MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
-
Upload
hidayat-kalijar -
Category
Documents
-
view
290 -
download
1
Transcript of MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
MAKALAH
MATA KULIAH
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
MODEL KURIKULUM DAN KURIKULUM TERSEMBUNYI
DI SUSUN OLEH :
1. HIDAYAT KALIJAR F55012033
2. ISTIQA NURTIARANI F55012035
3. TIARA RATNA P. SIREGAR F55012034
SEMESTER/ KELAS : II / A
REGULER A
DOSEN :
Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si
PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya,kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul Model
Kurikulum dan Kurikulum Tersembunyi. Pada makalah ini, kami berusaha menjelaskan
beberapa model kurikulum yang dapat menjadi pilihan dalam menjalankan proses
pendidikan, khususnya bagi soisologi pendidikan.
Makalah ini disusun berdasarkan Informasi dan Referensi buku, yang dikupas dan
disajikan sedemikian rupa agar dapat berguna dan membantu kita dalam mengikuti kegiatan
perkuliahan.
Pada kesempatan ini pula, kami ingin mengucapkan rasa terima kasih kami kepada
bapak Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si yang telah membantu membimbing kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya sekaligus meminta maaf jika
dalam penyajiannya masih terdapat banyak kekurangan.
Selanjutnya, kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan dapat memudahkan
kita dalam mengikuti kegiatan perkuliahan di kampus.
Pontianak,
Penulis
DAFTAR ISI
A. MODEL KURIKULUM: PENDEKATAN TEORITIS …………………………………1
1. Model kurikulum teknik saintifik………………………………………………………1
2. Model Kurikulum Refleksif……………………………………………………………1
3. Model Kurikulum yang Relasional………………….…………………………………2
B. KURIKULUM TERSEMBUNYI……………………………………………………………3
C. KURIKULUM DAN EVALUASI……………………………………………………………6
1. Evaluasi Kurikulum……………………………………………………………………6
2. Dampak Evaluasi Kurikulum pada Proses di Sekolah…………………………………7
D. KESIMPULAN……………………………………………………………………………..11
A. MODEL KURIKULUM: PENDEKATAN TEORITIS
Berikut beberapa pendekatan teoritis yang berkembang dalam konstruksi model
kurikulum :
1. Model Kurikulum Teknik Saintifik
Model pendekatan teknik saintifik menyatakan bahwa pengembangan kurikulum
adalah rencana strukturisasi lingkungan belajar dan koordinasi elemen-elemen dari
personil, dan bahan. Inti dari model kurikulum teknik saintifik atau rasionalitas adalah
semua bentuk kehidupan manusia dapat dicari hukum-hukum yang bersifat umum. Melalui
hukum ini, kegiatan manusia dapat dikontrol, dirasionalisasikan, atau dibirokrasikan.
Dengan cara itu, kurikulum dipandang memiliki derajat obyektifitas, universilitas dan
logika yang tinggi, sehinggga efisisensi dan efektifitas pendidikan yang tinggi dapat
dicapai. Jadi, model kurikulum ini melihat dunia pendidikan bagaikan mesin yang
digambar, dibuat, dan diamati.
2. Model Kurikulum Refleksif
Kurikulum dilihat sebagai konsruk sosial dari para pembuatnya. Oleh sebab itu
kurikulum dapat diperbincangkan, dirundingkan, dan dinegoisasikan secara bersama. Ada
dua tingkatan kurikulum dalam perspektif ini, yaitu :
a) . Kurikulum Holistik
Kurikulum holistik yaitu suatu bangunan keseluruhan yang diterima peserta didik
dari sekolah seperti kurikulum SMA jurusan IPS atau kurikulum pendidikan sosiologi
di suatu perguruan Tinggi. Dalam konsrtuksi kurikulum holistik, kurikulum dapat
dirundingkan dengan skateholders atau pihak berkepentingan. Dalam konsrtuksi
kurikulum program studi pendidikan sosiologi, pihak pengelola program studi (prodi)
dapat mengundang semua dosen prodi, pemerintah daerah (provinsi, kota dan
kabupaten) perusahaan/industry, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tiga
pihak yang disebut terakhir yaitu pemda, pebisnis, dan LSM merupakan pihak
pengguna dari suatu yang dihasilkan(lulusan) oleh lembaga pendidikan. Adapun para
pengelola dan dosen prodi merupakan pihak yang menyedikan jasa pendidikan. Oleh
karena itu, antara apa yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dan apa diminta oleh
pihak pengguna sedapat mungkin terjadi kedekatan atau kesesuian. Dalam konteks
inilah suatu kurikulum diperbincangkan, didiskusikan, dan dirundingkan dan
dinegoisaikan secara bersama.
b) . Kurikulum Parsial
Kurikulum parsial yaitu suatu bagian tertentu dari bangunan keseluruhan yang
diterima peserta dari sekolah seperti silabus sosiologi di SMA jurusan IPS atau
sosiologi pendidikan dari program studi pendidikan sosiologi. Dalam konstruksi
kurikulum parsial, silabus dapat pula diperbincangkan, didiskusikan, dan
dinegoisasikan secara bersama. Dalam mata kuliah sosiologi pendidikan, misalnya,
dosen dapat menawarkan konsrtuksi materi atau isi mata kuliah yang diperlukan oleh
mahasiswa secara bersama. Dengan kata lain, materi atau isi mata kuliah sosiologi
pendidikan diperbincangakan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegoisasikan secara
bersama antar dosen dan mahasiswa pada saat membuat kontrak belajar. Pada
tingkatan perguruan tinggi, kurikulum, baik secara holistik maupun parsial, dapat
diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegoisasikan secara bersama.
Namun untuk pendidikan menengah hal itu sukar dilakukan karena terlalu banyak
relativitas dan naïf misalnya mengenai kemampuan guru untuk mengubah batasan
yang ada tentang pengetahuan. Selain itu, tidak mungkin kurikulum, misalnya
silabus suatu mata pelajaran diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan, dan
dinegoisasikan secara bersama antara guru dan murid.
3. Model Kurikulum Yang Relasional
Intinya adalah usaha untuk mempertalikan apa yang diajarkan di sekolah
dengan struktur sosial. Jadi, adanya pengakuan bahwa apa yang dianggap sebagai
pengetahuan di sekolah tumbuh dari suatu latar belakang dari historis tertentu.
Pemikiran tentang apa yang seharusnya diajarkan di sekolah, bagaimana cara
mengerjakannya, dengan cara apa mengerjakannya, dan siapa yang dapat
mengerjakannya, adalah refleksi dari sejarah struktur sosial atau masyarakat. Dengan
kata lain, apa yang diusungkan dalam pemikiran tentang tujuan, isi, materi, dan
strategi dalam kurikulum merupakan cerminan sejarah perjuangan hidup yang
diharapkan dapat diselesaikan melalui pendidikan. Para perancang hukum dihapkan
mampu untuk menangkap realitas-realitas yang ada di masyarakat. Contoh, ketika
persoalan korupsi dipandang sebagai suatu penyakit masyarakat dan menakutkanm
maka lembaga kejaksaan mengintroduksi suatu “materi pelajaran” yang bernama
kantin kejujuran. Pada saat, narkoba dan AIDS telah merusak dan membunuh
banyak orang, maka banyak pihak yang menyarankan agar memasukkan materi
tentang bahaya narkoba dan AIDS ke dalam kurikulum sekolah. Ketika tawuran
antar-pelajar dan mahasiswa merajalela, maka berbagai pihak menyarankan pula
agar idealitas dan praksis tentang budi pekerti demokrasi, hak asasi manusia,
keadilan, dan multikulturalisme ini dalam kehidupan sehari-hari. Ide seperti ini
dilihat sebagai bagian dari bagaimana kurikulum relasional ini dikonstruksi.
B. KURIKULUM TERSEMBUNYI
Kurikulum tersembunyi atau kurikulum terselubung, secara umum dapat
dideskripsikan sebagai “hasil (sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau
luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan
sebagai tujuan”. Beragam definisi lain telah dikembangkan berdasarkan pada
perspektif yang luas dari mereka yang mempelajari peristiwa ini. Segala bentuk
pendidikan, termasuk aktivitas rekreasional dan sosial tradisional, dapat mengajarkan
bahan-bahan pelajaran yang sebetulnya tak sengaja karena bukan berhubungan dengan
sekolah tetapi dengan pengalaman belajar. Tetapi umumnya, kurikulum tersembunyi
mengacu pada berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh dalam sekolah dasar dan
menengah, biasanya dengan suatu konotasi negatif yang mengacu pada ketidaksamaan
yang muncul sebagai akibat hal tersebut. Sikap ini berasal dari komitmen sistem
sekolah yang mempromosikan demokrasi dan memastikan pengembangan kecerdasan
yang sama. Sasaran tersebut dihalangi oleh pelajaran-pelajaran yang tak terukur ini..
Dalam konteks ini, kurikulum tersembunyi disebut sebagai memperkuat
ketidaksamaan sosial dengan mendidik siswa dalam berbagai persoalan dan perilaku
menurut kelas dan status sosial mereka.
Sama halnya seperti adanya ketidaksamaan distribusi modal budaya di
masyarakat, berupa distribusi yang berhubungan dalam pengetahuan di antara para
siswa. Kurikulum tersembunyi juga dapat merujuk pada transmisi norma, nilai, dan
kepercayaan yang disampaikan baik dalam isi pendidikan formal dan interaksi sosial
di dalam sekolah-sekolah ini. Kurikulum tersembunyi sukar untuk didefinisikan secara
eksplisit karena berbeda-beda antar siswa dan pengalamannya serta karena kurikulum
itu selalu berubah-ubah seiring berkembangnya pengetahuan dan keyakinan
masyarakat. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sebagai konsep tetap
digunakan, namun pengertiannya diperluas menjadi sebagai sesuatu yang diajarkan
dan dipelajari bersama dengan kurikulum resmi atau formal, melekat dalam aturan,
regulasi dan rutin tidak tertulis tentang perilaku dan sikap, sepreti ketaatan pada pihak
yang berwenang dan norma yang berlaku umum (arus utama), serta iklim, hubungan
kekuasaan, dan konsekuensi yang tidak terantisipasi.
Kurikulum tersembunyi memperlihatkan, misalnya, bagaimana pelajaran-
pelajaran yang diperoleh para murid atas kenyataan bhawa mereka merupakan bagian
dari suatu komunitas, sperti konsepi tentang rapi akan diajarkan, pada umumnya,
berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok menengah ke atas. Dalam
penerapan konsep kurikulum tersembunyi ini, bisa mengarah kepada sistem
pendidikan yang positif dan bisa juga mengarah ke arah yang negatif. Seperti contoh
berikut :
Konsep rapi pada masyarakat Indonesia, misalnya, dikatakan bahwa seseorang
rapi apabila dia menggunakan pentolan atau bersepatu. Sehingga dia dipandang
berbusana pantas karena rapi untuk menghadiri berbagai kegiatan resmi seperti
ke sekolah, bekerja di kantor. Seseorang tidak dipandang rapi apabila dia
mengenakan sarung dan sandal, meskipun busana yang dikenakan harum dan
tidak kusut. Kerapian dalam busana kerja dan sekolah ini merupakan contoh
dari penerapan kurikulum tersembunyi yang positif.
Contoh dari penerapan kurikulum tersembunyi yang bersifat negatif adalah
kekerasan dan koruptif dalam dunia pendidikan. Sebagian dari pendidik
mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin, tetapi pada kenyataan dan faktanya
bahwa hal tersebut benar-benar terjadi dalam dunia pendidikan kita. Setiap
lembaga pendidikan formal memiliki suatu kegiatan yang bernama masa
orientasi (maha) siswa atau dengan berbagai nama lain yang maksudnya sama.
Kegiatan ini dimaksudkan oleh para penggagasnya atau pelaksananya sebagai
cara “inisiasi” bagi para anggota baru untuk masuk ke dala komunitas baru,
yang bernama sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan
perguruan tinggi. Melalui “inisiasi” ini para anggota baru diharapkan dapat
menerima nilai dan norma berupa mandiri, kerja jeras dan disiplin. Tetapi
dalam pelaksanaannya berbeda dari bagaimana seharusnya. Seperti contoh,
untuk menerapkan disiplin kepada junior, senior membuat peraturan tentang
kehadiran tepat waktu dalam berbagai kegiatan “inisiasi” tersebut, misalnya
pushup, lari keliling suatu area, merayap di tanah atau lantai, dan lainnya.
Menariknya para senior tidak sekedar menemukan kesalahan, tetapi lebih
banyak “mencari-cari” berbagai kesalahan junior. Jika junior dianggap
bersalah, maka salah satu bentuk hukuman yang diterimanya adalah kekerasan
lunak, yaitu kekerasan psikologis dan emosional, diamana para junior
dimarahi, dihardik, dan dibentak, malah tidak jarang dicaci, dimaki, atau dihina
di depan khalayak oleh senior. Bila senior memandang kesalahan yang
dilakukan oleh junior telah memasuki skala berat ini cenderung berupa
kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang diterima oleh junior atas kesalahan, yang
tidak jarang bukan merupakan kesalahan yang mereka buat, adalah dijewer
telinga, dipukul, ditendang, bahkan sampai nyawa melayang (meninggal).
Demikianlah bagaimana kurikulum tersembunyi berkembang dalam praktik
dari suatu proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran. Keadaan seperti
yang disebut di ataslah menjadi akar tunggang dari rantai kekerasan dan
perilaku koruptif dunia pendidikan yang tidak bisa diputuskan. Oleh sebab itu,
dapat dipahami mengapa berbagai kurikulum tersembunyi berdampak negatif
bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak serta merta dienyahkan dari
bumi pertiwi.
C. KURIKULUM DAN EVALUASI
Diskusi kurikulum dan evaluasi meliputi pembahasan tentang evaluasi dan dampak
evaluasi kurikulum pada proses di sekolah.
1. Evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dipahami secara holistik dan parsial. Secara holistik,
evaluasi kurikulum berarti evaluasi pendidikan secara menyeluruh, meliputi :
- Isi atau substansi
- Proses pelaksanaan program pendidikan
- Kompetensi lulusan
- Pengadaan dan peningkatan kemampuan tenaga pendidikan
- Pengelolaan (menejemen) pendidikan
- Sarana dan prasarana
- Pembiayaan, dan
- Penilaian pendidikan
Adapun secara parsial, evaluasi kurikulum meliputi sebagian komponen dari
semua yang dijelaskan di atas, biasanya menyangkut penilaian hasil belajar, yang pada
gilirannya diharapkan dapat memperbaiki cara belajar peserta didik dan perbaikan
program pembelajaran. Evaluasi kurikulum melalui ujian nasional menjadi persoalan
ketika ia menjadi standar kelulusan yang bersifat nasional pula. Kebijakan ujian nasional
sebagai standar kelulusan secara nasional mengabaikan kenyataan bahwa adanya masalah
pada perbedaan dalam standar fasilitas dan guru yang dimiliki, baik antardaerah maupun
antarsekolah secara nasional. Ketimpangan fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan,
computer dan lain sebagainya serta kualitas dan kemampuan guru yang sedemikian rupa
secara nasional telah menyebabkan ketidakadilan dalam persaingan secara nasional pula.
Seperti kita ketahui bahwa semakin dekat suatu sekolah ke pusat kota, maka semakin
baik kualitas guru dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Sekolah yang berada di Jakarta
akan lebih baik kuantitas dan kualitas fasilitas serta guru yang dimiliki dibandingkan
dengan sekolah yang ada di Papua. Oleh sebab itu, realitas ujian nasional sebagai standar
kelulusan telah menimbulkan dampak negatif seperti yang dikemukakan di bawah.
2. Dampak Evaluasi Kurikulum Pada Proses Sekolah
Pada bagian ini akan didiskusikan dampak evaluasi kurikulum secara nasional pada
proses sekolah. Dampak evaluasi kurikulum secara nasional ini memiliki dampak negatif
dan positif.
a. Dampak Negatif Evalusi Kurikulum
Dampak negatif dari kurikulum secara nasional meliputi dampak terhadap proses
belajar mengajar (PBM), dampak pada hubungan sosial guru dan murid serta dampak
pada nilai dan norma.
Dampak Terghadap Proses PBM
Jika evaluasi kurikulum dimaksudkan sebagai standar kelulusan siswa
secara nasional pula, maka ia akan menimbulkan beberapa dampak terhadap
proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, antara lain, sekolah tidak lagi menjadi
lembaga pendidikan yang mentransmisikan nilai dan norma yang dipandang
penting dalam menghadapi kehidupan. Kalaupun transimisi nilai dan norma
dilakukan, itu pun hanya sampai pada semester pertama kelas 2. Karena pada
semester kedua kelas 2, sekolah cenderung untuk lebih memprioritaskan siswa
untuk menguasai “materi” ujian nasional. Kosekuensinya sosialisasi di sekolah
tidak sempurna.
Dampak pada Hubungan Sosial antara Guru dan Murid
Ujian nasional telah menciptakan stratifikasi sosial terhadap guru oleh
para siswa. Semua guru dibuat stratifikasinya berdasarkan atas dua kelas, yaitu
kelas mata pelajaran yang ikut diuji dan kelas mata pelajaran yang tidak ikut
diuji pada ujian nasional. Perbedaab kelas ini memberikan dampak pada
perbedaan sikap, perilaku, dan tindakan terhadap guru oleh para siswa. Dalam
stratifikasi sosial ini, guru yang mengajar mata pelajaran yang ikut diuji
memperoleh perhatian, penghormatan, dan ketundukan yang lebih besar
dibandingkan dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak ikut diuji
dalam ujian nasional. Keadaan ini selanjutnya memberikan dampak terhadap
kemampuan guru untuk memotivasi dan menasihati murid serta sebaliknya
kepatuhan murid terhadap motivasi dan nasihat yang diberikan guru.
Dalam berbagai perbincangan dengan banyak guru dari beebagai level
sekolah ditemukan bahwa peserta didik lebih taat, patuh, dan penurut apabila
mereka disuruh untuk rajin dalam mengulang pelajaran di rumah oleh guru yang
mengajar mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional. Sebaliknya, bila guru
yang mengajar mata pelajaran yang tidak diuji menyarankan agar siswa rajin
belajar mengurangi materi di rumah, maka kebanyakan jawaban yang keluar dari
mulut para siswa adalah: “ bapak/ibu, mata pelajaranya tidak masuk dalam ujian
nasioanal, capek-capek mengulang, menghabiskan waktu saja!” Jawaban seperti
itu tentu sesuatu yang menyakitkan bagi guru. Nasihat dan motivasi yang baik
dibalas dengan pelecehan terhadap mata pelajaran yang diasuhnya. Sehingga,
evaluasi kurikulum sangat mempengaruhi dalam kesenjangan hubungan sosial
antara guru dan murid.
Dampak pada Nilai dan Norma
a). Nilai kejujuran semakin berkurang
kepala dinas, kepala sekolah, dan guru sekolah melakukan berbagai
upaya, baik yang sah maupun yang tidak sah atau melanggar aturan yang ada
untuk mencapai target kelulusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Adapun upaya yang sah dilakukan oleh sekolah di antaranya menambah jam
kegiatan belajar, khususkan pembahasan soal ujian, mengadakan latihan
bersama lembaga kursus, dan sebagainya. Adapun upaya yang tidak sah, yaitu
berupaya menyediakan sebagian atau semua jawaban dari soal ujian nasional
pada sebelum dan/ atau sedang ujian berlangsung, mengatur posisi peserta
ujian sedemikian rupa sehingga si pintar dapat “membantu” peserta ujian
lainnya, memperlonggar pengawasan terhadap peserta ujian, dan sebagainya.
Contoh dari hal di atas menunjukkan bahwa adanya satu nilai yang dilanggar
dan digembosi yaitu nilai tentang kejujuran.
Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa pelaksanaan ujian
nasional dilakukan secara jujur jika gambaran tentang ujian nasional seperti
yang kita pahami di atas. Oleh sebab itu, “ketidakjujuran” dalam pelaksanaan
ujian nasional itu sendiri dapat pula dilihat sebagai pelajaran yang dilaksankan
oleh sekolah dalam kurikulum tersembunyi.
b). Nilai kerja keras yang semakin menurun
Nilai berikutnya yang didekonstruksi melalui pelaksanaan ujian nasional
adalah nilai tentang pentingnya kerja keras. Dalam konteks pendidikan, kerja
keras diwujudkan dalam usaha yang maksimal dalam belajar dan menimba ilmu
seperti mengulang pelajaran, mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengerjakan
berbagai macam latihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut, pserta didik akan
terlatih sehingga memiliki kompetensi seperti yang diharapkan. Pembocoran
kunci jawaban dari soal-soal ujian nasional yang dilakukan oleh pengurus
sekolah dan guru pada waktu sebelum dan sesudah ujian nasional diadakan,
merupakan suatu bentuk dari penggembosan atau pengempesan nilai tentang
kerja keras. Nilai kerja keras telah ditanam oleh setiap pendidik semenjak tahun
pertama menjadi siswa atau mahasiswa. Dengan pembocoran kunci jawaban
tersebut, membuat peserta didik menjadi malas dan cenderung membuat mereka
menjadi serba ketergantungan terhadap kunci jawaban yang sebenarnya
menyebabkan mereka tidak mau berusaha.
c). Nilai tentang Persaingan sehat
Nilai lain yang diruntuhkan melalui pelaksanaan ujian nasional adalah
persaingan sehat. Seperti nilai kejujuran dan kerja keras, nilai persaingan sehat
juga merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh hampir seluruh masyarakat
Indonesia. Kearifan sosial menuntun kita agar berkompetisi sehat dalam
mencapai sesuatu jika sesuai dengan jalannya. Nilai berkompetisi secara sehat
telah disosialisasikan semenjak siswa mendapatkan pelajaran pertamanya di
sekolah seperti tidak boleh curang, misalnya menyontek atau mengakui kerja
orang lain sebagai kerja diri sendiri.
Persengkongkolan berbagai oknum sekolah dalam pembocoran kunci
jawaban dari soal-soal ujian nasional yang dilakukan pada waktu sebelum dan
sesudah ujian nasional diadakan, merupakan suatu bentuk dari pengeroposan
atau pelapukan terhadap nila yang dipandan penting seperti adanya persaingan
secara sehat dalam memperoleh nilai atau keberhasilan dalam ujian.
Pengeroposan dan pelapukan justru terjadi pada saat siswa akan meninggalkan
lembaga yang memberikannya pendidikan, penbelajaran dan pengajaran. Dengan
kata lain para siswa dilepas kepergian mereka dari sekolah dengan nilai yang
bertentangan dengan apa yang mereka telah terima dan pegang erat pada masa
sebelumnya di sekolah.
Jika kita paha dan sepakat terhadap realitas seperti yang dibeberkan di
atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sekolah telah menghancurkan nilai-
nilai penting dalam peradaban manusia yaitu nilai kejujuran, kerja keras, dan
kompetensi secara sehat. Apabila nilai-nilai peradaban seperti disebut tadi
dihancurkan, maka apakah salah bila kita berkesimpulan bahwa sekolah
membangun keterbelakangan nilai berupa sosialisasi nilai yang berdimensi negatif
pada saat siswa akan meninggalkan sekolah seperti ketidakjujuran, malas, dan
berlaku curang. Oleh sebab itu, perlu pengawasan dan pemantauan ujian yang
ketat, yang melibatkan pengawas, polisi dan tim pemantau.
b. Dampak Positif evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum secara nasional, melalui ujian yang diselengarakan secara
nasional, namun tidak harus menjadin standar kelulusan nasional, telah menghasilakan
nilai ujian yang berskala pula. Nilai evaluasi secara nasional yang bersifat murni, tidak ada
penmbahan dengan nilai yang berasal dari sekolah, telah menjadi instrumen untuk masuk
ke sekolah yang lebih tinggi, menggantikan tes yang diselenggarakan oleh sekolah yang
dituju. System penerimaan murid baru melalui seleksi peringkat nilai evaluasi secara
nasional yang bersifat murni, memberikan dampak positif. Sebab ini memberikan peluang
dan kesempatan yang adil kepada seluruh peserta didik untuk memasuki sekolah
lanjutannya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pola ini
dimungkinkan anak-anak dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan di sekolah yang
bermutu karena prestasi sang anak sendiri. Adapun system penerimaan murid baru
melalui tes yang diselenggarakan sekolah menciptakan ketidakadilan karena seleksi ini
menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme sebab uang dan relasi dengan pihak
sekolah (kepala sekolah dan guru) dijadikan standar untuk kelulusan anak.
D. KESIMPULAN
Jadi kurikulum adalah semua situasi atau keadaan dalam mana lembaga pendidikan dapat
menyelidiki, mengorganisasi, memonitor, dan mengevaluasi secara sadar terhadap
perkembangan peserta didik. Pendekatan teoritis yang berkembang dalam kontruksi model
kurikulum adalah: model kurikulum teknik saintifik, model kurikulum refleksif, dan model
kurikulum yang rasional. Evaluasi ah dilakukan terhadap kurikulum dapat menimbulkan
dampak positif dan dampak negative.