Manajemen Opioid Withdrawal

download Manajemen Opioid Withdrawal

of 23

description

manajemen opioid withdrawal by Airin Que,S.Ked (Universitas Udayana-Bali)

Transcript of Manajemen Opioid Withdrawal

24

BAB IPENDAHULUAN

Opioid memiliki peran yang unik dalam masyarakat. Opioid adalah senyawa yang ditakuti, yang berhubungan dengan penyalahgunaan, kecanduan dan efek dari pemberhentian yang ditakutkan. Namun opioid merupakan obat yang paling efektif untuk menghilangkan rasa sakit dan penderitaan.1Opioid adalah kelas yang luas dari senyawa analog opiat yang memiliki aktivitas opium atau morfin seperti (misalnya methadone). Istilah derivat opiat, hanya berlaku untuk obat yang berasal langsung dari opium (misalnya morfin, kodein, dan heroin). Opioid yang diresepkan berfungsi sebagai analgesik untuk nyeri pada penyakit kanker maupun non-kanker.2,3Terapi opioid yang berkepanjangan dapat memberikan banyak dampak buruk, salah satunya adalah withdrawal. Withdrawal opioid merupakan sebuah sindrom yang timbul setelah menghentikan penggunaan obat tersebut setelah penggunaan obat yang berkepanjangan.4 Gejala dari withdrawal opioid diantaranya adalah berkeringat, mual dan muntah, lakrimasi, rinorea, anoreksia, pupil midrirasis, cemas, gelisah, nyeri otot dan sendi, dan lain-lain.3Tidak seperti alkohol atau benzodiazepine withdrawal, opioid withdrawal tidak mengancam nyawa bagi pengguna opioid dengan beberapa komplikasi medis. Namun, opioid withdrawal meningkatkan resiko kambuhnya overdosis karena penurunan tingkat toleransi setelah withdrawal. Onset dan waktu opioid withdrawal dikaitkan dengan waktu paruh obat yang digunakan. Gejala withdrawal pada short-acting opioid agonis, seperti heroin dan morfin, biasanya muncul lebih cepat dari long-acting opioid agonis, seperti metadon.2Penatalaksanaan terhadap opioid withdrawal harus bersamaan dengan perencanaan dalam terapi opioid. Perencanaan untuk terapi setelah withdrawal merupakan komponen penting untuk menyediakan rangkaian perawatan untuk pasien dan dapat membantu mereka untuk dapat beraktivitas dengan baik.2 BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Jenis OpioidOpioid adalah istilah umum yang terdiri dari obat alami, semisintetis, dan sintetis yang menghasilkan efek antara kombinasi obat dengan reseptor opioid dan diantagonisasi secara kompetitif oleh nalokson.5Istilah opioid dipakai untuk menamai zat yang menghasilkan efek seperti morfin. Analog morfin ini dapat diklasifikasikan dalam :1. Agonis murni (utamanya memiliki efek agonis yang kuat hanya pada satu reseptor dan mungkin memiliki efek agonis lemah pada reseptor lainnya)2. Agonis lemah (memiliki efek agonis lemah pada satu resptor)3. Partial agonis (memiliki efek agonis pada satu reseptor tetapi juga memiliki efek antagonis pada reseptor lainnya)Derivat sintetik dengan struktur yang tidak berkaitan dengan morfin tetapi memiliki efek farmakologis yang sama dengan morfin seperti :1. Phenylpiheridine (pethidine, fentanyl)2. Methadone (methadone, dextropropoxyphene)3. Benzomorphan (pentazocine)4. Thebaine (buprenorphine)

Agonis murni (morfin) memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor miu dan afinitas yang bervariasi terhadap reseptor delta dan kappa. Codein, methadone dan dextropropoxyphene juga agonis terhadap reseptor miu tetapi lebih lemah. Buprenorphine dan pentazocine digolongkan kedalam parsial agonis.Opioid memiliki efek yang sama dengan anti nyeri endogen seperti endorphin dan enkephalin. Obat ini paling baik digunakan untuk nyeri yang tumpul (dimediasi oleh serabut C) dan kurang efektif untuk nyeri yang tajam. Jika dibuat perbandingan diantara obat-obat opioid berdasarkan potensinya dan efek sampingnya maka opioid dapat dikelompokkan kedalam opioid lemah dan opioid kuat. 6,7,8,9Semua opioid dapat menghasilkan ketergantungan secara fisik dan psikologis jika dihentikan secara tiba-tiba. Namun efek ini tidak akan terjadi jika opioid digunakan secara tepat dalam waktu yang singkat untuk nyeri postoperatif. Semua opioid baik lemah maupun kuat memiliki efek samping berupa konstipasi, mual, dan muntah.1,5,6,72.1.1 Opioid lemahKira-kira 10% dari agonis lemah reseptor miu yaitu kodein (3-metil morphine) dimetabolisme menjadi morfin. Tidak seperti morfin, obat ini hanya sedikit menyebabkan euphoria dan kurang poten dibandingkan dengan morfin oral. Dihydrocodein merupakan derivat sintetik dari kodein yang sedikit lebih poten daripada kodein. Tramadol merupakan opioid sintetik yang memiliki efek samping opiat yang lebih ringan tetapi berkaitan dengan halusinasi dan kejang sehingga harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi.Tramadol sedikit lebih poten daripada kodein. 6,7,8,92.1.2. Opioid kuatMorfin merupakan agonis murni reseptor opioid. Morfin merupakan standar tolak ukur potensi opioid yang lain. Morfin dapat diadministrasikan secara subkutan, intramuskuler, intravena, atau epidural. Nmun pemberian secara iv lebih disukai karena onsetnya lebih cepat, kadar dalam darah lebih mudah diprediksi, dan administrasinya lebih mudah. Morfin oral memiliki biavailabiltas yang buruk karena metabolisme yang ekstensif di hepar. 1,5,6,7Diamorphin, derivat dietil dari morphin, memilki kelarutan yang lebih tinggi terhadap lemak daripada morfin tetapi juga masih memiliki kelarutan yang tinggi terhadap air, membuat obat ini diadministrasikan dalam volume yang kecil. Diamorphin subkutan tiga kali lebih poten dari pada morphin oral. Namun durasi kerjanya lebih singkat daripada morphine.Oxycodone dua kali lebih poten dari pada morfin. Obat ini memiliki lebih sedikit efek halusinasi dan biasanya digunakan untuk pasien yang tidak toleran dengan efek samping morfin. 6,7,8,9Pethidine merupakan opioid sintetik dengan durasi kerja yang lebih singkat daripada morfin. Obat ini memiliki efek euforia yang sama dengan morfin. Fentanyl juga opioid sintetik sama seperti pethidine. Obat ini sangat poten dengan efek yang sama dengan morfin. Obat ini memiliki kelarutan terhadap lemak yang tinggi dan dapat diadministrasikan secara intravena, transdermal, dan bukal (aqtiq lozenges). Fentanyl, alfentanyl, dan remifantanyl, adalah alternatif yang sesuai untuk morfin jika membutuhkan obat dengan onset cepat tetapi durasi kerjanya singkat. 6,7,8,9Methadone memiliki bioavailabilitas oral yang bagus dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Obat ini digunakan untuk menghindari efek withdrawal dari pasien yeng memiliki ketergantungan dengan morfin. 6,7,8,9

2.2. Mekanisme Kerja OpioidOpioid bekerja pada reseptor opioid yang terdapat pada celah presinaptik dan postsinaptik dari sistem saraf pusat (terutama brainstem dan medula spinalis), dan dari luar sistem saraf pusat di jaringan perifer. Opioid menimbulkan efek kerja ligan endogennya dengan mengikat reseptor opioid, hal ini akan menghasilkan aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosiseptif). Opioid dalam bentuk terionisasi sangat penting untuk dapat terikat kuat pada reseptor opioid yang tidak berion. Prinsip utama aktivasi reseptor opioid adalah menurunkan neurotransmitter. Perubahan biokimia intraseluler karena adanya inisiasi reseptor opioid oleh agonis opioid adalah peningkatan hantaran kalium (sehingga terjadi hiperpolarisasi), inaktifasi channel kalsium, yang segera menurunkan pelepasan neurotransmitter. Diasumsikan bahwa peningkatan reseptor opioid sebanding dengan efek opioid.Opioid menghambat sinyal nyeri melalui aksi yang berbeda:51. Inhibisi influks Ca++ ke dalam sel presinaptik (misalnya yang melepaskan substansi P). Hal ini karena influks Ca++ penting untuk pelepasan neurotransmitter, sehingga opioid juga menurunkan atau mencegah peepasan substansi P2. Bekerja sebagai neurotransmitter inhibitor, karena opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel postsinaptik dengan meningkatkan aliran K+ keluar dari neuron, sehingga rangsangan neuron oleh sinyal nosisepsi aferen dipersulit, dan tidak bisa mengirimkan informasi nyeri3. Moderasi persepsi sentral informasi nyeri di sistem limbik sehingga membuatnya lebih ringan dari yang seharusnya.

2.3. Efek Samping OpioidEfek samping yang serius mungkin termasuk: Penapasan melambat yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini lebih beresiko terjadi pada pasien yang: memiliki sleep apnea atau penyakit paru-paru kronis; berada di dosis opioid yang lebih tinggi; minum obat lebih daripada yang disarankan; atau mencampur opioid dengan alkohol, obat-obatan resep lainnya (seperti obat tidur, muscle relaxant, dan penenang) Ketergantungan fisik, toleransi atau kecanduan opioid. Pasien dengan ketergantungan fisik akan mengalami withdrawal jika mereka berhenti tiba-tiba. Pasien dengan toleransi perlu mengonsumsi obat lebih, untuk mendapatkan efek yang sama. Pasien dengan kecanduan tidak bisa mengontrol penggunaan opioid bahkan jika mereka ingin, yang dapat membahayakan. Sedasi (mengantuk dan lesu) dapat mengaburkan penilaian pasien dan memperlambat reaksi, berisiko untuk jatuh dan kecelakaan saat mengemudi, menggunakan alat, atau operasi alat berat. Bayi yang lahir dari ibu yang mengonsumsi opioid akan tergantung pada opioid saat lahir. wanita yang ingin hamil tidak boleh mengonsumsi opioid. Perempuan yang hamil saat mengonsumsi opioid harus berkonsultasi dengan dokter mereka untuk membuat rencana menghentikan obat.Efek samping yang umum mungkin termasuk: Sembelit Depresi Kelelahan Gatal (efek samping dan bukan reaksi alergi) Mual atau muntah Penurunan gairah seks (penurunan testosteron) Tekanan darah rendah Kesulitan dengan buang air kecil Insomnia Peningkatan kepekaan terhadap rasa sakit (hiperalgesia) Gangguan sistem kekebalan tubuh 10

2.4. Opioid WithdrawalOpioid withdrawal terjadi ketika penggunaan opioid dihentikan tiba-tiba, gejala dari opioid withdrawal berlangsung selama beberapa hari.3Dalam menghadapi paparan jangka panjang dari dosis opioid eksogen yang relatif tinggi, sel menginternalisasi reseptor mu dan reseptor delta. Oleh karena itu, peningkatan kadar opioid dan / atau peningkatan potensi opioid, diperlukan untuk menghasilkan efek yang sama pada reseptor yang lebih sedikit. (toleransi). Hal serupa terjadi, setelah opioid eksogen akan dihapus dari sistem, opioid endogen yang tersisa tidak cukup untuk mengaktifkan sejumlah kecil reseptor yang tersisa (withdrawal). 11 Gejala withdrawal mungkin mulai 6-12 jam setelah dosis terakhir, puncak pada 48-72 jam,dan mereda setelah 7-10 hari. Onset dan durasi akan berkepanjangan jika seseorang menggunakan opioid long acting, seperti metadon. Tingkat keparahan dari opioid withdrawal ditentukan oleh sejumlah faktor termasuk:3 Dosis Frekuensi Kronisitas penggunaan Rute pemberian Tingkat penyalahgunaan narkoba dan alkohol lainnya Tingkat komplikasi medis dan psikiatris terkait obat

Tanda dan gejala dari opioid withdrawal:3

Berkeringat Menguap Lakrimasi Rinorea Dilatasi pupil Bulu kuduk berdiri Anoreksia Diare Mual dan muntah Tremor Nyeri otot dan sendi Kram abdomen Cemas dan gelisah1. Letargi1. Insomnia

2. Clinical Opiate Withdrawal Scale (COWS)Clinical Opiate Withdrawal Scale (COWS) merupakan salah satu metode pemeriksaan pada pasien untuk mengukur beratnya gejala withdrawal, yang akan berhubungan dengan manajemen terhadap opioid withdrawal.3Denyut nadi saat istirahat: kali/menit(diukur setelah pasien duduk atau berbaring selama satu menit)

Denyut nadi 800

Denyut nadi 81-1001

Denyut nadi 101-1202

Denyut nadi 1204

Gangguan Pencernaan (selama 30 menit terakhir)

Keram perut1

Mual atau kotoran encer2

Muntah atau diare3

Diare dan muntah berulang5

Berkeringat(selama 30 menit terakhir, tidak berhubungan dengan suhu kamar atau kegiatan pasien)

Tidak ada tanda menggigil atau wajah memerah0

Keluhan subjektif menggigil atau wajah memerah1

Wajah memerah, tampak titik-titik keringat di kening atau wajah2

Keringat mengalir pada wajah4

Tremor(diamati pada tangan yang terulur)

Tidak ada tremor0

Tremor dirasakan, tapi tidak terlihat1

Tremor ringan yang terlihat2

Tremor berat atau otot berkedut4

Gelisah(diobservasi selama penilaian)

Mampu duduk tenang0

Sulit duduk tenang, tapi dapat melakukannya1

Sering berpindah atau ada gerakan tambahan pada tangan dan kaki3

Tidak mampu duduk diam dalam beberapa detik5

Menguap(diobservasi selama penilaian)

Tidak menguap0

Menguap 1-2 kali selama pemeriksaan1

Menguap 3 kali selama pemeriksaan2

Menguap beberapa kali dalam satu menit4

Ukuran pupil

Pupil berukuran normal dengan cahaya ruangan0

Pupil lebih besar dari normal dengan cahaya ruangan1

Pupil melebar2

Pupil melebar hingga hanya tepi iris yang terlihat5

Cemas atau iritabel

Tidak ada0

Pasien dilaporkan mudah marah atau cemas1

Pasien tampak marah atau cemas2

Pasien tampak marah atau cemas hingga pemeriksaan sulit dilakukan4

Nyeri tulang atau sendi (jika pasien mengalami nyeri sebelumnya, hanya nyeri tambahan dikaitkan dengan penilaian opioid withdrawal)

Tidak ada0

Nyeri ringan1

Nyeri parah2

Pasien menggosok sendi atau otot hingga tidak mampu duduk tenang4

Kulit merinding

Kulit halus0

Kulit merinding dirasakan pada lengan atas3

Kulit merinding yang tampak menonjol5

Hidung tersumbat atau mata berair(tanpa ada gejala pilek atau alergi)

Tidak ada0

Hidung tersumbat atau mata lembab1

Sekret hidung keluar atau mata berair2

Sekret hidung keluar terus menerus atau air mata mengalir di pipi4

Nilai Total

Tabel 1. Clinical Opiate Withdrawal Scale (COWS)3Penilaian:Nilai total 512: ringanNilai total 1314: sedangNilai total 2536: sedang hingga beratNilai total > 36: berat

2. Manajemen Opioid WithdrawalPedoman The American Psychiatric Association (APA) mengidentifikasi 3 modalitas pengobatan berikut untuk menjadi strategi yang efektif dalam mengelola ketergantungan dan withdrawal opioid:121. Substitusi opioid dengan methadon atau buprenorfin, diikuti dengan tapering off.1. Penghentian penggunaan opioid yang mendadak dengan menggunakan klonidin untuk menekan gejala withdrawal.1. Detoksifikasi Klonidin-naltrekson

Selain pedoman dari American Psychiatric Association (APA), ada bukti yang kuat mengenai 3 jenis farmakoterapi untuk manajemen terhadap opioid withdrawal, yaitu: 32. Subokson (bufrenorfin/nalokson)2. Metadon2. Pengobatan simptomatis dengan Klonidin

Cara lain yang dianggap paling efektif untuk mencegah gejala penarikan setelah penghentian opioid adalah taper. 13

6. Substitusi Opioid dengan Methadon atau Suboxone (buprenorfin/naloxone)Sampai saat ini, data menunjukkan bahwa buprenorfin dan metadon lebih efektif daripada alpha-2 agonis seperti clonidine, untuk detoksifikasi opioid, terkait dengan gejala withdrawal yang lebih cepat diatasi. Namun, semua obat ini efektif, dan pilihan tergantung sebagian pada ketersediaan.Helm et al mengulas kembali beberapa penelitian, di antaranya randomized, double blind, parallel yang dilakukan oleh Johnson et al, didapati bahwa buprenorfin (16-32 mg) sama efektif nya dengan metadon dosis tinggi (60 hingga 100 mg) dalam mengurangi penggunaan opioid pada perawatan jangka pendek (17 minggu) dibandingkan dengan dosis rendah metadon (20 mg per hari) .Pada tahun 2003, Mattick et al. menemukan bahwa buprenorfin dan metadon sama-sama efektif dalam mengobati ketergantungan opioid. 12

Literatur terbaru dari Australia dan Amerika Serikat telah meneliti penggunaan buprenorfin untuk terapi penggantian dan untuk pengobatan bantuan terhadap manajemen withdrawal. Data detoksifikasi jangka pendek dengan buprenorfin menunjukkan bukti terdapat penurunan penggunaan opioid dalam pengobatan setelah detoks 3 hari. 3

2.6.1.1 MetadonMetadon adalah agonis penuh, apabila diberikan dosis tambahan maka akan menimbulkan aktivasi reseptor yang lebih besar, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan dan berpotensi untuk menimbulkan efek samping.12Metadon tidak hanya merupakan suatu agonis reseptor yang kuat tapi campuran rasemik isomer D- dan L-metadon juga dapat menyekat reseptor NMDA serta transporter monoaminergik reuptake.14Pemberian metadone sebagai substitusi:1. Hari ke-1Untuk menentukan dosis stabilisasi metadon: Berikan Metadon 20mg po x 1 loading dose apabila Clinical Opiate Withdrawal Scale (COWS) 13 Tiga jam pasca loading dose, berikan Metadon 5 mg apabila COWStetap sama atau lebih besar dari 13, untuk Total dosis maksimum 40mg dalam 24 jam. Bagi pasien yang stabil dengan pemberian metadon kurang dari 40mg, dokter harus menghubungi segera untuk melanjutkan jadwal tapering.1. Hari ke-2Metadon 20mg po. Dosis pertama harus diberikan minimal dari 6 jam setelah dosis terakhir pada hari 1.1. Hari ke-3Mulailah jadwal tapering Metadon (Lihat Tabel Algoritma di bawah) rezim ini adalah bukan apa yang akan ditentukan dalam masyarakat, tetapi selama masih ada dukungan medis selama 24 jam, ini mungkin layak. Dalam masyarakat, dosis awal maksimum hanya diperbolehkan 30mg karena masalah keselamatan dan risiko overdosis dan kematian. 3

HariDosis Pagi (mg)

135

235

330

430

525

625

720

820

915

1015

1110

1210

135

145

150

Tabel 2. Methadone Withdrawal Taper3

2.6.1.2. Suboxone (Buprenorfin/Naloxone)Buprenorfin adalah long-acting-opioid partial agonist dengan sifat analgetik poten. Buprenorfin merupakan agonis parsial pada reseptor mu ( hanya mempu mengaktifkan sebagian reseptor). Oleh karena itu intensitas perubahan yang disebabkan oleh buprenorfin umumnya plateau, dan pengguna umumnya tidak merasakan perubahan yang terlalu cepat seperti saat menggunakan opioid lainnya. Buprenorphine cukup untuk mencegah kecanduan dan gejala withdrawal. Oleh karena itu, seperti metadon, buprenorfin dapat digunakan untuk menggantikan opioid destruktif lainnya melalui terapi pemeliharaan. 11Pemberian Suboxone bertujuan untuk menghilangkan gejala withdrawal selama 24 jam dan kemudian memulai regimen tapering off menentukan dosis stabilisasi Suboxone (buprenorfin / nalokson):30. Hari ke-11. Pasien yang mengalami tanda-tanda obyektif penarikan opioid (COWS 13) dan yang lama dari penggunaan opioid short-acting terakhir (lihat Tabel 1) adalah lebih dari 12 sampai 24 jam, menerima dosis Subuxone pertama 4/1 mg.1. Berikan tablet sublingual pertama (diawasi) hanya bila pasien sedang mengalami serangan withdrawal. Jika tidak terjadi withdrawal pasien, suboxone bisa saja memicu withdrawal karena menggusur opioid lain dari reseptor opioid.1. Jika dosis awal Suboxone adalah 4/1 mg dan gejala opioid withdrawal mereda tapi kemudian kembali (atau masih ada) setelah 2 jam, dosis kedua 4/1 mg dapat diberikan.1. Jumlah total Suboxone diberikan dalam 24 jam pertama tidak boleh melebihi 8 / 2mg.0. Hari ke-21. Pasien yang tidak mengalami kesulitan dengan pemberian Suboxone hari pertama dan tidak mengalami gejala Withdrawal pada Hari 2 dianggap stabil dari gejala opioid withdrawal.1. Stabilisasi dosis harian Suboxone setara dengan jumlah total Suboxone yang diberikan pada Hari 1. Pada hari 3, tapering mungkin sudah mulai (lihat tabel regimen tapering di bawah).1. Dosis dapat kemudian meningkat pada 2 / 0,5 hingga 4 / 1 mg bertahap setiap hari, jika diperlukan untuk mengurangi gejala-gejala, dengan dosis target 12/3 16/4 mg per hari yang harus dicapai dalam 2 hari berikutnya. Setelah dosis stabilisasi dicapai, regimen tapering (lihat di bawah) dapat dilaksanakan0. Regimen TaperingPenurunan dosis stabilisasi 2/0.5mg setiap 1-2 hari berdasarkan gejala yang sudah membaik. Lihat Tabel 2 untuk contoh pembentukan dosis stabilisasi dan regimen tapering untuk Suboxone.

HariSuboxone (buprenorfin/naloxone)Total dosis harian

Dosis Stabilisasi

Hari ke-1Berikan dosis awal 4/1mgobservasi dalam 2 jamJika masih ada gejala, tmabahkan lagi 4/1 mg4/1-8/2 mg

Hari ke- 2-3Jika tidak ada gejala, berikan dosis seperti hari ke-1Kemudian turunkan dosis pada hari ke-44/18/2mg

Jika masih ada gejala berikan dosis seperti hari ke-1 kemudian naikkan dosis tiap 2 jam dalam rentang dosis 12/3 16/4mg12/3 16/4mg

Jadwal Tapering

Hari ke-410/2.5mg

Hari ke-510/2.5mg

Hari ke-68/2mg

Hari ke-78/2mg

Hari ke-86/1.5mg

Hari ke-9 6/1.5mg

Hari ke-104/1mg

Hari ke-114/1mg

Hari ke-122/0.5mg

Hari ke-132/0.5mg

Hari ke-140 mg

Tabel 3. Dosis stabilisasi dan regimen tapering untuk Suboxone3

6. Pengobatan Simptomatis dengan Klonidin

Penggunaan buprenorfin dalam pengobatan opioid withdrawal umumnya membatasi kebutuhan untuk pengobatan gejala yang simptomatis. Jika diperlukan, Clonidine adalah yang paling umum digunakan sebagai obat simtomatik untuk opioid withdrawal, Klonidin terbukti mampu mengurangi banyak gejala withdrawal. 3Protokol dosis klonidin:1. Jika tekanan darah >90/60: berikan 0,1 mg selama 5-7 hari bila perlu. Perhatikan gejala postural, mengantukm jangan terlalu lama berendam atau mandi dengan air hangat.1. Jika 0.1mg tidak efektif, naikkan dosis menjadi 0,2 mg bila perlu. Monitor keadaan hipotensi.1. Penggunaan dapat berlanjut selama 5-7 hari pada pasien yang rawat jalan.Bagi kaum muda yang tertarik Suboxone sebagai manajemen withdrawal, jika mereka belum dalam penarikan dengan skala COWS> 13, mereka dapat didukung dengan pengobatan untuk mengurangi gejala-gejala gejala withdrawal. Biasanya klonidin diberikan bersama dengan obat lain untuk mengurangi gejala-gejala kram mual, diare, otot, sakit kepala dan gangguan tidur yang berat.2Obat-obatan lain yang umumnya digunakan sebagai terapi simptomatis adalah:1. NyeriIbuprofen (Advil/Motrin) 200400mg bila perlu, jangan melebihi dosis 1200mg dalam 1 hari.1. Mual dan MuntahDiphenhydramine 25100mg bila perlu1. DiareLoperamide Hydrochloride 2mg, dosis inisial 4mg kemudian lanjutkan dengan dosis 2mg, maksimal 16mg/hari.Hal yang harus diperhatikan adalah, hindari penggunaan obat-obatan yang mengandung atropine apabila pasien menggunakan klonidin.3

6. Tapering- Off OpioidSalah satu tujuan tapering opioid adalah untuk menjaga keselamatan pasien dan kenyamanan selama fase awal hingga akhir tapering. Berikut termasuk persiapan pasien menghentikan opioid untuk meminimalkan gejala withdrawal (misalnya, nyeri otot dan sendi, mual, kecemasan, pilek).Ingat mengikuti faktor spesifik pasien bila akan memulai tapering:151. Secara umum, semakin lama pasien mengonsumsi opioid, tapering harus semakin lambat.1. Jangan mengobati gejala withdrawal dengan opioid atau benzodiazepin setelah menghentikan opioid.1. Pertimbangkan tapering opioid pada pasien yang telah menerima opioid yang dijadwalkan secara rutin di lebih dari dosis memulai direkomendasikan untuk lebih dari beberapa hari.1. Pasien yang memakai opioid pada non-harian, biasanya dapat menghentikan pengobatan mereka tanpa tapering.1. Mempertimbangkan faktor-faktor-pasien tertentu ketika memutuskan apakah pasien harus tapering dan berapa lama. Pertimbangkan risiko pencetus withdrawal, tingkat kecemasan tentang penghentian opioid, durasi terapi opioid, komorbiditas medis dan psikologis, dan kebutuhan klinis untuk tapering yang cepat.1. Pasien yang memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap opioid, terapi harus dihentikan segera.1. Tapering 20-50 persen per minggu (dosis awal) untuk pasien yang tidak kecanduan. Tujuannya adalah untuk meminimalkan efek yang merugikan / withdrawal.1. Literatur detoksifikasi cepat menunjukkan bahwa pasien membutuhkan 20 persen dari dosis hari sebelumnya untuk mencegah gejala penarikan.1. Pertimbangkan untuk menggunakan agen ajuvan seperti antidepresan untuk mengelola iritabilitas dan gangguan tidur, atau antiepileptics untuk nyeri neuropatik. 1. Pasien yang menggunakan fentanyl harus diarahkan ke opioid yang berbeda, baik long-acting morfin atau metadon. Setelah terapi diubah, pedoman yang sama akan berlaku.1. Bergantian, dengan ketersediaan transdermal fentanyl patch 12 mcg / hr, beberapa pasien dapat dikurangkan pada patch fentanyl dan kemudian opioid short-acting untuk menyelesaikan tapering.1. Clonidine 0,1 mg dua atau tiga kali sehari dapat digunakan untuk mengontrol banyak gejala withdrawal jika tidak ada kontraindikasi. Obat tambahan akan sering diperlukan , karena clonidine tidak mampu mengatasi semua gejala withdrawal (misalnya, nyeri otot dan sendi, mual, diare, kecemasan).

Tapering secara bertahap dapat diselesaikan dalam waktu kisaran 2 minggu sampai 6 bulan. Akan tetapi, beberapa membutuhkan waktu yang lebih sekitar 18-24 bulan. Pengurangan dosis harian awal dalam kisaran dari 10% setiap 1-2 minggu. Setelah dosis sekitar 1/3 dari dosis asli tercapai, pengurangan dosis kecil dilakukan (misalnya 5% setiap 2-4 minggu). Kesuksesan tapering bisa jadi lebih cepat dari waktu yang diinginkan.Dosis tapering: 161. Rejimen tapering menurut Katrina Disaster Working2. Penurunan dosis 10% setiap hari, atau2. Penurunan dosis 20% setiap 3-5 hari, atau2. Penurunan dosis 25% setiap minggu.1. Rejimen tapering Short-Acting Opioids (USVA 2003)2. Penurunan dosis 10% setiap 3-7 hari, atau2. Penurunan dosis 20%-50% setiap hari sampai dosis terendah tercapai (misalnya: 5 mg oksikodon)2. Kemudian tingkatkan interval pemberian, lalu eliminasi satu dosis setiap 2-5 hari1. Rejimen tapering Long-Acting Opioids (USVA 2003)2. MetadonTurunkan dosis 20%-50% setiap hari hingga tercapai 30 mg setiap hari, lalu turunkan dosis 5 mg perhari setiap 3-5 hari hingga tercapai 10 mg perhari, lalu turunkan 2.5 mg perhari setiap 3-5 hari.2. Morphine CR (controlled-release)Turunkan dosis 20%-50% setiap hari hingga tercapai 45 mg setiap hari, lalu turunkan dosis hingga 15 mg perhari setiap 2-5 hari.2. Oxycodone CR (controlled-release)Turunkan dosis 20%-50% setiap hari hingga tercapai 30 mg setiap hari, lalu turunkan dosis hingga 10 mg perhari setiap 2-5 hari.2. Fentanil Ganti ke jenis opioid yang lain seperti morphine CR atau metadon.1. PetidinPetidin berpotensi untuk disalah gunakan daripada opioid yang lain. Hal ini berhubungan dengan derajat euphoria yang ditimbulkan oleh petidin lebih besar daripada yang lain. Petidin merupakan opioid short acting, oleh karena itu dosis tapering sebagai berikut:16,172. Penurunan dosis 10% setiap 3-7 hari, atau2. Penurunan dosis 20%-50% setiap hari sampai dosis terendah tercapai 2. Kemudian tingkatkan interval pemberian, lalu eliminasi satu dosis setiap 2-5 hari

BAB IIIKESIMPULANOpioid adalah istilah umum yang terdiri dari obat alami, semisintetis, dan sintetis yang menghasilkan efek antara kombinasi obat dengan reseptor opioid dan diantagonisasi secara kompetitif oleh nalokson. Analog morfin ini dapat diklasifikasikan dalam agonis murni, agonis lemah, dan partial agonis.Opioid bekerja pada reseptor opioid yang terdapat pada celah presinaptik dan postsinaptik dari sistem saraf pusat (terutama brainstem dan medula spinalis), dan dari luar sistem saraf pusat di jaringan perifer. Opioid menimbulkan efek kerja ligan endogennya dengan mengikat reseptor opioid, hal ini akan menghasilkan aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosiseptif). Opioid dalam bentuk terionisasi sangat penting untuk dapat terikat kuat pada reseptor opioid yang tidak berion. Prinsip utama aktivasi reseptor opioid adalah menurunkan neurotransmitter. Opioid menghambat sinyal nyeri melalui aksi yang berbeda yaitu inhibisi influks Ca++, bekerja sebagai neurotransmitter inhibitor, Moderasi persepsi sentral informasi nyeri di sistem limbik.Opioid withdrawal terjadi ketika penggunaan opioid dihentikan tiba-tiba, gejala dari opioid withdrawal berlangsung selama beberapa hari. Gejala withdrawal mungkin mulai 6-12 jam setelah dosis terakhir, puncak pada 48-72 jam,dan mereda setelah 7-10 hari. Tanda dan gejala dari opioid withdrawal adalah berkeringat, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, anoreksia, diare,mual dan muntah dan lain-lain.Pedoman The American Psychiatric Association (APA) mengidentifikasi 3 modalitas pengobatan berikut untuk menjadi strategi yang efektif dalam mengelola ketergantungan dan withdrawal opioid yakni, substitusi opioid dengan methadon atau buprenorfin, diikuti dengan tappering off, penghentian penggunaan opioid yang mendadak dengan menggunakan klonidin untuk menekan gejala withdrawal, detoksifikasi clonidine-naltrexone.Selain pedoman dari American Psychiatric Association (APA), ada bukti yang kuat mengenai 3 jenis farmakoterapi untuk manajemen terhadap opioid withdrawal, yaitu subokson (bufrenorfin/nalokson), metadon, pengobatan simptomatis dengan klonidin.Cara lain yang dianggap paling efektif untuk mencegah gejala penarikan setelah penghentian opioid adalah taper. Salah satu tujuan tapering opioid adalah untuk menjaga keselamatan pasien dan kenyamanan selama fase awal hingga akhir tapering.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenblum A, Marsch L, Joseph H, Portenoy R. Opioids and the Treatment of Chronic Pain: Controversies, Current Status, and Future Directions. New York. Exp Clin Psychopharmacol. 2008 October ; 16(5): 4054162. Kenny P, Swan A, Berends L, Jenner L, Hunter B,et al. Alcohol and Other Drug Withdrawal: Practice Guidelines. Victoria. Turning Point: Alcohol and Drug Center.2009. Chapter 11 p. 1-163. Nova Scotian. Adolescent Withdrawal Management Guideline 2013. Canada. Nova Scotia Department of Health and Wellness. 2013.p 1-1584. Kanwaljeet J, Willson D, Berger J, Harrison R, Meert K, Zimmerman J, Christoper J,et al. Tolerance and Withdrawal From Prolonged Opioid Use in Critically Ill Children. America. pediatrics.aappublications.org. 2010;125:e1208e12255. Freye E., Levy J. V. Opioids in Medicine. 2008. Netherland: Springer Science+Business Media B.V.6. Rahman M A, Beattie J. Managing post-operative pain. The Pharmaceutical Journal. 275:145-148. 2005.7. White P F. The Changing Role of Non-Opioid Analgesic Techniques in the Management of Postoperative Pain. Anesth Analg. 101:522. 2005.8. Ritchey R M. Optimizing postoperative pain management. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. 73(1):72-76. 2006. 9. Stephens J, Laskin B, Pashos C, Pena B, Wong J. The burden of acute postoperative pain and the potential role of the COX-2-specific inhibitors. Rheumatology. 42(3):4052. 2003.10. Group Health Cooperative. Chronic Opioid Therapy Safety Guideline for Patients With Chronic Non-Cancer Pain. 2014.11. Preda p, Dunayevich E. Opioid Abuse Treatment and Management. Last visited 30 January 2015. http://emedicine.medscape.om/article/287790.12. Nicholls L, Bragaw L, Ruetsch C. Opioid Dependence Treatment and Guidelines. Columbia. Supplement to Journal of Managed Care Pharmacy JMCP February 2010 Vol. 16, No. 1-b; p 14-21. 13. Suttner J, Lovett A, Vernachio K. Best Practices in Tapering Methods in Patients Undergoing Opioid Therapy. 2013. Advances in Pharmacology and Pharmacy 1(2): 42-5714. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10. 2010. Jakarta:EGC15. Department of Veterans Affairs (VA) and Department of Defense (DoD). Tapering and Discontinuing Opioids. 201316. Kral L, Stewart B. Leavitt N, Fudin J. Opioid Tapering. Safely Discontinuing Opioid Analgesics 2006. www.pain-topics.com. 17. Pherson M, Duguid M. Strategy to Eliminate Pethidine Use in Hospital.2008. Journal of Pharmacy Practice and Research38(2): 8889