Makalah gigi dan mulut
-
Upload
fitri-ika-suryani -
Category
Documents
-
view
325 -
download
17
description
Transcript of Makalah gigi dan mulut
BAB I
KELAINAN GENETIK DAN KONGENITAL
1. ANODONTIA (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Anodontia vera (complete anodontia) merupakan suatu kelainan yang sangat
jarang terjadi dimana semua gigi tidak tumbuh. Selain anodontia vera, juga terdapat
anodontia parsial yang terdiri dari hipodontia dan oligodontia. Kondisi ini dapat
melibatkan gigi sulung dan gigi permanen, namun kebanyakan kasus hanya terjadi
pada gigi permanen. Fenomena ini sering dikaitkan dengan sindroma non-progresif
kulit dan saraf yang disebut ectodermal dysplasia. Anodontia, khususnya, sering
menjadi bagian dari gejala sindroma tersebut dan jarang terjadi sebagai satu kondisi
tunggal (Adulgopar, 2009).
b. Klasifikasi
Gambar 1.1. Perbedaan Hypodontia, Oligodontia, dan Anodontia.
1) Hipodontia adalah keadaan dimana benih gigi yang tidak terbentuk berjumlah
antara 1-6 gigi, biasanya pada gigi premolar dua rahang bawah, insisif dua rahang
atas, dan premolar dua rahang atas.
2) Oligodontia adalah keadaan dimana benih gigi yang tidak terbentuk berjumlah
lebih dari 6 gigi.
3) Anodontia adalah kelainan kongenital dimana semua gigi tidak tumbuh
disebabkan tidak terdapatnya folikel gigi sehingga tidak terdapat gigi susu
maupun gigi permanen (Ramil, 2010).
1
c. Gambar
A B
C D
Gambar 1.2. A = Hipodontia, B = Oligodontia, C = Anondotia, D = Radiografik
panoramic anodontia.
d. Etiologi
Penyebab anodontia, baik complete maupun partial anodontia, secara garis
besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan genetik. Kegagalan
proliferasi sel basal gigi dari lamina dental dapat disebabkan oleh infeksi (misal:
rubella, osteomielitis), trauma, obat-obatan (misal: thalidomide), kemoterapi atau
radioterapi. Mutasi beberapa gen, seperti Msx1 atau Pax9 diketahui menyebabkan
tidak tumbuhnya gigi permanen (Ramil, 2010).
e. Patogenesis
Gigi berasal dari dua jaringan embrional, ektoderm, yang membentuk enamel,
dan mesoderm yang membentuk dentin, sementum, pulpa, dan juga jaringan-jaringan
penunjang. Perkembangan gigi geligi pada masa embrional dimulai pada minggu ke-6
intrauterin, ditandai dengan proliferasi epitel oral yang berasal dari jaringan
ektodermal membentuk lembaran epitel yang disebut dengan primary epithelial band.
Primary epithelial band yang sudah terbentuk ini selanjutnya mengalami invaginasi
2
ke dasar jaringan mesenkimal membentuk 2 pita pada masing-masing rahang, yaitu
pita vestibulum yang berkembang menjadi segmen bukal yang merupakan bakal pipi
dan bibir serta pita lamina dentis yang akan berperan dalam pembentukan benih gigi.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam 3 tahap, yaitu
perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi. Tahap perkembangan gigi dibagi lagi menjadi
inisiasi, proliferasi, histodiferensiasi, morfodiferensiasi, dan aposisi. Penderita
anodontia mengalami halangan pada proses pembentukan benih gigi dari epitel mulut,
yakni pada tahap inisiasi (De Muynckd, 2004).
f. Diagnosis
Diagnosa anodontia biasanya membutuhkan pemeriksaan radiografik untuk
memastikan memang semua benih gigi benar-benar tidak terbentuk. Pada kasus
hipodontia, pemeriksaan radiografik panoramik berguna untuk melihat benih gigi
mana saja yang tidak terbentuk (Ramil, 2010).
g. Terapi
Terapi yang diberikan oleh dokter gigi adalah pembuatan dan pemasangan gigi
prostetik (Ramil, 2010).
2. IMPACTED TEETH (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Impacted teeth atau impaksi gigi adalah keadaan dimana gigi tidak dapat
erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang atau jaringan lunak atau
kedua-duanya (Irfan, 2011).
b. Gambar
Gambar 1.3. Impacted teeth` Gambar 1.4. Radiologi impacted teeth
3
Gambar 1.5. Impacted teeth Gambar 1.6. Foto panoramic impacted teeth
c. Etiologi
Gigi impaksi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Berger, penyebab
gigi terpendam antara lain sebagai berikut:
1) Kausa Lokal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi adalah:
a) Posisi gigi yang abnormal
b) Tekanan dari gigi tetangga pada gigi tersebut
c) Penebalan tulang yang mengelilingi gigi tersebut
d) Kekurangan tempat untuk gigi tersebut bererupsi
e) Persistensi gigi desidui (tidak mau tanggal)
f) Pencabutan prematur pada gigi
g) Inflamasi kronis penyebab penebalan mukosa disekitar gigi
h) Penyakit yang menimbulkan nekrosis tulang karena inflamasi atau abses
i) Perubahan-perubahan pada tulang karena penyakit eksantem pada anak-anak.
2) Kausa Umur
Faktor umur dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi walaupun tidak ada
kausa lokal antara lain:
a) Kausa Prenatal, yaitu keturunan dan “miscegenation”.
b) Kausa Postnatal, yaitu ricketsia, anemi, syphilis congenital, TBC, gangguan
kelenjar endokrin, dan malnutrisi.
c) Kelainan Pertumbuhan, yaitu Cleidocranial dysostosis, oxycephali, progeria,
achondroplasia, celah langit-langit (Paul, 2009).
4
d. Klasifikasi
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi
impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar kedua.
Posisi-posisi tersebut meliputi :
1) Vertical
2) Horizontal
3) Inverted
4) Mesioangular (miring ke mesial)
5) Distoangular (miring ke distal)
6) Bukoangular (miring ke bukal)
7) Linguoangular (miring ke lingual)
8) Posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusual position
A B C
Gambar 1.7. A = Vertical Impaction, B = Soft Tissue Vertical Impaction, C = Bony
Vertical Impaction.
D E F
Gambar 1.8. D = Distal Impaction (distoangular), E = Mesial Impaction
(mesioangular), F = Horizontal Impaction.
Sedangkan klasifikasi menurut Pell dan Gregory
1) Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua dengan cara
membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara bagian distal
molar kedua ke ramus mandibula.
a) Kelas I: Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak
antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.
5
Gambar 1.9. Maloklusi Kelas 1
b) Kelas II: Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih besar dibandingkan jarak
antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.
Gambar 1.10. Maloklusi Kelas 2
c) Kelas III: Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada dalam ramus
mandibula
Gambar 1.11. Maloklusi Kelas 3
2) Berdasarkan letak molar ketiga di dalam rahang:
Posisi A : Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal.
Posisi B : Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada dibawah garis oklusal tapi
masih lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua.
Posisi C : Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada dibawah garis servikal
molar kedua (Paul, 2009).
Gambar 1.12. Kasifikasi Maloklusi Posisi A, B, dan C
6
e. Diagnosis
Tanda-tanda umum dan gejala terjadinya gigi impaksi adalah :
1) Inflamasi, yaitu pembengkakan disekitar rahang dan warna kemerahan pada gusi
disekitar gigi yang diduga impaksi.
2) Resorpsi gigi tetangga, karena letak benih gigi yang abnormal sehingga
meresorpsi gigi tetangga.
3) Kista (folikuler).
4) Rasa sakit atau perih disekitar gusi atau rahang dan sakit kepala yang lama
(neuralgia).
5) Fraktur rahang.
Pada pemeriksaan ekstra oral yang menjadi perhatian adalah adanya
pembengkakan, pembesaran limfonodi (KGB), dan parastesi. Sedangkan pada
pemeriksaan intra oral yang menjadi perhatian adalah keadaan gigi erupsi atau tidak,
karies, perikoronitis, adanya parastesi, warna mukosa bukal, labial dan gingival,
adanya abses gingival, posisi gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga, ruang
antara gigi dengan ramus (pada molar tiga mandibula). Pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan adalah pemeriksaan radiografik (Obiechina, 2001).
f. Terapi
Secara umum sebaiknya gigi impaksi dicabut. Pencabutan gigi yang impaksi
dengan pembedahan disebut odontektomi. Indikasi pencabutan gigi impaksi antara
lain untuk mencegah terjadinya patologi yang berasal dari folikel atau infeksi,
mencegah perluasan kerusakan oleh gigi impaksi, usia muda, adanya penyimpangan
panjang lengkung rahang dan membantu mempertahankan stabilisasi hasil perawatan
ortodonsi, dan untuk kepentingan prostetik dan restoratif (Elih dan Salim, 2008).
Kontraindikasi pencabutan gigi impaksi pasien dengan usia sangat ekstrim,
terlalu muda atau lansia, compromised medical status, kerusakan yang luas dan
berdekatan dengan struktur yang lain, pasien tidak menghendaki giginya dicabut,
apabila tulang yang menutupi gigi yang impaksi sangat termineralisasi dan padat, dan
apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu oleh
kondisi fisik atau mental tertentu (Elih dan Salim, 2008).
7
3. MALOCCLUSSION (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Maloklusi adalah bentuk hubungan rahang atas dan bawah yang menyimpang
dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk yang normal. Maloklusi dapat
disebabkan karena tidak ada keseimbangan dentofasial yang dipengaruhi oleh faktor
keturunan, lingkungan, pertumbuhan dan perkembangan, etnik, fungsional, patologi
(Gotlieb, 1996).
Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling
bertemu ketika menggigit atau mengunyah. Maloklusi dapat berupa kontak gigitan
menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowded),
adanya ruang kosong antar gigi (spacing), posisi gigi maju ke depan (protusi)
(Gotlieb, 1996).
b. Gambar
A B
C D E
Gambar 1.13. A = Crossbite, B = Overbite, C = Crowded, D = Spacing, E =
Prostusi.
c. Etiologi
Faktor penyebab maloklusi dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Faktor luar atau faktor umum, misalnya herediter, kelainan kongenital,
perkembangan atau pertumbuhan yang salah pada masa prenatal dan posnatal,
8
malnutrisi, kebiasaan jelek, sikap tubuh, trauma, dan penyakit-penyakit dan
keadaan metabolik yang menyebabkan adanya predisposisi ke arah maloklusi
seperti ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolis, penyakit-
penyakit infeksi.
2) Faktor dalam atau faktor lokal, yaitu anomali jumlah gigi seperti adanya gigi
berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya gigi (anodontis), anomali
ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii yang abnormal, kehilangan dini
gigi desidui, persistensi gigi desidui, jalan erupsi abnormal, ankylosis dan karies
gigi.
d. Klasifikasi
Menurut Angle, maloklusi digolongkan dalam 3 jenis, yaitu:
1) Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami penyimpangan.
2) Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan rahang.
3) Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul
gangguan saat dipakai untuk mengunyah (Gallois, 2006).
Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam 3 kelas, antara lain:
1) Kelas I Angle: Tonjol mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1
bawah (neutroklusi)
2) Kelas II Angle
a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih ke mesial dari posisi kelas 1
b) Gigi M1 bawah lebih ke distal: Distoklusi
3) Kelas III Angle
a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih ke distal dari posisi klas 1
b) Gigi M1 bawah lebih ke mesial: mesioklusi (Dentisha, 2010).
9
Gambar 1.14. Klasifikasi Maloklusi menurut Angle
e. Diagnosis
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien maloklusi yaitu:
kelengkungan gigi yang abnormal, tampilan wajah yang terlihat ganjil, kesulitan atau
merasa tidak nyaman ketika menggigit dan mengunyah makanan, susah berbicara/
pengucapan yang ganjil, bernafas lewat mulut karena bibir yang sulit menutup, rasa
nyeri pada Temporo Mandibula Junction (TMJ), nyeri kepala dan leher. Pada gigi
yang berjejal dapat mengakibatkan kesulitan dalam pembersihan. Tanggalnya gigi-
gigi akan mempengaruhi pola pengunyahan misalnya pengunyahan pada satu sisi
(Gallois, 2006).
Biasanya kelainan oklusi ditemukan saat pemeriksaan rutin gigi. Bila
ditemukan kelainan, akan dirujuk kepada ahli orthodonti untuk mendiagnosis dan
menatalaksana. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah radiografik gigi,
kepala, dan wajah (Gallois, 2006).
f. Terapi
Alat cekat gigi, lazim disebut kawat gigi, dapat digunakan untuk mengoreksi
posisi gigi. Jangka waktu penggunaan alat cekat bervariasi, dari 6 bulan sampai 2
tahun, tergantung pada keparahan kasus. Pembedahan dilakukan pada kasus yang
jarang, terutama untuk memperbaiki posisi rahang, proses ini disebut bedah
orthognatik.
Adalah penting untuk menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut setiap hari
serta kontrol rutin ke dokter gigi. Plak dapat terakumulasi pada alat cekat sehingga
meninggalkan tanda permanen di gigi dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan gigi
bila tidak ditangani. Setelah posisi gigi terkoreksi, alat cekat digantikan retainer untuk
mempertahankan posisi gigi yang baru (Nasir dan Mawardi, 2003).
10
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat cekat adalah kerusakan
gigi, ketidaknyamanan saat perawatan, iritasi mulut dan gusi karena alat cekat, dan
susah menelan atau berbicara selama penggunaan alat cekat.
4. LABIAL DAN PALATE CLEFT (Level Kompetensi: 2)
a. Definisi
Bibir sumbing (labial cleft) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas yang
didapatkan seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada bagian langit-langit rongga
mulut (palate), maka kelainan ini disebut cleft palate. Sekitar 98,8% dari facial cleft
didominasi oleh labial cleft dengan atau tanpa palatecleft, bilateral maupun unilateral
(Benediktsdóttir dan Sara, 2003).
Ada tiga jenis kelainan cleft, yaitu:
1) Cleft lip tanpa disertai cleft palate,
2) Cleft palate tanpa disertai cleft lip, dan
3) Cleft lip disertai dengan cleft palate.
Sekitar separuh dari semua kasus cleft melibatkan bibir atas dan langit-langit
sekaligus. Cleft lip dan cleft palate terbentuk saat bayi masih dalam kandungan (CCA,
2009).
b. Gambar
Gambar 1.15. Labial dan palatal cleft dibandingkan dengan kondisi normal.
11
c. Etiologi
Secara garis besar, penyebab labial dan palatal cleft dibagi menjadi dua,
genetik dan lingkungan. Resiko seorang anak terkena labial dan palatal cleft sekitar
4% jika salah satu orang tua atau salah satu saudara juga menderita labial dan palatal
cleft. Namun resiko ini meningkat menjadi 17% apabila keduanya (salah satu orang
tua dan salah satu saudara) terkena (CCA, 2009).
Faktor lingkungan di dalam kandungan juga berperan penting pada kejadian
labial dan palatal cleft. Defisiensi suplemen gizi maupun paparan zat teratogenik
dapat meningkatkan kejadian labial dan palatal cleft. Suplementasi gizi dengan
vitamin B6 dan asam folat selama trimester pertama kehamilan terbukti menurunkan
resiko terjadinya rekurensi pada wanita yang sebelumnya melahirkan anak dengan
labial dan palatal cleft. Teratogen yang dihubungkan dengan kejadian ini termasuk
kortison, antikonvulsan seperti fenitoin, salisilat, aminopterin, organik solvents,
alkohol, merokok, diabetes melitus maternal, rubela, dan usia dari orang tua. Merokok
selama kehamilan merupakan faktor resiko yang paling jelas pada kejadian labial dan
palatal cleft. Merokok dapat menyebabkan polimorfisme gen TGF-alfa yang
kemudian dapat meningkatkan resiko kejadian palatal cleft. Secara statistik,
ditemukan peningkatan signifikan dari laktat dehidrogenase dan kreatin fosfokinase
pada cairan amnion fetus dengan labial/palatal cleft (CCA, 2009).
d. Patogenesis
Proses terbentuknya kelainan ini sudah dimulai sejak minggu-minggu awal
kehamilan ibu. Saat usia kehamilan ibu mencapai 6 minggu, bibir atas dan langit-
langit rongga mulut bayi dalam kandungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang
berada di kedua sisi dari lidah dan akan bersatu di tengah-tengah. Bila jaringan-
jaringan ini gagal bersatu, maka akan terbentuk celah pada bibir atas atau langit-langit
rongga mulut.
e. Klasifikasi
Klasifikasi celah bibir veau:
1) Kelas I : terdapat takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai
bibir
2) Kelas II : Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak
mengenai dasar hidung
12
3) Kelas III : Sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir ke
dasar hidung.
4) Kelas IV : Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak
sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna
Klasifikasi celah langit-langit veau:
1) Kelas I : celah palatum lunak sampai ke uvula
2) Kelas II : celah palatum lunak dan keras di belakang foramen incisivum
3) Kelas III : celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir pada
satu sisi
4) Kelas IV : celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir pada
kedua sisi
f. Diagnosis
Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau langit-langit
rongga mulut. Bayi dengan cleft lip dapat mengalami kesulitan saat menghisap ASI
karena sulitnya melakukan gerakan menghisap. Kesulitan ini dapat diatasi dengan
penggunaan botol khusus yang direkomendasikan oleh dokter gigi spesialis gigi anak
dan dokter spesialis anak, tentunya disesuaikan dengan tingkat keparahan. Anak dapat
memperbaiki kesulitannya dalam berbicara setelah menjalani terapi bicara, walaupun
kadang tindakan operasi tetap diperlukan untuk memperbaiki fungsi langit-langit
rongga mulut.
Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengaran. Hal ini
disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang mengenai tuba Eustachia. Semua
telinga anak normal memproduksi cairan telinga yang kental dan lengket. Cairan ini
dapat menumpuk di belakang gendang telinga. Adanya cleft dapat meningkatkan
kemungkinan terbentuknya cairan telinga ini, sehingga menyebabkan gangguan atau
bahkan kehilangan pendengaran sementara. Biasanya cleft palate dapat
mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi-
geliginya. Susunan gigi-geligi dapat menjadi berjejal karena kurang berkembangnya
rahang (Benediktsdóttir dan Sara, 2003).
13
g. Terapi
Tindakan bedah plastik dilakukan pada bayi kondisi baik. Tujuan operasi
plastik ini adalah (Qirreish, 2005):
1) Memulihkan struktur anatomi.
2) Mengoreksi cacat.
3) Menormalkan fungsi menelan, napas, bicara.
Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan.
Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan
sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir
sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap
menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada
usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk
sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan
speech theraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme
kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah.
5. MACROGNATIA DAN MICROGNATIA (Level Kompetensi: 2)
Macrognatia
a. Definisi
Istilah macrognatia mengarah pada kondisi di mana ukuran rahang lebih dari
normal. Macrognathia mengalami gambaran klinis yaitu dagu berkembang lebih
besar. Sebagian besar macrognatia tidak menyebabkan terjadinya maloklusi (Patel,
2009).
b. Gambar
Gambar
14
c. Etiologi
Etiologi macrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberantia yang
berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat didapat melalui penyakit.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan macrognatia adalah gigantisme pituitary,
paget’s disease, dan akromegali. Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon
pertumbuhan berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma).
Penderita biasanya menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang
muka dan rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal,
hipertrofi tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang
dapat menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).
Micrognatia
a. Definisi
Micrognatia merupakan istilah untuk menyebut rahang yang lebih kecil dari
ukuran normal. Dalam kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat terkena.
Biasanya ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika micrognathia,
microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan disebut Sindroma Pierre
Robin (Patel, 2009).
b. Gambar
Gambar 1.17. Micrognatia
c. Etiologi
Penyebab micrognatia dapat terjadi secara kongenital dan acquired (didapat).
Micrognatia kongenital diduga berasal dari genetik yang disebabkan kelainan
kromosom dan kerusakan genetik, dijumpai pada penderita sindroma Pierre Robin,
Treacher Collins, cat cry, Down, Turner, dan progeria. Micrognatia acquired
15
disebabkan trauma atau infeksi yang menimbulkan gangguan pada sendi rahang,
dijumpai pada penderita ankilosis yang terjadi pada masa anak-anak (Morokumo,
2010).
d. Klasifikasi
1) Micrognatia sejati (true micrognathia)
Adalah keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia rahang.
2) Micrognatia palsu (false micrognathia)
Adalah keadaan micrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang terletak
lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan mandibula.
16
BAB II
FOKUS INFEKSI
1. DEBRIS (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Debris memiliki arti kotoran. Sisa makanan yang menetap di rongga mulut
setelah makan, yang terakumulasi di leher gigi dan di sela-sela gigi inilah yang
berkontribusi pada debris gigi. Sisa makanan ini dapat mendorong terbentuknya plak
dan terjadinya akumulasi plak.
Debris dibedakan menjadi food retention (sisa makanan yang mudah
dibersihkan dengan air liur, pergerakan otot-otot mulut, berkumur, atau dengan
menyikat gigi) dan food impaction (makanan yang terselip dan tertekan di antara gigi
dan gusu, biasanya hanya dapat dibersihkan dengan dental floss / benang gigi atau
tusuk gigi) (Toothclub, 2011).
b. Gambar
Gambar 2.1. Oral Debris
c. Kriteria Perhitungan Debris Index (DI)
Debris Index (DI) adalah skor dari endapan lunak yang terjadi karena adanya sisa
makanan yang melekat pada gigi penentu. Gigi penentu tersebut adalah:
Rahang atas : Gigi 6 kanan kiri permukaan bukal
Gigi 1 kanan permukaan lingual
Rahang bawah : Gigi 6 kanan kiri permukaan lingual
Gigi 1 kiri permukaan labial
17
Tabel 2.1. Kriteria pemeriksaan Debris Index (DI) menurut Depkes RI 1999
No Kriteria Nilai
1 Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris lunak dan
tidak ada pewarnaan ekstrinsik
0
2 a. Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang
menutupi permukaan gigi seluas < 1/3 permukaan
1
b. Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris lunak,
akan tetapi ada pewarnaan ektsrinsik yang menutupi
permukaan gigi sebagian atau seluruhnya
3 Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang
menutupi permukaan tersebut, seluas > 1/3 gigi tetapi < 2/3
permukaan gigi
2
4 Pada pemukaan gigi yang terlihat, ada debris yang menutupi
permukaan tersebut seluas > 2/3 permukaan atau seluruh
permukaan gigi
3
Gambar 2.2. Debris Index
Menghitung debris Indeks (DI):
DI = __Jumlah nilai debris___
jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria DI adalah sebagai berikut :
1) 0,0-0,6 = Baik
2) 0,7-1,8 = Sedang
3) 1,9-3,0 = Buruk (Nurhayani, 2004)
d. Terapi dan Pencegahan
Penatalaksaan dan pencegahan debris yakni menjaga kebersihan gigi. Ada
berbagai alat untuk membersihkan gigi, yaitu sikat gigi dan benang gigi (dental floss).
18
Dental floss merupakan benang yang terbuat dari silk atau nilon dan dipergunakan
untuk membersihkan bagian gigi yang terletak di bawah kontak dua gigi (Nurhayani,
2004).
2. CALCULUS (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Calculus adalah material keras dari garam inorganik yang terdiri dari kalsium
karbonat dan fosfat yang bercampur dengan debris, mikroorganisme, dan sel epitel
yang telah terdeskuamasi. Lapisan kerak yang terbentuk adalah hasil mineralisasi plak
gigi dan melekat erat mengelilingi mahkota dan akar gigi, hanya bisa hilang dengan
tindakan scaling (Lelyati, 1996). Tidak ada komposisi tetap dari calculus gigi karena
calculus dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal seperti :
1) Konsentrasi kalsium dan fosfat
2) Jumlah relatif dari masing-masing ion pembentuk calculus
3) pH
4) Adanya jenis ion pembentuk lain seperti magnesium
b. Gambar
Gambar 2.3. Calculus
c. Etiologi dan Patogenesis
Bakteri aktif penyebab karang gigi yaitu streptococcus dan anaerob yang
mengubah glukosa dan karbohidrat pada makanan menjadi asam. Kombinasi bakteri,
asam, sisa makanan dan air liur dalam mulut membentuk suatu subtansi berwarna
kekuningan yang melekat pada permukaan gigi yang disebut plaque. Karang gigi
(calculus) adalah plaque yang telah mengalami pengerasan, kalsifikasi atau
remineralisasi (Mozharta, 2010).
19
Calculus terbentuk dari dental plak yang mengeras pada gigi dan menetap
dalam waktu yang lama. Dental plak merupakan tempat ideal bagi mikroorganisme
mulut, karena terlindung dari pembersihan alami oleh lidah maupun saliva.
Akumulasi plak juga dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi gusi yaitu gingivitis.
Jika akumulasi plak terlalu berat, maka dapat menyebabkan periodontis. Maka plak,
sering disebut juga sebagai penyebab primer penyakit periodontis. Sementara,
calculus pada gigi membuat dental plak melekat pada gigi atau gusi yang sulit
dilepaskan hingga dapat memicu pertumbuhan plak selanjutnya. Karena itu calculus
disebut juga sebagai penyebab sekunder periodontis. Calculus dapat terbentuk di atas
gusi atau supragingival, atau pada sulcus, yaitu saluran antara gusi dan gigi. Ketika
terjadi plak supragingival, maka bakteri yang terkandung di dalamnya hampir
semuanya merupakan bakteri aerobik. Plak subgingival, terutama terdiri dari bakteri
anaerobik. Bakteri anaerobik inilah yang berbahaya bagi gusi dan jaringan yang
menempel pada gigi, yang menimbulkan periodontis. Pada umumnya, orang yang
mengalami periodontis memiliki deposit calculus subgingival (Leylati, 1996).
Penurunan aliran air liur adalah salah satu hal yang mempercepat
pembentukan karang gigi, terutama jika penyikatan gigi tidak optimal. Air liur sangat
berperan untuk self-cleaning, dengan adanya air liur, sisa makanan dan plaque yang
terdapat di permukaan gigi akan terbilas secara mekanis namun hanya efektif pada
daerah 2/3 mahkota gigi. Oleh karena itu karang gigi paling banyak terbentuk di
daerah leher gigi yang terlihat sebagai garis kekuningan atau kecoklatan (Mozharta,
2010).
d. Pemeriksaan
Kriteria perhitungan Calculus Index (CI) sebagai berikut:
1) Nilai 0, jika tidak terdapat calculus
2) Nilai 1, jika terdapat calculus supraginggiva pada sepertiga permukaan gigi.
3) Nilai 2, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari sepertiga tetapi tidak lebih
dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat titik calculus subginggiva pada
cervical gigi.
4) Nilai 3, jika terdapat kalkulus supraginggiva lebih dari dua pertiga permukaan gigi
atau terdapat calculus subginggiva disepanjang cervical gigi.
20
Gambar 2.4. Calculus Index
Menghitung Calculus Indeks (CI)
CI = Jumlah nilai calculus
jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria CI adalah sebagai berikut:
1) 0,0-0,6 = Baik
2) 0,7-1,8 = Sedang
3) 1,9-3,0 = Buruk
Gambar 2.5. Derajat Calculus
Skor indeks oral higiene individu diperoleh dengan menjumlahkan nilai indeks
debris (DI-S) dan indeks kalkulus (CI-S), dengan interval OHI-S:
1) Sangat baik = 0;
2) Baik = 0,1-1,2;
3) Sedang = 1,3-3,0;
4) Buruk = 3,1-6,0 (Findya, 2010).
21
e. Terapi
Untuk menghilangkan dental plaque dan calculus perlu dilakukan scaling atau
root planing, yang merupakan terapi periodontal konvensional atau non-surgikal.
Terapi ini selain mencegah inflamasi juga membantu periodontium bebas dari
penyakit. Prosedur scalling menghilangkan plaque, calculus, dan noda dari
permukaan gigi maupun akarnya. Prosedur lain adalah root planing, terapi khusus
yang menghilangkan cementum dan permukaan dentin yang ditumbuhi calculus,
mikroorganisme, serta racun-racunnya. Scalling dan root planning digolongkan
sebagai deep cleaning, dan dilakukan dengan peralatan khusus seperti alat ultrasonik,
seperti periodontal scaler dan kuret (Findya, 2010).
3. PLAQUE (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Plaque gigi adalah suatu lapisan lunak atau keras yang terdiri atas kumpulan
mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat pada permukaan gigi yang
tidak dibersihkan (Pintauli, 2008). Ada tiga komposisi plaque dental yaitu :
1) Mikroorganisme
2) Matriks interseluler yang terdiri dari komponen organik dan anorganik
3) Protein (Rifki, 2010).
b. Gambar
Gambar 2.6. Plaque
22
c. Etiologi
Plaque merupakan kumpulan dari koloni bakteri dan mikroorganisme lainnya
yang bercampur dengan produk-produknya, sel-sel mati dan sisa makanan.
Metabolisme anaerob menghasilkan asam yang menyebabkan:
1) Demineralisasi permukaan gigi
2) Iritasi gusi di sekitar gigi menyebabkan ginggivitis (merah, bengkak, gusi
berdarah)
3) Plaque gigi dapat termineralisasi dan membentuk calculus.
d. Komposisi Plaque
Komposisi utama plaque dental adalah mikroorganisme. Diperkirakan lebih
dari 325 spesies bakteri dijumpai di dalam plaque. Mikroorganisme non-bakteri yang
dijumpai dalam plaque adalah spesies Mycoplasma, ragi, protozoa, dan virus.
Mikroorganisme tersebut terdapat diantara matriks interseluler yang juga mengandung
sedikit sel jaringan seperti sel-sel epitel, makrofag, dan leukosit (Walton dan
Torabinejad, 1998).
Matriks interseluler plaque mengandung 20% – 30% massa plaque, terdiri dari
bahan organik dan anorganik yang berasal dari saliva, cairan sulkular, dan produk
bakteri. Bahan organiknya mencakup polisakarida, protein, glikoprotein, dan lemak.
Glikoprotein saliva adalah komponen penting dari pelikel yang pertama-tama
membalut permukaan gigi yang tadinya bersih, disamping terlibat dalam
pembentukan biofilm plaque. Polisakarida yang diproduksi oleh bakteri terdiri dari
dekstran (paling dominan) dan albumin (diduga berasal dari cairan sulkular). Bahan
lemaknya terdiri dari debris membrane bakteri yang hancur dan sel-sel pejamu, serta
kemungkinan pula debris makanan (Walton dan Torabinejad, 1998).
Komponen anorganik plaque yang paling utama adalah kalsium dan posfor,
sejumlah kecil mineral lain seperti natrium, kalium, dan fluor. Sumber bahan
anorganik plaque supragingival adalah saliva. Sebaliknya komponen anorganik
plaque subgingival berasal dari cairan sulkular yang merupakan transudat (Walton
dan Torabinejad, 1998).
23
e. Mekanisme Pembentukan Plaque
Penumpukan plaque sudah dapat terlihat dalam 1-2 hari setelah seseorang
tidak melakukan prosedur hygiene oral. Plaque tampak sebagai massa globular
berwarna putih, keabu-abuan atau kuning. Gesekan jaringan dan bahan makanan
terhadap permukaan gigi akan membersihkan permukaan gigi, namun pembersihan
yang demikian hanya efektif pada dua pertiga koronal permukaan gigi. Dengan
demikian plaque umumnya dijumpai pada sepertiga gingival permukaan gigi, karena
pada daerah tersebut tidak terganggu oleh gesekan makanan maupun jaringan.
Penumpukan plaque lebih sering terjadi pada retakan, pit dan fissure pada permukaan
gigi dan sekitar gigi yang erupsinya tidak teratur (Rifki, 2010).
Faktor yang mempengaruhi laju pembentukan plaque adalah hygiene oral,
serta faktor-faktor pejamu seperti diet dan komposisi serta laju aliran saliva. Proses
pembentukan plaque dapat dibagi atas tiga tahap (Rifki, 2010):
1) Pembentukan Pelikel Dental
Pada tahap awal ini permukaan gigi atau restorasi (cekat maupun lepasan)
akan dibalut oleh pelikel glikoprotein. Pelikel tersebut berasal dari saliva dan
cairan sulkular, serta produk sel bakteri, pejamu dan debris.
2) Kolonisasi Awal Pada Permukaan Gigi
Dalam waktu beberapa jam bakteri akan dijumpai pada pelikel dental.
Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan gigi yang dibalut pelikel
adalah didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram positif, seperti
Actinomyces viscosus dan Streptokokus sanguis. Pengkoloni awal tersebut melekat
ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu molekul spesifik yang berada pada
permukaan bakteri. Adhesin akan berinteraksi dengan reseptor pada pelikel dental.
Massa plaque kemudian mengalami pematangan bersamaan dengan
pertumbuhan bakteri yang telah melekat, maupun kolonisasi dan pertumbuhan
spesies lainnya. Dalam perkembangannya terjadi perubahan ekologis pada
biofilm, yaitu peralihan dari lingkungan awal yang aerob dengan spesies bakteri
fakultatif gram positif menjadi lingkungan yang sangat miskin oksigen. Dimana
yang dominan adalah mikroorganisme anaerob gram negatif.
3) Kolonisasi Sekunder dan Pematangan Plaque
Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak turut sebagai
pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih, diantaranya Prevotella
24
intermedia, Prevotella Loescheii, Spesies Capnocytophaga, Fusobacterium
Nucleatum, dan Porphyromonas Gingivalis.
Mikroorganisme tersebut melekat ke sel bakteri yang telah berada dalam
massa plaque. Proses perlekatannya adalah berupa interaksi stereokhemikal yang
sangat spesifik dari molekul-molekul protein dan karbohidrat yang berada pada
permukaan sel bakteri, dan interaksi yang kurang spesifik yang berasal dari
tekanan hidrofobik, tekanan elektrostatik, dan tekanan van der waals.
f. Indeks Plaque
Index plaque adalah metode pengukuran luasnya keberadaan plaque
(Anggraeni, 2007). Indeks ini dilakukan dengan menggunakan larutan pewarna yang
dioleskan ke seluruh permukaan gigi dan kemudian diperiksa. Setiap gigi diperiksa
empat permukaan yaitu permukaan mesial, distal, lingual dan palatinal. Kemudian
skornya dihitung. Cara pemberian skor untuk indeks plaque:
0 = tidak ada plaque pada gingival
1 = dijumpai lapisan tipis plaque yang melekat pada margin gingiva di daerah yang
berbatasan dengan gigi tetangga
2 = dijumpai tumpukan sedang plaque pada saku gingiva dan pada margin gingiva
dan atau pada permukaan gigi tetangga yang dapat dilihat langsung
3 = terdapat deposit lunak yang banyak pada saku gingiva dan atau pada margin dan
permukaan gigi tetangga.
Gambar 2.7. Indeks plaque
Cara penghitungan skor:
Untuk satu gigi = jumlah seluruh skor dari empat permukaan
4
Untuk keseluruhan gigi = jumlah skor indeks plaque
jumlah gigi yang ada
25
Penilaian secara umum tentang indeks plaque (Pintauli,2008):
1) Berkisar 0 – 1 dikategorikan baik
2) Berkisar 1,1 – 2 dikategorikan sedang
3) Berkisar 2,1 – 3 dikategorikan buruk
g. Diagnosis
Plaque gigi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan pada gigi. Perwarna yang
digunakan juga khusus dikenal dengan nama disclosing agent. Bahan pewarna
(disclosing material) yang biasa digunakan adalah iodine, mercurochrome, bahan
pewarna makanan dan bismarck brown (Anggraeni, 2007).
Bahan pewarna ada yang berbentuk cairan dan tablet. Untuk bahan pewarna
cairan, cairan pewarna diteteskan beberapa tetes ke kapas yang dibulatkan, lalu
dioleskan pada seluruh permukaan gigi, kemudian kumur dengan air atau cairan
pewarna dibiarkan di dalam mulut selama 15-30 detik baru dibuang. Sedangkan
penggunaan bahan pewarna tablet, tablet dikunyah dan kemudian biarkan bercampur
dengan saliva dan biarkan saliva di dalam mulut sekitar 30 detik baru dibuang
(Anggraeni, 2007).
h. Terapi
Cara terbaik untuk menghilangkan plaque adalah dengan menyikat gigi dan
dengan pembersihan interdental oleh benang gigi, tusuk gigi atau sikat antar gigi.
Lebih ideal jika menggunakan bantuan disclosing agent untuk melihat apakah
penyikatan gigi yang dilakukan sudah benar-benar sempurna. Gigi yang terbebas dari
plaque ditandai dengan tidak adanya pewarnaan oleh disclosing pada gigi. Selain itu
perabaan dengan lidah mengidentifikasikan dalam bentuk gigi terasa kesat, bukan
licin. Jika masih terasa licin maka masih terdapat plaque (Anggraeni, 2007).
4. DENTAL DECAY (Level Kompetensi: 3)
a. Definisi
Dental decay atau karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi,
yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada
dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya
demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya
(Noriyuki, 2008).
26
b. Gambar
Gambar 2.8. Dental decay
c. Etiologi
Karies gigi disebabkan oleh 4 faktor/komponen yang saling berinteraksi yaitu:
1) Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi: komposisi gigi,
morfologi gigi, posisi gigi, pH saliva, kuantitas saliva, kekentalan saliva.
2) Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu menghasilkan
asam melalui peragian yaitu: Streptococcus, Lactobasillus.
3) Komponen makanan, yang sangat berperan adalah makanan yang mengandung
karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri
tertentu dan membentuk asam.
4) Komponen waktu: kemampuan saliva untuk meremineralisasi selama proses
karies, menandakan bahwa proses tersebut terdiri atas periode perusakan dan
perbaikan yang silih berganti (Kidd, 1992).
d. Patogenesis
Enamel adalah jaringan keras yang kaya akan mineral. Karies dapat terjadi
pada enamel melalui proses kimiawi yaitu lingkungan asam yang diproduksi oleh
bakteri. Gula akan dicerna oleh bakteri dan energi yang dihasilkan akan dipakai
bakteri untuk memproduksi asam laktat. Asam laktat akan menyebabkan
demineralisasi kristal hidroksiapatit pembentuk enamel. Karies enamel yang tidak
ditangani dapat berkembang menjadi karies dentin (Tarigan, 2010).
Dentin terdiri dari saluran-saluran mikroskopis (tubula dentin) yang
menghubungkan pulpa dengan enamel. Bentukan tubula dentin inilah yang
menyebabkan karies dentin berkembang lebih cepat. Ketika ada infeksi bakteri, dentin
menghasilkan immunoglobulin sebagai mekanisme pertahanan. Sementara itu juga
27
terjadi peningkatan mineralisasi di dentin. Kedua keadaan ini menyebabkan konstriksi
tubula dentin sehingga penyebaran bakteri terhalang. Bila demineralisasi terus
berlangsung, karies dapat berkembang ke profunda dan mencapai rongga pulpa
(Tarigan, 2010).
e. Klasifikasi
Karies gigi bisa diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan kedalamannya.
1) Karies berdasarkan lokasi permukaan kunyah dapat dibagi :
a) Karies oklusal
b) Karies labial
c) Karies bukal
d) Karies palatal/lingual
e) Karies proksimal
f) Karies kombinasi (mengenai semua permukaan)
2) Pembagian lain dari karies berdasarkan lokasi:
a) Karies yang ditemukan di permukaan halus
Ada tiga macam karies permukaan halus:
i) Karies proksimal adalah tipe yang paling sulit dideteksi; tidak dapat
dideteksi secara visual atau manual dengan sebuah explorer gigi;
memerlukan pemeriksaan radiografi.
Gambar 2.9. Titik hitam pada batas gigi menunjukkan sebuah karies
proksimal
ii) Karies akar adalah tipe karies yang sering terjadi; terbentuk ketika
permukaan akar telah terbuka karena resesi gusi. Bila gusi sehat, karies ini
tidak akan berkembang karena tidak dapat terpapar oleh plaque bakteri.
Permukaan akar lebih rentan terkena proses demineralisasi daripada
enamel atau email karena sementumnya demineralisasi pada pH 6.7, di
mana lebih tinggi dari enamel. Gigi geraham atas adalah lokasi tersering
dari karies akar.
28
iii) Karies celah atau fisura.
b) Karies berdasarkan kedalamannya
i) Karies superficial, karies yang hanya mengenai email.
ii) Karies media, mengenai email dan telah mencapai setengah dentin
iii) Karies profunda, mengenai lebih dari setengah dentin dan bahkan
menembus pulpa (Tarigan, 2010).
f. Diagnosis
1) Karies dini/karies email tanpa cavitas yaitu karies yang pertama terlihat secara
klinis, berupa bercak putih setempat pada email.
Anamnesis : terdapat bintik putih pada gigi
Pemeriksaan Objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas (-) , lesi putih (+)
Terapi : pembersihan gigi, diulas dengan flour, edukasi pasien.
2) Karies email dengan kavitas, yaitu karies yang terjadi pada email.
Anamnesa : gigi terasa ngilu
Pemeriksaan objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas (+) baru mengenai email
Terapi : dengan penambalan
3) Karies dengan dentin terbuka/dentin hipersensitif yaitu peningkatan sensitivitas
akibat terbukanya dentin.
Anamnesa : - kadang-kadang terasa ngilu saat makan, minum air
dingin
- rasa ngilu hilang setelah rangsangan dihilangkan
- tidak ada rasa sakit spontan
Pemeriksaan objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas mengenai email
Terapi : dengan penambalan (Tarigan, 2010).
g. Terapi
Penataksanaan karies gigi ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi:
1) Penambalan (filling) dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih lanjut.
29
2) Perawatan saluran akar (PSA) atau root canal treatment dilakukan bila sudah
terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa. Setelah dilakukan PSA, dibuat
restorasi.
3) Ektraksi gigi merupakan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan karies gigi,
ekstraksi yang telah diekstraksi perlu diganti dengan pemasangan gigi palsu
(denture), implant atau jembatan (brigde) (Tarigan, 2010).
Pencegahan karies gigi:
1) Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) dengan baik dengan menggosok gigi
dengan benar dan teratur, flossing, obat kumur (mouthwash), memeriksakan gigi 2
kali setahun.
2) Diet rendah karbohidrat
3) Fluoride melalui pasta gigi, mouthwash, suplemen, air minum, gel fluoride.
4) Penggunaan pit and fissure sealant (dental sealant).
5. PULPITIS (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri.
Pulpa terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf, sehingga peradangan pulpa akan
menimbulkan hiperemia / peningkatan aliran darah ke gigi (Medicastore, 2012).
b. Gambar
Gambar 2.10. Pulpitis
c. Etiologi
Penyebab pulpitis dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pembusukan gigi, trauma gigi, pengeboran gigi selama proses perawatan gigi.
30
2) Paparan cairan yang men-demineralisasi gigi, pemutih gigi, asam pada makanan
dan minuman.
3) Infeksi, baik yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang berasal dari abses
gigi (Medicastore, 2012).
d. Klasifikasi
1) Pulpitis reversible adalah radang pulpa ringan sampai sedang akibat rangsang,
dapat sembuh bila penyebab pulpitis telah dihapus dan gigi diperbaiki.
2) Pulpitis irreversibel dicirikan oleh kepekaan yang berkepanjangan terhadap dingin
atau panas. Radang pulpa yang ringan atau telah berlangsung lama ditandai nyeri
spontan/dirasakan terus-menerus. Terjadi kerusakan saraf sehingga membutuhkan
perawatan saluran akar (Medicastore, 2012).
e. Diagnosis dan Terapi
1) Pulpitis reversibel/hiperemi pulpitis/ pulpitis awal yaitu peradangan pulpa awal
sampai sedang akibat rangsangan.
a) Anamnesis:
i) Biasanya nyeri bila minum panas, dingin, asam dan asin
ii) Nyeri tajam, singkat, tidak spontan, tidak terus menerus
iii) Rasa nyeri lama hilangnya setelah rangsangan dihilangkan
b) Pemeriksaan Objektif:
i) Ekstra oral: tidak ada pembengkakan.
ii) Intra oral: perkusi (+), karies mengenai dentin/karies profunda, pulpa
belum terbuka, sondase (+), chlor etil (+)
c) Terapi: dengan penambalan/pulp cafing dengan penambalan Ca(OH) ± 1
minggu untuk membentuk dentin sekunder.
2) Pulpitis irreversibel yaitu radang pulpa ringan yang baru dapat juga yang sudah
berlangsung lama. Pulpitis irreversibel terbagi :
a) Pulpitis irreversibel akut yaitu peradangan pulpa lama atau baru ditandai
dengan rasa nyeri akut yang hebat.
i) Anamnesis: nyeri tajam spontan yang berlangsung terus-menerus menjalar
kebelakang telinga dan penderita tidak dapat menunjukkan gigi yang
sakit.
31
ii) Pemeriksaan Objektif
- Ekstra oral: tidak ada kelainan
- Intra oral: kavitas terlihat dalam dan tertutup sisa makanan, pulpa
terbuka bisa juga tidak, sondase (+), Chlor ethil (+), perkusi bisa (+)
bisa (-).
iii) Terapi: menghilangkan rasa sakit dan dengan Perawatan Saluran Akar
(PSA).
b) Pulpitis irreversibel kronis yaitu peradangan pulpa yang berlangsung lama.
i) Anamnesis: gigi sebelumnya pernah sakit, rasa sakit dapat hilang timbul
secara spontan, nyeri tajam menyengat (bila ada rangsangan seperti panas,
dingin, asam, manis), penderita masih bisa menunjukkan gigi yang sakit.
ii) Pemeriksaan Objektif
- Ekstra oral: tidak ada pembengkakan
- Intra oral: karies profunda (bisa mencapai pulpa bisa tidak), sondase
(+), perkusi (-)
c) Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya,
tergantung pada seluruh atau sebagian yang terlibat.
i) Anamnesis: nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri tapi pernah nyeri
spontan, bau mulut, gigi berubah warna, lesi radiolusen yang berukuran
kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu atau beberapa gigi,
tergantung pada kelompok gigi.
ii) Pemeriksaan Objektif:
- Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman
- Sondase (-), Perkusi (-), dan Palpasi (-)
- Terdapat lubang gigi yang dalam
iii) Terapi : perawatan saluran akar dan restorasi. Bila apeks gigi lebar/
terbuka dilakukan perawatan apeksifikasi. Setelah preparasi selesai,
saluran akar diisi dengan Ca(OH)2 sampai 1-2 mm dari ujung akar dan
ditumpat tetap. Evaluasi secara berkala 3-6 bulan sampai terjadi penutupan
apeks (dengan menggunakan pemeriksaan radiografik) (Medicastore,
2012).
32
6. PERIODONTITIS (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan penyangga gigi
yaitu yang melibatkan gingival, ligament periodontal, sementum, dan tulang alveolar.
Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi)
yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi
sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal
(Orstavik, 2007).
b. Gambar
Gambar 2.11. Periodontitis
c. Etiologi
Penyebab utama periodontitis adalah plak (suatu lapisan lunak yang terdiri
atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan). Selain plak gigi sebagai penyebab utama
periodontitis, ada beberapa faktor yang menjadi faktor resiko periodontitis, yaitu oral
hygiene yang buruk, penyakit sistemik, umur, jenis kelamin, taraf pendidikan dan
penghasilan (Orstavik, 2007).
Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Sejalan dengan waktu, bakteri dalam
plak gigi akan menyebar dan berkembang, kemudian toksin yang dihasilkan bakteri
akan mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan pendukungnya. Gingiva menjadi
tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku (pocket periodontal) yang akan
bertambah dalam sehingga makin banyak tulang dan jaringan pendukung yang rusak
(Orstavik, 2007).
33
Gambar 2.12. Perbedaan Gigi Sehat dan Periodontitis
d. Diagnosis
Tanda-tanda periodontitis yang perlu diperhatikan adalah:
1) Gusi berdarah saat menggosok gigi,
2) Gusi berwarna merah, bengkak dan lunak,
3) Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi,
4) Terdapat nanah diantara gigi dan gusi,
5) Gigi goyang.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu teknik yang
digunakan untuk mengukur kedalaman pocket. Kedalaman pocket ini dapat menjadi
salah satu petunjuk seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Sebagai tambahan,
pemeriksaan radiografik (x-rays) juga perlu dilakukan untuk melihat tingkat
keparahan kerusakan tulang (Orstavik, 2007).
e. Terapi
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
1) Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan beberapa
faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan tindakan bedah periodontal
atau melakukan perawatan restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah beberapa
prosedur yang dilakukan pada fase I :
a) Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.
b) Scaling dan root planing
c) Perawatan karies dan lesi endodontik
d) Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging
e) Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)
f) Splinting temporer pada gigi yang goyah
g) Perawatan ortodontik
34
h) Analisis diet dan evaluasinya
i) Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut di atas
2) Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas anatomikal
seperti pocket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni oklusi yang
berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan menjadi faktor
predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal. Berikut ini adalah beberapa
prosedur yang dilakukun pada fase ini:
a) Bedah periodontal, untuk mengeliminasi pocket dengan cara antara lain:
kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal, rekonturing
tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal (bone and tissue
graft).
b) Penyesuaian oklusi
c) Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi yang hilang.
3) Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah beberapa prosedur
yang dilakukan pada fase ini:
a) Riwayat medis dan riwayat gigi pasien.
b) Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat skor plak, ada
tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi.
c) Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan tulang
alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.
d) Scalling dan polishing tiap 6 bulan sekali, tergantung dari efektivitas kontrol
plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan calculus.
e) Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies (Orstavik,
2007).
7. GINGIVITIS (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Gingivitis adalah sebuah inflamasi dari gusi yang disebabkan oleh akumulasi
plaque dan bakteri. Gingivitis disebabkan efek jangka panjang dari penumpukan
plaque (RSMK, 2011).
Karakteristik ginggiva yang sehat adalah warnanya merah muda, bagian tepi
ginggiva tipis dan tidak bengkak, permukaan ginggiva tidak rata tapi stippled, sulkus
ginggiva tidak dalam (< 2 mm, jika lebih disebut pocket), tidak ada eksudat, tidak
35
mudah berdarah, konsistensi kenyal. Sedangkan pada ginggivitis warnanya merah
keunguan, bagian tepinya bengkak, ada eksudat, mudah berdarah, konsistensinya
empuk/lunak (Medicastore, 2012).
b. Gambar
Gambar 2.13. Ginggiva sehat dan Gingivitis
c. Etiologi dan Patogenesis
Gingivitis dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya kebersihan mulut yang
buruk dan penumpukan karang gigi (kalkulus/tartar) Sisa-sisa makanan yang tidak
dibersihkan secara seksama menjadi tempat pertumbuhan bakteri. Dengan
meningkatnya kandungan mineral dari air liur, plaque akan mengeras menjadi karang
gigi (kalkulus). Kalkulus juga dapat terbentuk di bagian dalam gusi dan dapat
menyebabkan radang gusi sehingga gusi mudah berdarah.
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan peradangan pada ginggiva,
antara lain kehamilan, diabetes mellitus, penggunaan obat seperti kortikosteroid dan
siklosporin, leukemia, dan merokok. Pemakaian obat-obatan pada pasien dengan
tekanan darah tinggi dan paska transplantasi organ juga dapat menekan sistem
imunitas sehingga infeksi pada gusi lebih mudah terjadi (Medicastore, 2012).
36
d. Gejala
1) Mulut kering
2) Pembengkakan pada gusi
3) Warna merah menyala atau merah ungu pada gusi
4) Gusi terlihat mengkilat
5) Perdarahan pada gusi
6) Gusi lunak pada saat di sentuh tapi tanpa rasa sakit (RSMK, 2011).
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Gusi yang meradang tampak merah, membengkak dan mudah berdarah (Medicastore,
2012).
f. Terapi
Kondisi yang menyebabkan dan memperburuk gingivitis harus diatasi. Plaque
dibersihkan dan kebersihan mulut diperbaiki. Pasien diedukasi untuk melakukan sikat
gigi minimal dua kali sehari, pada pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum
tidur. Selain itu, flossing dilakukan sekali dalam sehari untuk membersihkan plaque
dan sisa makanan di celah gigi. Bila terdapat kalkulus, dapat dilakukan pembersihan /
scalling. Antibiotik diberikan bila ada indikasi. Penyakit sistemik yang mendasari
gingivitis juga harus diatasi (RSMK, 2011).
8. CANDIDIASIS ORAL (Level Kompetensi: 4)
a. Definisi
Candidiasis oral merupakan infeksi pada rongga mulut yang disebabkan oleh
pertumbuhan berlebihan dari jamur Candida terutama Candida albicans. Candida
merupakan organisme komensal normal yang banyak ditemukan dalam rongga mulut
dan dapat melekat pada mukosa labial, mukosa bukal, dorsum lidah, dan daerah
palatum. Candidiasis oral dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan
pada penderita defisiensi imun seperti AIDS. Pada pasien HIV/AIDS, Candida
albicans ditemukan paling banyak yaitu sebesar 95% (Magdalena, 2009; Sufiawati
dan Rahmayanti, 2011).
37
b. Gambar
Gambar 2.14. Gambaran klinis bentuk primer candidosis oral: candidosis
pseudomembranous akut (kiri atas), candidosis eritematous kronik (kanan atas),
candidosis eritematous akut (kiri bawah) dan candidosis hiperplastik kronik (kanan
bawah).
c. Etiologi
1) Faktor Lokal
a) Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi, hiperplasi atau
displasia
b) Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal pada pasien
dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi), perubahan pH saliva.
c) Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada pasien dengan
AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik)
d) Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan patogenik
terhadap host.
2) Faktor Sistemik
a) Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma
b) Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi vitamin
3) Faktor Iatrogenik
a) Terapi antibiotik
b) Terapi kortikosteroid
c) Radioterapi dan kemoterapi
d) Merokok (Scully, 2010).
38
d. Klasifikasi
1) Bentuk Primer Candidosis Oral
a) Candidosis Pseudomembranous akut
- Keluhan pasien: rasa terbakar di mulut.
- Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis: plak mukosa yang putih,
difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi,
fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah dan
kasar.
- Dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.
- Diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada
pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi.
b) Candidosis Eritematous akut
Bentuk candidosis eritematous akut ini sering terjadi pada pemberian
antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan penurunan populasi bakteri
dalam mulut sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan spesies Candida. Jenis
infeksi ini dapat terjadi pada mukosa buccal, namun paling sering timbul
sebagai lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga palatum. Candidosis
eritematous akut adalah satu-satunya bentuk candidosis oral yang
menimbulkan nyeri terus-menerus. Resolusi spontan dapat terjadi dengan
menghentikan pemberian antibiotik spektrum luas.
c) Candidosis Eritematous kronik
Candidosis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi termasuk lesi
atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis angular dan denture stomatitis.
Candidosis eritematous kronik sering terjadi pada individu dengan HIV positif
dan pasien AIDS.
d) Candidosis Hiperplastik kronik
Candidosis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai candidal
leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan mukosa mulut baik sebagai
lesi homogen atau lesi putih noduler. Lesi candidosis hiperplastik kronik tidak
dapat dihilangkan dengan kerokan halus. Lesi paling sering muncul bilateral
pada regio komisura mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada
laki-laki setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari bentuk
infeksi ini adalah hubungannya dengan perubahan ke arah keganasan.
39
2) Bentuk Sekunder
a) Keilitis Angular
Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada sudut mulut
dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan adanya C.albicans, sering
bersama dengan bakteri S.aureus. Peranan Candida pada bentuk ini masih
belum jelas, namun penting diperhatikan bahwa keilitis angular sering terjadi
pada pasien dengan candidosis oral di mana jumlah spesies Candida
meningkat.
Gambar 2.15. Angular Cheilitis
b) Median Rhomboid Glossitis
Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik yang muncul
sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline dorsum lidah. Didapatkan
jumlah spesies Candida yang tinggi dari lesi tersebut. Kondisi ini sering
dikaitkan dengan individu yang sering menggunakan steroid inhaler atau
individu yang merokok (Magdalena, 2009).
e. Diagnosis
Keluhan yang bisa terjadi pada candidiasis oral seperti adanya rasa tidak
nyaman, rasa terbakar, rasa sakit, dan pedih pada rongga mulut. Pemeriksaan klinis
dilakukan dengan melihat gambaran klinis lesi yang terdapat pada rongga mulut.
Gambaran klinis candidiasis oral yang terlihat bisa berbeda-beda sesuai dengan tipe
candidiasis yang terjadi pada rongga mulut pasien. Di samping itu, pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan sitologi eksfoliatif, kultur swab, uji saliva, dan biopsi
sangat diperlukan dalam mendukung diagnosa candidiasis oral (Sufiawati dan
Rahmayanti, 2011).
40
f. Terapi
Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam tiga kelas
agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins. Antifungal Polyenes
mencakup Amphotericin B dan Nystatin. Amphotericin B dihasilkan oleh
Streptomyces nodosus dan memiliki aktivitas antijamur yang luas, namun dapat
menimbulkan efek nefrotoksik. Obat antifungal lain yang sekarang banyak digunakan
adalah Nystatin. Azoles dibagi dalam dua kelompok yaitu imidazoles dan triazoles.
Azoles akan menghambat ergosterol yang merupakan unsur utama sel membran jamur
sedangkan Caspofungin termasuk golongan antifungal echinocandins yang digunakan
untuk pengobatan terhadap infeksi jamur Kandida dan spesies aspergillus
(Magdalena, 2009).
Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik, dengan syarat
pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang akan dirawat. Obat - obat
anti jamur yang dapat diberikan secara topikal berupa: clotrimazole lozenge, nystatin
pastiles, dan nystatin suspensi oral, sedangkan obat anti jamur yang dapat dibenkan
secara sistemik yaitu: ketoconazole tablet, itraconazole tablet, fluconazole tablet. Hal
yang sangat penting dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga mulut,
sehingga kandida albikans yang merupakan mikroorganisme komensal dan flora
normal di rongga mulut tidak berubah menjadi agen infeksius opportunistik penyebab
kandidiasis oral. Pasien juga harus menghindari faktor-faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan kandidiasis (Magdalena, 2009).
9. MOUTH ULCER (Level Kompetensi: 4)
a. Definisi
Mouth ulcer adanya erosi pada bagian membran mukosa rongga mulut (pipi
atau bibir sebelah dalam, lidah dan bawah lidah, gusi, langit-langit). Terdapat 3 jenis
mouth ulcer, yaitu minor, mayor, dan herpetiform. Tipe minor itu adalah yang sering
kita jumpa sehari-hari, bisa satu atau multiple berukuran kurang dari 1cm dan luka
tidak terlalu dalam. Tipe mayor luka lebih besar dan lebih dalam (biasanya pada
keganasan, kasus gizi buruk). Bentuk herpetiform berupa gelembung-gelembung
bergerombol seperti buah anggur (biasanya pada infeksi herpes simplek virus)
(Scully, 2003).
41
b. Gambar
A B
C
Gambar 2.16. A = Minor ulcer, B = Major ulcer, C = Herpetiform Ulcer.
c. Etiologi
Penyebab dari mouth ulcer sendiri sebetulnya belum diketahui secara pasti.
Namun diduga ada beberapa proses yang menyebabkan terjadinya mouth ulcer. Pada
beberapa kasus, mouth ulcer dapat timbul pada saat seseorang mengalami stres dan
saat menstruasi. Berikut beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya mouth ulcer:
1) Trauma
a) Minor physical injuries
Trauma yang terjadi pada mulut merupakan penyebab yang umum terjadinya
mouth ulcer, seperti cedera akibat bergesekan dengan gigi palsu atau kawat
gigi, tergores dari sikat gigi yang keras, dan lain-lain.
b) Chemical injuries
Bahan-bahan kimia seperti aspirin dan alkohol dapat menyebabkan mukosa
oral menjadi nekrosis yang akan menyebabkan terjadinya ulcer.
2) Infeksi
a) Viral (contoh: Herpes simplex virus)
42
b) Bakteri (contoh: Mycobacterium tuberculosis dan Treponema pallidum).
a) Jamur (Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, Blastomyces
dermatitidis).
b) Protozoa (Entamoeba histolytica).
3) Sistem Imun
Peneliti menemukan bahwa mouth ulcer merupakan produk akhir dari suatu
penyakit yang diperantarai oleh sistem imun.
a) Imunodeficiency (akibat kemoterapi, HIV, dan mononukleosis)
b) Autoimun (Pemphigoid Membran mukosa, reaksi autoimmune epitel membran
basal).
c) Alergi
4) Diet (defisiensi dari vitamin B12, zat besi dan asam folat)
5) Kanker pada mulut (Scully, 2003).
d. Gejala
Mouth ulcer biasanya didahului oleh adanya sensasi terbakar. Kemudian
setelah beberapa hari membentuk sebuah titik merah atau benjolan, diikuti oleh luka
terbuka. Mouth ulcer muncul dengan lingkaran atau oval yang berwarna putih atau
kuning dengan tepi merah meradang. Ulkus yang terbentuk sering sekali sangat perih
terutama pada saat berkumur atau menyikat gigi, atau juga ketika ulkus teriritasi
dengan makanan yang pedas, asin, atau asam. Selain itu juga bisa ditemukan adanya
pembesaran dari kelenjar getah bening pada submandibula dan berkurangnya nafsu
makan (Scully, 2003).
e. Diagnosis
Penting untuk menetapkan penyebab ulkus mulut. Beberapa penyelidikan
meliputi:
1) Pemeriksaan fisik - tergantung pada berat ringannya penyakit tersebut. Sebagai
contoh, jika luka besar dan kuning, itu kemungkinan besar disebabkan oleh
trauma. Demam menandakan luka dapat disebabkan oleh infeksi herpes simpleks.
2) Darah rutin - untuk memeriksa tanda-tanda infeksi.
3) Biopsi kulit - jaringan dari ulkus diambil dan diperiksa di laboratorium (Scully,
2003).
43
f. Terapi
Pada kebanyakn kasus, mouth ulcer dapat sembuh dengan sendirinya pada
beberapa hari. Namun ada beberapa cara yang sederhana untuk mengurangi rasa sakit
dan kesulitan makan:
1) Hindari makanan pedas, asam, keras, atau terlalu panas
2) Hindari minuman soda atau air jeruk
3) Pakai sedotan waktu minum
4) Berkumur dengan air garam
5) Ada yang menganggap bahwa madu dapat mengurangi rasa sakit
6) Mengganti pasta gigi dengan pasta gigi yang tidak mengandung natrium lauryl
sulfat (SLS) (Scully, 2003).
Obat kumur chlorhexidine dapat mengurangi rasa sakit. Mungkin juga
membantu luka untuk sembuh lebih cepat. Hal ini juga membantu untuk mencegah
luka menjadi terinfeksi. Obat kumur chlorhexidine biasanya digunakan dua kali sehari
(Scully, 2003).
g. Pencegahan
Cara untuk mengurangi kemungkinan mouth ulcer meliputi:
1) Menyikat gigi setidaknya dua kali setiap hari.
2) Floss secara teratur.
3) Mengunjungi dokter gigi secara teratur.
4) Sikat gigi dengan lembut
5) Makan makanan yang bergizi yang sehat dan seimbang
6) Pastikan bahwa kondisi-kondisi yang mendasari, seperti diabetes melitus dan
penyakit inflamasi usus, dikelola dengan tepat (Scully, 2003).
h. Komplikasi
Jika mouth ulcer tidak diobati atau dibiarkan maka akan dapat menyebabkan beberapa
komplikasi yaitu :
1) Infeksi bakteri
2) Inflamasi pada mulut
3) Tooth absess (Scully, 2003).
44
15. GLOSSITIS (Level Kompetensi: 3)
a. Definisi
Glossitis adalah peradangan atau infeksi pada lidah. Hal ini menyebabkan
lidah membengkak, perubahan warna, dan papila mungkin hilang sehingga lidah
tampak halus. Dalam beberapa kasus, glossitis dapat mengakibatkan pembengkakan
lidah parah yang menghalangi jalan napas (Zieve dan Juhn, 2009).
b. Gambar
Gambar 2.17. Glossitis
c. Etiologi
Glossitis secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1) Infeksi
Bakteri dan infeksi virus adalah penyebab umum menularnya glossitis. Hal ini
sering dikaitkan dengan temuan lain seperti luka mulut (lepuh, borok), nyeri dan
kadang-kadang demam. Infeksi jamur lidah kurang umum dan lebih sering terlihat
pada pasien immunocompromised (HIV, diabetes mellitus tidak terkontrol).
2) Trauma
Trauma adalah penyebab umum glossitis dan biasanya akut dengan etiologi
jelas. Faktor mekanis atau kimia yang mengiritasi/melukai lidah:
a) Burns.
b) Makanan, minuman dan suplemen (rempah-rempah, asam, pewarna buatan
terkonsentrasi dan flavorants, vitamin kunyah).
c) Produk perawatan gigi (formulasi terkonsentrasi atau beracun).
d) Merokok dan obat-obatan narkotika.
e) Tembakau dan daun sirih.
45
f) Alkohol - menyebabkan trauma kimia dan menyebabkan kekurangan vitamin
(glossitis atrofi)
g) Peralatan gigi kurang pas/ prostetik seperti jembatan, implan, gigi palsu dan
pengikut - cenderung menyebabkan borok pada sisi lidah (aspek lateral)
h) Tindik lidah.
3) Alergi (lebih cenderung terjadi pada individu hipersensitif).
4) Kekurangan vitamin dan mineral
Merupakan penyebab umum dari glossitis atrofi. Penipisan lapisan mukosa lidah
dan atrofi papila eksposur pembuluh darah yang mendasari menyebabkan
kemerahan lidah. Vitamin dan mineral tersebut meliputi:
a) Vitamin B12 - anemia pernisiosa
b) Riboflavin (vitamin B2)
c) Niacin (vitamin B3) - pellagra
d) Pyridoxine (vitamin B6)
e) Asam folat (vitamin B9)
f) Besi - anemia kekurangan zat besi
g) Kekurangan vitamin C.
5) Penyakit kulit
Banyak dari penyakit kulit juga melibatkan selaput lendir mulut, termasuk lapisan
mukosa lidah (Zieve dan Juhn, 2009).
d. Diagnosis
Pemeriksaan oleh dokter gigi atau penyedia layanan kesehatan menunjukkan
lidah bengkak. Papila pada permukaan lidah mungkin tidak ada. Tes darah bisa
mengkonfirmasi sistemik penyebab gangguan tersebut (Zieve dan Juhn, 2009).
e. Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Perawatan biasanya
tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak sangat parah. Baik kebersihan
mulut perlu, termasuk menyikat gigi menyeluruh setidaknya dua kali sehari, dan
flossing sedikitnya setiap hari (Zieve dan Juhn, 2009).
Kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan untuk mengurangi
peradangan glossitis. Untuk kasus ringan, aplikasi topikal (seperti berkumur prednison
46
yang tidak ditelan) mungkin disarankan untuk menghindari efek samping dari
kortikosteroid ditelan atau disuntikkan (Zieve dan Juhn, 2009).
Antibiotik, obat antijamur, atau antimikroba lainnya mungkin diresepkan jika
penyebab glossitis adalah infeksi. Anemia dan kekurangan gizi harus diperlakukan,
sering dengan perubahan pola makan atau suplemen lainnya. Hindari iritasi (seperti
makanan panas atau pedas, alkohol, dan tembakau) untuk meminimalkan
ketidaknyamanan (Zieve dan Juhn, 2009).
16. Parotitis (Level Kompetensi 4)
a. Definisi
Parotitis adalah penyakit akut dan menular dengan gejala khas pembesaran
kelenjar ludah, terutama kelanjar parotis (Hassan dan Alatas, 2007).
b. Gambar
Gambar 2.18. Parotitis
c. Etiologi
Parotitis disebabkan paramyxovirus. Ditularkan melalui percikan ludah yang
berasal dari bersin, batuk, muntahan penderita atau bersentuhan langsung dengan
benda yang terkontaminasi ludah penderita. Virus dapat diisolasi dari faring 2-6 hari
setelah terjadi perbesaran kelenjar parotis. Jika seseorang pernah menderita parotitis,
maka ia akan memiliki kekebalan seumur hidupnya. Bayi 6-8 bulan tidak dapat
terjangkit penyakit ini karena dilindungi antibodi yang dialirkan secara transplasental
dari ibunya. (Hassan dan Alatas, 2007; Medicastore, 2012).
d. Patologi
Pada kelenjar parotis, terutama saluran ludah, terdapat kelainan berupa
pembengkakan sel epitel, pelebaran, dan penyumbatan saluran. Bila testis terkena
47
infeksi, maka terdapat perdarahan kecil dan nekrosis sel epitel tubuli semeniferus.
Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi dan nekrosis jaringan (Hassan dan
Alatas, 2007).
e. Gejala Klinis
Dimulai dengan stadium prodromal, lamanya 1-2 hari dengan gejala demam,
anoreksia, sakit kepala, muntah dan nyeri otot. Suhu tubuh biasanya meningkat 38,5-
39,5ºC, kemudian timbul pembengkakan kelenjar parotis yang awalnya unilateral,
namun dapat menjadi bilateral. Pembengkakan terasa nyeri (baik spontan atau pada
perabaan, terlebih saat penderita makan/ minum yang asam). Di daerah parotis, kulit
tampak merah kecoklatan, nyeri pada tekanan, dan bagian bawah daun telinga
terangkat ke atas. Kadang disertai trismus dan disfagia. Di rongga mulut, muara
duktus Stenson tampak kemerahan dan edema. Pembengkakan kelenjar berlangsung 3
hari, kemudian mengempis. Terkadang kelenjar submandibularis dan sublingualis
juga terkena (Hassan dan Alatas, 2007).
f. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila jelas ada gejala infeksi parotitis epidemika
pada pemeriksaan fisis. Disamping leucopenia dengan limfositosis relatif, didapatkan
pula kenaikan kadar amilase dalam serum yang mencapai puncaknya setelah 1
minggu dan menjadi normal kembali dalam 2 minggu.
Bila gejala fisis tidak jelas, maka diagnosis didasarkan pada:
1) Terdapat virus dalam saliva, urin, LCS, atau darah.
2) Serum neutralization test.
3) Kenaikan titer yang bermakna dari complement fixing antibody test selama masa
penyembuhan.
4) Didapatkan antibodi dalam serum terhadap antigen S selama gejala parotitis ada.
Jumlah antibodi tersebut mencapai puncaknya pada permulaan penyakit dan
kemudian menghilang dalam waktu 6-12 bulan, sedangkan antibodi terhadap
antigen V (antigen virus) mencapai puncaknya dalam waktu 1 bulan, menetap
dalam 6 bulan berikutnya dan menurun secara lambat dalam 2 tahun sampai suatu
jumlah yang rendah dan yang tetap ada (Hassan dan Alatas, 2007).
48
G. Terapi
Istirahat di tempat tidur selama masa panas dan pembengkakan kelenjar
parotis. Simptomatik diberikan kompres panas atau dingin dan juga diberikan
analgetika. Diet makanan cair atau lunak. Kortikosteroid selama 2-4 hari dan globulin
gama diperkirakan dapat mencegah terjadinya orkikis (Hassan dan Alatas, 2007).
H. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis
yang hidup tapi telah diubah sifatnya. Diberikan secara subkutan pada anak berumur
15 bulan. Vaksin ini tidak menyebabkan panas atau reaksi lain. Menyebabkan
imunitas yang lama dan dapat diberikan bersama vaksin campak dan rubella. Dapat
diberikan pada remaja dan orang dewasa yang telah kontak dengan penderita parotitis
tapi belum menderita penyakit tersebut (Hassan dan Alatas, 2007).
49
BAB III
KEGANASAN
1. NONCANCEROUS GROWTH (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Terdapat banyak tipe pertumbuhan non-kanker pada rongga mulut, dan dapat
terjadi pada semua orang di semua umur. Pertumbuhan massa dapat berasal dari kista
yang berisi cairan, pertumbuhan tulang yang berlebihan, atau jaringan yang fibrosis.
Semua itu dapat disebabkan oleh faktor etiologi yang berbeda-beda seperti iritasi,
pertumbuhan tulang berlebih, atau infeksi. Beberapa pertumbuhan non-kanker tidak
menimbulkan masalah, namun demikian massa rongga mulut di lokasi tertentu dan
dengan ukuran yang cukup besar dapat menyebabkan nyeri atau gangguan makan (De
Pietro, 2010).
b. Gambar
A B
C
Gambar 3.1. A = Torus Palatinus, B = Papiloma, C = Epulis Fibromatosa
50
c. Etiologi
Noncancerous growth di rongga mulut dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Misalnya peningkatan pertumbuhan C.albicans yang menyebabkan candidiasis oral,
menyebabkan suatu growth yang disebut trush. Sariawan sering disebabkan oleh
trauma di area mulut. Fibroma dan mukokel sering disebabkan bibir atau bukal yang
tidak sengaja tergigit. Jenis lain seperti torus palatinus tidak diketahui penyebabnya
(De Pietro, 2010).
d. Macam-macam Noncancerous Growth
Massa rongga mulut yang biasa terjadi termasuk di dalamnya adalah sariawan.
Tipe lain dari massa pada rongga mulut termasuk papiloma, lipoma, dan fibroma.
Mukokel, torus palatinus dan kandidiasis yang juga disebut sebagai oral trush, juga
merupakan tipe lain dari massa non kanker di rongga mulut (De Pietro, 2010).
2. LEUKOPLAKIA (Level Kompetensi: 2)
a. Definisi
Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa
mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan atau kikisan
(Rangkuti, 2007).
b. Gambar
Gambar 3.2 Leukoplakia
c. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dari leukoplakia digolongkan menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor
sistemik.
1) Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan kemis, reaksi
elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok merupakan faktor risiko
51
utama penyebab leukoplakia, karena unsur resin dan tar di dalamnya mudah
mengiritasi mukosa.
2) Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B kompleks, sifilis tertier
dan anemia siderofenik. Keadaan ini disertai dengan glossitis atrofik sehingga
pasien-pasien ini mudah sekali terkena leukoplakia dan karsinoma mulut.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua tahap.
Yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada tahap praleukoplakia mulai
terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening, translusen, permukaannya halus dengan
konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi ke arah
lateral dan membentuk keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih,
berfisura dan permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan mukosa
sekitarnya (Patterson, 2004).
d. Klasifikasi
Berdasarkan bentuk klinisnya Bucket dalam Patterson (2004) menggolongkan
leukoplakia dalam 3 jenis:
1) Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu pola yang
relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan pola garis-garis halus,
keriput atau papilomatous.
2) Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik yang kecil
tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplaqueik) dari mukosa. Dua pertiga dari
kasus menunjukkan tanda-tanda displasia epitel atau karsinoma pada pemeriksaan
histopatologik.
3) Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak tonjolan seperti
papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan suatu lesi pada dorsum lidah.
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan
perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan yang
terakhir dengan pemeriksaan biopsi.
52
1) Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum, kebiasaan
sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah sirih dan menyuntil
tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat
penurunan daya tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda
akibat konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang.
2) Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan putih keruh.
Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang berkembang tidak teratur. Lesi
berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal, berwarna putih, menunjukkan
adanya pengerasan, membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah pembentukan
ulser. Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang didasar mulut)
cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun nodular, speckled dan
erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika mempunyai displasia berat.
Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang kemudian berubah menjadi ganas adalah
bentuk verukosa dan bentuk nodular.
3) Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskop dengan
pewarnaan rutin Hematoksilin-Eosin (HE).
4) Pemeriksaan sitologik eksfoliatif
Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan sitologik
eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi keadaan keganasan sedini
mungkin, dan merupakan kontrol pada false negatif biopsi, serta menghindari
biopsi yang tidak perlu. Faktor yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan adalah
lokasi dan jenis lesi, ketebalan lapisan keratin atau keadaan hiperkeratotik akan
menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit untuk ikut teridentifikasi
karena tersembunyi (Amin, 2010).
f. Terapi
Perawatan dan pencegahan yang paling pas adalah mengurangi atau menjauhi
faktor-faktor penyebabnya, seperti berhenti merokok atau konsumsi alkohol. Ketika
ini cara itu sudah ditempuh dan tidak efektif atau menunjukkan tanda-tanda awal
kanker, kemungkinan untuk menyembuhkannya dengan operasi atau laser untuk
menghancurkan sel-sel kanker (Amin, 2010; Medineplus, 2012).
53
3. ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Oral squamous cell carcinoma adalah suatu neoplasma ganas yang timbul dari
jaringan epitel mukosa lidah dengan selnya berbentuk epitel gepeng berlapis dan
terjadi akibat rangsangan menahun, juga beberapa penyakit-penyakit tertentu seperti
syphilis dan plumer vision syndrome, leukoplasia, reytoplasia. Kanker ganas ini dapat
menginfiltrasi ke daerah sekitarnya, di samping itu dapat melakukan metastase secara
limfogen dan hematogen (Sararock, 2010).
Angka kejadian karsinoma sel skuamosa pada pria dan wanita 3:1,
kemungkinan karena peningkatan pria yang merokok. Data insidensi keseluruhan
meliputi kira-kira 2% dari kanker yang menyebabkan kematian pada pria dan 1% pada
wanita, dengan jumlah kematian tiap tahun mencapai 9500 orang (Syafriza, 2000).
b. Gambar
Gambar 3.3. Oral Squamous Cell Carcinoma
c. Etiologi
Faktor etiologi yang dapat memicu berkembangnya kanker mulut antara lain
sebagai berikut:
1) Tembakau
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa resiko terkena kanker rongga
mulut untuk seorang yang merokok satu bungkus sehari kira-kira 4 kali dari yang
tidak merokok. Tembakau mengandung zat-zat karsinogenik seperti nikotin, yang
salah satunya merupakan zat adiktif paling kuat di samping polisiklik aromatik
hidrokarbon, nitrosodietanolamin, nitrosoprolin dan polonium.
54
2) Alkohol
Daerah mukosa yang paling sering terkena oleh alkohol mempunyai resiko
paling tinggi untuk berkembangnya kanker. Alkohol dapat mempengaruhi
keutuhan sistem kekebalan pasien yang memungkinkan kanker tumbuh dan
berkembang.
3) Faktor pendukung lain
Faktor pendukung lain yang dimaksudkan di sini antara lain adalah faktor
penyakit kronis, faktor gigi dan mulut, defisiensi nutrisi, jamur, virus, dan faktor
lingkungan.
a) Penyakit kronis
Penyakit kronis dapat menjadi faktor predisposisi bagi timbulnya keganasan.
Penyakit tersebut antara lain sifilis dan liken planus. Ditemukan bukti bahwa
20-30% dari semua pasien laki-laki dengan kanker mulut di Amerika Serikat
adalah penderita sifilis kronis. Liken planus dapat dianggap sebagai penyebab
terjadinya kanker rongga mulut, walaupun penyebab langsung dan hubungan
yang jelas belum diketahui. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa penderita
kanker rongga mulut mempunyai riwayat liken planus.
b) Faktor gigi dan mulut
Tingkat oral hygiene yang rendah, restorasi yang tidak tepat, tepi gigi geligi
yang tajam, gesekan gigi tiruan yang longgar, bersama faktor-faktor lain
diperkirakan sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya keganasan
dalam rongga mulut.
c) Defisiensi nutrisi
Beberapa defisiensi zat makanan seperti defisiensi riboflavin dan anemia
defisiensi besi telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma rongga mulut.
Defisiensi riboflavin menyebabkan perubahan displastik mukosa oral. Anemia
defisiensi besi dengan sindroma Plummer-Vinson, yang paling sering diamati
pada wanita, juga dapat menyebabkan displasia mukosa oral dan faring..
d) Jamur
Organisme oportunistik ini dalam rongga mulut mempengaruhi patogenesis
dari kanker mulut. Penelitian telah membuktikan bahwa terdapat metaplasia
sel skuamosa dan kecenderungan proliferatif epitel dari embrio anak ayam
yang terinfeksi oleh C.albicans.
55
e) Virus
Virus dapat menginduksi kanker dengan mengubah struktur DNA dan
kromosom yang diinfeksi. Virus Herpes simplex tipe 1 (HSV-1) dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) memgang peranan dalam patogenesis
karsinoma sel skuamosa.
f) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti sengatan sinar matahari, karsinogen alami, ataupun
polusi pabrik mempengaruhi insiden kanker mulut dan menyebabkan adanya
variasi dalam distribusi kanker di dalam rongga mulut (Syafriza, 2000).
d. Gejala
Gejala-gejala kanker lidah adalah biasanya terdapat luka (ulkus) seperti
sariawan yang tidak sembuh dengan pengobatan yang adekuat, mudah berdarah, nyeri
lokal, nyeri yang menjalar ke telinga, nyeri menelan, sulit menelan, dan pergerakan
lidah menjadi sangat terbatas. Pada stadium dini, kanker lidah tidak menimbulkan
nyeri dan biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin gigi. Kanker biasanya tumbuh
di bagian pinggir lidah. Karsinoma sel skuamosa pada lidah seringkali tampak seperti
luka terbuka (borok) dan cenderung tumbuh ke dalam jaringan di bawahnya
(Sararock, 2010).
e. Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
1) Pemeriksaan klinis
a) Anamnesis
b) Pemeriksaan fisik
i) Status general
ii) Status lokalis
Dengan cara : inspeksi dan palpasi bimanual
Kelainan dalam rongga mulut diperiksa dengan cara inspeksi dan
palpasi dengan bantuan spatel lidah dan penerangan. Seluruh rongga mulut
dilihat mulai dari bibir sampai orofaring posterior. Perabaan lesi rongga
mulut dilakukan dengan memasukkan 1-2 jari ke dalam rongga mulut.
Untuk menentukan dalamnya lesi dilakukan dengan perabaan bimanual.
56
Satu- dua jari tangan kanan atau kiri dimasukkan ke dalam rongga mulut
dan jari-jari tangan lainnya meraba lesi dari luar mulut.
Untuk dapat inspeksi lidah dan orofaring maka ujung lidah yang
telah diberi kasa 2x2 inci dipegang dengan tangan kiri pemeriksa dan
ditarik keluar rongga mulut dan diarahkan kekanan dan kekiri untuk
melihat permukaan dorsal, ventral, dan lateral lidah, dasar mulut, dan
orofaring. Tentukan lokasi tumor primer, bagaimana bentuknya, berapa
besar dalam sentimeter, berapa luas infiltrasinya, bagaimana
operabelitasnya.
iii) Status regional
Palpasi apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
ipsilateral atau kontra lateral. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya,
jumlahnya, ukurannya, dan mobilitassnya
2) Pemeriksaan radiografi yaitu rontgen foto polos
3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti: darah, urin, SGOT/SGPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum elektrolit, faal hemostasis,
untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.
4) Pemeriksaan patologi
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga sebagai kanker rongga
mulut harus diperiksa patologis dengan teliti (Syafriza, 2000).
f. Terapi
Terapi squamous cell carcinoma tergantung stadium, pada stadium satu
dimana belum ada keterlibatan kelenjar getah bening dilakukan eksisi jaringan tumor
dan jaringan sehat di sekelilingnya, bila perlu di lakukan neck disection yaitu
pengangkatan kelenjar betah bening leher untuk mencegah metastase labih jauh.
Radioterapi dan kemoterapi diberikan pada stadium lebih tinggi (Evy, 2007).
57
BAB IV
SISTEM KEKEBALAN RONGGA MULUT
1. XEROSTOMIA (Level Kompetensi: 1)
a. Definisi
Xerostomia berarti mulut kering. Sekitar 0,5 sampai 1 liter setiap harinya
saliva diproduksi pada kelejar saliva yang berbeda, 92% dari total volume saliva
diproduksi pada kelenjar mayor saliva, dan sisanya diproduksi oleh kelenjar minor
saliva. Keadaan berkurangnya produksi saliva dan mengakibatkan mulut kering inilah
yang dimaksud dengan xerostomia (Philip, 2008; Ronald, 1996).
b. Gambar
Gambar 4.1. Xerostomia
c. Etiologi
Xerostomia dapat timbul karena faktor fisiologis maupun faktor patologis.
Faktor fisiologis yang menimbulkan xerostomia seperti usia, hormon, dan puasa.
Faktor patologis mengurangi produksi saliva karena keadaan tertentu pada pasien,
seperti adanya penyakit sistemik, defisiensi gizi, gangguan emosional dan psikologis,
gangguan sistem saraf, penggunaan obat-obatan, gangguan kelenjar ludah, penyinaran
pada daerah kepala-leher, juga gangguan penggunaan air dan elektrolit (Philip, 2008;
Ronald, 1996).
d. Patofisiologi
Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut
yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf
simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga
58
disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor
dan mayor menurun, serta lapisan saliva yang melapisi mukosa oral berkurang (Philip,
2008).
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien xerostomia sering mengeluhkan adanya rasa tidak enak pada mulut,
halitosis (bau mulut), sakit pada lidah, sulit berbicara, sulit untuk memakai gigi
tiruan, sulit mengunyah, sulit menelan, dan hilang pengecapan.
2. Gejala dan tanda klinis
Produksi saliva yang berkurang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis, seperti:
kering dan pecah-pecah pada lidah dan bibir, pipi kering, lidah berlapis, gingivitis,
candidiasis dan merah pada mukosa bibis, lidah dan pipi, adanya karies.
3. Pemeriksaan tambahan
Kondisi mulut pasien juga dapat dinilai dengan menggunakan kaca mulut yang
ditempelkan ke pipi pasien, jika kaca menempel dapat dipastikan pasien menderita
xerostomia. Saliva yang kental yang menempel pada kaca mulut jika ditarik juga
menandakan keadaan xerostomia pada pasien (Philip, 2008; Ronald, 1996).
f. Terapi
Pada penderita xerostomia dicari penyebab utama terjadinya xerostomia.
Terapi utama adalah dengan mengendalikan faktor penyebab seperti obat-obatan,
gangguan sekresi saliva, dan gangguan organ terkait. Selain itu juga dapat diberikan
obat perangsang saliva (Lukisari, 2010).
2. ANGINA LUDWIG (Level Kompetensi: 3)
a. Definisi
Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau
flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras
pada perabaan submandibula. Ruang suprahioid berada antara otot-otot yang
melekatkan lidah pada os. Hyoid dan m. mylohyoideus. Peradangan ruang ini
menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong
59
lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas secara potensial.
b. Gambar
Gambar 4.2. Angina Ludwig
c. Etiologi
Angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua
atau tiga bawah yang menyebar ke rongga submandibula, sublingual, dan submental
kiri-kanan. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid,
dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang
sedikit dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula
terbuka, infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui
leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus
di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut.
60
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.
d. Patofisiologi
Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies
dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam yang merupakan jalan bakteri
untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi
yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang
ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran
infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar
melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan
pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat
membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus
thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahangbawah dapat
membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses
submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang
terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi
dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat
meluas ke ruang parafaringeal. Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang
submandibula akan menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi
jika terjadi ketegangan antara tulang.
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan angina ludwig akan mengeluhkan bengkak yang jelas, merah, dan
sakit pada leher. Selain itu pasien dapat mengeluhkan demam, lemah dan lesu,
mudah lelah, serta kesulitan bernafas (gejala ini menunjukkan keadaan darurat).
2. Tanda dan gejala klinis
Adanya pembengkakan besar pada coli anterior yang melibatkan bilateral space,
jika dipalpasi tidak terdapat fluktuasi. Gangren serosanguis, penyebaran melalui
fascia lebih sering daripada melalui sistem limfatik. Tenderness (+) dengan
61
konsistensi keras seperti papan (woody), kulit mengkilap, merah, panas/ hangat.
Kemudian jika lokasi berada di dasar mulut akan tampak lidah terangkat, trismus,
lnn regional membengkak dan sakit, mulut/ bibir terbuka, air ludah sering
mengalir keluar, serta kepala cenderung tertarik ke belakang
f. Terapi
Pasien dengan Angina Ludwig’s memerlukan perawatan rumah sakit sesegera
mungkin untuk diberikan antibiotik intravena dosis tinggi, biasanya untuk terapi awal
digunakan ampisillin dikombinasikan dengan metronidazole, Peresepan AINS,
analgetik, antipiretik, penggantian cairan melalui infus, drainase (pembuangan dan
permbersihan eksudat), serta penanganan untuk sumbatan saluran nafas seperti
intubasi endotracheal maupun tracheostomi.
62
DAFTAR PUSTAKA
Adulgopar (2009). Anodontia. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/anodontia.pdf -
Diakses Juli 2015.
Anggraeni (2007). Plaque gigi sumber penyakit gigi dan mulut.
http://www.answers.com/topic/dental-plaque-1/ Diakses Juli 2015.
Amin H (2010). Leukoplakia. http://sehat-enak.blogspot.com/ Diakses Juli 2015.
Benediktsdóttir and Sara (2003). Predictors of dental implant survival. J MA Dent Soc, 54:
34-38.
Children’s Craniofacial Association (CCA) (2009). A guide to understanding cleft lip and
palate. http://www.ccakids.com/Syndrome/CleftLipPalate.pdf9 Diakses Juli 2015.
De Muynck S, Schollen E, Matthijs G, Verdonck A, Devriendt K, Carels C (2004). A novel
MSX1 mutation in hipodontia. Am J Med Genet A, 128: 401-403.
De Pietro MA (2010). A non-cancerous growth in the mouth. http://www.livestrong.com/
article/273295-a-non-cancerous-growth-in-the-mouth Diakses Juli 2015.
Dentisha (2010). Maloklusi. http://luv2dentisha.wordpress.com/ Diakses Juli 2015.
Elih dan Salim ( 2008). Perawatan gigi impaksi 21 dengan alat cekat standar edgewise.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/perawatan_gigi_impaksi.pdf
Diakses Juli 2015.
Evy (2007). Squamous cell carcinoma. http://senyumsehat.wordpress.com/2007/09/17
/izakod-bekal-izakod-kai/ Diakses Juli 2015.
Findya A (2010). Pemeliharaan oral hygiene dan penanggulangan komplikasi perawatan
ortodonti. Sumatera Utara: USU.
63
Gallois R (2006). Classification of malocclusion. http://www.columbia.edu/itc/hs/dental/
D5300/Classification%20of%20Malocclusion%20GALLOIS
%2006%20final_BW.pdf. Diakses Juli 2015.
Gottlieb E, Nelson AH, Vogels DS (1996). JCO study of orthodontic diagnosis and treatment
procedures. J Clin Orthod. 30:615–629.
Irfan (2011). Definisi impaksi gigi. http://www.kesehatangigidanmulut.info/17.html - Diakses
Juli 2015.
Kidd AM (1992). Dasar-dasar karies. Jakarta: EGC
Lelyati S (1996). Kalkulus hubungannya dengan penyakit periodontal dan penanganannya.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08KalkulusHubungannyadenganPenyakitPeriod
ontal113.pdf/08KalkulusHubungannyadenganPenyakitPeriodontal113.html. Diakses
Juli 2015.
Magdalena M (2009). Candida albicans. Sumatera Utara: USU.
Medicastore (2012). Gingivitis (radang gusi). http://medicastore.com/ Diakses Juli 2015.
Medicastore (2012). Pulpitis (radang pulpa gigi). http://medicastore.com/ Diakses Juli 2015.
Medineplus (2012). Leukoplakia. http://mahkotadewa.co.id/herbalshop/2012/03/leukoplakia/
Diakses Juli 2015.
Morokumo (2010). Abnormal fetal movement, micrognatia and pulmonary hypoplasia: a
case report. http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/ PMC2931455/pdf/1741-2393-10-
46.pdf Diakses Juli 2015.
Mozartha M (2010). Plaque dan karang gigi. http://etalaseilmu.wordpress.com/
2010/04/29/plaque-dan-karang-gigi/ Diakses Juli 2015.
64
Nasir M, Mawardi (2003). Perawatan impaksi impaksi gigi insisivus sentralis maksilan
dengan kombinasi teknik flep tertutup dan tarikan ortodontik (laporan kasus). Dentika
Dental Jurnal, 8(2):95
Noriyuki H, et al (2011). Management of dental decay. www.sciencedirect.com - Diakses
Juli 2015.
Nurhayani (2004). Perbedaan jumlah debris yang terdorong keluar apeks gigi pada
preparasi saluran akar teknik step back dan crown down. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
Obiechina AE (2001). Third Molar Impaction: evaluation of the symptoms and pattern of
impaction of mandibular third molar teeth in nigerians. Odonto Stomatologie
Tropicale, Vol. 93.
Orstavik D (2007). Apical periodontitis: microbial infection and host responses.
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/
Sample_chapter/9781405149761/9781405149761_4_001.pdf. Diakses Juli 2015.
Patel A (2009). The developmental disturbences of jaws. http://www.scribd.com/doc/
44674594/The-Developmental-Disturbences-of-Jaws Diakses Juli 2015.
Paul T (2009). Management of impacted teeth. http://faculty.ksu.edu.sa/Falamri/Presentations
/Impacted-teeth.pdf Diakses Juli 2015.
Patterson (2004). Leukoplakia. http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf.
Diakses Juli 2015.
Philip C (2008). Xerostomia: recognition and management. American Dental Hygienist: pp 1-
7.
Pintauli S (2008). Fairway to oral health in general practice. Medan: USU Press
65
Qirreish (2005). Orthodontic aspects of the use of oral implants in adolescents: a 10-year
follow-up study. Eur J Orthod
Ramil R (2010). Penatalaksanaan pada anodontia. http://www.ilmukesehatan.com/ Diakses
Juli 2015.
Rangkuti NH (2007). Pebedaan leukoplakia dan hairy leukoplakia di rongga mulut. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Skripsi
Rifki A (2010). Perbedaan efektifitas menyikat gigi dengan metode roll dan horizontal pada
anak usia 8 dan 10 tahun di medan. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Ronald LE (1996). Review: Xerostomia: A symptom which acts like a disease. Age and
Ageing, 26: 409-412.
RSMK (2011). Gingivitis (peradangan gusi). http://www.mitrakeluarga.com/bekasitimur/
category/gigi/ Diakses Juli 2015.
Sararock (2010). Merokok merupakan pemicu utama terjadinya kanker lidah. Diakses Juli
2015.
Scully C (2003). The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis: a
consensus approach. J Am Dent Assoc, 134: 200-207.
Scully C (2010). Candidiasis, mucosal. http://emedicine.medscape.com/article/ 1075227-
overview#showall Diakses Juli 2015.
Sufiawati dan Rahmayanti (2011). Efektifitas heksetidin sebagai obat kumur terhadap
frekuensi kehadiran jamur candida albicans pada penderita kelainan lidah.
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/EFEKTIVITAS
%20HEKSETIDIN%20SBG%20OBAT%20KUMUR.pdf Diakses Juli 2015.
Syafriza D (2000). Diagnosa dini karsinoma sel skuamosa di rongga mulut. Medan: Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
66
Tarigan R (2010). Karies gigi. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20092
/4/Chapter%20II.pdf Diakses tanggal Diakses Juli 2015.
Thoothclub (2011). Dental diagnosis poor oral hygiene overview.
http://www.toothiq.com/dental-diagnoses/dental-diagnosis-poor-oral-hygiene-
overview.html/ Diakses Juli 2015.
Walton, Torabinejad (1998). Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Zieve D, Juhn G (2009). Glossitis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article
/001053.htm. Diakses Juli 2015.
67