Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan Lalu...
Transcript of Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan Lalu...
i
Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan Lalu lintas
Bagi Warga Jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur
Oleh:
IVONNY HERE
712012020
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan Lalu lintas Bagi Warga
Jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur
oleh:
IVONNY HERE
712012020
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph. D Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
iii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ivonny Here
NIM : 712012020 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan
Lalu lintas Bagi Warga Jemaat GMIT Getsemani Tarus
Timur
Pembimbing : 1. Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di
institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan,
rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan
pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah
diketahui dan disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah
dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini,
serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya
Wacana.
Salatiga, 31 Januari 2017
Ivonny Here
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ivonny Here
NIM : 712012020 Email: [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi
Judul tugas akhir : Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan
Lalu lintas Bagi Warga Jemaat GMIT Getsemani Tarus
Timur
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas –
Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan
pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir
elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 31 Januari 2017
Ivonny Here
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang
menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil
karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan
tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
v
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ivonny Here
NIM : 712012020
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas
karya ilmiah saya berjudul:
Makna Tugu Mini Tanda Kematian Korban Kecelakaan Lalu lintas Bagi
Warga Jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal: 31 Januari 2017
Yang menyatakan,
Ivonny Here
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph. D Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis.
Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tuntunan dan penyertaanNya
yang tidak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani masa
pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan Tugas
Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini
disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu masyarakat Kota Kupang,
warga Gereja dan warga jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur secara khusus
yang mana menjadi tempat penelitian penulis, untuk lebih memahami dan
memperlakukan tugu kecelakaan ini sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman bahwa kebiasaan ini sebagai salah satu bentuk penyembahan
berhala. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari
guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam
memperlakukan dan memahami keberadaan tugu mini ini. Dalam seluruh
rangkaian tulisan ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan
sehingga diperlukan kritik dan saran agar tulisan ini juga dapat terus
dikembangkan menjadi lebih baik.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ........................................ iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI .................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................ ix
MOTTO ................................................................................................. xii
ABSTRAK ............................................................................................. xiii
1. Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
2. Kematian Manusia dan Simbol ...................................................... 6
2.1 Sikap Manusia Berhadapan dengan Kematian ....................... 6
2.2 Tugu Sebagai Simbol ................................................................. 11
3. Tugu dan Pelestarian Tradisi .......................................................... 15
3.1 Gambaran Tempat Penelitian .................................................. 15
3.2 Latar Belakang Pembangunan Tugu Mini ............................. 16
3.3 Kebiasaan di Sekitar Tugu Mini .............................................. 19
3.4 Tujuan Pembangunan Tugu Mini............................................ 22
4. Makna Keberadaan Tugu Bagi Warga Jemaat GMIT Getsemani Tarus
Timur ..................................................................................................... 25
viii
4.1 Ada Kehidupan Setelah Kematian............................................ 26
4.2 Reaksi Spontan atas Kematian Secara Mendadak.................. 27
4.3 Makna Tugu Bagi Keluarga...................................................... 28
4.4 Makna Tugu Bagi Teman-Teman............................................ 29
4.5 Makna Tugu Bagi Masyarakat Umum.................................... 30
4.6 Makna Pemberian Makanan di Tugu...................................... 30
4.7 Makna Tugu Bagi Gereja.......................................................... 31
5. Kesimpulan ....................................................................................... 31
Daftar Pustaka ...................................................................................... 33
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan
bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasihNya selalu menolong penulis
dalam menjalani studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana.
2. Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo yang
telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan Tugas
Akhir ini. Terima kasih atas waktu, motivasi, saran dan kritik yang
diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada perilaku yang kurang
berkenan selama masa bimbingan.
3. Pdt. Mariska Lauterboom-Tiwa dan Pdt. Agus Supratikno selaku dosen
wali penulis. Terima kasih untuk segala perhatian, dukungan dan motivasi
yang diberikan hingga penulis mampu untuk menyelesaikan studi.
4. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi
ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis
untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Bu Budi
yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan
untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak Bu.
5. Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Teologi yang sudah memberikan saya
kesempatan untuk mengasah kreatifitas dan mental yang lebih baik untuk
saya gunakan di kehidupan saya kedepan.
6. Campus Ministry Universitas Kristen Satya Wacana atas kesempatan yang
diberikan untuk belajar bekerja sama dan mengolah kemampuan di bidang
penatalayanan guna kepentingan pelayanan saya ke depan.
7. Jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur. Mama Pdt. Juliana Hau Bale S. Th,
Bapak Sekretaris Gereja, semua responden dan teman-teman Pemuda.
Terima Kasih atas bantuannya bagi saya selama masa penelitian. Buat
EBS yang setia menemani selama masa penelitian, Terima Kasih broh.
Tuhan memberkati kita semua
x
8. Dua orang hebat dengan cinta yang begitu luar biasa untuk saya, berjuang
dengan penuh kasih tanpa mengenal lelah untuk saya, yang meskipun
tidak bisa menyaksikan secara langsung hari bahagia saya saat diwisuda
nanti tetapi saya percaya dari tempat mereka, mereka juga melihat dan
merasakan kebahagiaan yang sama. Terima Kasih Alm. Bapa Saul Here
dan Almh. Mama Elisabeth Here-Rihi Wila. Cinta dan pengorbanan Bapa
dan Mama akan terus mengiringi perjalanan kehidupan Ivon.
9. Keluarga terbaik yang saya miliki. Mama Yuliana Moleong-Rihi Wila,
Bapa Victor Moleong, kakak Selfi Messakh-Here dan keluarga, kakak Ria
Giri-Here dan keluarga juga bungsu tercinta Melan Here serta kakak adik
dan Om, Tante semua. Terima kasih atas doa, dukungan daya dan dana
yang diberikan untuk saya hingga saat ini. Segala kebaikan, ketulusan dan
kerja keras Kalian tidak dapat saya ganti, tetapi doa dan ucapan terima
kasih terus menerus keluar dari mulut saya untuk Kalian semua.
10. Mone Lexiandri Umbu K. Anagoga yang selalu setia untuk mendoakan,
memberikan motivasi dan mendukung penulis selama masa studi. Mohon
maaf apabila dalam kebersamaan kita ada hal-hal yang kurang berkenan.
Sukses untuk masa vicariatnya sayang ayafluuuu....
11. PTT (Petatas) Family. Bontet Hendra, Nyong Vian, Nyong Kurnia, Nyong
Melky, Ibo Dyana, Pencet Bisul (Ziel), Taksi Bebek dan Ucrit Uche.
Terima kasih untuk motivasi dan kebersamaannya. Sukses untuk masing-
masing Kalian, Be Sayang besong semuaa..
12. Sodara-sodara Penghuni Kost asli maupun bayangan Monsa (Monginsidi
Satu) No.12. Kak Nolin, Kak Maya, Dewi, Nanda, Kak Brenda, Dian,
Sarlin, Kak Giner, Kak Ryan, Adik Arie dan Zefanya. Terima Kasih atas
kebersamaan dan motivasi untuk Ivon, suskses untuk kita semuaaa
13. SAPI 2012 yang terus mendukung dan memotivasi satu dengan yang lain.
Terima kasih untuk kalian yang sangat kompak dalam kebersamaan kita
selama empat tahun ini. Sampai ketemu di lain kesempatan dan sukses
untuk kita semua
14. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua orang yang tidak bisa
saya sebutkan satu demi satu. Terimakasih sudah hadir dan memberi
xi
warna dalam kehidupan saya. Terimakasih untuk semua orang yang
membantu penulis dalam proses penulisan Tugas akhir ini. Tuhan
memberkati Kalian semua
xii
MOTTo
Waktu TUHAN bukanlah waktu kita, oleh sebab itu teruslah
lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan, selebihnya
TUHAN akan memperlengkapi. Percayalah bahwa tidak
ada sesuatu yang sia-sia yang dilakukan di dalam DIA.
Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam
segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi
mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Nyanyian KJ. 410
Tenanglah kini hatiku: Tuhan memimpin langkahku Di
tiap saat dan kerja tetap ku rasa tanganNya. Tuhanlah
yang membimbingku ; tanganku di pegang teguh. Hatiku
berserah penuh; tanganku di pegang teguh.
xiii
Abstrak
Penelitian ini difokuskan pada tradisi warga jemaat GMIT Getsemani
Tarus Timur dalam hal membuat tugu di tempat terjadinya kecelakaan lalulintas.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna
keberadaan tugu tersebut bagi warga jemaat. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini ialah metode penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan
data yang dipakai yaitu melalui wawancara langsung dengan pihak keluarga,
kerabat dan pihak Gereja yang menjadi tempat penelitian. Landasan teori yang
digunakan dalam menganalisa data penelitian ini adalah teori tentang sikap
manusia ketika berhadapan dengan kematian dan teori simbol. Hasil penelitian
menunjukkan adanya tugu di tempat kecelakaan lalulintas dianggap penting bagi
pihak keluarga, kerabat dan Gereja karena merupakan tradisi yang sudah cukup
lama dilakukan dan perlu untuk terus dijaga. Realitanya keberadaan tugu ini
merupakan simbol kedukaan pihak keluarga maupun kerabat yang menjadi bukti
adanya relasi kasih di antara mereka yang pernah terjalin sekaligus menegaskan
bahwa meskipun tubuh sudah tidak bersama namun memori bersama
almarhum/almarhumah masih terus hidup sepanjang kehidupan mereka sehingga
dibuatlah tugu dan terus dikunjungi selama beberapa waktu.
Kata Kunci: Kematian akibat kecelakaan lalulintas, Tugu, Tradisi, dan Simbol
kedukaan.
1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kematian merupakan perpisahan terakhir yang menyedihkan karena
menyebabkan terpisahnya manusia secara fisik dengan orang-orang yang dikasihi
atau dengan kata lain perjumpaan dengan mereka akan berakhir dengan
perpisahan oleh kematian.1 Perpisahan oleh kematian tentu saja meninggalkan
duka yang mendalam bagi para keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Apalagi
peristiwa kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang dengan
sekejap dapat merenggut nyawa manusia di tempat terjadinya kecelakaan tersebut.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur terkhususnya melalui data statistik dari
pihak kepolisian diketahui angka kecelakaan lalu lintas di setiap tahunnya selalu
meningkat. Data terakhir yang diperoleh pihak kepolisian untuk tahun 2015
sebanyak 1.053 kasus kecelakaan lalu lintas. Lebih tinggi dari angka kecelakaan
lalu lintas tahun 2014,2 bahkan oleh pihak pemerintah, Provinsi Nusa Tenggara
Timur masuk urutan ketiga dalam catatan angka kecelakaan lalu lintas terbesar di
Indonesia.3 Faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu
lintas di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Kota Kupang ialah karena
kelalaian dari manusia itu sendiri yang kurang mematuhi aturan lalu lintas yang
ada. Mulai dari mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk sampai dengan
kesengajaan melanggar lalu lintas, menyebabkan setiap hari selalu terjadi
kecelakaan lalu lintas di Kota-kota dalam wilayah NTT terutama di Kota Kupang.
Kebanyakan kecelakaan yang menyebabkan kematian maupun luka berat
disebabkan karena pengendara dalam keadaan mabuk, tidak menggunakan
pengaman dan mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi. Hal ini
1 Gladys Hunt, Pandangan Kristen tentang Kematian, terjemahan cetakan ke-6 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), 10. 2 http://kupang.tribunnews.com/2016/01/01/jumlah-kasus-lakalantas-2015-meningkat,
diunduh pada tanggal 7 Juli 2016. 3file:///F:/Jurnal&Berita/lakalantas/Statistik/Lakalantas/NTT/kecelakaan/lalu
lintas/terbesar/ketiga/diIndonesia.html, diunduh pada tanggal 7 Juli 2016.
2
sebenarnya menunjukan kesadaran pengendara untuk menjaga keselamatan di
jalan raya masih rendah.4
Berkaitan dengan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di
Provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya Kota Kupang, terdapat sebuah tradisi
yang sudah kurang lebih sepuluh tahun terakhir dilakukan oleh para warga Gereja,
baik itu oleh keluarga maupun para sahabat pasca kecelakaan yang terjadi di
pinggir jalan. Para keluarga dan sahabat yang berduka ini kemudian membuat
sebuah tugu mini di pinggir jalan tepat di tempat terjadinya kecelakaan yang telah
menyebabkan kematian kerabat mereka tersebut. Tugu mini ini dibuat sebagai
reaksi terhadap peristiwa kematian dengan mengambil beberapa batu berukuran
kecil (±15-20cm) yang ada di sekitar tempat kejadian kemudian menyusunnya
menjadi sebuah tumpukan batu yang tidak beraturan maupun yang beraturan
seperti berbentuk lingkaran, kotak, salib dan bahkan ada juga yang membuatnya
secara permanen berbentuk persegi dengan ukuran ± panjang 75 cm, lebar 50 cm
dan tinggi 20 cm juga mencetak foto dan nama korban kecelakaan di keramik
pada tugu mini tersebut. Jika permanen, tentu saja tugu tersebut akan bertahan
lama namun jika tidak permanen dalam artian hanya dibuat menggunakan susunan
batu yang ada di sekitar tempat kecelakaan maka biasanya hanya bertahan sampai
40 (empat puluh) hari setelah peristiwa kecelakaan terjadi bahkan bisa lebih dari
40 (empat puluh) hari tergantung pihak keluarga atau kerabat yang membuatnya.
Hal ini dapat dikatakan sebagai simbol kedukaan pihak keluarga.
Meskipun tradisi membuat tugu mini masih tergolong baru namun seluruh
lapisan masyarakat di Kota Kupang telah melakukannya ketika ada kerabat
mereka yang mengalami kematian akibat kecelakaan lalu lintas di pinggir jalan.
Tradisi ini dilakukan baik oleh keluarga maupun kerabat dari korban laka lantas
tersebut yang umumnya adalah warga Gereja. Biasanya, mulai malam pertama
kecelakaan sampai beberapa hari setelah korban dimakamkan baik pihak keluarga
maupun kerabat akan pergi mengunjungi tempat tersebut untuk menyalakan lilin
kemudian duduk menunggui tempat itu sambil bernyanyi dan bercerita sampai
lilin yang dinyalakan pun mati (relatif). Setelah itu aktivitas ini sudah tidak rutin
4 http://m.inilah.com/news/detail/2264244/sepanjang-2015-terjadi-1053-kecelakaan-di-
ntt, diunduh pada tanggal 7 Juli 2016.
3
lagi dilakukan kecuali menjelang hari raya Natal, hari ulang tahun dari korban dan
hari kecelakaan itu terjadi. Di tugu mini tersebut biasanya sebelum menyalakan
lilin, keluarga atau kerabat yang mengunjungi tempat itu akan mendahuluinya
dengan berdoa dan membawa benda-benda tertentu yang menjadi kesukaan dari
korban seperti sirih pinang dan rokok untuk ditempatkan di sekitar tugu tersebut.
Melalui beberapa jurnal, penulis menemukan bahwa tradisi membangun
tugu peringatan ini sudah dilakukan sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
Di Jerman misalnya, untuk mengenang para korban dari penganiayaan Nazi di
Buchenwald dan Sachsenhausen dibangunlah tugu-tugu peringatan baik yang
terhimpun dalam sebuah museum maupun di luar museum tepatnya di hutan
tempat pembantaian, sehingga melaluinyalah masyarakat Jerman bisa terus
mengabadikan dan mengenang peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi.5
Kemudian di Amerika serikat, dilakukan penelitian tepatnya di kota Oklahoma
yang terdapat sebuah monumen nasional untuk mengenang para korban kematian
di Amerika sekaligus untuk melihat sejauh mana tingkat kepedulian orang
Amerika terhadap kematian rakyat mereka.6
Pertanyaan yang muncul ialah, apakah kuburan sebagai tempat
peristirahatan sementara belum cukup sebagai bentuk peringatan akan kematian?
Apakah masih perlu bentuk peringatan lain di tempat terjadinya peristiwa
kematian? Dalam kegiatan pra-penelitian yang dilakukan, penulis menemukan
bahwa adanya perbedaan antara kuburan sebagai tempat peristirahatan terakhir
dan tugu mini sebagai bentuk penanda atau pengingat peristiwa kematian yang
terjadi. Sehingga perlu untuk membuat pengingat di tempat terjadinya peristiwa
kematian tersebut.
Namun berkaitan dengan dibangunnya tugu-tugu mini di tempat
kecelakaan, sejauh ini penulis belum melihat suatu pemaknaan yang tepat
terhadap tradisi pembangunan tugu mini tersebut yang dilakukan oleh warga
Gereja, sehingga inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan
5 Sarah Farmer, “Symbols that Face Two Ways: Commemorating the Victims of Nazism
and Stalinism at Buchenwald and Sachsenhausen”: Representations, No. 49, (1995) : 97-103. 6 Erika Doss, “Death, art and memory in the public sphere: the visual and material culture
of grief in contemporary America Mortality”, Vol. 7, No. 1, (2002) : 64-68.
4
penelitian. Apakah tugu mini yang dibuat hanya sebatas pengingat ataukah ada
unsur-unsur penyembahan berhala di dalamnya sebab ada tugu yang dibangun di
tempat terjadinya kecelakaan dan terdapat beberapa kegiatan juga yang dilakukan
di sekitar tugu mini tersebut serta bagaimana sikap Gereja terhadap tradisi ini.
Kemungkinan tradisi membuat tugu mini tersebut memiliki makna yang
mendalam sehingga tugu mini itu dibuat bagi para korban kecelakaan.
Berdasarkan kenyataan tersebut penelitian ini akan dilakukan dengan berfokus
pada makna tugu mini yang dibuat oleh keluarga dan kerabat yang berduka. Hal
ini dibahas agar dapat memahami keberadaan tugu ini sebagai simbol kedukaan
dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian dan duka di kalangan
keluarga secara teologis dalam kehidupan berjemaat maupun bermasyarakat.
Simbol tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam segala
situasi hidupnya, dari yang primitif sampai modern. Simbol-simbol yang ada
dalam masyarakat pasti memiliki makna yang sangat penting. A.N. Whitehead
dalam bukunya Symbolism yang dikutip oleh F.W. Dilistone dalam buku The
Power of Symbols mengatakan bahwa “pikiran manusia berfungsi secara simbolis
apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan,
perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya.
Perangkat komponen terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang
kemudian membentuk “makna simbol”. Keberfungsian organis yang
menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referensi”.7
A.N. Whitehead mengisyaratkan tentang adanya pikiran dan pengalaman sehari-
hari yang dapat dipandang sebagai lambang di dalam kehidupan ini.8 Jadi
“simbol” adalah sesuatu yang merupakan tanda sebagai ganti sebuah gagasan atau
obyek tertentu. Dalam arti yang biasa, simbol adalah gambaran yang menunjuk
pada suatu tanda dalam suatu komunitas tertentu yang dapat dipahami maknanya.
Dalam konteks memahami peristiwa kedukaan yang dialami oleh pihak
keluarga korban kecelakaan lalu lintas, bisa saja mereka memaknai tugu mini
7 F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, terj. A.
Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18. 8 A.N. Whitehead, Symbolism, (Cambridge University Press, 1928), 9.
5
yang dibangun tersebut sebagai sebuah simbol dari kedukaan yang melaluinya
pihak keluarga maupun kerabat dapat terus mengenang keluarga mereka yang
telah meninggal itu sekaligus peristiwa yang telah menyebabkan kematian pihak
kerabat mereka itu.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Penulis memilih GMIT Getsemani Tarus Timur sebagai lokasi penelitian
karena Gereja ini terletak di pinggir jalan umum dan menjadi tempat yang rawan
terhadap kasus kecelakaan lalu lintas. Selain itu, judul ini diangkat karena adanya
realitas sosial dan budaya yang sejak dulu sampai masa kini masih terus dilakukan
dan tentunya memiliki pengaruh yang cukup besar bagi warga jemaat tersebut
sehingga masih terus dilakukan. Oleh sebab itu penulis merumuskan dua
pertanyaan penelitian yaitu apa makna tugu mini yang dibangun oleh warga
jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur bagi korban kecelakaan lalu lintas? Dan
mengapa warga jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur membangun tugu mini
sebagai simbol kedukaan? Dari dua pertanyaan penelitian ini, tujuan yang ingin
dicapai ialah mendeskripsikan makna tugu mini yang dibangun oleh warga jemaat
GMIT Getsemani Tarus Timur bagi korban kecelakaan lalu lintas dan
mendeskripsikan alasan mengapa warga jemaat GMIT Getsemani Tarus Timur
membangun tugu mini sebagai simbol kedukaan.
1.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
yang bersifat deskriptif, bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi
suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah
variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.9 Terutama
pembangunan tugu kematian bagi korban kecelakaan lalu lintas di GMIT
Getsemani Tarus Timur.
Teknik pengumpulan data yang dipakai melalui wawancara:10
dalam hal
ini penulis mencari informasi dengan menanyakan secara langsung kepada nara
9Sanapiah Faisal, Format-format penelitian sosial, dasar-dasar dan aplikasi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), 20. 10
Sanapiah Faisal, 32.
6
sumber di GMIT Getsemani Tarus Timur berkaitan dengan pemahaman mereka
tentang makna tugu kematian ini. Nara sumber adalah mereka yang menjadi
subjek penelitian penulis, yaitu pendeta, majelis dan warga jemaat yang
melakukan pembangunan tugu mini bagi korban kecelakaan. Selanjutnya melalui
studi kepustakaan, penulis menggunakan buku-buku dan jurnal yang dapat
digunakan untuk menyusun landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam
menganalisa data penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada rumusan
masalah penelitian.
2. Kematian Manusia dan Simbol
2.1 Sikap Manusia Berhadapan dengan Kematian
Kehidupan dan kematian adalah dua bagian tak terpisahkan dari
keberadaan sebagai ciptaan. Sama seperti kelahiran, manusia pada hakikatnya
juga akan mati.11
Dua hal ini merupakan suatu kepastian dalam kehidupan
manusia yang tidak dapat dihindari. Namun berbeda dari kelahiran yang
membawa sukacita bagi keluarga, peristiwa kematian lebih banyak menimbulkan
duka yang mendalam akibat perpisahan dari orang-orang terkasih untuk selama-
lamanya. Berdasarkan hal inilah, orang cenderung takut ketika berhadapan
kematian. Eseis Francis Bacon menulis bahwa “manusia takut akan kematian
seperti anak-anak takut pergi ke tempat gelap; dan sebagaimana rasa takut alamiah
pada anak-anak makin besar dengan mendengar dongeng-dongeng, demikian juga
rasa takut akan maut pada manusia dewasa bertambah bila mereka mendengar
cerita-cerita tentang kematian.12
Kematian melenyapkan segala kemampuan manusia. Kematian adalah
sesuatu yang belum dimengerti manusia, suatu pengalaman yang tidak dapat
terjejaki. Manusia merasa tidak aman dan tidak berdaya bila menghadapi
kematian, musuh yang begitu menakutkan, musuh yang tidak memandang
11
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tetapi Pantang Berdiam Diri, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015), 386. 12
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1987, 2.
7
manusia, kekayaan maupun kedudukan.13
Dengan demikian ada beragam respons
dari manusia ketika berhadapan dengan kematian. Meskipun demikian, peristiwa
kematian dianggap begitu penting karena tidak akan lagi berjumpa dengan
almarhum/almarhumah sehingga pihak keluarga maupun kerabat merasa perlu
membuat upacara atau ritus-ritus yang dapat mengantarkan
almarhum/almarhumah ke tempat peristirahatan terakhir dengan tenang juga dapat
membantu keluarga maupun kerabat dalam mengolah ketegangan pasca kematian
dari orang terkasih. Baik itu dalam upacara pemakaman jenazah, malam ketiga,
malam ketujuh, malam keempat puluh dan malam keseratus seperti tradisi di
dalam masyarakat di kepulauan Riau.14
Pada hakikatnya kematian membawa perpisahan bagi manusia tetapi
kematian tidak dapat menghapuskan memori yang pernah dilewati bersama
almarhum/almarhumah. Meskipun telah ditinggal pergi namun pihak keluarga
maupun kerabat akan tetap berusaha menjaga agar memori atau kenangan
bersama almarhum/almarhumah tetap ada dan hidup dalam kehidupan mereka.
Apalagi ketika perpisahan oleh kematian tersebut terjadi tanpa dipersiapkan
sebelumya seperti kematian karena sakit, tentu saja pihak keluarga dan kerabat
sudah akan mempersiapkan kematian dari orang yang akan mati tersebut. Namun
berbeda ketika perpisahan oleh kematian terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
suatu peristiwa tak terduga yang dengan sekejap mampu memisahkan keluarga
dengan almarhum/almarhumah. Perasaan tidak siap dan terkejut inilah yang
menyebabkan duka mendalam bagi keluarga dan kerabat. Oleh sebab itu baik
pihak keluarga maupun kerabat memiliki cara-cara tertentu untuk menjaga agar
memori bersama almarhum/almarhumah tetap hidup bersama mereka walaupun
tubuh fisiknya sudah tidak ada lagi bersama keluarga.
Terdapat berbagai cara yang dilakukan untuk memelihara agar memori itu
hidup, sesuai dengan tradisi dan budaya dari masing-masing daerah. Salah satunya
yang dilakukan oleh masyarakat suku Batak. Untuk memelihara memori mereka
bersama pihak keluarga yang telah meninggal, oleh pihak keluarga yang berduka
13
Gladys Hunt, Pandangan Kristen ...., 1. 14
Moh. Daud Kadir dkk, Upacara Tradisional (Upacara Kematian) daerah Riau, (Jakarta:
Depdikbud, 1985), 70.
8
mereka membangun tugu-tugu sebagai peringatan akan keluarga yang telah
meninggal. Tradisi membangun tugu-tugu bukanlah merupakan hal yang baru
dilakukan. Mereka telah melakukan tradisi ini sejak zaman nenek moyang mereka
dan masih terus dilakukan sampai masa kini bahkan Gereja pun mengadopsi
tradisi ini namun terus dilakukan pembaharuan. Di tanah Batak, pihak keluarga
membangun tugu-tugu baik berukuran kecil maupun besar dengan bentuk-bentuk
tertentu.
Dalam tradisi tradisional suku-suku di nusantara, dalam hal kematian
dikenal dua istilah yaitu penghormatan atas orang mati dan pemujaan nenek
moyang. Penghormatan atas orang mati adalah semua peristiwa yang menyangkut
kematian dan acara penguburan. Sebaliknya, pemujaan nenek moyang
diselenggarakan bagi bapa-bapa leluhur yang dianggap mempunyai suatu
kuasa/pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka di bumi, kekayaan
mereka dan kedudukan mereka dalam silsilah keluarga.15
Orang-orang Kristen
dari gereja-gereja suku memuja nenek moyang mereka dengan berbagai cara. Di
Sumatera Utara mereka membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara,
sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-
tulang dari dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan
mengadakan upacara tertentu. Kuburan semen itu bukanlah kuburan biasa karena
dibuat menyerupai patung-patung. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat
Nias. Namun bagi masyarakat Nias, batu-batu besar itu bukanlah kuburan,
melainkan merupakan “tugu-tugu jiwa” sebagai “pusat-pusat kekuatan, yang
dengan perantaraannya orang hidup dapat berhubungan dengan orang-orang
mati”.16
Di Kalimantan Selatan, setahun setelah penguburan didirikan salib
kuburan dan dijadikan alasan untuk menghormati orang mati.17
Pembedaan jenis monumen/tugu yang dibangun didasarkan pada status
sosial dan kekuasaan oleh orang yang telah mati. Jikalau yang mati mempunyai
kekuasaan yang besar maka bangunan monumennya akan lebih mewah dan
15
Lothar Schreiner, Adat dan Injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah
Batak Cetakan ke-7, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003),168. 16
Lothar, Adat dan Injil ....., 171. 17
Lothar, Adat dan Injil......, 173.
9
berbeda dari orang biasa. Seperti bangunan-bangunan yang dibuat menggunakan
semen dan ubin.18
Dalam hal memindahkan tulang dari tempat semula ke
monumen yang telah disediakan, dalam adat Batak didahului dengan upacara
liturgis atau ibadah syukur yang dipimpin oleh penatua atau seorang pejabat
gerejawi lainnya. Orang bernyanyi bersama dari buku nyanyian gereja, berdoa dan
memohon berkat Tuhan atas orang-orang yang hidup dan orang-orang yang
mati.19
Tulang-tulang tersebut bisa juga disimpan sementara oleh pihak keluarga
di kediaman mereka sambil menunggu terkumpulnya seluruh tulang-tulang yang
akan dikuburkan oleh pihak keluarga. Jika hal ini terjadi maka pihak keluarga
perlu menyuguhkan makanan-makanan kesukaan dari nenek moyang yang telah
mati tersebut. Misalnya mereka disuguhi tuak, “diberi makan” penganan tepung
beras dan ditawari rokok yang sudah menyala.20
Pendukung pembangunan sebuah patung-tugu/monumen di tanah Batak
adalah sekelompok keluarga, pada umumnya cabang suatu marga yang disebut
sanenek (saompu) yaitu satu nenek atau satu bapa leluhur baik yang tinggal di
desa maupun yang merantau dan biasanya dilakukan oleh anggota keluarga yang
mampu dalam artian biaya pembangunan tugu/monumen lebih banyak ditanggung
oleh mereka kemudian ditambahkan oleh anggota keluarga yang sederhana.
Dengan demikian pembangunan tugu/monumen ini berfungsi sebagai perekat,
pemersatu, bahkan sebagai pendorong semangat yang kuat di bidang sosial dan
ekonomi dalam ikatan keluarga (genealogis) sehingga mampu menjaga keutuhan
persekutuan keluarga besarnya. Selain itu patung-tugu/monumen tersebut juga
berfungsi untuk memohon dan menerima berkat-berkat baru, menambah kekuatan
dengan memperlihatkan kebesaran keturunan dan dengan demikian juga mampu
mengamankan masa depan keturunan selanjutnya.21
Dalam hal rencana pembangunan patung-tugu/monumen tersebut ada
beberapa tahap yang harus disepakati bersama, antara lain: pembicaraan awal,
pemilihan ompu-parsadaan yang untuknya akan didirikan tugu, pemilihan tempat,
18
Lothar, Adat dan Injil......, 174. 19
Lothar, Adat dan Injil......, 176. 20
Lothar, Adat dan Injil......, 177. 21
Lothar, Adat dan Injil......, 186.
10
jenis dan besarnya tugu, tentang kamar tempat tulang-tulang dan jumlah tulang-
tulang nenek moyang yang akan dikumpulkan, sampai pada persiapan-persiapan
buat peletakan batu pertama serta persiapan pesta peresmian atau pemindahan.22
Dari hal rencana pembangunan patung tugu/monumen tersebut, dapat dilihat
bahwa ada beberapa hal yang mau untuk terus dilestarikan oleh masyarakat suku
Batak yaitu untuk melestarikan tradisi dan struktur kekeluargaan agar terus
terjalin meskipun jarak memisahkan mereka.
Berbicara tentang patung-tugu/monumen dalam versi masyarakat
Minangkabau menyebutnya dengan istilah kuburan. Tugu batu/kuburan tersebut
memiliki halaman yang cukup luas di sekitarnya sehingga biasa digunakan
sebagai tempat upacara pada hari-hari tertentu untuk menghormati roh-roh dan
arwah nenek moyang yang telah meninggal. Namun, sampai masa kini ada
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat ini berkaitan dengan waktu kunjungan
ke kuburan. Biasanya mereka mengunjungi kerabat mereka yang telah meninggal
tersebut menjelang hari raya, hari ulang tahun dari almarhum/almarhumah
maupun terkait acara-acara yang akan dilangsungkan oleh keluarga. Pihak kerabat
maupun keluarga yang berkunjung biasanya menaikkan doa terlebih dahulu dan
harus membawa makanan serta minuman yang berfungsi sebagai sajian dengan
harapan sajian tersebut akan dimakan oleh penghuni kuburan sehingga mereka
nantinya tidak mengganggu orang-orang yang masih hidup.23
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa patung-
tugu/monumen yang dibuat oleh masyarakat suku Batak, Nias, Riau dan
Minangkabau memiliki tujuan-tujuan yang penting, yaitu untuk mempertahankan
memori bersama pihak yang telah mati, sebagai tanda penghormatan terhadap
pihak yang telah mati, untuk melestarikan tradisi-tradisi dari para leluhur yang
sudah ada sejak dahulu kala, untuk mengenal struktur, peran, fungsi dalam
keluarga, untuk mempererat dan mempersatukan ikatan keluarga besar, untuk
memohon dan menerima berkat-berkat baru, untuk mengamankan masa depan
22
Lothar, Adat dan Injil......, 186. 23
Amir. B dkk, Upacara Tradisional (Upacara Kematian) daerah Sumatera Barat,
(Jakarta, Depdikbud, 1985), 39.
11
keturunan selanjutnya, dan sebagai tempat keluarga atau kerabat untuk rekreasi
serta melepas lelah di tempat tersebut.
2.2 Tugu sebagai Simbol
Dalam bagian ini penulis membahas tentang simbol namun lebih khusus
menguraikan tentang tugu sebagai simbol.
Simbol merupakan kata yang mempunyai arti dan peran yang penting
dalam kehidupan manusia. Pernyataan ini didukung dengan pemaparan M.
Maclver yang dikutip oleh F.W. Dillistone, bahwa: Kesatuan sebuah kelompok,
seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol.
Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana
komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi, dengan
bahasa atau sarana lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak
mungkin ada tanpa simbol.24
Demikian halnya dengan tugu-tugu yang dibangun
oleh keluarga. Tugu tersebut secara tidak langsung menjadi simbol dari kedukaan
pihak keluarga dan kerabat yang mana dengan adanya tugu tersebut dapat terus
melestarikan nama dan cerita hidup dari almarhum/almarhumah sehingga baik
pihak keluarga maupun kerabat dapat terus mengenang peristiwa hidup sampai
kematian dari almarhum/almarhumah.
Simbol dipandang sebagai sebuah kata atau barang atau objek atau
tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret; yang
mewakili atau yang menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau
menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau
mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mencorakkan
atau menunjukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau
menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar
kembali atau berkaitan dengan; sesuatu yang lebih besar atau transenden atau
24
R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), dalam F.W. Dillistone, The Power of
Symbols, 15.
12
tertinggi atau terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi
kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.25
Berdasarkan asal katanya, kata simbol berasal dari bahasa Yunani
symbolon dari kata symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan
atau memberi kesan. Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan tanda
kelihatan yang menggantikan gagasan atau objek. Kata, tanda, isyarat, yang
digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain. Simbol juga merupakan hasil dari
kesepakatan atau persetujuan umum, misalnya lampu lalu lintas.26
Kata yang
mengikutinya dan yang paling dekat dalam bahas Latin adalah kata signum atau
symbolium (tanda). Simbol dan tanda dianggap sepadan karena masing-masing
menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya. Namun sepadan tidak berarti
sama. Menurut Victor Turner, tanda lebih bersifat tertutup dan tidak dapat
menggantikan atau mewakili sesuatu yang ditunjuknya sedangkan simbol lebih
bersifat terbuka, memiliki hubungan yang sangat erat dan mampu mewakili atau
menggantikan sesuatu yang ditunjuknya. Makna simbol tidaklah sama sekali
tetap. Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada
wahana-wahana simbolis yang lama. Lagi pula, menurut Turner, individu-
individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol.27
A. N. Whitehead dalam bukunya Symbolism, sebagaimana yang dikutip
oleh Dillistone, mengungkapkan bahwa:
Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen
pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan dan gambaran
mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat
komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen
yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian organis
yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu
disebut referensi.28
Berbeda dengan Whitehead, Goethe mengartikan bahwa “dalam
simbolisme sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai
impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak
25
F.W. Dillistone, The Power of Symbols., 20. 26
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007. 27
W. Dillistone, The Power of Symbols, 114. 28
W. Dillistone, The Power of Symbols...,18.
13
dapat diduga.”29
Singkatnya, bagi Goethe, simbol adalah sesuatu yang
menggambarkan yang universal. Sedangkan Coleridge menandaskan bahwa
sebuah simbol sebenarnya berpartisipasi dalam realitas yang membuatnya dapat
dimengerti.30
Pandangan Coleridge ini dipahami dalam pembahasan Dillistone
sebagai “substansi”, yang mana sebuah simbol dipahami jauh melebihi sebuah
tanda lahir dan terlihat yang arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak; nilainya
yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan.31
Dari sekian konsepsi tentang simbol yang bersifat mistis atau rohani di
atas, Arnold Toynbee memilih untuk melihat simbol dengan memfokuskan diri
pada dunia intelek. Bagi Toynbee simbol dimaksudkan bukan untuk merepro
objeknya, tetapi untuk meneranginya.32
Toynbee, sebagaimana dikutip oleh
Dillistone, menyatakan:
Pengujian yang menunjukkan bahwa sebuah simbol berhasil atau gagal
bukan karena simbol merepro atau tidak merepro dengan setia objek yang
ditunjuknya; pengujiannya ialah apakah simbol itu memberikan terang atas
objek itu atau mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang
efektif adalah simbol yang memberi terang, dan simbol yang efektif
merupakan bagian mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah
simbol harus bekerja dengan efektif sebagai alat untuk tindakan
intelektual, artinya, sebagai “model” simbol harus disederhanakan dan
dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta sketsa dari
sebuah realitas yang hendak diwakili oleh simbol sebagai pemandu.33
Pandangan Toynbee tentang simbol ini berbanding terbalik dengan
pandangan Erwin Goodenough. Goodenough mendefinisikan simbol sebagai
“barang atau pola yang , apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan
berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang
disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan.”34
Menurut Goodenough,
simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan
ini simbol pun memiliki kekuatannya sendiri untuk menggerakkan kita.35
Singkatnya, bagi Goodenough referensi yang bersifat intelektual semata-mata
29
W. Dillistone, The Power of Symbols...,18. 30
W. Dillistone, The Power of Symbols...,18. 31
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19. 32
W. Dillistone, The Power of Symbols ..,19. 33
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19. 34
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19. 35
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19.
14
tidak diterima, karena kekuatan simbol itu bersifat emosif, yang merangsang
orang untuk bertindak; dan perihal inilah yang dipandang sebagai ciri hakikinya.36
Dengan menyimak 5 (lima) pandangan tokoh di atas secara bersamaan,
dapat dipahami bahwa simbol merupakan alat yang kuat untuk merangsang daya
imajinasi manusia, dan memperdalam pemahaman dengan menggunakan sugesti,
asosiasi, dan relasi. Sebuah simbol pun pada umumnya disepakati sebagai sesuatu
yang tidak berusaha untuk mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk
mendokumentasikan sesuatu keadaan yang setepatnya.37
Menurut pemikiran Saussurean, simbol adalah jenis tanda di mana
hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer.
Konsekuensinya, hubungan kesejarahan akan mempengaruhi pemahaman
manusia. Saussurean menerangkan sebagai berikut:
Salah satu karakteristik dari simbol adalah bahwa simbol tak pernah benar-
benar arbitrer. Hal ini bukannya tanpa alasan karena ada
ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda. Simbol
keadilan yang berupa suatu timbangan tak dapat digantikan oleh simbol
lainnya seperti kendaraan (kereta) misalnya.38
Suatu simbol, dari perspektif kita, adalah sesuatu yang memiliki
signifikansi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi dan memiliki makna mendalam. Kita mempelajari
pengertian simbol dan mengasosiakannya dengan semua jenis kejadian,
pengalaman dan sebagainya yang sebagian besar memiliki pengaruh emosional
bagi kita dan orang lain. 39
Dari berbagai penjelasan tentang arti dan makna simbol di atas, penulis
sampai pada suatu pemahaman bahwa tugu atau monumen yang dibangun
merupakan suatu simbol yang menyimpan sejarah, menyimpan memori yang
pernah ada dan menyimpan cerita dari orang-orang atau peristiwa-peristiwa yang
dianggap begitu penting untuk terus dikenang. Tugu tersebut menjadi tanda
36
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19. 37
W. Dillistone, The Power of Symbols...,19. 38
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 27. 39
Berger, Pengantar Semiotika...,28.
15
sekaligus menjadi saksi hidup yang mana dengan melihatnya, realitas masa lalu
seakan diwujudkan atau hidup kembali dalam tugu tersebut.
3. Tugu dan Pelestarian Tradisi
3.1 Gambaran Tempat Penelitian
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Tarus Timur merupakan
satu dari sekian banyak gereja yang ada di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa
Tenggara Timur, berlokasi tepat di jalan perbatasan negara Kupang – Dili (Timor
Leste), 15 km dari Kupang, Ibukota Provinsi. Secara geografis, GMIT Getsemani
Tarus Timur terletak di jalan Timor Raya, Desa Mata Air, Kelurahan Tarus,
Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.40
Gedung Gereja Getsemani Tarus Timur berdiri pada tanggal 20 Juni 1960
kemudian mengalami renovasi dan ditahbiskan pada tanggal 19 Agustus 2007.
Sampai dengan tahun 2016, sudah empat (4) tenaga pelayan (pendeta) yang
pernah melayani di gereja tersebut dengan total jumlah jemaat yang terdaftar ialah
452 KK, yang tersebar dalam 30 rayon pelayanan (1a-15b) masing-masing
berjumlah antara 10-22 KK/ rayon. Tingkat pendidikan jemaat Getsemani Tarus
Timur sangat baik karena anggota jemaatnya telah menyadari akan pentingnya
pendidikan bagi generai penerus namun tidak dapat disangkali bahwa ada juga
anak-anak yang enggan bersekolah. Sehubungan dengan pekerjaan jemaat maka
jemaat yang berprofesi petani (80%), PNS (10%), Wiraswasta (3%), Pengusaha
(3%) dan Pedagang (4%).41
Komunitas Jemaat Getsemani Tarus Timur tergolong heterogen yang
ditandai dengan pembaruan etnis Sabu, Rote, Timor, Sumba, Alor, Belu dan
begitu pula bahasa yang digunakan sesuai etnis masing-masing dalam relasi
internal keluarga, namun umumnya jemaat Getsemani Tarus Timur dapat
berbahasa Indonesia secara baik. Status ekonomi jemaat tergolong ekonomi
menengah ke atas yang tampak pada persembahan jemaat yang semakin baik,
ditambah lagi dengan kesadaran memberi yang tinggi sebagai rasa syukur atas
40
Dikutip dari Buku Memori Pelayanan Pdt. H.S.E. Nenosono-Nainupu, S.Th tahun
2010-2016, Jemaat Getsemani Tarus Timur, 1. 41
Memori Pelayanan Pdt. H.S.E. Nenosono-Nainupu, S.Th...., 1.
16
anugerah Tuhan. Hal ini membuat jemaat Getsemani Tarus Timur berada pada
kategori A, dalam pengelompokan jemaat-jemaat se-Klasis Kupang Tengah.
Persekutuan jemaat cukup solid, relasi sosialnya pun sangat baik karena didukung
oleh ikatan kekeluargaan dan budaya saling membantu dalam urusan adat yang
terkenal dengan “kumpul keluarga” pada saat kematian dan perkawinan.42
3.2 Latar Belakang Pembangunan Tugu Mini
Pada hakikatnya kematian adalah sebuah kepastian, sebagaimana adanya
kehidupan maka kematian pun adalah suatu hal yang pasti akan dialami oleh
manusia. Namun kehidupan dan kematian adalah dua hal yang sangat berbanding
terbalik. Jikalau ada perasaan sukacita yang mengikuti peristiwa kelahiran maka
sebaliknya ada perasaan dukacita yang mengiringi peristiwa kematian. Perasaan
duka, rasa sakit dan kehilangan tentu akan mengikuti pihak keluarga maupun
kerabat yang mengalami peristiwa kematian tersebut. Penyebab kematian pun
terjadi oleh karena berbagai macam peristiwa, seperti kematian karena usia lanjut,
sakit, kecelakaan lalu lintas, dibunuh, bunuh diri dan sebagainya. Tentu ada
perbedaan situasi, perasaan dan reaksi ketika peristiwa kematian yang terjadi
sudah dapat diprediksi atau dipersiapkan sebelumnya, seperti kematian yang
terjadi karena sakit dan usia lanjut. Meskipun sakit karena harus melepaskan
kepergian orang terkasih untuk selamanya namun penerimaan akan peristiwa itu
akan lebih cepat dibandingkan peristiwa kematian secara mendadak yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Bagi warga jemaat Getsemani Tarus Timur, peristiwa kematian yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas merupakan sebuah peristiwa yang
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat menerimanya. Oleh karena itu,
sebagai reaksi dari perasaan dukacita mereka dibuatlah tanda yang disebut tugu di
tempat kecelakaan itu terjadi. Alasan utama jemaat membuat tanda di tempat
kecelakaan ialah karena sudah merupakan hal yang biasa atau sudah menjadi
tradisi turun temurun di kalangan orang Kupang bahwa ketika ada orang yang
mati karena kecelakaan lalu lintas di jalan raya maka secara spontan baik dari
42
Memori Pelayanan Pdt. H.S.E. Nenosono-Nainupu, S.Th...., 2.
17
pihak keluarga maupun teman-teman akan membuat tanda di tempat itu. Hanya
saja bentuk dari tugu ini tergantung pihak keluarga dan teman yang membuatnya.
Ada yang membuat secara permanen dan ada yang tidak. Namun lebih banyak
membuat tugu ini secara tidak permanen yaitu hanya dengan susunan batu. Oleh
sebab itu tugu ini tidak akan bertahan lama, biasanya setelah empat puluh hari
tugu ini lama kelamaan akan hilang baik karena dipindahkan maupun karena
tergeser oleh pelebaran jalan, karena hujan dan sudah tidak lagi dikunjungi.43
Menurut mereka tanda yang dibuat di tempat kecelakaan itu berbeda-beda.
Ada yang membuat tugu secara permanen dalam artian tugu tersebut dibuat
dengan bahan pasir, semen dan batu selayaknya kuburan mini dan ada yang hanya
membuat tugu sementara dengan susunan batu, kardus bekas atau karet ban mobil
bekas. Semua ini tentu dilakukan dengan berbagai macam alasan yang
mendasarinya. Bagi jemaat yang membuat tugu secara permanen beranggapan
bahwa tempat itu sangat penting bagi mereka sehingga perlu untuk terus
diabadikan sedangkan bagi jemaat yang membuat tugu sementara yaitu hanya
dengan susunan batu, mereka beranggapan bahwa tempat itu hanya sebagai tanda
untuk mengingatkan keluarga, teman juga pengguna jalan lainnya sehingga
keberadaanya hanya berlangsung beberapa saat pasca kejadian, setelah itu akan
hilang dengan sendirinya atau dipindahkan oleh pihak keluarga maupun pengguna
jalan lain karena dapat mengganggu aktivitas di jalan umum tersebut.44
Di jemaat Getsemani Tarus Timur sendiri lebih banyak yang membuat
tugu secara tidak permanen yaitu dengan susunan batu, karet ban mobil bekas dan
kardus bekas dengan alasan bahwa tempat tersebut hanyalah merupakan sebuah
tanda tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan kematian pada salah
seorang kerabat mereka dan keberadaannya juga tidak berlangsung lama sehingga
tidak perlu dibuat secara permanen. Jemaat beranggapan bahwa ketika tanda itu
tidak dibuat juga sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab dianggap tidak terlalu
penting keberadaannya. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa hal yang
43
Wawancara dengan Ibu YH (4 September 2016) dan Pemuda (6 September 2016) di
rumah narasumber dan di Gereja. 44
Wawancara dengan Bapak YT (4 September 2016), Ibu YH (4 September 2016) dan
Pemuda (6 September 2016) di rumah masing-masing narasumber dan di Gereja.
18
dilakukan tersebut bertentangan dengan iman Kristen, yang mana mereka percaya
bahwa ketika mati, tubuh dan roh telah terpisah, tubuh memang masih ada
bersama keluarga sampai dimakamkan dan roh telah kembali kepada Sang
Pencipta sehingga tidak perlu lagi membuat tugu di tempat kecelakaan itu
terjadi.45
Namun harus diakui bahwa pemahaman setiap orang itu berbeda-beda.
Pada pihak lain, ada jemaat yang merasa perlu untuk membuat tanda
berupa tugu di tempat kecelakaan karena pasca kejadian tersebut tempat itu
disebut sebagai tempat yang “panas” dalam artian arwah dari korban masih ada di
tempat itu sehingga tempat itu perlu untuk dijaga sampai benar-benar arwahnya
telah kembali kepada sang pencipta karena kalau tidak dijaga dapat mencelakakan
orang-orang yang melintasi tempat tersebut. Selain itu ada juga pendapat bahwa
tugu tersebut sebagai bukti cinta kasih dan solidaritas mereka terhadap korban
sehingga mereka merasa wajib untuk membuatnya.46
Ada juga yang berpendapat
bahwa sebenarnya membuat tugu ataupun tidak, itu tidak berpengaruh karena
selagi teman-teman masih merasa bersyukur karena pernah ada dalam
kebersamaan dengan almarhum/almarhumah, masih bisa untuk terus mengenang
mereka dan mendoakannya maka tentunya tanpa tugu pun tidak masalah. Namun
hanya karena tradisi masyarakat Kupang yang kebiasaan membuat tugu di tempat
kecelakaan sehingga dibuatlah tugu tersebut. Ada juga sebuah kebiasaan ketika
melewati tugu tersebut maka para penguna jalan biasanya membunyikan klakson
kendaraannya untuk menegur almarhum/almarhumah seolah-olah mereka ada di
tempat itu.47
Menurut beberapa orang tokoh Gereja, tradisi ini memang sudah sejak
dulu dilakukan dan sampai masa kini pun masih terus dilakukan. Hanya saja ada
perbedaan antara tradisi yang dulu dengan masa kini. Bedanya mungkin kalau
dulu, pengganti menyalakan lilin ialah menyekar bunga-bunga rampai di tempat
kecelakaan tersebut. Namun menandai tempat kecelakaan dengan tugu permanen
atau menyusun batu tersebut baru dimulai beberapa tahun silam agar dapat
45
Wawancara dengan Bapak YT (4 September 2016), Ibu JL, sdr. M (7 September 2016)
rumah masing-masing narasumber. 46
Wawancara dengan Ibu YH (4 September 2016), Pemuda (6 September 2016) dan Pdt.
JH (7 September 2016) di rumah masing-masing narasumber. 47
Wawancara dengan Pemuda (6 September 2016) di Gereja.
19
menandai tempat itu karena tepat di jalan raya sehingga para pengguna jalan tidak
melintasi tempat tersebut pasca peristiwa itu terjadi.48
Dari uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pertama,
tindakan membuat tanda di tempat kecelakaan lalu lintas pada umumnya ialah
merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan sampai dengan saat ini.
Kedua, tidak ada pengaruh apa pun baik bagi keluarga maupun teman-teman
almarhum/almarhumah untuk wajib membuat tugu tersebut, semuanya tergantung
kepercayaan dan keinginan dari pihak yang membuat tugu tersebut. Ketiga, masih
ada kepercayaan bahwa arwah korban kecelakaan masih ada di tempat peristiwa
kecelakaaan itu terjadi sehingga perlu untuk membuat tugu. Keempat, pembedaan
jenis tugu yang dibuat juga tergantung pemaknaan dari pihak-pihak yang
membuat tugu tersebut. Kelima, tugu yang biasanya dibangun di tempat terjadinya
kecelakaan lalu lintas ialah tugu yang berukuran mini atau kecil, yang tidak
bersifat permanen, dan dibuat dengan menggunakan batu-batu yang ada di sekitar
tempat kejadian, menggunakan kardus-kardus bekas dan karet ban mobil bekas.
Ini menunjukkan bahwa bukan tugunya yang penting melainkan makna dan
manfaat di balik tugu tersebutlah yang menjadi alasan utama tradisi tersebut
masih dilakukan sampai saat ini.
3.3 Kebiasaan di sekitar Tugu Mini
Tindakan membuat tanda di tempat terjadinya kecelakaan lalu lintas di
wilayah jemaat Getsemani Tarus Timur lebih banyak dilakukan oleh teman-teman
korban kecelakaan tersebut. Kebanyakan yang mengalami kematian akibat
kecelakaan lalu lintas ialah pemuda/pemudi sehingga teman-teman merekalah
yang berinisiatif untuk membuat tanda berupa tugu di tempat kecelakaan
tersebut.49
Keluarga sendiri seringkali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan
tugu di tempat kecelakaan tersebut, apalagi pihak Gereja. Berdasarkan pernyataan
dari pihak keluarga maupun Gereja, sejauh ini belum ada pihak keluarga maupun
teman-teman almarhum/almarhumah yang datang untuk meminta izin membuat
48
Wawancara dengan Bapak YT (4 September 2016), Bapak BD (14 September 2016)
dan Ibu MP (4 September 2016) di rumah masing-masing narasumber. 49
Wawancara dengan Bapak YT (4 September 2016) di Gereja.
20
tugu di tempat kecelakaan kepada pihak Gereja. Sama halnya juga dengan teman-
teman almarhum/almarhumah, sejauh ini tidak ada dari mereka yang datang untuk
meminta izin kepada keluarga maupun Gereja untuk membuat tugu di tempat
kecelakaan.50
Hal tersebut dilakukan atas kesadaran dan inisiatif dari teman-teman
almarhum/almarhumah. Meskipun demikian keluarga merasa bersyukur karena
tanpa diperintah, teman-teman dari korban kecelakaan lalu lintas secara spontan
langsung melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Keluarga menganggap
bahwa tindakan tersebut sebagai reaksi ungkapan dukacita dan persahabatan yang
begitu tinggi di antara mereka.51
Tugu tersebut mulai dibuat sejak saat peristiwa kecelakaan yang
menyebabkan kematian itu terjadi. Kemudian malamnya mulai dikunjungi oleh
teman-teman dan malam ketiga setelah pemakaman baru mulai dikunjungi oleh
pihak keluarga.52
Tugu yang telah dibuat tersebut biasanya bertahan sampai
malam keempat puluh, namun rutin dikunjungi setiap malamnya hanya mulai
malam pertama sampai malam kesembilan dan malam keempat puluh, juga ada
yang setiap kali tanggal dan bulan peristiwa kecelakaan itu pergi mengunjungi
tugu tersebut. Setelah itu tempat tersebut sudah tidak rutin lagi dikunjungi bahkan
karena tugu tersebut tidak permanen sehingga dapat dibuang baik oleh teman-
teman almarhum/almarhumah maupun para pengguna jalan tersebut atau hanya
dipindahkan agar tidak mengganggu aktivitas di jalan umum tersebut.53
Setelah
waktu-waktu yang disebutkan di atas, lebih banyak pihak kerabat maupun
keluarga yang langsung mengunjungi tempat korban dimakamkan yaitu kuburan.
Aktivitas yang biasanya dilakukan ketika mengunjungi tempat kecelakaan
tersebut ialah berdoa, menyalakan lilin kemudian ditempatkan di tugu itu, duduk
melingkari tugu tersebut sambil bernyanyi, bercerita satu dengan yang lain
tentang kisah hidup dari almarhum/almarhumah, apa yang biasa dilakukan, apa
50
Wawancara dengan Pdt. JH, Ibu JL (7 September 2016 (7 September 2016), Bapak YT
(4 September 2016) , Ibu MP (4 September 2016) dan Bapak HT (20 September 2016) di rumah
masing-masing narasumber 51
Wawancara dengan Ibu YH (4 September 2016) di rumah narasumber. 52
Wawancara dengan Ibu JL, Sdr. ML (7 September 2016) dan Pemuda (6 September
2016) di rumah masing-masing narasumber. 53
Wawancara dengan Bapak YT, Ibu MP (4 September 2016), Pemuda (6 September
2016), Ibu JL, Sdr. ML (7 September 2016) dan Sdr. JB, PH, DL (9 September 2016) di rumah
masing-masing narasumber.
21
yang disukai dan masih banyak cerita tentang kehidupan dari
almarhum/almarhumah seraya mengingat kembali teman mereka semasa
hidupnya. Selain itu, ada juga yang datang ke tugu tersebut dengan membawa
makanan, minuman, maupun benda-benda yang disukai oleh
almarhum/almarhumah kemudian diletakkan di tempat itu, seperti membawa
rokok, sirih pinang, kue dan teh. Tujuan meletakkan makanan-makanan ini di
tempat kecelakaan bukan karena meyakini bahwa arwah dari
almarhum/almarhumah akan datang dan menikmati makanan juga minuman
tersebut melainkan hanya sekedar membawa dan meletakan di tempat itu karena
mengingat bahwa tempat itu merupakan tempat terakhir dari kehidupan
almarhum/almarhumah.54
Meskipun demikian, ada juga yang beranggapan bahwa
arwah dari almarhum/almarhumah masih ada di tempat itu sehingga mereka
merasa perlu untuk terus mengunjungi tempat tersebut sampai malam keempat
puluh dan perlu membawa makanan juga benda-benda kesukaan
almarhum/almarhumah sehingga mareka lebih senang, kemudian arwahnya dapat
pergi dengan tenang dan tidak mengganggu kehidupan keluarga maupun teman-
teman yang masih hidup.55
Sebab ada juga di antara jemaat yang masih percaya
bahwa setelah peristiwa kecelakaan tersebut, arwah dari almarhum/almarhumah
masih ada di sekitar tempat kecelakaan itu sampai malam keempat empat puluh,
setelah itu arwah almarhum/almarhumah dapat kembali kepada Sang Pencipta.
Biasanya waktu yang biasa dihabiskan untuk mengunjungi tempat kecelakaan
tersebut ialah berkisar dari 30 menit sampai 1 jam.56
Berdasarkan pemahaman dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
jemaat Getsemani Tarus Timur pada tugu tersebut, penulis dapat memberikan
kesimpulan bahwa pertama, karena kebanyakan yang menjadi korban kecelakaan
lalu lintas itu adalah kaum muda sehingga lebih banyak yang membuat tanda
berupa tugu di tempat kecelakaan ialah rekan-rekannya sesama kaum muda.
Kedua, pembuatan tugu tersebut dilakukan secara spontan oleh teman-teman
almarhum/almarhumah tanpa dikomunikasikan lebih dulu kepada keluarga
54
Wawancara dengan Ibu YH (4 September 2016) di rumah narasumber. 55
Wawancara dengan Bapak HT (20 September 2016) dan Ibu YH (4 September 2016) di
rumah masing-masing narasumber. 56
Wawancara dengan Ibu YH (4 September 2016) di rumah narasumber
22
maupun pihak Gereja. Ketiga, tugu tersebut mulai dibuat sejak peristiwa kematian
itu terjadi dan bertahan sampai hari ke empat puluh. Keempat, tugu tersebut mulai
rutin dikunjungi saat malam pertama di hari peristiwa itu terjadi sampai malam ke
sembilan, kemudian malam ke empat puluh dan ada juga yang mengunjungi saat
peringatan satu atau dua tahun kejadian tersebut. Kelima, saat mengunjungi tugu
tersebut, ada juga yang membawa makanan dan benda-benda kesukaan
almarhum/almarhumah dengan tujuan hanya untuk diletakkan di tugu tersebut
karena semasa hidupnya almarhum/almarhumah menyukai hal-hal tersebut dan
sebagai bukti bahwa meskipun tubuh dan jiwa telah tiada namun kasih sayang dari
keluarga dan teman-teman masih tetap ada buat mereka. Keenam, masih ada
kepercayaan bahwa setelah peristiwa kematian itu terjadi, arwah dari
almarhum/almarhumah masih tinggal di sekitar tempat kecelakaan sehingga
mereka datang mengunjungi tempat itu sambil membawa makanan dan benda
kesukaan almarhum/almarhumah supaya mereka lebih senang dan ketika sudah
tiba waktunya, mereka bisa pergi dengan tenang kepada Sang Pencipta. Ketujuh,
aktivitas yang biasa dilakukan ketika rutin mengunjungi tugu tersebut ialah
bernyanyi, berdoa, menyalakan lilin dan berbagi cerita tentang masa hidup
almarhum/almarhumah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tempat tersebut
mampu menyatukan teman-teman maupun keluarga dan tugu itu menyimpan
kenangan tersendiri tentang kehidupan almarhum/almarhumah.
3.4 Tujuan Pembangunan Tugu Mini
Keberadaan tugu tersebut memiliki tujuan serta harapan bagi jemaat
Getsemani Tarus Timur. Adapun beberapa tujuan dan harapan yang terkandung
dalam tugu di tempat kecelakaan lalu lintas yaitu pertama, untuk mengingatkan
keluarga bahwa di tempat itulah nyawa almarhum/almarhumah terenggut
sekaligus menjadi tempat terakhir dari kehidupan mereka. Kedua, ada hubungan
atau relasi kasih antara pihak yang membuat tugu dan almarhum/almarhumah,
sehingga bisa dikatakan bahwa pembangunan tugu tersebut menunjukkan bukti
kasih dari keluarga maupun teman yang membuat tugu itu. Ketiga, untuk
memperingatkan para pengguna jalan agar lebih berhati-hati dalam berkendara,
karena sudah ada bukti dari ketidakhati-hatian seperti yang ditandai melalui tugu
23
tersebut. Keempat, agar tempat itu jangan dulu di lintasi oleh para pengguna jalan
karena masih “panas”. Kelima, sebagai ungkapan perasaan kehilangan dan duka
yang mendalam dari kerabat almarhum/almarhumah. Keenam, untuk mengenang
kembali kisah hidup almarhum/almarhumah sampai menemui ajalnya. Ketujuh,
untuk meluruskan jalan pulang almarhum/almarhumah menuju Sang Pencipta
agar mereka bisa pulang dengan tenang dan tidak mengganggu teman/keluarga
yang masih hidup.57
Tujuan lain mereka membuat dan mengunjungi tempat kecelakaan itu
ialah sebagai ungkapan syukur dengan apa yang telah Tuhan lakukan dalam hidup
almarhum/almarhumah sampai kematiannya dan juga bersyukur karena
almarhum/almarhumah pernah ada dalam kebersamaan dengan mereka. Namun
ada juga yang mengatakan bahwa sampai dengan saat ini mereka tidak tahu pasti
mengapa orang perlu datang dan menyalakan lilin di tempat kecelakaan, apalagi
sampai berdoa di tempat tersebut. Menurutnya, ini merupakan satu hal yang salah
dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Banyak yang hanya sebatas “ikut arus”
dalam artian mengikuti tradisi atau kebiasaan yang sudah ada dan terus dilakukan
sampai masa kini. Meskipun demikian, ketika melihat tugu tersebut mereka dapat
mengenang kembali masa pahit bagaimana kerabat mereka menemui ajalnya dan
perasaan sakit ketika peristiwa itu terjadi kembali muncul ketika melihat tugu
tersebut maupun mengunjungi tempat itu. Jadi, tempat itu mampu mengolah
perasaan berduka dari pihak keluarga untuk bisa menerima kenyataan bahwa
memang almarhum/almarhumah sudah tiada. Namun juga di lain pihak dengan
melihat tugu tersebut keluarga dapat kembali merasakan saat-saat di mana
peristiwa itu terjadi yang tentu sangat menyakitkan. Selain itu, ketika teman-
teman mengunjungi tugu tersebut maka mereka dapat berbagi informasi tentang
peristiwa kecelakaan itu kepada orang-orang yang melintasi tempat kecelakaan
tersebut sehingga bukan hanya keluarga dan teman saja yang mengetahui tetapi
orang lain pun bisa mengetahui tentang peristiwa tersebut sekaligus belajar dari
peristiwa tersebut.58
57
Wawancara dengan Bapak YT, Ibu MP, Ibu YH (4 September 2016) dan Pdt. JH (7
September 2016) di rumah masing-masing narasumber. 58
Wawancara dengan Pemuda (6 September 2016) di Gereja.
24
Tentu ada kesan tersendiri bagi keluarga maupun teman-teman sehingga
mereka membuat dan mengunjungi tugu tersebut. Ada makna yang mendalam
bagi mereka ketika membuat tugu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan
bertindak mereka. Meskipun almarhum/almarhumah sudah tidak ada namun
mereka masih bisa merasakan keberadaannya dan almarhum/almarhumah tetap
menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga mereka membuat tugu dan
mengunjunginya untuk menyalakan lilin. Menurut salah seorang tokoh jemaat,
tradisi ini tidak perlu dihilangkan sebab sudah merupakan tradisi turun-temurun
sejak zaman dulu dan sejauh tradisi ini tidak menyimpang dari ajaran Kristen
maka boleh untuk diteruskan. Ini juga merupakan budaya lokal sehingga jangan
sampai dihapuskan atau dihancurkan. Hanya saja kita bisa membaharuinya agar
tidak terjadi kesalahpahaman dan penyimpangan.59
Keberadaan tugu tersebut hanyalah simbol kedukaan yang merupakan
ungkapan turut berduka, rasa empati, ungkapan kesedihan dan bukan sebagai
suatu bentuk penyembahan berhala di dalamnya. Biasanya dilihat dari kisah hidup
almarhum/almarhumah, misalnya ketika almarhum/almarhumah suka
mengkonsumsi alkohol, rokok, sirih pinang dan sebagainya maka baik itu teman-
teman maupun keluarga yang datang mengunjungi tugu tersebut, mereka datang
dan membawa makanan dan minuman tersebut, menikmati bersama dan juga
ditinggalkan di tempat itu kemudian pulang. Penyembahan berhala tentu berbeda,
tempatnya bukanlah di tempat umum melainkan di tempat-tempat yang telah
dikhususkan dan tidak dikunjungi beramai-ramai seperti yang dilakukan oleh
jemaat Getsemani Tarus Timur. Kemudian berkaitan dengan doa biasanya mereka
berdoa bukan sebagai sebuah penyembahan berhala melainkan hanya sebatas doa
pribadi untuk almarhum/almarhumah agar pergi dengan tenang bersama Sang
Pencipta. Tetapi ada juga yang berdoa di tugu tersebut karena
almarhum/almarhumah berada jauh dari mereka dalam artian tempat kecelakaan
dan tempat jenazah disemayamkan letaknya sangat berjauhan, jikalau seperti ini
biasanya teman-teman ataupun keluarga datang ke tugu itu dan berdoa untuk
mereka yang telah meninggal. Selain itu, terdapat juga pemahaman bahwa
keberadaan tugu dan aktivitas mengunjungi tugu tersebut memang tidaklah
59
Wawancara dengan Pdt. JH (7 September 2016) di Pastori.
25
bermasalah atau tidak dapat dilarang. Namun menjadi berlebihan apabila datang
dengan membawa makanan maupun benda-benda favorit dari
almarhum/almarhumah dan ditempatkan di tugu tersebut. Namun demikian, hal-
hal tersebut juga tidak dapat dikatakan sebagai penyembahan berhala karena
kebanyakan makanan dan benda-benda favorit itu hanyalah sebatas simbol
kepedulian terhadap almarhum/almarhumah dan ketika pemberian makanan atau
benda tersebut hanya sebagai simbol dan iman mereka masih tertuju pada Yesus
Kristus yang memberi kehidupan dan mengambil kehidupan menurutnya tidak
menjadi masalah. Keberadaan tugu itu merupakan bagian dari kesedihan keluarga
dan teman-teman dan sebagai simbol dari kesedihan mereka. Tugu adalah simbol
relasi juga simbol kematian. Aktivitas menyalakan lilin pun hanya sebagai tanda.
Tujuannya juga hanya untuk mengenang dan sambil mengimani Yesus Kristus
yang punya kuasa untuk memberi dan mengambil kehidupan manusia.60
Berdasarkan semua uraian di atas, penulis dapat memahami bahwa
keberadaan tugu yang dibuat oleh jemaat Getsemani Tarus Timur hanyalah
sebagai simbol kedukaan dari pihak keluarga maupun teman-teman. Tugu tersebut
membuktikan bahwa ada relasi kasih yang pernah terjalin antara pembuat tugu,
pengunjung dengan almarhum/almarhumah. Lilin yang dinyalakan maupun
makanan yang dibawa saat mengunjungi tempat itu hanyalah sebagai tanda dari
bentuk kepedulian mereka kepada almarhum/almarhumah. Ke depan tradisi ini
masih bisa untuk diteruskan karena ini juga bagian dari warisan leluhur yang
bernilai dan memiliki makna untuk menjaga keutuhan relasi kasih yang ada.
Selain itu di balik tugu tersebut tersimpan sejarah panjang tentang kehidupan
almarhum/almarhumah sampai menemui ajalnya. Sehingga tradisi ini masih layak
untuk diteruskan asalkan tidak bertentangan dengan iman Kristen.
4. Makna Keberadaan Tugu bagi warga jemaat GMIT Getsemani Tarus
Timur
Berdasarkan hasil studi teoritis, dan lapangan yang dilakukan dalam
penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta yang menarik, yaitu:
60
Wawancara dengan Pdt. JH (7 September 2016) di Pastori.
26
4.1 Ada Kehidupan Setelah Kematian
Pertama, ada kepercayaan warga jemaat Getsemani Tarus Timur bahwa
kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Setelah mengalami kematian, tubuh dan
jiwa akan terpisah. Mereka meyakini bahwa kematian merupakan sebuah babak
kehidupan baru bersama para pendahulunya. Kepercayaan seperti ini ternyata
bukan hanya ada dalam wilayah jemaat Getsemani Tarus Timur namun ada juga
dalam kepercayaan orang Sabu dan orang Sumba. Orang sabu dan Sumba percaya
bahwa kehidupan di dunia seberang (setelah kematian) itu ada dan perlu
dilakukan ritual khusus untuk mengantarkan arwah dari orang yang telah mati
tersebut ke tempat tujuan mereka, yang bagi orang Sabu disebut Kolo Rai A, Tana
Ra Deo yang berarti tempat manusia pertama, Allah Pencipta manusia pertama,61
dan bagi orang Sumba disebut Paraingu Marapu.62
Dalam iman Kristen ada
pandangan para teolog Kristen tentang keberadaan manusia pada saat kematian
dan dibagi dalam 4 tipologi. Pertama, diskontinuitas yang berkembang antara
tubuh dan jiwa. Pengalaman menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan
antara tubuh dan jiwa. Perkembangan tubuh makin melemah seiring dengan
bertambahnya usia seseorang sementara jiwa menjadi makin kuat. Pada saat
kematian terjadi anima separate, yakni terpisahnya jiwa dari tubuh. Kematian
hanya berlaku bagi tubuh sedangkan jiwa bersifat kekal. Jiwa manusia itu
immortal, tidak takluk pada kematian. Pada saat tubuh mati, jiwa masih berada di
sekitar tubuh. Ia baru akan pergi ke negeri para leluhur jika diantar melalui satu
upacara. Kematian adalah sebagai saat dimana tubuh dan jiwa yang semua adalah
satu berpisah. Tubuh yang fana ini kembali ke tanah yang adalah asalnya.
Sementara jiwa kembali kepada Allah yang daripadanya dia berasal. Kedua,
kontinuitas yang berkelanjutan dan permanen antara tubuh dan jiwa. Kematian
adalah akhir dari kehidupan. Kematian membuat manusia tidak ada lagi.
Kematian terjadi atas tubuh dan jiwa atau roh. Manusia adalah satu totalitas:
tubuh dan jiwa atau roh. Karena itu tubuh dan jiwa takluk pada kematian. Hanya
Tuhan Allah saja yang tidak takluk pada maut (1 Tim. 6:16), karena kematian
61
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Sabu Punya Cerita: Injil di Rai Due Nga Donahu 100
tahun Lalu, (Salatiga: Sata Wacana University Press, 2014), 87. 62
F.D. Wellem, Injil dan Marapu: Suatu studi historis-teologis tentang perjumpaan Injil
dengan masyarakat Sumba periode 1876-1990, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004) ,85.
27
berhubungan dengan tubuh dan roh sekaligus. Ketiga, kontinuitas yang positif
akan kesatuan tubuh dan jiwa. Kesatuan tubuh dan jiwa mendapat perhatian untuk
berbicara tentang kehidupan. Kalau tidak ada tubuh maka tidak ada jiwa, karena
itu jiwa membutuhkan sesuatu di tempat dia menetap. Dengan binasanya tubuh,
jiwa mencari tempat tinggal yang baru kesetiaan Allah terletak dalam hal
kemurahannya untuk menjamin adanya tempat tinggal yang baru bagi jiwa. Allah
bertindak untuk mencarikan rumah baru bagi jiwa. Rumah baru itu adalah dari
kenyataan ciptaan yang ada. Pandangan ini membawa kita pada ajaran tentang
reinkarnasi. Keempat, kontinuitas yang transformatif dari kesatuan tubuh dan
jiwa. Pandangan ini hampir sejajar dengan pendapat pertama. Akan tetapi, jika
pendapat pertama hanya mengatakan tentang menurunnya perkembangan tubuh,
sementara perkembangan jiwa terus meningkat serta mengabaikan adanya
kebangkitan, pandangan keempat berbicara tentang transformasi tubuh yang
menurun itu ke dalam bentuk baru yang mulia, sehingga layak untuk penyatuan
kembali di masa depan dengan jiwa pada saat kebangkitan orang mati.63
Dari keempat pandangan para teolog tersebut, dapat dipahami bahwa
pandangan pertama berhubungan dengan kepercayaan tradisional dan budaya dari
setiap daerah yang masih meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari
kehidupan melainkan sebuah kelanjutan hidup yang baru, dalam artian manusia
tidak mati dalam pengertian habis, hilang secara total dan definif. Kemudian
pandangan keempat merupakan transformasi atau pembaharuan pandangan
pertama dengan berlandaskan pada iman Kristen yang menegaskan bahwa ada
pemulihan tubuh yang telah mati sehingga layak untuk dipersatukan kembali
dengan jiwa pada saat kebangkitan orang mati. Ini menunjukkan bahwa iman
Kristen telah membawa pengaruh yang kuat dalam membaharui pola pemikiran
manusia yang menganggap bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan.
4.2 Reaksi Spontan atas Kematian secara Mendadak
Kedua, kematian secara mendadak atau tanpa persiapan seperti kematian
yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas membuat arwah dari korban yang
63
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tetapi Pantang Berdiam Diri,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 390-393.
28
telah meninggal belum siap menerima kematian yang terjadi pada dirinya. Arwah
yang seperti itu diyakini dapat mengganggu bahkan mencelakakan baik keluarga,
teman-teman maupun orang-orang yang melintasi tempat kecelakaan tersebut
sehingga dibuatlah tugu untuk menandai dan menjaga tempat kecelakaan tersebut
selama beberapa waktu pasca kejadian, dengan demikian setiap orang yang
melintasi tempat itu bisa mengetahui bahwa pernah terjadi kecelakaan di tempat
itu dan mereka harus lebih berhati-hati. Bagi masyarakat lain, terutama orang
Sabu, justru pengalaman demikian dianggap begitu mengerikan dan membuat
mereka menjadi takut untuk mengunjungi tempat-tempat yang membuat orang
mati secara mendadak karena diyakini bahwa rohnya akan kembali dan membawa
malapetaka. Oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang berani untuk berada dekat
tempat kejadian, baik untuk sekedar lewat apalagi membuat bangunan atau rumah
tinggal.64
Mengacu pada apa yang dikatakan oleh Eseis Francis Bacon bahwa
manusia takut akan kematian seperti anak-anak takut pergi ke tempat gelap; dan
sebagaimana rasa takut alamiah pada anak-anak makin besar dengan mendengar
dongeng-dongeng, demikian juga rasa takut akan maut pada manusia dewasa
bertambah bila mereka mendengar cerita-cerita tentang kematian. Maka hal itu
tidak lagi dijumpai dalam kehidupan warga jemaat Getsemani Tarus Timur.
Pengaruh iman Kristen telah memberikan perubahan persepsi mereka tentang
kematian, sehingga dari tempat yang mengerikan dan menakutkan berubah
menjadi menjadi tempat untuk berkumpul dan menghidupkan kembali kenangan
bersama almarhum/almarhumah. Hal ini juga sepadan dengan makna simbol
sebagai alat yang kuat untuk merangsang daya imajinasi manusia dan mampu
memperdalam pemahaman manusia melalui simbol tersebut, artinya keberadaan
tugu mampu menghadirkan kembali memori bersama almarhum/almarhumah dan
secara tidak langsung keberadaan tugu mampu membuat pihak keluarga maupun
kerabat yang berduka bisa memaknai dengan baik peristiwa tersebut.
4.3 Makna Tugu bagi Keluarga
Ketiga, bagi keluarga tugu tersebut menjadi tempat untuk dikunjungi pasca
peristiwa kecelakaan terjadi sekaligus menjadi sarana untuk mengingat kembali
64
Ebenhaizer, Sabu Punya Cerita...., 85.
29
bagaimana perjalanan hidup dari orang yang mereka kasihi sampai menemui
ajalnya. Tugu tersebut menjadi simbol ungkapan kedukaan dan kesedihan dari
keluarga. Hal serupa juga ada dalam tradisi orang Batak yang juga membuat tugu-
tugu peringatan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada para
leluhur yang telah meninggal.65
Pemaknaan tugu sebagai simbol ungkapan
kedukaan dan kesedihan keluarga sepadan dengan arti simbol menurut Erwin
Goodenough yang dikutip oleh F.W Dillistone dalam bukunya yang mengatakan
bahwa simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan simbol pun
memiliki kekuatannya sendiri untuk menggerakkan kita. Simbol mampu
mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan, menyelubungi,
menyampaikan, menggugah, mengungkapkan dan mengingatkan.66
Hal ini berarti
tugu menyimpan sejarah atau cerita dibaliknya. Keberadaan tugu yang demikian
tentu memiliki daya tersendiri untuk menggerakkan dan menggugah perasaan
manusia apalagi keluarga dan kerabat terdekat.
4.4 Makna Tugu bagi Teman-teman
Keempat, bagi teman-teman dalam hal ini mereka yang paling aktif dalam
hal membuat dan mengunjungi tugu serta berdasarkan kebiasaan yang dilakukan
di sekitar tugu menunjukan bahwa tugu tersebut sangat berarti bagi mereka.
Meskipun awalnya hanya merupakan bagian dari tradisi atau kebiasaan turun
temurun yang diusahakan untuk terus ada dan tidak punah namun pada akhirnya
ada makna tersendiri yang begitu penting dibalik tugu tersebut bagi mereka.
Keberadaan tugu itu sebagai bukti solidaritas persahabatan mereka, sebagai
ungkapan kesatuan dalam sebuah kebersamaan yang pernah terjalin di antara
mereka. Tugu itu mampu menjadi pusat perhatian baik dari teman maupun kerabat
jauh maupun dekat. Ada pemahaman maupun cerita yang akan dibahas di tempat
itu dan akan terus dikenang meskipun tidak ada lagi tugu di tempat kecelakaan itu
sehingga memunculkan kebiasaan membunyikan klakson kendaraan ketika
melintasi tempat kecelakaan tersebut, seolah-olah almarhum/almarhumah masih
65
Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah
Batak Cetakan ke-7, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 168. 66
F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, ter. A.
Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.
30
berada di tempat itu. Pemaknaan seperti ini selaras dengan arti simbol menurut M.
Maclver yang tertulis dalam buku The Power of Symbols yang menyatakan bahwa
simbol mengungkapkan kesatuan sebuah kelompok sekaligus merupakan sebuah
pusat perhatian, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama.67
Keberadaan tugu memiliki daya tarik tersendiri yang mampu mengajak dan
merangkul teman-teman yang jauh maupun dekat untuk duduk bersama dalam
sebuah kebersamaan di tugu tersebut degan satu ikatan perasaan yang sama yaitu
berduka. Selain itu, tugu yang dibuat oleh teman-teman juga mau mengisyaratkan
bahwa kematian adalah hal yang tidak dapat dihindari tetapi kematian tidak dapat
menghilangkan memori atau memutuskan persahabatan yang sudah terjalin dan
lewat keberadaan tugu tersebut mampu mempertegas akan hal itu.
4.5 Makna Tugu bagi masyarakat Umum
Kelima, bagi masyarakat umum tugu tersebut bermakna universal
sebagaimana pemaparan dari Goethe yang mengatakan bahwa simbol adalah
adalah sesuatu yang menggambarkan yang universal dalam artian keberadaan tugu
sebagai simbol kedukaan dapat dilihat oleh semua orang dan semua orang dapat
mengambil pelajaran dari peristiwa di balik tugu tersebut, sehingga tugu tersebut
menjadi sarana untuk mengingatkan mereka bahwa di tempat itu pernah terjadi
kematian akibat kecelakaan lalu lintas karena kecerobohan, ketidakpedulian, sikap
meremehkan aturan dari para pengguna jalan sehingga mereka yang melihat tugu
tersebut dapat lebih berhat-hati dalam bekendara. Tugu sebagai simbol layaknya
rambu-rambu lalu lintas di jalanan yang bisa mengingatkan masyarakat umum
agar lebih bijaksana ketika melintas di jalan raya karena tentu ada dampak yang
besar dari setiap kesalahan fatal yang dilakukan.
4.6 Makna Pemberian Makanan di Tugu
Keenam, ada kebiasaan yang terus dilakukan oleh jemaaat Getsemani
Tarus Timur ketika berkunjung ke tugu mini tersebut. Mereka datang dengan
berbagai bekal di tangan mereka. Ada yang datang dengan membawa makanan,
benda-benda favorit dari almarhum/almarhumah atau pun makanan tradisional
67
F.W. Dillistone, The Power of Symbols....,15.
31
seperti sirih pinang kemudian diletakkan di tugu tersebut. Kebiasaan ini pada
awalnya hanyalah tradisi tanpa makna namun perlahan-lahan berubah menjadi
suatu pemberian yang bermakna bagi mereka. Fungsi dari makanan ataupun
benda-benda kesukaan almarhum/almarhumah yang dibawa ke tugu dipahami
sebagai bentuk kepedulian, ungkapan kasih sayang dan tanda dari pihak keluarga
maupun teman-temannya bahwa meskipun almarhum/almarhumah telah tiada
namun kenangan bersama mereka akan selalu ada, sehingga hal tersebut masih
terus mereka lakukan sampai masa kini. Hal serupa juga dilakukan oleh orang-
orang Batak ketika mengunjungi tugu hanya saja ada tujuan yang berbeda dari
orang Batak ketika membawa makanan dan minuman ke tugu yang di buat.68
4.7 Makna Tugu bagi Gereja
Ketujuh, Gereja sebagai rumah bersama yang mewadahi kehidupan dan
perkembangan iman Kristen memaknai keberadaan tugu yang dibuat oleh anggota
jemaat sebagai warisan budaya orang tua zaman dulu yang perlu untuk terus
dilestarikan sejauh tidak bertentangan dengan iman Kristen karena sudah tentu
ada ikatan kasih yang pernah terjalin sejak dulu dan perlu untuk terus dijaga
sampai masa kini. Gereja juga memaknai adanya tugu tersebut sebagai bukti dari
kemahakuasaan Tuhan yang berkuasa memberi dan mengambil kehidupan
manusia melalui cara apapun. Selain itu tugu tersebut juga dapat menjadi bukti
dari kelalaian manusia yang tidak menghargai hidupnya sehingga mengendarai
kendaraan tanpa mematuhi aturan dan pada akhirnya menyebabkan kematian
secara tragis.69
5. Kesimpulan
Pada akhirnya tugu mini di jemaat Getsemani Tarus Timur hanya sebagai
reaksi spontan atau reaksi emosional dari pihak keluarga maupun kerabat atas
peristiwa kecelakaan yang terjadi dan memiliki makna yang penting bagi orang-
orang terdekat, Gereja maupun masyarakat umum. Tugu Mini yang dibuat oleh
warga jemaat Getsemani Tarus Timur dapat dimaknai sebagai simbol ungkapan
68
Lothar Schreiner, Adat dan Injil....,177. 69
Wawancara Pdt. JH (7 September 2016) dan Bapak YT (4 September 2016) di rumah
masing-masing narasumber.
32
berduka dari pihak kerabat maupun keluarga yang tentunya memiliki relasi kasih
yang menjadi dorongan utama dari reaksi spontan tersebut.
Meskipun hanya merupakan benda mati, keberadaanya pun hanya
bertahan beberapa bulan namun tugu mini tersebut seakan memiliki kekuatan atau
daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak yang melihatnya sehingga mampu
menggugah perasaan manusia yang melihat tugu tersebut.
Keberadaan tugu juga menunjukkan bahwa kehidupan jemaat sebagai
gereja sangat kuat dipengaruhi oleh budaya, relasi sosial dengan sesama, pola
pikir tradisional juga dalam pertemuan dengan kehidupan modern. Hal ini terbukti
dengan adanya tugu, bunga, rampai, lilin yang merupakan bagian dari kehidupan
modern dan sirih pinang juga makanan khas lain bisa dikategorikan sebagai
bagian dari budaya tradisional yang masih kuat sampai masa kini.
Penghayatan akan iman Kristen dan sikap terhadap kematian menunjukkan
bahwa iman Kristen itu berinteraksi dengan relasi sosial dan budaya sehingga kita
tidak dapat menolak budaya yang ada di tengah-tengah kehidupan kekristenan
karena kekristenan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Hal ini diperjelas dengan
sebuah kebiasaan untuk berdoa di tugu ketika mengunjungi tugu tersebut.
Gereja sebagai tempat bertemunya iman Kristen dan budaya harus mampu
menggabungkan kedua hal ini sehingga kekristenan tidak berjalan sendiri dan
budaya tidak berjalan sendiri bahkan masing-masing tidak saling menghakimi
bahwa pahamnya yang paling benar melainkan keduanya dapat saling mengisi
serta membuka ruang lingkup pemahaman yang baru bagi jemaat dalam hidup
sebagai umat Kristen yang berbudaya. Pengalaman-pengalam berjemaat seperti itu
harus terus diperhatikan oleh Gereja sehingga bisa ditransfomasi untuk panca
tugas GMIT yaitu Diakonia, Marturia, Koinonia, Liturgia dan Oikonomia.
33
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abineno, J.L. Ch. (1993). Pokok-pokok penting dari Iman Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Berger, Arthur Asa. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam
Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana
Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
A. Amir. dkk. (1985). Upacara Tradisional (Upacara Kematian) daerah
Sumatera Barat. Jakarta: Depdikbud
Dilistone, F.W. (2002). The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986,
terj. A. Widyamarta. Yogyakarta: Kanisius
Faisal, Sanapiah. (2003). Format-format Penelitian Sosial, dasar-dasar dan
aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Fashri, Fauzi. (2014). Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasutra
Hunt, Gladys. (2009). Pandangan Kristen tentang Kematian, terjemahan cetakan
ke-6. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Hanindita Graha Media
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua. (1995). Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka
Kadir, Moh. Daud dkk. (1985). Upacara Tradisional (Upacara Kematian)
daerah Riau. Jakarta: Depdikbud
Min, Suh Sung. (2001). Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta:
Media Pressindo
Nuban Timo, Ebenhaizer I. (2015). Allah Menahan Diri Tetapi Pantang Berdiam
Diri. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Nuban Timo, Ebenhaizer I. (2014). Sabu Punya Cerita: Injil di Rai Due Nga
Donahu 100 Tahun Lalu. Salatiga: Satya Wacana University Press
Owen, John. (2009). Kematian yang menghidupkan, terjemahan cetakan ke-3.
Surabaya: Momentum Christian Literature
34
Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra
Schreiner, Lothar. (2003). Adat dan Injil: Perjumpaan adat dengan iman Kristen
di Tanah Batak, Cetakan ke 7. Jakarta: Gunung Mulia
Whitehead. A.N. (1928). Symbolism. Cambridge University Press
Wellem, F.D. (2004). Injil dan Marapu: suatu studi historis-teologis tentang
perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode 1876-1990.
Jakarta: Gunung Mulia
Jurnal
Doss Erika. (2002). “Death, art and memory in the public sphere: the visual and
material culture of grief in contemporary America Mortality”, Vol. 7,
No. 1, 97-103.
Farmer Sarah. (1995). “Symbols that Face Two Ways: Commemorating the
Victims of Nazism and Stalinism at Buchenwald and Sachsenhausen”:
Representations, No. 49, 64-68.
Website
http://kupang.tribunnews.com/2016/01/01/jumlah-kasus-lakalantas-2015-
meningkat, diunduh pada tanggal 7 Juli 2016, Pukul 10.05 WIB
file:///F:/Jurnal&Berita/lakalantas/Statistik/Lakalantas/NTT/kecelakaan/lal
u lintas/terbesar/ketiga/diIndonesia.html, diunduh pada tanggal 7 Juli 2016, Pukul
10.13 WIB
http://m.inilah.com/news/detail/2264244/sepanjang-2015-terjadi-1053-
kecelakaan-di-ntt, diunduh pada tanggal 7 Juli 2016, Pukul 11.39 WIB