MAKNA SIMBOL DALAM ACARA PERNIKAHAN BAGI ......teman-temanku yang tiada henti-hentinya memberikan...
Transcript of MAKNA SIMBOL DALAM ACARA PERNIKAHAN BAGI ......teman-temanku yang tiada henti-hentinya memberikan...
1
MAKNA SIMBOL DALAM ACARA PERNIKAHAN BAGI MASYARAKAT
DI DESA BONTOSAILE KECAMATAN PASIMASUNGGU KABUPATEN
KEPULAUAN SELAYAR (PENDEKATAN SEMIOTIKA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
OLEH
ROSMIATI
105331102016
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
1
ii
1
iii
1
iv
1
v
1
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
“sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu selesai
(dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu berharap”.
(Q.S Alam Nasyrah ayat 6-8)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
Kepada orang tua saya terkhusus kepada ibu, saudara, suami, serta sahabat dan
teman-temanku yang tiada henti-hentinya memberikan doa dan motivasi terhadap
diriku, serta ikhlas mendukung dan mewujudkan harapanku menjadi kenyataan.
vi
1
Abstrak
Rosmiati. 2020. “Makna Simbol Dalam Acara Pernikahan Bagi Masyarakat Di
Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepuluan Selayar
(Pendekatan Semiotika)”. Skripsi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Andi Sukri Syamsuri pembimbing 1, Amal Akbar Pembimbing 2.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui simbol-simbol
yang terdapat pada upacara pernikahan masyarakat di Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar dan untuk mengetahui makna
simbol yang terkandung didalam setiap perlengkapan-perlengkpan yang
digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif berdasarkan teori semiotika C.S Pierce sebagai acuannya. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara, observasi,
dokumentasi, teknik pencatatan. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah masyarakat Desa Bontosaile yang
mempunyai pengetahuan atau wawasan mendalam mengenai makna simbol
upacara adat pernikahan masyarakat Desa Bontosaile.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa simbol-simbol yang
digunakan dalam upacara adat pernikahan di Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar, baik dalam bentuk alami maupun
yang sudah diolah pemaknaannya merupakan hasil kebudayaan masyakat. Makna
yang terkandung pada upacara adat pernikahan yaitu berisi harapan, nasehat, doa
dan rasa syukur.
Kata kunci : Makna simbolik
vii
1
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, atas rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Salawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw
sebagai suri tauladan yang telah mengantarkan manusia untuk merasakan
keindahan dan kesempurnaan Islam serta pada para sahabat dan orang-orang yang
istikamah memperjuangkan Islam dan menegakkan syariat Islam di muka bumi
ini.
Skripsi ini dengan judul “Makna Simbol dalam Acara Pernikahan bagi
Masyarakat di Desa Bontosaile, Kecamatan Pasimasunggu, Kabupaten
Kepulauan Selayar (Pendekatan Semiotika)” diajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk mengikuti ujian skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan istimewah juga penulis
sampaikan kepada Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., pembimbing I dan
kepada pembimbing II, Dr. Amal Akbar, M.Pd. yang telah memberikan waktunya
dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan semangat kepada sejak
penyunan proposal hingga sampai penyusunan skripsi.
viii
1
Terima kasih disampaikan dengan hormat kepada:
1. Prof. Dr. H. Ambo Asse., M. Ag. Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar.
2. Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D. dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
3. Para dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Makassar yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan
kepada penulis.
Rekan-rekan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia khususnya kelas A tanpa terkecuali yang telah bersama-sama penulis
menjalani masa-masa perkuliahan, atas sumbangan saran dan motivasinya yang
telah memberi warna dalam hidup penulis selama ini. Semua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak sempat disebutkan
satu- persatu terima kasih atas bantuannya.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak yang
turut mebantu penulis selama penyelesaian skripsi ini. Semoga segala bantuan
yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah
Swt. Mudah-mudahan kita semua senantiasa mendapatkan rahmat dan hidayah-
Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan
serta keterbatasan kemampuan, baik dalam melaksanakan maupun dalam
penulisan skripsi ini. Penulis yakin seseorang akan menjadi dewasa ketika telah
ix
1
dihadapkan oleh berbagai macam persoalan begitu pula dengan tulisan ini, tidak
akan menjadi tulisan yang berarti tanpa adanya kritikan.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat ikut
mewarnai ilmu dunia pengetahuan serta bernilai ibadah di sisi-Nya. Aamiin
Makassar, Oktober 2020
Penulis
Rosmiati
x
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ........................................................................ v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAK A DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka ............................................................................. 7
1. Penelitian yang Relevan .......................................................... 7
2. Makna ..................................................................................... 9
3. Makna Simbolik ...................................................................... 14
4. Pendekatan Semiotik ............................................................... 17
5. Upacara Adat Pernikahan ........................................................ 20
xi
1
B. Kerangka Pikir ............................................................................ 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................ 32
B. Desain Penelitian ......................................................................... 32
C. Definisi Istilah ............................................................................. 33
D. Data dan Sumber Data ................................................................ 33
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 34
F. Teknik Analisis Data ................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 36
B. Hasil Penelitian ........................................................................... 38
C. Pembahasa ................................................................................... 54
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ...................................................................................... 56
B. Saran ............................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 58
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan keaneka ragaman
budaya yang luar biasa. Kebudayaan adalah cerminan kehidupan masyarakat
suatu daerah, dari tata cara hidup, dapat dinilai keberadaan serta derajat
kemanusiaan dalam masyarakat daerah tersebut. Kebudayaan adalah bentuk
dari seluruh gagasan perilaku dan bendah menjadi contoh bagi masyarakat
dalam menjalani kehidupannya. Budaya sangat penting dalam membentuk
sikap dan perilaku seseorang pada suatu daerah kebudayaan menjadi modal
besar untuk membangun karakter suatu masyarakat melalui proses pendidikan
dalam arti luas
Kebudayaan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan luas,
misalnya kebudayaan yang berkaitan dengan cara manusia hidup, adat istiadat
dan tata krama. kebudayaan yang menjadi salah satu bagian penting dalam
kehidupan cenderung berbeda antara satu sekolompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat lainnya, masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan
suku juga adat dan istiadat yang berbeda-beda serta kebiasaan atau tradisi
yang masih dipertahankan sampai saat ini, termasuk adat perwakinan.
Menurut Clifford Geertz, kebudayaan adalah pola dari pengertian-
pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dan di
1
2
transmisikan secara historis‟(Geertz, 1973: 89). Ia juga mengatakan bahwa
kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang
diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat
berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikapnya terhadap kehidupan.
Keberaagaman suku bangsa Indonesia menyebabkan adanya perbedaan
terhadap sistem perkawinan terhadap masyarakat. Pada masyarakat Selayar
menjungjung tinggi adat istiadat yang menyangkut hal yang paling peka
dalam diri masyarakat Selayar, seperti martabat atau harga diri dan
kehormatan yang harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan yang
nyata.
Pernikahan merupakan sebuah janji suci yang menyatukan dua individu
dan diakui baik secara agama maupun negara. Pernikahan merupakan
pertemuan antara keluarga dengan keluarga, karakteristik khusus dalam Islam
bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti telah
ditentukan dalam syariatnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya), dan
hikma yang terkandung dalam pelaksanaan tersebut. Begitu pula halnya
dengan menikah yang telah menjadi perintah-Nya dan menjadi sunnah Rasul-
Nya. (St. Hajar 2017: 2)
Dengan perkembangan teknologi dan informasi pemerintah Kabupaten
Kepulauan Selayar berupaya untuk membina nila-nilai budaya daerah
sebagai bagian dari budaya nasional dengan berdasarkan pada penerapan
nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Selayar. Salah satu bentuk
3
yang dilakukan pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai mitra
pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur adalah menerapkan kegiatan
yang bersangkutan dengan adat istiadat di sekitar wilayah, seperti yang
diketahui bahwa adat adalah sebagai struktur dasar pengatur etika dalam
masyarakat. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pernikahan sangat
diperlukan guna memahami apa yang mendasari sebagai aspek kehidupan
masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Selayar dan saling
berkaitan dalam bentuk tatanan sosial mereka.
Budaya dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Budaya yang
mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya komunikasi yang mempengaruhi
budaya. Semua komunitas di berbagai tempat selalu memanifestasikan atau
mewujudkan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas melalui
budaya. Sebaliknya pula komunikasi yang membantu kita dalam
mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas. Hubungan reciprocal
(timbal balik) antara budaya dan komukasi penting untuk dipahami bila ingin
mempelajari komunikasi antar budaya secara mendalam. Hal ini terjadi
karena melalui budayalah orang-orang dapat belajar komunikasi. (Porter dan
Samovar, 1993: 26).
Salah satu bentuk budaya yang dapat dilihat adalah adat istiadat. Setiap
daerah memiliki adat istiadat yang berbeda-beda dan memiliki nilai-nilai
tersendiri dalam penerapannya di masyarakat, salah satunya adalah tradisi
pernikahan yang merupakan salah satu kehidupan manusia yang sangat pentin
demi kelangsungan keturunannya. Setiap suku berbeda dalam melakukan adat
istiadatnya, termasuk pada proses pernikahan yang dalam pelaksanaannya
4
mempunyai makna tersendiri dalam proses tersebut yang butuh pemahaman
mendalam untuk memahaminya, dilihat pada perlengkapan-perlengkapan
yang sering digunakan dalam acara pernikahan masyarakat Selayar
khususnya Desa Bontosaile.
Semiotika Pierce merupakan subuah tanda-tanda berkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-
akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-
tanda tersebut. Semiotika Carles Sander Pierce menjadi salah satu kajian dan
menjadi acuan dalam penelitian ini yang bertujuan untuk menegetahui
makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna
dari objek tersebut. Didalam teori semiotika Pierce menjelaskan tiga bagian
berdasarkan objeknya, ikon, indeks, dan simbol (Zoest, 1993: 9). Namun
dalam penelitian hanya berfokus pada simbolnya.
Dilihat sekarang ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui
apa sebenarnya makna yang terkandung dari simbol-simbol yang digunakan
dalam proses pernikahan yang dimulai dari pranikah (a’kuta’nang, assuro,
paknassa, attaraluk, mapacci atau appassirangga) sampai pada proses nikah,
(angruppai bonting, panai’balanja/erang-erang, a’nikkah/appabattunikkah,
a’matoang) itu yang diadakan pada saat pernikahan khusunya di daerah Desa
Bontosaile. Terutama pada anak jaman sekarang yang kebanyakan tidak
mengetahui makna dan arti simbol-simbol yang di gunakan pada saat proses
pernikahan, padahal mereka yang melaksanakan pesta pernikahan, mereka
hanya mengikuti kebiasaan-kebiasaan itu secara turun-temurun saja dari
nenek moyang, fenomena yang terjadi di masyarakat meresmikan atau
5
memeriahkan pernikahan dengan menggunakan prosesi budaya adat,
masyarakat Selayar di Desa Bontosaile masih banyak yang kurang mengerti
tentang makna dari prosesi pernikahan yang dijalankan ketika mereka
menikah, oleh sebab itu banyak peneliti yang mengkaji makna simbolik dari
setiap upacara dan kebudayaan yang ada pada daerah mereka masing-masing.
Diketahui juga, disetiap daerah memiliki adat budaya yang berbeda-beda
termasuk dalam pemaknaan dan langkah-langkah pelaksanannya. Sehingga
penulis mengadakan penelitian ini untuk mengetahui dan memperluas tentang
adat budaya proses pernikahan khususnya adat Desa Bontosaile dengan
menggunakan kajian semiotika Charles Seander Pierce yang membahas
tentang sebuah tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
menyerupainya seperti lambang simbol. Dan memperkenalkan salah satu adat
budaya Desa Bontosaile di Kabupaten Kepulauan Selayar Kecamatan
Pasimasunggu.
Berdasarkan uraian di atas masyarakat yang kurang memahami makna
yang terkanddung dari simbol upacara adat pernikahan maka peneliti tertarik
untuk meneliti “Makna Simbol Upacara Adat Pernikahan Msayrakat di Desa
Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulaun Selayar
(Pendekatan Semiotika). Diadakannya penelitian ini diharapkan agar
masyarakat dapat mengetahui makna simbol yang terkandung pada setiap
upacara adat pernikahan khususnya pada masyarakat Desa Bontosaile.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: Makna apa sajakah yang terdapat dalam simbol-simbol upacara adat
6
pernikahan masyarakat Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu
Kabupaten Kepulauan Selayar (Pendekatan semiotika)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan: “Makna simbol upacara adat pernikahan masyarakat Desa
Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
(Pendekatan semiotika)”.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi
pembaca dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang lain.
b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan yang penting
kepada peneliti khususnya mereka yang mengkaji makna simbol.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat
setempat maupun masyarakat lainnya tetap mempertahankan nilai-nilai
luhur dan kebudayaan masing-masing, salah satunya adat upacara
pernikahan.
b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi informasi baru
bagi pembaca.
7
BAB 1I
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian ini
diantaranya:
Pertama penelitian yang dilakukan oleh Jumalia pada tahun 2016
dengan judul “Makna Simbolik Kelong Makassar Simpung Pakmaik”. Hasil
penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan makna kelong simpung
pakmaik, yang berkaitan dengan kerangka atau konsep kepercayaan
masyarakat. Berdasarkan karakteristiknya, penelitian ini menggunakan metode
deskriptif melalui pendekatan semiotik. Data dalam penelitian ini adalah teks
Kelong Simpung Pakmaik. Sedangkan yang menjadi sumber data adalah
kelong-kelong Makassar, baik yang berbentuk tulisan yang terdapat dalam
literatur lain yang ada kaitannya dengan objek kajian ini. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik dokumentasi yaitu membaca dan mengkaji
makna simbol dalam kelong Simpung Pakmaik.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Supriadi pada tahun 2018 dengan
judul “Makna simbol-simbol pada Rumah Adat Kecamatan Binamu Kabupaten
Jeneponto”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif yaitu peneliti melakukan pengamatan dan terjun langsung
kelapangan dan symbol yang terdapat pada rumah adat Binamu meliputi:
7
8
tangga, kepala rumah, jendela, kosen pintu, ukuran dinding, hiasan paladang,
siring, pammakang, pintu rumah.
Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Mantang pada tahun 2018 dengan
judul “Makna Simbolik dalam Perayaan Jepe Syura Sepuluh Muharram di
Pulau Barang Lompo Kecamatan Sangkarrang Kota Makassar” Hasil penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji informasi mengenai makna simbol pada
perayaan Jepe Syura di pulau Barrang Lompo Kecamatan Sangkarrang Kota
Makassar. Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian lapangan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data
kualitatif diperoleh berdasarkan data yang diteliti yang berkaitan dengan
masalah yang menjadi fokus penelitian. Pengumpulan data penelitian ini
dilakukan dengan teknik wawancara, simak catat, studi pustaka, dan
dokumentasi. Dari penelitian mengenai simbol benda dalam perayaan Jepe
Syura meliputi simbol makanan dan simbol suasana dalam perayaan Jepe
Syura terdapat lantunan macam-macam dzikir yang terdapat di dalamnya dan
jika dipahami terjemahan dzikir bahwa kita selalu mendekatkan diri kepada
Allah Swt dan menghindari larangnnya. Simbol dzikir dalam suasana perayaan
Jepe Syura yaitu simbol kesyukuran kepada Allah Swt agar terhindar dari
keburukan.
Berdasarkan uraian tentang penelitian relevan tersebut terdapat
persamaan dan perbedaan dalam penelitian ini persamaan tersebut adalah
memiliki kesamaan dalam mengkaji suatu makna simbol dalam suatu
masyarakat. Sedangkan letak perbedaan antara penelitian yang relevan dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yakni terletak pada masyarakat
9
yang berbeda. Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan peneliti
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.
2. Makna
a) Pengertian Makna
Makna (pikiran atau referensi) adalah hubungan antara lambang
(simbol) dan acuan atau referen. Hubungan antara lambang dan acuan bersifat
tidak langsung sedangkan hubungan antara lambang dengan referensi dan
referensi dengan acuan bersifat langsung Ogden dan Richards (dalam Sudaryat,
2009: 13). Batasan makna ini sama dengan istilah pikiran, referensi yaitu
hubungan antara lambang dengan acuan atau referen (dalam Sudaryat,
2009:13). Secara linguistik makna dipahami sebagai apa-apa yang diartikan
atau dimaksudkan oleh kita (Homby dalam Sudaryat, 2009: 13).
Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang. Berarti orang
tersebut memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni
suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi
tertentu Mansoer (dalam Pateda, 2001: 82).
Dari pengertian makna yang telah disampaikan oleh para pakar dapat
disimpulkan bahwa makna adalah hubungan antara kata (leksem) dengan
konsep (referensi), serta benda atau hal yang dirujuk (referen).
b) Jenis-jenis Makna
1) Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk abjektif yang diturunkan dari bentuk nomina
leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan
10
kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian,
makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, besifat
leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal
adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita, umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa
binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna
ini tampak jelas dalam kalimat tikus itu mati diterkam kucing, atau panen kali
ini gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal.
Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai
dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir
sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses komposisi (Chaer,
1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat batu seberat
itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna „dapat‟, dan dalam kalimat
ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna
gramatikal „tidak sengaja‟.
2) Makna Referensial dan Nonreferensial
Perebedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan
ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai
referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata
tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak
mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata
meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen,
11
yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟. Sebaliknya kata
karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena tidak mempunyai referen,
jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3) Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab
makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan
hasil obsevasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotatif sering disebut sebagai
„makna sebenarnya‟ contoh kata perempuan dan kata wanita kedua kata itu
mempunyai dua makna yang sama, yaitu „manusia dewasa bukan laki-laki‟.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu
mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai
rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut
berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
Misalnya kata ceramah dulu kata itu berkonotasi negatif karena berarti
„cerewet‟, tetapi sekarang berkonotasi positif.
4) Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya dan konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai
makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks.
12
Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang
keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat
dilihat dari contoh berikut
a) Tangannya luka kena pecahan kaca.
b) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim
atau bermakna sama. Namun, dalam bidang kedokteran kedua kata itu
memiliki makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan
sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan
sampai kepangkal bahu.
5) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (dalam Chaer 2009 : 72-73) membagi makna menjadi makna
konseptual dan makna asosiatif yang dimaksud dengan makna konseptual
adalah makna yang memiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai. Jadi makna konseptual sesungguhnya
sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang memiliki sebuah leksem atau
kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada
di luar bahasa. Misalna, kata melati dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
13
6) Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh
dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna „bekerja keras‟,
meja hijau dengan makna „pengadilan‟.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih bisa
ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi”
antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya
peribahasa seperti anjing dengan kucing yang bermakna dikatakan dua orang
yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang
namanya kucing dan anjing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah
damai.
7) Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan
sebagai oposisi dari arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya.
Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang
tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, dan arti
denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri
malam dalam arti bulan, raja siang dalam arti matahari.
14
3. Makna Simbolik
Makna berasal dari bahasa Inggris yakni sense, berasal padanan kata
dan arti (meaning) “makna adalah (1) arti, (2) maksud pembicara atau penulis,
pengertian yang diberikan dalam bentuk kebahasaan” (Samsinar 2017 : 15)
Makna adalah peraturan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu
sendiri terutama pada tataran kata-kata. Sementara makna budaya menyangkut
masalah intra bahasa. Dalam hal ini makna sebagai penghubung bahasa dengan
dunia luar harus sesuai dengan kesepakataan para pemakainya sehingga dapat
saling dimengerti, ciri seperti ini dalam istilah linguistic disebut konvensi
(kesepakatan para pemakai bahasa) (Jumalia 2016:9).
Wijaya (Maria 2012 : 24), menyatakan makna adalah konsep abstrak
pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang perorang. Secara
singkat, Darma (Maria 2012: 25), juga menyatakan makna diciptakan oleh
sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam
bentuk teks.
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar
bentuk, perwujudan bentuk simbol itu sendiri, simbol tidak dapat disikapi
secara isolative, terpisah dari hubungan asosiatif dengan yang lainnya. Berbeda
dengan lambing, simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianologikan
sebagai kata yang terkait dengan (a) penafsiran (b) kaidah pemakaian sesuatu
yang jelas wacananya dan, (c) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi
pemakainya (Aminuddin, 1995:67).
15
Proses simbolik terjadi pada saat manusia menciptakan simbol
dengan cara membuat suatu kesepakatan tentang sesuatu untuk menyatakan
sesuatu. Menurut Hayawaka (Maria 2012: 25), proses simbolik terdapat pada
semua tingkat peradaban manusia dari yang paling bawah sampai pada
kelompok yang paling atas. dalam proses interaksionisme simbolik meletakkan
tiga landasan aktivitas manusia dalam bersosilisasi ialah : (1) sifat individual,
(2) interaksi dan (3) interpretasi.
Smith (Oktyawan 2014:13), mengungkapkan dalam suatu tulisan
tentang manusia sebagai makhluk yang mampu menggunakan simbol,
menunjuk pentingnnya konteks dalam makna simbol. Simth (Oktyawan 2014:
13) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran relasional tidak
akan mungkin terjadi. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengisolasi
hubungan dan mengembangkannya dalam makna abstrak manusia berfikir,
berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.
Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas manusia yang
membedakannya dari hewan.
Ricoeur (Driyanti 2011 : 47), mengatakan semua yang ada harus
dilihat atau diwakili oleh simbol-simbol. Pada mulanya simbol adalah tanda
yang diekspresikan dan dikomunikasikan dengan makna tertentu. Meskipun
simbol memiliki elemen dari alam semesta seperti udara, air, bulan ataupun
benda-benda, tetap saja ia memiliki dimensi simbolik. Setiap tanda yang
memiliki arti, dan tujuan tertentu di belakang benda tersebut. Simbol dapat
dipahami dengan baik bila berawal dari yang literal dan karena adanya keadaan
yang bertentangan dengan makna yang kedua, maka akan ditemukan makna
16
yang lebih dalam darinya. Simbol juga dapat memperjelas hubungan antara
makna literal dan makna simbolik. Objektivitas makna tergantung pada
bagaimana proses itu sendiri yaitu antara relasi pertentangan makna kedua
dengan makna pertama. Makna simbolik ditentukan di dalam proses itu sendiri
dan berasal dari makna literal dan pertentangan dengan yang dipertentangkan.
Ricouer (Driyanti 2011: 47), merumuskan simbol sebagai semacam
struktur signifikan yang mengacu pada sesuatu, secara langsung dan mendasar
dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna yang mendalam yang
hanya akan terjadi apabila makna yang pertama atau makna literal dapat
ditembus. Dalam menemukan makna dari simbol literal, terkadang akan
muncul makna kiasan. Ricoeur (Driyanti 2011: 47), menganjurkan untuk
menolak makna kiasan tersebut karena simbol dan makna kiasan tidak bertitik
tolak pada hal yang sama. Simbol mendahului hermenutik, sedangkan kiasan
sifatnya hermeneutik.
Simbol dihadirkan dengan makna transparan yang berbeda, sehingga
munculnya makna dari simbol yang literal tidak bisa diinterpretasi secara
kiasan. Makna adalah maksud atau segala sesuatu yang melekat dibalik wujud
ujaran atau benda tertentu, dengan kata lain, makna merupakan konsep yang
tersembunyi di balik realitas sosial berdasarkan pengalaman manusia.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa makna simbolik
dapat dipahami dengan baik bila diawali dari yang literal dan karena adanya
keadaan yang bertentangan dengan makna yang kedua, maka akan ditemukan
makna yang lebih dalam darinya. Simbol juga dapat memperjelas hubungan
17
antara makna literal dan makna simbolik, makna simbolik ditentukan di dalam
proses itu sendiri dan berasal dari makna literal dan pertentangan dengan yang
dipertentangkan.
4. Kajian Semiotika
a) Pengertian Semiotika
semiotika atau semiologi berasal dari kata “semion” (bahasa Yunani)
yang berarti tanda atau makna. Ferdinan De Saussure mendefinisikan semiotik
atau semiologi di dalam Course in General Linguistcs, sebagai ilmu yang
mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara
sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-
tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006). Semiotika sebagai suatu
model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan
yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Dengan demikian
semiotik mempelajari hakikat keberadaan suatu tanda (Sobur, 2006).
Hoed (Somad 2016 : 106) dijelaskan bahwa semiotik adalah ilmu
tentang tanda. Tanda adalah segala hal baik fisik maupun mental, baik di dunia
maupun dijagat raya, baik di dalam pikiran manusia maupun sistem biologi
manusia dan hewan, yang diberi makna oleh manusia. Jadi, tanda adalah
apabila bermakna bagi manusia.
Menurut Eco (Ratna 2004 : 105), semiotika berhubunagn dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu
yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain.
18
Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Zoest,1993:1),
semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederatan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, maka penulis
menyimpulkan bahwa tanda dalam semiotika bukan hanya gambar seperti
gunung, gambar rumah dan lain-lain. Tanda tentu tidak hanya ditafsirkan
secara tersurat melainkan secara tersirat. Sebuah tanda sebagai dasar
munculnya makna, tidak hanya bermakna apa yang diacu oleh yang terlihat
pada tanda, melainkan bisa menimbulkan makna lain. Dengan semiotika itulah
tanda bisa diketahui makna sebenarnya.
b) Konsep Semiotika (Teori Charles Sander Peirce)
Menurut Peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika
mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran menurut peirce
dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir,
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna atau triangle meaning
yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, interperent.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce
terdiri dari simbol (yang muncul dari kesepakatan), ikon ( sebab-akibat) dan
indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan
19
tanda itu disebut objek, objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang
menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpentant atau
pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya kesuatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna yang muncul dari sebuah tanda
ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi (Supraptono, 2013:101).
Oleh karena itu dalam pengkajian ini semiotik yang dipelopori oleh
peirce akan digunakan dengan prinsip-prinsip seperti:
1). Simbol
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang disepakati bersama. Lambang berada pada ranah konotatif,
sedangkan ikon merupakan ranah denotatif. Makna yang muncul dalam simbol
memerlukan kesepakatan bersama (konvensi), sedangkan ikon tidak
memerlukan konvensi. Simbol muncul karena kebutuhan manusia dalam hal
komunikasi massa. Contohnya: simbol bintang yang merupakan tanda bagi
seseorang berpangkat tinggi. Semakin banyak jumlah bintang yang dipasang
pada seragam, maka semakin tinggi pula derajat dan jabatan orang tersebut.
2) Ikon
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat
pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang
dimaksudkan. Misalnya, pass photo anda merupakan ikon anda sendiri,
kemudian logo stasiun swasta yang menyerupai matahari sebagai ikon dari
20
matahari yang telah disederhanakan. Ikon merupakan perwakilan dari ciri fisik
(2 atau 3 dimensi) yang mana bentuk tersebut menyerupai dengan apa yang
dipresentasikannya. Ikon tidak memerlukan kesepakatan (konvensi) dalam
memaknainya, ikon bukan hanya berupa gambar yang disederhanakan namun
setiap gambar yang mewakili obyek yang direpresentasikan.
3). Indeks
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan
apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap
dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki ditanah merupakan
tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah
indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
5. Upacara Adat Pernikahan
Pengertian pernikahan atau perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
tertang perkawinan, pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal didasarkan pada kebutuhan
Yang Maha Esa.
Menurut Gordberg (Fatmawati 2019 : 3) pernikahan merupakan suatu
lembaga yang sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan
suatu lembaga yang tahan uji. Menjanjikan sesuatu keakraban yang bertahan
lama dan bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan interpersonal.
21
Menurut Soemiyati (Fatmawati 2019 : 4) pengertian pernikahan atau
perkawinan ialah perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang
wanita. Perjanjian dalam hal ini bukan sembarang perjanjian tapi perjanjian
suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Suci di sini dilihat dari segi keagamaan dari suatu pernikahan.
Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang
masih dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup tinggi bagi kebutuhan
masyarakat pendukunnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat
berhubungan arwah para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan
manusia untuk menyusaikan alam dan lingkungnnya dalam arti luas.
(Munawarroh Alvina 2016: 1)
Adat tersebut biasanya memuat nilai dan norma yang harus dijunjung
tinggi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, adat ialah kaidah-kaidah
sosial yang tradisional yang sakral ini berarti bahwa ialah ketentuan leluhur
dan ditaati secara turun temurun. Ia merupakan tradisi yang mengatur
masyrakat penduduk asli Indonesia yang dirasakan oleh anggota-anggotanya
sangat mengikat. Sebagai kaidah-kaidah sosial yang dianggap sakral, maka
pelaksanaan adat ini hendaknya dilaksanakan berdasarkan norma-norma adat
yang berlaku disetiap daerah dengan tanpa memperhatikan adanya stratifikasi
dalam kehidupan masyarakat. Syah (dalam Nurlin Ibrahim, 2009:5)
Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata
legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan
tetapi lebih dari itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina
22
kehidupan keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharapkan
kedua individu itu dapat memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan
dirinya. Pernikahan sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagiaan
individu yang terlibat didalamnya.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan
secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan
memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama,
budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-
kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat
dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara
pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk
melakukan uapacara berdasarkan adat-adat istiadat yang berlaku, dan
kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Pada dasarnya
pernikahan terbagi atas 2 (dua) yaitu: pranikah (tahap sebelum pernikahan) dan
nikah (tahap pernikahan berlangsung) Berikut ini akan memaparkan prosesi
adat pernikahan di Desa Bontosaile serta ungkapan-ungkapan yang digunakan
dalam bahasa Selayar dan terjemahannya:
a. Pra Nikah (Tahap Sebelum Pernikahan)
Pada umumnya proses pernikahan yang ada pada suku-suku bangsa
Indonesia khususnya Sulawesi Selatan itu sama saja diawali dari perkenalan
23
antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya memiliki nilai-nilai adat istiadat yang berbeda-beda.
1) A’kuta’nang (mencari informasi)
A’kuta’nang merupakan suatu kegiatan mencari informasi dengan
tujuan untuk mengetahui apakah si gadis yang telah dipilih itu belum ada
yang mengikatnya dan adakah kemungkinan untuk diterima dalam lamaran
tersebut. Jika belum ada maka pihak keluarga laki-laki akan mengutus
orang yang terpandang di lingkungan setempat untuk menyampaikan
lamaran. Jika dalam penyelidikan belum ada yang mengikatnya maka
pihak keluarga laki-laki akan mengutus orang untuk menyampaikan
lamarannya.
biasanya penyelidik dan keluarga si gadis diselipkan kata-kata memuji
si gadis sambil diiringi pertanyaan riemo to suro na anakta? (sudah
adakah yang datang untuk melamar anak ibu?). maka jawaban yang akan
didengar inaimo la a’ra’ ri na togelepa ngissek gauk-gauk (siapakah yang
mau sama orang yang belum tau apa-apa) dan jika jawabannya tideppa
(belum ada). Maka jawaban yang akan diberikan kira-kira ampa assuroi si
anu laritarima juai ( jika si dia yang melamar apakah lamarannya akan
diterima)
2) Assuro (melamar)
Setelah a’kuta’nang maka pada hari yang telah ditentukan kembali
utusan dari keluarga calon pengantin laki-laki untuk menemui keluarga
24
calon pengantin perempuan, sedangkan calon Pengantin laki-laki tidak
diperbolehkan untuk datang kerumah calon pengantin perempuan.
Sebelum utusan ke rumah calon pengantin perempuan terlebih dahulu
disampaikan kalau kedatangnnya ini masih bersifat rahasia. Utusan
biasanya adalah kepala dusun atau keluarga sendiri.
Pada mulanya utusan bercerita setelah berhadapan dengan orang tua
calon pengantin perempuan tentang suatu hal yang tidak ada hubungannya
dengan maksud dan tujuannya. Pada pertemuan ini akan dibicarakan
sungrang (mahar) dan doe belanja (uang panaik). Jika maksud dan tujuan
kedatangnnya sudah tersampaikan maka utusan akan kembali kerumah
calon pengantin laki-laki untuk membicarakan hasil pembicaraan dengan
keluarga calon pengantin perempuan mengenai sungrang (mahar) dan doe
belanja (uang panaik) sebagai syarat pernikahan.
3) Paknassa (mengulangi untuk mempertegas/mempererat)
Kata paknassa artinya memepertegas kembali atau mempererat. Pada
tahapan ini kedua belah pihak bersama mengikat janji atau kesepakatan
pembicaraan sebelumnya. Dalam pertemuan ini akan dibicarakan kembali
sungrang (mahar), doe balanja (uang panaik/mahar) dan menentukan hari
baik untuk melangsungkan pernikahan.
Pada tahapan ini utusan keluarga calon pengantin laki-laki membawa
erang erang (barang hantaran) yang akan diberikan kepada keluarga calon
pengantin perempuan. Setelah membicaran sungrang (mahar) doe balanja
25
(uang panaik/mahar) maka akan ditentukan tanggal, bulan dan hari
pernikahan.
4) Acara Taraluk (dilindungi)
Keberagaman khasanah budaya dan tradisi masyarakat lokal Desa
Bontos aile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
tergambar sekilas lewat tradisi taraluk pada malam persiapan pesta hajatan
pernikahan pasangan pengantin. Kesan sederhana sangat kontras terlihat
pada rangkaian prosesi taraluk yang mengirimi malam persiapan pesta
pernikahan.
Prosesi taraluk hanya diwarnai oleh keberadaan sejumlah piring atau
dulang alas yang berisi beras, lilin, pisang, kelapa, buah pinang, daun pacar,
jagung sangrai, tandang bunga kelapa yang masih muda dengan komba
(daun siri). tandang bunga kelapa yang masih muda diusapkan pada bagian
dada dan dahi calon mempelai pria yang menurut kepercayaan adat suku
Bugis, diyakini mampu menghadirkan suasana dingin dalam perjalanan
sebuah rumah tangga.
Orang Selayar menjadikan tandang bunga kelapa yang masih muda
sebagai simbol kelanggengan bahtera rumah tangga. Sebelum memasuki
area pangsa, tempat duduk calon mempelai yang akan melalui proses
taraluk, kedua calon mempelai terlebih dahulu di cuci kakinya dengan
menggunakan air yang ditempatkan secara khusus di dalam wadah piring.
Di pandu oleh seorang tetua yang lebih lazim disebut dengan istilah
sandro, tamu-tamu undangan akan bergiliran menerima baki yang berisi
26
berbagai jenis prasyarat sahnya ritual taraluk. Pada putaran berikutnya,
piring atau dulang alas tersebut akan diputar mengelilingi kedua calon
pengantin dengan hitungan bilangan yang telah ditentukan oleh tertua atau
sandro. Pada putaran pertama, baki akan mengelilingi area pangsa sebanyak
delapan kali, demikian sebaliknya, pada putaran kedua.
Prosesi yang disertai dengan ritual lempar beras ke arah calon
mempelai akan terus dilakukan hingga bilangan angkanya dianggap genap
tiga puluh empat kali putaran. Hitungan dimulai dari putaran pertama dan
kedua sebanyak enam belas kali putaran, kemudian dilanjutkan kembali
pada putaran ketiga sampai putaran keempat.
Selain piring yang berisi sarung, pakaian wanita, baju kaos pria, dan
seperangkat alat shalat sebagai simbolisasi kehidupan religius masyarakat
Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasungggu Kabupaten Kepulauan Selayar.
Bersama baki-baki tersebut, bungkusan yang dikemas kain putih, ikut
dihadirkan di tengah ritual taraluk sebagai simbol kesucian ikatan tali
pernikahan. Prosesi taraluk yang umunya dikemas bersamaan dengan
sejumlah acara adat berkesan sakral sebagai rangkaian tak terpisakan dari
tradisi pesta perkawinan masyarakat lokal Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar.
5) Mapaccing/appassirangga
Mapaccing/passirangga merupakan salah satu bentuk kebudayaan
khas Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan yang telah tumbuh
dan berkembang selama berabad-abad silam. Sebuah budaya warisan turun
27
temurun dari generasi ke generasi yang hingga saat ini masih terus dijaga
dan dilestarikan oleh warga masyarakat Bumi Tanadoang, Selayar.
Rangkaian upacara sakral passirangga, digelar hampir pada setiap
pelaksanaan pesta, dengan mendudukkan para pemangku adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama, serta jajaran aparat pemerintah dususn, sampai
struktur pemerintah desa.
Budaya passirangga adalah salah satu bahagian sakral dari sebuah
prosesi pesta pernikahan yang mengandung makna akan segera lepasnya
masa lajang sepasang calon pengantin. Rangkaian prosesi passirangga
biasanya diawali dengan kegiatan doa bersama dalam bentuk barazanji yang
bertujuan untuk mendoakan, agar calon pengantin dapat membangun rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahma dan segera memperoleh
keturunan yang shaleh dan shaleha.
Setelah seluruh rangkaian baranziji selesai, proses passirangga
dilanjutkan dengan pemberian doa restu dari keluarga besar calon mempelai
wanita dan aparat pemerintah yang turut hadir di dalam rangkaian upacara
adat ini.
Mapacci atau passirangga merupakan ritual adat sesudah taraluk.
Mapaccing sendiri bisa diartikan memberikan daun pacar ke calon
mempelai sebagai bentuk doa restu. Orang-orang yang biasa dipanggil
biasanya pasangan yang pernikahannya bahagia dan kedudukan sosialnya
baik, agar kelak bisa mengikuti jejak pasangan tersebut. Mapacci atau
28
passirangga dilakukan dilakukan menjelang pernikahan pada esok hari di
rumah calon pengantin perempuan.
b. Nikah (Tahap Pernikahan Berlangsung)
Acara pesta pernikahan merupakan acara inti dari berbagai rangkaian
dan tahapan dalam adat pernikahan. Dalam agama Islam pernikahan
dianggap sah setelah melakukan ijab kabul, begitu juga dengan adat
pernikahan di Desa Bontosaile. Namun masyarakat di Desa Bontosaile
memiliki beberapa tahapan proses pelaksanaan pernikahan.
1) Angruppai bonting (menyambut pengantin)
Apabila pengantin laki-laki beserta pengantarnya telah sampai ke rumah
pengantin perempuan, pengantin dipanggil oleh sandro yang telah ditunjuk
untuk akkeo bonting (memanggil pengantin) sambil mengahamburkan beras
sedikit demi sedikit sebanyak satu genggam kepada pengantin laki-laki dan
pengantarnya.
2) Panaik balangja dan ngerang-ngerang (uang panaik dan mengantar
barang hantaran)
Panaik balanja adalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak laki-laki
untuk mengantar semua yang telah disepakati pada saat acara paknassa serta
bahan-bahan yang akan digunakan pada saat upacara pernikahan yang telah
disepakati bersama.
Panaik balanja dilakukan semeriah mungkin, diikuti oleh sanak
keluarga besar baik tua maupun muda, perempuan dan laki-laki. Barang-
29
barang yang dibawapun mempunyai aturan sendiri menurut adat di Desa
Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar, waktu
pelaksanaannya dilakukan hari sebelum akad nikah dan bisa juga dilakukan
dihari yang sama pada saat a’nikkah (nikah).
3) A’nikkah dan a’ppabattunikkah (ijab kabul)
Proses akad nikah merupakan acara yang paling puncak yang
mendapat perhatian dari para undangan, proses ini juga sangat sakral. Dalam
proses ini calon mempelai laki-laki melaksanakan ijab kabul dengan wali
orang tua dari calon mempelai perempuan. Dalam pelaksanaan akad nikah
perempuan tidak dihadirkan akan tetapi mempelai perempuan menunggu di
kamar. Setelah acara ijab kabul selesai pengantin laki-laki diantar menuju
kamar pengantin perempuan untuk dipertemukan, akan tetapi sebelum
memasuki kamar, setelah dibuka biasanya pengantin laki-laki tidak segera
dapat masuk karena ditahan oleh penjaga pintu dan baru bisa masuk apabila
sudah diberikan uang berupa tebusan yang disebut pambungkara bohong
setelah diberi tebusan barulah pengantin laki-laki dituntun untuk bertemu
istrinya. Proses a’ppabattunikkah dengan menyentuh salah satu bagian
anggota tubuh pengantin perempuan serta pengantin laki-laki mencium
kening pengantin perempuan. Setelah selesai kedua mempelai duduk
bersanding dipelaminan yang telah disiapkan untuk menyapa para tamu
undangan.
4) Matoang (mempelai perempuan diantar kerumah mertuanya)
Matoang merupakan kunjungan mempelai pengantin perempuan ke
rumah orang tua mempelai laki-laki. Mempelai pengantin perempuan
30
diantar oleh keluarga besar serta para tetangga, dengaan tujuan untuk
meminta maaf dan meminta restu dari keluarga mempelai laki-laki,
mempelai pengantin perempuan juga membawa seserahan berupa
perlengkapan untuk pengantin laki-laki. kedatangan kedua mempelai beserta
bersama rombongannya dijemput dengan meriah. Kunjungan ini sangat
penting bagi masyarakat Selayar karena kunjungan tersebut menandakan
kalau pengantin perempuan diterima dengan baik di keluarga mempelai
laki-laki. Di matoang inilah, mempelai kembali sungkem kepada orang tua
dan kerabat yang dituankan dari mempelai laki-laki. acara a‟matoang selesai
kedua mempelai akan kembali ke rumah mempelai perempuan.
B. Kerangka Pikir
Memperhatikan uraian pada tinjauan pustaka, maka akan diuraikan
beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai landasan berfikir. Selanjutnya
landasan berfikir akan mengarahkan penulis untuk menemukan data dan
informasi dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah
dipaparkan, serta dapat dijadikan pegangan dalam penelitian ini. Judul
penelitian makna simbol dalam acara pernikahan bagi masyarakat di Desa
Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar dengan
menggunakan pendekatan semiotika.
Upacara adat pernikahan di masyarakat Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar terbagi atas dua tahap yaitu
tahap pranikah dan nikah, Namun peneliti hanya berfokus pada makna simbol
menggunakan pendekatan semiotika. Adanya pendekatan dan relevansi dalam
31
penelitian dengan objek yang akan dikaji akan lebih memudahkan peneliti
dalam mengkaji beberapa unsur yang saling berkaitan dalam acara pernikahan
di Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
sehingga dari analisis tersebut dapat menghasilkan suatu temuan
Bagan 2.1 Kerangka Pikir
Upacara adat pernikahan Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
Pendekatan Semiotika
Ikon Indeks Simbol
Carles Sander Pierce
Analisis
Temuan
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Peneltian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskriptif kualitatif
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan segala
sesuatu yang berhubungan dengan penelitian, dengan kata lain penelitian ini
penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh informasi
mengenai keadaan yang ada. Menurut Arikunto (2002 : 6) metode kualitatif
yang bersifat deskriptif dimaksudkan adalah bahwa data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Jenis penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi dengan menggambarkan
secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan fenomena atau berusaha
menggambarkan suatu gejala sosial yang tengah berlangsung.
B. Desain Peneltian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif
kualitatif. Desain deskriptif kualitatif adalah rancangan penelitian yang
menggambarkan variabel penelitian tidak dalam bentuk angka-angka atau
statistik. Maksudnya, dalam penelitan ini, peneliti akan hanya
mendeskripsikan makna simbol upacara adat pernikahan masyarakat Desa
Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
(pendekatan semiotika). Dalam penerapan desain penelitian ini, peneliti mula-
32
33
mula mengumpulkan data, mengelolah dan selanjutnya menganalisis data
secara objektif atau apa adanya.
C. Definisi Istilah
Untuk menghindari terjadinya salah penafsiran dalam peneltian ini,
peneliti menganggap perlu dikemukakan definisi istilah. Adapun definisi
istilah pada penelitian ini yanitu sebagai berikut :
1. Pernikahan adalah upacara yang perlu di sakralkan dan dikenang, bukan
hanya calon mempelai tetapi juga keluarga, baik secara agama, maupun
secara negara yang dihadiri oleh kerabat terdekat.
2. Semiotika adalah Sebuah tanda sebagai dasar munculnya makna, Dengan
semiotika tanda bisa diketahui makna sebenarnya.
D. Data Dan Sumber Data
Adapun data dan sumber data pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Data
Data dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh mengenai acara
Pernikahan pada masyarakat yang dijadikan fokus penelitian dalam
melakukan penelitian.
2. Sumber data
Sumber data pada penelitian ini adalah masyarakat yang dianggap
mempunyai pengetahuan atau wawasan yang mendalam tentang makna
simbol pada pernikahan yang ada di Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar.
34
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data yakni :
1. Teknik wawancara yaitu peneliti melakukan wawancara langsung atau
tatap muka dengan informan, dalam hal ini peneliti melakukan wawancara
yang berkaitan dengan acara adat pernikahan, dengan menyediakan daftar
pertanyaan kepada informan. penulis hanya menentukan topik disertai
dengan rincian cakupan penelitian
2. Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan
pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti.
3. Dokumentasi adalah memperoleh data langsung dari tempat penelitian
yaitu dengan wawancara meliputi laporan kegiatan, peraturan-peraturan,
foto-foto, peneliti menggunakan gambar dengan maksud agar data yang
diumpulkan lebih akurat.
4. Teknik pencatatan, yaitu peneliti mencatat semua hal-hal yang
berhubungan dengan makna simbol upacara adat pernikahan masyarakat
Desa Bontosaile yang diperoleh dari informan, ke dalam buku catatan
yang telah disapkan. Apabila masih ada hal-hal yang meragukan atau
belum lengkap maka hal ini dapat diperbaiki dengan cara menanyakan
kembali kepada informan sebelum meninggalkan lokasi penelitian.
35
F. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah
tekhnik analisis deskriptif kualitatif. Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam mengalisisis data yaitu sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan mengumpulkan data tentang makna simbol yang
terdapat dalam upacara adat pernikahan Desa Bontosaile Kecamatan
Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar.
2. Menafsirkan makna simbol pada acara pernikahan di Desa Bontosaile
Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar.
3. Mengklasifikasikan makna simbol pada acara pernikahan kemudian
mendeskripsikan dalam bentuk pemaparan atau pernyataan-pernyataan
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini dipaparkan hasil penelitian dan pembahasan dari keseluruhan
masalah yang telah dirumuskan. Bagian pertama gambaran umum lokasi
penelitian yang kedua mengemukakan hasil penelitian yaitu makna yang
terdapat dalam simbol-simbol (perlengkapan-perlengkapan) yang digunakan
dalam upacara adat pernikahan di Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu
Kabupaten Kepulauan Selayar, dan yang ketiga merupakan pembahasan
Sebelum membahas hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian
ini, terlebih dahulu akan digambarkan secara umum lokasi penelitian, adapun
gambaran umum lokasi penelitian sebagai berikut:
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten kepulauan Selayar mendapat julukan tanah doang artinya
tanah tempat berdoa dengan ibu kota benteng, yang terletak antara 5o42‟–
7o35‟ Lintang Selatan dan 120
o15‟–122
o30‟ Bujur Timur. Kabupaten
Kepulauan Selayar memiliki batas.
Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar
adalah:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba.
b. Sebelah Selatan bertbatasan dengan Laut Flores
c. Sebelah Timur berbatasa dengan Provinsi Nusa Tengara Timur.
36
37
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut flores dan Selat Makassar.
Kabupaten Kepulauan Selayar memilki luas wilayah 10.503,69 km2
adalah luas daratan dan 9.146,66 km2 luas wilayah laut. Secara administratif
Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki 11 Kecamatan didalamnya. 6
Kecamatan terletak di pulau utama yaitu benteng, bontosikuyu, bontomanai,
bontoharu, buki, bontomatene dan 5 Kecamatan terletak di luar pulau utama
yakni pasimarannu, takabonerate, pasilambena, Pasimasunggu Timur,
Pasimasunggu, yang terdiri dari 81 Desa, 5 Kelurahan, 283 dusun, 27
lingkungan, 415 RK/RW dan 519 RT.
Pasimasunggu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Kepulauan
Selayar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kecamatan Pasimasunggu terletak pada
koordinat 704‟12.83”LS,120
038‟37.02”BT. Kondisi geografis Desa
Bontosaile adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Pasimasunggu
yang mempunyai luas wilayah 14,34 km. Jumlah penduduk Desa Bontosaile
sebanyak 809 jiwa terdiri dari 448 orang laki-laki dan 461 orang perempuan
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 288 KK. Desa Bontosaile
merupakan wilayah administratif yang terletak di Kecamatan Pasimasunggu
Kabupaten Kepulauan Selayar dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Selatan : Perbatasan dengan Desa Ma‟minasa
b. Sebelah Utara : Perbatasan dengan laut
c. Sebelah Barat : Perbatasan dengan Desa Massungke
d. Sebelah Timur : Perbatasan dengan Desa Bontobaru
38
Dengan jarak antara Desa Bontosaile dengan Kecamatan Pasimasunggu
adalah ±15 km.
B. Hasil Penelitian
Masyarakat Selayar khususnya Desa Bontosaile mengatakan bahwa
dalam tahap upacara adat pernikahan setiap benda atau perlengkapan yang
digunakan untuk upacara adat pernikahan merupakan doa tersendiri bagi
calon pengantin dalam mengarungi rumah tangga. Pelaksanaan adat
pernikahan, terdapat makna simbol yang terdapat dalam setiap perlengkapan-
perlengkapan yang digunakan yang bermanfaat bagi kedua pengantin.
Pada dasarnya masyarakat mengharapkan agar pengantin dapat
membangun rumah tangga yang bahagia. Dan perlengkapan yang digunakan
dalam proses pernikahan terkandung makna simbol yang dapat dijadikan
sebagai pedoman hidup untuk memulai rumah tangga yang baru.
Proses adat-istiadat pesta pernikahan daerah Kepulauan Selayar Desa
Bontosaile sejak dulu di tempuh dengan melalui beberapa tahapan, meskipun
dalam pelaksanaannya kini ada yang dipermudah. Tetapi hal-hal yang
sifatnya prinsip masih tetap dilakukan, upacara adat pernikahan yang akan
dikaji berdasarkan teori C.S. Pierce yang terbagi atas 3 yaitu simbol, ikon,
indeks namun peneliti memfokuskan pada satu kajian yaitu simbol. Adapun
upacara adat pernikahan yaitu sebagai berikut:
39
1) Pra Nikah (Tahap Sebelum Pernikahan)
Pada umumnya proses pernikahan yang ada pada suku-suku bangsa
Indonesia khususnya Sulawesi Selatan itu sama saja diawali dari
perkenalan antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya memiliki nilai-nilai adat
istiadat yang berbeda-beda.
a) A’kuta’nang (mencari informasi)
Dari proses a’kuta’nang (mencari informasi) tidak ditemukan makna
simbolik.
b) Assuro (melamar)
Dari proses assuro (melamar) tidak ditemukan adanya makna
simbolik
c) Paknassa ( mengulang untuk mempertegas/mempererat)
Dalam pertemuan ini akan dibicarakan mengenai uang panaik, mahar,
tanggal, bulan, dan hari pernikahan. Dalam proses paknassa terdapat
perlengkapan-perlengkapan yang dibawah oleh calon pengantin laki-laki
memiliki makna tersendiri yaitu sebagai sebagai berikut:
a. Simbol
1) Angrong kampu Lammang 7 batu (Lammang 7 buah). disimpan di
dalam tempat atau wadah yang digunakan untuk menyajikan angrong
kampu. Angrong kampu yang kulitnya berupa daun pisang, daun yang
diambil hanya daun yang muda, karena lebih mudah untuk
40
pembuatannya ketimbang daun yang sudah tua lammang sebagai
simbol kebersamaan dan kerukungan keluarga.
2) Berbagai jenis kue (kue tai lobang, brownis, agara dll). Terigu, beras
ketan, gula, dan telur yang diolah sehingga menjadi kue yang
dimasukkan dalam kemasan plastik dan disimpan kedalam bosara
sebagai simbol kehidupan yang manis dan untuk menyenangkan hati
keluarga mempelai perempuan agar bisa menerima mempelai laki-laki
dengan baik dan penuh cinta.
3) Taha komba (daun sirih), merupakan simbol harga diri. Daun sirih
yang dilengkapi dengan buah pinang, kapur sirih, dan gambir semua
komponen tersebut dibungkus menggunakan daun sirih dan diikat.
Dengan harapan kedua calon pengantin dapat menjaga harga dirinya di
dalam menjani kehidupan. Selain itu sirih merupakan simbol wanita,
sedangkan buah pinang simbol pria.
Tiga perlengkapan yang dibawah utusan pengantin laki-laki
dimasukkan kedalam bosara atau kedalam panci bersusun untuk tempat
makanan, yang dibungkus menggunakan sarung atau biasa disebut
pa’roko’ kampu setelah diserahkan kepada keluarga calon pengantin
perempuan dan diterima barulah acara paknassa suroang (mempertegas
lamaran) dimulai. Dalam pertemuan ini akan dibicarakan doe balanja
(uang panaik) tanggal, bulan, dan hari pernikahan, jika kedua belah
pihak sudah sepakat, kemudian rangkaian pernikahan sudah mulai
disiapkan. Pada saat sudah ditentukannya hari pernikahan maka
biasanya keluarga pengantin akan membuat panca yang terbuat dari
41
anyaman bambu yang diberi daun kelapa mudah, panca yang dimaksud
di sini adalah sebagai penanda bahwa yang mempunyai rumah sedang
mempunyai hajatan, daun kelapa mudah (janur) sebagai simbol harapan
semoga pengantin memperoleh cahaya dari yang maha kuasa dan
tampak bersinar.
e) Taraluk
Taraluk merupakan tradisi masyarakat Selayar Desa Bontosaile untuk
calon pengantin sebagai simbol bahwa calon pengantin akan melepas masa
lajangnnya dan akan hidup berpasangan dengan pasangannya. Attaraluk
yang berarti dilindungi agar calon pengantin terhindar dari marabahaya.
Acara taraluk dilakukan di rumah pengantin perempuan, upacara ini
merupakan upacara sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga dan
tamu undangan. Malam taraluk ini mempunyai hikmah yang mendalam,
yang mempunyai makna kesucian dan bersih lahir batin.
a. Simbol
Proses taraluk terdapat makna simbol yang terdapat pada
perlengkapan-perlengkapan yang digunakan pada acara taraluk. Adapun
perlengkapan-perlengkapan yang mengandung makna simbolik yaitu
sebagai berikut:
1) Seperangkat alat sholat (Al-quran, sejadah dan mukenah). disimpan
kedalam piring yang telah disediakan sebagai simbol bahwa sang
suami siap bertanggung jawab, membimbing dan menuntun istri
dalam hal agama terutama dalam melaksanakan sholat lima waktu.
42
2) Lilin, merupakan alat penerangan yang digunakan sewaktu gelap.
Pada masa lalu sebelum orang mengenal listrik. Lilin bermakna
sebagai penerangan, lilin disimpan di atas setiap beras yang telah
disediakan sebagai simbol penerang untuk memberi sinar pada jalan
yang akan ditempuh oleh calon pengantin. Sehingga diharapkan agar
calon pengantin dapat menempuh masa depan yang cerah dan
senantiasa mendapat cahaya petunjuk dari Allah swt.
3) Bente (beras sangria atau digoreng kering) yang disangrai sebagai
simbol perkembangan baik, bersih dan jujur, dengan harapan semoga
anak cucu adam yang akan membentuk keluarga baru senantiasa
mengalami peningkatan sebagaimana beras yang tadinya kecil
menjadi besar setelah melalui proses penggorengan/sangrai.
4) Beras, sebanyak 4 piring ikut dihadirkan ditengah tengah orang
melaksanakan taraluk dan sesekali di taburkan sedikit demi sedikit
kepada kedua calon pengantin dan para undangan yang melaksanakan
taraluk beras dimaknai sebagai simbol harapan.
5) Loka (pisang raja) satu sisir, sebagaimana pisang yang jarang mati
sebelum berbuah maka masyarakat berharap kehidupan kedua
mempelai mempunyai keturunan dan kehidupan rumah tangga yang
selalu bahagia, pisang di simbolkan agar pasangan suami istri selalu
bersama dan menyusaikan diri terhadap lingkungan.
6) Kelapa mudah 4 buah ikut dihadirkan ditengah tengah orang mengada
kan taraluk, kelapa yang bagian bawahnya dibuat datar agar kalau
diletakkan dipiring atau dulang alas tidak terguling, kelapa yang
43
di manfaatkan hampir setiap bagiannya oleh manusia, daging bagian
dalam isinya lunak,yang dimaknai sebagai kemauan yang keras dan
mengandung doa harapan mampu untuk mempertahankan pernikahan.
7) Tobo joro (Tandang bunga kelapa), disimpan diatas wadah atau
dulang alas yang telah diisi beras disimbolkan sebagai kelanggengan
bahtera rumah tangga. Tandang bunga kelapa diyakini dapat
menghadirkan suasana dingin dalam perjalanan sebuah rumah tangga.
Tandang bunga kelapa yang diambil dari pohon kelapa tidak boleh
dijatuhkan ketanah, karena masyarakat meyakini jika tandang bunga
kelapa yang diambil dijatuhkan ke tanah maka setiap usaha yang
dilakukan akan sia-sia.
8) Baju bura’ne Baju bahi, dan lipa (baju laki-laki dan baju perempuan
dan sarung)Pakaian perempuan, laki-laki dan sarung yang disimpan
kedalam wadah piring yang disediakan ditengah-ditengah orang yang
melaksanakan taraluk sebagai simbol agar keluarga pihak laki-laki
dan perempuan bisa untuk bekerja sama dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
9) Tannoro jangang kampong (telur ayam kampung),Telur disimpan
diatas beras, telur yang bentuknya bulat merupakan perlambang
permulaan seperti pada ayam yang berasal dari telur. Telur
disimbolkan agar keluarga mudah ini diibaratkan sebagai telur atau
wadah yang tertutup rapat dan diharapkan menghasilkan generasi
penerus yang berkualitas. Telur juga melambangkan keperawanan
yang belum tersentuh dari seorang perempuan.
44
10) Taha Komba (Daun Siri), yang berisi gambir, buah pinang, dan kapur
sirih, yang dibentuk seperti pinggiran pastel disimbolkan sebagai
harga diri. Dengan harapan kedua mempelai dapat mempertahankan
harga dirinya dalam menjalani kehidupan.
11) Batara sika’ba (jagung satu sisir), ikut juga disediakan dalam acara
taraluk yang disimpan kedalam baskom kecil yang berisikan pisang
dan beras, penggunan simbol jagung dimaknai sebagai sebuah
pemikiran untuk selalu berpikiran kreatif karena diibaratkan jika tidak
mampu membeli beras maka jagung dapat dijadikan makanan
alternatif pengganti.
12) Kain putih, Bungkusan yang dikemas dengan kain putih ikut
dihadirkan ditengah ritual sebagai simbol kesucian ikatan tali
pernikahan.
Proses taraluk dipandu oleh seorang sandro (dukun) tamu-tamu
undangan akan bergiliran menerima piring atau dulang alas yang
digunakan sebagai tempat alas perlengkapan-perlengkapan ritual, proses
ini disertai dengan ritual lempar beras kearah kedua calon pengantin
dengan hitungan bilangan yang telah ditentukan oleh sandro (dukun).
g) Mapacci atau passirangga
Upacara adat mapacci dilaksanakan pada waktu setelah melakukan
acara taraluk, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya.
Pelaksanaannya menggunakan daun passirangga (daun pacar) yang telah
di tumbuk halus kemudian di simpan ke dalam wadah, sebelum kegiatan
ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan barazanji. Daun
45
passirangga ini dikaitkan dengan kata paccing yang maknanya adalah
kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan
mapacci/passirangga mengandung makna akan kebersihan raga dan
kesucian jiwa.
Salah satu tuang rumah mempersilahkan satu-persatu untuk
memberikan doa kepada mempelai. Calon pengantin duduk dengan tenang
dengan meletakkan kedua tangan di atas bantal yang sudah disediakan
sambil menunggu para kerabat untuk mendoakan. Pada saat kerabat
memberikan doa, lilin dinyalakan. Tangan, dahi dan pipi yang diolesi
dengan daun pacar yang sudah ditumbuk halusmelambangkan kesucian,
melambangkan pikiran dan hati serta tangan sebagai lambang perbuatan
yang hendaknya didasari oleh kesucian. Upacara ini dilakukan dengan
harapan kedua mempelai bersih dan suci dalam mengahadapi hari esok
yaitu hari pernikahan dan menjalani hari setelah pernikahan.
a. Simbol
Proses mapacci atau passirangga di dahului dengan acara taraluk.
Dalam pelaksanaan mapacci atau passirangga disiapkan perlengkapan
yang semuanya mengandung arti makna simbol seperti :
1) Daun pacci/passirangga, yang sudah dihaluskan kemudian disimpan
kedalam tempat atau wadah sebagai simbol kesucian, yang
menandakan bahwa calon pasangan sudah suci dan lembut hatinya,
tekadnya sudah bulat untuk memasuki jenjang rumah tangga. Artinya,
membersihkan calon pengantin dari suatu hal yang bersifat negatif
46
sehingga dalam membina rumah tangga kelak mendapat rahmat dari
Allah swt.
2) Tempat pacci atau wadah, tempat pacci ini berdekatan dengan lilin
dan beras yang disimbolkan sebagai 2 insan yang menyatu dalam
satu wadah sebagai suami istri. Semoga pasangan ini tetap harmonis
hingga ajal menjemputnya.
3) Lungang (Bantal), yang diletakkan di depan calon pengantin, bantal
terbuat dari kapas dan kapuk yang dikumpulkan satu persatu yang
akan dijadikan sebuah bantal sebagai pengalas kepala. Bantal
dimaknai sebagai penghormatan atau martabat, kemuliaan. Oleh
karena itu, diharapkan calon mempelai senantiasa saling menghormati
dan saling menghargai.
4) Lipa (sarung), berjumlah tujuh dijadikan tempat duduk pada saat
mapacci atau pssirangga sebagai simbol perlindungan dalam istilah
agama digunakan untuk menutup aurat. Jumlah sarung yang
digunakan sebanyak tujuh helai dengan harapan kehidupan rumah
tangga yang harmonis sampai pada tujuh turunan.
5) Pucuk daun pisan, yang diletakkan diatas bantal sebagai simbol
kehidupan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Salah satu
sifat alami pisang ialah tidak mati sebelum muncul tunasnya, daun tua
belum layu daun muda sudah muncul. Hal ini selaras dengan tujuan
pernikahan yang akan melahirkan keturunan, dengan harapan bisa
berkembang seperti pohong pisang bahkan berguan kepada sesama
manusia lingkungannya.
47
6) Lilin, disimpan diatas setiap beras yang telah disediakan sebagai
simbol penerang untuk memberi sinar pada jalan yang akan ditempuh
oleh calon pengantin.
7) Beras, merupakan makanan utama, beras ini biasanya diletakkan dekat
pacci dan dihamburkan pada saat selesai meletakkan pacci pada calon
pengantin, maksud dihamburkannya beras itu kepada calon pengantin
agar calon pengantin dapat berkembang dengan baik, berketurunan
yang dilandasi cinta kasih, penuh kedamaian dan kesejahteraan. Beras
yang disangrai/digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan,
semoga calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik.
8) Kelapa dan gula merah, sepertinya sudah identik, menikmati kelapa
mudah rasanya kurang lengkap tanpa adanya gula merah untuk
mencapai rasa yang nikmat. Begitulah kehidupan berumah tangga
diharapkan suami istri dapat saling melengkapi kekurangan masing-
masing dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi.
9) Air, yang disimpan dalam sebuah mangkuk. Air ini digunakan sebagai
tempat mencuci tangan bagi orang yang sudah memberikan
passirangga kepada calon pengantin dan juga merupakan sebagai
pelengkap dalam acara passirangga atau mapacci. Air disimbolkan
sebagai pembersih tangan (sebegai pelengkap).
10) Pa’dupa, yang dibiarkan terus menerus untuk menguarkan asap yang
dipegang oleh sandro sebagai simbol suatu kerjasama dengan
masyarakat, dan dengan makhluk halus di sekelilingnnya.
48
2. Nikah (Tahap Pernikahan Berlangsung)
Acara pesta pernikahan merupakan acara inti dari berbagai rangkaian
dan tahapan dalam adat pernikahan. Dalam agama Islam pernikahan
dianggap sah setelah melakukan ijab kabul, begitu juga dengan adat
pernikahan di Desa Bontosaile. Namun, masyarakat di Desa Bontosaile
memiliki beberapa tahapan proses pelaksanaan pernikahan yaitu sebagai
berikut:
a. Angruppai bonting (menyambut penganting).
Sebelum laki-laki tiba kerumah calon pengantin perempuan, iringan
penjemput dari pihak calon mempelai perempuan pun telah siap, apabila
dari jauh calon mempelai laki-laki dan pengantarnya sudah sampai
kerumah calon pengantin perempuan, pengantin dan rombongannya
dijemput/dipanggil oleh sandro yang telah ditunjuk untuk angruppai
bonting dengan kata-kata “mae ngasekki” sambil menghamburkan beras
sebanyak satu genggam.
a. Simbol
proses angruppai bonting (menyambut pengantin). Terdapat makna
simbol pada perlengkapan yang digunakan pada saat angruppai bonting
yaitu sebagai berikut:
1) Beras disimpan di atas bosara sebagai harapan.
Beras dilemparkan sedikit atau sejemput kepada pengantin dan para
tamu yang mengantar sebanyak tiga kali.
49
b. Panai’ balanja dan erang-erang (uang panaik/membawa barang
hantaran)
Erang-erang dikumpul di dalam kamar, untuk dibawa keesokan harinya
kerumah calon pengantin perempuan. Pada proses panaik balanja
disertakan juga dengan berbagai perlengkapan-perlengkapan yang wajib
dibawah ketika panai’balanja, yang mengandung makna simbolik yaitu
sebagai berikut:
a. Simbol
1) Beras biasanya ± 500 liter atau sesuai dengan permintaan keluarga
calon pengantin perempuan yang telah disepakati oleh pihak calon
pengantin laki-laki di simbolkan sebagai kesejahteraan dan
kemakmuran mengingat beras merupakan makan pokok dan sebagai
salah satu sumber kehidupan.
2) Doe balanja (uang panaik) dibungkus menggunakan kain kecil dan
tidak boleh dilihat oleh orang banyak. Disimbolkan sebagai harga
diri, jabatan dan keturunan.
3) Sepatu, tas, baju pesta, pakaian dalam dan handuk, disimpan
kedalam kemasan plasti dan disimpan kedalam bosara yang sudah
disediakan
sebagai symbol kebutuhan bagi pengantin perempuan. Jumlah perlen
gkapan tidak ditentukan jumlahnya melainkan sesuai kesanggupan
orang yang mengadakan pesta namun perlengkapan tersebut wajib
adanya.
50
4) Seperangkat alat sholat (Al-quran, sejadah dan mukenah). Disimpan
kedalam tempat kemasan yang telah disediakan sebagai simbol
bahwa sang suami siap bertanggung jawab, membimbing dan
menuntun istri dalam hal agama terutama dalam melaksanakan
sholat lima waktu,.
5) Kue, yang dimasukkan kedalam kemasan plastik yang disimpan
kedalam bosara sebagai simbol kehidupan yang manis dan untuk
menyenangkan hati keluarga mempelai perempuan agar bisa
menerima mempelai laki-laki dengan baik dan penuh cinta.
6) Peralatan mandi (sabun, odol, sikat gigi, shampo). yang disimpan
kedalam kemasan plastik yang telah disediakan Dismbolkan agar
perempuan tetap menjaga kebersihan dirinya sehingga terlihat cantik
dimata suaminya dan juga untuk membangun kepercayaan diri di
lingkungan sosial.
7) Alat make up (minyak rambut, bedak, parfum dll). disimpan di
dalam tempat kemasan plastik yang sudah disediakan. Sebagai
simbol kecantikan. agar senantiasa terlihat cantik, kaitannya dengan
pernikahan adalah hendaknya pasangan suami istri senantiasa
berhias, tidak hanya bagi calon pengantin perempuan saja, tetapi
juga diperuntukkan kepada calon pengantin laki-laki dengan niat
untuk saling menyenangkan satu sama lain, dan juga untuk
membangun kepercayaan diri dalam lingkungan sosial.
8) Pengikat berupa cincin sebagai simbol ikatan persatuan cinta, dan
orang yang memakai cincin kawin menunjukkan bahwa dia telah
51
menikah. Dalam cincin kawin, hal ini diartikan sebagai kesatuan
hidup yang saling melengkapi.
Acara panai’ balanja biasa pelaksanaannya sehari sebelum nikah, dan
bisa juga dilaksanakan pada hari yang sama dengan a’nikkah, namun
seiring dengan perkembangan zaman masyarakat Desa Bontosaile lebih
memilih menggabungkan proses panai’balanja dan a’nikkah.
b. A’nikkah (ijab kabul)
Sebelum proses a’nikkah dilakukan terlebih dahulu pengantar acara
membuka acara, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat sucu Al-quran,
khotbah pembekalan bagi pasangan yang akan menikah dan penyemangat
bagi hadirin yang belum menikah, pengucapan ijab kabul, selesai ijab
kabul maka pemberian doa kepada kedua pasangan yang baru menikah
supaya Allah Swt selalu memberikan kemaslahatan berumah tangga,
keberkahan rezeki, keberkahan keturunan, memberi ketentraman kepada
keluarga, dan selalu mendapatkan berkah.
a. Simbol
Proses a’nikkah disertakan dengan berbagai perlengkapan yang
disediakan memiliki makna tersendiri diantaranya sebagai berikut:
1) Sejadah disimpan di tengah-tengah orang yang melaksanakan ijab kabul
disimbolkan sebagai kenyamanan.
Proses a’nikka juga ikut disediakan dulang alas yang berisi nasi ketan,
air, lilin, pa’dupa, sebagai kangre pa’nikkah (makanan pengantin), nasi ketan
yang disediakan boleh dimakan oleh kedua mempelai pengantin boleh juga
52
tidak, nasi ketan yang disediakan merupakan salah satu syarat yang harus
disiapkan oleh keluarga pengantin perempuan:
2) Beras ketan yang ketika dimasak menjadi lengket, nasi ketan disediakan
sebagai salah satu persyaratan sakralnya pernikahan, nasi ketan yang
disimpan kedalam piring yang diberi telur bagian atasnya sebagai simbol
merekatkan tali persahabatan atau tali pernikahan, masyarakat juga
berharap dengan disediakannya nasi ketan pada saat a’nikkah kedua
keluarga dan pasangan pengantin yang sudah berkumpul semoga
kedekatanpun semakin erat.
3) Air ikut disediakan sebagai pelengkap untuk cuci tangan, dan diyakini
setelah selesai makan, orang pasti akan minum.
4) Lilin, disimpan di dalam gelas yang berisikan beras dan disimpan
ditengah dulang alas disimbolkan untuk memberi sinar pada jalan yang
akan ditempuh
5) Pa’dupa yang diabiarkan terus mengeluarkan asap dipercayai sebagai
bentuk kerjasama masyarakat dan makhluk halus di Sekelilingnnya.
Selesai ijab kabul penganting laki-laki dituntun oleh orang yang
ditentukan menjemput pengantin perempuan disebuah kamar tertentu.
Pengantin laki-laki tidak langsung masuk ke kamar perempuan karena
ditahan atau dihalangi oleh penjaga pintu dan baru diloloskan setelah
diberikan uang berupa tebusan yang disebut pambungkara bohong.
Pabbungkara bohong sebagai simbol diterimanya pihak laki-laki ke dalam
keluarga pihak perempuan.
53
Pengantin laki-laki sudah diijinkan masuk maka di lakukanlah
acara a’pabattunikkah. A’ppabattunikkah pengantin menggenggam tangan
istrinya sebagai simbol hubungan keduanya kekal. Setelah itu penganting
laki-laki menyentuh telapak tangan istrinya menggunakan jari telunjuk dan
mencium kening istrinya sebagai simbol wanita akan tunduk sama
suaminya.
d. A’matoang (mempelai perempuan diantar ke rumah mertuanya)
Proses a’matoang yaitu kujungan balasan dari pihak perempuan
kepada pengantin laki-laki. Jadi dianggap sebuah kekurangan, apabila
seorang pengantin perempuan tidak diantar kerumah orang tua pengantin
laki-laki. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari itu juga, beberapa saat
setelah akad nikah dilaksanakan, namun hal ini dilakukan berdasarkan
kesepakan ke dua belah pihak.
Pada proses ini pengantin permpuan membawa barang antaran untuk
membalas erang-erang pengantin laki-laki. Pappisalingi (pakaian ganti) di
sini berupa berupa sarung, baju, peci, yang telah disediakan utuk
diserahkan. A’matoang dirangkaikan dengan ngeraampung (sungkeman)
dalam proses ini terdapat makna simbol diantaranya sebagai berikut:
a. Simbol
Terdapat makna simbol yaitu sebagai berikut
1) pa’pisalingi (pakaian ganti) untuk pengantin laki-laki sebagai
simbol ucapan terima kasih kepada keluarga pengantin laki-laki.
54
Jumlah pa’pisalingi (pakaian ganti) tidak ditentukan berapa
jumlahnya
2) Iringan pengantin perempuan juga membawa berbagai jenis kue
untuk diserahkan kepada keluarga pengantin laki-laki sebagai
simbol kerukunan serta hubungan yang erat, dengan rasanya yang
manis dengan harapan kehidupan kedua mempelai berjalan lancar.
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pelaksanaan
upacara adat pernikahan terdapat benda-benda sebagai simbol tertentu dan
mempunyai makna yang dipercayai oleh masyarakat Selayar khususnya Desa
Bontosaile, sejalan dengan pendapat pierce yang dikutip ( Sobur, 2006:30)
bahwa suatu makna dapat ditunjukkan oleh simbol, jika tanda memiliki suatu
makna, maka simbol memiliki banyak arti (tergantung siapa yang
menafsirkannya). Simbol mempunyai banyak makna, manusia menggunakan
simbol untuk mengungkapkan sesuatu, struktur sosial atau mewakili aspek
budaya spesifik tertentu.
Upacara adat pernikahan di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya hasil
kesepakatan para nenek moyang di tanah Desa Bontosaile diantaranya adalah
penggunaan alat dan bahan dalam upacara pernikahan tersebut, sehingga
penggunaan berbagai macam alat dan bahan serta simbol-simbol adat lainnya
dalam pernikahan memiliki hakikat dan nilai budaya serta sejarahnya
tersendiri. makna yang terdapat dalam simbol-simbol acara pernikahan sangat
penting untuk diketahui terutama untuk generasi muda.
55
Namun dilihat sekarang ini, masyarakat hanya menjalankan upacara
adat pernikahan tanpa mengetahui apa makna simbol yang terdapat pada
upacara tersebut. Masyarakat hanya meyakini dan mempercayai bahwa
upacara adat pernikahan merupakan budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang secara turun temurun. Fenomena yang terjadi di masyarakat hanya
meresmikan dan memeriahkan dengan menggunakan proses budaya adat.
Berdasarkan pisau analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu
berdasarkan teori semiotika C.S Pierce yang terbagi atas 3 bagian yaitu
simbol, ikon dan indeks. Namun penelitian ini hanya difokuskan pada simbol.
Prosesi upacara adat pernikahan yang ada di Desa Bontosaile mempunyai dua
tahap dimulai dari sebelumnya pernikahan atau pranikah dan nikah, yang
merupakan peninggalan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun
temurun kepada masyarakat.
Pernikahan adat masyarakat Selayar khususnya Desa Bontosaile yang
rangkaian pelaksanaannya berisi penggunaan sejumlah alat dan benda, baik
dalam bentuk alami maupun yang sudah diolah sebagai simbol yang memiliki
makna. Makna yang mengandung maksud, doa harapan, pesan atau nasihat
yang baik untuk kedua mempelai pengantin. Dapat dilihat dari simbol-simbol
(perlengkapan-perlengkapan) yang digunakan dalam jalannya upacara adat
pernikahan. Isi makna dan simbol dari upacara adat pernikahan tidak terlepas
dari unsur syariat Islam semuanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
56
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penyajian analisis dan pembahasan pada bab
terdahulu, Prosesi upacara adat pernikahan yang ada di Desa Bontosaile
mempunyai dua tahap yang dimulai dari sebelumnya pernikahan atau
pranikah, dan nikah merupakan peninggalan dari nenek moyang yang
diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat.
Makna simbol dalam upacara adat pernikahan dianalisis dengan teori
Charles Sander Pierce berisi penggunaan sejumlah alat dan benda, baik dalam
bentuk alami maupun yang sudah diolah sebagai simbol yang memiliki
makna. Pemaknaannya merupakan hasil kebudayaan masyarakat, yaitu berisi
pesan nasehat, doa, harapan, dan kesyukuran. Dapat dilihat dari
perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam jalannya upacara
pernikahan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti
mengajukan beberapa saran kepada :
1. Bagi masyarakat sekitar diharapkan dengan adanya penelitian ini,
masyarakat di Desa Bontosaile Kecmatan Pasimasunggu Kabupaten
Kepulauan Selayar mampu menggali eksitensi adat yang diwariskan
budaya leluhur dan melestarikan kebudayaan.
56
57
2. Diharapkan bagi generasi mudah dapat melestarikan kebudayaan upacara
adat pernikahan Desa Bontosaile Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten
Kepulauan Selayar.
3. Bagi pihak pemerintah dan toko adat atau agama agar tetap mendukung
ketentuan adat pernikahan.
4. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
mengadakan penelitian yang sejenis dalam pembahasan yang lebih luas.
58
DAFTAR PUSTAKA
Alvina, Munarroh. 2016. Fungsi Sosial Tradisi Mandao Dalam Upacara
Kematian (Studi Kasus: Nagara Pauh Duo Nan Batigo, Kecamatan
Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan). Universitas Andalas.
(online, diakses pada tanggal 20 Desember 2020)
Aminuddin. 1995. Pengantar Presiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Biru.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dapid, Sputra. 2013. Semiologi Ferdinand de Saussure. (Online),
(http://www.google.com/amp/s/dapidsaputra.wordpress.com/2013/
10/14/semiologi-ferdinan-de-saussure/amp/, diakses tanggal 20
Desember 2019)
Dapid, Saputra. 2013. Semiotika Charles Sanders Peirce. (Online),
(https://dapidsaputra.wordpress.com/2013/10/14/semiotika-charles-
sander-peirce/, diakses 20 Desember 2019).
Driyanti, Restituta. 2011. Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak dalam
Kajian Hermeneustika Paul Ricouer. Tesis. Universitas Indonesia:
Depok
Eco, Umberto. 2011. Teori Semiotika. Bantul: Kreasi Wacana.
Fatmawati, Makna Simbol Pakaian Pernikahan Adat Buton Kajian Semiotika.
(online). Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia volume 4 No. 2 (2019)
ISSN 2302-2043. Diakses tanggal 18 februari 2020.
Geertz, Clifford. 1973. Interpretation of cultures. New York: Basic Books.
58
59
https://sulselprov.go.id/pages/des_kab/14.Kabupaten-Kepuluan-Selayar
(diakses pada tanggal 20 September 2020).
Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Haninditan
Graha Widya.
Jumalia. 2016. Makna Simbolik Kelong Makassar Simpung Pakmaik (Suatu
Tinjauan Semantik). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh
Makassar.
Kriyantono, Rahmat. 2006. Teknik Praktik Riset Komunikasi . Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Mantang, 2018. Makna Simbol Dalam Perayaan Jepe Syura Sepuluh
Muharram di Pulau Barang Lompo Kecamatan Sangkarrang Kota
Makassar.skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh Makassar.
Makassar Pendekatan Semiotik. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:
Unismuh Makassar.
Maria, Ndi Yustina. 2012. Kajian Semiotika Bahasa Perkawinan Adat
Budaya Flores Kabupaten Manggarai Barat Nusan Tenggara
Timur. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
Oktyawan, Dwi Surya. 2014. Makna Simbolik Upacara Ritual dalam
Kesenian Reog Ponorogo di Desa Kauman, Kecamatan Kauman,
Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta:
Yogyakarta.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Porter, Richard E. Dan Larry A. Samovar. 1993. Suatu pendekatan terhadap
KAB.dalam buku komunikasi antarbudaya, Penyunting: Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
60
Samsinar, 2017. Makna Simbolik Upacara Adat Pernikahan Masyarakat
Jeneponto. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh Makassar.
Sapriadi. 2018. Makna Simbol Pada Rumah Adat Kecamatan Binamu
Kabupaten Jeneponto. Skripsi tidak diterbitkan. Unismuh
Makassar.
Setiawan, Samhis. 2020. Pengertian Adat Istiadat Dan Contohnya. (online).
(https://www.gurupendidikan.co.id/adat-istiadat/.diakses tanggal 20
Oktober 2020)
Sobur, Alex. 2006 Semiotika komunikasi. Bandung: Rosda Karya
Somad, Abdul. 2016. Studi Semiotika Perang Bangkat: Era Tradisional dan
Era Modernisasi. Jurnal.Vol 4, No 2, Hal 106.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV Yrama Widya.
Suprapto, Tommy. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-
Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: CAPS.
Widagdho, Djoko, Ilmu Dasar Budaya, Cet 8 Bumi Akasara: Jakarta, 2013.
Zoest, Aart Van . 1993. Semiotika : Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa
yang Kita Lakukan Dengannya. Ani Soekowati (Penerj) hal 30-
32. Jakarta: yayasan Sumber Agung.
Zoest. 1993. Tentang Tanda dan Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan
dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
LAMPIRAN
Daftar Nama-Nama Informan
1. Nama : Hamok
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Dusun Binanga Nipa
2. Nama : Sri Wahyuni
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Dusun Binanga Nipa
3. Nama : Acce
Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Bonelambere
4. Nama : Anto
Umur : 50
Pekerjaan : Kepala Dusun
Alamat : Bonelambere
LAMPIRAN 1 :
Gambar 1.1 perlengkapan taraluk
Gambar 1.2 proses taraluk
Gambar 1.4 proses angruppai bonting (menjemput pengantin)
Gambar 1.5 proses panaik balangja/erang-erang
Gambar 1.6 barang antarang pengantin laki-laki
Gambar 1.15acara A’nikka (ijab kabul)
Gambar 1.6 pambungkara bohong
Lampiran II:
Tabel Korpus Data
N
o
Jenis Data Simbol Makna
A. Pra nikah (tahap sebelum menikah)
1. Akkutaknang-
kutaknang/assuro
(mencari informasi dan
melamar)
-
-
2. Assuro (melamar) - -
3. Paknassa (mengulang
mempertegas/mempererat)
Angrong kampu
Kebersamaan dan
kerukungan keluarga
Berbagai jenis kue Keberagaman
Taha komba (daun
sirih)
Harga diri dengan
harapan dimasa yang
akan datang mempelai
dapat menjaga harga
dirinya dalam
menajalani keidupan
4. Anjangjangi allo baji
(melihat hari baik)
- -
5 Taraluk Lilin Penerang untuk membe
ri sinar pada jalan yang
akan ditempuh
Bente (beras
sangrai)
Perkembangan baik
Loka (pisang) Melambangkan kemak
makmuran serta
kekayaan yang akan
datang silih berganti
Tobo joro (tandang
bunga kelapa
sebagai kelanggengan
bahtera rumah tangga.
Tandang bunga kelapa
diyakini dapat
menghadirkan suasana
dingin dalam perjalana
n sebuah rumah tangga
Tannoro jangang
kampo (telur ayam
kampung)
Keluarga mudah ini
diibartkat sebagai
wadah yang tertutup
rapat dan diharapkan
menghasilkan generasi
penerus yang
berkualitas
Taha komba (daun
sirih)
Harga diri dengan
harapan dimasa yang
akan datang mempelai
dapat mempertahankan
harga dirinya dalam
menjalani kehidupan
Batara sika’ba’
(jagung satu sisir)
Jagung dimaknai
sebuah pemikiran
untuk selalu berpikiran
kreatif
Kain putih Kesucian ikatan tali
pernikahan
Seperangkat alat
sholat
Diharapkan
Sang suami siap bertan
ggung jawab,
membimbing dan
menuntun istri dalam
hal agama terutama
dalam hal melaksanaka
n sholat lima waktu
6. Mapacci/passirangga Daun pacci Kebersihan atau
kesucian
Belanga
(wadah/tempat)
Kesatuan
Lungang (bantal) Kehormatan,
kemuliaan, atau
martabat
Lipa (sarung) Perlindungan, harga
diri
Pucuk daun pisang Kehidupan saling
menyambung atau
hidup
berkesinambungan
Lilin Penerang, untuk
memberi sinar pada
jalan yang akan
ditempuh
Beras Berkembang dengan
baik, mekar dan
makmur
Air Sebagai simbol
pembersih tangan
(sebagai pelengkap)
Pa’dupa Kerjasama dengan
masyarakata dan
makhluk halus di
sekelilingnnya
B. Nikah (Tahap Pernikahan Berlangsung)
1. Angruppai bonting
(menyambut pengantin)
Beras Sebagai harapan
2. Panaik balanja/erang- Beras kuang lebih Kesejahteraan dan
erang (uang panaik/memba
wa barang hantaran)
500 liter kemakmuran
Doe balanja (uang
panaik)
Harga diri, jabatan dan
keturunan
Sepatu, tas, baju
dan handuk
Kebutuhan bagi
pengantin perempuan
Seperangkat alat
sholat
Diharapkan
Sang suami siap bertan
ggung jawab,
membimbing dan
menuntun istri dalam
hal agama terutama
dalam hal
melaksanakan sholat
lima waktu
Kue Kehidupan yang manis
Alat mandi Dismbolkan agar
perempuan tetap
menjaga
kebersihan dirinya
sehingga terlihat cantik
dimata suaminya dan
juga untuk membangun
kepercayaan diri di
lingkungan sosial
Alat make up Simbol kecantikan
Cincin Kesatuan hidup yang
saling melengkapi
3. A’nikkah/appabattunikkah
(ijab kabu)
Sejadah Kenyamanan
Pambungkara
bohong
Diterimanya pengantin
laki-laki dikeluarga
pengantin perempuan
Cium kening Wanita akan tunduk
sama suaminya
Nasi ketan Mengandung harapan
jika sudah berkumpul
kedekatanpun semakin
erat, dan pertemuan
tersebut membuahkan
hasil
Kue cucur Mengandung doa
harapan ritual yang
dilakukan berbuah
manis
Tannro jangang
(telur ayam)
Keluarga mudah ini
diibartkat sebagai
wadah yang tertutup
rapat dan diharapkan
menghasilkan generasi
penerus yang
berkualitas
Air Sebagai pelengkap,
yang diyakini setelah
selesai makan, orang
pasti akan minum
Lilin Penerang, untuk
memberi sinar pada
jalan yang akan
ditempuh
Pa’dupa Kerjasama dengan
masyarakata dan
makhluk halus di
sekelilingnnya
4. A’matoang Pa’ppisalingi
(pakaian ganti)
Diterimanya pengantin
perempuan di keluarga
pengantin laki-laki
Berbagai jenis kue Kerukunan serta
hubungan yang erat
RIWAYAT HIDUP
Rosmiati, dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1996 di dusun
Bonelambere kecamatan Pasimasunggu kabupaten kepulauan
Selayar provinsi Sulawesi Selatan. Anak ke tiga dari tiga
bersaudara, dari pasangan suami istri Mappi (almarhum) dan
Satti. Penulis mulai memasuki pendidikan formal pada
tahun 2004 dan menamatkan pendidikan pada tahun di SDI Bonelambere 1,
kemudian pada tahun 2013 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 3
Pasimasunggu, selanjutnya pada tahun 2016 penulis menamatkan pendidikan di
SMA Negeri 4 Selayar. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan ke
Universitas Muhammadiyah Makassar dengan mengambil jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (S1), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Tahun 2020 penulis sedang menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul
“Makna Simbol Dalam Acara Pernikahan Bagi Masyarakat Di Desa Bontosaile
Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar (Pendekatan Semiotika).