penulis
juga melakukan wawancara Pribadi dan makan malam dengan Duta Besar
Indonesia untuk Palestina.
2. Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, dimana semua sumber telah
terkumpul dengan baik berupa buku, maupun Arsip, penulis melakukan kritik
dan uji terhadapnya. Dimaksudkan untuk mengidentifikasi keabsahan tentang
keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan
keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di telusuri melalui
kritik intern. Disini, penulis memisahkan antara arsip berupa memorandum,
surat dan perjanjian yang dibuat oleh elit Palestina pada masa itu yang bisa
dikategorikan sebagai sumber primer, lalu arsip perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah Inggris berkaitan dengan masalah Palestina yang juga bisa
14
Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 147. 15
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h.27
12
dikategorikan sumber primer, lalu sumber sumber yang ditulis oleh penulis
Palestina dan yang ditulis oleh orang Yahudi dan orientalis barat.
3. Identifikasi atau penafsiran sejarah (analisis sejarah), yaitu mencoba
menguraikan sebab dan akibat kejadian tersebut. Karena itu, data-data yang
sudah terkumpul dilakukan metode kritik sumber. Biasanya masih berbeda-
beda dalam isinya. Oleh sebab itu, dalam teknik interpretasi ini, diharapkan
penulis mampu menemukan berbagai faktor penyebab. Penulis berargumen,
untuk menemukan sebab-sebab kegagalan dalam perjuangan yang dilakukan
suatu masyarakat, ada baiknya apabila melihat dari sudut pandang eksternal.
Karena, masyarakat di dalam suatu lingkungan memiliki kecenderungan untuk
membela kepentingan dirinya dalam menghadapi tekanan dari luar. Akhirnya,
penulis memutuskan menyaring argument argument di sumber-sumber
Palestina yang sejalan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sisanya
menggunakan sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Yahudi.
4. Fase terakhir dalam metode ini adalah historiografi merupakan cara penulisan,
pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Tahap ini
adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan. Dimana
semua fakta, data dan opini dari segala sumber dituangkan dalam penulisan
skripsi ini.
Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini
adalah buku Pedoman penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
diterbitkan oleh UIN Press, dengan harapan bahwa penulisan ini tidak hanya
baik dari segi isi, tetapi juga baik dari segi metode penulisan.16
16
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Jakarta;
CeQDA, 2007)
13
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun atas lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
2. Pembatasan Masalah
3. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Studi
D. Kajian Pendahuluan
E. Metodologi Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II Negara Bangsa dan Nasionalisme Palestina
A. Teori Terbentuknya Negara
B. Munculnya Nasionalisme Palestina
BAB III Awal Kekuasaan Inggris dan Kebijakannya
A. Pembentukan Administrasi Pemerintahan Inggris
B. Kebijakan mengenai Imigran Yahudi
BAB IV Respon Palestina terhadap Kekuasaan Inggris
A. Kerusuhan tahun 1929
B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939
C. Kolaborasi dengan Nazi Jerman
BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru
14
A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel
B. Perang Arab-Israel 1948
C. Pengambilalihak Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga
BAB VI Kesimpulan
15
BAB II
NATION STATE & NASIONALISME PALESTINA
A. Landasan Teori
Jika kita membahas mengenai status Palestina sebagai Negara Merdeka,
kita harus merujuk pada definisi dasarnya, apakah Negara itu ?. Secara etimologi
kata Negara diterjemahkan dari kata “Staat” dalam bahasa belanda dan jerman,
“State” dalam bahasa inggris dan “Etat” dalam bahasa perancis17
. Dieropa kata-
kata ini kemudian diturunkan dari kata “status” “Statum” dalam bahasa latin.
Dalam sejarahnya Kaisar Romawi Ulpianus pernah menyebutkan kata statum
dalam ucapannya “Publicum ius est quad statum rei Romanae Spectat”18
.
Menurut Jellinek kata “statum” pada waktu itu masih berarti konstitusi.
Menurut MacIver, Negara adalah Negara adalah persembatanan
(penarikan) yang bertindak lewat hukum yang direalisasikan oleh pemerintah
yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memaksa dalam satu kehidupan yang
dibatasi secara teritorial mempertegak syarat- syarat lahir yang umum dari
ketertiban sosial19
.
Teori yang cocok untuk meninjau status Palestina adalah Teori Kekuatan,
dapat diartikan bahwa Negara terbentuk karena adanya dominasi Negara
kuat,melalui penjajahan . menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran
(Raison d‟etre) dari terbentuknya suatu Negara. Melalui proses penaklukan dan
pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses
terbentuknya sebuah negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena
17
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, 1999 ,h.90 18
K.C. dowdall, The World State dalam Law Quarterly Review Volume XXXIX, 1923 19
MacIver, The Web of Government, (Chicago: Free Press, 1965), hal.69.
16
pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk
membentuk sebuah negara. Teori ini berasal dari kajian antropologis ketika
perang suku bahwa suku yangg menang akan menentukan kehidupan suku yang
kalah. Di zaman modern ini,diwujudkan dalam penjajahan oleh Negara barat
sehingga pada awal dan pertengahan abad 20 banyak Negara yg kemerdekaannya
ditentukan oleh pihak penjajah. Contohnya : Jordania, Malaysia dan Brunei
Darussalam20
Teori lainnya yang bisa digunakan untuk menganalisa status Palestina
adalah Teori Kontrak Sosial yang dicetuskan oleh John Locke. Teori perjanjian
masyarakat. Menurut teori ini negara itu timbul karena perjanjian yang dibuat
antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain
tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan agar kepentingan bersama dapat
terpelihara dan terjamin. Dapat pula terjadi suatu perjanjian antara penjajah dan
daerah jajahan, misalnya : Kemerdekaan Syria dan Jordania21
Teori diatas diperkuat oleh pernyataan Duta Besar Palestina untuk
Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi yang menyatakan : “Masalah Palestina
adalah Perjuangan melawan Kolonialisme, bukan perjuangan agama”22
Namun Permasalahannnya disini, Palestina merupakan kasus yang unik
karena merupakan satu-satunya Negara di dunia yang tidak berhasil
memerdekakan diri pasca dekolonisasi oleh pihak Kolonial, disinilah penulis ingin
mencari dimana letak kesalahn itu.
20
A Ubaidillah dkk. Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azazi Manusia &
Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE, 2010). Hlm.89 21
John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993),
hal. 9. 22
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli
2014.
17
B. Munculnya Nasionalisme Palestina
Menurut Muhammad Muslih23
, kebangkitan Nasionalisme Arab
bertendensi kepada peran sentral gerakan Zionisme, yaitu adanya faktor aksi dari
bangsa pendatang dan reaksi dari bangsa yang lebih dahulu tinggal disana. Hal itu
juga menjadi salah satu faktor internal bangsa Arab dalam memunculkan
Nasionalisme ke permukaan. Dalam kasus ini, para pemikir Nasionalis arab yang
mengembangkan paham Nasionalisme baik itu yang bersifat local (Watoniyah)
seperti Izzad Darwaza atau Pan Arabisme (Qowmiyah) seperti Shakib Arslan dan
Abdurrahman al-Kawakibi, sama-sama mengangkat kontradiksi antara
imperialisme Eropa dan kebangkitan bangsa Arab. Mereka selalu melihat dari
sudut kebangkitan kekuatan baru di Timur wilayah Suez pasca runtuhnya Turki
Usmani sebagai dampak dari perselisihan kekuatan-kekuatan asing. Disisi lain
kebanyakan penulis Yahudi melihat Palestina dari sisi kewilayahan dimana politik
Palestina itu berkembang24
.
Entitas politik yang menuntut kemerdekaan diwilayah sebelah timur
Terusan Suez pasca Perang Dunia Pertama, ibarat tanaman merambat yang
menyeruak diantara reruntuhan Turki Usmani. Setelah kekalahan Turki Usmani,
kekuatan pusat didunia Islam digantikan oleh Dinasti-dinasti lokal. Maka dari itu
Nasionalisme lokal mulai mengakar di Palestina, Syria dan Irak25
.
Namun untuk membedah mengenai Nasionalisme Palestina kita harus
merujuk pada Sejarah Palestina yang lalu. Tanah Palestina memiliki sejarah yang
23
Muhammad Muslih adalah Dosen Jurusan Sastra & Bahasa Timur Tengah di
Universitas Columbia, New York 24
Muhammad Muslih. “Arab Politics &Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of
Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 25
Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of
Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94
18
sangat panjang. Wilayah ini merupakan tempat asal semua keturunan Ibrahim,
kakek moyang ketiga agama samawi yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam. Nama
klasik yang terkenal untuk sebutan negeri ini adalah “Tanah Kanaan”, karena
yang pertama kali bermukim di sini adalah Bangsa Kanaan yang termasuk rumpun
Bangsa Semit26
.
Nama Palestina sendiri berasal dari kata „Peleset‟,pertama kali digunakan
oleh Bangsa Mesir untuk menyebut Sea People, sekelompok Suku Petarung Liar
yang menyerbu Mesir pada akhir Zaman Perunggu. Sebenarnya mereka adalah
Keturunan Bangsa Luwian, yang termasuk Rumpun Indo-Eropa dan berasal dari
Anatolia. Namun mereka bermigrasi ke wilayah-wilayah pesisir seperti Gaza dan
Ashkelon, lalu berasimilasi dengan orang-orang Kanaan. Kemudian Penduduk
Kanaan menamai negeri mereka dengan sebutan „Filistin‟, ejaan Kanaan dari
nama Peleset.27
Tahun 1020 Sebelum Masehi, Bangsa Semit Yahudi menjadi semakit kuat
dan menggeser posisi Bangsa Filistin dengan berdirinya Kerajaan Israel dibawah
kepemimpinan Saul, lalu dilanjutkan oleh David dan, Solomon. Selanjutnya,
Kerajaan itu pecah menjadi Kerajaan Yehuda di Selatan dengan Ibukota
Jerussalem dibawah Kepemimpinan Rehabeam dan Kerajaan Israel di Utara
dengan Ibukotanya yaitu Samaria, dibawah kepemimpinan Jeroboam.28
Bangsa Yahudi disingkirkan setelah Neo-Assyrian Empire yang juga
berasal dari rumpun Bangsa Semit menyerang Israel, pemimpin Neo-Assyrian
26
Michael Coogan, Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox press,1978),
h.10 27
Abraham Malamat, Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period of the
Judges. (New Brunswick : Rutgers University Press, 1971), h.24 28
Joanes Poloner. John Poloner‟s Description of the Holy Land.(London : Palestine
Pilgrims' Text Society, 1894),h.18
19
Empire yang terkenal kejam adalah Tighlath Pletser III dan Sargon II.Pada masa
kekuasaan Assyria. Bahasa Aramaik dan Assyrian menjadi bahasa percakapan
sehari-hari di wilayah ini. Nama Filistin sebagai nama wilayah digunakan
kembali oleh Penguasa Assyria dengan ejaan Palashtu atau Pilistu.29
Nama Palestina kemudian menjadi populer pada abad ke 5 Sebelum
Masehi berkat Bangsa Yunani, lewat tulisan-tulisan Herdotus. Ia menyebut
wilayah dari Pegunungan Yudea dan Lembah Sungai Jordan sebagai
“Palaistina”30
.
Pada tahun 63 SM, Pompey atau yang sering disebut Pompius menaklukan
Tanah Israel dan menamai Israel sebagai Roman Iudaea. Tahun 135 Masehi,
Pemimpin masyarakat Yahudi yang bernama Simon Bar Kokchba melakukan
pemberontakan melawan Romawi. Emperor Hadrian mengirimkan Julius Sevenus
dan sejumlah besar Legiun untuk memadamkan pemberontakan serta menaklukan
Jerussalem. Pada saat itu, bangsa Yahudi kalah dan dibuatlah peraturan yang
melarang mereka masuk ke kota apapun alasannya31
.
Setelah pemberontakan, Emperor Hadrian mengubah nama Jerussalem
menjadi Aelia Capitolina. Tempat peribadatan Yahudi, Haikal Solomon, diganti
dengan Kuil Jupiter, lambang supremasi Roma. Mulai saat itu bangsa Yahudi
tersebar ke luar Palestina. Namun, ada sebagian komunitas kecil yang tetap
29
Simo Parpola. “National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian
identity of Post-Empire Times”.University of Helsinki.Paper for the International Symposium
“Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, Leiden,2002. Journal of Assyrian Academic Society, h.8 30
Pierre Henry Larcher. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical Remarks
on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological Table, Volume 1.
(Charleston :Nabu Press,2006), h.427 31
Peter Schäfer. Bar Kokhba War : New Perspectif of Second Jewish Revolt Against the
Roman Empire. (Tübingen : Mohr Siebeck,2003),h. 153
20
bertahan di sana32
. Emperor Hadrian juga menghapus nama Israel maupun Yudea,
lalu diganti menjadi Provincia Syria-Palaestina; Pemilihan nama yang bersumber
dari bahasa Yunani itu disebabkan karena Bangsa Romawi banyak menyerap
budaya serta kearifan Yunani33
.
Sesudah masa itu, pengaruh agama Kristen yang berasal dari Palestina
masuk ke Roma. Pada masa Emperor Constantine, agama Kristen menjadi agama
Resmi Negara; kemudian agama tersebut disebarkan kembali ke daerah asalnya
yaitu Palestina. Pasca pembagian Romawi tahun 395, Palestina berada dalam
kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau yang disebut juga Kekaisaran
Byzantium, dimana Bahasa Yunani merupakan Bahasa Resmi Negara. Provinsi
Syria-Palaestina dirombak kembali susunannya : 1) Provinsi Palaestina Prima,
yang mencakup Ibukota Jerussalem,Tepi Barat & Laut Mati juga Jalur Gaza; 2)
Provinsi Palaestina Secunda, mencakup sekitar Danau Tiberias di Utara; 3)
Provinsi Palaestina Salutaris, mencakup sisi Timur Sungai Jordan &
Semenanjung Sinai34
Tahun 611 M, Khoesraw II, Penguasa Kekaisaran Sassanid Persia
membangun aliansi dengan rakyat Yahudi yang terusir untuk menyerang
Palestina. Palestina kemudian dibentuk menjadi Persian-Jewish Commonwealth,
Jerussalem berhasil direbut. Gereja Holy Sepulchre dihancurkan dan hartanya
dibawa ke Persia, sedangkan para uskupnya ditahan35
.Pada Tahun 628 M,
32
Fergus Millar.”Tranformation of Judaism under Greco-Roman Rule : Response to Seth
Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute Oxford.Journal of Jewish
Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h144 33
Benjamin Isaac & Yuval Shahar. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in
Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012), h. 181 34
James Clarcke. Writers on Palestine. h.245 35
Ben Abrahamson & Joseph Katz.The Persian Conquest of Jerussalem, Compared with
MuslimConquest,http://www.alsadiqin.org/history/The%20Persian%20conquest%20of%20Jerusal
21
Emperor Heracleus dari Byzantium menaklukan kembali teritorial tersebut.
Sayangnya, Kekuasaan Byzantium di Palestina tidak berlangsung lama.
Sepuluh tahun kemudian, tentara Arab Muslim berhasil menguasai
wilayah Palestina. Mereka mengeja nama “Palaestina” sebagai “Filastin” untuk
wilayah tersebut. Bahasa Yunani & Aramaik yang sebelumnya merupakan Lingua
Franca (bahasa percakapan sehari-hari) di seluruh Levant (Syria Raya) digantikan
oleh Bahasa Arab secara berangsur-angsur.
Ketika Palestina masuk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam pada
masa kekhalifahan Bani Umayah (661–750), Provinsi Palaestina Prima dirubah
menjadi Distrik Militer (jund), bernama Jund al-Filastin dan menjadi salah satu
wilayah dari Provinsi Bilad ash-Sham (Syria Raya). Jundal-Filastin membentang
dari Gurun Sinai hingga dataran rendah Acre, termasuk di dalamnya Kota
Rafah, Caesarea, Gaza, Jaffa, Nablus dan Jericho;
sedangkan Ibukota distrik ini
adalah Ramalah. Provinsi Palaestina Secunda juga dirubah menjadi Distrik
Militer bernama Jund al-Urdunn mencakup wilayah Utara & Timur dari Jund al-
Filastin, termasuk diantaranya Kota Beit She‟an and Tiberias36
.
Selanjutnya Palestina berkembang menjadi wilayah yang otonom pada
masa kekhalifahan Abbasiyah, yaitu setelah masa pemerintahan Abu Abbas al
Saffah dengan Ramalah tetap menjadi sentral pemerintahan. Seiring dengan
melemahnya pemerintahan pusat Abbasiyah, Palestina dikuasai oleh sejumlah
em%20in%20614CE%20compared%20with%20Islamic%20conquest%20of%20638CE.pdf,
diakses pada hari jumat tanggal 4 April 2014 36
Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of
the State of Israel. (New Jersey : Princeton University Press,2008), h.15
22
dinasti lokal yang semakin menguat seperti Ikhsidiyah, Tuluniyah, dan akhirnya
Palestina jatuh ke tangan Kekhalifahan Syi‟ah Fatimiyah pada tahun 96837
.
Pada masa Perang Salib, Palestina pernah jatuh ke tangan tentara Kristen.
Mereka berkeinginan untuk kembali menguasai Palestina, terutama Kota Suci
Jerusalem. Pada Konsili Clermont, Paus Urbanus II meneriakkan “Deus Veult,
Deus Veult !!” (Tuhan Menghendaki). Urbanus II menjanjikan bahwa siapapun
yang ikut serta dalam peperangan ini akan langsung masuk surga atau setidaknya
memperpendek waktu di Api Neraka (Flame of Purgatory)38
.
Provokasi Paus tersebut menjadi sangat efektif pada para bangsawan
Eropa yang berkeinginan untuk menebus dosa dengan berperang melawan kaum
“kafir”, juga karena tergiur harta rampasan perang yang akan didapatkan.
Mengikuti ajakan Paus Urbanus, pada musim panas tahun 1097 sekitar 150.000
Ksatria dari Inggris, Prancis dan Holy Roman Empire berkumpul di
Konstantinopel. Pasukan ini berhasil menaklukan Palestina pada tahun 109939
.
Setelah Penaklukan, Godfrey de Bouillon dari Lothringen Hilir selaku
Panglima Perang diangkat sebagai Pelindung Makam Suci (Advocatus Santci
Sepulchri)40
, lalu ia beserta para Ksatria Salib (Crusader) menciptakan 4 Kerajaan
Kristen di wilayah Palestina dan Syria yakni : Kingdom of Jerussalem, County of
Edessa, Principality of Antioch dan County of Tripoli. Wilayah wilayah itu
37
Moshe Gil. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University
Press.1997), h.306-310 38
Ratna Rengganis. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013), h.146 39
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga
Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010), h.116 40
Tim Abdi Tandur. Lagi-Lagi tentang Keajaiban-Keajaiaban Dunia. (Jakarta : Tim Abdi
Tandur,2003), h.69
23
dikenal sebagai Outremer, dari bahasa Prancis yang artinya „tanah sebrang
daratan‟, sebab mereka terletak di sebrang Laut Mediterania41
.
Setelah Jerussalem jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi pada tahun
1187, ibukota Kingdom of Jerussalem dipindahkan ke Acre. Pada akhir abad ke
13, Outremer kehilangan sejumlah wilayah, termasuk Caesarea, Apollonia,
Antioch dan Tripoli karena direbut oleh sultan sultan Dinasti Mamluk Mesir.
Perlawanan terakhir Kristen adalah di Acre pada tahun 1291. Ksatria dari Orde
Hospitaller, Guillaume de Clermont mempertahankan benteng kota Acre yang
mulai runtuh dengan sekuat tenaga; namun ia dan pasukannya dikalahkan oleh
Sultan Khalil sehingga terpaksa menyerahkan Acre beserta kota kota lainnya,
seperti Beirut, Haifa dan Tyre yang menandai akhir dari Kekuasaan Outremer di
Palestina42
.
Kekuasaan Dinasti Mamluk atas Palestine berakhir pada tahun 1517. Pada
tahun 1517 ini, Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Selim I memperluas
wilayahnya ke Timur Tengah dan mencaplok Hejaz, Irak serta Palestina. Wilayah
Palestina digabungkan dengan Vilayet Syria dan nama Palestina pun tak pernah
terdengar lagi sampai runtuhnya Turki Usmani pada abad ke 2043
Sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok masyarakat di
dalam wilayah Palestina, serta pengalaman beratus tahun dari masyarakat disana
yang harus menyaksikan tanah airnya menjadi ajang perebutan dominasi bangsa-
bangsa asing, menginspirasi bangsa Palestina untuk lebih memiliki rasa cinta
41
Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit
Erlangga,2010),h.85 42
Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. h.87 43
Hasan bin Talal. Tentang Jerussalem. (Jakarta : Incultura Foundation,1980),h.19
24
pada tanah airnya. Hal ini menjadi salah satu dasar terbentuknya nasionalisme
bangsa Palestina.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nama Palestina (Bahasa Arab :
Falastin) menghilang selama 400 tahun kekuasaan Turki Usmani di Timur
Tengah yang menempatkan wilayah Palestina yang mencakup Muttasharifate
Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota-kota di sekitarnya seperti Jaffa,
Hebron & Betlehem ke dalam wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria)44
. Penduduk
Arab yang tinggal di wilayah tersebut masih mengidentifikasi dirinya sebagai
orang Syria.
Akibat Perang Dunia I, Syria mengalami kehancuran. Para Petani
meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pertempuran antara tentara Turki
dan tentara Inggris sehingga pertanian menjadi tidak terurus. Ribuan orang
membanjiri Damaskus untuk mencari pekerjaan. Secara ekonomi, Syria
mengalami resesi. Perang ini menggangu export kapas, wol dan gandum. Situasi
ekonomi dan Sosial yang kacau ini membuat munculnya seorang tokoh yang
berencana mengambil kendali atas wilayah ini, yaitu Faisal bin Husein, putera
ketiga dari Sharif Husein bin Ali, yang pernah berperang bersama Inggris
melawan Turki Usmani45
.
Pada Tahun 1918, Faisal pindah ke Damaskus dimana dengan cepat ia
mendulang popularitas dari wilayah tersebut. Ia bercita-cita mendirikan Negara
Syria Raya yang mencakup wilayah Syria, Palestina, Lebanon,dan Yordania46
.
44
Dror Zeevi. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State
University of New York Press, 1996), h. 121. 45
Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring
1962), h.145-168 46
Nur. Masalha, "Faisal's Pan-Arabism, 1921–33". Middle Eastern Studies .(Oct.,
1991).h.679–693.
25
Ambisi Faisal tersebut mungkin dipengaruhi oleh ayahandanya yang juga
berambisi mendirikan Kekhalifahan Arab di Timur Tengah.
Perlu dicatat, Kelompok Nasionalis Arab di Syria memberikan dukungan
bukan karena loyalitas pada sosok Faisal, melainkan karena para anggota
kelompok Nasionalis ini tahu bahwa pihak Inggris mendukung keluarga
Hasyimiah47
dan akan mendukung apabila Faisal yang merupakan salah satu
anggota keluarga itu menjadi kepala Negara. Malangnya bagi kelompok
Nasionalis Arab di Syria, wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan dan
pengaruh Perancis, sedangkan pemerintahan Perancis tidak memiliki hubungan
apapun dengan keluarga Hasyimiah apalagi memperhatikan keinginan bangsa
Arab untuk mendirikan suatu Negara.
Tidak seperti kelompok Arab Nasionalis lainnya, Faisal tidak menentang
keberadaan Bangsa-bangsa Eropa di Timur Tengah. Alasannya sederhana saja,
bangsa Arab saat itu tidak memiliki kekuatan militer dan finansial yang memadai
untuk dapat menentang pengaruh Inggris dan Perancis. Mayoritas Nasionalis
Arab, menentang cara-cara yang digunakan Faisal untuk berkompromi dengan
pihak Eropa demi mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Syria Raya.
Kelompok Nasionalis seperti Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab
Society) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, meyakini bahwa bangsa Arab bisa
mengalahkan bangsa Inggris dan Perancis dalam perang. Kelompok yang lebih
47
Keluarga Hasyimiyah adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW dari
Bani Hasyim melalui Sayidina Hasan, putra pertama Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidah
Fatimah binti Muhammad saw. Anggota keluarga ini adalah Sharif Hussein bin Ali dari Mekkah
dan kedua putranya, Faisal dan Abdullah. Dikutip dari Clifford Edmund Bosworth,. The New
Islamic Dynasties. (Edinburgh : Edinburgh University Press,1996),h.53
26
ekstrim seperti Jam‟iyyat Al Ahad (The Covenant Society) juga ikut menentang
Faisal.
Tahun 1919 ketika Syria berada dibawah Mandat Perancis, Faisal
mengadakan Konggres Nasional Syria di Damaskus. Jendral Inggris Edmund
Allenby yang menaklukkan Jerusalem pada tahun 1919 mengingatkan Faisal
bahwa konggres tersebut akan memancing kemarahan pihak Perancis. Walaupun
sudah diberi peringatan, Faisal tetap mengadakan konggres tersebut pada bulan
Juni. 1919. Tiga fraksi politik Syria yang mendominasi Konggres adalah yang
pertama, Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang menentang
system Mandat Liga Bangsa-Bangsa dan memandang Inggris dan Perancis
sebagai penjajah yang ingin merampas kemerdekaan bangsa Arab; kedua, para
loyalis Faisal yang menentang Mandat Perancis dan lebih menyukai Mandat
Inggris; ketiga, pihak Nasionalis Arab yang menginginkan Amerika Serikat juga
memiliki mandat atas Syria, karena tertarik pada konsep Presiden Woodrow
Wilson mengenai “Self Determination”48
.
Konggres ini berakhir pada Maret 1920 dengan hasil yang tidak
menguntungkan kubu Faisal, karena ia gagal menyatukan kelompok Nasionalis
Arab yang radikal ke barisan politiknya yang lebih moderat. Kongres ini
menyatakan Syria sebagai negara merdeka dengan wilayah yang juga mencakup
Lebanon dan Palestina. Kongres tersebut tidak mengakui kekuasaan Mandat Liga
Bangsa-Bangsa terhadap Syria, serta menentang rencana Inggris untuk mendirikan
48
James L. Gelvin. Divided Loyalties: Nationalism and Mass Politics in Syria at the Close
of Empire. (Berkeley : University of California Press, 1998), h.62
27
Jewish National Homeland di Palestina, dan menuntut pasukan Perancis dan
Inggris mundur dari Timur Tengah serta menyatakan Faisal sebagai Raja Syria49
.
Faisal menjadi korban dari rencana kaum Nasionalis di satu sisi dan
korban dari kepentingan Perancis terhadap Syria di sisi lain. Pada bulan Juli 1920,
pasukan Perancis dibawah Jendral Henry Gouraud mengalahkan Pasukan Syria
dalam “Pertempuran Maysalun” dan berbaris memasuki Damaskus50
. Raja Faisal
langsung melarikan diri dari Syria ke pelabuhan Haifa dan terus ke London.
Tahun 1921, pihak Inggris mengangkatnya sebagai Raja di Irak, para pengikutnya
menjadi terpecah belah di Mesir , Irak dan Palestina51
.
Kegagalan mendirikan Negara Syria Raya berdampak besar terhadap
kelompok Nasionalis Arab di Palestina. Dalam pandangan kelompok Nasionalis
dari Palestina, Negara Syria Raya yang dipimpin oleh Faisal merepresentasikan
langkah penting untuk mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Arab
yang merdeka dan bersatu. Menteri Luar Negeri Faisal yang bernama Said Al
Hussayni menganggap bahwa pemerintahan Arab di Damaskus seharusnya dapat
membantu perlawanan mereka terhadap Zionisme. Mereka menentang niat Inggris
untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina52
.
Saat itu, Liga Bangsa-Bangsa mempercayakan wilayah Palestina kepada
Inggris dengan dibentuknya Mandat Inggris untuk Palestina. Inggris memberikan
nama Palestina kepada wilayah tersebut, mengacu pada nama dalam Bahasa Latin
49
Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring
1962), h.145-168 50
Karl Ernest Meyer & Shareen Blair Brysac. Kingmakers: The Invention of the Modern
Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008), h.359 51
Tamara Sonn. Islam : A Brief History (Second Edition). (Chichester : Wiley
Blachwell,2004), h.126 52
Haim Gerber .”Palestine and Other Territorial Concepts in the 17th Century”.
International Journal of Middle East Studies.Vol. 30, No. 4 (Nov., 1998),h. 563-572
28
yang diberikan Imperium Romawi53
. karena Peradaban Eropa Barat sangat
dipengaruhi oleh budaya, bahasa, serta teladan Romawi
Kegagalan Faisal tidak menghapuskan Nasionalisme Arab di Palestina
begitu saja, melainkan semakin memperuncingnya. Setelah Faisal melarikan diri
dari Damaskus, kelompok Nasionalis Arab di Palestina berkonsentrasi untuk
mendirikan Negara Arab Merdeka di wilayah Palestina sendiri54
. Sejak saat itu,
Nasionalisme Arab di Palestina bertransformasi menjadi bentuk yang unik,
Ditengah situasi Politik yang memanas, seorang loyalis Faisal bernama Amin al-
Hussayni55
, muncul sebagai tokoh pemimpin dominan sejak saat itu56
.
Amin Al Hussayni yang juga merupakan pemimpin kelompok Nasionalis
Arab diwilayah Palestina, menganggap Inggris sebagai penjajah57
. Sementara
pemerintah Mandat Inggris sendiri terjebak antara tuntutan kelompok Nasionalis
Arab disatu sisi dan tuntutan kelompok Nasionalis Yahudi yang ingin
mewujudkan Jewish National Homeland di Palestina disisi lain.
Walaupun Nasionalisme Palestina telah menemukan bentuknya, tetap sulit
untuk mentransformasi ruh Nasionalisme itu menjadi sebuah Negara, karena
Pemikiran mengenai Nasionalisme hanya dimiliki oleh Keluarga Elit Perkotaan
(Belladin) yang memiliki akses pendidikan tinggi, seperti Hussayni, Nasashibi &
Khalidi58
. Sedangkan rakyat Palestina yang mayoritas bekerja sebagai petani
53
Tamara Sonn. Islam : A Brief History. (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.128 54
Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of
Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94 55
Baruch Kimmerling & Joe S Migdal .The Palestinian People. (Massachusets : Harvard
University Press,2003), h.90 56
Daniel Pipes. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford University
Press, 1990), h.71 57
Philip Mattar. “Mufti of Jerussalem & Politik of Palestine”.Middle East Journal. Vol.42
no.2 (Spring 1988) h.227-240 58
Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of
Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94
29
(Fellahin) telah hidup berabad-abad dibawah Pemerintahan Turki Usmani yang
kurang memperhatikan pendidikan maupun kesejahteraan bagi rakyat kecil59
,
akibatnya mereka terperangkap dalam Comfort Zone dimana mereka hanya
tertarik untuk melindungi tanah pertanian, ternak dan keluarganya dari ancaman
pendatang asing60
. Kesenjangan di tingkat ideologis, pendidikan, dan pemikiran
antara elit dan rakyat kebanyakan merupakan salah satu factor penting atas
kegagalan kaum Nasionalis Palestina memperjuangkan negara merdeka.
Dengan kata lain, Palestina adalah kasus yang unik, karena eksistensinya
dibentuk oleh factor eksternal. Disinllah terjadi konflik antara Nasionalisme
Bangsa Palestina melawan kekuatan Eksternal yaitu Kolonialisme yang dilakukan
oleh Bangsa-bangsa lain yang berujung pada kegagalan Palestina mendirikan
Negara Merdeka.
59
Fred Khouri. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University
Press,1974),h.13 60
Stephen Hallbrook. “The Alienation of the Homeland : How Palestine Become Israel”.
Journal of Libertarian Studies. Vol.5 no.4 (Autumn 1981), h.1-18
30
BAB III
AWAL MANDAT INGGRIS & KEBIJAKANNYA
A. Lahirnya Mandat Inggris
Di penghujung Perang Dunia Pertama, Divisi Ekpedisi Mesir yang
dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem dari pasukan Turki Usmani
pada tanggal 9 Desember 1917. Divisi Ekpedisi Mesir kemudian menduduki
seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki dalam Pertempuran Megiddo
pada bulan September 191861
.
Pasukan Inggris dan Perancis yang ketika itu telah menguasai seluruh
wilayah Turki Usmani di Timur Tengah, memutuskan untuk membuat
pemerintahan militer sementara di wilayah yang mereka duduki. Pemerintahan
tersebut dinamai OETA (Occupied Enemy Territory Administration)62
. Dalam hal
ini, Palestina masuk kedalam wilayah OETA Selatan (Southern OETA) yang
mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan kota-kota
di Sekitarnya seperti Nablus, Acre dan Hebron. Wilayah lainnya seperti Lebanon
masuk ke dalam OETA Utara (Northern OETA), sedangkan Syria & Saudi Arabia
masuk ke dalam OETA Timur (Eastern OETA)63
.
Pada awalnya, Jendral Edmund Allenby sendiri yang mengambil tanggung
jawab langsung terhadap urusan administrasi dan politik di wilayah OETA
Selatan, namun kemudian ia mengalihkannya kepada pejabat dari Mesir, yang
ketika itu masih merupakan koloni Inggris. Setelah berkonsultasi dengan pejabat
61
Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin
Press, 1969),h.122-138 62
John McTague,Jr. “Anglo-French Negotiation over the Boundaries of Palestine 1919-
20” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112 63
Matthew Hughes, Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-1919,(London :
Taylor & Francis,1999), h.122-124
31
utusan Mesir tersebut, Edmund Allenby menunjuk kepala administrasi pusat
untuk Palestina. Kemudian, Edmund Allenby juga membagi wilayah Palestina
menjadi 9 distrik : Jerusalem, Haifa, Hebron, Jenin, Nablus, Safed, Acre, Tiberias,
Galilea, Tulkarem dan Beersheba. Setiap distrik diperintah oleh seorang Gubernur
Militer. Tujuan utama dari pembentukan pemerintahan militer ini adalah untuk
memperbaiki kondisi sarana & prasarana di lapangan yang rusak akibat Perang,
seperti kantor pos, rumah sakit, bank, dan lain lain. Setelah Edmund Allenby
kembali ke Inggris, masih ada dua orang perwira tinggi yang memerintah OETA
Selatan, yaitu Mayor Jendral H.D. Watson & Letnan Jendral Louis Bols64
.
Pada tanggal 24 April 1920, pihak sekutu sebagai pemenang Perang Dunia
Pertama mengadakan pertemuan di San Remo, Italia. Liga Bangsa-Bangsa
memutuskan bahwa wilayah-wilayah pendudukan belum siap untuk diberi
kemerdekaan, maka harus diurus oleh administrasi sipil yang disebut „Mandat‟.
Sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya dalam Perjanjian Sykes-Pycot
tahun 1916, Inggris mendapat mandat atas wilayah Palestina dan Transjordania65
.
Apa perbedaan sistem Mandat Liga Bangsa Bangsa yang dijalankan oleh
Inggris di Palestina dengan Koloni Inggris di Hongkong dan Singapura
?.Terbentuknya Sistem Mandat dilandasi oleh situasi international waktu itu,
dimana gagasan “Self-Determination” dari Presiden Amerika, Woodrow Wilson
mengemuka. Hal itu disebabkan oleh hancurnya sejumlah imperium besar yang
mewakili system feudal. Golongan liberal dan humanis di Inggrislah yang
berinisiatif memprakarsai terbentuknya sistem Mandat dengan tujuan sebagai
64
Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of
Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.11-12 65
Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine,"
Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972
32
sarana transisi masyarakat dari statusnya sebagai penduduk koloni yang
terbelakang secara politik dan dieksploitasi secara ekonomis, menjadi masyarakat
yang siap untuk hidup di zaman modern66
.
Pengertian tersebut, ditekankan pula oleh Duta Besar Palestina untuk
Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, yang menyatakan bahwa Mandat adalah
sebuah Supervisi. Ibaratnya, seperti anak yang kehilangan orangtuanya dan diasuh
oleh orang lain sampai siap hidup mandiri. Negara pemegang Mandat, dalam hal
ini Inggris bertanggung jawab pada Liga Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan
Palestina agar siap diberi kemerdekaan67
Roza el-Eini berargumen bahwa rasa superioritas bangsa Eropa juga
menjadi faktor dominan dibalik alasan pembentukan sistem Mandat. Apabila dulu
British Empire berperan sebagai imperialis yang mencari kekayaan dan kejayaan
dengan mengumpulkan sejumlah besar koloni di seberang lautan, sekarang
mereka mengulurkan tangannya, berkorban untuk “menolong” bangsa yang belum
maju yang dalam hal ini adalah Palestina. Rasa simpati ini disebut “White Man
Burden” (beban bangsa kulit putih)68
.
Mandat Inggris di Palestina dipimpin oleh seorang Komisaris Besar
bernama Herbert Samuel yang pada masa kepemimpinannya, Samuel memberikan
amnesti kepada Amin Al- Husayni69
yang saat itu sedang mendekam di penjara”.
Setelah bebas, Al- Husayni dilantik oleh Herbert Samuel menjadi Mufti Agung
66
Susan Pedersen, “The Meaning of Mandat System : An Argumen”. Geschicte und
Gesselschaft.32 Jahrige.H.4.Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006). h.560-582 67
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al
Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014. 68
Roza El-Eini. Mandate Landscape : British Imperial Rule in Palestine 1929-1948.(
London & New York : Routledge,2004),h.7 69
Amin al-Hussayni adalah loyalis Raja Faisal yang terusir dari Syria oleh Pemerintah
Mandat Prancis. Ia adalah anggota salah satu klan Aristokrat yang cukup berpengaruh di Palestina,
ia juga dikenal sebagai paman dari Yasser Arafat. Namun, ia dipenjara karena terlibat dalam
“Pemberontakan Nabi Musa” tahun 1920.
33
Palestina (Mufti Filastin al-Akbar). Selain itu, Herbert Samuel mendirikan Dewan
Tinggi Muslim (Supreme Moslem Council) yang bertugas mengatur dan menjaga
lembaga-lembaga dan komunitas Islam di Palestina. Dalam lembaga ini, Amin al-
Husayni diangkat menjadi pimpinan pertamanya70
. Langkah tersebut dilakukan
oleh Samuel untuk mempersiapkan pemerintahan independen di Palestina.Namun
para elit Arab Palestina sendiri menolak segala usaha Samuel yang mencoba
menggabungkan elit Yahudi dan elit Arab dalam satu wadah institusi71
.
Samuel tidak bisa menerima tuduhan elit Arab Palestina yang menganggap
bahwa Mandat Inggris hanya memprioritaskan rencana pembangunan “Jewish
National Homeland”72
. Asumsi ini muncul karena adanya konsesi jaringan listrik
untuk seluruh Palestina yang diberikan kepada Pinhas Rutenberg, pengusaha
Yahudi yang juga seorang filantropis73
.Samuel menyanggah tuduhan tersebut
dengan mengklaim bahwa elektrifikasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
di seluruh wilayah Palestina. Selain itu, Samuel menganggap akan jauh lebih baik
apabila sarana perekonomian lebih banyak diberikan kepada bangsa Yahudi untuk
meredam keinginan dan nafsu politik mereka yang diduga kemungkinannya akan
bisa menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan dengan orang orang
Palestina.
Samuel jelas bersikap kooperatif terhadap aspirasi masyarakat Arab
Palestina. Hal itu menyebabkan ia mendapat kecaman dari penduduk Yahudi.
Walaupun Samuel telah menetapkan bahasa Ibrani menjadi salah satu dari 3
70
Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St
Martin‟s Pres,2010), h.86 71
Neil Caplan . Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ F.
Cass, 1978.),h. 148–161. 72
Sahar Huneidi, A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians 1920–
1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001),h. 38. 73
Letter From Pinhas Rutenberg to Colonel Herbert Lehmen
34
bahasa resmi Palestina (kedua lainnya adalah Arab dan Inggris)74
, namun
penduduk Yahudi tetap saja mengecamnya karena ia menunjuk Amin al-Husayni
yang tidak populer di kalangan masyarakat Yahudi.
Pada tahun 1922, Pemerintahan Mandat Inggris juga mendirikan Dewan
Legislatif untuk Palestina yang beranggotakan 23 orang. Masyarakat Arab
Palestina memprotes pembagian kursi dewan tersebut karena mereka nilai tidak
adil. Mereka mengklaim bangsa Arab merupakan 88% penduduk Palestina,
sedangkan kursi yang mereka dapat hanya 43%, sehingga orang Arab memboikot
pemilihan anggota Dewan.75
.
Pada tanggal, 22 Agustus 1922, Musa Kazim al-Hussayni76
mengumpulkan para elit Palestina di kota Nablus untuk mengadakan „Kongres
Arab Palestina‟. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan seperti :
memboikot pemilihan umum, menyatakan sikap menolak pembentukan „Jewish
National Homeland‟, dan memboikot Perusahaan Listrik milik Pinhas
Rutenberg77
.
Untuk masalah administrasi wilayah, Mandat Inggris tetap menggunakan
sistem distrik seperti yang digunakan pada masa OETA, Sistim ini dipakai juga
untuk menyelesaikan masalah peradilan dan keagamaan. Pemerintah Mandat
Inggris tetap mempertahankan sistem Millet, yaitu urusan agama setiap kelompok
keagamaan diurus oleh pemuka agamanya masing masing dan bahkan peradilan
74
Norman Bentwich. “The Legal System of Palestine under British Mandate”.Middle
East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46 75
Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St
Martin‟s Pres,2010),h.2 76
Beliau adalah Kerabat Amin al Hussayni sekaligus mantan walikota Jerussalem 77
Abdul Wahhab Said Kayyalli .Palestine. A Modern History. (London : Croom
Helm,1981). h.60-63
35
agama yang dibuat oleh Turki Usmani pada masa Tanzimat tidak dihapus78
. Hal
ini karena karena Pemerintah Inggris ingin mempertahankan Perjanjian Berlin 13
Juli 1878 yang dibuat atas inisiatif Otto von Bismarck guna memberikan
kepastian dan menjamin adanya kebebasan beragama di seluruh wilayah Turki
Usmani79
.
Masih di tahun 1922, wilayah Mandat Inggris di sebelah timur, yaitu
Transjordania mendapat serangan dari Suku Ikhwan, yaitu kelompok suku
nomaden yang berasal dari Gurun Najd dan memiliki afliliasi dengan Keluarga
Saud. Tujuan utama penyerangan suku Ikhwan ke Transjordania adalah untuk
menyebarkan paham Wahabbi yang mereka anut. Suku Ikhwan bertindak keras
dengan menghancurkan jaringan tiang telepon di sepanjang jalan, karena mereka
menganggap benda itu adalah hasil karya setan. Tentara Inggris memutuskan
bekerjasama dengan Abdullah bin Hussein, Putra Sharif Hussein di Mekkah yang
pernah membantu Inggris melawan Turki Usmani. Akhirnya, kerjasama kedua
pihak ini berhasil mengusir suku Ikhwan keluar dari Transjordania80
Sebagai imbalan, Pemerintah Mandat Inggris menyerahkan sebagian dari
wilayahnya yang dinilai kurang menguntungkan karena banyak dihuni oleh suku
suku Bedouwin nomaden81
, yaitu wilayah Transjordania kepada Abdullah melalui
kebijakan “British White Paper 1922”. Kebijakan Inggris ini sangat menyakitkan
hati para elit Yahudi dan menganggapnya sebagai pengkhianatan serta
78
Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of
Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.13 79
Text Perjanjian Berlin, http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html, diakses
pada 13 Mei 2014 80
Darik Ibrahim Erwan, To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the Ikhwan
during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ? (Massachusets : Concorde
Review.inc,1989), h.112 81
H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad. The Tribes of Jordan at The Beginning of 20th
Century. (Amman : Ruttab, 1999), h.9
36
pelanggaran terhadap Dokumen “British Mandate for Palestine” Artikel 15 yang
menyatakan bahwa “tidak ada wilayah Palestina yang boleh diserahkan atau
disewakan, atau dengan cara apapun, ditempatkan di bawah kontrol
pemerintahan atau kekuasaan asing”82
.
Alasan pihak Zionis Yahudi menentang pemisahan Transjordania dari
Mandat Inggris di Palestina, juga didasari oleh firman Tuhan yang tertulis dalam
Kitab Taurat. Dalam (Joshua 13:24-31), Wilayah Transjordania adalah daerah
yang pertama-tama didiami oleh orang Yahudi sebagai bagian dari penaklukkan
Palestina sesudah peristiwa „Exodus dari Mesir‟. Dengan kata lain, kebijakan
Pemerintah Mandat Inggris tersebut bertentangan dengan kehendak kelompok
Zionis yang menganggap Transjordania juga merupakan bagian dari „Tanah yang
dijanjikan‟83
.
Dalam “British White Paper 1922”, Inggris juga menyatakan tidak
mendukung berdirinya sebuah negara-bangsa Yahudi yang terpisah dari wilayah
Arab lainnya. Definisi Inggris mengenai Jewish National Homeland adalah
pembentukan komunitas Yahudi yang mandiri di wilayah Palestina84
. Selain itu,
dalam salah satu alenianya, White Paper ini juga menyangkal tuduhan bangsa
Arab Palestina mengenai proyek pembentukan sebuah negara Palestina Yahudi
dan menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak berkeinginan untuk melihat
Palestina sebagai “boneka Yahudi Inggris”85
82
British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International Law,
Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171 83
The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher
Committee Archive, 12 Maret 1948, h.5 84
Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St
Martin‟s Pres,2010), h. 11 85
British White Paper 1922, dari http://www.yale.edu/lawweb/ mideast/brwh1922.htm,
diakses pada 13 Mei 2014
37
Keberadaan Mandat Inggris di wilayah Palestina sebenarnya membantu
Palestina menjadi daerah otonom dengan pergerakan roda ekonomi yang jauh
lebih baik dibandingkan negara Arab lainnya. Namun, timbul resistensi dari
penduduk Arab Palestina sendiri yang bersikap tidak kooperatif, sehingga
eksistensi pemerintahan administrasi sipil ini tidak dapat berfungsi maksimal dan
jauh dari yang diharapkan ketika Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Inggris86
B. Kebijakan mengenai imigrasi Yahudi (Aliyah)
Salah satu kebijakan Pemerintah Mandat Inggris adalah memfasilitasi
migrasi etnis Yahudi ke Palestina atau yang dikenal sebagai gerakan„Aliyah‟87
.
Aliyah ini pernah berlangsung sebelum era Mandat Inggris, yaitu sejak
penindasan komunitas petani Yahudi di Russia pada tahun 1881. Namun pada
masa Perang Dunia Pertama, migrasi Yahudi berhenti akibat situasi yang tidak
aman.88
Didalam tubuh pemerintahan Inggris, ada faksi yang bersimpati kepada
usaha masyarakat Yahudi untuk pulang ke “Tanah yang dijanjikan”, Salah satunya
adalah Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu. Pada tanggal 2
November 1917, dia mengirim surat kepada Lionel Rothschild, pemimpin gerakan
Zionisme yang isinya menyatakan dukungan resmi pemerintah Inggris untuk
mendirikan Jewish National Homeland di Palestina89
. Janji Inggris dalam
Deklarasi Balfour dan adanya Mandat Inggris di Palestina, menyebabkan Inggris
86
Ahmad Ghazali Khairi & Amin Bukhari.Air Mata Palestina, (Jakarta: Hi-Fest, 2009).
Hal. 141 87
Secara etimologis, kata Aliyah dalam Bahasa Ibrani artinya “naik”. Secara terminologis
dapat diartikan sebagai imigrasi orang Yahudi ke tanah air yang dahulu dijanjikan Tuhan pada
keturunan Avraham, Ishak, & Yakub 88
Abba Eban, My People: History of the Jews Volume II, (New Jersey: Berman
House,1979),h.127 89
Stein Leonard The Balfour Declaration. (New York : Simon & Schuster,1961), h.470
38
harus menjamin hak-hak masyarakat Yahudi untuk membangun tanah air bagi
mereka di Palestina. Inggris juga harus mendukung dan juga memudahkan
migrasi Yahudi (Aliyah) ke Palestina.
Setelah Perang Dunia Pertama selesai, keadaan kaum Yahudi di negara-
negara baru di Eropa Timur seperti Polandia dan Rumania tidak kunjung
membaik. Pemerintah Polandia mengambil alih industri-industri yang dikuasai
oleh kaum Yahudi dan memecat para pekerja Yahudi. Selain itu hampir 2.800
toko sepatu yang dikelola kaum Yahudi ditutup oleh pemerintah Polandia. Hal itu
mengakibatkan kaum Yahudi putus asa dan ingin meninggalkan negara tersebut.
Mengetahui bahwa Amerika Serikat memberikan peraturan ketat bagi para
imigran yang berasal dari Eropa Timur, maka mereka mengalihkan tujuan
migrasinya ke Palestina. Dengan datangnya pionir-pionir yang mendirikan
pemukiman, komunitas, dan organisasi-organisasi di Palestina, menyebabkan
orang orang Yahudi di Eropa bertambah mantap dalam merealisasikan keinginan
mereka untuk “pulang” ke “tanah air yang dijanjikan”90
Pada tahun 1925, saat masa jabatan Herbert Samuel sebagai Komisaris
Besar berakhir, sekitar 34.000 Yahudi Polandia bermigrasi ke Palestina, untuk
menyelamatkan diri dari kebijakan anti-semitisme Pemerintah disana. Berbeda
dengan sebelum masa Mandat Inggris, dimana Imigran yang datang ke Palestina
adalah rakyat kelas menengah kebawah yang sesampainya di Palestina memilih
bekerja sebagai petani, imigran Yahudi yang datang karena difasilitasi oleh
Pemerintah Mandat Inggris ini adalah masyarakat kelas menengah keatas dan
beberapa enterpreneur yang sebelumnya bergerak di bidang perdagangan. Mereka
90
Abba Eban, My People: History of the Jews Volume II, (New Jersey: Berman
House,1979),h.165
39
lebih memilih tinggal di daerah perkotaan, khususnya Tel Aviv, dibanding daerah
pedesaan. Mereka menginvestasikan sebagian modal kecilnya di pabrik-pabrik,
hotel-hotel kecil, restoran, toko-toko, dan dalam bidang konstruksi. Mereka juga
mengembangkan daerah Pesisir Pantai.91
Mendekati dekade 1930an, migrasi orang Yahudi dari wilayah Eropa Barat
dan Eropa Timur ke wilayah Mandat Inggris di Palestina meningkat bersamaan
dengan berkuasanya Partai Nasional Sosialis di Jerman yang dipimpin oleh Adolf
Hitler. Ideologi Nazisme yang diperkenalkan oleh Hitler menyatakan bahwa etnis
Semit (Arab dan Yahudi) adalah ras rendahan, sedangkan ras Indo-Aryan,adalah
ras paling unggul, terutama suku bangsa Jermanik adalah yang paling hebat
diantara sub-ras Indo-Aryan.
Pada tanggal 10 November 1938, terjadi sebuah Peristiwa yang disebut
Kristallnacht (Malam Kaca Pecah). Disebut demikian karena tentara Nazi dan
rakyat sipil pendukungnya menghancurkan kaca-kaca bangunan milik orang
Yahudi dengan palu godam sehingga pecahan kaca bertebaran di jalanan. Di
beberapa kota di Jerman, 1.668 Synagog dihancurkan dan 267 di antaranya
dibakar, sekitar 8.000 toko dan ribuan rumah milik orang Yahudi juga ikut
dihancurkan. Orang-orang Yahudi banyak yang menjadi korban pembunuhan oleh
tentara Nazi dan sekitar 30.000 warga Yahudi dimasukkan ke kamp konsentrasi.92
Adapun orang orang Yahudi yang dikirim ke kamp konsentrasi menerima
berbagai macam penyiksaan. Kekejaman tersebut berakhir pada program genosida
yang dinamai “Final Solution of the Jews”. Prosedur pembunuhan massal tersebut
91
Cecil Roth,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing
Company Ltd,1958),h.75 92
James M Deem. Kristallnacht: The Nazi Terror That Began the Holocaust.. (Berkeley :
Enslow Publishers,2011), h.15-16
40
adalah sebagai berikut : orang-orang Yahudi, dibariskan ke daerah yang sepi,
berbaris di depan parit-parit, kemudian diberondong dengan senapan mesin, lalu
mayat-mayat tersebut didorong ke dalam lubang oleh bulldozer dan ditimbun
dengan tanah. Nazi Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler bertanggung
jawab atas pembunuhan tidak saja bagi jutaan bangsa Yahudi, namun juga bagi
bangsa Eropa lainnya.93
Pada saat orang Yahudi Eropa yang merasa tertindas ingin melarikan diri
ke Palestina, Pemerintah Mandat Inggris mengeluarkan White Paper 1939, dimana
salah satu pasalnya adalah melarang adanya migrasi Yahudi ke Palestina94
.
Pemerintah Inggris tak ingin orang Arab Palestina menyerang Inggris dari
belakang saat sedang berperang melawan Jerman di Mesir & Front lain95
Sikap Inggris itu disebabkan karena gelombang protes dari orang orang
Arab seperti Jamal al-Hussayni, yang merupakan elit Arab Palestina yang paling
keras menolak imigrasi Yahudi dari Eropa ke Palestina, ia berkata bahwa Imigrasi
Yahudi telah melipatgandakan jumlah Etnis Yahudi di Palestina dan memicu
terjadinya Tirani Minoritas96
Dalam sebuah Konferensi yang diadakan di Evian Les Bains, Prancis,
pada tahun sebelumnya, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa membahas
mengenai nasib komunitas Yahudi di Jerman. Golda Meyer selaku perwakilan
kelompok Zionis sudah mengajukan proposal agar Palestina dijadikan tujuan
93
Max I. Dimont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Jakarta : Masaseni,2002),h.331-332 94
Text of White Paper 1939, avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.asp, diakses
pada 13 Mei 2014 95
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University
press ,2004), h.218 96
Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai
1948
41
utama dari migrasi komunitas Yahudi yang berasal dari Jerman. Namun
Perwakilan Inggris malah menyingkirkan usulan tersebut dari Konferensi97
.
Sikap Pemerintah Inggris tersebut memicu munculnya gelombang migrasi
ilegal ke Palestina yang disebut “Aliyah Bet”. Bet ( ב“ ”) ialah huruf kedua dalam
alphabet Ibrani, karena Aliyah ini bersifat ilegal atau tanpa persetujuan dari
Pemerintah Mandat Inggris yang telah melarang adanya migrasi ke Palestina sejak
tahun 1939, karena itu diberi kode huruf Bet “ב . Aliyah Bet berlangsung pada
kurun waktu 1933-1948. Awalnya, Aliyah Bet dilakukan sebagai tuntutan atas hak
masyarakat Yahudi untuk bermukim di Palestina. Pada tahun 1934, karena telah
melihat kekerasan yang dilakukan Nazi terhadap Yahudi Jerman, gerakan
Hehalutz98
menyewa Vellos, sebuah kapal dari Yunani yang untuk pertama kali
dalam pelayarannya berhasil mengangkut 350 imigran Yahudi menuju Palestina.
Kelompok Aliyah Bet yang mayoritas berasal dari Eropa Timur, mulai terjadi
dalam skala besar pada 1939, terutama atas bantuan Haganah, yaitu organisasi
paramiliter Yahudi yang bertugas menjaga pemukiman Yahudi di Palestina99
Sayangnya, Pemerintah Mandat Inggris tetap bersikeras mempertahankan
kebijakan White Paper 1939 dan mengancam akan menindak secara keras imigran
Yahudi yang tetap berusaha datang ke Palestina menggunakan kapal; kalau perlu
mendeportasi mereka ke Koloni Inggris di Siprus100
97
“The Evian Conference on Refugees”. Bulletin of International News, Vol. 15, No. 14
(Jul. 16, 1938), h. 16-18 98
Gerakan Resistensi terhadap penindasan etnis Yahudi di Eropa selama perang dunia
pertama dan Perang dunia kedua, tujuan utamanya adalah membantu orang Yahudi Eropa yang
ingin melarikan diri ke Palestina 99
The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher
Committee Archive, 12 Maret 1948. h.6 100
Walid Khalidi, “Illegal Jewish Immigration under British Mandate”, Journal of
Palestinian Studies, vol.35, h. 63-69
42
Salah satu tragedi yang menimpa para imigran Yahudi adalah „Tragedi
Kapal Patria‟ pada tahun 1940. Sir Harold McMichael, Komisaris Besar Mandat
Inggris, menyatakan bahwa para imigran Yahudi ilegal dari Rumania yang tiba
menggunakan kapal Milos dan Pasific ,yang kemudian tertangkap oleh Angkatan
Laut Inggris (Royal Navy) di Pelabuhan Haifa, tak akan dideportasi kembali ke
Eropa, melainkan dikirim ke Mauritius pasca Perang Dunia kedua.101
Karena Kapal Milos dan Pasific dianggap teralu kecil dan kondisi
mesinnya perlu perbaikan sehingga tak mungkin berlayar sampai ke Mauritius,
Inggris menyiapkan kapal baru yang bernama “Patria”. Namun musibah terjadi,
pada tanggal 24 November 1940 kapal tersebut meledak dan menenggelamkan
kapal bersama 202 orang imigran Yahudi di dalamnya. Pemerintah Mandat
Inggris mengumumkan bahwa Pelaku pemboman adalah Haganah102
. Imigran
yang selamat tetap akan dideportasi ke Mauritius. Akibat protes yang
berkelanjutan dari pihak internasional, akhirnya Inggris tidak melanjutkan rencana
tersebut103
Tragedi lainnya yang tak kalah mengenaskan menimpa kapal Exodus
tahun 1947. Exodus tadinya adalah kapal pengangkut besi tua, namun Mossad
LeAliyah Bet, cabang organisasi dalam tubuh Haganah yang bertugas mengurus
imigran Yahudi, memanfaatkan kapal tersebut untuk mengangkut imigran Yahudi
dari Eropa menuju Palestina104
. Tanggal 18 Juli 1947, Exodus yang membawa
4554 orang pengungsi Yahudi dari Prancis, dihadang oleh skuadron Inggris yang
101
Fredd Liebreich. Britains Naval & Political Reaction to the Jewish Illegal
Immigration to Israel. (London & New York : Routledge,2004), h.35 102
Menachem Begin. The Revolt: Story of the Irgun. (New York: Henry Schuman
Inc,1951), h. 36. 103
Arthur Patek, Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah Bet-
Clandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009), h.123 104
Arthur Patek, Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah Bet-
Clandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009), h.65
43
terdiri atas lima kapal penghancur (destroyer) dan sebuah kapal penjelajah
(cruiser). Walaupun saat itu Exodus berada di luar wilayah perairan Palestina,
kapal-kapal perang Inggris tetap saja menyerang Exodus105
Sedikitnya 150 orang pengungsi terluka akibat serangan ini, namun
Tentara Inggris malah menangkapi mereka lalu mendeportasi mereka kembali ke
Prancis. Pemerintah Prancis yang telah berhasil terbebas dari pengaruh Nazi
Jerman mengizinkan kapal Inggris yang membawa para pengungsi untuk
berlabuh, namun orang orang Yahudi yang sudah lelah itu memutuskan mogok
dan menuntut untuk dikembalikan saja ke Palestina. Pihak Inggris pun kehilangan
kesabaran dan membawa mereka ke pelabuhan Hamburg (Bekas Wilayah Nazi
Jerman) lalu memaksa mereka turun dari Kapal.106
Tragedi pengungsi Yahudi di kapal Exodus mendapat banyak simpati dari
berbagai pihak. Pers melakukan blow up terhadap kasus ini sehingga
memunculkan opini negatif dunia terhadap kebijakan Pemerintah Mandat Inggris
yang dinilai teralu keras mengenai masalah imigrasi Yahudi ke wilayahnya, hanya
karena semata mata dilandasi kepentingan untuk mengambil hati penduduk Arab
Palestina107
105
Cecil Roth. The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing
Company Ltd,1958),h. 655. 106
Louis Finklestein. The Jews:Their History, Culture, and Religion. (London: Peter
Owen Limited, 1961), h. 158 107
Roth, Cecil,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing
Company Ltd,1958),h656
44
BAB IV
RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS
A. Kerusuhan tahun 1929
Bagi umat Yahudi, Tembok Barat, atau yang lebih dikenal dengan
Tembok Ratapan, merupakan satu-satunya bagian yang tersisa dari Haikal
Solomon yang dihancurkan oleh Imperium Romawi pada tahun 70 Masehi.
Bangunan tersebut merupakan peninggalan Israel kuno yang sangat penting dan
religius bagi umat Yahudi. Bagi umat Islam tembok tersebut merupakan batas luar
kawasan Haram Al-Sharif. Kawasan tersebut merupakan kawasan suci tempat
terdapatnya The Dome of the Rock (Kubat as-Sakrah) dan Masjid al-Aqsa, masjid
tersuci ketiga bagi umat Islam (Thalith al-Haramain)108
.
Menurut Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Masjid al-Aqsa
memiliki arti yang sangat penting bagi Umat Islam, karena merupakan Kiblat
Pertama Umat Islam (Ula al-Qiblatain). Yang kedua, Masjid al-Aqsa adalah
bangunan kedua yang dibangun oleh Nabi Adam selain Ka‟bah setelah dirinya
terusir dari Surga109
.
Tembok Barat dikelola oleh Yayasan Maghribi Waqf110
dan tanah tempat
tembok tersebut berdiri juga merupakan bagian dari Yayasan tersebut. Seiring
dengan bertambahnya penduduk Yahudi di Jerusalem sejak adanya Aliyah
(Imigrasi Yahudi), semakin banyak pula Yahudi yang berdoa di tembok tersebut.
108
Trias Kuncahyono, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan. (Jakarta : Penerbit
Kompas, 2009), h.33-34 109
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli
2014. 110
Magribi Waqf adalah Yayasan Religius yang dikelola oleh Penduduk asal Maghiribi
yang tinggal di Jerussalem.
45
Mereka mulai membawa kursi-kursi ke sana untuk digunakan berdoa dengan
maksud mendukung jamaah yang berusia lanjut dan lemah. Selanjutnya mereka
mulai membuat sekat pembatas untuk membagi Yahudi wanita dan pria yang
berdoa di sana. Rakyat Palestina khususnya para pemimpin-peminpinnya merasa
tidak nyaman dengan kegiatan tersebut. Mereka menduga bahwa pihak Zionis
akan merebut lokasi yang dimaksud, Padahal sudah jelas bahwa bangunan
tersebut dimiliki oleh Yayasan Maghribi Waqf.111
Pada 25 September 1928, bertepatan dengan hari Yom Kippur112
, Kaum
Yahudi membawa sebuah sekat pembatas ke Tembok Barat guna memisahkan
Yahudi wanita dan pria. Namun sekat tersebut merintangi sebuah jalan yang biasa
dilewati oleh penduduk Arab setempat. Protes pun berdatangan dari pihak Arab
dan mereka meminta pihak berwenang Inggris memindahkan sekat tersebut.
Dewan Tinggi Muslim Palestina menyatakan bahwa kaum Yahudi telah
melampaui haknya terhadap Tembok Barat113
`Pada 28 September 1928, pihak berwenang Inggris berhasil
memindahkan sekat tersebut secara paksa dari Tembok Ratapan walaupun terjadi
perlawanan dari warga Yahudi. Sejak itu ketegangan antara penduduk Arab dan
Yahudi semakin meningkat, terkait dengan peristiwa tersebut. Kaum Yahudi, dari
dalam dan luar Palestina, mengecam tindakan Inggris tersebut. Klaim tentang
kebrutalan polisi Inggris disebarluaskan oleh sebuah media Yahudi, yang
membandingkan mereka dengan orang-orang Rusia yang melakukan Pogrom
111
Charles Smith. Palestine and the Arab-Israeli Conflict. (New York: St. Martin
Press,1992), h.71 112
Hari Raya Umat Yahudi yang bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadhan bagi
umat Islam 113
Rufus Learsi, Israel: A History of the Jewish People, (Ohio: Meridian Books,1966), h.
640
46
(Penindasan). Semakin lama, ketegangan antara kaum Yahudi dengan Arab terkait
dengan Tembok Ratapan semakin bertambah. Masing-masing pihak saling
menunjukkan eksistensinya di wilayah tersebut.114
Pada tanggal 15 Agustus, sejumlah anggota Betar115
dibawah
kepemimpinan Jeremia Halpern berbaris menuju Tembok Ratapan sambil
mengibarkan bendera Zionis dan menyanyikan Hatikvah (Hymne Yahudi). Pada
tanggal 23 Agustus 1929, huru-hara terjadi antara Yahudi dan Arab di Jerusalem
dan dengan cepat menyebar ke wilayah lain. Kerusuhan ini berlangsung selama
seminggu dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban, baik dari pihak Yahudi
maupun Arab. Pada hari terjadinya kerusuhan, sebuah rumor beredar di pihak
Arab Palestina bahwa Mufti Amin al Hussayni meminta mereka untuk melidungi
masjid di kawasan Haram Al-Sharif karena kaum Yahudi berencana menyerang
tempat tersebut116
. Amin al-Hussayni segera menuju ke tempat itu, dan diminta
oleh Kepala Polisi bernama Allen Saunders untuk meredam kemarahan warga
Arab. Namun, himbauan Amin al-Husayni kepada mereka agar pulang ke rumah
dengan tenang tak teralu berpengaruh karena massa sudah lebih dulu terprovokasi
oleh hasutan para provokator”117
Salah satu wilayah yang terkena imbas kerusuhan ini adalah Hebron. Kota
Hebron dianggap penting dalam kepercayaan Islam dan Yahudi karena tempat ini
114
Mary Ellen Lundsten. “Wall Politics : Zionist & Palestinian Strategies in Jerussalem
1928:. Journal of Palestine Studies. Vol.8 no.1 (Autumn 1979). h. 3-27 115
Betar adalah Organisasi Pemuda Yahudi yang merupakan organisasi Underbow dari
Partai Zionisme Revisionist yang diketuai oleh Zeev Jabotinsky 116
Ilan Pape. “Haj Amin & Buraq Revolt”, Jerusalem Quarterly File vol.6, no. 18 ,h.15 117
Phillip Mattar, “Mufti & Western Wall : The Role of Mufti of Jerussalem in Political
Struggle over the Western Wall 1928-1929”. Middle Eastern Studies. Vol.19 no 1 (januari 1983).
h.114-118
47
diyakini merupakan tempat tinggal Nabi Ibrahim di masa lalu118
. Pada tahun
1929, populasi kota ini sebanyak 20 ribu jiwa, mayoritas adalah muslim Arab.
Ada pula komunitas Yahudi sebanyak 700 orang yang tinggal di Hebron dengan
menyewa rumah dari penduduk Arab.
Komunitas Yahudi di Hebron, seperti halnya di wilayah Palestina yang
lain, terbagi menjadi komunitas Yahudi Azkenazi yang merupakan Imigran dari
Eropa dan komunitas Yahudi Sephardim yang telah berabad-abad tinggal di
Palestina. Kedua komunitas memiliki sekolah yang terpisah, sinagog yang
terpisah dan tidak saling menikah. Orang-orang Yahudi Sephardim berbicara
bahasa Arab, berpakaian seperti orang-orang Arab dan hidup rukun bersama
komunitas Arab, sedangkan Yahudi Askenazi berpakaian seperti orang-orang
Eropa dan sering disalahpahami oleh orang-orang Arab sebagai orang asing yang
memiliki maksud untuk menguasai tanah air mereka. Sejak dikeluarkannya
Deklarasi Balfour tahun 1917, ketegangan diantara orang Arab dan Yahudi di
Palestina semakin meningkat. Walaupun sebenarnya orang-orang Islam di Hebron
terkenal konservatif dalam urusan ibadah tetapi hubungan antara kedua komunitas
masih berjalan normal119
.
Meyer Greenberg menceritakan isi surat yang ditulis oleh kakek dari pihak
ibunya, Aharon Reuvern Bernzweig yang merupakan saksi mata ketika kerusuhan
menyebar ke kota Hebron120
:
118
Edward Platt, The City of Abraham : History,myth & Memory, a Journey through
Hebron, (London : Pan Macmillan, 2012), h.5 119
Jerold Auerbach. Hebron Jews: Memory and Conflict in the Land of Israel, (Maryland
: Rowman & Littlefield Publisher,2009), h.60-61 120
Meyer Greenberg. The Hebron Massacre of 1929 : A Recently Letter of a Survivor.
h.5-6
48
“pada tanggal 23 Agustus jumat sore, situasi semakin memburuk.
kami mendengar bahwa orang orang Arab memukuli orang orang Yahudi
di jalan. Selanjutnya, toko toko Yahudi mulai tutup. Kami mengunci diri
di kamar dengan penuh rasa takut. Satu jam kemudian semua jendela
pecah, orang orang Arab melempari jendela rumah kami dengan batu.
Ketika situasi mendadak hening, kami melihat orang orang Arab
berkeliaran membawa kapak,tongkat besi dan pisau; mereka semua
berteriak bahwa mereka akan pergi ke Jerussalem dan membantai semua
orang Yahudi”
“jam 8 pagi keesokan harinya, orang orang Arab menyerbu rumah-
rumah dan membunuhi orang orang Yahudi, terdengar teriakan teriakan
minta tolong. Kami berlindung di lantai dua rumah kami yang ditempati
oleh seorang dokter. Orang orang Arab lima kali menyerbu rumah kami
dengan kapak. Namun akhirnya polisi datang dan mengevakuasi kami,
Untuk beberapa waktu kami tinggal di kantor polisi. Sulit dipercaya bahwa
orang-orang Arab yang kami anggap sebagai teman ternyata akan menjadi
orang yang mengancam nyawa kami”.
Kerusuhan di kota Hebron menyebabkan 67 orang Yahudi termasuk 23
orang mahasiswa terbunuh akibat serangan orang orang Arab yang terpengaruh
oleh rumor palsu bahwa orang Yahudi telah membantai orang-orang Arab di
Jerusalem dan menduduki masjid Al Aqsa. Insiden ini menimbulkan kerusakan
dan luka batin yang mendalam. Rumah-rumah penduduk Yahudi dijarah dan
sinagog-sinagog dirusak. Sebanyak 423 org Yahudi yang selamat bersembunyi di
49
rumah penduduk lokal. Tak lama kemudian, semua Yahudi di Hebron dievakuasi
oleh pemerintah Inggris121
.
Pada tangal 29 Agustus 1929, selain di kota Hebron, kerusuhan juga
menjalar ke kota Safed dan menewaskan 18-20 orang Yahudi yang bertempat
tinggal di kota tersebut. David Hacohen sebagai saksi mata menceritakan
peristiwa tersebut dalam buku hariannya122
:
“Kami bangun pada hari Sabtu pagi dan aku tidak mempercayai
penglihatanku. Aku bertemu dengan beberapa orang tua Yahudi yang
melarikan diri. Kami pergi kejalan-jalan dan memasuki kota tua. Di
sebuah rumah aku melihat beberapa tubuh yang dimutilasi dan terbakar
dan tubuh seorang wanita yang juga terbakar yang terikat di jendela. Dari
rumah kerumah aku melihat setidaknya ada 10 mayat yang tergeletak. Aku
tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi ?”
“Orang-orang Yahudi lokal menceritakan padaku bagaimana
tragedi ini bermula. Pada hari kamis tanggal 29 Agustus , orang-orang
Arab di Safed dan juga dari desa tetangga membuat kerusuhan dengan
membawa senjata serta galon bensin. Mereka membakar rumah-rumah,
memenggal kepala penghuninya, mereka menghempaskan seorang anak ke
dinding dan memotong tangannya. Seorang lelaki Yahudi bernama
Yitzhak Mamon ditikam berkali-kali hingga tewas namun pihak berwajib
tidak berbuat apa-apa.”
121
Noam Arnon, Hebron 4000 years and 40 : The Story of The City of Patriarch, (New
York : The Hebron Fund,2009), h.22 122
David Hacohen, Time to Tell : An Israeli Life 1898-1984.(New Jersey : Asscosciate
University Press,1985), h.37-38
50
Menanggapi kerusuhan ini, Ilmuwan Fisika dan Tokoh Yahudi Jerman,
Albert Einstein menulis artikel opini untuk Koran Filastin yang diterbitkan pada
28 Januari 1930. Dalam artikelnya, Albert Einstein mengajak rakyat Arab dan
Yahudi di Palestina untuk lebih menekankan aspek kemanusiaan dibanding
Nasionalisme sempit. Editor Koran Filastin, Azmi al-Nashashibi mengatakan
Artikel ini sanggup meredakan ketegangan antara Arab dan Yahudi di Palestina123
Walaupun dampak kerusakan yang dilakukan orang-orang Arab sangat
parah, tapi Pemerintah Mandat Inggris menuding bahwa perbuatan kelompok
Betar pada tanggal 15 Agustus merupakan pemicu utama konflik tersebut. Setelah
peristiwa tersebut, Pemerintah Mandat Inggris mempublikasikan peraturan Order
in Council 1929 yang menetapkan bahwa umat Islam Palestina memiliki hak
tunggal atas kepemilikan Tembok Ratapan dan area sekitarnya dan kaum Yahudi
dilarang membunyikan Shofar di Tembok tersebut124
Pemerintah Inggris segera melakukan investigasi atas kasus ini dengan
menunjuk Sir Walter Shaw sebagai Ketua Tim Investigasi, didampingi oleh 3
Anggota Parlemen Inggris, yaitu Sir Henry Betterton (Partai Konservatif), Hopkin
Morris (Partai Liberal) dan Henry Snell (Partai Buruh). Mereka berempat pergi
dari pintu ke pintu dan mewawancarai para saksi mata. Sir Walter Shaw dan
rekan-rekannya membuat kesimpulan setelah wawancara tersebut, yaitu :
Serangan ini dimulai oleh orang Arab terhadap Komunitas Yahudi, Pengaruh
rumor terhadap masyarakat Arab menengah kebawah yang kurang terdidik
merupakan sebab kerusuhan ini cepat menyebar, wilayah yang paling terkena
dampak kerusuhan adalah Hebron dan Safed, Kerusuhan ini bukan bertujuan
123
Artikel di Koran Filastin, 28 Januari 1930 124
Menachem Begin. The Revolt: Story of the Irgun. (New York: Henry Schuman,Inc.,
1959) , h. 87-88
51
melawan Pemerintah Mandat Inggris, Mufti Amin al-Hussayni sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk mendinginkan situasi125
.
Pemerintah Mandat Inggris juga melakukan investigasi mengenai masalah
pertanahan dan Imigrasi, karena khawatir bahwa kerusuhan tersebut merupakan
dampak dari kebijakannya selama ini. Sir John Hope Simpson ditunjuk sebagai
Ketua Tim Investigasi. Laporan tersebut diumumkan oleh Pemerintah pada publik
tanggal 20 Oktober 1930 yang menyatakan bahwa pembelian tanah dari orang
orang Arab oleh Jewish Agency dengan harga tinggi126
membuat banyak pemuda
Arab Palestina yang tak menemukan lahan baru untuk bercocok tanam sehingga
terjadi pengangguran yang mengakibatkan mereka mudah tersulut emosi. Selain
itu, imigrasi Yahudi yang terus meningkat juga membawa kekhawatiran penduduk
Palestina akan kemungkinan kolonisasi oleh pendatang Yahudi. Sir John Hope
Simpson merekomendasikan agar penjualan tanah dihentikan oleh Pemerintah
Mandat Inggris dan mulai diberlakukannya kuota terhadap Imigrasi Yahudi127
.
Akhirnya, setelah menimbang laporan dari Sir Walter Shaw & Sir John
Hope Simpson, Pemerintah Inggris mengeluarkan White Paper kedua sejak White
Paper pertama tahun 1922, yaitu Passfield White Paper 1930. White Paper ini
sebagai keputusan resmi Pemerintah Kerajaan Inggris yang diumumkan oleh
Sekretaris Urusan Kolonial, yaitu Sydney Webb yang bergelar Lord Passfield.128
Isinya antara lain : Menegaskan bahwa Pemerintah Inggris masih memegang
125
Text Shaw Comission Report, http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/B00527FEA,
diakses pada tanggal 14 Mei 2014 126
Pembelian Tanah Tanah tersebut dimodali oleh Keren Kayerment (Jewish Agency)
dan Keren Hayesod (Jewish National Fund), karena banyak orang Yahudi yang kekurangan uang
untuk membangun rumah dan lahan bercocok tanam setelah sampai di Palestina. dalam
Muhammad Raji al-Faruqi (1980). Islam & Problem of Israel. London. h.57-58 127
Text Hope Simpson Report, http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/ html,
diakses pada 14 mei 2014 128
Rory Miller. Britain, Palestine, and Empire: The Mandate Years. (London : Ashgate
Publishing,2010), h.8
52
komitmen Deklarasi Balfour 1917, namun pembentukan Jewish National
Homeland bukanlah kebijakan utama Kerajaan Inggris atas Palestina. Pemerintah
Kerajaan Inggris akan memenuhi tugas dari Liga Bangsa Bangsa untuk
melaksanakan kewajiban terhadap Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi, dan
Pemerintah Kerajaan Inggris juga akan mulai memberlakukan kuota bagi imigran
Yahudi yang ingin datang ke Palestina129
.
Bagi masyarakat Yahudi, kerusuhan tahun 1929 terutama pembantaian
yang terjadi di daerah Hebron & Safed membuat komunitas Yahudi di Palestina
dan juga seluruh dunia terkejut. Peristiwa ini membuat orang-orang Yahudi
memutuskan untuk memperkuat organisasi Paramiliter Yahudi yang disebut
Haganah, yang akan menjadi cikal bakal dari Israeli Defense Force (IDF)130
. Dua
tahun kemudian, Haganah juga akan terpecah menjadi organisasi paramiliter yang
lebih radikal yaitu Irgun Zvai Leumi.131
Bagi Masyarakat Arab, peristiwa tahun 1929 memiliki dampak buruk bagi
mereka. Peristiwa ini memberikan alasan bagi orang orang Yahudi pada umumnya
dan Golongan Zionis pada khususnya, bahwa koeksistensi yang damai antara
kedua komunitas mustahil diwujudkan. Sebelum ini masyarakat Arab dipandang
sangat toleran dan mendukung keberadaan komunitas Yahudi Sephardim di
Palestina. Setelah insiden tersebut, komunitas Yahudi Sephardim lokal
merapatkan barisan ke kubu Zionis dengan membawa segala pengetahuan dan
pengalaman mereka mengenai budaya dan bahasa Arab yang mereka peroleh
129
Text Passfield White Paper, https://www.jewishvirtuallibrary.org/ passfield.htm,
diakses pada 14 mei 2014 130
John Bowyer Bell. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976),
h.5 131
Yehuda Bauer. “From Cooperation to Resistance : The Haganah 1948-1936”. Middle
Eastern Studies, vol.2 no.3 (April 1966), h.182-210
53
selama hidup berdampingan dengan masyarakat Arab di Palestina. Dengan kata
lain, rakyat Arab Palestina “sukses” menggali kuburannya sendiri dengan
memperkuat musuh yang akan mengancam masa depannya kelak132
.
B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939
Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 adalah sekumpulan kerusuhan
sporadis yang dilakukan para petani dan pejuang revolusioner di Palestina.
Pemberontakan ini awalnya menggunakan metode „Ketidaktaatan Sipil‟ (Civil
Disobedience)133
namun berevolusi menjadi perlawanan bersenjata yang terdiri
atas sekumpulan kecil pengerusakan tanpa mengincar satu target spesifik,
melainkan banyak target; antara lain orang Yahudi dan Pemerintahan Mandat
Inggris.
Penyebab tak langsung dari pemberontakan tersebut adalah „Insiden
Semen‟ yang terjadi di pelabuhan Haifa, 16 October 1935. Insiden ini
dilatarbelakangi ketika orang-orang Arab yang bekerja sebagai kuli
panggul sedang mengangkut kiriman 537 drum semen putih dari kapal kargo
Belgia Leopold II, yang dalam surat keterangan bea cukai merupakan pesanan
untuk pengusaha Yahudi bernama J. Katan di Tel Aviv134
. Sebuah drum tak
sengaja jatuh dan rusak, ternyata isi drum tersebut adalah beberapa pucuk senapan
lengkap dengan amunisinya135
. Investigasi menyeluruh oleh Pemerintah Mandat
Inggris mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah besar senjata yang
132
Moshe Sakal. The real point of no return in the Jewish-Arab conflict, dari
http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/.premium-1.566793. Diakses pada 10 Mei 2014 133
Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya :
Pustaka Progresif,1998),h.52 134
Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding
of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.263 135
Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian
national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.220
54
diselundupkan, yang terdiri atas 25 Senapan Mesin, 800 Rifle dan 400.000 butir
amunisi yang dimuat dalam 359 drum semen. Tapi karena identitas sebenarnya
dari pemesan senjata itu tak diketahui, maka Pemerintah Mandat Inggris
memutuskan untuk tidak melakukan penangkapan136
.
Sejak kekerasan berdarah yang dilakukan orang orang Arab terhadap
orang orang Yahudi pada tahun 1929, Haganah berusaha menyelundupkan senjata
ke Palestina demi melindungi keselamatan warga Yahudi. Penemuan kiriman
senjata tersebut memperkuat bukti bahwa pasukan paramiliter Yahudi di Palestina
mempersenjatai diri secara besar-besaran sebagai langkah preventif137
. Haganah
telah mengirimkan perwakilan ke Belgia, Prancis dan Italia untuk membeli senjata
dan sering diselundupkan ke Palestina dalam peti dan bagasi. Banyak
kekhawatiran bahwa kaum Zionis akan berusaha mendirikan Negara di Palestina
dengan menggunakan kekuatan senjata138
.
Kontroversi akibat masalah penyelundupan senjata tersebut dan sikap
lunak Inggris terhadap Haganah, serta makin bertambahnya imigran Yahudi ke
Palestina, menjadi faktor utama munculnya seorang ulama karismatik asal Syria
bernama Izzudin al-Qassam yang menganjurkan sebuah solusi alternatif bagi
rakyat Palestina agar melakukan konfrontasi terhadap kelompok Zionis dan
Pemerintah Mandat Inggris139
. Motivasi Izzudin al-Qassam menawarkan solusi
alternatif yang radikal karena ia menilai Dewan Tinggi Muslim yang dipimpin
136
Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian
national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.78 137
The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher
Committee Archive, 12 Maret 1948,h.3 138
Weldon C Matthews, Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab
nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006),
h.237 139
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al
Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
55
Amin al-Hussayni tak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Ia
menyalahkan Dewan Tinggi Muslim yang lebih senang memperbaiki masjid
dibanding membeli senjata140
. Namun situasi demikian, disebabkan juga karena
adanya fragmentasi politik di kalangan elit Palestina.
Percaturan politik di kalangan elit Palestina didominasi oleh dua faksi
yaitu Majlisiyun (Pendukung Amin al-Hussayni) dan Mu‟ardiun (Pihak Oposisi
yang dipimpin oleh Raghib al-Nashashibi)141
. Gesekan diantara kedua kubu
semakin menajam terutama setelah Musa Kazim al-Hussayni dipecat dari
jabatannya sebagai Walikota Jerussalem dan digantikan oleh Raghib al-
Nashashibi. Rivalitas antara kedua kelompok dinilai menjadi biang kemunduran
elit Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina142
Pada dekade 1930an, sejumlah partai politik baru bermunculan di
Palestina. Partai-partai itu adalah Partai Kemerdekaan Arab (Hizb al-Istiqlal al-
Arabi) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, Partai Pertahanan Nasional (Hizb al-
Difa al-Watani) yang dikuasai oleh Keluarga Nasashibi, Partai Arab Palestina
(Hizb al-Arabi al Filastini) yang didominasi oleh Keluarga Hussayni, Partai
Reformasi (Hizb al-Islah) yang dipimpin oleh Keluarga Khalidi, dan tentunya
golongan radikal dibawah komando Izzudin al-Qassam yang menyerukan
perlawanan bersenjata melawan Pemerintah Mandat Inggris dan Pihak Zionis143
.
140
Uri M Kupferschmidt, The Supreme Muslim Council: Islam Under the British
Mandate for Palestine. (Leiden : Ej brill,1987),h.251 141
Dr.Manuel Hassasian, Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990) h.78-79 142
Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121 143
Weldon C Matthews. Confrontong an Empire, Constructing a Nation : Arab
Nationalist & Popular Politic in Mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006),
h.226-227
56
Untuk mencapai tujuannya, Izzudin al-Qassam mendirikan organisasi yang
dinamai “Brigade Tangan Hitam” (al-Kaff al-Aswad). Kelompok ini memiliki
sekitar 200-800 anggota yang terdiri atas sejumlah sel dan bertugas melakukan
aksi sabotase serta pengerusakan terhadap fasilitas Pemerintah Inggris &
pemukiman Yahudi. Pada tahun 1935, Izzudin al Qassam menghimpun 800
anggota Brigade Tangan Hitam untuk menyerang pelabuhan Haifa yang notabene
adalah pusat perekonomian Inggris karena adanya jaringan pipa minyak di
wilayah itu144
.
Pada tanggal 20 November 1935, setelah membunuh seorang opsir polisi,
Izzudin al-Qassam dikepung oleh polisi Inggris di sebuah gua di dekat Kibbutz
Ahrasy Yu‟bad. Izzudin al-Qassam tewas dalam baku tembak bersama dengan
tiga anak buahnya. Sedangkan beberapa anggota Tangan Hitam yang masih hidup
ditangkap oleh Polisi Inggris145
.
Kematian Izzudin al-Qassam yang dianggap tragis membuat seluruh
lapisan rakyat Palestina berkabung, sehingga penguburan jenazahnya
diselenggarakan layaknya upacara resmi kenegaraan. Izzudin al-Qassam dianggap
sebagai martir oleh rakyat Palestina. Kematiannya menjadi pemicu bagi rakyat
Arab Palestina untuk memberontak melawan Pemerintah Mandat Inggris146
,
sekaligus mentransformasi perlawanan rakyat Palestina menjadi pemberontakan
bersenjata untuk beberapa dekade selanjutnya147
.
144
Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7
(spring 1987) h.7-24 145
Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood.( Oxford : One World
Publication,2007), h.90 146
Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7
(spring 1987) h.7-24 147
Fariz al Mehdawi. Derita Palestina Air Mata Kita. Jakarta : Cendikiawan Marhaen.,
t.t. h.6
57
Pada tanggal 15 April 1936, salah satu murid Izzudin al-Qassam yang
bernama Farkhan al-Sa‟adi, bersama anak buahnya membajak sebuah bus di kota
Nablus dan menembak mati dua orang warga sipil Yahudi yang berada di dalam
bus tersebut. Sore harinya, Haganah membalas dendam dengan membunuh dua
orang petani Arab. Insiden ini menimbulkan ketegangan diantara kedua kelompok
dan memicu bentrokan fisik yang berkelanjutan148
. Akibatnya, Pemerintah
Mandat Inggris langsung mengumumkan jam malam bagi warga sipil di kota Jaffa
dan Tel Aviv. Bahkan selanjutnya Pemerintah Mandat Inggris memberlakukan
keadaan Darurat Militer di seluruh kawasan Palestina. Pada tanggal 20 April
1936, sejumlah elit Palestina mendirikan Komite Arab Tertinggi (Al Lajnah al
Arabiyah al-Uliya) di kota Nablus, yang mendeklarasikan Perlawanan rakyat
Arab Palestina terhadap Pemerintah Mandat Inggris149
.
Komite Arab Tertinggi dipimpin oleh Amin al-Hussayni. Anggota partai
politik lain juga menjadi anggota komite ini, seperti Raghib al-Nashashibi,
Husayn al-Khalidi, Abdul Latif Saleh dan Awni Abdul Hadi. Komite ini menuntut
agar imigrasi Yahudi dihentikan dan Pemerintah Mandat Inggris tak boleh lagi
menjual tanah pada Imigran Yahudi serta dibentuknya pemeritahan sendiri bagi
orang Arab Palestina yang akan bertanggung jawab pada Parlemen Inggris150
.
Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope, segera
mengajak Amin al-Hussayni untuk berunding. Ia memohon agar Komite Arab
Tertinggi tidak melakukan hal hal yang bersifat ilegal dan merugikan kepentingan
148
William Cleveland & Martin Burton . History of Modern Middle East. (Philadelphia :
Westview Press, 2009),h.258 149
Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121 150
Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian
academic study of international affairs,1999), h.155
58
kedua belah pihak151
. Namun Amin al-Hussayni tetap bersikeras menjalankan
rencananya, jika Pemerintah Mandat Inggris tidak mau mengabulkan tuntutan
Komite Arab Tertinggi, maka kekerasan adalah satu-satunya pilihan.
Pada tanggal 7 Mei 1936, Komite Arab Tertinggi menghimbau agar semua
rakyat Arab Palestina yang bekerja di kantor-kantor pemerintah maupun
perusahaan perusahaan di seluruh wilayah Palestina melakukan mogok kerja, serta
tak perlu lagi membayar pajak kepada Pemerintah Mandat Inggris. Dengan ini,
dimulailah „Pemogokan Umum di Palestina‟ (Palestine General Strike) yang
menjadi tahap awal dari Pemberontakan tahun 1936.152
Kepercayaan diri Amin al-Husayni beserta rekan-rekannya dalam memulai
pemberontakan dikarenakan mereka menerima suntikan dana dari Pemerintahan
Fasis Italia secara berkala, padahal saat itu Inggris sedang bersengketa dengan
Italia atas wilayah Ethiopia. Pemberontakan di Palestina yang dimotori oleh Amin
al-Hussayni dan rekan rekannya bukan hanya menusuk Inggris dari belakang di
tengah kasus sengketanya dengan Italia, namun juga membuat pengaruh Fasis
Italia di wilayah tersebut semakin besar153
.
Selain Fasis Italia, pihak luar yang memiliki andil dalam pemberontakan
ini adalah Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Pada 24 Mei 1936, Hassan
al-Bana, Pemimpin Ikhwanul Muslimin menyatakan pada para anggotanya untuk
membantu „Saudara-Saudara Muslim Palestina‟, dibentuklah Komite Sentral
151
Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine
1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34 152
Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya :
Pustaka Progresif,1998), h.52-53 153
Nir Arielli. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British
Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2 h.187-204
59
Bantuan untuk Palestina (Al-Lajna al-Markaziyya al-Amma li-Musa‟adat Filastin)
yang diketuai oleh Hassan al-Bana sendiri154
.
Pemberontakan tahun 1936 mentransformasi Ikhwanul Muslimin, yang
awalnya hanya sekedar organisasi pemuda menjadi organisasi politik, dari
sifatnya yang hanya Misi Deklaratif (Da‟wa Qawliyya) menjadi Perjuangan Aktif
(Jihad Amali). Tujuan akhir gerakan politik Ikhwanul Muslimin adalah
pembentukan negara-negara Islam yang merdeka dan berlandaskan Syariat Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali
mengambil sikap non-kooperatif dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap
pemerintahan yang sah. Pemberontakan Arab tahun 1936 merupakan momen yang
tepat bagi mereka untuk melancarkan aksi teror terhadap Pemerintah Mandat
Inggris dengan dalih “solidaritas sesama Muslim”155
.
Pada bulan Juli 1936, Fawzi al-Qawuqji, sukarelawan asal Syria yang
pernah menjadi Penasehat Militer Ibnu Saud dan disebut-sebut telah
“mentransformasi angkatan perang Saudi Arabia menjadi sekuat Prussia”,
memasuki wilayah Palestina bersama 200 orang personil tentara bayaran yang ia
sebut sebagai Jaysh. Para tentara bayaran itu digabungkan dengan kelompok
pemberontak Palestina dan dibagi menjadi 4 divisi, masing masing dipimpin oleh
seorang Komandan Pleton 156
.
Pasukan pemberontak melakukan pengrusakan dan sabotase yang
diarahkan pada instalasi-instalasi strategis milik pemerintah Inggris seperti
,jaringan komunikasi, kantor polisi, pos-pos militer, rel kereta dan jalur Trans
154
Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936 155
Israel Gershoni. “The Muslim Brotherhood & the Arab Revolt in Palestine 1936-
1939”. Middle Eastern Studies. Vol.22 no.3 (juli 1886) ,h.367-397 156
Laila Parsons. “Soldiering for Arab Nationalism : Fawzi al-Qawuqji in Palestine”.
Journal of Palestine Studies. Vol.36 no.4 (summer 2007), h.33-48
60
Arabian Pipeline (TAP) yang dimiliki oleh British Petroleum, kemudian berlanjut
pada pengrusakan properti di pemukiman Yahudi.
Pemerintah Mandat Inggris segera memberlakukan Hukum Darurat
Militer. Orang orang yang dicurigai terlibat dalam pemogokan ditangkapi,
Pemerintah juga mengenakan denda pada desa-desa yang warganya terlibat dalam
pemogokan157
.
Pemerintah Mandat Inggris terus mengerahkan tentaranya ke pelosok
pedesaan dan meledakkan 240 bangunan yang membuat sekitar 6000 orang
Palestina kehilangan tempat tinggalnya. Banyak keluarga yang terpaksa
meninggalkan rumahnya tanpa berganti pakaian atau membawa harta benda yang
mereka miliki158
.
Pemerintah Mandat Inggris kemudian meminta bantuan para pemimpin
dunia Arab untuk menyelesaikan masalah ini. Pada tanggal 10 November 1936,
Raja Ghazi dari Irak, Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi dan Emir Abdullah dari
Transjordania mengeluarkan "Seruan Bersama" yang memberikan himbauan agar
: "menghentikan pemogokan dan menyerahkan proses politik kepada "niat baik"
Pemerintah Inggris, yang berjanji akan melaksanakan keadilan dan
menghilangkan tindakan diskrimatif atas seluruh warga Palestina”159
.
Karena adanya “Seruan Bersama” para pemimpin Arab itu akhirnya Amin
al Hussayni selaku pemimpin Komite Arab Tertinggi memutuskan untuk
157
Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya :
Pustaka Progresif,1998), h.53 158
Artikel di Koran Filastin, 12 Juni 1936 159
Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian
academic study of international affairs,1999), h.162
61
menghentikan pemberontakan dan menghimbau kepada seluruh anggota
pemberontak untuk meletakkan senjata160
.
Pada tahun akhir tahun 1936, dibentuk sebuah Komisi Kerajaan yang
dipimpin oleh William Peel yang bergelar 1st Earl of Peel. Tugas utama dari
Komisi Peel adalah menemukan penyebab pemberontakan tahun 1936. Dalam
acara dengar pendapat yang diadakan di banyak tempat, termasuk di gedung
House of Lords di London dan juga di Palestina. Pemerintah Inggris
mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari pihak Arab Palestina maupun
Yahudi161
.
William Peel menemui Amin al-Hussayni untuk membahas mengenai
solusi untuk menyelesaikan masalah antara Arab dan Yahudi. Amin al Hussayni
kembali menegaskan pada William Peel bahwa etnis Yahudi yang sudah terlanjur
datang, bisa diizinkan menetap di Palestina asal dibentuk Pemerintahan sendiri
untuk masyarakat Arab Palestina, karena sejarah membuktikan bahwa Bangsa
Arab selalu menjadi tuan rumah yang baik bagi Bangsa Yahudi, berbeda dengan
Bangsa Eropa.162
Dalam laporannya kemudian, Komisi Peel menyimpulkan bahwa
pemberontakan tahun 1936 disebabkan karena bangkitnya nasionalisme Palestina,
ketakutan terhadap rencana pihak Yahudi mewujudkan “Jewish National
Homeland”, meningkatnya imigran Yahudi dan ketidakpercayaan masyarakat
Arab Palestina terhadap niat baik Pemerintah Mandat Inggris. Komisi Peel
kemudian merekomendasikan agar sebaiknya wilayah Mandat Inggris di Palestina
160
Artikel di Koran Filastin, 13 November 1936 161
Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya :
Pustaka Progresif,1998), h.44-46 162
Correspondence between Amin al Hussani & the Peel Commission in Palestine,
December 1936, Arab Higher Committee Archive.
62
dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya
diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi kawasan pantai, Lembah
Jezreel, Beit She'an, dan Galilea, sementara Negara Arab akan meliputi
Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Sungai Jordan dan Gurun Negev163
.
Komite Arab Tertinggi yang dipimpin Amin al-Hussayni terang-terangan
menolak rekomendasi Komisi Peel dan menganggap Komisi Peel melanggar janji.
Mereka mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa Palestina adalah
bagian integral dari dunia Arab, karena itu usulan untuk memberikan sebagian
wilayah Palestina kepada Imigran Yahudi bukanlah hal yang dapat diterima164
.
Perlu dicatat, penolakan tersebut juga disebabkan adanya kecurigaan bahwa
rekomendasi Komisi Peel tersebut sudah direncanakan sejak awal, sebelum
mereka datang ke Palestina untuk melakukan investigasi.165
Penolakan juga datang dari Emir Abdullah dari Transjordania, dalam
suratnya untuk Komisi Peel, beliau menegaskan bahwa etnis Yahudi tidak
memiliki hak Historis untuk menetap di Palestina karena sejak awal mereka
adalah pendatang sebagaimana bangsa asing lain yang menginvasi Palestina.
Sedangkan etnis Arab lebih berhak karena mereka merebut Palestina dari bansga
Romawi166
.
Pada bulan Juni 1937, kerusuhan terulang kembali. Sejumlah milisi Arab
membunuh Inspektur Polisi Inggris bernama R.G.B. Spicer. Pada bulan
163
Text Peel Comission Repot, https://www.jewishvirtuallibrary.orgHistory/peel1.html,
diakses pada 14 Mei 2014 164
Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian
academic study of international affairs,1999), h.166 165
Jad Issac, A Palestinian Perspective on the Israeli-Palestinian conflict on settlements,
territory and borders, dalam Elizabeth Matthews, The Israel Palestine Conflict : Pararel
Discourse, (London : Taylor & Francis,2011), h.67 166
Surat Emir Abdullah untuk Komisi Peel, Maret 1937, sumber :
http://cojs.org/cojswiki/index.php/Memorandum_from_Amir_Abdullah_to_the_Royal_Commissio
n_in_Palestine,_Mar._1937. Diakses pada tanggal 4 Juli 2014
63
September di tahun yang sama, Kepala Distrik Galilea, Lewis Andrews dan
Pejabat Inggris bernama P.R. McEwen ditembak mati oleh sejumlah milisi Arab
di luar gereja Anglikan di kota Nazareth. Pemerintah Mandat Inggris
menyalahkan Komite Arab Tertinggi atas kerusuhan ini dan pembunuhan
sejumlah Pejabat Pemerintah167
.
Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope
mengambil tindakan tegas dengan mengklasifikasikan Komite Arab Tertinggi
sebagai Organisasi Terlarang. Amin al Husayni selaku pemimpin organisasi,
melarikan diri ke Lebanon, sedangkan para pemimpin militer lainnya banyak yang
ikut melarikan diri, atau terbunuh. Dengan hilangnya para Pemimpin, Gerakan
Nasionalisme Palestina pun menjadi lemah karena absennya figur pemimpin168
.
Pada bulan November 1937, pusat aktivitas para pemberontak berpidah ke
kota Damaskus, Syria dengan berdirinya Komite Sentral Jihad Nasional Palestina
(Al-Lajnah al-Markaziyya lil-Jihad). Pendiri organisasi ini adalah Izzat Darwaza,
yang juga pendiri Partai Kemerdekaan Arab (Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Para
pemimpin pemberontakan yang melarikan diri dari Palestina seperti Jamal al
Husayni, Fawzi al-Qawuqji dan Farkhan al-Saadi juga ikut bergabung 169
.
Dimulailah fase kedua dalam pemberontakan Arab Palestina. Jika
pemberontakan pada fase pertama Komite Arab Tertinggi mengorganisir rakyat
untuk melakukan pemogokan dan aksi sabotase dibantu oleh sukarelawan dari
negara tetangga dan didanai oleh negara lain, fase kedua ditandai dengan
167 Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. (New York : Comitee for
Democratic Palestine,1972),h.47 168
Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine
1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34 169
Wendy Pearlman. Violence, Nonviolence, and the Palestinian National Movement.
(Cambridge : Cambridge University Press,2011), h.49-52
64
pemberontakan yang dilakukan para petani (Fellahin) yang bergerak dalam unit-
unit kecil sesuai dengan desa asal mereka masing masing dan dipimpin
oleh170
sejumlah komandan seperti Abdul Khalik, Abdul Rahim al Hajj
Mohammed, Aref Abdul Razzik dan Yusuf Said Abu Durra, yang ditunjuk oleh
Komite Sentral Jihad Nasional Palestina
Pada tanggal 2 Oktober 1938, 70 orang pemberontak Arab memasuki
wilayah Kiryat Shmuel di kota Tiberias dan membantai 19 orang Yahudi,
membakar rumah-rumah orang Yahudi beserta synagog di lingkungan tersebut. Di
sebuah rumah, seorang ibu beserta kelima anaknya terbunuh, seorang Rabbi
ditikam hingga tewas di dalam synagog. Pada saat terjadinya pembantaian, hanya
terdapat 15 orang anggota Haganah yang bertugas sebagai penjaga untuk 2000
orang warga. Penyergapan oleh pemberontak pun terjadi dan menewaskan Mayor
Isaac Zaki Alhadif dari Haganah171
.
Ditengah situasi yang memanas, Sir Arthur Grenfell Wauchope
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Besar, ia digantikan oleh
Sir Harold McMichael. Sebelum ditugaskan ke Palestina, McMichael adalah
mantan Gubernur Tanganyika dan satu-satunya Komisaris Besar yang mengerti
bahasa Arab. Di awal masa jabatannya, Pemerintah Mandat Inggris harus
mengakui bahwa pembagian wilayah untuk Arab dan Yahudi tidak mungkin
170
Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian
academic study of international affairs,1999), h.171 171
Aharon Kleva Kleiberger, Aurochtonous Text in the Arabic Dialect of the Jews in
Tiberias. (Wiesbaden : Otto Harasowitz Verlag,2009),h.119
65
direalisasikan. Selain itu, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kota besar
di Palestina172
.
McMichael memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan
mengirimkan 20.000 tentara ke garis depan yang terdiri atas Royal Air Force dan
Royal Navy serta dibantu oleh Haganah dan Irgun. Royal Air Force melakukan
pemboman dari udara terhadap desa desa yang dicurigai sebagai basis
pemberontak, Royal Navy menggunakan ranjau laut dari kapal perang HMS
Malaya untuk menghancurkan rumah rumah petani yang memberontak, Irgun
melakukan pemboman terhadap sentra-sentra ekonomi masyarakat Arab dan
Haganah melakukan patroli yang intensif untuk mempersempit ruang lingkup
kelompok pemberontak173
.
Saingan lama dari Amin al-Hussayni yaitu Raghib al-Nashashibi juga
berperan penting dalam menumpas pemberontakan masyarakat Arab Palestina. Ia
mengkhianati Komite Arab Tertinggi dan mendapat subsidi sebesar 5.000
Poundsterling dari Pemerintah Mandat Inggris untuk membentuk pasukan anti-
pemberontak. Raghib menugaskan anggota keluarganya sendiri, Fakhri al-
Nashashibi untuk mengumpulkan pasukan yang kemudian diberi nama Peace
Band (Fasail al-Salam). Divisi ini berhasil mengusir pemberontak dari kota tua
Jerussalem, dan membunuh 19 orang pemberontak. Pasukan ini kemudian
172
Matthews C Weldon . Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab
nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006),
h.257 173
Matthew Hughes. “From Law & Order to Pasification : Britains Supression of Arab
Revolt in Palestine 1936-1939”. Journal of Palestine Studies. Vo.39 no.2 (Winter 2010) h.6-22
66
dibubarkan oleh Pemerintah pada tahun 1939, namun para anggotanya tetap setia
pada Inggris untuk memerangi kelompok radikal di Palestina174
Pada Tahun 1939, pemberontakan akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Pemerintah Mandat Inggris. Namun Pemerintah Mandat Inggris malah
mengeluarkan White Paper 1939, yang dianggap sangat memihak kepentingan
Palestina. Adapun pasal dari White Paper ini diantaranya adalah „imigrasi Yahudi
ke Palestina akan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali‟ dan „akan
dibentuk Pemerintahan bersama bagi bangsa Arab dan Yahudi‟175
. Pemerintah
Mandat Inggris mengambil kebijakan tersebut dengan dua alasan, yang pertama
karena tak ingin orang Arab Palestina menyerang Inggris dari belakang saat
sedang berperang melawan Nazi Jerman di Mesir dan Front lain176
. Alasan yang
kedua, karena mereka menilai bahwa pembagian tanah bagi masyarakat Arab dan
Yahudi bukanlah ide yang dapat direalisasikan saat ini.
Pemberontakan Arab Palestina tahun 1936-1939 adalah pemberontakan
yang terbesar dalam sejarah Palestina, namun berakhir dengan kegagalan. Banyak
faktor internal dalam tubuh perlawanan rakyat Palestina yang menjadi penyebab
dari kegagalan ini. Pertama, Amin al-Hussayni sebagai pemimpin tidak bisa
menciptakan ikatan politik dan militer yang dibutuhkan untuk memperkuat
pemberontakan ini. Sebagai akibatnya perlawanan bangsa Arab semakin
melemah. Pemberontakan bangsa Arab mengesankan suatu ambiguitas antara
174
Hilel Cohen, Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 1917-1948.
(Berkeley : University of California Press,2009), h. 198 175
Text of White Paper 1939, avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.as, diakses
pada 14 Mei 2014 176
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State
University,2004), h.218
67
perlawanan petani dan perlawanan revolusioner rakyat. Kondisi yang demikian
mengakibatkan perlawanan ini tidak fokus ke satu tujuan177
.
Hal ini seperti yang diutarakan oleh Panglima Perang Kerajaan Prussia,
Karl Phillip Gottlieb von Klausewits yang mengingatkan bahwa : “Setiap
peperangan memiliki objektivitas politik dan niat awal adalah yang menentukan
serta harus diperjuangkan sampai akhir demi mencapai tujuan”.178
Pihak yang terlibat dalam pemberontakan fase pertama dan fase kedua
memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Pemain utama dalam pemberontakan
fase pertama yaitu para Effendi dan golongan aristokrat yang borjuis serta feodal,
dimana mereka cukup mapan secara ekonomi. Golongan aristokrat berjuang demi
kemerdekaan dan penguasaan wilayah dalam arti yang Parokial. Amin Al
Hussayni sebagai simbol pergerakan sekaligus pemimpin keluarga aristokrat,
mempolitisasi pemberontakan ini untuk kepentingan dan interpretasinya sendiri
mengenai nasib rakyat Arab Palestina179
.
Sedangkan, para petani yang bermain aktif dalam pemberontakan fase
kedua, berjuang demi tanahnya. Bagi para petani, definisi dari kemerdekaan
adalah kemerdekaan bagi dirinya, tanahnya, keluarganya dan desanya. Mereka
berperang bukan untuk menghadapi pihak yang disebut penjajah, tetapi melawan
para penyerobot lahan180
.
Dimata para petani yang bergeriliya di Front Tempur, para Effendi dan
golongan aristokrat tidak mengkhianati mereka, namun tidak juga banyak
177
Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern
Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174 178
Karl Phillip Gottlieb von Klausewits. On War. (New Jersey : Princeton University
Press,1976), h.25 179
Ghassan Kanafani. The 1936-1939 Revolt in Palestine. (New York : Comitee for
Democratic Palestine,1972), h.41 180
Tom Bowden. :Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern
Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174
68
membantu. Para elit Palestina mendukung usaha perlawanan melalui orasi dan
propaganda namun tidak ikut berbagi suka-duka bersama mereka yang bertempur
di medan perang. Setelah pemberontakan berakhir dengan kegagalan, mereka
malah melarikan diri ke luar negeri dan membiarkan para petani menjadi korban
dari pembalasan Pemerintah Mandat Inggris181
.
Secara strategi, Komite Arab Tertinggi selaku aktor intelektual
pemberontakan ini juga mengalami problematika. Mereka menjadkan ideologi
nasionalisme sebagai alat untuk menyatukan banyak fraksi politik yang tadinya
berseberangan. Namun aliansi tersebut sangat tidak stabil dan gagal mencapai
persatuan, karena perselisihan antar keluarga juga berperan di dalamnya182
. Hal
tersebut terbukti ketika keluarga Nashashibi yang merupakan rival dari keluarga
Hussayni berbalik memihak Inggris dan memerangi para pemberontak183
Ditinjau dari segi taktik, pasukan petani bertarung dalam unit-unit kecil
bersama dengan suku dan kabilah mereka demi memperjuangkan tanah mereka
sendiri. Hal itu menunjukan sebuah ketidakmatangan politik dalam struktur inti
pergerakan. Desa dan kabilah menjadi mikrokosmos dalam perlawanan ini. Para
petani juga tidak homogen, dan memiliki basis masa serta memiliki perspektif
sosial yang berbeda-beda tergantung wilayah masing-masing184
.
Segmentasi vertikal diantara para petani, rakyat kebanyakan dan Komite
Sentral Jihad sebagai organisasi pergerakan serta motif politik masing-masing
golongan yang berbeda-beda menyebabkan sulitnya terjadi kristalisasi dalam
181
W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 182
Dr.Manuel Hassasian , Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990), h.36 183
Hilel Cohen, Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 1917-1948.
(Berkeley : University of California Press,2009), h. 198 184
Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern
Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174
69
pembentukan identitas kebangsaan. Pemberontakan Arab 1936-1939 mengalami
kegagalan karena kurangnya disiplin diantara para petani dan kurang terorganisir
secara politis. Semangat bertarung dalam diri bangsa Arab yang mengalir dalam
darah mereka selama berabad-abad menjadi boomerang bagi diri mereka
sendiri185
.
Seperti halnya kerusuhan tahun 1929, pemberontakan tahun 1936-1939
menghasilkan dampak yang sangat krusial bagi masyarakat Arab Palestina secara
keseluruhan. Pemberontakan ini menghabiskan semua energi dan sumber daya
yang sangat dibutuhkan, karena bertempur melawan musuh yang masih kuat186
.
Pihak Zionis mendapat keuntungan karena mempertahankan sikap kooperatif
dengan Pemerintah Inggris dan akhirnya mereka dapat mengambil peluang dari
momen melemahnya Inggris pada tahun 1947-1948. Sementara rakyat Arab
Palestina yang masih belum pulih akibat kekalahan dalam pemberontakan ini,
kehilangan momentum yang berharga187
. Dapat disimpulkan bahwa
Pemberontakan Arab Palestina tahun 1936-1939 adalah tindakan yang terburu-
buru, sia-sia dan berakhir anti-klimaks.
C. Kolaborasi dengan Nazi Jerman
Kolaborasi antara oknum pemimpin Palestina dengan Nazi Jerman
dilakukan pada masa akhir Pemberontakan Arab. Ketika Amin al-Hussayni
melarikan diri ke Lebanon, ia bertemu dengan Wilhelm Canaris, Kepala Dinas
185
Tom Bowden. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle Eastern
Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174 186
W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 187
Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World
Publication,2007), h.123
70
Intelijen Jerman atau yang disebut Abwehr. Pihak Jerman setuju untuk
menyelundupkan sejumlah senjata ke Palestina lewat Arab Saudi, sayangnya
rencana tersebut dibatalkan karena sudah tercium lebih dulu oleh pihak Inggris188
.
Amin al-Husseini pun datang ke Jerman. Ia dipuja di depan publik dalam
satu resepsi penghormatan untuknya yang diberikan oleh Institut Islam Nazi
(Islamische Zentralinstitut). Ia juga menerima uang saku secara rutin yang
jumlahnya setara dengan 10.000 Dolar, serta fasilitas menginap di sebuah hotel
mewah di kota Berlin189
.
Pada 25 November 1941, Amin al-Hussayni bertemu dengan Hitler dalam
sebuah rapat. Hitler menjanjikan akan menjadikan Amin al-Hussayni sebagai
Fuhrer atas seluruh dunia Arab190
, segera setelah Nazi menyeberangi Pegunungan
Kaukasus dan melebarkan wilayah ke Timur Tengah. Hitler juga mendukung
kedaulatan negara-negara Arab. Bagi Hitler, tujuan utamanya adalah
memusnahkan orang Yahudi. Di mata Hitler sendiri, ideologi Islam dengan
konsepsi mengenai Jihad Islamiyah dianggap sebagai Ideologi Komplementer
Nazisme yang bisa digunakan untuk membebaskan dunia dari cengkraman
Yahudi.191
Setelah rapat dengan Hitler, Al-Hussayni diajak ikut rapat dengan kepala
SS Heinrich Himmler. Himmler menugaskan al-Husseini merekrut orang-orang
Arab ke dalam unit-unit militer yang bertugas di Balkan, Rusia, Afrika Utara, dan
188
Francis Nikosia. “Arab Nationalism & National-Socialist Germany 1933-1939 :
Ideological & Strategic Incompability”. International Journal of Middle East. Vol.12 no.3 (Nov
1980) h.351-372 189
David Dalin dan John Rothman. Icon of Evil: Hitler's Mufti and the Rise of Radical
Islam, (New Jersey : Transaction Publishers,2009), h.47 190
Chuck Morse. Nazi Connections to Islamic Terorism : Adolf Hitler & Hajj Amin al-
Hussayni, (New York : iUniverse,2003), h.55 191
David Patterson. A Genealogy of Evil: Anti-Semitism from Nazism to Islamic Jihad.
(Cambridge : Cambridge University Press,2010), h. 97–98
71
Timur Tengah. Himmler yakin, rencana itu akan membuat SS semakin kuat.
Amin al-Hussayni merealisasikan keinginan Himmler tersebut pada tahun 1942,
dengan dibentuknya Arabisches Freiheitkorps yang beranggotakan para pemuda
Arab Palestina untuk bergabung dengan pasukan Jerman. Divisi Arab ini bertugas
memburu pasukan payung pihak sekutu dan juga akan dikirim untuk bertempur di
front Russia192
.
Nama Amin al-Hussayni kemudian dikaitkan dengan program genosida
terhadap etnis Yahudi. Pada tanggal 17 July 1942, Amin al-Hussayni bersama
dengan beberapa orang staf yang mewakili Perdana Menteri Irak yang pro-Nazi,
Rashid al-Gailani, mengunjungi Kamp Konsentrasi Sachsenhausen dan
Oranienburg. Amin al-Hussayni mengungkapkan kepuasaannya terhadap
banyaknya jumlah orang Yahudi yang menjadi budak pekerja (Slave Labour)
disana. Pada tanggal 25 Juli 1944, Amin al-Hussayni mengetahui detail rencana
genosida tersebut, ia mendukung agar orang orang Yahudi di Hungaria dan
Rumania dicegah melarikan diri ke Palestina dan lebih baik dikirim ke Kamp
Konsentrasi di Auschwitz193
Amin al-Hussayni memanfaatkan kerjasamanya dengan militer Jerman
untuk menghancurkan kekuatan Inggris dan Zionis di Palestina. Dinas Intelijen
Jerman (Abwehr) membuat rencana bersama Amin al-Hussayni yang disebut
“Operation Atlas”. Operasi ini bertujuan untuk melakukan sabotase terhadap
fasilitas Inggris dan Yahudi di Palestina, serta meracuni sumber air di Tel Aviv.
192
Rafael Medoff. "'The Mufti's Nazi Years Re-examined". The Journal of Israeli
History vol.17 no.3 (Summer 1996),h. 317–333. 193
Achcar, Gilbert, Blame the Grand Mufti. Le Monde diplomatique Online, diakses pada
tanggal 15 mei 2014.
72
Pada tanggal 6 Oktober 1944, Hassan Salameh194
(anggota Hizb al-Istiqlal al-
Arabi dan Jihad al-Muqaddas195
) terjun bersama 5 orang anggota Pasukan Payung
Jerman dari Pesawat Heinkel HeS 3. Mereka mendarat di Wadi Qelt, Jerikho.
Hassan Salameh terluka ketika mendarat, sementara tentara Jerman yang lain
berhasil ditangkap. Setelah digeledah, ditemukan beberapa kapsul racun, senapan
mesin, granat dan dinamit196
.
Pada Mei 1945, Nazi Jerman kalah perang. Amin al-Husseini mencari
perlindungan ke Swiss namun ditolak. Ia kemudian ditangkap oleh pasukan
Prancis dan ditahan di Constanz sebelum akhirnya dibawa ke Paris untuk
ditempatkan dalam tahanan rumah. Pemerintah Inggris meminta Prancis untuk
mengekstradisi Amin al-Hussayni agar bisa diadili di Mahkamah Militer
Nuremberg. Namun, Pemerintah Prancis menolak permintaan Inggris karena
Amin al-Hussayni dianggap sebagai tokoh yang disegani dan sanggup
mendinginkan emosi umat Islam di Syria. Pihak Prancis akhirnya mengizinkan
Amin al-Hussayni terbang ke Mesir197
.
Walaupun Amin al-Hussayni sudah tak lagi memiliki wewenang politis di
Palestina sejak gagalnya pemberontakan 1936-1939, rakyat Palestina tetap
menganggapnya sebagai figur pemimpin. Kolaborasi dengan Nazi Jerman
194
Hassan Salameh adalah ayah dari Ali Hassan Salameh yang terlibat dalam peristiwa
Black September in Munich Summer Olympics 195
Jihad al-Muqaddas adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami dan nasional,
dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di kota Jerussalem dengan
kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400
orang 196
Daphna Sharfmann. Palestine in the Second World War: Strategic Plans and Political
Dilemmas. (Sussex : Sussex Academic Press, 2014), h.86 197
Richard Breitman. Hitler‟s Shadow : Nazi War Criminals, US Intelligence & the
Cold War. (Washington : National Archive Press,2010), h.20
73
merupakan pengkhianatan kedua sejak ia menerima subsidi dari Fasis Italia198
.
Keterlibatan pemuda-pemuda Arab dalam Arabische Freiheitkorps dan ikut
sertanya Hassan Salameh selaku anggota Jihad al-Muqaddas dalam „Operation
Atlas‟, juga merupakan pengkhianatan terhadap kemurahan hati yang diberikan
Pemerintah Mandat Inggris lewat White Paper 1939. Tindakan Amin al-hussayni
ini jelas merupakan penikaman dari belakang ketika Inggris sedang berperang
melawan Nazi Jerman.
Sejak awal, Amin Al-Hussayni memang tak menyetujui White Paper
1939, dan tetap pada tuntutan semula, yaitu kemerdekaan penuh bagi rakyat
Palestina. Sikapnya yang tidak kompromistis dan enggan untuk mempercayai
Pemerintah Mandat Inggris membuat Inggris mulai meninjau ulang mengenai
keuntungan merangkul rakyat Arab Palestina.199
.
Bagi pihak Zionis, keterlibatan Amin al-Hussayni dalam mendukung
kegiatan Nazi mengirim orang-orang Yahudi ke camp konsentrasi dan juga
perannya sebagai aktor intelektual dalam „Operation Atlas,‟ adalah kejahatan
besar. Pada tahun 1948, Israel melakukan pengusiran terhadap rakyat Palestina
dari rumah-rumahnya. Salah satu alasannya adalah mengkaitkan keterlibatan
Palestina dengan Nazi Jerman. Hal tersebut dianggap melegalkan pembalasan atas
perbuatan Nazi namun diarahkan pada “Kolaboratornya” yaitu Palestina200
.
198
Nir Arielli. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British
Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2, h.187-204 199
Zvi Elpeleg. The Grand Mufti Hajj Amin al-Hussayni : Founder of Palestinian
National Movement. (London : Routledge,2003), h.54 200
Mustafa Kabbha. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the
Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011),
h.37–450
74
BAB V
AKHIR MANDAT INGGRIS & TATANAN DUNIA BARU
A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel
Pasca perang dunia kedua, pihak Sekutu (Amerika-Inggris-Prancis-Uni
Soviet) selaku pemenang perang merasa perlu membentuk Tatanan Dunia Baru
(New World Order). Hal tersebut hanya bisa direalisasikan dengan membentuk
organisasi persatuan dan perdamian international seperti Liga Bangsa-Bangsa201
.
Namun, Liga Bangsa-Bangsa bersikap lemah ketika Nazi Jerman mencaplok
Cekoslovakia dan Fasis Italia mencaplok Ethiopia202
. Maka Liga Bangsa-Bangsa
harus dirombak menjadi organisasi yang jauh lebih kuat.
Upaya pihak Sekutu itu dicetuskan dalam Konferensi Yalta, di Krimea,
Russia Selatan. Pihak sekutu sepakat untuk meneruskan perundingan di San
Fransisco, Amerika Serikat. Perundingan berlangsung antara 25 April 1945
sampai dengan 26 Juni 1945 dan menghasilkan Piagam Perdamaian (Charter of
Peace). Setelah diratifikasi pada tanggal 24 Oktober 1945, Piagam tersebut mulai
diberlakukan dan menandai lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)203
Perang dunia kedua juga mengakibatkan terjadinya dekolonisasi di seluruh
kawasan Asia-Afrika. Aspirasi kemerdekaan nasional di hampir semua negeri
yang tunduk pada kekuasaan Eropa semakin kuat. Dimulai dari Indonesia pada
201
Michael Barnett. “Bringing in the New World Order: Liberalism, Legitimacy, and the
United Nations”. World Politics, Vol. 49, No. 4 (July 1997),h. 526-551 202
C. G. Fenwick,”The Failure of the League of Nations”, The American Journal of
International Law, Vol. 30, No. 3 (Jul., 1936), h. 506-509 203
Robert C. Hilderbrand, Dumbarton Oaks : The Origins of the unite nations and the
Search for Postwar Security (Chapell Hill : University of North Carolina Press, 2001),h.30
75
tahun 1945, efek domino dari dekolonisasi mulai menerpa negara-negara Asia
lain. Angin kemerdekaan tersebut akhirnya sampai juga di Timur Tengah204
.
Pemerintah Mandat Prancis mulai menarik diri dari Syria pada tanggal 17
April 1946 dan dari Lebanon pada tanggal 22 Maret 1946. Sementara pada
tanggal 31 Desember 1946, Inggris mengubah status Emirat Transjordania dari
Protektorat menjadi Kerajaan dengan kedaulatan penuh (full sovereignity)205
.
Inggris juga menarik pasukannya dari Delta Sungai Nil di Mesir berdasarkan
kesepakatan antara Perdana Menteri Mesir, Sidky Pasha dan Sekretaris Luar
Negeri Inggris, Ernst Bevin206
.
Sebelum terjadinya dekolonisasi Timur Tengah, negara-negara Arab di
kawasan itu sudah berencana menciptakan organisasi persatuan regional. Pada
tanggal 7 Oktober 1944, perwakilan enam negara Arab yaitu Arab Saudi, Mesir,
Syria, Irak, Transjordan dan Lebanon mengadakan pertemuan di Alexandria.
Hasil dari pertemuan ini dikenal sebagai Protokol Alexandria dan berdasarkan
Protokol Alexandria itu, mereka membentuk organisasi Arab bersama yang akan
menjadi cikal bakal dari Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah)207
.
Protokol Alexandria juga memuat poin penting mengenai masalah
Palestina, antara lain : Palestina adalah bagian integral dari dunia Arab,
Kemerdekaan Palestina sangatlah penting untuk stabilitas dunia Arab,
dibentuknya Arab National Fund untuk membantu Ekonomi rakyat Palestina dan
204
Prof.Dr.Johan Hendrik Meuleman, Dinamika Abad ke 20, dalam Ensiklopedia Islam.
Dinamika Masa Kini. (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hoeve,2002), h.10 205
Pm Holt, Ann Lambton & Bernard Lewis. The Cambridge History of Islam.
(Cambrdige : Cambridge University Press, t.t), h.582 206
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University
Press,2009), h.227-228 207
Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.
(New Jersey : Princeton University Press,2009), h.123
76
keberadaan imigran Yahudi Eropa di Palestina merupakan pelanggarann atas Hak
Rakyat Palestina208
.
Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945
ditandandatanganilah Pakta Liga Arab di Za‟faran Palace, Kairo, Mesir, oleh
enam wakil negara anggota pertama, yakni Mesir, Irak, Syria, Lebanon,
Transjordan dan Arab Saudi. Delegasi dari Yaman, terlambat datang ke Kairo
namun ia mengirim pesan bahwa Yaman akan menandatangani dan meratifikasi
pakta tersebut. Sementara delegasi Palestina, Musa al-Alami, yang hadir di
Za‟faran Palace tidak ikut menandatangani pakta pendirian Liga Arab209
.
Para pemimpin Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah) mengadakan
pertemuan pertama di Mesir pada bulan Mei 1946. Pertemuan ini menghasilkan
kesimpulan yang menegaskan isi Protokol Alexandria antara lain bahwa wilayah
Palestina memiliki “karakter Arab” (dihuni oleh orang-orang Arab dan
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari hari). Kesimpulan Liga Arab
tersebut bertentangan dengan perjanjian Sykes-Pycott pada tahun 1916 yang
menegaskan bahwa Palestina tidak murni Arab (Cannot be said to be purely
Arab), ditinjau dari sisi historis210
. Liga Arab juga membentuk Komite Eksekutif
Arab untuk Palestina yang bertugas mewakili dan menyuarakan kepentingan
Palestina di kancah internasional211
.
Berakhirnya Perang Dunia kedua juga mengubah sikap pihak Yahudi di
Palestina. Mereka tidak puas atas sikap Pemerintah Inggris yang dianggap kurang
208
Text Protokol Alenxadria, The Alexandria Protocol,
http://www.mideastweb.org/alexandria.htm, diakses pada tanggal 1 Juli 2014 209
Trias Kuncahyono. “Liga Arab : Membaca Cerita Lama”. Kompas. Minggu,30 Maret
2014 210
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University
Press,2009), h.234 211
Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London :
Britannica, t.t), h.165
77
berpihak pada mereka, terutama setelah Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst
Bevin dan Perdana Menteri Inggris, Clement Atlee melobi pemerintah Amerika
untuk membentuk Anglo American Comitee of Inquiry pada bulan November
1945212
. Pada bulan April 1946, Komite ini merekomendasikan agar Mandat
Inggris dilanjutkan, penjualan tanah milik orang Arab oleh Pemerintah Mandat
Inggris kepada para imigran Yahudi dibatasi dan semua pasukan paramiliter
Yahudi harus dilucuti senjatanya213
.
Haganah merespon dengan beraliansi bersama Irgun untuk menghantam
Pemerintah Mandat Inggris di saat mereka belum pulih dari peperangan.
Organisasi pecahan Irgun yang jauh lebih radikal, yaitu Lehi (Stern Gang) juga
ikut bergabung. Gerakan ini disebut Jewish Resistance Movement ( תנועת המרי
,העברי Tnu'at HaMeri HaIvri). Pada tanggal 16-17 Juni 1946, tentara Haganah
meledakkan 8 buah jembatan di Palestina, yang kemudian dikenal dengan Night of
the Bridges214
. Keesokan harinya tentara Irgun menculik 5 orang pejabat
pemerintah Mandat Inggris yang sedang makan siang 215
.
Pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 1946, Pemerintah Mandat Inggris
melaksanakan „Operation Agatha‟ sebagai respon atas tindakan sejumlah
organisasi paramiliter Yahudi tersebut. Sejumlah Polisi dan Tentara Inggris
menyerbu markas Jewish Agency216
dan melakukan penangkapan terhadap 2700
orang personel Haganah, Irgun dan Lehi. Di Kibbutz Yagur, Polisi Inggris
212
Miriam Joyce Haron. “Palestine & Anglo American Connection”.Modern
Judaism.Vol.2 no.2 (May 1982),h.199-211 213
Text Anglo American Comitee of Inquiry Report,
http://avalon.law.yale.edu/subject_menus/angtoc.asp, diakses pada tanggal 15 Mei 2014 214
John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland,
(London : Palgrave,2002), h.19 215
The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher
Committee Archive, 12 Maret 1948. h.12 216
Badan resmi yang mengurus Kepentingan penduduk Yahudi di Palestina
78
menemukan banyak senjata yang terdiri atas 300 senapan, 4000 peluru, 5000
granat dan 78 revolver. Para Pejabat yang diculik pun berhasil dibebaskan217
.
Biasanya, masyarakat Arablah yang selalu memberontak terhadap
pemerintah Mandat Inggris dan masyarakat Yahudi cenderung bersikap loyal.
Namun kali ini pihak Yahudi telah menemukan momentum untuk melakukan
pergerakan. Situasi international yang telah berubah dan situasi di Palestina
sendiri memberi tekanan yang terlampau besar pada Pemerintah Inggris, sehingga
timbul niat untuk melepaskan Palestina yang mereka nilai sebagai wilayah yang
penuh masalah218
.
Pada tanggal 7 Februari 1947, Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin,
mengumumkan di hadapan Kabinet bahwa Kerajaan Inggris tak dapat lagi
meneruskan Mandat yang pernah diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa atas wilayah
Palestina. Dengan demikian, masalah Palestina harus diserahkan kepada
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selaku penerus Liga Bangsa-bangsa. Pada
tanggal 2 April 1947, Pemerintah Inggris mengajukan permintaan kepada Sekjen
PBB, Trygvie Lie, untuk mengangkat masalah Palestina dalam acara rapat Sidang
Umum PBB219
.
Pada tanggal 28 April 1947, diadakan rapat istimewa, Dalam acara dengar
pendapat, sidang umum PBB mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari
pihak Komite Arab Tertinggi selaku perwakilan Palestina, perwakilan dari Yahudi
Palestina maupun Zionis International. Sidang Umum PBB memutuskan
membentuk sebuah Pantia Khusus yang disebut United Nation Special Comitee
217
John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland,
(London : Palgrave,2002), h.20 218
Tamara Sonn. Islam : A Brief History, (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.129 219
Ritchie Ovendale. The Middle East since 1940. (London : Longman
Publishing,1992),h. 40
79
On Palestine (UNSCOP) yang beranggotakan 11 orang untuk melakukan
penyelidikan mengenai masalah Palestina. Pada tanggal 11 September 1937,
UNSCOP mengajukan rekomendasi yaitu : Pembentukan Palestina merdeka untuk
etnis Arab dan Yahudi220
, dan Mandat Inggris atas Palestina harus segera
diakhiri221
.
Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan Resolusi no.181.
Sidang tersebut dihadiri sebanyak 56 negara. 33 negara yang menyetujui Resolusi
tersebut, 13 negara menolak dan 10 negara menyatakan abstain222
. Inggris adalah
salah satu negara yang abstain pada sidang tersebut, karena sudah lelah terhadap
persoalan Palestina dan menyerahkan semua keputusan kepada PBB223
.
Sidang tersebut memutuskan bahwa wilayah Mandat Inggris di Palestina
dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya
diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi Jaffa, sampai Galilea,
daerah pelabuhan Haifa sampai selatan Jaffa dan Gurun Negev. Sementara
wilayah Arab meliputi Lembah Esdraelon sampai Beersheba, wilayah barat
Galilea dan Jalur Gaza sampai perbatasan Mesir. Khusus untuk Jerusalem, tidak
diberikan pada Israel atau Arab karena Jerusalem merupakan kota suci untuk 3
agama (Yahudi, Kristen, Islam) jadi diberikan status Corpus Separatum224
.
220
Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard
University Press,2003).h.147 221
Termination of the British Mandat of Palestine.The International Law Quaterly.Vol.2
no.1 (spring 1948),h.57-60 222
The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates.
Arab Higher Committee Archive, Februari 1948 . h.6 223
George Lenchzowski, The Middle East in World Affair. (New York : Cornell
University Press,1952), h.334 224
Corpus Separatum adalah Bahasa Latin yang artinya „tubuh terpisah‟ . maksudnya,
kota Jerussalem tak akan dikuasai oleh orang Arab maupun Yahudi, melainkan menjadi Kota
International. Dikutip dari Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood.
(Oxford : One World Publication,2007).h.125
80
Pembagian wilayah tersebut dinilai adil menurut perspektif PBB, karena
walaupun Israel mendapat 55% dari wilayah Palestina, namun Israel juga
mendapatkan gurun pasir Negev yang luas dan tidak produktif. Sementara untuk
rakyat Arab, walau hanya dialokasikan 45% tapi mereka mendapatkan wilayah
yang lebih strategis dan produktif, seperti wilayah pesisir Gaza yang bisa
digunakan untuk pelabuhan dan Tepi Barat sungai Jordan yang subur225
.
Para anggota Komite Arab Tertinggi di Pengasingan, menolak Pembagian
ini dan membuat Memorandum yang menyatakan bahwa Resolusi itu
bertentangan dengan jiwa dari Piagam PBB226
. Liga Arab, sebagai pihak yang
mewakili Palestina juga terang-terangan menolak Resolusi PBB no.181, mereka
menilai alokasi tanah tersebut tidak adil dan akan melakukan intervensi di
Palestina227
. Penolakan ini bisa dianggap wajar, karena sebelumnya pihak Arab
tak pernah menyetujui solusi apapun yang ditawarkan pihak Barat.
Sebenarnya, ada juga elit Palestina yang berpikiran terbuka dan rasional,
seperti Fawzi Darwish al-Hussayni dan Sami Taha. Mereka berdua menilai bahwa
negara Arab Palestina dan negara Yahudi dapat hidup bertetangga dengan
harmonis. Fawzi membuat komitmen dengan Ihud (Faksi Zionis Liberal) dan
Hashomer Hatshair (Faksi Zionis Sosialis) yang juga memiliki pemikiran serupa
untuk bersama-sama mewujudkan Bi-National Solution. Sayangnya Fawzi
225
Gudrun Krämer. A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding
of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.307 226
The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab
Higher Committee Archive, Februari 1948. h.3 227
Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.
(New Jersey : Princeton University Press,2009), h.131
81
dibunuh oleh orang-orang Arab yang menganggapnya pengkhianat. Nasib serupa
kemudian juga menimpa Sami Taha228
.
Menanggapi Resolusi PBB no.181, orang-orang Yahudi di Palestina
meluapkan kegembiraannya, di sisi lain penduduk Arab Palestina merasa tak puas.
Segera saja, bentrokan pecah dimana orang orang Arab mulai menyerang wilayah
Pemukiman Yahudi. Kedua belah pihak saling balas menyerang dan membunuh.
Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang Arab dibalas oleh Irgun dan Lehi
secara membabi-buta229
.
Sementara itu, Amin al Hussayni yang ketika itu berada di Mesir,
mengeluarkan Deklarasi, menyerukan kepada seluruh masyarakat Arab di Timur
Tengah untuk menyerang wilayah Mandat Inggris di Palestina dan
menaklukkannya demi mencegah implementasi dari Resolusi PBB no.181230
Pada akhir Desember 1947, Pemerintah Mandat Inggris terkejut ketika
Abdul Qadir al-Hussayni, keponakan Amin al-Hussayni memimpin pasukan
Jihad al-Muqaddas231
bersama sejumlah sukarelawan dari Syria dan Lebanon
berbaris memasuki batas wilayah Mandat Inggris232
. Liga Arab berencana
mencegah PBB untuk melaksanakan Resolusi no.181. Pada bulan Januari-
Februari tentara Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi)233
dibawah
228
Lappin Shalom. “Israel-Palestine : Is There a Case for Bi-Nationalism ?”. Dissent.
Vol.31 no.1, (Winter 2004),ProQuest Sosiology. h.13-17 229
Efraim Karsh . The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey
Publishing,2002), h.30 230
Deklarasi Amin al Hussayni untuk menyerang Palestina, dari Israeli defence Force
Archive, file number 26/100001/1947 231
Jihad al-Muqaddas adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami dan nasional,
dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di kota Jerussalem dengan
kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400
orang 232
Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948, h.26-27 233
Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) adalah pasukan Liga Arab yang
didirikan atas prakarsa Presiden Syria, Syukri al-Quwatli.
82
pimpinan Fawzi al-Qawuqji menerobos perbatasan Palestina diikuti oleh 4000-
5000 sukarelawan dari negara Arab yang lain234
.
Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Alan Cunningham memprotes
tindakan tentara Arab tersebut, namun Letnan Jendral Gordon Macmillan
mengatakan bahwa tindakan keras terhadap para penyusup illegal tak diperlukan
karena mereka tak terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu. Inspektur Jendral
Kepolisian Palestina, Kolonel William Gray juga berjanji akan melindungi Sir
Alan Cunningham dan memperketat pengamanan terhadap semua pegawai
pemerintah Inggris di Palestina235
.
Dengan kehadiran Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) di
Palestina untuk melakukan intervensi dan sikap organisasi paramiliter Yahudi
yang bertekad mendukung Resolusi PBB no.181, menyebabkan terjadinya
“Perang Sipil di Palestina” (Civil War in Palestine)236
. Orang orang Arab
membunuh 41 pekerja Yahudi di penyulingan minyak Haifa, tentara Haganah
membalas dengan menyerang desa Balad as-Sheikh dan membunuh 61 orang
Arab237
Presiden Amerika, Harry Truman segera mengambil inisiatif dengan
menawarkan rencana „Perwalian untuk Palestina‟ (United States Proposal for
Temporary United Nations Trusteeship for Palestine) selama 5 tahun mulai bulan
Maret 1948, diakhirinya Mandat Inggris pada tanggal 15 Mei 1948, serta
diberlakukannya gencatan senjata selama tiga bulan setelah melihat kenyataan
234
Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir
Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.27 235
Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir
Henry Gurney,h.28 236
Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard
University Press,2003),h.154 237
The Black Paper on Jewish Agency & Zionist Terrorism. Arab Higher Committee
Archive,12 Maret 1948. h.15
83
bahwa Resolusi PBB no.181 mengakibatkan terjadinya perang sipil di
Palestina238
.
Situasi yang tenang karena adanya gencatan senjata ditambah fakta bahwa
Mandat Inggris akan segera berakhir, dimanfaatkan David ben Gurion untuk
mempersiapkan kemerdekaan Israel secepat mungkin. Pemerintahan sementara
pun dibentuk melalui Dewan Nasional yang merupakan penghubung antara
Jewish Agency dan Komite Nasional (Ha‟Vaad Ha‟Leumi)239
.
Masalah lain yang berkaitan seputar pendirian Negara bagi masyarakat
Yahudi adalah komposisi penduduk. Pada saat itu, jumlah penduduk Arab masih
terlampau banyak, dan penduduk Yahudi masih merupakan minoritas di banyak
kota di wilayah Palestina. Maka dari itu, tidaklah wajar apabila berdiri sebuah
“negara Yahudi” namun etnis Yahudi justru minoritas dalam segi jumlah. Hal
tersebut dikuatkan oleh pernyataan David ben Gurion240
:
“Terdapat 40% penduduk non Yahudi Yahudi di daerah yang
dialokasikan PBB untuk negara Yahudi, komposisi ini bukanlah menjadi
fondasi yang kokoh bagi pendirian sebuah negara Yahudi. Untuk
menciptakan keseimbangan demografis dan mempertahankan kedaulatan
negara baru ini, maka setidaknya negara Yahudi yang kokoh dan stabil
harus diisi oleh penduduk Yahudi dengan presentase sebanyak 80%”
Untuk memecahkan masalah kependudukan, maka David ben Gurion
mencetuskan solusi yang disebut Plan D (Rencana Dalet). Sebuah rencana
perombakan komposisi penduduk yang akan dikerjakan oleh Haganah dan Irgun.
238
Edward Buehrig. “UN,US & Palestine”. Middle East Journal. Vol.33 no.4 (Autumn
1979) h.434-453 239
Elyakim Rubinstein. “The Declaration of Indepedendence as a Basic Documents of the
State of Israel”. Israel Studies. Vol.3 no.1 (spring 1998), h.183 240
Ilan Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine. (Oxford : One World,2007), h.48
84
Tujuannya adalah untuk mengambil kendali atas wilayah negara Yahudi dan
untuk membela perbatasannya dari orang-orang Arab. "Rencana Dalet"
menyerukan penaklukan kota dan desa di sepanjang perbatasan daerah yang
dialokasikan ke negara Yahudi yang diusulkan sesuai dengan Resolusi PBB
no.181. Apabila ada resistensi, penduduk desa tersebut harus diusir (expell)241
.
Operasi pertama dari „Rencana Dalet‟ adalah „Operasi Nachshon‟, dengan
tujuan untuk membuka koridor jalur Tel Aviv-Jerussalem, serta membebaskan
Jerussalem dari blokade yang dilakukan oleh Abdul Qadir al-Hussayni. Pada
tanggal 9 April 1948, 1500 orang dari pasukan gabungan paramiliter Yahudi
dibawah pimpinan Menachem Begin menyerang desa Deir Yassin di sebelah barat
Jerussalem. Menachem Begin dan pasukannya berhasil menghabisi 254 orang
penduduk Arab di Deir Yassin dan juga membunuh Abdul Qadir al-Hussayni,
keponakan Amin al-Hussayni sekaligus pemimpin Jihad al-Muqaddas. Operasi
Nachshon sukses mencapai tujuannya, melakukan Ethnic Cleansing sekaligus
membuka jalur suplai untuk penduduk Yahudi di Jerussalem242
.
Operasi selanjutnya bersandi „Scissors‟, bertujuan untuk membebaskan
kota pelabuhan Haifa yang telah dialokasikan untuk negara Yahudi sesuai dengan
Resolusi PBB no.181. Pada tanggal 22 April 1948, pasukan penembak jitu dari
Haganah berhasil membunuh 300 orang penduduk Arab di pasar Haifa, dekat
pintu pelabuhan243
.
241
Walid Khalidi, "Plan Dalet: master plan for the conquest of Palestine", Journal of
Palestine Studies vol.18 no.1, (November 1961), h. 4-33 242
John Bowyer Bell. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976),
h.142-143 243
Walid Khalidi. “The Fall of Haifa Revisited”. Journal of Palestine Studies. Vol.37 no.3
(spring 2008), h.37
85
Walaupun „Rencana Dalet‟ yang bertujuan untuk membersihkan wilayah
yang dialokasikan untuk orang orang Yahudi dari populasi Arab sering dituding
sebagai pelanggaran HAM, namun Israel menganggap hal tersebut sebagai
sesuatu yang legal.
Salah satu pembenaran pihak Israel adalah keputusan Sekutu dalam
Konferensi Postdam yang menyerahkan wilayah Jerman di sisi timur Sungai
Oder-Neisse yaitu Pomerania, Brandenburg Timur, Prussia Timur dan Silesia
kepada negara Polandia yang baru. Artikel tambahan Konferensi Postdam juga
menyebutkan bahwa negara lain di Eropa Timur juga harus dibersihkan dari etnis
Jerman. Konsekuensinya, 12 juta penduduk sipil dari etnis Jerman diusir dari
wilayah-wilayah tersebut244
.
Pihak sekutu melegalkan tindakan pelanggaran HAM tersebut dengan
alasan menciptakan nation state yang homogen dan stabil245
, serta membalas
dendam atas kejahatan Nazi246
. Israel kemudian merasa berhak melakukan hal
yang serupa terhadap penduduk sipil Palestina. Alasannya, karena Amin al-
Hussayni dituding pernah terlibat mendukung kegiatan Nazi mengirim orang-
orang Yahudi ke camp konsentrasi, merekrut para pemuda Arab untuk bertempur
di pihak Nazi, dan berperan sebagai aktor intelektual dalam „Operation Atlas‟
bersama Hassan Salameh (anggota Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Hal tersebut mereka
244
Prauser, Steffen and Arfon Rees (eds.). The Expulsion of 'German' Communities from
Eastern Europe at the end of the World War II, (EUI Working Paper HEC No. 2004/1) Florence:
EUI 245
Alfred Zayas. Nemesis at Potsdam.(London : Taylor & Francis,1979), h.11 246
Chad Carl Bryant. Prague in black.. (Massachusets : Harvard University Press,2007),
h.97
86
anggap sebagai Justifikasi untuk melakukan pembalasan terhadap perbuatan Nazi
namun diarahkan pada “kolaboratornya” yaitu Palestina247
.
Sehari sebelum berakhirnya Mandat Inggris, tepatnya pada tanggal 14 Mei
1948248
, Sir Alan Cunningham dan para Pejabat Pemerintahan Mandat Inggris
meninggalkan Palestina dengan menaiki kapal dari Pelabuhan Haifa pada jam 8
Pagi249
. David ben Gurion memanfaatkan peluang ini dengan mengundang
Komite Persiapan Urusan Kemerdekaan (Minhelet Ha‟Am) untuk menandatangani
naskah Deklarasi Kemerdekaan Israel, yang akan ia bacakan pada Jam 4 Sore di
Museum Tel Aviv250
. Setelah pembacaan Deklarasi Kemerdekaan, Chaim
Weizmann dilantik sebagai Presiden Israel pertama dengan David ben Gurion
sebagai Perdana Menteri. Presiden Amerika saat itu, Harry Truman langsung
memberikan pengakuan de-facto kepada Negara Israel yang baru berdiri251
.
Deklarasi kemerdekaan negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948
merupakan pemenuhan cita-cita bangsa Yahudi yang telah kehilangan negaranya
sejak tahun 79 masehi. Bangsa Yahudi yang selama ini hidup dalam diaspora dan
mengalami penyiksaan dan penindasan dari berbagai bangsa dan pada akhirnya
berhasil pulang ke “kampung halamannya”. Mereka akhirnya dapat Memiliki
sebuah negara yang merupakan segalanya dan bukanlah hasil dari tujuan sesaat.
247
Mustafa Kabbha. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the
Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011), h.37–
450 248
Pemilihan Tanggal 14 Mei 1948 oleh David ben Gurion dikarenakan tanggal 15 Mei
1948 bertepatan dengan „Hari Sabbath‟. Di masa kini, apabila Hari Kemerdekaan Israel bertepatan
dengan „Hari Sabbath‟, maka perayaannya akan dimajukan atau dimundurkan satu hari. 249
Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir
Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.20 250
Tuvia Frilling & Ilan Troen. “Proclaiming Independence : Five Days in May from David ben
Gurion‟s Diary”. Israel Studies.Vol.3 no.1 (Spring 1998). h.196 251
Michael Ottolenghi, “Harry Truman‟s Recognition of Israel”. The Historical Journal.
Vol.47 no.4 (Dec 2004),h.963
87
Keberhasilan ini dicapai karena masyarakat dan elit Yahudi di Palestina
mampu memanfaatkan momentum dan fokus pada satu tujuan serta membuat
perencanaan yang sistematis untuk mencapainya. Selain itu, bangsa Yahudi
terbiasa hidup sulit telah menjadikan mereka lebih sabar dan menunggu saat yang
tepat untuk melakukan pergerakan. Berbeda dengan bangsa Arab yang
kehidupannya sederhana sehingga mereka kurang sabar dan terburu-buru.
Bangsa Palestina pada masa kini telah menyadari hal itu, seperti yang
diutarakan oleh Duta Besar Palestina, Fariz al Mehdawi : “Bangsa Indonesia Perlu
350 Tahun untuk merdeka dari Belanda, begitu halnya juga dengan India yang
perlu waktu lama untuk bebas dari penjajahan Inggris, asal kita sabar dan tetap
bertahan di tanah ini, pada akhirnya kita pasti bisa merdeka”252
.
Sebagai pemimpin, David ben Gurion sanggup berperan sebagai
troubleshooter. Dengan pembagian wilayah seadanya yang dialokasikan PBB dan
waktu yang sangat sempit, David ben Gurion mampu memanfaatkan peluang dan
membuat berbagai persiapan untuk mewujudkan satu tujuan, yaitu Kemerdekaan
Israel.
Keberhasilan Israel otomatis juga merupakan kegagalan bagi rakyat
Palestina, karena elit dan rakyat Palestina tidak memanfaatkan momentum dengan
baik dan tidak fokus pada tujuan. Adapun elit mereka yang berpikiran rasional dan
pragmatis seperti Fawzi Darwish al-Hussayni dan Sami Taha menjadi korban
pembunuhan atas kehendak arus utama di Palestina yang tidak open minded.
252
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al
Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
88
Selain itu, dengan dibentuknya Komite Eksekutif Arab untuk Palestina,
Liga Arab menjadi pihak yang mewakili suara dan kehendak Palestina253
,
sementara mereka kurang memahami aspirasi rakyat Palestina sesungguhnya, dan
malah mendahulukan ambisi politiknya254
. Rashid Khalidi berargumen, apabila
rakyat Palestina mampu menyuarakan suaranya sendiri di saat akhir kekuasaan
Mandat Inggris dan tidak menjadi Subaltern255
, maka mereka pasti mampu
mendirikan negara sendiri256
.
Cara Israel memerdekakan diri pada detik detik yang menentukan, mirip
seperti bangsa Indonesia yang memerdekakan diri saat terjadinya kekosongan
kekuasaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia juga tidak menentang
pembagian wilayah yang kurang adil dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville,
sehingga dunia internasional pun menaruh simpati atas kesabaran bangsa
Indonesia, berbeda dalam kasus Palestina yang selalu menolak semua solusi dari
Mandat Inggris maupun PBB sehingga pada akhirnya tidak banyak pihak yang
bersimpati pada mereka257
.
B. Perang Arab-Israel 1948
Pada tanggal 15 Mei 1948, tentara koalisi dari lima negara Arab yaitu
Syria, Jordania, Lebanon dan Irak menyerang Israel, pecahlah Perang Arab-Israel
1948. Invasi ini dilakukan sebagai respon Liga Arab atas Proklamasi
253
Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London :
Britannica, t.t.),h.165 254
Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle
Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987),h.3-38 255
Pihak yang lemah dan tak mampu menyuarakan suaranya sendiri 256
Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World
Publication,2007),h.126 257
Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle
Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987,h.3-38
89
Kemerdekaan Israel258
. Perang ini terdiri atas sejumlah pertempuran di kota-kota
serta pedesaan di Palestina yang berlangsung selama setahun dan bisa dianggap
sebagai perang yang sangat menentukan masa depan Palestina. Israel
menggunakan strategi yang digunakannya selama ini yaitu menunggu dan
membiarkan lawan bertindak lebih dulu, kemudian memanfaatkannya untuk
mencapai keunggulan di lapangan.
Jamal al Hussayni, sebagai Perwakilan Komite Arab Tertinggi di
Pengasingan mengirimkan surat kepada Perwakilan PBB bahwa Pasukan yang
dikirimkan oleh para anggota Liga Arab bertujuan untuk membela Hak Rakyat
Palestina sebagai Mayoritas melawan Kolonisasi dari pihak Zionis Yahudi259
.
Pada tanggal 22 Mei 1948, terjadi pertempuran antara Brigade
Alexandroni dari Israeli Defence Force (IDF)260
dan pasukan Arab di kota
Tantura, yang terletak di selatan kota Haifa. Tentara IDF menangkapi para
penduduk sipil Arab dan mengumpulkan 40 orang yang terbukti terlibat dalam
„Pemberontakan Tahun 1936-1939‟ berdasarkan data dari Jewish National Fund.
Para tersangka dibawa kepantai dan dieksekusi oleh tentara IDF. Keesokan
harinya, Tantura berhasil direbut oleh IDF dari tangan pasukan Arab.261
Pada akhir bulan Mei dan awal bulan Juni 1948, Israeli Defence Force
(IDF) mencoba menghentikan laju tentara Mesir lewat „Operation Peleshet‟,
pemboman dari pasukan IDF membuat tentara Mesir tercerai berai. Pada tanggal 6
Juni, dalam Pertempuran di Kibbutz Nitzhamin, dekat kota Ashkelon, divisi
258
Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey
Publishing,2002), h.51 259
Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai
1948 260
Sejak berdirinya negara Israel, semua organisasi paramiliter di Israel digabungkan
menjadi Israeli Defence Force (IDF) 261
Muhammad Nimr al-Khatb. “The Tantura Massacre : 22 -23 May 1948”. Journal of
Palestine Studies.vol.30 no.3 (Spring 2001) h.5-18
90
pasukan Mesir lainnya berhasil mendobrak pertahanan tentara IDF. Kemenangan
ini membuat tentara Mesir berhasil memasuki Gaza dan Beersheba lalu bertemu
dengan tentara yang bergerak Irak yang bergerak menuju kota Betlehem. Namun
gabungan pasukan Arab ini tetap gagal memotong jalur pasukan IDF dari Tel
Aviv ke Jerussalem262
.
Sementara itu, tentara Jordania menghadapi pertempuran yang cukup lama
melawan pasukan IDF, dari tanggal 24 Mei sampai 18 Juli 1948. IDF berupaya
merebut Benteng Latrun yang dikuasai tentara Jordania, karena penting demi
mempertahankan jalur suplai ke Jerussalem. Upaya IDF tersebut tak berhasil dan
mereka harus kehilangan 586 orang tentara, termasuk Jendral Mickey Marcus.
Tentara Jordania menggunakan benteng Latrun untuk memotong jalur Tel Aviv-
Jerussalem sehingga tentara IDF harus memakai rute lain via “Jalur Burma”263
.
Kemenangan ini juga memungkinkan Jendral Glubb Pasha membawa divisi
artileri untuk memasuki Jerussalem dan membombardir kota tersebut dengan
meriam mortir 264
.
Pada tanggal 12-14 Juni, terjadi pertempuran di kota Lydda dan Ramalah.
Tentara IDF yang dipimpin oleh Yigal Alon Feikovitz sebagai Komandan dan
Yitzhak Rabin sebagai wakilnya menggelar „Operasi Danny‟ untuk merebut kota
itu. Sekitar 1000 orang anggota milisi lokal dan 300 tentara Arab berperang
melawan 8000 personil tentara IDF. Korban jiwa yang jatuh sebanyak 450 orang
tentara Arab dan 9–10 orang tentara IDF. Pada hari berikutnya, kedua kota
262
Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University
press,2004), h.237 263
Salah satu Jalan samping menuju Jerussalem yang dibangun oleh Pasukan IDF pada
saat Perang tahun 1948, adapun pemilihan nama terinspirasi dari jalan bernama sama yang
menghubungkan Myanmar & Burma selama Perang Dunia Kedua 264
Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey
Publishing,2002), h.61-62
91
tersebut dikuasai pasukan IDF sedangkan Penduduk Arab di kedua kota itu
terpaksa meninggalkan rumahnya265
.
Pada tanggal 8 Juli 1948, Tentara Lebanon menghadapi tentara IDF di
Galilea Selatan yang menggelar „Operasi Dekel‟ untuk merebut kota Nazareth.
Dalam perang kali ini, tentara Lebanon tak banyak membantu tentara Arab
Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi), ditambah lagi ada masalah
kekurangan ransum dan kendala persenjataan serta wabah penyakit, sehingga
Fauzi al-Qawuqji mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komandan namun
dipaksa untuk kembali oleh pihak Saudi Arabia. Pada tanggal 18 Juli,
pertempuran berakhir dengan kekalahan memalukan pihak Arab dan dikuasainya
seluruh Galilea Selatan oleh IDF266
.
Pada tanggal 15 October 1948, Israeli Defence Force (IDF) melancarkan
Operasi Hiram, yang bertujuan untuk menguasai Galilea Utara. Operasi ini
dipimpin oleh Moshe Carmel. Wilayah Galilea yang luas memang menyulitkan
pergerakan tentara IDF, ditambah pula dengan keberadaan tentara Lebanon yang
menjaga wilayah tersebut. Namun setelah bertempur selama 60 jam, pasukan IDF
berhasil menguasai Galilea Utara, menggiring pasukan Lebanon kembali ke
negaranya, dan menyergap sebuah batalion pasukan Syria. Adapun korban jiwa
yang jatuh dari pihak Arab sebanyak 400 orang267
.
Setelah perang yang berkepanjangan antara pasukan koalisi Arab melawan
IDF, pasukan koalisi Arab ternyata kalah dalam perang tersebut. Pasukan IDF
265
Alon Kadish & Avraham Sela. “Myths & Historiography of the 1948 War Revisited :
The Case of Lydda”. Middle East Journal. Vol.27 no.4 (summer 1998) h.83 266
Matthew Hughes. “Lebanon Armed and the Arab-Israeli War 1948”. Journal of
Palestine Studies. Vol.34 no.2 (Winter 2005),h.24-41 267
Karsh, Efraim. Arab-Israeli Conflict : The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey
Publishing,2002), h.68
92
berhasil memukul mundur tentara koalisi Arab. Kemenangan Israel membuat
mereka menguasai sebagian besar wilayah Mandat Inggris di Palestina. Perang ini
diakhiri dengan deklarasi genjatan senjata dan dibuatlah batas demarkasi wilayah
sementara yang disebut sebagai Garis Hijau268
.
Kekalahan tersebut tak bisa dihindari karena Liga Arab sangat lamban
dalam membuat keputusan mengenai kasus Palestina. Sejak Liga Arab menolak
Resolusi 181, mereka sama sekali tak memahami apa konsekuensi yang akan
muncul dari penolakan tersebut. Liga Arab baru mengirim gabungan tentara
reguler setelah Deklarasi Kemerdekaan Israel, sehingga IDF sudah terlebih dahulu
mempersiapkan diri. Fauzi al-Qawuqji, yang merupakan Komandan Arab
Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) juga mengatakan bahwa lemahnya
koordinasi antar negara membuat bingung para Komandan di lapangan269
.
Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ahli Strategi Militer Tiongkok, Sun
Bin270
yang mengingatkan bahwa :
“Raja itu ibarat pemanah, komandan ibarat busur dan prajurit ibarat
Panah. Seorang pemanah tak mungkin membidik sasaran dengan tepat,
apabila ia mengarahkan panahnya kearah yang salah, walaupun bagian
depan anak panah itu lebih berat dari bagian belakangnya dan lengan busur
itu menghasilkan daya dorong yang seimbang”.271
268
Nadim Rouhana, "The Intifada and the Palestinians of Israel: Resurrecting the Green
Line", Journal of Palestine Studies, Vol. 19, No. 3 (Spring 1990), h. 58–75 269
Fawzi al-Qawuqji.Memoirs of 1948 Part 1. Journal of Palestine Studies, vol.1 no.4
(Summer 1972), h.28 270
Sun Bin adalah cucu dari Sun Tzu. Ia adalah Penasehat Militer di Negara Qi ketika
Periode Negara-Negara Berperang. ia menulis Buku Strategi Militer berjudul “Sun Bin Bing Fa”
yang merupakan pengembangan dari buku kakeknya yang berjudul “Sun Zi Bing Fa” 271
Wang Xuan Ming. Sun Bin‟s Art of War. (Jakarta : Elex Media Komputindo,1999),
h.167
93
Kita dapat menafsirkan kata kata Sun Bin itu secara harfiah. Jika seorang
pemimpin membuat keputusan yang tidak tepat, maka kemenangan tidak mungkin
dapat diraih walaupun para tentara disebarkan secara tepat dan para komandan
yang ada dibawahnya melakukan usaha bersama.
Rakyat Arab Palestina tadinya berharap persatuan negara-negara Arab
merupakan penyelamat mereka, karena ketidakmampuan untuk berjuang sendiri
akibat dampak dari kekalahan tahun 1936-1939272
. Kenyataanya, mereka malah
harus menyaksikan pasukan koalisi Arab saling bersaing satu sama lain, saling
curiga-mencurigai, bahkan menyabotase divisi lainnya dengan sengaja273
.
Selain itu, Perang tahun 1948 membuat kita dapat memberikan kesimpulan
akhir mengenai strategi Yahudi ataupun Zionis selama ini. Seperti halnya
Kerusuhan 1929 dan Pemberontakan Arab 1936-1939, mereka selalu sabar dan
membiarkan pihak Arab bergerak lebih dulu. Hanya pada dekade 1940an dan
proses kemerdekaan Israel, pihak Yahudi melakukan gerak cepat. Perjuangan
pihak Arab yang selalu gagal dan berakhir anti-klimaks malah semakin
memperkuat pihak Yahudi. Artinya, pihak Yahudi lebih matang dari pihak Arab
dalam hal strategi dan lebih pandai dalam memanfaatkan peluang.
Hal ini ditekankan juga oleh Duta Besar Palestina untuk Republik
Indonesia, Fariz al Mehdawi : “Kekalahan pada Perang Tahun 1948 disebabkan
karena kita kurang persiapan, terburu-buru dan bersikap emosional”274
.
272
W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46 273
Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.
(New Jersey : Princeton University Press,2009), h.130 274
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al
Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
94
Dampak lain dari kekalahan pasukan koalisi Arab dalam perang tahun
1948 adalah eksodus rakyat Palestina dari tempat tinggalnya, baik karena
mengungsi untuk menghindari pertempuran ataupun diusir dari rumahnya oleh
pasukan IDF yang sedang melaksanakan „Rencana Dalet‟. Sebanyak 750.000
orang Arab Palestina menjadi pengungsi di Syria, Lebanon dan Jordania.
Peristiwa terusirnya Bangsa Palestina pada hari itu disebut Nakba (Disaster
Day)275
.
Menurut Prof. Issa J Boulata dari Universitas McGill, dalam Peristiwa
Nakba warga Palestina bukan hanya kehilangan harta benda, tanah dan properti
namun juga kehilangan identitas kultural mereka. Budaya Palestina tercabik dan
tanah kelahiran mereka digantikan oleh Negara Israel dan budaya Yahudi, karena
masyarakat Yahudi merasa sudah lebih dulu memiliki akar di tempat itu jauh
sebelum orang Arab Palestina menetap. Hal ini menjadi membekas dalam
memori kolektif setiap individu Palestina276
.
Di sisi lain, Israel mengklaim Bukan hanya rakyat sipil Palestina saja yang
menjadi korban pada tahun 1948, orang orang Yahudi juga banyak yang diusir
secara paksa oleh penduduk Arab. Peristiwa ini mereka sebut sebagai "Jewish
Nakba", mengacu kepada pengusiran etnis Yahudi oleh masyarakat Arab
Palestina, Jurnalis Israel Ben Dror Yemini menulis277
:
“Nakba bukan hanya mengacu pada Terusirnya orang Palestina
pada tahun 1948, namun juga orang Yahudi. Pada tahun yang sama,
275
Michael R Fischbach, The Impact of the 1948 Disaster: The Ways that the Nakba has
Influenced Palestinian History, Paper for the International Symposium “The Transformation of
Palestine: Palestine & Palestinians 60 Years after the „Nakba‟”, Berlin, March 8 and 9, 2010 276
Issa J. Boullata. "The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern,
Reclaiming Memory." The Middle East Journal ,vol.66, no. 4 (2012),h.747-749 277
Dror Yemini, Ben ,"The Jewish Nakba: Expulsions, Massacres and Forced
Conversions,” dari http://www.nrg.co.il/online/1/ART1/891/209.html, diakses pada tanggal 15
april 2014
95
sekitar 10.000 orang Yahudi terusir dan meninggalkan Rumah serta
Properti miliknya begitu saja, bahkan banyak yang mati kelaparan di
Perjalanan”.
Memang dalam setiap peperangan, selalu rakyat sipil yang menjadi
korban. Namun penduduk Palestina merasakan dampak yang lebih berat dari
peristiwa Nakba dibanding penduduk Yahudi, karena etnis Yahudi sudah terbiasa
hidup dalam diaspora sedangkan rakyat Palestina baru akan memulainya.
Peristiwa Nakba juga menjadi turning point bagi nasionalisme Palestina, karena
tanah dan properti yang selama ini menjadi alasan perjuangan rakyat Palestina
melawan Pemerintah Mandat Inggris maupun Imigran Yahudi, akhirnya terlepas
dari genggaman mereka.
C. Pengambilalihan Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga
Akibat perang tahun 1948, Israel menguasai sebagian besar wilayah
Palestina. Jordania kemudian menduduki wilayah yang dikenal sebagai Tepi
Barat Sungai Jordan termasuk diantaranya Jerussalem Timur, dan beberapa kota
seperti Jericho, Bethlehem, Hebron dan Nablus, sedangkan Jalur Gaza masih tetap
berada dibawah kendali militer Mesir278
.
Pemerintah Mesir mengusulkan agar dibentuk Pemerintahan untuk
Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki oleh pasukan Mesir dan pasukan
Jordania, namun Jordania menolak usulan tersebut. Raja Abdullah dari Jordania
lebih memilih untuk menggabungkan wilayah Tepi Barat Sungai Jordan ke dalam
kekuasaannya, langkah ini mengundang protes dari seluruh anggota Liga Arab.
Bahkan Kerajaan Irak yang masih satu wangsa dengan Kerajaan Jordania,
278
Christopher Catherwood. A Brief History of The Middle East : From Abraham to
Arafat. (New York : Carrolf & Graf Publishers,2006), h.194
96
menentang rencana tersebut. Sementara pihak Jordania mengungkapkan bahwa
rencana unifikasi tersebut bisa saja dibatalkan, dengan syarat, negara Arab lainnya
tak boleh mendukung berdirinya sebuah pemerintahan yang dibuat oleh rakyat
Palestina279
.
Pada tanggal 23 September 1948, Pemerintah Mesir berinisiatif
mendirikan “Pemerintah Seluruh Palestina” (al-Hukumat al-Filastini) di Jalur
Gaza. Amin al-Hussayni didaulat untuk membacakan deklarasi kemerdekaan
Palestina dan dilantik menjadi Presiden, Jerussalem dinyatakan sebagai ibukota
negara Palestina yang baru. Walau demikian, bentuk negara ini terkesan ganjil
karena mengklaim wewenang atas seluruh Palestina namun secara de-facto hanya
berkuasa di Jalur Gaza. Pemerintahan ini juga tak memiliki kekuatan militer, tidak
memiliki mata uang, tidak memiliki administrasi sipil, dan eksistensinya
bergantung pada kebaikan hati Pemerintah Mesir280
.
Menanggapi tindakan Mesir itu, Raja Abdullah memilih melanjutkan
rencana Unification of the Two Banks. Pada tanggal 1 Oktober 1948, Raja
Abdullah mengadakan Konggres Palestina di Ibukota Amman yang dihadiri oleh
perwakilan pengungsi Palestina di Yordania. Dalam Kongres tersebut, Raja
Abdullah mengusulkan agar wilayah Tepi Barat digabungkan dengan
Transjordania, bahkan ia melakukan kunjungan ke desa-desa di Tepi Barat untuk
menggalang dukungan rakyat. Pada tanggal 1 Desember 1948, Konferesi Jericho
menyatakan penggabungan Tepi Barat dengan Kerajaan Jordania atas dalih
279
Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to
Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.131 280
Avi Shlaim. “Rise & Fall of All Palestinian Government in Gaza”.Journal of Palestine
Studies. h.38-53
97
“Melindungi sisa wilayah Palestina dari ancaman Zionisme”; Raja Abdullah juga
diberikan gelar sebagai “Raja Seluruh Palestina”281
.
Pengakuan negara negara lain terhadap status Palestina juga berbeda-beda.
Mayoritas anggota Liga Arab seperti Mesir, Syria, Lebanon, Iraq, Saudi Arabia,
dan Yaman mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina” yang berkedudukan di
Gaza dan juga mengakui Jerussalem sebagai ibukota Pemerintahan baru tersebut.
Sedangkan Jordania yang menguasai Tepi Barat dan Jerussalem menolak
mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina”, Sementara Amerika Serikat memilih
mengakui aneksasi Jordania atas Tepi Barat dan Jerussalem Timur.
Pada akhirnya, rakyat Palestina menemukan dirinya berada dalam situasi
yang “complicated” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tahun 1948.
Mandat Inggris menyerah terhadap kasus Palestina, Negara Israel berdiri dan
menduduki sebagian besar wilayah Palestina, sementara Mesir dan Jordania
mengambil alih wilayah Palestina yang tersisa, adapun mayoritas rakyat Palestina
terpaksa berdiaspora dan menjadi pengungsi di negara lain282
.
Pengambilalihan hak-hak bangsa Palestina oleh negara-negara Arab
tetangga merupakan sesuatu yang tak terhindarkan karena baik rakyat maupun
elit Palestina membiarkan pihak lain yang berambisi untuk ikut campur dalam
urusan internal bangsanya. Bagaimanapun dalam Politik tidak ada bantuan yang
gratis. Apalagi beberapa negara anggota Liga Arab, baru berdiri sebagai sebuah
negara merdeka, tentu mereka mengincar hegemoni untuk menjadi kekuatan
politik terkuat di Timur Tengah. Kelemahan rakyat dan elit Palestina untuk
281
Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem :
Palestinian academic study of international affairs,2008), h. 21 282
Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World
Publication,2007), h.124
98
memperjuangkan eksistensi negaranya dengan kekuatan sendiri serta sikap enggan
mereka untuk menolak semua solusi yang ditawarkan Mandat Inggris dan PBB,
dimanfaatkan oleh negara tetangga, seperti Mesir dan Jordania demi memenuhi
hasrat akan supremasi.
Menurut Ibnu Burdah, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga :
“Setiap jengkal diwilayah Timur Tengah adalah panggung terbuka
bagi pertarungan antara para anggota Liga Arab yang ambisius. Setiap
kekerasan yang terjadi, bukan tak mungkin merupakan perbuatan salah
satu anggota Liga Arab dari balik layar”283
.
Maka dapat kita simpulkan, bahwa apa yang terjadi di Palestina ketika itu
sampai saat ini pun juga tak terlepas dari perbuatan negara Arab lainnya. Namun,
sekali lagi, hal itu bisa terjadi karena kelengahan rakyat dan elit Palestina yang tak
menjaga dirinya dengan baik dan membiarkan pihak lain yang berambisi untuk
ikut bermain di halaman mereka.
283
Ibnu Burdah. “KTT Liga Arab & Masa Depan Arab”. Kompas. Rabu,2 April 2014. h.7
99
BAB VI
KESIMPULAN
Pemerintah Mandat Inggris menjanjikan kemerdekaan Palestina, namun
rakyat dan elit Palestina kurang lihai memanfaatkan kesempatan tersebut dengan
baik. Sebenarnya, Kerajaan Inggris tergolong peka dan cepat tanggap akan
aspirasi warga di daerah jajahannya dibanding dengan kekuatan imperialis Eropa
lainnya seperti Kerajaan Belanda atau Imperium Spanyol . Oleh karena itu,
apabila Liga Bangsa Bangsa mempercayakan wilayah Palestina untuk diurus oleh
Inggris, maka Inggris pasti akan berusaha mencarikan jalan tengah untuk
menjembatani antara kepentingan politik mereka dan tuntutan-tuntutan
masyarakat di wilayah tersebut.
Kesempatan untuk mencapai kemerdekaan juga pernah menghinggapi
Indonesia. Walaupun Bangsa Indonesia mengklaim memperjuangkan
kemerdekaan dengan usaha sendiri tanpa bantuan siapapun, tetapi nyatanya kita
berkesempatan untuk merdeka berkat adanya Good will dari pihak Jepang. Bukti
nyatanya adalah dengan berdirinya Dokuritsu Junbi Kosakai (BPUPKI) dan
Dokuritsu Junbi Inkai (PPKI) serta perananan Laksamana Maeda pada saat
penyusunan Text Proklamasi.
Bangsa Arab Palestina kurang memahami upaya-upaya Pemerintah Inggris
tersebut, hal ini dapat dimengerti karena orang Arab Palestina ketika itu masih
tradisional dalam cara berfikir dan bertindak. Sebagai contoh, bagi mereka, orang
kulit putih Inggris dan orang Yahudi dari Eropa yang datang sebagai Imigran
tidak ada bedanya baik dalam perilaku, budaya, maupun gaya hidup sehari-hari.
100
Pemerintah Mandat Inggris dicap ingkar janji dan inkonsisten oleh bangsa
Palestina. Di satu sisi, harus melaksanakan tugas Liga Bangsa-bangsa untuk
mempersiapkan rakyat Palestina agar siap menerima kemerdekaan. Di sisi lain,
Pemerintah mandat Inggris berjanji untuk tetap mengakomodir kepentingan
Imigran Yahudi yang ingin menetap di Palestina.
Penilaian bangsa Arab Palestina terhadap Mandat Inggris dari Liga
Bangsa-Bangsa yang mengakibatkan gesekan-gesekan, dapat dibandingkan
dengan pengalaman rakyat Indonesia yang menganggap pihak Sekutu bukan
hanya datang untuk melucuti tentara Jepang di Indonesia namun juga untuk
memfasilitasi penjajah Belanda membentuk pemerintahan sipil (NICA) di bekas
wilayah Hindia Belanda. Dalam hal ini, sikap bangsa Palestina dapat dimengerti
oleh bangsa Indonesia karena ada proses yang serupa yang dilalui dalam
perjuangan mencapai kemerdekaan.
Selain masalah diatas, ketidakpercayaan terhadap komitmen pemerintah
Mandat Inggris maupun terhadap perbuatan para imigran Yahudi menciptakan
sejumlah gerakan dan pergolakan. Hal ini terlihat dalam kerusuhan tahun 1929,
Pemberontakan tahun 1936-1939, serta kolaborasi beberapa oknum pemimpin
Palestina dengan Nazi Jerman. Ketiga peristiwa ini berakhir anti-klimaks, karena
bukan hanya gagal namun juga semakin memperkuat posisi kelompok Yahudi.
Hal itu terjadi karena sejak awal, perjuangan bangsa Palestina tidak
terkoordinasi, tidak terencana dan tidak memiliki target yang jelas. Para elit
perkotaan bergerak sendiri, baru kemudian diikuti oleh para petani dimana tujuan
dan obyektivitas mereka berbeda satu sama lain. Di samping itu, di dalam proses
perjuangannya sering terjadi pengkhianatan di dalam tubuh bangsa Arab Palestina
101
sendiri. Hal itu disebabkan karena kuatnya rasa kebersamaan tiap kabilah dan
suku sehingga terjadi persaingan kepentingan dari tiap suku dan kabilah di
Palestina saat itu.
Hal itu terlihat ketika Raghib al Nasashibi mengkhianati Amin al
Hussayni, dan juga ketika tentara Israel mengusir penduduk Palestina dari tanah
dan rumahnya, tidak ada perlawanan berarti dari penduduk Palestina. Hal ini
disebabkan bukan karena rakyat Palestina tidak homogen, melainkan karena
kurangnya rasa senasib sepenanggungan diantara mereka.
Kejadian ini pun pernah menimpa bangsa Indonesia, dimana para pejuang
bangsa seperti Sultan Hassanudin, Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien,
dan Pangeran Diponegoro, berperang sendiri-sendiri. Malah apabila kita merujuk
jauh kebelakang, pengkhianatan terdapat juga dalam sejarah kita baik dalam
peperangan Untung Surapati maupun perjuangan Sultan Hasanuddin di Makasaar
dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.
Berbeda dengan bangsa Arab Palestina, orang orang Yahudi di Palestina
saat itu bersikap lebih sabar dan bersedia menunggu datangnya momentum yang
tepat. Kesabaran ini akhirnya berhasil, dimana pada saat Pemerintah Mandat
Inggris pasca Perang Dunia Kedua, mulai melemah akibat peperangan, serta
rakyat palestina belum pulih akibat kekalahan dalam pemberontakan tahun 1939,
memberikan kesempatan bagi bangsa Yahudi bergerak mengkonsolidasikan diri
untuk membentuk sebuah negara merdeka.
Kelelahan pemerintah Mandat Inggris di Palestina karena sikap bangsa
Arab Palestina yang selalu tidak kooperatif, ditambah adanya proses serah terima
dari Mandat Inggris yang pernah diterima dari Liga Bangsa-Bangsa kepada PBB
102
yang beru terbentuk, memberikan kesempatan kepada bangsa Yahudi untuk
memproklamirkan kemerdekaan Israel di tanah Palestina.
Kemudahan yang dicapai oleh bangsa Yahudi untuk mendirikan Negara
Israel berbanding terbalik dengan yang diperjuangkan oleh rakyat Palestina.
Melihat kenyataan sejarah yang ada, kemudahan Israel itu disebabkan karena
mereka memanfaatkan kesempatan ketika Inggris dalam posisi yang lemah.
Disamping itu, Pemerintah Amerika menawarkan perwalian untuk Palestina, dan
adanya tatanan dunia baru dengan terbentuknya PBB sebagai kelanjutan Liga
Bangsa-bangsa (LBB) serta kualitas sumber daya manusia bangsa Yahudi waktu
itu setara dengan orang orang Eropa dan Amerika, baik dari segi pendidikan,
pengalaman, taktik-strategi dan diplomasinya.
Hal ini berbeda jauh dengan bangsa Palestina saat itu, dimana masih
sedikit orang orang Palestina yang terdidik baik dalam bidang militer serta
pengobatan. Bangsa Yahudi lebih menguasai medan peperangan dan diplomasi
serta memiliki citra yang lebih baik, karena bersikap loyal pada Pemerintah
Mandat Inggris. Sementara bangsa Palestina tidak mempunyai citra yang baik
karena selalu dianggap sebagai pemberontak dan selalu menolak semua solusi
yang ditawarkan baik oleh Mandat Inggris maupun PBB, sehingga tidak banyak
pihak yang bersimpati pada mereka.
Selain itu, di Palestina tak ada figur pemimpin yang bisa menciptakan
konsep negara yang bisa diterima seluruh lapisan masyarakat. Amin al-Hussayni
memimpin sebuah gerakan perjuangan dalam arti yang parokial, demi
kepentingan dirinya dan elitnya. Karena ketiadaan konsep yang jelas, maka
perjuangan Palestina menjadi tidak padu dan tidak efektif. Selain ketiadaan
103
konseptor, perjuangan Palestina juga tak memiliki tokoh yang dapat mewujudkan
konsep kenegaraan dalam tatanan real, Sehingga ketika para pemimpin Palestina
diburu dan terpaksa melarikan diri, gerakan perjuangan menjadi berantakan.
Berbeda dengan Indonesia, pada saat perjuangan kemerdekaannya, bangsa
Indonesia memiliki kelompok masyarakat yang sadar akan pentingnya
kemerdekaan, seperti Tentara Pelajar, Tentara Hizbul Wathan dari pesantren dan
Sukarelawan Petani, serta Tentara terlatih eks-Peta. Di samping itu ,bangsa
Indonesia telah memiliki kaum intelektual, baik yang merupakan lulusan luar
negeri, seperti yang bersekolah di Belanda dan Jerman juga intelektual yang
bersekolah di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Implikasi dari ketersediaan sumber
daya manusia yang cukup ini merupakan modal dalam perjuangan menuju
kemerdekaan. Di saat para tentara dan rakyat bergerilya di hutan, para diplomat
berjuang di meja perundingan, seperti dalam perjanjian Linggarjati, Renville dan
Konferensi Meja Bundar.
Dalam lingkungan elit Indonesia saat itu, bukan hanya memiliki Bung
Karno sebagai seorang konseptor juga memiliki para tokoh yang mampu
mewujudkan konsep itu. Sebagai contoh, ketika Ibukota Indonesia di Yogyakarta
diduduki Belanda, Sjafrudin Prawiranegara meneruskan perjuangan dengan
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dan
Dr.Sudarsono mendirikan cabang dari PDRI di India sehingga perjuangan
berlangsung terus.
Kegagalan Perjuangan Palestina menyebabkan elit dan rakyatnya terpaksa
mengharapkan bantuan dari Liga Arab, namun organisasi ini tidak banyak
memberikan dukungan berarti bagi bangsa Palestina karena Negara-negara
104
anggota Liga Arab sendiri memiliki agenda yang berbeda-beda. Mereka juga tidak
memiliki tentara yang terlatih dengan baik, sehingga dukungan yang mereka
berikan kepada Palestina dalam peperangan berakhir dengan kegagalan.
Negara-negara Liga Arab dan tentaranya ternyata lebih mementingkan
hasrat politik dan keinginan menguasai daerah Palestina untuk kepentingan
negaranya masing masing sehingga wilayah bangsa Arab Palestina semakin
berkurang, sisa wilayah Palestina yang tidak direbut oleh Israel, diambil oleh
negara Arab yang membantunya.
Berbeda dengan perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, kita
harus bersyukur karena situasi dan kondisi negara negara tetangga sekitar
Indonesia tidak memanfaatkan situasi tersebut. Bangsa Indonesia dalam
memperjuangkan kemerdekaannya hanya menghadapi penjajah Belanda dan
sekutunya serta tidak perlu menghadapi negara tetangga yang memiliki niat
terselubung untuk menguasai wilayah Indonesia bagi mereka sendiri, di samping
itu negara negara tetangga saat itu belum merdeka.
Karena itu, penulis menyimpulkan penyebab kenapa Palestina gagal
memerdekakan diri sedangkan Israel berhasil. Antara lain, bangsa Palestina tidak
memanfaatkan kesempatan atau momentum dengan baik, tidak adanya konseptor
yang mampu menciptakan konsep negara yang mampu diterima seluruh lapisan
masyarakat Palestina, kesalahan dalam pemilihan strategi perjuangan, serta
kurang eratnya perasaan senasib sepenanggungan diantara rakyat Palestina.
105
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
Wawancara :
Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz
al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.
Arsip Arab Palestina:
The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist : Memorandum
to United Nation delegate. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948
The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates.
Arab Higher Committee Archive, Februari 1948
Correspondence between Amin al Hussayni & the Peel Commission in Palestine,
Arab Higher Committee Archive, December 1936.
Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24
Mai 1948
Surat Emir Abdullah untuk Komisi Peel, Maret 1937,
http://cojs.org/cojswiki/index.php/Memorandum_from_Amir_Abdullah_to_the_R
oyal_Commission_in_Palestine,_Mar._1937
Deklarasi Amin al Hussayni untuk menyerang Palestina, dari
Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1957
Protokol Alexadria, diakses dari
http://www.mideastweb.org/alexandria.htm
Arsip Pemerintah Mandat Inggris, LBB dan PBB:
Churchill White Paper of 1922 courtesy of the Avalon project dari
http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1922.htm
Covenant of the League of Nations article 22. Courtesy of the Avalon project dari
http://www.yale.edu/lawweb/avalon/leagcov.htm
106
British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International
Law, Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171
“The Evian Conference on Refugees”. Bulletin of International News, Vol. 15,
No. 14 (Jul. 16, 1938), h. 16-18
Churchill White Paper of 1922 courtesy of the Avalon project dari
http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1922.htm
British White Paper of 1939, dari
Http;//avalon.law.yale.edu/20th_century/brwh1939.asp
The McMahon Letter, October 24, 1915. dari
http://domino.un.org/UNISPAL.NSF/9a798adbf322aff38525617b006d88d7/eb39
ca1bfead52dd852570c00079484e!OpenDocument
Report of the Royal Palestine Commission 1937, dari
http://domino.un.org/unispal.nsf/0/08e38a718201458b052565700072b358?Open
Document97
Shaw Comission Report 1929, dari
http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/59A92104ED00DC468525625B00527FE
A
Hope Simpson Report 1930, dari
http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/hope.html
Sykes-Picot Agreement. May 16 1916, dari
http://domino.un.org/UNISPAl.NSF/3d14c9e5cdaa296d85256cbf005aa3eb/23235
8bacbeb7b55852571100078477c!OpenDocument
The BritishWhite Paper of 1939, dari
http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1939.htm
Termination of the British Mandat of Palestine.The International Law
Quaterly.Vol.2 no.1 (spring 1948),h.57-60
107
Text Perjanjian Berlin,dari http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html,
Buku :
Aziz Ayyad, Abdel. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem :
Palestinian academic study of international affairs,1999)
Rory Miller. Britain, Palestine, and Empire: The Mandate Years. (London :
Ashgate Publishing,2010)
Hacohen, David. Time to Tell : An Israeli Life 1898-1984.(New Jersey :
Asscosciate University Press,1985), Hlm.37-38
Hassasian, Manuel. Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990)
El-Eini, Roza I.M. (2006).Mandated landscape: British imperial rule in Palestine,
1929–1948. London: Routledge.
Khalidi, Rashid. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One
World Publication,2007)
Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine, 1948: The Diary of
Sir Henry Gurney, London : Palgrave
Poloner, Joanes. John Poloner‟s Description of the Holy Land.(London : Palestine
Pilgrims' Text Society, 1894)
Surat :
Letter From Pinhas Rutenberg to Colonel Herbert Lehmen
Meyer Greenberg. The Hebron Massacre of 1929 : A Recently Letter of a Survivor
Artikel Koran :
Artikel di Koran Filastin, 28 Januari 1930
Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936
Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936
108
Sumber Sekunder
Buku :
Abdul Hadi, Mahdi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem :
Palestinian academic study of international affairs,2008)
Arnon, Noam. Hebron 4000 years and 40 : The Story of The City of Patriarch,
(New York : The Hebron Fund,2009)
Auerbach, Jerold. Hebron Jews: Memory and Conflict in the Land of Israel,
(Maryland : Rowman & Littlefield Publisher,2009)
Baker, Randall. King Hussain & Kingdom of Hejaz. (Cambridge : Oleander Press,
t.t.)
Bosworth, Clifford Edmund. The New Islamic Dynasties. (Edinburgh : Edinburgh
University Press,1996)
Bowyer Bell, John. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers,
1976
Breitman, Richard. Hitler‟s Shadow : Nazi War Criminals, US Intelligence & the
Cold War. (Washington : National Archive Press,2010
Caplan , Neil. Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ
F. Cass, 1978.)
Carl Bryant, Chad. Prague in black.. (Massachusets : Harvard University
Press,2007)
109
Catherwood, Christopher. A Brief History of The Middle East : From Abraham to
Arafat. (New York : Carrolf & Graf Publishers,2006)
Cleveland, William & Burton, Martin . History of Modern Middle East.
(Philadelphia : Westview Press, 2009),h.258
Cohen, Hilel. Army of Shadows : Palestinian Colaboration with Zionism 1917-
1948. (Berkeley : University of California Press,2009)
Coogan, Michael. Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox
press,1978)
Dawisha, Adeed. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to
Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009)
Dalin, David dan Rothman, John. Icon of Evil: Hitler's Mufti and the Rise of
Radical Islam, (New Jersey : Transaction Publishers,2009)
Deem, James. Kristallnacht: The Nazi Terror That Began the Holocaust.
(Berkeley : Enslow Publishers,2011)
Dimont, Max. Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Jakarta : Masaseni,2002)
Finklestein, Louis. The Jews:Their History, Culture, and Religion. (London:
Peter Owen Limited, 1961)
Fromkin, David. A peace to end all peace : the fall of the ottoman empire and the
creation of modern middle east, (New York : Owl Books, t.t.)
Gelvin, James. Divided Loyalties: Nationalism and Mass Politics in Syria at the
Close of Empire. (Berkeley : University of California Press, 1998)
Ghazali Khairi, Ahmad & Bukhari, Amin. Air Mata Palestina. (Jakarta: Hi-Fest,
2009)
110
Gil, Moshe. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University
Press.1997)
Eban, Abba. My People: History of the Jews Volume II (New Jersey: Berman
House,1979)
Eisenmann, Robert. Islamic Law in Palestine and Israel : A History of the
Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jewish State. (Leiden :
Ej Brill,1978)
Elpeleg, Zvi. The Grand Mufti Hajj Amin al-Hussayni : Founder of Palestinian
National Movement. (London : Routledge,2003)
Ernest Meyer, Karl and Blair Brysac, Shareen . Kingmakers: The Invention of
the Modern Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008)
H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad. The Tribes of Jordan at The Beginning of
20th
Century. (Amman : Ruttab, 1999)
Henry Larcher, Pierre. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical
Remarks on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological
Table. (Charleston :Nabu Press,2006),
Hilderbrand, Robert. Oaks : The Origins of the united nations and the Search for
Postwar Security (Chapell Hill : University of North Carolina Press, 2001)
Holt, Pm dkk. The Cambridge History of Islam. (Cambrdige : Cambridge
University Press, t.t)
Hughes, Matthew. Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-
1919,(London : Taylor & Francis,1999)
Huneidi, Sahar. A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians
1920–1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001)
111
Ibrahim Erwan, Darik. To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the
Ikhwan during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ?. (Massachusets
: Concorde Review.inc,1989)
Isaac, Benjamin & Shahar, Yuval. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in
Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012)
Karsh, Efraim. Israeli Conflict : The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey
Publishing,2002)
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992)
Khouri, Fred. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University
Press,1974)
Kimmerling, Baruch & Migdal, Joe. The Palestinian People. (Massachusets :
Harvard University Press,2003)
Kleva Kleiberger, Aharon. Aurochtonous Text in the Arabic Dialect of the Jews
in Tiberias. (Wiesbaden : Otto Harasowitz Verlag,2009)
Kolinsky, Martin. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935.
(London : St Martin‟s Pres,2010)
Krämer, Gudrun. A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the
Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008)
Kuncahyono, Trias. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan. (Jakarta :
Penerbit Kompas, 2009)
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
Learsi, Rufus. Israel: A History of the Jewish People, (Ohio: Meridian
Books,1966)
112
Lenchzowski, George. The Middle East in World Affair. (New York : Cornell
University Press,1952)
Leonard, Stein. The Balfour Declaration. (New York : Simon & Schuster,1961)
Liebreich, Fredd. Britains Naval & Political Reaction to the Jewish Illegal
Immigration to Israel. (London & New York : Routledge,2004)
Malamat, Abraham. Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period
of the Judges. (New Bruncwick : Rutgers University Press, 1971),
Mansfield, Peter. History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State
University,2004)
Matthews, Elizabeth. The Israel Palestine Conflict : Pararel Discourse, (London :
Taylor & Francis,2011)
Matthews, Weldon. Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab
nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I
B Tauris. 2006)
Morse, Chuck. Nazi Connections to Islamic Terorism : Adolf Hitler & Hajj Amin
al-Hussayni, (New York : iUniverse,2003)
Newsinger, John. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern
Ireland, (London : Palgrave,2002)
Ovendale, Ritchie. The Middle East since 1940. (London : Longman
Publishing,1992)
Pappe, Ilan. The Ethnic Cleansing of Palestine. (Oxford : One World,2007)
Patek, Arthur. Jewish on Route to Palestine 1934-1944 : History of ALiyah Bet-
Clandestine Immigration. (Krakow : Jagiellonian University,2009)
Patterson, David. A Genealogy of Evil: Anti-Semitism from Nazism to Islamic
Jihad. (Cambridge : Cambridge University Press,2010)
113
Pearlman,Wendy. Violence, Nonviolence, & the Palestinian National
movement.(Cambridge : Cambridge University Press,2011)
Pipes, Daniel. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford
University Press, 1990)
Platt, Edward. The City of Abraham : History,myth & Memory, a Journey through
Hebron, (London : Pan Macmillan, 2012)
Rengganis, Ratna. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013)
Sachar, Howard. The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The
Penguin Press, 1969)
Schäfer, Peter. Bar Kokhba War : New Perspectif of Second Jewish Revolt
Against the Roman Empire. (Tübingen : Mohr Siebeck,2003),
Schoenemann, Ralph. Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme.
(Surabaya : Pustaka Progresif,1998)
Sharfmann, Daphna. Palestine in the Second World War: Strategic Plans and
Political Dilemmas. (Sussex : Sussex Academic Press, 2014)
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga
Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010)
Smith, Charles. Palestine and the Arab-Israeli Conflict. (New York: St. Martin
Press, 1992)
Sonn, Tamara. Islam : A Brief History, (Chichester : Wiley Blachwell,2004)
Swedenburg, Ted. Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the
Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003)
Talal, Hasan bin. Tentang Jerussalem. (Jakarta : Incultura Foundation,1980),h.19
Tim Abdi Tandur. Lagi-Lagi tentang Keajaiban-Keajaiaban Dunia. (Jakarta :
Tim Abdi Tandur,2003)
114
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi.
(Jakarta; CeQDA, 2007)
Von Klausewits, Karl Phillip Gottlieb. On War. (New Jersey : Princeton
University Press,1976)
Wahhab Said Kayyalli, Abdul. Palestine. A Modern History. London : Croom
Helm,1981
Xuan Ming, Wang. Sun Bin‟s Art of War. (Jakarta : Elex Media
Komputindo,1999)
Zayas, Alfred. Nemesis at Potsdam.(London : Taylor & Francis,1979)
Zeevi, Dror. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany:
State University of New York Press, 1996)
Ensiklopedia :
Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit
Erlangga,2010)
Ensiklopedia Islam. Dinamika Masa Kini. (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van
Hoeve,2002)
Cecil Roth,The Standard Jewish Encyclopedia. (Jerusalem: Madassah Publishing
Company Ltd,1958)
Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London
: Britannica, t.t)
Jurnal Online :
Abboushi, W.F . “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of
Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46
115
Al-Khatb, Muhammad Nimr. “The Tantura Massacre : 22 -23 May 1948”.
Journal of Palestine Studies.vol.30 no.3 (Spring 2001),h.5-18
Arielli, Nir. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”.
British Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2 h.187-204
Barnett, Michael. “Bringing in the New World Order: Liberalism, Legitimacy,
and the United Nations”. World Politics, Vol. 49, No. 4 (July 1997),h. 526-551
Bauer, Yehuda. “From Cooperation to Resistance : The Haganah 1936-1948”.
Middle Eastern Studies, vol.2 no.3 (April 1966), h.182-210
Bentwich, Norman. “The Legal System of Palestine under British
Mandate”.Middle East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46
Boullata, Issa J. "The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the
Subaltern, Reclaiming Memory". The Middle East Journal ,vol.66, no. 4
(2012),h.747-749
Bowden, Tom. “Politics of Arab Rebellion in Palestine 1936-1939”. Middle
Eastern Studies.vo.11 no.2 (may 1975) h.147-174
Buehrig, Edward. “UN,US & Palestine”. Middle East Journal. Vol.33 no.4
(Autumn 1979) h.434-453
Cohen, Michael J. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in
Palestine 1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34
Dawn, Ernst. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2
(Spring 1962), h.145-168
Fenwick, C.G .”The Failure of the League of Nations”, The American Journal of
International Law, Vol. 30, No. 3 (Jul., 1936), h. 506-509
116
Frilling, Tuvia & Troen, Ilan. “Proclaiming Independence : Five Days in May
from David ben Gurion‟s Diary”. Israel Studies.Vol.3 no.1 (Spring 1998). h.196
Gerber, Haim .”Palestine and Other Territorial Concepts in the 17th Century”.
International Journal of Middle East Studies.Vol. 30, No. 4 (Nov., 1998),h.563-
572
Gershoni, Israel. “The Muslim Brotherhood & the Arab Revolt in Palestine 1936-
1939”. Middle Eastern Studies. Vol.22 no.3 (juli 1886) ,h.367-397
Hallbrook, Stephen. “The Alienation of the Homeland : How Palestine Become
Israel”. Journal of Libertarian Studies. Vol.5 no.4 (Autumn 1981), h.1-18
Haron, Miriam Joyce. “Palestine & Anglo American Connection”.Modern
Judaism.Vol.2 no.2 (May 1982),h.199-211
Hughes, Matthew “Lebanon Armed and the Arab-Israeli War 1948”. Journal of
Palestine Studies. Vol.34 no.2 (Winter 2005),h.24-41
Kabbha, Mustafa. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the
Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37
(spring 2011), h.37–450
Kadish, Alon & Sela, Avraham. “Myths & Historiography of the 1948 War
Revisited : The Case of Lydda”. Middle East Journal. Vol.27 no.4 (summer 1998)
h.83
Khalidi, Walid. “Illegal Jewish Immigration under British Mandate”, Journal of
Palestinian Studies, vol.35, h. 63-69
Khalidi, Walid. "Plan Dalet: master plan for the conquest of Palestine", Journal of
Palestine Studies vol.18 no.1, (November 1961), h. 4-33
Khalidi, Walid. “The Fall of Haifa Revisited”. Journal of Palestine Studies.
Vol.37 no.3 (spring 2008), h.37
117
Lundsten, Mary Ellen. “Wall Politics : Zionist & Palestinian Strategies in
Jerussalem 1928”. Journal of Palestine Studies. Vol.8 no.1 (Autumn 1979),h.3-27
Mattar, Phillip. “Mufti & Western Wall : The Role of Mufti of Jerussalem in
Political Struggle over the Western Wall 1928-1929”. Middle Eastern Studies.
Vol.19 no 1 (januari 1983). h.114-118
Masalha, Nur. "Faisal's Pan-Arabism, 1921–33". Middle Eastern Studies .(Oct.,
1991),h.679–693.
McTague.Jr, John. “Anglo-French Negotiation over the Boundaries of Palestine
1919-20” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112
Medoff, Rafael. "'The Mufti's Nazi Years Re-examined". The Journal of Israeli
History vol.17 no.3 (Summer 1996),h. 317–333.
Millar, Fergus.”Tranformation of Judaism under Greco-Roman Rule : Response
to Seth Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute
Oxford.Journal of Jewish Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h.144
Muslih, Muhammad. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal
of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94
Nashif, Taysir. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”.
Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121
Nevo, Joseph. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”.
Middle Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987,h.3-38
Nikosia, Francis. “Arab Nationalism & National-Socialist Germany 1933-1939 :
Ideological & Strategic Incompability”. International Journal of Middle East.
Vol.12 no.3 (Nov 1980) h.351-372
Ottolenghi, Michael. “Harry Truman‟s Recognition of Israel”. The Historical
Journal. Vol.47 no.4 (Dec 2004),h.963
118
Pape, Ilan. “Haj Amin & Buraq Revolt”, Jerusalem Quarterly File vol.6, no. 18
,h.15
Parsons, Laila. “Soldiering for Arab Nationalism : Fawzi al-Qawuqji in
Palestine”. Journal of Palestine Studies. Vol.36 no.4 (summer 2007), h.33-48
Pedersen, Susan. “The Meaning of Mandat System : An Argumen”. Geschicte und
Gesselschaft. Vol.32 Jahrige, no.4. Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006).
h.560-582
Rouhana, Nadim. "The Intifada and the Palestinians of Israel: Resurrecting the
Green Line", Journal of Palestine Studies, Vol. 19, No. 3 (Spring 1990), h. 58–75
Rubinstein, Elyakim. “The Declaration of Indepedendence as a Basic Documents
of the State of Israel”. Israel Studies. Vol.3 no.1 (spring 1998), h.183
Shalom, Lappin. “Israel-Palestine : Is There a Case for Bi-Nationalism ?”.
Dissent. Vol.31 no.1, (Winter 2004),ProQuest Sosiology. h.13-17
Shlaim, Avi. “Rise & Fall of All Palestinian Government in Gaza” .Journal of
Palestine Studies. h.38-53
Swedenburg, Ted. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics.
No.7 (spring 1987) h.7-24
Artikel Surat Kabar :
Ibnu Burdah. “KTT Liga Arab & Masa Depan Arab”. Artikel Opini di Koran
Kompas. Rabu,2 April 2014. h.7
Trias Kuncahyono. “Liga Arab : Membaca Cerita Lama”. Kompas. Minggu,30
Maret 2014. h.9
Makalah Seminar :
119
Simo Parpola. “National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian
identity of Post-Empire Times”.. Paper for the International Symposium
“Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, University of Helsinki
Michael R Fischbach, “The Impact of the 1948 Disaster: The Ways that the Nakba
has Influenced Palestinian History”, Paper for the International Symposium “The
Transformation of Palestine: Palestine & Palestinians 60 Years after the
„Nakba‟”, Berlin, March 8 and 9, 2010
Artikel Internet:
Sakal, Moshe. The real point of no return in the Jewish-Arab conflict, dari
http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/.premium-1.566793. Diakses pada
10 Mei 2014
Dror Yemini, Ben ,The Jewish Nakba: Expulsions, Massacres and Forced
Conversions, dari http://www.nrg.co.il/online/1/ART1/891/209.html, diakses pada
tanggal 15 april 2014
120
Lampiran & Gambar-gambar :
Hanafi Wibowo, bersama Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz al Mehdawi
di kedutaan Besar Palestina di Jakarta.
121
Wilayah Palestina ketika era Turki Usmani, dimana Palestina bukanlah sebuah
entitas politik ketika itu, melainkan bagian dari Vilayet Syria.
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008)
122
Lukisan Tembok Ratapan, Karya Gustaf Bauernfeind
Sumber :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ec/The_Wailing_Wall_
by_Bauernfeind.jpeg/320px-The_Wailing_Wall_by_Bauernfeind.jpeg
123
Sumber : www.passia.org/palestine_facts/MAPS/1923-1948-britishmandate.html
124
Peta Persebaran daerah di Palestina pada era Mandat Inggris,1931
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate,
Jerussalem : Passia.
125
Para Anggota Komite Arab Tertinggi
Sumber :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f4/Arab_Higher_Committee1b.
jpgPara Tokoh Perjuangan Palestina
Sumber : en.wikipedia.org ditambah editan sendiri
Kedatangan Sir Herbert Samuel di Pelabuhan Jaffa pada tanggal 27 Maret 1920
126
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate,
Jerussalem : Passia.
Sir Herbert Samuel & Para Patriach Ortodox di Jerussalem
Sumber : en.wikipedia.org
Para anggota Komisi Peel
127
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate,
Jerussalem : Passia.
Para Tentara & Pejabat Inggris meninggalkan Palestina pada tanggal 14 Mei 1948
Sumber : Fragmenting Palestine : Formulas for Partition since British Mandate,
Jerussalem : Passia.
128
Kapal Patria tenggelam di Pelabuhan Haifa
Sumber :
http://www.consciousevolution.com/metamorphosis/0303/grfx/patria.jpg
Para anggota Arab Liberaton Army
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008),
129
Rencana Pembagian Palestina menurut Peel Comission
130
http://www.palestineremembered.com/Acre/Maps/Story579.htm
Pengerahan pasukan Arab pada Perang tahun 1948
131
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008),
132
Konfrensi Jerico pada 1 Desember 1948, Unifikasi antara Tepi Barat & Jordania.
Raja Abdullah dinyatakan sebagai Raja Seluruh Palestina.
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008),
Amin al Hussayni membentuk Pemerintahan Seluruh Palestina di Gaza.pada 23
September 1948
Sumber : Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession.
(Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008)
133
Tentara Arab yang ikut serta dalam Pemberontakan 1936-1939
Sumber :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d9/Palest_against_british.gif
Para Anggota Shaw Comission
Sumber :
www.upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/11/Shaw_Commission.t
if/lossy-page1-800px-Shaw_Commission.tif.jpg
134
Kepemilikan Tanah di Palestina pada Era Mandat Inggris
Sumber :
http://unispal.un.org/unispal.nsf/0/a73996728ba8b94785256d560060cd1a?OpenD
ocument
135
Para Komisaris Besar Mandat Inggris :
Sumber : en.wikipedia.org ditambah editan sendiri
Bendera Mandat Inggris di Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
136
Segel Mandat Inggris di Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
137
Demonstrasi Penduduk Yahudi menentang British White Paper 1939 yang dinilai
memihak kepentingan masyarakat Arab Palestina
Sumber : en.wikipedia.org
Kapal Perang HMS Malaya yang digunakan Tentara Inggris untuk
menghancurkan rumah rumah penduduk Palestina
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/59/HMS_Malaya.jpg
138
T.E Lawrence, Sir Herbert Samuel & Emir Abdullah, di Amman tahun 1921
Sumber : en.wikipedia.org
139
Deklarasi Amin al-Hussayni untuk menyerang Palestina
Sumber : Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1957
140