Makalah Hukum Agraria.a4
-
Upload
dezy-rindra-puspita -
Category
Documents
-
view
285 -
download
19
description
Transcript of Makalah Hukum Agraria.a4
![Page 1: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/1.jpg)
MAKALAH HUKUM AGRARIA
“LANDREFORM INDONESIA”
Oleh :
JAGAD ADITYA DEWANTARA
2011187205B0019
PROGRAM STUDI KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS IPS IKIP PGRI JEMBER
2013
![Page 2: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/2.jpg)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas makalah ini dapat
diselesaikan. Tugas makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah
Humas Pemerintahan dengan judul “Kasus Cilacap, Landreform Terbesar Era
Reformasi”
Demikianlah tugas makalah ini disusun semuga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Agraria.
Jember, 25 April 2013
Penyusun
![Page 3: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris, tanah merupakan hal yang mutlak yang harus
dimiliki oleh masyarakat agraris. Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian
besar rakyatnya menggantungkan kehidupannya pada tanah, dalam hal ini berada pada
bidang pertanian. Masalah tanah, terutama penguasaan tanah merupakan masalah klasik
yang terjadi dalam masyarakat agraris. Dalam permasalahan tersebut salah satu
pemecahannya adalah Landreform. Landreform dianggap mampu memecahkan masalah
agrarian yang ada.
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land
artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun
atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru. Untuk pelaksanaan
prinsip-prinsip landreform yang sudah digariskan dalam UUPA diperlukan peraturan
palaksanaan, baik yang berupa Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.
Atas dasar ketentuan UUPA diterbitkan peraturan perundangan landreform
yang bertujuan untuk mengadakan penataan penguasaan tanah dan meningkatkan
pendapatan serta kesejahteraan rakyat khususnya para petani kecil secara adil dan
merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai
kemakmuran sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian lain landreform berarti program untuk melakukan
tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain, yang bertujuan untuk
menghilangkan penghalang-penghalang di bidang sosial, ekonomi yang timbul dari
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. Banyaknya
penghalang-penghalang sosial di bidang pertanahan yang seringkali merugikan
masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Seiring
dengan perkembangan zaman, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam
masalah agraria di Indonesia sudah mulai meninggalkan makna dari diundangkannya
UUPA. Sebagaimana negara diwajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan
![Page 4: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/4.jpg)
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Namun, dalam kenyataannya tujuan tersebut sudah dilupakan, banyak
masyarakat kita khususnya petani, tidak merasakan kemakmuran di bumi Indonesia.
Masih banyak petani yang menggarap tanah yang bukan miliknya sendiri. Sangat miris
melihat pada dasarnya bumi Indonesia merupakan Negara agraris yang mempunyai
lahan yang luas, subur dan seharusnya diperuntukkan, diolah dan digarap oleh para
petani Indonesia. Sehingga penulis tergerak untuk mengangkat masalah ini menjadi
karya tulis yang nantinya diharapkan dapat membantu perkembangan agraria di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan serta penjelasan yang dikemukakan dalam latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah obyek tanah dalam landreform di Indonesia?
2. Apa sajakah organisasi pelaksana dari program Landreform?
3. Mengapa landreform mengalami berbagai kendala dalam implementasinya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui obyek tanah dalam landreform di Indonesia
2. Untuk mengetahui organisasi pelaksana dari program Landreform
3. Untuk mengetahui mengapa landreform mengalami berbagai kendala dalam
implementasinya
![Page 5: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/5.jpg)
BAB 2 . PEMBAHASAN
3.1 Obyek Tanah Dalam Landreform di Indonesia
Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa landreform
merupakan suatu program pemerintah dalam rangka pemerataan kehidupan masyarakat,
baik itu dalam hal pendapatan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian, dinyatakan bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan
dalam rangka landreform adalah :
1. Tanah kelebihan dari batas maksimum :
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan
kepentingan umum, karena berhubungan dengan terbatasnya persediaan tanah
pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal itu
menyebabkan sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali
kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Pasal 17
merupakan pelaksanaan dari ketentuan asas dalam pasal 7 ayat 1 dan 2.
kemudian pada ayat 3 bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
2. Tanah-tanah absentee (guntai) :
Pemilikan tanah secara absentee dipahami sebagai pemilikan tanah pertanian
yang pemiliknya berada diluar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah
pertanian yang dimaksud. Pemilikan tanah yang seperti ini dilarang oleh
undang-undang, karena pemilikan tanah secara absentee tersebut dianggap
tidak efektif sebab pemilk tanah tersebut berada jauh di luar kecamatan yang
berbeda dengan pemiliknya, dan pemiliknya tidak dapat mengerjakan tanah
tersebut secara aktif. Larangan absentee tidak berlaku apabila tempat tinggal
pemilik berbatasan langsung dengan kecamatan tempat letak tanah walaupun
![Page 6: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/6.jpg)
berbeda kecamatan, karena walaupun berbeda kecamatan masih dimungkinkan
untuk mengerjakan tanahnya secara efisien. Kemudian juga larangan tersebut
tidak berlaku bagi pemilik tanah yang sedang melaksanakan tugas Negara.
Materi yang terkandung dalam larangan tersebut ialah diharapkan agar
penguasaan tanah itu dapat dimanfaatkan secara aktif agar tidak ada tanah yang
tersia-siakan, karena masih banyak petani yang benar-benar membutuhkan
tanah untuk penghidupannya.
3. Tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara :
Yang dimaksudkan tanah swapraja atau bekas swapraja yang beralih kepada
Negara adalah selain domein swapraja dan bekas swapraja yang dengan
berlakunya UUPA menjadi hapus dan beralih ke Negara, juga tanah-tanah yang
benar-benar dimiliki oleh swapraja, baik yang diusahakan dengan cara sewa-
menyewa, bagi hasil dan lain-lain sebagainya ataupun diperuntukkan tanah
jabatan dan lain-lainnya.
4. Tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara.
Tanah-tanah lain dalam hal ini seperti bekas tanah-tanah partikelir, tanah-tanah
dengan HGU yang telah berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanah-
tanah kehutanan yang diserahkan kembali kepada Negara dan lain-lain.
3.1 Organisasi pelaksana dari program Landreform
Gunawan Wiradi menyatakan bahwa landreform mengacu pada penataan
kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh
tani tak bertanah. Demi terselenggaranya program Landreform dibutuhkan pihak-pihak
pelaksana untuk menjamin terlaksananya serta terwujudnya tujuan yang telah
ditentukan.
Berikut merupakan organisasi pelaksana Landreform, yakni :
1) Panitia Pertimbangan Landreform
Penyelenggaraan landreform menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat
dan pemerintah (semua departemen). Dalam rangka kelancaran pelaksanaan
tugasnya, pemerintah pada permulaan pelaksanaan landreform membentuk
Panitia Landreform di Tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat Il,
Kecamatan dan Desa. Panitia ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.
![Page 7: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/7.jpg)
131 Tahun 1961 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1964 dengan
Keputusan Presiden No. 263 Tahun 1964. Dalam perkembangannya kepanitiaan
ini tidak memenuhi harapan, sehingga dicabut dan sekaligus diganti dengan
organisasi baru yang disebut Organisasi dan Tata Kerja. Penyelenggaraan
Landreform, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1980. Perubahan penting dalam Keputusan Presiden ini adalah mengenai semua
dan wewenang Panitia Landreform beralih dan dilaksanakan masing-masing
oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kepala Daerah Propinsi, Bupati/Walikota
Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Camat dan Kepala Desa/Lurah yang
bersangkutan.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, mereka dibantu oleh sebuah panitia
yang disebut Panitia Pertimbangan Landreform. Panitia ini dibentuk di tingkat
Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota. Tugas panitia ini adalah memberi saran dan
pertimbangan mengenai segala yang berhubungan dengan penyelenggaraan
landreform. Anggota panitia ini terdiri dari unsur/wakil instansi pemerintah
yang ada kaitannya dengan pelaksanaan landreform ditambah wakil dari
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
2) Pengadilan Landreform
Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan landreform dibentuklah Pengadilan Landreform berdasarkan UU
No. 1 Tahun 1964. Tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja
secara efektif. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1970 Pengadilan Landreform ini
dihapus. Apabila terjadi sengketa yang berkenaan dengan Landreform, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui:
(a) Peradilan Umum, berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 apabila sengketa
itu bersifat perdata atau pidana.
(b) Aparat pelaksana landreform apabila mengenai sengketa administrasi.
3) Yayasan Dana Landreform
Yayasan dana landreform merupakan badan otonom yang bertujuan untuk
memperlancar pengurusan keuangan dalam rangka pelaksanaan landreform.
Yayasan ini dibentuk berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun
![Page 8: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/8.jpg)
1961 dan telah diambil alih oleh Departemen Keuangan sejak tahun 1984.
Selanjutnya sumber keuangan yayasan landreform ini adalah:
(a) Dana pemerintah
(b) Pungutan 10% biaya administrasi dari harga tanah yang harus dibayar
oleh petani yang menerima hak milik atas tanah redistribusi
(c) Hasil sewa dan penjualan tanah dalam rangka pelaksanaan landreform
(d) Lain-lain sumber yang sah yang menjadi wewenang Direktorat Agraria
(sekarang Kantor BPN).
3.1 Kendala landreform dalam implementasinya
Menurut buku Politik Hukum Agraria, yang disusun oleh Dr. Herawan
Sauni.,S.H.,M.S., pada asasnya yang menjadi akar permasalahan penyebab tidak
berjalannya ketentuan landreform di Indonesia adalah factor politis, baik yang berkaitan
dengan kondisi politik yang terjadi di Indonesia, maupun perubahan strategi
pembangunan yang terjadi di Indonesia pasca UUPA. Situasi dan kondisi politik yang
terjadi di Indonesia khususnya setelah terjadinya pemberontakan G.30 S PKI tahun
1965 sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan UUPA khususnya program landreform,
yang pada saat itu telah berjalan lebih kurang 3 tahun. Sejak 1965 sampai dengan 1967
praktis program landreform tersebut tidak berjalan karena ada semacam stigma bahwa
program landreform identik dengan Partai Komunis Indonesia. Pengaruh peristiwa G.30
S PKI 1965 yang kemudian memunculkan stigma bahwa landreform dan UUPA sebagai
produk komunis menyebabkan program landreform Indonesia tidak dapat berjalan
dengan baik. Sedangkan pada perubahan strategi pembangunan agraria, adanya PJP I
(Pambangunan Jangka Panjang Pertama) yang dalam implementasinya dijabarkan
melalui pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka pendek (tahunan).
Kasus Cilacap, Landreform Terbesar Era Reformas i
JUMLAH sengketa tanah yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sampai Januari 2010, totalnya ada 9.471 kasus konflik. Menurut Kepala BPN RI Joyo
Winoto, dari jumlah tersebut, 4.578 kasus terselesaikan. Sisanya, 2.913 kasus konflik
dan perkara pertanahan, masih menunggu penyelesaian.
![Page 9: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/9.jpg)
Di antara sengketa itu, BPN menargetkan 210.500 bidang dengan luas total
142.159 ha siap didistribusikan di 21 provinsi, tersebar di 389 desa. Diredistribusi
adalah dinyatakan sebagai reforma agraria. Inti dari reforma agraria adalah landreform
dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah.
Pada masa pemerintahan SBY-Boediono, khusus di Jawa Tengah sendiri, ada
dua kabupaten yang tanah landreform itu sudah diredistribusikan, yakni Kabupaten
Batang dan Kabupaten Cilacap. Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform
Omah Tani Kabupaten dan BPN, akhirnya terdistribusi tanah 32,7 ha ke 144 keluarga di
Desa Kuripan, Kecamatan Subah,Semula tanah itu diklaim milik PT Perkebunan
Nusantara IX.
Proses sengketa tanah sampai penentuan reforma agraria di Kuripan ini terjadi
setelah antara PTPN IX dan warga bersengketa selama 20. BPN menerbitkan sertifikat
gratis. Program redistribusi lahan landreform di Batang dikukuhkan dalam peringatan
100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono.
Bertepatan dengan 50 Tahun Puncak Peringatan Agraria Nasional di halaman
Istana Bogor, Jabar, 21 Oktober lalu, Presiden SBY secara simbolik menyerahkan
sertifikat lahan seluas 291 ha untuk 5.141 keluarga di Kecapatan Cipari Cilacap yang
ada di Desa Mekarsari, Sidasari, Caruy, Kutasari, dan Desa Karangreja. Luas rata-rata
lahan garapan yang diterima warga adalah 500 m2.
Penentuan reforma agraria di Cilacap terjadi setelah sengketa warga dengan PT
Rumpun Sari Antan (RSA) selama 20-an, merupakan terbesar sepanjang sejarah
Indonesia pascareformasi. Keberhasilan sampai ke arah itu, merupakan kerja barang
kalangan pegiat, BPN, dan Komisi II DPR. Termasuk perjuangan penduduk sendiri
serta kerelaan perusahaan perkebunan itu melepaskan sebagian hak guna usahanya
(HGU), dan pihak terkait lainnya.
Landreform tidak diartikan hanya sebatas bagi-bagi tanah. Namun, dalam
penggarapan lahan tersebut, masing-masing warga secara berkelompok diberi
pemberdayaan akses-akses ekonomi terhadap lahan garapannya. Bahkan
pemberdayaannya sampai melibatkan pihak ketiga, misalnya dalam hal pembibitan
sampai distribusi hasil pertanian/perkebunannya.
Menurut Boedi Harsono (dalam Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, 1999), program
![Page 10: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/10.jpg)
landreform di Indonesia meliputi enam hal penting. Yakni 1) pembatasan luas
maksimum penguasaan tanah, (2) larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai.
Ketiga, redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara.
Berikutnya, pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian
yang digadaikan, (5) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Terakhir,
penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Riwayat Landreform
Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru istilah reforma agraria selalu
dihubungkan dengan stigma komunis. Menurut anggota Komisi II DPR Budiman
Sudjatmiko MSc MPhil, itu merupakan salah kaprah sehingga tidak berdasar. Hal itu
sengaja disebarkan Orde Baru untuk mencegah pelaksanaan reforma agraria karena
strategi pembangunan yang berorientasi modalisme di mana pembangunan
membutuhkan lahan-lahan itu untuk perkebunan-perkebunan modal besar, asing
maupun dalam negeri.
Padahal di sejumlah negara nonkomunis, kata tokoh demokrasi ini, reforma
agraria pun dilakukan, seperti Jepang dan Taiwan. Di Tanah Air, reforma agraria secara
substansial dimuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lahir di
masa Orde Lama. UUPA mengakui secara nyata kepemilikan pribadi, ini menunjukkan
bahwa UUPA jelas tidak identik dengan komunis.
Reforma agraria era mutakhir, jelas Budiman, telah menghadapi empat problem
mendasar. Pertama, tumpang-tindih peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan
perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang dan bahkan bertentangan
baik terhadap UUD 45 maupun UUPA dan UU lain. Kedua, orientasi pemerintah, baik
pusat maupun daerah yang menggenjot kemanfaatan dan distribusi agraria tanpa bicara
soal pemerataan dan penyelesaian konflik.
Ketiga, egoisme dalam sektor-sektor birokrasi yang luar biasa, sehingga
menyebabkan satu sama lain tidak sinergis bahkan juga sabotase terhadap program yang
tidak berkenan di sektornya. Keempat, problem kekuasaan riil dan konkret di tingkat
![Page 11: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/11.jpg)
bawah, di desa-desa, di mana praktik reforma agraria dilakukan. Mereka boleh jadi elite
desa, partai di tingkat lokal, makelar tanah, dan seterusnya yang siap menyabotase
praktik penyelenggaraan reforma agraria.
Menurut pegiat landreform Handoko Wibowo SH dari Divisi Hukum Omah
Tani Kabupaten Batang, dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan
kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah
melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya.
Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti
Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan China), Afrika, dan Amerika Latin, menunjukkan
setidaknya ada 10 aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara
negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni mandat konstitusional, hukum agraria
dan penegakannya, organisasi pelaksana, sistem administrasi agraria, pengadilan, desain
rencana dan evaluasi, pendidikan dan latihan, pembiayaan, pemerintahan lokal, dan
partisipasi organisasi petani. (Yunantyo Adi S-20)
![Page 12: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/12.jpg)
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Landreform di Indonesia memberikan ganti rugi yang layak di Indonesia. Di
Indonesia tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah diredistribusikan kepada para
petani penggarap dengan Hak Milik yang dipungut uang pemasukan. Landreform
Indonesia bertujuan untuk memperluas pemilikan tanah para petani kecil, petani
penggarap dan buruh tani. Dalam perkembangan pelaksanaan Landreform di
Indonesia mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas, dimana hambatan
utama pelaksanaan Landreform adalah lemahnya kemauan politik dari Pemerintah,
yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang
memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk
petani yang memang membutuhkan tanah. Fenomena yang terjadi sekarang ini
menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu. Kelangkaan
tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
3.2 Saran
Perkembangan masyarakat pada saat ini serta kebutuhan akan tanah yang
meningkat, program Landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus
didukung oleh kemauan politik Permerintah, oleh karena itu kebijakan pertanahan perlu
untuk diperbaharui sesuai konsep pembaharuan agraria dan paradigma baru yang
mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis dan partisipatif.
Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan, maka usaha itu perlu
disertai tindakan-tindakan lainnya, misalnya pembukuan tanah, pembukaan tanah
pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas,
ketersediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah
![Page 13: Makalah Hukum Agraria.a4](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082420/553c131655034692368b4804/html5/thumbnails/13.jpg)
serta tindakan-tindakan lainnya. Selain itu juga diperlukan adanya penegakan hukum
yang pasti dan kesadaran akan aturan yang berlaku dari masing-masing anggota
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, David.1995. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Boedi, Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan
pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan.
Cangara,Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cutlip, Scott. Center, Allen. Broom, Glen. 2006. Effective Public Relations. Jakarta:
Persada Media.
Herawan, Sauni. 2006. Politik Hukum Agraria Kajian Atas Landreform Dalam rangka
Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Bengkulu : Pustaka Bangsa Press.