Makalah Kimling
-
Upload
finasia-sakina-harsari -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of Makalah Kimling
KIMIA LINGKUNGAN
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH
RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU
DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE
Disusun oleh:
Inez Carissa (21080111130072)
Jesicha Mayangsari (21080111130073)
Finasia Sakina (21080111130074)
Herninda Tanjungsari (21080111130076)
TEKNIK LINGKUNGAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia di bidang industri, kesehatan dan
penelitian semakin berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk,
teknologi, pengetahuan, budaya, dll dan telah terbukti secara nyata memberikan
kontribusi yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Di bidang kesehatan, tenaga
nuklir berperan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat antara
lain untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian. Pemanfaatan tenaga nukir pada
sektor industri secara langsung berperan dalam meningkatkan mutu dan laju
produksi termasuk industri pertambangan yang merupakan salah satu sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 %
berdampak dihasilkannya limbah padat, cair, gas yang harus dikelola dengan
bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah tersebut mampu mengoptimalkan
tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama kepentingan
masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya permasalahan limbah
maka sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan tindakan-tindakan yang
berorientasi pada upaya meminimalkan terjadinya limbah yang dapat dilakukan
melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses dan penerapan prinsip reuse, recycle
serta recovery.
Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta
lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah limbah radioaktif. Limbah
radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan secara sembarangan
karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara
internasional.
Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara internasional
ditetapkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga oleh
International Commission on Radiological Protection (ICRP) [1]. Sedangkan di
Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan,
perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN
juga memperhatikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
BAB 2
A. Jenis Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang
telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian
instalasi nuklir dan fasilitas pemanfaatan zat radioaktif, yang tidak dapat
digunakan lagi. Limbah radioaktif berdasarkan bentuk fisiknya terdiri dari
limbah radioaktif padat, cair dan gas. Limbah cair dibedakan menjadi
aqueous dan organik, sedangkan limbah padat dibedakan menjadi tekompaksi
- tidak terkompaksi dan terbakar – tidak terbakar.
1. Limbah Radioaktif Cair
Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari
proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan
mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga bersifat aktif. Di
bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang
mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang
digunakan pada umumnya berumur paro pendek (100 < hari), misalnya 125I,
131I, 99mTc, 32P, dll sehingga cepat mencapai kondisi stabil. Fasilitas
penelitian di bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif
cair melalui hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat
pendek, maka penanganan limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan
menampung sementara sebelum dilepas ke badan air.
Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi oleh
fasilitas penelitian, yang dapat terdiri dari: minyak pompa vakum, pelumas,
dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung pada umumnya 3H dan
sebagian kecil 14C, 125I dan 35S.
Dalam pengelolaan limbah cair tersebut harus diperhitungkan pula
aktivitas konsentrasi zat radioaktif yang digunakan, terutama jika zat radioaktif
yang digunakan untuk tujuan penandaan umumnya mempunyai konsentrasi
aktivitas sangat tinggi sehingga harus dipisahkan dengan zat radioaktif yang
mempunyai konsentrasi aktivitas rendah.
2. Limbah Radioaktif Padat
Kebanyakan limbah radioaktif padat yang dihasilkan dari fasilitas
kesehatan dan laboratorium penelitian mempunyai sifat dapat terbakar,
misalnya: tissue, kertas, kain, karton, sarung tangan, pakaian pelindung,
masker, bangkai binatang dan material biologi lain. Sedangkan limbah
radioaktif tidak dapat bakar antara lain: barang pecah belah, serpihan logam,
peralatan dekontaminasi dan limbah dari fasilitas yang mengalami
dekomisioning. Untuk limbah padat radioaktif sebagai akibat kontaminasi dan
limbah sumber radioaktif selanjutnya dikirimkan ke PTLR-BATAN sebagai
badan yang berwenang melakukan pengolahan limbah radioaktif. Sumber
radioaktif yang diimpor dari negara lain dapat dikirimkan kembali ke negara
tersebut sesuai dengan perjanjian.
3. Limbah Radioaktif Gas
Limbah radioaktif gas dapat dihasilkan pada aplikasi zat radioaktif
terutama bidang kesehatan. Aplikasi khusus dibidang kesehatan menggunakan
zat radioaktif berbentuk gas, misalnya 133Xe, 81mKr, 99mTc dan pemancar
positron berumur paro pendek seperti 18F dan 11C untuk investigasi terhadap
ventilasi paru-paru. Limbah radioaktif berupa hasil respirasi pasien
dikendalikan dengan menempatkan pada tempat khusus untuk membatasi
dispersi radioaktif ke lingkungan. Jenis zat radioaktif yang digunakan relatif
tidak berbahaya karena berumur paro pendek sehingga mudah mencapai
kondisi stabil.
4. Sumber Radioaktif Bekas
Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan
pengkondisian dan disposal yang sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan
menjadi:
1) Sumber dengan umur paro ≤ 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi.
2) Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi.
3) Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan kebocoran.
4) Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi
maupun rendah.
B. Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Radioaktif
Pengelololaan limbah radioaktif terdiri dari rangkaian kegiatan yang
meliputi tahapan pengumpulan, pengelompokkan, pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan dan/atau pembuangan limbah radioaktif. Pengelolaan limbah
radioaktif dapat dilakukan dengan sistem sentralisasi atau desentralisasi,
bergantung dengan kebijakan setiap negara.
Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem
sentralisasi dengan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir
Nasional (PTLR-BATAN) sebagai pihak pengelola sesuai dengan amanat UU
No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam menjalankan tugasnya,
PTLR-BATAN dapat bekerja sama atau mendelegasikan BUMN, Koperasi dan
swasta yang ditunjuk oleh PTLR-BATAN.
Sistem sentralisasi bukan berarti membebaskan penghasil limbah
radioaktif dari kewajiban mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya.
Penghasil limbah radioaktif berkewajiban mengumpulkan, mengelompokkan
atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan
sedang sebelum dikirimkan ke PTLR-BATAN.
Terhadap sumber radioaktif bekas terdapat dua alternatif pengelolaan
limbah yang boleh dilakukan oleh pemilik sumber radioaktif bekas yaitu
sumber radioaktif bekas diprioritaskan untuk dapat dikirimkan kembali ke
negara asal dan alternatif kedua adalah dikirimkan ke PTLR-BATAN. Prioritas
yang pertama adalah upaya pemenuhan salah satu prinsp-prinsip pengelolaan
limbah radioaktif yaitu tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang.
Dengan sistem pengelolaan tersebut maka ada kegiatan pemindahan atau
pengangkutan limbah radioaktif dari penghasil ke PTLR-BATAN atau ke
negara asal sumber radioaktif bekas. Prosedur pengiriman limbah radioaktif ke
PTLR-BATAN yang sudah berlangsung hingga sekarang sebagai berikut:
1. Penghasil limbah radioaktif mengajukan persetujuan pengiriman
limbah radioaktif ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
2. Setelah memperoleh persetujuan dari BAPETEN, penghasil limbah
radioaktif mengirimkan surat permohonan pengelolaan limbah
radioaktif ke PTLR-BATAN dengan melampirkan salinan persetujuan
pengiriman dari BAPETEN tersebut. Di dalam permohonan dapat
dirinci jenis pelayanan apa saja yang dikehendaki oleh penghasil
limbah radioaktif (contohnya: dalam hal pengangkutan penghasil
limbah radioaktif dapat saja mengangkut sendiri limbahnya ke
PTLRBATAN, atau menggunakan jasa ekspedisi, atau menggunakan
kendaraan angkut limbah PTLRBATAN). Penghasil limbah radioaktif
akan mendapatkan jawaban dari PTLR-BATAN tentang biaya
pengelolaan sesuai dengan PP No. 77 tahun 2005 tentang Tarif
Pengelolaan Limbah Radioaktif.
3. Penghasil limbah radioaktif mengirimkan limbahnya ke PTLR-
BATAN, dokumen yang harus ditandatangani ke dua belah pihak
adalah berita acara serah terima limbah radioaktif.
4. Penghasil limbah radioaktif menyerahkan salinan berita acara serah
terima limbah radioaktif ke BAPETEN.
5. PTLR-BATAN melaporkan kegiatan pengelolaan limbahnya secara
berkala (tiap semester) kepada BAPETEN sesuai dengan izin operasi
yang diberikan oleh BAPETEN.
Secara skematik prosedur pengiriman limbah radioaktif tersebut disajikan dalam
Gambar 1 di bawah.
Prosedur pengiriman limbah radioaktif sebagaimana dijelaskan di atas
berpeluang memberikan
resiko terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungan apabila tidak
ada pengawasan selama pelaksanaan pengiriman. Dengan pengawasan harus
dipastikan jenis dan mode transportasinya tidak menggunakan jasa transportasi
umum atau jasa transportasi yang tidak secara khusus digunakan untuk
mengangkut limbah radioaktif sehingga memunginkan limbah radioaktif tidak
sampai tujuan atau sampai tujuan tetapi dengan kondisi limbah radioaktif tidak
seperti kondisi pada saat berada di penghasil limbah radioaktif. Dengan hanya
mengandalkan pada sistem audit limbah radioaktif melalui pelaporan berkala
yang dibuat oleh PTLR-BATAN maka setiap kesalahan atau pelanggaran
selama pelaksanaan pengiriman limbah radioaktif tidak dapat diketahui dengan
segera.
C. Implementasi Konsep Cradle to Grave dalam Pengelolaan Limbah
Radioaktif
Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu
pengawasan limbah dari sejak ditimbulkan sampai dengan di tempat
pengolahan/penyimpanan/negara asal sumber radioaktif dan pada setiap fase
terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan.
Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan
limbah dari penghasil limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan
sehingga keberadaan dan tanggungjawab terhadap limbah dapat diketahui.
Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka memerlukan
pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator keberadaan
limbah.
Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan pendekatan
cradle to grave untuk menunjukkan perjalanan limbah radioaktif dari penghasil
(industri, rumah sakit, laboratorium penelitian) sampai lokasi tujuan
pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen. Dalam
setiap tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai dengan
tindakan keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan.
D. Perjalanan Limbah Radioaktif
Dokumen perjalanan pengiriman limbah radioaktif dibuat rangkap 6,
dengan mekanisme sebagai berikut: penghasil limbah radioaktif menyimpan
lembar ke 6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta
memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan
lembar ke- 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengelola/penyimpan
limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah
radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil
limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan
menyimpan lembar ke 3. Diagram alir dari proses perjalanan limbah radioaktif
dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:
Gambar 2 .Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan Pendekatan Cradle to Grave
Dengan demikian, Badan Pengawas dan penghasil limbah dapat melacak
perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (cradle) ke lokasi tujuan (grave),
yaitu pihak pengolah limbah radioaktif/penyimpan limbah radioaktif/negara
asal sumber radioaktif untuk kegiatan reexport sumber radioaktif bekas. Pada
setiap fase perjalanan limbah, setiap pihak mempunyai kewajiban dan peran
penting dalam mendukung sistem pengelolaan limbah radioaktif yang
dijelaskan berikut:
6. Penghasil Limbah Radioaktif
Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban
melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya dengan tujuan
meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko. Pengelolaan yang
dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan
menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah
berdasarkan aktivitas, waktu paro, jenis radiasi, bentuk fisik-dan kimia, sifat
racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya apabila memiliki
fasilitas pengolahan.
Limbah padat dipisahkan menjadi dapat terbakar - tidak dapat terbakar,
terkompaksi – tidak terkompaksi, aktivitas rendah dan tinggi, umur paro
panjang dan pendek, serta jenis radiasi. Limbah tersebut ditempatkan pada
lokasi khusus yang diberi tanda bahaya radiasi sehingga hanya petugas tertentu
yang dapat masuk ke ruangan.
Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil
samping kegiatan dekontaminasi yang memiliki aktivitas tinggi atau umur paro
panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah aktivitas rendah atau umur
paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi dan
cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan ke
tempat penampungan sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi yang
ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat di lepaskan ke badan air apabila
memenuhi persyaratan pelepasan.
Limbah berbentuk gas sangat jarang terjadi. Seperti yang telah
disampaikan di muka untuk mengendalikan limbah radioaktif berbentuk gas,
maka sumber penghasil limbah ditempatkan pada tempat khusus sehingga gas
tidakmudah keluar ke lingkungan. Gas dapat di lepaskan ke lingkungan setelah
memenuhi persyaratan pelepasan.
Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan benar
secara tertulis (dalam manifes dokumen) kepada pengangkut tentang identitas
limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain yang mungkin terjadi dan cara
penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban memberikan tanda,
label, atau plakat pada kendaraan angkutan.
2. Pengangkut
Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem ini
dan bertanggungjawab atas keselamatan pengangkutan limbah sejak menerima
dari penghasil sampai kepada penerima. Apabila terjadi kerusakan/kecelakaan
selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan kepada Badan
Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah radioaktif hanya boleh
dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin pemanfaatan dari
BAPETEN dalam bentuk persetujuan pengangkutan.
3. Pengolah/Penyimpan/negara asal sumber radioaktif (reexport)
Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan secara
terpadu di PTLRBATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya, Badan
Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan BUMN,
swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah atau penyimpan
limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak pengolah/penyimpan /negara
asal sumber radioaktif berkewajiban memeriksa kesesuaian limbah yang
diserahkan oleh pengangkut dengan kualifikasi limbah sebagaimana tercantum
dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka
pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif wajib
memberitahukan ke Badan Pengawas dan penghasil limbah guna investigasi
lebih lanjut. Namun apabila limbah radioaktif yang diterima oleh pengolah
sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak
pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah
radioaktif dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber
radioaktif dapat melakukan penanganan sumber radioaktif bekas yang
diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif negara
tersebut.
Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah
dimaksudkan untuk mereduksi volume limbah dan mengurangi paparan radiasi
dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan manusia dan lingkungan
sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya limbah
tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah ditetapkan.
Jenis pengolahan limbah radioaktif berbentuk padat yang telah
dipraktekkan, antara lain: kompaksi, insenerasi dan imobilisasi tetapi tidak
berlaku untuk sumber radioaktif bekas.
a. Kompaksi:
Limbah padat yang akan dikompaksi harus memenuhi persyaratan:
1. Tidak mengandung limbah yang bersifat destruktif terhadap bungkusan
limbah
2. Tidak mengandung limbah bersifat infektan
3. Tidak mengakibatkan tekanan pada kointainer yang menyebabkan
pelepas gas atau kontaminan
4. Tidak mengandung cairan untuk menghindari kebocoran pada bungkusan
limbah
5. Tidak mengandung bubuk aktif yang dapat mengkontaminasi
6. Tidak mengandung bahan kimia reaktif
b. Insenerasi:
Limbah radioaktif padat yang diolah dengan insenerator harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a) Tidak menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan pelepasan tak
terkendali
b) Tidak mengandung bahan beracun yang mudah menguap
c) Kadar air diatur untuk menghasilkan pembakaran sempurna
d) Dilakukan pengolahan lanjutan terhadap residu
e) Bahan yang bersifat lembab dikendalikan
f) Dilengkapi dengan pengendali debu
c. Imobilisasi:
Imobilisasi terhadap limbah padat bertujuan mencegah
pergerakan/sebaran limbah padat ke lingkungan. Limbah padat yang
diimobilisasi adalah konsentrat evaporasi, abu insenerator, limbah padat
hasil pengkompaksian. Imobilisasi menggunakan bahan pengikat seperti
semen, zeolit, bentonit, dll. Terdapat beberapa jenis pengolahan limbah
cair, pemilihan jenis pengolahan bergantung pada pertimbangan
keselamatan, teknis dan keuangan. Selain itu juga bergantung pH dan
kandungan partikel padat, garam, dan asam. Pengolahan limbah cair antara
lain: presipitasi, evaporasi, ion exchange, insenerasi (limbah cair organik),
pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah cair sekunder yang harus
dikendalikan.
Pengolahan limbah radioaktif berbentuk gas dilakukan dengan cara
pengkondisian sampai memenuhi persyaratan pelepasasan setempat
sehingga gas tersebut dapat langsung dilepaskan ke atmosfer. Namun
untuk gas yang mengandung partikulat radioaktif perlu dikendalikan
dengan alat penyaring udara sebelum dilepaskan ke atmosfer.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap sumber radioaktif
bekas bergantung umur paro dari sumber radioaktif tersebut. Sumber
radioaktif yang memiliki umur paro pendek cukup dengan menyimpan
sampai aktivitasnya mencapai nilai yang sangat rendah sehingga dapat
dianggap sebagai limbah non radioaktif. Untuk sumber radioaktif dengan
umur paro panjang terdapat dua pilihan penanganan, yaitu dilakukan
imobilisasi dalam drum logam atau tabung beton atau langsung disimpan
pada tempat khusus untuk tujuan penyimpanan sementara atau
penyimpanan akhir.
Penyimpanan limbah radioaktif dibedakan menjadi penyimpanan
sementara dan penyimpanan lestari. Penyimpanan sementara adalah
penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap akhir dan
penyimpanan lestari adalah penempatan akhir limbah radioaktif tingkat
tinggi. Jenis limbah yang akan ditempatkan pada penempatan
akhir/dibuang hanya limbah berbentuk padat. Penempatan
akhir/pembuangan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan umur
paro pendek yang memenuhi tingkat klierens dapat diperlakukan
sebagaimana pembuangan limbah non radioaktif, sedangkan limbah
radioaktif dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang pembuangan
dilakukan dalam bentuk disposal yang dibedakan menjadi disposal dekat
permukaan untuk waktu paro ≤ 30 tahun dan disposal dalam formasi
geologi untuk limbah radioaktif dengan waktu paro > 30 tahun.
Untuk sumber radioaktif yang diimpor dari luar negeri, sumber radioaktif
bekasnya disarankan untuk dikirimkan kembali ke negara penghasil.
Kebijakan ini untuk mengurangi peredaran jumlah limbah sumber
radioaktif di Indonesia yang dapat menjadi beban bagi generasi yang akan
datang dan jika ditinjau dari aspek finansial biaya untuk mengolah limbah
tersebut lebih mahal dibandingkan mengirimkan kembali ke negara asal.
KESIMPULAN
1. Implementasi konsep cradle to grave dalam pengelolaan limbah radioaktif
dilakukan dengan menggunakan dokumen pengiriman limbah radioaktif dari
penghasil ke pengolah/penyimpan/atau negara asal sumber radioaktif.
2. Dokumen pengiriman dibuat rangkap 6 dengan pola distribusi dokumen
tersebut dirancang sedemikan rupa sehingga terbentuk komunikasi yang
simultan antara badan pengawas, penghasil limbah radioaktif, pengangkut,
dan pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif, distribusi dokumen
tersebut sebagai berikut: badan pengawas menyimpan copy 2 dan 5, penghasil
menyimpan copy 1 dan 6, pengangkut menyimpan copy 4,
pengolah/penyimpan/negara asal sumber menyimpan copy 3.
DAFTAR PUSTAKA
WARDHANA, WA , Radioekologi, Andi Offset, Yogyakarta, (1996).
LUBIS, E, Keselamatan Lingkungan Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jurnal
Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 (ISSN:1410-9565), BATAN,
Jakarta, (2003).
HARUKI, A, Pengelolaan Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan
diselenggarkan oleh Departmen Biologi FIMPA IPB dan Bagian PKSDM Dijten
DEKDINAS, (2006),
IAEA, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine,
Industry,
Agriculture, Research and Education, Safety Guide No. WS-G-2.7, Vienna,
(2005).
IAEA, Management of Radioactive Waste from the Use of Radioactive Material
in Medicine,
Industry, Agriculture, Research and Education, TECDOC 1183, Vienna, (2000).