makalah Iddah

18
MASALAH IDDAH DALAM PERSPEKTIF MODERN D I S U S U N OLEH: SAIFUDDIN : 130707577 AMIR SABRI MUHAMMAD : 130707588 RAHMAD : 130808008

Transcript of makalah Iddah

Page 1: makalah Iddah

MASALAH IDDAH DALAM PERSPEKTIF MODERN

D

I

S

U

S

U

N

OLEH:

SAIFUDDIN : 130707577

AMIR SABRI MUHAMMAD : 130707588

RAHMAD : 130808008

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AR-RANIRY

LAMGUGOB-BANDA ACEH

Page 2: makalah Iddah

Pengertian Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak

(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau

masa suci.

Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang

wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya

atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya

beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.1

Macam-macam Iddah

Ada 5 macam masa Iddah; yaitu:

1. ‘Iddah istri yang dicerai dan ia masih haid, lama ‘iddahnya tiga kali suci (quru’).

Dalilnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 228.

1. Iddah istri yang dicerai dan ia tidak haid, lama iddahnya tiga bulan. Dalilnya

firman Allah surat At-Thalaq: 4.

2. Iddah istri yang ditinggal wafat oleh suaminya. Lama iddahnya empat bulan

sepuluh hari, bila tidak hamil. Dalilnya firman Allah surat Al-Baqarah: 234)

3. Iddah istri yang dicerai dalam kondisi hamil. Masa iddahnya sampai melahirkan.

Dalilnya firman Allah surat At-Thalaq: 4)

4. Iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam kondisi hamil. Masa

iddahnya sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan 10 hari. (menurut

sebagian besar ulama).

Tujuan Disyariatkan 'Iddah

1. Tujuan Islam mensyariatkan 'iddah ke atas kaum wanita ialah untuk memastikan

rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia diceraikan dan juga

memastikan ia tidak hamil daripada lelaki yang menyetubuhinya sebagai langkah

mencegah percampuran nasab dan keturunan.

2. Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang boleh dirujuk, ini memberikan

peluang kepada suaminya untuk memikirkan kembali saat-saat manis ketika

Page 3: makalah Iddah

mereka bersama dan kembali rujuk kepada isterinya setelah fikirannya kembali

tenang.

3. Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada pasangan

suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari

punca perselisihan antara mereka dan semoga itu mereka dapat bersatu semula.

4. Tujuan 'iddah juga supaya ikatan sesuatu perkahwinan itu dapatlah dipanjangkan

waktunya dan pada tempoh itu adalah diharapkan kewarasan dan kematangan

fikiran pasangan suami isteri yang berselisih dapat dipulihkan dan

menghubungkan kembali persefahaman dan kasih sayang mereka.

5. Sewaktu melalui proses 'iddah banyak peluang yang boleh direbut oleh wakil dari

kedua-dua belah pihak suami isteri bagi mencari jalan keluar dan perdamaian

antara mereka dari perselisihan dan semoga dengan cara ini diharapkan dapatlah

mempersatukan mereka semula serta menjauhi dari berlakunya perceraian.

6. Agama Islam meletakkan institusi kekeluargaan adalah sesuatu yang tinggi dan

mulia terutama bagi pasangan suami isteri dimana hubungan kelamin bagi

pasangan suami isteri tetap mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi Tuhan.

Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan

di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak lagi permasalahan sosial.

7. Bagi perceraian yang berlaku kerana kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk

isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan perasaan sedih dan

dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami serta menjaga ama baik

dan maruah diri dan keluarga agar tidak diperkatakan oleh orang lain.

8. 'Iddah adalah anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih

sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi

kekeluargaan dalam Islam.2

Dasar Hukum Iddah

Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian landasan

pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Firman Allah: al-Baqarah 228 yang

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

quru’.

Page 4: makalah Iddah

Mengenai masalah iddah, perbedaan masalah perhitungan quru’ menurut Syafi’i

dan Malik adalah suci dari haid.3

Firman Allah surat al-Baqarah 234 yang Artinya: Orang-orang yang meninggal

dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)

menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Ahzab 49 yang artinya: Hai orang-orang

yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian

kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib

atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka

mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Dalam sunnah nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang iddah yakni:

Diceritakan oleh ali bin Muhammad diceritakan oleh Waqi’ dari Sufyan dari Mansur dari

Ibrahim dari Aswad dari Aisyah r.a. ia berkata: “Barirah diperintahkan agar ber’iddah

dengan tiga kali haid” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah).4

Ketentuan Iddah Menurut Pemikir Kontemporer

Kalau seseorang mempelajari evolusi madzhab-madzhab yang berbeda dalam

hukum Islam (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i) maka orang akan melihat bahwa

formulasi mereka itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan ekonomi

mereka sendiri. Perbedaan formulasi mereka secara jelas diperbedakan oleh kondisi yang

berbeda.

Syari’at hendaknya tidak diperlakukan sebagai sistem yang tertutup. Karena

syari’at merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-

prinsip Al-Qur’an. Dinamika dan vitalitasnya tergantung pada kapasitasnya untuk

berubah seiring dengan perjalanan waktu. Tentu saja perubahan-perubahan tersebut

bukan pada aspek prinsip dan nilai, melainkan dalam aplikasinya yang tepat berdasarkan

pandangan sosial dan konteks lain. Maulana Umar Ahmad Usmani menunjukkan dalam

karyanya fiqih Al-Qur’an bahwa tasyri’ ahkam (penetapan hukum Islam atau perintah)

berubah seiring denganruang, waktu dan kondisi sosial.5 Syari’at harus dianggap suatu

usaha untuk mencapai tujuan-tujuan, nilai-nilai dan prinsip al-Qur’an, ia merupakan alat

bukan tujuan.

Page 5: makalah Iddah

Salah satu tujuan utama adanya iddah adalah untuk mengetahui apakah dalam

rahimnya ada embrio bayi atau tidak. Dalam beberapa kajian fikih atau hukum islam

dalam konsep iddah sudah sesuai dengan teks al-Qur’an seperti pada surat al-Baqarah

ayat 228, 234, at-Thalaq ayat 4 dan al-Ahzab ayat 49. ayat ini yang menjadikan dasar

hukum adanya iddah bagi seorang perempuan setelah adanya cerai mati atau cerai hidup.

Musdah menyatakan bahwa pada dasarnya, Islam agama yang penuh rahmat

(kasih sayang) dan pembawa maslahat (kedamaian dan kebaikan), sehingga setiap

keputusan yang berkaitan dengan pengambilan suatu hukum disamping mempunyai

dampak positif juga negatif.

Menurut Musdah ada persoalan mendasar tentang iddah yaitu bagaimana dengan

hubungan antara manusia dengan manusia lain (hablummin annas), lebih spesifik lagi

hubungan intern keluarga antar suami isteri. Ketika suami isteri berpisah sebenarnya

tidak menganggap semua persoalan selesai, seenaknya suami menikah lagi, bagaimana

dengan keluarga, anak-anak, saudara, tetangga atau teman, karena tidak ada manusia

yang ingin hidup sendiri. Dari contoh di atas menurut Musdah perlu diperhatikan adalah

aspek-aspek hukum relation,kebanyakan manusia memahami dalam Islam hanya melihat

hablumminaallah (hubungan dengan Allah) yang menurut musdah mendapat porsi lebih,

bila dibandingkan dengan hablumminannas (hubungan dengan manusia).

Mengingat keluarga adalah sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan

perempuan melalui pernikahan, maka sejak terjadinya pernikahan keduanya terikat

dengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Adapun yang berkaitan dengan urusan

rumah tangga menjadi urusan bersama, baik mengenai urusan tempat tinggal, nafkah,

anak, dan sebagainya.

1 http://alislamu.com/ibadah/29-nikah/443-bab-iddah.html

2 http://www.docstoc.com/docs/66730778/TUJUAN-DISYARIATKAN-IDDAH

3 Tengku Muhammad Hasbi Ash-shidiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2001, hlm. 291.

4 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-qazwini, Sunan ibn Majjah, juz I, Beirut: Dar

Al-Fikr, tt, hlm. 671.

5 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, Cet

II 2007, hlm. 34.

Page 6: makalah Iddah

Termasuk di dalamnya ketika bahtera rumah tangga mengalami bencana tidak

dapat diteruskan dan tali pernikahan sudah tidak bisa dipertahankan, maka menyangkut

urusan bersama. Perceraian merupakan masalah bersama antara suami isteri, perceraian

ditempuh melalui jalan terakhir untuk mengakhiri kesulitan-kesulitan dalam rumah

tangga. Oleh sebab itu konsekuensi yang diakibatkan dari perceraian adalah mengikat

kedua belah pihak. Ketika perceraian dipandang bencana dalam sebuahrumah tangga,

maka yang harus menanggung bencana tersebut harus kedua pihak suami isteri.

Jika dilihat hikmah dari perceraian adalah agar suami isteri yang sudah bercerai

melakukan introspeksi diri, apakah masih akan menjalin kembali tali cinta kasih (pada

kasus talak raj’i) atau tetap memutuskan untuk bercerai. Jika keputusannya bercerai maka

akibat dari perceraian tersebut juga harus ditanggung bersama. Baik yang berkaitan

dengan hak dan kewajiban, nafkah, harta, maupun anak.6

Menurut Musdah, iddah untuk perceraian hidup merupakan masa transisi untuk

memikirkan dan merenungkan kembali antara kedua belah pihak bagaimana caranya

untuk membangun masa depan kehidupan bersama. Sedangkan iddah untuk kematian

untuk mempertimbangkan kembali bagaimana menjaga hubungan dengan orang tua,

anak, mertua, saudara, tetangga dan teman-teman.7

Dalam CLD KHI yang Musdah usulkan bahwa masa iddah atau dia menyebutnya

masa transisi sebagai berikut Bab XIII Masa Transisi, pasal 86: Bagi suami isteri yang

perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau

iddah dan masa transisi suami ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya.

Berkenaan dengan adanya nas (ayat Al-Qur’an dan al-Hadis) yang mengikat

perempuan yang ditalak, maka perlu lebih dicermati filosofi syari’ahnya (maqasid al-

syar’i) dan diperlakukan secara proporsional dengan hak privasi perempuan. Jika isteri

yang ditalak dikenakan sebagai larangan terkait dengan hak pribadinya, maka pihak laki-

laki juga harus memperhatikan perasaan perempuan yang telah ditalak.

6 Moh Sodik, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Jakarta: PWS IAIN Sunan Kalijaga,

Depag RI dan McGill-IISEP-CIDA, 2004, hlm. 242

7 Irfan Mustofa, Studi Analisis Pemikiran Siti Musdah Mulia Tentang Konsep Iddah dan

Signifikasinya Terhadap Perubahan Hukum Islam, IAIN Semarang, 2006.

Page 7: makalah Iddah

Diantara hikmah terpenting diaturnya masalah iddah ini selain untuk mengetahui

keadaan rahim, demi menentukan hubungan nasab anak, memberi alokasi yang cukup

untuk merenungkan tindakan perceraian.

Selain itu sebenarnya terdapat aturan mengenai masalah iddah ini yakni Surat

Edaran no: D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbaga Islam tentang poligami dalam iddah isteri.

Surat Edaran no: D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam masalah poligami dalam

iddah isteri di terbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10 februari 1979 diberikan

kepada:

a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama.

b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia.

Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk keputusan rapat Dinas

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di Tugu

Bogor lampiran IV point c. 3 perihal seperti tersebut pada pokok surat , maka dengan ini

kami berikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak raj’i dan

mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa iddah bekas

isterinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama.

b. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakekatnya

suami isteri yang bercerai dengan thalak raj’i adalah masih ada ikatan

perkawinan sebelum habis masa iddahnya. Karena kalau suami tersebut kalau

menikah lagi dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban hukum

dan inti hukum adalah beristeri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu

terhadap kasus tersebut dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan,

c. Sebagai produk Pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut harus

dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan Agama. Hukum positif

adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada

saat ini sedang berlaku dan mengikat secaraumum atau khusus dan ditegakkan

oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.

Page 8: makalah Iddah

Pengertian hukum positif diperluas, bukan saja yang sedang berlaku sekarang

melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Hukum

positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan

hukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku

umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif yang

berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan

kebijakan termasuk didalamnya yakni surat edaran, juklak, juknis.8

Suatu peraturan tertulis atau kaidah hukum benar-benar berfungsi senantiasa di

kembalikan pada empat faktor yakni kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas

yang menegakkan atau penerap hukum, sarana yang dapat membantu, warga masyarakat

yang terkena ruang lingkup peraturan.

Kaidah hukum berfungsi apabila kaidah berlaku secara yuridis atau atas dasar

yang telah ditetapkan, sosiologis atau dapat dipaksakan dan filosofis sesuai dengan cita

hukum. Mengenai penegak hukum dari strata atas, menengah dan bawah dalam

melaksanakan tugas penerapan hukum seyogianya harus memiliki suatu pedoman salah

satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.

Sarana juga sangat penting untuk mengefektifitaskan suatu aturan tertentu. Sarana

tersebut diantaranya sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya

kendaraan dan alat komunikasi. Warga masyarakat yang dimaksud adalah kesadarannya

untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan atau derajat kepatuhan terhadap

hukum.9

Iddah Dan Teknologi Modern

Iddah adalah periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu oleh wanita yang

dicerai suaminya atau yang ditinggal mati suaminya dengan berpantang melakukan

perkawinan baru.10 Lamanya masa tunggu itu bervariasi, tergantung dalam kondisi

8 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (suatu kajian teoritik), Yogyakarta: FH UII

Press, 2004, hlm. 1-15.

9 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 94-96.10 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993,

hlm. 171.

Page 9: makalah Iddah

bagaimana seorang wanita itu berpisah dengan suaminya. Seorang wanita yang ditinggal

mati berbeda iddahnya dengan wanita yang dicerai. Begitu pula seorang wanita yang

dicerai dalam keadaan hamil berbeda dengan wanita yang dicerai tidak dalam keadaan

hamil. Semua ini ada ketentuannya dalam Quran.

Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia dalam keadaan hamil, iddahnya adalah

sampai ia melahirkan bayi yang dikandungnya (ath-Thalaq: 4). Bagi wanita yang dicerai

sedangkan ia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali quru`(Mengenai kata quru`

ini ada dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu timbul dua penafsiran: ada yang

mengatakan tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali haid) (al-Baqarah: 228),

sedangkan jika ia belum balig atau sudah memasuki masa menopause, maka iddahnya

adalah tiga bulan (ath-Thalaq: 4). Sedangkan bagi wanita yang ditinggal mati, iddahnya

adalah 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234). Akan tetapi Quran tidak menetapkan berapa

lama iddahnya seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan

hamil. Apakah iddahnya dihitung menurut iddah kematian atau kehamilan? Terhadap

kasus ini muncul dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa iddah wanita yang

dalam keadaan seperti itu adalah kelahiran anaknya. Sedangkan pendapat kedua

mengatakan bahwa iddahnya dengan melihat mana masa terlama di antara iddah

kehamilan dan kematian. Jika masa kehamilan lebih lama, maka iddah kehamilan itu

yang dijadikan patokan, yaitu sampai ia melahirkan anaknya. Akan tetapi jika iddah

kamatian lebih lama, maka iddah kematian itu yang dijadikan patokan.

Ketentuan Quran tentang iddah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus

diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan

mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja

tidak dapat diubah. Akan tetapi ada yang belum jelas di sini, yaitu apa alasan Allah

mensyariatkan iddah bagi seorang wanita, Quran tidak menjelaskannya. Tidak adanya

penjelasan Quran tentang hal ini tidaklah menunjukkan titik lemah dari Quran. Justru

inilah cara Allah memberi kebebasan kepada manusia dalam menafsirkan syariat yang

Dia turunkan. Apa alasan yang tepat dari pemberlakuan iddah ini, Dia kembalikan kepada

manusia. Oleh karena itu, tidak sedikit ulama yang mencoba mendefinisikan atau mencari

alasan pemberlakuan iddah itu kepada kaum wanita. Di sini pembahasan mulai memasuki

wilayah fikih, bukan syariat. Hal ini tentu saja menyebabkan munculnya banyak definisi

Page 10: makalah Iddah

dan alasan pemberlakuan iddah itu. Dalam wacana fikih, banyaknya pendapat tentang

suatu masalah fikhiyah dimungkinkan.

Menurut golongan Syafi`iyah, makna iddah adalah:

م�دة ت�تربص فيه�ا الم�رأة لمعرف�ة ب�راءة رحمه�ا أو للتعب�د أو

.لتفجعها على زوج

“Masa yang harus dilalui oleh istri untuk mengetahui bebasnya (kesucian)

rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya.”11

Sejalan dengan golongan Syafi`iyah ini, golongan Hanafiyah mendefinisikan

iddah dengan:

الفراش أو النكاح أثار من بقي ما النقضاء ضرب أجل

“Suatu batas waktu yang ditetapkan (bagi wanita) untuk mengetahui sisa-sisa dari

pengaruh pernikahan atau persetubuhan.”12

Dari dua definisi iddah di atas tampak bahwa tujuan iddah adalah untuk

mengetahui apakah di dalam rahim wanita yang dicerai atau ditinggal mati itu terdapat

bibit yang akan tumbuh menjadi bayi atau tidak. Dalam rangka inilah masa tunggu itu

diberlakukan. Demikian menurut ulama golongan Syafi`iyah dan Hanafiyah.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia,

ditambah lagi dengan kemajuan sains dan teknologi, perubahan-perubahan terus berjalan.

Sesuatu yang tadinya dianggap mustahil oleh manusia, saat ini terjadi. Sesuatu yang

sebelumnya tak terbayangkan adanya kini dapat disaksikan.

Dewasa ini, ilmu kedokteran telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Dengan menggunakan USG (Ultrasonography), yaitu teknik diagnostik untuk pengujian

struktur badan bagian dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan

gelombang ultrasonik,13 seseorang dapat mengetahui jenis kelamin bayi yang masih

berada di dalam kandungan. Bukan itu saja, bahkan dengan melalui suatu alat tertentu,

11 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, Juz IV, Beirut:

Ihya` at-Turats al-`Arabi, 1969, hlm. 517.

12 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, hlm. 513.13 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: 1994,

hlm. 1101.

Page 11: makalah Iddah

yaitu dengan menjalani tes urine, rahim seorang wanita dapat diketahui apakah di

dalamnya terdapat janin atau tidak. Dengan kata lain, apakah ia dalam keadaan hamil

atau tida. Jadi, proses untuk mengetahui kehamilan atau tidak sangat cepat. Hanya

dengan hitungan menit, bahkan detik, saja.

Jika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di bidang kedokteran ini

dihubungkan dengan pendapat para ulama tentang iddah di atas, maka jelas sekali

perbedaannya, bahkan bertolak belakang. Di sini terbukti bahwa apa yang dahulu tak

terbayangkan oleh para ulama mazhab, kini telah terjadi. Mereka mendefinisikan iddah

dengan menghubungkannya dengan kehamilan, sudah pasti karena mereka tidak

mengetahui akan adanya alat yang dapat digunakan untuk mengetes kehamilan, bahkan

dengan waktu yang sangat singkat.

Dengan adanya kontradiktif antara pendapat ulama tentang iddah dan teknologi

modern ini, timbul pertanyaan: apakah pendapat ulama mazhab tentang iddah itu masih

perlu dipertahankan atau tidak? Jika dipertahankan, konsekuensinya adalah bahwa hukum

iddah dianggap tidak berlaku lagi. Sebab, untuk mengetahui keadaan rahim seorang

wanita, dalam arti hamil atau tidak, tak perlu menunggu sampai tiga atau empat bulan

sepuluh hari. Jika hukum iddah dianggap tidak berlaku lagi, maka berarti ayat-ayat

Quran yang menjelaskan tentang hal itu juga tidak berlaku lagi. Apakah hal ini dapat

diterima akal yang sehat? Sudah barang tentu tidak. Ayat-ayat Quran, sebagai sumber

syariat, tentang iddah akan tetap berlaku. Ketentuan-ketentuannya tentang lama masa

iddah wajib diimani dan dilaksanakan. Yang harus dianggap tidak berlaku lagi justru

pendapat para ulama mazhab itu, karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan

dan kemajuan zaman. Dengan kata lain, perlu ada redefinisi tentang iddah.14

14 http://ahza.multiply.com/journal/item/2