Makalah Hadits Maudhu
-
Upload
astiwinast -
Category
Documents
-
view
763 -
download
40
Transcript of Makalah Hadits Maudhu
makalah hadits maudhu'
BAB IPENDAHULUAN
1. Latar belakangMasalah hadits maudhu berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah
Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah
untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Akibat perpecahan politik
ini, hampir setiap golongan membuat hadits maudhu untuk memperkuat golongannya masing-
masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk
diperbincangkan, salah satuanya adalah mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi
dalam keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang
menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya
secara langsung.
Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang dituntut untuk mengkaji dan memahami polemik problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits maudhu.
2. Rumusan masalah
1) Apa yang dimaksyud dengan hadits maudhu?
2) Mengapa muncul hadits maudhu?
3) Bagaimana realitas hadis maudhu?
BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MAUDU’ (PALSU)
A. Pengertian hadits Maudu’
Maudu’ berasal dari isim maf’ul dari اوض���ع يض���ع وض���ع menurut bahasa
seperti (meletakan atau minyimpan).[1]
Sedangkan menurut istilah hadits maudu’ adalah hadits yang dibuat-buatatau diciptakan atau
didustakan atas nama nabi[2]
Dan para ahli hadits mendifinisikan hadits maudu’ adalah:
�م ا ل �ا م�م��� ذب �ق�ا و� ك��� �ال ت �م� إخ ل ه� و�س� �ي ول� الل ه ص�ل�ى الل ه ع�ل س& �ل�ى ر� &س�ب� إ ه&و� م�ا ن
ه& �ق&ل ه& ي &ق�ر� و ي� ه& أ �فع�ل و ي
� أ
“hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan [3]
�م� ل ه� و�س��� �ي�� ه ع�ل ل�ى الل�� ه ص��� ول& الل��� س��& �ل�ى ر� وب& ا س& م�ن &وع& ال م�صن �ع& ال �ل ت م&خ ه&و� ال� �و خ�ط�أ �ك� ع�مد�ا ا �ان� ذ�ل و�اء= ك �ا س� �ان &هت ا و�ب زور�
“hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbahkan
kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun tidak” [4]
Dari pengertian diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan maupun
taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat islam,hadits
maudhu’ disebut juga dengan Hadits palsu.[5]
B. Sejarah Munculnya Hadits Maudhu
Masuknya secara masal penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan dari
keberhasilan dakwah islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor
munculnya hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka
keislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang mennganut
agama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada waktu itu. Golomngan ini
kita kenal dengan kaum Munafik.[6]
Golongan tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasa
menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-
orang islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah
yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa
Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang menyatakan telah memeluk
islam.
Dengan bertopengkan pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk
fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada
Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Halitu karena, menurut Abdullah
bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk mendukung propoganda tersebut, ia
membuat suatu haditds maudhu’ yang artinya “ setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan
penerima mwasiatku dalahali”.
Namun penyebaran hadits Maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih
banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatu
kepalsuan suatu hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi
SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits secara
tidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian
shahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik antara umat Islam yang semakin hebat,
telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan
penguasa untuk memalsukan hadits.
C. Faktor-faktor penyebab munculnya Hadits maudhu’
Terdapat beberapa faktor tentang penyebab hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai
berikut:
1. Pertentangan politik dalamm soal pemilihan khalifah
Kejadian ini timbul sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh para
pemberontak. Pada masa itu Umat Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Diantara
golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka membuat
hadits palsu, yang pertama yang paling banyak membuat hadits Maudhu’ adalah golongan Syiah
dan Rafidhah.[7]
Diantara hadits-hadits yang dibuat golongan syiah adalah:
م� ف�ي اه�ي ر� �ب �ى إ �ل �قو�اه& و�إ &وحD ف�ى ت �ى ن �ل م�ه� و�إ ل �د�م� ف�ى ع� �ى ا ظ&ر� إل �ن �ن ي اد� أ �ر� م�ن ا
Jي� �ل�ى ع�ل ظ&ر إ �ن ي �ه� ف�ل �اد�ت ب س�ى ف�ي ع� ي �ل�ى ع� �ه� و�إ �ت ب �ل�ى م&وس�ى ف�ى ه�ي م�ه� و�إ ل ع�
“ Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang
ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang
kehebatannya, ingin melihat isa tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali.
&وه& &ل �ه� ف�اقت &م م&ع�او�ي ت �ي أ �ذ� ر إApabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia.
Gerakan-gerakan orang syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan
tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat-buat hadits-hadits palsu.
Contoh hadits palsu
ه � الل��� �ال ه� إ �ل��� �إ ه�ا: ال ق�ةD م�ن &لJ و�ر� &وب= ع�ل�ى ك ت � م�ك �ال ة= إ ج�ر� �ة� ش� ن ج� م�ا ف�ى ال
ان& ذ&و م��� وق&, ع&ث ار& ف��� ر& ال ق&, ع&م��� دJي Jالص�� Dر �ك�� و ب �ب��& ول& الل ه, أ س& م&ح�م�د= ر�
. ن� ي Zور� الن Tak ada satu pohon pun daklam syurga, melainkan tertulis pada tiap-tiap dahannya: la ilaha
illallah, Muhammadur Rasulullah, Abu bakar Ash-Shiddieq, Umar Al-faruq, dan Utsman
Dzunnuraini.
Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat pula hadits palsu yang menertangkan
keutamaan Muawiyyah, diantaranya:
�ة&ا ل& و� م&ع�او�ي ر�ي ب �ا و�ج� �ن �ة=: أ �ث �ال �اء& ث &م�ن �ألOrang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu Aku, Jibril Dan Muawwiyah.
2. Adanya Kesengajaan dari pihak lain untuk merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa
menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan
Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan
sejumlah besar hadits Maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam.[8] Sejarah
mencatatAbdullah Bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Agama Islam.
Oleh sebab itu, dia berani menciptakan hadits Maudhu’ pada saat masih banyak sahabat utama
masih hidup. Diantara hadits Maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang zindiq tersebut, adalah:
اة� م&ش� �ق& ال &ع�ان �ان� و� ي ب ك Zص�اف�ح& الر& , ي Dق �ور� �ة� ع�ل�ى ج�م�لD ا ي �ا ع�ش� Zن ب ز�ل& ر� �ن يTuhan kami turunkan dari langit pada sore hari, di Arafah dengan bekendaraan Unta kelabu,
sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang
yang sedang berjalan.[9]
�اد ة= ب ل� ع� ج�م�ي و�جه� ال �ل�ى ال �ظر& إ النMelihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadits Maudhu’ dari kalangan Zindiq, adalah:
a) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4.000 hadits Maudhu tentang hukum
halal-haram.
b) Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
c) Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.[10]
3. Mempertahankan Mahzab dalam masalah Fiqh dan masalah Kalam
Mereka yang fanati terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat
mengagkut kedua tangan shalat, membuat hadits Maudhu’sebagai berikut.
�ه& �ة� ل � ص�ال �ة� ف�ال ه� ف�ي ال ص ال �د�ي ف�ع� ي م�ن ر�Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya.
4. Membangkitkan gairah beribadah untuk Mendekatkan diri kepada Allah
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits yang
dibuat oleh Nuh ibn Maryam, seorang tokoh hadits maudhu,tentang keutamaan Al-Qur’an.
Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “ Saya dapati manusia telah
berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat
umat kembali kepada Al-qur’an.[11]
5. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.
Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul mukminin Al-
Mahdi, yang sedang bermain merpati. Lalu iya mentyebut hadits dengan sanadnya secara
berturut-turut sampai kepada nabi Saw., bahwasanya beliau bersabda:
Dاح� ن و ج�� اف�رD أ و ح�
� و خ&فb أ� �صلD أ � ف�ي ن �ال �ق� إ ب � س� ال
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung
yang bersayap.
Ia menambahkan kata, ‘atau burung yang bersayap’, untuk meyenagkanAl-Mahdi, lalu Al-
Mahdi memberinya sepuluh dinar. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa
tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu memerintahkanuntuk
menyembelih mengerti itu.[12]
D. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
1. Ciri-ciri yang terdapat pada Sanad
a) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya
yang meriwayatkan hadits dari dia[13]
b) Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawwuf, ketika ditanya
oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab: “tidak seorang pun yang
meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an,
kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka
menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”[14]
c) Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan seorang rawi
bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-
Sarawi mengaku bahwa ia menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka
Ibnu Hibban bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250 H.”
Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d) Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Misalnya seperti
yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang
bermain dengan burung merpati yang berkata:
Dاح� ن و ج�� اف�رD أ و ح�
� و خ&فb أ� �صلD أ � ف�ى ن �ال �ق� إ ب � س� ال
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau
mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu
Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia
memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.[15]
2. Ciri-ciri yang terdapat pada Matan
a) Keburukan susunan lafadznya. Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu bayan.
Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang keluar dari
mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Rasulullah SAW.
b) Kerusakan maknanya.
1) Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
ن� �ي ع�ت ك � ر� م�ق�ام �ال ع�ا و�ص�ل�ت ب ب ت� س� ب ت� س� �ي ب �ا ل �وحD ب �ة� ن ن ف�ي �ن� س� اSesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang dimaqam
Ibrahim dua raka’at.
2) Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti
Hadits:
ة= ه� ح�اج� �ل ه� ف�ي &ود= ل �ة� م�ول م�ائ �عد� ال �د& ب &ول �ي الTiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.
3) Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
Dء ي &لJ ش� ف�اء= م�ن ك ج�ان& ش� �اذ�ن ب �ل اBuah terong itu penawar bagi penyakit.
4) Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal kepada Allah.
Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita
menghukumi palsu hadits berikut ini:
ه�ا �فس� ل�ق� ن اه�ا ف�ع�ر�ق�ت ف�خ� جر�� ف�ر�س� ف�أ ل�ق� ال �له� خ� �ن� ال إ
ه�ا م�نSesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda
itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
5) Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits yang
menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq mempunyai panjang tigab ratus hasta. Ketika Nuh
menakutinya dengan air bah, ia berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja.
Kalu mau makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu membakar ikan yang diambilnya
kepanas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.
6) Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
�ي ب �ي ب ب& ح� �ي ب �ي وح� ب �ي ب �ض& ح ي �ب ك& األ �لدJي اAyam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.
7) Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah.
Seperti Hadits:
Dاء� ن ع�ة� أب ب �ل�ى س �ة� إ ن �د خ&ل& الج� �ي �ا ال ن Jد& الز� و�لAnak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan.
Makna hadits diatas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
&خر�ى أ ر� ة= و�ز �ز�ر& و�از�ر� �ت و�الDan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orng lain.
Seorang anak sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
8) Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil,
atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:
&ود&ه& ف�ى �ان� ه&و� و�م�ول م�اه& م&ح�م�د�ا، ك �د= ف�س� �ه& و�ل �د� ل م�ن و&ل
�ة� ن ج� الBarangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu
seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa
yang dapat memintakan ampun kepadanya.
E. Hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’
Umat Islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan
sengaja adalah haram secara mutkaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits itu palsu.
Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa
hadits ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya), tidak ada dosa
atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan
makna hadits tersebut karena tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi, sesudah
mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah
hadits palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan, sedangkan dari jalan
atau sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya tidak boleh.
F. Kitab-kitab yang memuat hadits maudhu’
Para ulama muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi kritis hadits, berhasil
mengumpulkan hadits-hadits maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak, di antaranya;
1. Al-Maudhu’ Al-Kubra, karya Ibn Al-jauzi (ulama yang paling awal menulis dalam ilmu ini).
2. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti (Ringkasan Ibnu Al-jauzi
dengan beberapa tambahan).
3. Tanzihu Asy-Syari’ah Al-marfu’ah an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya Ibnu Iraq
Al-kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifak, karya Al-albani
G. Cara mengetahui hadits maudhu
a) Adanya pengakuan dari pembuatannya
b) Maknanya rusak, dalam arti bertentangan dengan alqur’an, hadits mutawatir dan hadits shahih
c) Matannya menyebutkan janji yang besar untuk perbuatan kecil.
d) Rawinya pendusta.[16]
BABIII
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian hadits maudhu mempunyai bermacam-macam pendapat, walaupun demikian
dapat ditarik kesimpulah bahwa hadits maudhu adalah hadis palsu yang dibuat oleh seseorang
dan disandarkan kepada nabi Muhammad saw. Adapun latar belakangnya hadits maudhu tersebut
hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap suatu golongan tertentu.
Hadits maudhu dapat diidentifikasi keberadaannya dengan mengetahuinya berdasarkan
metode-metode tertentu, misalnya mengetahui ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matannya.
Menyikapi terhadap adanya hadits maudhu sangat beragam, ada sekelompok orang yang
menyikapinya dengan menerima tanpa pertimbangan tertentu, ada pula yang menerimanya
dengan berbagai catatan tertentu, bahkan ada pula yang tidak menerimanya sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah Abu Ghuddah, lamhat Min Tarikh As-Sunnah wa Ulum Al-Hadits
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974
Drs. Munzier suprapto. M. A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada,
Jakarta, 1993
Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag, dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul Hadits, Bandung:
Pustaka Setia, 2009
Khusniati Rofiah, studi ilmu Hadits, stain po prees, bandung, 2010
Mahmud abu rayah, adlwa’ ‘ala sunnah al muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Mekah, 1997
Mahmud At-Tahhan, Tafsir Musthalah Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979
M. ‘Ajjaj Al-Khatib. Ushul Al-Hadits. Terj. H. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya
Media Pratama. 1997
M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987
Subhi as-Salih, ‘ulum al-hadits wa Mustalahahuh, Dar al-ilm al-malayin, 1997
[1] Drs. Munzier suprapto. M. A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada, Jakarta, 1993, h, 191[2] Mahmud abu rayah, adlwa’ ‘ala sunnah al muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Mekah, h 199[3] Subhi as-Salih, ‘ulum al-hadits wa Mustalahahuh, Dar al-ilm al-malayin, 1997, h, 263[4] Mahmud abu rayah,Op cit, h 119[5] M. ‘Ajjaj Al-Khatib. Ushul Al-Hadits. Terj. H. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm, 352.[6] Abdul Fatah Abu Ghuddah, lamhat Min Tarikh As-Sunnah wa Ulum Al-Hadits, hlm 41[7] M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987. Hlm 246.[8] Mahmud At-Tahhan, Tafsir Musthalah Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979, hlm 91[9] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974, hlm 177.[10] Fathur Rahman. Op. Cit. Hlm179 ن[11] Ash-Shiddiqy. Op. Cit.hlm. 254.[12] Al-qaththan. Op. Cit. Hlm. 149.[13] Ash-Shiddieqy. Op. Cit. Hlm 237[14] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag, dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 182.[15] Rahman. Op. Cit. Hlm. 170.[16] Khusniati Rofiah, studi ilmu Hadits, stain po prees, bandung, 2010
Makalah “Hadist Maudhu’”
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Faktor yang paling mendasar dari penyebab pentingnya penelitian terhadap riwayat adalah timulnya pemalsuan hadits dan banyaknya bermunculan hadits-hadits palsu. Kemunculan riwayat hadits palsu yang tersebar di masyarakat, menyulitkan masyarakat Islam yang ingin mengetahui riwayat yang dipertanggungjawabkan.
Hadits-hadits maudhu’ yang beredar di masyarakat hampir menjadi tradisi, anutan dan pedoman beragama, bahkan dianggap sebagai hadits yang berasal dari Nabi. Kondisi demikian dapat mengacaukan, oleh karena itu penelitian terhadap hadits-hadits maudhu’ sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman masyarakat merupakan suatu misi yang sangat penting untuk dilakukan.
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan mencoba membahas beberapa poin tentang hadits maudhu’, yaitu:
1. Pengertian Hadits Maudhu’2. Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu’3. Status Hadits Maudhu’4. Metode Periwayatan Hadits Maudhu’5. Bagaimana kaidah-kaidah untuk Mengetahui Hadits Maudhu’6. Usaha-usaha untuk Menyelamatkan Hadits
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits Maudhu’
Secara bahasa, kata maudhu’ merupakan isim maf’ul dari وضع yaitu موضوع yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Rumusan pengertian secara istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut:
او عمدا ذالك كان سواء وبهتانا زورا صلعم الله رسول الى المنسوب المصنوع المختلق الموضوع:Artinya خطاء
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secar dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.[1]
Jadi hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Pada mulanya para ulama’ berbeda pendapat tentang benar tidaknya terjadi pemalsuan hadits jika dilihat dari periwayatannya. Dalam hal ini ada tiga pendapat di kalangan para Muhadditsin.
Pendapat pertama, dianut oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma’ruf Asy-Syi’I yang menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan munculnya riwayat hadits maudhu’ mulai terjadi pada periode Nabi Muhammad SAW, didasarkan pada hadits Nabi yang mengecam keras terhadap setiap orang yang berusaha melakukan pendustaan diri Nabi, berupa berita atau pembuatan hadits. Sebagaiman sabda Nabi:
النار من مقعده فليتبواء متعمدا علي كذب من
Artinya:
“Barangsiapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.
Pendapat kedua, dingkapkan oleh Akram Al-Umari yang menyatakan bahwa gerakan pemalsuan hadits mulai terjadi sejak paruh kedua kekhalifahan Utsman Ibn Affan. Pada masa itu timbul pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat palsu yang beredar dan berawsal dari kalangan sahabat, salah satunya riwayat Ibn Addis dari Rasulullah SAW:
(sandal Utsman lebih sesat daripada Ubaidah). Dengan riwayat tersebut bisa diduga bahwa Ibn Addis adalah orangn yang pertama melakukan pemalsuan hadits.
Pendapat ketiga, dikemukakan oleh Abu Syuhbah dan Abu Zahu, yang mengambil dasar pendapatnya dari masa terjadinya penyusupan musuh-musuh Islam ketika terjadinya masa al-fitnah (kekacauan) pada masa kepemimpinan Utsman.[2]
2. Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu’
Pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Hal ini didorong oleh beberapa motif, antara lain:[3]
1. Pertentangan Politik
Perpecahan umat Islam yang terjadi pada masa kekhalifahan ali bin Abi Thalib besar sekali pengaruhnya terhadap kemunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya ke dalam Alqur’an dan sunnah untuk mengunggulkan kelompoknya. Menurut Ibn Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj Al-Balaghah, bahwa pihak yang pertama membuat hadits adalah dari golongan Syi’ah, dan ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan hadits lain yang juga maudhu’. Contoh hadits palsu yang dibuat oleh golongan Syi’ah:
Artinya:
“Wahai Ali sesungguhnya Allah SWT telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, keluargamu, (golongan) Syi’ahmu, dan orang yang mencintai (golongan) Syi’ahmu”.
Sedangkan golongan Khawarij menurut data sejarah tidak pernah membuat hadits palsu.
1. Usaha Kaum Zindik
Kaum Zindik termasuk kaum yang membenci Islam. Mereka tidak mungkin melakukan konfrontasi dan pemalsuan terhadap Alqur’an, maka cara yang digunakan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam.
Abdul Karim Ibn ‘Auja’ yang dihukum oleh Muhammad bin Sulaiman bin Ali, mengaku telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 hadits. Contoh hadits golongan Zindik antara lain:
“Melihat wajah cantik termasuk ibadah”.
1. Fanatik terhadap Suku, Bahasa, Bangsa, Negeri dan Pimpinan
Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
1. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
Pemalsuan hadits dilakukan untuk memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakana terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Contohnya:
“Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”.
1. Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqh dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Diantara hadits palsu tentang masalah ini adalah:
1. Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya tidak sah2. Jibril menjadi Imamku dalam shalat Ka’bah, Ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.3. Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.4. Membangkitkan Gairah Beribadat, tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan.
Banyak ulama’ yang membuat hadits palsu dan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadhillah membaca surat-surat tertentu dalam Alqur’an.
1. Menjilat Penguasa
Ghiyats bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang “perlombaan”. Matan asli sabda Rasulullah berbunyi:
Kemudian Ghiyats menambah kata dalam akhir hadits tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari khalifah Al-Mahdy. Setelah mendengar hadits tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah 10.000 dirham, namun ketika berbalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya, seraya berkata aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah. Saat itu juga khalifah memerintahkan untuk menyembelih burung merpatinya.
3. Status Hadits Maudhu’
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’. Alasan yang dikemukakan berkaitan erat dengan definisi dari hadits maudhu’ sebagai hadits yang mengandung unsure yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Dalam hal ini ada dua pandangan, pertama, diwakili oleh Ibn Shalah dan diikuti Jumhur Muhadditsin, berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif, tetapi tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya. Kelompok kedua, diwakili oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berbeda pendapat bahwa hadits maudhu’ bukan termasuk hadits dhaif, bahkan bukan bagian dari hadits atau bukan hadits. Sebaliknya para ulama’ lainnya tetap berpendirian bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Hal ini berdasarkan pada realitas empirik bahwa kebanyakan para muhadditsin memasukkan hadits maudhu’ dalam kitab hadits mereka.[4]
Menurut Al-Hakim (seorang ulama’ hadits akhir abad ke-4 yang mampu menembus kevakuman “ijtihad” pada masanya) berpendapat bahwa hadits ia tidak pernah membenarkan hadits maudhu’ sebagai hadits. Ia juga tidak pernah membenarkan bahwa hadits lemah bisa dijadikan sebagai landasan aqidah dan muamalah. Secara metodologis, al-Hakim sudah mengantisipasi sejak semula bahwa ada bagian-again tertentu yang diperbolehkan tasahul. [5]
4. Metode Periwayatan Hadits Maudhu’
Ada dua metode dalam proses pembentukan atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya.[6]
1. Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
2. Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, tabi’in, para hakim, atau lainnya, kemudian disandarkan pada Nabi SAW, dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga menjadi musnad yang marfu’.
5. Kaidah-kaidah Mengetahui Hadits Maudhu’
Tidak mudah orang dapat membeda-bedakan hadits-hadits yang dipalsukan orang. Hanya oleh ahli hadits yang luas pengetahuannya tentang Ilmu Hadits cukup muthala’ahnya, tajam otaknya, kuat pahamnya serta mempunyai malakah yang kuat.[7]Ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadits itu palsu atau shahih, di antaranya
a) Dalam Sanad
1. Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu, sebagaimana pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam yang telah membuat hadits tentang fadhilah membaca Alqur’an.
2. Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang Syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.
3. Meriwayatkan hadits sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Ssementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain. Maka hal ini ditetapkan sebagai hadits maudhu’.
b) Dalam Matan
1. Buruknya redaksi hadits. Dari redaksi yang jelek akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits Nabi SAW, kecuali bila si perawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar datang dari Nabi.
2. Maknanya rusak, Ibnu Hajar menerangkan bahwa kejelasan lafadz ini dititikberatkan pada kerusakan arti.
3. Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Alqur’an atau hadits yang lebih kuat, atau ijma’.
4. Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil.
5. Hadits yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya.
6. hadits yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat. :[8]
6. Usaha-usaha Menyelamatkan hadits.
Para ulama’ hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebnagai berikut:
1) meneliti system sandaran hadits.
2) Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya.
3) Studi kritik rawi, yang lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
4) Menyusun kaidah-kaidah umum untuk memilih hadits-hadits,yaitu dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih, hasan dan dhaif.
Mulai saat itu perkembangan ilmu hadits melaju bagitu cepat demi menyelamatkan hadits-hadits Rasul ini. Pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadits. Bersamaan dengan itu muncullah berbagai macam Ilmu hadits, khususnya yang berkaitan dengan penelitian sanad hadits, antara lain ialah Ilmu Rijal Al-Hadits dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadits itu, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits palsu dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam 4 jilid, dsb.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan pada Rasul.
Apapun alasan membuat hadits palsu, merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw.
Dengan berbagai kaiddah dan ilmu hadits serta telah dibukukannya hadits mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadits palsu yang sangat sempit. Hadits-hadits yang berkembang di masyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya.
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kritik dan saran selalu kami harapkan agar dapat kami buat sebagai pijakan dalam makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah inidapat dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Munzier Suparta, M.A, 2002,Ilmu Hadits, Jakarta, PT Grafindo Persada.
Dr. Mohamad Najib, 2001, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’, Bandung, Pustaka Setia.
Dr. M. Abdurrahman, 1999,Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits Hadits), Jakarta, Paramadina.
A. Qadir Hassan, 1996,Ilmu Musthalah Hadits, Bandung, CV Diponegoro.
[1] Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadits, Jakarta, PT Grafindo Persada, 2002, hal. 176
[2] Dr. Mohamad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hal. 49.
[3] Drs. Munzier Suparta, MA, op.cit., hal. 181-188
[4] Dr. Mohamad Najib, op.cit., hal. 47.
[5] Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits Hadits), Jakarta, Paramadina, 1999, hal. 234.
[6] Dr. Mohamad Najib, op.cit., hal.57.
[7] A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung, CV Diponegoro, 1996, hal. 122.
[8] Drs. Munzier Suparta, op.cit., hal. 189- 191
HADITS MAUDHU’ (HADITS PALSU)
Januari 25, 2009 pada 12:50 pm · Disimpan dalam Ilmu Hadits
Oleh: Dede KS, Mustafa Azmi, Haliman
A. Pengertian Hadits Maudhu
secara الحديث bahasa berarti ,الجديد yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti
berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang , الخبر
yang lain. Sedangkan merupakan derivasi موضع dari kata وضعا – يضع – yang secara bahasa وضع berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat.
Adapun pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah:
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السالم إختالفا و كذبا مم ا لم يقله أويقره
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.
Dr. Mahmud Thahan didalam kitabnya mengatakan,
اذا ك��ان س��بب الطعن فى ال��روى ه��و الك��ذ ب على رس��ول الل��ه فح��د يث��ه يس��مىالموضع
Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه والسالم
Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah
( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
B. Sejarah Perkembangan Hadits Palsu
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Diantara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:
a. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan dengan sebuah hadits yang matannyaأ مقعده من الن�ار دا فليتبو� Menurutnya hadits . من كذب علي� متعم�tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
b. Menurut jumhur muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.
C. Motif-motif yang mendorong pembuatan hadits maudhu’
Ada banyak hal yang mendorong seseorang untuk membuat hadits palsu (maudhu’), yaitu diantaranya:
a. Mempertahankan ideologi partai (golongan)nya sendiri dan menyerang golongan yang lain. Pertentangan politik kekhilafahan yang timbul sejak akhir kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib bisa dikatakan sebagai sebab munculnya golongan-golongan yang saling menyerang dengan pembuatan hadits-hadits palsu. Misal munculnya Syiah, kemudian Khawarij. Golongan Syiah yang paling banyak menciptakan hadits palsu ialah Syiah Rafidhah. Kaum Syafi’i mengatakan “saya tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta selain kaum Rafidhah”.
Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait, bahkan mereka pun menciptakan hadits tentang keutamaan Fatimah. Misalkan hadits yang mereka buat sebagai berikut:
�ان��ة فك��ة بقاطم��يدة خديج��ا فعلقت الس��ة قاكله��فرجلة من الجن��ل بس��اه جبري� لما اسرى النبي اتاذاشتاق الى رائحة
الجنة شم فاطمة
“Ketika Nabi diisra’kan, Jibril datang memberikan buah Safarjalah dari surga. Kemudian sayyidah Khodijah menghubungkan buah tersebut dengan Fatimah. Karena itu apabila Rasulullah rindu akan bau-bauan surga, beliau lalu mencium Fatimah”
Kepalsuan hadits ini sangat jelas sekali, sebab Khodijah telah meninggal sebelum peristiwa Isra. Disamping mereka membuat hadits-hadits palsu untuk memuji golongan mereka sendiri, mereka pun membuat hadits-hadits untuk menyerang golongan yang lain. Misalkan mereka membuat hadits untuk menjelek-jelekan Muawiyah sebagai berikut:
ااذا رايتم معاوية على منبرى فاقتله
“Apabila kamu melihat Muawiyah berada diatas mimbarku, maka bunuhlah dia”
a. Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Zindiq, mereka membenci melihat kepesatan tersiarnya agama Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka merasa sakit hati melihat orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Dengan maksud untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam mereka membuat beribu-ribu hadits palsu dalam bidang aqidah, akhlaq, pengobatan dan hokum tentang halal dan haram. Diantara hadits palsu yang mereka ciptakan ialah:
“Tuhan kami turun dari langit pada sore hari di Arafah, dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang berjalan”.
a. Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan, dan kultus terhadap Imam mereka. Mereka yang ta’asub (fanatik) kepada bangsa dan bahasa parsi menciptakan hadits maudhu sebagai berikut:
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالعربية واذا رضى انزل الوحي بالفارسية
“Sesungguhnya Allah apabila marah, maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila reda maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Parsi”
Kemudian golongan yang tersinggung membalas dengan membuat hadits yang palsu pula, “Sesungguhnya Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dalam bahasa Parsi dan apabila reda maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan diantara contoh hadits-hadits palsu yang bermotiv karena kultus terhadap imam diantaranya:
سيكون رجل في امتي يقال ابو حنيفة النعمان هو نوراامتي
“Nanti akan lahir seorang laki-laki pada umatku bernama Abu Hanifah an-Nu’man, sebagai pelita umatku”
Ada juga golongan Syafi’iyah yang sempit pandangannya dan melibatkan diri untuk membuat hadits palsu untuk melawan pengikut-pengikut Abu Hanifah:
“Akan lahir seorang laki-laki pada umatku yang bernama Muhamad bin Idris, yang paling menggetarkan umatku daripada iblis”
a. Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para pendengarnya.
Kisah dan nasihat itu mereka nisbatkan kepada nabi, misalkan kisah-kisah yang menggembirakan tentang surga:
“Didalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang berbau harum semerbak, masa tuanya berjuta-juta tahun dan Allah menempatkan mereka disuatu istana yang terbuat dari mutiara putih. Pada istana itu terdapat tujuh puluh ribu papiliun yang setiap papiliun terdapat tujuh puluh ribu kubah. Yang demikian itu tetap berjalan selama tujuh puluh ribu tahun tanpa bergeser sedikitpun”
a. Mempertahankan madzhab dalam masalah khilafiyah fiqhiyah dan kalamiyah.
Mereka yang menganggap tidak syah shalat dengan mengangkat tangan dikala shalat, membuat hadits palsu:
من رفع يديه في الصالة قال صالة له
“Barangsiapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat maka tidaklah sah shalatnya”
Dan masih banyak lagi motiv-motiv seseorang membuat hadits palsu, diantaranya dengan motiv untuk mencari muka dihadapan penguasa, dank arena memang kejahilan seseorang didalam ilmu agama.
D. Ciri-Ciri Hadits Maudhu
a. Dalam hal Sanad 1. Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan salah seorang guru tasawuf ketika ditanya
oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an, serentak ia menjawab: “Tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia sama benci terhadap Al-Qur’an, kami ciptakan hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an) agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.
2. Qorinah-qorinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits palsu (maudhu). Misalnya seorang rowi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang sudah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
3. Hadits maudhu memang yang paling banyak tidak memiliki sanad.b. Dalam hal matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits palsu atau hadits maudhu, dapat ditinjau da
ri segi makna dan segi lafadznya. Dari segi makananya, maka makna hadits itu berte-
ntangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma dan akal sehat.
Adapun dari segi lafadznya yaitu susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.
E. Sumber-Sumber Yang Diriwayatkan
Para pembuat hadits maudhu, dalam menjalankan aksinya kadang-kadang mengambil dari pikirannya sendiri. Dan kadang-kadang menukil perkataan sesorang yang dianggap alim pada waktu itu, atau perkataan orang alim mutaqaddimin. Misalnya Hadits maudhu yang dinukil dari perkataan seorang alim mutaqaddimin: “Cinta keduniaan ialah modal kesalahan”. Hadits ini mereka (para pembuat hadits palsu) katakan bersumber dari nabi, padahal ini merupakan perkataan Malik bin Dinar.
HADIS MAUDHU DAN PERMASALAHANNYA
BAB IPENDAHULUAN
Suatu fakta yang lumrah. Bila manusia selalu mencoba memalsukan
sesuatu yang berharga, seperti permata, berlian atau segala hasil kerja seni,
dan lain-lain. Bagi orang Islam selain Al-Quran tidak ada yang lebih berharga
dibandingkan dengan sunnah Nabi. Oleh sebab itu, dari motivasi dan untuk
tujuan berbeda, berbagai kelompok dan tingkatan manusia, telah
memalsukan hadis Nabi. Banyak di antara mereka kelompok ortodoks, dan
lainnya adalah mereka yang telah kehilangan tanah airnya dan masih buta
huruf. Namun mereka terkadang berniat baik terhadap orang muslim dengan
pemalsuan hadis tersebut. Hadis palsu yang disandarkan kepada Nabi dapat
dikelompokkan pada dua kategori yaitu pemalsuan yang disengaja. Itu
disebut hadis maudhu dan pemalsuan yang tidak disengaja.
Akibat yang ditimbulkan oleh kedua kondisi ini adalah sam yaitu
munculnya ungkapan palsu yang disandarkan kepada Nabi.1[1] Hadis dhaif
merupakan hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis shahih
misalnya karena tidak bersambung sanadnya (adam al- ittishal) tidak adil
1[1] M. Mustafa Azami. Metodologi kritik hadis, Bandung, pustaka Hidayah, 1996, hal. 105
dan tidak dapat diandalkan kekuatan daya ingat atu hafln perawi daalm
seluruh sanadnya (‘adam ‘adl wa dhabith ar-ruwah), atau karena adanya
keganjilan baik dalam sanad atau matan, dan atau karena adanya cacat-
cacat yang tersembunyi baik dalam sanad maupun dalam matan.2[2]
Berbagai dampak positif yang terkandung dalam pernyataan-
pernyataan hadis lemah dan hadis palsu tidak dapat menghilangkan dampak
negatifnya. Masyarakat yang tingkat pengetahuan dan pendidikannya makin
tinggi akan mempunyai kesan yang salah tentang sumber ajaran Islam itu
sendiri. Berbagai kritik negative yang ditimbulkan oleh keyakinan
masyarakat, khususnya umat Islam, tentang ajaran Islam yang mereka
pahami dari petunjuk-petunjuk haids lemah dan palsu. Kalaulah dikaui
bahwa sebagian hadis lemah dan hadis palsu mengandung petunjuk-
petunjuk kebaikan, maka sesungguhnya apa yang dinyatakan sebagai
kebaikan itu masih perlu didiskusikan. Pernyataan ini diajukan karena
sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah, baik yang bersifat matlu (yang
dibaca, yakini al-quran) maupun yang bersifat gair matlu (yang tidak dibca,
yaitu hadis nabi)
Tolak ukur utama tentang ajaran Islam haruslah berangkat dari
petunjuk wahyu tersebut. Boleh jadi apa yang dikatakan baik oleh akal
sementara pihak, ternyata tidak baik menurut wahyu, walaupun pada
dasarnya antara akal dan wahyu tidak terdapat pertentangan.3[3]
2[2] H. Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, Jakarta, amzah, 2009, hal 168
3[3] H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta, Gema Insane Press, 1995, hal 68-69
BAB II
KEDUDUKAN HADIS DHAIF DAN HADIS MAUDHU
A. Hadis dhaif
1. Pengertian
Dari segi bahasa dh’if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti
kuat. Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa
diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadis dhaif yaitu hadis yng tidak
memenuhi syarat-syarat shahih dan syarat-syarat hasan.4[4]
Ulama hadis yang tergolong Muta’akhirin, misalnya Ibn al Shalah (w.
643H=1245 M) dan Al-Nawwi (w. 676 H= 1277 M). membagi kulitas hadis
kepada tiga macam, yakni shahih, hasan dan dhaif. Dalam menerangkan
hadis para ulama mendahulukan pengertian hadis shahih dan hadis hasan,
kemudian barulah mnerangkan pengertian hadis dhaif. Hal tersebut dapat di
maklumi karena pengertian hadis dhaif menurut mereka adalah hadis yang
tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat-syarat hadis shahih dan hadis
hasan. Syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan hampir sama. Perbedaan
keduanya terletak pada tingkat ke-dhabith-an periwayat. Tingkat ke-dhabith-
an hadis shahih sempurna, sedang tingkat ke-dhabith-an hadis hasan agak
kurang sedikit lazim disebut khafif al dhabith maksudnya, kesetiaan hapalan
periwayat untuk hadis hasan tidak sesempurna kesetiaan hafalan periwayat
hadis shahih.
Adapun pengertian hadis shahih itu sendiri adalah hadis sanatnya
bersambung sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh orang-orang yng
4[4] Muhammad Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta, Dar al-Fikr, 1998, hal 304
bersifat adil dan dhabith, terhindar dari kejanggalan (syudyudz) dan cacat
(illat). Tiga butir syarat yang disebutkan pertama berkaiatan dengan sanad
(termasuk para periwayat), sedang dua butir berikutnya berkaiatan dengan
sanad dan matan hadis. Jadi keshahihan suatu hadis tidak hanya ditentukan
oleh sanadnya saja, tetapi juga ditentukan oleh matannya. Apabila bobot ke-
dha’if-an sanad terlalu parah misalnya adanya sanad yang sering kacau
hapalannya, maka kualitas hadis yang bersangkutan dinyatakan kualitas
dha’if termasuk matannya. Ulama hadis berpendirian demikian karena
periwayat yang sering kacau hapalannya sulit dipercaya apa yang
diriwayatkannya. Kekacauan tentang apa yang diriwayatkannaya itu dapat
saja terjadi dalam sanad, matan, atau dalam sanad dan matan sekaligus.5[5]
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari
dua jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad
diperinci menajadi dua bagian:
Pertama: terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang
keadilannya maupun kehafalannya, seperti : dusta, tertuduh dusta, fasik,
banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak waham, menyalahi orang
kepercayaan, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik
hafalannya.
Kedua: tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang
rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan
yang lainnya.
Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak
bersambung)
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.6[6]
5[5] Op. cit hal 53-54
6[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974, hal 167-168
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang
terdapat pada matan ialah:
a. Hadis maufuq ilah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau
tidak, dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka
hukumnya marfu’. Seperti riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas keduanya berbuka puasa dan meringkas shalat pada perjalanan
empat burad (12 mil)
b. Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang
yang datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu
ketetapan, baik sanadnya bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat
sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan mauquf. Contohnya : perkataan
tabiin”berbuat demikian”.7[7]
Contoh hadis dhaif
من قا م ليلتي العيد ين محتسبا الله لم يمت قلبه يو م تمو تArinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata
mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia
mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan
sanad dari buqayah bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan,
dari Abu Umamlah r.a, sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal
sebagai orang yang suka mencampur adukkan perawi, dengan demikian
yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.8[8]
2. Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif
tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi yang menunjukkan
kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis. Sehingga ia tidak
7[7] Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, hal 24-25
8[8] Muhammad Nashiruddin af-Albni, Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu, Jakarta, Gem Insani Press, 1997 hal 23-24
diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-
begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan redaksi yang
menujukkan keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan)
ja’a (datang), nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang
diriwayatkan) dan sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif
lengkap dengan sanadnya tidak di makruhkan menggunakan redaksi yng
menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahli ilmu. Bila
diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang tidak
menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa
sanad.9[9] Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram,
Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis
tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan
kata aktif yang meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh
meriwayatkan dengan menggunakan bentuk kata pasif seperti hadis dhaif.
Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya
dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan ketika dikonsumsi
oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan
menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.10[10]
3. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif.
Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal
maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin
9[9] Op. cit, hal 316
10[10] Ulumul hadis, Op. cit. hal 164
Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim dan Ibnu Hazam
b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau
dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad.
Mereka berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat
ulama.
c. Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-
janji yang menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu
Hajar al-Asqalani yaitu sebagai berikut:
1). Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atu
dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat
kurang dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan
(hadis munkar)
2). Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis
muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain),
nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hdis sebelumnya) dan rajah
(hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya)
3). Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi
karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.11[11]
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
a. Ketiga mu;jani at-thabari- al-kabir, al-awsat, as-shaghir
b. Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat
hadis-hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisbi
c. Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi
d. Kitab hilyatul auliya ‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.12
[12]
B. Hadis Maudhu
11[11] Ibid. hal 165-166
12[12] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
1. Pengertian
Mudhu menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan. Sedangkan
diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat. Sedangkan
menurut istilah maudhu adalah sesuatu yang disandarkan kepada rasul SAW
secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau
tidk dilakukan atau tidak disetujuinya. Sebagian ulama mengartikan bahwa
hadis maudhu adalah hadis yang diada-ada kan, dibuat, dan didustakan
seseorang pada Rasulullah SAW. Jadi hadis mudhu adalah hadis bohong atau
hadis palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh
seseorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak
memasukkannya bagian di hadis dhaif karena bukan hadis dalam arti yang
sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan
hadis tetapi palsu dan bohong daalm arti palsu dan bohong ini meniadakan
makna hadis
Contoh hadis maudhu:
من ا عتكف عشر ا في ر مضان كان كحجتين وعمرتArtinya: “Barang siapa melakukan ik’tikap pada sepuluh hari terakhir bulan
ramadhan, maka baginya pahala dua ibadah haji dan dua ibadah umrah.
Telah diriwayatkan oleh al-baihaqi dalam Asy-Syi’b dengan sanad dari
Husain bin Ali ra. Al-baihaqi berkata, “ sanad riwayat ini dha’if, sebab salah
seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Zadan ditolak riwayatnya
oleh jumhur ahli hadis. “ Imam Bukhari juga menyatakan mengenai
Muhammad bin Zadan ini. Riwayat yng dibawanya tidaklah diterima dan
tidak ada yang mencatatnya”. Selain itu perawi sanad yang lain, Anbsah bin
Abdur Rahman, dinyatakan oleh jumhur muhadditsin sebagai tukang
memalsukan hadis. Diantaranya Imam Bukhari sendiri menyatakan, “ tidak
ada satu pun ulama ahli hadis yang menerima riwayatnya”. Mengenai
Anbasah Abu Hatim dengan tegas menyatakannya sebagai pemalsu riwayat.
Wallahu a’lam.13[13]
13[13] Silsilah Hadis Dhaif dan Maudhu, Op. Cit hal 21
2. Hukum meriwayatkan hadis maudhu
Umat Islam telah sepakat bahwa meriwayatkan hadis mudhu ‘adalah
hukumnya secara mutlak tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptkan
hadis maudhu sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena
perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian
diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama
Rasulullah. Orang yng demikian di ancam dengan api neraka, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW yng artinya, batrang siapa yang mendustakanku
dengan sengaja, maka hendaklah siap-siaplah tempat tinggalnya didalam
neraka.14[14]
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa
besar. Semua ahli hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu
Muhammad al-juwainiy mengkafirkan pemalsu hadis. Semua hadis maudhu
bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan
kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama
juga sepakat mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan
kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan
meriwayatkan sedikit pun hadis palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib,
targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan sabda Rasulullah SAW
من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبينArtinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan
terlihat bahwa hadis itu dusta, maka Ia juga termasuk satu diantara para
pendusta”.
3. Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada
pada sanad maupun pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad,
diantaranya sebagai berikut:
a. Pengkuan dari ornag yang membuat sendiri
14[14] Ibid. hal 207
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan
dihukum mati ia mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah
hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”.
Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi Muhammad bin
Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-
Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih dari 70 hadis.
Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku
banyak membuat hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang
keutamaan al-quran.
b. Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang
mantap serta meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam
sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syeikh di suatu negeri
yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang telah wafat
sementara ia masih kecil atau belum lahir.
Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam
bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda datang ke syam?”,
Ma’mun menjwab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa
Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H. sambut Ma’mun :” Hisyam
bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa ia tidak
pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
c. Adanya bukti pada perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya,
misalnya seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang
keutamaan ahlul baith.
d. Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian
dan tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkannya.15[15]
15[15] Ibid hal 208-209
4. Tanda-tanda maudhu pada matan
a. Lemah susunan lafal dn maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran,
hadis, dengan ijma dan logika yang sehat.16[16] Secara logis tidak di
benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis
panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki
ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu ini
bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat
rusak susunanya, Ar-Rabi’ bin Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu
bercahaya seperti cahaya kami mengenalnya dan memilki kegelapan
bagaikan gelap malam kami menolaknya.
Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit bahwa ini lafal dari Nabi
dapat terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa
ini hadis yang sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara
eksplisit, menurut Hajar al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada
maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na
atau tidak bisa menyusunnya secara baik
b. Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang
sehat, menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks
dan lain-lain dan tidak bisa ditakwilkan.
Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang
wajah yang jelek dapat menyebabkan sedih”.17[17]
16[16] Ikhtisar Musthalahul Hadis, Op.cit hal 171
17[17] Ulumul Hadis Op.Cit. hal 201-211
c. Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka
usia dunia, yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang
akan mengerti kapan kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:
y7tRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$ƒr& $yg8y™ó�ßD ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ y‰ZÏã ’În1u‘ ( Ÿw $p Žk Ïk=pgä† !$pkÉJø%uqÏ9 žwÎ) uqèd 4
ôMn=à)rO ’Îû ÏNºu »q yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4 Ÿw ö/ä3‹Ï?ù's? žwÎ) ZptGøót/ 3 y7tRqè=t«ó¡o„ y7¯Rr(x. ;’Å"ym $pk÷]tã ( ö@è%
$yJ¯RÎ) $ygßJù=Ïæ y‰ZÏã «!$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨ 9Z $# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÐÈ
Artinya:”Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada
sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu
melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu
benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan
tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak
Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)18[18]
Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir:
وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)آليدخل انار
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammd
Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah
hadis-hadis tentang pujian terhadap prang yang namanya Muhammad atau
Ahmad dan bahwa orang-orang yang namanya seperti itu tidak akan masuk
neraka. Jadi hadis tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama, bahwa
18[18] Terjemah Al-Qur’an al-Karim, H Mahmud Yunus, PT Al-Ma’rif, Bandung, tahun 1986, hal 158
neraka tidak akan terpengaruh oleh nama-nama tertentu. untuk selamat
darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman dan beramal shaleh.19[19]
Setiap hadis yang meriwayatkan Ali adalah shahih yang menyatakan
wasiat khalifah ada pada Ali r.a. tidaklah shahih. Karena ia bertentangan
dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW tidak menegaskan siapa yang akan
mengganti beliau.
d. Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak)
para penuduk khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal
Sa’ad telah meninggal pada masa perang khandaq sebelum kejadian
tersebut.
e. Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata:
saya mendengar Ali berkata
عبدت الله مع ر سوله قبل ان يعب��ده ااح��دمن ه��ذه اال م��ة خمس س��نين
اوسبع سنين
artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya
seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah,
tetapi mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah
bersama rasul lima atau tujuh tahun sebelum umat ini.
f. Mengandung pahala yang berlebih bagi amal yng kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang
ingin menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar
agar melakukan amal saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan
suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan. Misalnya:
من صل الضفي كذاوكذاركعة اعطي ثواب سبعين نبيا
19[19] Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Op.Cit hal 172
Artinya:”Barang siapa yang sholat dاuha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”20[20]
g. Sahabat dituduh menyembunyikan hadis
Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menayampaikan
atau tidak meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara
transparan harus disampaikan Nabi SAW, misalnya, nabi memegang tangan
Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: ini
wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini benar
wasiat dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang
meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum
yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan
jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.
5. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam
menanggulangi hadis maudhu, dengan tujuan agar hadis tetap eksis
terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping
itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis
shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
a. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat
sunnah harus disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu
hadits tidak dapat di terima. Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari
agamanya tanpa sanad bagaikan orang yang naik loteng tanpa
tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang
khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan
menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in,
hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad
hadis yang ia riwayat kan.
b. Meningkatkan kesungguhan penelitian
20[20] Ulumul Hadis Op.Cit. hal 212-213
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian
dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari
sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu meragukan atau datang
bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis,
segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh
untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang
terlibat dalam kejadian hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam berbagai buku hadis seperti buku
hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie menulis ar-risalah dan al-umm
yang memuat ulumul hadis, at-tirmidzi dalam akhir kitab jami-nya.21[21]
c. Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat
pun di jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga menyampaikan hadis-
hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka
menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama
yang dkenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi,Syu’bah bin
Al-Hajj, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll
d. Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari
lahir hingga wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari
yang jujur, adil, dan andalnya ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat
dibedakan mana hadis shahih dan mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka
himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil sehingga oleh
generasi berikutnya.
e. Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang
penelitian hadis untuk menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui
21[21] Ibid hal 214
mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu. Kaidah-kidah itu dijadikan standar
penilaian suatu hadis menurut criteria sebagai hadis yang diterima atau
ditolak.22[22]
6. Para pendusta dan kitab-kitab hadis maudhu
Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian
yang dilakukan para ulama adalah sebagai berikut:
a. Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada
abu hanifah
b. Ibrhim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik
c. Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis
kepentingan al-karramiyah
d. Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
e. Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah
dalam Al-Quran
f. Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi
Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu
Abu Yahya.
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:
a. Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-
Maqdisi (448-507 H) didalam kitab ini disebutkan nama perawi yang dinilai
cacat (tarjih)
b. Al-Maudhu’at al-Kubra, karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
c. Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911
H)
d. Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin
Abdurahman al-Iaraqi(725-806 H)
e. Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu
Abdullah Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H)
22[22] Ibid hal 215
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di ats dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh
syarat-syarat hadis sahih dan hadis hasan.
2. Hukum periwayatan hadis dha’if, para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifanyadengan
dua syarat:Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal haram.
3. Hukum pengalaman hadis dha’if .hadis dha’if tidak bisa diamalkan secara
mutlak baik mengenai fadhail amal maupun dalam hukum, Hadis dha’if
dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hukum {akham}, Hadis dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-
a’mal,mau’izhah,targhib dan tarhib
4. Hadis maudhu adalah hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan
seseorang pada Rasulullah SAW
5. Hukum meriwayatkan hadis maudhu: hukumnya haram secara mutlak tidak
ada perbedaan antara mereka.
6. Tanda-tanda hadis maudhu pada:
a. Sanad : pengakuan dari orang yang membuat sendiri, adanya bukti
(qarinah) mengenai pengakuan, adanya bukti pada keadaan perawi,
kedustaan perawi
b. Matan : lemah susunan lafal dan maknanya,rusak maknanya,bertentangan
teks Al Quran atau hadis mutawatir,menyalahi realita sejarah, hadis sesuai
dengan mazhab perawi, mengandung pahala yang berlebihan bagi amal
yang kecil dan sahabat dituduh menyembunyikan hadis
7. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu : memelihara sanad hadis,
meningkatkan kesungguhan penelitian, mengisolir para pendusta hadis,
menerangkan keadaan para perawi dan memberikan kaidah-kaidah hadis
KATA PENGANTAROó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§�9$# É ŠO Ïm§�9$#
الحمد لله رب العالمين والصالة والسالم على أشرف االنبياء والمرسلين سيدنا وموالنا محمد وعلى اله
وصحبه أجمعين. أما بعدRasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkah rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan Nabi Besar
Muhammad SAW, juga kepada keluarga, para sahabat dan segenap pengikut
beliau hingga akhir zaman, Amin ya rabbal ‘alamien
Penulisan makalah kedudukan hadits Dha’if dan hadits Maudhu ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah pemikiran Islam,
dengan dosen pengasuh Dr. Saifuddin, M.Ag dan penulis mengucapkan
terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu segala kritik dan
saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarmasin, Januari 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii
BAB I :
Pendahuluan……………………………………………………...
1
BAB II : KEDUDUKAN HADIS DHAIF DAN HADIS
MAUDHU…….
3
A. Hadis Dhaif…………………………………………………….. 3
1. Pengertian…………………………………………………….. 3
2. Hukum periwaytan hadis dha’if……………………………….. 5
3. Hukum pengamalan hadis dha’if……………………………… 6
B. Hadis maudhu………………………………………………….. 7
1. Pengertian………………………………………………………. 7
2. Hukum meriwayatkan hadis maudhu………………………….. 8
3. Tanda-tanda hadis maudhu……………………………………. 9
4. Tanda-tanda maudhu pada matan……………………………… 11
5. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis
palsu……………..
14
6. Para pendusta dan kitab-kitab hadis
maudhu………………….
16
BAB III : KESIMPULAN………………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Al- Albani, Muhammad Nashiruddin. 1997. Sisilah hadis Dha’if dan
Maudhu. Jakarta: Gema Insani Press
Al-khatib, Muhammad Ajaj. 1998. Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: dar al-al-mas’udi, hafid hasan. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Al-Hikmah
Al-qaththan, syaikh manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : pustaka Al-Kautsar
Al-adlabi, Shalahudin ibn Ahmad. 2004. Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Azami, M. Mustafa. 1996. Metedologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah Fikr
Ismail, H.M. Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press
Khon, H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:Amzah
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul hadis. Bandung:PT. Al Ma’arif
Yunus, H. Mahmud.1986. Terjemah Al-Qur’an Karim. Bandung: Pt Al-Ma’arif
ii