Makalah Pak Joko New
-
Upload
iin-dewi-maimunah-tn -
Category
Documents
-
view
92 -
download
12
Transcript of Makalah Pak Joko New
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari
kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka
kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata
yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang
berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma
ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan
penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.
Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi
kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik
sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, penulis membuat pembahasan kasus referat ini
mengenai keratitis khusunya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi serta histology kornea?
2. Bagaimana fisiologi kornea?
3. Apa definisi keratitis?
4. Bagaimana epidemiologi keratitis?
5. Apa saja klasifikasi keratitis?
6. Bagaimana patofisiologi keratitis?
7. Bagaimana prognose keratitis?
8. Bagaimana gambaran klinis, diagnosa serta penatalaksanaan keratitis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan histology kornea
2. Mengetahui fisiologi kornea
3. Menegtahui epidemiologi keratitis
4. Menegtahui prognose keratitis
5. Mengetahui klasifikasi keratitis
6. Mengetahui patofisiologi keratitis
Page 1
7. Mengetahui gambaran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis bakteri
8. Mengetahui tentang asuhan keperawatan pasien dengen keratitis.
1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai keperawatan medical bedah pada umumnya, dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi mahasiswa
Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada
sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea
perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang
memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus
(Ilyas, 2005).
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng.
Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea.
Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
Page 3
erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel
memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi (Ilyas, 2005).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma (Ilyas, 2005).
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang
terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis
daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas,
2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda
dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa
endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
Page 4
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea
ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel,
kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat
kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada
kornea (Ilyas, 2005).
2.2 FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada
epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
Page 5
dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas
ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air
dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi
(Vaughan, 2009).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar
yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea
ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh
berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama
bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).
2.3 RESPON IMUN KORNEA
Imunitas Permukaan Kornea Lokal
Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans
(LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari
daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum.
Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.
Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cells (APCs) oleh interleukin-1
(IL-1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Peristiwa ini akan merangsang ekspresi
molekul MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses
peptida antigenik agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II.
Makrofag juga mampu mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh
seperti stafilokokus dan amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif
dalam mencerna antigen terlarut seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan
dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya
dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam
Page 6
jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi
ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas
yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida
imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel
tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat
menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL-
2
2.4 DEFINISI
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.
Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk.
Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal.
Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau
endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan
berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan
kornea. Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan
kegawatdaruratan di bidang oftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan
penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea
(24,8%). Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan
membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang.
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh.
Keratitis adalah inflamasi pada kornea oleh bakteri, virus, hespes simplek, alergi,
kekurangan vititamin A . Keratitis adalah peradangan pada kornea, keratitis
disebabkan oleh mikrobial dan pemajanan. Keratitis Mikrobial adalah infeksi pada
kornea yang disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus, jamur/parasit. serta
abrasi yang sangat bisa menjadi pintu masuk bakteri. Keratitis Pemajanan adalah
infeksi pada kornea yang terjadi akibat kornea tidak dilembabkan secara memadai
dan dilindungi oleh kelopak mata kekeringan mata dapat terjadi dan kemudian diikuti
ulserasi dan infeksi sekunder. (Brunner dan Suddarth, 2001).
Page 7
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang menyelimuti
bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat,
namun beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka
atau trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat
kering juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea. (Kaiser, 2005).
2.5 EPIDEMIOLOGI
Menurut Murillo Lopez (2006), sekitar 25.000 orang Amerika Serikat terkena keratitis
bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-
negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa
kontak. Insiden keratitis jamurbervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari
2 % dari kasus keratitis jamur di New York untuk 35 % di Florida. Spesies Fusarium
merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian
selatan (45-76 % dari keratitis jamur), sedangkan spesies candida dan Aspergillus lebih
umum di negara-negara utara secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan
infeksi lensa kontak.
2.6 ETIOLOGI
Arif Mansjoer (2000), mengemukakan penyebab sehingga terjadinya keratitis, antara
lain:
1. Bakteri, seperti: Staphylococcus, streptococcus, pseudomonas dan pneumococcus
2. Virus, seperti: Virus herpes simpleks tipe I ( paling sering) dan virus herpes zoster
3. Jamur, seperti: Candida dan aspergillus
4. Hipersensitif: toksin/allergen
5. Gangguan hervus trigeminus
6. Idiopatik
7. Kekeringan pada mata
8. Pajanan terhadap cahaya yang sangat terang
9. Benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif
terhadap kosmestik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain
10. Kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik.
(Mansjoer, 2001).
2.7 PROGNOSIS
Keratitis Bakteri
Page 8
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan
dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
Luas dan lokasi ulkus kornea
Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
Keratitis Virus
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila
tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
2.8 KLASIFIKASI
Diagnosis Morfologik Lesi Kornea
A. Keratitis Epitelial
Page 9
Epitel kornea terlibat pada sebagian besat konjungtivitis dan keratitis. Perubahan-
perubahan epithelial bervariasi dari edema sederhana dan vakuolisasi, hingga erosi,
formasi filament dan keratinisasi parsial. Lesinya pun berbeda-beda dari tiap kornea.
Variasi ini memiliki signifikasi diagnostik yang penting.
B. Keratitis Subepitelial
Keratitis subepitelial biasanya disebabkan secara sekunder oleh keratitis epitelial
C. Keratitis Stromal
Pada keratitis stroma, terdapat respon stroma kornea terhadap penyakit yang
ditunjukkan dengan akumulasi dari sel radang, edema yang menyebabkan penebalan
kornea, opaksifikasi atau parut, nekrosis dan vaskularisasi. Pola dari respon pada
keratitis stroma ini tidak spesifik untuk setiap penyebabnya sehingga diperlukan
informasi klinis lainnya untuk mengidentifikasi secara jelas.
D. Keratitis Endotelial
Terjadi disfungsi dari endotel kornea yang menyebabkan edema kornea mengenai
stroma terlebih dahulu dan kemudian epitel. Penemuan sel radang berupa persipitat
keratic pada endothelium tidak selalu merupakan indikasi dari penyakit endoteliat
akrena manifestasi dari dari anterior uveitis tidak sellaui diikuti oleh keratitis stroma.
Page 10
Gambar 2. Tipe Epitelial Keratitis (sesuai dengan frekuensi tersering)
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang
terkena, keratitis dibagi menjadi :
1. Keratitis Pungtata ( Keratitis Pungtata Superfisialis dan Keratitis Pungtata Sub
Epitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstitial
Page 11
Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetika
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster Disiformis
Keratitis herpetik disebabkan oleh herpkes simpleks dan herpeks zoster. Yang
disebabkan oleh herpeks simpleks dibagi dalam dua bentuk yaitu epitelial dan
stomal. Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di
dalam sel epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk
tukak kornea superfisial. Stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien
sendiri terhadap virus yang menyerang.
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek : keratitis dendritik dan keratitis disiformis
Keratitis dendritik
Merupakan keratitis superfisial yang membentuk garis infiltrat pada
permukaan kornea yang kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus
herpeks simpleks yang biasanya bermanifestasi dalam bentuk keratitis dengan
gejala ringan seperti fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun,
konjungtiva hiperemia disertai dengan sensibilitas kornea yang hipestesia.
Keratitis disiformis
Adalah keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong
di dalam jaringan kornea. Biasanya merupakan keratitis profunda superfisial
yang terjadi akibat infeksi virus herpeks simpleks. Sering diduga keratitis
disiformis merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap infeksi virus
herpeks simpleks pada permukaan kornea.
5. Keratitis Alergia
a. Keratokonjungtivitis flikten
Keratokonjungtivitis flikten merupakan radang kornea dan konjungtiva yang
merupakan reaksi imun yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah
sensitif terhadap antigen. Dahulu diduga disebabkan alergi terhadap
tuberkuloprotein. Sekarang diduga juga alergi terhadap jenis kuman lain.
Untuk mengetahui penyebabnya sebaiknya dicari penyebab alerginya.
b. Keratokonjungtivitis epidemi
Page 12
Adalah keratitis yang terbentuk pada keratokonjungtivitis epidemi adalah
akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi
alergi terhadap adenovirus 8. Biasanya unilateral, penyakit ini dapat timbul
sebagai suatu epidemi. Umumnya pasien demam, merasa seperti ada benda
asing, kadang-kadan disertai nyeri periorbita. Akibat keratitis penglihatan akan
menurun.
c. Tukak atau ulkus flinektular
d. Keratitis fasikularis
Adalah keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus kearah kornea, biasanya berupa tukak kornea akibat flikten yang
menjalar ke daerah sentral disertai fasikulus pembuluh darah. Dapat berbentuk
flikten multipel di sekitar limbus ataupun ulkus cincin yang merupakan
gabungan dari ulkus cincin tersebut.
e. Keratokunjungtivitis vernal
Merupakan penyakit rekuren dengan peradangan tarsus dan konjungtivita
bilateral. Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi didapatkan
terutama pada musim panas.
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
Adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Pasien
dengan konjungtivitis sika akan mengeluh mata gatal, mata seperti berpasir, silau
dan penglihatan kabur. Pada mata didapatkan sekresi mukus yang berlebihan,
sukar menggerakan kelopak mata, dan mata kering dengan erosi kornea.
3. Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan
kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan ke v
ini dapat terjadi akibat herpeks zoster, tumor fosa posterior kranium dan keadaan
lain sehingga akan mengakibatkan terbentuknya tukak kornea.
4. Keratitis Numuralis
Adalah kelainan yang ditemukan pada keratitis dimmer sama dengan pada
keratitis numular. Keratitis numularis ditemukannya infiltrat yang bundar
berkelompok dan di tepinya berbatas tegas.
Page 13
Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena yaitu :
A. Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul didaerah bowman, dengan infiltrat yang berbentuk bercak-
bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat
halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea
superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata sub
epitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman.
Gambar 1. Keratitis Pungtata
B. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun di tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit
infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis
marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah
umur dengan blefarokonjungtivitis.
Page 14
Gambar 2. Keratitis Marginal dan Keratitis Interstitial
C. Keratitis Interstitial
Keratitis Interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembulih darah ke
dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangya transparasi kornea. Keratitis
interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering
dari keratitis interstitial.
Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :
A. Keratitis Bakteri
Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
potensi penyebabnya atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko
terjadinya keratitis bakteri diantaranya :
a. Penggunaan lensa kontak
b. Trauma
c. Kontaminasi pengobatan mata
d. Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
e. Riwayat operasi mata sebelumnya
f. Gangguan defense mechanism
g. Perubahan struktur permukaan kornea
Etiologi
Page 15
Manifestasi klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme,
edema kornea, infiltrasi kornea
Gambar Keratitis ulseratif supuratif yang disebabkan oleh P.aeruginosa Pemeriksaan Laboratorium
a Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan menggores ulkus kornea dan bagian
tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media
coklat,darah dan agar Saboraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan
Gram
b Biposi Korneadilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara
klinis dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan infiltrat dalam di
stroma.
Terapi
Page 16
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan :
B. Keratitis Jamur
Etiologi
a. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-
cabang hifa.
a Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
b Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
b. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
c. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan
membentuk miselium :Blastomices sp, Coccidiodides sp, Histoplastoma sp,
Sporothrix sp.
2.9 MANIFESTASI KLINIS
Ihsan (2009), berpendapat bahwa manifestasi klinis pasien dengan peradangan pada
mata khususnya keratitis sering dijumpai, yaitu :
1. Mata sakit, gatal dan silau
Page 17
2. Gangguan penglihatan (visus menurun)
3. Mata merah dan bengkak
4. Hiperemi konjungtiva
5. Merasa kelilipan
6. Gangguan kornea (sensibilitas kornea yang hipestesia)
7. Fotofobi, lakrimasi, blefarospasme
8. Pada kelopak terlihat vesikel dan infiltrat filament pada kornea.
9. Inflamasi bola mata yang jelas
10. Terasa benda asing di mata
11. Cairan mokopurulen dengan kelopak mata saling melekat saat bangun
12. Ulserasi epitel
13. Hipopion (terkumpulnya nanah dalam kamera anterior)
14. Dapat terjadi perforasi kornea
15. Ekstrusi iris dan endoftalmitis
16. Mata berair
17. Kehilangan penglihatan bila tidak terkontrol
2.10 PATOFISIOLOGI
Mata yang kaya akan akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai
pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula
pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan
elemen darah yang meningkat dan masuk ke dalam ruang ekstraseluler.
Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, rotein
C- Reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk
garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi,
mekanisme kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah.
Keadaan ini dapat berubah, kalau dikornea terjadi vaskularisasi, mekanisme
kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan dapat
berubah, kalau dikornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk
vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat dipengaruhi
adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang
avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi
terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Reaksi imunologik di
kornea dan konjugtiva kadang-kadang disertai dengan kegiatan imunologik
dalam nodus limfe yang masuk limbus (kornea perifer) dan sklera yang
Page 18
letaknya berdekatan dapat ikut terkat dalam sindrom iskhemik kornea
perifer, suatu kelainan jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang
serius. Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, antigen cenderung ditahan oleh
komponen polisakarida dimembrana basalis. Dengan demikian antigen
dilepas dari kornea yangavaskuler, dan dalam waktu lama akan
menghasilkan akumulasi sel-selyang memiliki kompetensi imunologik di
limbus. Sel-sel ini bergerak kearah sumber antigen di kornea dan dapat
menimbulkan reaksi imun di tepik o r n e a . S i n d r o m i s k h e m i k d a p a t d i m u l a i
o l e h b e r b a g a i s t i m u l i . B a h w a pada proses imunologik secara histologik terdapat
sel plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus. Penemuan sel plasma
merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetika yang kronik dan
disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan
kornea.
Page 19
PATOFISIOLOGI
Page 20
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI VISUAL
ANSIETAS
Kehilangan penglihatan
RESIKO PENYEBARAN
INFEKSI
Edema kornea
Integritas epitel dan endorel berkurang
Kemampuan mentransmisi dan
menetraksi cahaya kurang
Tajam penglihatan berkurang
Kekeruhan kornea
Sekret berlebih
NYERI
Migrasi sel radang
Perforasi kornea
Infiltrasi sel radang
Lesi Kornea
Epitel karena rusak
Kornea
Bakteri, virus, jamur
2.11 PENATALAKSANAAN
A. Keratitis Bakteri
a. Topikal
Terapi keratitis bakterial sebelumnya adalah tetes mata fortified seperti
5% cefazoline dan 1% gentamicin, namun terapi ini memiliki biaya yang mahal
dan kurang nyaman digunakan oleh pasien. Selain itu sediaan komersial terapi ini
tidak tersedia sehingga harus diformulasi lebih dahulu oleh dokter.
Fluorokuinolon yang merupakan antibiotik spektrum luas telah mengubah pola
terapi ini. Antibiotik dari golongan ini umumnya mampu mengatasi sebagian
besar bakteri Gram positif dan bakteri Gram-negatif anaerobik, oleh karena ini
antibiotik ini menjadi drugs of choice untuk keratitis bakterial. Keratoplasti
biasanya dilakukan setelah ulkus pulih dengan antibiotik dan masih meninggalkan
sikatriks. Tindakan keratoplasti dapat dilakukan pada fase infeksi akut jika
terdapat ancaman perforasi maupun telah terjadi perforasi.bakterial.
b. Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep
pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna
sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada
keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal
dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan
defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis
loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap
15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah,
rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen
Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk
mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika
adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi
kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob)
Page 21
dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone
dan prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin
meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone)
telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif
dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan
keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan
mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari
satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-
tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan
pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan
sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea.
Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.
c. Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk
timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis
kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli
percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang
sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis
bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis
minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis
secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan
follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus
sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi
kortikosteroid topikal dimulai.
B. Keratitis Virus
Page 22
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
a Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung
kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat
(Vaughan, 2009).
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks
dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease
study) (Vaughan, 2009).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009).
3. Bedah
Page 23
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens
dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan
untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis
herpes simplek (Vaughan, 2009).
3. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus dalam 2
tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah
denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari.
Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar
matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan
strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi
(Vaughan, 2009).
C. Keratitis Fungi
Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat,
yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang
dihadapi bisa dibagi:
1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I :
Page 24
Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10
mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II :
Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat terpilih),
econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III :
Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%,
fluoconazol 2 % (Jack, 2009).
Untuk golongan IV :
Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga
obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis
anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan
antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi
ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di
stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak
secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu
menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat
pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran,
ketekunan dan ketelitian dari kita semua (Grayson, 1983).
2.12 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi
penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan menggunakan kartu snellen maupun secara manual yaitu
menggunakan jari tangan.
b Pemulasan fluorescein
c Kerokan kornea yang kemudian dipulas dengan pulasan gram maupun
giemsa.
d Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10 % pada kerokan kornea
e Pemeriksaan schirmer.
f Kultur bakteri atau fungi
Page 25
g Uji dry eye : Pemeriksaan mata kering atau dry eye termasuk penilaian
terhadap lapis film air mata ( tear film ), danau air mata ( teak lake ),
dilakukan uji break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik
film air mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal
film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik.
Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak
stabil.
h Uji fluoresein : Untuk mengetahui adanya kerusakan pada epitelkornea
akibat erosi, keratitis epitelial, bila terjadi defek epitel kornea akan terlihat
warna hijau pada defek tersebut
i Uji sensibilitas kornea : Untuk mengetahui keadaan sensibilitas kornea
yang berkaitan dengan penyakit mata akibat kelainan saraf trigeminus oleh
herpes zooster ataupun akibat gangguan ujung saraf sensibel kornea oleh
infeksi herpes simpleks
j Uji fistel : Untuk melihat kebocorankornea atau fistel akibat adanya
perforasi kornea
k Uji biakan dan sensitivitas : Mengidentifikasi patogen penyebab
l Uji plasido : Untuk mengetahui kelainan pada permukaan kornea
m Ofthalmoskop : Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina,
serat yang pacat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan
peripapilar.
n Keratometri ( pegukuran kornea ) : Keratometri tujuannya untuk
mengetahui kelengkungan kornea, tear lake juga dapat dilihat dengan cara
focus kita alihkan kearah lateral bawah, secara subjektif dapat dilihat tear
lake yang kering atau yang terisi air mata.
o Tonometri digital palpasi : Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila
tonometer tidak dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea,
kornea ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman
pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan
dengan tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian
superior.
2.13 KOMPLIKASI
a. Gangguan refraksi
b. Jaringan parut permanent
Page 26
c. Ulkus kornea
d. Perforasi kornea
e. Glaukoma sekunder
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KERATITIS
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Identitas klien meliputi :Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku bangsa, Pekerjaan,
Pendidikan, Status menikah,Alamat, Tanggal MRS, Diagnosa medis
2. Keluhan Utama
Tanyakan kepada klien tentang adanya keluhan seperti nyeri, mata berair, mata
merah, silau dan sekret pada mata
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Informasi yang dapat diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan tajam
penglihatan, trauma pada mata. Riwayat gejala mata seperti nyeri meliputi lokasi,
awitan durasi, upaya menguragi dan beratnya, pusing, silau.
Meliputi PQRST
Paliatif : Penyebab
Quality : Kualitas
Region : Daerah yang terasa nyeri
Scale : Skala nyeri
Time : waktu
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan kepada klien riwayat riwayat dialami oleh klien seperti diabetes militus,
herpes zooster, herpes simplek.
5. Pengkajian Fisik Penglihatan
Ketajaman Penglihatan
Uji formal ketajaman penglihatan harus merupakan bagian dari setiap data dasar
pasien. Tajam penglihatan diuji dengan kartu mata (shellen) yang diletakkan 6 meter.
Palpebra Superior
Merah, sakit bila ditekan.
Page 27
Palpebra Inferior
Bengkak, merah, ditekan keluar sekret.
Konjungtiva Tarsal Superior dan Inferior
Inspeksi adanya :
a Papil, timbunan sel radang ub konjungtiva yang berwarna merah dengan
pembuluh darah dengan pembuluh darah ditengahnya.
b Membran, sel radang didepan mukosa konjungtiva yang bila diangkat akan
berdarah.
c Pseudomembran, membran yang bila diangkat tidak berdarah.
d Litrasisi, pembentukan batu senyawa kalsium berupa perkapuran yang terjadi
pada konjungtiva kronis.
e Sitatrik, terjadi pada trakoma.
Konjungtiva Bulbi
a. Sekresi
b. Kemosisi konjungtiva bulbi
Kornea
a. Erosi kornea
b. Infiltrasi, timbulnya sel radang
c. Pannus, terdapat sel radang dengan adanya pembuluh darah yang membentuk
tabir kornea.
d. Ulkus
e. Sikatik
Bilik Depan Mata
a. Hipopion, penimbunan sel radang dibagian bawah bilik mata depan.
b. Hifema, perdarahan pada bilik mat depan.
Iris
a. Kubiosis, radang pada iris
b. Gambaran kripti pada iris
Pupil
a. Reaksi sinar isokor
b. Pemeriksaan fundus okuli dengan optamoskop untuk melihat adanya
kekeruhan pada media pengluhatan yang keruh seperti pada kornea, lensa dan
badan kornea.
3.2 ANALISA DATA
Page 28
Analisa data 1
Data Etiologi Masalah
DS : Pasien mengatakan matanya sakit
DO:
Keadaan umum & pemfis :
• Mata pasien terlihat merah dan bengkak
hiperemi konjungtiva
• Pasien tampak meringis kesakitan dengan
selalu memegangi matanya
• Mata pasien terlihat berair
• Terlihat adanya trikiasis
• Terdapat blefarospasme
• Uji fluoresin didapatkan adanya erosi
kornea
• Uji biakan (kultur) didpatkan adanya agen
bakteri
Keratitis
Sistem endotel terganggu
Dekompensasi endotel
Edema kornea
Dilatasi pembuluh
darah di limbus
Mata kemerahan & nyeri
Gangguan rasa nyaman
(nyeri)
Gangguan rasa nyaman
(nyeri)
Analisa Data 2
Data Etiologi Masalah
Ds : Pasien mengatakan
silau terhadap cahaya
Do:
Keadaan umum & pemfis:
• Mata pasien terlihat
merah dan bengkak
hiperemi konjungtiva
• Pada kelopak mata
terlihat ada vesikel dan
infiltrat
Keratitis
System endotel terganggu
Dekompensasi endotel
Edema kornea
Gangguan persepsi sensori
(penglihatan)
Page 29
• Terdapat filament pada
kornea
• Adanya sensibilitas
kornea yang hipestesia
• Terdapat blefarospasme
• Visus menurun 2/6
• Uji fluoresin didapatkan
adanya erosi kornea.
Sinar tidak mampu dibiaskan
Silau
Gangguan persepsi sensori
(penglihatan)
3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d proses inflamasi ditandai dengan :
Mata merasa sakit
Mata merah bengkak
Ekspresi wajah kesakitan
Tampak gelisah
2. Resiko tinggi terhadap cidera b/d penurunan ketajaman penglihatan ditandai dengan :
Visus menurun
Fotofobi
Adanya flikten
Merasa klilipan
3. Potensial infeksi, penyebaran ke mata yang tak sakit berhubungan dengan kurang
pengetahuan ditandai dengan :
Sering menggaruk mata
Kurang menjaga kebersihan mata
Tidak akurat mengikuti instruksi
4. Gangguan konsep diri b/d status kesehatannya ditandai dengan :
Klien menarik diri
Diam dan sering termenung
5. Gangguan sensori perseptual: penglihatan b/d penurunan tajam penglihatan.
6. Ansietas berhubungan dengan kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatannya.
7. Ansietas berhubungan dengan keadaan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
8. Gangguan aktivitas berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan.
3.4 INTERVENSI KEPERWATAN
Page 30
1. Nyeri b/d iritasi atau infeksi pada mata
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 1 x 24 jam nyeri berkurang.
Kriteria Hasil :
- Pasien menyatakan nyeri berkurang
- Skala nyeri sedang ( 0-3)
- Ekspresi pasien tidak gelisah
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri
R/ tingkatan nyeri dapat menggambarkan intervensi selanjutnya sesuai
kebutuhan.
b. Kaji pernyataan verbal dan non verbal tentang nyeri
R/ ketidaksesuaian pernyataan verbal dan non verbal memberikan petunjuk derajat
nyeri, kebutuhan/keefektifan intervensi.
c. Dorong penggunaan teknik relaksasi misalnya : latihan nafas dalam atau ajak
pasien cerita.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
d. Beri kompres basah hangat
R/ Mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan, dan membersihkan mata.
e. Kompres basah dengan NaCL dingin
R/ mencegah dan mengurangi edema dan gatal-gatal yang berat
f. Beri irigasi
R/ untuk mengeluarkan sekret, benda asing/kotoran dan zat-zat kimia dari mata.
g. Dorong penggunaaan kaca mata hitam pada cahaya kuat
R/ cahaya yang kuat meyebabkan rasa tak nyaman
h. Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
R/ pemakaian obat analgetik menekan impuls nyeri sehingga rangsangan nyeri
tidak diteruskan.
2. Ansietas berhubungan dengan keadaan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
yang ditandai dengan :
- Pertanyaan mengenai kondisinya
- Tidak akurat mengikuti instruksi
- Takut dan gelisah
Page 31
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 2 jam ansietas teratasi
Kriteria Hasil :
- Klien dapat memahami kondisinya
- Berartisipasi dalam program pengobatan
- Tampak rileks
Intervensi ;
a. Identifikasi persepsi pasien terhadap ancaman yang ada oleh situasi
Rasional : Membantu pengenalan ansietas/takut dan membantu dalam
melakukan intervensi.
b. Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaannya.
Rasional : langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah identifikasi
dan ekspresi, sehingga mendorong penerimaan situasi dan kemampuan
diri untuk mengatasi
c. Berikan lingkungan tenang
Rasional : Dukungan dapat membantu pasien merasa diperhatikan
sehingga tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalah.
d. Berikan informasi yang akurat dan jujur.
Rasional : Menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan dan
memberikan dasar untuk pilihan informasi tentang pengobatan.
e. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku koping.
Rasional : Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan
masalah/stress saat ini sehingga meningkatkan rasa kontrol diri.
3. Ansietas berhubungan dengan adanya kemungkinan/ kenyataan kehilangan
penglihatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 1 x 24 jam ansietas
berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien tampak rileks, pasien melaporkan ansietas menurun sampai
tingkat dapat diatasi.
Intervensi :
a Kaji tingkat ansietas, derajat pengalaman nyeri/ timbulnya gejala tiba-tiba dan
pengetahuan kondisi saat ini.
Rasional :Data dasar menentukan intervensi.
b Berikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
Page 32
Rasional : Membantu kecemasan klien
c Beri informasi yang akurat dan jujur.
Rasional : Informasi yang akurt dapat mengurangi tingkt kecemasan klien.
d Dukung dan arahkan mekanisme koping klien.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri klien.
4. Gangguan sensori perseptual: penglihatan b/d penurunan tajam penglihatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 3 x 24 jam terdapat
peningkatan tajam penglihatan.
Kriteria Hasil : pasien menyatakan ketajaman penglihatan meningkat.
Intervensi :
a Kaji ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.
Rasional : Menentukan dasar untuk intervensi.
b Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain di areanya.
Rasional : Mencegah terjadinya cedera.
c Anjurkan klien untuk mengistirahatkan mata yang sakit.
Rasional : Mengistirahatkan mata dan mengatur beban mata.
d Anjurkan klien kontrol secara rutin.
Rasional : Deteksi dini terdapat tingkat penyembuhan.
5. Resiko tinggi terhadap cidera b/d penurunan ketajaman penglihatan ditandai dengan :
Visus menurun
Fotofobi
Adanya flikten pada kornea
Merasa kelilipan
Tujuan
Visus kembali normal
Tidak tampak luka cidera pada anggota tubuh
Intervensi :
a. Kaji tingkat ketajaman penglihatan pada kedua mata
Rasional : Kebutuha individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab
kehilangan penglihatan terjadi lamban dan progresif
b. Pertahankan posisi tempat tidur rendah, pagar tempat tidur tinggi dan bel
samping tempat tidur.
Rasional : Memberikan kenyamanan dan memungkinkan pasien melihat objek
lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk petugas bila diperlukan.
Page 33
c. Singkirkan benda-benda yang dapat menimbulkan cidera ( pisau buah )
Rasional : Memberikan perlindungan terhadap resiko cidera
d. Beritahu pasien agar tidak menggaruk mata
R/ mencegah terjadinya cidera mata.
6. Potensial infeksi, penyebaran ke mata yang tak sakit berhubungan dengan kurang
pengetahuan ditandai dengan :
Sering menggaruk mata
Kurang menjaga kebersihan mata
Tidak akurat mengikuti instruksi
Tujuan :
Infeksi tidak menyebar ke mata sebelahnya
Intervensi :
a. Kaji pemberian antibiotik setian 30 menit/1jam/2jam dan kaji efek sampingnya
setelah pemberian obat
R/ mencegah komplikasi dan penyebaran infeksi ke mata yang tidak terinfeksi.
b. Lakukan tehnik steril saat pemberian obat
R/ mencegah infeksi silang
c. Lakukan HE tentang pencegahan dan penularan penyakit
R/ memberikan pengetahuan dasar bagaimana cara memproteksi diri.
7. Gangguan aktivitas berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan ditandai
dengan :
- Penurunan tajam penglihatan
- Kelemahan umum
- Kebutuhan ADL klien dibantu dengan oleh keluarga dan perawat.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam klien dapat beraktivitas dengan baik
Kriteria Hasil :
- Tajam penglihatan kembali normal
- Pemenuhan ADL terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji tingkat aktivitas klien
Rasional : Kemampuan aktivitas klien merupakan gambran untuk mengambil
tindakan lebih lanjut.
b. Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan pribadinya
Page 34
Rasional : Kebutuhan klien terpenuhi akan mengurangi beban pikiran dan
kooperatif dalam pemberian tindakan.
c. Dorong perawatan diri
Rasional : Perawatan dirinya sendiri akan meningkatkan perasaan harga diri.
d. Kaji tentang pentingnya aktivitas secara bertahap
Rasional : peningkatan aktivitas secara bertahap dapat membantu mengurangi
ketergantungan pada perawat.
e. Susun tujuan dengan pasien atau orang terdekat untuk berpartisipasi
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap peningkatan kemandirian.
f. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik
Rasional : berguna dalam memformulasikan program latihan berdasarkan
kemampuan klien.
8. Gangguan konsep diri b/d status kesehatannya ditandai dengan :
Klien menarik diri
Diam dan sering termenung
Tujuan : Setelah dilakuakan perawatan selama 2 jam tidak pasien tidak
mengalami gangguan konsep diri.
Kriteria Hasil :
Klien tidak menarik diri
Wajah tanpak ceria
Pasien tampak bersosialisasi
Intervensi :
a. Ciptakan / pertahankan hubungan terapeutik antara pasien dan perawat
R/ mengenbangkan rasa saling percaya dengan Px dan keluarga Px
b. Kaji interaksi antara pasien dengan keluarga, catat apabila ada perubahan dalam
hubungan keluarga.
R/ Keluarga mungkin secara sadar/ tidak memperkuat sikap negatif dan
keyakinan pasien atau informasi yang didapat mungkin menghambat dalam
penanganan pasien.
c. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan.
R/ konfrontasi pasien terhadap situasi yang nyatadan mengakibatkan peningkatan
ansietas dan mengurangi kemampuan untuk mengatasi perubahan konsep diri.
d. Beri informasi yang benar tentang keadaan kesehatannya.
R/ membantu pasien menerima keadaan kesehatannya
Page 35
3.5 EVALUASI
- Pasien menyatakan nyeri hilang/berkurang
- Pasien tidak mengalami cedera
- Visus kembali normal
- Pasien paham tentang penyakitnya
- Pasien tidak mengalami gangguan konsep diri
BAB IV
Page 36
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis ini diakibatkan oleh berbagai organisme
bakteri,virus, jamur, atau parasit, abrasi sedikitpun bisa menjadi pintu masuk bakteri.
Kebanyakan infeksi kornea terjdi akibat trauma atau gangguan mekanisme pertahanan
sistemis ataupun lokal.
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang menyelimuti bagian
berwarna dari mata (iris) dan pupil. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa.
Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat, namun beberapa kondisi
dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka atau trauma pada mata dapat
menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme
pertahanan kornea. (Kaiser, 2005).
4.2 SARAN
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini menjadi lebih
bermanfaat untu para mahasiswa pada umunya dan untuk teman sejawat perawat pada
khusunya.
DAFTAR PUSTAKA
Page 37
Bunner And Sudart. 2000. Buku Ajar Medikal Bedah. EGC: Jakart
Shidarta, Ilyas. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FKUI:
Carpenitto, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC :
Jakarta.
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal – Bedah : volume 2. Jakarta : EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PDSMI), 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Sagung Seto:Jakarta
Ilyas, Sidarta, 2010. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. FKUI:Jakarta.
Vaughan&Asbury, 2010. Oftalmologi Umum edisi 17. EGC:Jakarta.
Page 38