Makalah intan
-
Upload
nurul-aulia -
Category
Documents
-
view
2.019 -
download
15
Transcript of Makalah intan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir
diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh
ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air
infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya
mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Ada juga bagian
dari air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang
hampir atau telah jenuh, air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan
lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah aliran air permukaan tersebut disebut
air larian atau limpasan.
Curah hujan yang jatuh terlebih dahulu memenuhi air untuk evaporasi,
intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan tanah baru kemudian air larian
berlangsung ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah. Semakin
lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air larian yang
semakin besar. Namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat
menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori -pori tanah akibatnya
menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume air larian akan lebih besar pada
hujan yang intensif dan tersebar merata di seluruh wilayah DAS dari pada hujan
tidak merata, apalagi kurang intensif.
Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian.
Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi
luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air
larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat. Vegetasi dapat
menghalangi jalannya air larian dan memperbesar jumlah air infiltrasi dan
masuk ke dalam tanah.
1
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian aliran permukaan serta proses terjadinya aliran
permukaan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan.
3. Mengetahui macam-macam jenis sungai.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
Gerakan air di permukaan bumi ini merupakan perjalanan air dari
permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke
laut secara berangsur-angsur. Matahari mengeluarkan energi panas yang akan
menyebabkan terjadinya evaporasi di laut atau tubuh-tubuh perairan. Evaporasi
akan menyebabkan terjadinya uap air tersebut terbawa angin melintasi daratan
yang bergunung atau datar, apabila keadaan atmosfer memungkinkan sebagian
dari uap air akan turun menjadi hujan. Dalam daur hidrologi komponen masukan
utama berupa air hujan, air hujan yang jatuh di permukaan akan tertahan
sementara di sungai, danau, dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh
manusia. (Asdak, 1995). Gambar 1. merupakan siklus hidrologi
Gambar 1. Siklus hidrologi
Evaporasi dan evapotranspirasi akibat energi panas matahari dapat
menyebabkan air yang ada di permukaan, dalam vegetasi, dalam lengas tanah
serta laut mengalami penguapan dan menjadi uap air di atmosfer yang akan
menyebabkan terjadinya hujan. Uap air yang jatuh sebagai hujan akan menempati
ruang-ruang dipermukaan. Air hujan sebagian akan menjadi aliran permukaan
(run off), meresap kedalam tanah (infiltrasi), tertahan pada vegetasi, dan langsung
pada tubuh air (sungai/laut).
3
Air hujan yang ada di permukaan akan mengalir sesuai dengan topografi
dari tempat yang tinggi menuju pada tempat yang rendah. Aliran permukaan
tersebut ada yang mengalir secara bebas (overlandflow) dan mengalir secara
langsung (runoff). Apabila pada permukaan terdapat suatu cekungan maka aliran
air akan tertampung sementara untuk kemudian mengalir pada system sungai
menuju ke hilir/laut. Air permukaan yang melalui peresapan ke dalam tanah
(infiltrasi) sebagian akan menjadi aliran antara dan sebagian yang terperkolasi
(pergerakan air dari lengas tak jenus ke mintakat jenuh) akan menjadi air tanah.
Sedangkan air hujan yang jatuh pada vegetasi terdapat beberapa proses, jatuh
melalui sela-sela daun/ tajuk (througfall), mengalir ke bawah melalui batang
pohon (streamflow), serta ada yang tidak sampai ke permukaan karena telah
mengalami penguapan dari tajuk pohon (intersepsi).
Seyhan (1990), Menyatakan bahwa respon sistem DAS dapat ditinjau dari
tiga segi yaitu hujan (sebagai input), sistem DAS (sebagai operator), dan debit
runoff (sebagai output). Sistem DAS sebagai operator mengubah hujan P(t)
menjadi debit runoff Q(t). Sistem DAS yang merupakan lahan total dan
permukaan air yang dibatasi oleh topografi merupakan salah satu cara
memberikan sumbangan terhadap debit runoff. Besarnya hujan yang akan menjadi
debit runoff tergantung pada karakteristik setiap DAS.
Limpasan Permukaan atau aliran permukaan merupakan bagian dari curah
hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju kesungai, danau dan lautan
(Asdak,1995). Menurut Arsyad (1982) limpasan permukaan adalah air yang
mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran
permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi
tanah,dimana dalam hal ini tanah telah jenuh air (Kartasapoetra dkk.1988). sifat
aliran permukaan seperti jumlah atau volume, laju, kecepatan dan gejolak aliran
permukaan menentukan kemampuannya untuk menimbulkan erosi, dalam
penelitian ini yang diukur adalah besar aliran permukaan dalam satuan mm
(Haridjaja dkk.1991).
Penelitian Rangkuti (2005) menunjukkan bahwa Aliran permukaan pada
hutan bervegetasi pinus lebih rendah daripada aliran permukaan pada hutan bekas
4
tebangan. Pada daerah bekas tebangan tegakan Pinus merkusii dengan kondisi
curah hujan yang cukup tinggi di daerah Aek Nauli, dari 100% hujan yang terjadi,
hampir 80% nya terbuang menjadi aliran permukaan. Hasil ini sangat tinggi
apabila dibandingkan pada daerah bervegetasi Pinus merkusii dimana dari 100%
hujan yang terjadi, hanya 20-30% saja yang terbuang menjadi aliran permukaan.
Berdasarkan penelitian Tsukamoto (1975 dalam Kartasapoetra dkk.1988)
menunjukkan bahwasanya pengambilan serasah hutan di Jepang mengakibatkan
laju peresapan air menurun dengan nyata di semua horison tanah (Tabel 1)
Koefisien aliran permukaan merupakan bilangan yang menunjukkan
perbandingan besarnya air limpasan permukaan terhadap besarnya curah hujan.
Misalnya koefisien aliran permukaan untuk hutan adalah 0.1 artinya 10% dari
total curah hujan akan menjadi air larian atau aliran permukaan. Angka koefisien
ini merupakan salah satu indikator untuk menunjukkan apakah suatu DAS telah
mengalami gangguan. Nilai koefisien ini juga menunjukkan besar kecilnya air
hujan yang mengalami aliran permukaan. Nilai koefisien ini berkisar antara 0 – 1.
Angka 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi
dan terutama infiltrasi, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa semua air hujan
yang jatuh mengalir sebagai aliran permukaan. Dilapangan, angka koefisien aliran
permukaan biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1 (Asdak,1995).
Nilai koefisien aliran permukaan yang besar menunjukkan bahwa lebih
banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Kondisi ini tidak
menguntungkan karena besarnya air yang akan menjadi air tanah akan berkurang,
kerugian yang lainnya adalah dengan makin besarnya jumlah air hujan yang
menjadi aliran permukaan maka ancaman terjadinya banjir dan erosi akan menjadi
lebih besar.
5
III. PEMBAHASAN
1. Aliran Permukaan
A. Pengertian Aliran Permukaan
Limpasan Permukaan atau aliran permukaan merupakan bagian dari curah
hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju kesungai, danau dan lautan
(Asdak,1995). Menurut Arsyad (1983) limpasan permukaan adalah air yang
mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran
permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah,
dimana dalam hal ini tanah telah jenuh air (Kartasapoetra dkk.1988). Sifat aliran
permukaan seperti jumlah atau volume, laju, kecepatan dan gejolak aliran
permukaan menentukan kemampuannya untuk menimbulkan erosi, dalam
penelitian ini yang diukur adalah besar aliran permukaan dalam satuan mm
(Haridjaja dkk.1991).
Daya jatuh atau energi kinetik curah hujan yang berat (keras) akan
memecahkan bongkah-bongkah tanah menjadi butiran yang lebih kecil dan halus,
butiran-butiran yang halus akan terangkut dan terhanyutkan dengan
berlangsungnya aliran permukaan, sedangkan sebagian akan mengikuti infiltrasi
air, dibagian ini biasanya dapat menutupi pori-pori tanah dilapisan dalam sehingga
infiltrasi air kedalam tanah menjadi terhambat dan aliran permukaan meningkat.
Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air
larian semakin besar.
Jumlah tanah maksimal dalam percikan air hujan diperkirakan terjadi 2-3
menit setelah hujan mulai turun, yaitu setelah permukaan tanah tertutup dengan
air. Disamping itu suatu lereng dengan kelerengan diatas 10% akan menyebabkan
kira-kira tiga perempatnya dari jumlah tanah yang terpercik akan jatuh kembali
kesebelah bawah dari tempat asalnya. Akibat hal tersebut, maka terjadi
pemindahan tanah erosi sebelum terjadi aliran permukaan, butir-butir tanah yang
halus ini sebagian terbawa dalam aliran air dan sebagian lagi mengendap dan
6
menutupi pori-pori tanah. Akibat air hujan yang tidak meresap kedalam tanah dan
mengalir dipermukaan tanah sebagai aliran permukaan, maka tanah yang tadinya
subur menjadi kurang subur dan akan memberikan hasil yang menurun
dibandingkan dengan keadaan sebelum erosi.
B. Proses terjadinya aliran permukaan
Menurut Arsyad (1982 dalam Haridjaja dkk.1991) proses terjadinya aliran
permukaan adalah curah hujan yang jatuh diatas permukaan tanah pada suatu
wilayah pertama-tama akan masuk kedalam tanah sebagai air infiltrasi setelah
ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus
selama air masih berada dibawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus
berlangsung, dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan
tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan
sebagian digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah
sebagai simpanan permukaan (depresion storage), selanjutnya setelah simpanan
depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut
tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan
(over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau terevaporasi
walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Setelah proses-proses hidrologi diatas tercapai dan air hujan masih berlebih,
baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi.
Selanjutnya aliran permukaan ini akan menuju saluran-saluran dan akhirnya akan
menuju sungai sebelum mencapai danau atau laut. Schwab dkk (1981 dalam
Haridjaja dkk. 1991) mengemukakan bahwa aliran permukaan tidak akan terjadi
sebelum evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, tambatan permukaan,
dan tambatan saluran terjadi.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan
Limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan sebagian dari air
hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan
sangat bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu, keadaan penutup
7
tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya
hujan yang terjadi sebelumnya. Limpasan permukaan dengan jumlah dan
kecepatan yang besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa
tanah secara besar-besaran (Rahim, 2000).
Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan.
Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan
beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun
total curah hujan untuk kedua hujan tersebut sama besarnya. Namun demikian,
hujan dengan intensitas tinggi dapat menurunkan infiltrasi akibat kerusakan
struktur permukaan tanah yang ditimbulkan oleh hujan tersebut (Asdak,1995).
Derajat kemiringan dan panjang lereng merupakan dua sifat uatama dari
topografi yang mempengaruhi erosi. Semakin curam lereng, maka semakin besar
pula kecepatan aliran permukaan sehingga air hujan yang terserap semakin
sedikit. Semakin curam dan semakin panjang lereng, maka semakin besar pula
bahaya erosi serta aliran permukaan. Apabila keadaan ini dihubungkan dengan
keadaan lereng yang gundul, tanpa vegetasi, serasah dan humus maka inilah
kondisi yang paling mudah terjadinya erosi, karena kecepatan aliran permukaan
dapat dengan mudah mengikis lapisan tanah permukaan. Pada tanah yang landai
atau datar, kecepatan aliran air lebih kecil dibandingkan dengan tanah yang
miring. Pada tanah yang datar, kebanyakan air hujan meresap kedalam tanah dan
menyebabkan terjadinya proses hidrolisa dan pencucian. Jika bahan induknya
tidak dapat atau sukar dirembesi air, maka tanah yang terdapat diatasnya untuk
jangka waktu tertentu akan tetap lembab atau basah (Bermanakusuma, 1978).
Aliran sungai itu tergantung dari berbagai factor secara bersamaan. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan limpasan, dibagi dalam 2 kelompok yaitu elemen-
elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen-elemen daerah
pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran.
a. Elemen-elemen meteorologi
Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok elemen-elemen meteorologi
adalah sebagai berikut:
8
1) Jenis Presipitasi
Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada jenis
presipitasi yakni hujan atau salju. Jika hujan maka pengaruhnya adalah langsung dan
hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan besarnya curah hujan.
2) Intensitas Curah hujan
Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung dari
kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi,
maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya peningkatan limpasan
itu tidak sebanding denagn peningkatan curah hujan lebih, yang disebabkan oleh
efek penggenangan di permukaan tanah.
3) Lamanya curah hujan
Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis. Jika
lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka lamanya limpasan itu
praktis akan sama dan tidak tergantung dari intensitas curah hujan. Jika lamanya curah
hujan itu lebih panjang, maka lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih
panjang. Lamanya curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi.
Untuk curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan
menjadi lebih besarmeskipun intensitasnya adalah relative sedang.
4) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran
Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain di seluruh daerah
pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka curah
hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak yang
minimum. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang terjadi oleh
curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali terjadi oleh curah
hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun kecil. Sebaliknya, di
daerah pengaliran yang kecil, debit puncak maksimum dapat terjadi oleh curah
hujan lebat dengan daerah hujan yang sempit.
9
Limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat dipengaruhi oleh
distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk faktor ini digunakan koefisien
distribusinya. Distribusi koefisien adalah harga curah hujan maksimum dibagi
harga curah hujan rata-rata di daerah pengaliran itu. Jadi curah hujan yaing
jumlahnya tetap mempunyai debit puncak yang lebih besar yang sesuai dengan
koefisien distribusinya yang bertambah besar.
5) Arah pergerakan curah hujan
Umumnya pusat curah hujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat
bergerak sepanjang sistem aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit puncak
dan lamanya limpasan permukaan.
6) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah
Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah
terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika
kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka air
infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran air tanah.
Selama metode pengurangan kelembaban tanah oleh evapotranspirasi dan lain-lain,
suatu curah hujan yang lebat tidak akan mengakibatkan kenaikan permukaan air,
karena air hujan yang menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya,
jika kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang cukup
besar, maka curah hujan dengan intensitas yang kecil dapat mengakibatkan kenaikan
permukaan air yang besar dan dapat mengakibatkan banjir.
7) Kondisi-kondisi meterologi yang lain
Curah hujan mempengaruhi pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara
tidak langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara rata-
rata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan yang lain
juga mengkontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi limpasan.
10
b. Elemen Daerah Pengaliran
1) Kondisi penggunaan tanah (Landuse)
Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi
penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang ditutupi
tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan permukaan
karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hujan ini dijadikan daerah
pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang), maka kapasitas infiltrasi
akan turun karena pemampatan permukaan tanah. Air hujan akan mudah
berkumpul ke sungai-sungai dengan kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat
mengakibatkan banjir yang belum pernah dialami terdahulu.
Keadaan vegetasi seperti penutupan tajuk dari tanaman penutup tanah
merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menghitung besarnya aliran
permukaan. Ketika hujan turun sebagian dari air hujan akan tertahan karena
adanya penutupan dari tajuk vegetasi hutan sebelum mencapai permukaan tanah,
air akan tertahan oleh tajuk vegetasi dan kemudian langsung diuapkan kembali
keudara. Vegetasi sangat berpengaruh dalam mengurangi jumlah aliran
permukaan.
2) Daerah pengaliran
Jika semua faktor-faktor termasuknya besarnya curah hujan, intensitas curah
hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan
dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah
pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu tetap,
maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran itu. Akan
tetapi, sebenarnya semakin besar daerah pengaliran itu, semakin lama limpasan itu
mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf debit banjir itu
menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah satu sebab dari
pengurangan debit puncak ialah hubungan antara intensitas curah hujan
maksimum yang berbanding balik dengan luas daerah hujan itu. Berdasarkan
asumsi tersebut, curah hujan itu dianggap merata. Intensitas curah hujan
11
maksimum yang kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap
menjadi lebih kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka
ada pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah
dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah pengaliran
itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika karakteristik-
karakteristik yang lain itu sama.
3) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran
Corak, elevasi, gradien, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran
mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi daerah pengaliran itu. Cocok
daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan panjang sungai utama
terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika faktor bentuk menjadi lebih kecil
dengan kondisi skala daerah pengaliran yang sama, maka hujan lebat yang merata
akan berkurang dengan perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir.
Elevasi daerah pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang
penting terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai
hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan pengisian air
tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor penting yang
mempengaruhi waktu mengalirnya aliran permukaan, waktu konsentrasi ke sungai
dari curah hujan dan mempunyai hubungan langsung terhadap debit banjir. Arah
daerah pengaliran itu mempunyai pengaruh terhadap kehilangan evaporasi dan
transpirasi karena mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari.
Sehingga semakin panjang dan curam suatu lereng, maka semakin besar nilai
aliran permukaan yang terjadi.
4) Jenis tanah
Mengingat bentuk butir-butir tanah, coraknya, dan cara mengendapnya
adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka karakteristik
limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah pengaliran itu. Juga
bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas
12
infiltrasi karena bahan-bahan ini mengembang dan menyusut sesuai dengan
variasi kadar kelembaban tanah.
5) Faktor-faktor lain yang memberikan pengaruh
Faktor-faktor penting lain yang mempengaruhi limpasan adalah
karakteristik jaringan sungai-sungai, adanya daerah pengaliran yang tidak
langsung, drainasi buatan dan lain-lain. Untuk mempelajari puncak banjir, debit
air rendah, debit rata-rata, dan lain-lain, diperlukan penyelidikan yang cukup dan
perkiraan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
D. Tekstur dan Struktur Tanah
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang
terkandung pada tanah (Badan Pertanahan Nasional) dari ketiga jenis fraksi
tersebut partikel pasir mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu 2 - 0.05
mm, debu dengan ukuran 0.05 - 0.002 mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm.
Tekstur tanah dibagi atas 12 kelas, tanah disebut bertekstur pasir apabila
mengandung minimal 85% pasir, bertekstur debu apabila berkadar minimal 80%
debu, dan bertekstur liat apabila berkadar minimal 40% liat. Tanah yang
berkomposisi ideal yaitu 22.5 – 52.5% pasir, 30 – 50% debu dan 10 – 30% liat
disebut bertekstur lempung (Hanafiah, 2005).
Ada 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan oleh jumlah persentase ketiga
fraksi tanah tersebut. Berdasarkan kelas teksturnya, Hanafiah (2005)
menggolongkan tanah menjadi:
1. Tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir berarti tanah yang mengandung
minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung.
2. Tanah bertekstur halus atau tanah berliat berarti tanah yang mengandung
minimal 37.5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir.
3. Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung terdiri dari:
a. Tanah bertekstur sedang tapi agak kasar meliputi tanah yang bertekstur
lempung berpasir (Sandy loam) atau lempung berpasir halus.
13
b. Tanah bertekstur sedang meliputi yang bertektur lempung berpasir sangat
halus, lempung (loam), lempung berdebu (Silty loam), atau debu (Silty).
c. Tanah bertekstur sedang tapi agak halus mencakup lempung liat (Clay
loam), lempung liat berpasir (Sandy-clay loam), atau lempung liat berdebu
(Sandy-silt loam).
Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat-sifat tanah
yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas, dll. Istilah tekstur
digunakan sehubungan dengan ukuran partikel tanah, tetapi apabila susunan
partikel dipertimbangkan, maka digunakan istilah struktur.
Struktur tanah adalah penyusunan partikel-partikel tanah primer membentuk
agregat-agregat, dimana satu agregat dengan yang lainnya dibatasi oleh bidang
belah alami yang lemah. Struktur dapat memodifikasi pengaruh tekstur dalam
hubungannya dengan kelembaban, porositas, tersedianya unsurhara, kegiatan
jasad hidup dan pertumbuhan akar. Struktur horison-horison profil tanah yang
berbeda merupakan ciri penting tanah seperti halnya warna, tekstur atau
komposisi kimia (Foth,1994). Menurut Hakim (1986) semakin besar ukuran
agregat yang terdapat didalam tanah maka semakin berkurang kemantapannya.
Dimana kemantapan agregat berkaitan dengan kandungan bahan organik karena
bahan organik bertindak sebagai perekat antar partikel mineral primer
(Foth,1994).
Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori tanah yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi laju limpasan permukaan, semakin banyak
jumlah pori-pori tanah maka kemampuan air untuk menyerap air semakin tinggi
(infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah pori-pori tanah maka semakin
rendah kemampuan tanah menyerap air dan pada akhirnya meningkatkan laju
aliran permukaan (Asdak,1995). Selain itu kedalaman atau solum, tekstur, dan
struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju
penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur,
dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah
dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada
tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya
14
sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran
permukaan (Poerwowidodo,1991).
E. Koefisien Aliran Permukaan
Dari hasil pengukuran besarnya laju aliran permukaan dan besarnya curah
hujan dapat diperoleh suatu koefisien aliran permukaan (C). Koefisien aliran
permukaan menunjukkan perbandingan antara rata-rata aliran permukaan dengan
rata-rata curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar aliran
permukaan nya maka semakin besar pula koefisien aliran permukaannya, hal ini
sesuai dengan pernyataan Asdak (1995) yang menyatakan bahwa besar aliran
permukaan dengan koefisien aliran permukaan adalah berbanding lurus.
(dalam suatu DAS)
atau
dimana:
di = Jumlah hari dalam bulan ke-i
Q = Debit rata-rata bulanan (m3/detik) dan 86400 = jumlah detik dalam 24 jam.
P = Curah hujan rata-rata setahun (m/tahun)
A = Luas DAS (m2)
Misalnya C untuk hutan adalah 0,1 arti nya 10% dari total curah
hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator
untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai
C yang besar berarti sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman
ero si dan banjir akan besar.
15
Besaran nilai C akan berbeda -beda tergantung dari tofografi dan
penggunaan lahan. Semakin curam kelerengan lahan semakin besar nilai C
lahan tersebut. Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan
Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. dalam Putra (2009).
F. Debit Puncak Aliran Permukaan
Metoda Rasional
Metoda rasional (U.S. Soil Consevation Service, 1973) adalah metoda yang
digunakan untuk memperkirakan besarnya air larian puncak (peak runoff).
Metoda ini relatif mudah digunakan karena diperuntukkan pemakaian pada
DAS berukuran kecil, kurang dari 300 ha (Goldman et al dalam Putra, 2009).
Persamaan matematik metoda rasional :
Qp = Air larian (debit) puncak (m3/dt)
C = Koefisien air larian
ip = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas Wilayah DAS (ha)
Intensitas hujan ditentukan dengan memperkirakan waktu konsentrasi
(time of concentration, Tc) untuk DAS bersangkutan dan menghitung
16
intensitas hujan maksimum untuk periode berulang (return period) tertentu dan
waktu hujan sama dengan Tc. Bila Tc=1 jam maka intensitas hujan terbesar
yang harus digunakan adalah curah hujan 1-jam.
G. Penanggulangan Aliran Permukaan
a) Metode vegetatif
Metode vegetatif adalah suatu cara pengelolaan lahan miring dengan
menggunakan tanaman sebagai sarana konservasi tanah. Tanaman penutup tanah
ini selain untuk mencegah atau mengendalikan bahaya erosi juga dapat berfungsi
memperbaiki struktur tanah, menambahkan bahan organik tanah, mencegah
proses pencucian unsur hara dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah.
Metode vegetatif untuk konservasi tanah dan air termasuk antara lain:
penanaman penutup lahan (cover crop) berfungsi untuk menahan air hujan agar
tidak langsung mengenai permukaan tanah, menambah kesuburan tanah (sebagai
pupuk hijau), mengurangi pengikisan tanah oleh air dan mempertahankan tingkat
produktivitas tanah.
Penanaman rumput kegunaannya hampir sama dengan penutup tanah, tetapi
mempunyai manfaat lain, yakni sebagai pakan ternak dan penguat terras. Cara
penanamannya dapat secara rapat, barisan maupun menurut kontur.
Penggunaan sisa tanaman untuk konservasi tanah dapat berbentuk mulsa atau
pupuk hijau. Dengan mulsa maka daun atau batang tumbuhan disebarkan di atas
permukaan tanah, sedangkan dengan pupuk hijau maka sisa-sisa tanaman tersebut
dibenamkan ke dalam tanah (Arsyad, 1989).
Syarat-syarat dari tanaman penutup tanah, antara lain:
1. Dapat berkembang dan daunnya banyak.
2. Tahan terhadap pangkasan.
3. Mudah diperbanyak dengan menggunakan biji.
4. Mampu menekan tanaman pengganggu.
5. Akarnya dapat mengikat tanah, bukan merupakan saingan tanaman pokok.
6. Tahan terhadap penyakit dan kekeringan.
17
7. Menanam secara kontur (Countur planting), dilakukan pada kelerengan 15 –
18 % dengan tujuan untuk memperbesar kesempatan meresapnya air sehingga
run off berkurang.
8. Pergiliran tanaman (crop rotation).
9. Reboisasi atau penghijauan.
10. Penanaman saluran pembuang dengan rumput dengan tujuan untuk
melindungi saluran pembuang agar tidak rusak.
b) Metode mekanik
Cara mekanik adalah cara pengelolaan lahan tegalan (tanah darat) dengan
menggunakan sarana fisik seperti tanah dan batu sebagai sarana konservasi
tanahnya. Tujuannya untuk memperlambat aliran air di permukaan, mengurangi
erosi serta menampung dan mengalirkan aliran air permukaan.
Termasuk dalam metode mekanik untuk konservasi tanah dan air di antaranya
pengolahan tanah. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap
tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman. Tujuan pokok pengolahan tanah adalah menyiapkan
tempat tumbuh bibit, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan
sisa-sisa tanaman dan memberantas gulma (Arsyad, 1989).
Pengendalian erosi secara teknis-mekanis merupakan usaha-usaha
pengawetan tanah untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang di daerah lahan
pertanian dengan cara mekanis tertentu. Sehubungan dengan usaha-usaha
perbaikan tanah secara mekanik yang ditempuh bertujuan untuk memperlambat
aliran permukaan dan menampung serta melanjutkan penyaluran aliran
permukaan dengan daya pengikisan tanah yang tidak merusak.
Pengolahan tanah menurut kontur adalah setiap jenis pengolahan tanah
(pembajakan, pencangkulan, pemerataan) mengikuti garis kontur sehingga
terbentuk alur-alur dan jalur tumpukan tanah yang searah kontur dan memotong
lereng. Alur-alur tanah ini akan menghambat aliran air di permukaan dan
mencegah erosi sehingga dapat menunjang konservasi di daerah kering.
Keuntungan utama pengolahan tanah menurut kontur adalah terbentuknya
penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan
18
menghindari pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, pada daerah beriklim kering
pengolahan tanah menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi ini.
Pembuatan teras adalah untuk mengubah permukaan tanah miring menjadi
bertingkat-tingkat untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dan menahan
serta menampungnya agar lebih banyak air yang meresap ke dalam tanah melalui
proses infiltrasi. Menurut Arsyad (1989), pembuatan terras berfungsi untuk
mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan
jumlah aliran permukaan dan memungkinkan penyerapan oleh tanah, dengan
demikian erosi berkurang.
c) Metode kimia
Kemantapan struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang
menentukan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi. Yang dimaksud dengan cara
kimia dalam usaha pencegahan erosi, yaitu dengan pemanfaatan soil conditioner
atau bahan-bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah sehingga
tanah akan tetap resisten terhadap erosi (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1985).
Bahan kimia sebagai soil conditioner mempunyai pengaruh yang besar sekali
terhadap stabilitas agregat tanah. Pengaruhnya berjangka panjang karena senyawa
tersebut tahan terhadap mikroba tanah. Permeabilitas tanah dipertinggi dan erosi
berkurang. Bahan tersebut juga memperbaiki pertumbuhan tanaman semusim
pada tanah liat yang berat (Arsyad, 1989).
Penggunaan bahan-bahan pemantap tanah bagi lahan-lahan pertanian dan
perkebunan yang baru dibuka sesunggunya sangat diperlukan mengingat:
1. Lahan-lahan bukaan baru kebanyakan masih merupakan tanah-tanah virgin
yang memerlukan banyak perlakuan agar dapat didayagunakan dengan efektif.
2. Pada waktu penyiapan lahan tersebut telah banyak unsur-unsur hara yang
terangkat.
3. Pengerjaan lahan tersebut menjadi lahan yang siap untuk kepentingan
perkebunan, menyebabkan banyak terangkut atau rusaknya bagian top soil,
mengingat pekerjaannya menggunakan peralatan-peralatan berat seperti
traktor, bulldozer dan alat-alat berat lainnya.
19
H. Penggunaan Teknologi Pada Aliran Permukaan
1. Sumur Resapan
Sumur Resapan (infiltration Well) adalah sumur atau lubang pada
permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan/aliran permukaan agar
dapat meresap ke dalam tanah. Biopori merupakan lubang vertikal ke dalam
tanah yang berfungsi meningkatkan laju peresapan air hujan. Pembuatan lubang
resapan biopori ke dalam tanah secara langsung akan memperluas bidang
permukaan peresapan air, seluas permukaan dinding lubang.
Beberapa Ketentuan Umum untuk Pembangunan Konstruksi Sumur
Resapan
1) Sumur resapan sebaiknya berada diatas elevasi/kawasan sumur-sumur gali
biasa.
2) Untuk menjaga pencemaran air di lapisan aquifer, kedalaman sumur resapan
harus diatas kedalaman muka air tanah tidak tertekan (unconfined aquifer)
yang ditandai oleh adanya mata air tanah.
3) Pada daerah berkapur/karst perbukitan kapur dengan kedalaman/solum tanah
yang dangkal, kedalaman air tanah pada umumnya sangatlah dalam sehingga
pembuatan sumur resapan sangatlah tidak direkomendasikan. Demikian pula
sebaliknya di lahan pertanian pasang surut yang berair tanah sangat dangkal.
4) Untuk mendapatkan jumlah air yang memadai, sumur resapan harus memiliki
tangkapan air hujan berupa suatu bentang lahan baik berupa lahan pertanian
atau atap rumah. Sebelum air hujan yang berupa aliran permukaan masuk
kedalam sumur melalui saluran air, sebaiknya dilakukan penyaringan air di bak
kontrol terlebih dahulu.
5) Bak kontrol terdiri-dari beberapa lapisan berturut-turut adalah lapisan gravel
(kerikil), pasir kasar, pasir dan ijuk. Penyaringan ini dimaksudkan agar
partikel-partikel debu hasil erosi dari daerah tangkapan air tidak terbawa masuk
ke sumur sehingga tidak menyumbat pori-pori lapisan aquifer yang ada. Untuk
menahan tenaga kinetis air yang masuk melalui pipa pemasukan, dasar sumur
yang berada di lapisan kedap air dapat diisi dengan batu belah atau ijuk.
20
6) Pada dinding sumur tepat di depan pipa pemasukan, dipasang pipa pengeluaran
yang letaknya lebih rendah dari pada pipa pemasukan untuk antisipasi
manakala terjadi overflow/luapan air di dalam sumur. Bila tidak dilengkapi
dengan pipa pengeluaran, air yang masuk ke sumur harus dapat diatur misalnya
dengan seka balok dll.
Lubang resapan biopori merupakan lubang silindris yang dibuat ke dalam
tanah dengan diameter 10-30 cm, dengan kedalaman sekitar 100 cm atau jangan
melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang tersebut kemudian diisi oleh sampah
organik agar terbentuk biopori dari aktivitas organisme tanah dan akar tanaman.
Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah
menyusut karena proses pelapukan. Karena berdiameter kecil, lubang ini mampu
mengurangi beban resapan, sehingga, laju peresapan air dapat dipertahankan.
Pembuatan lubang resapan biopori cukup sederhana, murah dan tidak
membutuhkan lahan yang luas. Alatnya tergolong sederhana berupa bor hasil
modifikasi.
Membuat biopori atau sumur resapan memang tidak serta merta mengatasi
masalah krisis air tanah. Tetapi paling tidak, pembuatannya dapat lebih cepat
mengalirkan air permukaan ke dalam tanah. Jadi, selain menambah pasokan air di
dalam tanah, sumur ini juga bisa mengurangi banjir.
21
Gambar 2. Sumur resapan atau biopori
2. Tanggul Penghambat
Tanggul penghambat atau cek dam adalah bendungan kecil dengan
konstruksi sederhana (urugan tanah atau batu), dibuat pada alur jurang atau sungai
kecil. Tanggul penghambat berfungsi untuk mengendalikan sedimen dan aliran
permukaan yang berasal dari daerah tangkapan di sebelah atasnya.
Gambar 3. Tanggul penghambat
Tanggul penghambat dibuat dengan luas daerah tangkapan air dari 100 –
250 ha, dan dapat lebih luas untuk wilayah-wilayah tertentu yang mempunyai
curah hujan yang rendah. Tinggi dan panjang bendungan maksimal adalah 10
22
meter tergantung pada kondisi geologi dan topografi lokasi yang bersangkutan.
Pembuatan tanggul penghambat biasanya dilakukan pada musim kemarau.
3. Sungai
A. Konsep Daerah Aliran Sungai
Sungai merupakan jalan air alami mengalir menuju samudera, danau atau
laut dan ke sungai yang lain. Dalam membicarakan permasalahan mengenai
hidrologi ditekankan pada tinjauan menyeluruh komponen-komponen hidrologi,
pengaruhnya satu terhadap yang lain serta kaitannya dengan komponen lain di
luar jalur hidrologi perlu dilakukan, sehingga pembahasan masalah hidrologi tidak
lepas membicakan masalah DAS (Daerah Aliran Sungai), yang merupakan daerah
tangkapan air dengan dibatasi punggungan/igir gunung sehingga air yang jatuh
akan tertampung dan mengalir melalui riil-riil sungai dan terpusat menuju pada
titik outlet.
Gambar 4. merupakan penampang melintang dari DAS.
Bentuk DAS dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu : (a). berbentuk bulu
burung; (b). radial; (c). paralel; dan (d). kompleks. Karakteristik masing‐masing
bentuk ditampilkan dalam Tabel.
23
Gambar 5. Karakteristik Bentuk DAS
B. Pola Aliran Sungai
Dalam interpretasi pola aliran dapat mudah dilakukan dengan pemanfaatan
data penginderaan jauh baik citra foto ataupun non foto sangat terlebih lagi
apabila data penginderaan jauh yang stereoskopis (foto udara) dengan
menampakkan 3 dimensional, sehingga hasil yang didapatkan akan maksimal.
Citra satelit yang paling baik digunakan untuk mengetahui pola aliran adalah citra
radar (ifsar) yang menghasilkan kenampakan tiga dimensi yang paling baik. Pola
aliran mempunyai berbagai jenis pola, diantaranya ialah dendritic, paralel, radial,
trelis, rectangular, centripetal, angular dan multibasinal. Gambar 3. merupakan
jenis-jenis pola aliran sungai dalam DAS.
24
Gambar 6. Pola Aliran Sungai
Keterangan:
1. Dendritik: seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah
dan sudut yang beragam. Berkembang di batuan yang homogen dan tidak
terkontrol oleh struktur, umunya pada batuan sedimen dengan perlapisan
horisontal, atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang homogen.
2. Rectangular : Aliran rectangular merupakan pola aliran dari pertemuan antara
alirannya membentuk sudut siku-siku atau hampir siku-siku. Pola aliran ini
berkembang pada daerah rekahan dan patahan.
3. Paralel: anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara pada
sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara ke laut.
Berkembang di lereng yang terkontrol oleh struktur (lipatan monoklinal, isoklinal,
sesar yang saling sejajar dengan spasi yang pendek) atau dekat pantai.
4. Trellis: percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus,
sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan
sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling antara
yang lunak dan resisten.
5. Deranged: pola aliran yang tidak teratur dengan sungai dengan sungai pendek
yang arahnya tidak menentu, payau dan pada daerah basah mencirikan daerah
glacial bagian bawah.
25
6. Radial Sentrifugal: sungai yang mengalir ke segala arah dari satu titik.
Berkembang pada vulkan atau dome.
7. Radial Centripetal: sungai yang mengalir memusat dari berbagai arah.
Berkembang di kaldera, karater, atau cekungan tertutup lainnya.
8. Annular: sungai utama melingkar dengan anak sungai yang membentuk sudut
hampir tegak lurus. Berkembang di dome dengan batuan yang berseling
antara lunak dan keras.
9. Pinnate: Pola Pinnate adalah aliran sungai yang mana muara anak sungai
membentuk sudut lancip dengan sungai induk. Sungai ini biasanya terdapat
pada bukit yang lerengnya terjal.
10. Memusat/Multibasinal: percabangan sungai tidak bermuara pada sungai utama,
melainkan hilang ke bawah permukaan. Berkembang pada topografi karst.
Morisawa (1985) menyebutkan pengaruh geologi terhadap bentuk sungai
dan jaringannya adalah dinamika struktur geologi, yaitu tektonik aktif dan pasif
serta lithologi (batuan). Kontrol dinamika struktur diantaranya pensesaran,
pengangkatan (perlipatan) dan kegiatan vulkanik yang dapat menyebabkan erosi
sungai. Kontrol struktur pasif mempengaruhi arah dari sistem sungai karena
kegiatan tektonik aktif. Sedangkan batuan dapat mempengaruhi morfologi sungai
dan jaringan topologi yang memudahkan terjadinya pelapukan dan ketahanan
batuan terhadap erosi.
Tabel 2. Kontrol Struktur Terhadap Bentuk Sungai (Morisawa, 1985)
26
Gambar 7. Pola Pengaliran dan Karakteristiknya.
27
C. Kestabilan Air Pada Sungai
1. Sungai perenial, yaitu sungai yang airnya permanen atau selalu berair pada
musim hujan dan kemarau. Contohnya sungai di Kalimantan, Sumatera dan
Jawa.
2. Sungai intermitten, yaitu sungai yang berair hanya pada waktu musim hujan.
Contohnya sungai Benam dan Membramo di Sumba.
3. Sungai ephemeral, yaitu sungai yang berair hanya pada waktu datang hujan.
Contohnya sungai di Nusa Tenggara.
Gambar 8. Kestabilan air pada sungai
Apabila dilihat dari sudut pandang klasifikasi geologi terhadap sistem aliran
maka, dapat dibedakan berupa aliran air influent, effluent, dan intermitent (sama).
Identifikasi sistem aliran ini perlu diketahui karena berkaitan dengan pencemaran
pada sungai yang akan mempengaruhi kondisi air tanah yang dipergunakan dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari (air minum).
1. Influent : Sistem aliran sungai dimana air sungai masuk ke dalam tanah
memberikan pasokan terhadap air tanah. Sehingga apabila ada suatu
pencemaran pada sungai maka akan dapat membahayakan kondisi air tanah
yang digunakan sebagai air minum.
2. Effluent : Air tanah memberikan masukan/pasokan pada sistem aliran sungai.
Pada umumnya aliran sungai berlangsung sepanjang tahun (perenial)
3. Intermitent.
28
Gambar 9. merupakan klasifikasi geologi terhadap sistem aliran sungai.
C. Sungai Berdasarkan Asal Kejadiannya (Arah Jurus Dan Kemiringan
Formasi)
Gambar 10. Pola Sungai Berdasarkan Arah Jurus dan Kemiringan (Asal
Kejadiannya)
Keterangan:
1. Sungai konsekuen (K) adalah sungai yang alirannya mengikuti kemiringan batuan.
2. Sungai subsekuen (S) adalah sungai yang arah alirannya sejajar dengan jurusa
lapisan batuan.
29
3. Sungai obsekuen (O) adalah sungai yang arah alirannya berlawanan dengan arah
kemiringan lapisan batuan.
4. Sungai resekuen (R) adalah sungai yang arah alirannya searah dengan sungai
konsekuen dan alirannya masuk ke sungai subsekuen.
5. Sungai insekuen (I) adalah sungai yang arah alirannya miring terhadap sungai
konsekuen atau jurus batuan.
D. Sungai Berdasarkan Struktur Geologinya sungai dibedakan menjadi :
1. Sungai Anteseden, adalah sungai yang tetap mempertahankan arah aliran airnya
walaupun ada struktur geologi (batuan ) yang melintang ,hal ini karena kuatnya
arus sehingga mampu menembus batuan yang merintangi.
2. Sungai Superposed, adalah sungai yang melintang, struktur dan prosesnya
dibimbing oleh lapisan batuan yang menutupinya.
E. Orde Sungai
Order sungai secara resmi diusulkan pada tahun 1952 oleh Arthur Newell
Strahler, seorang geoscience profesor di Universitas Columbia di New York City,
dalam artikelnya “Hypsometric (Area Ketinggian) Analisis Topologi Erosional.”
Gambar 11. Orde sungai
Keterangan:
1. Starhler : adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan dianggap
sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen sungai
sebagai hasil pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan segmen
30
sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat
adalah orde sungai yang lebih tinggi.
2. Horton : mengklasifikasikan sungai berdsarkan tingkat kerumitan anak-anak
sungainya. Saluran sungai tanpa anaknya disebut sebagai “first order”. Sungai
yang mempunyai satu atau lebih anak sungai “first order” disebut saluran
sungai “second order”. Sebuah sungai dikatakan “third order” jika sungai itu
mempunyai sekurang-kurangnya satu anak sungai “second order.
3. Shreve : Dihitung mulai dari hulu, nomor orde sungai ditambahkan bersama-
sama pada setiap pertemuan aliran, jika ada orde 1 bergabung dengan aliran
orde 2 maka hasilnya adalah orde 3 sungai.
F. Morfometri DAS
Morfometri adalah nilai kuantitatif dari parameter-parameter yang
terkandung pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Menurut Susilo, 2006
karakteristik DAS yang penting dapat dikaji berdasarkan hasil analisis
morfometri. Karakteristik DAS tersebut adalah:
1. Daerah Pengaliran/Drainage Area (A)
Daerah pengaliran merupakan karakteristik DAS yang paling penting dalam
pemodelan berbasis DAS. Daerah pengaliran mencerminkan volume air yang
dapat dihasilkan dari curah hujan yang jatuh di daerah tersebut. Curah hujan yang
konstan dan seragam untuk seluruh daerah pengaliran merupakan asumsi yang
umum dalam pemodelan hidrologi.
2. Panjang DAS/Watershed Length (L)
Panjang daerah aliran sungai biasanya didefinisikan sebagai jarak yang
diukur sepanjang sungai utama dari outlet hingga batas DAS. Sungai biasanya
tidak akan mencapai batas DAS, sehingga perlu ditarik garis perpanjangan mulai
dari ujung sungai hingga batas DAS dengan memperhatikan arah aliran.
Meskipun daerah pengaliran dan panjang DAS merupakan ukuran dari DAS tetapi
keduanya mencerminkan aspek ukuran yang berbeda. Daerah pengaliran
digunakan sebagai indikasi potensi hujan dalam menghasilkan sejumlah volume
air, sedangkan panjang DAS biasanya digunakan dalam perhitungan waktu
tempuh yang dibutuhkan oleh air untuk mengalir di dalam DAS.
31
3. Kemiringan DAS/Watershed Slope (S)
Banjir merupakan besaran yang mencerminkan momentum runoff dan
lereng merupakan faktor penting dalam momentum tersebut. Lereng DAS
mencerminkan tingkat perubahan elevasi dalam jarak tertentu sepanjang arah
aliran utama. Lereng diukur berdasarkan perbedaan elevasi (ΔE) antara kedua
ujung sungai utama dibagi dengan panjang DAS atau dapat dituliskan dalam
persamaan:
S = ΔE/L
Beda elevasi (ΔE) tidak selalu menjadi atau mencerminkan beda elevasi
maksimum dalam DAS. Elevasi tertinggi biasanya terdapat sepanjang batas DAS
dan ujung dari sungai atau aliran utama umumnya tidak mencapai batas DAS.
4. Bentuk DAS/Watershed Shape
Bentuk DAS mempunyai variasi yang tak terhingga dan bentuk ini dianggap
mencerminkan bagaimana aliran air mencapai outlet. DAS yang berbentuk
lingkaran akan menyebabkan air dari seluruh bagian DAS mencapai outlet dalam
waktu yang relatif sama. Akibatnya puncak aliran terjadi dalam waktu yang relatif
singkat. Sejumlah parameter telah dikembangkan untuk menentukan bentuk DAS
antara lain
a. Panjang terhadap pusat DAS (Lca): Jarak (dalam satuan mil) yang diukur
sepanjang sungai utama dari outlet hingga kesuatu titik di pusat DAS.
b. Faktor bentuk /Shape Factor (Ll) : Ll = (LLca)0.3 ; L adalah panjang DAS (mil)
c. Circularity ratio (Fc) : Fc = P/(4πA)0.5 ; P adalah keliling DAS (ft) dan A adalah
luas DAS (ft2)
d. Circularity ration (Rc) : Rc = A/A0 ; A0 adalah luas suatu lingkaran yang
mempunyai keliling sama dengan keliling DAS.
e. Elongation Ration (Re) : Re = 2/Lm(A/π)0.5 ; Lm adalah panjang maksimum DAS
(ft) yang sejajar dengan sungai utama.
5. Kerapatan aliran/Drainage density (Dd)
32
Kerapatan aliran atau timbunan aliran permukaan merupakan panjang aliran
sungai per kilometer persegi luas DAS (jumlah seluruh panjang alur sungai dalam
luas DAS). Kerapatan aliran dapat dituliskan menggunakan persamaan :
Dd = L/A
Keterangan :
Dd = Kerapatan Aliran (km/km2)
L = Jumlah Panjang Alur (km)
A = Luas satuan pemetaan (km2)
Selain karakteristik DAS seperti yang disebutkan di atas, penggunaan lahan
dan curah hujan merupakan karakteristik DAS yang tidak kalah pentingnya.
Penggunaan lahan dan curah hujan memang tidak terkait dengan morfometri
DAS, namun dalam kajian tentang banjir dengan menggunakan DAS sebagai unit
analisis, keduanya merupakan faktor yang sangat penting.
Semakin besar nilai kerapatan aliran semakin baik sistem pengaliran
sehingga semakin besar air larian total (infiltrasi kecil) dan semakin kecil air tanah
yang tersimpan. Kerapatan aliran mempunyai hubungan dengan perilaku laju air
larian, jumlah total air larian, dan jumlah air tanah yang tersimpan. Tabel 3.
merupakan pengaruh besar-kecilnya kerapatan aliran terhadap koefisien aliran
permukaan.
Tabel 3. Pengaruh Kerapatan Aliran Terhadap Koefisien Aliran Permukaan
33
d) Pengukuran Debit
Dalam hidrologi dikemukakan, debit air sungai adalah, tinggi permukaan air
sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya
dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau aliran sungai
adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang
melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit
dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt).
beberapa metode pengukuran debit aliran sungai:
1. Velocity Method
Q = A.V
Pada prinsipnya adalah pengukuran luas penampang basah dan kecepatan
aliran. Penampang basah (A) diperoleh dengan pengukuran lebar permukaan air
dan pengukuran kedalaman dengan tongkat pengukur atau kabel pengukur.
Kecepatan aliran (V) dapat diukur dengan metode : metode current-meter dan
metode apung. Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran
(kecepatan arus). Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling (proppeler
type) dan tipe canting (cup type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai
tidak sama baik arah vertikal maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan
aliran dengan alat ini tidak cukup pada satu titik. Debit aliran sungai dapat diukur
dengan beberapa metode. Tidak semua metode pengukuran debit cocok
digunakan. Pemilihan metode tergantung pada kondisi (jenis sungai, tingkat
turbulensi aliran) dan tingkat ketelitian yang akan dicapai.
2. Pengukuran Debit dengan Cara Apung (Float Area Methode)
Q = A x k x U
dimana
Q = debit (m3/det)
U = kecepatan pelampung (m/det)
34
A = luas penampang basah sungai (m2)
k = koefisien pelampung
a. kecepatan aliran (V) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U)
b. luas penampang (A) ditetapkan berdasarkan pengukuran lebar saluran (L)
dan kedalaman saluran (D)
c. debit sungai (Q) = A x V atau A = A x k dimana k adalah konstant
Gambar 12. Pengukuran debit
3.Pengukuran Debit dengan Current-meter
a. kecepatan diukur dengan current meter
b. luas penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air
dan lebar permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan mistar pengukur,
kabel atau tali.
Tabel 4. Perhitungan Pengukuran dengan Current Meter
35
Sumber :Hatma Suryatmojo, 2006Vs di ukur 0,3 m dari permukaan air dan Vb di ukur 0,3 m di atas dasar
sungai. Kecepatan aliran dihitung berdasarkan jumlah putaran baling-baling per
waktu putarannya (N = putaran/dt). Kecepatan aliran V = aN + b dimana a dan b
adalah nilai kalibrasi alat current meter. Hitung jumlah putaran dan waktu putaran
baling-baling (dengan stopwatch).
e) Pengukuran Debit dengan Metode Kontinyu
Current meter diturunkan kedalam aliran air dengan kecepatan penurunan
yang konstant dari permukaan dan setelah mencapai dasar sungai diangkat lagi ke
atas dengan kecepatan yang sama.
Gambar 13. Pengukuran debit metode kontinyu
36
IV. KESIMPULAN
1. Aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan
mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas
hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dimana dalam hal ini tanah telah
jenuh air.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan limpasan, dibagi dalam 2 kelompok
yaitu elemen-elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen-
elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran.
a. Elemen-elemen meteorologi:
1. jenis presipitasi
2. intensitas curah hujan
3. lamanya curah hujan
4. distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran
5. arah pergerakan curah hujan
6. curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah
7. kondisi-kondisi meterologi yang lain
b. Elemen Daerah Pengaliran:
1. kondisi penggunaan tanah (landuse)
2. daerah pengaliran
3. kondisi topografi dalam daerah pengaliran
4. jenis tanah
5. faktor-faktor lain yang memberikan pengaruh
3. Sungai Berdasarkan Asal Kejadiannya (Arah Jurus Dan Kemiringan Formasi)
a. Sungai konsekuen (K) adalah sungai yang alirannya mengikuti kemiringan
batuan.
b. Sungai subsekuen (S) adalah sungai yang arah alirannya sejajar dengan jurusa
lapisan batuan.
37
c. Sungai obsekuen (O) adalah sungai yang arah alirannya berlawanan dengan
arah kemiringan lapisan batuan.
d. Sungai resekuen (R) adalah sungai yang arah alirannya searah dengan sungai
konsekuen dan alirannya masuk ke sungai subsekuen.
e. Sungai insekuen (I) adalah sungai yang arah alirannya miring terhadap sungai
konsekuen atau jurus batuan.
Sungai Berdasarkan Struktur Geologinya sungai dibedakan menjadi :
a. Sungai Anteseden, adalah sungai yang tetap mempertahankan arah aliran
airnya walaupun ada struktur geologi (batuan ) yang melintang ,hal ini
karena kuatnya arus sehingga mampu menembus batuan yang merintangi.
b. Sungai Superposed, adalah sungai yang melintang, struktur dan prosesnya
dibimbing oleh lapisan batuan yang menutupinya.
38