Manajeman Cairan Pada Neonatusprint
description
Transcript of Manajeman Cairan Pada Neonatusprint
MANAJEMEN CAIRAN PERIOPERATIVE
PADA NEONATUS PREMATUR
PENDAHULUAN
Manajeman cairan dan elektrolit sangat penting dan merupakan bagian
yang memerlukan perhatian pada awal manajemen neonatus prematur dan
dalam keadaan sakit yang berat (Lorenz,2008). Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit merupakan yang paling sering pada neonatus prematur
dan dalam keadaan sakit yang berat (Aggarwal, et.al, 2001).
Prinsip-prinsip dasar manajemen cairan dan elektrolit neonatus mirip
dengan pasien pediatrik, dengan mempertimbangkan pengecualian,
pada maturitas ginjal, komposisi tubuh, kehilagan cairan yang fisiologis,
persalinan, perbedaan pada sistem saraf otonom. Manajemen cairan dan
elektrolit perioperatif meliputi;status dehidrasi, puasa, manajemen cairan
intraoperatif, masalah pasca operasi, dan terapi transfusi (Newton, et.al,
2010).
Pada neonatus prematur,hilangnya cairan sangat besar, sangat
bervariasi dan luas dan tidak terdapat pengaturan umpan balik dan
kemampuan ginjal untuk mengkompensasi keseimbangan cairan dan
elektrolit yang terbatas dibandingkan bayi cukup bulan. Hal ini diperberat juga
oleh keterbatasan pematangan fungsi ginjal secara bertahap yang merupakan
perubahan yang bersifat akut pada hari-hari awal setelah kelahiran dalam hal
kemampuan neonatus mengekskresikan cairan dan elektrolit. Lebih jauh lagi,
perubahan yang besar pada cairan tubuh total dan keseimbangan elektrolit
yang terjadi pada masa transisi dari janin ke neonatus pada prematur
neonatus (Aggarwal, et.al, 2001),(Murat,2007).
Tujuan dari manajemen cairan dan elektrolit pada neonatus adalah
bukan hanya menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, tetapi untuk
menjaga perubahan yang terjadi tidak mengganggu status cairan dan elektrolit
(Lorenz,2008). Sehingga kepedulian tentang kebutuhan cairan dan
metabolisme elektrolit perioperatif untuk meningkatkan keberhasilan dan
keamanan pembedahan (Newton, et.al, 2010).
1
FAKTOR-FAKTOR KESEIMBANGAN CAIRAN
Fisiologi Cairan Tubuh
Secara umum diketahui bahwa neonatus yang sehat akan kehilangan
rata-rata 5-10 % berat badannya pada minggu pertama kelahiran dan
kehilangan berat badan ini lebih berat pada neonatus prematur (10-20 %). Hai
ini terjadi karena kontraksi kompartemen cairan ekstrasel yang diikuti oleh
diuresis, natriuresis dan penurunan berat badan (Bhatia,2006).
Pada neonatus prematur, baik jumlah total cairan tubuh maupun cairan
ekstraseluler (CES) bertambah seiring dengan berkurangnya umur kehamilan.
Sebagai contor, CES seorang bayi prematur pada usia kehamilan 28-32
minggu adalah 52% dari berat tubuhnya. Saat usia 1 minggu, proporsi CES
berkurang 12%; neonatus ini mengalami pengurangan cairan dalam 1 minggu,
yang jumlah tersebut seharusnya membutuhkan 8 minggu intrauterin
(Snyder,2008),(Murat,2007).
Tabel 1 Komposisi tubuh dan data morfometrik pada anak
Prematur Penuh 1 th 3 th
BW (kg)
BSA (m2)
BSA/BW
Air tubuh total
(% BW)
ECF (% BW)
ICF (% BW)
1.5
0.15
0.1
80
50
30
3
0.2
0.07
78
45
33
10
0.5
0.05
65
25
40
15
0.6
0.04
60
20
40
Singkatan: BSA, body surface area; BW, body weight; ICF, intracellular fluida;
ECF, extracellular fluida (Murat,2007).
Fungsi Ginjal
Perubahan cairan tubuh setelah lahir terjadi terutama melalui
pengaturan cairan dan natrium di ginjal. Pengaturan cairan oleh ginjal
berhubungan dengan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus. Laju filtrasi
glomerulur (LFG) neonatus aterm adalah 25% LFG orang dewasa. LFG
neonatus meningkat dengan cepat selama minggu pertama kehidupan dan
kemudian naik perlahan hingga mencapai kapasitas dewasa pada usia 2
2
tahun (Snyder,2008), (Cote,2004), (Isabelle,2005) (Nair & Balachandran,
2004).
Terlepas dari LFG yang rendah, anak aterm dapat mengatasi masukan
cairan yang besar karena efek positif dari kapasitas konsentrasi rendah ginjal
anak mengimbangi efek negatif LFG yang rendah. Namun, neonatus prematur
memiliki mekanisme kompensasi yang terbatas dan mungkin tidak dapat
mentoleransi masukan cairan yang banyak ataupun hipovolemia tanpa
menimbulkan komplikasi klinis yang berat (Snyder,2008), (Cote,2004),
(Isabelle,2005).
Kapasitas konsentrasi ginjal anak lebih rendah dari dewasa. Untuk
merespon kekurangan cairan, ginjal neonatus aterm dapat meningkatkan
osmolalitas urin hingga maksimal 600-700 mOsm/kg. Sebagai perbandingan,
osmolalitas urin maksimum dewasa adalah 1200 mOsm/kg. Variasi pelepasan
vasopresin atau hormon antidiuretik mengatur osmolalitas Cairan Ekstra sel.
Walaupun neonatus yang mengalami dehidrasi tidak dapat meningkatkan
konsentrasi urin sebaik orang dewasa, namun klirens cairan bebas pada anak
lebih besar daripada orang dewasa. Setelah masukan cairan bebas, anak
dapat mengekskresikan urin terdilusi hingga 50 mOsm/kg; sebaliknya, pada
dewasa, urin terdilusi maksimal adalah 70-100 mOsm/kg (Snyder,2008),
(Cote,2004),(Roberta,2004)
Kondisi klinis yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan basal pada
anak antara lain hipertermia, peningkatan kehilangan cairan melalui evaporasi
pada ventilasi mekanik, dan kehilangan transepitelial pada preterm. Manuver
sederhana untuk mengatasi perubahan keseimbangan cairan ini antara lain
penggantian cairan basal pada anak dengan hipertermia atau anak yang
diletakkan di bawah lampu pemanas bilirubin dan memastikan semua selang
ventilator telah dihumidifikasi (Snyder,2008), (Cote,2004).
Kondisi hidrasi, fungsi ginjal, dan masukan osmolar pasien akan
menentukan jumlah dan konsentrasi urinnya. Masukan osmolar terdiri atas
solusi endogen dan eksogen yang harus difiltrasi ginjal agar homeostasis
tetap terjaga. Volume cairan ginjal haru mencukupi agar ginjal dapat
membersihkan beban osmolarnya karena kapasitas konsentrasi yang terbatas
(Snyder,2008), (Cote,2004).
3
Laju filtrasi glomerulur (LFG)
Neonatus aterm yang sehat dapat mengekskresikan cairan tergantung
pada masukan cairan dan dalam periode waktu yang cepat. Demikian juga
pada Neonatus prematur usia 29-34 minggu kehamilan,mampu mengatur
ekskresi cairannya secara bervariasi antara 96-200 ml/kgBB/hari dari mulai
hari ketiga setelah lahir, dengan meningkatkan pengeluaran cairan tanpa
meningkatkan LFG dan mempertahankan kadar zat yang terlarut tetap
sama. Hal ini menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang sehat mampu
mempertahankan keseimbangan cairan yang adekuat pada variasi
besarnya input pada beberapa hari setelah kelahiran, dengan diberikan
intake cairan minimal untuk mencukupi IWL nya dan kehilangan cairan
lewat pengeluaran urin (Hartnoll,2006),(Newton, et.al, 2010).
(Newton, et.al, 2010).
Fungsi Tubular
Na+-K+-ATP-ase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk tranport
sodium di semua sel eukariotik. Di ginjal, terdapat di dalam sel -sel tubulus.
Dengan mengusir natrium dari sel-sel lumen tubulus, tercipta gradien
elektrokimia yang menggerakkan energi pada Na+/ H + counter transporter
dan Na+ /glukosa serta Na+/ asam amino co-transporter, sehingga
menyediakan sumber energi untuk reabsorbsi tubuler Na+ , glukosa dan
asam-asam amino (Hartnoll,2006).
4
Tabel 2.
Na+-K+-ATP-ase pada saat lahir kadarnya rendah,terutama pada umur
kehamilan dibawah 34 minggu. Setelah lahir, ada peningkatan yang pesat
dari aktivitas Na+-K+-ATP-ase dan peningkatan jumlah unit Na+-K+-ATP-
ase dalam membran basolateral sel tubulus ginjal, disertai dengan
peningkatan jumlah mRNA sel dalam pengkodean Na+-K+-ATP-ase.
Perubahan ini berfungsi untuk meningkatkan kapasitas ginjal dalam
menyerap kembali natrium selama beberapa hari pertama dan minggu
setelah kelahiran (Hartnoll,2006).
Sebelumnya diketahui bahwa neonatus mengalami diuresis setelah
lahir yang ditandai dengan natriuresis,dan merupakan bagian dari
kontraksi fisiologis yang normal dari volume cairan ekstraseluler. Hal ini
dianggap normal jika neonatus memiliki keseimbangan natrium awal yang
negatif, tetapi kemudian yang penting adalah mempertahankan natrium
untuk pertumbuhan. Ketidakmatangan fungsi tubular pada neonatus
prematur yang memiliki kemampuan terbatas untuk mengekskresikan
natrium,serta tidak mampu mempertahankan natrium seperti pada
neonatus aterm (Hartnoll,2006) (Murat,2007).
Meskipun terjadi pematangan dengan cepat pada mekanisme
homeostasis natrium, sistem rennin-angiotensin-aldosteron pada neonatus
prematur tidak dapat dihambat secara maksimal, sehingga ada resiko
kelebihan natrium pada pemberian natrium yang terlalu berlebihan, dengan
resiko adaptasi setelah lahir yang terlambat (Hartnoll,2006) (Murat,2007).
Adaptasi Pasca Kelahiran
Sejumlah proses akan dialami neonatus sebagai bagian dari adaptasi
pasca kelahiran. Hal yang relevan untuk keseimbangan cairan adalah
kontraksi dari volume cairan ekstrasel. Semua neonatus akan mengalami
kontraksi volume cairan ekstrasel setelah lahir, yang
ditandai dengan diuresis yang diikuti natriuresis (Hartnoll,2006).
Peningkatan fungsi pernafasan sejalan dengan diuresis ini. Karena
ketidakmampuan neonatus prematur dalam mengeluarkan beban natrium
yang memadai, maka pemberian natrium pada neonatus lahir kurang dari usia
kehamilan 32 minggu harus dibatasi seminimal mungkin sampai setelah
5
diuresis terjadi. Sayangnya, pemberian diuretik tidak membantu proses ini
dan, meskipun mengakibatkan urin output urin meningkat, namun tidak
merubah keadaan (Hartnoll,2006)(Bhatia,2006).
Sindrom gangguan pernapasan (RDS)
Efek utama dari RDS pada keseimbangan cairan pada neonatus
prematur adalah tertundanya kontraksi pascakelahiran dari volume cairan
ekstrasel, yang dimanifestasikan dengan tertundanya diuresis. Diuresis ini
merupakan konsekuensi dari kontraksi volume cairan ekstrasel postnatal
yang normal dan mulai oleh keadaan natriuresis (Hartnoll,2006).
Dengan adanya keterbatasan dari neonatus untuk mengeluarkan
natrium, maka diperlukan pembatasan input natrium untuk neonatus dengan
RDS sampai setelah terjadi kontraksi volume cairan ekstrasel. Hal ini buktikan
oleh dua studi yang menunjukkan peningkatan ketergantungan oksigen pada
neonatus yang telah berikan natrium yang dimulai dari hari kedua kelahiran
dibandingkan dengan neonatus yang dilakukan penundaan pemberian natrium
(Hartnoll,2006),(Bhatia, 2006).
Transepidermal Water Loss (TEWL)
TEWL merupakan faktor penting terkait kebutuhan cairan pada
neonatus prematur dikarenakan proporsi yang tidak seimbang pada luas
permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badannya,serta struktur kulit
yang belum matang. Sehingga terjadi penguapan yang berlebihan melalui kulit
dan saluran pernapasan yang belum matang (Hartnoll,2006),(Bhatia, 2006).
Hilangnya cairan terbesar terjadi pada hari pertama setelah lahir,
dengan penurunan secara eksponensial permeabilitas transepidermal selama
beberapa hari pertama. TEWL yang terbesar pada sebagian besar bayi
prematur dan 15 kali lebih tinggi pada neonatus pada usia kehamilan 25
minggu dibandingkan dengan neonatus normal (Hartnoll,2006).
6
Meskipun TEWL berkurang cepat dengan berjalannya waktu, TEWL
pada neonatus prematur masih lebih besar secara signifikan daripada
neonatus normal sampai dengan 4 minggu setelah lahir. TEWL dapat
dikurangi secara substansial dengan merawat bayi pada kelembaban yang
maksimum. Hal ini dicapai dengan menggunakan inkubator tertutup, atau
penyekat udara dapat digunakan dibawah pancaran penghangat. Pada
kelembaban 20%, bayi yang sangat prematur akan kehilangan sekitar 200 g /
kg / hari atau 20% dari berat lahir di 24 jam pertama kelahiran. Hal ini dapat
dikurangi sampai 50 hari g / kg / atau 5% dari berat badan lahir jika dirawat
pada kelembaban 80% (Hartnoll,2006).
Metode lain untuk mengurangi TEWL adalah melembabkan gas
terinspirasi secara rutin, sehingga mengurangi kehilangan cairan dari saluran
pernapasan, dan perawatan kulit yang baik, kulit yang rusak akan kehilangan
lebih banyak air dari kulit utuh. Agen topikal telah terbukti efektif dalam
mengurangi TEWL dan mungkin memiliki peran dalam kasus yang sulit. Untuk
neonatus lebih tua dan stabil, pakaian akan mengurangi TEWL. Sehingga
ketika neonatus cukup stabil dengan diberikan pakaian, maka keseimbangan
cairan biasanya tidak menjadi masalah (Hartnoll,2006).
7
Tabel 3.
Faktor lain
Kebanyakan neonatus prematur sekarang ini telah menerima pemberian
steroid sebelum lahir. Tujuan pemberian ini adalah untuk pematangan ginjal
dan fungsi kulit, sehingga membuat manajeman cairan dan natrium menjadi
lebih mudah, serta untuk pematangan fungsi paru lebih cepat. Ini berarti
bahwa untuk neonatus yang belum menerima steroid antenatal, mungkin
diperlukan pembatasan cairan dan natrium lebih lama (Hartnoll,2006).
MONITORING KESEIMBANGAN CAIRAN
1. Berat badan
Parameter yang paling mungkin berguna untuk pemantauan
keseimbangan cairan adalah berat neonatus. Perubahan berat badan yang
cepat akan mencerminkan perubahan dalam keseimbangan cairan, dengan
asumsi penimbangan yang akurat dan setiap penambahan atau
pengurangan,seperti infus juga telah diperhitungkan. Dalam beberapa hari
pertama setelah melahirkan, minimum satu kali ditimbang setiap hari, atau
dua kali sehari untuk neonatus yang mengalami masalah dengan
keseimbangan cairan (Hartnoll,2006).
pengukuran berat serial bisa digunakan sebagai panduan untuk
memperkirakan defisit cairan pada neonatus. Neonatus normal kehilangan 1-
2% dari berat lahir dengan kumulatif kehilangan 5-10% pada minggu pertama
kehidupan. Neonatus prematur kehilangan 2-3% dari berat lahir dengan
kumulatif kehilangan 15-20% pada minggu pertama kehidupan. Tidak
turunnya berat badan pada minggu pertama kehidupan harus menjadi
8
Tabel 4.
indikator untuk restriksi cairan. Namun kehilangan berat badan berlebihan
pada 7 hari pertama atau lebih adalah bukan hal yang fisiologis dan
memerlukan koreksi dengan terapi cairan (Aggarwal, et.al, 2001).
2. Pemeriksaan Klinis
Berat ringannya dehidrasi merupakan parameter pemantauan cairan
pada neonatus dan anak-anak yang diperkirakan dari riwayat dan evaluasi
klinis (Tabel 5.) (Black,2004), (Nair & Balachandran, 2004).
Empat hal pemeriksaan yang penting untuk konfirmasi jenis dari
dehidrasi meliputi (Nair & Balachandran, 2004):
1. Osmolaritas serum dan kadar natrium dalam serum
2. Status asam-basa, pH serum dan defisit basa
3. Kadar Kalium serum dibandingkan dengan pH nya
4. Urin output (mendeteksi nekrosis tubuler akut)
3. Serum biokimia
Dalam beberapa hari pertama setelah melahirkan,natrium serum juga
merupakan indikator yang berguna untuk status hidrasi. Peningkatan natrium
menunjukkan keadaan dehidrasi dan natrium yang menurun menunjukkan
hidrasi yang berlebihan. Dengan demikian, semua bayi harus memiliki
estimasi natrium serum pada saat masuk ke unit perawatan intensif sebagai
9
Table 5. Assessment of dehydration severity in neonates and infants.
kadar natrium dasar, sehingga ketika diulang beberapa jam kemudian, dapat
untuk menafsirkannya naik turunnya kadar natrium. Untuk neonatus yang
sangat prematur, direkomendasikan pengukuran serum natrium setidaknya
tiga kali sehari sampai keadaan stabil (Hartnoll,2006).
Serum natrium dan plasma osmolaritas akan membantu dalam
penilaian status hidrasi neonatus. Kadar natrium dalam serum harus
dipertahankan antara 135-145 meq / L. Hiponatremia dengan penurunan berat
badan menunjukkan deplesi natrium dan memerlukan pengganti natrium.
Hiponatremia dengan penambahan berat badan menunjukkan kelebihan
cairan dan memerlukan pembatasan cairan. Hipernatremia dengan penurunan
berat badan menunjukkan dehidrasi dan membutuhkan cairan koreksi lebih
dari 48 jam. Hipernatremia dengan penambahan berat badan menunjukkan
kelebihan natrium dan cairan sehingga perlu pembatasan natrium dan cairan
(Aggarwal, et.al, 2001).
4. Serum Darah Urea Nitrogen (BUN), kreatinin:
Kadar Ureum dan kreatinin serum biasanya tidak sangat berguna
dalam pemantauan keseimbangan cairan. Namun, nilai kreatinin berguna
untuk memantau fungsi ginjal selama beberapa waktu (1-2 minggu). Kreatinin
cenderung meningkat selama 2-3 hari pertama setelah melahirkan, tetapi
kemudian secara bertahap akan kembali ke nilai normal pada akhir minggu
pertama (Hartnoll,2006).
Penurunan eksponensial dalam kadar kreatinin serum pada minggu
pertama kehidupan sebagai akibat diekskresikannya kreatinin yang berasal
dari ibu. Tidak terjadinya penurunan normal secara serial pemeriksaan serum
merupakan indikator yang baik dari terjadinya gagal ginjal. (Aggarwal, et.al,
2001).
5. Urin Output, Specific Gravity (SG) dan Osmolaritas
Urin output harus dipantau pada semua neonatus, pemasangan kateter
dapat dilakukan pada neonatus yang lebih besar, yang sakit berat. Untuk
neonatus yang lebih kecil, urin output dapat dimonitor menggunakan kantong
urin atau dengan pampers. Urin output harus dievaluasi 6-8 jam, dengan
10
tujuan menilai minimum urin output sebesar 0,5 ml / kg / jam, tetapi sebaiknya
mendekati 1,0 ml / kg / jam (Hartnoll,2006).
Kapasitas ginjal neonatus dalam mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin sangat terbatas. Pengukuran spesifik gravitasi (SG) akan
berguna untuk memandu terapi cairan. Kisaran urin output yang diterima
adalah 1-3 ml / kg / jam, spesifik gravitasi antara 1,005-1,012 dan osmolaritas
antara 100-400 mOsm / L. (Aggarwal, et.al, 2001).
6. Gas Darah:
Gas darah tidak diperlukan secara rutin untuk manajeman cairan.
Namun, berguna dalam penilaian asam basa pada pasien dengan perfusi
jaringan yang buruk dan syok. (Aggarwal, et.al, 2001).
7. Fraksi Ekskresi Natrium (FeNa)
Fraksi ekskresi Natrium (FeNa) adalah indikator dari fungsi tubulus
yang normal, sehingga penggunaannya tidak cocok pada neonatus
premature, oleh karena karena perkembangan tubulus ginjal yang belum
sempurna (Aggarwal, et.al, 2001).
MANAJEMEN CAIRAN PERIOPERATIF
Manajemen cairan Perioperatif dibagi menjadi 3 macam :
1) Terapi defisit,
2) Terapi rumatan, dan
3) Terapi pengganti
(Snyder,2008),(Cote,2004),(Morgan,2006), (Roberta,2004).
1. Terapi Defisit
Terapi defisit adalah manajemen kehilangan cairan dan elektrolit
yang dilakukan sebelum tampak manifestasi klinis pada pasien. Terapi
defisit memiliki 3 komponen : 1) perkiraan beratnya dehidrasi, 2) penentuan
tipe defisit cairan, dan 3) perbaikan defisit tersebut (Snyder,2008)
11
Perkiraan Derajat Dehidrasi
Derajad dehidrasi diperkirakan melalui anamnesa dan kondisi fisik pasien.
Pada anak dengan dehidrasi ringan (misal, kehilangan 1-5% cairan tubuh),
dengan riwayat penyakitnya misal, muntah, diare, hasil pemeriksaan fisik
tidak tampak banyak perubahan dari normal. Anak dengan dehidrasi
sedang (kehilangan 6-10%) memiliki riwayat kehilangan cairan dan temuan
pada pemeriksaan fisik yang meliputi turgor kulit menurun, turun berat
badan, mata cowong dan ubun-ubun cekung, agak letargis, dan membran
mukosa kering (Snyder,2008),(Cote,2004).
Kebanyakan pasien dengan dehidrasi berat (kehilangan 11-15%) memiliki
instabilitas kardiovaskuler (misal, akral dingin, takikardia, hipotensi) dan
keterlibatan gangguan neurologis (misal; iritabilitas, koma) (Snyder,2008),
(Cote,2004).
Penentuan Tipe Defisit
Tipe defisit cairan dapat diperkirakan melalui riwayat pasien, pemeriksaan
fisik, hasil pemeriksaan elektrolit, dan tonisitas serum (Snyder,2008),
(Roberta,2004).
Tipe-tipe dehidrasi meliputi :
o isotonis (osmolalitas serum 270-300 mOsm/L, konsentrasi Na+ serum
130-150 mEq/L),
o hipotonis (osmolalitas serum <270 mOsm/L, konsentrasi Na+ serum
<130 mEq/L),
o hipertonis (osmolalitas serum >310 mOsm/L, konsentrasi Na+ serum
>150 mEq/L). Pasien-pasien dengan dehidrasi hipertonis membutuhkan
perhatian khusus karena dapat terjadi komplikasi seperti edema
serebri.
12
Perbaikan Defisit
Mengembalikan fungsi kardiovaskuler, SSP, dan perfusi ginjal merupakan
sasaran utama dalam perbaikan defisit cairan. Dimulai dengan terapi
cairan volume expander yang isotonis. Perbaikan total defisit cairan
mungkin membutuhkan waktu agak lama. Misalnya, kehilangan natrium
tidak dapat diperbaiki dalam waktu singkat. Setelah neonatus memproduksi
urin, tambahkan sejumlah kecil natrium (<40 mEq/L) ke dalam cairan.
Monitor terus kecukupan terapi defisit dengan cara memeriksa kondisi klinis
pasien, jumlah urin, dan urine specific gravity (Snyder,2008),
(Roberta,2004).
Pada neonatus dengan kekurangan cairan, penting untuk segera diberikan
pengganti CES dan bukan pemberian terapi defisif klasik, seperti yang telah
diterangkan di atas. Sebagai contoh, setelah luka bakar berat, pasien
membaik dan mortalitas menurun bila diberikan pengganti CES cepat.
Jumlah total cairan yang diberikan pada 6-12 jam pertama diperkirakan
sekitar 100 mL/kg cairan tipe CES, seperti normal saline atau solusi RL
(Snyder,2008),(Murat,2007).
Dalam penjelasannya mengenai terapi rehidrasi, Friedman (2005)
menyatakan bahwa neonatus dengan dehidrasi sedang yang tidak dapat
mentoleransi rehidrasi oral, harus segera dipulihkan dengan memberikan
solusi RL dengan dosis 40 mL/kg dalam 1-2 jam, rehidrasi oral harus
segera dimulai setelah infus (IV) dipasang. Pada pasien-pasien dengan
dehidrasi berat, CES harus segera diganti dengan memberikan solusi RL
secara intravena, NaCl 0,9% (misal solusi NaCl isotonis, normal saline),
atau keduanya dengan dosis 40 mL/kg dalam 1-2 jam. Jika turgor kulit,
kesadaran, atau laju nadi tidak menjadi normal pada akhir infus, maka
dibutuhkan tambahan 20-40 mL/kg dalam 1-2 jam (Snyder,2008),
(Murat,2007).
Sebagai tambahan, bahwa neonatus mempunyai cadangan glikogen yang
rendah dan glukoneogenesis yang belum sempurna. Neonatus prematur
berumur kurang dari 2 hari cenderung hipoglikemia, khususnya bila sudah
13
mendapat nutrisi parenteral. Untuk kondisi seperti ini biasanya dilakukan
pemasangan infus 2 jalur, yang pertama untuk pemberian glukosa dan
yang kedua untuk pengganti cairan. Monitor gula darah perlu dilakukan
untuk mencegah hiperglikemia dan terjadinya kerusakan otak dan
perdarahan intraventrikuler (Murat ,2007).
2. Terapi Rumatan
Tujuan terapi rumatan adalah untuk mengganti kehilangan cairan dan
elektrolit pada kondisi biasa (Snyder,2008). Cairan rumatan diperlukan
untuk menggantikan kehilangan cairan dari kulit, traktus respiratorius dan
gastrointestinal dan urine. Kehilangan cairan utama adalah cairan
ekstraselular yang terdiri dari cairan transelular, cairan intersisial dan
plasma.
Perhitungan cairan berikut ini dapat dipakai untuk memperkirakan
kebutuhan cairan selama operasi.
Perhitungan cairan selama operasi per kg/bb adalah :
10 kg l, 4 cc/kg/jam,
10 kg ll 2 cc/kg/jam, dan
10 kg berikutnya 1 cc/kg/jam.
Terapi rumatan mengganti kehilangan cairan melalui 2 proses hilang
cairan dari tubuh: 1) Evaporatif (misal insensible water loss) dan 2)
kehilangan melalui ekskresi urin. Kehilangan evaporatif terdiri dari
kehilangan cairan bebas solusi melalui kulit dan paru-paru.
Kehilangan cairan insensible pada kondisi normal, diperkirakan sekitar
30-35% dari volume total rumatan, dan cairan yang terbebas ini adalah
sekitar sepertiga kebutuhan total cairan rumatan. Kehilangan cairan
insensible ini dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur. Pasien-pasien
yang menggunakan udara yang dilembabkan (humidified air) memiliki
kehilangan cairan insensible yang lebih rendah daripada pasien yang
menggunakan udara biasa. Pasien-pasien hipertermia atau takipneu
mengalami kehilangan insensible yang lebih besar (Snyder,2008),
(Roberta,2004), Alderson & Bunn, 2004).
14
Pada kondisi euvolemik, kehilangan cairan urin adalah 280-300
mOsm/kg, dengan gravitasi spesifik 1,008-1,015. Pada beberapa keadaan
(misal diabetes insipidus, prematuritas), produksi urin terdilusi harus ada,
dan volume cairan rumatan harus disesuaikan dengan peningkatan
kehilangan cairan ini. Pada keadaan lain (misal, sekresi ADH berlebih,
stress fisiologis), pasien mungkin tidak dapat mengurangi osmolaritas urin
menjadi 300 mOsm/kg, sehingga volume cairan rumatan harus dikurangi.
Pada kondisi euvolemik, kehilangan cairan melalui urin adalah sejumlah
sepertiga dari cairan rumatan (Snyder,2008), (Roberta,2004), Alderson &
Bunn, 2004).
Petunjuk terapi cairan rumatan untuk neoatus aterm adalah sebagai
berikut (Snyder,2008), (Roberta,2004), Alderson & Bunn, 2004).
Hari 1 – D10W diinfus dengan kecepatan 50-60 mL/kg/hr
Hari 2 – D10W dengan NaCl 0,2% dengan kecepatan 100 mL/kg/hr
>hari 7 – D5W dengan NaCl 0,45% atau D10W dengan NaCl 0,45%
100-150 mL/kg/hari
Sedangkan kebutuhan cairan berdasarkan berat badan lahir Neonatus
seperti pada tabel 6.
3. Terapi Pengganti
Pada periode perioperatif, pemberian cairan rumatan seringkali tidak
mencukupi akibat kehilangan cairan ke ruang ketiga, yaitu ke dalam
interstitium dan rongga perut. Terapi pengganti cairan dibuat untuk
15
Tabel 6.
menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit yang abnormal. Peningkatan
volume cairan rumatan untuk mengkompensasi kehilangan ini bisa sangat
berbahaya, karena pengganti kehilangan ini seringkali berbeda dengan
komposisi cairan rumatan (Snyder,2008).
Trauma pada tubuh menyebabkan hilangnya kehilangan cairan
intersisial, perubahan traumatik pada dinding kapiler menyebabkan
kehilangan cairan ke ruang ketiga. Kehilangan cairan dapat diganti dengan
RL/normal saline (Snyder,2008),(Cote,2004), (Roberta,2004).
Sebagai alternatif, dapat dilakukan penghitungan kadar kehilangan
elektrolit dan menggantinya dengan cara miliekuivalen untuk miliekuivalen
atau mililiter untuk mililiter pada kondisi tertentu. Untuk pasien yang
mengalami stress fisiologis tinggi atau pasien bedah ekstensif, hitunglah
kehilangan cairan ke ruang ketiga (interstitium) dan sesuaikan jumlah terapi
cairan pengganti (Snyder,2008), Friedman,2005).
(Nair & Balachandran, 2004)
Kontrol terhadap kehilangan cairan dilakukan melalui aktivasi reseptor
di atrium, arcus aorta, sinus caroticus dan makula densa, dan osmoreseptor
hipotalamus. Pada kasus kehilangan cairan secara akut respon awal
adalah pengeluaran katekolamin dan ADH yang menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan takikardi dan refil transkapiler pada pada ruang
plasma dengan cairan intersisial. Jika terjadi penurunan turgor kulit, ini
menunjukkan penurunan cairan intersisial. Dapat digunakan sebagai
16
Table 7.
gantinya bolus 25 ml/kg bolus RL/NS (Snyder,2008 (Roberta,2004),
(Murat,2007).
Untuk mekanisme kompensasi kehilangan Na dan air dicapai dengan
aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron. Jika cairan ekstraselular
dalam rentang normal mekanisme ini akan menjaga osmolaritas dalam
rentang normal yaitu 280-290mOsm/L. Mekanisme ini kurang efesien pada
neonatus karena terjadi kehilangan Na secara obligat yang disebabkan
imaturitas tubulus distalis (Snyder,2008), , (Roberta,2004).
Pada saat terjadi kehilangan Na yang tidak disadari dan masukan Na
yang inadekuat, terjadi dominasi baroreseptor dibanding sistem
angiotensin-ADH yang teraktifasi. Terjadi peningkatan reaborpsi air yang
akan mengencerkan cairan ekstravascular, dapat terjadi hiponatremia
delusional (Snyder,2008), (Roberta,2004).
Tanda awal hiponatremia meliputi letargik, nausea dan vomitus. Jika
kadar Na dibawah 120 mEq/l terjadi iritabilitas saraf pusat, yang dapat
berakibat kejang. Hiponatremia simptomatik adalah kasus gawat darurat
dan memerlukan penanganan segera. Penanganan cepat dapat dengan
memberikan NS 3%. Pada anak harus diberikan bolus 5 ml/kg setelah 5-10
menit. Na bikarbonat adalah saline 6% dapat pula digunakan dengan dosis
2,5 ml/kg. Evaluasi segera tanda dan gejala. Jika perbaikan yang cepat
tidak terjadi dalam 5-10 menit pada harus diulang kembali pemberian bolus
dan periksa kembali kadar Na serum. Jika rendah (120-130mEq) dan
pasien asimtomatik koreksi dapat dilakukan secara lambat dengan
memberikan full strength saline (Roberta,2004), (Alderson &Bunn,2004)
Cairan postoperatif diberikan sebagai cairan pengganti muntah,
perdarahan yang tidak diketahui dan perpindahan cairan ke rongga ke-3.
Infus rutin glukose sangat penting terutama pada anak malnurisi, prematur
atau hiperalimentasi.
Tabel 8 menggambarkan rencana terapi rumatan perioperatif secara
umum (Snyder,2008).
17
Tabel 8. Petunjuk untuk Terapi Awal Postoperatif dan Terapi Rumatan
(Snyder,2008), (Cote,2004),
Age (mo) <12 h After Surgery Maintenance Fluids
<6
D10W with 0.45% NaCl at
1.5 times the
maintenance rate
D10W with 0.2% NaCl
plus KCl 10-20 mEq/L
at maintenance rate
>6
D5W with RL solution at
1.5 times the
maintenance rate
D10W with 0.45% NaCl
Plus KCl 10-20 mEq/L
at maintenance rate
Note: D10W = 10% dextrose dalam air, D5W = 5% dextrose dalam air.
Pilihan Cairan Koloid Dibandingkan Cairan Kristaloid
Baik cairan koloid maupun kristaloid banyak digunakan untuk resusitasi
cairan pada anak yang sakit berat. Beberapa pilihan cairan koloid yang
tersedia adalah albumin, hidroksietil starch (Hetastarch), dan dekstran.
Perdebatan efektivitas cairan koloid dibandingkan kristaloid (misal RL
dibandingkan NaCl0,9%) terus berlanjut. Dalam review Cochrane terbaru,
para peneliti melakukan beberapa percobaan randomized dan
quasirandomized untuk membandingkan penggunaan koloid dan kristaloid
pada pasien-pasien yang membutuhkan pengganti cairan. Namun,
percobaan pada neonatus dieksklusi. Tidak terdapat bukti yang mendukung
penggunaan kristaloid pada pasien trauma atau luka bakar atau bedah
dapat mengurangi angka mortalitas.
Karena koloid tidak terbukti memberikan angka survival yang lebih
tinggi namun lebih mahal daripada kristaloid, maka penggunaan koloid
pada pasien gawat mungkin tidak bisa dibenarkan, kecuali pada pasien
penelitian (Snyder,2008, Friedman,2005).
Penggantian Kehilangan Darah
Penggantian volume darah tergantung KU pasien, Maximal Available
Blood Loose (MABL) dan jenis operasi. Untuk memperkirakan jumlah
18
perdarahan dipakai beberapa perhitungan sebagai berikut :(Snyder,2008),
(Cote,2004), (Roberta,2004), (Murat,2007).
Estimated Blood Loss EBV = 90ml/kg (neonates), 80 cc/kg (<1tahun),
70ml/kg (>1th).
Estimated red cell mass ERCM= EBVxHmt/100
Acceptable Red Cell Loss ARCL = ERCM-ERCM 30
Acceptable Blood Loss ABL = ARCL X 3
Jika kehilangan darah < dari 1/3 ABL diberikan RL. Jika kehilangan
darah >1/3 ABL dapat diganti koloid/albumin 5%. Jika kehilangan darah >
ABL diganti dengan PRC dan beberapa koloid. Perhitungan diatas
didasarkan perhitungan Hmt 30% tanpa peningkatan resiko yang signifikan
pada pasien. Jika pasien mendapat resusitasi cairan karena kehilangan
darah yang banyak penggantian cairan yang hilang harus diganti dengan
darah. Pasien masih memiliki fungsi kardiovasa dan respirasi yang adekuat
dengan kadar Hmt 25%. Banyak neonatologist yang menyatakan bahwa
kadar Hmt <40% merupakan anemia, perlu dikoreksi. Faktor determinan
lain perlunya tranfusi darah adalah jenis operasi. ABL adalah jumlah darah
yang boleh hilang yang dapat menyebabkan nilai Hmt 25-30% atau reduksi
bolume darah 20-25%. ABL harus terlebih dahulu dijelaskan pada operator
sebelumnya sehingga dapat menjalin persetujuan cara terbaik penggantian
cairan dan terapi transfusi (Roberta,2004).
Penghangat Darah
Suatu penghangat cairan atau penghangat darah merupakan hal yang
penting untuk pasien-pasien yang kemungkinan membutuhkan koreksi
cepat volume intravaskuler. Penggunaan alat-alat tersebut tadi untuk
maintenance terapi cairan IV tidak menyediakan keuntungan karena
kecepatan infus begitu lambat sehingga cairan IV kembali ke suhu ruangan
antara waktu dimana cairan/darah ini keluar dari penghangat dan
memasuki pasien. Peralatan penghangat terbaru yang menggunakan
penghangat cuntercurrant atau penghangat gelombang mikro lebih unggul
dibandingkan dengan peralatan penghangat air yang lebih tua. Aliran pasif
19
kapasitas rendah melalui suatu alat seperti hotline sangat berguna, tetapi
perlatan ini dapat menyebabkan emboli udara. Sistem aliran aktif kapasitas
tinggi mampu menghantarkan sejumlah besar volume darah atau kristaloid
dalam periode yang singkat. Alat terbaru dapat menghantarkan sampai
1500 mL/menit. Secara umum kateter yang besar dan pendek merupakan
yang paling efisien (Cote,2004).
PROBLEM CAIRAN POST OPERATIF
Asupan cairan per oral biasanya dilakukan dalam tiga jam pertama
postoperasi pada sebagian besar pasien pediatrik. Asupan cairan per oral
lebih awal diperlukan di sebagian besar institusi, sebelum memulangkan
pasien dari rumah sakit. Pandangan ini sekarang diragukan karena dilaporkan
bahwa dengan tidak memberikan cairan per oral postoperasi pada anak-anak
yang mendapat tindakan bedah akan menurunkan kejadian muntah
(Murat,2007).
Jika asupan oral ditunda (misalnya setelah operasi pembedahan
abdomen), terapi cairan seharusnya dilakukan biasanya melalui vena perifer
jika durasi infus intravena diperkirakan tidak lebih dari lima hari atau pada
vena sentral jika diperlukan pemberian nutrisi parenteral jangka panjang.
Terapi cairan seharusnya memenuhi kebutuhan metabolik dasar dan dapat
mengkompensasi kehilangan pada gastrointestinal (misalnya akibat gastric
suctioning) dan kehilangan tambahan lainnya (misalnya karena demam).
Kebutuhan metabolisme basal biasanya dapat dipenuhi dengan cairan
hipotonis, seperti telah didiskusikan di atas, tetapi kehilangan lainnya harus
digantikan dengan larutan garam seimbang. Pengetahuan mengenai kuantitas
kehilangan pada gastrointestinal seringkali ditaksir terlalu rendah,
menjelaskan tingginya kejadian hiponatremia dilusional (karena pengenceran)
pada periode postoperasi akibat defisit relatif dalam asupan natrium dan/atau
dari sekresi ADH postoperasi (Murat,2007)
Hiponatremia postoperatif merupakan gangguan elektrolit tersering
pada periode postoperatif. Hiponatremia berat (<120-125 mmol/L) dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan otak sementara atau permanen. Sebagian
besar hiponatremia postoperatif yang teramati pada ASA 1 anak-anak adalah
20
akibat pemberian cairan hipotonis saat kapasitas sekresi air bebas terganggu .
Penyebab lain hiponatremia meliputi insufisiensi pituitari atau adrenal, cedera
otak atau tumor otak terkait dengan kehilangan garam dan sekresi yang tidak
tepat dari ADH. ADH plasma sering meningkat pada periode postoperasi
akibat hipovolemia, stres, nyeri atau traksi pada dura mater. Kombinasi
sekresi ADH dan infus cairan hipotonis akan menghasilkan suatu kondisi
hiponatremia dilusional (akibat pengenceran). Hiponatremia berat akan
mendorong terjadinya edema serebral, yang meliputi tanda klinis seperti
penurunan tingkat kesadaran, disorientasi, muntah dan pada kasus yang berat
terjadi aktivitas kejang. Hiponatremia simptomatik akut merupakan suatu
kondisi kegawatdaruratan medis yang memerlukan suatu terapi cepat. NaCl
hipertonis harus diberikan untuk meningkatkan kadar natrium plasma sampai
125 mmol/L, karena di atas nilai tersebut resiko terjadinya kejang akan
menurun. Restriksi air dapat dilakukan pada pasien dengan volume vascular
normal atau tinggi. Hiponatremia postoperatif harus dicegah dengan
menghindari pemberian larutan hipotonis selama tindakan bedah dan pada
periode awal postoperatif (Murat,2007).
KESIMPULAN
1. Manajemen cairan perioperatif pada neonatus prematur memerlukan
pemahaman fisiologi cairan pada neonatus.
2. Manajemen cairan perioperatif pada neonatus prematur memerlukan
ketepatan dalam waktu pemberian, jenis cairan dan keadaan
keseimbangan cairan pada neonatus prematur.
3. Monitoring status kecukupan cairan perioperatif pada neonatus prematur
hampir sama dengan anak-anak yang lebih tua, tetapi harus tetap
mempertimbangkan perubahan fisiologis cairan dari neonatus prematur
DAFTAR PUSTAKA
21
Snyder,CL.,2008, Fluid Management for Pediatric Surgery, e-medicine,
University of Missouri, Kansas City.
Cote,CJ., 2004, Anaesthesia for Pediatric Surgery; in Miller's Anesthesia 5th
ed.
Roberta,HL, 2004, Pediatric Anesthesia; The requisites in Anesthesiology 1st
ed, Elsevier,Mosby.
Murat,I,2007, Perioperative Fluid Therapy in Pediatric in Perioperative Fluid
Therapy, Informa health care USA inc
Friedman,AL,2005, Pediatric Hydration Therapy: Historical Review and a New
Approach, Kidney Int ;67(1);380-8
Anderson,P & Bunn F, 2004, Colloids versus crystalloids for Fluid Resucitation
in Critically ill Patients, Cochrane Database Syst;(4);CD000567
Bhatia,J,2006, Fluid and Electrolyte Management in The Very Low Birth
Weight Neonate, Journal of Perinatology;S19-S21, Nature
Publishing Group, Medical College of Georgia.
Nair,SG & Balachandran, R, 2004, Perioperative Fluid and Electrolyte
Management in Paediatric Patients, Indian J. Anaesth;48(5);355-
364
Black,AE & Ewan,Mc,2004, Pediatric and Neonatal Anaesthesia ;Anaesthesia
in a Nutshell, Butterworth, Heinemann London
Lorenz, JM, 2008, Fluid and Electrolyte Therapy in the Very Low-birthweight
Neonate, the American Academy of Pediatrics. All rights reserved.
Hartnoll, G, 2006, The Physiology of Fluid Management in Preterm Infants,
Elsevier,Ltd.
Aggarwal,R, Deorari,AK, Paul,VK, 2001, Fluid and Electrolyte Management in
Term and Preterm Neonates, Indian J Pediatric; 68 (12): 1139-1142
Newton,MW,Banieghbal,B, Lakhoo,K,2010, Fluids and Electrolyte Therapy in
the Paediatric Surgical Patient;in Paediatric Surgery: A
Comprehensive Text For Africa [Chapter 05], Global-Help,Org.
22