makalah kusta fix.docx

20
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan adalah melalui pembangunan kesehatan. Upaya perbaikan kesehatan antara lain dilakukan melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan pemukiman dan perbaikan gizimasyarakat. Berbagai upaya pembangunan kesehatan telah di upayakan oleh pemerintah bersama masyarakat, namun penyakit menular masih menjadimasalah kesehatan masyarakat termasuk penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih

Transcript of makalah kusta fix.docx

Page 1: makalah kusta fix.docx

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya

manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu upaya peningkatan kualitas

sumberdaya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan adalah melalui pembangunan

kesehatan. Upaya perbaikan kesehatan antara lain dilakukan melalui pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan pemukiman dan perbaikan

gizimasyarakat. Berbagai upaya pembangunan kesehatan telah di upayakan oleh pemerintah

bersama masyarakat, namun penyakit menular masih menjadimasalah kesehatan masyarakat

termasuk penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan

endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98

negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk.

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang

sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas

sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta

pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat

keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan

memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat,

keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya

pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang

ditimbulkannya.

Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan

masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut

Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet

(MB) atau kusta basah.

B. Tujuan

1. Mahasiswa dapat menjelaskan penanggulangan penyakit infeksi dan penyakit tropis

khususnya penyakit kusta dan cara deteksi dini.

2. Mahasiswa dapat mengetahui angka kejadian kusta

3. Mahasiswa dapat menjelaskan penanggulangan penyakit kusta di komunitas.

Page 2: makalah kusta fix.docx

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Penanggulangan Penyakit Kusta Dan Cara Deteksi Dini

1. Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit

dan jaringan tubuh lainnya.

Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis

Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu

interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah

tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

2. Etiologi

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan

oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang

berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu

dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi

sistemik pada binatang Armadillo.

3. Patogenesis

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,

tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa

nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup

M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang

Avirulen dan non toksis.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar

pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk

tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit )

untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu

menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya

setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan

Page 3: makalah kusta fix.docx

kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi

berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

4. Klasifikasi Kusta

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,

bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :

1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan

kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar

bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi

kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan

jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran

khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah

dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA

( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah

sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan

mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

5. Gambaran Klinis

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

Mengenai kulit dan saraf.

Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,

kontrol healing ( + ).

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis

atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,

sedikit rasa gatal.

Page 4: makalah kusta fix.docx

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon

imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,

cenderung simetris.

Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian

tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian

tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya

sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat

muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat

prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas

tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Distribusi lesi khas :

Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

Stadium lanjutan :

Penebalan kulit progresif

Cuping telinga menebal

Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai

madarosis, intis dan keratitis.

Lebih lanjut

Deformitas hidung

Page 5: makalah kusta fix.docx

Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

Penyakit progresif, makula dan popul baru.

Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi

dan pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

Lidah : ulkus, nodus

Larings : suara parau

Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

Kelenjar limfe : limfadenitis

Rambut : alopesia, madarosis

Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial

6. Penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang belum pasti diketahui, tetapi

sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernafasan dan kulit.

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti

tergantung dari beberapa faktor antara lain :

a. Faktor sumber penularan :

Page 6: makalah kusta fix.docx

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. penderita MB ini pun tidak akan

menularkan kusta, apabila berobat teratur.

b. Faktor kuman kusta :

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada

suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh ( solid ) saja yang dapat

menimbulkan penularan.

c. Faktor daya tahan tubuh :

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta ( 95 %). Dari hasil penelitian

menunjukkan gambaran sebagai berikut, dari 100 orang yang terpapar 95 orang tidak

menjadi sakit, 3 orang sembuh tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi

memperhitungkan pengaruh pengobatan.

7. Cara Penanggulangan

Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan

diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara

bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga

ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu

ditangani kembali.

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada

pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi

bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi

bakteri menjadi kebal. {ada 1960an, dapson tidak digunakan lagi. Pencarian terhadap obat

anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada

1960an dan 1970an.

Obat terapi multiobat kusta. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya

merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan

bakteri. Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh

Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini

tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang

endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada

Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi

untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan

berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk

mengembangkan strategi penghapusan kusta.

Page 7: makalah kusta fix.docx

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan

merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan

selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang

kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara

endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.

Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian

bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada

kemasan obat.

8. Deteksi Dini

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik

dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,

asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat

menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari

penyakit tersebut. Secara umum, tanda-tanda itu adalah :

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan

banyak.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus

seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :

Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

Anoreksia.

Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.

Cephalgia.

Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.

Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.

Neuritis.

Page 8: makalah kusta fix.docx

B. Survey Angka Kejadian

Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu

eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta didunia diperkirakan

640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada2000, Word Health Organisation

membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India,

Myanmar, dan Nepal (Depkes RI,2005).

Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal

penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada penurunan yang cukup drastis

dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak

berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi rate, angka penemuan kasus

baru juga merupakan indikator yang harus diperhatikan (Depkes RI, 2005). Pada 2002,

763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurutWHO pada tahun itu, 90% kasus

kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh

dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta

dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar,

diikutioleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).

Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi Jawa Timur

yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk.selanjutnya provinsi Jawa Barat mencapai 3 per

10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2 per 10.000 penduduk (Depkes RI,

2002).Pada pertengahan tahun 2000, Indonesia telah mencapai eliminasi sesuai target WHO.

Pada tahun 2003, distribusi kusta menurut waktu yaitu Penderitaterdaftar di Indonesia pada

akhir tahun Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 PB dan

15.498 MB dengan prevalens rate0,86 per 10.000 penduduk terdapat di 10 provinsi, yaitu :

Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara,

MalukuUtara, dan Nusa Tenggara Timur (Depkes RI, 2005).

Penyakit kusta hingga kini masih menghantui 14 provinsi di Indonesia, empat provinsi

di antaranya yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Dilaporkan

ada lebih dari 1.000 kasus setiap tahunnya.

"Program pengendalian penyakit kusta nasional melaporkan ada sekitar 17.000-18.000

kasus baru setiap tahunnya. Prevalensi penyakit kusta belum menunjukkan kecenderungan

menurun. Karena itu, penyakit kusta masih menjadi prioritas program," ujar Menteri

Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedya-ningsih dalam "Pertemuan Aliansi Nasional

Eliminasi Kusta (ANEK) dan Eradikasi Frambusia", di Jakarta, Selasa (31/8).

Page 9: makalah kusta fix.docx

Menkes menambahkan, Indonesia merupakan negara ketiga di dunia setelah India dan

Brasil yang memiliki kasus kusta baru terbanyak. Secara nasional, Indonesia sebenarnya

telah mencapai tingkat eliminasi terhadap kusta dengan angka prevalensi kurang dari satu

per 10.000 pada tahun 2000.

"Namun dengan tingkat populasi yang cukup besar, maka jumlah penderita kus-ta baru

sebanyak 18.000 orang per tahun terbilang cukup besar," katanya.

Menurut Endang Rahayu, program pengendalian kusta telah berhasil mengobati dan

menyembuhkan sebanyak 375.119 penderita melalui Multi-Drug Therapy (MDT) sejak

1990 dan telah menurunkan 80 persen jumlah penderita dari 107.271 pada tahun 1990

menjadi 21.026 penderita pada tahun 2009.

Namun, diakui Menkes, beban akibat kecacatan akibat kusta masih tinggi yaitu sekitar

1.500 kasus cacat tingkat 2 masih ditemukan tiap tahunnya.

"Secara kumulatif, sejak tahun 1990-2009 terdapat sekitar 30.000 kasus cacat tingkat 2

yang antara lain mata tidak bisa menutup karena syaratnya terganggu, jari tangan atau kaki

bengkok/kiting atau adanya luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa," tutur

Menkes.

Besarnya beban akibat kecacatan kusta itulah, lanjut Endang Rahayu, mendorong Badan

Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan target menurunkan 35 persen angka cacat tingkat 2

pada tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010.

Eliminasi kusta tingkat provinsi yang harus dicapai pada tahun 2005,tentu sangat sulit

dicapai apalagi mencapai eliminasi kusta tingkat kabupaten tahun 2008 tanpa adanya

dukungan dari berbagai program dan sektor terkait(Depkes RI, 2005). Penemuan penderita

baru di Jawa Timur masih sangat tinggi. Pada tahun2006 ditemukan penderita baru

sebanyak 5.360 orang, dengan rincian jumlahPB. 732 dan MB.4.628, dan yang telah selesai

menjalani pengobatan (RFT) tahunan 5.236, dengan Case Detection Rate (CDR) per 10.000

sebesar 1,45%, sedangkan prevalensi rate sebesar 1,7 % (Dinkes Propinsi Jatim, 2006).

Kabupaten Sampang merupakan daerah prevalensi rate tertinggi yaitu 9,44 per 10.000

penduduk, CDR 18 per 100.000 penduduk, tingkat cacat II sebesar 11%, proporsi anak

sebesar 22,6%, proporsi MB sebesar 86,3%. Tingginya proporsi cacat II menunjukkan

masih banyak penderita baru terlambatditemukan, proporsi penderita anak lebih dari 5%

menunjukkan tingkat penularan masih tinggi (Dinkes Propinsi Jatim, 2006)

C. Penanggulangan Penyakit Kusta Di Komunitas

Page 10: makalah kusta fix.docx

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sebagai perawat komunitas bertanggung jawab

untuk melakukan identifikasi kebutuhan, sumber, dan nilai yang dibutuhkan pada populasi

masyarakat dengan kusta terkait denganaspek promosi, proteksi, dan prevensi. Perawat

komunitas dapat menyusun pelayanan kesehatan bagi populasi masyarakat dengan kusta dan

mengimplementasikan dan mengevaluasi terhadap program yang disusun bersama

masyarakat. Menurut Swanson (1997), perawat komunitas dapat berperan dalam

pencegahan terhadap penyakit menular dengan melakukan pelayanan kesehatan yang

mengutamakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Salah satu cara yang dapat

perawat komunitas lakukan untuk menjamin keberlanjutan suatu program atau pelayanan

kesehatan dalam menerapkan program promosi, proteksi, dan prevensi adalah dengan

membentuk kemitraan (Helvie, 1997) dalam melakukan asuhan keperawatan komunitas

pada agregat pada kasus penyakit kusta meliputi pengkajian pada core dan 8 (delapan)

subsistem (lingkungan fisik, pelayanan kesehatan dan sosial, pemerintah dan politik,

keselamatan dan transportasi,ekonomi, pendidikan, komunikasi, dan rekreasi), serta upaya

promosi yang telah dilakukan terkait dengan upaya pendidikan, pencegahan,

dan perlindungan; diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

Di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia bersama dengan dinas kesehatan

provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia telah melakukan program pencegahan dan

penanggulangan kusta melalui pendekatan ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat

dengan melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fungsi rehabilitasi

tersebut agar penderita, keluarga dan masyarakat sekitar ikut secara bersama-sama membantu

penderita agar dapat hidup mandiri. Optimisme bahwa masalah kusta dapat diatasi apabila

penderita, keluarga dan masyarakat sendiri mau bekerja sama dengan penuh tanggung jawab,

sehingga terciptalah iklim yang baik untuk rehabilitasi secara paripurna bagi penderita kusta.

Akhirnya semua elemen masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa diskriminasi yang

ditimbulkan oleh penyakit kusta (Depkes RI, 2005).

Hasil Diskusi Dan Masukan

Dengan dapatnya diatasi penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Tetapi sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait. Karena mengingat kompleksnya masalah penyakit

kusta, maka di perlukan program penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal

pemberantasan, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan permasyarakatan dari bekas

penderita kusta.

Page 11: makalah kusta fix.docx

Suatu penyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan

cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk

memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan serta dalam pembangunan

bangsa dan negara.

Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi salah pada masyarakat

sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai penyakit kutukan, penyakit keturunan, akibat guna-

guna, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Pamahaman keliru

melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Penderita kusta semakin malang. Ketakutan masyarakat

tertular, membuat mereka tega mengusir penderita kusta. Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak

menular kesulitan untuk memulai hidupnya lagi.

Masalah penyakit kusta tidak hanya disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, tetapi juga

dipengaruhi banyak faktor antara lain status sosio-ekonomi, ras, kultur, kebiasaan, dan pandangan

masyarakat. Berbagai faktor sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kepercayaan dan nilai-nilai

kebiasaan dari keluarga berpengaruh terhadap usaha penderita mencari kesembuhan sekaligus juga

mempengaruhi keteraturan berobat penderita kusta

Page 12: makalah kusta fix.docx

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penyakit kusta termasuk penyakit menular yang memerlukan waktu cukup  lama untuk

ditularkan pada orang lain, menyerang saraf tepi dengan  tanda-tanda di kulit dan badan, disebabkan

kuman kusta dan terdiri dari  tipe basah dan tipe kering.

Gejala pada tipe basah gejalanya bercak putih atau kemerahan tersebar merata  di seluruh

badan, dengan atau tanpa penebalan pada bercak, pada  permukaan bercak sering masih ada rasa

bila disentuh dengan kapas. Tanda-tanda permulaan sering berupa penebalan  kulit kemerahan pada

cuping telinga dan wajah. Penderita kusta tipe  basah yang belum berobat dapat menularkan

penyaktinya pada orang lain. Pada tipe kering gejalanya bercak putih seperti panu yang mati rasa, 

artinya jika bercak tersebut disentuh dengan kapas tidak terasa atau  kurang terasa. Kusta tipe kering

ini tidak menular tapi dapat  menimbulkan cacat jika tidak sebera diobati.

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan

seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena

kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua

orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut

berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga

tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.

Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.

Pencegahannya diantaranya yaitu menciptakan lingkungan sanitasi yang bersih. Daya tahan

tubuh seseorang  harus baik. Selain itu, lebih baik segera memeriksakan diri jika ada  bercak putih

seperti panu yang mati rasa, agar pengobatannya dapat  dilakukan lebih dini. Tindakan yang dapat

dilakukan yaitu berupa berobat segera mungkin dan teratur. Tipe kering selama 6-9 bulan, tipe

basah 2-3 tahun.

Page 13: makalah kusta fix.docx

DAFTAR PUSTAKA

Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

Anderson & McFarlane (2000). Community as partner: theory and practice innursing. Third edition.

Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.Dinkes Prop. Jatim. (2002)

Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit  Pelayanan Kesehatan. Dit. Jen PPM &

PL. Jakarta. Depkes RI , 2002c.

Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. JenPPM & PLP. Jakarta.Depkes RI , 2005d.

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit

Kusta, Jakarta.

http://permata.or.id/id/tentang-kusta/pengobatan-kusta.html

http://www.indosiar.com/ragam/apa-dan-bagaimana-penyakit-kusta_79313.html

http://www.scribd.com/doc/90160915/Pencegahan-Penanggulangan-Dan-Pemberantasan-Penyakit-

Kusta

Profil Dinas Kesehatan propinsi Jawa Timur 2006. Diakses dari http://www.dinkespropjatim.org.

Tanggal 15 November 2011 Depkes RI, 2002b.